Jurnal PKM GT

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 24

J. Biol. Indon. Vol 6, No.

2 (2010) ISSN 0854-4425 ISSN 0854-4425

JURNAL JURNAL BIOLOGI BIOLOGI INDONESIA INDONESIA


Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 6, No. 2, Juni 2010
Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto

BOGOR, INDONESIA

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Dr. Anggoro Hadi Prasetyo

Dr. Izu Andry Fijridiyanto


Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi

Sekretariat Oscar efendi SSi MSi


d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : [email protected] Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010) KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia edisi volume 6 nomer 2 tahun 2010 yaitu memuat 11 artikel lengkap dan sebuah artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Departemen Kementerian Kehutanan, Pertanian, Fakultas MIPA IPB, Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas. MIPA Universitas Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara, Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Bogor dan Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi empat topik dalam bidang Botani, dua topik tentang mikrobiologi satu topik mengenaik hasil perombakan bakteri dan bahan organik lainnya dan lima topik dalam bidang zoologi Beragamnya penulis pada edisi ini yang membahas tiga topik utama yaitu Zoologi, Botani dan Mikrobiologi diharapkan semakin banyak keragaman pembaca dan akhir kata yang diharapkan dari editor jurnal ini akan semakin banyak penulis yang berkeinginan membagi hasil karya penelitiannya dengan menulis ke dalam Jurnal Biologi Indonesia. Editor

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 2, Juni 2010: Dr. Niken TM. Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Ir. Majariana Krisanti MSi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Onrizal MSi, Universitas Sumatra Utara Dr.Tike Sartika, Balitnak, Departemen Pertania, Ciawi bogor Dr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPI Drs. Edi Mirmanto MSc, Puslit Biologi-LIPI Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Drs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPI Drh. Anang S. Achmadi MSc, Puslit Biologi-LIPI Sigit Wiantoro SSi ,MSc Puslit Biologi-LIPI Ir. Dwi Agustiyani MSc, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)


DAFTAR ISI
Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik 237 Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey 255 (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik Dwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin 265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah 277 Penduduk dan Industri Eko Harsono dan Sulung Nomosatryo TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito (Coleoptera, 289

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 237-253 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen
Eko Sulistyadi
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI. Email : [email protected] ABSTRACT Capability of Nir-Conservation Area for Preserving Jawa Lowland Endemic: Case Study in Kebumen District. Indonesia region is inhabited by 1.598 birds which 372 Indonesian endemic birds and 56 species of them are Jawa endemic. Amongs of jawa endemic birds, 19 species are lowland occupant. Indeed the birds play important roles in ecosystem as agents of pest population control, pollination, and seed dispersal. In lowland area of Jawa, intensive transformation of land use exacerbated by no conservation area may threaten presence of the endemic birds. This study aims to assess caring capacity of disrupted area in low lands for preserving endemic birds of Jawa. The study was conducted in Bedegelon river covering northern mountaneus area of Kebumen district from October-November 2007 using encounter rates methode. Survey was carried out in three farm types: agroforestry (wanatani), intercropping agriculture area (tumpangsari) and mixed area of vegetation-settelment area (sempadan sungai). Result shows that four spesies Jawa lowland endemik birds was found in observed area. Lonchura leucogastroides and dicaeum trochileum found at all farm type, Prinia familiaris found at intercropping agriculture area (tumpangsari). Alcedo coerulescens were observed at agroforestri area (wanatani) and mixed of vegetation-settelment area (sempadan sungai) farm type. Key words : Jawa endemik birds, diversity, Jawa lowland, farm tipe, kebumen district

PENDAHULUAN Mengingat bahwa setiap jenis hayati memiliki fungsi dalam melestarikan ekosistem yang ditempatinya, maka sudah seyogyanyalah bahwa setiap jenis hayati harus tetap dipertahankan keberadaan dan fungsinya. Namun demikian, di antara sedemikian banyak jenis hayati yang terdapat di bumi ini, beberapa kelompok di antaranya juka ada perubahan lingkungan pendukung-

nya akan menjadi rawan punah. Kelompok hayati rawan punah tersebut antara lain yang bersifat endemik, migrant, pemangsa puncak, megaherbivora dan berbiak dalam kelompok. Oleh karena itu jenis hayati yang termasuk dalam kelompok rawan punah perlu tetap memiliki habitat dengan luasan yang cukup dalam bentuk kawasan konservasi. Indonesia telah ditetapkan sebagai negara megadiversity ke dua terbesar di dunia (Mittermeier & Mittermeier 1997).

237

Eko Sulistyadi

Selanjutnya juga dikatakan pula bahwa di dunia tercatat ada 9.040 jenis burung, 1.531 jenis diantaranya terdapat di Indonesia dengan 397 jenis (26%) endemik. Dalam thesisnya, van Balen (1999) menyebutkan bahwa terdapat 12 jenis burung endemik dataran rendah Pulau Jawa dan terdapat 12 jenis burung dataran rendah Pulau Jawa yang terancam punah. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terpadat di dunia dengan jumlah penduduk diperkirakan 96 juta jiwa dan kepadatan 800 jiwa/km2 (MacKinnon dkk 1998); penebangan hutan di Pulau Jawa yang telah terjadi mulai abad 16 dan mencapai puncak pada abad 19 telah memberikan kontribusi terhadap penyusutan penutupan vegetasi di Jawa (terutama hutan hujan) yang sekarang diperkirakan tinggal 2,3% atau kurang (van Balen 1999). Fakta ini menggam-barkan bahwa hampir seluruh lahan dataran rendah di Jawa telah dialihfungsi-kan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Partasasmita (2003) menyebutkan bahwa dampak negatif dari pertumbuhan populasi manusia, laju deforestrasi dan fragmentasi habitat yang terus terjadi mempengaruhi persebaran maupun kelimpahan berbagai jenis burung. Studi penyebaran burung di Jawa (van Balen 1999) menunjukkan adanya pola kenampakan abnormal dalam penyebaran burung pada berbagai ketinggian. Terlihat penurunan jumlah jenis yang signifikan pada zona bukit pada ketinggian 300-1500m. Kondisi ini menggambarkan adanya pengaruh aktivitas manusia yang mendesak habitat satwa liar termasuk burung.

