Adaptasi Masyarakat Suku Baduy Luar Terhadap Perkembangan Global Berbasis Kearifan Lokal

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

JSCSR

Journal of Socio-Cultural Sustainability and Resilience


JSCSR 1(1): 62-69
ISSN 3025-0269

Adaptasi masyarakat suku baduy luar terhadap perkembangan


global berbasis kearifan lokal
Lisa Nurfalah 1*, Chesya Sera De Claresya 2, dan Muhammad Brilliant Bidjaksono 3
1 Program Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan,
Universitas Indonesia; Salemba – Indonesia.
2 Program Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan,
Universitas Indonesia; Salemba – Indonesia;
[email protected]
3 Program Magister Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan,
Universitas Indonesia; Salemba – Indonesia;
[email protected]
* Korespondensi: [email protected]
Tanggal Diterima: 20 Juni 2023 Tanggal Revisi: 29 Juli 2023 Tanggal Terbit: 30 Juli 2023

Abstract
Indonesia has long been known to the world as a country with rich diversity.
One of the them is the existence of various tribes. These tribes are spread from
Sabang to Merauke. Precisely in the Banten area, there is an indigenous tribe,
namely Baduy. The Baduy tribe is known for its very thick culture,
maintaining the traditions of its ancestors, and being able to live in harmony
with nature. The Baduy tribe is divided into two groups, the Baduy Dalam
tribe and the Baduy Luar tribe. The Baduy Dalam Tribe or can also be called
Urang Baduy or the original tribe of the Baduy. They still uphold their
customary laws as a guide to life, in contrast to the Outer Baduy tribe which
has begun to open up and has adapted to modernization. This research
presents the adaptation of the Baduy Luar tribe to global development based
on local wisdom. The observation location of the Outer Baduy tribe observed
in this research is Kanekes Village, Banten. Data collection was done by
reviewing scientific articles and then joint observation. This research found
that the flow of modernization does not make the Baduy community
contaminated by the outside world to utilize the forest without thinking
Cite This Article:
about the long term. Judging from the way of survival, although they are
Nurfalah, L., Claresya, C. S. D., &
Bidjaksono, M. B. (2023). divided into two groups, Baduy Dalam and Baduy Luar, in terms of livelihood,
Adaptasi masyarakat suku the group still depends on the surrounding Natural Resources. The life
baduy luar terhadap principle of the Baduy community is to faithfully maintain the sustainability
perkembangan global berbasis of nature and environmental sustainability.
kearifan lokal. Journal of Socio- Keywords: Baduy community; local wisdom; modernization; nature
Cultural Sustainability and conservation
Resilience, 1(1), 62-69.
https://doi.org/10.61511/jscsr
.v1i1.2023.182 Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman. Salah satu
keanekaragaman yang dimiliki Indonesia yaitu terdapatnya beragam suku.
Suku-suku tersebut tersebar dari Sabang hingga Merauke. Tepatnya di
daerah Banten, terdapat suku asli yaitu Baduy. Suku Baduy dikenal dengan
Hak Cipta: © 2023 oleh penulis.
Akses terbuka untuk mengajukan budayanya yang sangat kental, menjaga tradisi nenek moyangnya, dan
publikasi di bawah syarat dan mampu hidup harmonis dengan alam. Suku Baduy terbagi menjadi dua
ketentuan oleh Creative Commons kelompok, Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Suku Baduy Dalam
Attribution (CC BY) lisensi atau bisa disebut juga Urang Baduy atau Suku Asli dari Suku Baduy. Mereka
(https://creativecommons.org/li hingga saat ini masih memegang teguh hukum adat istiadat mereka
censes/by/4.0/) sebagai pedoman hidup, berbeda dengan Suku Baduy Luar yang sudah
mulai terbuka dan sudah beradaptasi dengan modernisasi. Penelitian ini
memaparkan adaptasi masyarakat suku baduy luar terhadap
perkembangan global berbasis kearifan lokal. Lokasi pengamatan suku
baduy luar yang diamati penelitian ini yaitu Desa Kanekes, Banten.
Pengumpulan data dilakukan dengan meninjau artikel ilmiah dan
kemudian di observasi bersama. Penelitian ini mendapati arus
modernisasi tidak membuat masyarakat Suku Baduy terkontaminasi
dunia luar untuk memanfaatkan hutan tanpa memikirkan jangka panjang.

JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 https://journal-iasssf.com/index.php/JSCSR


JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 63

Dilihat dari cara bertahan hidup, walaupun mereka terbagi menjadi dua
kelompok, Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar, dalam hal mata
pencaharian, kelompok tersebut masih bergantung pada Sumber Daya
Alam di sekitar. Prinsip hidup masyarakat Suku Baduy adalah setia
menjaga keberlangsungan alam dan kelestarian lingkungan.
Kata kunci: suku Baduy; modernisasi; kearifan local; kelestarian alam

1. Pendahuluan
Indonesia dikenal dengan banyaknya suku bangsa yang melahirkan pola budaya yang
berbeda-beda dan menjadi identitas kelompok. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
realitas kebhinekaan di Indonesia terdiri dari berbagai aspek seperti cara pandang, adat
istiadat, nilai budaya, etika, dan sistem kepercayaan, namun juga banyak perbedaan yang
membentuk identitas setiap kelompok masyarakat. Salah satu keanekaragaman yang
dimiliki Indonesia yaitu terdapatnya beragam suku. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik dengan nomor data SP2010, disebutkan bahwa jumlah suku di Indonesia mencapai
1331 kategori suku. Suku-suku tersebut tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan
kekhasan identitas masing-masing. Bila membahas mengenai identitas, terdaoat salah satu
suku asli di daerah Banten, yaitu Suku Baduy.
Suku Baduy merupakan suatu kelompok masyarakat adat sunda yang hidup dan
tinggal di Provinsi Banten, tepatnya Kabupaten Lebak, Kecamatan Lauwidamar, Desa
Kanekes (Widowati, 2019; Bahrudin & Zurohman, 2021). Keberadaan suku Baduy di Desa
Kanekes tidak tercampur dengan suku lain. Aktivitas kesehariannya dalam berkomunikasi
mereka menggunakakan bahasa Sunda, dan termasuk dialek Sunda Banten. Akan tetapi
suku Baduy yang termasuk “Baduy Luar” sudah ada yang bisa menggunakan bahasa
Indonesia ketika berkomunikasi dengan pendatang dari luar daerah (Bahrudin &
Zurohman, 2021). Awalnya masyarakat baduy adalah Suku Baduy Dalam, tetapi
berjalannya waktu Suku Baduy dibagi menjadi dua kelompok yaitu suku Baduy Luar dan
Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Luar adalah mereka yang telah keluar dari adat dan wilayah
Baduy melalui pemodernan adat istiadat setempat. Sementara itu, Suku Baduy Dalam
adalah suku yang masih memegang teguh adat istiadat setempat (Hariyadi, 2019; Maharani,
2009).
Setiap suku memiliki formulasi kearifan lokal dalam berinteraksi dengan komunitas
ekologis dalam kehidupannya. Baduy memiliki nilai-nilai lokal yang diturunkan terus-
menerus dari nenek moyangnya. Pengetahuan yang mereka peroleh dalam menjalani hidup,
diberikan oleh orang tua sebagai keterampilan yang dipelajari sejak dini dan tertanam kuat
di setiap individu (Firdaus et al., 2020). Salah satu keterampilan yang dimiliki yaitu
berladang. Berladang menjadi sebuah tradisi yang dipertahankan masyarakat baduy untuk
bertahan hidup dan tradisi secara bersamaan. Meskipun pemahaman atau wawasan
pengetahuan mengenai bertani tidak mereka peroleh secara formal (di sekolah),
penanaman nilai yang diturunkan oleh orang tua merekalah yang menjadi sumber
pengetahuan pertama kalinya.
Menurut Khomsan & Wigna (2009), pertanian merupakan kehidupan utama
masyarakat Baduy. Secara umum, mata pencaharian Suku Baduy adalah bercocok tanam,
bertenun dan berdagang. Beberapa Suku Baduy ada juga yang bekerja sebagai guru, buruh
dan ibu rumah tangga (Anwar & Riyadi, 2009; Hariyadi, 2019). Dalam hal mata pencaharian,
Suku Baduy Dalam yang masih memegang teguh adat istiadat, mereka menolak segala
bentuk perilaku dan pola hidup yang berbau modern. Mereka bergantung dengan apa yang
tersedia di alam lingkungan sekitar. Fenomena yang sering dilihat adalah Suku Baduy Luar
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan cara menjual hasil bumi berupa buah-
buahan, madu, coklat, pisang dan lainnya, hal tersebut dilakukan oleh Suku Baduy Luar
karena hukum adat bagi masyarakat Baduy Dalam sudah mulai longgar dan terbuka. Suku
Baduy Luar sudah terbuka terhadap modernisasi dan mengadopsi pola hidup masyarakat
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 64

