Label Halal Dan Hukum Asal Bahan Pangan
Label Halal Dan Hukum Asal Bahan Pangan
Abstract
The consumption of halal is one of the important suggestions of the Sharia for
Muslims. Nowadays, public awareness of the importance of halal consumption is
increasing. The guarantee of foodstuffs in Indonesia is halal certificates and labels
as regulated in Undang-Undang No. 33 tahun 2014 on Guarantee of Halal
Products. Not all of food products circulating and distributed in Indonesia has halal
certificates and labels. This study was conducted to assess the assurance of halal
food that does not have halal certificates and labels, and how to consume it in
dealing with the law of sharia. The study was conducted with approach of
Jurisprudential Rules (Qawâ’id Fiqhiyyah), focusing the discussion of the status
of "legal origin" and it’s continuity of the validity on the foodstuffs, and to what
extent the effectiveness of the halal certificates and labels toward the guarantee of
halal food. Conclusions from the study shows that the “legal origin” of food is
halal and it is still valid as long as no valid and explicit information nor indications
that is prohibited. In case of consuming foods that are halal in origin, but it is
unknown the halal assurance, no need to complicate by questioning the validity and
legality of its halal status. By affirming the confidence and steadiness and
accompanied by reading Basmalah is enough to be a halal guarantee of food
consumed.
oleh nash yang sharih, maupun yang tidak sehingga mampu berperan dengan baik
ditemukan nashnya sama sekali. Qaidah- sebagai hamba Tuhan maupun sebagai
qaidah fiqhiyah berisikan prinsip-prinsip khalifah-Nya di bumi. Kata rijs
umum yang bisa menampung berbagai mengandung arti “keburukan budi pekerti
ketentuan yang sifatnya terinci. Artinya, dan kebobrokan moral”. Sehingga
suatu kaidah umum (kulli) bisa mencakup apabila Al-Qur’an menyebut makanan
sekian banyak kaidah-kaidah tertentu tertentu dan menilainya dengan rijs maka
(juz`i) yang lebih terinci. Kaidah-kaidah makanan tersebut dapat menimbulkan
itu dibangun berdasarkan prinsip-prinsip efek negatif terhadap budi pekerti dan
umum yang terdapat dalam sejumlah moral yang mengkonsumsinya.
nash, baik ayat-ayat Al-Qur`an maupun Bertolak dari Q.S. Al-Baqarah 29;
hadis Nabi. dan Q.S. Al-Jatsiyah 13; para ulama
berkesimpulan bahwa pada prinsipnya
2. Bahan Pangan Halal segala sesuatu yang ada di alam raya ini
Kehalalan merupakan jaminan adalah halal untuk digunakan, sehingga
ketenteraman batin seorang muslim makanan yang terdapat di dalamnya juga
dalam konsumsi bahan pangan. halal. Karena itu dengan tegas Al-Qur’an
Kehalalan dapat dipandang sebagai mengecam orang-orang yang
sebagai jaminan keamanan ruhani bagi mengharamkan rizqi yang telah Allah
konsumsi bahan pangan, sehingga untuk hamparkan untuk manusia. Pengharaman
kebutuhan fisik jasmani tetap harus segala sesuatu harus bersumber dari
memperhatikan keamanan dan kesehatan Allah, baik melalui Al-Qur’an maupun
(hygiene) bahan pangan yang Rasul. Pengharaman timbul dari kondisi
dikonsumsi. Keamanan merupakan manusia. Mengingat ada di antara
jaminan bahwa bahan pangan yang makanan yang dapat memberi dampak
dikonsumsi terbebas dari bahan-bahan negatif terhadap jasmani manusia
beracun, bibit penyakit, atau bahan-bahan (Quraish Shihab, 2002: 184-186).
