Diktat Filologi
Diktat Filologi
Diktat Filologi
Etimologi Kata Filologi Filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia. Philologia berasal dari dua kata, yaitu philos yang berarti teman dan logos yang berarti pembicaraan atau ilmu. Berdasarkan etimologinya, dua kata tersebut kemudian membentuk arti senang berbicara atau senang ilmu. Arti ini kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang kepada ilmu, dan senang kepada hasilhasil karya-karya tulis yang bermutu tinggi, seperti karya sastra. 2. Istilah Filologi Filologi sebagai istilah, pertama kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli teksteks lama Yunani, dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat luas, dan selalu berkembang. a. Filologi sebagai Imu Pengetahuan Filologi pernah disebut sebagai Letalage de savoir pameran ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan filologi membedah teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi macam bidang ilmu.
b. Filologi sebagai Ilmu Sastra Filologi juga pernah dikenal sebagai ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap karya-karya sastra masa lampau, terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi semakin merambah dan meluas menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap karya-karya sastra yang bernilai tinggi. c. Filologi sebagai Ilmu Bahasa Teks-teks masa lampau yang dikaji dalam filologi, menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis sangat diperlukan dalam studi filologi. d. Filologi sebagai Studi Teks Filologi sebagai istilah, juga dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi dalam pengertian ini dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di antaranya dengan jalan melakukan kritik teks. Filologi dalam perkembangannya yang mutakhir, dalam arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada kita di dalam bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis. Mario Pei dalam bukunya yang berjudul Glossary of Linguistic Terminology (1966) memberikan batasan bahwa filologi merupakan ilmu dan studi bahasa yang ilmiah seperti yang disandang oleh linguistik pada masa sekarang, dan apabila studinya dikhususkan pada teks-teks tua, filologi memperoleh pengertian semacam linguistik historis (Baried, 1985: 3).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 277) istilah filologi diartikan sebagai ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Berbicara mengenai filologi, Soebadio (1991: 3) menyatakan bahwa filologi adalah teknik telaah yang menyangkut masalah-masalah dalam naskah lama. Filologi juga dapat diartikan sebagai telaah sastra (kesusastraan) dan ilmu (disiplin) yang berkaitan dengan sastra atau bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Tetapi dalam perkembangannya telaah dengan teknis filologi kemudian mendapat arti jangkauan yang lebih luas, yaitu dihubungkan dengan masalah-masalah kebahasaan secara umum, termasuk bidang-bidang yang kini digolongkan bidang linguistik, seperti tata bahasa, semantik, perubahan sandi, dan lain-lain. Dewasa ini pengertian filologi telah menjadi lebih luas dan terarah, yaitu meliputi telaah mengenai bahasa yang digunakan manusia (human speech), terutama bahasa sebagai wahana sastra dan sebagai bidang studi yang dapat memberi kejelasan mengenai sejarah kebudayaan (Soebadio, 1991: 3). Sedangkan Morgan L. Walters dalam Mulyani (1996: 109) menyatakan bahwa filologi adalah: The study of the origin, relationship, development, etc. of language. penyelidikan tentang keaslian, hubungan, perkembangan, dan sebagainya dari bahasa. Websters New International Dictionary menyatakan bahwa filologi adalah ilmu bahasa dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa yang beradab seperti diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra, dan agama mereka (Sutrisno, 1981: 8).
Groot Woordenboek der Nederlandse Taal dinyatakankan bahwa filologi adalah ilmu mengenai bahasa dan sastra suatu bangsa, mula-mula berhubungan dengan bahasa dan sastra bangsa Yunani dan Romawi, tetapi kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa lain seperti bangsa Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Slavia (Sutrisno, 1981: 8). Filologi juga diberi artian sebagai satu disiplin yang berhubungan dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau (Soeratno, 1990:1). Sedangkan Djamaris (1977: 20) menyatakan bahwa filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna. Berbeda halnya dengan Bachtiar (1973: 1), yang memberikan batasan bahwa filologi adalah pengetahuan mengenai naskah-naskah sastra. Di Indonesia, yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi oleh bangsa Belanda, arti filologi mengikuti penyebutan yang ada di negara Belanda, yaitu suatu disiplin yang mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaan. Filologi di Indonesia diterapkan pada teks-teks yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. naskah yang mendukung teks dalam bahasabahasa tersebut terdapat pada kertas atau lontar. Filologi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 27), didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya, atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraannya. Djamaris (1977: 20) memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai filologi. Filologi diartikan sebagai suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip
kuna. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian filologi secara luas, adalah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Perkembangan tersebut dipelajari melalui hasil budaya manusia pada masa lampau berupa manuskrip-manuskrip kuna yang kemudian diteliti, ditelaah, difahami, dan ditafsirkan. Pengertian-pengertian filologi di atas, menggambarkan keluasan jangkauan analisis filologi. B. Objek Penelitian Filologi Sasaran kerja penelitian filologi adalah naskah, sedangkan objek kerjanya adalah teks (Baried, 1994: 6). Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal-hal mengenai seluk-beluk naskah dan teks. 1. Pengertian naskah Naskah merupakan objek kajian filologi berbentuk riil, yang merupakan media penyimpanan teks. Baried (1994: 55), berpendapat bahwa naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Darusuprapta (dalam Surono 1983: 1), memberikan definisi, bahwa naskah sering disamakan dengan teks yang berasal dari bahasa Latin textua yang berarti tulisan yang mengandung isi tertentu. Naskah juga dapat diberi pengertian sebagai semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah atau manuskrip, ditulis dengan bahan-bahan yang beragam. Baried (1985: 6), berpendapat bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk menulis naskah antara lain: (1) karas yaitu papan atau batu tulis dengan alat yang dipakai untuk menulisi tanah; (2) dluwang, atau kertas Jawa dari kulit kayu; (3) bambu yang dipakai untuk naskah Batak; (4) kertas Eropa yang biasanya ada watermark atau cap air.
Ismaun (1996: 4) menyatakan bahwa: Naskah daerah seperti naskah Sunda dibuat dari daun lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daluwang, dan kertas. Naskah Jawa pada umumnya menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal daun tal atau daun siwalan), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, dan kertas. Sementara itu masih ada penggolongan jenis dluwang dan kertas yang lebih rinci, seperti kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas bergaris. Bahan naskah (manuskrip) nampaknya tidak terbatas pada bahan-bahan tersebut di atas, bahkan bahan naskah di wilayah nusantara lebih beragam daripada di Jawa, seperti perkamen, kertas, bambu, lontar, kulit kayu, dan lain-lain. Keterangan di atas dapat memberikan gambaran bahwa bahan naskah digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan mentah dari bambu, kulit kayu, rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah matang dengan proses sederhana, antara lain perkamen, dluwang, dan bahan matang dengan proses sempurna seperti kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad XVIII dan XIX mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik untuk naskah di Indonesia. Alat yang digunakan untuk menulis naskah, disesuaikan dengan bahan yang akan ditulisi. Bahan naskah mentah biasanya menggunakan pisau seperti pengot di Jawa Barat dan pengutik di Bali. Naskah lama yang ditulis atau disalin dengan tangan, dapat memberikan berbagai macam informasi mengenai naskah itu sendiri maupun penulis dan penyalin naskah yang bersangkutan. Informasi tersebut dapat dilihat dengan membandingkan: (1) keadaan tulisan. Tulisan yang jelas, rapi, indah, dan tidak mengandung banyak kesalahan menunjukkan hasil tulisan penulis atau penyalin yang berpengalaman, seperti penulis ahli pada istana raja; (2) keadaan bahan naskah yang dapat digunakan sebagai gambaran awal mengenai umur naskah (Soebadio, 1991: 4).
