17800-Article Text-54236-1-10-20170901

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

KUALITAS SILAGE JAGUNG DI DATARAN RENDAH TROPIS PADA BERBAGAI


UMUR PANEN UNTUK SAPI PERAH

Tropical lowland maize silage quality from different age of harvesting for dairy cattle

Despal1)*, Hidayah, P2)., Lubis A.D1).


1)
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor
2)
Mahasiswa Program Sarjana Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Email: [email protected]

Abstract

Age of harvesting determine the maize forage condition prior to ensilage which
influence the quality of silage produced. Nowadays, maize silage increasingly popular among
smallholder dairy farmer in tropical lowland area, however, their optimum age of harvesting
to produce the best silage quality have not been intensively studied. This experiment was
aimed at finding the best age of maize plant to produce the best quality silage for tropical
lowland. Four treatments (age of maize at harvesting), namely 60 d (T1), 70 d (T2), 80 d (T3)
and 90 d (T4) of harvesting have been tested in producing whole plant maize silage. The
silage was made in 2 kg laboratory plastic bag silo capacity and ensiled for 5 weeks. Physical
(color, odor, texture, moisture and spoilage), fermentative (WSC, pH, DM, dry matter
degradation, VFA, PK, protein degradation, NH3 and fleigh number), utility characteristic (in
vitro rumen fermentability and digestibility) characteristics have been observed. Completely
randomized design were used in this experiment except for utility characteristics which used
block randomized design. Physical characteristics were analyzed using descriptive statistics,
while fermentative and utility characteristics were analyzed using ANOVA. Significant
different among the treatments were tested using polynomial orthogonal to find the best age
of plant to produce the best silage quality. The results showed that DM content of maize plant
increased linearly with the ages, but CP content decreased cubically in opposite curve shape
to WSC content. The best silage quality material with 30% DM were not reached even at 90 d
of harvesting. However, its CP contents decreased sharply after 80 d. Physical characteristics
of the silage showed that no different between the treatments except for percentage spoilage
silage. The lowest spoilage percentage was achieved if the plant harvested at 68 d, while the
highest spoilage percentage was at 75 d. No statistically significant different were found in
fermentative characteristic of silage among the treatments. All fermentative characteristics
showed the silage in very good qualities. The DM loses during ensiling were not significantly
influenced by the plant ages, although there were a trend toward decreasing number of loses
with increasing of maize age of harvesting. Protein loses during ensiling were not influenced
by the maize age. Fleigh number of the silage significantly increased after day 80.
Fermentability of protein reduced with the age, while organic fermentability remained the
same. Dry matter and organic matter digestibility of the silage were the best at day 90. It is
concluded that the best whole maize silage quality in tropical lowland were resulted from
maize harvested at 90 d.

Keywords: maize, silage, tropical lowland, dairy, age harvesting

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 10


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

PENDAHULUAN
Tanaman jagung (Zea mays), famili graminiae, kelas monokotiledon, genus Zea
merupakan tumbuhan tropis tergolong tanaman C4. Fase tumbuh tanaman jagung terdiri atas
fase vegetatif, reproduksi dan matang fisiologis (Lee, 2012). Tanaman ini optimal pada suhu
23-27 ˚C, RH 80%, curah hujan 80-200 mm dan dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari
(Departemen pertanian, 2011). Produksi tahunan di Indonesia sebanyak 17.230.172 ton
dengan kecenderungan terjadinya peningkatan (Badan Pusat Statistik, 2011).
Tanaman jagung sangat kompetitif pemanfaatannya baik bagi manusia maupun
ternak. Umiyasih dan Wina (2008) mengatakan bahwa jagung adalah tanaman pangan utama
kedua setelah padi. Jagung juga merupakan penyusun ransum unggas yang utama (McDonald
et al., 2002). Sejauh ini untuk ternak ruminansia lebih banyak memanfaatkan limbah tanaman
jagung berupa daun, tongkol, batang dan klobot (Parakkasi, 1995), walau bukan pakan yang
berkualitas tinggi dan perlu suplemen pakan lainnya terutama untuk ternak sapi perah yang
memiliki kebutuhan nutrisi yang tinggi (Despal et al. 2017).
Di negara beriklim dingin, silase tanaman jagung merupakan pakan utama sapi perah
(Despal et al. 2017a) yang disimpan dan tersedia sepanjang tahun. Silase adalah teknik
pengawetan pakan melalui proses fermentasi karbohidrat terlarut membentuk asam laktat
dalam silo oleh bakteri asam laktat (McDonald et al., 2002). Di daerah tropis, pemberian
pakan dalam bentuk silase belum begitu popular terutama pada peternakan sapi perah skala
kecil. Selain hijauan yang kurang cocok untuk dibuat silase, terbatasnya modal dan peralatan
juga menjadi kendala penerapan teknologi silase pada peternakan sapi perah skala kecil
(Despal et al. 2017a).
Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman tropis yang sesuai dibuat silase
(Church, 1991). Kualitas silase yang dihasilkan sangat tergantung pada kondisi awal bahan
tanaman jagung tersebut seperti kadar air, gula terlarut (WSC) dan protein kasar. Umur
tanaman saat panen akan menentukan proporsi tanaman jagung yang akan berpengaruh pada
kadar air, gula terlarut dan protein kasar tanaman jagung. Peningkatan umur panen
mempengaruhi kandungan pati pada jagung di mana pati terakumulasi optimal pada biji umur
tua (Bal et al., 2000; Marco et al., 2002). Selain umur, kesuburan tanah, curah hujan dan
intensitas sinar matahari sangat menentukan kondisi tersebut.
Hingga saat ini, informasi tentang umur tanaman jagung yang paling sesuai di dataran
rendah tropis untuk menghasilkan silase berkualitas tinggi belum banyak tersedia. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan umur tanaman jagung yang menghasilkan kualitas silase
tanaman jagung yang paling tinggi.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan


Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Darmaga. Bogor. Silase dibuat dalam silo plastik
antipanas berwarna putih ukuran 28 x 50 cm dengan kapasitas 5 kg. Polybag berukuran 60 x
120 cm digunakan untuk menyimpan kantong silo agar tidak tembus cahaya. Chopper buatan
local dengan mesin Honda berkekuatan 5 pK digunakan untuk memotong tanaman jagung.

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 11


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Tidak diberikan tambahan apapun dalam proses pembuatan silase jagung dalam percobaan
ini.

Pembuatan silase

Tanaman jagung dipanen pada umur sesuai perlakuan. Bagian-bagian tanaman


dipisahkan menjadi batang, daun, klobot, jagung dan tongkol untuk mengetahui bobot dan
menghitung proporsinya. Setelah ditimbang, bagian-bagian tersebut dicampur kembali dan di
cacah dengan chopper dengan panjang ± 2 cm dan kemudian diaduk merata, ditimbang 2 kg
dan dimasukkan kedalam silo. Silo ditekan untuk mengeluarkan udara sebelum diikat dengan
karet gelang. Agar meyakinkan tidak ada udara masuk, plastic silo dilapis dan dimasukkan
dalam polybag besar untuk selanjutnya disimpan pada suhu ruang selama 5 minggu.

Pengukuran Peubah

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi sifat awal bahan, karakteristik, fisik,
fermentasi dan utilitas. Karakteristik awal bahan meliputi proporsi bagian tanaman, kadar
BK, PK, dan WSC. Karakteristik fisik meliputi aroma, kelembaban, tekstur, warna dan
persentase keberadaan jamur. Karakteristik fermentative meliputi pH, BK, VFA (Volatile
fatty acid), kehilangan BK, Kadar PK, Ammonia (N-NH3), perombakan PK, WSC, dan nilai
Fleigh. Karakteristik utilitas meliputi fermentabilitas dalam rumen (VFA dan NH3 cairan
rumen setelah inkubasi) dan kecernaan (KCBK dan KCBO secara In vitro (Tilley & Terry,
1963).

Karakteristik awal bahan

Proporsi tanaman. Diamati dengan memisahkan bagian-bagian tanaman tersebut untuk


masing-masing satuan percobaan, kemudian bagian tersebut ditimbang. Bagian tanaman yang
dipisahkan yaitu daun, jagung, batang, klobot, tongkol. Berat masing-masing bagian dibagi
terhadap berat total tanaman untuk mendapatkan proporsi bagian.

Bahan Kering (BK) Tanaman Jagung. Sampel tananaman jagung dari masing-masing
satuan percobaan diambil sebanyak 1 kg (a), kemudian dimasukkan ke dalam oven 60 oC
selama 3-7 hari kemudian ditimbang (b) dan digiling. Sebanyak 3 – 5 g (c) sampel giling
halus dimasukkan dalam cawan porselen yang sudah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel
dimasukkan dalam oven 105 oC selama 48 jam (hingga beratnya tetap). Cawan dikeluarkan
dari oven dan dimasukkan ke dalam eksikator. Setelah 30 menit, cawan berisi sampel
ditimbang (d). Bahan kering (%) dihitung menggunakan rumus :
d ×b
BK (%) = × 100 %
c×a

