Buku Fiqh Keluarga Muslim

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 172

Pengantar Penulis i

FIQH KELUARGA
MUSLIM INDONESIA

Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag.


ii Dr. Hj. Umul Baroroh,
M.Ag,

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-Undang No. 28 Th. 2014, Tentang Hak Cipta
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hufuf c,
huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pengantar Penulis iii

FIQH KELUARGA
MUSLIM INDONESIA

Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag.


iv Dr. Hj. Umul Baroroh,
M.Ag,

Fiqh Keluarga Muslim Indonesia

©Copyright Lawwana
Cetakan Pertama, Februari
2022 hlm: x+107 14 cm
x20,5 cm

ISBN
:

Penulis
: Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag.
Penyunting
:
Desain dan
: Moh. Haidar Latief
Layout Ilustrasi
: Freepik.com
Cover

Diterbitkan Oleh:
CV Lawwana
Perumahan Taman Puri Banjaran
Kel. Beringin, Kec. Ngaliyan, Semarang Jawa
Tengah penerbit @lawwana.com I CP: 081-226-
888-662 Lawwana.com

©Hak pengarang dan penerbit dilindungi undang-undang No. 28 Tahun 2014


Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pengantar Penulis v

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat


Yang Maha Tahu, Allah SWT. Atas berkah dan nikmatnya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku metode
penelitian yang sederhana ini. …..
Pembahasan dalam uku ini didasarkan pengalaman
penulis sebagai pengampu matakuliah ……
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu proses
penyelesaian buku ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pertama, ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada ……
Akhirnya, penulis menyadari bahwa buku ini masih
banyak kekuarangan sehingga memerlukan kritik dan saran
untuk penyempurnaanya dari para pembaca yang budiman.
Meskipun demikian, penulis berharap buku ini memberikan
sumbangan sebagai rujukan bagi mereka yang sedang belajar
maupun memperkaya wawasannya dalam bidang Fiqih
keluarga yang
vi Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag,

sesuai dengan kultur Indonesia. Semoga buku ini bermanfaat


bagi pembaca. Ā�mī�n.

Semarang, Agustus 2015


Penulis,

Umul Baroroh
Pengantar Penulis
vii

DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS..............................................v
DAFTAR ISI.............................................................vii

BAB 1 KONSEP PERNIKAHAN...............................1


A.Pengertian...........................................................1
B.Sikap agama Islam Terhadap Pernikahan...................3
C.Hukum Nikah..........................................................4
D.Hikmah Nikah........................................................14

BAB 2 PRA NIKAH...............................................17


A.Muharramat: Orang-Orang yang Haram Dinikah....17
B.Kriteria Calon Istri dan Suami: Tuntunan Rosulullah
dan Konteks Sekarang
...............................................................................
27
C.Pacaran: Bolehkah?
D.Meminang (Khithbah)

BAB 3 AKAD NIKAH............................................49


A.Pengertian Nikah....................................................49
B.Dasar Lansdasan Dalil dan Hukum Nikah...............51

BAB 4 WALI NIKAH.............................................59


A.Pengertian Wali Nikah............................................59
B.Syarat-syarat Wali Nikah........................................60
C.Macam-macam Wali Nikah.....................................62
viii Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag,

BAB 5 SAKSI NIKAH................................................71


A.Syarat Sah Nikah...................................................71
B.Syarat-syarat Saksi Nikah......................................72

BAB 6 MAHAR, KHUTBAH NIKAH DAN WALIMAH. .75


A.Mahar.................................................................75
B.Khotbah Nikah.......................................................80
C.Walimatul ‘Ursy.....................................................84

BAB 7 KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI...............................91


A.Pengantar..........................................................91
B.Hak Dan Kewajiban Bersama.................................92
C.Hak Hadhanah (Pemeliharaan Anak)....................104

BAB 8 KIAT-KIAT MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH107


A.Saling Berkomunikasi (Musyawrah)......................107
B.Saling Mengingatkan Terhadap Tujuan Pernikahan114
C.Bahu-membahu Mewujudkan Cita Cita Rumahku
Surgaku115

BAB 9 MENGATASI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA


.......................................................................117
A.Sebab-sebab Terjadinya Konflik....................................117
B.Upaya Mengatasi Konflik Menurut Al-qur’an dan
Al-Sunnah.........................................................120

DAFTAR PUSTAKA.............................................123
Konsep Pernikahan 1

BAB 1
KONSEP
PERNIKAHAN

A. Pengertian
Perkawinan dalam fiqh berbahasa Ārab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang
paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang lebih
sempurna.1 Abdurrahman al-Jarizi dalam kitabnya al-Fiqih
‘ala Mazahibil
Arba’ah menyebutkan ada 3 macam makna nikah. Menurut
َ ُ
adalah nikah ‫وط ُء َوالض ٌّم‬ “bersenggama atau
َ
‫ وه وال‬bahasa
bercampur”. Selanjutnya dikatakan; “terjadinya perkawinan
antara kayu-kayu apabila kayu-kayu itu saling condong dan
bercampur satu dengan yang lain”. Dalam pengertian majaz
orang menyebut nikah sebagai akad, sebab akad adalah sebab
boleh nya bersenggama.2
Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa nikah secara bahasa
berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah
1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm.
374
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,
2
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Toha Putra, 1993) hlm. 1-2.
Konsep Pernikahan 3

hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat


dikenal dengan akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti
sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang
dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh,
mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut
bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan
keluarga.3
Di Indonesia, untuk menyebut perihal nikah ini,
masyarakat menggunakan kata perkawinan atau pernikahan.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 perkawinan adalah
suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik
untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah
merupakan ibadah.5
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan
serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang- undangan yang berlaku. Pernikahan itu bukan
hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan
kaum yang lainnya.

3
Wahbah Az-Zuahaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani,
2011), hlm. 38-39.
4
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
1995), hlm. 43
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992), hlm. 114
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

B. Sikap agama Islam Terhadap Pernikahan


Pernikahan disyariatkan dengan dalil Al-Qur’an, sunah, dan
ijma’. Dalam al-Qur’an Āllah berfirman: َ
ُ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ ْ
‫و ِإ ن خ ف ت ْم أال ت ق ِس طوا ِفي ال ي تامى فان ِك حوا‬
َ
َ َ ْ
‫ما طاب لك م م ن ال ِن ساء‬
ُ ْ ُ ْ ْ َ َ ُ َ ْ
‫م ث نى و ثلاث و ُر با ع ف ِإ ن خ ف ت ْم ألا ت ع ِد َلوا ف‬
ً َ َ
‫وا ِح د ة أ ْو ما ملكت‬
َ َ
َ ْ ُ َ
‫أ ْي مانك ْم ذِ لك أ دن ى ألا‬
ُ
‫ت عولوا‬

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku


adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS. an- Nisaa: 3).6 Juga firman Āllah dalam QS. Ān-
Nur ayat 32:
ُ َ َ
ْ َ ْ ْ ْ ٰ َ ُ ْ
‫و أن ِك حوا الأ يام ى ِم نك م والصا ِلحين م ن ع باد ك م‬
ْ ْ َ
‫مإ ن يكونوا‬ۚ ‫و ِإ مائك‬
ْ َ ْ َ
ۗ ِ ‫ف قَ راء ُي غ ِن ِه ُم ا لل م ن فض ِل‬
‫هوا‬
ٌ َ
‫لل واس ع ع ِليم‬
Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian
Konsep Pernikahan 5
diantara kamu, dan orang orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”7
Sedangkan di dalam al-Sunah, Nabi Saw. bersabda, yang
artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian
yang telah mampu kebutuhan pernikahanmaka menikahlah.
6
Al-Qur’an, hlm. 77.
7
Ibid., hlm. 354
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih


menjaga alat vital. Barang siapa yang belum mampu menikah
maka hendaknya dia berpuasa, karena itu merupakan obat
baginya.”(H.R Bukhari-Muslim).8 Kaum muslimin juga telah
berijma’ (baca: bersepakat) bahwa pernikahan merupakan
hal yang disyariatkan. Pernikahan dapat menjaga kehormatan
diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam hal-
hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk menjaga komunitas
manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan
mempunyai keturunan.
Demikian juga, pernikahan berguna untuk menjaga
kesinambungan garis keturunan, menciptakan keluarga yang
merupakan bagian dari masyarakat, dan menciptakan sikap
bahu-membahu diantara sesama.Sebagaimana telah diketahui
bahwasannya pernikahan merupakan bentuk bahu-membahu
antara suami dan istri untuk mngemban beban kehidupan.Juga
merupakan akad kasih sayang dan tolong-menolong diantara
golongan, dan penguat hubungan antarkeluarga. Dengan
pernikahan itulah berbagai kemaslahatan dapat diraih dengan
sempurna.9

C. Hukum Nikah
Mengenai hukum asal pernikahan, para ulama berbeda
pendapat:
Pertama, bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini
adalah pendapat sebagian ulama,10 berkata Syekh al-Utsaimin :
8
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit.,
9
Ibid., hlm. 41
10
Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, hlm : 117
Konsep Pernikahan 7

“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang


mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib
baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu
menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut
terdapat maslahat yang agung.”11 Adapun dalil-dalil dari
pendapat ini salah satunya adalah kalimat fankihuu yang ada
dalam menunjukkan perintah yang berarti wajib. Selain itu,
hadist Abdullah bin Mas’ud ra. bahwasanya ia berkata:
َّ َّ
! ‫قال ل َنا ر ُسول ا ِلل صلى الل عليه وسلم يا م الش َباب‬
َ َ ْ
‫مِ ن‬ ‫ع ش َر‬
ُ ْ ْ َ ْ َ
‫ا ْس َت َطا َع م ْنك ُم ا ل َبا َء َة ف ل ِل ل َبص ْ ْص ن ِل‬
َ َ َ
‫ ض ح ل فْ ر‬, ‫ ف َّإن ُه أ غ ر‬, ‫َي َت َزَّوْ ج‬
ِ ِ
‫ِج‬ ‫وأ‬

َ
‫و جاء‬ ْ
َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ
‫ و م ن ل م ي ْ س ت ِط ع ف ع ل ي ِه‬,
َ
ُ ُ َّ ْ َّ
‫ِبال ص و ِم ; ف ِإن ه ل ه‬

Artinya: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersab-


da pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara
kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan har-
ta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum
mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syah-
wat) .”12
Rasulullah Saw. dalam hadist di atas memerintahkan
para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj”
(segeralah dia menikah), kalimat tersebut mengandung
perinn- tah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa : “al
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,
ashlu fi al amr lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu
mengandung arti kewajiban).

11
Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm : 179
12
HR. Bukhari dan Muslim
Konsep Pernikahan 9

Selain itu, menikah merupakan perilaku para utusan Al-


lah Swt., sebagaimana firman Āllah dalam al-Qur’an:
َ
َ ُ ْ َ ْ َ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ
‫ز وذ‬ ‫ع ل نا ل‬ ‫و ل ق د أ ر س ل نا ر س لا‬
‫َوا ًجا َّّري م ن‬ ْ ُ ْ
‫م ن ق ْب ِل ه م ك‬
‫ِ ًة ا كا‬ ‫أ‬
‫و‬ ‫وج‬
َ َ َّ ْ
‫َ ك ت اب‬ َّ َ
‫أ ج‬ ٍ ِ
‫ل ٍل ّ ك‬
‫ِل‬
‫لرسول أن يأتي بآية إلا بإذن الل‬

Artinya” :Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa


Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
istri-istri dan keturunan .Dan tidak ada hak bagi seorang
Rasul mendatangkan sesuatu ayat) mukjizat (melainkan
dengan izin Allah .Bagi tiap-tiap masa ada Kitab) yang
tertentu) “.(Qs. ar- Ra’du : 38).13
Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
َّ َّ َّ َ َّ
َ ُ َّ
‫عن أن ٍس أن نفرا من أصحا ِب الن ب ي صلى الل علي ِه‬
‫وسلم سألوا‬ ِِ
ْ ‫ل باعل‬ َّ َ ُ َّ َّ
ْ ‫لل‬ َّ‫أز وا‬
‫ض‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ِ ‫ا‬‫ه‬‫ق‬‫ف‬ ِ ‫ل‬
‫ر‬ ِ ِ ‫م‬
‫س‬ ‫ع‬ِ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ل‬‫س‬‫و‬ ‫ه‬ ِ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ج الن ب ي صلى ا‬
ِِ َ
‫ه‬ َ
‫م‬
َ َّ َ َ
َ
‫لا أتزوج النساء وقال بع ضهم ل ا اللحم و قال بعضه م‬
ُ ُ َ َ َ
‫لا أن ام‬ ‫آكل‬
َ
‫قالوا‬ ‫كذا‬
َ ْ َ Baroroh, َ ْ َ ْ َّ َ َ
‫فف‬1 ‫شى‬ ‫ َر‬Hj.‫م‬
‫ا عل‬Dr. ‫ق‬Umul
‫نى عل ي ِه ف قال ما بالوأا‬ ‫ح ِ م د ا لل و أ ث‬
ُ َ ْ َ َ ُ َ
‫م ن‬ ُ َّ َ َ ُ ّ َ
‫ِط وأ ت زو ج‬ ‫ص‬ ‫وأ‬ ‫وك ذا لك ِ ني أ‬
‫ر ِغب‬ َ‫ال ّ ن َسا ء‬ ُ َ ّ َ
‫ر‬ ُ ‫م‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ن‬
‫ف‬ ِ ‫ص ِ لي‬
‫وأ‬ ُ
‫وأ‬ ‫م‬
ْ
‫ف‬
ّ
‫َ ْ م ِ ني‬ ْ
‫ف ل ي‬ ‫عن‬
َّ
‫َس سِنتي‬

Artinya: “Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan


sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada
isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai
amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka
13
Al-Qur’an, hlm. 254
Konsep Pernikahan 1

pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian


lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian
lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.”
Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian
beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata
begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur,
berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita.
Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti
bukan dari golonganku.”14
Selain dalil-dalil di atas, ada argumen rasional-logis
yang dikemukan para ulama yang berpendapat bahwa me-
nikah itu wajib, yaitu karena jika tidak menikah itu merupakan
bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang
menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram.
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan
penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah
hukumnya wajib.
Kedua, bahwa hukum asal dari pernikahan adalah
sunu- nah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas
ulama. Berkata Imam Nawawi: “Ini adalah madzhab kita
(Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah
menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak
diketahui seseo- rang mewajibkan nikah kecuali Daud dan
orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir
(Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad.”15 Pendapat ini
berdasarkan pada fir- man Allah Swt.:

14
HR. Bukhari dan Muslim
15
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz: 9, hlm : 173
1 Dr. Hj. Umul Baroroh,

َ ‫بء‬
‫ماالطنا سا‬
‫م ومان‬ َ ‫َّخف ْ تم ألا تق ِس‬
‫طوا ِفي اليتامى فان لككح‬
َ َ ُ َ ‫و ِإن‬
َّ ُ
ْ
‫خفتم ألا تع ِدلوا فوا ِحدة أو‬ ‫َمثنى وثلاث و َ رب ا ِإ‬
‫عنف‬
َ َ ُ
‫ما ملكت‬
ُ َّ
‫أيمانكم ذِ لك أدنى ألا تعولوا‬

Artinya” :Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku


adil terhadap) hak-hak (perempuan yatim) bilamana kamu
mengawininya ,(maka kawinilah wanita-wanita) lain (yang
kamu senangi :dua ,tiga atau empat .Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil ,maka) kawinilah
(seorang saja ,atau budak-budak yang kamu miliki .Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya“. (Qs. an- Nisa’: 3).16
Imam al-Maziri mengatakan bahwa ayat di atas merupa-
kan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya
sunnah), karena Allah Swt. memberikan pilihan antara
menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya
menikah itu wa- jib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan
antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama
ushul fiqh bah- wa memberikan pilihan antara yang wajib dan
yang tidak wa- jib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib
itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang meninggalkan
kewajiban tidak berdosa.17 Perintah yang terdapat dalam hadist
Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban,
tetapi menun- jukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang
melakukannya teruta- ma yang berhubungan dengan
pelampiasan syahwat, sehingga

16
Al-Qur’an, hlm. 77
17
Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz : 9, hlm : 174.
Konsep Pernikahan 1

dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan


saja. Selain dua hukum tersebut, ada pula yang berpendaat
bah- wa hukum asal menikah itu adalah mubah.18
Adapun mengenai hukum pernikahan dari segi diminta
dikerjakan atau tidak, maka menurut para ahli fiqih
bergantung pada keadaan masing-masing orang. Ada lima
hukum yang disepakati ulama:
1. Fardhu
Menurut kebanyakan para ulama fiqih, hukum pernikahan
adalah wajib, jika seseoarang yakin akan jatuh ke dalam
perzinahan seandainya tidak menikah, sedangkan ia mampu
untuk memberikan naflah kepada istrinya berupa mahar
dan nafkah batin serta hak-hakl pernikahan lainnya. Ia juga
tidak mampu menjaga menjaga dirinya untuk terjatuh ke
dalam perbuatan hina dengan cara berpuasa dan lainnya. Itu
karena ia diwajibkan untuk menjaga kehormatan dirinya dari
perbuatan haram. Segala sesuatu yang merupakan sarana
untuk kesempurnaan sebuah kewajiban maka ia hukumnya
wajib pula. Caranya dengan menikah. Menurut jumhur ulama
antara wajib dan fardhu tidak ada perbedaan.19
2. Haram
Nikah diharamkan jika seseorang yakin akan menzhalimi
dan membahayakan istrinya jika menikahinya,seperti dalam
keadaan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
pernikahan, atau tidak bisabuat adil diantara istri-istrinya.
Karena segala sesuatu yang terjerumus ke dalam keharaman
maka ioa hukumnya juga haram. Jika terjadi benturan antara
hal yang
18
Sulaiman Rasjid, Op.Cit.,hlm. 381
19
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit., hlm. 41
1 Dr. Hj. Umul Baroroh,

mewajibkan seseorang untuk meniksh dan yang


mengharamkan untuk melakukannya.itu sepertu ia yakin akan
terjerumus ke dalam perzinaan seandainya tidak menikah dan
sekaligus yakin bahwa ia akan menzhalimi istrinya, maka
pernikahannya adalah haram. Karena jika ada sesuatu yang
halal dan haram bercampur maka dimenangkan yang haram.20
Hal itu berdasarkan firman Allah Swt.:

‫ِل‬
‫ْ ِه‬ ُ َّ ُ ْ َ ْ َ ْ
‫فض‬ ‫َي َ ه‬ ‫ِيج دون‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ِ ِ ‫وليست‬
‫ف‬ ‫ع‬
‫ُم ا لل ن‬ ‫نكاحا ت‬ ‫ِذين لا‬
ْ
‫ي غ ِن‬ ‫ٰى‬
‫م‬ ‫ح‬
َ
‫ع ِل ْ م‬ ْ ُ َ ْ َّ ‫ۗ َوال ِذين ي ْب َت ُغون الك‬
ُ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫أ‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫م‬
‫ْ ت ْم إ‬ ُ
‫م‬ َ
ْ ‫فكات بوه م‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ت‬
‫ن‬
َ
ْ ‫لل ال ذي آ َتاك‬ ً ْ
‫فت‬
َ ‫م‬ َِ ‫فيه ْم خ ي ر ۖا َوآت ْ وه مال‬
ُ
‫َو لا تك ر هوا ياتك‬ ‫ممن‬ ْ
‫ا‬
‫ْم‬ ِ
َ َ
َ ْ َ ْ َ
‫ع لى ال ِب غاء ِإ ن أ ر د ن‬
ً َ
‫تحص نا‬
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-
budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu
mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagiandari harta
Allahyangdikaruniakan-Nyakepadamu. Dan janganlah kamu
Konsep Pernikahan 1
paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah
mereka dipaksa (itu).”(al-Nur: 33).21

20
Ibid.,
21
Al-Qur’an, hlm. 354
1 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Juga hadits Nabi saw. Sebelumnya yang menganjurkan


agar berpuasa untuk menjaga diri dari timbulnya syahwat.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa dalam keadaan
tersebut diutamakan untuk menikah, karena tabiat seorang
lelaki akan lentur setelah menikah, pola interaksinya akan
meningkat, serta akan terkikis sikap kerasnya dan hilang sikap
yang kacau. Demikian juga, tidak menikah dalam keadaan
seperti itu kemungkinan besar akan menyebabkan terjatuh ke
lemban perzinaan.22
3. Makruh
Pernikahan dimakruhkan jika seseorang khawatir
terjatuh pada dosa dan mara bahaya. Kekhawatiran ini belum
sampai derajat keyakinan jika ia menikah. Ia khawatir tidak
mampu memberi nafkah, berbuat jelek kepada keluarga, atau
kehilangan keinginan kepada perempuan. Dalm madzab
Hanafi. Makruh ada dua macam; makruh tahrimi (mendekati
haram) dan tanzibi ( mendekati halal) sesuai dengan kuat dan
lemahnya kekhawatirannya. Sedangkan menurut ulama Syafi’i,
menikah makruh hukumnya bagi yang memiliki kelemahan,
seperti tua renta, penyakit abadi, kesusahan yang
berkepanjangan, atau terkena gangguan jin. Menurut mereka
juga dimakruhkan menikahi perempuan yang telah dikhitbah
orang lain dan diterima. Juga pernikahan muhallil, jika tidak
mensyaratkan di dalam akad sesuatu yang dapat membatalkan
maksudnya, pernikahan penipuan, seperti seorang suami
menipu akan keislaman seorang perempuan, atau
kemerdekaannya, atau dengan nasab tertentu.