Hanya ada beberapa kawasan konservasi yang berfungsi baik di dataran rendah P Jawa yaitu di Jawa Barat terdapat TN Ujung Kulon dan di Jawa Timur terdapat TN Merubetiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo (Rais dkk 2007). Jawa Tengah tidak memiliki kawasan konservasi dataran rendah yang memadai, padahal untuk kelestarian jenis hayati selain ketersediaan populasi yang cukup juga perlu adanya pertukaran gen antar populasi. Oleh karena itu dirasa perlu dilakukan penelitian perihal potensi kawasan nir-konservasi sebagai kawasan pendukung kelestarian burung di Jawa Tengah sebagai penghubung kawasan konservasi yang ada di Jawa Barat dengan Jawa Timur yang meliputi populasi TN Ujung Kulon, TN Merubetiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo. Untuk itu dilakukan penelitian di dataran rendah dengan ketinggian dibawah 500 meter di perbukitan utara Kebumen. Tipe ekosistem yang dipilih adalah lahan pertanian yang umum terdapat di lahan pertanian Jawa yaitu pola wanatani, tumpangsari dan sempadan sungai. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-November 2007 di daerah aliran sungai Bedegolan termasuk perbukitan utara Kabupaten Kebumen. Pengamatan dilakukan pada tiga tipe lahan yaitu (1) wanatani, terletak di perbukitan pada ketinggian 500 m. dpl. Tumbuhan utama pada lahan ini adalah jati (Tectona grandis), kelompok nangka (Arthocarpus spp.), beringin (Ficus benjamin) dan saman (Samanea saman). Lahan ini

238

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

relatif tidak diolah tanahnya dan pepohonannya tidak di tebang; (2) tumpangsari, terletak di perbukitan pada ketinggian 500 m. dpl. Dengan tumbuhan utama beringin, kelompok nangka, dan asam (Tamarindus indica). Tanah lahan ini setiap kali diolah untuk ditanami ulang dengan ubi jalar (Ipomoea batatas),ketela pohon (Manihot esculenta), jagung (Zea mays) dan albisia (Albizia falcataria); (3) sempadan sungai (Bedegolan), terletak di dataran rendah dengan ketinggian 200 m. dpl. Lahan ini didominasi oleh tanaman kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa paradisiaca), mangga (Mangivera spp.), dan jambu batu (Psidium guajava). Lahan ini tidak diolah, vegetasi yang ada merupakan campuran antara tumbuhan (liar) dan tanaman masyarakat. Sensus burung dilakukan dengan metoda encounter rates (Bibby dkk 1998) yaitu gabungan antara metoda pengamatan titik dan jalur sepanjang 2 km. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan binokuler 8 X 30 dan pengukur waktu. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah temuan individu dalam satu jalur dalam waktu 1 jam pengamatan dengan pengulangan empat kali pada waktu yang berbeda. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.0007.00, 07.00-08.00, 16.00-17.00 dan 17.00-18.00. Untuk memastikan bahwa pengambilan contoh sudah dapat mewakili populasi masing-masing jenis burung maka data yang diperoleh diuji dengan bootstrap. Kecukupan data ditunjukkan oleh tiga grafik yang terbentuk dengan grafik bootstrap berada di antara Jack

2 means dengan jenis terobservasi Sobs (mao tau). Uji bootstrap dilakukan dengan bantuan software EstimateS ver 7.00. Jika data yang terkumpul telah memenuhi syarat maka berbagai perhitungan lain layak untuk dilanjutkan. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung di masing-masing tipe lahan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah individu setiap jenis burung dengan jumlah total individu burung yang terhitung. Hasil analisis ini dikenal dengan sebutan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (H). indeks keanekaragaman Shannon Wienner dijelaskan dengan pendekatan indeks kemerataan Evenness (E) yang besarnya antara 01 (Ludwig & Reynold 1988). Indeks kemerataan menggambarkan tingkat kemerataan populasi suatu jenis burung yang diperoleh dengan membagi nilai keanekaragaman dengan jumlah jenis yang ditemukan. Untuk melihat perbandingan keanakeragaman jenis burung antar habitat dipakai uji beda (t). Hasil uji ini diharapkan dapat menggambarkan perbandingan nilai rata-rata keanekaragaman antar habitat. Kelimpahan relatif jenis burung dihitung dengan menggunakan metode encounter rates (Bibby et al. 1998). Kelimpahan relatif menggambarkan jumlah individu dari suatu jenis burung yang kemungkinan dapat ditemukan dalam setiap 10 jam pengamatan. Selanjutnya Bibby dkk (1998) memberikan batasan bahwa jika kelimpahan relatif suatu jenis burung kurang dari 0,1 maka jenis tersebut disebut jarang, antara 0,1 sampai 2,0 disebut tidak umum, antara 2,1 239

