Serial Kasus Tatalaksana Retinopathy of Prematurity ROP - Andreas Lukita Halim

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT CICENDO
BANDUNG

Laporan Kasus : Serial Kasus Tatalaksana Retinopathy of Prematurity (ROP)


Penyaji : Andreas Lukita Halim
Pembimbing : dr. Sesy Caesarya, SpM

Telah diperiksa dan disetujui oleh


Pembimbing Unit Pediatrik Oftalmologi dan Strabismus

dr. Sesy Caesarya, SpM

Rabu, 8 April 2020


Pukul 15.00 WIB
CASE SERIES OF
THE MANAGEMENT OF RETINOPATHY OF PREMATURITY (ROP)

ABSTRACT
Introduction : Retinopathy of prematurity (ROP) is a vasoproliferative disease of
the retinal vessels that affects premature infants which can lead to a severe and
irreversible visual loss if left untreated. It becomes a significant burden for
developing countries. Screening of the premature babies is the first step in ROP
management. With current advanced technology, better understanding of ROP also
facilitates better diagnostic and treatment modalities for ROP.
Purpose : To describe 3 cases of ROP with different stages and its management.
Method : Descriptive study reporting patients’ clinical course in the polyclinic.
Case Report : Case 1, a baby boy PMA 43 weeks with ROP zone II stage 2 OD +
ROP zone III stage 3 OS + Pre-Plus disease underwent laser indirect
ophthalmoscopy (LIO) ODS. Case 2, a baby boy PMA 35 weeks with Aggressive
Posterior ROP (AP-ROP) ODS underwent intravitreal anti-VEGF injections for
both eyes. Case 3, a baby boy PMA 36 weeks with ROP stage 4A ODS underwent
pars plana vitrectomy (PPV) ODS.
Conclusion : Type 1 ROP based on ETROP criteria was the indication to start the
treatment. Intravitreal anti-VEGF injection was addressed to AP-ROP or advanced
ROP within zone I. Vitrectomy surgery was addressed to stage 4-5 ROP with retinal
detachment. Primary prevention through well-managed screening programme for
premature infants was the more effective way to manage the ROP.
Keywords : retinopathy of prematurity, ROP, management, cryotherapy, laser
indirect ophthalmoscopy, anti-VEGF, vitrectomy

I. PENDAHULUAN
Retinopathy of prematurity (ROP) merupakan kondisi kelainan
perkembangan pembuluh darah retina yang terjadi pada bayi prematur. World
Health Organization (WHO) mengestimasikan 1.4 juta anak di dunia mengalami
kebutaan dan dua pertiganya terjadi di negara berkembang. ROP menjadi penyebab
utama kebutaan yang dapat dicegah pada anak-anak ini dan memiliki dampak
gangguan penglihatan yang signifikan. Data dari Indonesia diperoleh dari Siswanto
et.al yang melaporkan insidensi ROP di NICU (Neonatal Intensive Care Unit) RS
Harapan Kita Jakarata dari tahun 2005 sampai 2015. Dalam rentang waktu 11 tahun
ini didapatkan 311 bayi prematur <32 minggu dengan berat badan <1500 gram yang

1
2

dilakukan skrining ROP, di mana 30% dari bayi prematur ini mengalami ROP stage
1-2 dan sebanyak 6.1% mengalami ROP stage 3-5. Usia gestasi yang rendah dan
berat badan bayi yang rendah merupakan faktor risiko utama kejadian ROP.1-3
Kondisi ROP pertama kali dilaporkan Terry pada tahun 1942 sebagai
gambaran retrolental fibroplasia yang terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur.
Lalu kemudian pada tahun 1950an Patz et.al mengemukakan peran suplementasi
oksigen terhadap insidensi ROP. Kemajuan teknologi dalam bidang neonatologi
yang meningkatkan harapan hidup bayi prematur menyebabkan penambahan pula
pada kejadian ROP. Sejumlah studi pendahuluan berupa ICROP, CRYO-ROP, dan
ETROP memberikan fondasi bagi perkembangan studi lanjutan lainnya yang
memberikan gambaran komprehensif mengenai patogenesis, perjalanan klinis, dan
tatalaksana bagi kondisi ROP. Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan
pilihan tatalaksana dari 3 kondisi ROP dengan derajat keparahan yang berbeda.1,2,4

