PTK Cerpen Di Kelas IX SMP
PTK Cerpen Di Kelas IX SMP
PTK Cerpen Di Kelas IX SMP
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada diri siswa sebagai hasil dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik bersifat pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang, maka belajar hanya akan terjadi apabila siswa memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Sedangkan peranan guru dengan otoritasnya terbatas pada upaya perancangan suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk belajar, dengan berbagai prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab profesi yang dimilikinya (Sukmara, 2005:54). Hal di atas sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terdapat dalam Bab II pasal 3 Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003:8). Penulis menggarisbawahi kata berkembangnya pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Secara semantik kata berkembangnya berbeda dengan kata mengembangkan. Kalau digunakan kelompok kata untuk mengembangkan potensi peserta didik berarti penekanannya pada guru/pendidik yang harus lebih aktif berperan dalam pembelajaran. Sedangkan penggunaan kelompok kata berkembangnya potensi peserta didik lebih menekankan pada suatu kondisi yang difasilitasi guru agar peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Dalam pengembangan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kegiatan belajar siswa sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. 1) Memberikan peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuan dibawah bimbingan guru atau orang dewasa. 2) Merupakan pola yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan mata pelajaran yang bersangkutan. 3) Disesuaikan dengan ragam sumber belajar yang tersedia. 4) Bervariasi dengan mengombinasikan antara kegiatan belajar perorangan, pasangan, kelompok, dan klasikal. 5) Memperhatikan pelayanan terhadap perbedaan individual siswa. Pembelajaran sastra terutama apresiasi sastra di sekolah bukanlah bertujuan untuk membuat para siswa menjadi sastrawan, melainkan lebih bertujuan untuk membuat mereka mencintai karya sastra bangsanya, mampu memberikan penilaian terhadap karya sastra yang dibacanya dan memanfaatkan karya sastra dalam bidang kehidupan mereka masing-masing. Karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, mengandung nilai pendidikan, sosial, kemasyarakatan, psikologis, agama dan sebagainya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra sulit ditemukan, oleh karena itu perlu diadakan kegiatan analisis. Anton M. Moeliono(1993:37) berpendapat bahwa analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sejalan dengan pendapat di atas, Jakob Sumardjo(1994:3) menyatakan bahwa bahasa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sastra adalah bentuk rekaman bahasa yang akan disampaikan pada orang lain. Untuk memahami suatu karya sastra tidaklah mudah, banyak segi yang harus dianalisis baik dari unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsiknya. Sebenarnya para guru sangat beruntung karena mutu dan jenis prosa/cerita ini jumlahnya cukup banyak. Cerpen misalnya, dengan mudah dapat ditemukan dan dipilih yang sesuai dengan tingkat kebahasaan dan disukai oleh siswa. Cerpen memungkinkan seorang siswa hanyut dalam keasyikan membacanya. Sekarang ini banyak cerpen yang sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan intelektual anak. Cerpen-cerpen ini jelas dapat dijadikan sarana pendukung untuk memperkaya bacaan dan dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di SMP. Meskipun demikian, dalam melaksanakan tugas di lapangan penulis mendapat beberapa permasalahan, yaitu: 1) Banyaknya siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM), terutama dalam pembelajaran sastra; 2) Rendah partisipasi siswa yang aktif dalam pembelajaran sastra; 3) Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi prasyarat pembelajaran sastra; 4) Rendahnya kemampuan guru dalam memvariasikan model dan media pembelajaran sastra. 5) Fokus pembelajaran ada pada guru, sedangkan siswa hanya menerima apa-apa yang diberikan guru tanpa melalui aktivitas dan partisipasi yang berarti. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti proses pembelajaran apresiasi sastra di kelas IX SMP terutama mengenai peningkatan kemampuan siswa dalam memahami cerita pendek melalui pendekatan kontekstual dengan menggunakan model pembelajaran Snowball Throwing. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang diteliti lebih spesifik dan terfokus, maka penulis membatasi permasalahan pada peningkatan kemampuan siswa SMPN 3 Bojongpicung dalam memahami unsur intrinsik cerita pendek melalui pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran Snowball throwing. 2. Rumusan Masalah Dari identifikasi dan pembatasan masalah yang ada, penulis merumuskan masalah sebagai berikut. Apakah model pembelajaran Snowball Throwing di kelas IXA dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami unsur intrinsik cerita pendek? C. Cara Pemecahan Masalah Dalam upaya memecahkan permasalahan tentang rendahnya kemampuan siswa dalam mengapresiasi cerita pendek, proses pembelajaran akan dilakukan dengan menggunakan pendekaatan kontekstual (contextual teaching and learning) dengan model pembelajaran Snowball Throwing, serta sebagai tindakan pendukung adalah memvariasikan metode dan media pembelajaran. D. Hipotesis Tindakan Proses pembelajaran pada apresiasi cerita pendek bila dilakukan dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) dengan model pembelajaran Snowball Throwing diduga akan meningkatkan kemampuan/hasil belajar siswa. Hal itu karena pendekatan kontekstual