Eko Sulistyadi

sampai 10,0 disebut sering, antara 10,1 sampai 40,0 disebut umum dan lebih dari 40,0 disebut melimpah. Untuk melihat pengelompokkan jenis burung dan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan analisis kelompok dengan menggunakan indeks ketidaksamaan Bray curtis dan dianalisis dengan bantuan program NTSYSpc 2.1. Jenis-jenis burung endemik pulau Jawa dan habitat pilihannya dicatat mengikuti penelusuran buku MacKinnon dkk 1998, Wishnu dkk 2007. HASIL Keanekaragaman jenis burung Teramati sebanyak 30 jenis burung di lokasi penelitian dengan jumlah individu 1.005 ekor. Di lahan wanatani ditemukan 25 jenis burung dengan jumlah individu 550 ekor, di lahan tumpangsari ditemukan 20 jenis dengan jumlah individu 268 ekor dan di lahan sempadan sungai ditemukan 20 jenis dengan jumlah individu 187 ekor. Terdapat 17 jenis burung dari daerah

wanatani yang sama dengan di daerah tumpangsari, 18 burung dari daerah wanatani yang sama dengan dari daerah sempadan dan 16 jenis burung dari daerah tumpangsari yang sama dengan dari daerah sempadan. Data lengkap mengenai nilai keanekaragaman tiap jenis burung dapat dilihat pada Tabel 1. Grafik perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu antar habitat dapat dilihat pada Gambar 1. Kekayan jenis burung tertinggi tercatat di lahan wanatani dengan 25 jenis (550 ekor) dan indeks keragaman jenis 3,707 serta indeks kemerataan 0,359; di lahan tumpangsari terdapat 20 jenis (268 ekor) dengan indeks keanekaragaman jenis 3,757 dan indeks kemerataan 0,533; di lahan sempadan terdapat 20 jenis (187 ekor) dengan indeks keragaman 3,573 dan indeks kemerataan 0,416. Dengan demikian lahan tumpangsari memiliki keanakaragaman jenis burung tertinggi dengan populasi yang merata untuk tiap jenis. Keanekaragaman jenis burung di lahan wanatani cukup tinggi namun kemerataan jenisnya rendah, sedangkan lahan sempadan sungai keanekaragaman

600 500 400 300 200 100 0

550
jml individu jml jenis

268 187 25 1 2 20 3 20

Habitat

Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu burung antar habitat

240

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Tabel 1. Keanekaragaman jenis burung di tiap tipe lahan

Indeks Indeks keanekaragaman Shannon (H) Indeks kemerataan Evennes (E)


jenis burungnya paling rendah dengan kemerataan jenis yang lebih tinggi dibandingkan lahan wanatani. Uji beda (t) dengan rentang kepercayaan 95% menunjukkan perbedaan keanekaragaman jenis burung yang signifikan antar tipe lahan. Lahan wanatani dengan lahan tumpangsari berbeda nyata P < 0,009. Lahan tumpangsari dengan lahan sempadan sungai berbeda nyata dengan P < 0,005. Perbedaan signifikan P< 0,004 juga terlihat antara lahan wanatani dengan lahan sempadan sungai. Analisis Estimate S Berdasarkan analisis Estimate S diperkirakan terdapat 32 jenis burung di lokasi penelitian namun hasil observasi hanya menunjukkan terdapat 30 jenis. Pada lahan wanatani ditemukan 25 jenis burung namun analisis bootstrap memperkirakan dapat ditemukan 27 jenis. Pada lahan tumpangsari dan sempadan sungai masing-masing ditemukan 20 jenis burung yang diperkirakan dapat ditemukan 22 jenis burung (Gambar 2). Kelimpahan Relatif Jenis Burung Dengan menjumlahkan seluruh hasil pengamatan setiap jenis (12 kali pengamatan masing-masing selama 1 jam) di setiap lahan kemudian dibagi 10/12 maka

Wanatani 3,707 0,359

Tipe lahan Tumpangsari Sempadan sungai 3,757 3,573 0,533 0,416

diperoleh kelimpahan relatif jenis burung pada masing-masing lahan (Tabel 2). Pada tabel tersebut terlihat bahwa di lahan wanatani terdapat 8 jenis burung yang melimpah, 10 jenis umum, 2 jenis sering, 5 jenis tidak umum dan tidak ada yang termasuk kategori jarang; di lahan tumpangsari terdapat 10 jenis burung yang melimpah, 4 jenis umum, 6 jenis sering, tidak ada jenis burung yang tercatat dengan kategori jarang; dan di lahan sempadan terdapat 5 jenis burung yang melimpah, 9 jenis umum, 6 jenis sering, tidak ada jenis burung yang tercatat dengan kategori tidak umum atau jarang. Tercatat 6 jenis burung melimpah di ketiga tipe lahan, yaitu jenis walet sarangputih, walet sarang-hitam dan sriti linchi (Aerodramus fuciphagus, Aerodramus maxima, Collocalia linchi), madu sriganti (Nectarinia jugularis), cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), dan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus). Keberadaan jenis tumbuhan seperti kelompok nangka (Arthocarpus spp.), akasia (Acacia spectabilis), randu (Ceiba pentandra), dan asam (Tamarindus indica) menyediakan serangga dan nektar yang menjadi pakan bagi jenis burung tersebut. Empat jenis burung tercatat dengan kategori umum di lahan sempadan sungai, sedangkan di dua tipe 241