Protein Kasar (PK) Tanaman Jagung. Pengukuran kadar PK tanaman jagung dilakukan
menggunakan metode micro Kjeldahl. Sebanyak 0.2 – 0.3 g sampel yang telah digiling halus
dan disaring melalui 1 mm screen dimasukan kedalam labu kjeldahl, lalu ditambahkan sedikit
selenium mixture dan 20 ml H2SO4 pekat. Labu Kjehdal berisi sampel tersebut selanjutnya
didestruksi selama 6 jam hingga warna berubah menjadi bening. Setelah didestruksi labu
diencerkan dengan aquadest hingga volume 120 ml. Selanjutnya dilakukan destilasi dengan
menambahkan larutan NaOH tio sulfat (0.6 g NaOH kristal dalam 100 ml aquadest ditambah
0.15 g Na tiosulfat) sebanyak 10 ml. Uap hasil destilasi dikondensasi dan ditampung dalam
labu erlenmeyer bervolume 100 ml berisi asam borat berindikator. Proses destilasi dihentikan

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 12


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

jika volume tampungan mencapai 50 ml. Selanjutnya dilakukan titrasi menggunakan HCl
0.0115 N hingga warna berubah menjadi merah muda. Persentase N dan PK dihitung
menggunakan rumus :
ml HCl × N HCl × 14 × 24
N(%) = x 100
mg Sampel

PK (%) = %N × 6,25

Water Soluble Carbohydrate (WSC) Tanaman Jagung. Sebanyak 2 g sampel kering


digiling dimasukkan dalam mortar, ditambahkan 10 ml aquadest yang telah dipanaskan,
kemudian digerus. Supernatant dipisahkan dari padatan dengan kertas saring. Sebanyak 2 ml
supernatan dimasukkan kedalam tabung reaksi bervolume 10 ml kemudian tambahkan 1 ml
larutan fenol 5%. Tabung kemudian dihomogenkan, ditambah 5 ml asam sulfat dan divortex.
Larutan didinginkan dan dibaca nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 490 nm. Nilai absorbansi dibandingkan terhadap standar untuk
menghitung konsentrasi.

Karakteristik Fisik Silase


Karakteristik fisik diamati secara visual dan perabaan oleh 3 panelis terlatih meliputi
aroma, kelembaban, tekstur dan warna. Banyaknya bagian silase yang ditumbuhi jamur
diukur dengan menimbang bagian berjamur dan membandingkannya dengan total bobot
silase.

Karakteristik Fermentatif

Pengukuran pH silase. Nilai pH silase diukur dari 10 g silase yang dilarutkan dalam 100 ml
aquadest. Sebelum dibaca menggunakan pH meter, campuran dihomogenkan menggunakan
blender selama 1 menit dengan kecepatan sedang. Nilai pH silase diukur menggunakan
pocket pH meter Hanna pada supernatant yang telah dipisahkan dari endapan

Pengukuran kadar BK Silase. Metode pengukuran BK silase mengikuti prosedur yang


telah diuraikan diatas pada silase yang telah di fermentasi selama 5 minggu.

Pengukuran konsentrasi VFA (mM) silase. Sebanyak 5 ml Supernatan yang sama yang
digunakan pada pengukuran pH dimasukkan dalam tabung destilasi, kemudian ditambahkan
1 ml H2SO4 15%. Labu Erlenmeyer bervolume 250 ml diisi dengan 5 ml NaOH 0.5 N untuk
menampung hasil kondensasi. Jika volume kondensasi sudah mencapai 250 ml, maka proses
destilasi dihentikan. Ke dalam labu tersebut ditambahkan 2 – 3 tetes indicator phenolpthalin
yang menyebabkan perubahan warna menjadi merah muda. Selanjutnya labu dititrasi dengan
HCl 0.5 N hingga warna menjadi bening. Konsentrasi VFA total dihitung dengan rumus :

1000
(a − b) × NHCl ×
VFA total (mM) = 5 ml
g sampel × BK sampel

Keterangan : a = volume titran blanko (ml)


b = volume titran sampel (ml)

Pengukuran kehilangan BK. Kehilangan BK dihitung dengan mengurangkan jumlah BK


(g) yang terdapat pada bahan awal dengan BK (g) yang terdapat pada silase dan
membandingkannya dengan bahan awal.

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 13


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Pengukuran kadar PK silase. Pengukuran PK silase mengikuti metode yang sama dengan
pengukuran PK bahan awal seperti yang sudah diuraikan di atas.

