SlideShare a Scribd company logo
1
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat
penumpukan bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus
yang terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian
besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
80% bayi kurang bulan.1
Ikterus neonatorum selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi
cukup bulan dan 80% bayi preterm. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir
setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di
bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya.2
Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus) yaitu
manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat di
ganglia basalis dan beberapa nuklei batang otak. Saat ini angka kelahiran bayi di
Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi
sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu
penyebabnya sebesar 6,6%.2
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir tahun
2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12
mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi
sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar
bilirubin ≥13 mg/dL, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13%
pada tahun 2002.2
2
Di RSUD Raden Mattaher, kejadian ikterus neonatorum yang tercatat di bagian
perinatologi sejak Agustus 2012 sampai Januari 2013 sebanyak 100 kasus. Faktor risiko
yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia
Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis
neonatorum, dan prematuritas.
Di RSUP dr. Kariadi kejadian icterus neonatorum tercatat cukup tinggi, penelitian
ini untuk mencari penyebab faktor resiko icterus neonatorum pada bayi aterm dan
preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (januari 2020 - April 2020).
b. Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang yang telah disebutkan diatas, masalah yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah : faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr.
Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)
c. Tujuan Penelitian
1) Tujuan umum
Mengetahui apa saja faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr. Kariadi
selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)
2) Tujuan khusus
 Berapa persen bayi yang kuning baik aterm maupun preterm di RSUP
dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)
 Apa saja faktor resiko maternal pada bayi kuning aterm preterm di
RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)
 Apa saja faktor resiko neonatal pada bayi yang kuning baik aterm
maupun preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 –
April 2020)
d. Manfaat Penelitian
1) Bidang Pelayanan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi rumah
sakit mengenai apa saja faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr. Kariadi
selama 4 bulan ( Januari 2020 – April 2020), Sehingga dapat melakukan
pengangan dini mencegah terjadinya ikterus pada bayi
3
2) Bidang Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan positif bagi kalangan
akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya ikterus
neonatorum
3) Bidang Pendidikan
enelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang faktor resiko
terjadinya ikterus neonatorum pada bayi aterm maupun preterm
4
BAB II
LANDASAN TEORI
a. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).1
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam
plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh
banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk jika produksinya
dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi
dan pembersihan dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke
dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan hepar,
metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini.1
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali batas
atas kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah : 0-0,3mg/dL, dan kadar normal
bilirubin total: 0,3-1,0 mg/dL.2
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif
untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini
yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat
ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid.1
b. Epidemiologi
Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir
hingga usia 2 bulan setelah lahir.1 Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat
pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan.1
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar
42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir
menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar
bilirubin yang melebihi 10 mg.1
5
Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per
tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus
neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.13
c. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/ keadaan,
antara lain: 3,4
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus(Rh),
defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis herediter
dan pengaruh obat.
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin.
3. Polisitemia.
4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
5. Ibu diabetes.
6. Asidosis.
7. Hipoksia/asfiksia.
8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanik.
9. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
d. Klasifikasi Ikterus Neonatorum
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:4,5,6
 Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin
(hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa
eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup
bulan sekitar 16,8 gr/dl).
 Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan
protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang rendah
dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk
6
mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi
larut dalam air (konjugasi).
 Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus
dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi.
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl
dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat
terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar
berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara
umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai
berikut: 4
a. Timbul pada hari kedua – ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar
orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.
f. Tidak mempunyai dasar patologis.
Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat
daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama,
biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan
ke-7.4,6
2. Ikterus Patologis
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis
yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong
dalam ikterus patologis, antara lain:4,7
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang
bulan >10 mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
7
d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus,infeksi, trauma lahir
pada kepala, hipoglikemia
g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau
>14 hari (pada prematur).
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut
tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi
saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas
golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan
defisiensi enzim G6PD.8
e. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi
dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan utama metabolisme
pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek.
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut: 4
 Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat
menghasilkan 34 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh),
yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.4
 Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai
cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer
melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel
bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B)
dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
8
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam
plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk
hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol
hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital
mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih
banyak untuk bilirubin. 4
 Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide.
Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang
mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi
diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan
langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto). 4
 Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin
direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi
bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada
neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa
menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis
pun meningkat. 4
Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion yang
normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada
kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan
amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion
juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion
9
belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan
saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi
kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. 4
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir
semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke
sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada
hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa
neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa
neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 4
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan
dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim
glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat
meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar
albumin dalam serum. 4
10
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya
karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang
menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar
bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin
oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 4
Gambar 1. Metabolisme bilirubin5
f. Patofisiologi Ikterus
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
11
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.3
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan
proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil
transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.3
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada
otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata
tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi
terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan
kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.3
g. Diagnosis
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung
pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum
bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk
menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboratorium.9
Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 10
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting
pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
12
3. Usia gestasi
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi
tukar pada bayi sebelumnya
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin)
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi
susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek
10. Gejala-gejala kernikterus
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai
jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan
lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. 8
Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi:8
1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis,
status hidrasi.
2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch
cry.
3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik.
4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali.
5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.
13
Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer 8
Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 8
1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi
yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin.4,8,11
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum
bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun
alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak
‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk
menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain : 4,8,11
4
1
2
3
5
44
14
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus
diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar albumin serum juga perlu diukur.
Gambar 3.Alur diagnosis ikterus
15
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP
a. Kerangka teori
b.
Faktor penyebab:
1. Pembentukan bilirubin berlebih
2. Gangguan uptake, transportasi,dan
eksresi bilirubin dalamhati
3. Penyakit hemolitik
4. Produksi yangberlebihan
Faktor resiko:
1. Faktor maternal
2. Faktor prenatal
3. Faktor neonatus
Bilirubin indirek
Hiperbilirubin
Jaringan ekstravaskuler
(Kulit, konjungtiva,
mukosa, dan bagian
tubuh lain)
Ikterus
Pigmentasi (Jaundice)
Fototerapi
Evaporasi
Kelembapan kulit
Kulit kering
CRT <, turgor kulit
Resiko kerusakan
integritas kulit
Otak
Perlekatan bilirubin
indirek
Kern ikterus
Kejang
Resiko cidera
Pencernaan
Pengeluara cairan
empedu ke organ usus
Peristaltik usus
Diare
Diare
Vasokontriksi pembuluh
darah
Suhu tubuh Hipertermi
Pemisahan bayi dan
orang tua
Resiko gangguan pola asuh
Ikterus neonatus
Anoreksia, daya hisap
Pemberian asi terganggu
Ketidakefektifan proses
menyusui
Defisit volume cairan
Gambar 4. Kerangka teori
16
b. Kerangka konsep
Faktor Neonatal Faktor Maternal
InkomtaibilitasRhABO
Hemolisis
Infeksi/ sepsis
Defsiensi G6PD
Obat-obatan
Defisiensi albumin
Defisiensi protein
BBLR
Hipoglikemia
Asfiksia
Obstruksi
Aterm/ Preterm
Produksi bilirubin
meningkat
Transportasi
bilirubin
Konjugasi
bilirubin
Ekskresi
bilirubin
Aterm/ Preterm
Ibu DM
IUGR
Infeksi intranatal
Gawat janin
Obat- obatan
Ikterus Neonatorum
Gambar 5. Kerangka konsep
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
a. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak,
Divisi Perinatologi
2. Ruang Lingkup Waktu
a. Pembuatan proposal : Bulan Januari 2020 – April 2020
b. Pengambilan data : Bulan Januari 2020 – April 2020
c. Pengolahan data : Setelah data terkumpul.
3. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan di Semarang. Pengambilan sampel dilakukan
di ruang Perinatologi Neonatus resiko tinggi RSUP Dr. Kariadi.
b. Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian dengan studi Deskriptif.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi pasien yang di rawat di ruang Neonatus
resiko tinggi RSUP dr. Kariadi Semarang, kemudian dilakukan identifikasi faktor risiko
ikterik pada bayi aterm dan preterm baik maternal maupun neonatal di RSUP dr. Kariadi.
c. Populasi dan Sampel
1. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah bayi yang di rawat di ruang rawat
neonatus resiko tinggi di RSUP dr. Kariadi
2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah bayi yang dirawat di ruang rawat
Neonatus resiko tinggi di RSUP dr. Kariadi Januari – Arpil 2020 yang
mengalami kuning baik aterm maupun aterm
3. Sampel
a. Besar Sampel
Adapun jumlah sampel yang didapatkan selama januari -April 2020 sebanyak
91 bayi yang memenuhi kriteria inklusi
b. Cara Pengambilan Sampel
Pemilihan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling. Sampel
yang diambil sebagai subjek penelitian adalah bayi yang dirawat di ruang
rawat neonatus resiko tinggi, yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian.