Eko Sulistyadi

lahan yang lain tercatat melimpah yaitu bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), madu kelapa (Anthreptes malacensis) dan cekakak sungai (Todirhamphus chloris). Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) hanya tercatat umum di lahan wanatani sedangkan di lahan tumpangsari dan sempadan sungai tercatat melimpah. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis kelompok Hasil analisis pengelompokan ketidaksamaan bray curtis pada koefisien ketidaksamaan 0,65 (Gambar 3) untuk setiap jenis burung dengan menggunakan NTSYS spc 2.1 menunjukkan bahwa di ketiga lahan terdapat 7 kelompok yang terpisah. 1. Kelompok pertama terdiri atas wallet sarang-putih (Aerodramus fuciphaA)
35 30 25 20 15 10 5
0

gus), walet sarang-hitam (Aerodramus maximus), sriti linchi (Collocalia linchi), madu sriganti (Nectarinia jugularis), cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cekakak sungai (Todirhamphus chloris), bondol peking (Lonchura punctulata), madu kelapa (Anthreptes malacensis), cabai jawa (Dicaeum trochileum), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), gelatik batu kelabu (Parus major), dan cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster). 2.Kelompok kedua terdiri atas prenjak padi (Prinia inornata), caladi tilik (Picoides moluccensis), cici padi (Cisticola juncidis), cici merah (Cisticola exilis), cipoh kacat (Aegithina tiphia), kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), gemak B)
30 25 20

Sobs (M Tau) ao Jack 2 M ean Bootstrap M ean

15 10
5

0 1 2
3 4

C)
25 20 15 10 5
0

Pengamatan

D)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0

Pengamatan

10

11

12

Pengamatan

Pengamatan

Gambar 2. Nilai Observasi, perkiraan jumlah, dan bootstrap hasil analisis estimatesS ( A= Wanatani, B=Tumpang sari, C= Sempadan sungai D= Seluruh lahan).

242

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Tabel 2. Kelimpahan relatif jenis burung di tiap tipe lahan


Kelimpahan relatif Jenis burung Wanatani Jml/10 jam Walet liur (Aerodramus fuciphagus), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan sriti linchi (Collocalia linchi Horsfield & Moore, 1854) Madu sriganti (Nectarinia jugularis) Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) Bondol peking (Lonchura punctulata) Madu kelapa (Anthreptes malacensis) Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) Cabai jawa (Dicaeum trochileum) Prenjak padi (Prinia inornata) Caladi tilik (Picoides moluccensis) Cipoh kacat (Aegithina tiphia) Gemak tegalan (Turnix sylvatica) Gelatik batu kelabu (Parus major) Cekakak jawa (Halcyon pileata) Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) Raja udang biru (Alcedo coerulescens) Pijantung kecil (Arachnothera everetti) Cici padi (Cisticola juncidis) Cici merah (Cisticola exilis) Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) Bubut jawa (Centropus nigrorufus) Kipasan belang (Rhipidura javanica) Elang hitam (Ictinaetus malayensis) Laying-layang api (Hirundo rustica) Gagak kampung (Corvus macrorhynchos) Prenjak jawa (Prinia familiaris). Raja udang meninting (Alcedo meninting) Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis) Total jenis Kategori Tumpangsari Jml/10 jam Kategori Sempadan sungai Jml/10 jam Kategori

223,10

160

137,14

123,38 108,17 74,37 62,54 43,94 42,25 42,25 32,11 28,73 25,35 16,90 13,52 10,14 5,07 5,07 18,59 1,69 1,69 21,97 13,52 11,83 1,69 1,69 1,69 ----------25 jenis

1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 2 4 4 2 2 2 4 4 4 -----------

80 60 110 55 52,5 62,5 47,5 55 42,5 7,5 15 12,5 5 7,5 5 40 ----------------12,5 5 2,5 ----20 jenis

1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 3 3 3 2 ----------------2 3 3 -----

57,14 74,29 171,43 34,29 17,14 17,14 34,29 45,71 22,86 5,71 11,43 5.71 5.71 17,14 5.71 --11,43 17,14 ------------------5.71 5,71 20 jenis

1 1 1 2 2 2 2 1 2 3 2 3 3 2 3 --2 2 ------------------3 3

243

Eko Sulistyadi

C.linchi N.jugularis O.ruficeps P.cinnamomeus L.leucogastroid T.chloris L.punctulata A.malacensis D.trochileum S.chinensis P.major P.aurigaster P.inornata P.moluccensis C.juncidis L.leucogastroid C.exilis A.tiphia Z.palpebrosus T.sylvatica H.cyanoventris A.longirostra I.malayensis A.coerulescens C.bengalensis R.javanica H.rustica C.macrorhynchos P.familiaris A.meninting C.sepulcralis
0.00 0.25 0.50 0.75 1.00

Koefisien

Gambar 3. Pengelompokan jenis burung berdasarkan indeks ketidaksamaan bray curtis.

