Effects of Warm Compresses On Decreased Hyperthermia

Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 12

EFFECTS OF WARM COMPRESSES ON DECREASED HYPERTHERMIA

IN FEBRILE SEIZURES

Windawati1, Dera Alfiyanti 2

¹ ²Departement Of Nursing Faculty Of Nursing and Health, University Of Muhammadiyah


Semarang

Email: [email protected]

ABSTRACK

Background: Febrile seizure is a neurological disorder that is most commonly found in


children, because of the rise of febrile seizures associated with age, level of temperature
and speed of temperature increase, including hereditary factors also have a role in the
rise of febrile seizures where the patient's family members have the opportunity to
experience seizures more than the normal children. febrile seizures are seizures that
occur due to the increase in body temperature (rectal temperature over than 38oC), due
to a process extra cranium. Purpose: This scientific work aims to understand basic
concepts, obtain information, and provide nursing care regarding febrile seizures in
children.

Method: The author uses the method of description, while the sample is the data
obtained by ways: interview, physical examination, activities observation, obtaining
records and diagnostic reports.

Results: After the act of nursing for 3 days main diagnoses hyperthermia associated
with the disease, and during the intervention warm compresses for three days in a row
major nursing problems hyperthermia can not be overcome.

Conclusion: Collaboration between health teams and the patient or family is


indispensable for the success of nursing care to patients so that the patients nursing
problems regarding hyperthermia can be implemented well and the problem can be
solved.

Keywords: Febrile Seizure ; Hyperthermia ; Warm compresses.

1
PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada
anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan, anak
yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit
disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara sempurna (Harjaningrum,
2011). Berdasarkan penelitian (Dewi, 2016) responden yang paling banyak mengalami
demam adalah umur 1- 3 tahun, baik kelompok pemberian kompres air hangat, Hampir
90% dari total anak yang dirawat karena demam, diberikan kompres air hangat saja
selain pemberian antipiretik. Menurut penelitian dari (Wardiyah et al., 2016) usia yang
paling banyak menjadi responden yaitu pada usia 2 tahun sebanyak 9 orang (30.0%) dan
pada usia 4 tahun sebanyak 9 orang (30.0%).

Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
suhu rektal di atas 38 °C (Riyadi dan Sujono, 2009). Berdasarkan penelitian Aryanti
(2015) menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh sebelum dilakukan kompres hangat
(mean) suhu tubuh sebelum diberi tindakan kompres hangat adalah 38,5°C dengan
standar deviasi 0,6638 dan nilai minimum serta maksimumnya adalah 37,7°C dan
39,5°C.

Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidaklah sama,
tergantung nilai ambang kejang masing-masing. Oleh karena itu, setiap serangan kejang
harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat, apalagi kejang yang berlangsung
lama dan berulang.Sebab, keterlambatan dan kesalahan prosedur bisa mengakibatkan
gejala sisa pada anak, bahkan bisa menyebabkan kematian (Fida & Maya, 2012).
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai apneu (henti nafas) yang dapat
mengakibatkan terjadinya hipoksia (berkurangnya kadar oksigen jaringan sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Apabila anak sering kejang, akan semakin banyak sel otak
yang rusak dan mempunyai risiko menyebabkan keterlambatan perkembangan,
retardasi mental, kelumpuhan dan juga 2-10% dapat berkembang menjadi epilepsi
(Mohammadi, 2010).

WHO memperkirakan pada tahun 2010 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita
kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Di Amerika pada tahun
2008, kejadian kejang demam, hampir sebanyak 1,5 juta dan sebagian besar lebih sering
terjadi pada rentang usia 6 bulan hingga 36 bulan. Di Indonesia dilaporkan angka
kejadian kejang demam pada tahun 2012 – 2013, terjadi 3-4% dari anak yang berusia 6

2
bulan – 5 tahun (Depkes, 2013). Untuk Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah pada
tahun 2010, 2-5% pada anak usia 6 bulan- 5 tahun dan 25-50% kejang demam akan
mengalami bangkitan kejang demam berulang (Gunawan, 2009). Sedangkan pada tahun
2013 angka kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun mengalami
penurunan yaitu 2-3% (Depkes, 2013). Sedangkan Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
dr. Kariadi Semarang pada Januari 2008-Maret 2009 mendapatkan 82 kasus. Tujuan
peneliitian ini adalah: untuk mengidentifikasi efektifitas kompres hangat terhadap
penurunan hipertermia pada kasus kejang demam.