lain yang membahayakan tubuh. Ketentuan hukum syari’at adalah hak
Kesehatan pangan merupakan kecukupan prerogatif Allah SWT. Demikain juga
nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam dalam ketetapan hukum makanan,
bahan pangan. Dengan memperhatikan minuman, atau barang-barang konsumsi
kehalalan dan keamanan pangan tentu yang lain. Namun sebagai bentuk
seorang muslim akan menjadi individu apresiasi terhadap eksistensi akal dan
yang sehat ruhani dan jasmaninya, rasionalitas, Allah SWT menetapkan
1) Adanya nash yang secara ṣarîh Dalam hadits tersebut terdapat dua
melarang konsumsi daging binatang masalah: (1) Haramnya keledai jinak,
tersebut. Binatang yang termasuk dimana hal ini merupakan pendapat
dalam kategori ini adalah babi dan jumhur ulama dari kalangan sahabat,
anjing. Pengaharaman daging babi tabi’in dan ulama berdasarkan hadits
disebutkan dalam al-Qur’an (Q.S. Al- tersebut. Adapaun keledai liar, maka
Maidah: 3). Sedangkan pengharaman hukumnya halal, sesuai dengan
anjing bedasarkan ayat (Q.S. Al-A’raf: kesepakatan para ulama fiqih; dan (2)
157) dan hadits Riwayat Muslim dari Halalnya daging kuda.
Rafi’ ibn Khudaij. 5) Al-jallâlah, yaitu setiap hewan baik
2) Binatang buas bertaring atau berkuku hewan berkaki empat maupun berkaki
tajam yang digunakan untuk melawan dua yang makanan pokoknya adalah
manusia seperti serigala, singa, macan kotoran-kotoran seperti kotoran
tutul, harimau, beruang, kera dan manuasia, hewan dan sejenisnya.
sejenisnya. Hal ini berdasarkan hadits (Muhammad Rawwas Qal’aji &
riwayat Muslim Dari Abu Hurairah Hamid Shadiq Qunaibi, 1988: 165).
dari Nabi saw bersabda: “Setiap Sebab diharamkannya jallâlah adalah
binatang buas yang bertaring adalah perubahan bau dan rasa daging dan
haram dimakan” (HR. Muslim no. susunya. Apabila pengaruh kotoran
1933) pada daging hewan yang membuat
3) Burung yang berkuku tajam. Hal ini keharamannya itu hilang, maka tidak
berdasarkan kepada keumuman lagi haram hukumnya, bahkan
redaksi hadits : Dari Ibnu Abbas hukumnya halal. Hal ini berdasarkan
berkata: “Rasulullah melarang dari hadits : “Dari Amr bin Syu’aib dari
setiap hewan buas yang bertaring dan ayahnya dari kakeknya berkata:
berkuku tajam” (HR Muslim no. Rasulullah melarang dari keledai jinak
1934) dan jallâlah, menaiki dan memakan
4) Khimâr ahliyyah (keledai jinak). Hal dagingnya” (HR Ahmad (2/219) dan
ini berdasarkan hadits: “Dari Jabir dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata: “Rasulullah melarang pada dalam Fathul Bari 9/648).
perang khaibar dari (makan) daging Menghukumi suatu hewan yang
khimar dan memperbolehkan daging memakan kotoran sebagai jallâlah
kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan perlu diteliti. Apabila hewan tersebut
Muslim no. 1941). memakan kotoran hanya bersifat
karena binatang tersebut berontak dan tetapi tidak harus dilakukan ketika
menyerang. Jika hal ini terjadi, boleh proses penyembelihan itu, penyebutan
3) Tidak disebut selain asma' Allah; ini Penjaminan bahan pangan yang
Hal ini disebabkan karena kebiasaan dan label halal pada produk-produk
dilakukan atau dijauhi oleh mukallaf. sesuatu adalah haram (as-Suyuti, 1990:
Sesuatu yang memiliki hukum mubah 60). Namun demikian pendapat Imam
tidak memiliki konsekuensi dosa atau Abu Hanifah tersebut tidak populer,
pahala jika dilakukan atau ditinggalkan. ulama-ulama Hanafiyah lebih cenderung
Ketetapan hukum mubah dapat berasal kepada pendapat bahwa hukum asal
dari hukum asalnya, atau indikasi dalam segala sesuatu adalah boleh (Ali Burnu,
nash yang menggunakan redaksi 1996: 194).