18
d. Kriteria Inklusi Dan Kriteria Eksklusi
1. Kriteria inklusi:
- Bayi yang di rawat inap di ruang neonatus resiko tinggi
- Bayi ikterik aterm
- Bayi ikterik preterm
2. Kriteria Eksklusi
- Bayi aterm dan preterm yang dirawat di luar ruang rawat neonatus resiko
tinggi
e. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah : inkompatibilitas Rhesus
Inkomtaibilitas Rhesus, Hemolisis, Infeksi/ sepsis, Defsiensi G6PD, Obat-
obatan, Defisiensi albumin, Defisiensi protein, BBLR, Hipoglikemia, Asfiksia,
Obstruksi, Ibu DM, IUGR, Infeksi intranatal, Gawat janin
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah ikterik neonatorum pada bayi aterm
maupun preterm
f. Cara Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
 Alat
1. Data rekam medis
2. Jenis Data
a. Data primer :
- Identitas subjek meliputi nama, tanggal lahir, jenis persalinan, jenis
kelamin, usia gestasi, BBL, dan faktor resiko dicatat dari rekam medis
19
g. Alur Penelitian
Pasien rawat inap ruang
neonatus resiko tinggi
Identifikasi faktor risiko
- Pasien masuk ruang
rawat nenoatus resiko
tinggi, baik kelahiran
di RS. Kariadi secara
SC maupun normal
dan rujukan dari RS
non dr. Kariadi dan
mengalami kuning
- Identifikasi faktor resiko neonatus :
o inkompatibilitas Rhesus Inkomtaibilitas Rhesus,
Hemolisis, Infeksi/ sepsis, Defsiensi G6PD, Obat-
obatan, Defisiensi albumin, Defisiensi protein,
BBLR, Hipoglikemia, Asfiksia, Obstruksi,
- idenstifikasi faktor resiko maternal
o Ibu DM, IUGR, Infeksi intranatal, Gawat janin
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitianini mendeskripsikanfaktorresikomaternal danneonatal kejadianikterikpadabayi baru
lahiryang dirawatdi ruang neonatologi resikotinggidi RSUPdr. Kariadi antarbulanJanuari 2020-
Apeil 2020 dengandatakami tampilkandalambentuktabel.
Tabel 1. Karakteristikbayi denganikterik
Karakteristik N %
Jeniskelamin
Laki- laki 50 54,9
Perempuan 41 45,1
Jenispersalinan
Sectiocaesarea 74 81,3
Spontanpervaginam 17 18,7
Usia gestational
Aterm 22 24,1
Preterm 69 75,9
Berat badanlahir
<2500 gram 64 70,3
>2500 gram 27 29,7
Pada tabel 1, mayoritas bayi baru lahir yang mengalami ikterik adalah laki-laki sebanyak 50 bayi
(54,9%) dengan persalinnan terbanyak adalah sectio caesare 74 persalinan (81,3%). Dari segi usia
gestasional kelompokbayi yanglebihbanyakmenderitaikterusadalahbayi prematuryaitusebanyak
69 bayi (75,9%) sedangkan bayi aterm yang mengalami ikterik sebanyak 22 bayi (24,1%).
Tabel 2. Faktor resikomaternal bayi denganikterik
Faktor resiko n %
PEB 15 16,4
Eklampsia 4 4,4
Hipertensi 7 7,7
KPD 8 8,8
Fetal distress 5 5,5
IUGR 5 5,5
Penyakitjantung 3 3,3
Dari hasil penelitiandidapatkandari 91bayi yang mengalami ikterik,15bayi ibumengalami PEB
(16,4), 4 bayi ibumengalami eklampsia(4,4%),7bayi ibumengalami hipertensi(7,7%). Preeklamsi
21
dan eklampsiamemberi pengaruhburuk padakesehatanjaninyangdisebabkanolehmenurunnya
perfusi uteroplasenta,hipolemia,vasospasme,dankerusakansel endotelpembuluhdarahplasenta.
Sehinggamenimbulkandampakpadajaninyaitufetal distress,intrauterine growthrestriction(IUGR)
dan oligohidramnion,solusioplasenta,perdarahanintraventrikular,dansepsis.Dampaktersebut
dapat memicuterjadinyaikteruspadabayi.