22
Ibid.,
Konsep Pernikahan 1

4. Dianjurkan dalam kondisi stabil


Menurut jumhur ulama selain imam Syafi’i, pernikahan
dianjurkan jika seorang berada dalam kondisi stabil, sekiranya
ia tidak khawatir terjerumus ke dalam perzinaan jika tidak
menikah. Juga tidak khawatir akan berbuat zalim kepada
istrinya jiak menikah. Keadaan stabil ini merupakan fenomena
umum di kalangan manusia. Dalil yang menunjukkan bahwa
nikah hukumnya sunah adalah sabda Nabi saw. Tentang
seruan kepada pemuda sebelumnya. Juga hadits tentang tiga
orangyang bertekad melakukan beberapa hal. Orang pertama
bertekad untuk selamanya sholat malam, orang kedua
bertekad berpuasa setahun penuh , sedangkan orang ketiga
bertekad untuk tidak menikah selamanya. Melihat hal itu,
lantas Nabi saw. bersabda: “Demi Allah sesungguhnya saya
adalah orang yang paling takut dan takwa kepada Allah di
antara kalian. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat
dan tidur, dan menikahi perempuan.Barangsiapa yang
berpaling kepada sunahku makan bukan termasuk golongan
dariku.”
Hal itu diperkuat dengan fakta bahwa Rasulullah Saw.
menikah dan menjaga dari hal itu, demikian juga dengan para
sahabat beliau. Tradisi menikah ini diikuti oleh kaum
muslimin. Kontinuitas tersebut merupakan dalil
disunahkannya menikah. Pendapat inilah yang dipilih.
Imam Syafi’i berkata, sesungguhnya pernikahan dalam
keadaan ini (stabil) hukumnya adalah mubah; boleh dilalukan
dan boleh ditinggalkan. Sesungguhnya berkonsentrasi untuk
ibadah dan mencari ilmu lebih utama dari pada menikah.
Karena Allah SWT tidak akan memujinya karena ia meninggal
untuk besenang senang dengan perempuan (menikah). Akan
1 Dr. Hj. Umul Baroroh,

tetapi pendapat ini dibantah, bahwa itu syariat kaum sebelum


kita dan syariat kita kebalikannya. Āllah Swt. Berfirman:
ََ َ
‫ناطير ال‬
‫وال ب ِنين وال ق‬ َ َ َ َ ّ
ْ َ ُ
َ ‫ز ِي ن ِللناس الش ه وات ِم ن‬
‫طَ ر ِة‬
‫مقن‬ ‫ال ِن َساء حب‬
َ َ
‫واألن عام والح ْرث‬ ‫م ن الذ وال ِفض ِة والخ ْيِ ل ال‬
َ
َ َ َّ َ
‫ذِ لك م تاع‬ ‫ُم َ س و م ِ ة‬ ‫هب‬
ُ َ ْ َ َ ْ َ
‫وا لل ع ن د ه ح‬ ‫ال ح َياة الدن يا‬
ُ
‫ْس ن ال َمآب‬

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia


kecintaan kepada apa-apa yang dingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak….” (Ali Imraan: 14).23
Ayat ini dalam konteks penghinaan. Pernikahan tidak
wajib dilakukan karena berdasarkan fiman Āllah Swt. dalam
QS. an- Nisa’ ayat 3. Karena kewajiban itu tidak berkaitan
dengan rasa senang ,dan menurut ijma’, tidak wajib hukumnya
berpoligami. Imam Subki menolak alas an pertama yang
mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah wanita-
wanita yang disenangi. Dia mengatakan bahwa maksud dalam
ayat tersebut adalah wanita-wanita yang halal dinikahi, karena
di sana ada wanita yang haram dinikahi.24 Sebagaimana dalam
firman Āllah SWT yang artinya, “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu- ibumu; anak-anakmu yang perempuan:
saudara-saudara mu yang perempuan , saudara-saudara
bapakmu yag perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
Konsep Pernikahan 1
perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak
istrimu yang dalam peliharaanmu
23
Al-Qur’an, hlm. 51
24
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit.,
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,

dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghinpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisaa’: 23).25

D. Hikmah Nikah
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu ikatan
perkawinan baik ditinjau dari segi social, psikologi maupun
kesehatan. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan sunah rasul,
hikmah nikah ini antara lain: menyalurkan naluri seks, jalan
mendapatkan keturunan yang sah, menyalurkan naluri kebapakan
dan naluri keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan
hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan
silaturahmi antara dua keluarga besar (suami dan istri).
Sesungguhnya naluri seks adalah naluri yang paling kuat dank
eras dan selamanya menuntut jalan keluar. Jika jalan keluar tidak
memuaskan, maka banyak manusia yang mengalami kekacauan
dan kegoncangan. Dengan perkawinan insya allah badan orng
tersebut menjadi sehat, segar dan jiwanya menjadi tenang. Seperti
sabda Rasulullah saw.: “Dari abu hurairah, telah bersabda
Rasulullah saw.; sesungguh nya perempuan itu menghadap dengan
rupa setan, membelakang juga rupa setan, apabila seseorang dari
kamu tertarik pada seorang perempuan, hendaknya dia
mendatangi istrinya agar nafsunya data tersalurkan.” (HR. Muslim,
abu dawud dan at-tirmidzi).

Kawin adalah jalan yang paling baik untuk mendapatkan


keturunan menjadi mula, keturunan menjadi banyak dan
25
Al-Qur’an, hlm. 81
Konsep Pernikahan 2

seakaligus melestarikan hidup manusia serta memelihara


keturunan nya. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak,
maka naluri kebapakan, atau neluri keibuanya akan tumbuh
dan saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan yang
menimbulkan perasaan ramah, saling menyayangi dan saling
mencintai antar satu dengan yang lain. Orang yang telah kawin
dan memperoleh anak akn mendorong yang bersangkutan
melakukan tanggunga jawab dan kwajiban nya denggan
baik, sehingga dia akan bekerja keras ubtuk melaksanakkan
kewajibannya itu.
Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami
istri secara seimbang, menimbulkan adanya pembagian tugas
antara suami dan istri. Sebagai mana sabda rasulullah saw. :

‫بيتى جنتى‬

“Rumah tanngaku adalah surga bagiku”


Melalui perkawinan akan timbul rasa persaudaraan dan
kekeluargaan serta saling memperteguh rasa saling cinta-
mencintai antara keluarga yang satu dengan keluarga yang
lain.26

26
Djamaan Nur, Op. Cit. hlm. 10-12
16 Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag,
Pra 1

BAB 2
PRA
NIKAH

A. Muharramat: Orang-Orang yang Haram Dinikah


Al-Muharramat jama’ dari kata muhrim, bermakna wanita-
wanita yang menurut syara’ haram dinikahi oleh laki-laki.
Haram yang dimaksud adalah pernikahan tersebut dosa dan
tidak sah. Sebab, kata “haram” kadang juga digunakan untuk
merujuk kepada arti “berdosa tapi sah”1, seperti dalam kasus
menikahkan wanita yang ada dalam pingan orang lain. Wanita
yang haram dinikahi dapat dibagi menjadi dua bagian:
Pertama, wanita yang haram dinikahi untuk selama-
lamanya (al-Muharramat al-Mu’abbadah), yaitu wanita yang
tidak boleh dinikahi untuk waktu yang tidak terbatas karena
adanya sebab sifat pengharaman yang tidak bisa hilang, seperti
karena anak perempuannya, saudara perempuannya dan lain-
lainnya.2 Dengan kata lain, yang haram selamanya, yaitu
perempuan yang

1
Wahbah Zuahili, Fiqh Imam Syafi’i, Jidil II Terjemahan. (Jakarta: Al-Mahira,
2010), hlm 489.
2
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah. (Beirut: Dar Al Fikr Al
‘Araby, t. t), hlm. 71.
1 Dr. Hj. Umul Baroroh,

tidak boleh dinikahi oleh laki-laki sepanjang masa.3


Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi untuk
selama-lamanya disebabkan oleh tiga sebab, yaitu: karena
sebab nasab (al muharramat bi sabab al-qarabah), karena
sebab mengawini seorang wanita atau persemendaan (al
muharramat bi sabab al mushaharah), karena sebab persusuan
(al muharramat bi sabab ar radha’ah).

1. Sebab Hubungan Nasab


Perempuan Yang Haram Dinikahi sebab hubungan nasab
adalah sebagai berikut:
a) Ibu-ibu, termasuk ibu, ibu dari ibu (nenek dari ibu), ibu dari
ayah (nenek dari ayah) dan seterusnya keatas.
b) Anak-anak perempuan kandung, termasuk cucu terus
kebawah.
c) Saudara-saudara perempuan, termasuk sekandung seayah
dan seibu.
d) Saudara-saudara ayah yang perempuan (bibi dari ayah),
termasuk juga saudara perempuan dari kakek.
e) Saudara-saudara ibu yang perempuan, termasuk saudara
nenek yang perempuan.
f) Anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki
(keponakan dari saudara laki-laki), baik sekandung maupun
seibu.
g) Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan
3
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif, 1990, hlm. 93.
Pra 1

(keponakan dari saudara perempuan), baik yang sekandung,


seayah maupun seibu.
Pengharaman ini didasarkan pada firman Āllah Swt dalam
al-Qur’an: َ
ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ْ ْ َ َ
‫حِ ّر مت ع ل يك م أ م هاتك م وبناتك م و أ خ واتك م‬
َ َ
‫ُ و ع َّماتك ْم و خاالتك ْم‬
َ ْ َ َّ َ َ
‫وبنات األ ِخ وبنات األخت و أ م هاتك ُم للات َي أ ْرض ع نك‬
َ َ
‫ْم و أ خ واتك ْم‬
ُ
ُ ُ َ َ ْ َ َ َّ َ
‫م ن الرضاع ِة و أ م هات ن سائك م و ر بائ بك م اللاتي‬
ُ
ْ ْ ُ
‫في ح جور ك م م ن‬
َ ْ َّ ُ ْ َ
‫ن َسائك ُم اللاتي د خ ل ت ْم ب ِه ْ ن ف ِإ ن ل ْم تك ونوا د خ‬
َ َ َ َّ ُ َ
‫ل ت ْم ِب ِه ن فال ج نا ح‬
َ َّ ُ
ْ ْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ
‫ع ل يك م و حلائ ل أبنائك م ال ِذين م ن أ صلابك م‬
َ ْ ُ ْ ْ
‫وأ ن تج َم عوا ب ي ن‬
ْ َ
‫ت ي ِن ِإال ما ق‬
َ َ ْ
‫د س ل ف األخ‬
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
Pra 2

telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha


Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa : 23)
Hikmah adanya pengharaman sebab hubungan nasab ini
sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah adalah:
a) Semua syariat termasuk juga Islam Ahli Kitab dan lain-
lainnya telah mengharamkan nikah dengan wanita-wanita
tersebut. Hal ini adalah berdasarkan fitrah manusia sendiri,
bahkan sebahagian hewan pun demikian tidak mau
mengambil pasangan dari kerabatnya.
b) Menurut penelitian ilmiyah terhadap hewan bahwa
perpaduan semen atau perkawinan dari jauh nasabnya telah
menghasilkan keturunan yang kuat, dan perkawinan dari
hewan yang dekat nasabnya menghasilkan nasl (keturunan
yang lemah) dan ini dapat diqiyaskan bahwa perkawinan
manusia dengan kerabat dekat pun juga akan menghasilkan
keturunan yang demikian.
c) Perkawinan dengan wanita-wanita yang dekat nasabnya
dapat merusak hubungan nasab yang mulia yang telah
terikat diantara mereka, juga akan hilangnya kasih sayang
yang timbul dari fitrah manusia.
d) Andaikan perkawinan dengan wanita yang dekat
nasabnya ini dibolehkan maka semestinya seorang laki-
laki tidak bertemu atau menjauh dari kerabat-kerabatnya
sehingga tidak timbul ketamakan terhadap kerabat-
kerabatnya. Dengan kebolehan tersebut maka seorang laki-
laki semestinya tidak boleh bertemu dengan saudara
perempuannya, dengan ibunya, dengan bibinya, anak
perempuannya, dan sungguh ini suatu kerusakan yang

besar.4
4
Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal As Syakhsiyyah, hlm. 73-75.
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,

2. Sebab Ada Hubungan Pernikahan


Perempuan yang haram dinikahi karena hubungan
persemendaan adalah sebagai berikut:
a. Bekas istrinya bapak, berdasarkan pada ayat:
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita
yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
Telah lampau”5.
b. Bekas istri dari anak (menantu), termasuk didalamnya
bekas istri cucu dan seterusnya kebawah. Dasarnya adalah:
Artinya: “Dan bekas istri-istri anak kandungmu”.6
c. Anak-anak tiri, ialah anak-anak dari istri yang telah
dicampuri. Apabila istri itu belum dicampuri maka anak tiri
tersebut halal dinikahi, termasuk juga didalamnya anak-
anak perempuan dari anak-anak tiri dan seterusnya. Dasar
hukumnya adalah:
Artinya:“Anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”.7
Perkataan “allati fi hujurikum” dalam ayat tersebut
yang arti leterleknya adalah yang dalam pemeliharaanmu
menerangkan bahwa keadaan yang biasa dilakukan oleh
seorang bapak tiri terhadap anak tirinya adalah memelihara
bahkan juga memberi nafkah, bukanlah yang dimaksud dari

5
Lihat QS. Al-Nisa’:
22 6Lihat QS. Al-
Nisa’: 23 7Lihat QS.
Al-Nisa’: 23
Pra 2

perkataan ayat tersebut merupakan sifat bagi seorang anak


tiri yang menjadi mahram bapak tirinya.
d. Mertua, yaitu ibu kandung si istri, demikian juga nenek istri
dari pihak garis ibu atau ayah dan seterusnya keatas dan
tidak disyaratkan terjadi hubungan kelamin antara suami
istri yang bersangkutan, tetapi akad nikah yang telah
dilakukan yang menyebabkan mertua dan seterusnya haram
dinikahi. Ini berdasarkan firman Āllah:
Artinya:“(dan diharamkan menikahi) ibu dari istri-
istrimu.”8
Hikmah pengharaman ini adalah sebenarnya berdasarkan
pada fitrah manusia dan disepakati oleh semua agama samawi
bahwa seorang laki-laki apabila bersenggama dengan seorang
perempuan maka satu diantara mereka akan menjadi bagian
dari yang lain, sebagaimana firman Āllah:
َّ ْ َ
َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ
‫ث ِإلى ِن َسائك م ه ن ِل‬ َ ‫ِص يام الر‬
‫ف‬ ‫أ ِح ل لك م ل يل ة ال‬
َ ُ ْ َ
‫ب اس ل ك ْ م و أ ن ت ْ م ِ ل ب اس‬
ْ َ َ
‫ن‬ ُ ْ َ ُ َ ُ
ْ
‫تخ تا نو ن أ ن ف ع ل ك م‬ ‫َع ِل َم ا‬
‫ك‬ َ َ َُّ ‫ل ُه َّن‬
‫مع‬ ْ ‫ا‬ ‫ف‬ ‫َسك ْم ف َتا ْي و ع‬ َ
‫لل أنك ْم ت‬ ّ

‫ب‬ ‫ْم‬
‫ك‬
ْ
‫ن‬
َّ ُ ُّ
‫ت‬ َ َ
‫واش‬ ‫ب ا لل و ُ ك‬
َ ‫واب ت‬ ‫باش‬ ‫فالآن‬
‫َر ُبوا ى‬ ُ
‫غوا ما ت لك ْم لوا‬ ‫ُروه‬
‫ح‬ َّ
‫ن‬
‫ك‬
‫‪2‬‬ ‫‪Dr. Hj. Umul Baroroh,‬‬
‫ُّ ِت‬ ‫َ ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ ُ ‬ ‫َ َ َّ‬
‫َم ْ ن ال َ موا‬ ‫لخ يِ َط‬ ‫ي ت ب ي ُ لخ ي ط م ن‬
‫أ‬ ‫ف جر ّ‬ ‫األس و ِد‬ ‫األب َي ا ض‬ ‫م‬ ‫َ‬
‫م‬
‫ِ ‬ ‫ن ل ا‬
‫ك‬
‫ث‬ ‫َ‬
‫ُ‬ ‫ْ‬ ‫ْ ُ‬ ‫َّ ‬ ‫ْ َ‬ ‫َ‬
‫باش ُروه ن و أ ن ت م عا ِك فون‬ ‫ال ِص َيام إلى الل ي‬
‫ْ‬
‫في ال َم َساج ِد تلك‬ ‫ِل وال‬
‫َ‬ ‫ّ ُ‬ ‫ك‬
‫ك ُي َب ِ ي ن ا لل آيات ِه ِللناس‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬
‫ح دود ا لل فال ت قَ ر‬
‫َ َ َّ ُ ْ َ َّ ُ‬ ‫ُبوها َ‬
‫ل ع ل ه م ي ت قون‬ ‫ذ‬
‫ل‬

‫‪Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan‬‬


‫‪Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah‬‬
‫‪8‬‬
‫‪Lihat QS. Al-Nisa’: 23‬‬
Pra 2

pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.


Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa”.9
Apabila ia telah menjadi bagian darinya maka implikasinya
adalah, ibu dan bapaknya si laki-laki adalah bapak dan ibunya
si perempuan juga, demikian juga sebaliknya dan tidak
terpisah. Anaknya si perempuann juga anaknya si laki-laki,
oleh karena itu si perempuan diharamkan menikah dengan
bapaknya dan si laki-laki diharamkan juga nikah dengan
ibunya. Seandainya seorang laki-laki diperbolehkan menikahi
ibu istrinya atau anaknya istri, dan si istri menikah dengan
bapak suaminya atau anaknya si laki-laki maka, akan timbul
hijab (penghalang) antara mereka, dan si laki-laki putus
hubungan dengan keluarganya juga dengan keluarga istrinya.
Hal ini akan menghilangkan kasih sayang di antara manusia.10

9
Lihat QS. Al Baqarah: 187
10
Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit. hlm. 82-83.
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,

3. Sebab Persusuan
Susuan adalah sampainya air susu anak adam ke lambung
anak yang belum berumur lebih dari 2 tahun (24 bulan).11
Wanita yang haram dinikahi karenan susuan adalah
sebagaimana haramnya karena nasab (keturunan). Ini
berdasarkan pada hadits Nabi Saw.:

‫إنها ال تحل لى إنها ابنة أخى من الرضاعة ويحرم من الرضاعة‬


‫ما‬
.‫يحرم من النسب‬

Artinya: ”Bahwasannya ia (anak perempuan pamanku) itu


tidak halal bagiku, sesungguhnya ia adalah saudaraku ses-
usuan, dan haram karena sesusuan itu adalah sebagaimana
haram karena keturunan”.12
Pengharaman menikahi wanita karena sesusuan ini ber-
dasarkan ayat: “dan (diharamkan mengawini) ibu-ibumu yang
menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan”.13
Berdasarkan ayat tersebut, juga hadits di atas, maka
wanita yang haram dinikahi sebab sepersusuan adalah:
a) Ibu-ibu yang menyusukan, termasuk di dalamnya ibu dari
ibu yang menyusukan, ibu dari suami ibu yang menyusukan
dan seterusnya keatas.
b) Anak-anak perempuan dari ibu yang menyusukan.
c) Anak-anak perempuan dari semua ibu yang menyusukan.
11
Abdur Rahman al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzhahib Al Arba’ah, (Beirut:
Dar Al Fikr, t. t. ) hlm. 250.
12
HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah.
13
QS An Nisa’; 23.
Pra 2

d) Anak-anak dari saudara laki-laki sesusuan, termasuk


didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki
ibu dan suami ibu susuan.
e) Anak-anak dari saudara perempuan sesusuan, termasuk
didalamnya anak-anak perempuan dari anak-anak
perempuan dari ibu sususan dan suami ibu susuan.
f) Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan.
g) Saudara perempuan dari suami ibu yang menyusukan. 14
Perempuan yang haram dinikahi karena ada hubungan
sesusuan ini hanya terdapat dalam syari’at Islam dan tidak
terdapat pada peraturan hukum lainnya. Hikmah adanya
pengahraman ini adalah sebagai berikut:
1) Anak yang disusukan telah memakan sebagian dari badan
si ibu yang menyusukan, sehingga badan ibu tersebut telah
masuk dalam susunan tubuh si anak, termasuk berpengaruh
dalam perasaan dan kesehatannya. Susu adalah bagian dari
darah ibu yang dapat menumbuhkan daging dan tulang anak
tersebut, karena seperti anggota badannya sendiri maka
perkawinan diantaranya menjadi haram.
2) Anak yang disusui menjadi satu keluarga dengan anak lain
yang disusukan kepada satu ibu dan antara mereka menjadi
bagian dari yang lain. Sebagaimana seorang anak yang
disusukan kepadanya menjadi satu keluarga. Karena adanya
hubungan nasab diharamkan maka pernikahan antara anak
yang satu susuan juga diharamkan karena juga menjadi satu
keluarga.

14
Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, jilid II, hlm. 66.
2 Dr. Hj. Umul Baroroh,

3) Dari kalangan non muslim banyak yang heran dengan


peraturan ini. Menyusukan berarti memberi kehidupan
pada anak yang ibunya tidak bisa menyusui. Anak yang
disusui apabila tahu kalau ajaran islam menetapkan ibu
yang menyusui adalah sebagai ibunya juga, maka ibu itu
berhak untuk dihormati. Oleh karena itulah ia diharamkan
untuk menikah dengannya sebagaimana haram menikah
dengan ibunya.15
Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan mengenai
pengharaman menikah sebab sesusuan ini, diantaranya adalah:
1) Yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan
keharaman perkawinan adalah susuan yang diberikan
kepada si anak yang memang masih menjadikan air susu
ibunya atau wanita lain menjadi sumber makana pokok
untuk pertumbuhan jasmaninya.
2) Mengenai berapa kali seorang bayi menyusu pada seorang
ibu yang menimbulkan keharaman perkawinan, ada
beberapa pendapat:
a) Para ulama madzhab Hanafi dan Maliki tidak
memperhatikan bilangan sedikit banyaknya susuan,
asalkan menyusu sampai kenyang.
b) Ulama’-ulama’ Dzahiri membatasi paling sedikit 3 kali.
c) Imam Syafi’I membatasi paling sedikit lima kali susuan
kenyang. Ini berdasarkan hadits:

15
Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Asy Syakhsiyyah, hlm. 93-94
Pra 2

‫ كان فيما نزل من القران عشر رضعات‬.‫عن عا ئشة ض‬


.‫معلومات ثم نسخن بخمسة معلومات فتوفى رسول الل ص‬
‫وهن ما يقرأن‬
.‫من القران‬

Artinya:“Dari Aisyah r. a. ia berkata: Dahulu diantara


(ayat-ayat) Al Qur’an yang diturunkan terdapat kata-
kata: sepuluh susuan yang diketahui, kemudian kata-kata
tersebut dinasakhkan dengan kata-kata lima kali hisapan
yang diketahui, lalu Rasulullah Saw. wafat sedang kata-
kata itu termasuk Al Qur’an yang dibaca.”16

B. Kriteria Calon Istri dan Suami: Tuntunan


Rosulullah dan Konteks Sekarang
Agama Islam sangat menginginkan akan kelanggengan
pernikahan dengan berpegang teguh dengan pilihan yang
baik dan asas yang kuatsehingga mampu merealisasikan
kejernihan, ketentraman, kebehagian dan ketenangan.Semua
itu dapat dicapai dengan adanya agama dan akhlak. Agama
dapat semakin menguat seiring dengan bertambahnya umur,
sedangkan akan semakin lurus seiring dengan berjalannya
waktu dan pengalaman hidup. Adapun tujuan lainnya yang
sering mempengaruhi manusia, seperti harta, kecantikan, dan
jabatan, semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat
menciptakan kelanggengan hubungan, bahkan umumnya
malah menjadi pemicu timbulnya sifat saling berbanggga diri
dan merasa tinggi serta ingin dipandang oleh orang lain.