Non Baduy ke dalam pola hidup mereka sehari-hari dengan tetap menampilkan ciri suku
mereka (Hasanah, 2012).
Keterikatan yang erat antara alam dan manusia sangat terlihat jelas pada bagaimana
masyarakat Baduy memaknai lingkungannya. Bagi masyarakat Baduy, hutan dan kekayaan
yang ada di dalamnya merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Fungsi utama
hutan adalah menjaga keseimbangan ekosistem bumi bagi perlindungan lingkungan.
Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan. Pemanfaatan tersebut telah dilakukan
sejak manusia membutuhkan kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Spesifik pada
konteks masyarakat Baduy mereka merupakan kelompok masyarakat yang telah banyak
diakui oleh berbagai pihak terkait keberhasilannya dalam menjaga kelestarian hutan
(Senoaji, 2010). Pembahsan mengenai masyarakat Baduy dan kaitannya dengan kearifan
lokal terutama didominasi oleh pembahsan mengenai keunggulan dari kebiasaan mereka
dalam merawat keberlangusngan lingkungan. Akan tetapi, perhatian pada bagaimana
kondisi dan tantangan yang dihadapi orang-orang Baduy dalam perkembangan global tidak
terlalu mendapat perhatian belakangan ini. Kapabilitas masyarakat baduy dalam
mempertahankan dan melestarikan kearifan lokalnya serta berkontribusi positif pada
lingkungannya melalui kearifan lokalnya harus diakui sebagai legacy yang penting. Namun
sebagaimana kelompok sosial yang hidup di tengah dinamika global yang tidak luput dari
terpaan isu sosial ekonomi seperti modernisasi dan globalisasi, sangat sedikit studi yang
membahas respons dan kesiapan masyarakat Baduy.
Dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai respons masyarakat Baduy
(Luar dan Dalam) terhadap arus modernisasi saat ini. Pertanyaan penelitian dalam studi ini
akan spesifik membahas bagaimana respons kedua kelompok subetnis tersebut
dikontraskan dengan karakteistik dan nilai dari masing-masing kelompok. Pertanyaan
penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dan memahami adaptasi masyarakat Suku
Baduy dalam menghadapi perubahan sosial dan lingkungan di era modern. Dengan
menggali aspek-aspek sosial seperti sistem pegetahuan, sistem peralatan hidup dan
teknologi, serta mata pencaharian dari masing-masing kelompok subetnis, tulisan ini
bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana masyarakat Suku Baduy (Luar dan Dalam)
mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka dan mengintegrasikan elemen-elemen baru
dari dunia luar tanpa mengorbankan identitas dan keberlangsungan budaya mereka yang
unik.

2. Metode
Dalam penelitian ini, penulis berupaya untuk mendapatkan data dan informasi dengan
menggunakan pendekatan normatif. Hasil dari analisis data-data tersebut kemudian
disajikan secara deskriptif dengan pertimbangan bahwa fakta dan realitas sosial hanya bisa
diperoleh dan digambarkanmemerlukan pendekatan dan kesadaran individu yang
mendalam. Data yang digunakan dari kepustakaan dengan mengumpulkan dan meninjau
sumber informasi melalui data sekunder. Data yang diperoleh kemudian dikelola dengan
memeriksa, menyampaikan, kemudian menguraikan dan merumuskan kembali secara
teratur dan logis namun tetap menerapkan sistem hukum hak cipta agar terhindar dari
plagiat. Referensi dalam penelitian ini menggunakan terbitan terbaru minimal 5 sampai 10
tahun terakhir.
Lokasi yang diamati berada di Desa Kanekes, Banten. Alasan pemilihan lokasi ini
karena desa Kanekes merupakan salah satu desa yang didiami suku Baduy yang terikat
dengan aturan adat dan merupakan salah satu suku yang berusaha mempertahankan
tradisi. Namun seiring berjalannya waktu, kelompok masyarakat ini telah terkontaminasi
oleh budaya luar dan telah mengalami perubahan budaya. Pembahasan yang disampaikan
difokuskan terhadap pertanyaan dan tujuan dari penelitian sebagaimana sudah
dicantumkan dalam paragraf terakhir di bagian pendahuluan.
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 65

