Bab Iii

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 33

BAB III

BAGAIMANA AJARAN BRAHMAVIDYA (TEOLOGI) DALAM


MEMBANGUN SRADDHA DAN BHAKTI (IMAN DAN TAKWA)
MAHASISWA

A. Menelusuri konsep ajaran Brahmavidya (teologi) dalam membangun


sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

Apakah yang dimaksud dengan sraddha? Dapatkah Anda menjelaskan hubungan


konsep sraddha dengan ajaran Brahmavidya?
Sraddha mengandung makna yang sangat luas, yakni keyakinan atau keimanan.
Dalam memperluas wawasan kita tentang istilah ini, beberapa pengertian istlah
Sraddha akan ditinjau dari beberapa pandangan, seperti diungkapkan Yaska dalam
bukunya Nighantu (III. 10), yaitu: kata Sraddha berasal dari akar kata srat yang
berarti kebenaran.
Menurut Lexicographer Amarasimha dalam bukunya Amarakosa (III. 102),
menyatakan bahwa sraddha mengandung makna suatu keyakinan atau keinginan
(Seshagiri Rao, 1974: 6). Di dalam A Sanskrit-English Dictionary, karya Sir Monier
Monierm Williams (1990:1095) kata Sraddha diterjemahkan sebagai suatu
keimanan, kepercayaan, keyakinan, penuh kepercayaan, penuh keimanan, dan loyal.
Sedangkan di dalam The Practical Sanskrit-English Dictionary, karya VS. Apte (1978:
930), kata sraddha diartikan sebagai suatu kepercayaan, ketaatan, ajaran,
keyakinan; kepercayaan kepada sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama; dan
ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran; akrab, intim, kekeluargaan; hormat,
menaruh penghargaan; kuat penuh semangat; dan kandungan ibu yang berumur
lama. Dari kata sraddha ini lalu mucul kata sraddhalu, yang artinya kepercayaan,
penuh keimanan; kerinduan, dan keinginan terhadap sesuatu. Manusia terbentuk
oleh keyakinannya dan keyakinannya itulah sesungguhnya dia (Bhagavadgita XVII.2-
3).
Menurut Oka Punia Atmaja (1971), merumuskan sraddha ke dalam lima jenis
keyakinan, antara lain:

76
1. Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha, keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dengan berbagai manifestasi-Nya.
2. Atma Tattwa atau Atma Sraddha, keimanan terhadap Atma yang Menghidupkan
semua makhluk.
3. Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha, keimanan terdap kebenaran
hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan.
4. Samsara atau Punarbhawa Tattwa/Punarbhawa Sraddha, keimanan terhadap
kelahiran kembali.
5. Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi
bersatunya Anna dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Bhagavadglta (III.31, IV.39,40) menyatakan mengenai sraddha ini sebagai berikut:
mereka yang selalu mengikuti ajaran-Ku dengan penuh keyakinan (Sraddha) serta
bebas dari keinginan duniawi juga akan bebas dari keterikatan ia yang memiliki
keimanan yang mantap (Sraddha) memperoleh ilmu pengetahuan, menguasai panca
indrianya, setelah memiliki ilmu pengetahuan dengan segera mencapai kedamaian
yang abadi; Tetapi mereka yang dungu, yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, tidak
memiliki keimanan dan diliputi keragu-raguan, orang yang demikian ini tidak
memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan dunia lainnya (Pudja, 2003: 97).
Keyakinan atau kepercayaan manusia itu harus dilandasi juga dengan bhakti,
karena jika hanya sraddha saja tanpa adanya bakti dan penyerahan diri sepenuhnya
kepada Tuhan itu, maka tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Anda sebagai
mahasiswa, renungkanlah hal ini, terutama apa yang diungkap dalam Bhagavadgita
(VI.37) seperti berikut: seseorang yang tidak mampu mengontrol dirinya sendiri,
walaupun ia memiliki Sraddha, apabila pikirannya mengembara kemana-mana, jauh
dari Yoga, apakah yang akhirnya akan diperoleh wahai Krsna, tentunya gagal
mencapai kesempurnaan di dalam Yoga". Demikian pula di dalam Bhagavadgita
VI.47, disebutkan: di antara para Yogi, yang memuja Aku dengan penuh keimanan
yang mantap, yang hatinya menyatu kepada Aku, inilah menurut pendapat-Ku yogi
yang paling sempurna.
Hal ini ditegaskan kembali dalam terjemahan Bhagavadgita VII.22, yang dinyatakan
sebagai berikut: berpegang teguh pada keyakinannya itu, mereka berbhakti melalui
keyakinannya, daripadanya memperoleh apa yang diharapkan mereka, yang
sebenarnya akan terkabulkan oleh-Ku. Pernyataan terakhir ini menunjukkan bahwa
betapa toleransi atau penghargaan terhadap keimanan atau keyakinan seseorang
sangat dihargai, karena dengan kebhaktiannya itu akan terkabulkan oleh Tuhan
Yang Maha Esa.

77
Gambar III.1: Wujud Bhakti Kepada Sang Hyang Widhi
Sumber: http://kebangkitan-hindu.blogspot.com/2012/09/peranan-wanita-didalam-hindu-dan-
weda.htmlpadmasana.html

Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa merupakan
pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki sraddha
dan pegangan yang kuat, tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran
agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti
hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan
yang mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup.
Dalam kehidupan ini, banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia menuju
jurang kehancuran. Di antara banyak hal yang menjerumuskan diri manusia, kitab
suci Bhagavadglta menyatakan adanya 3 sifat atau dorongan, yaitu nafsu (kama),
emosi (krodha), dan ambisi (lobha) yang digambarkan sebagai tiga pintu gerbang
menuju neraka. Di dalam kitab Bhagavadglta XVI.21, dinyatakan: Inilah tiga pintu
gerbang menuju neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, yaitu: nafsu (Kama),
amarah (Krodha), dan ambisi/serakah (Lobha), setiap orang harus meninggalkan
sifat ini. Ketiga sifat-sifat atau kecendrungan itu sering menjerumuskan umat
manusia pada kehancuran diri dan lingkungannya.
Untuk dapat mengatasi hal itu seseorang harus kembali berpegang kepada ajaran
agama yang ditunjukan oleh Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi seperti

78
tercantum dalam kitab suci Veda dan kesusastraan Hindu lainnya. Dalam hal ini
pendidikan spiritual, moral, dan etika, hendaknya semakin ditingkatkan dan
direalisasikan dalam kehidupan nyata, sehari-hari baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial
maupun dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.

1. Berdasarkan pengalaman belajar anda di tingkat dasar dan


menengah, anda diminta untuk mengkaji kasus-kasus terkait
dengan dinamika teologis yang berkembang di lapangan, lebih-
lebih dengan makin dinamisnya perkembangan sampradaya.
Mahasiswa diminta memberi analisis dan melakukan presentasi di
depan kelas.
2. Mahasiswa diminta untuk menelusuri konsep ajaran Brahmavidya
(teologi) dalam membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa)
mahasiswa.

B. Menanya alasan mengapa diperlukan pemahaman terhadap konsep


ajaran Brahmavidya (teologi) dalam membangun sraddha dan bhakti
(iman dan takwa) mahasiswa.
Pendidikan spiritual, moral, dan etika merupakan hal yang sangat mendasar dalam
kehidupan ini, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Sumber pendidikan ini adalah ajaran agama. Pengamalan ajaran agama bagi
seseorang, akan tercermin dalam berperilakunya. Semakin arif dan bijaksana
perilaku seseorang, maka orang tersebut akan semakin tinggi nilai orang tersebut.
Karena telah mengamalkan ajaran agama dengan baik, sebab tidak ada artinya
mengerti atau memahami ajaran agama, bila tidak diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik, seseorang
hendaknya melaksanakan berbagai petunjuk atau petuah yang diajarkan oleh ajaran
agama. Dapatkah Anda menjelaskan mengapa seseorang yang sikap dan sifat
semakin arif dan bijaksana, sabar dan rendah hati serta taat kepada ajaran agama
dinilainya oleh masyaraakat semakin tinggi? Berikanlah contoh-contoh konkret
mengenai sikap dan sifat-sifat yang baik yang harus dilakukan di dalam kehidupan
sehari-hari!
Ajaran Agama Hindu bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan
Yang Maha Esa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang
bersumber pada Veda, maka ia akan memperoleh kesejahteraan, ketentraman,
kedamaian, dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Ajaran agama merupakan
pembimbing kehidupan spiritual, moral, dan etika bagi umat manusia. Kita sebagai
mahasiswa harus mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini tidak selamanya

79
senang, tenang, tentram, damai, dan bahagia. Demikian pula sebaliknya, tidak
selamanya susah atau menderita. Banyak duri dan rintangan yang mesti dihadapi,
demikian pula gelombang kehidupan dengan pasang surutnya seakan-akan lebih
dahsyat dari gelombang di samudra luas. Bila keadaan cuaca tenang, maka
samudra kehidupanpun menjadi senang dan tenang, tetapi sebaliknya bila cuaca
buruk, angin ribut, maka samudra kehidupanpun bergelombang tinggi yang kadang-
kadang ombaknya menghancurkan bibir pantai. Bagaimanakah seseorang
menyelamatkan diri dari gelombang kehidupan ini? Inilah yang Anda harus berikan
jawaban, sehingga benar-benar dapat dipahami bahwa konsep Brahmavidya benar-
benar membangun sraddha dan bhakti yang mantap. Pernahkah Anda mendengar
tentang bagaimana umat Hindu berbhakti?

