Pengaruh Rasul Paulus Dalam Sejarah Kekr 5358132d

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

PENGARUH RASUL PAULUS

DALAM SEJARAH KEKRISTENAN


Sebelum – Sesudah Pertobatan – Tradisi
Paulus Toni Tantiono*

Abstract: The apostle Paul has been justifiably described as the first
and greatest Christian theologian. His letters were among the earliest
documents to be included in the New Testament and, as such, they
shaped Christian thinking from the beginning. As a missionary,
theologian, and pastor Paul wrestles with theological and ethical
questions of his day in a way paradigmatic for Christian theology.
After his “calling” as a missionary of the Gospel and Jesus’ apostle,
Paul builds all of his theologies based upon Christ. He
“christologizes” his theologies. Since the beginning Paul has always
been an uncomfortable and controversial figure in the history of
Christianity. The accusation against the prophet Elijah by Israel’s King
Ahab, ‘you troubler of Israel’ (1 Ks. 18:17), could be levelled against
Paul more fittingly than any other of the first Christians. Marcion,
Irenaeus, Tertullian and Valentinus in the second century are only few
examples of how his theologies can become controversial subjects. In
fact until now Paul’s theologies have remained one of the most
disputable subjects in Christian theology either for Christians
themselves or non-Christian believers.

Keywords: Paulus, Yesus Kristus, Anak Allah, panggilan, pertobatan,


rasul, kristologi, pembenaran, iman, kasih, karya, perbuatan Taurat, gnosis.

Pengantar
Peranan Rasul Paulus dalam kekristenan memang unik. Tiga
belas dari 27 buku PB tercatat atas namanya. Surat-suratnya kepada
aneka komunitas gerejawi ini bahkan diyakini lebih tua daripada
redaksi ke-4 injil Yesus. Di dalamnya Sang Rasul merekam dan
meneruskan tradisi kekristenan yang sudah lebih tua lagi (bdk. 1 Kor
15:3), tradisi gereja perdana tentang Yesus Kristus, Mesias yang menjadi
kepenuhan hukum Taurat. Sejak awal sampai kini ia sudah jadi tokoh
kontroversial, baik sebelum dan sesudah pertobatannya. Tidak
berlebihan jika dikatakan tidak ada teolog kristen yang lebih
didiskusikan oleh para teolog lintas agama daripada Rasul Paulus,

*
Paulus Toni Tantiono, Doctor dalam bidang Kitab Suci, lulusan Biblicum, Roma;
dosen Kitab Suci pada Fakultas Filsafat Unika St. Thomas, Sumatera Utara.
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

entah secara internal maupun eksternal, baik dalam nada positif


maupun negatif.
Motivasi dasar hidup dan karya Paulus ialah Yesus Kristus yang
telah mengasihinya secara total sampai mengurbankan diri-Nya di salib.
Rasul ini sungguh-sungguh terpesona oleh cinta Kristus dan karena itu
misi tunggalnya ialah menyebarkan Injil Kristus sampai ke ujung dunia
(bdk. Rom 15:15-24.28; Kis 13:47). Sumber utama untuk mengenal
Paulus (hidup, kerasulan, teologinya) ialah surat-suratnya sendiri.
Sumber pendamping (meskipun tidak selalu koheren dengan sumber
utama) ialah Kisah Para Rasul.1

Saulus: Riwayat Hidup Seorang Farisi penuh semangat


Tidak begitu mudah menyusun suatu kronologi hidup Saulus
(Paulus). Beberapa petunjuk yang mungkin dapat membantu dengan
sokongan data historis eksternal2:
- Tiga tahun setelah pertobatannya, Paulus harus meninggalkan
Damsyik, karena diincar wali negeri raja Aretas. Ia melarikan diri
dalam keranjang yang diturunkan dari atas tembok kota (bdk. 2 Kor
11:32-33; Kis 9:23-25). Raja Aretas yang dimaksud ialah Aretas IV, raja
Nabatea yang berkuasa antara tahun AD 9–40. Jadi peristiwa itu
terjadi sebelum tahun 40, kemungkinan besar tahun 37.
- Di Korintus Paulus bertemu dengan pasangan suami-istri Akwila dan
Priscilla yang harus meninggalkan Roma karena Kaisar Klaudius (AD
41–54) mengusir semua orang Yahudi dari sana (bdk. Kis 18:2). Sesuai
catatan Horasius, seorang sejarahwan kristen dari abad V, yang
didukung Svetosius, sejarahwan Romawi, surat keputusan pengusiran
itu dikeluarkan tahun 49. Paulus bertemu dengan suami-istri itu
dalam perjalanan misinya yang kedua sekitar tahun 50, setelah
menghadiri Konsili Yerusalem yang mungkin diadakan tahun 49.
- Data historis yang paling dapat dipercaya ialah perjumpaan Paulus
dengan Gallio di Korintus (bdk. Kis 18:12-17). Lusius Yunius Gallio,
saudara filsuf Romawi Seneca, menjabat sebagai gubernur di Korintus
selama satu tahun antara musim semi tahun 51 dan musim semi tahun
52. Ini dibuktikan oleh surat Gallio yang ditemukan di Delfi tahun
1905. Paulus diadili di depan Gallio mungkin awal tahun 52.

1
Bdk. C.K. BARRETT, Paul. An Introduction to His Thought, London 1994, 3-5.
2
Bdk. M.J. GORMAN, Apostle of the Crucified Lord, Grand Rapids 2004, 41-42; G.
PULCINELLI, Per conoscere l’Apostolo Paolo, Milano 2008, 10-11; G. LÜDEMANN. Paul Apostle
of the Gentiles, London 1984, 2-5; J. MURPHY-O’CONNOR, Paul. A Critical Life, Oxford 1997, 1-
23; D.J. MOO, “Paul”, in T.D. ALEXANDER – al., ed., New Dictionary of Biblical Theology,
Leicester 2000, 136.

84
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

- Setiba di Yerusalem, Paulus ditangkap (bdk. Kis 21–22) dan dibawa ke


Kaisarea Filipi ke hadapan wali negeri Feliks (bdk. Kis 23:24), tinggal
dua tahun di sana, sampai Feliks diganti Perkius Festus (bdk. Kis
24:27). Ada dua data tahun peralihan kekuasaan itu: tahun 55 (yang
disambung dengan perjalanan Paulus ke Roma tahun 55 atau 56) atau
antara 58 dan 60 yang diikuti perjalanan Paulus ke Roma dan
penahanannya dua tahun di sana dan kematian martirnya di sana.
- Gal 1–2 menambahkan bahwa Paulus pergi ke Arabia setelah
pertobatannya. Tiga tahun kemudian pergi ke Yerusalem untuk
bertemu dengan Petrus, lalu pergi ke daerah Siria dan Kilikia
(mencakup Antiokhia dan Tarsus). Empat belas tahun kemudian
kembali ke Yerusalem untuk membela Injilnya di hadapan para rasul
(“Konsili Yerusalem”), lalu kembali ke Antiokhia tempat ia berselisih
paham dengan Petrus (“insiden Antiokhia”; bdk. Gal 2,11-14).
Dari aneka data historis internal dan eksternal ini, dapat
direkonstruksi beberapa hal mengenai sejarah hidup Paulus dengan
tambahan data-data lain. Ia lahir di Tarsus (Turki tenggara modern) di
provinsi Kilikia, antara AD 5-10 (8?).dengan nama Ibrani Saulus (bdk.
Kis 9:11; 21:39; Gal 1:21). Ia orang Yahudi yang sangat taat pada hukum
Taurat (bdk. Flp 3:5-6) meskipun tinggal di diaspora. Ia juga punya
kewarganegaraan Romawi dengan nama Latin Paulus, artinya “yang
kecil” (bdk. Kis 16:37-39; 22:25-29). Nama Saulus sendiri kemungkinan
besar diambil dari nama Saul, raja pertama Israel yang berasal dari suku
Benyamin, suku asal Paulus.(bdk. Flp 3:5). Dalam surat-suratnya Paulus
hanya memakai nama Latinnya. Mungkin ini disebabkan kemiripan jika
ditulis dalam bahasa Yunani (Paulos).3
Tarsus ialah kota yang sangat penting di provinsi Kilikia, sebab
terletak di persilangan antara daerah Timur dan Barat, dengan tanah
lembah yang subur yang luas membentang ke daerah pegunungan
Taurus dan dihubungkan ke laut oleh Sungai Cicinus. Tarsus dikuasai
oleh Pompei dan dijadikan ibukota provinsi Kilikia tahun 67 s.M.
Markus Aurelius memberinya status kota merdeka dan mengakui
kewarganegaraan Romawi untuk para penduduknya. Di sinilah Markus
Aurelius berjumpa dengan Cleopatra. Kota ini mencapai puncak
kejayaannya pada zaman kaisar Agustus, waktu filsuf Stoicisme yang
terkenal, Atenodorus lahir. Filsuf ini akhirnya memperjuangkan
kebebasan pajak bagi kota ini.
Selain penting dari sudut politik-ekonomis-sosial, Tarsus juga
pusat seni-budaya, kota para filsuf, ahli pidato dan penyair, sedemikian
sehingga filsuf Stoic Strabone (abad I s.M. – I M) menempatkannya di