Penanganan terhadap kejang demam dapat dilakukan dengan tindakan


farmakologis, tindakan non farmakologis maupun kombinasi keduanya. Tindakan
farmakologis yaitu memberikan obat antipiretik. Sedangkan tindakan non farmakologis
yaitu tindakan tambahan dalam menurunkan panas setelah pemberian obat antipiretik.
Tindakan non farmakologis antara lain memberikan minuman yang banyak,
ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal, menggunakan pakaian yang tidak tebal,
dan memberikan kompres hangat(Dots, 1998)

Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk yang
telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu
sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh (Masruroh et al.,
2017). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Purwanti &
Ambarwati, 2008) di RSUD dr. Moewardi Surakarta menunjukkan bahwa kompres
hangat dapat menurunkan suhu tubuh melalui proses evaporasi.

METODE

Penulisan karya ilmiah akhir ners ini dengan jenis studi pendekatan kuantitatif
dengan pengambilan dua pasien dengan diagnosa medis yang sama. Penulis
menggunakan metode deskriptif, adapun sampelnya adalah data ini diperoleh dengan
cara yaitu : wawancara, pemeriksaan fisik, observasi aktivitas, memperoleh catatan dan
laporan diagnostik. Pasien dikelola selama 3 hari.

HASIL STUDI

Hasil evaluasi pada kedua pasien An. R dan An. D setelah dilakukan implementasi
keperawatan dengan masalah utama keperawatan hipertermia berhubungan dengan
proses infeksi selama 3 hari belum teratasi secara menyeluruh, karena kedua anak pada
kasus kelolaan masih mengalami penurunan dan peningkatan suhu setiap harinya
selama di rawat di ruang Anak Lantai 1 RSUP Dr. Kariadi Semarang. Evaluasi pasien
kelolaan pada kasus I An. R dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2019 jam 14.00 WIB

3
setelah 3 hari masa perawatan, evaluasi tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah hipertermia berhubungan dengan proses infeksi dilakukan selama 3 hari.
Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan yang dilakukan pada An.R yaitu
berupa pemberian tindakan non farmakologi yaitu kompres hangat untuk menurunkan
suhu tinggi pada An.R didapatkan hasil data subyektif yaitu ibu An. R mengatakan
anaknya sudah tidak demam dan kejang lagi. Data obyektif yaitu kondisi umum An. R
saat dilakukan evaluasi adalah An.R baik, tingkat kesadaran composmentis HR: 100
x/menit, RR: 22 x/menit, SpO2: 99%, suhu anak sudah turun 36,5 ⁰C, badan An. R teraba
hangat, klien sudah aktif bermain kembali. Perencanaan selanjutnya pada pasien An.R
diantaranya memberikan kompres hangat jika suhu An. R kembali tinggi, meningkatkan
intake cairan dan nutrisi sesuai dengan kebutuhan, memonitor suhu setiap 3 jam,
memonitor intake dan output, dan memberikan terapi sesuai dengan advis Dokter. Hasil
penelitian ini sejalan dengan (Anisa, 2019) sehingga ada pengaruh kompres hangat
terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien febris. Berdasarkan perawatan yang telah
dilakukan terhadap anak demam dengan cara dikompres air hangat didapatkan rata-rata
penurunan suhu sebesar 0.4 ⁰C per hari dan dilakukan selama 3 hari. Hasil perawatan
menunjukkan bahwa terjadi penurunan setelah dilakukan kompres air hangat sesuai
target yang ingin dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kompres air hangat efektif
menurunkan demam pada klien di RSUD Temanggung, hal ini menunjukan bahwa ada
perubahan yang signifikan akibat pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu
tubuh pada pasien anak dengan hipertermia.