Gambar III.2: Sembahyang bersama mendekatkan diri kepada Tuhan


Sumber: http://kebangkitan-hindu.blogspot.com/2012/09/peranan-wanita-didalam-hindu-dan-
weda.htmlpadmasana.html

Konsep Brahmavidya ini dapat juga dibangun dengan jalan bhakti. Di dalam ajaran
Agama Hindu kita mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yakni melalui: bhakti marga (jalan kebhaktian), karmamarga (jalan
perbuatan), jnana marga (jalan pengetahuan kerohanian), dan yoga marga (jalan
Yoga/menghubungkan diri kepada-Nya). Diantara jalan-jalan itu, Bhakti Marga
merupakan jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat manusia. Berbagai
bentuk pelaksanaan bhakti marga, maka melaksanakan Tri Sandhya, sembahyang,
dan berdoa merupakan jalan yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap
orang. Tentunya, juga membuat berbagai upacara persembahan, pembangunan
tempat pemujaan, dan berbagai simbol keagamaan yang pada intinya adalah untuk
meningkatkan sraddha dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sabda Tuhan Yang

80
Maha Esa dalam kitab suci Veda secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang
senantiasa sujud dan bhakti kepada-Nya, akan diberikan apa saja yang diperlukan,
akan dilindungi-Nya apa saja yang dimiliki oleh seseorang. Bila kita senantiasa
berdoa mendekatkan diri, maka ketentraman jiwa, kesejahteraan, dan kebahagiaan
akan dapat diwujudkan. Apakah terdapat perbedaan antara sembahyang dengan
berdoa? Ada atau tidak jelaskan alasan Anda!
Bhagavadgita XVIII 65, secara tegas menyatakan: berpikirlah tentang Aku senantiasa
jadilah penyembah-Ku, bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,
pasti engkau datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian kepadamu, karena engkau Aku
sangat kasih (Pudja, 2003: 440). Dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan
berdoa mesti senantiasa kita lakukan karena Tuhan Yang Maha Esa menegaskan
bahwa dengan senantiasa berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang
dan berdoa kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa akan membukakan pintu hati-Nya
dan kita datang kepada-Nya.

Gambar III.3: Berdoa berbhakti


mendekatkan diri kepada Tuhan
Sumber: http://kebangkitan-
hindu.blogspot.com/2012/09/peranan-
wanita-didalam-hindu-dan-
weda.htmlpadmasana.html

Alasan lebih jauh mengapa kita perlu berdoa? Hal itu adalah proses membiasakan
diri guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita patut membiasakan
diri dekat kepada-Nya, memiliki keikhlasan, tidak terikat terhadap objek
keduniawian, rnensyukuri karunia-Nya, dan keseimbangan lahir dan batin dalam
suka dan duka. Dengan demikian, kita akan bebas dari segala penderitaan dan dari

81
pikiran-pikiran negatif yang menjerumuskan diri kita dan orang lain. Tuhan Yang
Maha Esa akan hadir dan menganugrahkan kasih dan kebahagiaan.
Pokok-pokok ajaran tentang bhakti marga dapat kita jumpai dalam kitab suci yang
menunjukkan bahwa sejak Veda diturunkan dan diterima oleh para maharsi
mengembangkan unsur bhakti dalam dirinya. Gayatri mantram, yang terdapat di
dalam Veda mengajarkan ajaran bhakti marga. Mantram tersebut dikutipkan dari
Yajurveda XXXVI.3, sebagai berikut:
Om Bhur Bhuvah Svah
Tat Savitur Varenyarii
Bhargo Devasya Dhimahi
Dhiyo Yo Nah Pracodayat.
Terjemahannya :
Ya Tuhan YangMaha Kuasa, sumber segala yang ada, luhur dan maha
mulia, pencipta alam semesta. Kami memuja kemaha muliaan-Mu,
anugrahkanlah kecerdasan dan budi pekerti yang luhur kepada kami.
Dapatkah Anda menjelaskan, mengapa mantram gayatri ini disebut Vedamata, atau
ibu dari semua mantram Veda? Dengan gayatri mantram ini, kita memohon kepada
Tuhan tentang kecerdasan intelek dan keluhuran budi. Karena dengan berbekal
kecerdasan intelek dan keluhuran budi itu, seseorang memiliki vivekajnana, yakni
kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan saiah.
Selanjutnya setelah mengetahui, dan memahami hai tersebut, sinar budi nurani kita,
terdorong untuk selalu melakukan kebaikan dan kebajikan.
Selanjutnya, perhatikanlah mantram Rgveda 1.89.8, dan Yajurveda XXV.21, di dalam
terjemahannya dinyatakan bahwa: Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada
kami untuk mendengar hal-hal yang baik, dan Ya Tuhan Yang Maha Suci, kami dapat
melihat hal- hal yang baik, dan semogalah kami dapat mempersembahkan bhakti
kami dengan kekuatan tangan, dan keteguhan badan kami, dapat menikmati
kebahagiaan sejati sesuai dengan hukum kemahakuasaan-Mu.
Mantram-mantram Veda tersebut memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala
sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya dan seseorang jangan terikat
kepada keduniawian. Demikian juga sifat serakah yang selalu ingin memiliki milik
atau hak orang lain. Kenapa hal ini sangat ditekankan dalam Veda? Karena Atman
yang suci, yang senantiasa memancarkan keluhuran budi harus selalu dipelihara
kesuciannya, dengan menghindarkan sifat dan sikap keterikatan dan keserakahan.

82
Gambar III.4: Kitab Suci Weda
Sumber: http://agama--
hindu.blogspot.com/2012/07/kitab-suci-
kita-agama-hindu.htmlwanita-didalam-
hindu-dan-weda.htmlpadmasana.html

Bhakti itu adalah yajna, yakni pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian
hati dan berseminya kasih sayang. Dalam kitab Sabdakalpadruma III. 463b, kata
bhakti dinyatakan sebagai vibhaga (pembagian atau pemisahan, memisahkan
penyembah dan yang disembah), seva (pemujaan atau pelayanan). Di dalam
Bhagavadgita (VII. 16-17) kita jumpai penjelasan tentang empat macam orang yang
berusaha mendekatkan diri, berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu
adalah: orang yang sengsara, yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu
pengetahuan, dan orang yang berbudi luhur. Di antara ke empat macam orang
tersebut, maka orang yang berbudi luhur dinyatakan yang paling mulia. Mengapa
demikian, orang yang berbudi pekerti luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-
Nya, Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-
prapatti mengandung makna bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan
dalam kebhaktiannya itu, ia berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan
menyerahkan diri sepenuh hati, maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.

1. Anda diminta memberikan analisis dan membuat artikel tentang


adanya polemik di dalam masyarakat yang memisahkan dominasi
upacara terkait dengan pembangunan kualitas keberagamaan
masyarakat. Analisis dibuat dalam bentuk artikel, yang langsung
menjadi penilaian pembelajaran.
2. Anda diminta menanya alasan mengapa diperlukan pemahaman
terhadap konsep ajaran Brahmavidya (teologi) dalam membangun
sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

83
C. Menggali Sumber historis dan filosofis tentang konsep ajaran
Brahmavidya (teologi) dalam membangun sraddha dan bhakti (iman
dan takwa) mahasiswa.

1. Menggali sumber historis konsep ajaran Brahmavidya (teologi)


Secara historis, penulisan seluruh ajaran Hindu bersumber pada kitab Veda, yaitu
Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti. Di antara sumber-sumber tersebut,
maka yang terpenting adalah bersumber pada kitab-kitab Sruti dan Smrti, dua
sumber tertulis. Dalam sumber-sumber itu pulalah kita jumpai penjelasan-
penjelasan tentang pokok-pokok pengertian Ketuhanan menurut agama
Brahmavidya. Sebagai penganut dan penghayat Agama Hindu, sumber utama
penyusunan adalah pada kitab wahyu Tuhan yang telah dihimpun menjadi kitab suci
Veda. Kitab ini memuat sabda Tuhan (daivi vak} yang diwahyukan (sruti) melalui
para Maharesi pada zaman turunnya Veda, Veda adalah asal mula sastra atau asal
dari semua sastra Veda lainnya.
Sumber utama yang pertama-tama mengungkapkan pengertian adanya
Brahmavidya (Ketuhanan) sebagai ajaran, dengan berbagai aspeknya terdapat di
dalam kitab Veda Sruti (Mantra, Brahmana, dan Aranyaka). Di samping kitab Mantra
(Rg. Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharwa Veda), terdapat pula kitab Smrti
(Vedangga dan Upaveda) yang sedikit banyaknya memuat pokok-pokok Ketuhanan
Hindu. Demikian pula kitab-kitab agama, sastra yang dianggap sebagai Veda kelima
bersama-sama dengan kitab Bhagavadgita, merupakan sumber tertulis yang sangat
penting yang mengajarkan ajaran Ketuhanan Yang Esa. Salah satu di antara kitab
Agama yang ada antara lain kitab Mahanirwana Tantra dan berbagai kitab suplemen
lainnya yang sama pentingnya, seperti kitab Jnana Siddhanta atau sejenisnya.
Di samping itu, khusus mengenai Ketuhanan yang paling banyak dan lengkap
pembahasannya adalah kitab Brahma Sutra. Kitab Brahma Sutra, sesuai menurut
judulnya dan artinya adalah kitab Sutra yang memuat pokok-pokok pengertian
tentang Brahma (Tuhan) yang menjadi bahan pernbicaraan didalam buku itu.
Sebaliknya kitab Mahanirwana Tantra adalah kitab Tantra, yang isinya membahas
mengenai sifat Tuhan Yang Esa dalam berbagai pengertian menurut cara
penghayatannya, sebagai ajaran yang diajarkan (diwahyukan) oleh Tuhan melalui
dialog antara Dewa Siwa dengan Dewi Parwati.
Sumber-sumber tertulis yang bersifat berdiri sendiri (otonom) dapat kita jumpai
sebagai karya tulis yang berkembang sejak abad pertama, antara lain berupa kitab
Purana yang puluhan jumlahnya. Kitab ini mengemukakan pokok-pokok pengertian
tentang Tuhan menurut caranya tersendiri yang lebih bersifat mitologi sehingga
sering menimbulkan berbagai perbedaan tentang pengertian Tuhan diantara para