2. Penggolongan Naskah Keanekaragaman naskah tidak hanya terdapat pada unsur fisik naskah seperti keanekaragaman bahan yang digunakan untuk menulis naskah, jenis tinta yang digunakan, keadaan tulisan naskah, dan lain-lain. Keanekaragaman juga terlihat dalam jenis-jenis naskah yang ditulis. Sebagai contoh, misalnya penggolongan naskah-naskah Jawa. Naskah Jawa sudah dikelompokkan dalam beberapa jenis. Penjenisan naskah adalah pengelompokan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu yang menjadi ciri kahas, sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus
dimaklumi, kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan sebuah naskah termasuk jenis mana, karena berbgai ragam yang dikandungnya. Berikut ini adalah contoh-contoh penjenisan naskah Jawa berdasarkan beberapa katalog dan pendapat para ahli: Daftar yang disusun oleh Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10) membagi naskah menjadi beberapa macam, antara lain: (1) naskah keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan; (2) naskah kebahasaan yang menyangkut ajaran bahasa-bahasa daerah. Ada juga naskah yang memberi pengajaran bahasa yang terselubung dengan memanfaatkan ajaran tata bahasa lewat cerita-cerita rakyat; (3) naskah filsafat dan folklore; (4) naskah mistik rahasia, dalam hal ini perlu diperhatikan secara khusus berbagai jenis naskah yang mengandung ajaran filsafat dan mistik yang tidak dimaksudkan untuk umum, melainkan hanya diajarkan kepada yang sudah termasuk kelompok dalam atau yang sudah dikenakan inisiasi; (5) naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral; (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum; (7) naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja; (8) bangunan dan arsitektur; (9) obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang berdasarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan sebagainya; (10) perbintangan; (11) naskah mengenai ramalan; (12) naskah kesastraan, kisah epik (kakawin) dan lain sebagainya; (13) naskah bersifat sejarah (babad), dan sebagainya; (14) jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.
Girardet dan Soetanto (1983), mengelompokkan naskah mula-mula dengan menggolongkan berdasarkan tempat penyimpanannya. Misalnya di perpustakaan Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, Sanabudaya, dan lain-lain. Kemudian dikelompokkan menurut jenis naskah, antara lain: (1) Chronicles, Legends, and Myths; (2) Religion, Philosophy and Ethics; (3) Court Affairs, Laws, Treaties and Regulations; (4) Text Books and Guides, Dictionaries, and Encyclopaedias. Behrend (1990: v-vii), mengelompokkan naskah berdasarkan jenis sastranya, antara lain: (1) sejarah; (2) silsilah; (3) hukum; (4) bab wayang; (5) sastra wayang; (6) sastra; (7) piwulang; (8) Islam; (9) primbon; (10) bahasa; (11) musik; (12) tari-tarian; (13) adat-istidadat; (14) lain-lain: teks-teks lain yang tidak dimuat di bawah kategori-kategori lainnya. Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Verde antara lain: (1) Puisi Epis; (2) Mitologi dan Sejarah Legendaris; (3) Babad dan Kronik; (4) Cerita, Sejarah, dan Roman; (5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon; (6) Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan; (7) Karya-karya Hukum, Kitabkitab Undang-undang; (8) Ilmu dan Pelajaran: Tata Bahasa, Perkamusan, Pawukun (Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan; (9) Serba-serbi Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Juynboll: (1) Prasasti-prasasti dan Turunan-turunannya; (2) Syair Jawa Kuna (Kakawin); (3) Syair Jawa Pertengahan dan Metrum Tengahan; (4) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat; (5) Syair Jawa Baru dengan Metrum Macapat; (6) Prosa: Jawa Kuna; Jawa Pertengahan; Jawa Baru. Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus Brandes: Katalogus Brandes terbit dalam empat jilid (Brandes 1901, 1903, 1904, 1916). Penyajiannya tidak digolong-golongkan tetapi dengan disusun berurutan mengikuti abjad naskah. Jelasnya sebagai berikut: (1) Jilid I (1901) : Adigama sampai dengan Ender; (2) Jilid II (1903) : Gatotkacacarana
dampai dengan Putrupasaji; (3) Jilid III (1904) : Rabut Sakti sampai dengan Yusup; (4) Jilid IV (1916) : Naskah-naskah tak berjudul. Penjenisan Naskah Jawa Berdasarkan Katalogus/ Daftar Naskah Poerbatjaraka: Penjenisan naskah Jawa dalam katalogus ini tidak dikelompok-kelompokkan, hanya disusun berdasarkan urutan abjad naskah. Namun secara terpsisah sebenarnya Poerbatjarakan membuat uraian khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa yang dikelompokkan penjenisannya sebagai berikut: (1) Naskah-naskah Panji; (2) Naskahnaskah Menak; (3) Naskah-naskah Rengganis- Ambiya-Sastra Pesantren Suluk dan Primbon; (4) Kakawin; (5) Parwa; (6) Babad; (7) Kitab Undang-undang. Khusus untuk penggolongan nomor 4 sampai dengan 7 hanya merupakan rencana penggolongan naskah Jawa, tetapi samapai sekarang ini belum dapat terwujud. Katalogus RicklefsVoorhoevRicklefs dan Voorhoev menggolongkan
naskah-naskah Jawa berdasarkan atas bahasa yang digunakan seara kronologis atau dialektologis, sehingga terdapat penjenisan naskah Jawa sebagai berikut (1) Naskahnaskah Jawa Baru; (2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan; (3) Naskah-naskah Jawa Kuna. Naskah Jawa sendiri, jika digolongkan berdasarkan kandungan isinya, menurut Pigeaud dalam Soebadio (1991: 10), antara lain adalah: a. Naskah Keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran agama dan kepercayaan. b. Naskah Kebahasaan yang menyangkut ajaran-ajaran bahasa-bahasa daerah. c. Naskah Filsafat dsan Folklore d. Naskah Mistik Rahasia e. Naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral
f. Naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum g. Naskah mengenai keturunan dan warga raja-raja h. Naskah mengenai bagunan dan arsitektur i. Naskah mengenai obat-obatan. Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang berdsarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan lain-lain. j. Naskah mengenai arti perbintangan. Naskah-naskah yang bersangkutan lebih cenderung pada astrologi daripada astronomi. k. Naskah mengenai ramalan, penjelasan impian, dan tanda-tanda yang terdapat pada tubuh manusia, hewan, dan lain-lain. l. Naskah kesastraan, kisah epik (kakawin), dan sebagainya. Naskah-naskah ini memberi informasi pula mengenai keadaan negara dan alam pada jaman naskah disusun. m. Naskah bersifat Babad (sejarah), dan lain-lain. n. Jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas. 3. Pengertian teks Onions (dalam Darusuprapta 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Soeratno (1990: 4), menyebutkan bahwa teks merupakan informasi yang terkandung dalam naskah, yang sering juga disebut muatan naskah. Ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk teks disebut tekstologi, yang antara lain meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Secara garis besar dapat disebutkan
10
adanya tiga macam teks dalam penjelmaan dan penurunannya, yaitu: (1) teks lisan (tidak tertulis); (2) teks naskah (tulisan tangan); (3) teks cetakan (Baried, 1994: 58). Pengertian naskah dan teks di atas dapat memberikan kesimpulan mengenai perbedaan naskah dan teks. Naskah merupakan sesuatu yang konkret, sedangkan teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak. Teks merupakan kandungan atau muatan naskah, sedang naskah sendiri merupakan alat penyimpanannya.