mendahulukan prinsip belajar siswa aktif, kritis, dan kreatif serta model snowball throwing akan lebih melayani kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Adapun tahapan pelaksanaannya secara rinci akan dijelaskan pada uraian tentang rencana tindakan. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulis menetapkan tujuan penelitian sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan model pembelajaran Snowball Throwing dalam memahami/mengapresiasi cerpen di kelas IX A SMPN 3 Bojongpicung. 2. Untuk mengetahui kemampuan siswa IX A SMPN 3 Bojongpicung dalam memahami unsur intrinsik cerita pendek 3. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam memahami/mengapresiasi cerita pendek dengan model pembelajaran Snowball Throwing. 2. Manfaat Penelitian Bagi Siswa a. Dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dalam apresiasi cerita pendek. b. Dapat meningkatakan makna pembelajaran apresiasi cerpen bagi siswa. c. Dapat meningkatkan makna bekerja sama dalam pembelajaran. Bagi Guru a. Dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran apresiasi cerpen. b. Dapat meningkatkan ketepatan penggunaan model Snowball Throwing dalam proses pembelajaran. c. Dapat meningkatkan keterampilan dalam penggunaan media pembelajaran. d. Dapat meningkatkan makna bekerja sama dengan sesama guru Bahasa Indonesia, guru mata pelajaran lain, dan atasan. e. Dapat memfasilitasi siswa dalam peningkatan motivasi dan hasil belajarnya. d. Dapat meningkatkan minat untuk melakukan penelitian Bagi Guru Lain/Sekolah a. Dapat meningkatkan pemahaman tentang penelitian. b. Dapat meningkatkan makna bekerja sama. BAB II KAJIAN TEORI
A. Cerita Pendek dalam Kurikulum Tahun 2006 Keberhasilan pembelajaran apresiasi cerita pendek turut menentukan keberhasilan pencapaian standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di dalam Kurikulum Standar Isi(Tahun 2006) apresiasi cerita pendek pada Sekolah Menengah Pertama diajarkan di IX semester 1 dengan alokasi waktu sebagai berikut. (a) Standar Kompetensi : 6. Mengungkapkan kembali cerpen dan puisi dalam bentuk lain(Berbicara) Kompetensi Dasar : 6.1 Menceritakan kembali secara lisan isi
cerpen(4x40) (b) Standar Kompetensi : 7. Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan cerita pendek (Membaca) Kompetensi Dasar : 7.1 Menemukan tema, latar, dan penokohan, pada cerpen dalam satu buku kumpulan cerpen (4 x 40) 7.2 Menganalisis nilai-nilai kehidupan pada cerpencerpen dalam satu buku kumpulan cerpen (4 x 40) (c) Standar Kompetensi : 8. Mengungkapkan kembali pikiran, perasaan, dan pengalaman dalam cerita pendek(Menulis) Kompetensi Dasar : 8.1 Menulis kembali dengan kalimat sendiri cerita pendek yang pernah di baca (4 x 40) 8.2 Menulis cerita pendek bertolak dari peristiwa yang pernah dialami (6 x 40) B. Cerita Pendek 1. Pengertian Cerita Pendek. Sampai kini belum ada kesamaan pendapat tentang pengertian cerpen yang paling tepat sehuingga dapat diterima setiap orang. Banyak ahli dan peminat sastra yang berpendapat bahwa memberikan batasan cerita pendek lebih sulit daripada memperlihatkan atau menunjukkan cerpen itu sendiri. Walaupun demikian berikut ini penulis kutipkan beberapa pendapat tentang pengertian tersebut sebagai bahan untuk memahami sebuah cerita pendek. Harry D. Fauzi (2005:61) mengemukakan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah bentuk karangan prosa fiksi yang pendek, jumlah katanya berkisar antara seribu hingga lima ribu kata. Cerpen dikembangkan dan diarahkan kepada insiden atau peristiwa tunggal yang berkaitan erat dengan pelaku utamanya. Bagi penulis cerpen tidak ada kesempatan untuk mengembangkan karakter pelaku-pelakunya secara rinci. Beberapa batasan lain menekankan pada tunggalnya kejadian dalam cerpen itu sendiri. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1994:37) berpendapat bahwa cerpen adalah cerita atau narasi fiktif yang relatif pendek dan hanya mengandung satu peristiwa untuk satu efek bagi pembacanya. Dikemukakan pula oleh Ellery Sadwich (dalam Tarigan, 1993:197) bahwa cerpen adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Beberapa ciri yang tampak pada sebuah cerpen dikemukakan oleh Ristiani (2003:4) sebagai berikut. 1. Relatif lebih pendek (sebab ada pula cerpen yang panjang); 2. Terdiri atas 1.000 sampai 5.000 kata (tidak menjadi ukuran mutlak); 3. Dapat dibaca selesai dalam sekali duduk; 4. Kesan tunggal diperoleh dalam sekali baca(caranya dengan mengarahkan plot pada insiden/peristiwa tunggal); 5. Tokoh jarang dikembangkan karena langsung ditunjukkan karakternya; 6. Karakter di dalam cerpen lebih merupakan penunjukan daripada perkembangan; 7. Dimensi waktu terbatas; 8. Kualitas cerpen bersifat pendataan, pemusatan, dan pendalaman;
9. Mencapai keutuhan secara ekslusi; 10. Membiarkan hal-hal yang dianggap tidak pokok; 11. Hanya mengungkapkan satu masalah tunggal; 12. Menunjukkan adanya kebulatan kisah; 13. Pemusatan perhatian pada satu tokoh utama, pada satu situasi tertentu. Rincian mengenai ciri-ciri cerpen dapat disimpulkan dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas. Ciri-ciri tersebut adalah: Pertama, bentuk cerpen berupa cerita rekaan atau narasi fiktif (bukan analisis argumentatif); kedua, sifat narasi fiktif cerpen menuntut adanya satu kejadian atau terkonsentrasi hanya pada satu peristiwa. Ketiga, bahan atau isinya berupa kehidupan; keempat, relatif pendek; dan kelima menggunanakan media bahasa. Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita fiksi atau rekaan yang relatif singkat, mengungkapkan suatu kesan dari pragmen kehidupan manusia, berpusat pada suatu peristiwa dan merupakan suatu kesatuan yang utuh serta dinyatakan dalam bahasa tulis. 2. Unsur-unsur Cerita Pendek Dalam upaya memahami suatu karya sastra khususnya cerita pendek, Harry D. Fauzi (2005:44) mengemukakan dua cara , yakni pendekatan terhadap unsur-unsur intrinsik(pendekatan objektif) dan pendekatan melalui unsur-unsur ekstrinsiknya(pendekatan mimetik atau ekspresif). Memahami unsur intrinsik berarti memiliki kemampuan dalam menganalis aspek-aspek struktur cerita yang meliputi, tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang, dan gaya penuturan. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan struktur karya sastra yang meliputi tema, latar, penokohan/perwatakan, alur, sudut pandang, gaya, suasana, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun atau mempengaruhi karya sastra dari luar atau latar belakang penciptan karya sastra itu sendiri. (Sumardjo, 1994:37). 2.1 Tema Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Ristiani, 2003:70) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema adalah ide sebuah cerita yang ingin dikatakan pengarang kepada pembacanya, baik masalah keghidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan, maupun komentarnya terhadap kehidupan ini. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita. Menurut Jakob Sumardjo (1994:57) mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung dalam cerpen tersebut. Dengan demikian betapa pentingnya keberadaan tema dalam sebuah cerita, sehingga tema sering sekali disebut sebagai ide pusat atau ide inti dalam sebuah cerita. 2.2 Latar (Setting) Dikemukan oleh Eddy (dalam Ristiani, 2003:54) bahwa latar/setting adalah seluruh keterangan mengenai tempat(ruang), waktu, dan suasana. Latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan tempat dan waktu berlangsungnya cerita. Latar merupakan unsur cerita yang penting. Lebih rincinya lagi menurut Keeney (dalam Sudjiman 1992:44) latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan, sampai kepada rincian perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh; waktu berlangsungnya kejadian; masa sejarahnya; musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh. Hudson membedakan latar sosial dan latar fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat, kebiasaaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Sedangkan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya (Sudjiman, 1992: 44). Latar mempunyai fungsi memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagimana adanya seperti yang digambarkan dalam sebuah cerpen, dan merupakan proyeksi keadaan batin para tokoh. Latar erat kaitannya dengan unsur-unsur lain, misalnya dengan penokohan. Penggambaran latar yang tepat bisa menentukan gambaran watak tokoh. Latar dengan unsurunsur lain akan saling melengkapi supaya bisa menghasilkan cerita yang utuh. 2.3. Penokohan atau Perwatakan Penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro dalam Ristiani, 2003: 12). Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yakni menunjuk pada penempatan tokohtokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan mencakup siapa yang menjadi tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana pelukisannya di dalam sebuah cerita. Dalam cerpen jumlah tokoh tidak dibatasi hanya satu, dua, atau tiga, sebab meskipun dalam cerpen itu tokohnya banyak, yang menjadi tokoh utamanya tidak lebih dari dua orang. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya hanya sebagai tokoh tambahan yang berfungsi menegaskan adanya tokoh.
2.4 Alur (Plot) Yang dimaksud dengan alur/plot adalah urutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian dalam sebuah fiksi yang disajikan kepada pembaca tidak hanya bersifat kewaktuan tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan (memiliki hubungan kausalitas). Kejelasan suatu alur akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang disajikan. Kejelasan alur/plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dipahami(Ristiani, 2003:41). Adapun tahap-tahap alur/plot secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
1. paparan (exposition) awal cerita 2. rangsangan (inciting moment) 3. gawatan (rising action) . 1. tikaian (conflict) tengah cerita 2. rumitan (conflication) 3. klimaks (climax)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur adalah struktur penyusunan peristiwaperistiwa dalam cerita yang disusun secara logis. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat disusun dengan cara: (1) linear atau terusan Alur linear atau terusan menyajikan rentetan peristiwanya susul-menyusul secara temporal (temporal sequence) atau kronologis. (2) sorot balik atau falshback Alur sorot balik menempatkan peristiwa yang berdasarkan urutan kronologis dalam alur linear merupakan peristiwa terakhir, pada awal cerita. Kemudian secara berangsur-angsur peristiwa yang mendahuluinya diperkenalkan kepada pembaca. Secara kualitatif alur terbagi dua, yaitu alur longgar (renggang) dan alur erat (ketat). Alur longgar adalah alur yang peristiwa-peristiwanya seolah-olah berdiri sendiri sehingga apabila salah satu peristiwanya dihilangkan tidak akan mempengaruhi keutuhan cerita. Sedangkan dalam alur ketat: tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh, lakuan dan peristiwanya merupakan bagian vital dan integral dari suatu pola alur yang telah dirancang baik, selaras, dan seimbang (Hudson dalam Sudjiman, 1992:39), sehingga apabila salah satu rinciannya dihilangkan, cerita tersebut tidak dapat dipahami atau rusak. 2.5 Sudut Pandang Yang dimaksud dengan sudut pandang (point of view) atau pusat pengisahan adalah cara pengarang memaparkan ceritanya serta di mana ia menempatkan diri di dalam cerita. Pengarang dapat bertindak sebagai pencerita saja dan tidak terlibat di dalam cerita, atau ia menjadi salah satu tokoh yang ada di dalam cerita. (Fauzi, 2005: 52). Maksudnya adalah di manakah kedudukan pengarang dalam cerita yang dikarangnya. Apakah dia merupakan salah satu tokoh dalam cerita yang berkisah tentang dirinya sendiri atau dia berada di luar cerita, dengan menciptakan tokoh lain dalam ceritanya. Hal ini bergantung pada keinginan dan tujuan pengarang. Morris (dalam Tarigan 1992:141) menjelaskan bahwa dalam menyusun ceritanya pengarang dapat menggunakan sudut pandang sebagai berikut. (a) the omniscient point of view; pengarang mengetahui segala sesuatu (pikiran dan perasaan) tokoh-tokohnya dan dapat pula melihat tingkah laku mereka dari berbagai sudut. (b) the first person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak ebagi salah seorang pelaku. (c) the third person point of view; pengarang berada di luar cerita atau bertindak ebagia tukang cerita. (d) the central intelegence; cerita itu disajikan seperti yang terlihat melalui mata salah saeorang pelaku, walaupun ada hubungannya dengan yang dilakukan oleh omniscient narator. (e) the scenic; tukang cerita disingkirkan dan cerita itu disajikan hampir seluruhnya dalam bentuk dialog seperti drama. Harry Shaw (dalam sudjiman 1992:76) menyatakan bahwa pusat pengisahan dalam kesusastraan meliputi: (a) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita; (b) Sudut pandang mental, yaitu perasan dan sikap pengarang terhadap masalah cerita; (c) Sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita: sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga.