84
penganutnya sendiri. Dari pokok-pokok pengertian mengenai jumlah dan luasnya
sumber penulisan sebagaimana dikemukakan diatas, dapat dibayangkan banyaknya
sumber yang dapat dipergunakan yang satu dengan yang lain sistim dan metode
penghayatannya tidak sama sehingga tidak jarang dapat menimbulkan perbedaan-
perbedaan pendapat yang mengganggu. Masalah Ketuhanan inilah yang akan
dibahas berturut-turut dalam uraian berikut untuk mendapatkan gambaran yang
jelas tentang pengertian, konsep serta metode penghayatan tentang Tuhan
sebagaimana dapat kita lihat sepanjang sejarah pertumbuhan agama Hindu (Tim
Penyusun, 2012: 27).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kedudukan Brahmavidya (teologi) dalam
Agama Hindu memiliki peranan yang amat penting. Mempelajari Ketuhanan
sebagaimana diungkapkan dalam Veda (kitab Brahma Sutra 1.1.1}, merupakan hal
yang amat penting dan perlu karena dengan mengenal Tuhan secara tepat dan baik,
dinyatakan sebagai jalan yang dapat mengantar manusia kepada jalan
kesempurnaan sampai kepada moksa atau nirwana. Surga dan neraka, moksa dan
samsara mempunyai arti dan hubungan yang erat sekali dengan ajaran Ketuhanan,
baik dalam rangkaian penghayatannya maupun dalam hubungan pengamalannya.
Ketuhanan yang diajarkan
sebagai unsur iman dalam
Agama Hindu, untuk pertama
dijumpai dalam kitab Atharwa
Veda XII.1.1 dan merupakan
unsur dalam penghayatan
Agama Hindu yang paling
penting dalam keseluruhan
pola ajaran Hindu. Oleh karena
itu Tuhan merupakan topik
bahasan yang terpenting di
antara para wipra. Keinginan
manusia untuk lebih banyak
tahu tentang Tuhan dan Gambar III.5: Aksara Suci Tuhan
Sumber:http://komangcomunityanaklabungan.blogs
Ketuhanan yang serba ghaib pot.com/2010_11_01_archive.htmlwanita-didalam-
(suksma), misteri (rahasiya), hindu-dan-weda.htmlpadmasana.html
dan mutlak mengenai
gambaran sifat hakikat (tattwa) Tuhan mendorong manusia untuk lebih banyak
merenung dan mengagumi keghaiban itu dengan berbagai akibatnya.
Penggambaran atau pengucapan tentang Tuhan secara lahiriah, tidak lebih hanya
membatasi sifat keabsolutan-Nya secara arbitratif. Setiap orang akan berpikir dan
bicara lain tentang hal yang sama dan karena itu apa yang lahir dari pikiran dan

85
perkataannya akan lain pula wujudnya yang dipresentasikannya baik dalam sistem
kefilsafatannya maupun dalam sastra dan bahasa. Gambaran inilah yang kita
jumpai pula didalam kitab Sruti yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Dewa
yang cukup menambah masalah baru dalam sistim pemikiran selanjutnya, bila tidak
hati-hati membacanya dan melihatnya dalam satu kerangka yang bulat dalam
sistim pemikiran Ketuhanan menurut alam pikiran Veda.
Brahmavidya atau teologi, adalah ilmu tentang Tuhan, theos dan logos. Di dalam sastra
Sansekerta dan berbagai kitab suci Hindu, ilmu yang mempelajari tentang Tuhan
disebut Brahmavidya. Kata Brahma dalam hal ini diartikan Tuhan, yaitu gelar yang
diberikan kepada Tuhan sebagai unsur yang memberi kehidupan kepada semua
ciptaan-Nya. Sedangkan kata Tattwa berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan
dalam bentuk Nirguna Brahman). Penggunaan kata Tat yang artinya Tuhan, adalah
untuk menunjuk kepada Tuhan yang ada jauh dari manusia. Kata itu dibedakan
dengan kata Idam, yang artinya yang ini yaitu menunjuk pada benda yang dekat,
yaitu semua benda ciptaan Tuhan. Di dalam ilmu agama, khusus dalam bidang
teologi, dikenal berbagai ajaran yang menggambarkan hubungan kepercayaan
manusia dengan Tuhan, seperti: Monotheisme, Polytheisme, Pantheisme, Monisme,
dan Henotheisme. Isme artinya kepercayaan atau ajaran. Disamping isme-isme itu,
terdapat pula berbagai ajaran yang dianggap bersumber pada agama primitif yaitu,
animisme, spiritisme, totemisme, magisme dan sebagainya yang isinya membahas
berbagai aspek kepercayaan masyarakat primitif tentang Roh yang mempengaruhi
hidup manusia. Ditinjau dari berbagai istilah itu, Agama Hindu yang paling banyak
menjadi objek, yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat antara para
indolog sebagai akibat berbeda sumber informasi menggambarkan agama Hindu
sebagai agama Polytheis, agama Monistis, dan agama Monotheistis. Perbedaan
antara ketiga bentuk itu adalah sebagai akibat penggambaran yang salah dan
melihat tidak secara menyeluruh. Pada hakikatnya kesalahan itu akan dapat
dihindari kalau mereka menyadari bahwa untuk melihat sistem Ketuhanan Hindu
harus melihatnya secara konseptual dan menyeluruh dengan melihat keseluruhan
sumber informasi yang dipergunakan. Umumnya para Indolog Hindu berpegang
bahwa agama Hindu adalah agama yang monotheistis atau agama yang monistis.
Kedua pengertian itu, monistis atau monotheistis mengajarkan kepercayaan atau
keyakinan (sraddha) akan adanya Tuhan Yang Esa. Konsep pengertian keesaan
Tuhan itu diangkat dari kitab Rgveda, baik berdasarkan ayat-ayat dari nasadiya
sukta maupun dari purusa sukta. Kedua sukta itu merupakan sumber utama yang
memuat pokok pengertian tentang sistim dan konsepsi Teologi Hindu dalam ajaran
pradananya. (Pudja, 1995:10).
Adapun pembahasan secara khusus mengenai teologi Hindu kita jumpai secara
panjang tebar dari kitab-kitab Darsana, mulai dari kitab Upanisad sampai pada kitab

86
Brahma Sutra. Adapun kitab-kitab Purana yang dijadikan sumber informasi dalam
mempelajari Ketuhanan pada hakikatnya tidak akan memberi gambaran yang jelas,
kecuali ajaran tentang kosmogoni (ilmu tentang penciptaan dunia) dan berbagai
pokok kepercayaan yang menceritakan kehidupan alam dewa-dewa secara
mitologis dan pantheistis.
Mitologi dan konsepsi pantheon yang kita jumpai didalam kitab kitab Purana pada
hakikatnya sangat banyak mempengaruhi cara berpikir para peneliti teologi Hindu
yang kurang menyadari arti serta kedudukan kitab-kitab Purana yang dipergunakan
sebagai sumber informasi. Lebih-lebih kalau diingat bahwa kitab Purana mewakili
berbagai mahzab didalam Agama Hindu sehingga tidak jarang menimbulkan
perbedaan pemikiran diantara para penelitinya yang berpegang hanya pada satu
sumber atau beberapa sumber kitab Purana saja.

2. Menggali sumber filosofis konsep ajaran Brahmavidya (teologi)


Menggali sumber filosofis konsep ajaran Brahmavidya (teologi), sangat berkaitan
dengan betapa pentingnya mempelajari Ketuhanan itu sendiri. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa mempelajari Ketuhanan itu perlu. Tujuannya adalah untuk
mengerti dan memahami tentang Tuhan itu sendiri, sebagaimana halnya dapat
dilihat dari kacamata bahasa atau kata dan pikiran penghayatnya. Dengan demikian
akan dapat dihindarkan pengertian yang salah sejauh mungkin tentang pengertian
Tuhan yang dibedakan dari hal yang bukan Tuhan. Demikianlah dijelaskan bahwa
dalam mencari jalan menuju kepada Tuhan, seorang sadhaka (penghayat) akan
dapat menentukan tujuan sembahyangnya kepada Tuhan secara tepat dengan
mengurangi sedikit mungkin kesalahan-kesalahan sebagai akibat penggunaan
bahasa yang berbeda. Tuhan di dalam agama, termasuk pula Tuhan dalam
pengertian yang dianut menurut agama Hindu adalah merupakan subjek, berkuasa
atas segala ciptaan-Nya. la juga merupakan objek dalam segala pujaan dan
sembahyang. Berpikir tentang Tuhan orang akan sampai kepada Tuhan. Berpikir
tentang Bhuta atau Raksasa orang akan sampai kepada Bhuta atau Raksasa. Oleh
karena itu untuk sampai kepada Tuhan, orang harus selalu berpikir tentang Tuhan.
Berpikir tentang Tuhan berarti orang harus mengenai Tuhan dalam kenyataan, baik
sebagai hakikat yang dikenal sebagai Nirguna Brahman maupun sebagai aspek
Saguna Brahman. Untuk itu orang harus belajar memahami dan mengerti sebaik-
baiknya tentang istilah dan kata-kata yang dipergunakan sebaik-baiknya sebelum
membedakannya dari pengertian lain yang berarti bukan Tuhan.
Perbedaan bahasa dapat memberi arti lain dari yang dimaksudkan walaupun
maksud pikiran adalah seperti apa yang dimaksud sebenarnya. Penggunaan yang
salah dapat menimbulkan arti yang berbeda sehingga dapat pula menimbulkan
image yang salah pula. Itulah sebabnya mengapa perlu seseorang mempelajari