Dari hasil penelitanjugadidapatkanIUGRdanfetal distresssebanyak5bayi (5,5%),danibudengan
penyakitjantungsebanyak3bayi (3,3%)
Tabel 3. faktor resikoneonatal bayi denganikterik
Faktor resiko n %
Premature 69 75,9
BBLR 64 70,3
Inkompatibilitasrh/ABO 3 3,3
Infeksi 22 24,1
Hipoglikemia 6 6,6
Gangguan nafas 52 57,1
Dari segi usia gestasional kelompok bayi yang lebih banyak menderita ikterus adalah bayi prematur
yaitu sebanyak 69 bayi (75,9%) sedangkan bayi aterm yang mengalami ikterik sebanyak 22 bayi
(24,1%). Hasil ini sesuai denganpenelitiandari RSUP Dr Kariadi Semarang pada tahun 2005 dan 2006
yang menunjukkanpadabayi cukupbulan(matur) kejadianikterusadalah44,4% dan kejadianikterus
pada bayi kurang bulan adalah 55,6%.16 Manakala menurut penelitian Maisels MJ. dan Kring E.,
mendapatkan bahwa hiperbilirubinemia terjadi terbanyak pada bayi preterm (rata-rata umur
kehamilan38,1 ± 3 minggu).PenelitianyangdilakukanolehSarici dkk,menemukanbahwaneonatus
denganumurkehamilan36–37 minggumemilikifaktorresiko5,7kali terjadinyaikterusdibandingkan
neonatus dengan umur kehamilan 39 – 49 minggu. Resiko ikterus akan meningkat sesuai dengan
menurunnya umur kehamilan14
.
Dari segi beratbadanlahirdidapatkanbahwabayi yangpalingbanyakyangmengalamiikterusadalah
kelompok bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu 64 bayi (70,3%). Hasil ini sesuai dengan
penelitianyangdilakukandi RSUP Dr Kariadi Semarang pada tahun 2005 dan 2006 yang menyatakan
neonatusdenganberatbadanlahirdibawah2500 gram adalahpenderitaikterustertinggi 14
.Menurut
suatupenelitianyangdilakukanolehSukadi A.padatahun2008mengatakanbahwapadaberatbadan
lahir rendah pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna15
.
Dari hasil penelitiandidapatkandari 91bayi yangmengalami kuning,22bayi (24%) mengalami infeksi.
Infeksi yangdapatmenimbulkanterjadinya kelainankongenitalialahinfeksiyangterjadipadaperiode
atau pada masa organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu
dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ
tubuh.Infeksi padatrimesterpertamadi sampingdapatmenimbulkankelainankongenitaljugadapat
pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama
22
yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, rubella,
infeksi toksoplasmasis,kelainankelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan
pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia serta
gangguan pada organ hati yaitu vena porta intrahepatik atau ekstrahepatik.
Selain hasil diatas dari penelitan ini didapatkan dari 91 bayi yang mengalami ikterik 6 bayi (6,6%)
mengalami hipoglikemia, 3 bayi mengalami inkompatibilitasRh/ABO (3,3%), dan 52 bayi mengalami
gangguan nafas (57,1%).
23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang
neonatal resiko tinggi di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Januari 2020 – April 2020
didapatkan 91 bayi mengalami ikterik. Dari 91 bayi yang mengalami ikterik, sebagian
besar merupakan bayi premature dan bayi dengan berat badan lahir rendah.
b. Saran
Untuk penelitian berikutnya disarakan untuk melakukan penelitian dengan faktor resiko
lain baik maternal maupun neonatal dan dengan sampel yang lebih besar serta waktu
yang lebih lama.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam
Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library.
2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2015] Available
fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm
3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI, Usman
A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 2008.h.147-69.
4. Kliegman, Robert M.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17ThEdition.
Philadelphia: Saunders;2004. p. 592-8
5. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews.2010. vol. 11.
p.316-22.
6. Gartner, Lawrence M. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review;1994.Vol. 15. p. 422-32
7. Depkes RI. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode
Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI; 2001.
8. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In : Management
Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics;
2004. p.114, 297-316.
9. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England
Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
10. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-22,1101-23.
11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam : Hiperbilirubinemia Pada
Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004.
12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of
Medicine,2001. Vol. 344, No. 8.
13. Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. Gambaran Faktor Risiko Ikterus
Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun
2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi.
14. Kosim M.S., Garina L.A., Chandra T., Adi M.S., Hubungan Hiperbilirubinemia dan
Kematian Pasien yang Dirawat di NICU RSUP Dr Kariadi Semarang. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Universitas Diponegoro/RS. Dr. Kariadi Semarang; 2007.hal.270 – 3.