2.6 Gaya Gaya yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gaya penuturan, bukan gaya bahasa. Dikemukakan oleh Harry D. Fauzi (2005 : 52) bahwa gaya penuturan dapat diartikan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik atau khas oleh seorang pengarang atau cara khas pengarang mengungkapkan gagasannya dalam cerita. Gaya penuturan ini akan menentukan nada dan suasana dalam cerita. Oleh karena itu, setiap pengarang mempunyai gaya bercerita yang berbedabeda, karena gaya erat kaitannnya dalam cara pengarang memilih tema, menyusun dan memilih kata-kata, memandang tema, dan sebagainya. 2.7 Amanat Amanat menurut Panuti Sudjiman (1992:57) adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya, baik disampaikan secara eksplisit maupun implisit. Selain itu amanat dapat pula berupa suatu jalan keluar dari suatu persoalan yang terdapat dalam cerita. Sejalan dengan pendapat tersebut Mursal Esten (1984:22) mengemukakan bahwa amanat adalah suatu pemecahan dari tema yang di dalamnya merupakan pikiran dan persoalan pengarangnya. Kita dapat menarik kesimpulan dari kedua pendapat di atas bahwa amanat merupakan pandangan hidup dan cita-cita yang luhur dari seorang pengarang yang ingin disampaikan kepada pembacanya, baik melalui pesan dan ajakan moral maupun melalui ceritanya. Melalui ciptaannya itu pengarang berusaha membukukan dan memberitahukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil oleh pembaca sehingga akan memberikan wawasan yang luas dan baru baginya. 3. Prinsip Dasar Analisis/Apresiasi Cerita Pendek Untuk mengapresiasi cerita pendek sebagai salah satu cipta sastra, seorang apresiator harus memiliki bekal awal. Aminuddin (1991: 38) mengemukakan empat macam yang harus dimiliki siswa sebagi bekal awal(prasyarat) dalam menganalisis cerpen, yaitu: 1) kepekaan emosi atau perasan sehingga mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan dalam cipta sastra, 2) pemilikan pengetahuandan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan msalah kemanusiaan, baik melalui penghaytan kehidupan ini maupun dengan membaca buku yang berhubugan dengan masalah kemanusiaan, 3) Pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan 4) Pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra. Berbagai cara untuk memahami karya sastra muncul seiring dengan laju perekembangan dunia kesusastraan. Cara untuk memahami karya sastra tersebut dinamakan pendekatan. Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan ada empat pendekatan untuk memahami karya sastra, yaitu: (a) Pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri; disebut pendekatan objektif; (b) Pendekatan yang menitikberatkan pada penulis; yang disebut pendekatan ekspresif; (c) Pendekatan yang menitikberatkan pada semetsa; yang disebut mimetik; (d) Pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca; yang disebut pragmatik. Dalam pendekatan objektif, karya sastra dipandang sebagai suatu struktur yang otonom, yang harus dipahami secara intrinsik, terlepas dari hal-hal di luar karya sastra itu. Sementara itu dalam pendekatan ekspresif, penulis mendapat sorotan yang khas, sebagai pencipta yang kreatif, dan
jiwa pencipta itu mendapat minat yang utama dalam penilaian dan pembahasan karya sastra. Kemudian dalam kegiatan mimetik, aspek referensial sebagai acuan karya sastra dalam kaitannya dengan dunia nyata mendapat sorotan utama. Sedangkan Aminuddin (1991:41) mengemukakan enam pendekatan dalam mengapresiasi karya sastra, yaitu: a) Pendekatan paraprastis, yaitu pendekatan dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang berbeda; b) Pendekatan emotif, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca baik karena keindahan penyajian bentuk maupun isi/gagasan yang lucu dan menarik; c) Pendekatan analitis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami elemen intrisnsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehinga membangun keselarasan dan kesatuan. d) Pendekatan historis, yaitu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan, serta perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra dari zaman ke zaman. e) Pendekatan sosiopsikologis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupan atau zamannya pada saat penciptaan karya sastra. f) Pendekatan didaktis, yaitu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Pendekatan untuk memahami karya sastra tersebut dapat dikatakan sebagai landasan atau prinsip dasar dalam menganalisis karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, penulis menentukan untuk menggunakan pendekatan objektif/analitis dalam pembelajaran apresiasi cerpen di SMP kelas IX semester 2. Dengan kata lain penulis akan memfasilitasi siswa dalam menganalisis cerpen-cerpen yang dijadikan bahan pembelajaran berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya. Akan tetapi dalam proses pembelajaran para siswa tidak menganalis cerpen-cerpen tersebut berdasarkan semua unsur intrinsiknya. Analisis yang dilakukan hanya terbatas pada tema, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, dan amanat. 