II. LAPORAN KASUS


Kasus 1
Bayi A, berjenis kelamin laki-laki usia 13 minggu (PMA / Post Menstrual
Age 43 minggu) datang ke poliklinik Pediatrik Oftalmologi dan Strabismus PMN
RS Mata Cicendo atas anjuran untuk kontrol setelah sebelumnya dilakukan skrining
ROP di bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin. Pasien memiliki riwayat lahir
prematur 30 minggu dengan Berat Badan Lahir (BBL) 1200 gram, lahir secara
sectio caesaria atas indikasi triplet disertai letak sungsang. Pasien merupakan triplet
kesatu, dengan triplet kedua dapat bertahan hidup, namun triplet ketiga tidak
mampu bertahan hidup. Pasien mengalami kondisi sepsis, radang paru, kuning,
serta dirawat di ruang NICU selama 3 bulan.
Status generalis bayi dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan tajam penglihatan kedua mata blink reflex (+), sklera tampak ikterik,
sedangkan segmen anterior lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan segmen
posterior mata kanan didapatkan vaskularisasi mencapai zona II, ridge (+), dan
turtuosity (+); pada mata kiri didapatkan vaskularisasi mencapai zona III, ridge (+),
fibrovaskular (+), dan turtuosity (+) (Gambar 2.1). Pasien didiagnosis dengan ROP
3

Zona II Stage 2 OD + ROP Zona III Stage 3 OS + Plus Disease ODS. Pasien
direncakanan Examination Under Anesthesia (EUA) dan dikonsulkan ke unit
Retina untuk sekaligus dilakukan Laser Indirect Ophthalmoscopy (LIO) ODS
dalam narkose umum. Pada saat EUA, segmen posterior kedua mata dievaluasi
kembali menggunakan RetCam (Gambar 2.2), lalu setelahnya dilakukan prosedur
LIO pada area retina yang avaskular. Pasca LIO diberikan tetes mata ofloxacin dan
artificial eye tears, lalu pasien diminta kontrol 1 minggu yang akan datang. Pada
saat kontrol, pada mata kanan didapatkan vaskularisasi mencapai zona II dan mata
kiri mencapai zona III. Pada kedua mata didapatkan turtuosity yang sudah minimal,
neovaksularisasi (-), scar laser (+). Pasien disarankan untuk kontrol 2 minggu yang
akan datang.

Gambar 2.1 Funduskopi Kasus 1. Tampak ridge di zona II (OD) dan fibrovaskular
di zona III (OS). Gambaran turtuosity sesuai Plus disease.

OD OS
Gambar 2.2 Hasil RetCam Kasus 1. Gambaran sebelum prosedur LIO ODS.
4

Kasus 2
Bayi N, berjenis kelamin laki-laki usia 4 minggu (PMA 35 minggu) datang
ke poliklinik Pediatrik Oftalmologi dan Strabismus PMN RS Mata Cicendo dengan
riwayat lahir prematur 31 minggu dengan BBL 1400 gram. Pasien lahir spontan
dengan ibu riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD), dirawat di NICU selama 25 hari,
dan sempat menggunakan ventilator.
Status generalis bayi dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan tajam penglihatan kedua mata blink reflex (+), segmen anterior dalam
batas normal. Pada pemeriksaan segmen posterior didapatkan vaskularisasi
mencapai zona II, ridge tidak jelas, neovaskular (+), dan turtuosity hebat (+) pada
kedua mata (Gambar 2.3). Pasien didiagnosis dengan Suspek ROP Zona II Stage 3
+ Plus Disease ODS dan didiagnosis banding Aggressive Posterior ROP (AP-ROP)
ODS. Pasien menjalani prosedur EUA menggunakan RetCam dan didapatkan
turtuosity yang masif dan dilatasi vena pada zona I-II, sehingga didiagnosis sebagai
AP-ROP ODS (Gambar 2.4). Pasien dikonsulkan ke unit Retina untuk
pertimbangan dilakukan LIO ODS. Pada saat skrining toleransi operasi, bagian
Anak dan Anestesi tidak menyarankan tindakan dalam narkose umum sehingga
diputuskan untuk dilakukan injeksi intravitreal anti-VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor) ODS dalam anestesi lokal. Injeksi anti-VEGF Bevacizumab
dilakukan di ruang operasi dengan dosis 0.625 mg/ 0.025 mL dengan jarak 1 mm
dari limbus. Pasca injeksi diberikan tetes mata ofloxacin dan artificial eye tears,
lalu pasien diminta kontrol 1 minggu yang akan datang, namun belum kontrol lagi
sampai sekarang.