87
tentang pengertian Tuhan sebaik-baiknya sehingga perbedaan bahasa tidak akan
mempengaruhi pokok dan makna yang dimaksud sebagaimana yang diajarkan di
dalam agama. Akhirnya bagi seorang sadhaka (penghayat) yang iman, bahasa
adalah simbol untuk mengemukakan hakikat yang dimaksudkannya. Oleh karena itu
pula tanpa mempergunakan bahasa pengertian Tuhan itupun akan dapat dikemu-
kakan sebagaimana kita jumpai dalam ajaran Tantrayana yang menggantikannya
dengan simbol-simbol atau suara-suara yang kadang-kadang tidak dapat
diterjemahkan. Agama Hindu sebagai agama tertua di dunia, setidak-tidaknya
mempunyai gudang ajaran yang tidak mudah dimengerti sebagai akibat
pertumbuhan dan perpaduan dari berbagai tradisi yang berkembang di berbagai
wilayah yang luas tanpa terkendalikan. Berbagai perbedaan konsep dan pengertian
telah berkembang sebagai akibat perbedaan cara berpikir dan cara penafsirannya
atas satu pokok keimanan yang sama tentang Tuhan. Oleh karena itu, menjadi satu
keharusan yang tidak dapat dielakkan untuk mempelajari pokok-pokok pengertian
tentang Brahmavidya (teologi) sebagai keimanan dalam sistem penghayatan
sebagaimana dijumpai dalam berbagai ungkapan dalam Veda. Demikianlah yang
diharapkan menurut sistem Hindu untuk benar-benar mengerti dan menghayati
agar dalam berpikir tentang Tuhan. Perbedaan bahasa tidak akan mempertajam
perbedaan pengertian yang pada hakikatnya tidak berbeda maksud dan tujuannya
itu.
Sradhha dan bhakti (iman) dan takwa kepada Tuhan, maka kita harus mengerti
tentang Tuhan itu sendiri. Dalam pembahasan sebelumnya telah banyak dibahas
tentang Tuhan itu sendiri. Apakah atau siapakah yang dimaksud dengan Tuhan itu
sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan dasar dalam pemberian
definisi tentang Tuhan. Walaupun pendefinisian tentang Tuhan tidak mungkin atau
salah mendefinisikan tentang Tuhan, namun untuk keperluan praksis dalam
pembahasan dari segi filisofi, mungkin definisi itu kita perlukan sebagai titik tolak
kita berpikir. Kesulitan dalam memberi definisi karena satu definisi yang baik harus
benar-benar memberi gambaran yang jelas dan lengkap, sedangkan Tuhan
mencakup pengertian yang luas dan serba mutlak.
Di dalam kitab Brahma Sutra 1.1.2., lengkapnya berbunyi disebutkan jsnmsdhyasya
yatah, artinyaTuhan ialah dari mana mula (asal) semua ini. Definisi yang kita jumpai
di atas terdapat di dalam kitab Brahma Sutra. Dan itu berdasarkan pada satu
pengertian bahwa Tuhan adalah asal dari segala yang ada, Kata ini diartikan semua
ciptaan, yaitu alam semesta beserta isinya termasuk dewa-dewa dan lain-lainnya.
Tuhan merupakan prima causa yang adanya bersifat mutlak karena harus ada
sebagai asal atau sumber atas semua yang ada.Tanpa ada Tuhan tidak ada ciptaan
ini.Istilah ini juga mencakup pengertian materi dan non materi.Kata janmsdhi juga
diartikan asal sebagai sumber yang memelihara dan memralaya (melebur kembali)

88
pada saatnya.Karena itu kata itu berarti
penciptaan. Kata melebur juga diartikan
sama dengan penciptaan karena melebur
berarti menciptakan yang baru. Kata yatah
berarti dari mana. Semacam difinisi yang
kita jumpai adalah adagium yang kita
jumpai didalam kitab Suci mengemukakan
bahwa sifat sebenarnya dari pada Tuhan
adalah satya, yaitu pengetahuan dan tidak
terbatas, yang diucapkan dalam satu
kerangka mantra kepada Brahman (Tuhan)
se-bagai berikut : sat citta ananda
Brahman, artinya sesungguhnya Tuhan
adalah kebenaran-pengetahuan-tak
terbatas. (Pudja, 1995:14).
Berdasarkan hal itu, maka aspek dalam
mempelajari Brahmavidya (teologi), adalah
berusaha untuk mengenal atau
Gambar III.6: Buku Mengenai Brahma mengetahui Tuhan itu. Untuk mengenal
Sutra dan mengetahuinya, kita memerlukan
Sumber:
nama, penggambaran tentang sifat,
http://www.indicabooks.com/cover/817
8541173.jpg
hakikatnya atau apa saja yang dapat
memberi keterangan yang jelas dalam
membantu untuk menghayati Tuhan itu. Setiap kali kita menyebutkan nama Tuhan,
pikiran kita dipaksa untuk berpikir tentang Tuhan dalam segala kemampuan pikir
kita untuk mengenalnya, melihat secara mental baik dengan bantuan kata-kata
maupun cara penggambaran abstrak lainnya yang lebih kongkrit. Tuntutan pikiran
seperti ini adalah wajar karena pikiran itu sendiri adalah satu wujud pula yang
merupakan ada secara mental atau non fisik. Keadaan secara mental belumlah
cukup karena kadang-kadang kita ingin menamakan wujud yang kita bayangkan
secara mental dengan kata-kata atau suara. Karena itu timbul pemberian gelar atau
penamaan akan hakikat yang kita lihat secara mental. Keinginan untuk lebih banyak
tahu dan termasuk juga pemberian nama lalu menggambarkannya. Setelah tahu,
siapa Brahma (Tuhan) dengan melihat segala ciptaan yang merupakan hasil
YajnaNya untuk mengetahui Tuhan, akan timbul sebagai keinginan untuk mengenal
segala aspek perwujudan dari pada hakikat yang Esa, sebagai pikiran yang
menjelma dalam berbagai bentukNya.
Dengan mengenalnya dalam pikiran saja, dikatakan Tuhan adalah bersifat pikiran
(manah), sehingga ia juga disebutkan sebagai manomaya brahman. Melihat dalam

89
pikiran mempunyai arti pembatasan secara limitatif dan arbitratif, karena apa yang
dipikirkan hanya merupakan satu aspek yang sanggup dilihat oleh pikiran manusia
yang terbatas pula. Karena itu persepsi wujud Ketuhanan dalam pikiran itu tidak
selalu sama, karena relatif pada keluasan pikiran manusia yang dipengaruhi setelah
membaca tentang Tuhan. Demikian pula dalam hal penamaan atau pemberian
gelar, sama pula halnya sebagaimana dengan pengetahuan melalui pikiran.
Pemberian nama sifatnya lebih konkrit lagi jika dibandingkan dengan penglihatan
kita dalam fantasi pikiran. Pemberian gelar dipengaruhi oleh bahasa dan arti kata-
kata yang dipergunakan. Penamaan adalah mengatakan menurut pikiran dan
bahasa perseptornya (penghayatnya) yang arif bijaksana (wipra) dalam arti kata
yang serba terbatas secara relatif menurut maksud yang dipikirkannya sendiri-
sendiri.

1. Mahasiswa diminta mengkaji berbagai sumber berkenaan dengan


sejarah evolusi Hindu dan lakukan diskusi dalam pembelajaran di
kelas guna mematangkan pemahaman anda tentang perkembangan
konsep Brahmavidya.
2. Mahasiswa diminta menggali sumber historis dan filosofis tentang
konsep ajaran Brahmavidya (Teologi Hindu).

D. Membangun konsep ajaran Brahmavidya (teologi) dalam


membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

Membangun konsep Brahmavidya (teologi) dalam membangun sraddha dan bhakti


(iman dan takwa) mahasiswa dapat kita kaji melalui kitab suci Veda. Apabila kita
telusuri pengkajian konsep Brahmavidya (teologi) dan praktek keagamaan baik di
India dan Indonesia, maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama.
Berbagai wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya
Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa bahasa Sansekerta
disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia
(Monier, 1993 : 9 ), dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan: tan kagrahita
deningmanah mwang indriya, artinya tidak terjangkau oleh akal dan indra manusia.
Jika Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud (Impersonal God), timbul pertanyaan
mengapa dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima,
pralingga, mempersembahkan bhusana, sesajen, dan lain-lain. Bukankah semua
bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang berwujud dalam alam pikiran manusia?
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita
tinjau definisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan
oleh Maharsi Vyasa yang dikenal juga dengan nama Badarayana dalam bukunya:

90
Brahmasutra, Vedantasara atau Vedantasara, sebagai berikut: Janmddyasya yatah
(1.1.2), yang oleh Svami Sivananda (1977) diterjemahkan sebagai berikut: Brahman
adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmadi=asal, awal,
penjelmaan, dan sebagainya; asya=dunia/alam semesta ini; yatah=dari padanya).
Jadi menurut sutra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai
dengan bunyi mantram Purusa Sukta Rgveda berikut: Purusa evedam sarvam;
Yadbhutam yacca bhavyam, Utamrtatvasesa no Yadannenati rohati Rgveda X.90.2.
"Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan
yang akan ada. la adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan
berkembang dengan makanan". Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai
sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam mantra
Veda (AtharvavedaX.8.1), bahwa “Tuhan Yang Maha Esa hadir dimana-mana, asal
dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada. la penuh dengan rahmat dan
kebahagiaan. Kami memuja Engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi".
Selanjutnya dalam Narayana Upanisad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-
2 dari mantram Tri Sandhya, juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa
sebagai asal segalanya, maha suci tidak ternoda. Demikian disebutkan dalam
Narayana Upanisad 2. Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal
dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha
Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, maha suci
(tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada dua-Nya.

Gambar III.7: Ilustrasi Brahman dan Alam Semesta


Sumber: http://ivanbaker.wordpress.com/2012/02/27/zarathustras-prologue-5-10

91
Definisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat
terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian
apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak
Terbatas itu tidakiah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab
Upanisad menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk-Nya. Bila tidak ada definisi
yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami
Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama,
memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan
ajaran Ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra
agama sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab
Brahma Sutra, secara tegas menyatakan: Sastrayonitvat (1.1.2), yang artinya: kitab
suci/sastra agama adalah sumber untuk memahami-Nya. Apakah Sang Hyang Widhi
sama dengan Siva atau Brahma? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka marilah kita
kaji berdasarkan tinjauan etimologis maupun leksikal sebagai berikut: Kata Widhi
(Sansekerta Vidhi) berasal dari urat kata Vidh yang artinya yang mengatur, hukum,
ajaran, perintah, petunjuk, perbuatan, persembahan, pekerjaan, menjadikan, atau
yang mentakdirkan, Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain (Ibid:
968).
Di Bali kita temukan sebuah lontar bernama Vidhi Panpincatan yang berisi
keputusan-keputusan hukum/pengadilan semacam yurisprudensi. Dengan
demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan
sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Akasa, yakni di atas angkasa, nan jauh
di sana. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak
berwujud (Impersonal God). Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun dan hadir
untuk menerima persembahan, maka saat itu juga Beliau telah terwujud dalam
alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu disebut TriMurti (Brahma, Visnu, dan Siva).
Kata Siva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati,
ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang,
membahagiakan dan sejenisnya. Sang Hyang Siva di dalam menggerakkan hukum
kemahakuasaan-Nya didukung oleh Saktinya Durga atau Parvati. Hyang Siva adalah
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam
semesta dan segala isinya). Siva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya
rnenggelegar dan menakutkan). Siva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai
sifat seperti Guna, Sakti dan Svabhava) disebut Parama Siva, dalam keadaan ini,
disebut juga Acintyarupa atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).
Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahma) yang berarti: yang tumbuh,
berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya, dan
sejenisnya. Ciptaan-Nya muncul dari diri-Nya, seperti halnya Veda yang muncul dari
nafas-Nya. Kemahakuasaan Hyang Brahma sebagai pencipta jagat raya didukung