4. Kriteria Pemilihan Bahan Cerita Pendek Materi Pembelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik hendanya disusun berdasarkan kompetensi yang harus dicapai. Hal ini perlu ditekankan karena pada dasarnya proses belajar mengajar adalah proses pencapaian kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Oleh karena itu penentuan bahan pembelajaran pun harus memperhatikan Tujuan Pendidikan Nasional. Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003) telah ditentukan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah terbentuknya potensi peserta didik yang bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Selain faktor tujuan, faktor kejiwaan peserta didik pun perlu diperhatikan dalam menentukan bahan pembelajaran cerpen di SMP. Pengetahuan perkembangan kejiwaan peserta didik pun diperlukan untuk memahami gambaran umum perkembangan jiwa siswa SMP yang berumur antara 12-16 tahun yang sedang mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa pubertas dan remaja awal. Pubertas merupakan suatu periode ketika kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada masa awal remaja. Periode ini sangat singkat karena dialami oleh individu dalam
waktu 2 sampai 4 tahun lamanya. Pubertas diistilahkan sebagai fase negatif sebab terdapat sikap-sikap negatif yang belum terlihat pada masa kanak-kanak. Prilaku sebagian ciri pubertas ini ditunjukkan dalam sikap, perasaaan, keinginan, dan perbuatan. Secara rinci tentang gejala-gejala fase negatif ini diuraikan sebagai berikut. 1. keinginan untuk menyendiri; 2. berkurang kemamuan untuk bekerja; 3. kurang koordinasi fungsi-fungsi tubuh; 4. kejemuan, kegelisahan, dan pertentangan sosial; 5. pertentangan terhadap kewibawaan orang dewasa; 6. kepekaan perasaan, kurang percaya diri, timbul minat pada lawan seks; 7. kepekaan perasaan susila dan kesukaan berkhayal(day dreaming). Adapun cerita pendek yang perlu diajarkan di SMP adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut. 1) Sesuai dengan falsafah pancasila; 2) Bertema kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan; 3) Mencerminkan perasaan cinta tanah air; 4) Tidak terlalu sukar untuk ditafsirkan maknanya; 5) Mengandung nilai didaktis dan estetis. C. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil(Nurhadi, 2002:1). Dalam kelas kontekstual, strategi belajar lebih penting daripada hasil. Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru(pengetahuan dan keterampilan) datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstrutivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi(Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya (Nurhadi, 2002:10). Lebih lanjut Nurhadi mengemukakan penerapan CTL dalam kelas. Secara garis besar langkahlangkahnya sebagai berikut. (1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannnya! (2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
(3) Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya! (4) Ciptakan masyarakat belajar(belajar dalam kelompok-kelompok)! (5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran! (6) Lakukan refleksi dia akhir pertemuan! (7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara! D. Model Pembelajaran Snowball Throwing Model Snowball Throwing merupakan salah satu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pendekatan kontekstual (CTL). Snowball Throwing yang menurut asal katanya berarti bola salju bergulir dapat diartikan sebagai model pembelajaran dengan menggunakan bola pertanyaan dari kertas yang digulung bulat berbentuk bola kemudian dilemparkan secara bergiliran di antara sesama anggota kelompok. Dilihat dari pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran bahasa, model Snowball Throwing ini memadukan pendekatan komunikatif, integratif, dan keterampilan proses. Kegiatan melempar bola pertanyan ini akan membuat kelompok menjadi dinamis, karena kegiatan siswa tidak hanya berpikir, menulis, bartanya, atau berbicara. Akan tetapi mereka juga melakukan aktivitas fisik yaitu menggulung kertas dan melemparkannya pada siswa lain. Dengan demikian, tiap anggota kelompok akan mempersiapkan diri karena pada gilirannya mereka harus menjawab pertanyaan dari temannya yang terdapat dalam bola kertas. Secara rinci langkah-langkah penggunaan model pembelajaran Snowball Throwing ini dapat diuraikan sebagai berikut. (1) Guru menyampaikan kompetensi dasar/materi pokok yang akan dipelajari; (2) Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk diberi penjelasan mengenai bahan ajar dan langkah-langkah melaksanakan tugas kelompoknya; (3) Kemudian masing-masing siswa diberi satu lembar kertas untuk menuliskan sebuah pertanyaan yang menyangkut bahan ajar yang sudah dipelajari oleh ketua kelompoknya; (4) Lalu kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilemparkan dari satu siswa ke siswa lain selama 15 menit; (5) Setelah siswa mendapat sebuah bola/satu