Pengukuran konsentrasi NH3 silase. Konsentrasi NH3 silase dilakukan dari supernatant
yang digunakan pada pengukuran pH. Pengukuran konsentrasi NH3 menggunakan metode
mikrodifusi Conway. Sebanyak 1 ml supernatant ditempatkan pada salah satu sisi cawan
Conway, pada sisi lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3. Pada bagian tengah cawan
ditempatkan 1 ml asam Borat. Kemudian cawan ditutup setelah sebelumnya diberi vaselin
pada sedia sisi bibir cawan. Cawan dimiringkan agar supernatant dan Na2CO3 bercampur.
Cawan kemudian disimpan pada suhu ruangan dalam keadaan rata selama 24 jam. Setelah 24
jam, cawan Conway dibuka dan asam borat dititrasi menggunakan larutan H2SO4 hingga
warna asam borat berubah menjadi merah muda. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan
rumus:

ml H₂SO₄ × N H₂SO₄ × 1000


N NH₃(mM) =
g sampel × BK sampel

Pengukuran perombakan PK. Perombakan PK dihitung dengan membandingkan PK yang


ada pada bahan awal dengan PK yang ada pada silase.

Pengukuran WSC silase. Pengukuran WSC silase mengikuti prosedur yang sama dengan
WSC bahan awal seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Perhitungan Nilai Fleigh. Nilai Fleigh dihitung menggunakan rumus (Idikut et al, 2009)
sebagai berikut:
NF = 220+(2 x BK(%) – 15) - (40 x pH)

Nilai NF 85–100 menyatakan silase berkualitas sangat baik, 60–80 baik, 40–60 cukup baik,
20-40 sedang dan <20 kurang baik.

Karakteristik Utilitas

Pengukuran NH3 & VFA rumen. Pengukuran NH3 dan VFA rumen mengikuti prosedur
yang sama seperti pada pengukuran NH3 dan VFA silase, hanya supernatant yang diukur
diperoleh dari hasil fermentasi silase pada cairan rumen yang mengandung buffer. Sebanyak
0.5 g sampel silase jagung yang telah dikeringkan dan digiling dihalus dimasukan kedalam
tabung fermentor ber volume 100 ml. Kemudian ditambahkan 40 ml larutan buffer Mc-
Dougall dan 10 ml cairan rumen sambil dialiri gas CO2 selama 30 detik. Tabung kemudian
ditutup dengan sumbat karet berventilasi. Tabung ditempatkan pada shaker waterbath
bersuhu 39 °C selama 4 jam. Setelah 4 jam, proses inkubasi dihentikan dengan penambahan
2-3 tetes HgCl2 jenuh. Isi tabung dipindahkan ke tabung sentrifuse dan disentrifuse dengan
kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan dan digunakan
untuk analisis NH3 dan VFA rumen mengikuti prosedur yang sama dengan pengukuran NH3
dan VFA silase.

Pengukuran KCBK & KCBO. Prosedur pengukuran KCBK dan KCBO mengikuti two
stage methods dari Tilley and Terry (1966). Tahap pertama pengukuran kecernaan adalah
pengukuran pencernaan fermentatif. Prosedur inkubasi pada pencernaan fermentative sama
dengan prosedur inkubasi pada pengukuran NH3 dan VFA rumen namun dengan waktu
Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 14
ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

inkubasi yang lebih panjang yaitu 48 jam. Tahap kedua adalah tahap hidrolisis. Setelah 48
jam inkubasi, tabung fermentor berisi sampel dikeluarkan dari shacker kemudian
ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm
selama 10 menit kemudian supernatan dibuang. Endapan dicampur dengan larutan pepsin
HCl 0.2% sebanyak 50 ml kemudian diinkubasi se-lama 48 jam. Sisa pencernaan hidrolisis
kemudian disaring dengan kertas Whatman no. 41 yang telah diketahui bobotnya dengan
bantuan pompa vakum. Sisa pakan pada kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen
dan dipanaskan pada oven 105 °C selama 24 jam.
Setelah 24 jam, cawan ditimbang (BK R). Kemudian cawan dimasukkan ke dalam
tanur 600 °C selama 6 jam kemudian ditimbang bobotnya (BO R). Pengukuran kecernaan
bahan kering dan bahan organik dihitung menggunakan rumus:

BK S(g) − BK R(g) − BK B(g)


KCBK (%) =
BK S × 100 %

BO S(g) − BO R(g) − BO B(g)


KCBO (%) =
BO S × 100 %

Keterangan : S = sampel; R = residu; B = blanko

Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan
4 ulangan, kecuali pengujian karakteristik utilitas menggunakan rancangan acak kelompok
(RAK). Jika terdapat perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan polynomial
orthogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Awal Bahan
Proporsi botani tanaman jagung masing-masing umur serta kandungan nutrisinya
diperlihatkan pada table 1.