C. Tujuan Filologi Tujuan studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum filologi yaitu: (1) memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis; (2) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya; (3) mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. Sedangkan tujuan khususya adalah: (1) menyunting sebuah naskah yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya; (2) mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya; (3) mengungkap resepsi pembaca setiap kurun penerimaannya. Secara khusus, studi filologi sebagai suatu disiplin ilmu, mempunyai tujuan kerja tertentu. Tujuan kerja filologi tersebut pada dasarnya bertitik tolak dari adanya berbagai bentuk variasi teks (Soeratno, 1990: 3). Cara pandang mengenai bentukbentuk variasi tersebut kemudian melahirkan dua konsep penelitian filologi, yaitu konsep filologi tradisional dan konsep filologi modern. Masing-masing konsep ini memiliki dua tujuan yang berbeda. Konsep filologi tradisional, memandang variasi secara negatif (sebagai bentuk korup). Oleh karena itu, penelitian filologi dengan
11
konsep ini bertujuan untuk menemukan bentuk asli atau bentuk mula teks, maupun yang paling dekat dengan bentuk mula teks (Baried, 1994: 6-7). Arti filologi di Indonesia mengikuti arti yang tradisional yaitu filologi yang menitikberatkan penelitiannya kepada bacaan yang rusak. Namun dalam
perkembangannya mengarah pada pengertian filologi modern, yaitu studi filologi yang memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai naskah tersebut sebagai justru sebagai alternatif yang positif. Varian-varian tersebut dipandang sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami teks, menafsirkannya, membetulkan jika dipandang tidak tepat, mengaitkan dengan ilmu bahasa, sastra, budaya, keagamaan, tata politik yang ada pada zamannya. Dalam pandangan ini naskah dipandang sebagai dokumen budaya, sebagai refleksi dari zamannya. D. Tempat Penyimpanan Naskah Nusantara Naskah yang memiliki keanekaragaman jenis tersebut berjumlah sangat banyak. Sebagian naskah tersimpan di bagian pernaskahan Perpustakaan Nasional Jakarta, gedung Kirtya Singaraja, Perpustkaan Sanapustaka Kraton Surakarta, Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta, dan Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra UI, UNS, dan beberapa pemerintah daerah misalnya Banyuwangi, dan Sumenep, perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Balai Penelitian Bahasa, Jarahnitra, Rumah budaya Tembi Yogyakarta, Tepas Kapujanggan Widyabudaya Kasultanan
Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman, Museum Sanabudaya, Dewantara Kti Griya, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan lain-lain. Selain dimiliki oleh
12
beberapa lembaga milik pemerintah maupun swasta, sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi pribadi yang tersebar luas di segala lapisan masyarakat (Darusuprapta, 1991: 2-3). Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks Nusantara juga tersimpan di museum-museum luar negeri. Misalnya di Malaysia, Singapura, Brunai, Srilanka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swiss, Denmark, Norwegia, Polandia, Chekoslowakia, Spanyol, Italia, Perancis, Belgia, dan lain-lain.
13
BAB II KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU-ILMU LAIN Filologi dan ilmu-ilmu lain mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan tersebut berlangsung secara timbal balik dan saling membutuhkan. Untuk kepentingan tertentu, filologi memandang ilmu-ilmu yang lain sebagai ilmu bantunya, dan sebaliknya ilmu-ilmu yang lain, juga untuk kepentingan tertentu memandang filologi sebagai ilmu bantunya. Berikutnya akan dikemukakan relevansi ilmu-ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu filologi dan yang memandang filologi sebagai ilmu bantu. Untuk memperjelas relevansi naskah, akan disajikan contohcontoh relevansi dua buah teks yang sudah dikaji secara filologi dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain. Kutipan Teks 1: 1. babaring antiga; 2. lpasing astra; 3. tumamaning punglu; 4. laraping tamsir; 5. rmbsing banyu. Sapangkat manh diarani Panca Prabawa. Iku dadi pratandhanira, uga tumangkar limang prakara:1. landhp; 2. angkr; 3. sumunu; 4. sumulap; 5. mamarab. H, Yoganingsun, mara surasann tpunging karsanira!, aturing Batharndra. Dhuh Pukulun panutan kawula, ingkang anitahaken ing amba. Mnggah pralampita Tri Panca punika sastu drng anggayuh kayktosanipun. Sarhning kawontnan kawula, saking kawontnan Paduka. Mugi anarbuka, ababar wisanipun. Dadosa tondha gngnging sih kanugrahan. Pangandikanipun Sang Hyang Guru: H Yoganingsun, mungguh cipta sasmita mau, ingsun wus ambabarak saykti, ingsun glarak. Supaya aja wang-wang wasananing jiwata. Ddunungan sawiji-wiji kaya ngisor iki. Terjemahan Bebas: 1. menetasnya telur; 2. lepasnya anak panah; 3. bersarangnya punglu (peluru kecil); 4. ayunan pedang; 5. merembesnya air. Satu tingkat lagi dinamakan Panca Prabawa (lima kekuatan batin). Itu menjadi tanda pengenalmu, yang juga berkembang menjadi lima hal: 1. tajam; 2. angker (keramat); 3. bercahaya; 4. menyilaukan; 5. mengembara.