pertanyaan, diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam krtas berbentuk bola tersebut secara bergantian; (6) Guru dan siswa menyimpulkan pembelajaran; (7) Refleksi dan Evaluasi. F. Pengembangan PTK Model John Elliott Pengembangan Model John Elliott didasarkan pada pemikiran Model Kurt Lewin. Langkahlangkah PTK Model John Elliott lebih detil daripada Model Kurt Lewin. Model ini terdiri atas tiga siklus, setiap siklus bisa memiliki tiga sampai 5 tindakan, dan setiap tindakan mungkin bisa memiliki beberapa langkah yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar mengajar. Siklus pertama terdiri atas enam kegiatan, yaitu (1) Identifikasi permasalahan awal yang mendorong dilaksanakannya penelitian tindakan; (2) Memperdalam masalah tersebut dengan mempertajan dan mencari penyebab masalah itu. Biasanya dilakukan melalui langkah survei; (3) Menyusun rencana umum pemecahan masalah yang meliputi langkah-langkah tertentu; (4) Melaksanakan langkah-langkah tindakan yang telah direncanakan;
(5) Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan tindakan yang dilakukan dan dampak yang dihasilkannya; (6) Melakukan evaluasi akhir untuk mengetahui dan menjelaskan kesulitan atau kekurangan yang dihadapi dan melihat hasil akhir keseluruhan proses. Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus pertama tersebut, peneliti melanjutkan ke siklus kedua dengan langkah-langkah yang relatif sama sebagaimana diuraikan di atas. Demikian juga berikutnya, jika siklus kedua selesai, maka bisa dilanjutkan ke siklus ketiga sampai dianggap bahwa masalah telah terselesaikan. Untuk memperjelas bagaimana langkah-langkah tindakan yang dilakukan pada setiap siklus, disajikan gambar 1 di bawah ini:
SIKULUS 1 SIKLUS 2 SIKLUS 3 Gambar 1: Penelitian Tindakan Model John Elliott BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Setting dan Karakteristik Penelitian Penelitian ini dilakukan di kelas IXA SMP Negeri 3 Bojongpicung pada semester 1 tahun pelajaran 2007/2008. Penelitian dilakukan secara kolaborasi antara dua orang guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Bojongpicung dengan Kepala Sekolah yang juga berkualifikasi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Jumlah siswa di kelas terdiri dari 23 siswa laki-laki dan 23 siswa perempuan. Sedangkan siswa di kelas tersebut memiliki karakteristik yang sama seperti di kelaskelas yang lain, artinya tingkat kemampuan/prestasi belajar cenderung sama dengan kemampuan/prestasi kelas lainnya. Demikian pula keadaan sosial ekonominya. B. Prosedur Penelitian 1. Gambaran Umum Penelitian Dalam penelitian ini variable atau faktor-faktor yang diamati adalah sebagai berikut. a. Faktor Siswa, yang berfokus pada: - Interaksi antarsiswa dan atau interkasi dengan guru - Keaktifan siswa dalam pembelajaran untuk setiap 10 menit b. Faktor Siswa, dengan berfokus pada: 1) Keterampilan guru pada tahap pendahuluan, dengan deskiptor sebagai berikut. - Memberi perhatian kepada siswa - Menarik perhatian siswa - Pelaksanaan apersepsi 2) Keterampilan guru pada tahap kegiatan inti, meliputi: - Tahap Orientasi - Tahap Elicitasi - Tahap restrukturisasi ide - Tahap penggunaan ide - Tahap review 3) Keterampilan pada tahap penutup - Menciptakan suasana agar siswa bertanya jawab - Pelaksanaan post tes pembelajaran
- Membuat kesepakatan untuk pembelajaran berikutnya 2. Rincian Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dilakukan melalui 4 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan refleksi. a. Perencanaan Tindakan 1) Menentukan kelas subjek pendidikan 2) Menyiapkan rencana rencana pelaksanaaan pembelajaran, meliputi unit/tema, alokasi waktu, metode, pendekatan, media pembelajaran, skenario pembelajaran, alat evaluasi, dan lembar kerja siswa. 3) Menetapkan fokus observasi dan aspek-aspek yang diamati. 4) Menetapkan jenis data dan cara pengumpulannya 5) Menentukan pelaku observasi(observer), alat bantu observasi, pedoman observasi, dan cara pelaksanaan observasi. 6) Menetapkan cara pelaksanan refleksi dan pelaku refleksi. 7) Menetapkan kriteria keberhasilan dalam upaya pemecahan masalah. b. Pelaksanaan Tindakan Sebelum melaksanakan tindakan terlebih dahulu perlu ditentukan apa, kapan, dimana, dan bagaimana melaksanakannya. Semua rencana tindakan yang telah ditetapkan dilaksanakan dalam situasi yang sebenarnya. Sebenaranya tahap pelaksanaan mencakup pula tahap-tahap yang lain, jadi pada saat yang bersamaan dilakukan pula tahap observasi, interpretasi, dan refleksi. Gambar 2 di bawah ini menyajikan proses pelaksanaan PTK. Gambar 2 : Proses Pelaksanaan PTK Pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini dilakukan melalui pembelajaran sesuai dengan perencanaan tindakan. Tindakan dilaksanaan dalam dua siklus penelitian. Setiap siklus pelaksanaan pembelajaran terbagi menjadi 3 tahap pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ditentukan di kelas IX semester 1 mengenai standar kompetensi memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan cerita pendek, dengan kompetensi dasar menemukan tema, latar, dan penokohan pada cerpen-cerpen dalam satu kumpulkan cerpen. Siklus Pertama Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivisme, metode tanya jawab dan penugasan, media langsung berupa teks cerpen, dengan tahapan-tahapan pembelajarannya. Secara rinci skenario pembelajarannya dijelaskan pada rencana pelaksanaan pembelajaran (terlampir). Siklus Kedua Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual (CTL) dan metode diskusi dengan model pembelajaran Snowball Throwing, dan media langsung berupa teks cerpen Kisah Sebuah Cincin dan Penyakit Sahabat Saya dengan media pembelajarannya(RPP terlampir). c. Observasi dan Penilaian Dalam penelitian ini tahap observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran. Observasi dilakukan oleh observer, dalam hal ini adalah pelaku tindakan itu sendiri, dan anggota tim penelitian yang lain. Observasi dilakukan dalam upaya pengumpulan data. Data yang
dikumpulkan adalah data kulitatif dan kuantitatif. Data kulitatif dikumpulkan melalui observasi, sedangkan data kuantitaif melalui pelaksanaan evaluasi. Alat Bantu observasi yang digunakan adalah lembar observasi dan alat evaluasi (soal-soal pilihan ganda dan uraian). Penilaian dilakukan dalam upaya mengumpulkan data kualitatif pada akhir pembelajaran untuk setiap siklus dan dilakukan secara tertulis. - Tes Tulis dan Tes Praktik Tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang hasil belajar siswa. Tes yang digunakan berupa tes tulis dan tes praktik dengan maksud untuk mengetahui langkah proses belajar siswa dalam menyelesaikan kompetensi dasar tersebut. Selain itu tes juga berguna untuk mengetahui kelebihan kelemahan dalam pembelajaran dengan metode dan model pembelajaran. - Format Observasi Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif tentang interaksi/aktivitas antarsiswa dan atau dengan guru selama pembelajaran berlangsung. Adapun aspek yang diamati dengan alat Bantu lembar observasi berstruktur meliputi: Partisipasi, kerjasama, keaktifan bertanya dan menjawab pertanyaan. - Indikator Kinerja(Kriteria keberhasilan) Kriteria tingkat keberhasilan belajar siswa sesuai dengan tujuan akhir penelitian ini yaitu dikelompokkan ke dalam 5 kategori, dengan krieria sebagai berikut. 1) Tingkat keberhasilan belajar siswa dalam % ( 80 % ) : sangat tinggi (60 - 79 % ) : tinggi (40 - 59 % ) : sedang (21 - 39 % ) : rendah ( 20 % ) : sangat rendah 2) Tingkat keaktifan siswa rata-rata/10 menit selama PBM dalam % ( 80 % ) : sangat baik (60 - 79 % ) : baik (40 - 59 % ) : cukup (21 - 39 % ) : kurang ( 20 % ) : sangat kurang d. Analisis dan Refleksi Semua data yang terkumpul diolah melalui tahapan: - reduksi data, jika terdapat data yang tidak diperlukan - penyederhanan data - tabulasi data - penyimpulan data. Secara rinci langkah-langkahnya sebagai berikut. 1) Pengolahan data ulangan harian Skor total siswa X 2 NA = __________________ X 100 Skor total ideal 2) Menghitung ketuntasan tiap siswa - Kriteria ketuntasan minimal (KKM) sama dengan 65
- Menghitung ketuntasan kelas 3) Menghitung ketuntasan kelas WX2 KK = _______ X 100 S KK = Ketuntasan Kelas W = Banyaknya siswa yang mendapat nilai 65 S = Banyaknya siswa dalam 1 kelas 4) Pengolahan data tentang aktivitas belajar siswa J Prosentase aktivitas = _____ W J = Jumlah siswa yang melakukan aktivitas W = Jumlah siswa dalam kelas ulangan harian
BAB IV DATA HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Siklus Hasil analisis data pelaksanaan pembelajaran diperoleh keterangan sebagai berikut. 1. Deskripsi Siklus Kesatu a. Penilaian proses (lembar observasi) Berdasarkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang disusun penialian proses meliputi aspek koginitif, afektif, dan psikomotor dengan indikator mengamati partisipasi, kerja sama, keaktifan, bertanya, dan menjawab pertanyaan baik dalam kegiatan klasikal maupun pasangan. Adapun data yang diperoleh tampak pada table 1 . Tabel 1. Penilaian Proses Siklus 1 Skor Nilai Jumlah Siswa Jumlah Nilai Rata-rata 13-16 90 4 360 72,46 9-12 80 6 480 5-8 70 14 980 4-7 60 13 780 3-6 50 8 400 JUMLAH 46 3000 Dari hasil tabel 1 diperoleh data siswa yang mendapat nilai 65 yaitu sebanyak 25 orang berarti siswa mencapai target proses membaca 54 %, dan siswa yang memperoleh nilai < 65 adalah 21 orang berarti siswa yang tidak mencapai target adalah 46%. b. Penilaian Ulangan Harian
Ulangan harian dilaksanakan dengan tes tertulis 5 buah soal pilihan ganda dan 2 buah soal uraian berstruktur. Adapun data hasil peniliaian ulangan harian dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Ulangan Harian Siklus 1 Nilai Jumlah Siswa Persentase Jumlah Nilai Rata-rata 85 10 21,74 850