Tabel 1. Proporsi botani dan kandungan nutrient tanaman jagung


Proporsi Botani (%)
Perlakuan BK (%) PK(%) WSC(%)
Daun Biji Batang Klobot Tongkol
SJ60 21,66 - 54,25 18,22 5,87 14,30 16,75 11,85
SJ70 18,03 4,92 30,33 27,38 19,34 17,99 13,72 16,46
SJ80 19,31 7,23 39,52 20,46 13,48 21,09 14,74 12,11
SJ90 18,74 14,22 36,57 18,08 12,39 25,41 10,71 15,65
Keterangan : SJ60, SJ70, SJ80 dan SJ90 adalah silase jagung umur 60, 70 80 dan 90 hari.

Proporsi daun dan batang mengalami penurunan yang signifikan setelah hari ke-70,
sedangkan proporsi biji, klobot dan tongkol meningkat. Namun proporsi klobot dan tongkol
kemudian menurun, karena bertambahnya berat biji jagung. Peningkatan proporsi biji
meningkatkan kandungan BK secara linear sejalan dengan umur tanaman (Darby dan Lauer
2002), namun menyebabkan penurunan PK. Kandungan PK pada tanaman jagung
berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman tersebut. Pada akhir fase vegetatif produksi
hijauan maksimal dan kandungan protein kasar jagung lebih menurun. Peningkatan WSC

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 15


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

sejalan dengan peningkatan proporsi biji, klobot dan tongkol. Hasil analisis tanaman jagung
memperlihatkan kadar WSC 11% - 16%. Kadar WSC melebihi kandungan yang dibutuhkan
untuk menghasilkan silase berkualitas baik yaitu 3-5% (Mc-Donald et al., 1991), sehingga
diharap-kan penurunan pH dapat terjadi dengan cepat.
Dari kandungan awal tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi awal bahan yang baik
untuk pembuatan silase tanaman jagung adalah jika jagung dipanen pada hari ke 90 atau lebih
karena BK dan WSC yang tinggi, namun jika mempertimbangkan kandungan PK, maka
pemanenan pada umur 80 hari juga dapat dilakukan dengan penambahan absorben pada
pembuatan silase karena BK yang masih rendah. Menurut Despal et al (2017a), kandungan
BK yang tepat untuk menghasilkan silase berkualitas baik berkisar 30 – 40%, namun pada
silase tanaman jagung, kadar air yang lebih rendah dapat ditolerir karena kandungan gula
yang tinggi yang dapat menurunkan pH lebih cepat melebihi kapasitas buffer air yang
terdapat dalam tanaman tersebut.

Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik silase tanaman jagung yang dihasilkan dari tanaman jagung dengan
umur pemanenan yang berbeda diperlihatkan pada table 2.

Tabel 2. Karakteristik fisik silase tanaman jagung.


Perlakuan
Parameter
SJ60 SJ70 SJ80 SJ90
Aroma Asam Asam Asam Asam
Tekstur Lepas Lepas Lepas Lepas
Warna Hijau gelap Hijau gelap Hijau gelap Hijau gelap
Keberadaan jamur (%) 3,27 6,97 14,44 12,74
Keterangan : +++ = Lembab

Tidak terdapat perbedaan yang nyata dari karakter fisik silase tanaman jagung yang
dihasilkan dari umur panen yang berbeda, kecuali pada kerusakan akibat pembusukan.
Banyaknya pembusukan yang terjadi mengikuti respon kurva kuadratik dengan persamaan y
= -0.0022x3 + 0.472x2 - 33.689x + 789.21; R² = 0.9938 dengan pembusukan maksimal pada
pemanenan hari ke 75. Silase yang dihasilkan secara fisik baik dengan aroma asam, tekstur
utuh dan lepas dan warna hijau gelap. Aroma asam silase yang dihasilkan sangat khas yaitu
aroma asam laktat. Menurut Elfrink et al (2000), silase beraroma asam menunjukkan proses
fermentasi berjalan dengan baik. Warna gelap pada silase menunjukkan ciri kualitas silase
yang kurang baik (Despal et al, 2011). Menurut Despal et al (2017a), silase yang baik
memiliki warna mendekati bahan asalnya. Jamur yang diamati pada silase disebabkan ukuran
partikel dari tanaman jagung yang terlalu besar terutama diameter bagian batang. Hal tersebut
menyebabkan bakteri asam laktat tidak dapat mengkases bagian tersebut dengan baik.
Diperlukan perlakuan awal pemecahan batang tanaman jagung agar menghasilkan silase yang
berkualitas lebih baik. Pertumbuhan jamur juga dapat disebabkan kondisi aerob baik pada
saat awal maupun selama penyimpanan. Ukuran partikel yang besar menyebabkan pemadatan
sulit dan dapat menyebabkan kebocoran pada silo plastic. Udara yang masuk dan penanganan
yang kurang tepat mengakibatkan adanya suplai oksigen ke dalam silo yang memicu
pertumbuhan jamur (Muck, 2011).