3. Hasil dan Pembahasan


Suku Baduy mempunyai identitas mencolok dengan corak keunikan budaya dan tradisinya.
Suku Baduy pada kenyataannya merupakan suku yang tidak ingin terkontaminasi dengan
budaya luar untuk menjaga tradisi yang sudah menjadi habitus dalam menjalani perannya
dalam masyarakat. Jadi, dalam kehidupan mereka terikat aturan adat yang serba tradisional
dan jauh dari kata modernitas. Aturan adat ini, terlihat seperti mengekang masyarakat
Baduy untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidup mereka. Akan tetapi, disisi lain,
hukum adat yang terlihat mengekang ini, menjadi tujuan mereka hidup (way of life) dan
menjadi doktrin sebuah kebenaran bagi kelangsungan hidup mereka (Bahrudin &
Zurohman, 2021). Tradisi ini kemudian menempatkan masyarakat Suku Baduy dalam
sebuah dilema di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Tantangan terbesar muncul
akrena adanya diskursus populer yang menyatakan bahwa globalisasi (dan modernisasi)
semakin menggerus budaya lokal yang dimiliki suatu suku bangsa (Bahrudin & Zurohman,
2021). Bagian ini akan membahas lebih elaboratif mengenai postur dan respons
masyarakat Baduy terhadap dilemma tersebut.

3.1. Sistem Ilmu Pengetahuan


Padangan tokoh adat dan kokolotan masyarakat Baduy tentang pendidikan sangat beragam
dan belum mengarah pada satu titik kesepahaman. Menurut Asyari et al. (2017), pendidikan
yang ada dalam masyarakat Suku Baduy adalah pendidikan yang mewariskan pengetahuan-
pengetahuanadat. Secara umum, pengetahuan masyarakat baduy berpedoman pada hukum
adat yang selama ini diturunkan secara turun temurun dari leluhur mereka (Asyari et al.,
2017; Bahrudin & Zurohman, 2021). Berdasarkan pernyataann tersebut, dapat dipahami
bahwa dalam masyarakat Baduy, pendidikan yang terpenting dan paling utama bagi mereka
adalah pendidikan mengenai pengetahuan-pengetahuan adat. Leluhur mereka
mengajarkan bagaimana cara bercocok tanam, memanfaatkan sumber daya alam yang ada
secara tradisional, hingga pandangan hidup yang harus mereka patuhi sepanjang hidup,
khususnya dalam menjaga keseimbangan alam. Suku Baduy menjaga keseimbangan alam
karena dalam keyakinan mereka mengatakan bahwa mereka lahir untuk mengelola taneuh
titipan (tanah suci) yang menjadi pusat bumi (Bahrudin & Zurohman, 2021). Pengetahun
ini tidak bisa didapatkan melalui pendidikan formal. Maka dari itu, sistem pendidikan yang
dijalankan masyarakat Baduy merupakan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan
amanat-amanat adat sebagai landasan.
Dalam studi Asyari et al. (2017) diperoleh informasi bahwa pendidikan formal
(sekolah) merupakan hal yang masih tabu khususnya untuk mesyarakat Baduy Dalam.
Seperti dalam pepatah masyarakat Baduy:
“Lojor teu beunang dipotong, Pondok teu benang disambung, Gede teu benang dicokot,
Leutik teu beunang ditambah.” (artinya: yang sudah ada dan menjadi amanat
leluhur di dalam kehidupan masyarakat Baduy harus dipatuhi dengan prinsip hidup
apa adanya sesuai dengan aturan yang berlaku sejak peradaban kesukuan mereka
lahir).
Model pendidikan yang diterapkan di dalam kehidupan masyarakat Baduy Dalam
yaitu dengan metode lisan dan praktik langsung. Ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan
berupa mantra-mantra yang biasa digunakan untuk menanam padi, upacara adat,
keterampilan pembuatan kerajinan, dan sebagainya. Dalam prosesnya, masyarakat Baduy
Dalam memperoleh ilmu dari keluarga, petinggi adat, dan teman sebaya (Asyari et al.,
2017).
Sementara itu, di sisi lain suku Baduy Luar bisa menerima pengetahuan dari luar
karena adanya interaksi dengan masyarakat luar. Interaksi terjadi karena adanya kegiatan
wisatawan yang hadir ke tempat mereka, interaksi perdagangan, serta kegiatan berladang
di luar wilayah mereka. Pengetahuan secara tidak langsung mereka peroleh secara informal
karena interaksi yang terjadi antara baduy luar dengan masyarakat luar, khususnya
kegiatan pariwisata. Suku baduy luar mendapatkan pengetahuan tambahan secara tidak
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 66