92
oleh Sakti-Nya yang disebut Sarasvati, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang
memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahma,
maka la adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan
demikian Brahma saat ini adalah Tuhan Yang Berpribadi (Personal God). Brahma
digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang
Widhi adalah Brahman, Tuhan Yang Tidak Berwujud dalam alam pikiran manusia
(Impersonal God), sedangkan disebut Brahma, ketika la telah mengambil wujud
dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya. Manifestasi utama-Nya
lainnya adalah Visnu. Visnu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat
raya dan segala isinya. la yang menghidupkan segalanya, Kata Visnu berarti: pekerja,
yang meresapi segalanya dan sejenisnya (Ibid: 999). Kemahakuasaan Sang Hyang
Visnu dalam mernelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh
saktinya yang bernama Sri dan Laksmi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah
bagi kita bahwa Hyang Widhi Wasa adalah Tuhan Yang Maha Esa, la disebut juga
Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan
aneka persembahan, maka la dipuja sebagai Tuhan Yang Personal, yang berpribadi.
Untuk memahami lebih jauh hakikat Ketuhanan dalam agama Hindu, terlebih dahulu
akan diuraikan tentang Ketuhanan dalam kitab suci Veda. Di dalam kitab suci Veda,
Tuhan Yang Maha Esa dan para Deva disebut deva atau devata. Kata ini berarti:
cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada
manifestasi-Nya, juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir
atau fajar (F. Max Muller, 1969: 17), Deva juga berarti nv.ldiluk surga atau yang
sangat mulia (Apte, juga Monier, 1990: 4925). Tentang deva-deva ini, S.
Radhakrishnan dalam bukunya Indian Philosophy, Volume I menyatakan: Hal ini
sangat penting untuk didiskusikan. Kata deva sangat dimuliakan sesuai dengan
alamnya dan digunakan untuk menunjukkan berbagai hal yang berbeda-beda. Lebih
lanjut ia mengutip kitab Nirukta VII. 15, dinyatakan sebagai berikut: devo danad va
dipanad va dyotanad va dyusthano bhavati itiva, terjemahannya: deva adalah yang
memberikan sesuatu kepada manusia.
Dapat pula ditambahkan penjelasan tentang Deva tersebut di atas, yakni adanya
empat deva seperti disebutkan dalam kitab Taittiriya Upanisad 1.11, dengan
terjemahannya sebagai berikut: seorang ibu adalah deva, seorang bapak adalah
deva, seorang guru adalah juga deva dan para tamu-pun adalah deva. Berdasarkan
mantram tersebut, maka keempat Deva itu adalah para Deva yang mempunyai
badan kasar (Dayananda Saraswati, 1981: 93).
Apakah ada beda pengertian atau makna antara deva dengan devata? Menurut
Svami Dayananda Saraswati, matahari dan yang lainnya tidak dapat menyinari
Tuhan Yang Maha Esa. Matahari dan benda-benda yang bersinar lainnya
memperoleh sinar dari Tuhan Yang Maha Esa, yakni la yang bersinar dengan

93
sendirinya. Sinar-sinar pada benda-benda langit itu sangat tergantung kepada-Nya.
Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah devata yang tertinggi
yang sepatutnya menerima bhakti dan pemujaan kita (Dayananda Saraswati, 1981:
84). Pemyataan Svami Dayananda Saraswati itu didukung oleh pemyataan dari
mantram Katha Upanisad II. 2.15, dengan terjemahannya dinyatakan sebagai
berikut: matahari tidak bersinar di sana, demikian pula bulan dan bintang-bintang,
jadi dimanakah datangnya api ini? Semuanya bersinar sesudah sinar-Nya itu. Seluruh
dunia disinari oleh sinar-Nya itu". Lebih lanjut, kita temukan sebuah penjelasan di
dalam kitab Nirukta VII.4, tentang deva dalam syair berikut: oleh karena demikian
tinggi makna dan ciri khas dari devata (Tuhan Yang Maha Esa). Yang merupakan jiwa
alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian.
Menurut Svarni Dayananda Saraswati, kata deva mengandung 10 arti dari urat kata
divu, yaitu: (1). bermain, (2). penaklukan, (3). aktivitas pada umumnya, (4).
kemuliaan/keagungan, (5). penghormatan, (6). menyenangkan, (7). kerinduan, (8).
tidur, (9). keindahan (kanti), dan (10). kemajuan. Selanjutnya Svami Dayananda
Saraswati mengatakan: arti atau makna kata deva itu melingkup dua hal yang sama.
Perbedaan antara deva (Tuhan Yang Maha Esa) dengan deva (para Deva) adalah:
seluruh deva atau devata menerima sinar dari Tuhan Yang Maha Esa (merupakan
sinar-Nya) sedang Tuhan Yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya itu.
Petikan dari mantram Yajurveda berikut mendukung pandangan bahwa Tuhan Yang
Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya.
Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah atau nama Deya-deva.
Berapakah sesungguhnya jumlah Deva-deva itu? Kitab suci Rgveda seperti pula
halnya Atharvaveda menyebutkan jumlah Deva-deva itu sebanyak 33 Deva
(Macdonell, 1991: 19). Berikut adalah kutipan mantram dari Rgveda tentang
mantram dimaksud:
anasatyatribhirekadasaihadevebhiryatham
madhupeyam asvina, praymtaristam mripam
si mrksatam sedhatam dveso bhavatam sacabhuva.
Terjemahannya:
'Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33) tidak pernah jatuh dari
kesucian, sumber kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan
untuk memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
merahmati persembahan kami, memperpanjang hidup kami,
menghapuskan kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat
kami, dan semoga semuanya itu tidak membelenggu kami".

94
Selanjutnya, di dalam Rgveda 1.52.2, dinyatakan dengan terjemahan sebagai
berikut: Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung, penuh kebijaksanaan,
menganugrahkan karunia kepada mereka yang mempersembahkan karya-karyanya.
Ya Tuhan Yang Penuh Cahaya Gemerlapan, semogalah para pencari pengetahuan
rohani dapat mengetahui rahasia dari 33 deva (yang merupakan tenaga kosmos)".
Demikian pula disebutkan dalam Rgveda.I.139.11, sebagai berikut: wahai para Deva
(33 Deva), sebelas di surga, sebelas di bumi, dan sebelas di langit, semoga engkau
bersuka cita dengan persembahan suci ini.
Selanjutnya, di dalam Veda (Rgveda III.6.9), dinyatakan sebagai berikut :
aibhiragne sarathamydhy arvan nanaratham
va vibhvo byasvah patnlvatastrimsatam trims,
ca devananusvadhamavaha madayasva.
Terjemahannya :

Semogalah engkau mendekati kami dengan kereta atau melalui


kuda-kuda (cahaya)-Mu yang penuh tenaga.: Semogalah 33 devata
bersama dengan sakti-Nya (yakni rahmat dan sifat-Nya) sesuai
dengan keinginannya.
Di antara deva-deva itu, Rgveda menggambarkan Deva Surya sebagai Deva
tertinggi, deva dari seluruh deva. Surya adalah sumber dan pendukung kehidupan,
yang memberikan sinar yang terang dan kegembiraan, melenyapkan kegelapan
malam dan kebodohan, menurunkan pengetahuan kapada setiap makhluk dan
memberikan cahaya kepada planet-planet di alam raya (Lokesh Chandra, 1977: 35).
Pendapat ini didukung oleh mantram Rgveda 1.50.10, sebagai berikut berikut:
udvayam tamasaspari jyotis pasyanta uttaram, devam devata suryamaganma
jyotiruttamam, terjemahannya: lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang
terang benderang mengatasi kegelapan telah datang, la adalah Surya, Deva dari
seluruh devata, cahayanya yang terang itu betapa indahnya.
Surya bukanlah bola matahari, melainkan devata tertinggi, deva dari seluruh deva.
Sesungguhnya semua deva-deva yang tersebut dalam Veda adalah nama atau
bentuk lain dari Surya, devata tertinggi, Di dalam Veda, deva pada dasarnya adalah
Surya yang memancarkan cahaya-Nya sendiri, dan devi adalah aspek feminim
(wanita) dari devata. Devi pada dasarnya mengandung makna fajar di pagi hari.
Surya di dalam Veda adalah satu kesatuan integral dari pada devata, realitas
kesatuan mutlak dan ciptaan-Nya, yang Sesungguhnya Satu dalam Segalanya dan
Segalanya dalam Yang Satu (David Frawely, 1982:279). Pandangan David Frawely
ini di dalam filsafat Ketuhanan disebut Monisme.