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 16


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 17


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Karakteristik Fermentatif Silase

Karakteristik fermentative silase diperlihatkan pada table 3. Keseluruhan


silase yang dihasilkan memiliki pH yang mencirikan silase berkualitas sangat baik (<4).
Menurut Saun & Heinrichs (2008) silase tanaman jagung yang berkualitas baik memiliki
kisaran pH 3.8 – 4.2. Perbedaan pH yang terjadi berhubungan dengan ketersediaan
karbohidrat larut air pada bahan. Cherney et al (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang positif antar karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri
asam laktat yang agar dapat menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011).

Tabel 3. Karakteristik fermentatif silase


Perlakuan
Parameter
SJ60 SJ70 SJ80 SJ90
pH 3,86 ±0,03 3,79±0,03 3,75±0,04 3,76 ±0,01
BK (%) 13,77±0,58 16,31 ±0,70 19,83 ±0,75 24,21±0,67
VFA (mM) 34,08±5,90 30,67±10,22 30,67±10,22 34,08±11,81
Kehilangan BK (% unit) 1,47±0,42 1,72 ± 0,68 1,49±0,33 1,65±0,25
Kehilangan BK (% BK awal) 10.30 ± 2.95 9.54 ± 3.79 7.07 ± 1.55 6.50 ± 1.00
PK (%) 14,78±1,20 13,10±1,08 13,66±1,41 10,61±0,11
N-NH₃ (mM) 1,41±0,12 1,55±0,21 1,59±0,05 1,58±0,09
Perombakan PK (%) 5,90±0,74 5,67±1,24 4,89±0,61 5,75±0,31
Residual WSC (%) 4,98±0,29 4,68±0,07 4,23±0,28 3,91±0,85
Kehilangan WSC (%) 6,81±0,07 11,87±0,28 7,88±0,29 11,76±0,85
Nilai Fleigh 74,66±0,4 80,72±0,5 90,09±2,56 95,13±1,2

Kadar BK silase yang dihasilkan meningkat linear mengikuti persamaan y = 0.3612x -


8.978; R² = 0.9891. Tingginya kadar BK dipengaruhi oleh kadar bahan kering awal bahan
dan rendahnya kehilangan BK selama ensilasi (Despal et al, 2011). Kehilangan BK pada
percobaan ini sebesar 1.47% - 1.72 % unit atau sebesar 6.5% – 10.30% BK awal. Kehilangan
BK antar perlakuan tidak nyata karena besarnya variasi, namun terlihat kecenderungan
penurunan sejalan dengan meningkatnya umur panen. Muck (2011) melaporkan bahwa
tingkat kecepatan pemasukan bahan ke dalam silo mempengaruhi besarnya kehilangan BK.
Kehilangan BK pada penelitian ini tergolong dalam kisaran normal kecuali pada SJ60 yang
melebihi 0%. Kim et al (2005), juga menemukan kehilangan BK pada silase tanaman jagung
pada kisaran 1.2%-13.3%.
Kadar PK silase menunjukkan penurunan secara linear sejalan dengan peningkatan
umur. Untuk memenuhi kebutuhan sapi perah laktasi, peningkatan umur tanaman jagung
hingga 90 hari menyebabkan penurunan PK yang besar dan dibawah kebutuhan ternak
sehingga membutuhkan suplemen konsentrat yang memiliki PK yang lebih tinggi.
Perombakan PK yang terjadi selama ensilasi tidak dipengaruhi oleh umur tanaman.
Banyaknya PK yang dirombak pada percobaan ini cukup tinggi (>5%) (Despal et al., 2017a).
Kadar ammonia nitrogen (N-NH3) hasil perombakan PK selama ensilase jagung berkisar 1.4
– 1.6 mM. Zamudio et al (2009) mengatakan bahwa silase berkualitas baik memiliki kadar
ammonia <50 g/kg total N atau perombakan PK sebesar <4.1% sedangkan pada penelitian ini
perombakan protein berkisar antara 4.8% -6%.

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 18


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Karbohidrat terlarut air (WSC) merupakan substrat bagi BAL selama ensilase untuk
meningkatkan proses pengawetan (Davies et al, 2005). WSC yang tersisa setelah proses
ensilasi menggambarkan banyaknya WSC yang digunakan untuk menurunkan pH silase
(Chen & Weinberg, 2008). Penggunaan WSC lebih tinggi pada jagung yang dipanen umur 70
dan 90 hari. Banyaknya WSC yang digunakan berhubungan dengan kapasitas buffer dari
bahan. Kandungan PK dan air yang tinggi menyebabkan kapasitas buffer meningkat.
Nilai Fleigh menggambarkan kualitas fermentasi silase yang dihitung berdasarkan
nilai BK dan pH silase (Idikut et al., 2009). Nilai Fleigh yang diperoleh meningkat secara
linear sejalan dengan peningkatan umur mengikuti persamaan y = 0.8505x + 25.777; R² =
0.9842. Nilai Fleigh yang dihasilkan percobaan ini >85 (SJ80 dan SJ90), dikategorikan
sebagai silase berkualitas sangat baik sedangkan SJ60 dan SJ70 pada kisaran 60-80
dikategorikan sebagai silase berkualitas baik (Ozturk, 2005).