Gambar 2.3 Funduskopi Kasus 2. Tampak neovaskularisasi di zona II (ODS) dan


5

gambaran turtuosity yang prominen pada kedua mata.

OD OS
Gambar 2.4 Hasil RetCam Kasus 2. Gambaran fundus sebelum injeksi anti-VEGF.

Kasus 3
Bayi R, berjenis kelamin laki-laki usia 8 minggu (PMA 36 minggu) datang
ke bagian Daycare PMN RS Mata Cicendo atas anjuran untuk dilakukan tindakan
LIO ODS setelah didagnosis ROP Zona II Stage 3 + Plus Disease ODS pada saat
skrining ROP di bagian Neonatologi RS Hasan Sadikin. Pasien memiliki riwayat
lahir prematur 28 minggu dengan BBL 1130 gram. Pasien lahir spontan, mengalami
sepsis, kuning, dirawat 2 bulan di NICU, dan terpasang ventilator selama 1 bulan.
Status generalis bayi dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologis
didapatkan tajam penglihatan kedua mata blink reflex (+), sklera tampak ikterik,
sedangkan segmen anterior lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan segmen
posterior mata kanan didapatkan vaskularisasi mencapai zona II, ridge (+),
fibrovaskular (+), turtuosity (+), dan kemungkinan ablasio retina; pada mata kiri
didapatkan vaskularisasi mencapai zona II, ridge (+) tebal, fibrovaskular (+),
turtuosity (+), dan perdarahan preretina. Pasien didiagnosis dengan ROP Zona II
(suspek) Stage 4A OD + ROP Zona II Stage 3 OS + Plus Disease ODS. Dari
pemeriksaan EUA menggunakan RetCam didapatkan turtuosity arteri dan dilatasi
vena pada kedua mata, serta ablasio retina tanpa mengenai makula pada mata kanan
(Gambar 2.5), kemudian dilakukan prosedur LIO ODS pada area retina yang
avaskular. Pasca LIO diberikan tetes mata ofloxacin dan artificial eye tears, lalu
pasien diminta kontrol 1 minggu yang akan datang.
6

OD a. b. OS
c. d.

OD OS
Gambar 2.5 Hasil RetCam Kasus 3. Gambaran fundus sebelum prosedur LIO, tampak
ablasio retina traksional OD (a) dan jaringan fibrovaskular di zona II OS (b). Gambaran
setelah prosedur LIO, tampak scar laser pada kedua mata (c) (d).

Pasien datang kontrol 1 minggu pasca LIO (PMA 37 minggu) ke poliklinik


Pediatrik Oftalmologi dan Strabismus. Pada pemeriksaan segmen posterior mata
kanan didapatkan turtuosity (-), scar laser (+), dan redetached retina. Pada
pemeriksaan segmen posterior mata kiri didapatkan turtuosity (-), scar laser (+), dan
ablasio retina di tepi ridge (Gambar 2.6a). Pasien didiagnosis dengan ROP Stage
4A ODS dan dikonsulkan ke unit Retina untuk tindakan Pars Plana Vitrectomy
(PPV) ODS. Dua hari kemudian dilakukan tindakan PPV + Cairan ODS dalam
narkose umum. Pasca PPV diberikan tetes mata ofloxacin dan prednisolon asetat,
lalu pasien diminta kontrol 1 minggu yang akan datang. Pada saat kontrol 1 minggu
pasca PPV (PMA 38 minggu) masih didapatkan sisa traksi pada kedua mata dan
dragging makula pada mata kanan (Gambar 2.6b). Pasien disarankan untuk tetap
kontrol 1 minggu yang akan datang.
7

(a) (b)
Gambar 2.6 Funduskopi Kasus 3. (a) Kontrol 1 minggu pasca LIO (PMA 37 minggu)
didapatkan ablasio retina (stage 4A) pada kedua mata. (b) Kontrol 1 minggu
pasca PPV (PMA 38 minggu) didapatkan sisa traksi dan dragging makula OD.