3
Bdk. H.D. BETZ, “Paul”, ABD V, New York 1992, 187; G. LÜDEMANN. Paul, 1-3.

85
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

atas kota Atena dan Aleksandria (bdk. Geografia XIV, 5:5-15). Di


sinagoga besar, setiap Sabat dibacakan Septuaginta.
Lahir sebagai orang Yahudi, Saulus tampaknya dibesarkan dalam
keluarga yang sangat religius dari kelompok Farisi, yang selalu
mengikat hubungan dengan Israel. Kemungkinan keluarga ini dulu
diangkut ke Tarsus waktu perang, bekerja sebagai budak sampai
akhirnya merdeka dan memperoleh hak warga negara Romawi. Di
rumah mereka bicara bahasa Yunani dan Ibrani dengan campuran
sedikit bahasa Aram. Saulus disunat menurut hukum Musa, belajar
Taurat sejak kecil dan barangkali juga belajar dari ayahnya profesi
membuat tenda atau penyamak kulit (bdk. Kis 18:3). Tarsus terkenal
juga dengan kain tenun linennya.4
Saulus belajar di sekolah sinagoga seperti lazimnya untuk anak-
anak Yahudi untuk belajar bahasa, hukum-hukum dalam Kitab Suci dan
belajar akrab dengan Septuaginta. Tidak lupa ia juga belajar prinsip-
prinsip retorika, meskipun tidak terlalu mendalami literatur klasik
Yunani.
Saulus yang sudah beranjak remaja (12-13 tahun) pergi ke
Yerusalem untuk “dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel
dalam hukum nenek moyang” (Kis 22:3). Gamaliel adalah rabbi
termahsyur pada zaman itu (AD 25–50), sangat berpengaruh dan
dihormati semua orang di Yerusalem (bdk. Kis 5:34-39). Di bawah
bimbingan Gamaliel, Saulus mendapatkan pengetahuan mendalam
tentang Taurat dan bergabung dalam kelompok Farisi militan . Karena
itu ia cukup mahir menggunakan tehnik tafsiran rabbinis-farisi dalam
debat dan suratnya (bdk. Rom 1–2). Sambil belajar Saulus tetap mencari
nafkah dengan bekerja dengan tangannya sendiri.
Setelah menamatkan pendidikannya, Saulus kembali ke Tarsus
sehingga ia tidak bertemu langsung dengan Yesus. Setelah kematian
dan kebangkitan Yesus, beberapa saat kemudian Saulus kembali ke
Yerusalem dan cerita selanjutnya tentang kegiatannya dapat diikuti
mulai dari Kis 8 (dengan kematian Stefanus).5

Saulus: penganiaya orang kristen dan “cahaya Damsyik”


Menurut Kis, Saulus (Paulus) mula-mula pasif dalam
penganiayaan orang kristen. Ia menjadi saksi yang menyetujui
perajaman Stefanus (bdk. Kis 9:2; 22:5; 26:11). Namun, peranan pasif ini
segera berubah menjadi penganiaya aktif. Ia menangkap dan

4
Bdk. W.W. GASQUE, “Tarsus”, ABD VI, New York 1992, 333-334; J. MURPHY-
O’CONNOR, Paul, 33-35.
5
Bdk. J. S. BOSCH, Scritti paolini, Brescia 2001, 19-20.

86
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

memenjarakan orang-orang kristen di Yerusalem (bdk. Kis 8:3; 26:10),


mengusir dan mengucilkan mereka dari sinagoga-sinagoga (bdk. Kis
20:19; 26:11), bahkan menganiaya sampai mati (bdk. Kis 22:4; 26:10).
Motivasi dasar Saulus untuk menganiaya orang-orang kristen
ialah karena orang-orang Kristen mewartakan Yesus sebagai Mesias
(bdk. 1 Kor 15:5). Sebagai seorang Farisi yang sangat militan, pewartaan
orang Kristen dilihat sebagai suatu bidaah dalam Yudaisme,
bertentangan dengan Hukum Taurat, Hukum Musa yang diwarisi dari
nenek moyang mereka (bdk. Gal 1:13-14; Flp 3:5-6). Gerakan kekristenan
dinilai menghujat Allah, menghujat kebenaran Hukum Musa sehingga
Stefanus pun mati dirajam (bdk. Kis 6:8–7:56). Semangat Saulus yang
berkobar-kobar membela Taurat Musa mirip dengan keluarga Makabe
yang melawan Raja Antiokhus IV Epifanes (bdk. 1–2 Mak).6
Pertemuan Saulus dengan Yesus (yang sering disebut
“pertobatan” dalam bahasa rohani) menjadi titik balik kehidupan Saulus
yang menentukan arah hidupnya, bahkan arah hidup kekristenan.
Peristiwa istimewa itu sampai tiga kali diceritakan oleh Lukas (Kis 9; 22;
26) untuk menunjukkan pentingnya kejadian itu di mana Lukas.
Walaupun ada perbedaan detail di sana-sini, ketiga-tiganya
menceritakan suatu cahaya yang menyinari Saulus dalam perjalanannya
ke Damsyik, suara yang berbicara mengidentikkan diri-Nya sebagai
Yesus yang sedang dianiaya Saulus.
Peristiwa ini dalam refleksi Paulus memberikan kepadanya
pengetahuan yang benar, yang datang dari Roh Allah, yakni pribadi
Yesuslah pusat sejarah keselamatan Allah, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk seluruh dunia.7 Keyakinan akan pengetahuan baru yang
benar itu terbukti dari pembelaan Paulus yang mati-matian terhadap
warta salib Yesus. Ia mewartakan Yesus yang mati di salib (dan bangkit),
suatu hal yang justru sangat dihindarinya sewaktu ia masih belum
bertemu dengan Yesus. Salib adalah skandal bagi orang Yahudi (bdk. 1
Kor 1:23), bahkan kutuk (bdk. Gal 3:13; Ul 21:23).
Mengenai “pertobatan” Paulus 8 , sebenarnya ia sendiri tidak
pernah memakai istilah “pertobatan” (metanoien atau epistrefen) untuk
perjumpaannya dengan Yesus di jalan ke Damsyik. Yang terjadi ialah
perubahan radikal dalam pengertiannya mengenai kerendahan dan
kehinaan salib Yesus atau siapa Yesus yang sebenarnya (bdk. 1 Kor 9:1).

6
Bdk. G. PULCINELLI, Per conoscere l’Apostolo Paolo, 17-18.
7
Bdk. C. M. MARTINI, Kesaksian Santo Paulus, Yogyakarta 1989, 21-24; J.-N. ALETTI,
“Paulinienne (Théologie)”, DCT, 866-867.
8
Bdk. J. MURPHY-O’CONNOR, Paul. A Critical Life, 71-79; M.J. GORMAN, Apostle of the
Crucified Lord, 56-60; C.M. MARTINI, Kesaksian Santo Paulus, 18-24; G. PULCINELLI, Per
conoscere l’Apostolo Paolo, 19-22.

87
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

Yesus dipahami secara baru sebagai Anak Allah, sebagai Tuhan (bdk.
Flp 2:11), yang bangkit (bdk. Flp 3:11) dan dimuliakan bersama Bapa.
Perubahan radikal ini bukan hasil usahanya melainkan inisiatif
Allah (bdk. Gal 1:15; Flp 3:7-9). Perubahan ini merupakan suatu
panggilan baru untuk menjadi rasul dengan skala nilai-nilai baru.
Paulus menggunakan istilah “penyataan” (bdk. Gal 1:16). Saat Allah
menyatakan Yesus secara istimewa kepadanya, Paulus mendapat
legitimasi sebagai rasul Yesus dan wewenang mewartakan Injil yang
datang dari Allah sendiri (bdk. Gal 1:11-12; 1 Kor 9:1-2). Panggilan
Paulus ini mengambil pola panggilan nabi-nabi (bdk. Yer 1:2-7; 20:7-9;
Yes 6), namun juga berbeda. Jikalau para nabi yang dipanggil datang
dari pribadi yang baik/kudus, maka sebaliknya Paulus justru
menunjukkan bagaimana latar belakangnya yang sangat kontras dengan
status barunya, sebab ia justru anti kekristenan sebelumnya.
“Pertobatan” Paulus melampaui semua isi kandungan pertobatan
konvensional yang dikenal teologi rohani.
Dasar perubahan radikal Paulus ialah kesadaran akan pribadi
Yesus yang hidup (bdk. Flp 3:7-9; 4:8). Yesus Kristus ialah kepenuhan
sempurna semua pengharapan Israel (bdk. Rom 9–11). Dengan itu
Paulus memiliki perspektif baru yang memutarbalikkan semua nilai
yang semula diyakininya benar (bdk. Flp 3:7-9). Pribadi Yesus
menggenapi bahkan melebihi segala harapan Taurat dan Kitab Suci.9
Perubahan radikal ini didasari oleh kasih gratis Allah yang
membuat Paulus berhutang pada Kristus (bdk. Rom 1:14-15; 1 Kor
9:16.23; Flp 1:21; 3:12; Gal 2:20).