16
HR. Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i.
3 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Oleh karena itu, Saw., bersabda,


ْ ّ ُ ْ
‫ي ِه و‬ ْ ‫ْ هَ ي‬ ْ
ّ ‫ل‬ ‫رَ ر ض َي الل ع ن ه – ع‬ ‫ع ن ِأ ب ي‬
ْ َ ّ َّ َ
‫سل م‬ ‫ِن ال ِن ب ي – ى ا‬ ‫ة–ر‬
َ ِ
‫لل ع ل‬ ‫ص‬
َ َ ُ ْ
‫ِد‬ َ ْ
‫و ِل ج‬ ‫ لمال‬:‫ ت نك ح المْ رأة لأ ر ب ٍع‬:‫– قال‬
‫ْي ِ ن‬ َ َ َ َ َ
َ ‫مال‬ ‫ها و ِل ح س ِب ها‬
‫ها و‬ َ
‫ها‬
‫ِل‬
ْ َ َ
‫فاظ فْ ر ِب ذات ال ِدي ِن تِ ر‬
َ َ
‫بت ي د اك‬
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Muhammad SAW., beliau
berkata: “Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara,
karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya,
(atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau
akan beruntung, (jika tidak, semoga kau) menjadi miskin”.
Maksudnya, pada umumna yang menarik minat para lelaki
untuk menikah adalah keempat hal tersebut, dan perempuan
yang memiliki agamaolehmereka diposisikan pada bagian
paling akhir. Oleh sebab itu, Nabi Saw. memerintahkan mereka
agar jikalau mereka telah menemukan perempuan yang
memiliki agama maka hendaknya mereka memilih perempuan
tersebut. jika hal itu tidak dilakukan niscaya mereka akan
tertimpa kerugian dan kefakiran.
Kemudian secara jelas Nabi Saw. melarang menikahi
perempuan kecuali dengan landasan agamanya, dan
mewantiwanti akibat harta dan kecantikan. Beliau Saw.
bersabda,
‫‪Pra‬‬ ‫‪3‬‬
‫َّ‬
‫َ َّ‬ ‫َّ‬ ‫َ َّ ُ‬‫ْ َّ ‬ ‫َ ‬ ‫ْ‬

‫لا تنكحوا النساء لحس ِن ِهن فلعل ه ولا ِل مال هن‬


‫ِفلعله‬ ‫ير ِديهن‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ْ ‬ ‫ٌ ‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫ْ‬
‫ولأ َم ة خ رقاء ذات‬ ‫ي ط ِ ُغ يهنَّ وان ِك‬
‫دين‬ ‫ْ َ‬ ‫حوهن ِلل ِدين‬ ‫ُ‬ ‫َ‬
‫س و داء‬
‫ْ‬
‫أ فضل‬
3 Dr. Hj. Umul Baroroh,

“Janganlah kalian menikahi perempuan karena cantiknya.


Boleh jadi kecantikan tersebut akan membinasakannya.
Jangan pula karena hartanya karena harta boleh jadi akan
menyebabkannya melampaui batas. Menikahlah karena
agama. Sungguh budak hitam yang cacat namun baik
agamannya itu yang lebih baik” Namun hadits ini dinilai
sebagai hadits yang sangat lemah oleh al Albani dalam
kajian beliau untuk Ibnu Majah no. 1859.
Sedangkan mengenai perempuan terbaik, ada sebuah
riwayat yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah r.a., berkata,
‘Rasulullah pernah ditanya, ‘Siapa perempuan terbaik?’ Beliau
menjawab,’Perempuan yang dapat membuat bahagia suaminya
jika suaminya melihatnya, menaatinya jika ia memerintah,
dan tidak menyelisihinya dalam diri dan hartanya dengan
sesuatuyang tidak ia sukai.”
Lingkungan berpengaruh sangat besar. Janganlah sekali-
kali seorang pemuda terpedaya dengan kecantikan yang
berada da;lam lingkungan yang memiliki tingkat pendidikan
rendah. Darul Quthni dan Dailami meriwayatkan dari Abu Said
bahwasaanya Rasulullah Saw.. pernah bersabda: “Hindarilah
oleh kalian khadraau diman itu wahai Rasululla?’ Beliau
menjawab, ‘Seorang perempuan cantik yang berada pada
lingkungan jelek. Akan tetapi, Darul Quthni menyatakan bahwa
dari satu sisi hadits di atas tidak sahih. Memilih perempuan
dengan baik mempunyai dua tujuan; membahagiakan laki-laki
dan menumbuh-kembangkan anak-anak dengan pertumbuhan
yang baik dengan penuh istiqamah dan budi pekerti yang
luhur. Oleh sebab itu, Nabi Saw.. Bersabda: “Pilihlah istri yang
terbaik menikahlah dengan perempuan yang setara dan
nikahkanlah
Pra 3

perempuan-perempuan kalian dengan para lelaki yang setara


pula.”
Kriteria perempuan yang hendak dikhitbah mungkin
dapat kita ringkas menjadi sebagaimana berikut, sebagaimana
dijelaskan oleh para ulama Syafi’iyah, Hambilah, dan lainnya.
Mereka berkata dengan menganjurkan hal-hal berikut17:
1. Perempuuan tersebut hendaknya seorangyang mempunyai
agama. Sebagaimana dalam hadits sebelumnya yang berarti,
“maka kamu harus lebih memilih perempuan yang memiliki
(ketaatan) agama.”
2. Perempuan itu hendaknya subur (berpotensi dapat
melahirkan banyak anak). Itu sebagaiman anjuran dalam
hadist yang berbunyi: “Menikahlah dengan penyayang
lagi subur Sesungguhnya aku kelak dihari kiamat akan
membanggakan jumlah klalian yang banyakkepada umat-
umay lain.” Perempuan perawan dapat diketahui
kesuburannya karena berasal dari seorang ibu yang dikenal
mempunyai banyak anak.
3. Hendaknya perempuan tersebut masih perawan.
Sebagaiman dalam hadits Nabi Saw.: “Tidakkah kamu
menikahi seorang perawanyang dapat kamu permainkan
dan dia pun mempermainkanmu?” (HR Bukhari Muslim).
4. Hendak perempuan itu berasalk dari rumah yang dikenal
mempunyai agama dan qana’ah. Karena itu merupakan
sumbet agama dan sifat qana’ahnya.
5. Hendaknya perempuan itu berasal dari keluargayang baik-
baik, agar anaknya menjadi orangyang unggul. Karena
17
Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit., hlm. 24-25
3 Dr. Hj. Umul Baroroh,

sesungguhnya anak itu boleh bisa menyerupai keluarga si


perempuan dan cenderung menirunya. Anjuran tersebut
sebagaimana dalam hadits yang artinya, “Pilihlah karena
keturunannya.” Tidak sepatutnya menikahi seorang
perempuan hasil dari perzinaan, perempuan terlantar, dan
perempuan yang tidak mengetahui siapa bapaknya.
Menikahi mereka hukumnya makruh. Itu boleh saja
dilakukan dan tidak haram. Adapun ayat yang artinya,
“Seorang penzina tidak akan menikahi kecuali perempuan
penzina…..” (an-Nuur: 3)18, telah mansukh (dihapus). Atau
boleh boleh jadi itu memang benar-benar terjadi.
6. Hendaknya perempuan tersebut cantik; karena itu dapat
membuat jiwa tenang, dapat menundukkan pandangan, dan
dapat lebih menyempurnakan rasa cinta si lelaki.
Olehkarena itu, diperbolehkan melihat perempuan
tersebutsebelum menikah. Itu sebagaimana dalam hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebelumnya. Akan
tetapi, para ulama’ Syafi’iyah mengenggap makruh
mengkhitbah perempuan yang sangat cantik.
7. Hendaknya perempuan itu bukan merupakan kerabat dekat
agar anaknya menjadi lebih unggul. Sebagaimana ada yang
mengatakan, “Sesungguhnya perempuan-perempuan yang
bukan kerabat lebih unggul, sedangkan putru-putri paman
sendiri lebih sabar.” Demikian juga, karena menikan dengan
kerabat dekat tidak menjamin tidak terjadi perceraian. Jika
terjadi perceraian, hal itu dapat menyebabkan terputusnya
tali silaturrahim keluarga, padahal menyambung tali
silaturrahim keluarga sangat dianjurkan.mengenai hal itu,
imam Rafi’i

18
Al-Qur’an, hlm. 350
Pra 3

berdalil mengikuti apa yang ada dalam kitab al-Wasiith yang


artinya: “Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, karena
sesungguhnya anak akan terlahir dalam keadaan kurus.” Itu
dikarenakan lemahnya syahwat.
8. Hendaknya tidak lebih dari satu perempuan, jika dengan hal
itu sudah dapat menjaga kesucian diri. Karena lebih dari dua
dapat menyebabkan terjerumus kedalam keharaman. Allah
SWT berfirman yang artinya, “ Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian.” (al-Nisaa: 129). Nabi
Saw.. Juga bersabda:
ُ ْ َ َْ َ
‫حَ ر ص ت ْم فال‬ ‫ت ع ِد ِن َساء‬
ْ
‫تست‬
ْ
‫ول ن‬
‫ت ِميلوا‬ َ ُ ْ
ْ ْ ‫ِطيعوا أ ن‬
‫لوا ب ي و ل و ال‬
َ
‫ن‬
َّ َ َّ َ ُ َّ
‫ن ا‬ َّ َ ْ َ
ََّ ‫ت‬ ‫كال م ع ل ق ِل‬ ‫ك ل ال م يِ ل ف ت‬
ُ ُ ْ َ
‫لل كان‬ ‫ِة و إ ن ت حوا قوا و‬
ِ ‫ذ ُروها‬
‫ف ِإ‬ َ ‫ص‬
‫ت‬

‫ر ِحيما‬ ُ
‫غ فورا‬
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”19
3 Dr. Hj. Umul Baroroh,
Menikah itu aslinya monogami bukan poligami.
Dimakruhkan menikahi seorang perempuan pezina atau
yang terkenal sebagai pezina sekalipun belum terbukti
bahwa dia adalah seorang pezina.20
19
Al-Qur’an. Hlm 99
20
Wahbah az-Zuhaili,/hlm 26
Pra 3

C. Pacaran: Bolehkah?
Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran
adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf (berkenalan). Kata
mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua
‘calon mempelai’ supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget
lagi dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami
karakter masing-masing. Demi Allah, tidaklah anggapan ini
dilontarkan melainkan oleh orang-orang yang terbawa arus
budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan.
Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana
hukum pacaran diperbolehkan kepada umat Islam.
Dalam Bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin,
biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam
praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai
menjadi satu. Muda- mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian
lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka
bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya,
pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi
masing-masing, yang dalam Islam disebut dengan “Ta’aruf”
(saling kenal-mengenal).21
Pacaran dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar
“pacar”, yang kemudian diberi akhiran–an. Terdapat beberapa
pengertian pacaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), yaitu :
a. Pacar (n): Teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih,

21
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hlm. 21.
3 Dr. Hj. Umul Baroroh,

b. Berpacaran: bercintaan, berkasih-kasihan,


c. Memacari: menjadikan sebagai pacar; mengencani.22
Sedangkan kencan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu
tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.23 Kalau
demikian itu pengertiannya, maka pacaran hanya merupakan
sikap batin, namun kalangan sementara orang-khususnya
remaja, sikap batin ini disusul dengan tingkah laku berdua-
duaan, saling memegang , dan seterusnya.24 Pacaran
merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang
biasanya berbeda dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan
menuju kehidupan berkeluarga yang dikenali dengan
pernikahan.
Dalam banyak kasus, pacaran itu menimbulkan berbagai
dampak negatif, di antaranya:
a) Mudah terjerumus ke perzinahan.
b) Menjadikan seseorang banyak berkhayal.
c) Mengurangi produktivitas.
d) Menjadikan hidup boros.
e) Ākan melemahkan daya kreatifitas dan menyulitkan
konsentrasi, karena pikiran mereka hanya tertuju kepada
pacarnya.
f) Terjadinya pertengkaran hanya karena rebutan pacar,
bahkan beberapa kasus sampai pada pembunuhan.
22
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa
Indonesia, Edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 807.
23
Lihat KBBI
24
M. Quraish Shihab, Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab : Seputar Ibadah dan
Mu’amalah(Bandung : Mizan, 1999), 242.
Pra 3

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan


dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya,
kita dilarang untuk mendekati zina. Pacaran adalah jalan
menuju zina yang nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan
pembicaraan lewat telephone, sms, BBM, chating dan
sejenisnya. Namun, lambat laun akan janjian kencan. Lalu lama
kelamaanpun bisa terjerumus dalam hubungan yang
melampaui batas layaknya suami istri. Maka benarlah Allah
SWT mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Seperti
disebutkan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 32:

‫س ِبيلا‬ َ
‫و‬ ‫فاح‬
‫كا‬ ُ َ ْ
ً َ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫وا‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫ل‬ ‫و‬
‫ن ش ة َساء‬ ُ َّ َ ّ
‫ز ن ۖاإ ن ه‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al-Isra’: 32).

Mengapa pacaran cenderung mendekatkan diri kepada


zina. Sebagaimana yang terjadi, akan tiba masanya kedua sejoli
yang sedang mamadu kasih (pacaran) berdua-duaan
(berkholwat). Tentu saja ini tidak diperkenankan oleh Islam.
Nabi Muhammad Saw. bersabda: ”Hati-hatilah kamu untuk
menyepi dengan wanita, demi zat yang jiwaku ada pada
kekuasaan-Nya, tidak ada seorang lelakipun yang menyendiri
dengan wanita, melainkan setan masuk di antara keduanya.
Demi Allah, seandainya seorang laki-laki berdesakan dengan
batu yang berlumuran (lumpur/ lempeng hitam) yang busuk
adalah lebih baik baginya dari pada harus berdesakan dengan
pundak wanita yang tidak halal.”(HR. At-Thabarani).25

25
At-Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir Juz VIII, hlm. 205 dan 7830
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Jika sudah berdua-duaan, maka besar kemungkinan kedua


orang yang sedang berpacaran itu akan meningkatkan tensi,
dengan melakukan tindakan-tindakan keji seperti melihat,
saling berpandangan, memegang, meraba, dan lain sebagainya,
yang itu dilarang oleh Islam. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
“Lebih baik memegang besi yang panas dari pada memegang
atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau ia tahu
akan berat siksaannya)”. Dalam hadits yang lain: “Barang siapa
yang minum (minuman keras) atau berzina, maka Allah akan
melepas imannya dalam hatinya, seperti seseorang melepaskan
peci dari kepalanya (artinya kalau yang berzina itu meninggal
ketika berzina, ia tidak sempat bertaubat lagi, maka dia
meninggal sebagai orang kafir yang akan kekal di neraka)”.
Oleh sebab itu, Allah SWT memerintahkan kepada para pria
yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal
yang diharamkan, yaitu wanita yang bukan mahrom. Seperti
yang sudah disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 30:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:”Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”.26
Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang
bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan
pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan:
“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang pandangan
yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah
SAW. memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan
pandanganku”. Zina tangan adalah dengan menyentuh
lawan jenis yang bukan mahram, sehingga ini menunjukkan
26
Lihat QS. An-Nur: 30
Pra 4

haramnya. Adri Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW. bersabda:


“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina, dan
ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata
adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar.
Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan
meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah.
Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan.
Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau yang
mengingkari yang demikian”.27
Istilah pacaran secara harfiah tidak dikenal dalam Islam,
karena konotasi dari kata ini lebih mengarah kepada hubungan
pra-nikah yang lebih intim dari sekadar media saling
mengenal. Islam menciptakan aturan yang sangat indah
hubungan lawan jenis yang sedang jatuh cinta, yaitu dengan
konsep khithbah. Khithbah adalah sebuah konsep “pacaran
berpahala” dari dispensasi agama sebagai media legal
hubungan lawan jenis untuk saling mengenal sebelum
memutuskan menjalin hubungan suami-istri. Konsep
hubungan ini sangat dianjurkan bagi seseorang yang telah
menaruh hati kepada lawan jenis dan bermaksud untuk
menikah. Akan tetapi hubungan ini harus tetap terbingkai
dalam nilai-nilai kesalehan, sehingga kedekatan hubungan yang
bisa menimbulkan potensi fitnah sudah di luar konsep ini.
Paparan di atas menunjukkan bahwa pacaran Islami itu
sesungguhnya ada, jika yang dimaksud adalah penjajakan awal
yang dilakukan dua orang calon pasangan suami istri. Tentu
saja penjajakan tersebut dilakukan sekedar untuk mengetahui
sifat-sifat kepribadian masing-masing tanpa melampaui

27
H.R Muslim no. 6925
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

norma-norma agama yang telah ditetapkan dalam ajaran suci.


Sebaliknya,pacaran Islami bisa kita katakan tidak ada jika
yang dimaksud adalah praktik mesum muda-mudi yang sering
dilakukan dengan melampaui batas-batas ajaran agama.
Dengan demikian, yang diperbolehkan dalam fiqih adalah
hubungan sebatas memenuhi kebutuhan untuk sekadar
mencari tahu sifat dan kepribadian masing-masing. Di luar
kebutuhan minimal seperti ini tentunya termasuk pelanggaran
agama yang mesti dijauhi, seperti bermesra-mesraan dan
berasyik-masyuk sebagaimana layaknya dilakukan oleh
pasangan suami istri.28
Selain itu tidak dipungkiri bahwa dalam firman-Nya Āllah
telah menyebutkan dan mengisyaratkan adanya naluri saling
ketertarikan antara laki-laki dan wanita yang menjadi sebab
musabab seseorang saling berpacaran.
ََ َ
‫ناطير ال‬‫ز ّيَ ن ِللناس الش َه َوات م َن وال ب ِنين وال ق‬
ْ َ ُ
َ ِ ِ
‫طَ ر ِة‬‫مقن‬ ‫ال ِن ساء حب‬ َ
َْ َ
‫واألن عام والح رث‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ْ ‫مَ ن الذ وال فض ة والخ‬
ُ َ َِ َّ ِ ِ
َ َ
‫ذ ِ ل ك م تا ع‬ ‫ُم س و م ِ ة‬ ‫هب‬
ُ َ ْ ُّ َ ْ َ
‫وا لل ع ن د ه ح‬ ‫ال ح َياة الدن يا‬
ُ
‫ْس ن ال َمآب‬

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia


kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan Saw.ah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-
lah tempat kembali yang baik (surga).”29
Pra 4
28
Abu Yasid,et.al.Fiqh Today Fatwa Tradisionalis Untuk Orang Modern
(Jakarta : Erlangga, 2007), hlm. 107-108.
29
Lihat QS. Ali Imran: 14
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Apabila berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan


dari hal-hal yang menjurus kepada kemaksiatan seperti:
berdua- duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi
pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, tentu saja
haram hukumnya menurut syari’at Islam. Jadi dalam Islam
tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan pacaran hukumnya
haram. Namun, jika yang dimaksud pacaran adalah sebagai
instrumen untuk mengenal calon pendamping lebih jauh,
dengan catatan batasan-batasan syar’i harus dijaga, maka
boleh-boleh saja, karena dalam Islam itu sendiri ada istilah
ta’aruf sebelum pernikahan. Upaya saling kenal inipun harus
didasari keseriusan untuk menempuh jenjang yang lebih tinggi,
bukan hanya sekadar untuk main-main.

D. Meminang (Khithbah)
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam
bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan.
Khitbah menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah
perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan)
sekaligus pengantar menuju perkawinan. Khitbah merupakan
proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri
kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita
untuk dijadikan bakal/calon istri. Seluruh kitab/kamus
membedakan antara kata-kata “khitbah” (melamar) dan
“zawaj” (kawin/ menikah), adat kebiasaan juga membedakan
antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan
yang sudah menikah; dan syari’at pun membedakan secara
jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak
lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah
dengan wanita
Pra 4

tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan akad yang


mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-
batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Secara bahasa, khitbah berasal dari bahasa Arab, yang
berarti bicara. Khitbah bisa juga diartikan sebagai ucapan
yang berupa nesihat, ceramah, pujian, dan sebagainya.30 Kata
khitbah dalam bahasa Arab secara literal berarti pinangan
atau lamaran. Yang dimaksud dengan pinangan atau lamaran
secara istilah adalah pernyataan keinginan untuk menikah
yang disampaikan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain
dengan cara-cara yang ma’ruf dalam masyarakat31 atau dengan
cara yang lumrah dan biasa dilakukan dalam masyarakat.32
Pelaku khitbah disebut khatib atau khitb. Khitbah
merupakan pendahuluan pernikahan.33 Yang umum berlaku
dalam masyarakat bahwa laki-laki yang meminang perempuan,
sehingga khitbah diterjemahkan oleh fuqaha’ dengan:
“Pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang
perempuan yang telah jelas dan perempuan itu
memberitahukan keinginan tersebut kepada walinya.”34 Namun,
kebiasaan umum ini tidak selamanya berlaku dalam suatu
masyarakat, tergantung tradisi masyarakat tetempat. Selain itu,
karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam hal khitbah.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih.
Mengkhitbah harus memiliki komitmen untuk meneruskannya
30
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Akasara, 2009),
hlm. 471
31
Ahmad Azharuddin Latif, Pengantar Fiqih, (Jakarta: Pusat Studi Wanita
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), hlm. 189
32
Sayyid Sabiq, Op.Cit.
33
Ibid.
34
Ahmad Azharuddin Latif, Op. Cit.
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

ke jenjang yang lebih tinggi dan sakral, yaitu pernikahan.


Karena itu, shalat istiharah sebaiknya dilakukan terlebih
dahulu sebelum khitbah. Tentu saja khitbah dilaksanakan saat
keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah
saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan
akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki
lain. Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai
upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan
memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada
si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain
untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah Saw. bersabda, “Tidak
boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan
saudaranya”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan
peminangan. Hal ini mgungkin disebabkan peminangan itu
tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan
perkawinan. Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1
(ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan
pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal
1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu:
1) Pasal 11 menjelaskan peminagan dapat dilakukan oleh
orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara
yang dipercaya.
2) Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda
Pra 4

yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram


meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah,
dan meminang wanita yang sdang dipinang pria lain. Ayat
(4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak
laki- laki.
3) Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum
menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan
pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat
setempat.35
Meski khitbah dalam masyarakat sangat sering dilakukan
dalam masyarakat, namun mayoritas fuqaha menyatakan
bahwa khitbah memang syari’at Islam, tetapi seseorang tidak
wajib melakukan khitbah sebelum menikah karena tidak ada
satu dalil pun, baik al-Qur’an atau Sunnah, yang menunjukkan
secara eksplisit akan kewajiban melakukan khitbah.
Disyariatkannya khitbah dalam agama Islam sebelum
terjadinya ikatan suami istri, selain untuk meminimalisasi
kemungkinan kekecewaan dan kesalahan memilih calon
pendamping, sebenarnya juga diharapkan agar masing-masing
calon suami dan istri dapat saling mengenal dan saling
memahami watak dan kepribadian pasangannya. Dengan
saling mengenal dan saling memahami watak dan kepribadian
pasangan, maka usaha untuk mewujudkan tujuan perkawinan
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah
akan lebih terjamin.36
1. Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan
atau
35
Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 116
36
Ahmad Azharuddin Latif, Pengantar Fiqih, (Jakarta: Pusat Studi Wanita
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), hlm. 189
4 Dr. Hj. Umul Baroroh,

sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.37


Sedangkan hukum meminang adalah mubah (boleh) dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Perempuan yang akan dipinang harus memenuhi syarat-
syarat berikut:
a) Tidak terikat oleh akad pernikahan.
b) Tidak berada dalam masa iddahtalak ra’ji.
c) Bukan pinangan laki-laki lain.