langsung dari pelatihan-pelatihan yang mereka terima dalam memandu wisatawan. Kondisi
ini juga membuat perubahan pada pola pikir masyarakat baduy luar dalam melihat
kemajuan global (Firdaus et al., 2020).
Hasil penelitian dari Bahrudin dan Zurohman (2021) menjelaskan bahwa terdapat
keinginan dari suku baduy untuk mendapatkan pendidikan formal meskipun harus melalui
jalur kejar paket. Hal tersebut dilakukan karena keinginan untuk mengejar cita-citanya yang
tinggi. Kesadaran akan kebutuhan pendidikan tersebut membuat ada diantara orang tua
suku baduy yang menyekolahkan anaknya secara diam-diam.
Penelitian yang dilakukan Mastiyah (2020) mengungkapkan salah satu kiprah
madrasah Alam Wiwitan dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat baduy.
Pendidikan rata-rata hanya sebatas pendidikan dasar, namun ada juga yang melanjutkan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kegiatan belajar mengajar biasanya dilakukan
di pos-pos persinggahan yang didatangi oleh guru pengajar. Mereka berharap seluruh
peserta didik dapat menyelesaikan pendidikannya hingga lulus. Kondisi tersebut tidak
selalu berjalan lancar, ada kalanya peserta didik mengalami kendala sehingga tidak hadir
dalam kegiatan pembelajaran. Jika kondisi seperti ini terjadi, pihak sekolah akan
berkunjung dan menyelesaikan masalah dari peserta didik tersebut, hingga motivasi agar
anak tersebut mau untuk melanjutkan sekolah kembali. Madrasah Alam Wiwitan dapat
dikatakan berhasil dalam penyadaran masyarakat suku baduy dalam menanamkan
pentingnya pengetahuan melalui bangku pendidikan. Hal tersebut terbukti dari adanya
lulusan dari suku baduy yang selanjutnya melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

3.2. Sistem Mata Pencaharian


Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional Sunda yang kaya akan sumber
kearifan. Kerja keras sudah menjadi kebiasaan yang mandarah daging bagi mereka (Bintari,
2012). Terdapat beberapa mata pencaharian yang didalami oleh Suku Baduy yaitu bercocok
tanam di ladang (ngahuma). Berladang merupakan suatu kebiasaan dan termasuk adat yang
tidak boleh boleh ditinggalkan oleh Suku Baduy karena termasuk salah satu acara ritual
adat di keyakinan Suku Baduy ajaran Sunda Wiwitan (Hasanah, 2012). Tidak banyak jenis
pekerjaan yang dilakukan oleh Suku Baduy karena dalam menjalani kehidupannya
hidupnya masih sepenuhnya mengandalkan sumber daya alam, contoh lain adalah
berdagang dari hasil bumi yang kemudian mereka olah menjadi gula merah/gula kawung
murni, buah-buahan seperti durian, pisang, buah keranji, lada, madu, coklat, dan lain-lain
(Anwar & Riyadi, 2009; Hasanah, 2012). Dalam rangka memenuhi kebutuhan terutama
pangan, khusus di Baduy Luar sudah mulai terbuka, dengan mulai melakukan berdagang di
luar rumah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat diusahakan sendiri seperti
ikan asin dan garam, masyarakat Baduy melakukan kegiatan perdagangan. Mereka menjual
hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak atau menjajakan
madu dan hasil kerajinan tangan ke kota terdekat dengan berjalan kaki dalam kelompok
kecil (Bintari, 2012).
Mata Pencaharian Suku Baduy Dalam walaupun telah mengikuti perkembangan
zaman dan terpengaruh modernisasi, tetap mempertahankan hukum adat masyarakat
Baduy itu sendiri dengan tetap memperhatikan lingkungan atau sumber daya alam sekitar
walaupun disisi lain, sumber daya yang digunakan terdapat penurunan hasilnya (Hariyadi,
2019). Dari Penelitian yang dilakukan Widowati (2019) menjelaskan kehidupan
perekonomian Suku Baduy yang sebelumnya fokus pada bertani dan berkebun, kini banyak
berubah, dengan tidak lagi mengandalkan pada pertanian. Hal ini selaras dengan yang
dikemukakan oleh Hariyadi (2019) bahwa lahan yang Suku Baduy miliki makin sempit dan
sudah tidak lagi memungkinkan untuk diturunkan pada anak-anak mereka, sehingga Suku
Baduy terpaksa juga harus mencari mata pencaharian lain. Jadi, perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat Baduy bukan hanya disebabkan oleh paparan modernisasi yang
disebabkan adanya hubungan dengan masyarakat luar Baduy, tetapi juga karena tuntutan
kehidupan yang mendorong mereka mencari cara penghidupan lain.
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 67