Sedangkan pasien kelolaan pada kasus II An. D evaluasi dilakukan tanggal 08


September 2019 jam 13.00 WIB setelah 3 hari masa perawatan, evaluasi tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah hipertermia berhubungan dengan proses
infeksi dilakukan selama 3 hari. Berdasarkan hasil evaluasi tindakan keperawatan yang
dilakukan pada An. D yaitu berupa pemberian tindakan non farmakologi yaitu kompres
hangat untuk menurunkan suhu tinggi pada An. D didapatkan hasil data subyektif yaitu
ibu An. D mengatakan anaknya sudah tidak demam dan kejang lagi. Data obyektif yaitu
kondisi umum An. D saat dilakukan evaluasi adalah An.R lemah , tingkat kesadaran
composmentis HR: 100 x/menit, RR: 24 x/menit, SpO2: 99%, suhu anak sudah turun
36,4 ⁰C, badan An. D teraba hangat. Perencanaan selanjutnya pada pasien An. D
diantaranya memberikan kompres hangat jika suhu An. D kembali tinggi, meningkatkan
intake cairan dan nutrisi sesuai dengan kebutuhan, memonitor suhu setiap 3 jam,
memonitor intake dan output, dan memberikan terapi sesuai dengan advis Dokter.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian (Wowor et al., 2017) didapatkan data yang
diperoleh dari 34 responden penurunan rata-rata setelah dilakukan kompres air hangat
adalah 0.8 dengan hasil tersebut berarti pemberian kompres air suhu hangat lebih
efektif menurunkan suhu tubuh pada anak demam.

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa selama 3 hari masa


perawatan, masalah keperawatan utama yaitu hipertermia belum teratasi sepenuhnya.
Hal ini disebabkan karena kedua anak pada kasus kelolaan masih mengalami penurunan

4
dan peningkatan suhu setiap harinya selama di rawat di ruang Anak Lantai 1 RSUP Dr.
Kariadi Semarang.

PEMBAHASAN
Hasil pengkajian yang didapat pada pasien An. R berjenis kelamin Perempuan
dengan usia 3,5 tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan data sebagai
berikut : klien tampak lemah, kesadaran composmentis, suhu tubuh tinggi 38.3 ⁰C, kulit
teraba hangat, klien tampak pucat, dan badan lemah, keluhan saat ini pada kasus I Ibu
An. R mengatakan anaknya sudah mengalami demam sejak 4 hari ini turun naik suhu
badannya.
Manifestasi klinis Sehari Sebelum masuk rumah sakit Ibu An. R mengatakan
anaknya mengalami perubahan tingkah laku seperti tidak aktif bermain dan mendadak
badannya panas dan suhu naik. Penyakit febris (demam) merupakan salah satu
penyebab masalah kesehatan di Indonesia. Demam sebagian disebabkan karena infeksi
atau virus. Namun data menunjukan bahwa justru sebagian besar tenaga medis
mendiagnosisnya sebagai infeksi bakteri (Sodikin 2012). Keesokan harinya An. R
mengalami kejang demam dengan karakteristik kejang demam sederhana dengan durasi
kejang, ±3 menit waktu awal masuk Igd, Kondisi pasca terjadinya kejang Ibu An. R
mengatakan pasien dalam keadaan sadar dan dengan kondisi lemah. Walaupun kejang
demam tidak berbahaya jika gejalanya tidak lebih dari 10 menit, namun kejang demam
dapat membuat kondisi kegawatdaruratan pada anak. Kondisi kegawatdaruratan dapat
terjadi jika kejang demam tidak segera ditangani. Kegawatdaruratan yang mungkin saja
terjadi adalah sesak nafas, kenaikan suhu yang terus menerus, dan cedera fisik.
Penyebab kejang demam pada An. R diperkuat dengan adanya data hasil laboratorium
yang abnormal yaitu leukosit meningkat 21.8 10ˆ3/ul hal ini menandakan bahwa adanya
infeksi. Pemeriksaan jumlah leukosit merupakan salah satu parameter pemeriksaan
untuk mendeteksi adanya infeksi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan darah rutin
yang sering dilakukan, karena jumlah leukosit dapat memberikan petunjuk apakah
terdapat suatu infeksi atau peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau
suatu reaksi inflamasi terhadap masuknya antigen ke dalam tubuh. Meningkatnya
jumlah leukosit (>10.000/mm3) disebut leukositosis merupakan indikatif adanya suatu
peradangan. Selama dirawat kejang tidak timbul lagi. Ibu An. R mengatakan ini
merupakan sudah keempat kalinya dalam periode tahun 2019 ini klien masuk RS
dengan keluhan yang sama. Riwayat kejang demam sebelumnya 3x di rawat di RS
William Both dan pada saat dibawa ke RSUP dr. Kariadi Semarang untuk diperiksa
langsung klien dianjurkan untuk dirawat di RS pada tanggal 10 Agustus 2019.