َ Saw.
Rasulullah َ ُّbersabda: َ
َ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ْ
‫ا ل م ؤ ِم ن أ خو ا ل م ؤ ِمن فلا يح َل ل ه أ ن ب ي تا ع ع‬
ُ َ َ ْ ْ َ َ
‫لى ب ي ِع أ ِخ ي ِه ول ا يخ طب‬
َ َ َ
َّ َ ْ
‫ع لى خ ط َب ِة أ ِخ ي ِه حتى ي ذ‬
ْ

).‫َر(متفق عليه‬

Artinya:“Seorang mu’min adalah saudara mu’min lainnya.


Oleh karena itu, ia tidak boleh membeli atau menawar
sesuatu yang sudah dibeli/ ditawar saudaranya, dan dia
tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang
saudaranya, kecuali ia telah dilepaskannya”.(Mutaffaq
alaih).38
2. Cara mengajukan pinangan
a) Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa
iddahnya boleh dinyatakan secara terang-terangan.
b) Pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq bainatau
iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan
secara terang-terangan.
Pra 4
37
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009),
hal. 380.
38
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI, (
Semarang: Karya Toha Putra, 2007), hal. 52.
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Āllah swt berfirman:

ْ َ ْ
‫ط َب ِة ال ِن ك ن ن‬ ْ َ ‫ج‬
‫ْفيم َ م‬ َ
ُ ‫َوال نا‬
‫ت ْم‬ َ َ
‫ر ِب ِه‬
ّ ‫م ا‬
ْ ْ َ ‫ل‬ ‫ُ ح‬
‫ِ في‬ ‫ساء أ و أ م ن‬ ‫ع‬
‫خ‬ ْ ‫ف‬
‫ض‬ ‫ي ك‬ ُ
ُ ‫ع‬ ‫ك‬
‫ت‬ ‫ِس‬
‫ْم‬
ْ
‫أن‬

Artinya:“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-


wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. Al-
Baqarah: 235).39
3. Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan
yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan kepada
hadits Rasulullah Saw.. Berikut
َ ini: ُ ُ
ْ َ ُ َ َ ً َ ْ ْ َ َ َ َ
‫أ ة فلا ج نا ح ع ل ي ِه ا‬ ‫ا ذ ا خ طب ا ح د ك م ا م ر‬
َ َ َ ْ ُ ْ ْ
‫ظَ ر م ن ها ا ذا كا ن‬ ‫نين‬
ْ ْ َ ُ ْ َ َ َّ
َ َ ْ
‫ان ما ي ن ظُ ر ِا ل ي ها ِ لخ ط ب ٍة و ِا ن كا‬
َ ْ
ُ
)‫نت لا ت ع ل م (رواه أحمد‬

Artinya:“Apabila salah seorang diantara kamu meminang


seorang perempuan maka tidak berhalangan atasnya untuk
melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata
untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan
Pra 5
itu atau tidak.”(Riwayat Ahmad). 40

Ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa


melihat perempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat.
Melihat calon istri untuk mengetahui penampilan dan
kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga


39
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi tahun 2002.
40
Sulaiman Rasjid, Ip.Cit., hlm. 381
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah


menikah. Mughirah bin Syu’ban telah meminang perempuan.
Kemudian Rasulullah bertanya “ Apakah engkau telah
melihatnya?” Mughirah menjawab “Belum”. Rasulullah Saw.
bersabda:

‫ك َم (رواه النسا عى‬ َ


ْ ْ ُ َّ ْ ُ
‫وابن ماجه‬ ‫ا ن ُ ظ ْ ر ف إن ُ ه أ ي ؤ‬
ِ
َ َ
‫ْحَ رى ِد م ي‬ َ
‫ِا ل ْي ها‬
َ ْ
‫ا ن ن‬
)‫والتر مذي‬
‫ب‬

Artinya:“Amat-amatilah perempuan itu, karena hal itu akan


lebih membawa kepada kedamaian dan kedekatan kamu.”
(HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Tarmidzi).41
Mengenai batas-batas kebolehan melihat bagian tubuh
wanita yang dipinang, para ulama berbeda pendapat. Menurut
jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan dua
telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui
kehalusan tubuh dan kecantikan wajahnya. Sedang menurut
Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah,
dua telapak tangan dan dua telapak kaki. 42 Lebih lanjut, berikut
pendapat beberapa ulama mengenai anggota tubuh terpinang
yang boleh dipandang:
1) Mayoritas Fuqoha’ seperti Imam Malik, Āsy-Syafi’i, dan
Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa
anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka
adalah
Pra 5
41
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,
hlm. 53.
42
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas
XI,.............., hal. 53.
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

firman Āllah SWT:

ْ َ ُ َ َ َ
‫ز ْي ن ت ه‬ ‫ولأ ُي ْب ِد‬
‫ه‬ َّ ‫ن‬
‫ن‬ ‫ن ِأ ل أ م ا‬
َ َ
‫ر ها‬ ‫ي‬
‫ظ م‬

Artinya: “Dan janganlah menampakkan perhiasan


(auratnya), kecuali apa yang biasa terlihat darinnya.(QS.
An-Nur: 31).
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa
terlihat darinnya”, dimaksudkan wajah dan kedua telapak
tangan. Mereka juga menyatakan, pandangan disini
diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya
sekedarnya, wajah menunjukkan keindahan dan
kecantikan, sedangkan kedua telapak tangan menunjukkan
kehalusan dan kelemah lembutantubuh seseorang. Tidak
boleh memandang tubuh selain kedua anggota tubuh
tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.43
2) Ulama’ Hanbali berpendapat bahwa batas diperbolehkannya
memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana
memandang mahram, yaitu apa yang tampak pada wanita
pada umumnya disaat bekerja di rumah, seperti wajah,
kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan
sebagainya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang
pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan
sesamanya. Adapun alasan mereka; Nabi SAW. tatkala
memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita
tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau
mengizinkan memandang segala yang tampak pada
umumnya. Oleh karena itu, tidak mungkin hanya
Pra 5
memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang
yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah.44
43
Ibnu Rusrd, Bidayat Al-Mujtahid, juz III, hlm. 63.
44
Al-Mughni, Juz 6, hlm. 554.
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

3) Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya


berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan
untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua
kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut
dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi
tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari
anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat
yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib
dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja
sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan
kedua telapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.
Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh
anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan.
Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw.: “Lihatlah
kepadanya.” Di sini Rasulullah tidak menkhususkan suatu
bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama,
karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan
menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena
darurat diperkirakan sekadarnya.45
4. Hikmah Khitbah
Khitbah sebagaimana pendahuluan pernikahan lainnya
adalah sebuah cara bagi masing-masing pihak (suami-istri)
untuk saling mengenal diantara keduanya. Karena khitbah
tersebut merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat
dan kecenderungan masing-masing dari keduanya. Akan tetapi
hal itu harus dilakukan sebatas yang diperbolehkan secara
syariat, dan itu sudah sangat cukup sekali.jika telah ditemukan
rasa kecocokan dan keselarasan maka sudah mungkin untuk
dilangsungkannya pernikahan yang merupakan ikatan abadi
dalam kehidupan. Dengan demikian, kedua belah pihak akan
45
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah, hlm. 103.
Pra 5

dapat merasa tentram bahwa mereka berdua akan hidup


bersama dengan selamat, aman, bahagia, cocok, tenang, dan
penuh rasa cinta, yang kesemuanya itu merupakantujuan-
tujuan yang ingin diraih oleh semua pemuda dan pemudi serta
keluarga mereka.
Akad 4

BAB 3
AKAD NIKAH

A. Pengertian Nikah
Nikah atau pernikahan pada dasarnya merupakan pengaturan
hubungan manusia sebagai makhluk sosial dalam kaitan
dengan tatacara berkeluarga dengan segala aspeknya. Apa
yang dimaksud dengan nikah? Kata nikah merupakan kata
serapan dari Bahasa Arab dan merupakan isim mashdar
dari kata ‫ نكلحا – ينكح – نكح‬yang berarti bergabung dan
berkumpul. Orang Arab mengatakan pohon-pohon telah nikah,
jika beberapa dari mereka bergabung dan mengumpul menjadi
satu.1 Dalam literatur klasik, pengertian pernikahan atau nikah
selalu dikaitkan dengan hubungan seks antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini tidak mengherankan karena arti kata kawin
(Bahasa Indonesia yang diambil dari Bahasa Parsi) atau nikāḥ
(Bahasa Arab) secara bahasa memang berarti “melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh” (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1994:456; al-Kahlani, tt:109). Kamus tersebut juga
mengartikan kata nikah sebagai “perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). Dalam al-
1
Zainudin ibnu Abdul Aziz Al-Malibari. Fatdul Mu’in bi syarhi qurratul ‘aini.
Semarang: Karya Thoha Putra.
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Qur’an, kata nikah dalam berbagai bentuk katanya digunakan


sebanyak 23 kali, dengan kandungan makna yang berbeda.
Dalam konteks tertentu Al-Qur’an juga menggunakan kata
zawwaja dan zawj dengan pengertian yang sama dengan nikah
karena adanya pengertian pasangan dalam kata tersebut, yang
menghasilkan kata zauwj (suami) dan zauwjah (istri) bagi
pasangan laki-laki dan perempuan yang sudah melaksanakan
ziwāj (pernikahan).
Secara istilah, penggunaan kata nikah tidak dibatasi pada
hubungan seksual saja, tetapi juga akad nikah, yakni akad
yang membolehkan atau menghalalkan bersenang-senang
antara perempuan dengan laki-laki.2 Merangkum definisi nikah
dalam Fiqh klasik menurut empat Imam madzhab Fiqh, Al-
Jaziri (1996:4-5) mengatakan bahwa nikah merupakan akad
yang ditentukan oleh Syari’ agar si suami dapat memanfaatkan
kemaluan si istri dan anggota tubuhnya yang lain sehingga
dapat merasakan kenikmatan.3
Pengertian yang tidak secara eksplisit menyebutkan
hubungan seks diberikan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, tentang Perkawinan, yang menyatakan: ”Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (ps.1). Dengan demikian,
pernikahan yang bersifat sementara yang dimaksudkan untuk
bersenang-senang melampiaskan syahwat (seperti kawin
kontrak dan kawin

2
Zuhaili, Wahbah, 1989, AlFiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr.
Hal. 9.
3
Al-jaziry, Abd al-Rahman, 1996, Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut:
Dar al-Fikr.hal. 4-5.
Akad 5

muth’ah) tidak mendapat pengakuan legal. Islam juga tidak


mengijinkan pernikahan sesama jenis.

B. Dasar Lansdasan Dalil dan Hukum Nikah


1. Menurut Fiqh Munakahat
Āllah SWT berfirman dalam surat Ān - Nisa Āyat 3 sebagai
berikut :4 َ
ُ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ُ ْ ْ
‫و ِإ ن خ ف ت ْم أال ت ق ِس طوا ِفي ال ي تامى فان ِك حوا‬
َ
َ َ ْ
‫ما طاب لك م م ن ال ِن ساء‬
ُ ْ ُ ْ ْ ُ َ ْ
َ
‫م ث نى و ثلاث و ُر باع ف ِإ ن خ ف ت ْم أال ت ع ِد َلوا ف‬
ً َ َ
‫واح د ة أ ْو ما ملكت‬
َ َ
َ ْ ُ َ
‫أ ْي مانك ْم ذِ لك أ دن ى أال‬
ُ
‫ت عولوا‬

Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil


terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-
perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empatdan
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.”
(QS. An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang
sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang
dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam al-Qur’an, Surat Al-A’raaf ayat 189 berbunyi:
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,
َ
‫كن‬ ََ ْ ْ ‫ع‬
َ َ ْ ْ ْ َ َّ َ
‫ي‬ ‫د‬ ‫ف‬ ‫ه و ال‬
‫و ه‬ َ ‫من‬ ‫ِذي‬
‫س‬ ْ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ٍة‬ ‫ٍس‬ ‫ل‬
‫ا ل‬ َ ‫وج‬ ‫ن واح‬ َ
‫ها ز ج‬ ‫ق كم‬
‫م‬
‫خ‬
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 35
Akad 5

َ َ
‫دع‬ َ َ َ
َ َ ْ
َ ‫خ ِفيفا ف َم َّما أ‬ ‫م لت‬ َّ
‫إ ل ي ها ف ل م ا ت‬
‫وا‬ َ َ ْ ‫َّرت ب ِه‬ َّ َ
ِ ْ
‫ت‬ ‫ث ق ل‬ ‫غ شاها ح مال ح‬
َ
‫ف ل‬
َ َ َ ََّ
‫م ن الشا‬ ً َ ُ َّ
‫ِكِ رين‬ ‫صا لحا ل‬ ‫ا لل ر ب ه ما ل ِئ‬
َّ َ َ َ ْ ْ
‫نكون ن‬ ‫ن آت ي ت نا‬
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat
dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa
senang.” (QS: al-A’raaf : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan
keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar
tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah),
pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling
menyantuni (Rohmah).5
Selain dalil al-Qur’an, dalam Sunah Nabi juga dijelaskan
mengenai pernikahan ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda” “Wahai para
pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan,
maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak
memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab
puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).6

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan tahun 1974


Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang rumusannya:7
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,
perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan,
pereundang
– undangan yang berlaku.
5
Moh. Idris Ramulyo, Op.Cit. hlm. 3-
4 6Wahbah Az-Zuahaili, Op.Cit. hlm.
40 7Moh. Idris ramulyo, Op.Cit, hlm.
50
Akad 5

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam


Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2
dan 3 disebutkan bahwa:
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.8
4. Syarat Sah Sighat Ijab Qabul
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara
dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab
dan qabul.9 Sedangkan ijab adalah lafadz yang berasal dari wali
atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah lafadz
yang berasal dari suami atau orang yang mewakilinya. Untuk
terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada
suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut10:
a. Kedua mempelai sudah tamyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan
belum tamyiz, maka pernikahan tidak sah.
b. Ijab qabulnya dalam satu majlis.
Yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh
diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap
ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab dan qabul.
Hal

8
Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 114
9
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana,
2007). hlm. 61
10
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah Jilid 6. (Bandung: PT. Alma’arif, 1980). hlm. 53
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

ini diperkuat di dalam KHI Pasal 27, 11 bahwa ijab dan qabul
antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun
dan tidak diselangi waktu. Hal ini juga didukung oleh Syafi’i
dan Hanbali, sementara Maliki penyelingan yang
sekedarnya, misalnya oleh khutbah nikah yang pendek tidak
apa-apa.
Sedangkan mazhab Hanafi tidak mensyaratkan segera.12
c. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab.
d. Pihak-pihak yang melakukan aqad harus dapat
mendengarkan pernyataan masing-masingnya. Dikuatkan
pula di dalam KHI Pasal 27 bahwa ijab dan qabul harus jelas
sehingga dapat didengar.
Ibnu Taimiyah mengatakan, aqad nikah ijab kabulnya
boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa
saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah
menyatakan terjadinya nikah. Para Ulama Mazhab sepakat
bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan menggunakan
redaksi “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari pihak
yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku
terima” atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang
yang mewakilinya.13 Akan tetapi mereka berbeda pendapat
tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan redaksi
fi’il madhi atau menggunakan lafadz selain nikah atau kawin.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan
dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah,
11
Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 119
12
Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al-Arba’ah Juz 4.
(Beirut: Daarul Fikr, 2003). hlm. 14.
13
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta: Lentera,
2005). hlm. 309.
Akad 5

bahkan sekalipun dengan lafadz at-tamlik (pemilikan), al-hibah


(penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘atha’ (pemberian), al-
ibahah (pembolehan), dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang
akad tersebut disertai dengan qarinah yang menunjukkan arti
nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan dengan lafadz
al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua kata
tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.14
Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa akad nikah
dianggap sah jika menggunakan lafadz al-nikah dan al-zawaj.
Juga dianggap sah dengan lafadz al-hibah, dengan syarat harus
disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata tersebut di
atas tidak dianggap sah. Sementara itu, mazhab Syafi’i
berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata dari
lafadz al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu tidak sah.15
Lalu bagaimana dengan tuna wicara? Ijab qabul orang
bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti,
sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan
jalan isyaratnya. Tetapi Pengadilan Agama (Mesir) dalam
pasal 28 menetapkan bahwa orang bisu yang bisa menulis,
pernyataan dengan isyarat dianggap tidak sah.16 Dalam akad
nikah itu tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu
pihak. Jadi mendahulukan pihak laki-laki atau perempuan itu
sama saja (sah). Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab
fiqh dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka
dalam kitab Syarkhur Raudahh[9] diterangkan bahwa
kesalahan dalam susunan kata-kata tidak merusakkan.
Sesungguhnya kesalahan dalam redaksional selama tidak

merusak pengertian yang


14
Abdur Rahman al-Jaziri. Op.Cit, hlm. 13.
15
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit. hlm.
311 16Amir Syarifuddin, Op.Cit. hlm 59.
5 Dr. Hj. Umul Baroroh,

dimaksud, seyogyanya disamakan dengan kesalahan dalam


tata bahasa, sehingga tidak berpengaruh pada keabsahannya.
Di dalam kitab Mughni Muhtaj pun dikatakan bahwa ijab boleh
dilakukan oleh sang calon suami, sedangkan qabulnya
diucapkan oleh wali sang mempelai wanita.
5. Sighat Akad yang Dikaitkan Persyaratan Tertentu.
6. Akad Nikah yang Dibatasi Waktunya
Jika pernikahan diberi batasan waktu maka pernikahan
tersebut batal, seperti dilakukan dengan shighat tamattu’
(bersenang-senang), misalnya, “Aku bersenang-senang
denganmu sampai bulan sekian,” lantas si perempuan berkata,
“Aku terima.” Atau juga dengan memberikan tenggang waktu
yang telah diketahui maupun tidak, misalnya, “Aku
menikahimu sampai bulan atau tahun sekian atau selama
aku tinggal di negeri ini.” Macam yang pertama ini biasa
dikenal nikah mut’ah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan
nikah muaqqat (temporal).
Akan tetapi para ulama Malikish berkata, “Nikah mut’ah
atau nikah temporal, baik tepat waktu maupun tidak, suami-
istri tetap berdosa. Menurut madzhab, mereka berdua tidak
dikenakan had, dan pernikahannya secara otomatis rusak
tanpa harus didahului perceraian (talak). Ketika maksud
menikah secara temporal itu diberitahukan kepada si
perempuan ataupun walinya ketika akan, maka hal itu
membahayakan status akad. Adapun jika si suami
menyembunyikan maksud menikahi si perempuan dalam
jangka waktu selama ia berada di negeri ini atau selama satu
tahun kemudian menceraikannya, maka itu
Akad 5

tidak membahayakan, sekalipun si perempuan memahami hal


itu.
Para ulama Hanafiah juga berkata, “Barang siapa menikahi
seorang perempuan dengan niat menceraikannya setelah
berjalan satu tahun maka itu bukan merupakan nikah mut’ah.
Pendapat yang dipegang didalam kalangan hanabilah, selain
ibnu qudamah niat untuk menceraikan setelah tempo waktu
tertentu dapat membatalkan akad, sebagaimana ketika
berterus-terang.17 Dalam istilah sekarang, orang sering
mengatakan dengan istilah “kawin kontrak”.18
Dalam sejarah permulaan Islam, nikah mut’ah
diperbolehkan, terutama bagi para pejuang islam yang banyak
terlibat peperangan di luar negeri sedang mereka tidak
membawa istri. Namun kemudian dilarang lagi sebagaimana
disabdakan Nabi Muhammad Saw.:19
ْ َ َ َ
ْ ْ ْ ْ ْ ْ َ ّ َّ َ ُّ
‫يا أي ها الناس ِ ِإني ق دك نت أ ِذ نت لك م ِفي الا س ِت م‬
َّ َ َ
‫تا ِع م ن ال ِن َساء و ِإن‬
َ ْ
ْ َ َ َّ
‫حر م ذِ لك ِإلى ي و ِم‬ ‫ال ل ق د‬

.‫ال ِق َيام ِة‬

Artinya: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku


pernah mengijinkan kalian untuk bersenang-senang dengan
wanita (nikah mut’ah selama tiga hari). Dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah)
selama- lamanya hingga hari Kiamat.”
Meski pemberitahuan dari Rasulullah Saw. tentang
larangan kawin mut’ah bersifat mutawatir, akan tetapi masih
17
Wahbah Az-Zuhaili, hlm 67-68
18
A. Zuhdi Muhdlor,/Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: al-Bayan,
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,
1995), hlm. 24
19
Ibid
Akad 6

diperselisihkan tentang waktu terjadinya larangan. Riwayat


pertama menyebutkan bahwa Rasulu Saw. Melarangnya pada
waktu terjadi perang Khaibar. Riwayat kedua menyebutkan
pada tahun kemenangan. Riwayat ketiga mengatakan pada
tahun haji wada’, dan riwayat terakhir mengatakan pada tahun
umrah qadha’. Sedangkan, riwayat terakhir menyebutkan pada
perang Authas. Mayoritas sahabat dan semua fuqaha negeri
besar mengharamkannya.20
Tidak ada khilaf lagi, jumhur ulama dengan tegas
mengharamkan pernikahan mut’ah. Imam Dawud Zhahiri dan
kalangan Syi’ah memperbolehkan nikah mut’ah. Dalam kitab
Rahmatul Ummah halaman 39 disebutkan:
Seluruh ulama telah sepakat bahwa nikah mut’ah itu
batal, tidak ada khilaf lagi. Tentang adanya riwayat yang
memperbolehkan nikah mut’ah, hal itu telah dihapus
(mansukh) oleh adanya ijma’ para ulama mulai dulu sampai
sekarang semuanya. Lain halnya menurut golongan Syi’ah
(mereka memperbolehkan). Mereka mengambil riwayat Ibnu
Abbas, namun demikian riwayat ini juga menyatakan
kebatalannya.21
7. Nikah dengan Tidak Terpaksa

20
Ibnu Rusyd, Op.Cit. hlm. 125-126
21
A. Zuhdi Muhdlor, op.cit. hlm 25
Wali 5

BAB 4
WALI
NIKAH

A. Pengertian Wali Nikah


Wali adalah orang yang melakukan akad atau
mengakadkan nikah sehingga nikah menjadi sah. Suatu
pernikahan yang dilangsungkan tanpa wali, atau yang menjadi
wali bukan orang yang berhak,maka pernikahan tersebut
batal(tidak sah) Nabi bersabda: “Tidaklah sah nikah itu kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”(HR. Ahmad). Wali
nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya1
Wali adalah ayah dan seterusnya ke atas 2.Wali merupakan
suatu ketentuan hukum Islam. Mengenai wali nikah ini
termasuk persoalan wali yang berkaitan dengan manusia
,bukan dengan masalah kebendaan. Dalam suatu pernikahan
persyaratan adanya wali nikah harus dipenuhi oleh calon
mempelai perempuan yang bertindak memberi izin menikah
1
Kompilasi Hukum Islam, BAB IV, Bagian Ketiga, Pasal 19
2
Abdurrahman Al Jaziri, al Fiqh Ala Madzahib Al Arba’ah ,juz IV ,Mesir ,hal
26
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,

atau menikahkannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad


nikah itu ataupun mewakilkannya kepada orang lain.

