Prosiding Jateng-174-184
Prosiding Jateng-174-184
Prosiding Jateng-174-184
ABSTRACT
The narrow area of paddy farmland which is controlled by farmers, especially in Java, will be
difficult to obtain a level of business efficiency, so will also be difficult to achieve the level of
effectiveness in resource utilization, while in terms of quality standardization, there is a risk of non-
uniformity in yield quality. This will affect the costs and profits of farming, so that the income earned
is less optimal. Various studies show that the income derived from small-scale farming is considered
not feasible, so it is unable to meet the needs of farmers' household lives. An example is a rice farmer
who controls an area of 0.26 Ha, the average income earned per period of the growing season is IDR
5,420,376.00. If each planting season period is four months, the average farmer's income is only Rp
1,355,094.00 / month. To improve farming efficiency and farmers' welfare, various efforts have been
widely tested and applied, for example the development of Village Cooperative Units (KUD),
development of agricultural business areas, development of Agropolitan areas, Primatani, Rice
Production Increase Movement through Corporations (GP3K) and Corporate Farming (CF). In 2000,
the CF approach was applied in various districts - provinces in Indonesia, which is an approach to
agricultural development in which farmers had to hand over their land management and agricultural
business to the management agency unit. In the implementation it seems that it has not been as
expected, especially in terms of land consolidation and marketing of results, so most of it has returned
to its original condition. At present there seems to be a need to develop a concept of developing a
farmer-based farming area. Based on empirical experience in agricultural development through the
CF approach, the author tries to pour thoughts based on experience and knowledge to consider its
application, one of which is to consistently implement the empowerment of HR and institutional
farmers as well as increase the activities of farmers to carry out the business of processing rice into
broken-skin rice. corporation.
Keywords: region, agriculture, rice, corporation, empowerment
ABSTRAK
Sempitnya luas lahan pertanian padi yang dikuasai oleh petani, terutama di Jawa akan sulit
memperoleh tingkat efisiensi usaha, demikian juga akan sulit mencapai tingkat efektivitas dalam
pemanfaatan sumberdaya, sedangkan dari sisi standartdisasi mutu, mengandung risiko ketidak
seragaman mutu hasil. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan keuntungan usahatani, sehingga
pendapatan yang diperoleh relaitf kurang optimal. Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa
pendapatan yang diperoleh dari usahatani skala kecil dinilai belum layak, sehingga tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga petani. Sebagai contoh adalah petani padi yang
menguasai lahan seluas 0,26 Ha, rata-rata pendapatan yang diperoleh per periode musim tanam
adalah sebesar Rp 5.420.376,00. Apabila setiap periode musim tanam adalah empat bulan, maka
pendapatan petani rata-rata hanya Rp 1.355.094,00/bulan. Untuk meningkatkan efisiensi usahatani
dan kesejahteraan petani, berbagai upaya sudah pernah diuji coba dan diterapkan secara luas, sebagai
contoh adalah pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD), pengembangan kawasan usaha pertanian,
pengembangan kawasan Agropolitan, Primatani, Gerakan Peningkatan Produksi Padi melalui
Korporasi (GP3K), dan Corporate Farming (CF). Pada tahun 2000, pendekatan CF pernah diterapkan
di berbagai kabupaten - provinsi di Indonesia yaitu suatu pendekatan pengembangan pertanian
dimana para petani sehamparan menyerahkan pengelolaan lahan dan usaha pertaniannya
kepada satuan lembaga manajemen. Dalam implementasi tampaknya belum seperti yang
diharapkan terutama dalam hal konsolidasi lahan dan pemasaran hasil, sehingga sebagian besar
kembali kepada kondisi semula. Saat ini tampaknya ada pemikiran perlunya untuk dikembangkan
174
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
kembali konsep pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani. Berdasarkan atas
pengalaman empiris dalam pengembangan pertanian melalui pendekatan CF, penulis mencoba
menuangkan pemikiran yang didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan untuk dipertimbangkan
penerapannya, salah satunya adalah mengimplementasikan pemberdayaan SDM dan kelembagaan
petani secara konsisten serta menambah aktivitas petani untuk melakukan usaha prosesing padi
menjadi beras pecah kulit secara korporasi.