Paulus: Rasul Kristus tak Kenal Lelah


Paulus demikian terpesona dan ditangkap oleh cahaya Yesus,
sehingga seluruh pemikirannya berpusat pada Yesus Kristus. Ketika ia
bicara tentang Allah, maka Allah itu ialah Bapa dari Kristus. Saat ia
dengan penuh semangat membela pembenaran tentang iman, maka
iman akan Yesus Kristuslah yang dapat membuat manusia dibenarkan
dalam baptisan. Begitu pun Paulus tidak pernah membicarakan Roh
Kudus terlepas dari Roh yang ke luar dari Allah Bapa dan Yesus Kristus.
Apalagi ketika ia bicara tentang etika hidup manusia, Yesus Kristuslah
tolok ukur dan pedoman hidup. Salib dan kebangkitan-Nya menjadi
kekuatan hidup dan penentu arah hidup semua orang beriman. Tidak
ada satu pun anggota Gereja, pengikut Yesus, yang boleh terlepas dari

9
Bdk. K. HAACKER, “Paul’s Life”, in J.D.G. DUNN, ed., The Cambridge Companion to St.
Paul, Cambridge 2003, 23-24.

88
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Yesus, sebab Yesus adalah kepala Gereja. Gereja adalah tubuh Kristus.
Tidak heran, kalau Paulus sampai berkata, “Bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20). Di tempat lain
ia berseru, “Karena bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.”
(Flp 1:21). Ada seorang ekseget katolik menandaskan bahwa Paulus
“mengkristologikan” semua teologinya.10 Pusat dan tujuan hidup dan
ajarannya terletak pada pribadi Yesus Kristus, yang sengsara, wafat di
salib dan bangkit.11
Boleh dikatakan bahwa pokok ajaran kristologinya berpusat
pada hal ini, yakni pembenaran datang oleh iman kepada Yesus Kristus,
bukan dari melaksanakan perbuatan-perbuatan Taurat (bdk. Gal 2:16).
Iman yang hidup akan Yesus Kristus merupakan pintu masuk kepada
pembenaran, sekalipun pembenaran itu tetap karunia gratis dari Allah.
Orang-orang kristen yang memberi diri dibaptis dalam Yesus Kristus
dikaruniai Roh Kudus, sehingga mereka menjadi anak-anak Allah.
Mereka boleh memanggil Allah sebagai “Abba, ya Bapa!” Iman orang
kristen ini merupakan iman yang hidup, sebab Sang Rasul
menunjukkan bahwa iman itu harus bekerja oleh kasih (bdk. Gal 5:13).12
Karena wafat dan kebangkitan Yesus telah mengalahkan maut
dan dosa, maka tuntutan untuk menjalankan perbuatan-perbuatan (adat
istiadat) Taurat menjadi relatif, tidak berdaya penyelamatan seperti
dipercaya sebagian orang-orang kristen Yahudi. Pelaksanaan sunat,
ketaatan pada hukum makanan (halal-haram) maupun tradisi perayaan
liturgi Yudaisme bukanlah syarat keselamatan (pembenaran) bagi
orang-orang kristen yang percaya pada Yesus, apalagi bagi orang-orang
kristen non Yahudi. “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada
artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya.” (Gal 6:15)
Paulus memberi perspektif baru dalam iman akan Yesus. Orang-
orang Yahudi melihat hubungan pembenaran Allah dalam cara ini:
Allah  Hukum Taurat  perbuatan Taurat  pembenaran. Orang
Kristen Yahudi memodifikasikannya sbb.: Allah  Hukum
Taurat/Kristus  iman/perbuatan  pembenaran. Perspektif baru dari
Paulus: Allah  Kristus  iman  pembenaran  perbuatan kasih.
Dengan kedatangan Kristus hukum Taurat tidak memiliki lagi daya
penyelamatan. Fungsi Taurat sampai kedatangan Kristus ialah
mendidik orang yang sedang menunggu kedatangan Mesias (Kristus)
(bdk. Gal 3:23-24). Sekali Kristus tiba, maka berhentilah fungsi itu,
namun tetap berfungsi menunjukkan fungsi etis bagi hidup orang

10
Bdk. J.-N. ALETTI, “Paulinienne (Théologie)”, 866.
11
Bdk. P.T. TANTIONO, Speaking the Truth in Christ, Roma 2008, 101-110.
12
Bdk. P.T. TANTIONO, Speaking the Truth in Christ, 110-116.

89
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

kristen (bdk. Rom 7:12). Walaupun demikian tetap ajaran dan hidup
Yesus menjadi tolok ukur tertinggi dari hidup orang kristen (bdk. Flp
1:9-11; Rom 12:2).13
Sang Rasul menyadari bahwa Yesus telah mati dan bangkit
untuk keselamatan Gereja, maka seluruh misi dan tujuan Gereja ialah
meneruskan misi Yesus sendiri. Pewartaan Paulus pun berpusat semata-
mata pada Yesus dan tertuju pada Putra Allah ini. Motivasinya tidak
berdasar pada diri sendiri; tujuannya bukan pada kemuliaannya atau
keuntungan diri sendiri. Malah ia sering menderita: ditangkap, didera,
dipenjara, mengalami kapal karam, diusir dan ditolak, dihadapkan ke
dalam pengadilan (bdk. 2 Kor 11:21-29). Ia tetap bergembira, malah
menghayati penderitaannya sebagai pelengkap pada salib Yesus,
“Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan
menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus,
untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24). Kekuatan dari Yesus membuat
ia sampai kepada keyakinan penuh iman ini, “Segala perkara dapat
kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp 4:13) Iman
akan Yesus yang wafat dan bangkit menjadi motivasi dasar misi dan
pewartaannya yang tidak kenal lelah.
Dalam kisah pertobatan Paulus, kita sudah melihat bahwa
Paulus menyadari karya rahmat Allah dalam diri Kristus adalah melulu
gratis, hanya pemberian tanpa jasa manusia. Demikianlah Yesus
menjadi sumber kekayaan rohani dan hidup semua manusia yang
percaya kepada karya penyelamatan-Nya. Memang Paulus sudah
sampai kepada kedalaman hidup rohani seorang kristen. Ia tidak
mencari kemuliaan dan kemasyhuran namanya sendiri, sebab segala
kekuatan yang ada padanya, segala keberhasilan yang diperoleh dalam
karya kerasulannya tidak lain tidak bukan datang dan bersumber dari
kekuatan Injil, kekuatan Yesus Kristus. 14 Jadi tidak ada alasan untuk
menyombongkan apa pun, selain kelemahan diri sendiri, “Atas orang itu
aku hendak bermegah, tetapi atas diriku sendiri aku tidak akan bermegah, selain
atas kelemahan-kelemahanku.” (2 Kor 12:5)
Dasar kerendahan hati Paulus bertitik tolak dari madah Flp 2:6-
11 melukiskan bagaimana Paulus terpesona pada kerendahan hati Yesus
Kristus. Yesus yang sudah ada bersama Allah sejak semula, punya
kodrat ilahi mulia, ternyata sudi merendahkan diri, mengambil rupa
manusia. Ia lahir dari keluarga miskin sebab orang tuanya hanya
sanggup menebus diri-Nya dengan sepasang burung tekukur (bdk. Luk
2:22-24; Im 12:6-8) dengan proses yang bisa menjadi skandal bagi umum.

13
Bdk. G. PULCINELLI, Per conoscere l’Apostolo Paolo, 49-50.
14
Bdk. C.M. MARTINI, Kesaksian Santo Paulus, 57-60; C.K. BARRETT, Paul, 87-119.

90
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Selain itu Putra Allah tumbuh dalam kesederhanaan, dari kampung


kecil, Nazaret, yang tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang
saleh di daerah Yudea dan Yerusalem. “Mungkinkah sesuatu yang baik
datang dari Nazaret?” tanya Natanael tidak percaya ketika Filipus
memberitahukannya bahwa ia sudah menemukan Mesias (bdk. Yoh
1:46).
Tidaklah mengherankan Paulus, yang merenungkan sejarah
hidup Yesus mengatakan, “[Kristus Yesus], yang walaupun dalam rupa
Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan
mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia... taat
sampai mati di salib.” (Flp 2:6-8).
Kerendahan hati Putera Allah ini justru menghasilkan
kemuliaan-Nya, sehingga setiap ciptaan akhirnya bertekuk lutut di
dalam nama-Nya. Ia mulia melebihi semua nama, baik yang di langit, di
atas bumi maupun bawah bumi. Karena mengosongkan diri-Nya dalam
rupa hamba, Yesus menjadi teladan kerendahan hati. Ia yang serupa
dengan Allah, turun menjadi manusia, akhirnya akan dimuliakan
sebagai Putera Allah.15

Paulus dalam Tradisi


Tersebarnya surat-surat Paulus memperpanjang pengaruh ajaran
Paulus dalam sejarah Gereja. Pelan-pelan terkumpul suatu koleksi surat
Paulus yang dibacakan di banyak tempat (Gereja partikular) di dunia
kekristenan perdana. Patut dicatat bahwa pada abad-abad pertama
batas antara heresi dan ortodoksi masih belum begitu jelas. Kekristenan
tumbuh bersama dengan aliran-aliran lain seperti Montanisme,
Valentianisme, Marcionisme. Hanya setelah Kaisar Konstantinus
memeluk agama Kristen, baru muncul otoritas Gereja Roma yang bisa
lebih menentukan ortodoksi ajaran Kristus.16
Di abad II surat-surat Paulus tidak selalu mendapat sambutan
hangat dari kalangan kristen. Beberapa karya yang muncul malah
menyudutkan surat-surat ini. Sering sekali teks-teks Paulus tidak
dimengerti dengan baik, ditafsirkan keliru atau disepelekan. Surat
Yakobus yang ditulis pada akhir abad I sudah menunjukkan bagaimana
ada orang-orang yang menyempitkan arti iman dalam teks Paulus (Rom
3:28; Gal 2:16; Yak 2:14-20.24). Sekitar tahun AD 200 tulisan Kerygmata
Petrou menilai Paulus sebagai musuh, kaki tangan setan, seorang penipu

15
Bdk. M.J. GORMAN, Apostle of the Crucified Lord, 419-423; C.K. BARRETT, Paul. 105-
109.
16
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, in J.D.G. DUNN, ed., St Paul, 228.