5
Pada pasien An. D berjenis kelamin laki-laki dengan usia 1 tahun yaitu usia
kanak-kanak. Usia merupakan suatu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini
disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Usia balita
rentan terhadap penyakit karena daya tahan tubuh yang belum stabil (Potter & Perry,
2010). Masa balita menjadi periode yang penting dalam tumbuh kembang anak.
Pertumbuhan dan perkembangan di masa balita menjadi penentu keberhasilan tumbuh
kembang di periode selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian (Kakalang et al., 2016)
kasus kejang demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. DR. R.D. Kandou
Manado periode Januari 2014 – Juni 2016 dapat disimpulkan bahwa kejang demam lebih
banyak ditemukan pada usia 1 - <2 tahun, jenis kelamin laki-laki, tanpa riwayat keluarga,
suhu badan >38oC, riwayat penyakit yang mendasari infeksi saluran pernapasan akut,
tipe kejang demam kompleks, status gizi normal, riwayat berat badan lahir normal, serta
riwayat jenis persalinan normal.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan data sebagai berikut : klien
tampak lemah, kesadaran composmentis, terdapat suhu tubuh 37.7 ⁰C , kulit teraba
hangat, klien tampak pucat, dan badan lemah. Keluhan saat ini ibu An. D mengatakan
anaknya mengalami kejang demam dan panas tinggi sudah 4 hari turun naik. Kejang
Demam merupakan masalah kesehatan yang serius dan menjadi penyebab kematian
nomor lima di Indonesia pada tahun 2018 Untuk Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah
pada tahun 2010, 2-5% pada anak usia 6 bulan- 5 tahun dan 25-50% kejang demam
akan mengalami bangkitan kejang demam berulang (Profil Kesehatan Kota Semarang
2018). Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Wibisono, 2015) responden dengan usia
1 tahun berjenis kelamin laki – laki dengan diagnosa medis Kejang Demam. Keluhan
Utama, pasien panas, suhu : 37,9 ⁰C.
Manifestasi klinis Sehari Sebelum masuk rumah sakit Ibu An. D mengatakan
anaknya mengalami perubahan tingkah laku seperti tidak aktif bermain dan mendadak
badannya panas dan suhu naik, dan mengalami sesak nafas. Kejang demam merupakan
gangguan transier pada anak-anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini
merupakan salah satu gangguan neurologic yang paling sering di jumpai anak-ana. Bila
kejang demam tidak ditangani akan terjadi kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan
oksigen dalam otak, pengeluaran sekret lebih dan resiko kegawatdaruratan untuk
aspirasi jalan nafas. Jika tidak dijalani dengan baik maka beresiko kematian (Sodikin,
2012). Kejang demam berdampak serius seperti deficit neurologi, epilepsi, retradasi
mental, atau perubahan perilaku (Wong, 2009). Keesokan harinya An. D mengalami
kejang demam dengan karakteristik kejang demam sederhana dengan durasi kejang, ± 2
menit waktu awal masuk igd. Selama pindah ke rawat inap An. D pernah kembali kejang
dengan durasi waktu yang sama. Kondisi pasca terjadinya kejang Ibu An. D mengatakan
pasien dalam keadaan sadar dengan kondisi lemah serta mengalami kesulitan bernafas.