14
Hai, anakku, datang dan maknailah bersatunya keinginanku!, perkataan Dewa Indra. Aduh, Tuanku panutan hamba, yang memerintah hamba. Tentang pralambang Tri Panca ini, sungguh belum mencapai kenyataan. Hal ini karena keadaan hamba, dan keadaan Paduka. Semoga terbuka, sirna segala hal yang menyebabkan kejahatan. Semoga menjadi tanda besarnya cinta kasih dan anugrah (Paduka). Perkataan Sang Hyang Guru: Hai Anakku, tentang cipta sasmita (penciptaan pertanda) tadi, aku sudah menjelaskannya secara nyata. Semua (aku) beberkan supaya pada akhirnya (kamu) tidak ragu-ragu dalam hidup. (Semua itu) masing-masing termaktub seperti di bawah ini. Kutipan teks 2: Wuryanta dra manitra,dina Isnn wayah jam sanga njing, Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima, ing prang bakat taun Dal sangkalanipun, atmaja Hyang Girinata, mulang mring punggawa mantri.Taun Jawi 1791. taun Belanda 1862 wulan Desember. Dimulai oleh si penulis, pada hari Senin, pukul 09.00 pagi, bulan Jumadilawal kesepuluh, pada saat musim kelima, di Perang Bakat tahun Dal (tahun kelima dalam hitungan Windu) dalam perhitungan tahun, anak Hyang Girinata, memberi pelajaran kepada punggawa dan mentri. Tahun Jawa 1791. Tauhun Belanda 1862, Bulan Desember. A. Relevansi Ilmu Bantu Filologi: 1. Linguistik Cabang linguistik yang dipandang dapat membantu filologi, diataranya: etimologi, sosiolinguistik, dan stilistika. Etimologi yaitu ilmu yang mempelajari asal usul dan sejarah kata. Cabang ini juga relevan dengan analisis teks karena dalam analisis ini, setiap kata pada teks dirunut, dan dicari sumbernya. Misalnya dari hasil perunutan kata teks 1, dapat diketahui bahwa kata-kata yang dipakai dalam teks ini tidak hanya memakai kata dari bahasa Jawa Baru saja, tetapi juga dari bahasa Persia, Sansekerta, dan bahasa Kawi. Mengingat kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa cabang ilmu ini sangat membantu bidang ilmu filologi karena setiap pengkajian bahasa teks pasti ada yang bersifat etimologis. Dengan
15
demikian diperlukan pengetahuan tentang kebahasaan. Terutama bahasa Kawi dan Sansekerta. Dalam teks 1 banyak ditemukan unsur-unsur serapan dari kedua bahasa tersebut. Misalnya kata: antiga, lepas, nira, sumunu, peparab, yoga, ingsun, surasa, pukulun, ngamba, pralampita, Sang Hyang, sasmita, yekti, wang-wang, jiwata, dan ingisor yang merupakan kata yang diserap dari bahasa Kawi. Sedangkan kata yang diserap dari bahasa Sansekerta antara lain: astra, panca, prabawa, Bathara, Indra, tri, paduka, nugraha, dan guru. Teks 2, berdsarkan hasil analisis etimologis didominasi kata serapan dari bahasa Kawi. Selain itu, kajian etimologis juga berguna untuk membantu proses penerjemahan naskah, agar memperoleh hasil terjemahan yang tepat dan sesuai dengan konteks kalimatnya. Sosiolinguistik, mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakat. Misalnya ada tidaknya undha usuk basa. Kajian ini berguna untuk dapat membantu mengungkapkan keadaan sosiobudaya yang terkandung dalam naskah. Dalam teks di atas, tampak adanya dominasi penggunaan bahasa krama-ngoko. Mengingat teks di atas menggabarkan percakapan antara Dewa Indra dan Dewa Syiwa (Guru). Dari undha-usuk bahasa yang digunakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dewa Syiwa mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Dewa Indra. Hal ini dikarenakan dalam percakapan, Dewa Indra menggunakan bahasa Jawa ragam krama untuk berbicara kepada Dewa Syiwa, sedangkan Dewa Syiwa berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Sedangkan teks 2 tampak didominasi penggunaan bahasa krama-ngoko.
16
Stilistika, ilmu ini juga sangat diperlukan mengingat cabang ilmu linguistik ini mempelajari bahasa sastra. Cabang stilistika juga sangat diperlukan dalam pengkajian teks di atas. Walaupun karya sastra di atas tidak berbentuk tembang, melainkan prosa, tetapi tetap mengandung nilai-nilai keindahan yang bisa dikaji dengan disiplin ilmu stilistika. Misalnya saja penggunaan basa rinengga, yaitu bahasa yang hanya khusus digunakan dalam karya sastra. Contoh penggunaan basa rinengga dalam teks 1 ini antara lain dalam kata babaring dan titah. Selain itu, ilmu ini juga diperlukan untuk mengkaji gaya bahasa dan menentukan tahun ditulisnya suatu teks, karena dari gaya bahasa yang digunakan oleh si pengarang, akan menampakkan gambaran tahun/ jaman pada saat karya sastra itu ditulis. Cabang stilistika juga sangat diperlukan dalam pengkajian teks 2 di atas. Karena teks di atas merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre tembang Macapat. Ilmu ini juga diperlukan untuk mengkaji ketepatan guru lagu dan guru wilangan, serta mempelajari mengenai diksi (pilihan kata) dan gaya bahasa yang digunakan dalam teks di atas. Teks di atas berbentuk tembang Macapat Pangkur, dengan guru lagu dan guru wilangan: 8a, 11i, 8u, 71, 12u, 8i, 8a, dan guru gatra 7. Selain itu, ilmu ini juga diperlukan untuk mengkaji gaya bahasa dan menentukan tahun ditulisnya suatu teks, karena dari gaya bahasa yang digunakan oleh si pengarang, akan menampakkan gambaran tahun/ jaman pada saat karya sastra itu ditulis.
17
2. Pengetahuan Bahasa-bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks Bahasa Sansekerta diperlukan sebagai ilmu bantu filologi, karena dalam naskah Jawa, pengaruh bahasa ini sangat besar. Dalam teks ini juga ditemukan kata yang merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta seperti yang telah disebutkan di atas. Bahasa Kawi juga diperlukan karena dalam teks 1 ini bahasa Kawi masih banyak digunakan, terutama sebagai unsur keindahan dalam karya sastra. Bahasa Sansekerta diperlukan sebagai ilmu bantu filologi, karena dalam naskah Jawa, pengaruh bahasa ini sangat besar. Dalam teks ini juga ditemukan kata yang merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta, yaitu: mantri. Bahasa Arab juga diperlukan karena naskah Jawa juga banyak terpengaruh oleh bahasa Arab, khususnya pada teks yang berisi ajaran agama Islam dan Tasawuf. Dalam teks ini 2 juga ditemukan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu: Isnn dan Jumadilawal. Selain itu, diperlukan juga pengetahuan mengenai bahasa daerah, mengingat kebanyakan teks ditulis dengan bahasa dan huruf daerah. Seperti pada teks di atas ditulis dengan huruf dan bahasa daerah, yaitu Jawa. Sehingga diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai bahasa yang bersangkutan, agar memperoleh penafsiran yang tepat dalam mengetahui isi teks. 3. Paleografi Ilmu paleografi merupakan ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini sangat menunjang disiplin ilmu filologi, karena dapat digunakan untuk memberi gambaran mengenai tahun penulisan, daerah asal penulisan teks, apakah teks ditulis sekali jadi atau pada waktu yang berlainan dengan melihat pada corak dan gaya tulisan yang digunakan. Sehingga ilmu ini sangat membantu dalam proses penafsiran isi suatu
18