91
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

yang mewartakan injil yang keliru. Disepelekannya tulisan-tulisan


Paulus tampak dari sikap beberapa bapa Gereja. Ignatius dari Antiokhia
yang menulis tujuh surat kepada umat di Roma hanya mengutip 6-7 kali
dari surat-surat Paulus dan itu pun hanya secara sepintas, artifisial.
Teologi Ignatius sama sekali tidak dipengaruhi Paulus. Polikarpus (AD
69-155) juga mengatakan bahwa baik ia maupun orang lain tidak dapat
mengikuti kebijaksaan dan alur pikiran Paulus (Letter of Polycarp 3:2).
Papias (AD 60-130) yang mengenal semua rasul penting sama sekali
tidak mengutip Paulus. Ini sangat mengejutkan. Sia-sia mencari nama
Paulus dalam tulisan Yustinus Martir (AD 100-165). Theofilus, uskup
Antiokhia abad II sepertinya membahas Rom 13, tetapi sama sekali
tidak menyinggung Paulus dalam tulisannya. Sepertinya para Bapa
Gereja ini sepakat untuk “menyingkirkan” Paulus dari panggung
kekristenan.17
Jika Paulus tidak mendapat tempat di hati para Bapa Gereja,
sebaliknya ia dikagumi dua tokoh yang nantinya dianggap bidaah oleh
Gereja, yakni Marcion18 dan Valentinus19.

Paulus dan Marcion20


Teologi Marcion bersumber dari koleksi surat-surat Paulus di
Asia Kecil. Dengan kerangka teologi surat-surat Paulus ini, ia
mengoreksi ajaran-ajaran Gereja yang dianggapnya “keliru”. Ia berpikir
bahwa teologi Paulus dan Gereja tidak dapat diperdamaikan.
Keyakinannya ini membuatnya bertentangan dengan Polikarpus yang
kemudian menuduhnya sebagai “anak sulung Setan”, sebab Marcion
menolak Perjanjian Lama dan membentuk suatu mitos tentang dua allah
(Ireneus, AH 3.3.4).

17
Bdk. J.S. BOSCH, Scritti paolini, 66-71.
18
Marcion berasal dari keluarga kaya, seorang ilmuwan Stoic yang sangat pandai dan
sangat dermawan terhadap Gereja Roma. Ia juga akrab dengan Yudaisme. Walaupun begitu ia
dijelek-jelekkan sebagai kurang bermoral dengan merayu dan memperdaya seorang gadis. Karena
itu ia diekskomunikasikan bapanya sendiri, seorang Uskup di Sinope. Latar belakang keluarga
dan pendidikannya menjelaskan bagaimana ia ahli dalam mengerti dan menafsirkan teks-teks
kitab suci, konsisten dan kritis terhadap tulisan ilmiah. Ia juga menolak penafsiran alegoris dan
tipologis terhadap teks biblis serta sangat trampil meredaksi kalimat-kalimat yang sulit.
19
Lahir di Mesir dan dididik di Alexandria (115–35), Valentinus menghabiskan hampir
semua masa dewasanya di Roma untuk mengajarkan injil Gnostiknya. Ia mengajar murid-
muridnya di sana, menulis aneka surat, mazmur-mazmur dan khotbah-khotbah (135–65). Karena
alasan-alasan yang tidak diketahui, ia meninggalkan Roma menuju Siprus dan para muridnya
belakangan menyebarkan ajarannya ke seluruh Italia dan daerah Timur. Daya khayal mereka yang
subur memaksa Ireneus mengeluh, “Setiap hari seorang dari mereka menelurkan sesuatu yang
baru” (AH 1.18.5). Gambaran kita tentang pribadi Valentinus ditarik dari karya-karya lawannya
dan dari kodeks-kodeks Gnostik yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, tahun 1945.
20
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, 229-233.

92
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Ajaran Marcion cukup cepat tersebar dan berpengaruh luas


dalam kehidupan Gereja waktu itu. Hal itu bisa dilihat dari beberapa
teks polemik anti-Marcionisme dalam surat-surat Pastoral dan Kisah
Para Rasul. Kenyataannya gerakan Marcionisme menuai hasil yang baik
di Gereja Barat dan Gereja Timur (sampai dengan abad V).
Bagi Marcion, Pauluslah “sang rasul”, “rasul yang sejati” (AM
3.13) dan karena itu injil Pauluslah yang sesuai dengan injil Kristus
sendiri. Kebenaran Paulus menjadi kebenaran satu-satunya. Ajaran para
rasul lain diletakkan di bawah ajaran Paulus. Karena itu ia
mempersalahkan “rasul-rasul palsu”, para redaktor Yudaistis dan
penggunaan tehnik alegoris dan tipologis yang merusak injil Paulus.
Marcion berusaha menyingkirkan aneka tambahan yang merusak untuk
menemukan lagi injil yang benar dengan merekonstruksi teks-teks awal
Paulus dan injil Lukas. Ia menolak Mat karena dukungannya atas
hukum Taurat (Mat 5:17). Mungkin ia tidak kenal Yoh. Ia lebih
memprioritaskan Luk karena keberpihakannya pada budaya Yunani
dan tekanan asketisnya. Walaupun begitu Luk masih harus dibersihkan
dari campuran Yudaisme di dalamnya. Melalui kepandaian “pisau
pengupasnya”, keahlian kritik teks dan filologis serta reformasi
ideologis, Marcion menghasilkan satu injil yang sederhana, teguh
konstruksinya dan mudah dimengerti dengan berrdasar pada Luk dan
surat-surat Paulus. Perjanjian Baru-nya merendahkan PL dan menjadi
dasar pembaruan yang sangat berkembang sampai menjadi ancaman
bagi ajaran kristen “katolik” seluruhnya (AM 5.18). Dengan
mempertanyakan integritas ajaran para rasul, Marcion meragukan dasar
historis ajaran kristen. Tidak ada ancaman lebih serius daripada hal ini
pada abad II.
Inti ajaran Marcion ialah kontras nyata antara Allah PB dan
Allah PL. Ia mengacu pada Paulus mengenai “allah dunia ini” (2 Kor 4:4)
yakni “Allah Pencipta PL” yang lebih rendah. Allah PL menerapkan
keadilan yang keras, Allah PB menawarkan belas kasih. Allah PL
menawarkan keselamatan hanya kepada bangsa Yahudi, Allah PB
memberikan keselamatan kepada semua orang. Allah PL memberikan
hukum Taurat, Allah PB memberikan injil secara gratis. Allah PL
menyuruh Musa membentangkan tangannya untuk membunuh, Allah
PB membuat Yesus merentangkan tangan-Nya untuk memberkati dan
menyelamatkan. Allah PL menyuruh Yosua bertindak keras, Allah PB
melarang kekerasan. Allah PL memberikan hukum yang menghendaki
“mata ganti mati, gigi ganti gigi”, Allah PB memerintahkan pengikut-
pengikut-Nya untuk “memberikan pipi yang lain” dan “jangan
membalas kejahatan dengan kejahatan”. Allah PL menawarkan