6
Proses Perjalanan Penyakit kejang demam yaitu infeksi yang terjadi  pada jaringan  di 
luar  kranial seperti  tonsilitis, otitis media akut, bronkitis  penyebab terbanyaknya 
adalah bakteri yang bersifat  toksik. Toksis  yang  di  hasilkan  oleh mikro organisme
dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran
toksis ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan
suhu di  hipotalamus  sebagai  tanda  tubuh  dalam  bahaya  secara  sistemik.  Naiknya 
pengaturan  suhu  di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang
lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya suhu
dihipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan di sertai pengeluaran
mediator kimia  sepeti epinefrin  dan prostagladin.  Pengeluaran mediator  kimia  ini 
dapat  merangsang  peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial
inilah yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel
menuju ke dalam sel. peristiwa inilah yang diduga dapat menaikan fase depolarisasi
neuron dengan cepat sehingga timbul kejang. Serangan  yang  cepat  itulah  yang  dapat 
menjadikan  anak  mengalami  penurunan  respon  kesadaran,  otot ekstremitas 
maupun  bronkus  juga  dapat  mengalami  spasme  sehingga  anak  beresiko  terhadap 
injuri  dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasme bronkus. (Riyadi
dan sujono, 2009). Penyebab kejang demam pada An. D diperkuat dengan adanya data
hasil laboratorium yang abnormal yaitu hematokrit mengalami penurunan 33.7 % yang
bearti rendah/kurang dari batas nomal, hal ini menandakan bahwa adanya infeksi.
Pemeriksaan hematokrit adalah pengukuran yang mengidentifikasikan defisiensi
berbagai bahan nutrisi. Pengukuran hematokrit menggunakan satuan persen, nilai
normal hematokrit 36-44% (Nurachman, 2009). Ibu klien mengatakan ini merupakan
ketiga kalinya dalam periode tahun 2019 ini klien masuk RS dengan keluhan yang
sama.Riwayat kejang demam sebelumnya 1x di rawat di RS Panti Wiloso selama 4 hari
lalu di rujuk ke RSWN di rawat selama 3 Minggu di Hcu tanggal 05 Juli 2019 pulang. Dan
setelah itu kambuh lagi pada tanggal 02 September 2019 klien panas tinggi dan kejang
di IGD RSUP dr.Kariadi selama 2 menit oleh dokter jaga di IGD klien dianjurkan untuk
dirawat di RS pada tanggal 02 September 2019.

Farmakoterapi yang diberikan untuk menurunkan suhu tubuh pada kedua pasien
sama yaitu dengan parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan
efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek anti inflamasi
parasetamol hampir tidak ada. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama
parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas, misalnya Panadol®, Bodrex®, INZA®,
dan Termorex®. Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang
lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian
juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Parasetamol diberikan secara
oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan perut, konsentrasi darah

7
puncak biasanya tercapai dalam 30- 60 menit. Parasetamol sedikit terikat pada protein
plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi
sulfat dan glikoronida asetaminofen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari
5% diekskresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-
acetyl-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksiknya
terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak
terpengaruh oleh fungsi ginjal. Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi.
Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam
dan lesi pada mukosa. Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang
menimbulkan masalah pada dosis terapi karena hanya kira-kira 1-3 % Hb yang diubah
menjadi met-Hb. Penggunaan sebagai analgesik dalam dosis besar secara menahun
terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati diabetik (Wilwana dan
Gan, 2009). Penurunan suhu tubuh menurut penelitian yang dilakukan oleh (Purwanti &
Ambarwati, 2008) dalam penelitian (Wowor et al., 2017) bahwa akan lebih efektif jika
diberikan obat antipiretik seperti paracetamol yang mampu menurunkan sampai 0.2 C ̊ ,
jika diberikan bersamaan dengan kompres hangat dalam menurunkan suhu tubuh pada
penderita demam.