Menurut Asyari et al. (2017), salah satu faktor pendukung perubahan masyarakat
Baduy adalah adanya akses jalan menuju Ciboleger yang mempermudah mobil serta
kendaraan lain untuk melintas. Selain itu, diresmikannya Baduy menjadi salah satu objek
wisata oleh pemerintah kabupaten Lebak juga turut membuat Baduy semakin dikenal oleh
banyak orang sehingga jumlah pengunjung terus meningkat. Saat ini, masyarakat Baduy
cukup bergantung pada arus wisatawan untuk mendukung roda perekonomiannya. Dan
juga pada hasil perdagangan di luar wilayah Baduy (Asyari et al., 2017; Bintari, 2012).
Meskipun dengan segala perubahan dan perkembangan sosioekonomi ini, masyarakat
Baduy tetap memelihara harapan bahwa kedepannya hasil bumi dari ngahuma mereka
akan mendapat perhatian khusus karena sektor ini masih menjadi pengasilan pokok
mereka, sebagaimana diamanatkan oleh leluhur sejak dahulu kala.

3.3. Adaptasi terhadap Arus Modernisasi dan Globalisasi


Perkembangan global atau sering disebut sebagai globalisasi merupakan suatu proses
perubahan mengikuti arus perubahan-perubahan global. Globalisasi mengandung unsur
proses, atau kegiatan yang berpengaruh terhadap seluruh dunia dan melibatkan orang yang
heterogen tetapi memiliki kebutuhan yang sama. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi dengan derasnya globalisasi merupakan dua proses yang saling terkait satu
sama lain (Bahrudin & Zurohman, 2021). Aktor utama dari globalisasi adalah negara-negara
maju dan pada praktiknya mereka berupaya untuk mengekspor kebudayaannya sebagai
kebudayaan global.
Hubungan modernisasi dan globalisasi adalah keduanya merupakan dampak dan
pengaruh langsung dari proses perubahan sosial. Modernisasi muncul akibat adanya arus
globalisasi yang semakin kuat dan pada akhirnya membawa dampak perubahan di berbagai
lini kehidupan masyarakat. Dengan kenyataan yang tidak terelakkan ini, negara dan
masyarakat seyogyanya memiliki filter sebelum beradaptasi dengan nilai budaya yang
masuk karena arus globalisasi. Beberapa dampak destruktif yang muncul dari penerimaan
arus globalisasi dan modernisasi tanpa moderasi ialah peningkatan kasus kriminalitas,
peningkatan konflik sosial dan merosotnya kecintaan pada kebudayaan sendiri (Ariza &
Tamrin, 2021). Dengan adanya risiko konflik dan masalah yang timbul dari arus global ini,
maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan pertahanan diri individu dan
masyarakat dari derasanyaarus tersebut. Dalam konteks masyarakat Baduy, mereka justru
telah mempraktikkan kearifan lokal dengan tekun dan berpegang teguh pada nilai-nilai
mereka. Beberapa studi setuju bahwa kearifan lokal memiliki peranan penting dan justru
dapat menjadi benteng utama untuk memproteksi masyarakat dan generasi muda dari
pengaruh negative radikal arus global ini (Suwardani, 2015; Ariza & Tamrin, 2021).
Suku Baduy Luar telah mampu menyesuaikan diri untuk dapat menerima terjadinya
globalisasi. Namun, prinsip melestarikan kearifan lokal dan mempertahankan adat istiadat
tetap dilakukan oleh Suku Baduy Luar, terutama dalam menjaga lingkungan karena prinsip
tersebut merupakan ciri khas dari Suku Baduy. Pandangan masyarakat Suku Baduy
terhadap kearifan lokal meliputi alam semesta, kesederhanaan dan toleransi terhadap
lingkungan sekitar. Prinsip tersebut yang menjadikan Suku Baduy dapat terus bertahan
hidup berdampingan secara harmonis (Suryani, 2014). Tantangan masyarakat Suku Baduy
yaitu globalisasi yang membawa arus modernisasi.
Dampak globalisasi tersebut sangat luas, tidak hanya menyentuh masyarakat
perkotaan, namun komunitas adat terpencil pun dapat merasakannya. Secara prinsip
terdapat perbedaan mencolok dari Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar dalam
merespon arus modernisasi. Lingkungan organisasi Baduy Dalam mengisolasi diri dari
kehidupan modern. Sebaliknya arus modernisasi telah menjangkau area Baduy Luar
sehingga mampu mengubah lingkungan organisasi yang secara langsung memberikan
dampak seperti transformasi sumber daya manusia (Sutoto, 2017).
Kearifan lokal dan adat istiadat Suku Baduy terancam tersentuh arus modernisasi.
Namun, karena prinsip yang kuat maka Suku Baduy dapat terus melestarikan kearifan lokal
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 68