tegalan (Turnix sylvatica), dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). 3.Kelompok ketiga terdiri atas pijantung kecil (Arachnothera longirostra) dan elang hitam (Ictinaetus malayensis). 4.Kelompok keempat terdiri atas rajaudang biru (Alcedo coerulescens), bubut alang-alang (Centropus bengalensis) dan kipasan belang (Rhipidura javanica). 5.Kelompok kelima terdiri atas layanglayang api (Hirundo rustica) dan gagak kampung (Corvus macrorhynchos). 6.Kelompok keenam adalah prenjak jawa (Prinia familiaris). 7.Kelompok ketujuh adalah raja-udang meninting (Alcedo meninting) dan wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis). Sukmantoro dkk (2007) mengungkapkan bahwa wilayah Indonesia ditempati oleh 1.598 jenis burung; sebagian bersifat menetap dan sebagian 244

lagi bersifat migran. Diketahui juga bahwa di Pulau Jawa terdapat 507 jenis burung dengan 56 jenis merupakan jenis endemik Indonesia dan 32 jenis diantaranya hanya terdapat di Jawa ( Lampiran 1). Penelusuran jenis burung berdasarkan ketinggian tempat dan tipe habitat (MacKinnon dkk 1998) menunjukkan ada 19 jenis burung endemik Jawa yang dapat hidup di dataran rendah. Habitat yang banyak dihuni oleh burung endemik dataran rendah adalah payapaya, pesisir pantai, hutan sekunder dataran rendah, kebun, lahan pertanian, semak hutan perbukitan dan padang rumput dataran rendah. Salah satu burung dataran rendah endemik Jawa yang diduga telah punah yaitu trulek jawa (Vanellus macropterus Wagler, 1827). PEMBAHASAN Di ketiga lahan penelitian secara keseluruhan ditemukan 30 jenis burung.

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Analisis Estimate S (Gambar 2) menunjukkan bahwa di ketiga lahan penelitian diperkirakan terdapat 32 jenis. Sedangkan di lahan wanatani diperkirakan terdapat 27 jenis, di lahan tumpangsari dan sempadan diperkirakan terdapat 22 jenis burung. Selisih antara perkiraan dan hasil observasi disebabkan adanya kesulitan mengaidentifikasi antara sriti linchi (Collocalia linchi), walet saranghitam (Aerodramus maxima) dan walet sarang-putih (Aerodramus fuciphagus) yang selalu terbang. Walaupun tidak sempurna namun karena bootstrap hasil keempat kali ulangan seluruh berada di antara rata-rata dengan observasi maka dapat dikatakan bahwa pengamatan yang dilakukan sudah benar sehingga data yang diperoleh layak untuk dianalisis lebih lanjut. Perbedaan keanekaragaman jenis burung antar tipe lahan terlihat dari hasil uji (t) dengan nilai yang signifikan. Keanekaragaman jenis burung tertinggi dimiliki oleh lahan tumpangsari dengan kemerataan jenis burung yang paling tinggi dibandingkan lahan yang lain. Lahan wanatani memiliki kekayaan jenis burung yang lebih tinggi (25 jenis), sedangkan lahan sempadan sungai diketahui memiliki kekayaan jenis terendah dengan kemerataan jenis lebih rendah dari lahan tumpangsari namun lebih tinggi dari lahan wanatani . Perbedaan jenis burung antar tipe lahan merupakan wujud dari perbedaan daya dukung pada tiap lahan. Menurut (Wiens 1992; Krebs & Davis 1978) burung memiliki kemampuan untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang mendukung kebutuhan hidupnya.

Lahan wanatani yang relatif masih alami dan ditumbuhi pohon jati (Tectona grandis), kelompok nangka (Arthocarpus spp.), beringin (Ficus Benjamin) dan saman (Samanea saman) disenangi oleh jenis burung yang beraktifitas di tajuk dan kerimbunan pohon seperti Kacamata (Zosterops palpebrosus); lahan tumpangsari yang diolah untuk ditanami ubi jalar (Ipomoea batatas), ketela pohon (Manihot esculenta) dan jagung (Zea mays) lebih banyak dihuni oleh burung pemakan serangga yang memanfaatkan strata bawah, semak dan tanaman pertanian tersebut untuk mencari makan. Wiwik uncuing (Cacomantis sepulcralis) dan Raja udang meninting (Alcedo meninting) cenderung menyukai habitat tertutup dekat perairan yang dapat dijumpai pada lahan sempadan sungai. Keberadaan tumbuhan sangat terkait dengan ketersediaan pakan, tempat bersarang, perlindungan dari pemangsa dan juga faktor mikroklimat, dengan demikian tumbuhan dapat mempengaruhi ada dan tidaknya suatu jenis burung di suatu lokasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Partasasmita (2003) bahwa perubahan komposisi komponen habitat berupa jenisjenis tumbuhan yang berimplikasi langsung terhadap peru-bahan ketersediaan sumberdaya, akan merubah pula komposisi burung-burung yang memanfaatkanya yang sekaligus akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut. Pada lahan yang banyak berhubungan dengan aktivitas manusia yaitu lahan tumpangsari dan lahan sempadan sungai diketahui kekayaan jenis burungnya lebih 245