93
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

pembenaran melalui perbuatan-perbuatan Taurat, Allah PB menjanjikan


pembenaran oleh iman (bdk. Gal 2:16). Allah PL menyuruh orang-orang
untuk “berkembang biak dan memenuhi bumi”, Allah PB
memerintahkan selibat sebagai bentuk pembebasan dari dunia ini.21
Namun, pandangan Marcion tentang PL tidak sesederhana itu.
Kutipannya dalam Luk 10:26 mengenai persetujuan Yesus tentang
hukum utama untuk mengasihi Tuhan dan sesama menunjukkan bahwa
meskipun baginya PL lebih rendah daripada PB, tidak berarti
kehilangan seluruh artinya. Allah PL dan Allah PB sama-sama
membenci kejahatan dan menilai cinta kepada Tuhan dan sesama sangat
baik. Kedua perjanjian ini menuntut pembenaran meskipun
pembenaran Allah PL tanpa belas kasih dan menyisihkan orang non
Yahudi secara tidak adil. Kedua perjanjian juga berbicara tentang
seorang Mesias, meskipun isinya sungguh-sungguh berbeda. Allah PL
menjanjikan kebahagiaan bagi orang kaya, Allah PB mewartakan berkat
bagi orang miskin (AM 4.38). Kontras antara PL dan PB memang sangat
tajam, tetapi jarang sungguh-sungguh total. Ia tidak melihat adanya
kontradiksi antara penolakan terhadap PL dan penerimaannya atas
teks-teks PL tertentu untuk mengajar Gereja.
Ide Marcion akan paradoks Yesus yang menyatukan diri-Nya
dengan dunia berdosa sebagai manusia baru belakangan dikutuk
sebagai ajaran bidaah doketis. Menurutnya Yesus hanya kelihatan atau
tampak sebagai manusia; kenyataannya Ia adalah penyelamat ilahi dari
Allah PB yang penuh belas kasih, baik dan penyayang. Marcion
menemukan dalam Flp 2:6-8 dukungan untuk pandangan-pandangan
doketis ini. Menurunkan Kristus dari Allah PB ke dalam tingkat derajat
dunia ciptaan dari Allah PL tidaklah konsisten dan tidak masuk di akal.
Bagaimana Mesias dari Allah PB yang lebih tinggi harus menjadi salah
satu ciptaan dari Allah PL yang lebih rendah? Walaupun demikian
Marcion mengakui penderitaan Yesus sebagai manusia meskipun
identitas-Nya sebagai makhluk ciptaan di dunia ini hanyalah seolah-olah
saja.
Meskipun begitu dalam beberapa segi ajaran Marcion
menggaungkan persis kerygma (pewartaan) Gereja perdana. Dengan
didasari surat-surat Galatia dan Roma, soteriologinya jelas berfokus
pada Kristus yang mewartakan kabar gembira tentang kasih Allah bagi
para pendosa non Yahudi (bdk. Gal 2:15). Keselamatan Kristus ini
ditawarkan kepada semua orang yang percaya. Ajarannya bahwa Allah
mengutus Putra-Nya sendiri sebagai suatu kurban untuk
menyelamatkan semua orang yang dibelenggu Allah PL jelas sungguh-

21
Bdk. J.J. CLABEAUX, “Marcion”, ABD IV, New York 1992, 514-516.

94
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

sungguh berbeda dari ajaran kekristenan “Katolik”. Begitu pun


penolakannya atas PL dan sejarah Israel serta tekanannya pada Kristus
yang sungguh-sungguh baru membuatnya sulit menerima suatu sejarah
keselamatan yang mengakui Yesus Kristus sebagai kepenuhan
pengharapan Israel.
Sesungguhnya praktek Marcionisme juga berperan serta dalam
keberhasilan gerakan ini, misalnya keberanian mereka menahbiskan
perempuan untuk jabatan hirarki, pelayanan sakramen-sakramen
(baptis, Ekaristi), penyembuhan, dll. Mereka hidup sangat asketis,
selibat dan menghinakan unsur dunia ini. Keberlangsungan gerakan ini
tergantung pada aktivitas penginjilan. Penganiayaan yang mereka
terima dilihat sebagai pengesahan status mereka sebagai warga-warga
dunia yang lebih luhur dan meneguhkan derajat mereka sebagai orang-
orang hidup yang tertebus dalam dunia yang berdosa ini.
Sebelum kecaman-kecaman Polikarpus, Irenaeus, Epifanius dan
Tertulianus terhadap Marcionisme 22 , sebenarnya Surat-surat Pastoral
telah memberikan serangan lebih awal terhadap Marcionisme dan
Gnostisisme. Anjuran kepada Timotius untuk menghindari “para
pembicara kosong dan penentang-penentang” (1 Tim 6:20) mengandung
nada polemis anti Marcionisme. Kutukan terhadap orang-orang yang
menghindari jenis makanan tertentu dan merendahkan perkawinan
(bdk. 1 Tim 4:3) dan yang membela kebebasan lelaki dan perempuan
dalam praktek liturgis juga konsisten dengan praktek kaum Marcionis.
Pelarangan terhadap perempuan untuk memimpin kaum lelaki
atau mengajar melukiskan usaha-usaha membatasi peran perempuan
yang bertentangan dengan praktek kaum Marcionis (bdk. 1 Tim 2:11-15).
Apapun yang dikatakan orang tentang Marcion, jelaslah ia seorang
Paulinis yang radikal, yang serentak memahami dan salah mengerti
Paulus. Dengan tepat ia melihat tekanan Paulus tentang rahmat dan
pembaruan serta menempatkan “kehendak kasih Yesus” sampai tahap
paling tinggi. Ia memahami kodrat radikal dari tendensi kesamaan dari
Paulus. Ia melihat hubungan intim yang dibuat Paulus mengenai
keselamatan dan kemerdekaan. Jelas ia melihat makna kabar gembira
Paulus bagi kaum miskin dan tersisihkan. Ia mengerti pentingnya isu-
isu yang diwartakan Paulus tentang masa depan Gereja. Dengan tepat ia
mengangkat surat-surat Paulus ke dalam status kitab suci. Namun, di
lain pihak, Marcion juga salah mengerti, terlalu menyederhanakan dan
bahkan menyelewengkan pesan Paulus. Karena itu kritik-kritiknya juga
terbuka untuk dikritisi.

22
Bdk. J.J. CLABEAUX, “Marcion”, ABD IV, 515.

95
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

Ireneus vs Marcion23
Marcion dikritik Ireneus 24 karena menurutnya Marcion tidak
menyusun kanon kitab suci dengan surat-surat Paulus dan Luk, tetapi
justru memangkasnya. Kanon yang dipangkas ini keliru bukan terutama
karena dikurangi, melainkan karena bertentangan dengan ajaran para
rasul (AH 3.14.1, 7, 8, 9). Dengan berpusat pada Allah, Kristus dan
sejarah keselamatan, Ireneus mencela tafsiran Marcion sekaligus
menyelamatkan Paulus dari manipulasi ajaran bidaah dan menjaganya
dengan mengafirmasi “ortodoksi”nya. Berrdasar pada beberapa teks
Paulus, Ireneus melawan Marcion. Melawan ajaran dua allah, Ireneus
menunjuk 1 Kor 8:6 yang mengacu kepada “satu Allah, Bapa, dari-Nya
asal segala sesuatu”. Ia menambahkan bahwa Allah Yesus dan Allah PL
adalah satu dan sama. Membagi Allah menjadi dua (ala Marcion)
berujung pada penyembahan dewa-dewa (AH 3.25.3). Untuk melawan
ajaran kristologi doketis yang menyangkal kemanusiaan Yesus, Ireneus
berpaling lagi pada 1 Kor 8:6 dengan mengartikan “satu Tuhan Yesus
Kristus” sebagai kesatuan manusia Yesus dan keilahian Kristus.
Ketidaksukaan Marcion pada sejarah keselamatan dijawab dengan
mengartikan kata telos (akhir) dalam Rom 10:4 sebagai “Kristus adalah
kepenuhan hukum Taurat”, bukan seperti Marcion yang melihatnya
sebagai “Kristus adalah akhir hukum Taurat” (AH 4.12.3). Sekalipun
setuju dengan Marcion bahwa pembenaran Allah diwujudkan “terlepas
dari hukum Taurat”, Ireneus menambahkan bahwa “hukum Taurat dan
kitab para nabi menyaksikan” pembenaran (Rom 3:21). Karena tidak
setuju dengan teologi Abraham, Marcion mengeluarkan Rom 3:31–4:24
dan Gal 3:6-9,14a,15-25. Namun Ireneus menggunakan Paulus untuk
menempa kelanjutan antara Abraham dan Kristus. Ia berargumen
bahwa Abraham melambangkan gereja sebagai “anak-anak Abraham”
(Rom 4:12-13; AH 4.5.3; 4.5.4). Karena itu Ireneus melawan Marcion
dengan mengatakan bahwa dalam Kristus “cara Allah untuk
berhubungan dengan manusia tidak berubah secara substansial
meskipun bisa saja berbeda dalam cara pendekatannya” (AH 4.21.1).

23
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, 233-235.
24
Ireneus lahir tahun 140 di Smirna, Asia Kecil (Turki modern sekarang) sewaktu uskup
Polikarpus sibuk menentang ajaran Marcion dan Valentinus. Ia mungkin belajar tradisi injili dari
Uskup Polikarpus atau di Roma (Eusebius, EH 5.5.8). Setelah ditahbiskan sebagai imam, ia
bekerja di Lyon, lalu diutus untuk misi diplomatis membawa banyak surat kepada Paus
Eleutherus untuk memohonkan toleransi bagi para penganut Montanisme. Setelah uskup Lyon
mati martir dianiaya, Ireneus diangkat sebagai uskup pada tahun 178. Karya-karyanya yang
melawan ajaran bidaah Gnostik, Marcionisme dan Montanisme menjadi sumber informasi terbaik
mengenai Marcion dan para pengikutnya.