dan mempertahankan adat istiadatnya. Sebagai contoh, bagi Masyarakat Suku Baduy hutan
merupakan merupakan bagian dari kehidupan mereka. Suku Baduy membagi fungsi hutan
menjadi tiga yaitu: hutan titipan (leuweung titipan), hutan tutupan (leuweung tutupan) dan
hutan garapan (leuweung garapan). Hutan titipan merupakan hutan yang sama sekali tidak
boleh diganggu. Hutan merupakan area yang diperuntukkan untuk permukiman. Hutan
garapan merupakan area yang dapat dimanfaatkan (Mustomi, 2017). Berdasarkan fungsi-
fungsi yang berbeda di setiap area hutan tersebut, Masyarakat Suku Baduy tidak sembarang
dalam menebang pohon dan mengambil ranting untuk dijadikan bahan bakar. Arus
modernisasi tidak menggoyahkan prinsip Masyarakat Suku Baduy karena pola hidup yang
telah terbentuk untuk setia menjaga alam.
Konsistensi dan keteguhan masyarakat Baduy dalam menjaga kearifan lokalnya
juga dapat diartikan sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap paparan arus globalisasi dan
modernisasi. Mekanisme bertahan dan resistensi seperti ini merupakan respons
masyarakat Baduy terhadap perubahan dan perkembangan dinamika global. Mereka
memiliki prioritas dan nilai-nilai yang perlu dijaga dan justru hal ini sangat baik untuk
menangkal segala bentuk dampak negatif yang mungkin saja bisa masuk ke wilayah dan
masyarakat mereka. Misalnya saja seperti yang dilakukan oleh Suku Baduy Luar, dengan
tingkat adaptasi yang lebih moderat mereka tidak sepenuhnya menolah modernisasi,
perubahan, reformasi, ataupun transformasi budaya luar (terlebih untuk urusan
pendidikan dan aktivitas ekonomi). Mereka masih tetap waspada, selektif dan mempunyai
alasan yang kuat untuk menerima tranformasi tertentu. Dengan demikian di satu sisi, Suku
Baduy Luar bisa meminimalisasi pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh arus globalisasi.

4. Kesimpulan
Arus modernisasi dan globalisasi secara umum diketahui memiliki pengaruh destruktif
pada keberlangsungan budaya dan nilai-nilai tradisional suku bangsa. Dalam studi ini, juga
ditemukan kesimpulan yang senada bahwa arus-arus tersebut memberikan dampak
terhadap kehidupan Masyarakat Suku Baduy. Terdapat perbedaan respons antara
masyarakat Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar terhadap arus modernisasi dan
globalisasi. Masyarakat Suku Baduy Dalam menutup dan mengisolasi diri dari modernisasi.
Sebagaimana dalam Asyari et al. (2017) sudah disoroti bahwa bentuk perubahan sosial
yang terjadi di Masyarakat Baduy Dala masih terbatas pada kemampuan komunikasi bahasa
Indonesia masyarakat karena banyaknya pengunjung yang dating namun strukturalnya
tidak berubah sama sekali. Di sisi lain, untuk masyarakat Suku Baduy Luar membuka diri
terhadap perkembangan dunia modern dengan proses adaptasi pola hidup tanpa
menghilangkan prinsip hidup mereka untuk menjaga alam. Dilihat dari cara bertahan hidup,
walaupun mereka terbagi menjadi dua kelompok, Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar,
dalam hal mata pencaharian, kelompok tersebut masih bergantung pada sumber daya alam
di sekitar. Walaupun Suku Baduy Luar sudah lebih modern, tetapi mereka masih
berkomitmen untuk tetap memegang hukum adat dalam menjaga lingkungan sekitar. Bagi
masyarakat Baduy, kearifan lokal dan sikap-sikap ini merupakan ekspresi hubungan
manusia dengan alam tempat tinggalnya.