B. Syarat-syarat Wali Nikah


Wali nikah mempunyai beberapa syarat, adapun syarat-
syarat wali yang disepakati oleh para fuqaha, yaitu:3
1. Kemampuan yang sempurna: baligh, berakal dan merdeka.
Tidak ada hak wali bagi anak kecil, orang gila, oran idiot
(yang memiliki kelemahan akal), mabuk.
2. Adanya kesamaan agam antara orang yang mewalikan dan
diwalikan. Oleh karena itu tidak ada perwalian bagi orang
non muslim terhadap orang muslim, dan sebaliknya juga.
Tidak ada hak perwalian bagi orang yang murtad terhadap
salah seorang muslim atau orang kafir. Berdasarkan firman
Allah Swt:
ْ َ ٰ ْ ُ ْ
‫وال ُم ؤ ِم نون وال ُم ؤ ِم نت ب عض‬
َ
ْ َ َ ْ ُ
‫ه ْم أ وِل ي ٓاء ب ع ٍض‬

“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,


sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain”.4
Ada beberapa syarat-syarat wali yang masih
diperselisihkan di kalangan para ulama fuqaha’, yaitu:5
1. Laki-laki. Menurut jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi, wali
3
HR ad-Daruquthni, dan dalam sanadnya terdapat keraguan, Nashbur
Raayah: 3/188. Dikutip dari Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid
9, Jakarta: Gema Insani, 2011. H. 185
4
QS. At-Taubah: 71
5
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, h. 186
Wali 6

disyaratkan memiliki jenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu


tidak ada perwalian perkawinan bagi perempuan karena
perempuan tidak memiliki perwalian terhadap dirinya
sendiri, apalagi terhadap orang lain. Akan tetapi Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa laki-laki bukanlah syarat dalam
penetapan perwalian. Seseorang perempuan yang balig dan
berakal memiliki kekuasaan untuk mengawinkan orang
yang diwakilkan oleh orang lain kepadanya.
2. Adil. Yaitu, kelurusan agama, dengan melaksanakan berbagai
kewajiban agama. Serta mencegah berbagia dosa yang besar,
seperti perbuatan zina, menimun khamar dan perbuatan
lain sejenisnya. Ini adalah syarat menurut mazhab syafi’I
dalam salah satu pendapat mereka dan mazhab Hambali. Hal
ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:

‫ال نكاح إال بشاهدي عدل وولي‬


‫مرشد‬

Artinya: “Tidak ada pernikahan tampa adanya dua saksi


yang adil, dan wali yang benar.6 Mazhab Hanafi dan Maliki
berpedapat bahwa keadilan bukanlah syarat dalam
penetapan perwalian.
3. Lurus. Maksudnya disini menurut mazhab Hambali adalah
mengetahui kesetaraan dan maslahat pernikahan, bukan
menjaga harta; karena kelurusan setiap posisi sesuai dengan

6
HR ad-Daruquthni dalam kitab sunan-Nya, juga ar-Ruyani dalam
kitab musnad-Nya, dari ‘Aidz bin Amrul Muzni secara marfu’. Hadits ini juga
diriwayatkan ole ath-Thabrani dalam al-Ausath, juga oleh al-Baihaqi dalam ad-
Dalaa’il dari Umar, dan Aslam bin Sahl dalam Taarikh Ausath dari Mu’adz
secara marfu’. Bukhari me-mu’allaq-kannya dalam kitab shahih-nya, al
Maqaashidu al- Hasanah, hlm 58. Dikutip dari Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam
wa Adillatuhu, h. 186
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,

kapasitasnya. Sedangkan menurut mazhab syafi’I maknanya


adalah, tidak menghambur-hamburkan harta. Kelurusan
adalah syarat untuk menetapkan hak perewalian menurut
mazhab syafi’I dalam satu pendapatnya dan mazhab
Hambali; karena orang yang dilarang untuk membelanjakan
hartanya karena sebab kebodohan, tidak bisa melaksanakan
sendiri perkara perkawinannya. Jika orang yang bodoh tidak
dilarang untuk membelanjakan hartanya, boleh baginya
untuk mengawinkan orang lain dalam pendapat mazhab
Syafi’I.
Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, kelurusan
dalam makna benar dalam menjalankan hartanya bukanlah
syarat untuk ditetapkannya perwalian. Oleh karena itu,
orang yang bodoh dan dilarang untuk membelanjakan
hartanya boleh melaksanakan perkawinan orang lain. Akan
tetapi menurut mazhab Maliki, perkawinan yang
dilaksanakan oleh orang bodoh yang memiliki pendapat
harus seizing orang yang diwalikan, dan walinya.

C. Macam-macam Wali Nikah


Macam-macam wali dapat dirincikan sebagai berikut:
Wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah dibedakan
menjadi dua:
1. Wali Nasab
Wali nasab ini terdapat tiga kelompok, berdasarkan erat
tidaknya hubungan nasab atau kekerabatan dengan calon
Wali 6

mempelai perempuan, maka urutannya dari yang tererat


sampai yang terjauh nasabnya, adalah sebagai berikut:
a. Urutan pertama merupakan kelompok yang terdekat
nasabnya dengan mempelai pempuan. yaitu.ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.
b Urutan kedua adalah merupakan kelompok kedua yang
terdiri dari kerabat saudara laki-laki kandung atau saudarta
laki-laki seayah dan keturunan anak laki-lakinya.
c. Urutan ketiga yang menjadi kelompok ketiga adalah
kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung
ayah, saudara laki-laki seayah dari ayah badan anak laki laki
keturunan mereka.
d. Yang terakhir yang paling jauh adalah saudara laki-laki
kandung kakek.
Urut-urutan wali seperti 4 kelompok diatas didasarkan
pada kedekatan nasabnya dengan mempelai perempuan,
terkecuali tidak ada, menderita sakit, tuna rungu, tuna wicara
dan sebagainya. Persoalan wali ini merupakan persoalan
klasik, yang para ulama menyepakatinya berdasarkan surat al
Baqarah 232.
َّ َّ
َّ َ
َ
‫و ِإذاط لق تم ال ِنس ٓاء فبلغنأ جلهنف لات عضلوهن أن‬
َ ْ ۟
‫ينكحنأ زوجهن‬ ُ ْ َ ْ َ ْ َٰ َ َ
ُ ُ ‫إ ذا ت رض وا ب ل َيمن عه ُر‬
‫م ِبوا‬
‫ك يوع ظ ِب ِه من كان‬ ‫َ َ ف‬
َّ ُ ْ ُ ْ َ
‫ِمنك م ي ؤ ِم ن ِبالل‬ ۗ
َ َٰ
‫ذِ ل‬
َ ْ َّ َ َ َ ْ
ْ ُ
‫والل ي ع ل م وأنت م‬َ ‫لا‬ ‫ت‬ ‫ع ل مون‬ ُ
‫‪6‬‬ ‫‪Dr. Hj. Umul Baroroh,‬‬
‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ل‬
‫ط ه ُۗر وأ‬ ‫و‬
‫ْم‬
‫ا‬
‫ك‬
‫ل‬
‫َي‬
‫ْ‬
‫و‬

‫م‬

‫ا‬
‫ال‬
‫ء‬

‫خ‬

‫ِ ۗ‬
‫ر‬
‫ذ‬
‫ل‬
‫ك‬

‫م‬

‫أ‬
‫ْ‬
‫ز‬
‫ك‬

‫ى‬
Wali 6

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu


habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan
hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Juga Sabda Nabi Muhammad Saw tentang wali(HR Ahmad,
Abu Daud,Ibn Majah dan Turmudli. Juga Sabda Rosul yang
lain bahwa nikah tidak sah kecuali ada wali. Dalam masalah
Wali mujbir dan masalah kawin paksa. Di dalam kajian fikih
munakahat memang ada pembahasan tentang wali mujbir.
Waji mujbir adalah ayah dan ayah dari wali mujbir atau
kakek. Menurut Imam Syafii wali mujbir adalah seorang wali
yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridlaan anak
perempuan yang akan dikawinkan.
Sedangkan kawin paksa adalah kewenangan wali mujbir
untuk mengawinkan anaknya yang masih perawan atau gadis
ataupun sudah janda tetapi belum setubuh, tanpa izin dari
anak perempuan tersebut, dengan seorang pria yang sepadan
(kufu). Secara umum dalam kitab-kitab fikih klasik seperti
‘Ia’anatuth Thalibin, menjelaskan tentang kewenangan wali ini.
Di dalam Hukum perkawinan di Indonesia, UU No I
tahun 1974 , telah dinyatakan dalam BAB II pasal 6 ayat 1
bahwa: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai.Sedang pasal 2 menyebutkan bahwa Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,

umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua


orangtuanya.7 Dengan demikian maka menurut hukum fikih
Islam Indonesia, tidak diperkenankan adanya wali mujbir.
Artinya orang tua harus meminta persetujuan anaknya
sebelum menikahkannya. Tata cara seperti inilah yang
dituntunkan oleh Rasulillah SAW. Rasulullah sangat
menekankan bahwa pernikahan sesungguhnya adalah
hubungan abadi, pergaulan suami istri yang langgeng, serasi
dan diharapkan cinta dan kasih yang antara suami istri itu
akan terus terbina dan teerwujud. Keadaan yang sperti ini
mustahil tejadi apabila antara kedua pihak tidak ridlo akan
akad yang dilaksanakan. Jadi Perundangan di Indonesia, tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, atau sejalan guna
mewujudkan rumah tangga penuh sakinah mawaddah wa
rahmah.jadi perundangan di indonesia, tidak bertentangan
dengan ajaran islam, atau sejalan gun mewujudkan rumah
tangga penuh sakinah mawaddah wa rahmah.
Dengan tidak diperkenankannya wali mujbir maka
otomatis ada persetujuan kedua mempelai padawaktu sebelum
akad. Dengan kondisi saling ridla ini diharapkan tercapai
keluarga yang kekal,sakinah mawadah wa rahmah.
2. Wali Hakim
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
gaib atau adlal atau enggan.8 Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim

7
UU Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Karya Ilmu ,tt), hlm. 10
8
Kompilasi Hukum Islam, BAB IV, Bagian Ketiga, Pasal 23
Wali 6

baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan


pengadilan Agama tentang wali tersebut.9
Wali hakim dalam sejarah hukum perkawinan di
Indonesia, pernah muncul perdebatan. Hal ini bermula dari
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Nabi
Muhammad bersabda sultan adalah wali bagi wanita yang
tidak memiliki wali.10
Pengertian sultan adalah raja atau penguasa, atau
pemerintah. Pemahaman yang lazim, kata sultan tersebut
diartikan hakim, namun dalam pelaksanaanya, kepala Kantor
urusan Agama (KUA) kecamatan atau Pegawai Pencatat Nikah,
yang bertindak sebagai wali hakim dalam pelaksanaan akad
nikah bagi mereka yang tidak mempunyai wali atau, walinya
adlal. Asal masalah yang utama seperti termaktub dalam pasal
1 Huruf b KHI, adalah persoalan tauliyah al-amri. Apakah
cukup legitimasi yang di pegang oleh penguasa di Indonesia,
dalam pendelegasian wewenang, sehingga dengan adanya
kewenangan yang dimaksud, berarti sultan sebagai wali hakim
pelaksanaanya sesuai hakikat hukum.11
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang
yang di angkat oleh pemerintah (Menteri Agama)12 untuk
bertindak sebagai sebagai wali dalam suatu pernikahan, yaitu

9
Ibid, h. 24
10
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm 19
11
Ibid.,
12
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang
di tunjuk menjadi wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan.
6 Dr. Hj. Umul Baroroh,

apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi:


a. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
b. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya), atau
c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali
yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
d. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh
perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5
km) atau
e. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di
jumpai.
f. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk
menikahkanya.
g. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh
atau.13
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas,
maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut
adalah wali hakim. Tetapi di kecualikan bila, wali nasabnya
telah mewakilakan kepada orang lain untuk bertindak sebagai
wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi
wali dalam pernikahan tersebut.14 Dalam Peraturan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah, masalah perwalian diterangkan dalam BAB

IX Tentang
13
Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek
peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakata: 2003), hlm 34
14
Ibid., hlm. 35
Wali 6

akad nikah pasal 18, untuk lebih jelasnya akan dikutip sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) “Akad nikah dilakukan oleh wali wali nasab.”
(2) “Syarat wali nasab adalah:”
(a) Laki-laki
(b) Beragama Islam
(c) Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun
(d) Berakal
(e) Merdeka dan
(f) Dapat berlaku adil.
(3) “Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat
mewakilkan kepada PPN, Penghulu, pembantu PPN atau
orang lain yang memenuhi syarat.”
(4) “Kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim,
apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali
nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.”
(5) “Adhalnya wali sebagaimana di maksud pada ayat (4)
ditetapkan dengan keputusan Pengadilan.”15
Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah
hadis dari Aisyah ra:

15
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007
entang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama RI
Tahun 2007 hlm 8.
7 Dr. Hj. Umul Baroroh,

‫أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل بها‬
‫فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي‬
)‫من ال ولي لها (رواه األربعة و أحمد‬

Artinya: “Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin


walinya, nikahnya batal, maka dia menerima mahar sekedar
untuk menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan atau
menolak menikahkanya, maka sultan (hakim)lah yang
berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki
wali. (Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i).16

16
Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo: Dari ihya, Al-Turas,
Al-Araby, 1379H/1960M, hlm. 117-118
70 Dr. Hj. Umul Baroroh, Wali 7
M.Ag,
Saksi 7

BAB 5
SAKSI
NIKAH

A. Syarat Sah Nikah


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka
perkawinan itu sah, dan konsekuensinya akan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah
syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu
syarat- syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga
perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada
inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai
dan berdasarkan ijtihad para ulama. Menurut jumhur ulama,
rukun perkawinan itu ada lima, dan masing-masing rukun itu
mempunyai syarat-syarat tertentu. Kelima rukun itu adalah
calon suami, calon isteri, wali nikah, saksi nikah, dan ijab qabul.
Sedangkan mahar (maskawin) kedudukannya sebagai
kewajiban perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan.1
1
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yokjakarta:
Graha Ilmu, 2011), hlm. 10
7 Dr. Hj. Umul Baroroh,

B. Syarat-syarat Saksi Nikah


Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara
langsung akad pernikahan, yang berfungsi memberitahukan
kepada masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak
timbul kesalahpahaman. Masalah saksi pernikahan dalam al-
Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk
masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau
masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan. Dalam KHI
menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.2
Imam Ābu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik
bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat
sahnya nikah. Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan
tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab
dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-
saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan
atau memberitahukan kepada orang-orang. Pernikahan tidak
sah tanpa dua orang saksi selain wali, karena sabda Nabi
Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Aisyah:3

‫ال نكاح إلا بولي و شاهدى عدل‬

Artinya: “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua


orang saksi yang adil.”(HR. Darul Qutni dan Ibnu Hibban).

2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: CV.
Akademika Pressindo, 1992), hlm. 119.
3
Prof. Dr. Wabhah Az-Zuahili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), hlm. 73-74.
Saksi 7

‫ا‬ÐÐ‫هن ينكحن الالتى البغاي‬ÐÐ‫ير أنفس‬ÐÐÐ‫ة بغ‬ÐÐ‫بين‬


Artinya: “Perempuan tuna-susila adalah yang menikahi
dirinya sendiri tanpa keterangan (pembuktian).” (HR.
Tirmidzi).4
Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan
secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Dalam
KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad
nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.5 Disini para
ulama berbeda pendapat mengenai syarat-syarat dua orang
saksi, dari kalangan jumhur seperti syafi’iyah dan hanabilah
mensyaratkan dalam kesaksian adalah dua orang laki-laki,
berdasarkan hadis Nabi saw, yang artinya: tidak diperbolehkan
kesaksian seorang wanita dalam hukuman, pernikahan dan
perceraian.
Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu, dan
berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki, atau
dengan satu orang laki-laki dan dua orang wanita, berdasarkan
surat al Baqarah ayat 282, yang artinya :
َ ْ َ
‫َر‬ ‫ل‬ ‫ر ْ ِإ ْ يكو‬
ْ
‫وا س ت ش ش ِهي‬
ْ
َ ْ َ َ ُ َ
‫ج‬
ُ
‫ي‬
ْ ‫نا‬ ‫ه دوا د ْي ن ن جا م ن َ م‬
ٌ ِ ِ
‫ف‬ ‫ل‬
‫ل‬ ‫ِن ر‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫م‬
‫ف‬ ُ
‫ج‬
ُ َ َ ْ
‫ت ِ ْح ف ت‬ َ ‫َ ا داء‬
‫و ن ض‬
ّ َ َ
‫داه ذ ِ ك‬ ‫ض‬ ‫ن ل ْ أ ه‬
َ َّ ‫م شن‬
َ ‫ما إ‬ ‫ل‬
‫ر‬
7 Dr. Hj. Umul Baroroh,

‫ْر ت‬ َّ َ
ْ ‫وامَ رأ تان م‬
‫ن‬
َ َ ْ
‫ِإ ح داه ما‬
‫األخ َرى‬
Artinya: “Persaksian dengan dua orang saksi dari kaum
lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-
saksi yang kamu ridhai.”(QS. Al-Baqarah: 282).
4
Ibid.
5
Abdurrahman, Op.Cit. hlm. 119
Saksi 7

Kemudian Imam Hanafi berpendapat bahwa jika


pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa
karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman.
Namun Imam Syafi’i mempunyai pendapat bahwa saksi
mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan,
jadi disyaratkan saksi yang adil.
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 7

BAB 6
MAHAR, KHUTBAH NIKAH DAN
WALIMAH

A. Mahar
1. Pengertian Mahar
Yang dimaksud dengan mahar adalah maskawin,
yaitu suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian
mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun mahar
ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam
suatu pernikahan dianggap penting, karena selain memang
diwajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan
dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami
kepada calon istrinya.1 Āllah swt berfirman:
ْ
‫ف‬ ْ ْ ‫ْب ْش‬ ْ ُ
ً ‫ى‬ ‫ف‬ ‫نح‬ ‫د‬ ‫و َءاتوا ال ِن َس ٓاء ص‬
‫ِإن َ َ م ٍء عن ن سا‬ ً َ َّ َٰ
‫نل‬ ‫ة‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ت‬
ِ ِ ‫ق‬
‫ن‬ ُ
‫ه‬
‫ط ك‬
‫م‬
َّ ‫ه‬
‫ٓيـا مِ ر يٓ ـا‬
ِ
‫ن‬
7 Dr. Hj. Umul Baroroh,
ُ
‫فك لوه‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan
1
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah
Kelas XI,. ., hal. 66.
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 7

kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian


dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”.(QS. An-Nisa: 4).2
Maskawin itu menjadi milik sepenuhnya si istri. Suami
tidak mempunyai hak apapun atas harta maskawin itu.
Sebagaimana juga tidak berhak atas harta benda si Istri.
Apabila si istri merelakannya kepada suami hal itu tidak
mengapa.3 Cara pembayaran maskawin dapat dilakukan
dengan dua cara, pertama, pembayaran dilakukan secara tunai
(cash) dan kedua pembayaran dilakukan di hari kemudian
(utang, credit). Dalam kasus mahar yang dibayar di kemudian
hari, mahar boleh disebutkan kuantitas dan kualitasnya dalam
akad perkawinan, juga kuantitas dan kualitas boleh tidak
disebutkan.4
Akan tetapi apabila telah terjadi hubungan seksual antara
suami istri atau suami meninggal dan belum terjadi hubungan
seksual, maskawin wajib dibayar seluruhnya. Tetapi Imam
Malik berpendapat apabila suami meninggal sebelum terjadi
hubungan seksual, tidak wajib membayar maskawin. Dalam
keadaan begini, menurut Malik, istrinya menerima waris saja. 5
Apabila suami menceraikan istrinya yang belum dicampuri,
jika maharnya sudah ditentukan besarnya, maka mantan
suami wajib membayar separuhnya. Akan tetapi apabila
belum ditentukan besarnya maka mantan suami tidak wajib
membayarnya melainkan wajib membayar mut’ah. Mut’ah

ialah
2
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi tahun 2002.
3
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2, (Yoyakarta: Dana Bakhti Wakaf, 1995),
hal. 86.
4
Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 257.
5
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2,................., hlm. 87.
7 Dr. Hj. Umul Baroroh,

pemberian mantan suami kepada mantan istrinya yang dicerai


sebagai kenang-kenangan dan penghibur baginya.6 Allah swt
berfirman dalam surat Āl-Baqarah 236-237:
ْ ْ َّ
َ ْ َ َّ
‫هن أو تف‬ ‫ساو‬
‫ست ٓامء م‬ ‫ن طلقت م ال ل ِنم‬ ‫لا ج ن اح عل ي ِإكم‬
‫ِرضوا لهن‬
َٰ َ َ ْ ََ َ َ ْ ُُ ّ ً َ
َّ َ
‫وعلى ال ُمق ِت متع‬ ‫وس‬ ُ ‫ف ِ ريضة ۚ و م ِتع وه ن عل ى ال ُم‬
‫ا‬ ُ ‫ْ ِع قد ره‬ ْ
‫ِر قد ُر ه‬ َ ًّ
ْ
‫ف حقا ْعلى ال ُ م‬ ۖ ‫بال َم عُ رو‬
‫ح ِس ِ َنين‬
َ َّ َّ ُ َّ
َّ َ
‫و ِإنط لقتمو هن ِمنق بِ ل أنت مسوهنو قدف رضتمل هنف ِ ريض ة ف‬
‫ِن َصف‬ َّ ۟ َ َ َّ
ْ ْ ْ
‫ما فرضتم ِإل ٓا أن ي عفون أو ي عفوا ال ِذى ِب ي ِد ِه‬
ُ َ ْ ۟ َ
‫عقدةال ِنكا ِحۚ وأن تعفوا‬
ُ
َ َّ َّ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ َّ ْ
‫م ِإن ا لل ِب‬ ۚ ْ ‫ى ولا تن َس وا ال فضل ب ي نك‬ ۚ ‫أ قَ رب ِللت ق و‬
ٌ َ َ ْ َ َ
‫ما ت ع َملو ن ب ِصي ر‬