“boleh”, “tidak ada dosa” (Wahbah Landasan argumen yang
Zuhaili, 1986: 88). dikemukakan oleh para ulama mengenai
Istishab adalah kontinuitas hukum asal sesuatu adalah boleh, adalah
pemberlakuan hukum asal terhadap sebagai berikut (Ali Burnu, 1996: 190-
sesuatu sampai ada dalil-dalil yang 193):
merubah status hukumnya. Jika tidak ada 1) QS. Al-Baqarah [2] : 29
nash atau indikasi hukum yang merubah
ﯬ ﯭ ﯮﯯﯰﯱ ﯲ ﯳ
status hukum sesuatu maka hukum yang
“Dan Dialah Allah yang telah
berlaku adalah tetap pada hukum
menciptakan segala sesuatu di muka
asalnya, dalam hal ini jika hukum bumi untukmu sekalian”
asalnya boleh maka kebolehan itulah Partikel iḍâfah yang terdapat dalam
status hukum yang berlaku. Namun jika ayat tersebut adalah lam (dalam lafadz
terdapat nash yang mengindikasikan lankum) yang mengandung faidah makna
haram, maka dengan sendirinya status kepemilikan atau kemanfaatan. Konteks
hukum asal terhapus oleh nash tersebut. yang dikandung ayat tersebut adalah
Sebagai contoh adalah keharaman kasih sayang Allah SWT. kepada umat
daging babi yang disebutka secara jelas manusia, sehingga konsekuensi yang
di dalam Al-Qur`an. Dengan adanya ditimbulkan adalah kebolehan
nash keharaman “lahm al-khinzîr” maka memanfaatkan segala sesuatu yang
status hukum asal terhadap daging babi diciptakan oleh Allah SWT.
tidak dapat diterapkan. 2) QS. Al-A’raf [7] : 32
Dalam hal hukum asal sesuatu,
ﭣﭤﭥﭦﭧ ﭨﭩﭪ ﭫ
ulama-ulama pemuka mazhab berbeda
pendapat. Imam Syafi’i berpendapat ﭬ ﭭﭮ
bahwa hukum asal sesuatu adalah boleh, "Katakanlah:Siapakah yang berani
mengharamkan perhiasan Allah yang
sementara Imam Abu Hanifah telah dikeluarkan untuk hambaNya
berpendapat bahwa hukum asal segala dan rezeki-rezeki yang baik itu?"
3) Q.S. Al-An’am [6]: 145 itu adalah haram; sedang apa yang Ia
diamkannya, maka dia itu dibolehkan
ﮙﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞﮟ ﮠ ﮡ ﮢ (ma'fu). Oleh karena itu terimalah
dari Allah kemaafannya itu, sebab
ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨﮩﮪ ﮫ sesungguhnya Allah tidak bakal lupa
sedikitpun."
ﮬ ﮭ ﮮﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ
6) Hadits riwayat Daraquthni, yang
ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ dihasankan oleh an-Nawawi.
ْ ْ
ﯡ ن أ َّشياء ف َّ ََّل و َّنى َّع،ض ِي ُع ْو َّها َّ ُُ ض ف َّ ََّل
َّ الّل ف َّ َّر إن
َّ َّ َّ َّ َّ َّ ِ
ت ْ ْ ً ْ وحد،ُنتك ْوها
ْ
َّ ك َّ َّو َّس،ح ُدودا ف َّ ََّل َُّ ع َّت ُدو َّها ُ َّ َّ َّ َّ ُ ِ َّ َّ
"Katakanlah! Aku tidak menemukan
ْ ْ نغ ْ ْ
tentang sesuatu yang telah
ْ ْ ْ ْ
ناَّ ان ف َّ ََّل َُّب َّحث ُوا َّع
ٍ ي ن ِس َّيِ َّ اء ِم
diwahyukan kepadaku soal makanan ن أ َّشي َّع
yang diharamkan untuk dimakan, َّ َّ
melainkan bangkai, atau darah yang "Sesungguhnya Allah telah
mengalir, atau daging babi; karena mewajibkan beberapa kewajiban,
sesungguhnya dia itu kotor (rijs), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan
atau binatang yang disembelih bukan Allah telah memberikan beberapa
karena Allah. Maka barangsiapa batas, maka jangan kamu langgar dia;
yang dalam keadaan terpaksa dengan dan Allah telah mengharamkan
tidak sengaja dan tidak melewati sesuatu, maka jangan kamu
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu pertengkarkan dia; dan Allah telah
Maha Pengampun dan Maha Belas- mendiamkan beberapa hal sebagai
kasih." tanda kasihnya kepada kamu, Dia
tidak lupa, maka jangan kamu
4) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. perbincangkan dia."