25
15. Sukadi A., Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi, editors : Kasim M.S.,
Yunanto A. Badan Penerbit IDAI, Jakarta; 2008. hal. 147 – 69.

More Related Content

Mini research ikterus neonatorum

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1 Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan.1 Ikterus neonatorum selama usia minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.2 Ikterus neonatorum dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kernikterus) yaitu manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat di ganglia basalis dan beberapa nuklei batang otak. Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.2 Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan, diantaranya RSCM dengan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir tahun 2003 sebesar 58% untuk kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 29,3% untuk kadar bilirubin ≥12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan, RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% mempunyai kadar bilirubin ≥13 mg/dL, RS Dr.Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002.2
  • 2. 2 Di RSUD Raden Mattaher, kejadian ikterus neonatorum yang tercatat di bagian perinatologi sejak Agustus 2012 sampai Januari 2013 sebanyak 100 kasus. Faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas. Di RSUP dr. Kariadi kejadian icterus neonatorum tercatat cukup tinggi, penelitian ini untuk mencari penyebab faktor resiko icterus neonatorum pada bayi aterm dan preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (januari 2020 - April 2020). b. Rumusan Masalah Berdasarakan latar belakang yang telah disebutkan diatas, masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020) c. Tujuan Penelitian 1) Tujuan umum Mengetahui apa saja faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020) 2) Tujuan khusus  Berapa persen bayi yang kuning baik aterm maupun preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)  Apa saja faktor resiko maternal pada bayi kuning aterm preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020)  Apa saja faktor resiko neonatal pada bayi yang kuning baik aterm maupun preterm di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan (Januari 2020 – April 2020) d. Manfaat Penelitian 1) Bidang Pelayanan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi rumah sakit mengenai apa saja faktor resiko ikterus neonatorum di RSUP dr. Kariadi selama 4 bulan ( Januari 2020 – April 2020), Sehingga dapat melakukan pengangan dini mencegah terjadinya ikterus pada bayi
  • 3. 3 2) Bidang Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan positif bagi kalangan akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya ikterus neonatorum 3) Bidang Pendidikan enelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang faktor resiko terjadinya ikterus neonatorum pada bayi aterm maupun preterm
  • 4. 4 BAB II LANDASAN TEORI a. Definisi Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah dan jaringan (> 2 mg/ 100 ml serum).1 Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk jika produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan pembersihan dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini.1 Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34-43 mmol/L) atau sekitar 2 kali batas atas kisaran normal. Kadar bilirubin direk normal adalah : 0-0,3mg/dL, dan kadar normal bilirubin total: 0,3-1,0 mg/dL.2 Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid.1 b. Epidemiologi Ikterus Neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir hingga usia 2 bulan setelah lahir.1 Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan.1 Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi, di RSCM persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.1
  • 5. 5 Saat ini angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian bayi sebesar 48/1000 kelahiran hidup dengan ikterus neonatorum merupakan salah satu penyebabnya sebesar 6,6%.13 c. Etiologi Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/ keadaan, antara lain: 3,4 1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus(Rh), defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis herediter dan pengaruh obat. 2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. 3. Polisitemia. 4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. 5. Ibu diabetes. 6. Asidosis. 7. Hipoksia/asfiksia. 8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanik. 9. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. d. Klasifikasi Ikterus Neonatorum 1. Ikterus Fisiologis Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:4,5,6  Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8 gr/dl).  Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan) dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk
  • 6. 6 mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi).  Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada ambilan nutrisi. Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus fisiologis adalah sebagai berikut: 4 a. Timbul pada hari kedua – ketiga. b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg % e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari. f. Tidak mempunyai dasar patologis. Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7.4,6 2. Ikterus Patologis Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:4,7 a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL. c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
  • 7. 7 d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL. e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis) f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus,infeksi, trauma lahir pada kepala, hipoglikemia g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur). Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD.8 e. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut: 4  Produksi Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.4  Transportasi Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
  • 8. 8 merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin. 4  Konjugasi Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto). 4  Ekskresi Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat. 4 Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion
  • 9. 9 belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. 4 Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 4 Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. 4
  • 10. 10 Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. 4 Gambar 1. Metabolisme bilirubin5 f. Patofisiologi Ikterus Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
  • 11. 11 eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.3 Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.3 Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.3 g. Diagnosis Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus, tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan ketika kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.9 Hal – hal penting yang menunjang diagnosis meliputi: 10 1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya. 2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
  • 12. 12 3. Usia gestasi 4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi 5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau transfusi tukar pada bayi sebelumnya 6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin) 7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa. 8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu, intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur. 9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek 10. Gejala-gejala kernikterus Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan cahaya sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. 8 Pemeriksaan fisis penting yang menunjang diagnosis meliputi:8 1. Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis, status hidrasi. 2. Tanda-tanda kern ikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high pitch cry. 3. Pucat, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik. 4. Tanda-tanda infeksi intrauterin, peteki dan splenomegali. 5. Progresi ikterus sefalo-kaudal pada ikterus berat.