Dari hasil pengkajian yang diperoleh dari kedua pasien maka diangkat masalah
keperawatan utama yaitu hipertermia.
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis mengenai respon klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami. Diagnosis keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien, individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Diagnosa keperaatan
sebagai dasar pengembangan rencana intervensi keperawatan (SDKI, 2016). Diagnosa
keperawatan utama yang muncul pada kedua pasien adalah hipertermia. Menurut SDKI
(2016) hipertermia adalah Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh.
Penyebab terjadinya hipertermia diantaranya adalah dehidrasi, terpapar lingkungan
panas, proses penyakit (mssal : infeksi,kanker), Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu
lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon trauma Aktivitas berlebihan, dan
Penggunaan inkubator. Gejala dan tanda mayor dengan masalah hipertermia
berdasarkan data subektif adalah tidak tersedia, sedangkan data objektif adalah suhu
tubuh di atas nilai normal. Gejala dan tanda minor dengan masalah hipertermia
berdasarkan data subektif adalah tidak tersedia, sedangkan data objektif adalah kulit
merah, kejang, takikardi, takipnea, dan kulit terasa hangat. Kondisi klinis terkait
diantaranya adalah proses infeksi, hipertiroid, stroke, dehidrasi, trauma, dan
prematuritas. Alasan peneliti memprioritaskan hipertermia pada kasus kejang demam
ini yaitu karena kedua kasus mempunyai masalah keperawatan yang sama dan apabila
terjadi keterlambatan dalam penanganan akan menyebabkan resiko kejang berulang,
epilepsi,

8
Intervensi keperawatan yang harus dilakukan oleh perawat untuk membantu
mengatasi masalah keperawatan hipertermia adalah kedua kasus kelolaan intervensi
yang dilakukan yaitu dengan fever treatment : Lakukan kompres hangat, Penelitian yang
dilakukan oleh (Purwanti & Ambarwati, 2008) di RSUD dr. Moewardi Surakarta
menunjukkan bahwa kompres hangat dapat menurunkan suhu tubuh melalui proses
evaporasi. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi, Tekstur makanan yang dikonsumsi
harus mudah dikunyah, lembut, bentuk menarik dan bervariasi dan kandungan gizi
sesuai dengan AKG (Rosandy, 2013), monitor suhu setiap 3 jam sekali, Monitor intake
dan output, dan berikan terapi sesuai advis Dokter. Intervensi keperawatan ini juga
sejalan dengan penelitian (Wibisono, 2015) adalah Monitoring ttv tiap 2-4 jam, berikan
kompres hangat, tingkatkan intake cairan, kolaborasi pemberian antipiretik dan
antibiotik, berikan pakaian anak yang hangat dan tipis.
Implementasi keperawatan dilakukan selama 3 hari pada masing-masing klien.
Sebelum melakukan implementasi terlebih dahulu dilakukan pengkajian, pemeriksaan
fisik, analisa data, diagnosa keperawatan, menyusun intervensi dan baru melakukan
implementasi. Implementasi yang dilakukan pada kedua pasien hampir sama,
diantaranya yang telah dilakukan sesuai dengan intervensi untuk hipertermia adalah
menanyakan keluhan pasien, melakukan kompres hangat, meningkatkan intake cairan
dan nutrisi, memonitor intake-output pasien, memonitor suhu setiap 3 jam sekali, dan
memberikan terapi sesuai advis Dokter. Berdasarkan analisa peneliti, pelaksanaan
implementasi melakukan kompres hangat dan memonitor suhu setiap 3 jam sekali serta
berkolaborasi dalam pemberian obat dan cairan intravena sudah sesuai dengan teori.
Pemberian kompres hangat memberikan reaksi fisiologis berupa vasodilatasi dari
pembuluh darah besar dan meningkatkan evaporasi panas dari pemukaan kulit.
Hipotalamus anterior memberikan sinyal kepada kelenjar keringat untuk melepaskan
keringat melalui saluran kecil pada permukaan kulit. Keringat akan mengalami
evaporasi, sehingga akan terjadi penurunan suhu tubuh (Potter & Perry, 2010). Hasil ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Purwanti & Ambarwati, 2008) di
RSUD dr. Moewardi Surakarta tentang pengaruh kompres hangat terhadap perubahan
suhu tubuh pada pasien anak hipertermia, didapatkan hasil p value = 0,001 yang
artinya ada pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh pasien anak
hipertermi. Berdasarkan penelitian (Wardiyah et al., 2016) rerata suhu tubuh sesudah
dilakukan kompres hangat menunjukkan bahwa rerata (mean) suhu tubuh sesudah
diberi tindakan kompres hangat adalah 38,0°C dengan standar deviasi 0,5506 dan
nilai minimum serta maksimum adalah 37,2°C dan 38,9°C. Suhu tubuh pada anak yang
mengalami demam dipengaruhi proses penyakit yang terjadi pada anak. Pola demam
bergantung pada pirogen penyebab. Peningkatan atau penurunan aktivitas pirogen
mengakibatkan peningkatan dan penurunan demam pada waktu yang berbeda. Ada