95
Gambar III.8: Dewa Surya
Sumber: http://www.amazine.co/24981/siapakah-surya-kisah-dewa-
matahari-dalam-kepercayaan-hindu/

Ditambahkan bahwa merealisasikan Spirit atau kekuatan di dalam matahari, atau


Surya sebagai atma di dalam diri merupakan fokus dari ajaran Upanisad,
teristimewa pandangan tentang kesatuan dengan Brahman, seperti dijelaskan
dalam Yajur Veda X.17, yang menyatakan kekuatan yang menjadikan matahari
bersinar, Itu adalah Aku. Kalimat ini merupakan salah satu Mahavakya (sasanti
utama) dalam kitab-kitab Upanisad dan menjadi landasan utama dari ajaran
Vedanta: Tat tvam asi (la adalah engkau), Aham Brahmasmi (Aku adalah Brahman),
Ayam Atma Brahma (Atman ini adalah Brahman), Prajnanam Brahma (Kesadaran
adalah Brahman), SarvamkhalvidamBrahma (Segalanya adalah Brahman).
Mahavakya-mahavakya ini adalah sejalan dengan makna Gayatrl atau Savitri
mantram dalam Rgveda, mantram yang ditujukan untuk memuja Surya, kekuatan
yang menjadikan matahari bersinar, Savitar.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Surya adalah devata tertinggi di dalam Veda.
Di samping Surya dengan berbagai nama yang merupakan berbagai aspek-Nya,
deva-deva lainnya yang dominan dipuja di dalam Veda adalah Agni (deva api), Indra
(deva hujan, deva perang dan raja kahyangan), dan Vayu (deva angin), juga devi-devi
yang kerap kali dipuja atau disebutkan dalam mantram-mantram Veda adalah
Saraswati, Savitri, Aditi, Suryaputrl dan lain-lain. Deva-deva dan devi-devi itu pada
umumnya digambarkan secara anthrophomorphic (berwujud seperti manusia)

96
dengan aneka keunggulan dan kelebihannya (manusia super) lengkap dengan
kendaraan (kereta) dan binatang-binatang yang menarik keretanya. Arsitek
kahyangan dan sekaligus Deva seniman (the God of artists) adalah Visvakarma yang
juga populer di dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana.
Apabila diperhatikan perkembangan pemujaan hingga saat ini, deva-deva yang
termuat dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lainnya tidak
nampak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena
kedudukan deva-deva tersebut, pada zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi
dipuja, karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, yang
dikenal dengan sebutan Tri Murti. Deva Agni diidentikkan dan digantikan oleh
Brahma, Indra, dan Vayu diidentikkan dan digantikan oleh Visnu, walaupun pada
kitab suci Veda, Visnu adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikkan dan
digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga Deva ini dengan parivara devata
(sakti-Nya). Adapun deva-deva tersebut adalah Brahma dengan saktinya Saraswati,
Visnu dengan saktinya Sri dan Laksmi. Demikian antara lain deva-deva dan devi di
dalam Hindu yang digambarkan selalu berwajah muda (nirjara, para deva tidak
mengalami umur tua, karena mereka meminum amrta (air kehidupan) yang selalu
membuat awet muda/tidak ada deva berwajah tua, walaupun berjenggot dan
menyeramkan, wajahnya selalu tampan.
Adakah pertanyaan untuk hal tersebut.Anda dapat bertanya tentang hal itu. Apabila
deva-deva atau devi-devi dalam Hindu sedemikian rupa, maka bagaimanakah
halnya dengan Bhattara dan Bhattari atau dengan Avatara-Avatara-Nya? Istilah
Bhattara dan Bhattari banyak disebutkan di Indonesia, dan terlebih di Bali. Sedang di
India, sebutan Bhattara hampir tidak terdengar di dalam masyarakat. Istilah atau
nama ini sebenarnya ditujukan kepada para Deva tersebut di atas, di samping juga
ditujukan kepada Avatara dan atau para leluhur. Kata Bhattara dalam bahasa
Sansekerta, berasal dari kata bhatta (bhattr) yang artinya: yang melindungi, tuan,
atau raja. Kata Bhattara berarti mereka yang sangat dihormati karena fungsinya
sebagai pemimpin dan pelindung umat manusia (Monier Williams, 1993: 745). Jadi
istilah atau nama deva-devi dan bhattara-bhattari sebenarnya identik, karena fungsi
dari deva-deva adalah untuk melindungi umat-Nya.

1. Anda diminta mendiskusikan fenomena yang selama ini terjadi di


masyarakat dimana militansi beragama yang sempit justru terjadi
pada orang yang dikenal menguasai teologi agama dan
presentasikan hasil diskusi anda dalam pembelajaran di kelas.
2. Anda diminta menelusuri konsep ajaran Brahmavidya (Teologi
Hindu) yang berkait dengan membangun sraddha dan bhakti (iman
dan takwa) mahasiswa.

97
E. Mendeskripsikan konsep ajaran Brahmavidya (teologi) dalam
membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa dalam usaha


memantapkan pemahaman kita tentang Brahmavidya (teologi), maka perlu
diketengahkan konsep ajaran Brahmavidya (teologi), yaitu pandangan tentang
Ketuhanan itu sendiri. Pandangan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan pandangan
agama tentang yang sama tentunya berbeda. Pandangan agama terhadap Tuhan
Yang Maha Esa atau ajaran Ketuhanan menurut ajaran agama disebut teologi, dan
sifatnya adalah sebagai keimanan dan diimani atau diyakini oleh pemeluknya.
Konsep keimanan atau sraddha yang diketemukan dalam Veda adalah ajaran
tentang Panca Sraddha, yang meliputi Widhi Tattwa atau Widhi Sraddha, keimanan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya; Atma Tattwa
atau Atma Sraddha, keimanan terhadap Atma yang Menghidupkan semua makhluk;
Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha, keimanan terhadap kebenaran
hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan; Samsara atau Punabhawa
Tattwa/Punarbhawa Sraddha, yaitu keimanan terhadap kelahiran kembali; Moksa
Tattwa atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi
bersatunya Anna dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Kosep ajaran sraddha ini
banyak diketemukan dalam Veda (Rgveda, Atharvaveda, Bhagavadgita,
Brahmasutra, dan Vedanta).
Di dalam konsep Brahmavidya (teologi), pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa
dapat dijumpai beraneka macam, seperti:
1. Polytheisme, yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan
bcrbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia.
2. Natural Polytheisme, yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai
penguasa berbagai aspek alam, misalnya: Tuhan, matahari, angin, bulan, dan
sebagainya;
3. Henotheisme atau Kathenoisme: keyakinan atau teori kepercayaan ini
diungkapkan oleh F. Max Muller ketika ia mempelajari kitab suci Veda.
Sebelumnya ia mengajukan teori Natural Polytheisme seperti tersebut di atas.
Yang dimaksud dengan Henotheisme atau Kathenoisme adalah keyakinan
terhadap adanya Deva yang tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan
oleh deva yang lain sebagai deva tertinggi. Hal ini dijumpai dalam Rgveda, pada
suatu masa deva Agni menempati kedudukan tertinggi, tetapi pada masa
berikutnya, deva itu digantikan oleh Deva Indra, Vayu atau Surya. Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama pada kitab-kitab Purana deva-deva
tersebut di atas diambilah fungsinya dan digantikan oleh deva-deva Tri Murti.

98
Deva Agni digantikan oleh Brahma, Indra-Vayu digantikan oleh Visnu dan Surya
digantikan oleh Siva. Demikian pula misalnya devi Saraswati adalah devi
kebijaksanaan dan devi sungai dalam Veda kemudian menjadi sakti deva
Brahma dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana. Juga deva Visnu yang sangat
sedikit disebut dalam kitab Veda, tetapi mempunyai peranan yang sangat besar
dalam kitab-kitab Purana (Srimad Bhagavatam atau Bhagavata Purana, Visnu
Purana), dan lain-lain.
4. Pantheisme, yaitu keyakinan bahwa di mana-mana serba Tuhan atau setiap
aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan.
5. Monotheisme, yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan
Yang Satu). Keyakinan ini dibedakan atas monotheisme transcendent, yaitu
keyakinan yang memandang Tuhan Yang Maha Esa berada jauh di luar ciptaan-
Nya. Tuhan Yang Maha Esa maha luhur, tidak terjangkau oleh akal pikiran
manusia; dan monotheisme immanent, yaitu keyakinan yang memandang
bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya,
tetapi Tuhan Yang Maha Esa itu berada di luar dan sekaligus di dalam ciptaan-
Nya. Hal ini dapat diibaratkan dengan sebuah gelas yang penuh berisi air,
kemudian sebagian air tumpah, ternyata keadaan air dalam gelas tidak berubah.
6. Monisme, yaitu keyakinan terhadap adanya Ke-Esa-an Tuhan Yang Maha Esa
merupakan hakikat alam semesta. Esa dalam segala. Segalanya berada di
dalam yang Esa. Sebuah kalimat Brhadaranyaka Upanisad, menyatakan: satvam
khalvidam Brahman, artinya segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Demikianlah berbagai pandangan tentang Brahmavidya (teologi) yang dikaji melalui
pendekatan historis dan filosofis. Konsep ajaran Brahmavidya (teologi) yang
tentunya berkaitan dengan keyakinan (sraddha dan bhakti) masih diperlukan oleh
masyarakat, baik mereka yang disebut primitif maupun yang modern. Teologi Veda
adalah monotheisme transcendent, monotheisme immanent, dan monisme. Tuhan
menurut monotheisme transcendent digambarkan dalam wujud Personal God
(Tuhan Yang Maha Esa Yang Berpribadi), sedang menurut monotheisme immanent,
Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan impersonal God (tidak berpribadi). Tidak
ada wujud atau bandingan apapun untuk menggambarkan kebesaran dan
keagungan-Nya.
Tuhan yang tidak tergambarkan dalam pikiran dan tiada kata-kata yang tepat untuk
memberikan batasannya kepada-Nya sebagaimana dinyatakan dalam Veda
(Brahmasutra), adalah sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa itu tidak terkatakan. Hal
ini, karena Tuhan bersifat tidak terbatas, sedangkan manusia memiliki sifat sangat
terbatas demikian kitab suci telah mengatakannya. Terhadap beraneka
penggambaran dewa-dewa sebagai manifestasi atau wujud pribadi Tuhan Yang