  • 13. 13 Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer 8 Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu: 8 1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg) 2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%) 3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg) 4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%) 5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%) Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.4,8,11 Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain : 4,8,11 4 1 2 3 5 44
  • 14. 14 1. Golongan darah dan Coombs test 2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi 3. Hitung retikulosit, skrining G6PD 4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar albumin serum juga perlu diukur. Gambar 3.Alur diagnosis ikterus
  • 15. 15 BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP a. Kerangka teori b. Faktor penyebab: 1. Pembentukan bilirubin berlebih 2. Gangguan uptake, transportasi,dan eksresi bilirubin dalamhati 3. Penyakit hemolitik 4. Produksi yangberlebihan Faktor resiko: 1. Faktor maternal 2. Faktor prenatal 3. Faktor neonatus Bilirubin indirek Hiperbilirubin Jaringan ekstravaskuler (Kulit, konjungtiva, mukosa, dan bagian tubuh lain) Ikterus Pigmentasi (Jaundice) Fototerapi Evaporasi Kelembapan kulit Kulit kering CRT <, turgor kulit Resiko kerusakan integritas kulit Otak Perlekatan bilirubin indirek Kern ikterus Kejang Resiko cidera Pencernaan Pengeluara cairan empedu ke organ usus Peristaltik usus Diare Diare Vasokontriksi pembuluh darah Suhu tubuh Hipertermi Pemisahan bayi dan orang tua Resiko gangguan pola asuh Ikterus neonatus Anoreksia, daya hisap Pemberian asi terganggu Ketidakefektifan proses menyusui Defisit volume cairan Gambar 4. Kerangka teori
  • 16. 16 b. Kerangka konsep Faktor Neonatal Faktor Maternal InkomtaibilitasRhABO Hemolisis Infeksi/ sepsis Defsiensi G6PD Obat-obatan Defisiensi albumin Defisiensi protein BBLR Hipoglikemia Asfiksia Obstruksi Aterm/ Preterm Produksi bilirubin meningkat Transportasi bilirubin Konjugasi bilirubin Ekskresi bilirubin Aterm/ Preterm Ibu DM IUGR Infeksi intranatal Gawat janin Obat- obatan Ikterus Neonatorum Gambar 5. Kerangka konsep
  • 17. 17 BAB IV METODE PENELITIAN a. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, Divisi Perinatologi 2. Ruang Lingkup Waktu a. Pembuatan proposal : Bulan Januari 2020 – April 2020 b. Pengambilan data : Bulan Januari 2020 – April 2020 c. Pengolahan data : Setelah data terkumpul. 3. Ruang Lingkup Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di Semarang. Pengambilan sampel dilakukan di ruang Perinatologi Neonatus resiko tinggi RSUP Dr. Kariadi. b. Rancangan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian dengan studi Deskriptif. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi pasien yang di rawat di ruang Neonatus resiko tinggi RSUP dr. Kariadi Semarang, kemudian dilakukan identifikasi faktor risiko ikterik pada bayi aterm dan preterm baik maternal maupun neonatal di RSUP dr. Kariadi. c. Populasi dan Sampel 1. Populasi Target Populasi target pada penelitian ini adalah bayi yang di rawat di ruang rawat neonatus resiko tinggi di RSUP dr. Kariadi 2. Populasi Terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah bayi yang dirawat di ruang rawat Neonatus resiko tinggi di RSUP dr. Kariadi Januari – Arpil 2020 yang mengalami kuning baik aterm maupun aterm 3. Sampel a. Besar Sampel Adapun jumlah sampel yang didapatkan selama januari -April 2020 sebanyak 91 bayi yang memenuhi kriteria inklusi b. Cara Pengambilan Sampel Pemilihan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling. Sampel yang diambil sebagai subjek penelitian adalah bayi yang dirawat di ruang rawat neonatus resiko tinggi, yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian.