9
perbedaan rerata suhu tubuh sebelum dan sesudah tindakan kompres hangat
dengan mean 0,5°C (p value < α, 0,000 < 0,05). Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian (Hasan, 2018) Rerata suhu tubuh sebelum di berikan tindakan kompres
hangat pada pasien febris di ruangan instalasi gawat darurat puskesmas Puskesmas
Tanru Tedong kabupaten Sidrap dengan nilai mean 38,14 dan rerata suhu tubuh sesudah
di berikan tindakan kompres hangat pada pasien febris di ruangan instalasi gawat
darurat puskesmas Puskesmas Tanru Tedong kabupaten Sidrap dengan nilai hasil mean
37,54. Sedangkan Pada analisis bivariat didaptkan nilai selisih rerata 0,65 dan nilai p =
0,0001,

SIMPULAN
Asuhan keperawatan pada pasien kejang demam dengan masalah keperawatan
hipertermia di ruang anak lantai 1 RSUP Dr.Kariadi Semarang diangkat berdasarkan
hasil pengkajian yang tegak secara medis. Kedua pasien An.R. dan An.D dirawat dengan
diagnosa medis kejang demam yang didukung dari hasil pengkajian pasien yaitu
keduanya memiliki keluhan kejang dan demam berhari-hari dengan suhu diatas rentang
normal.
Diagnosa keperawatan utama yang diangkat pada kedua kasus ini adalah
hipertermia. Penegakan diagnosa hipertermia ini pada kasus kejang demam sudah
sesuai dengan tanda dan gejala mayor minor yang ada didalam buku Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI) yaitu keluhan demam (suhu tubuh diatas normal),
kejang, dan kulit teraba hangat.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada kasus I dan kasus II adalah
dengan pemberian kompres hangat untuk mengatasi dan menurunkan suhu panas
tubuh pada anak selama 3 hari.
Evalusi keperawatan merupakan respon hasil secara menyeluruh yang ada pada
pasien sesuai masalah keperawatan yang ditemukan dan terhadap implementasi yang
sudah dilakukan. Didalam evaluasi mencakup rencana tindak lanjut apa yang bisa
dilakukan untuk perawatan selnjutnya. Evaluasi yang diperoleh pada kedua pasien
selama 3 hari perawatan di ruang rawat inap anak lantai 1 RSUP Dr.Kariadi Semarang
masalah keperawatan hipertermia belum teratasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

10
Diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya tercinta atas dukungannya
dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam karya ilmiah ini, sehingga karya ilmiah
ini dapat terlaksana dengan baik.