99
Maha Esa, Svami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism (1993: 138)
menyatakan bahwa Hinduisme sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah
gambaran indah tentang Hinduisme. Seorang asing merasa terpesona keheranan
apabila ia mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam
Hinduisme; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai
tipe pemikiran dan temperamen, sehingga menjadi bermacam-macam keyakinan
pula. Hal ini adalah wajar.Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hinduisme;
karena dalam Hinduisme tersedia tempat bagi semua tipe roh dari yang tertinggi
sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan mereka.
Pernyataan ini jelas merangkum semua kemampuan umat-Nya untuk
membayangkan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan
rohaninya, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Im-
personal God (tanpa wujud baik dalam pikiran maupun dalam kata-kata) sedang
bagi yang pemahamannya sederhana, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan sebagai
Personal God, berpribadi dan dibayangkan sebagai wujud-wujud yang agung, Maha
Kasih, Maha Besar, dan sebagainya, Pada umumnya umat beragama menyembah
Tuhan Yang Maha Esa yang personal ini. Penggambaran dalam alam pikiran
manusia umumnya sebagai yang serba mulia, suci, luhur, agung, dan tinggi, jauh di
alam sana. Demikian pula bila kita meneliti kitab suci Veda, maka Tuhan Yang Maha
Esa umumnya digambarkan sebagai Tuhan Yang Berpribadi itu, walaupun
penggambarannya itu tidak sejelas penggambaran kitab-kitab Itihasa dan Purana. Di
dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan
berbagai nama oleh para maharsi (Vipra) sebagai dinyatakan dalam mantram
Rgveda 1.64.46, yaitu bahwa Tuhan disebutnya dengan Indra, Mitra, Varuna dan
Agni, Ia yang bersayap keemasan Garuda, la adalah Esa, Para maharsi (Vipra/orang
bijaksana) memberi banyak nama, mereka menyebutnya Indra Yama, Matarisvan. Di
sini Tuhan Yang Maha Agung digambarkan sebagai kebenaran yang Maha Esa
(ekamsad), Satu Kebenaran. Suparna artinya yang bersayap indah, simbol mistik
dalam Veda untuk Tuhan Yang Maha Kuasa (A.C.Bose: 1988: 130).
Penelusuran konsep ajaran Ketuhanan (Brahmavidya/teologi) yang ada dalam Veda
ini mengandung ajaran fllsafat Ketuhanan yang sangat tinggi. Hal ini pula
menunjukkan bahwa bagaimana alam pikiran umat manusia yang sangat terbatas,
tidak dapat menjangkau yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu. Dan dinyatakan
bahwa semua deva-deva itu sesungguhnya adalah satu, Satu Devata. Pada
mantram-mantram kita jumpai pernyataan yang non simbolis tentang satunya
deva-deva dalam deva yang satu, Aspek Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mantra-
mantra Veda, banyak menjelaskan bahwa semua devata itu adalah satu dan
penjelasan ini tidak kontradiksi karena satu adalah segala-Nya dan segala-Nya
adalah Yang Maha Esa.

100
Banyak kutipan mantram-mantram Veda menyebutkan bahwa Ketuhanan dalam
Veda adalah Maha Esa. Deva-deva dalam Veda tidak begitu nampak peranannya
baik dalam upacara pemujaan di India maupun di Indonesia (Bali)? Seperti telah
diuraikan, deva-deva yang sangat dominan dipuja dalam Veda adalah Agni, Indra,
Vayu, dan Surya. Kemudian dalam perkembangannya, seperti dijumpai dalam kitab-
kitab Purana, deva-deva tersebut digantikan, diambil alih kedudukannya atau
diidentikkan dengan deva-deva Tri Murti, yakni Agni diidentikkan dengan Brahma,
Indra dan Vayu diidentikkan dengan Visnu dan Surya. Ketiga deva-deva Tri Murti ini
merupakan Udbhava-Nya atau manifestasi utama-Nya. Deva-deva Tri Murti ini yang
menggantikan peranan deva-deva dalam Veda, sehingga deva-deva Veda itu tidak
banyak lagi dipuja dalam perkembangan berikutnya. Deva-deva Tri Murti
digambarkan sebagai Personal God (Tuhan Yang Berpribadi). Brahma, Sakti-Nya
Saravati, Visnu Sakti-Nya Sri dan Laksmi dan Siva dengan Uma dan Parvati. Masing-
masing deva-deva Tri Murti ini turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai
Awatara, di antaranya Brahma sebagai Baladeva, Visnu sebagai Sri Krsna (dan
Avatara-Avatara lairmya), Siva sebagai Agastya dan lain-lain. Siva dipuja dengan
putra-putra-Nya seperti Ganesa, Kala, Kumara, Skanda atau Subramanyam dan lain-
lain.
Di dalam kitab-kitab Purana, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi utama-Nya
memiliki banyak sebutan, seperti Brahma disebut dengan ribuan nama-Nya
(Brahma Sahasranama), Visnu dengan ribuan nama-Nya (Visnu Sahasranama), Siva
dengan ribuan nama-Nya (Siva Sahasranama), Durga atau Lalita dengan ribuan
nama-Nya (Lalita Sahasranama) dan lain-lain. Nama-nama atau abhiseka-Nya,
sesungguhnya merupakan sifat, sikap, karunia atau kasih-Nya yang diharapkan dan
didambakan oleh setiap umat manusia. Pemberian atau persembahan nama sesuai
dengan sifat-sifat-Nya yang maha luhur, memantapkan keimanan (Sradha) umat
kepada-Nya.
Konsep Brahmavidya ini dapat juga dibangun dengan jalan bhakti. Ada empat jalan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, yaitu bhakti marga (jalan kebhaktian),
karmamarga (jalan perbuatan), jnana marga (jalan pengetahuan kerohanian), dan
yoga marga (jalan Yoga). Di antara jalan bhakti tersebut di atas, maka yang banyak
dilakukan adalah jalan bhakti marga.
Dalam usaha membangun sraddha dan bhakti kita kepada Tuhan, maka perlu
adanya usaha dan sarana untuk memuja-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
umat manusia, sebagai ciptaan-Nya hendaknya senantiasa mendekatkan diri
kepada-Nya. Jalan bhakti untuk mendekatkan diri kepada Tuhan disebut marga atau
yoga, yang jumlahnya empat sehingga disebut Catur Marga, Catur Yoga atau Catur
Yoga Marga. Selanjutnya sarana untuk memuja-Nya bentuknya bermacam-macam,
di antaranya untuk membayangkan-Nya dibuat pratika, cihnam, laksanam, lingam,

101
sarhjna, pratirupa. Di samping itu secara umum dikenal pula istilah: arca, pratima,
prativimba, nyasa, murti dan lain-Iain, yang mengandung makna bentuk-bentuk
perwujudan-Nya.

Gambar III.9: Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa)


Sumber: http://reenayadav.hubpages.com/hub/The-Concept-of-Trinity-in-Hinduism

Sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa, para devata, dan roh-roh suci para rsi dan
leluhur adalah pura, mandira, kuil, kahyangan dan Iain-lain. Pura seperti halnya
meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan
simbol dari kosmos atau alam surga (kahyangan), seperti pula diungkapkan di
depan bahwa candi dan Pura adalah tempat suci. Pura sebagai tempat pemujaan
adalah replika kahyangan yang dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar
dan ornamen dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa
kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan makhluk-
makhluk surga, seperti area-area devata, vahana devata, pohon-pohon surga
(parijata, dan Iain-lain), juga makhluk-makhluk suci seperti Vidadhara-Vidyadhari
dan Kinara-Kinarl, yakni seniman surga, dan lain-lain.
Surga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh
karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru
tersebut. Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara
yang masih tetap hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni pada saat
menjelang upacara piodalan (di India disebut abhiseka), para devata dimohon turun
ke bumi, di Bali disebut "nuntun atau nedunang lda Bhattara, di India disebut
avahana, sampai upacara persembahyangan dan mengembalikannya kembali ke
kahyangan sthana-Nya yang abadi menunjukkan bahwa pura adalah replika dari
kahyangan atau surga.

102
Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura
adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi (bhurloka),
jaba tengah adalah bhuvahloka, dan jeroan adalah svahloka atau surga. Khusus pura
Besakih secara keseluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan
saptapatala (soring ambal-ambal). Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan
tempat untuk membangun pura, dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar)
menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang
"gingsih" dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal untuk
membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhavisya Purana dan
Brhat Sarhhita, yang secara sederhana disebut sebagai "hyang-hyangning sagara-
giri" atau "sagara-giri adunnikha", tempatnya tentu sangat indah disamping vibrasi
kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut Pura atau disebut juga
Kahyangan adalah replika atau bentuk tiruan dari Kahyangan tempat/sthana sejati
Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya di Surga Loka.

Gambar III.10: Ilustrasi Surga


Sumber: http://www.tahupedia.com/content/show/399/10-Gambaran-Surga-Dalam-
Mitologi-Dunia

Penggambaran Surga atau Kahyangan yang sangat indah dapat dijumpai dalam
berbagai kitab Itihasa dan Purana, Didalam Itihasa seperti Ramayana dan
Mahabharata, juga dalam berbagai kitab Purana digambarkan bahwa Kahyangan itu
sangat indah. Dewa Visvakarma adalah arsitek Agung Kahyangan, beliau disebut
sebagai dewa para seniman (the God of Artist). Surga yang demikian indah
diturunkan ke bumi berupa Gunung Suci seperti Himalaya, sthana Gauri (dewi Uma),

103
dan Sarhkara (Sankara atau dewa Siva), puncak Gunung Kailasapun diyakini sebagai
sthana dari dewa Siva. Oleh karena itu Gunung diyakini sebagai sthana suci, maka
pura-pun harus dibuat sedemikian indah dengan konsepsi Segara Giri bila pura
dibangun dilereng Gunung, diharapkan kelihatan laut, sebaliknya bila pura dibangun
ditepi pantai, diharapkan pula supaya puncak gunung kelihatan. Tempat pemujaan
Tuhan Yang Maha Esa tidak saja di lereng gunung atau ditepi pantai, ditengah-
tengah desa atau sawah, hutan atau tempat-tempat yang lain yang dipandang telah
memenuhi syarat-syarat untuk itu seperti misalnya tanahnya berbau harum dan
sebagainya, dapat dibangun sebuah pura. Mengingat bahwa pura adalah replika
Kahyangan, maka pura itu harus suci dan indah, memfungsikan pura dilakukan
dengan upacara Pemelaspas, "mepedagingan" atau upacara yang paling sederhana
benipa "Ngambe" disamping melarang mereka yang tidak patut memasuki pura,
seperti wanita dalam keadaan haid, karena kematian, melahirkan, keguguran
kandungan, membawa jenazah ke pura, ada pertumpahan darah di pura dan
sebagainya, semuanya itu dalam ajaran agama Hindu disebut Cuntaka. Orang yang
sedang Cuntaka dilarang memasuki pura, Bila terjadi pelanggaran, maka pura
tersebut harus disucikan kembali.Untuk membuat pura itu indah, maka bangunan
pura harus memenuhi aturan untuk itu yang tertuang dalam Asta kosala kosali dan
Astabhumi (Arsitektur Tradisional Bali). Demikianlah berbagai ukiran, ornamentasi
baik jenis fauna ataupun flora atau kombinasi keduanya senantiasa menghiasi
sebuah pura. Sejak seseorang mulai masuk dari candi Bentar, menuju Kori Agung
sampai Jeroan, sesungguhnya seperti seseorang menuju Surga, atau seseorang
menuju Puncak Gunung. Candi bentar adalah pangkal gunung, Kori-Agung adalah
lereng gunung dengan Bhoma sebagai hutan yang lebat yang harus dilewati dengan
berbagai binatang buasnya. Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci.
Sang Hyang Widhi bersthana di Padmasana, para dewa bersthana di meru-meru
sesuai dengan tingkatan manifestasinya, bahkan para Devata yang tidak dibuatkan
tempat (tidak memiliki Meru atau Gedong) pada waktu upacara besar berlangsung,
Beliau di sthanakan pada bangunan sementara yang disebut Dangsil. Oleh karena
Sang Hyang Widhi, para Devata manifestasinya serta para Leluhur adalah Mahasuci,
maka seseorang yang akan sembahyang terlebih dahulu harus mensucikan diri lahir
dan batin. Pada saat upacara Sang Hyang Widhi, para Devata dan Roh Suci Leluhur
dimohon untuk hadir, sebagai tamu Agung yang patut menerima persembahan
umat baik berupa sesajen (makanan dan minuman yang lezat), bhusana, tari-tari
wali, lagu kidung wargasari, Tabuh Gamelan (Gong) lelambatan suara kentongan
bertalu, dan ban dupa/kemenyan yang dibakar akan membantu mewujudkan
kesucian itu. Umat sangat berbahagia mempersembahkan yang terbaik miliknya
dan selanjutnya umat mohon wara nugraha berupa air suci kehidupan (Tirtha
Amrta), dan bija sebagai simbolis benih-benih kebajikan. Sarana pemujaan lainnya
adalah berupa bangunan seperti: Dangsil (meru sementara memakai atap janur atau