naskah. Demikian halnya dengan teks yang dianalisis kali ini. Dengan paleografi dapat dilihat jenis kertas dan tinta yang digunakan. 4. Ilmu Sastra Ilmu ini sangat berguna dalam kajian filologi, karena sebagian besar naskah nusantara merupakan karya sastra yang berisi cerita-cerita pelipur lara, cerita panji, dan lain-lain. Pada teks yang dianalisis pada saat ini juga merupakan salah satu bentuk karya sastra bergenre prosa yang mengisahkan tentang ajaran-ajaran luhur para Dewa. Dengan ilmu sastra akan diperoleh pengkajian secara mendalam mengenai teks sastra. Dalam hal ini menyangkut kajian-kajian sastra secara lebih jauh. Misalnya dengan kajian intertekstual, struktural, semiotik, dan lain-lain. Dengan ilmu ini juga dapat diperoleh perbandingan varian-varian naskah. Selain itu, dengan menggunakan cabang ilmu ini, yaitu sosiologi sastra, peneliti dapat memperoleh gambaran mengenai profesionalisme kepengarangan dan masyarakat yang dituju oleh pengarang, memberikan gambaran mengenai masyarakat pada waktu itu, mengetahui fungsi teks tersebut dalam masyarakat. 5. Pengetahuan tentang Agama Pengetahuan mengenai agama Hindu, Budha, dan Islam sangat diperlukan dalam ilmu filologi, karena naskah-naskah lama biasa didominasi oleh ajaran dari ketiga agama tersebut. Ketiga agama tersebut mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap isi teks suatu naskah. Hal ini tampak pada teks hasil analisis, dalam teks tersebut menggambarkan adanya pengaruh dari agama Hindu dan Islam. Pengaruh agama Hindu terlihat pada kepercayaan terhadap dewa-dewa, salah satunya adalah Hyang Girinata (Batahara Guru). Sedangkan pengaruh agama Islam tampak
19
pada penggunaan nama hari yaitu Isnn yang berasal dari bahasa Arab dan Jumadilawal yang merupakan perhitungan nama bulan yang berasal dari Arab/ mengikuti penanggalan Islam. 6. Sejarah Kebudayaan Disiplin ilmu ini diperlukan untuk mengetahui isi teks berdasarkan pendekatan historis. Dan lewat sejarah kebudayaan akan diketahui pertumbuhan dan perkembangan unsur-unsur budaya suatu bangsa. Naskah yang dianalisis ini juga bisa menjadi bagian dari sejarah kebudayaan; karena dapat dipakai untuk merunut perkembangan-perkembangan budaya dan keagamaan. Antara lain perkembangan sejarah agama Hindu. Disiplin ilmu ini diperlukan untuk mengetahui isi teks 2 berdasarkan pendekatan historis. Dan lewat sejarah kebudayaan akan diketahui pertumbuhan dan perkembangan unsur-unsur budaya suatu bangsa. Dalam teks yang sedang dianalisis, disiplin ilmu ini sangat diperlukan untuk merunut perkembangan masa pemerintahan kerajaan di Nusantara, dan pada masa pemerintahan siapa ajaran bagi punggawa dan menteri itu dibuat. Dengan bantuan sejarah kebudayaan akan diperoleh tinjauan filologis yang runtut dan jelas dari segi pendekatan historis. 7. Antropologi Ilmu ini diperlukan untuk mengetahui konteks masyarakat dan budaya yang melahirkan suatu naskah. Misalnya saja dalam yang terlihat dalam manggala Serat Sastra Harjendra yang berbunyi sebagai berikut: Sastra Harjendra, ingkang ugi dipunwastani serat Panca Pranawa. Manawi sumerep sasusuraosipun kawruh kajaten, dipunwastani Sastra Cetha. Menggah ingkang kacariyosaken sarta lajeng katerangaken babaring kawruh dhateng Sang Hyang Wisnu. Kawijang-wijang wijining wewejangan. Kaping 5 Sawal Alip 1843.
20
Waktu yang tergambar secara jelas juga terlihat dalam kolofon, yaitu: kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping 20 September 1913. Berdasarkan waktu yang tersebut di atas dan isi teks naskah, dapat diketahui kondisi sosial dan budaya masyarakat pada saat teks itu ditulis. Misalnya dalam teks di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat pada masa 5 Sawal Alip taun 1843 sampai dengan masa 18 Alip taun 1843, masyarakat masih berada dalam sistem kepercayaan antara agama Hindu dan Islam. Di satu pihak sudah menggunakan sistem penanggalan dalam agama Islam, tetapi di pihak lain masih percaya pada dewa-dewa dalam agama Hindu. Teks 2 juga menyebutkan suatu masa yang jelas, yaitu: dina Isnn wayah jam sanga njing, Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima, ing prang bakat taun Dal sangkalanipun dan tulisan: taun Jawi, 1791, taun Walandi 1862 wulan Desember. Berdasarkan waktu yang tersebut di atas dan isi teks naskah, dapat diketahui kondisi sosial dan budaya masyarakat pada saat teks itu ditulis. Misalnya dalam teks di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat pada masa itu menganuti sistem pemerintahan kerajaan, karena dikenal adanya jabatan punggawa dan mantri. Selain itu, dari penggunaan pilihan kata dalam teks dapat diketahui bahwa masyarakat pada masa itu berada dalam sistem kepercayaan antara agama Hindu dan Islam. Di satu pihak menganut agama Islam tetapi di pihak lain masih percaya pada dewa-dewa dalam agama Hindu. B. Relevansi Filologi sebagai Ilmu Bantu 1. Linguistik Filologi sangat diperlukan sebagai ilmu bantu linguistik diakronis. Karena para linguis tersebut menggunakan hasil suntingan filologi untuk menganalisis
21
bahasa tulis yang pada umumnya berbeda dengan bahasa sehari. Dalam naskah ini misalnya penggunaan kata: astra, panca, prabawa, Bathara, Indra, tri, paduka, antiga, lepas, nira, sumunu, peparab, yoga, ingsun, surasa, pukulun, ngamba, pralampita, Sang Hyang, sasmita, yekti, wang-wang, jiwata, babaring, yang sudah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. 2. Ilmu Sastra Filologi diperlukan terutama untuk membantu menyusun sejarah dan teori sastra. Misalnya saja dengan melihat pada teks di atas dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1913, konvensi/ genre sastra yang berupa prosa sudah berkembang, dan para penulis pada masa itu sudah tidak lagi menggunakan tembang sebagai konvensi sastra, yang mendominasi karya-karya sastra pada masa-masa sebelumnya. Demikian juga pada teks 2, yang memperlihatkan bahwa pada tahun 1791 konvensi sastra yang berupa tembang (terikat guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan) masih berlaku dalam penulisan karya sastra. 3. Sejarah Kebudayaan Filologi diperlukan dalam studi sejarah kebudayaan, karena lewat
pembacaan naskah-naskah lama banyak dijumpai penyebutan atau pemberitahuan adanya unsur-unsur budaya yang sekarang sudah jarang dipakai ataupun sudah punah. Misalnya dalam teks di atas menunjukkan bahwa penanggalannya masih menggunakan: Kaping 5 Sawal Alip 1843 dan kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping 20 September 1913, sebagai sistem penunjuk waktu. Melihat kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mulai menggunakan sistem penanggalan modern, dengan tahun Masehi. Hal ini
22
menunjukkan bahwa pada tahun 1913, masyarakat mulai bergeser/ berkembang ke arah modernisasi dalam berbagai aspek kehidupannya. Pada teks 2, ditunjukkan bahwa penanggalannya masih menggunakan Madilawal ping sapuluh, nuju mangsa Kalima,ing prang bakat taun Dal sangkalanipun, sebagai sistem penunjuk waktu. Namun pada masa sekarang ini sistem penanggalan seperti di atas sudah jarang dijumpai. 4. Sejarah Filologi diperlukan dalam ilmu sejarah karena lewat pembacaan naskahnaskah didapatkan informasi-informasi mengenai peristiwa-peristiwa sejarah, misalnya nama raja yang memerintah, dan lain-lain. Teks di atas juga bisa membantu ilmu sejarah, walaupun dalam teks di atas tidak ditemukan hal-hal tentang kesejarahan, namun tidak menutup kemungkinan hal-hal kesejarahan tersebut dikemukakan dalam bagian lain dari teks ini, walaupun tidak dikemukakan secara eksplisit. 5. Ilmu Bantu Hukum Adat dan Keagamaan Filologi sebagai ilmu bantu hukum adat dan hukum agama sangat diperlukan, karena melalui pembacaan-pembacaan naskah dapat diketahui adat, peraturan keagamaan, dan lain-lain yang berlaku pada masa lalu.. Misalnya pada teks 1 di atas juga bisa menjadi sumber pengetahuan mengenai aturan-aturan, larangan, anjuran, dan sebagainya dalam agama Hindu, yang disajikan dalam bentuk percakapan antara Dewa Syiwa dan Dewa Indra (Wisnu). Sedangkan pada teks 2 jika dibaca lebih lanjut dapat diperoleh gambaran mengenai aturan-aturan, larangan, anjuran, dan sebagainya untuk menjadi seorang punggawa dan mantri yang baik.