َش ٍء َّل ْم
ْ ن ْ ن سأ ل عْ إن أ ْعظم الْم ْسلمني ج ْر ًما م
َّ
َّ َّ َّ َّ َّ ُ َّ ِ ِ ُ َّ َّ َّ َّ ِ 7) Hadits riwayat Tarmizi dan lbnu
ْ نأ
ج ِل م ْسأ َّ َّل ِت ِه ْ
َّ ح ِر َّم ِم
ْ
َّ ُ َّ ف،ُي َّح َّرم
Majah
“Sesungguhnya kecelakaan terbesar ْ أن رس ْو ل الّل ص َّل الّل عليْه وسلم سئل ع
ن َّ َّ ِ ُ َّ َّ َّ َّ ِ َّ َّ ُ َّ ِ َّ ُ َّ َّ َّ
ْ ْ ْ
kaum muslimin adalah ketika
( َّا ل َّح ََّل ُل ما أ َّح َّل:ال
َّ َّ ق َّ ف ،ءِ ا ر ف ال و ن
ِ م الس و جنب ال
َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ َّ
seseorang mempertanyakan sesuatu
ْ
yang tidak diharamkan, kemudian
وما.اب ِه ِت ِ ف الّل م ر ح ا م ام ر ح وال،الّل ف ِتابه
َّ َّ ِ َّ ِ ُ َّ َّ َّ َّ ُ َّ َّ َّ ِ ِ َّ ِ ِ ُ
menjadi diharamkan karena
ْ ْ
pertanyaannya itu”.
ت َّعن ُه ف َّ ُهو ِم َّما َّع َّفا َّعن ُه
5) Hadits riwayat Abu Daud, Al-Bazzar, َّ َّ ك
َّ َّس
ْ ْ
kitabNya; dan yang disebut haram
ن ِلينسى َّشيْ ًئا الّل ل ْم يك َّ
َّ َّ ُ َّ َّ َّ
ialah: sesuatu yang Allah haramkan
dalam kitabNya; sedang apa yang Ia
"Apa saja yang Allah halalkan dalam diamkan, maka itu merupakan salah
kitabNya, maka dia adalah halal, dan satu yang Allah maafkan untuk
apa saja yang Ia haramkan, maka dia kamu."
ْ
التح ِر ْي ْ ْا
perbedaan-perbedaan pendapat tersebut
َّ ائ ِح
ِ اذب
ََّّ لص ُل ِف
َّ َّ
ُ sebagai berikut:
“Hukum asal binatang sembelihan 1) Bacaan basmalah dalam
adalah haram.” penyembelihan binatang wajib secara
Pada dasarnya hukum asal daging mutlak, jika penyembelih tidak
binatang yang boleh dikonsumsi adalah membaca basmalah, maka binatang
halal apabila telah melalui proses sembelihan haram dikonsumsi.
penyembelihan yang sesuai dengan 2) Basmalah wajib dibaca ketika
tuntunan syari’at. Dengan kata lain hukum penyembelih dalam keadaan ingat,
asal daging adalah haram, status hukum ketika terlupa maka kewajiban
haram tersebut dapat berubah jika tersebut gugur. Konsekuensi hukum
Umar berkata “Hai pemilik saluran air, Hukum Asal dari bahan pangan
jangan beri tahu kami karena kami adalah halal. Berdasarkan prinsip
dilarang mencari-cari masalah” kontinuitas (istiṣḣâb) status hukum
(Nadirsyah Hosen, 2015: 15). halal tersebut tetap berlaku selama tidak
ada informasi yang valid dan gamblang
C. Simpulan
atau indikasi yang menunjukkan
Kehalalan merupakan jaminan
keharaman atau larangan untuk
ketenteraman batin seorang muslim
mengkonsumsi. Dalam hal
dalam konsumsi bahan pangan.