Eko Sulistyadi

rendah (20 jenis) dibandingkan lahan wanatani yang cenderung lebih alami (25 jenis). Odum (1971) menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis burung cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi. Namun demikian perlu diperhatikan juga bahwa kadang kekayaan jenis yang tinggi tidak selalu diikuti dengan kemerataan jenis yang tinggi pula, hal inilah yang menyebabkan tidak semua lokasi yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi keanekaragaman jenisnya juga tinggi. Aktivitas manusia (pengolahan lahan pertanian) akan berdampak pada penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan asli yang juga akan berdampak pada perubahan jenis burung yang ada. Krebs dan Davis (1978) mengemukakan bahwa ketidakhadiran suatu jenis burung di satu tempat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ketidakcocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit dan pesaing) dan faktor kimiafisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan. Keberadaan berbagai jenis burung, terutama jenis endemik dataran rendah Jawa di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan daya dukung yang beragam pada tiap lahan dapat mendukung jenis burung yang lebih beraneka ragam pula. Rosenzweig (1995) menjelaskan bahwa setiap jenis membutuhkan habitat yang sesuai untuk dapat bertahan hidup. Habitat dengan variasi yang lebih besar akan berbanding lurus dengan variasi jenis yang lebih besar 246

pula. Cabai jawa (Dicaeum trochileum) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) terdapat di semua tipe lahan namun demikian terdapat perbedaan kelimpahan yang tentunya berhubungan dengan daya dukung lingkungan. Dicaeum trochileum tercatat melimpah di lahan tumpangsari sedangkan Lonchura leucogastroides tercatat melimpah di lahan wanatani dan lahan tumpangsari. Raja udang biru (Alcedo coerulescens) tercatat umum di lahan sempadan sungai namun tidak umum di lahan wanatani karena jenis ini lebih menyukai daerah yang memiliki aliran air. Jenis walet dan sriti (Aerodramus fuciphagus + Aerodramus maxima + Collocalia linchi) serta sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) memiliki nilai kelimpahan relatif yang tinggi di lahan wanatani dan lahan tumpangsari. Kondisi vegetasi yang didominsi oleh kelompok nangka (Arthocarpus spp.) dan beringin (Ficus benjamina) pada kedua lahan serta pohon saman (Samanea saman) pada lahan wanatani dan pohon asem (Tamarindus indica)di lahan tumpangsari menyediakan sumber pakan berupa serangga yang berlimpah untuk jenis-jenis burung pemakan serangga tersebut. Ruang terbuka di atas tajuk pohon serta adanya pergerakan serangga terbang merupakan kondisi yang disenangi oleh jenis walet dan sriti untuk berburu mangsa dengan cara menyambar serangga yang sedang terbang. Adanya area yang ditanami Ipomoea batatas, Manihot esculenta dan Zea mays di lahan tumpangsari juga menyediakan ruang terbuka bagi pergerakan jenis walet dan sriti (Aerodramus fuciphagus/

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Aerodramus maxima/ Collocalia linchi) dan sekaligus menyediakan serangga terbang yang melimpah yang merupakan sumber pakan utamanya. Burung sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) menyenangi lahan yang memiliki tumbuhan dengan kondisi bawah tajuk yang relatif terbuka (Noerdjito 2009). Kondisi vegetasi di lahan tumpangsari yang lebih terbuka menyebabkan penutupan bawah tajuk cenderung lebih terbuka dan tidak terlalu rapat, hal inilah yang menyebabkan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) lebih melimpah di lahan tumpangsari daripada di lahan wanatani. Jenis cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) tercatat melimpah di lahan wanatani karena jenis ini mempunyai kemampuan mencari pakan di tempat yang agak rimbun; jarak percabangan yang tidak terlalu jauh dapat mendukung pergerakan jenis burung ini dalam mencari serangga sebagai pakannya (Noerdjito 2009). Jenis-jenis tumbuhan seperti disebutkan di depan juga menyediakan sumber nektar (bunga) untuk burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) sehingga jenis burung ini juga cukup melimpah di lahan wanatani. Keberadaan burung tekukur biasa (Streptopelia chinensis) di lahan tumpangsari juga mengindikasikan adanya lahan terbuka/pertanian yang biasanya digunakan untuk mencari makan (Noerdjito 2009). Lahan sempadan sungai dikuasai oleh burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps). Kondisi vegetasi yang didominasi oleh kelapa (Cocos nucifera) merupakan sumber

nektar bagi burung madu sriganti, sedangkan keberadaan pisang (Musa paradisiaca), mangga (Mangivera spp.), dan jambu batu (Psidium guajava) selain menyediakan nektar (bunga) juga menyediakan pakan berupa serangga dan menyediakan percabangan bagi burung cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) untuk berpindah tempat dan mencari makan. MacKinnon (1998) menjelaskan bahwa jenis cinenen kelabu menyukai habitat semak, kebun, dan aktif mulai dari strata bawah sampai ke puncak pohon. Pengelompokan jenis berdasarkan indeks ketidaksamaan braycurtis (Gambar 3) menunjukkan adanya 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 12 jenis burung yaitu Walet liur (Aerodramus fuciphagus), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan sriti linchi (Collocalia linchi), sampai dengan cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) (Gambar 3). Kelompok ini terdiri dari jenis-jenis burung yang bersifat kosmopolitan yang mempunyai rentang habitat luas, hal ini ditunjukkan dengan 11 jenis burung tersebut dapat ditemukan di semua tipe lahan dan satu jenis yaitu kutilang (Pycnonotus aurigaster) ditemukan di lahan wanatani dan tumpangsari. Perubahan habitat yang terjadi di hutan dataran rendah yang telah diubah menjadi areal terbuka menyebabkan beberapa spesies burung mengalami perubahan strata tempat mencari makannya dan luas daerah jelajahnya bertambah (Partasasmita 2003), pada kasus jenis burung kosmopolitan yang memiliki kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang beragam sangat memungkinkan bagi 247