III. DISKUSI
Pembuluh darah retina tumbuh secara sentrifugal dimulai dari diskus optikus,
mencapai ora serrata nasal pada usia 36 minggu dan mencapai ora serrata temporal
pada usia 40 minggu pada kondisi fisiologis. Pada kondisi prematur, perkembangan
vaskular retina tersebut tidak berjalan dengan sempurna. Patofisiologi ROP terjadi
dalam 2 fase, yaitu fase vaso-obliteratif dan fase vaso-proliferatif. Pada fase
pertama vaskularisasi retina berhenti akibat kondisi hiperoksia relatif. Pada fase
kedua, lapisan retina yang mulai aktif secara metabolik mengalami kondisi hipoksia
dan akhirnya mensekresikan VEGF yang merangsang proses neovaskularisasi
patologis. Strategi terapi ROP yang tersedia saat ini berfokus untuk tatalaksana
pada fase kedua dan belum ada terapi spesifik yang mengatasi proses patologis pada
fase pertama. Modalitas terapi yang dapat diberikan kepada bayi prematur yang
mengalami ROP yaitu, terapi krioterapi, fotokoagulasi laser, injeksi intravitreal
anti-VEGF, dan operasi vitrektomi pada kasus lanjut.4-7
Berdasarkan International Classification of Retinopathy of Prematurity
Revisited (ICROP), klinis ROP dapat dideskripsikan sesuai dengan Tabel 2.1.
Klasifikasi ini menjadi konsensus bersama dalam penentuan derajat ROP yang
memfasilitasi perkembangan studi klinis lainnya. Studi Multicenter Trial of
Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity (CRYO-ROP) menyatakan tatalaksana
krioterapi pada jenis ROP threshold disease dapat menurunkan hampir 50% risiko
kejadian yang tidak diinginkan dari ROP, dibandingkan dengan kelompok mata
yang tidak diterapi. Threshold disease pada studi CRYO-ROP ini didefinisikan
8

sebagai ROP zona I-II stage 3, melibatkan 5 jarum jam secara kontinu atau 8 jarum
jam kumulatif, dengan Plus disease.4,5,8,9

Tabel 1. Klasifikasi ROP berdasarkan ICROP Revisited 2005


Lokasi
Zona I : area berbentuk lingkaran, pusat : diskus optikus, jari-jari : 2x jarak
diskus optikus ke makula
Zona II : area berbentuk lingkaran, dimulai dari tepi zona I sampai batas ora serrata
bagian nasal
Zona III : sisa area berbentuk bulan sabit, dimulai dari tepi zona II sampai ora serrata
bagian temporal
Ekstensi
Dideskripsikan dalam jumlah jam (per 30 derajat) yang terlibat
Severitas
Stage 0 : retina imatur, tidak terdapat ROP
Stage 1 : demarcation line
Stage 2 : ridge
Stage 3 : proliferasi fibrovaskular ekstraretina, neovaskularisasi
Stage 4 : ablasio retina parsial (4A - esktrafovea, 4B - fovea)
Stage 5 : ablasio retina total
konfigurasi anterior-posterior : open/narrow
Plus Disease
Terdapat peningkatan turtuosity arteriol dan dilatasi vena, paling sedikit meliputi
2 kuadran polus posterior
Bisa disertai dengan : pelebaran vaskularisasi iris, iris sulit dilatasi, kekeruhan vitreus
Dikutip dari: The International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity 8