Artinya:“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas


kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu
mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 7
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan isteri-
isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal
Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,

6
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah
Kelas XI,. ., hal. 67.
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,

kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan


oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema’afan
kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”7
2. Macam-macam Mahar
Mahar, atau disebut maskawin dalam bahasa Indonesia,
dibagi dalam 2 macam:
a. Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya
ditetapkan dalam sighal akad nikah. Mahar ini bisa
dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan
persetujuan kedua belah pihak.
b. Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan
menurut jumlah yang diterima keluarga pihak isteri, karena
pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum
ditetapkan.8
Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya
jumlah mahar yang diberikan pihak laki-laki, islam tidak
menetapkannya dengan tegas, karena adanya perbedaan kaya
dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Pemberian mahar
terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang
terkandung di dalamnya. Karena Islam menyerahkan masalah
ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat
yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak
berbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat,
membahayakan atau berasal dari usaha yang haram. 9

7
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Edisi tahun 2002.
8
http://elisa.ugm.ac.id.
9
Djedjen Zainudin dan Mundzier Suparta, Fiqih Madrasah Aliyah Kelas XI,
hlm. 66.
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 8

Di indonesia, bentuk mahar pada umumnya adalah


perhiasan emas dan perlengkapan/alat shalat. Dibolehkan pula
mahar dengan kitab suci Alquran, sepasang sendal, bahkan
mahar yang berbentuk non materi, seperti membaca ayat-ayat
Alquran. Banyak hadits Nabi saw yang menerangkan aneka
ragam bentuk mahar yang diberikan pihak laki-laki. Antara
lain:

‫ِد ْي ٍد (رواه‬ ْ َ ْ َ
‫بخات‬ ‫ت زَّو ج‬
‫البخاري) ح‬
‫ٍم ن‬
‫ل‬
ْ
‫م‬ ‫و‬
‫و‬
Artinya:“Nikahlah engkau walaupun (maharnya) berupa
cincin dari besi.”(HR. Bukhari).
ْ َ
ْ َ َ ً َ ً َ ْ َ ْ ً ُ َّ ْ
‫ل و ان ر جلا ا ع طى ِا م ر أ ة ص دا قا م ل ء ي د ي ِه‬
ً َ ُ ً َ
‫ط عا ما كا نت ه حلال ا‬
)‫(رواه احمد و ابو داود‬

Artinya:”Seandainya seorang laki-laki memberikan makanan


sepenuh tangannya saja sebagai mahar seorang perempuan,
maka perempuan itu halal baginya.” (HR. Ahmad dan Abu
Daud).
Adapun syarat-syarat mahar, dapat disebutkan sebagai
berikut:
a. Benda yang suci, atau pekerjaaan yang bermanfaat.
b. Milik suami.
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,
c. Ada manfaatnya.
d. Sanggup menyerahkan, mahar tidak sah dengan benda yang
sedang dirampas orang dan tidak sanggup menyerahkannya.
e. Dapat diketahui sifat dan jumlahnya.10
10
Moh. Rifa’I, Fiaih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978),
hlm. 464.
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 8

B. Khotbah Nikah
1. Pengertian Khotbah Nikah
Khotbah pernikahan merupakan sesuatu hal yang penting
dilakukan oleh seseorang dalam pernikahan, karena khotbah
nikah bisa menjadi ilmu atau bekal untuk menjalani kehidupan
dalam berumah tangga. Kata khotbah berasal dari kata
“Khutbah” yang berarti ceramah atau pidato. Jadi khutbah
nikah adalah ceramah atau pidato yang berisi tentang
pernikahan yang disampaikan oleh seseorang sebagai ilmu
untuk menjalani kehidupan baru dalam berumah tangga.

2. Dalil Tentang Khotbah Nikah


Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang khotbah
nikah. Khotbah nikah merupakan sesuatu yang tidak wajib dan
tidak menjadi syarat dalam pernikahan, akan tetapi khotbah
nikah dipandang perlu, karena sebagai bekal untuk mempelai
laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan baru
dalam berumah tangga. Dalam khotbah nikah sedikitnya
khotbah nikah itu adalah mengucapkan kalimat hamdalah dan
shalawat kepada Rasulullah SAW. sebagaimana sabda Nabi
Saw.:

‫عن ابي هريرة ان رسول الل (ص) قال كل خطبة ليس‬


‫فيها‬
‫تشهد فهي كاليدالجذماء‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.


bersabda: “Setiap khotbah tanpa membaca tasyahud laksana
tangan yang kena penyakit lepra.11

11
H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau berkata hadist hasan gharib
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,

‫عن ابي هريرة ان رسول الل (ص) قال كل امر ذي بال ال‬
‫يبدأ فيه‬
‫بالحمدالل فهو اقطع‬

Artinya:“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.


bersabda: “Tiap perkara yang penting tidak dimulai padanya
Alhamdulillah maka terputuslah keberkahannya.”12
Maksud hadits di atas adalah, setiap perkara yang punya
arti dan oleh yang berkepentingan dianggap perlu sehingga
menaruh perhatian besar, maka kalau dalam mengerjakannya
tidak didahului dengan membaca hamdalah maka terputuslah
berkahnya. Dan bukanlah yang dimaksudkan disini bacaan
hamdalah saja, tetapi adalah dzikrullah. Hal ini sesuai dengan
riwayat-riwayat lain. Dan sebaiknya dalam khotbah nikah
ini menggunakan khotbah hajat. Dari Abdullah bin Mas’ud ia
berkata: “Rasulullah saw. diberi kepandaian berbicara ringkas
dan padat, terang dan berisi.”
Atau katanya: “Kunci-kunci kebaikan.” Beliau mengajarkan
kepada kami khotbah sholat dan khotbah hajat. Khotbah
Sholat: Segala kehormatan, pengabdian, dan kebaikan milik
Allah. Segala kebaikan rahmat dan berkah bagi engkau wahai
Nabi. Segala keselamatan bagi kami, dan semua hamba Allah
yang baik. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah
selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan khotbah hajat: “Sesungguhnya
segala puji adalah milik Allah. Kami memuji-Nya. Minta tolong
kepada- Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan berlindung
kepada- Nya dari nafsu-nafsu kami yang jahat dan perbuatan
kami yang
12
H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majjah
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 8

tidak baik. Barang siapa mendapat petunjuk dari Allah maka


tidak yang menyesatkannya, dan barang siapa Allah sesatkan
maka takkan ada yang dapat menunjukinya. Dan saya bersaksi
bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sendiri
saja, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bahwa Muhammad
adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Kemudian sambunglah
khotbahmu dengan tiga ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an.
َّ َّ َ َّ َّ َّ َ
ُ َّ ُ ‫م‬ َ
‫يأيها ال ِذين ءا نوا اتقوا الل حق ولا تموتن ِإلا وأنتم مس‬
‫ِلمون‬ ‫تقات ِه‬

Artinya: “Hai orang-oarang yang beriman bertaqwalah


kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya;
dan janganlah kamu meninggalkan dunia melainkan dalam
keadaan beraga islam.”13
ْ َّ َ
َّ ُ َّ َّ َ

‫ِحد ٍة‬ ‫اتقوا ِذى خلق كم من‬ ‫يأيها الناس‬


‫وخلق و‬ َ ‫م‬ ‫ك‬‫ب‬‫ر‬
‫نف ٍس ال‬
ُ َّ ْ َّ ْ
‫قوا‬ ‫م ن َها ز و َب ث م ن ُه َما ر َجالا ك وات‬
َّ َ
‫ا لل‬ ‫ِثيرا و ِن َس ٓاء‬ ‫ْوج ها‬
َ َ َّ َّ ْ ُ َّ
َ
‫ر ِقيبا‬ ‫والأرحام ۚ إن الل كان‬ ِ ‫ال ِذى تسٓاءلون‬
‫عليكم‬ ‫ه‬

‫ب‬
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri
(Adam), dan dari padanya Allah mencipatakan isterinya
(Hawa). Dan dari padanya Allah memperkembangbiakan
laki-laki dan perempuan banyak. Dan bertaqwalah kepasa
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
salaing meminta

13
Ali-Imran: 102
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 8

satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahim.


Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”14
(QS. An-Nisa’ Ayat: 1).
ً ُ َ َّ َّ َ
َّ ُ ‫م‬ َ
‫يداوا الل وق ولوا قولا‬ ‫دق‬
‫يأيها ال ِذ ين ء ا نسو ِا ات‬
ُ َ ُ َ
ُ ُ َّ ْ ْ
َٰ ْ
‫م ُسو‬ۗ ْ ‫يص ِل ح لك ْم أع ملك ْم و َيغ ِفْ ر لك ْم ذنوبك‬
ُ َ
‫و من ُي ِط ِع الل ل ه‬
‫و َر‬
ً ْ ْ َ
‫ف ق د فاز ف و زا ع‬
‫ِظيما‬

Artinya: “Hai orang-oarang yang beriman, bertaqwalah


kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
Niscaya allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa
menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Ia telah
mendapat kemenangan-kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab:
70-71)

3. Hikmat Khotbah Nikah


Adapun hikmah dari khotbah nikah adalah sebagai berikut:
a) Untuk memberikan pengetahuan tentang pernikahan
kepada mempelai
b) Untuk memberikan nasehat-nasehat kepada mempelai
bahwa pernikahan itu merupakan sesuatu yang sacral dan
merupakan ibadah.
8 Dr. Hj. Umul Baroroh,

14
An-Nisa’: 1
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 8

C. Walimatul ‘Ursy
1. Pengertian Walimatul ‘Ursy
Walimah arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada
waktu itu berkumpul suami isteri. Dalam istilah walimah yaitu
khusus tentang makan dalam acara pesta perkawinan.15 Dalam
kamus hukum walimah juga adalah makanan pesta penganten
atau setiap makanan untuk undangan dan lain sebagainya. Jadi
walimatul ‘ursy adalah acara pesta pernikahan yang dihadiri
oleh tamu undangan, untuk pemberitahuan bahwa pasangan
tersebut sudah melangsungkan pernikahan.

2. Dasar Hukum
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa merayakan walimatul
‘ursy hukumnya sunah mu’akadah, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW

‫قال رسول الل لعبد الرحمن بن عوف اولم ولو بشاة‬

Artinya:“Rasulallah Saw. Bersabda kepada Abdur Rahman


bin Auf “adakah walimah, sekalipun dengan seekor
kambing.”

,‫ ما او لم رسول الل (ص) على شيئ من نسائه‬: ‫عن انس قال‬


‫ما او‬
‫على زينب او لم بشاة‬

Artinya: “Dari Anas, ia berkata: “Rasulallah saw.


Mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk isteri-
isterinya dan untuk Zainab.”16

15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 7, Bandung: al-Ma’arif, 1994. H. 166
16
HR Bukhari dan Muslim
9 Dr. Hj. Umul Baroroh,

)‫ لما خطب على فاطمة قال رسول الل (ص‬: ‫عن بريدة قال‬
‫انه ال‬
‫بد للعرس من وليمة‬

Artinya: “Dari Buraidah, ia berkata: “ Ketika Ali melamar


Fatimah, Rasulullah saw. Bersabda: “Sesungguhnya harus,
untuk pesta perkawinan ada walimahnya.”

‫قال انس ما او لم قا ل رسول الل (ص) على امرة من‬


‫نسائه ما اولم على زينب وجعل يبعثني فأدعو له الناس فأطعمهم‬
‫خبزا ولحما‬
‫حتى شبعوا‬

Artinya:“Anas berkata: “Rasulallah saw. tidak pernah tidak


mengadadakan walimah bagi isteri-isterinya, juga Zaenab.”.
Beliau memulai menyuruh aku, lalu aku panggil orang atas
nama beliau. Kemudian beliau hidangkan pada mereka roti
dan daging sampai mereka kenyang.(HR. Ahmad).
Dari hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa walimatul
‘ursy merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh Nabi SAW,
karena begitu pentingnya walimatul ‘ursy, maka nabi
menyuruh melaksanakan walimatul ‘ursy meskipun hanya
dengan seekor kambing atau sesuai kemampuan dari
pengantin tersebut. Menurut jumhur ulama’ walimah
merupakan sesuatu hal yang sunnah dan bukan wajib.17
Walimah dapat dilakukan ketika aqad nikah atau sesudahnya,
atau katika hari perkawinan (mencampuri isterinya) atau
sesudanya. Hal ini leluasa tergantung kepada adat dan

kebiasaan. Dalam riwayat Bukhari


Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 9
17
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, ter. Muhammad Abdul
Ghoffar, (Jakarta: al-Kautsar, 2013). H. 516.
9 Dr. Hj. Umul Baroroh,

disebutkan bahwa Rasulullah megundang orang-orang untuk


walimahan sesudah beliau bercampur dengan zainab.

3. Hukum Menghadiri Undangan Walimah


Menghadiri undangan walimah adalah wajib bagi yang
diundang karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan
dan menggembirakan. Nabi Saw. bersabda:

‫ إذا دعي احدكم‬: ‫عن ابن عمر ان رسول الل (ص) قال‬
‫إلى ولمة‬
‫فليأتها‬

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasululkah saw., telah


bersabda “jika salah seorang diantaramu diundang
kewalimahan; hendaklah ia datangi.”18

‫عن ابي هريرة ان رسول الل (ص) قال ومن ترك‬


‫الدعوة فقد‬
‫عصى الل ورسوله‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw.


telah bersabda “barang siapa meninggalkan undangan,
sesungguhnya ia telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-
Nya”.19
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
1. Tidak ada udzur Syar’i
2. Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan
munkar.
3. Tidak membedakan kaya dan miskin.
18
HR Bukhari
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 9
19
ibid
9 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Jika undangan bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-


orang tertentu maka tidak wajib mendatangi dan tidak pula
sunnah. Contohnya, seorang pengundang mengatakan: Wahai
orang-orang banyak datanglah kewalimahan saya, tanpa
disebut orang-orang secara tertentu atau ia katakan,
undanglah tiap orang yang engkau temui. Nabi saw. pernah
melakukan ini, sebagaimana hadits dari Anas: “Anas berkata: “
Nabi saw. kawin lalu masuk kepada isterinya. Kemuadian ibuku
membuatkanku kueh untuk Ummu Sulaim, lalu beliau
tempatkan pada bejana. Lalu ia berkata “Wahai saudara-
saudaraku...,bawalah ini kepada Rasulullah saw…Lalu aku bawa
kepada beliau, maka sabdanya: “Letakkkan.” Kemudian
sabdanya lagi: “Undanglah si anu dan si anu. Dan orang-orang
yang ketemu. Lalu saya undang orang- orang yang disebutkan
dan saya temuinya”. (H.R. Muslim).
Ada yang berpendapat: Menghadiri undangan hukumnya
wajib kifayah. Dan ada yang berpendapat: hukumnya sunnah.
Adapun menghadiri undangan selain walimah, maka menurut
Jumhur ulama dianggap sebagai sunnah muakkadah. Sebagian
golongan syafi’I berpendapat adalah wajib. Tetapi Ibnu Hazm
menyangkal bahwa pendapat ini dari Jumhur Shahabat dan
Tabi’in. Karena hadist-hadist di atas member pengertian
wajibnya menghadiri setiap undangan baik undangan
perkawinan atau lain-lain.20
Dalam Fathul Bari, Āl-Hafidh berkata: Syarat undangan
yang wajib didatangi ialah:21
a) Pengundangnya sudah mukallaf, merdeka dan sehat akal.
b) Tidak khusus buat orang-orang kaya saja, sedang yang tidak
miskin.
20
Dikutip dari Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 169
21
Ibid., 169
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 9

c) Tidak hanya tertuju kepada orang yang tidak disenangi dan


dihormati saja.
d) Pengundangnya beragama islam, demikianlah pendapat
yang lebih sah.
e) Khusus hari pertama, demikianlah pendapat yang terkenal.
f) Belum diketahui oleh undangan lain. Kjalau ada undangan
lain, maka yang pertama wajib didahulukan.
g) Tidak ada kemungkaran dan lain-lain yang menghalangi
kehadirannya.
h) Yang diundang tak ada udzur.
Dalam masalah tamu undangan, maka makruh
mengundang orang kaya saja Pesta walimah dengan
mengundang orang kaya saja dan orang miskin tidak,
hukumnya adalah makruh.

‫عن ابي هريرة ان رسول الل (ص) قال شر طعام الوليمة‬


‫يمنعها من يأتيها ويدعى اليها من يأباها ومن لم يجب الدعوة فقد‬
‫عصى‬
‫الل ورسوله‬

Artinya:“Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad


saw. bersabda: “makanan yang paling jelek adalah pesta
perkawinan yang tidak mau mengundang orang yang mau
datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang
yang enggan datang kepadanya (kaya). Barang siapa tidak
memperkenankan undangan maka sesungguhnya durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Muslim)
9 Dr. Hj. Umul Baroroh,

4. Bentuk Walimah
Islam mengajarkan kepada orang-orang untuk
melaksanakan walimah, akan tetapi walimah tersebut tidak
boleh berlebihan, serta harus sesuai dengan kemampuan
seseorang yang melaksanakan pernikahan.

5. Hikmah walimah
Adapun hikmah walimah dapat dirincikan sebagai berikut:
a. Sebagai sarana untuk memberitahukan kepada masyarakat
bahwa seseorang tersebut sudah melangsungkan
pernikahan supaya tidak ada fitnah terhadap pasangan
tersebut.
b. Ungkapan rasa syukur kepada Allah, bahwa pasangan
tersebut disatukan cinta mereka dalam ikatan perkawianan
c. Untuk bisa berbagi kebahagian dengan sesema.
d. Untuk melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan meneladani perbuatan beliau.
e. Untuk memberi makan para fakir miskin. Adanya
silaturahmi jika mereka yang menyelenggarakan pesta
pernikahan tersebut masih kerabat dekat.
90 Dr. Hj. Umul Baroroh, M.Ag,
Mahar, Khutbah Nikah, dan Walimah 9
Kewajiban Suami-Istri 91

BAB 7
KEWAJIBAN SUAMI-
ISTRI

A. Pengantar
Sebelum membahas mengenai bagaimana hak dan kewajiban
suami istri, maka kita harus terlebih dahulu memahami apa
yang dimaksud dengan hak dan kewajiban. Dalam kamus
bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian dengan sesuatu
yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk
berbuat seusatu (karena telah ditentukan oleh Undang-
Undang, aturan dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas
sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Sedangakan kewajiban
adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu
hal yang harus dilaksanakan).
Pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan
obyeknya. Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak
tersebut. Dengan kata suami dan istri, memperjelas bahwa
kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan
dan penuhi untuk istrinya. Sedangkan kewajiaban istri adalah
sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk
suaminya. Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,
sesuatu yang harus
92 Dr. Hj. Umul Baroroh,

diterima suami dari isterinya. Sedangkan hak isteri adalah


sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya. Dengan
demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan
upaya untuk memenuhi hak isteri dan kewajiban yang
dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak
suami,sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan :

‫اال إن لكم على نسائكم حقا ولنسائكم عليكم حقا‬

“Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang


harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun
memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan.”1

B. Hak Dan Kewajiban Bersama


Dalam Islam, terjadinya sebuah pernikahan atau biasa disebut
dengan akaq nikah, maka akan timbul yang dinamakan hak dan
kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban tersebut ditunaikan
dan dijalankan oleh suami istri untuk membina rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Hak dan kewajiban
suami istri dalam keluarga merupakan pelaksanaan bagi
prinsip keseimbangan, kesetaraan dan persamaan berbagai
pihak yang melaksanakan akaq.
Sebelum kita lebih spesifik membahas tentang bagaimana
hak dan kewajiban suami istri dalam sebuah keluarga, maka
alangkah lebih baiknya akan dibahas mengenai bagaimana
hak dan kewajiban bersama dalam rumah tangga. Islam sudah
mengatur sedemikian rupa bagaimana hak dan kewajiban

1
Hasan: Shahih ibnu Majah no.1501.Tirmidzi II:315 no:1173 dan ibnu
Majah I: 594 no:1851
Kewajiban Suami-Istri 93

bersama dalam keluarga. Adapun hak dan kewajiban bersama


bersama suami istri adalah sebagai berikut:
1. Suami istri mempunyai hak dan kewajiban untuk
menumbuhkan rasa kasih sayang dan ketentram dalam
keluarga, sebagaiman firman Āllah dalam surat Ār- Rum ayat
21: َ َ َ
َ
َٰ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ َٰ ْ
‫و ِم ن ءا ي ِت ِه أ ن خ ل ق لكم م ن أن ف ِسك م أ ز و‬
َ َ َ ۟ ُ ّ
َ ْ ْ َ ً
‫جا ِل ت سك نو ا ِإ ل ي ها وج ع ل‬
َّ َ َ َّ ً َّ َّ َ ْ
‫ة ِإن ِفى ذِ لك لءايت ِلقو ٍم‬ۚ ‫بينكم مودة ورحم‬
‫يتفكرون‬

Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya


ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

2. Hendaknya dalam keluarga, suami istri harus bisa saling


mempercayai, dan memahami sifat-sifat pasangannya. Allah
berfirman dalam surat al-Hujaraat ayat 10
َ
َّ ٌ َ َّ
َ َّ َّ
ْ ‫ُ م‬
‫لعلك‬ ‫أخويكم ۚ ال‬ ‫ِإنما المؤ ِ إخوة فأص ِلحوا‬
‫م‬ ‫واتقوا ل‬ ‫يب ن‬ ‫نون‬
‫ترحُم ْوَ ن‬
“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. َ ُ
sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
94 Dr. Hj. Umul Baroroh,
kamu mendapat rahmat”.
Kewajiban Suami-Istri 95

3. Menghiasi rumah tangga dengan pergaulan yang baik, tidak


ada pemaksaan dalam rumah tangga. Sebagaimana firman
Allah dalam surat an-nisa ayat 19

َ ُ َّ َ
‫يأيها َ ال ِذين م ءا نوا لا يحل لكم أن تِ رثكوراهال ۖان سوٓالءا‬
َ ْ َّ َّ ۟ ْ َّ ُ ْ
ُ ْ ‫هبلتوا‬
‫ذ‬
‫ن ٍ يةأ‬‫ف ٓ ِاح أش‬ ‫ن ِب ِإل‬
‫هن‬ ‫ببع ٓ ءات يتم و ِتي‬
۟ ُ َ ْ َُ َ ْ َ ُ ‫تعضلوهَن‬
‫ِض ا‬
‫َم‬
ْ َّ ّ َ
‫ف ف ِإنك ِرهت‬ ۚ ِ ‫ة َ وعا ِش ُروهن ِبال َم عُ رو‬ۚ ٍ ‫م ب ِين‬
َ
ٰٓ َ َ َّ
‫ُموهن ف ع س ى أن تك َرهوا‬
ً ْ َ
‫في خ ي راك ِ ثيرا‬ ‫ش ْي ًٔـا و يج عل‬
‫ه‬ ُ َّ
‫ا لل‬

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu


mempusakai wanita dengan jalan paksaaan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara
patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.