  • 18. 18 d. Kriteria Inklusi Dan Kriteria Eksklusi 1. Kriteria inklusi: - Bayi yang di rawat inap di ruang neonatus resiko tinggi - Bayi ikterik aterm - Bayi ikterik preterm 2. Kriteria Eksklusi - Bayi aterm dan preterm yang dirawat di luar ruang rawat neonatus resiko tinggi e. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah : inkompatibilitas Rhesus Inkomtaibilitas Rhesus, Hemolisis, Infeksi/ sepsis, Defsiensi G6PD, Obat- obatan, Defisiensi albumin, Defisiensi protein, BBLR, Hipoglikemia, Asfiksia, Obstruksi, Ibu DM, IUGR, Infeksi intranatal, Gawat janin 2. Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah ikterik neonatorum pada bayi aterm maupun preterm f. Cara Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian  Alat 1. Data rekam medis 2. Jenis Data a. Data primer : - Identitas subjek meliputi nama, tanggal lahir, jenis persalinan, jenis kelamin, usia gestasi, BBL, dan faktor resiko dicatat dari rekam medis
  • 19. 19 g. Alur Penelitian Pasien rawat inap ruang neonatus resiko tinggi Identifikasi faktor risiko - Pasien masuk ruang rawat nenoatus resiko tinggi, baik kelahiran di RS. Kariadi secara SC maupun normal dan rujukan dari RS non dr. Kariadi dan mengalami kuning - Identifikasi faktor resiko neonatus : o inkompatibilitas Rhesus Inkomtaibilitas Rhesus, Hemolisis, Infeksi/ sepsis, Defsiensi G6PD, Obat- obatan, Defisiensi albumin, Defisiensi protein, BBLR, Hipoglikemia, Asfiksia, Obstruksi, - idenstifikasi faktor resiko maternal o Ibu DM, IUGR, Infeksi intranatal, Gawat janin
  • 20. 20 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitianini mendeskripsikanfaktorresikomaternal danneonatal kejadianikterikpadabayi baru lahiryang dirawatdi ruang neonatologi resikotinggidi RSUPdr. Kariadi antarbulanJanuari 2020- Apeil 2020 dengandatakami tampilkandalambentuktabel. Tabel 1. Karakteristikbayi denganikterik Karakteristik N % Jeniskelamin Laki- laki 50 54,9 Perempuan 41 45,1 Jenispersalinan Sectiocaesarea 74 81,3 Spontanpervaginam 17 18,7 Usia gestational Aterm 22 24,1 Preterm 69 75,9 Berat badanlahir <2500 gram 64 70,3 >2500 gram 27 29,7 Pada tabel 1, mayoritas bayi baru lahir yang mengalami ikterik adalah laki-laki sebanyak 50 bayi (54,9%) dengan persalinnan terbanyak adalah sectio caesare 74 persalinan (81,3%). Dari segi usia gestasional kelompokbayi yanglebihbanyakmenderitaikterusadalahbayi prematuryaitusebanyak 69 bayi (75,9%) sedangkan bayi aterm yang mengalami ikterik sebanyak 22 bayi (24,1%). Tabel 2. Faktor resikomaternal bayi denganikterik Faktor resiko n % PEB 15 16,4 Eklampsia 4 4,4 Hipertensi 7 7,7 KPD 8 8,8 Fetal distress 5 5,5 IUGR 5 5,5 Penyakitjantung 3 3,3 Dari hasil penelitiandidapatkandari 91bayi yang mengalami ikterik,15bayi ibumengalami PEB (16,4), 4 bayi ibumengalami eklampsia(4,4%),7bayi ibumengalami hipertensi(7,7%). Preeklamsi
  • 21. 21 dan eklampsiamemberi pengaruhburuk padakesehatanjaninyangdisebabkanolehmenurunnya perfusi uteroplasenta,hipolemia,vasospasme,dankerusakansel endotelpembuluhdarahplasenta. Sehinggamenimbulkandampakpadajaninyaitufetal distress,intrauterine growthrestriction(IUGR) dan oligohidramnion,solusioplasenta,perdarahanintraventrikular,dansepsis.Dampaktersebut dapat memicuterjadinyaikteruspadabayi. Dari hasil penelitanjugadidapatkanIUGRdanfetal distresssebanyak5bayi (5,5%),danibudengan penyakitjantungsebanyak3bayi (3,3%) Tabel 3. faktor resikoneonatal bayi denganikterik Faktor resiko n % Premature 69 75,9 BBLR 64 70,3 Inkompatibilitasrh/ABO 3 3,3 Infeksi 22 24,1 Hipoglikemia 6 6,6 Gangguan nafas 52 57,1 Dari segi usia gestasional kelompok bayi yang lebih banyak menderita ikterus adalah bayi prematur yaitu sebanyak 69 bayi (75,9%) sedangkan bayi aterm yang mengalami ikterik sebanyak 22 bayi (24,1%). Hasil ini sesuai denganpenelitiandari RSUP Dr Kariadi Semarang pada tahun 2005 dan 2006 yang menunjukkanpadabayi cukupbulan(matur) kejadianikterusadalah44,4% dan kejadianikterus pada bayi kurang bulan adalah 55,6%.16 Manakala menurut penelitian Maisels MJ. dan Kring E., mendapatkan bahwa hiperbilirubinemia terjadi terbanyak pada bayi preterm (rata-rata umur kehamilan38,1 ± 3 minggu).PenelitianyangdilakukanolehSarici dkk,menemukanbahwaneonatus denganumurkehamilan36–37 minggumemilikifaktorresiko5,7kali terjadinyaikterusdibandingkan neonatus dengan umur kehamilan 39 – 49 minggu. Resiko ikterus akan meningkat sesuai dengan menurunnya umur kehamilan14 . Dari segi beratbadanlahirdidapatkanbahwabayi yangpalingbanyakyangmengalamiikterusadalah kelompok bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu 64 bayi (70,3%). Hasil ini sesuai dengan penelitianyangdilakukandi RSUP Dr Kariadi Semarang pada tahun 2005 dan 2006 yang menyatakan neonatusdenganberatbadanlahirdibawah2500 gram adalahpenderitaikterustertinggi 14 .Menurut suatupenelitianyangdilakukanolehSukadi A.padatahun2008mengatakanbahwapadaberatbadan lahir rendah pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna15 . Dari hasil penelitiandidapatkandari 91bayi yangmengalami kuning,22bayi (24%) mengalami infeksi. Infeksi yangdapatmenimbulkanterjadinya kelainankongenitalialahinfeksiyangterjadipadaperiode atau pada masa organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh.Infeksi padatrimesterpertamadi sampingdapatmenimbulkankelainankongenitaljugadapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama
  • 22. 22 yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, rubella, infeksi toksoplasmasis,kelainankelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia serta gangguan pada organ hati yaitu vena porta intrahepatik atau ekstrahepatik. Selain hasil diatas dari penelitan ini didapatkan dari 91 bayi yang mengalami ikterik 6 bayi (6,6%) mengalami hipoglikemia, 3 bayi mengalami inkompatibilitasRh/ABO (3,3%), dan 52 bayi mengalami gangguan nafas (57,1%).
  • 23. 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang neonatal resiko tinggi di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Januari 2020 – April 2020 didapatkan 91 bayi mengalami ikterik. Dari 91 bayi yang mengalami ikterik, sebagian besar merupakan bayi premature dan bayi dengan berat badan lahir rendah. b. Saran Untuk penelitian berikutnya disarakan untuk melakukan penelitian dengan faktor resiko lain baik maternal maupun neonatal dan dengan sampel yang lebih besar serta waktu yang lebih lama.
  • 24. 24 DAFTAR PUSTAKA 1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library. 2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2015] Available fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm 3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 2008.h.147-69. 4. Kliegman, Robert M.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam :Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17ThEdition. Philadelphia: Saunders;2004. p. 592-8 5. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews.2010. vol. 11. p.316-22. 6. Gartner, Lawrence M. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review;1994.Vol. 15. p. 422-32 7. Depkes RI. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI; 2001. 8. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In : Management Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 2004. p.114, 297-316. 9. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New England Journal of Medicine;2008p.358:920-8. 10. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-22,1101-23. 11. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik, Sylviati M. Dalam : Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya; 2004. 12. Ennery P, Eidman A, Tevenson D. Neonatal Hyperbilirubinemia. New England Journal of Medicine,2001. Vol. 344, No. 8. 13. Reisa Maulidya Tazami, Mustarim, Shalahudden Syah. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi. 14. Kosim M.S., Garina L.A., Chandra T., Adi M.S., Hubungan Hiperbilirubinemia dan Kematian Pasien yang Dirawat di NICU RSUP Dr Kariadi Semarang. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Diponegoro/RS. Dr. Kariadi Semarang; 2007.hal.270 – 3.
  • 25. 25 15. Sukadi A., Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi, editors : Kasim M.S., Yunanto A. Badan Penerbit IDAI, Jakarta; 2008. hal. 147 – 69.