REFERENSI

Anisa, K. (2019). Efektifitas Kompres Hangat Untuk Menurunkan Suhu Tubuh Pada an.D
Dengan Hipertermia. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan Kesehatan, 5(2), 122–
127. https://doi.org/10.33485/jiik-wk.v5i2.112
Dewi, A. K. (2016). Perbeedaan Penurunan Suhu Tubuh Antara Pemberian Kompres
Hangat Dengan Tepid Sponge Bath Pada Anak Demam. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah, 1(1), 63–71. http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/366/272
Dots, Q. (1998). 1_1_1_1_1 ............... ............... 1_1_1_1_1. 8(November), 1998.
Hasan, A. (2018). Pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh pada pasien
febris. 7, 1–6.
Kakalang, J. P., Masloman, N., & Manoppo, J. I. C. (2016). Profil kejang demam di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 –
Juni 2016. E-CliniC, 4(2), 0–5. https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14396
Masruroh, R., Hartini, S., & Astuti, R. (2017). Efektivitas Pemberian Kompres Hangat Di
Axilla Dan Di Femoral Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak Demam Usia
Prasekolah Di Rsud Ambarawa. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK),
III(2).
Purwanti, S., & Ambarwati, W. N. (2008). PENGARUH KOMPRES HANGAT TERHADAP
PERUBAHAN SUHU TUBUH PADA PASIEN ANAK HIPERTERMIA DI RUANG RAWAT
INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA. Berita Ilmu Keperawatn, 1(2), 81–86.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/484/2f.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
%0Ahttp://journals.ums.ac.id/index.php/BIK/article/download/3741/2410
Wardiyah, A., Setiawati, & Romayati, U. (2016). Perbandingan Efektifitas Pemberian
Kompres Hangat Dan Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Anak Yang
Mengalami Demam Di Ruang Alamanda Rsud Dr . H . Abdul Moeloek. Jurnal
Kesehatan Holistik, 10(1), 36–44. https://www.e-
journal.unper.ac.id/index.php/PHARMACOSCRIPT/article/view/105
Wibisono, A. (2015). ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.M DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN : KEJANG DEMAM DI RUANG MAWAR RSUD BANYUDONO BOYOLALI.
Wowor, M. S., Katuuk, M. E., & Kallo, V. D. (2017). Efektivitas Kompres Air Suhu Hangat
Dengan Kompres Plester Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Anak Demam Usia Pra-
11
Sekolah Di Ruang Anak Rs Bethesda Gmim Tomohon. Jurnal Keperawatan, 5(2).

Depkes, R.I. (2013). Profile Kesehatan Indonesia tahun 2013. Jakarta : Kementerian
Kesehatan

Fida & Maya.(2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak.Jogjakarta : D-Medika.

Gan, Wilwana., Soetjiningsih (2009, July). Knowledge, attitude, and practices of parents
with children of first time and reccurent febrile seizure.Pediatrica Indonesiana, 48.
193-198.

Harjaningrum, A. (2011). Smart Patient : Mengupas Rahasia Menjadi Pasien


Cerdas.Jakarta : PT. Lingkar Pena Kreative

Mohammadi, M. (2010).Febrile Seizures : Four Steps Alogarithmic Clinical


Approach.Iranian Journal of Pediatrics, volume 20 (No 1), page 5-15.
http://journals.tums.ac.ir

Nurachman E. (2009). Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit. Sumber:


http//www.pdpersi.co.id.?show=detailnews=artikel

Sodikin. (2012). Prinsip Perawatan Demam Pada Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Profil Kesehatan Kota Semarang Tahun 2018. Semarang: Dinas Kesehatan Kota
Semarang, 2018.

SDKI, DPP & PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defenisi dan
Indikator Diagnostik.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku ajar fumdamental keperawatan: konsep, proses,
dan praktik. Jakarta: EGC.

Rosandy, RT dan Ismawati, Rita.2013. Pengembangan Buku Perencanaan Menu Untuk


Penderita Penyakit Kejang Demam. Ejournal boga. Volume 2, nomor 1, tahun 2013,
edisi yudisium periode Februari 2013, hal 109-117.

Sujono Riyadi, Sukarmin (2009), Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi Pertama.
Yogyakarta : Graha Ilmu

Wong, DL Dkk (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatric Wong Ed.6, Vol.2,Jakarta : EGC

12

You might also like