4. Hendaknya dalam keluarga harus bisa saling menasehati


berlaku baik terhadap suami istri. Sebagaimana dalam
hadits

‫خياركم خياركم لأهلها‬


96 Dr. Hj. Umul Baroroh,
“orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang
paling baik kepada keluarganya”2

2
Dikutip dari Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid 9, Jakarta:
Gema Insani, 2011, h. 310.
Kewajiban Suami-Istri 97

5. Suami istri mempunyai hak dan kewajiban bersama dalam


bersengan-senang satu sama yang lain dalam masalah
hubungan badan
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang hak dan
kewajiban suami istri adalah sebagai berikut:3
1. Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satui kepada yang lain;
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya;
4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

A. Kewajibani Suami terhadapi Istri


Dalam pernikahan dituntut terlaksananya hak dan kewajiban.
Memenuhi hakterlebih dahuluseseorang tersebut
melaksanakan keajibannya tersebut. Sama halnya dengan
suami istri, suami dituntut untuk melaksanakan kewajibannya
terhadapa istri baru bisa mendapatakan haknya tersebut.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kewajiban suami
terhadap istri. Adapun kewajiban suami terhadap istri adalah
sebagai berikut:
3
Kompilasi Hukum Islam, Buku I, BAB XII Bagian Kesatu, Pasal 77, Lihat
Abdurrahman, Op.Cit., hlm.
98 Dr. Hj. Umul Baroroh,

1. Kewajiban memberikan mahar kepada istri


Dalam perkawinan, salah satu kewajiban suami adalah
suami wajib memberikan mahar kepada istrinya. Kewajiban ini
merupakan suatu hal yang harus ditunaikan oleh suami, dan
apabila tidak ditunaikan atau dilaksanakan oleh suami, maka
kewajiban istri atau hak suami tidak bisa dituntut oleh suami.
Dalil yang mewajibkan suami memberikan mahar kepada
istri adalah sebagaimana firman Āllah dalam surat an-Nisa ayat
4:
ْ ْ ْ ْ ُ
‫ف‬ ‫ْش ْى‬ ‫ب‬ ‫ف‬ ‫ح‬‫ن‬ ‫و َءاتوا ال ِن َس ٓاء ص د‬
ً َ ً َ َٰ
‫م ٍء عن ن سا‬ َ ‫ِإن‬ ‫ن‬
َّ
‫ه‬ ‫ت‬ ‫ق‬
‫نل‬ ‫ل ة‬ ِ ِ
‫ن‬ ُ
‫ه‬
‫ك‬ ‫ط‬
‫م‬
َّ ُ
‫ٓيـا مِ ر يٓ ـا‬
ِ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫فك‬
‫ن‬

‫ه‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”.
Ayat ini menjelaskan bahwa, suami diwajibkan untuk
memberikan mahar kepadan istrinya, karena mahar adalah
harta yang berhak didapatkan oleh istri yang harus diberikan
oleh suami.
Kewajiban Suami-Istri 99
Menurut mazhab Maliki, mahar adalah sesuatu yang harus
diberikan kepada seseorang istri sebagai imbalan
persetubuhan dengannya. Menurut mazhab Syafi’I
mendefinisikan sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab
pernikahan atau persetubuhan, atau lewat kehormatan
perempuan dengan tampa daya, seperti
100 Dr. Hj. Umul Baroroh,

akibat susuan dan mundurnya para saksi. Sedangkan menurut


mazhab Hanbali mendefinisikan bahwa, mahar adalah sebagai
pengganti dalam pernikahan, baik mahar ditentukan dalam
akad, atau ditetapkan setelahnya dengan keridhoan kedua
belah pihak atau hakim.4
Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mahar adalah kewajiban
suami yang harus dilaksanakan dan apabila belum
terlaksanakan, maka istri tidak punya kewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya dalam hal persetubuhan.

2. Memberikan nafkah
Dalam pembahasan nafkah ini, kewajiban memberikan
nafkah ini dibagi menjadi 2, yaitu:
Pertama, nafkah lahir. Nafkah lahir merupakan nafkah
yang wajib ditunaikan oleh suami. Seperti pakaian, tempat
tinggal, memberi makan. Berdasarkan firman Āllah dalam
surat al- baqarah ayat 233
َّ ُ ُ َ ْ َ َ
ْ
‫ْز و ِك ْس و ت هن‬ ‫و ع لى ا ل َم و‬
َ ُ
ُ ْ َ ْ ُ ُ
ۚ‫ِبا ل م ع روف‬ ‫ق‬ ‫لود ل ه‬
َّ ُ
‫هن ر‬
“.. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma’ruf”..
Firman Allah dalam surat at-thalaq ayat 6
ُ
ّ َ ُ َّ ُ
‫ِي قو‬ ۟ ‫سكن تم ُمن و و لا تض ٓا ُّرو‬ ‫ح‬ ‫هن‬ ‫أ ْس‬
ُ َّ ُ ْ ْ ْ
‫هن ا ل تض‬ ‫ج ِد ك ْم‬ ‫يث‬ ‫م ن‬
ُ
‫ك نو‬
Kewajiban Suami-Istri 10
ْ ۟ ُ َ َّ
‫م‬ َّ
ٰ ‫حت‬ ْ ‫كن أو‬
‫و‬ َّ ْ َ
‫ض‬‫ي‬ ‫ى‬ ‫ا‬ ‫قو‬ ‫ف أن ِف‬ ‫ع ل ي ِه ۚن‬
َّ ُ َ ‫م‬
َٰ
‫إ‬
‫ْعَ ن ل ه ۚن‬ َّ َ ‫لت‬ ِ
‫ِهن‬ ْ‫ع ل ي‬
‫ح‬ ‫ن‬
‫ٍل‬
‫ح‬
4
Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, hlm. 230.
102 Dr. Hj. Umul Baroroh,

‫و‬ َ
‫نإ‬
ِ ْ َّ ْ ْ
ُ
‫ُ ف َٔـاتوهن ِم روا كم ِب َم ع‬ ‫ضَ ع‬ ‫ف ِإ ن أ‬
ۖ ‫ُرو‬
‫ف‬ َ ْ َ َّ ُ َ
‫ن ب ي ْن و‬ ۖ ‫أجور ه‬ ‫ن لك‬ ‫ْر‬
‫أت‬
َ ‫ْم‬
ُ ُ
ْ ْ َ
‫أ خ رى‬َ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫ت عاس ْر‬
ُ
ُ
‫ِض ع ل‬ ‫ت ْم‬
ُ
‫ه ف َس‬

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu


bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.”
Kedua nafkah batin. Termasuk hak-hak istri adalah
memberikan nafkah batin, mengenai nafkah batin ada
beberapa pendapat ulama mazhab. Mazhab Maliki
berpendapat bahwa persetubuhan wajib dilakukan oleh suami
kepada istrinya jika tidak ada halangan. Mazhab Syafi’I
berpendapat, persetubuhan hanya diwajibkan sekali saja karna
ini adalah hak milik suami. Sedangkan mazhab Hambali
berpendapat, suami wajib menggauli istrinya dalam setiap
empat bulan sekali.5
10
Kewajiban Suami-Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa,
kewajiban suami adalah sebagai berikut:6
1. Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri
bersama.

5
Ibid, h. 296
6
Kompilasi Hukum Islam, Buku I, BAB XII Bagian Ketiga, Pasal 80.
104 Dr. Hj. Umul Baroroh,

2. Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala


sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila isteri nusyuz.

B. Kewajiban Istri terhadap Suami


Sesungguhnya kewajiban istri yang paling utama adalah taat
kepada suami, akan tetapi untuk lebih jelasnya, akan dirincikan
kewajiban-kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai
berikut:
Kewajiban Suami-Istri 10

1. Istri mempunyai kewajiban taat kepada suami


Di antara kewajiban istri terhadap suaminya adalah
mentaati suaminya dalam hal apa pun kecuali dalam hal
maksiat.
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw

‫لو كنت امرا احدا ان يسجد ألحد ألمرت المرأت ان‬


‫تسجد‬
‫لزوجها‬

“Jika aku dapat memerintahkan seseorang untuk bersujud


kepada seseorang, maka aku pasti memerintahkan seseorang
perempuan untuk bersujud kepada suaminya”7

2. Amanah
Kewajiban istri adalah harus amanah terhadap suaminya.
Seorang istri harus bisa menjaga dirinya, harta, rumah, dan
anaknya ketika suaminya tidak ada di rumah. Berdasarkan
hadits riwayat Ibnu al-Ahwash

‫أما حقكم على نسائكم فاليوطئنا فرشكم من تكرهون وال يأذن‬


‫في بيوتكم لمن تكرهون‬

“Sedangkan hak kalian yang harus dipenuhi oleh istri kalian


adalah jangan kalian masukkan ke dalam rumah kalian
orang yang kalian benci, dan tidak diizinkan orang yang
kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian”.
3. Memberikan pelayanan yang baik untuk suaminya ketika
hendak melakukan hubungan badan. Rasulullah saw
bersabda
106 Dr. Hj. Umul Baroroh,
7
HR at-Tirmidzi, dan dia berkata, ini hadits hasan, dari Abu Hurairah.
Kewajiban Suami-Istri 10

‫إذا دعا الرجال امرأته إلى فراشه فأبت ان تجيء فبات غضبان‬
‫عليها لعنتها المالئكة حتى تصبح‬

“jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya,


lantas istri menolak untuk memenuhinya. Kemudian si suami
tidur dengan rasa marah kepadanya, maka malaikat
melaknat si istri sampai datang waktu subuh”8
Kewajiban istri juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yaitu:9
1. Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh
hukum islam.
2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaikbaiknya.

C. Hak Nafkah Bathin (Bukan Kebendaan)


Bicara tentang nafkah, bila diartikan secara bahasa nafkah
berarti biaya, belanja, pengeluaran uang. Sedangkan yang
dimaksud dengan nafkah batin adalah adalah hal-hal
(kebutuhan) yang harus dipenuhi oleh suami dan istri, berupa
hal-hal yang bukan merupakan kebendaan.
Nafkah batī�n merupakan nafkah yang bukan berupa benda
yang dimana akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:10

8
HR Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Dan dia berkata, hadits hasan gharib, dari
Ummu Salmah
9
Kompilasi Hukum Islam, Buku I, BAB XII Bagian Keenam, Pasal 83.
10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 7, Bandung: Alma’arif, 1994. H. 94
108 Dr. Hj. Umul Baroroh,

1. Perlakuan baik
Kewajiban suami istri adalah saling memperlakukan
dengan baik, bergaul dengan baik dan wajar.
2. Menjaganya dengan baik
Suami istri diwajibkan menjaga kehormatannya dan
memelihara dari segala yang menodai kehormatannya,
menjaga harga dirinya, dan menjunjung kemuliaannya.
3. Saling berbagi cinta, kasih sayang dan kemesraan antara
kedua belah pihak
4. Berjimak (senggama) dalam tempat yang tertutup.
Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
yang artinya “Jika seseorang diantara kamu mendatangi
isteri kamu hendaklah memakai tutup. Dan janganlah sama-
sama telanjang, sama telanjangnya seperti dua ekor keledai”
5. Haram membicarakan masalah persenggamaan
6. Menyenggamai perempuan di luar tempatnya
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
223:
‫ْم‬
‫ك‬ ُ َ َ ٰ َّ
‫۟ لأ ن ف‬ ْ َّ
‫دو ا ِس‬ ‫مم‬
ۖ ‫موا حرثكم أنى شئتوق‬ ‫حرث ل فك أت‬
ْ َ ُ ‫نس ٓاؤكم‬
ّ َ َ
‫وا ْع ل مل و ب ِ ش ِر ال‬ َ َّ ُ َّ
ُ ‫لل‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫و‬‫ق‬ ‫وات‬
ْ ُ ‫قوۗه‬ َّ
‫م ؤ ِم ِنين‬ ‫ُموٓا أنكم‬

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu


bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-
tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
Kewajiban Suami-Istri 10
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman”.
110 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan


Ibnu Majah, bahwa Nabi SAW bersabda
“Janganlah kamu mendatangi perempuan pada
pantatnya.” Atau Nabi berkata pula: “pada duburnya”

D. Nafkah Kerabat
Kewajiban menafkahi bukan hanya kepada istrinya saja, akan
tetapi kewajiban nafkahi diperuntukkan untuk beberapa kaum
kerabat sebagai berikut:
1. Istri yang sudah di talaq,
2. Ibu yang menyususkan anak-anak mereka
Firman Allah dalam surat at-Talaq ayat
6:
ُ
ّ َ
ُّ ‫سكن ُتم من و و لا تض ٓا‬ َّ ُ
‫ِي قو‬
ُ ۟ ‫و‬ ‫ر‬ ُ ‫ح‬
ْ
‫هن‬ ‫أ ْس‬
‫هن ا ل تض‬ َّ ُ ْ ْ ‫يث‬ ‫م ن‬
ْ
‫ج ِد ك م‬ ُ
‫ك نو‬
َّ َ
َ ْ
‫كن أو ح ْم ل ف أن ف حت ٰى يض َع ن ح‬ َّ َّ ْ َ
ِ َٰ ‫ۚن‬
‫ع ل ي ِه و‬
َّ ُ ْ
َّ َ ٍ ۟ ُ ‫إ‬
‫م ل هن‬ ِ
‫لت قو ا ع ل ْي ِهن‬ ‫ن‬
ْ ُ َ
‫كم ِب َم ع‬ َّ ُ َّ ْ ْ ْ
‫ف و ِإ ن‬ ۖ ‫رو‬ُ ۖ
‫ن‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ج‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ْ ‫و‬ ‫ت‬‫ا‬ ‫ـ‬ َٔ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ع‬
َ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ف ِإ‬
َ ْ َ َ َ
‫و أ ت ِمُ روا ب ي ن‬ ‫ْر ن ل‬
‫ض‬
ُ ُ
َ ْ
‫ر‬
ْ ُ
‫ت‬ ‫ه ف َس‬
‫أ خ رى‬
ُ
‫ِض ع ل‬
Kewajiban Suami-Istri 11
ُ َ
‫ت عاس ْر ت ْم‬

“..dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu


sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”
‫‪112‬‬ ‫‪Dr. Hj. Umul Baroroh,‬‬

‫‪3. Menafkahi kedua orang tua‬‬


‫‪Firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 233‬‬

‫َ أن ي‬ ‫َ ْ‬ ‫ْ َ ‬ ‫َٰ َٰ‬
‫َّ‬
‫ِتم‬ ‫ۖن‬ ‫ِ‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ح‬ ‫وال و ِل دت ي ْر ِ َٰض ع ن أ‬
‫ل َم ْن را‬ ‫ْ َْ‬ ‫َ ُ َّ‬
‫ول ي‬ ‫ْول د هن‬
‫د‬
‫أ‬ ‫كام‬ ‫ِن‬
‫ُ ‬
‫َّ ُ‬ ‫ُ َُ ّ‬ ‫ُ َّ ‬ ‫َ ‬ ‫َّ‬
‫ۚ‬
‫ف لا‬ ‫ة وعلى المولود له رزقهن و ِكسوتهن‬ ‫الرضاع ۚ‬
‫تكلف‬ ‫ِبالمعرو‬
‫ُ ‬ ‫َ ‬ ‫َ ‬ ‫ْ َّ ‬
‫َّ‬ ‫َّ‬
‫ِد ِ ه‬ ‫ِ بووِلل ِددة‬
‫ها ولا ِبول ۚ و ل عى‬ ‫ن ف س إلا وسعه ۚا لا تض َ ً‬
‫ََ‬ ‫ُود له َ َ َ‬ ‫َول‬ ‫م‬ ‫ٓار‬ ‫ْ‬
‫َ ‬ ‫َ ‬ ‫َٰ ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫هر ْماا وتشاوف ٍ رلا‬ ‫منن ت َ‬‫ضا ع‬ ‫ٍصال‬ ‫ن‬‫كا فد ِاإ ِ ف‬ ‫الوار ث ِمثل ذِ لأر ۗ‬
‫َُ‬ ‫َ ۟ َ َ َٰ‬ ‫َ‬ ‫ُّ‬ ‫َ َ‬ ‫ََ‬
‫ت‬
‫ه‬ ‫أن‬
‫ي‬ ‫عل ْ‬‫م‬ ‫رد ت َ ْ‬
‫ع‬ ‫ض ُْ‬ ‫أ‬ ‫ِ‬ ‫إن‬
‫ر‬
‫ْ‬
‫و‬
‫ست‬ ‫ۗا‬
‫م‬ ‫ْ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ َ‬
‫وا أ ول ج نا ح‬ ‫ْ‬ ‫ج نا ح‬
‫َْ‬ ‫َ‬
‫دك ْم فلا عل يك ْم‬
‫َّ َّ ‬ ‫َّ‬
‫َ َ‬ ‫َّ‬ ‫َّ‬ ‫َّ‬

‫ف واتقوا الل واعلموٓا أن بم‬


‫إذا سلمتم م ٓا بالمعرو ۗ‬
‫الل ا‬ ‫ءاتيتم‬ ‫َ ْ َ ‬
‫َ َ ‬
‫تعملون ب ِصير‬

‫‪“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena‬‬


‫‪anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun‬‬
‫‪berkewajiban demikian”.‬‬

‫)‪C. Hak Hadhanah (Pemeliharaan Anak‬‬


11
Kewajiban Suami-Istri
Hadhanah atau pemeliharaan anak maksudnya adalah
menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang
belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.11
Dasar hukum pemeliharaan anak terdapat dalam surat at-
Tahrim ayat 6
َ َّ َ
ُ َ
‫م‬
‫أنفسك وأه ِليكم نارا وقودها‬ ‫يأيها ال ِذين ءا نوا قٓو‬
‫الناس‬ ‫م‬ ‫ا‬
11
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011. H.
426
114 Dr. Hj. Umul Baroroh,

َ َّ
ْ َّ َ
ْ
‫شداد لا يعصون الل م ٓا‬ ‫غال‬ ‫واِْ لح جارة عليها مل‬
‫ِئكة‬ َ
‫أمرهم‬ ‫ظ‬ ْ
َ
‫و َيفعلون ما ُيؤ م‬
‫ُرون‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara
keluarganya agar terpelihara dari api neraka, agar seluruh
anggota keluarganya melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, termasuk anggota keluarga disini
yakninya anak.
Pemeliharaan anak merupakan kewajiban suami isteri,
akan tetapi kewajiban itu akan menjadi ada yang lebih berhak
terhadap pemeliharaan anak tersebut apabila terjadi
perceraian antara suami isteri.
Apabila suami isteri bercerai dan mempunyai anak dan
anak tersebut belum mumayyiz, maka dalam hal ini yang
berhak memelihara anak adalah isteri (ibu dari anak tersebut).
Adapun untuk batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.12
Kewajiban Suami-Istri 11

12 Kompilasi Hukum Islam, BAB XIV, Pasal 98


116 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal


105 Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah 10

BAB 8
KIAT-KIAT MEMBANGUN
KELUARGA SAKINAH

A. Saling Berkomunikasi (Musyawrah)


Salah satu sifat dari seorang muslim yang sejati shagai bagian
dari masyarakat komunal adalah selalu mengedepankan
keputusan komunal (qarar jama’i) sebagai upaya penyelesaian
masalah bersama yang utama. penyelesaian masalah secara
qarar jama’i ini tidak hanya meliputi urusan yang kecil dan
besar saja, akan tetapi juga segala permasalahan yang
berkaitan dengan kemaslahatan bersama dan berpengaruh
terhadap kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam, istilah
qarar jama’i ini dikenal dengan masyawarah. Sebagaimana
yang termaktub dalam Al-qur’an Surah Al-Imran Ayat 159:

‫فبما رحمة من الل لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب النفضوا‬
‫من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في األمر‬
‫عزمت‬
‫فتوكل على الل إن يحب المتوكلين‬
108 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu


berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikapkeraslagiberhatikasar, tentulahmerekamenjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan 150 Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.”
Kemudian ditegaskan kembali dalam Al-qur’an Surat Asy-
Syura Ayat 38,

‫والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصالة وأمرهم شورى بينهم‬


‫وما‬
‫رزقناهم ينفقون‬

Artinya: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan


musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Musyawarah berasal dari kata syawara, yaitu berasal
dari dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembug
atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Istilah-istilah lain
dalam tata negara Indonesia dan kehidupan modern tentang
musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”,
“kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban
musyawarah hanya untuk urusan keduniawian.
Jadi musyawarah adalah suatu upaya bersama dengan
sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan
keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam
penyelesaian atau
Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah 10

pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.1


Sejarah mencatat bahwa musyawarah merupakan upaya
penyelesaian permasalahan yang paling sering dianjurkan
oleh Rasulullah Bahkan dalam riwayat AT-Tirmidzi
diterangkan bahwa tidak ada orang yang lebih semangat dalam
memutuskan permasalahannya dengan musyawarah, kecuali
Rasulullah Saw..
Dalam bahtera rumah tangga, sering kali terjadi perbedaan
pendapat antara pihak wanita dan pria dalam beberapa
pekerjan rumah Perbedaan pendapat ini sering kali dipicu
karena adanya perbedaan latar belakang keduanya, perbedaan
idiologi, disiplin keilmuan, dan cara berpikir. Membudayakan
musyawarah daam sebuah keluarga akan menjadikan keluarga
tersebut memiliki sebuah penyelesaian masalah yang
cenderung benar dan menjauhi kesalahan. Sebagaimana Hasan
Bin Ali mengatakan, “Tidaklah suatu kaum itu bermusyawarah,
melainkan mereka akan ditunjukkan pada urusan mereka yang
paling benar”.2
Dalam membina rumah tangga, hendaknya pasangan
suami- istri saling menjaga perasaan masing-masing.
Keterbukaan antara keduanya ini terimplikasikan dalam
bagaimana cara keduanya berkomunikasi. Semakin sedikit
permasalahan yang ditutupi, maka kehidupan pasangan ini
akan terasa lebih harmonis dan bahagia. Ingat, Rasulullah
pernah menjelaskan bahwa mengatakan sesuatu dengan
dialndasi kejujuran itu lebih diutamakan dari pada
memendannya sendiri. Meskipun terkadang permasalahan
yang disembunyikan itu dirasalakan pahit untuk disampaikan
kepada orang lain.