96
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Meskipun membela hubungan erat antara Allah PL dan Allah


Kristus, Ireneus mengakui dalam injil Paulus ada juga pemisahan
radikal. Mengacu pada Rom 5:12-21 ia berargumen bahwa ikatan dosa
dan maut pada manusia yang dimulai oleh Adam dan melanda semua
manusia sekarang dijungkirbalikkan. Sebagai Tuhan atas orang hidup
dan mati (bdk. Rom 14:9), Kristus menghubungkan masa lalu, masa kini
dan masa mendatang. Ia melihat masa depan bukan sekedar evolusi
sederhana dari masa lalu, melainkan sebagai suatu intervensi ilahi
radikal dalam sejarah manusia yang menghasilkan adopsi kaum
beriman dalam Kristus dan penyatuan dalam tubuh Kristus melalui
kebangkitan.
Ireneus menekankan kesatuan Allah, Kristus dan sejarah
keselamatan yang sejajar dengan keyakinan Paulus. Semua manusia
mengambil bagian dalam ikatan dosa dan maut Adam. Ia memang
mengkontraskan Kristus dengan Adam, namun pengaitan antara
inkarnasi kepada fakta eksistensial dosa dan maut secara bersama
berbeda dari Paulus. Pengertian Ireneus tentang iman sebagai
persetujuan dengan ajaran Gereja dan penerima kuasa-kuasa aneka
sakramen juga sangat asing bagi Paulus. Ireneus tidak terlalu tertarik
untuk mengajarkan seluruh teologi Paulus secara ketat. Ia lebih prihatin
untuk menyelamatkannya dari para penafsir populer yang berlawanan
dengan keyakinannya dan ia menggunakan Paulus untuk mengesahkan
suatu ajaran Gereja yang dipandangnya benar.

Tertulianus vs Marcion25
Selain Ireneus, Tertulianus 26 juga melawan Marcion dengan
menawarkan tafsiran kitab suci yang mendetail dan menantang. Ia
menekankan bahwa Paulus tergantung kepada PL untuk memastikan
konsep sejarah keselamatan. Ia mengerti kedatangan Mesias, pewartaan
Injil dan pencurahan Roh Kudus sebagai pemenuhan nubuatan PL.
Referensi Yesaya kepada penyelamat yang datang dari taruk Isai yang

25
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, 235-237.
26
Tertulianus, keturunan seorang perwira Romawi, lahir tahun AD 160 di Kartago, Afrika
Utara. Sebagai warga negara Romawi ia menerima banyak keistimewaan, seperti studi klasik
dalam hukum dan rhetorika. Setelah tamat ia menjadi ahli hukum di Roma. Sesudah
pertobatannya menjadi kristen tahun 195 ia kembali ke Kartago untuk menjadi katekis, lalu
ditahbiskan menjadi imam dan menulis sangat banyak. Tulisannya melawan Marcion (207)
merupakan karya terlengkap dan terpenting. Sebagai teolog pertama yang menulis dalam bahasa
Latin, Tertulianus menggambarkan pribadi Paulus yang penuh nuansa dan kompleks, berdasar
pada surat-surat Paulus sendiri, ditambah keakrabannya dengan dunia Yunani-Romawi. Meskipun
menyukai bahasa Latin, penguasannya yang mendalam akan dunia Yunani, keahliannya dalam
rhetorika dan filsafat Yunani menjadi senjata yang lengkap melawan ajaran-ajaran kaum
Marcionis dan Valentinus.

97
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

dicurahi Roh Kudus dilihat Paulus sebagai acuan kepada Kristus (11:1-3;
AM 5.6). Metafor-metafor seperti “roti tak beragi” dan “paska” dibaca
sebagai referensi-referensi bagi Gereja dan Kristus (1 Kor 5:7).
Tertulianus menulis bagaaimana Paulus “mengenakan kepada kita dan
Kristus simbol-simbol dari aneka ritus agung Sang Pencipta” (AM 5.7).
Daripada menolak hukum PL, Tertulianus justru menekankan
bagaimana Paulus menegaskan ulang nilai pentingnya (bdk. 1 Kor 9:9;
AM 5.9). Mengutip pertanyaan retoris Paulus dalam Rom 7:7, “Apakah
hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak!”, Tertulianus menegur, “Oh,
Marcion... (lihatlah bagaimana) Rasul berbalik dari segala penolakan atas
hukum.” (AM 5.13).
Secara ironis acuan Tertulianus atas PL bukanlah suatu
pembelaan atas Yudaisme. Allah, menurutnya, melepaskan Paulus dari
Yudaisme “untuk membangun kekristenan” (AM 5.6). Ia menyamakan
Paulus sebagai “tuan rumah bijaksana” (1 Kor 3:10) yang diambil Allah
semesta alam dari Yerusalem sesuai nubuat Yesaya (3:3; AM 5.6.10-11).
Mengacu kepada teks yang disukai Marcion di mana Paulus melihat
masa lalu Ibraninya sebagai “kerugian” (bdk. Flp 3:5-11), Tertulianus
mengartikan bahwa Paulus tidak menolak latar belakang Yahudinya,
namun melawan “penolakan bodoh” dari kaum Yahudi (AM 5.20). Jadi
secara unik Tertulianus melukiskan Paulus sebagai orang yang berakar
pada agama PL tetapi menyangkal ke-Yahudi-annya. Tertulianus
khusus mengevaluasi teologi dan kristologi Marcion. Memang beberapa
teks Paulus tampaknya mendukung perbedaan atara Allah PL dengan
Allah Kristus dan Tertulianus meninjau ulang hal itu. Contohnya: 2 Kor
4:4 mengacu kepada “allah dari dunia ini [yang] membutakan akal budi
orang-orang kafir, menghindarkan mereka melihat cahaya injil
kemuliaan Kristus, yang serupa dengan Allah”. Sebagai tanggapannya
Tertulianus menekankan suatu monoteisme tradisional dengan
menggeser frase “dari dunia ini” ke akhir kalimat untuk menerangkan
“orang-orang kafir”. Penggeseran kasar dan mengejutkan ini membuat
Paulus berkata, “Allah telah membutakan akal budi kaum kafir dari dunia
ini.” Tertulianus lebih lanjut mengartikan “kaum kafir” itu sebagai
“kaum kafir Yahudi, yang untuk beberapa dari mereka, injil ini masih
tersembunyi di bawah cadar Musa.” (AM 5.11).
Sementara Konsili Nicea mendiskusikan masa depan Gereja,
Marcion memaksa Tertulianus untuk membahas hubungan Yesus ilahi
dan kodrat manusiawi-Nya. Pandangan Paulus bahwa “daging dan
darah tidak dapat mewarisi Kerajaan Allah” (1 Kor 15:50) tampaknya
konsisten dengan pandangan Marcion tentang penciptaan sebagai
penyelewengan dan penolakannya akan kebangkitan badan. Jika

98
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

perendahan kodrat manusiawi ini didukung, kemanusiaan penuh Yesus


dibahayakan. Karena itu Tertuilianus mengutip 1 Kor 15:42-44 untuk
mendukung kebangkitan badan secara materi dan substansi (AM 5.10).
Sementara Marcion mengambil 1 Kor 15:50 secara harafiah, Tertulianus
membaca “daging dan darah tidak dapat mewarisi kerajaan Allah”
dalam arti “perbuatan-perbuatan daging dan darah” menyangkal
kemanusiaan kerajaan Allah (AM 5.10). Melawan pendapat Marcion
bahwa Yesus Kristus tidak berarti lebih daripada sekedar “manusia
fana” (Flp 2:6-7), Tertulianus berargumen bahwa Paulus “tidak dapat
mewartakan Yesus menjadi taat sampai mati (Flp 2:8) seandainya Ia
tidak terwujud dalam substansi fana” (AM 5.20).
Hubungan Yesus dan Kristus sangat krusial bagi argumen
Tertulianus. Dalam rumusan ini terdapat pengakuan implisit akan
kemanusiaan Yesus dan makna ilahi, eskatologis Kristus. Artikulasi ini
akan memainkan peranan kunci dalam debat kristologis lebih lanjut.
Melalui debat ini Tertulianus bekerja dengan suatu gambaran
Paulus yang sangat ideal. Ia membayangkan Paulus sebagai seorang
ikon kudus, sebagai guru para bangsa (AM 5,7.10), sebagai “rasul yang
paling kudus” (On Baptism 17.2) dan sebagai orang kudus yang
pandangannya diarahkan melewati dunia ini. Ia dikobarkan oleh
keinginan untuk berangkat meninggalkan dunia agar dapat bersatu
dengan Kristus (bdk. Flp 1:23). Hampir sebagai suatu konsesi bagi
Marcion, Tertulianus mengakui status kanonis dari surat-surat Paulus.
Pribadi ilahi-Nya mengubah khotbah-Nya menjadi sabda ilahi yang
menuntut ketaatan. Pribadi ilahi ini bergabung dengan Allah-Nya
sebagai martir dalam warna-warni cemerlang dari Wahyu.
Tertulianus setuju dengan pendapat tua bahwa ajaran Paulus
sesuai dan setia dengan ajaran-ajaran para rasul lain (AM 4,3.1). Bahkan
debat antara Paulus dan Petrus di Antiokhia (bdk. Gal 2:11-21)
dilukiskan dengan warna hangat. Menurutnya Paulus tidak mengritik
Petrus karena Petrus bersalah melainkan hanya karena suatu kesalahan
penilaian. Petrus mundur dari orang-orang non Yahudi “atas dasar
menghormati pribadi-pribadi mereka” (Prescriptions against Heretics 23).
Tertulianus mencatat dengan gembira bahwa Petrus dan Paulus adalah
sederajat dalam status kemartiran mereka (Prescriptions 24) dan karena
itu sejajar juga dalam kemurnian ajaran. Karena itu ia menyimpulkan
bahwa penggabungan Marcion akan ajaran Paulus dengan ajaran para
rasul lain bersifat “bidaah” (AM 4.2.2-4). Penghalusan atas ajaran
apostolis yang bersegi banyak menampakkan bagaimana usaha
Tertulianus untuk “menjinakkan” Paulus.