68,70 80 9 19,57 720 75 2 4,35 150 70 1 2,17 70 65 3 6,52 195 60 10 21,74 600 55 5 10,87 255 50 6 13,04 300 Tabel 2. menunjukkan data bahwa siswa yang mendapat nilai 65 sebanyak 26 orang berarti ketuntasan 56%, siswa yang mendapat nilai < 65 sebanyak 20 orang berarti siswa yang tidak tuntas belajar 44%. 2. Deskripsi Siklus Kedua a. Penilaian proses (lembar observasi) Observasi pada siklus kedua digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran Snowball Throwing dengan teknik diskusi kelompok. Data yang diperoleh disajikan dalam table 3 berikut. Tabel 3. Penilian Proses Siklus 2 No Nama Kelompok Unsur Yang dinilai/Skor J U M L A HN I L A I Partisipasi Kerjasama Bertanya Menjawab 4321432143214321 1 I V V V V 13 90 2 II V V V V 10 80 3 III V V V V 15 90 4 IV V V V V 8 70
5 V V V V V 12 80 6 VI V V V V 14 90 7 VII V V V V 11 80 8 VIII V V V V 8 70 Keterangan : Perolehan Nilai Skor Jumlah Skor Nilai 4 = baik sekali 13-16 90 3 = baik 9-12 80 2 = Cukup 5-8 70 1= Kurang 1-4 60 Dari hasil penilaian proses diskusi kelompok diperoleh data bahwa yang mendapat nilai 70 yaitu sebanyak 2 kelompok, yang mendapat nilai 80 sebanyak 3 kelompok, dan yang mendapat nilai 90 sebanyak 3 kelompok. Nilai rata-rata dari delapan kelompok tersebut adalah 81,25. b. Penilaian Ulangan Harian Tabel 4. Hasil Ulangan Harian Siklus 2 Nilai Jumlah Siswa Persentase Jumlah Nilai Rata-rata 90 18 39,13 1.620 77,07 85 3 6,52 255 80 3 6,52 240 75 2 4,35 150 70 4 8,70 280 65 12 26,09 780 60 4 8,70 240 Dari tabel 4. diperoleh data bahwa siswa yang mendapat nilai 65 sebanyak 42 orang berarti ketuntasan 91%, siswa yang mendapat nilai < 65 sebanyak 4 orang berarti siswa yang tidak tuntas belajar 9%. Sedangkan rata-rata nilai ulangan harian siklus 2 adalah 77,07. B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pembahasan Hasil Siklus 1 Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas maka dalam pembelajaran snowball throwing dengan teknik berpasangan terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memahami cerita pendek, baik dari segi pengetahuan, sikap, maupun tindakan siswa. Dilihat dari penilaian proses pada siklus 1 ini masih terdapat 21 orang siswa yang kurang aktif sehingga sebanyak 46% belum mencapai KKM. Sedangkan dari hasil penilaian ulangan harian diperoleh nilai rata-rata 68,70 dan masih terdapat 20 orang siswa yang mendapat nilai < 65 atau sekitar 44% belum mencapai KKM. Ditinjau dari aktivitas siswa melalui diskusi kelompok, ulangan harian, hasil laporan tertulis, maka diperoleh data bahwa kemampuan siswa memahami cerpen meningkat melalui model pembelajaran Snowball Throwing dibandingkan dengan kondisi awal. 2. Pembahasan Hasil Siklus 2 Pada siklus 2 dalam penilaian proses terdapat peningkatan yang sangat signifikan karena setiap
kelompok dapat memperoleh nilai 70 atau lebih berdasarkan skor yang diperolehnya. Sedangkan dari hasil penilain ulangan harian 42 orang siswa telah mencapai ketuntasan dengan nilai 65 dan 4 orang masih di bawah KKM. Dari rata-rata nilai observasi ada peningkatan 8,79 sedangkan dari hasil penilaian ulangan harian ada peningkatan 8,37%. . BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan penelitian tindakan kelas tentang Upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami cerita pendek melalui model pembelajaran Snowball Throwing di Kelas IX.A SMPN 3 Bojongpicung diperoleh kesimpulan sebagai berikut. a. Snowball throwing adalah sebuah model pembelajaran yang didasari pendekatan kontekstual dan dapat mengakomodasi beberapa pendekatan dalam pembelajaran bahasa, di antaranya pendekatan komunikatif dan keterampilan proses. b. Snowball Throwing yang menurut asal katanya berarti bola salju bergulir dapat diartikan sebagai model pembelajaran dengan menggunakan bola pertanyaan dari kertas yang digulung bulat berbentuk bola kemudian dilemparkan secara bergiliran di antara sesama anggota kelompok. c. Ada peningkatan keaktifan belajar siswa dari segi kerja sama, bertanya dan menjawab pertanyaan dengan model pembelajaran Snowball Throwing baik dengan teknik tanya jawab berpasangan maupun dengan diskusi kelompok. B. Saran Sehubungan dengan simpulan di atas, berikut disajikan saran yang dapat dijadikan masukan yang positif dalam meningkatkan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. 1. Guru bahasa Indonesia di SMP diharapkan dapat menerapkan penggunaan model pembelajaran Snowball Throwing dalam proses pembelajaran memahami karya sastra. 2. Dalam pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia guru dan siswa menjadi sebuah tim yang bekerja sama. 3. Hendaknya para guru mau membangun budaya tidak puas dengan menggunakan satu metode tertentu saja, sehingga disarankan mengambil dari pengalamannya untuk menjadi kreatif memvariasikan model atau alat pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan jiwa peserta didik. 4. Beri kesempatan untuk kepada siswa untuk menemukan ide-idenya. Sedangkan guru menjadi fasilitator yang berperan membimbing pengembangan ide dan kreativitas siswa. 5. Kepala sekolah diharapkan menjadi bagian utama dalam usaha mendukung dan memotivasi guru untuk melaksanakan penelitian terutama dalam pengadaan instrumen penelitian.