Penggunaan terapi fotokoagulasi laser terus berkembang dan memberikan


hasil yang cukup baik, sehingga dipertimbangkan apakah terapi yang lebih dini
daripada kriteria threshold disease mampu memberikan hasil yang lebih baik.
Akhirnya pada tahun 2003, studi Early Treatment for Retinopathy of Prematurity
(ETROP) menyimpulkan bahwa terapi laser yang lebih dini pada mata dengan pre-
threshold disease mampu mengurangi kejadian yang tidak diharapkan secara
signifikan, dibandingkan dengan mata yang tetap diterapi konvensional
menggunakan kriteria threshold disease. Studi ETROP lebih jauh membagi kriteria
pre-threshold disease menjadi 2 tipe, yaitu ROP Tipe 1 yang menjadi indikasi
dilakukannya terapi laser / krioterapi, dan ROP Tipe 2 yang disarankan untuk
dipantau secara ketat kemungkinan terjadinya progresivitas ROP (Tabel 2.2).4,10,11
9

Tabel 2. Klasifikasi ROP berdasarkan ETROP


Tipe 1 ROP
Zona I, stage berapapun, dengan plus disease
Zona I, stage 3, dengan / tanpa plus disease
Zona II atau III, dengan plus disease
Tipe 2 ROP
Zona I, stage 1 atau 2, tanpa plus disease
Zona II, stage 3, tanpa plus disease
Dikutip dari : Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Cooperative Group 10*

Pada kasus pertama, bayi dengan PMA 43 minggu mengalami kondisi ROP
Zona II Stage 2 OD + ROP Zona 3 Stage III OS + Plus Disease ODS. Pada plus
disease terjadi peningkatan turtuosity arteriol dan dilatasi vena yang prominen, paling
sedikit meliputi 2 kuadran polus posterior. Pasien ini sesuai dengan definisi ROP Tipe
1 berdasarkan ETROP, sehingga dilakukan tindakan Laser Indirect
Ophthalmoscopy (LIO) untuk kedua matanya. Pada saat kontrol 1 minggu pasca
LIO didapatkan turtuosity arteriol sudah minimal, tidak terdapat neovaskularisasi,
dan disarankan untuk kontrol 2 minggu yang akan datang.8,12
Prognosis pasien ini quo ad vitam dubia, karena bayi lahir sangat prematur
dengan berat badan lahir sangat rendah, serta memiliki riwayat kondisi sistemik
penyerta yaitu sepsis, radang paru, dan kuning sehingga masih membutuhkan
pemantauan ketat. Quo ad functionam dubia, karena pasca terapi laser seringkali
didapatkan kondisi miopia. Quo ad sanantionam dubia ad bonam, karena walaupun
pada saat kontrol turtuosity sudah minimal, namun tetap perlu dilakukan
pemantauan berkala sampai kondisi regresi ROP.4,10,13
Pada kasus dua, bayi dengan PMA 35 minggu mengalami kondisi Aggressive
Posterior ROP (AP-ROP) ODS. Berdasarkan klasifikasi ICROP, AP-ROP
merupakan jenis ROP yang lebih berat yang tidak mengikuti perjalanan klasik dari
stage 1 ke 3 seperti ROP pada umumnya, dan dapat langsung menjadi stage 5 bila
tidak segera ditangani, sehingga disebut juga "Rush disease". Karakteristik dari AP-
ROP adalah gambaran Plus disease yang dominan pada polus posterior, yang tidak
sebanding dengan keparahan retinopati yang terjadi di perifer. Jaringan neovaskular
tumbuh secara mendatar pada perbatasan area retina yang vaskular dan avaskular
10

tanpa gambaran khas seperti pada staging, sehingga mudah terlewatkan.