Kata kunci : kawasan, pertanian, padi, korporasi, pemberdayaan
PENDAHULUAN
175
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
dengan menerapkan berbagai inovasi pertanian lokal spesifik serta pemberdayaan SDM dan
kelembagaan ekonomi petani.
Pemerintahan periode 2015 - 2019 dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian telah
menetapkan program strategis diantaranya adalah pencapaian swasembada berkelanjutan
pada komoditas padi. Salah satu provinsi yang mempunyai kontribusi besar dalam pencapaian
swasembada padi adalah Provinsi Jawa Tengah, karena merupakan sentra produksi padi. Luas
tanam padi di Jawa Tengah pada tahun 2017 mencapai 2.128.789 ha, sedangkan luas panen
mencapai 2.025.856 ha, dengan produksi sekitar 11,42 juta ton, hal ini tentu membutuhkan
benih dan tenaga kerja banyak (Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi adalah suatu pengelolaan
pembangunan wilayah sentra-sentra produksi dalam skala ekonomi serta terkait secara
fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya, faktor produksi dan
keberadaan infrastruktur penunjang (Kementerian Pertanian 2018). Tujuan utamanya adalah
meningkatkan kesejahteraan petani dan produksi serta nilai tambah dan daya saing wilayah
untuk keberlanjutan usahatani, dalam hal ini adalah komoditas padi. Pengembangan kawasan
pertanian dimaksudkan untuk (1) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan jasa
penunjang; (2) Menjamin keberlanjutan kegiatan pra-produksi, proses produksi, pasca
produksi dalam sistem agribisnis. Kegiatan yang perlu dilakukan terkait dengan komoditas
padi antara lain adalah memperkuat sistem usahatani secara utuh dalam satu manajemen
kawasan yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadahi
seperti penyediaan air, penyediaan benih sumber padi dan jasa alsintan, serta pemasaran hasil
secara optimal.
Terkait dengan hal-hal di atas perlu juga dilakukan pemberdayaan SDM petani dan
kelembagaan petani dalam mengakses informasi, teknologi, prasarana dan sarana publik,
permodalan serta pengolahan hasil dan pemasaran. Artinya bahwa kegiatan yang dilakukan
pada sistem produksi padi merupakan satu kesatuan sistem yang terkait mulai dari pengadaan
input, usahatani, pasca panen, prosesing, serta pemasaran produk-produk yang dihasilkan
sampai ke konsumen akhir secara berkelanjutan (Asngari, 2001). Pengembangan akan
memanfaatkan kemampuan yang berbasis pada sumberdaya lokal, sehingga input luar dapat
diminimalkan. Kegiatan juga mendayagunakan iptek dalam seluruh aspek demi peningkatan
efisiensi produksi, keragaman dan kualitas produk serta nilai tambah melalui proses adaptasi,
integrasi dan pengambangan iptek (Aristo, 2004; Solihin, 2006).
176
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
Kementerian pertanian pada tahun 2000 an pernah melakukan uji coba pengembangan
pertanian yang mengacu pada konsep Corporate Farming (CF). Corporate Farming (CF)
atau pertanian korporasi dapat diartikan sebagai suatu usaha bidang pertanian yang berbadan
hukum, dimana pemegang saham utamanya adalah para petani yang menyerahkan
177
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
pengelolaan lahan dan usaha pertaniannya (misalnya usahatani padi, jagung, dan tebu) atau
ternak (sapi potong) kepada satuan lembaga manajemen. Salah satu syarat utama dalam
pengembangan CF adalah dilaksanakannya konsolidasi lahan milik petani dan konsolidasi
usaha pertanian dalam satu kesatuan fungsi manajemen kelembagaan (Sipayung, 2000;
Prasetyo dan Pramono, 2001). Gagasan pengembangan CF didasarkan atas pertimbangan
bahwa pembangunan pertanian selama ini masih mengutamakan pengelolaan secara individu,
karena aset yang dikuasai petani terutama lahan relatif sempit, sehingga dinilai kurang efisien
(Badan Litbang Pertanian, 2000). Tujuan utamanya adalah meningkatkan efisiensi usaha,
meningkatkan pendapatan petani, dan mengembangkan lapangan pekerjaan di perdesaan.