23
6. Sejarah Perkembangan Agama Filologi diperlukan sebagai ilmu bantu karena dari hasil suntingan teks, terutama naskah yang mengandung teks keagamaan akan menjadi bahan penulisan perkembangan agama yang sangat berguna. Demikian juga dalam teks 1 di atas. Teks ini dapat digunakan sebagai salah satu media pembantu dalam penyusunan sejarah agama Hindu. Dari teks ini dapat diketahui bahwa pada masa : Kaping 5 Sawal Alip 1843 sampai dengan kaping 18 Sawal ing tahun Alip 1843. Utawi kaping 20 September 1913, masyarakat masih menganut agama Hindu dan masih percaya kepada Dewa-dewa. Akan tetapi masyarakat sudah mulai terpengaruh salah-satu sistem dalam agama Islam, yaitu sistem penanggalannya. 7. Filsafat Filologi menjadi ilmu bantu filsafat karena dari hasil yang diperoleh melalui suntingan teks merupakan suatu bentuk gambaran pemikiran dan ideologi masyarakat yang ada pada masa naskah itu ditulis. Sama halnya dengan teks 1 yang Dari teks tersebut dapat diketahui pola pikir masyarakat dahulu yang masih kuat kepercayaannya kepada para Dewa, khususnya Dewa Syiwa yang dianggap sebagai Dewa tertinggi dalam mitologi Hindu. Sedangkan dari teks 2, jika dibaca lebih lanjut akan diperoleh gambaran mengenai pemikiran orang Jawa tentang cara yang baik untuk mengabdi kepada raja. Cara ini diberikan dengan menulis karya sastra yang berisi nasihat dan pelajaran kepada para punggawa dan mantri.
24
BAB III PENGERTIAN DAN TEORI BERKAITAN DENGAN CARA KERJA FILOLOGI
A. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci keadaan naskah. Darusuprapta (1990a: 1), menyatakan bahwa uraian atau deskripsi naskah berisi keterangan tentang: 1. tempat penyimpanan naskah dan nomor kodeks, 2. judul: berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama, 3. pengantar, uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu mulai penulisan, alasan penulisan, tujuan penulisan, nama diri penulis, harapan penulis, pujaan kepada Dewa pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi (manggala atau kolofon depan), 4. penutup atau uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis (kolofon belakang), 5. tarikh penyalinan (ditentukan berdasarkan apa), tempat, nama penyalin, dan pemrakarsa penyalinan, 6. tujuan penyalinan, 7. keadaan, jenis bahan naskah (lontar, bambu, daluwang, kertas), tebal naskah, ukuran naskah (panjang x lebar naskah), 8. ukuran teks (panjang x lebar teks); jumlah halaman teks,
25
9. kelengkapan teks (lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen), jenis naskah (piwulang, sejarah, dan sebagainya), dan sampul naskah (warna, bentuk, keadaan, bahan, hiasan, jilidan), 10. isi: satu atau kumpulan dari beberapa teks, 11. penomoran halaman, pembagian halaman naskah secara keseluruhan, letak dan jumlah halaman teks yang menjadi subjek penelitian jika merupakan kodeks, 12. tanda air atau cap air dalam naskah, 13. hiasan atau gambar naskah (deskripsi warna, bentuk, goresan tinta, letak, dan lain-lain), 14. penulisan judul teks dalam naskah, 15. jumlah baris setiap halaman teks, bentuk teks (puisi atau prosa), 16. jenis huruf (Jawa, Latin, dan lain-lain), goresan (tebal, tipis), ukuran (besar, kecil, sedang), sikap (tegak, miring ke kanan atau ke kiri), 17. bentuk huruf yang digunakan dalam teks. Bentuk huruf Jawa terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) bata sarimbag: bentuk aksara yang menyerupai rimbag cetakan batu merah. Berbentuk persegi, mirip dengan batu merah yang biasa dipakai sebagai bahan bangunan; (2) ngetumbar: bentuk aksara yang pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain. Stilisasi begitu kuat sampai pada bentuk sudut berubah menjadi bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar; (3) mucuk eri: bentuk aksara Jawa yang pada bagian tertentu berupa sudat lancip seperti duri (eri); (4) kombinasi: yaitu aksara yang terbentuk dari campuran atau kombinasi ketiga aksara tersebut (Ismaun, 1996: 10).
26
18. warna tinta (hitam, biru, kombinasi, dan lain-lain), goresan tinta (jelas, tidak jelas, dan lain-lain), 19. bahasa teks (Jawa Baru, Kawi, Sansekerta, dan lain-lain), Hasil deskripsi ini akan memberikan gambaran mengenai keadaan naskah secara jelas dan terperinci. Keadaan naskah ini dapat digunakan sebagai indikator awal dalam penentuan naskah unggul, perunutan usia naskah, dan lain-lain. B. Transliterasi Transliterasi menurut Onions (dalam Darusuprapta 1984: 2), adalah suntingan yang disajikan dengan jenis tulisan lain. Baried (1994: 63) berpendapat bahwa transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain. Transliterasi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 90), didefinisikan sebagai pengubahan teks dari satu tulisan ke tulisan yang lain atau dapat disebut alih huruf atau alih aksara, misalnya dari huruf Jawa ke huruf Latin, dari huruf Sunda ke huruf Latin, dan sebagainya. Transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah, karena sebagian besar masyarakat pada umumnya tidak mengenal lagi tulisan daerah. Nurhayati (2000: 20-21) menyebutkan bahwa transliterasi ada dua macam: 1. transliterasi diplomatik, yaitu penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain apa adanya, 2. transliterasi ortografis atau transliterasi kritik, yang disebut juga transliterasi standar yaitu penggantian tulisan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad
27
yang lain dalam hal ini dari huruf Jawa ke huruf Latin yang disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sifat aksara Jawa berbeda dengan sifat aksara Latin. Hal ini menimbulkan beberapa masalah kebahasaan yang timbul dalam proses transliterasi. Masalahmasalah tersebut antara lain: 1. pemisahan kata Masalah ini timbul karena ketidaksamaan tata tulis huruf dalam naskah dan tata tulis huruf Latin. Sifat huruf-huruf daerah di Indonesia, termasuk di dalamnya huruf Jawa adalah silabis, sedangkan huruf Latin bersifat fonemis. Selain itu, tata tulis huruf daerah tidak mengenal pemisahan kata seperti halnya dalam tata tulis huruf Latin. Akibatnya, pemisahan kelompok huruf dalam pembentukan kata-kata kadang-kadang mengalami kesulitan atau kekeliruan, sehingga tidak mustahil mendapat arti lain, 2. ejaan Permasalahan ini timbul karena keadaan tiap-tiap bahasa yang tidak sama. Ejaan yang sesuai untuk suatu bahasa belum tentu dapat diterapkan dengan baik pada bahasa lain. 3. punktuasi Punktuasi yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat (koma, titik, titik dua, dan lain-lain) dan tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi (pembatas larik, bait, dan tembang). Penuturan kalimat dalam suatu teks yang berbentuk puisi tidak selalu seiring dan sejalan dengan pembagian larik, bait, dan tembang. Oleh karena itu, sebagian besar suntingan teks yang berbentuk
28
puisi tidak memperhatikan tanda baca, tetapi lebih memperhatikan pemakaian tanda metra. C. Perbandingan Teks Perbandingan teks dilakukan apabila sebuah cerita ditulis dalam dua naskah atau lebih. Perbandingan antarteks dapat dilakukan dengan tujuan untuk membetulkan kata-kata yang tidak terbaca, menemukan variasi antarteks, menentukan silsilah naskah untuk mendapatkan naskah yang terbaik dan dianggap paling unggul di antara naskah lain yang sejenis, maupun tujuan yang lain (Djamaris, 1977: 26). Perbandingan, khususnya dalam pilihan kata juga bisa dipergunakan sebagai alat untuk menentukan usia teks. Teks-teks yang banyak menggunakan kata ragam krama dinilai sebagai teks muda, karena fenomena penggunaan ragam ini baru berkembang pada abad XVII dan sesudahnya (Behrend, 1995: 362). Begitu pula dengan variasi pemakaian kosakata Kawi (Jawa Kuna). Fenomena ini merupakan ciri dari gerakan kesastraan Surakarta, yang dipelopori oleh Yasadipura pada abad XVIII. Jadi, penggunaan kosakata Kawi mayoritas dijumpai pada teks-teks muda yang ditulis maupun disalin pada abad XVIII dan sesudahnya. Berbagai macam variasi bacaan terjadi karena dalam tradisi sastra lama, pengarang atau penyalin bebas untuk menyalin dengan membetulkan, menggunakan bahasa sendiri, menyalin dengan menambah unsur atau bagian cerita baru karena adanya pengaruh asing, dan menyalin cerita dari cerita lisan atau dari sumber yang berbeda (Djamaris, 1977: 27).