Pemeriksaan funduskopi disarankan menggunakan lensa 20D daripada lensa
25/28D. Kondisi AP-ROP lebih sering terjadi pada bayi-bayi prematur dengan usia
gestasi yang sangat dini dan berat badan sangat rendah.8,14,15
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) merupakan komponen kimiawi
utama yang menyebabkan terjadinya proses neovaskular. Oleh sebab itu tujuan
utama tatalaksana ROP adalah menurunkan level VEGF: baik dengan cara
mengablasi area retina avaskular melalui terapi laser fotokoagulasi, maupun dengan
cara menginaktivasi VEGF yang telah dilepaskan melalui terapi injeksi anti-VEGF.
Salah satu kesulitan terapi laser pada kasus AP-ROP adalah batas yang tidak jelas
antara area retina yang vaskular dan avaskular, sehingga terapi inisial dengan laser
biasanya tidak adekuat. Selain itu, laser hanya menghancurkan komponen selular
yang memproduksi VEGF, sedangkan VEGF yang sudah ada di rongga vitreus
tetap aktif merangsang proses neovaskularisasi. Pemberian agen anti-VEGF
diharapkan dapat menekan laju proses neovaskularisasi ini.7,15,16
Pada tahun 2011 studi Bevacizumab Eliminates the Angiogenic Threat of
Retinopathy of Prematurity (BEAT-ROP) membandingkan hasil terapi monoterapi
anti-VEGF bevacizumab dengan terapi laser pada bayi dengan ROP stage 3 plus,
didapatkan bahwa tingkat rekurensi neovaskularisasi lebih tinggi terjadi pada
kelompok pasca terapi laser dibandingkan kelompok pasca terapi injeksi anti-
VEGF. Perbedaan kejadian rekurensi neovaskular pasca terapi ini bermakna secara
signifikan pada kelompok ROP Zona I, yaitu dari 42% pasca terapi laser menjadi
6% pasca terapi anti-VEGF (odds ratio anti-VEGF 0.09, p=0.003). Namun hal ini
tidak bermakna secara signifikan pada kelompok ROP Zona II Posterior. Hasil ini
memberikan gambaran bahwa manfaat pemberian anti-VEGF lebih selektif pada
ROP stage 3 dengan plus disease di zona I.4,14,17,18
Khusus untuk kondisi AP-ROP, Nicoara et.al melakukan penelitian
retrospektif yang membandingkan hasil regresi AP-ROP antara kelompok yang
diberi terapi laser dengan kelompok anti-VEGF bevacizumab. Peneilitian ini
menunjukkan hasil regresi AP-ROP yang lebih baik secara signifikan pada
kelompok terapi anti-VEGF bevacizumab yaitu sebanyak 85.29% mata
11

dibandingkan dengan kelompok terapi laser hanya sebanyak 75% mata. Pada
kelompok anti-VEGF didapatkan pula pembuluh darah retina berhasil melanjutkan
vaskularisasi sampai ke perifer.15,19
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dari pemberian terapi anti-VEGF
adalah kejadian reaktivasi dari ROP. Studi BEAT-ROP menyatakan bahwa interval
waktu dari pemberian terapi ke kejadian reaktivasi ROP pada kelompok anti-VEGF
bevacizumab adalah 16.0 ± 4.6 minggu, sedangkan pada kelompok laser adalah 6.2
± 5.7 minggu. Reaktivasi ROP dapat terjadi akibat zona avaskular retina yang
iskemik belum sepenuhnya dihambat oleh pemberian anti-VEGF. Oleh karena itu,
pemantauan secara rutin dalam jangka waktu yang lebih lama perlu dilakukan.
Quiram et.al menyarankan pemeriksaan berkala setiap 2 minggu sampai PMA 55-
60 minggu pada bayi yang mendapatkan terapi anti-VEGF, yang dipastikan secara
RetCam dan FFA. Bila terdapat vaskularisasi perifer yang inkomplit maka dapat
dilakukan fotokoagulasi laser tambahan.16,18,19
Hal lain terkait terapi anti-VEGF adalah dampak sistemiknya terhadap bayi
prematur. Pada awal kehidupan bayi masih mengalami proses perkembangan
sistem saraf pusat, paru-paru, ginjal, dan tulang. Dampak sistemik ini sulit untuk
dievaluasi karena pada bayi prematur dengan ROP seringkali juga didapati kelainan
perkembangan organ lainnya secara bersamaan. Sebuah kajian sistematis Cochrane
menyimpulkan bahwa dampak jangka panjang dari anti-VEGF terhadap bayi
prematur belum diketahui secara pasti, sehingga dibutuhkan studi lanjutan dengan
jumlah sampel yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang.15,18,20
Pada kasus kedua ini, bayi PMA 35 minggu dengan AP-ROP ODS
mendapatkan injeksi intravitreal anti-VEGF bevacizumab 0.625 mg/ 0.025 mL
(setengah dosis dewasa) pada masing-masing mata. Prognosis quo ad vitam dubia,
karena bayi prematur masih membutuhkan pemantauan ketat untuk tumbuh
kembang organ lainnya secara menyeluruh dan pada kasus ini belum diketahui
dampak sistemik dari anti-VEGF. Quo ad functionam dubia, karena severitas AP-
ROP lebih berat daripada kasus ROP biasa. Quo ad sanantionam dubia ad malam,
karena tingkat reaktivasi ROP pasca injeksi anti-VEGF tinggi, sehingga
membutuhkan pemantauan jangka panjang.10,15,20
12