Eko Sulistyadi

jenis-jenis ini untuk hidup di ketiga tipe lahan yang mempunyai daya dukung berbeda. Kelompok kedua terdiri dari 8 jenis burung yaitu prenjak padi (Prinia inornata) sampai dengan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) (Gambar 3). Kelompok burung ini semuanya dapat ditemukan di lahan wanatani, dimana tiga jenis diantaranya yaitu Zosterops palpebrosus, Cisticola juncidis, dan Cisticola exilis hanya bisa ditemukan di lahan wanatani. Zoosterops palpebrosus merupakan burung yang menyukai hidup di puncak pohon yang tinggi (MacKinnon dkk 1998) yang masih banyak dijumpai di lahan wanatani. Kelompok ketiga terdiri dari Arachnothera longirostra dan Ictinaetus malayensis merupakan jenis burung yang menyukai habitat dengan vegetasi cukup lebat, karena itulah jenis ini hanya ditemukan di lahan wanatani yang banyak didominasi oleh jenis pohon seperti Tectona grandis, Arthocarpus spp., Ficus benjamina dan Samanea saman. MacKinnon dkk. (1998) juga menjelaskan bahwa kedua jenis burung ini senang hidup di hutan bukit dengan vegetasi yang cukup lebat. Kelompok keempat terdiri dari rajaudang biru (Alcedo coerulescens), bubut alang-alang (Centropus bengalensis) dan kipasan belang (Rhipidura javanica) yang merupakan jenis-jenis yang suka berada di dekat aliran air. Keberadaan aliran mata air di lahan wanatani menjadi faktor yang menyebabkan pengelompokkan jenis ini. Kelompok kelima terdiri dari Hirundo rustica dan Corvus macrorhynchos merupakan jenis burung yang 248

hanya ditemukan pada lahan tumpangsari. Kedua burung ini menyukai tempat terbuka. Menurut MacKinnon dkk. (1998) Corvus macrorhynchos banyak ditemukan pada lahan terbuka dekat desa, sedangkan Hirundo rustica sering terlihat melayang di lahan terbuka untuk menyambar serangga yang menjadi makanannya. Fakta ini sesuai dengan kondisi di lahan tumpangsari. Kelompok keenam adalah burung Prinia familiaris yang menyukai habitat sekunder terbuka (MacKinnon dkk 1998) sehingga jenis ini hanya ditemukan di lahan tumpangsari yang cenderung terbuka dan menyediakan banyak serangga sebagai pakan utama. MacArthur (1965) dalam Rosenzweig (1995) menunjukkan adanya keterkaitan antara keanekaragaman jenis burung dengan kondisi habitat pada struktur vertikal yaitu rumput-rumputan, semak dan perdu, serta pada lapisan kanopi pohon. Jenis prenjak ini merupakan burung yang memanfaatkan strata bawah yaitu semak untuk hidup dan mencari makan. Hal ini berbeda dengan burungburung kelompok enam yang memanfaatkan ruang terbuka. Kelompok ketujuh terdiri dari Cacomantis sepulcralis dan Alcedo meninting merupakan jenis burung yang hanya ditemukan pada lahan sempadan sungai. Cacomantis sepulcralis merupakan penghuni dataran rendah di perbukitan dan menyukai tumbuhan sekunder (MacKinnon dkk 2000), sedangkan Alcedo meninting termasuk jenis raja udang yang menyukai bertengger di dekat perairan tawar

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

(sungai) dengan pepohonan yang cukup banyak (MacKinnon dkk 1998). Data yang disajikan oleh Mittermeier & Mittermeier (1997) masih merupakan data lama dengan jumlah jenis burung di Indonesia 1.531 jenis dan 397 merupakan jenis endemik. Pendekatan data baru yang dilakukan oleh Sukmantoro dkk. (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 1.598 jenis burung dengan 372 jenis (23,28%) merupakan jenis endemik. Catatan untuk jenis terancam punah IUCN Red List ada 118 jenis burung (7,38%), dengan demikian Indonesia berada pada peringkat pertama untuk jenis burung terancam punah. Analisis terhadap perubahan jumlah jenis ini telah merubah posisi Indonesia menjadi peringkat empat negara dengan keanekaragaman jenis burung tertinggi di dunia. Untuk kategori endemisitas jenis burung, Indonesia masih berada di peringkat pertama. Ditemukan empat jenis burung endemik dataran rendah Jawa di lokasi penelitian yaitu Lonchura leucogastroides, Dicaeum trochileum, Prinia familiaris dan Alcedo coerulescens (lihat lampiran). Dari empat jenis tersebut tidak ada yang termasuk kategoti terancam punah menurut IUCN Red List, dan hanya satu jenis yaitu Alcedo coerulescens yang termasuk jenis dilindungi perundang-undangan RI. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian yang meliputi tiga tipe lahan yaitu wanatani, tumpangsari dan sempadan sungai hanya mampu mendukung kehidupan jenis endemik yang umum dan tidak bisa mendukung kehidupan jenisjenis endemik yang terancam punah.