1
Lihat Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Penganta, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008). hlm.
2
Abdul Lathif Al-Brigawi. Fiqih Keluarga Muslim. (Jakarta: Amzah, 2012),
hlm
110 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Semua pasangan suami istri ingin menciptakan keluarga


mereka sakinah mawaddah wa rahmah seperti yang tertera
dalam surah Ar Rum ayat 21:

‫ن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل‬


‫بينكم مودة ورحمة إن في ذلك آليات لقوم يتفكرون‬

Artinya “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNYa per riu


dari jenismu sendiri agar mereka tenang är penuh cinta
kasih dan pada yang demikian itu terdapat ka bagi kamu
yang berfikir. “(QS.Ar-Rum: 21).
Suami Istri adalah dua manusia dengan latar belakang
yang berbeda, dari dua keluarga yang berbeda. Dalam rangka
mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Bermusyawarah berarti terjadi komunikasi aktif, dialog antara
keda suami istri. Dengan komunikasi yang terbuka dan lancar
maka sumbatan-hambatan akan bisa diatasi. Komunikasi
merupakan solusi dari pemecahan masalah rumah tangga
Komunikasi yang terbuka, saling mendengarkan pendapat
masing masing pihak, menghargai pendapat pihak lain, tidak
mendominasi tetapi bermusyawarah untuk menentukan
langkah terbaik bagi keluarga.
Dengan selalu berkomunikasi, bermusyawarah antara
sami istri maka semua persoalan akan bisa diatasi dengan
hak tidak ada saling curiga antara suami istri, sebaliknya jalin
saling percaya dan keterbukaan antara keduanya sehingga
akan memudahkan dalam mencari solusi apabila ada persoalan
Segala persoalan, kehendak hati, disampaikan dengan baik,
saling percaya sehingga yang ada hanya keselarasan dan
keharmonisan
Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah 11

dalam keluarga. Tidak ada saling mendominasi, memaksakan


kehendak, ataupun memang sendiri, karena semuanya lewat
komunikasi dan musyawarah. Dengan demikian ketentraman
dalam keluarga lebih mudah tercapai.
Untuk mencapai taraf sakinah mawaklah wa rahmah
bukanlah perkara sederhana dan mudah. Keluarga sakinah
harus dibangun, diperjuangkan dan diupayakan oleh kedua
pasangan suami istri yang menghendakinya. Keluarga sakinah
tidak given bukan pemberian tanpa syarat, tetapi harus
diciptakan dan dibangun dengan usaha dan upaya seluruh
anggota keluarga. Agama Islam telah memberikan petunjuk
yang apabila petunjuk petunjuk itu diamalkan dan diterapkan,
insyaallah keluarga sakinah yang diidamkan akan tercapai.
Kiat-kiat membangun keluarga sakinah berdasar al-Quran
adalah sebagai berikut:
Allah memberi tuntunan kepada suami istri untuk saling
muasyaroh,mempergauli dengan baik. Saling menghormati,
mengasihi, menyayangi, saling menolong terhadap apa yang
di hadapi suami istri, Kebersamaan, satu rasa, satu jiwa dalam
mengayuh biduk rumah tangga, dalam rangka menggapai ridlo
Allah Swt:

‫لوهن‬ÐÐ‫اءكرها وال تعض‬ÐÐ‫وا النس‬ÐÐ‫ل لكم أن ترث‬ÐÐ‫وا ال يح‬ÐÐ‫ذين آمن‬ÐÐ‫يا أيها ال‬
‫روهن‬ÐÐ‫ة وعاش‬ÐÐ‫ة مبين‬ÐÐ‫أتين بفاحش‬ÐÐ‫وهن إال أن ي‬ÐÐ‫لتأهبوا ببعض ما آتيتم‬

‫ل‬ÐÐ‫ل ال‬ÐÐ‫يئا ويجع‬ÐÐ‫وا ش‬ÐÐ‫وهن أن تكره‬ÐÐ‫بالمعروف فإن كرهتم‬

‫فيه‬

‫خيراكثيرا‬
112 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi


kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. (QS. An-Nisa: 19).
Selain itu, Rasululah SAW bersabda: “Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya,
dan sebaik baik kamu adalah orang yang paling paik kepada
istrinya, “(HR.At Turmudzi).
Suami mempergauli istrinya dengan baik, begitu pula
sebaliknya antara suami istri kedua harus saling muasyarah
bil ma’ruf. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan, pada prinsipnya
pergaulan suami istri adalah muasyarah bi-al ma’ruf artinya,
kedudukan suami istri adalah seimbang, saling melengkapi
kekurangan satu terhadap yang lainnya.
Al-Quran menyebutkan dalam surat al Baqarah:

‫اس‬ÐÐ‫أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلى نسائكم هن لباس لكم وأنتم لب‬
‫ا‬ÐÐ‫اب عليكم وعف‬ÐÐ‫كم فت‬ÐÐ‫انون أنفس‬ÐÐÐ‫ل أنكمك نتم تخت‬ÐÐ‫لهن علم ال‬
‫تى‬ÐÐ‫ربوا ح‬ÐÐ‫عنكم فاآلن باشروهن وابتغوا ماكتب الل لكم وكلوا واش‬
‫وا‬ÐÐ‫ر ثم أيم‬ÐÐ‫ود من الفج‬ÐÐ‫ر األس‬ÐÐ‫ط األبيض الخط‬ÐÐ‫بين لكم الخي‬ÐÐ‫يت‬
‫الصيام إلى‬
Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah 11

‫ل وال تباشروهن وألثم ما كنون في المساجد تلك حدود الل فال‬


‫تقربوها كذلك بين الل آياته للناس لعلهم يتقون‬

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan


Puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah
pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187)
133
Ayat ini bisa dipahami dalam konteks semua urusan suami
istri harus bersifat saling timbal balik, dengan demikian tidak
ada pihak yang dirugikan. Saling menghormati, saling
menghargai, saling mencintai, saling menyayangi, saling
melindungi, saling membantu, saling menolong, dan saling
mengingatkan untuk bertaqwa pada Allah. Saling menasihati
untuk meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan
perintah-Nya.
Ibarat pakaian, fungsi suami istri adalah untuk melindungi
dari mengganggunya. panas, dingin, debu dsb, yang
Demikianlah Allah mengibaratkan hubungan atau relasi
suami istri dalam
114 Dr. Hj. Umul Baroroh,

rumah tangga Islami, yang jauh dari kesewenang-wenangan,


apalagi kekerasan dari pihak satu kepada lainnya. Apabila
sikap dan perilaku saling memberikan kebaikan ini
dipraktekkan, insyaallah jalan menuju keluarga sakinah
menjadi lempang.

B. Saling Mengingatkan Terhadap Tujuan


Pernikahan
Seiring dengan berjalannya waktu, pasangan suami istri
mengalamiberbagaiperistiwadisepanjanghiduppernikahannya.
Ada peristiwa yang menyenangkan yang membuat bahagia,
ada pula peristiwa yang menyedihkan yang membuat biduk
rumah tangga terguncang. Terkadang datang ujian ataupun
hambatan dari faktor-faktor internal terlebih lagi faktor-faktor
eksternal sering mempengaruhi kehidupan pernikahan. Faktor
internal misalnya pengaruh kematangan jiwa kepribadian,
faktor ekonomi dan sosial keluarga, sedangkan faktor eksternal
antara lain, adanya pihak ketiga yang mengganggu, atau
campurtyangan keluarga besar, yang kesemuanya itu kalau
tidak disikapi dengan benar, akan menimbulkan retak bahkan
robohnya ikatan pernikahan. Untuk menghadapi faktor-faktor
pengganggu baik faktor Fiqh Keluarga Muslim Indonesia
internal maupun eksternal tentulah masing masing harus
punya komitmen sejak awal, untuk mengingatkan tujuan
pernikahan yang akan capai. Dengan saling mengingatkan akan
kemana pernikahan didayung, maka apapun rintangan dan
akan bersama-sama dihadapi diusir jauh-jauh pernikahan
keduanya, sehingga pernikahan dan mencapai keluarga seperti
diidamkan
Kiat-Kiat Membangun Keluarga Sakinah 11

Tujuan utama Penikahan membangun sakinah haruslah


diutamakan daripada menuruti hawa atau kepuasan atau
kecurigaan kepada pihak lain rumah tangga.Saling memaafkan
kunci menghilangkan diantara anggota mengerti,aling
menghormati, saling menolong hemndaklah diutamakan
daripada m,engikuti langkah beraikan tangga. “Na’udzu billahi
Dzaalik”

C. Bahu-membahu Mewujudkan Cita Cita


Rumahku Surgaku
Sebuah rumah tangga tentu semua menciptakan tangga surga
dunia. yang tenang, tempat bersenang-senang seluruh
keluarga, berteduh yang nyaman,aman dan surga adn.
Keluarga yang tinggal di rumah yang sejahtera lahir dan batin,
dalam bahasa Arab sering disebut “baitī jannatī.”
Menciptakan rumahku adalah surgaku adalah mudah, asal
persyaratan dipenuhi.
Kesejahteraan lahir, cukup pangan sandang dan papan,
tak perlu mewah. Ketaatan kepada Allah bagi seluruh anggota
keluarga, sholat berjamaah, ke Masjid bersama, tadarus al-
Quran, Pengkajian al-Qur’an dan Sunnah Nabi, Bersedekah
dengan barang yang dicintai, yang tua menyayangi yang muda,
yang muda menghormati yang tua, tolong-menolong, bahu
membantu pada semua pekejaan rumah tangga. Menolong dan
mengasihi tetangga. Ikut kegiatan sosial di lingkungan
rumahnya baik di masjid ataupun di sekitar lingkungan
rumahnya. Pada prinsipnya semua anggota keluarga harus
berpedoman dan mengamalkan QS. at-Tahriim 6:
116 Dr. Hj. Umul Baroroh,

‫يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس‬
‫والحجارة عليها مالئكة غالظ شداد ال يعصون اله ما‬
‫أمرهم‬
‫ويفعلون ما يؤمرون‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah


dirinuu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mencarhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at
tahrim: 6).
Mafhum mukholafah dari ayat ini berarti kita harus
membangun surga bagi keluarga kita baitii jannati, karena
dalam ayat kita diperintahkan Allah untuk menjaga dan
keluarga dari api neraka.
Hal ini tidak akan terwujud hanya salah satu pihak yang
bercita-cita itu. Suami pingin rumahnya menjadi surga. tidak
mau ikut usaha, atau anaknya ditinggalkan dibiarkan saja.
Kalau ini terjadi, maka cita baitii jannatii akan terwujud.maka
judul penulis sebut Bahu-membahu mencapai rumahku
surgaku. menolong menggapai surga dunia maupun akhirat.
Mengatasi Konflik Dalam Rumah Tangga 11

BAB 9
MENGATASI KONFLIK
DALAM RUMAH TANGGA

A. Sebab-sebab Terjadinya Konflik


Konflik adalah suatu kenyataan dalam kehidupan, tidak
terhindar dan sering bersifat kreatif. Termasuk dalam urusan
membangun rumah tangga. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan
konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering
menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau
semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna,
apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan
kita. Konflik tidak selamanya mengandung kekerasan. Tetapi,
ketika tujuan-tujuan yang tidak sejalan itu direspon salah satu
pihak dengan memaksakan kehendaknya untuk mencapai
tujuan secara sepihak maka konflik kekerasan dapat terjadi.1
Jika konflik selalu ada, berarti konflik itu memang
sebenarnya dibutuhkan. Secara umum, konflik akan
berdampak negatif bagi individu tersebut, namun ada banyak
bahan pustaka, terutama dalam dunia bisnis, yang
memfokuskan
1
Mitchell, Memahami Apa Itu Konflik, (Jakarta: kompas, 1996), hlm. 3.
118 Dr. Hj. Umul Baroroh,

isinya pada manfaat konflik. Manfaat ini antara lain membuat


orang-orang menyadari adanya banyak masalah, mendorong
ke arah perubahan yang diperlukan, memperbaiki solusi,
menumbuhkan semangat, mempercepat perkembangan
pribadi, menambah kepedulian diri, mendorong kedewasaan
psikologis dan menimbulkan kesenangan.
Begitupun dalamm rumah tangga, konflik tidak akan
pernah terhindarkan. Para suami dan istri melihat bebagai hal
secara berbeda, dan pernikahan akan sangat membosankan
kalau tidak seperti itu. Justru, orang yang sedang membangun
rumah tangga itu sejatinya sedang mencocok-cocokkan pribadi
dan karakter masing-masing pihak. Akan tetapi, dari
perbedaan- perbedaan itu bisa muncul ketidakcocokan, dan
dari ketodak cocokan itu timbul konflik yang bisa
mengakibatkan rasa frustasi dan amarah yang memuncak.
Āpabila pasangan suami-istri memandang konflik engan
rasa cemas, seolah-olah itu akan mengancam hubungan
mereka. Konsep yang salah ini menyebabkan sebagian orang
berusaha menghindari konflik dengan tidak mengakui kalau
konflik itu ada, dan melarikan diri dari knflik, atau dengan
terpaksa memendam perasaan-perasaan itu. Bahkan, kadang-
kadang berkembang jadi serius apabila masalah-masalah
yang ada itu disimpan rapat-rapat dan tidak dikeluarkan.
Bebebrapa aturan sederhana dapat membawah pemecahan
masalah secara konstruktif.
Ada beberapa tindakan yang dapat merusak kehidupan
rumah tangga yang harus dihindari oleh masing-masing pihak,
baik oleh suami maupun istri. Adapun beberapa tindakan
suami yang menyebabkan terjadinya konflik diantaranya:2
2
A. Zuhdi Mudlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung, Penerbit
Al- Bayan, 1995), hlm. 83
Mengatasi Konflik Dalam Rumah Tangga 11

1. Mencela istri di hadapan orang lain, atau bahkan di depan


umum.
2. Tidak mengajak musyawarah istri dalam memutuskan suatu
perkara.
3. Berlaku kasar dan tidak sopan terhadap istri.
4. Memerintah istri dengan sewenang-wenang.
5. Meninggalkan rumah pada saat-saat harus di rumah tanpa
sepengetahuan istri.
6. Mudah menerima aduan orang lain tentang kejelekan istri.
7. Cepat naik darah terhadap istri.
8. Menyebut nama atau memuji-muji bekas kekasihnya dulu di
hadapan istri.
9. Terlalu mementingkan famili sendiri.
Sedangkan isteri juga dituntut untuk tidak melakukan
tindakan yang akan memicu konflik dan rusaknya kehidupan
rumah tangga, antara lain:3
1. Bergaul bebas dengan laki-laki lain.
2. Bermanja-manja terhadap suami melewati batas.
3. Memerintah suami seenaknya sendiri.
4. Membagakan kakayaan familinya di hadapan suami.
5. Cemburu buta terhadap suami.
6. Mudah peraya kepada aduan orang lain tentang kejelakan
sikap dan perilaku suami.

3
Ibid., hlm. 83-84.
120 Dr. Hj. Umul Baroroh,

7. Terlalu menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.


8. Mengadukan kesulitan rumah tangga kepada suami di saat
suami sedang payah.
9. Terlalu mementingkan faili
sendiri. Oleh karena itu,

B. Upaya Mengatasi Konflik Menurut Al-qur’an


dan
Al-Sunnah
Untuk mengupayakan terciptanya kehidupan rumah tangga
yang harmonis, bahagia lahir dan batin, suami istri dapat
mencapainya dengan cara-cara dibawah ini, antara lain:
Memupuk rasa cinta kasih: pertama, hendaknya suami-istri
selalu berupaya memupuk rasa cinta kasih (mawaddah wa
rahmah), dengan saling menyayangi, kasih-mengasihi,
hormat-menghormati dan harga menghargai. Kedua, memupuk
saling pengertian. Bahwa suami-istri sebagai manusia biasa
mempunyai kelebihan dan kekurangan, baik secara fisik
maupun mental. Karena itu hendaknya saling memahami dan
mengerti tentang kondisinya masing-masing, toh tidak ada
manusia yang sempurna di dunia ini.
Ketiga, saling menerima kenyataan. Jodoh dan rizki adalah
urusan Tuhan. Ini harus disadari oleh suami-istri. Namun
kita diwajibkan untuk berikhtiar, sedang hasilnya itulah yag
harus diterima dengan lapang dada. Jadi masing-masing tidak
menuntut di luar batas kemampuan. Keempat, saling
melakukan penyesuaian diri. Setelah mengetahui kekurangan
dan kelebihan masing-masing, suami-istri agar dapat
menyesuaikan diri saling melengkapi dan saling memberikan
bantuan. Kelima, saling memaafkan. Sikap ini sangat penting
untuk menjaga keutuhan
Mengatasi Konflik Dalam Rumah Tangga 12

dan keharmonisan rumah tangga. Mengapa demikian? Karena


kesalahpahaman sepele tidak jarang menjadi problem rumit
yang dapat mengancam ketentraman. Agama kita
mengajarkan, terlanjur memaafkan lebih baik dari pada
terlanjur menyalahkan atau menghukum.
Keenam, saling bermusyawarah. Dalam rumah tangga,
saling bermusyawarah dapat menumbuhkan rasa “handarbeni”
(memiliki) dan rasa bertanggung jawab bersama, ringan
sama dijinjing dan berat sama dipikul di antara suami-istri
dan anggota keluarga yang lain. karena itu, masing-masing
pihak dituntut untuk jujur, terbuka dan berlapang dada, suka
menerima dan memberi, tidak menang-menangan sendiri.
Ketujuh, saling mendorong untuk kemajuan bersama. Suami-
istri harus saling berusaha untuk senantiasa memberi
semangat dalam mengejar kemajuan atau karir, apalagi untuk
keperluan bersama dan kebahagiaan masa depan. Namun
demikian jika mulai mengarah kepada hal-hal yang negatif,
suami-istri harus mengingatkan, bahkan mencegahnya.
Kedelepan, membiasakan shalat jamaah dan membaca Al-
Qur’an. Dengan shalat jamaah di mana setelah selesai suami-
istri dapat berjabat tangan, persoalan-persoalan yang semula
dirasa berat atau mengganjal diantara mereka, dapat terbantu
menjadi ringan dan cair. Hal ini disebabkan, suami-istri baru
saja bermunajat kepada Allah untuk mendapat bimbingan
dalam menempuh kehidupan. Kesembilan, menyelesaikan
perselisihan. Di antara tujuan perkawinan adalah membentuk
rumah tangga yang kekal abadi dan bahagia. Disamping itu
untuk menghasilkan keturunan yang akan mengokohkan
ikatan lahir dan batin antara suami-istri, di mana sang anak
diharapkan akan melanjutkan cita-cita orang-tuanya.
122 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Karena itu jika sekiranya dalam kehidupan rumah tangga


suami-istri terlibat perselisihan, hendaknya segera diupayakan
jalan penyelesaian secara damai dengan musyawarah.
Mohonlah petunjuk kepada Allah, hadapi persoalan tersebut
dengan hati yang tenang, ikhlas, jujur, dan terbuka. Yang
terpenting bukan mencari siapa yang salah, melainkan mencari
titik temu diantara keduanya untuk berdamai. Jika hal tersebut
tetap sulit ditempuh, kedua pihak dapat menunjukkan juru
damai, baik perorangan atau lembaga untuk mendapatkan
nasihat-nasihat dan jalan keluar dari kemlutyang dihadapi.
Pada masa sekarang, telah ada badan semi resmi yang oleh
pemerintah diberi wewenang untuk ikut menyelesaikan
persoalan-persoalan kerumahtanggaan dari masyarakat
muslim, yakni BP-4 (Badan Penasihat Perkawinan,
Perselisihan, dan Perceraian) yang tersebar hingga tingkat
kecamatan bahkan sampai ke desa-desa. 4
Penunjukan juru damai ini ditegaskan oleh Allah WST.
Dalam Al-Quran sebagai berikut:
ً ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ْ ْ
‫و ِإ ن خ ف ت ْم ش قا ق ب ي ِن ِه ما فا ب ع ثوا حك ما م‬
َ َ
َ ْ ْ ً َ ْ ْ
‫ن أ ه ِل ِه و حك ما م ن أ ه ِل ها‬
َّ َّ َ ُ َ ْ َ ُّ ّ َ ْ ْ
‫إ ن ي ِريدا ِإ صلاحا ُي و ِف ِق ا لل ب ي ن ه ما ِإ ن الل‬
‫كان ع ِليما خ ِبيرا‬

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan


antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa: 35).5
Mengatasi Konflik Dalam Rumah Tangga 12

4
Ibid., 87
5
Al-Qur’an, hlm. 74.
Daftar 12

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an, dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI,


Edisi tahun 2002.
A Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan,
(Bandung: al-Bayan, 1995)
A’la Subki, Pendidikan Agama Islam. (Klaten: CV. Gema Nusa,
2010)
Abd Al-Fattah Abi Al-Aynain, Al-Islam wa Al-Usrah.
Abdul Lathif Al-Brigawi. Fiqih Keluarga Muslim (Jakarta: Amzah,
2012)
Abdur Rahman al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzhahib Al
Arba’ah, (Beirut: Dar Al Fikr, t. t.)
Abdur Rahman al-Jaziri. Kitabul Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah
Juz 4. (Beirut: Daarul Fikr, 2003).
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992)
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:
CV. Akademika Pressindo, 1992).
124 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Abu Yasid, et.al. Fiqh Today Fatwa Tradisionalis Untuk Orang


Modern (Jakarta: Erlangga, 2007).
Ahmad Azharuddin Latif, Pengantar Fiqih, (Jakarta: Pusat Studi
Wanita UIN Jakarta, 2005)
Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, (Kairo: Dari ihya, Al-
Turas, Al-Araby, 1960).
Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz: 3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:
Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Kencana, 2009)
An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz:
9 Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz.
At-Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir.
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Penganta, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2008).
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Toha Putra, 1993)
Haji Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam. (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2000)
Haji Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006).
Ibnu Ruysd, Bidayat Al-Mujtahid, juz III, alih bahasa Imam
Ghazali, dan Achmad, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995).
Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam studi tentang Qawl
Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002).
Daftar 12

Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, ter. Muhammad


Abdul Ghoffar, (Jakarta: al-Kautsar, 2013).
Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan
Khairudin, Sosiologi Keluarga, (Yogjakarta: Liberti,
1997).
M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M Quraish Shihab:
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern,
(Yokjakarta: Graha Ilmu, 2011).
Mitchell, Memahami Āpa Itu Konflik, (Jakarta: kompas, 1996).
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:
Penerbit Bumi Aksara, 1999).
Moh. Rifa’l, Fiaih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra,
1978).
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy Syakhsiyyah (Beirut:
Dar Al Fikr Al ‘Araby, t. t)
Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. (Jakarta:
Lentera, 2005).
Murni Djamal, Ilmu Fiqih. (Jakarta: CV. Yulina. 1983).
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975. (Surabaya: Karya
Ilmu).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
bahasa Indonesia, Edisi ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990). Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010)
126 Dr. Hj. Umul Baroroh,

Seputar Ibadah dan Mu’amalah (Bandung: Mizan, 1999).


Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Al-Kautsar,
2001).
Tihami dan Sol Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Wahbah Az-Zuahaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema
Insani, 2011).
Wahbah Zuahili, Fiqh Imam Syafi’i, Jidil II Terjemahan. (Jakarta:
Al-Mahira, 2010)
Zakat memoria Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995)
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih jilid 2, (Yoyakarta: Dana Bakhti
Wakaf, 1995).

You might also like