Karakteristik Utilitas
Pengukuran fermentabilitas dan kecernaan silase tanaman jagung yang diproduksi
dari tanaman jagung yang dipanen pada umur yang berbeda diperlihatkan pada table 4.
Tabel 4. Karakteristik utilitas silase.
Perlakuan
Parameter
SJ60 SJ70 SJ80 SJ90
Fermentabilitas
NH₃-rumen (mM) 10,18±3,36 9,32±2,37 7,81±1,94 6,20±2,82
VFA-rumen (mM) 168,45±62,19 161,01±10,43 155,11±27,00 154,63±52,80
Kecernaan
KCBK (%) 62,32±4,73 62,24±1,59 63,08±3,72 68,75±3,88
KCBO (%) 63,86±5,54 64,86±2,15 63,30±4,99 69,80±4,47

Amonia (NH3) yang dihasilkan dari fermentasi PK dalam rumen digunakan oleh
mikroba rumen sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba (McDonald et al,
2002). Kadar NH3 rumen yang dihasilkan pada silase jagung menunjukkan SJ60 dan SJ70
menghasilkan ammonia yang lebih tinggi dibandingkan dengan SJ80 dan SJ90. Tinggi atau
rendahnya konsentrasi NH3 didalam rumen disebabkan oleh besarnya kandungan protein
pakan (Despal et al., 2011). Konsentrasi NH3 rumen yang dihasilkan dari fermentasi silase
jagung pada percobaan ini berkisar 6-10 mM yang berada pada kisaran optimum
pertumbuhan mikroba rumen menurut McDonald et al., (2002) yaitu 6-21 mM.
Konsentrasi VFA rumen yang dihasilkan dari fermentasi bahan organic silase (Orskov
& Ryle, 1990) dalam rumen pada penelitian ini berkisar antara 154 - 168 mM berada pada
kisaran optimum silase berkualitas baik menurut Suryapratama (1999) yaitu 80-160 mM.
Tingginya kadar VFA yang dihasilkan menggambarkan sedikitnya bahan yang mudah larut
difermentasi oleh BAL selama ensilase dan mudahnya pakan difermentasi dalam rumen.
Silase cenderung fermentable karena sudah terjadi proses degradasi awal oleh mikroba
selama ensilasi (Despal et al. 2017a). Konsentrasi VFA rumen silase yang dihasilkan lebih
tinggi dari silase pakan penelitian yang dilaporkan Despal et al (2011) dan Wang et al (2005)
yaitu 127-164 mM dan 93.4-99.6 mM.

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 19


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Kecernaan BK dan BO silase pada umur 90 menunjukkan perbedaan yang signifikan


dibandingkan umur panen yang lebih muda. Peningkatan proporsi biji yang pesat pada umur
ini menyebabkan proporsi tanaman yang mudah dicerna meningkat. Nilai kecernaan bahan
organik silase jagung pada penelitian ini lebih rendah dari pada silase daun rami beraditif
jagung yaitu 73,6 % (Despal et al, 2011) dan lebih tinggi dari silase sorghum sebesar 54%
(Marco et al., 2009).