Berkurangnya keanekaragaman jenis tumbuhan akibat pengolahan lahan untuk pertanian kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Selain itu fragmentasi lahan akibat pola pertanian yang berbeda (wanatani, tumpangsari, dan sempadan sungai) semakin mengurangi luasan habitat serta mengurangi koridor yang menghubungkan antar populasi jenis burung endemik yang ada di kawasan konservasi, padahal sebagian besar jenis burung endemik memerlukan habitat yang cukup luas dengan diversitas daya dukung yang tinggi untuk dapat bertahan hidup. Informasi dari (www.burung.org) menyebutkan bahwa beberapa hutan yang penting bagi keanekaragaman hayati, khususnya di Jawa Tengah, saat ini belum terwakili di dalam kawasan konservasi. Selain jenis burung endemik dataran rendah Jawa, ternyata lahan pertanian dengan pola wanatani, tumpangsari, dan sempadan sungai juga mendukung kehidupan jenis-jenis burung pemakan serangga (pengendali hama), pemakan nektar (penyerbuk), pemakan biji (agen penyebar) dan jenis pemangsa puncak, dalam hal ini elang hitam (Ictinaetus malayensis). van Balen (1999) mengungkapkan sejumlah burung dataran rendah telah memperluas wilayah altitudinal, yaitu tiga jenis spesialis dataran rendah ekstrem, lima jenis spesialis lereng bukit dan tujuh jenis lainnya telah memperluas habitat hutan menuju habitat taman. Pola adaptasi dengan cara memperluas rentang habitat merupakan respon burung terhadap penyusutan 249

Eko Sulistyadi

habitat dan tekanan manusia. Lebih jauh lagi Wiens (1992) menjelaskan bahwa potensi sumberdaya, seperti ketersediaan pakan di habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung sehingga daerah nir-konservasi seperti lahan pertanian, kawasan terbuka, dan bahkan daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting bagi burung apabila tersedia pakan yang berlimpah. Melihat fakta ini maka dapat dikatakan bahwa kawasan nir-konservasi (lahan pertanian) dapat mendukung kelestarian keanekaragaman berbagai jenis burung serta menjadi koridor yang akan menjamin tetap berjalannya aliran gen antar populasi burung di wilayah-wilayah konservasi sehingga kelestarian populasi berbagai jenis burung tetap terjaga dengan baik. KESIMPULAN Lahan tumpangsari memiliki keanekaragaman jenis burung tertinggi diikuti lahan wanatani dan lahan sempadan sungai. Perbedaan keanekaragaman jenis burung yang signifikan antar tipe lahan membuktikan bahwa lokasi penelitian memiliki daya dukung yang beranekaragam. Daerah penelitian dihuni oleh empat jenis burung endemik (dataran rendah) Jawa, yaitu Lonchura leucogastroides dan Dicaeum trochileum ditemukan di semua tipe lahan, Prinia familiaris di lahan tumpangsari serta Alcedo coerulescens di lahan wanatani dan lahan sempadan sungai. Burung endemik Jawa yang rawan punah tidak ditemukan di lahan penelitian 250

sehingga dapat dikatakan bahwa lahan nir-konservasi ini belum dapat melindungi jenis endemik dataran rendah Jawa yang lain terutama yang terancam punah. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djuwanto M.Si, Drs. Sukiya M.Si, Drs. M. Noerdjito dan Dr. Ibnu Maryanto yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Bibby, CM Jones & S. Marsden. 1998. Expedition Field Techniques Bird Surveys. London: Expedition Advisory Centre Royal Geographical Society. 134 hal. Burung Indonesia. 2010. Daerah Endemik Burung (Hutan di Jawa dan Bali). (http:// www.burung.org/detail_eba.php) 25 Januari 2010, pukul 14.46 WIB. Krebs, JR. & NB Davies. 1978. Behavioural ecology: an Evolutionary Approach. 3rd ed. London: Blackwell Scientific Publication (XI + 494) hal. Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Computing. J. Wiley & Sons. (XI + 337) hal. MacKinnon J. 1998. Burung-Rurung di Sumatera, Jawa,Bali, dan Kalimantan (terjemahan). Bogor: Puslitbang Biologi LIPI BirdLife Indonesia. (XV + 509) hal.

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Mittermeier, RA. & CG. Mittermeier. 1997. Megadiversity (Earth Biologicaly Weatlhiest Nations). Canada: Quebecor Printing Inc. Cimex. 501 hal. Noerdjito, M. 2009. Keanekartagaman Jenis Burung di Enclave Arban Taman Nasional Gunung Ciremai. J. Biologi Indonesia 5(3) : (269-278) hal. Odum, EP. 1971. Fundamentals of Ecology 3rd. Philadelphia: W.B Saunders & Co. (XIV + 574) hal. Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Biji sebagai Penyebar Biji (Paper Falsafah Sains Program Pasca Sarjana / S3). Institut Pertanian Bogor (25) hal. Rais, S., Y. Ruchiat, A. Sartono & T. Hideta. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia.

Jakarta: Departemen KehutananLH JICA. (XVII + 291) hal. Rosenzweig, ML. Spesies Diversity in Space and Time. 1995. UK: Cambridge University Press (XX + 436) hal. Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino, F Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia No 2. Bogor : Indonesian Ornithologists Union. (X + 157) hal. van Balen, B. 1999. Birds on Fragmented Islands: Persistence in The Forests of Java and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30. Wageningen University. (IV + 181) hal. Wiens JA, 1992. The ecology of bird communities. Vol. I. Foundantions and patterns., Cambridge University Press.

Memasukkan: Agustus 2009 Diterima: Januari 2010

251

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


PANDUAN PENULIS Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masingmasing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol , , , dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik 237 Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey 255 (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik Dwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin 265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah 277 Penduduk dan Industri Eko Harsono & Sulung Nomosatryo TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito (Coleoptera, 289

Anda mungkin juga menyukai