Untuk itu maka petani sebagai pemilik lahan menyerahkan pengelolaannya kepada lembaga
(Departemen Pertanian, 2000). Dengan menelaah arti CF maka ada dua kata kunci penting
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu konsolidasi lahan dan manajemen usaha
pertanian.
Konsolidasi manajemen dapat didefinisikan bahwa kegiatan atau aktivitas usahatani
yang selama ini dilakukan oleh para petani yang bertindak sebagai manajer digantikan oleh
lembaga korporasi yang berbadan hukum. Artinya bahwa proses pengambilan keputusan
dalam mengoperasionalkan faktor-faktor produksi dalam usahatani dilakukan oleh suatu
lembaga yang disebut CF (Kirk, 2000; Gillinson, 2004). Manajemen usaha dilakukan oleh
satu tim yang terorganisasi secara profesional dan legitimate serta menerapkan fungsi-fungsi
manajemen usahatani, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, koordinasi, dan
pengawasan atau evaluasi (planning, organizing, actuating, coordinating, dan controlling)
(Syarief, 2000). Dalam CF konsolidasi manajemen diperlukan untuk memperoleh kepastian
atau standart yang baku dalam proses bisnis pertanian, baik dalam arti produksi, keuangan,
pemasaran dan sumberdaya manusia (SDM).
Konsolidasi lahan dan manajemen CF didasarkan atas teori ekonomi yang menekankan
pada pencapaian efisiensi melalui produksi dalam skala besar, namun tetap dalam ukuran
skala optimal yaitu dalam skala ekonomi (economic of scale). Skala ekonomi yang ditekankan
pada CF adalah (a) penggunaan tenaga kerja yang memungkinkan pembagian spesialisasi
pekerjaan misalnya tenaga kerja olah tanah, regu tanam, dan regu panen; (b) Penggunaan alat
dan mesin pertanian, misalnya alat olah tanah, mesin penyiangan, dan alat panen serta (c)
adanya potongan harga sarana produksi terutama pupuk dan benih apabila membeli dalam
jumlah besar. Yang tidak kalah pentingnya dalam konsolidasi lahan dan manajemen adalah
kemudahan pembagian air serta penerapan teknologi sesuai dengan peruntukannya.
Penentuan skala ekonomi adalah hal penting dalam CF, karena inovasi dan teknologi
dapat diterapkan secara serentak dalam satu hamparan, sehingga volume dan kualitas produksi
relatif tidak berbeda antar individu petani. Ketidak seragaman mutu hasil sering dihadapi oleh
petani sehingga produk yang dihasilkan sulit diterima oleh konsumen. Kondisi ini sering
terjadi pada petani jagung, walaupun lokasi usahatani mereka dalam satu hamparan, namun
kadar air jagung yang dihasilkan berbeda-beda, karena penanganan pasca panen dilakukan
secara sendiri-sendiri (Najib, 1994). Hal ini tidak akan terjadi apabila dikelola secara
korporasi karena penerapan teknologi dapat dikontrol oleh lembaga CF. Dengan demikian CF
juga dapat dikatakan suatu bentuk kerjasama ekonomi oleh sekelompok petani sehamparan
lahan untuk tujuan agar diperoleh hasil yang dapat memenuhi standart mutu sesuai dengan
permintaan konsumen.
Corporate Farming yang pernah dikembangkan di Jawa Tengah tersebar di beberapa
kabupaten diantaranya adalah di Kabupaten Grobogan, Pati, Sragen, Demak, Sukoharjo,
Karanganyar dan lain-lain. Namun yang digunakan sebagai lokasi pilot proyek pertama atau
uji coba secara lengkap adalah di Kabupaten Grobogan, sedangkan di kabupaten lain sering
disebut sebagai pra CF, karena tidak selengkap CF yang dibangun di Kabupaten Grobogan.