29
Salah satu variasi yang timbul dalam penyalinan naskah tersebut adalah variasi ejaan. Semua manuskrip Jawa cenderung memiliki ejaan yang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ejaan ini bahkan dapat dijumpai pada halaman dan bait yang sama pada suatu teks. Variasi ejaan yang lazim dalam penyalinan manuskrip Jawa antara lain: (1) penggunaan konsonan median rangkap (manis, mannis); (2) penggunaan konsonan r yang berpindah-pindah (trbang, trbang); (3) penggunaan vokal yang berbeda (praytna, prayitna); (4) perpanjangan suku kata (tarbang, trabang); (5) penggunaan konsonan antarvokal yang disesuaikan secara aural (ttamuwan, ttamuhan); (6) penggunaan variasi penultima o dan a terbuka (brangta, brongta); (7) penggunaan fonem dental dan retofleks yang bergantian (nda, ndha); (8) penggunaan ejaan yang dianggap mewakili ejaan asli secara cermat, khususnya bagi kata pinjaman dari bahasa Arab (sarat, sarngat, sariyat). Selain itu untuk mewakili ejaan asli ini digunakan juga vokal awal sebagai aksara swara atau dengan aksara angka (ha); (9) pengalihan konsonan akhir suatu kata kepada kata berikutnya yang berawal dengan vokal (aksara lampah) atau menggunakan cara lain guna menekannya (muwuss aris, muwus haris, muwus Aris) (Behrend, 1995: 342). Selain variasi ejaan, terdapat pula variasi gaya yang merupakan pilihan kata khusus, termasuk dalam perubahan tata kalimat yang digunakan penyair untuk mewujudkan ceritanya dalam bentuk puisi (Behrend, 1995: 350). Collatio perbandingan teks merupakan suatu jalan untuk mengidentifikasi perbedaanperbedaan segi ejaan maupun pilihan kata teks. Perbandingan teks ini meliputi perbandingan kata demi kata, bahkan huruf demi huruf. Jika ada lima buah teks harus dilakukan pula lima kali perbandingan. Darusuprapta (1990b: 5), berpendapat bahwa urutan proses perbandingan teks adalah: (1) menentukan pilihan (heuristika); (2) inventarisasi dengan pertolongan katalogus; (3) pertimbangan (resensi); (4) pengujian (eksaminasi); (5) transliterasi dan perbandingan (kelasio); (6) mencapai ketetapan teks (konstitusio tekstus)
30
Berdasarkan pendapat Darusuprapta di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teks harus dikaji dan diuji (examinatio) segi-seginya. Sebelum eksaminasi perlu dilakukan pertimbangan atau recentio teks naskah mana yang akan digarap. Resensi baru dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mencari sebanyak mungkin naskah sejenis dengan cara mengadakan inventarisasi naskah. Darusuprapta (1990b: 5) berpendapat bahwa tiap teks yang diperbandingkan tidak hanya dikaji dan diuji dalam segi ejaan maupun pilihan kata, tetapi harus dikaji pula makna kata, tata kalimat, dan kandungan isinya. Pendapat Darusuprapta ini, dapat diaplikasikan dengan cara melakukan perbandingan teks yang meliputi: 1. perbandingan kata demi kata untuk membetulkan kata-kata maupun ejaan yang tidak terbaca, serta untuk mengetahui karakteristik ejaan masing-masing penyalin, 2. perbandingan kata demi kata untuk mengetahui variasi pilihan kata masingmasing penyalin teks, 3. perbandingan pihan dan susunan kata dalam gatra, serta perbandingan bait, 4. perbandingan kandungan dan asasi cerita untuk mendapatkan teks yang isinya lengkap dan tidak menyimpang, mengetahui adanya unsur baru,
mengelompokkan cerita dalam versi maupun varian, dan untuk mendapatkan cerita yang bahasanya lancar dan jelas. D. Terjemahan Naskah Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Catford (dalam Darusuprapta 1990a: 4), menyatakan bahwa translation terjemahan adalah penggantian bahasa teks dengan bahasa teks yang sederajat dalam bahasa lain.