Pada kasus ketiga, bayi dengan PMA 36 minggu mengalami ROP Zona II
Stage 3 ODS + Plus Disease ODS dan direncanakan untuk prosedur LIO ODS,
sesuai dengan ROP Tipe 1 menurut studi ETROP. Pada saat kontrol usia PMA 37
minggu ROP berkembang menjadi ROP Stage 4A ODS, sehingga dipertimbangkan
tindakan operasi Pars Plana Vitrectomy (PPV) ODS. Pada saat prosedur vitrektomi,
lokasi membran fibrovaskular perlu diidentifikasi, bila lokasinya di posterior dari
ekuator dapat dilakukan prosedur Lens Sparing Vitrectomy (LSV), sedangkan bila
lokasinya atau dekat dengan lensa, maka perlu dilakukan prosedur lensektomi.
Tujuan tindakan operatif pada stage 4 dan 5 adalah untuk mencegah kebutaan.
Prosedur LSV dapat dipertimbangkan pada ROP stage 4A, di mana ablasio retina
belum mengenai makula, sehingga diharapkan dapat mencapai hasil anatomis dan
fisiologis yang lebih baik. 5,10,21-24
Pada pasien ketiga ini, prognosis quo ad vitam dubia, karena bayi lahir sangat
prematur dengan berat badan lahir sangat rendah, serta memiliki riwayat kondisi
sistemik penyerta yaitu sepsis dan kuning, sehingga masih membutuhkan
pemantauan ketat. Quo ad functionam dubia ad malam, karena pasien ini
mengalami ablasio retina pada kedua mata dan dragging makula yang mengganggu
fungsi penglihatan sentral. Quo ad sanantionam dubia, karena pada pasien ini masih
terdapat sisa traksi pasca operasi vitrektomi, sehingga perlu pemantauan rutin
terlebih dahulu untuk mengetahui kemungkinan antara ablasio retina traksional
ulang atau regresi. 21-23

IV. SIMPULAN
Modalitas terapi ROP meliputi : krioterapi, LIO, injeksi intravitreal anti-
VEGF, dan operasi vitrektomi. ROP Tipe 1 berdasarkan ETROP merupakan
indikasi dilakukannya terapi. Injeksi intravitreal anti-VEGF ditujukan untuk
kondisi AP-ROP dan ROP tahap lanjut terutama di Zona I. Terapi operasi
vitrektomi ditujukan untuk ROP yang disertai ablasio retina (stage 4 dan 5).
Prevensi primer dalam bentuk skrining bayi prematur yang terkelola dengan baik
merupakan langkah yang lebih efektif dalam penatalaksanaan ROP, dibandingkan
dengan penanganan dampak neovaskularisasi yang telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Parappil H, Pai A, Mahmoud NA, AlKhateeb MA, Al Rifai H, El Shafei MM.