Penerapan konsep CF mengacu pada pendekatan sistem agribisnis yaitu adanya keterkaitan
antara on farm, off farm, dan non farm. Pendekatan ini ditandai dengan usaha pertanian yang
dikembangkan di lokasi CF, yang meliputi (1) usahatani padi, jagung, dan sapi potong (on
farm); (2) usaha penggilingan padi (rice mill), jasa tresher, usaha jasa hand tractor, kandang
sapi komunal, pengadaan pakan sapi (off-farm); (3) usaha simpan pinjam (non farm). Usaha
178
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
yang dikembangkan mengacu pada konsep sistem integrasi antara tanaman pangan (padi-
jagung) dan ternak (sapi potong) yaitu bentuk pertanian mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lahan, iklim, air, tanaman, hewan, dan manajemen dalam suatu sistem produksi.
Usaha tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk dengan nama kelembagaan CF
yang diberi nama "CF Bersemi". Cikal bakal kelembagaan CF adalah bergabungnya
kelompok tani (Poktan) yang ada di dua desa tersebut. Ada 11 kelompok tani yang dibentuk
secara normatif melalui proses sosialisasi dan pembahasan dengan para perwakilan kelompok
tani, tujuh diantaranya menyatakan bergabung dengan kelembagaan CF dengan jumlah
anggota sebanyak 454 orang dan menguasai lahan seluas 106,2 ha. Struktur organisasi atau
susunan pengurus dalam lembaga CF dan aturan main dalam bentuk anggaran dasar dan
rumah tangga (AD/ART) telah disusun dan disyahkan/disepakati oleh perwakilan Poktan.
Kelembagaan CF berlokasi di Desa Pilangpayung dan Sugihan, Kecamatan Toroh,
Kabupaten Grobogan. Lokasi dua desa tersebut berdampingan dimana lahan sawah yang
dimiliki oleh para petani terletak dalam satu hamparan dan dalam satu-kesatuan fungsi
pengairan.
Tabel 1.
Kegiatan usahatani padi (on farm dan off farm) yang telah disepakati dilaksanakan secara
bersama dan individu di lokasi kegiatan CF
No Dilaksanakan bersama-sama Dilaksanakan secara individu
1 Penerapan teknologi budidaya Penguasaan lahan
2 Pengadaan sarana produksi Pesemaian
3 Jasa alsintan Pemupukan
4 Pengairan Penyiangan (beregu)
5 Pengolahan Tanah Panen
6 Tanam (beregu) Prosesing
7 Pengendalian hama terpadu Pemasaran
Dian Maharso (2003)
Tinjauan tentang faktor – faktor produksi dalam usahatani yang telah diuraikan di atas
masih pada tingkat masukan dalam usahatani (on farm), sedangkan masalah penanganan
pasca panen dan pemasaranan hasil produksi merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam
bisnis pertanian. Berkaitan dengan hal itu pemerintah telah menempuh kebijaksanaan dalam
pembangunan pertanian yaitu dengan pendekatan sistem agribisnis. Sebagai paradigma
pembangunan pertanian, agribisnis haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang
terpadu mulai dari pengadaan input usahatani sampai dengan distribusi produk-produk
pertanian ke tangan konsumen akhir (Arifin, 2005). Ada lima syarat yang perlu dipenuhi agar
terjadi sistem agribisnis yaitu : (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani (2) teknologi yang
terus berkembang (3) tersedianya sarana dan alat-alat produksi secara lokal, (4) adanya nilai
tambah produksi bagi pelaku, dan (5) tersedianya transportasi yang lancar.