99
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

Walau berdasar pada karya-karya Ireneus, argumen Tertulianus


lebih bernas dan kompleks. Ia mampu melebihi siapa pun untuk
membela Paulus dalam perdebatan melawan Marcion dan Valentinus
dan mengamankan status kanonis dari Paulus.

Valentinus27
Selain Marcion, pengajar Gnostik paling berpengaruh pada abad
II ialah Valentinus. Salah satu karyanya yang ditemukan di Nag
Hammadi, Mesir tahun 1945 menguraikan krisis di alam dewa-dewi,
pada proses penciptaan kegelapan, penciptaan dunia yang lebih rendah
dan pemisahan hal ciptaan menuju dua sisi yang saling berlawanan.
Krisis ini meledak saat percampuran Sophia dan Bapa asali menciptakan
unsur gelap dan jahat, Sophia yang lebih rendah, menelurkan Demiurge,
pencipta dunia yang lebih rendah dan jahat, dan menciptakan manusia
bodoh yang tidak mengerti asal usul ilahinya. Keselamatan dari
ketidaktahuan ini hanya mungkin untuk mereka yang masih
mempertahankan beberapa sisa kepenuhan ilahi yang tanpa sadar
dibawa dari Pleroma oleh Sophia yang lebih rendah dan secara kebetulan
tertemukan dalam beberapa manusia. Mereka yang tidak memiliki
bekas sisa ilahi tidak punya harapan dan terperangkap tanpa sadar
dalam ketidaktahuan. Penyelamatan untuk yang sisanya datang dari
Kristus, penyelamat, yang turun dari Pleroma, bergabung dengan Yesus
manusiawi dan bertujuan untuk menyadarkan elite spiritual
(pneumatikoi) dan para pemalas jasmaniah (psychikoi) untuk mengerti
tujuan dan asal hidupnya. Penyadaran akan pengetahuan (gnosis)
sinonim dengan keselamatan itu sendiri.
Untuk kaum Gnostik ini Paulus merupakan sumber inspirasi
dan rahasia, misteri-misteri kosmis. Dilepaskan dari konteksnya, banyak
teks Paulus dapat dipakai untuk melegitimasi apa yang disebut Ireneus
“penghojatan besar” (AH 2.3.2). Tangisan pahit Paulus, “tiada yang
baik ... tinggal dalam diriku” (Rom 7:18), seruannya untuk dilepaskan
dari “tubuh kebinasaan ini” (Rom 7:24), keyakinan tetapnya bahwa
“daging dan darah tidak dapat mewarisi kerajaan Allah” (1 Kor 15:50)
dan pernyataan pastinya bahwa “kami bukan berada dalam daging,
kamu berada dalam Roh” (Rom 8:9) tampaknya mendukung prinsip-
prinsip Gnostik. Acuan Ef 3:21 kepada “penguasa-penguasa surga”
memperkuat doktrin Gnostik tentang penguasa surgawi. Perbedaan
lainnya dalam 1 Kor 2:6–3:3 antara ciptaan rohani (pneumatikoi), jiwa
(pseuchiko) dan jasmani (sarkikoi) melegitimasikan antropologi tiga sisi

27
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, 237-239.

100
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Gnostik. Puisi tentang turun dan naiknya penyelamat ilahi dalam Flp
2:5-11 menawarkan konfirmasi brilian dari mitos Valentinian tentang
turun-naiknya penebus. Pernyataan 1 Kor 6:12 bahwa “segala sesuatu
halal” memperkuat suatu etik kebebasan yang membebaskan kaum
Gnostik dari ketakutan tentang makan makanan persembahan untuk
dewa/i, melepaskan mereka dari belenggu aturan-aturan dan
perundang-undangan gerejawi dan menebus mereka dari air “stagnan”
ajaran gereja.
Ireneus dengan menggebu-gebu menjawab bahwa mereka
benar-benar salah mengerti Paulus dan pengertian-pengertian mereka
sungguh-sungguh “kegilaan” (AH 4.41.3-4). Ia mengutuk “pendapat-
pendapat gila” dan ajaran-ajaran sesat mereka (AH 41.3-4). Ia marah atas
penggunaan teks-teks Paulus untuk meneguhkan ajaran Pleroma (AH
1.3-4) dan ia jengkel atas eksploitasi mereka terhadap Paulus untuk
mendukung penolakan mereka atas dunia (AH 1.3.5). Ia geram atas
penggunaan teks-teks Paulus untuk mengesahkan doktrin mereka atas
Sophia (AH 1.8.2-3) dan antropologi tiga bentuk (AH 1.8.3). Akhirnya, ia
menantang penggunaan mereka atas teks-teks Paulus untuk cara hidup
bebas mereka yang tidak mempedulikan hukum dan ajaran gereja.
Untuk melawan mereka, ia mengaitkan Paulus dengan Petrus untuk
menegaskan kebenaran ajaran gereja Latin, dan ia mendefiniskan ulang
iman dalan surat-surat Paulus untuk membuatnya sebagai penunjang
istimewa atas doktrin-doktrin gereja Roma. Jadi ia mengubah Paulus,
rasul para bangsa, menjadi Paulus gerejawi yang membela Gereja dari
kesalahan pengajaran. Namun, atau mungkin karena serangan tajam ini,
Gnostisisme Valentinus malah berkembang. Ireneus mengeluhkan
godaan dari banyak uskup dan diakon (AH 4.26.3). Ia mengeluh bahwa
tulisan-tulisan Valentinus merupakan batu sandungan (Frag. 51). Ia
melawan penginjilan mereka yang menipu, kelakuan mereka seperti
serigala berbulu domba (AH 4.41.3-4). Tertulianus juga mengeluhkan
penyelewengen para uskup, diakon, janda dan martir. Ia bertanya
secara retoris, “Bagaimana ini terjadi ... bahwa perempuan ini atau lelaki
itu, yang merupakan orang-orang paling setia, paling hati-hati, dan
paling disukai di gereja, telah berpaling ke pihak lain?” (Prescriptions 3).
Pada situasi ini tidak ada cara untuk mengetahui bagaimana
pertarungan itu berakhir atau bagaimana mengantisipasi kemenangan
mereka atas kaum Gnostik. Mereka tidak punya sedikit pun pikiran
bahwa tafsiran mereka atas Paulus akhirnya akan menjadi normatif dan
pertarungan itu pahit dan berlangsung panjang.28

28
Bdk. W. SCHNEEMELCHER, “Paulus in der griescheschen Kirche des zweiten
Jahrhunderts”, ZKG 75 (1964), 11.

101
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

Acts of Paulus dan Thecla29


Satu bab penting di abad II adalah teks-teks Acts of Paulus dan
Thecla. Dengan penghormatan terhadap rasul itu, seorang presbiter
mengumpulkan, menyusun dan menafsirkan aneka legenda tentang
Paulus di akhir abad II. Pengarang, kelahiran Asia Kecil, begitu berhasil
memuliakan Paulus sebagai seorang selibater yang bersemangat,
pembuat mukjizat terpilih dan martir pahlawan sehingga karyanya
akhirnya mendapatkan status kanonik di gereja-gereja Siria dan
Armenia. Ia melukiskan Paulus sebagai teolog sempurna daripada
seorang pembela iman yang sederhana yang dapat diringkas dalam
beberapa formula pendek dan disampaikan dalam cerita-cerita yang
sangat menyenangkan. Kisah-kisah legenda ini tidak memuat
pertentangan-pertentangan keras ala Ireneus dan Tertulianus dan
kepahitan-kepahitan model Marcion dan Valentinus. Isu-isu yang
dihadapi gereja mereka mewakili dan berbeda dengan gereja-gereja di
atas – isu tentang sex, tirani budaya dan tantangan-tantangan fisik berat.
Dan, pelayan-pelayan dari tradisi-tradisi ini menemukan dalam diri
Paulus lebih dari sebagai model untuk kematian yang baik, lebih dari
seorang saksi yang berani dan setia, lebih dari seorang pahlawan tak
kenal takut dan yakin diri. Mereka menemukan dalam dirinya inspirasi
untuk waktu-waktu penindasan, dan di dalamnya suatu sarana untuk
bertahan terhadap kekuatan piramid yang menekan.
Kita lihat bagaimana bedanya gerakan kekristenan di abad II,
bagaimana hidup bahkan kasarnya polemik-polemik antara gereja yang
saling berlawanan, dan akhirnya bagaimana Paulus berperan dalam
pertentangan-pertentangan ini. Dalam perselisihan tentang tafsiran
yang tepat mengenai surat-surat Paulus, patut dicatat bahwa kenangan
akan sang rasul bertahan terus sampai ke abad-abad berikutnya.
Mengingat posisi istimewa Paulus dengan kaitan kaum Gnostik, sangat
mengagumkan bahwa ia tidak diperlakukan sama dengan tulisan-
tulisan yang dianggap “bidaah” lainnya. Status kehormatan Paulus
yang sudah demikian mengakar pada akhir abad II meluputkannya dari
hilangnya surat-surat Paulus dari daftar kanon gereja Roma.

29
Bdk. C.J. ROETZEL, “Paul in the second century”, 239; E. HENNECKE. New Testament
Apocrypha. Vol 2, Philadelphia 1964, 322-387.