104
daun aren yang dihias indah), Sanggar Tawang (altar dari bambu sebagai sthana
Sang Hyang Surya, Saksi Agung Alam Semesta), Jempana (sarana mengusung
arca/pratima atau daksina palinggih), umbul-umbul dan Pengawin, dan lain-lain.
Sarana lainnya adalah berupa upakara atau sesajen persembahan dari yang sangat
sederhana sampai yang besar tergantung kemampuan dan keikhlasan umat untuk
mempersembahkan. Untuk menyampaikan persembahan tersebut di atas,
dipergunakan berbagai sarana seperti araa, pura, kelengkapan upacara
persembahan dan lain-lain. Untuk menyampaikan hal tersebut umat Hindu
melakukan pemujaan. Puja adalah istilah umum bagi pemujaan ritual, disitu
terdapat sejumlah persamaan seperti arcana, vandana, bhajana, dan sebagainya.
Walaupun beberapa di antaranya menekankan pada aspek-aspek tertentu, objek
pemujaan adalah Istadevata atau devata dalam wujud tertentu dari manifestasi-Nya,
di antaranya yang populer adalah Siva, Visnu, Brahma, Saraswati, dan lain-lain.
Kadang-kadang para penyembah memilih kuladeva atau kuladevi-nya yaitu para
keluarga dewa atau dewi sebagai sasaran pemujaannya. Kadang-kadang, Istadevata
dipilihkan oleh guru atau pengajar spiritualnya. Kadang-kadang, mereka sendiri
memilih Istadevata yang paling berkenan pada mereka.

1. Anda diminta mencari sloka-sloka yang terkait dengan konsep


Ketuhanan dalam rangka membangun sraddha dan bhakti, dan
memberikan analisis terhadap sloka tersebut dalam presentasi di
dalam pembelajaran di kelas.
2. Anda diminta mendeskripsikan konsep ajaran Brahmavidya
(teologi) dalam membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa)
mahasiswa

F. Rangkuman tentang ajaran Brahmavidia (teologi) dalam


membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

Konsep sraddha banyak diketemukan dalam Rgveda, Atharvaveda, Brahmasutra,


Vedanta Bhagavadgita, dan lain-lain. Ajaran sraddha pada intinya terdiri dari lima
keyakinan yang disebut Panca Sraddha, yaitu Widhi Tattwa atau WidhiSraddha,
keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi-Nya; Atma
Tattwa atau Atma Sraddha, keimanan terhadap Atma yang menghidupkan semua
makhluk; Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Sraddha, keimanan terdap
kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan; Samsara atau
Punarbhawa Tattwa/ Punarbhawa Sraddha, keimanan terhadap kelahiran kembali;
dan Moksa Tattwa atau Moksa Sraddha, keimanan terhadap kebebasan yang
tertinggi bersatunya Anna dengan Braman, Tuhan Yang Maha Esa.

105
Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, agama Hindu memberikan
kebebasan kepada umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang disebut dengan
Catur marga, yaitu antara lain: Bhakti Marga (jalan kebhaktian), Karma Marga (jalan
perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan), dan Yoga Marga (jalan
spiritual/meditasi). Di antara empat jalan tersebut, maka jalan Bhakti atau Bhakti
Marga, adalah jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat Hindu umumnya.
Mantram-mantram Veda banyak mengungkap tentang Brahmavidya (teologi), yang
pada intinya mengisyaratkan agar manusia yakin dan percaya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya, karena dengan demikian manusia akan
dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu moksa dan jagadhita, yaitu hidup sejahtera
dan bahagia, atau bahagia secara lahir dan batin. Dalam Veda banyak disebutkan
adanya Dewa-Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Esa/Tuggal.
Keyakinan terhadap adanya banyak Dewa sangat berkaitan dengan sifat Tuhan yang
tidak terbatas, sedangkan manusia memiliki sifat sangat terbatas.Manusia ingin
memuja Tuhan Yang Esa sesuai dengan fungsi-Nya atau manifestasi-Nya.

Gambar III.11: Proses Kehidupan Manusia


Sumber:http://gurutattva.blogspot.com/2011/05/actio
ns-and-their-results-karma-and.html

106
Banyak nama Dewa yang disebutkan dan Veda, seperti Surya (Dewa Matahari), Agni
(deva api), Indra (deva hujan, deva perang, dan raja kahyangan), dan Vayu (deva
angin), juga devi-devi yang kerap kali dipuja atau disebutkan dalam mantram-
mantram Veda adalah Saraswati, Savitri, Aditi, Suryaputri dan lain-lain. Deva-deva
dan devi-devi itu pada umumnya digambarkan dengan aneka keunggulan dan
kelebihannya lengkap dengan kendaraan (kereta) dan binatang-binatang yang
menarik keretanya. Arsitek kahyangan dan sekaligus Deva seniman (the God of
artists) adalah Visvakarma yang juga populer di dalam kitab-kitab Itihasa dan
Purana. Dari sekian banyaknya Dewa-Dewa, maka yang paling utama adalah tiga
Dewa, yaitu Brahma, Visnu, dan Siwa, yang disebut dengan Tri Murti. Pemujaan
terhadap adanya Tri Murti ini sangat berkaitan juga dengan adanya eksistensi alam
semesta ini yang dihubungan dengan kemahakuasaan Tuhan sebagai Tri Kona, yaitu
sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur.
Di dalam konsep Brahmavidya (teologi), pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa
dapat dijumpai beraneka macam, seperti Polytheisme, yaitu keyakinan terhadap
adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan berbeda-beda sesuai dengan keyakinan
manusia; Natural Polytheisme, yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan
sebagai penguasa berbagai aspek alam; Henotheisme atau Kathenoisme yaitu
keyakinan terhadap adanya Deva yang tertinggi yang pada suatu masa akan
digantikan oleh deva yang lain sebagai deva tertinggi; Pantheisme, yaitu keyakinan
bahwa di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai
oleh Tuhan; Monotheisme, yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa
(Tuhan Yang Satu). Monisme, yaitu keyakinan terhadap adanya Ke-Esa-an Tuhan
Yang Maha Esa yang merupakan hakikat alam semesta.

1. Anda diminta mencermati rangkuman dimaksud dan mencari kata


kuncinya guna lebih mematangkan pemahaman dan penghayatan
anda dalam bidang teologi Hindu.
2. Anda diminta untuk membentuk kelompok dan mendiskusikan
ajaran Brahmavidia (teologi) dalam membangun sraddha dan
bhakti (iman dan takwa) mahasiswa.

G. Tugas Belajar lanjut: Proyek Belajar pendidikan Agama Hindu 3.

1. Membangun sraddha dan bhakti (iman dan takwa) mahasiswa, dapat digali dari
bagaimana memantapkan dirinya melalui pemahaman, penghayatan dan
pengamalan tentang ajaran Brahmavidya. Tugas Anda adalah menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut!

107
a. Jelaskanlah konsep sraddha dan bhakti yang ada di dalam kitab Veda
(Rgveda, Atharvaveda, Bhagavadgita, Brahmasutra)!
b. Pada intinya konsep sraddha terdiri dari lima sraddha yang disebut dengan
Panca Sraddha (menurut I.B. Puniyatmadja). Sebutkanlah sloka-sloka Veda
yang memuat ajaran lima sraddha tersebut dan kutipannya minimal 5 (lima)
mantram atau sloka!
2. Di dalam faham keyakinan di dalam ajaran agama, dijumpai beraneka ragam
pandangan seperti polytheisme, natural polytheisme, henotheisme atau
khatenoisme, pantheisme, monotheisme, monotheisme transcendent,
monotheisme immanent, monisme. Tugas Anda, jawablah pertanyaan-
pertanyaan berikut!
a. Jelaskanlah ciri dari masing-masing pandangan tersebut, yaitu polytheisme,
natural polytheisme, henotheisme atau khatenoisme, pantheisme,
monotheisme, monotheisme transcendent, monotheisme immanent,
monisme!
b. Sebagaimana telah dipahami, sesuai dengan konsep ajaran Brahmavidya,
bagaimanakah pandangan ajaran Agama Hindu berkaitan dengan beberapa
pandangan sebagaimana dimaksud? Jelaskan jawaban Anda, kenapa
demikian?
3. Agama Hindu sesuai dengan konsep ajaran Brahmavidya (teologi), telah
berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Tugas Anda adalah menjelaskan
sumber historis dan filosofis tentang konsep ajaran Brahmawidya dalam
membangun sraddha dan bhakti!
4. Sebagai projek tambahan, adakan penelitian kecil tentang sebab-sebab para
tokoh spiritual sampradaya yang memiliki militansi yang sempit.
Diskusikanlah tugas-tugas ini, kerjakan dengan berkelompok. Buat secara
sistematis dalam bentuk makalah!

108

You might also like