Konsepsi dasar pengembangan agribisnis di suatu daerah tidak lepas dari potensi lokal
yang mampu bersaing dalam tingkat regional (Najib, 1994). Oleh karena agroindustri
merupakan subsistem penggerak agribisnis, maka data aglomerasi agribisnis sebaiknya
diambil dari kegiatan sub sektor hilir atau down stream (agroindustri). Walaupun konsep
agribisnis telah dipahami dan dilaksanakan oleh berbagai stakeholders namun kegiatannya
masih secara parsial dan secara agregat belum sepenuhnya ada senergisme antar kegiatan yang
dapat membentuk sistem agribisnis secara utuh. Antar pelaku belum terpadu, bahkan kadang-
kadang saling mengeksploitasi (Prasetyo dan Setiani, 2002). Dampak yang ditimbulkan
adalah adanya ketidakadilan di antara pelaku, karena ada salah satu atau beberapa pihak yang
merasa tertindas terutama yang bergerak di sektor usahatani. Faktor utamanya adalah
keterbatasan dalam mendapatkan akses terhadap input sarana produksi (pasar input) dan
179
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
Salah satu tujuan utama dibentuknya kelembagaan petani terutama Kelompok Tani atau
Gapoktan adalah sebagai tempat atau wahana pembelajaran, komunikasi, tukar informasi, dan
bertemunya para petani dalam mengembangkan teknologi dalam sistem agribisnis. Selain itu
juga dimaksudkan agar berbagai program bantuan dan subsidi pemerintah bagi petani dapat
dijalankan melalui organisasi petani. Dari substansinya tampak bahwa orientasi pembentukan
Kelompok Tani dan Gapoktan bukan suatu kelembagaan yang berorientasi pada keuntungan
atau berorienatsi ekonomi. Namun demikian, setelah disyahkannya UU No19/ 2013 tentang
perlindungan dan pemberdayaan petani, maka kedudukan petani tampaknya dapat lebih
berdaya, berpeluang dapat dikembangkan untuk menjadi kelembagaan ekonomi. Di Jawa
Tengah UU ini digunakan sebagai dasar terbitnya PERDA Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
NO 5 TAHUN 2016 dan PERGUB Jawa Tengah NO 16 TAHUN 2018, tentang implementasi
daripada pemberdayaan petani.
180
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
KESIMPULAN
181
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
ditebaskan, maka untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan ada baiknya aktivitas
petani perlu ditambah yaitu melakukan kegiatan prosesing menjadi beras pecah kulit secara
korporasi. Aktivitas usaha korporasi prosesing GKP menjadi beras pecah kulit sebaiknya
diawali dari skala yang relatif kecil. Apabila usaha prosesing beras pecah kulit dapat
berkembang, selanjutnya perlu diikuti dengan regulasi atau kebijakan terkait dengan
pembelian beras pecah kulit oleh pihak pemerintah daerah atau BUMN seperti BULOG yang
mempunyai kompetensi dalam pengadaan pangan.
Konsep, pemikiran, dan perencanaan sebaik apapun, namun apabila sulit
diimplementasikan, maka hal ini akan kurang bermakna dan sia-sia, karena hanya terbatas
pada hitam di atas putih dan kata-kata. Yang penting adalah implementasinya. Oleh karena
itu dalam menuangkan pemikiran atau gagasan perlu didasarkan atas kondisi dan
permasalahan di lapangan, sertakan masyarakat petani setempat ikut berpartisipasi dalam
perencanaan. Pendekatan perencanaan partisipatif (participatory planning) mutlak
diperlukan, masyarakat atau petani/pengusaha pertanian di perdesaan sebagai mitra petani
yang turut berperan secara aktif, baik dalam hal penyusunan rencana maupun implementasi.
Diperlukan komitmen dari semua pelaku (stakeholders) dalam pengembangan kawasan
pertanian padi berbasis korporasi petani. Pengembangan kawasan pertanian padi berbasis
korporasi petani tampaknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita perlu kerja keras untuk
mewujudkannya agar pasokan pangan asal padi dan kesejahteraan petani ke depan dapat lebih
terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
182
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
183
Prosiding Seminar Nasional Kesiapan Sumber Daya Pertanian dan Inovasi Spesifik Lokasi Memasuki Era Industri 4.0
disampaikan pada Seminar " Adakah Landasan Teoritis dan Bukti Empiris Konsep
Corporate Farming. Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB, Bogor
Vanni, F., 2014. The Role of Collective Action, Agriculture and Public Goods, Springer
Science and Business Media, Dordrecht.
Wang, Y., Chen, C. and Tao, Y., 2014. Determinants of the Collective Action in the Common:
Study of Irrigation in China, Paper presented at the Fifth Workshop of the Ostrom
Workshop Conference held at the Indiana University, June 18-21, 2014.
Yusuf., 2013. Politik Pangan Indonesia : Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan
Kemandirian . http:/setkab.go.id/en/artikek-6833-.html
184