mengkonsumsi makanan yang status
Penjaminan bahan pangan yang berlaku
hukum asalnya adalah halal, namun tidak
di Indonesia adalah sertifikat dan label
diketahui jaminan kehalalannya, tidak
halal pada produk-produk bahan pangan.
perlu mempersulit diri sendiri dengan
Sertifikat halal dan label halal pada
mempertanyakan keabsahan dan legalitas
kemasan produk merupakan jaminan
status halalnya. Dengan meneguhkan
bahwa produk yang dimaksud adalah
keyakinan dan kemantapan hati dan
halal. Namun demikian tidak serta merta
diiringi bacaan Basmalah cukup menjadi
dapat diasumsikan bahwa produk yang
jaminan kehalalan bahan pangan yang
tidak memiliki sertifikat halal dan label
dikonsumsi.
halal pada kemasannya adalah produk
yang haram dikonsumsi.
***
DAFTAR PUSTAKA
Abd al 'Ati, Hammudah. 1984. The Arifi, Ahmad. 2008. Pergulatan
Family Structure in Islam. Pemikiran Fiqih "Tradisi" Pola
Diterjemahkan oleh Anshari Thayib. Madzhab. Yogyakarta: Bidang
Keluarga Muslim. Surabaya: Bina Akademik UIN SUKA.
Ilmu.
Basri, Cik Hasan. 2003: Model
Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain Penelitian Fiqih. Jakarta: Prenada
bin Mas’ud. 1983. Syarḣ as-Sunnah. Media.
Beirut: al-Maktab al-Islami. Cet. II. Djatnika, Rachmat. 1996. Jalan Mencari
Ali Burnu, Muhammad Shidqi. 1996. Al- Hukum Islami Upaya ke Arah
Wajîz fî Iḍâḣ Qawâ’id al-Fiqh al- Pemahaman Metodologi Ijtihad.
Kulliyah. Beirut : Muassasah ar- dalam Ahmad, Amrullah (et.al).
Risalah. Cet. IV. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam
Amir, Zainal Abidin. 2004. Islam Sistem Hukum Nasional: Mengenang
65 tahun Prof. Dr. H. Busthanul
Akomodatif: Rekonstruksi
Pemahaman Islam sebagai Agama Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani
Press. Cet I.
Universal. Yogyakarta: LkiS. Cet I.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Qal’aji, Muhammad Rawwas dan Hamid
Muhammad. Tt. . Iḣyâ` ‘ulûm ad-Dîn. Shadiq Qunaibi. 1988. Mu’jam Lughat
Juz III. Beirut: Dar Ihya` al-Kutub. Fuqahâ`. Tp: Dar an-Nafais li aṭ-
Ṭab’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’
Hasan, Muhammad Thalhah. 2005:
Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Qardhawi, Yusuf. 1980. Al-Halâl wa al-
Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Harâm fi al-Islâm. Beirut: al-Maktab
Lantabora Press. al-Islami. Cet XIII.
Hosen, Nadirsyah. 2015. Dari Hukum Quraish Shihab. 2002. Wawasan Al-
Makanan tanpa Label Halal hingga Qur’an. Tafsir Tematik atas Pelbagai
Memilih Mazhab yang Cocok. Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Bandung 2015. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Ibnu Rusyd, Muhammad bin Az-Zuhaili, Wahbah. 1985. al-Fiqh al-
Muhammad. 2004. Bidâyat al- Islâm wa `Adillatuhu, Juz III.
Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtaṣid. Juz Damascus: Dar al Fikr. Cet II.
II. Cairo: Dar al-Hadits.
________________. 1986. Uṣûl al-Fiqh
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Tt. Kitâb al-Islâmi. Juz I. Damascuss: Dar al-
al-Majmû’ Syarḣ al-Muhażżab. Fikr.
Jeddah: Dâr al-Irsyâd.