Daftar Pustaka
Anwar, F., & Riyadi, H. (2009). Status Gizi Dan Status Kesehatan Suku Baduy. Jurnal Gizi Dan
Pangan 4(2), 72. https://doi.org/10.25182/jgp.2009.4.2.72-82
Ariza, H. dan Tamrin, M.I. (2021). Pendidikan Agama Islam Berbasis Kearifan Lokal
(Benteng di Era Globalisasi). Jurnal Kajian dan Pengembangan Umat 4(2): 44-60.
https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/ummatanwasathan/article/view/2926/2344
Asyari, H., Sripullah, dan Irawan, R. (2017). Pendidikan dalam Pandangan Masyarakat
baduy Dalam. Indonesian Journal of Educational Research 2(1).
https://doi.org/10.30631/ijer.v2i1.25
JSCSR. 2023, VOLUME 1, ISSUE 1 69

Bahrudin, B., & Zurohman, A. (2021). Dinamika kebudayaan Suku Baduy dalam Menghadapi
Perkembangan Global di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Provinsi Banten. Journal Civics & Social Studies 5(1): 31–47.
https://doi.org/10.31980/civicos.v5i1.795
Bintari, Risna. (2012). Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca
Terbentuknya Propinsi Banten Tahun 2000. Jjournal of Indonesian History 1(1): 18-
22. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/2220
Firdaus, M.N., Budiaman, dan Herminasari, N.S. (2020). Peran Komunitas Pramuwisata
Baduy Luar Dalam Mempertahankan Kearifan Lokal. Jurnal Edukasi IPS 4(1): 30–39.
https://doi.org/10.21009/EIPS.004.1.02
Hariyadi, H. (2019). Isu Sosial-Budaya dan Ekonomi Seputar Fenomena Penjual Madu
Warga Suku Baduy ke Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Ekonomi &
Kebijakan Publik, 57–72. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/1165
Hasanah, A. (2012). Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada
Masyarakat Minoritas: Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten.
Analisis: Jurnal Studi Keislaman 12(1): 209–229.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/analisis/article/view/637/535
Khomsan A., & Wigna, W. (2009). Sosio-Budaya Pangan Suku Baduy. Jurnal Gizi dan Pangan
4(2). https://doi.org/10.25182/jgp.2009.4.2.63-71
Maharani, S. D. (2009). Perempuan dalam Kearifan Lokal Suku Baduy. Jurnal Filsafat 19(3).
https://doi.org/10.22146/jf.3435
Mastiyah, I. (2020). Madrasah Wiwitandi Baduy Luar. EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama Dan Keagamaan 18(1), 36–53. https://doi.org/10.32729/edukasi.v18i1.668
Mustomi, O. (2017). Perubahan Tatanan Budaya Hukum Pada Masyarakat Adat Suku Baduy
Provinsi Banten. Jurnal Penelitian Hukum De Jure 13(3).
http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2017.V17.309-328
Suryani, I. (2014). Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy: Studi Kasus
Pada Acara Feature Dokumenter “Indonesia Bagus” di Stasiun Televisi Net.tv.
Musawa: Journal of Gender Studies and Islam 13(2). 10.14421/musawa.2014.132.179-
194
Sutoto. (2017). Dinamika Transformasi Budaya Belajar Suku Baduy. Jurnal Penelitian
Pendidikan 17(2). https://doi.org/10.17509/jpp.v17i2.8249
Suwardani, N.P. (2015). Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi
Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi. Jurnal Kajian Bali 5(2): 247-264.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/16775
Senoaji, G. (2010). Masyarakat Baduy, Hutan dan Lingkungan. Jurnal Manusia dan
Lingkungan 17(2). https://doi.org/10.22146/jml.18710
Widowati, D. (2019). Suku Baduy Luar dan Terpaan Modernisasi. Dalam Komunikasi
Multikultur di Indonesia (Yogyakarta: ASPIKOM): 73-86.
http://repository.ukwms.ac.id/id/eprint/21714/1/EBOOK%20Komunikasi%20Mu
ltikultur%20di%20Indonesia.pdf

You might also like