Management of retinopathy of prematurity in a neonatal unit: Current
approach. J Clin Neonatol 2019;8:203-11
2. Sen P, Wu WC, Chandra P, Vinekar A, Manchegowda PT, Bhende P.
Retinopathy of prematurity treatment: Asian perspectives. Eye (Lond). 2019.
In Press.
3. Edy Siswanto J, Sauer PJ. Eleven years of retinopathy of prematurity in one
neonatal intensive care unit in Jakarta, Indonesia. Arch Dis Child 2018;0:1–3.
4. Sternberg Jr. P, Durrani AK, AJO Centennial: Evolving concepts in the
management of retinopathy of prematurity, American Journal of
Ophthalmology, 2017.
5. American Academy of Ophthalmology. 2016-2017 Basic and Clinical Science
Course 2016-2017, Section 6 : Pediatric Ophthalmology and Strabismus. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2016.
6. Hartnett ME. Pathophysiology of ROP. In Retinopathy of Prematurity : Current
Diagnosis and Management. 1st edition. Switzerland : Springer International
Publishing. 2017.
7. Chan-Ling, T., Gole, G.A., Quinn, G.E., Adamson, S.J., Darlow, B.A.
Pathophysiology, screening and treatment of ROP: A multi-disciplinary
perspective, Progress in Retinal and Eye Research, 2017.
8. International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The International Classification of Retinopathy of Prematurity revisited.
ArchOphthalmol 2005;123:991-9.
9. Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity Cooperative Group. Multicenter
trial of cryotherapy for retinopathy of prematurity: preliminary results. Arch
Ophthalmol 1988;106:471-9.
10. Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Cooperative Group. Revised
indications for the treatment of retinopathy of prematurity: results of the Early
Treatment for Retinopathy of Prematurity Randomized Trial. Arch Ophthalmol
2003; 121:1684-94.
11. Good WV, Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Cooperative
Group. Final Results of the Early Treatment for Retinopathy of Prematurity
(ETROP) Randomized Trial. Trans Am Ophthalmol Soc 2004, 102:233-248.
12. Wallace D.K.; Freedman S.F.; Hartnett M.E.; Quinn G.E.. Predictive value of
pre- plus disease in retinopathy of prematurity. Arch Ophthalmol. 2011; 129:
591-596.
13. Fierson WM, AAP American Academy Of Pediatrics Section on
Ophthalmology, AAO AAPOS AACP. Screening Examination of Premature
Infants for Retinopathy of Prematurity. Pediatrics. 2018;142(6)
14. Ahn YJ, Hong KE, Yum HR, Lee JH, Kim KS, Youn YA, Park SH.
Characteristic clinical features associated with aggressive posterior retinopathy
of prematurity. Eye (Lond). 2017;31:924–30.
15. Nicoară SD, Ștefănuţ AC, Nascutzy C, Zaharie GC, Toader LE, Drugan TC:
Regression rates following the treatment of aggressive posterior retinopathy of

13
prematurity with bevacizumab versus laser: 8-year retrospective analysis. Med
Sci Monit 2016; 22:1192–1209.
16. Pulido CM, Quiram PA. Current understanding and management of aggressive
posterior retinopathy of prematurity. World J Ophthalmol 2015; 5(2): 73-79.
17. Mintz-Hittner HA. Bevacizumab eliminates the angiogenic threat of
retinopathy of prematurity (BEAT-ROP). ClinicalTrials.gov. 2010.
18. Mintz-Hittner HA, Kennedy KA, Chuang AZ: Efficacy of intravitreal
bevacizumab for stage 3+ retinopathy of prematurity. N Engl J Med, 2011; 364:
603–15.
19. Blair M, Gonzalez JM, Snyder L, Schechet S, Greenwald M, Shapiro M, et al.
Bevacizumab or laser for aggressive posterior retinopathy of prematurity.
Taiwan J Ophthalmol 2018;8:243-8.
20. Sankar MJ, Sankar J, Mehta M, Bhat V, Srinivasan R. Anti‐vascular
endothelial growth factor (VEGF) drugs for treatment of retinopathy of
prematurity. Cochrane Database of Systematic Reviews 2016, Issue 2.
21. Kusaka S. Current concepts and techniques of vitrectomy for retinopathy of
prematurity. Taiwan J Ophthalmol 2018;8:216-21.
22. Sen P, Bhende P, Sharma T, Gopal L, Maitray A, Shah P, et al. Surgical
outcomes of microincision vitrectomy surgery in eyes with retinal detachment
secondary to retinopathy of prematurity in Indian population. Indian J
Ophthalmol 2019;67:889-95.
23. Karacorlu M, Hocaoglu M, Sayman MI, et al. Br J Ophthalmol 2017;101:730–
734.
24. Bhende P.S., Lobo A. Micro Incision Vitrectomy Surgery (MIVS): An
Overview, Sci J Med & Vis Res Foun 2015;XXXIII:57–60.

14

You might also like