102
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Paulus dalam tradisi selanjutnya sampai masa kini


Surat-surat Paulus tidak hanya menimbulkan perdebatan
teologis di abad II. Setelah kekristenan menjadi agama resmi kekaisaran
Roma, pengaruh surat-surat ini tidak merosot, bahkan boleh dikatakan
cukup menentukan arah misi kekristenan sampai dengan saat sekarang.
Salah satu momen yang sangat berperan dalam penyebaran misi
kekristenan ke luar dari kungkungan Yudaisme ialah pengertian Paulus
akan apa itu kebenaran Injil. Menurut Paulus, kebenaran Injil ialah
pembenaran manusia oleh iman kepada Yesus Kristus dan bukan
karena melakukan perbuatan-perbuatan Taurat (bdk. Gal 2:16)30.
Status kanonis surat-surat Paulus memberikan suatu
kewibawaan (otoritas) yang menjadi dasar untuk pengajaran teologis
maupun spiritual dari para Bapa Gereja sesudahnya. Sudah dilukiskan
bagaimana Marcion dan Valentinus memakai teks-teks Paulus untuk
mendukung ajaran Gnostisisme atau Doketisme mereka. Di lain pihak
Ireneus dan Tertulianus memakai teks-teks Paulus juga untuk melawan
penafsiran kedua ajaran “bidaah” ini. Namun, pergulatan ini tidak
selesai di situ. Debat teologis itu menjadi seperti bola salju yang
menggelinding bahkan makin besar.
Clemens dari Alexandria dan dan terutama Origenes
mengembangkan metode alegoris untuk menafsirkan Paulus. Hal ini
sangat menentukan teologi Gereja Timur dan mempengaruhi Gereja
Barat. PL dibaca secara alegoris dalam teks-teks Paulus, begitu juga ide
tentang kasih yang sangat menonjol dalam surat-surat Paulus.
Gregorius dari Nissa, pengagum Origenes, semakin meluskan metode
penafsiran ini31.
Saat membicarakan rahmat Allah dan kehendak bebas manusia,
Agustinus mengacu kepada Paulus. Di sinilah Agustinus berperang
melawan tafsiran Pelagius yang menekankan kebebasan dari moral
(antinomisme). Hal serupa bahkan menjadi semakin menghebat ketika
saudara-saudara kelompok Reformasi (Luther, Calvin) dan Gereja
Katolik Roma berdebat tentang makna “pembenaran Allah oleh iman
akan Yesus Kristus” (sola fide) 32 . Hal ini menjadi isu sentral yang
menyala sejak zaman Reformasi sampai dengan dewasa ini. Kurang

30
Bdk. P.T. TANTIONO, Speaking the Truth in Christ, 91-97; G. EBELING, The Truth of the
Gospel, Philadephia 1985, 126-128; P. MENDOZA MAGALLÓN, «Estar crucificado juntamente con
Cristo», Roma 2005, 128-133; E.P. SANDERS, Paul, the Law and the Jewish People, London 1983,
162; J.D.G. DUNN, The Theology of Paul’s Letter to the Galatians, Cambridge 1993, 80; J.M.G.
BARCLAY, Obeying the Truth, Edinburgh 1988, 236; A. PITTA, Lettera ai Galati, Bologna 1996,
139-141.
31
Bdk. J.S. BOSCH, Scritti paolini, 77-78.
32
Bdk. R. MORGAN, “Paul’s enduring legacy”, in J.D.G. DUNN, ed., St. Paul, 246-251

103
Logos, Jurnal Filafat – Teologi, Vol.7, No.1, Januari 2009

lebih 10 tahun yang lalu (1999) dirumuskan sejenis “Deklarasi Bersama


tentang arti Pembenaran oleh Iman” oleh para teolog Protestan dan
Katolik yang melihat unsur-unsur yang menyatukan maupun yang
membedakan dari pandangan kedua kelompok ini. Namun ini tidak
berarti sudah tercapai kesepakatan bulat tanpa keberatan mendasar dari
keduanya.
Hal lain yang menjadi bahan perdebatan dan penafsiran berbeda
ialah unsur-unsur sakramentalisme dari surat-surat Paulus. Hal ini dulu
diabaikan (tidak dilihat) oleh kelompok Protestan, namun dibela dengan
sangat kuat oleh pihak Gereja Katolik. Dalam teologi Perjanjian Baru,
Rudolf Bultmann sangat berhutang pada surat-surat Paulus juga33.
Tidak bermaksud menderetkan semua teolog kristen, jelas peran
surat-surat Paulus sangat penting dalam pembentukan teologi
kekristenan sejak dari zaman kanon PB sampai dengan hari ini. Karena
itu studi-studi tentang Paulus tidak pernah berhenti. H.J.Schoeps,
S.Sandmel, A. Segal, D. Boyarin, M. Nanos pada masa kini mencoba
melihat sisi-sisi baru dari pribadi Paulus yang membentuk teologinya
dalam surat-suratnya. Mereka mau melihat unsur-unsur ke-Yahudi-an
Paulus sekaligus pandangan filosofis-teologis dunia Yunani yang kental
dalam surat-suratnya. Dalam hal ini peristiwa Holocaust juga menjadi
salah satu faktor pendukung terjadinya studi-studi baru ini, sebab di
sementara kalangan beberapa teks Paulus yang dianggap berbau “anti
Yudaisme” dipandang juga sebagai unsur pembenaran penganiayaan
kejam terhadap orang-orang Yahudi di zaman PD II.34
Bahkan di abad XX, teks-teks Paulus juga cukup dikutip untuk
tafsiran feminis terhadap teologi KS. Yang terkenal di antaranya tentu
Elizabeth Schüssler Fiorenza.selain A.C. Wire dan E. Castelli.
Metode yang sangat hidup masa kini untuk membaca dan
menafsirkan teks-teks Paulus ialah metode analisis retoris atas surat-
surat Paulus, mengingat Paulus menggunakan aneka tehnik Yunani-
Romawi yang bersifat retoris dalam aneka tulisannya.35

Penutup
Lepas dari aneka metode dan cara pandang terhadap teks-teks
Paulus, penting diingat bahwa surat-surat Paulus sudah diterima dalam
daftar kanon KS PB sejak abad II dan diteguhkan ulang dalam abad IV.
Karena itu orang harus tetap membacanya sebagai teks Kitab Suci.

33
Bdk. R. MORGAN, “Paul’s enduring legacy”, 251-254.
34
Bdk. B. WITHERINGTON III, “Contemporary perspectives on Paul”, in J.D.G. DUNN, ed.,
St. Paul, 256-260.
35
Bdk. B. WITHERINGTON III, “Contemporary perspectives on Paul”, 260-264.

104
Paulus Toni Tantiono, Pengaruh Rasul Paulus dalam Sejarah Kekristenan

Dengan itu, entah pendekatan retoris atau pendekatan kanonis yang


dipakai, orang tetap menyadari bahwa teks-teks Paulus ini tetap
membawa di dalamnya Sabda Allah untuk iman manusia kepada Yesus
yang mendatangkan pembenaran.

Daftar Pustaka

ALETTI, J.-N, “Paulinienne (Théologie)”, Dictionnaire Critique de Théologie,


866-875.
BARRETT, C.K., Paul. An Introduction to His Thought, London 1994.
BETZ, H.D., “Paul”, Anchor Bible Dictionary V, New York 1992, 187-195.
BOSCH, J.S., Scritti paolini, Brescia 2001.
CLABEAUX, J.J., “Marcion”, Anchor Bible Dictionary IV, New York 1992,
514-518.
GASQUE, W.W., “Tarsus”, Anchor Bible Dictionary VI, New York 1992,
333-334.
GORMAN, M.J., Apostle of the Crucified Lord, Grand Rapids 2004.
HAACKER, K., “Paul’s Life”, in J.D.G. DUNN, ed., The Cambridge
Companion to St. Paul, Cambridge 2003, 23-26.
HENNECKE, E., New Testament Apocrypha. Vol 2, Philadelphia 1964.
LÜDEMANN, G., Paul Apostle of the Gentiles, London 1984.
MARTINI, C.M., Le Confessioni di Paolo, Milano: Àncora, 1983;
diterjemahkan oleh F. HARJAWIYATA, Kesaksian Santo Paulus,
Yogyakarta: Kanisius, 1989.
MOO, D.J., “Paul”, in T.D. ALEXANDER – al., ed., New Dictionary of
Biblical Theology, Leicester 2000, 136-140.
MURPHY-O’CONNOR, J., Paul. A Critical Life, Oxford 1997.
PULCINELLI, G., Per conoscere l’Apostolo Paolo, Milano 2008.
ROETZEL, C.J., “Paul in the second century”, in J.D.G. DUNN, ed., The
Cambridge Companion to St. Paul, Cambridge 2003,, 228.
SCHNEEMELCHER, W., “Paulus in der griescheschen Kirche des zweiten
Jahrhunderts”, ZKG 75 (1964), 1-18.
TANTIONO, P.T., Speaking the Truth in Christ, Roma 2008.
WITHERINGTON III, B., “Contemporary perspectives on Paul”, in J.D.G.
DUNN, ed., The Cambridge Companion to St. Paul, Cambridge 2003,
254-266.

105

You might also like