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa umur panen yang tepat untuk
menghasilkan silase berkualitas terbaik dari tanaman jagung di dataran rendah tropis adalah
pada umur 90 hari. Jika tanaman jagung dipanen lebih muda untuk mendapatkan kadar
protein yang tinggi, disarankan untuk menambahkan bahan penyerap pada pembuatan silase
agar kualitas silase yang dihasilkan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat statistik. 2011. Statistik Pertanian. Pusat data dan informasi pertanian.
Departemen Pertanian, Jakarta
Bal, M. A., R. D Shaver, K. J Shinners, J. G Coors, J. G Lauer, R. J Straub, & R. G Koegel.
2000. Stage of maturity, processing and hybrid effects on ruminal in situ
disappearance of whole-plant corn silage. J. Anim. Feed Sci. and Tech. 86:83-94
Chen, Y. & Z. G. Weinberg. 2008. Changes during aerobic exposure of wheat silages. Anim.
Feed Sci and Tech. 154:76-82
Cherney, D. J., H Cherney, & W. J. Cox. 2004. Fermentation characteristics of corn forage
ensiled in mini silos. J. Dairy Sci. 87:4238-4246.
Church, D. C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. 3rd ed. Prentice-Hall Inc., New Jersey.
Darby, H. M. & J. G. Lauer. 2002. Harvest date and hybrid influence on corn forage yield,
quality and preservation. Agron. J. 94:559-566.
Davies, D. R., M. K. Theodorou, A. H. Kingston-Smith, & R. J. M. Merry. 2005. Advances
in Silage Qualty in The 21st Century. Silage Production and Utilisation. Wageningen
Academic Publishers. Netherlands.
Departemen Pertanian. 2011. Budidaya jagung. http://epetani.deptan.go.id [8 Juli 2012]
Despal, I. G. Permana, S. N. Safarina, & A. J. Tatra. 2011. Penggunaan berbagai sumber
karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun rami. Med. Pet. 67-69
Despal, I.G. Permana, T. Toharmat and D.E. Amirroennas, 2017. Silase Pakan Sapi Perah.
IPB Press, Bogor, Indonesia.
Despal, I.G. Permana, T. Toharmat and D.E. Amirroennas, 2017. Pemberian Pakan Sapi
Perah. IPB Press, Bogor, Indonesia.
Elfrink, S. J. W. H. O., F. Driehuis, J. C. Gottschal, & S. F. Speolstra. 2000. Silage
fermnetation processes and their manipulation. In Proceeding of the FAO Electronic
conference on Tropical Silage 1 September to 15 December 1999.
Idikut, L., B.A. Arikan, M. Kaplan, I. Guven, A.I. Atalay and A. Kamalak, 2009. Potential
nutritive value of sweet corn as a silage crop with or without corn ear. J. Anim. Vet.
Adv., 8: 734-741.Kim, S. C. & A. T Adesogan. 2006. Influence of ensilage
temperature, simulated rainfall and delayed sealing on fermentation charachteristics
and aerobics stability of corn silage. J. Dairy Sci. 89:3122-3132.

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 20


ISSN: 0216 – 065x Buletin Makanan Ternak, 2017, 104 (3): 10 - 20

Lee, C. 2012. Corn growth and development. http://www.uy.edu/Ag/GrainCrops [8 mei


2012]
Marco, O. N. D., M. A. Ressia, S. Arias, M. S. Aello, & M. Arzadun. 2009. Digestibility of
forage silages from grain, sweet and bmr sorghum types: comparison of in vivo, in
situ and in vitro data. Anim. Feed Sci. And Tech. 153:161-168
McDdonald, P., R. Edwards, & J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th. New York
McDonald, P., R. Edwards, & J. Greenhalgh. 1991. The Biochemistry of silage. 2nd Ed.
Chalcombe Publications. Marlow, Bucks SL7 3PU.
Muck, R. E. 2011. The Art and Science of Making Silage. Plant Science Departement,
University of California. California.
Orskov, E. R. & M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. London: Elseivier.
Ozturk, D., M. Kizilsimsek, A. Kamalak, O. Canbolat, & C. O. Ozkan. 2005. Effects of
ensiling alfalfa with whole-crop maize on the chemical composition and nutritive
value of silage mixtures. Departement of Crop Science, Kahramanmaras Sutcu Imam
University, Turkey.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Saun, R. J. V. & A. J Heinrich. 2008. Trouble Shooting silage problem. In Proceedings of the
Mid-Atlantic Conference: Pensylvania, 26 May 2008. Pen State’s Collage. Hlm 2-10.
Suryapratama, W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan kapsul lisin
serta treonin terhadap nutrisi protein sapi holstein. Disertasi. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tilley, J. M. A. & R. A. Terry. 1963. Two-stage technique for the in vitro digestion of forage
crops. J. Brit. Grassland Soc. 18:104-11
Umiyasih, U. & E. Wina. 2008. Pengolahan dan nilai nutrisi limbah tanaman jagung sebagai
pakan ternak ruminansia. Wartazoa Puslitbang Peternakan. 18(3)
Wang, C., Q. Liu, W. J. Huo, W. Z Yang, & G. Guo. 2009. Effects of glycerol on rumen
fermentation, urinary excretion of purine derivatives and feed digestibility in steers.
Livestock Science. 121:15-20
Zamudio, D. M., J. M Pinos-Rodriguez, S. S Gonzalez, P. H Robinson, J. C Garcia, & O.
Montanez. 2009. Effects of agave salmania otto ex salm-dyck silage as forage on
ruminal fermentation and growth in goats. Anim Feed Sci and Tech. 148:1-11

Despal, Hidayah, P. , Lubis A.D. 21

You might also like