31
Bahasa sumber dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa dan bahasa sasarannya adalah bahasa Indonesia. Sifat bahasa sumber terkadang berbeda dengan bahasa sasaran. Hal ini seringkali menimbulkan kesulitan untuk menerjemahkan bagian teks tertentu secara konsisten dengan kata yang sepadan dalam bahasa sasaran. Terjemahan dalam penelitian ini dilakukan sedekat-dekatnya dengan makna masing-masing kata pada bahasa sumber dan konteks kalimatnya. Untuk menyelaraskan kalimat, maka bila diperlukan akan membuang atau menambah katakata maupun awalan dan akhiran secara terbatas. Selain itu, juga dilakukan pernerjemahan dengan selengkap-lengkapnya meliputi seluruh teks dan terperinci, baik yang mudah maupun yang sukar. Catford (dalam Darusuprapta 1990a: 4-6) membagi berbagai terjemahan sebagai berikut: 1. the extend of translation terjemahan menilik dari luasnya, dibagi menjadi dua, yaitu terjemahan penuh dan terjemahan tidak penuh, 2. the level of translation terjemahan menilik dari tingkatnya, dibagi menjadi dua yaitu terjemahan menyeluruh dan terbatas yang meliputi bidang fonologi, grafologi, gramatikal, dan leksikal, 3. the rank of translation terjemahan menilik dari kedudukannya, dibagi menjadi empat, yaitu terjemahan terikat, bebas, kata demi kata, harafiah. Pembagian terjemahan secara garis besar menurut Surono (1983: 15-16) adalah: 1. terjemahan lurus, yaitu terjemahan kata demi kata yang dekat dengan aslinya atau terjemahan antarbaris. Pada terjemahan ini, di bawah kata-kata bahasa sumber
32
dituliskan kata-kata bahasa sasaran. Terjemahan ini begitu harafiah, sehingga hanya berwujud rangkaian kata-kata dan bukan merupakan kalimat, 2. terjemahan isi atau maknanya, yaitu menerjemahkan kata-kata atau ungkapan dalam bahasa sumber diimbangi dengan bahasa sasaran yang sepadan, 3. terjemahan bebas yaitu menerjemahkan keseluruhan teks bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran secara bebas, sesuai dengan konteks kalimatnya. Terjemahan, secara teknis dapat disajikan: (1) interlinier antarbaris; (2) berdampingan dengan bahasa sumber; (3) dikumpulkan terpisah di belakang. Nama penulis teks dalam terjemahan dapat ditulis seperti dalam manuskrip, namun bila memungkinkan tetap diterjemahkan dan diberi keterangan (Darusuprapta, 1990a: 6). Terjemahan teks dalam penelitian ini, menilik dari luasnya menggunakan terjemahan penuh. Menilik dari tingkatnya menggunakan terjemahan menyeluruh. Menilik dari kedudukannya menggunakan terjemahan bebas dengan definisi sesuai dengan pendapat Surono di atas. Terjemahan secara teknis disajikan berdampingan dengan bahasa sumber. E. Pemetaan Keluarga Naskah Pemetaan keluarga naskah adalah penempatan suatu naskah dalam suatu kelompok tertentu berdasarkan kriteria banyaknya persamaan dan perbedaan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Semakin banyak persamaan yang terdapat dalam suatu teks tertentu, maka semakin dekat pula hubungan kekeluargaannya. Sebaliknya semakin sedikit persamaan yang terdapat dalam suatu teks, maka semakin jauh pula hubungan kekeluargaan antarteks.
33
Pemetaan keluarga dilakukan pada naskah majemuk. Jumlah naskah sejenis yang cukup banyak ini, mengharuskan peneliti untuk melakukan pengelompokanpengelompokan. Pengelompokan ini berupa pemetaan keluarga naskah dalam beberapa keluarga besar, baik dalam tataran versi maupun varian. Kriteria pengelompokan mengacu pada perbandingan awal teks yang meliputi: asasi cerita, jumlah bait naskah, kandungan bait tiap naskah, gaya bahasa, aturan tembang Macapat (guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan), kelengkapan teks, dan lainlain. Pemetaan keluarga naskah juga mengacu pada persamaan dan perbedaan pada masing-masing naskah yang disusun berdasarkan hasil deskripsi. Perbandingan awal ini akan membentuk suatu pemetaan keluarga naskah yang terdiri atas beberapa kelompok versi yang masing-masing mempunyai anggota keluarga yang sering disebut sebagai varian. Versi merupakan kelompok teks yang mempunyai perbedaan asasi cerita, sedangkan varian adalah teks-teks yang mempunyai kesamaan asasi cerita (Baried, 1994: 65). Masing-masing varian yang tergabung dalam suatu versi ini kemudian dibandingkan gaya bahasanya secara umum, untuk mengetahui tingkat pertalian antarteks varian, sehingga memperjelas kedudukan antarteks dan diketahui teks yang memiliki hubungan keluarga terdekat. Penentuan teks yang memiliki hubungan keluarga terdekat ini dimaksudkan sebagai dasar untuk menentukan naskah dan teks yang selanjutnya akan dibandingkan secara lebih mendalam. F. Suntingan teks Suntingan teks merupakan salah satu hasil kerja penelitian filologi yang terpenting. Dengan suntingan teks akan diperoleh teks yang telah mengalami
34
pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan sehingga bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Suntingan teks juga disajikan agar pembaca dapat memahami dan mengetahui fungsi teks. Teks yang telah mengalami proses penyuntingan juga dapat dipakai sebagai sumber data yang mantap dalam suatu penelitian. Robson (1994: 21-27), menyatakan bahwa suntingan teks dibagi menjadi dua, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi kritis. Suntingan teks edisi diplomatis, menyajikan teks yang sama persis seperti yang terdapat dalam sumber naskah, dan meminimalkan campur tangan editorial. Namun dalam suntingan edisi ini masih termuat penafsiran peneliti atas sistem aksara dan sistem ejaan naskah sumber (Martana dalam Nurhayati, 2000: 22). Penafisiran ini misalnya dalam pengambilan keputusan untuk menguraikan aksara yang terdiri atas dua huruf yang menyerupai satu sama lain dan sulit dimengerti. Akan tetapi untuk dapat setepat mungkin dengan teks asli, tanda baca dan karakteristik pengejaannya harus dipertahankan. Suntingan teks edisi diplomatik mempunyai kelebihan karena mampu memperlihatkan cara mengeja kata-kata suatu teks dengan tepat. Ejaan suatu teks merupakan gambaran nyata mengenai konvensi waktu dan tempat tertentu. Edisi diplomatik juga mampu memperlihatkan secara tepat cara penggunaan tanda baca di dalam teks. Tetapi, edisi ini mempunyai kekurangan karena tidak bisa membantu pembaca yang tidak mengenal gaya atau isi suatu teks, sehingga harus menafsirkan sendiri keanehan, kesulitan, atau perubahan apa saja yang terkandung dalam teks.
35
Suntingan teks edisi kritis atau edisi standar merupakan usaha penerbitan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, serta melakukan penyesuaian ejaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam suntingan teks edisi kritis, terdapat campur tangan penyunting sedemikian rupa sehingga teks tersebut dapat dipahami (Martana dalam Nurhayati, 2000: 22). Darusupratpa (1990b: 3), berdapat bahwa suntingan teks edisi kritis harus mencantumkan variae lectiones variasi bacaan dalam teks yang diperbandingkan. Suntingan yang disajikan dalam edisi kritis ini banyak membantu pembaca untuk mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang berkenaan dengan interpretasi. Teratasinya kesulitan yang bersifat tekstual ini, membuat pembaca terbebas dari kesulitan dalam proses pemahaman isi suatu teks. Penyunting yang melakukan suntingan teks edisi kritis akan mengidentifikasi sendiri bagian teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jika didapati kesalahan dalam teks tersebut, penyunting dapat memberikan tanda yang mengacu pada aparat kritik dan menyarankan bacaan yang lebih baik (Robson, 1994: 25). Penelitian ini menggunakan suntingan teks edisi standar, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robson dan Martana (dalam Nurhayati) di atas. Pembuatan suntingan dalam penelitian ini juga mengacu pada teori Darusuprapta, sehingga varie lectiones teks-teks pembanding ditampilkan dan dihimpun dalam aparat kritik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik ejaan yang terdapat dalam teks-teks pembanding. Kecuali mempertimbangkan mengenai edisi teks yang akan dipakai dalam proses penyuntingan, penyunting juga harus menentukan metode suntingan teks yang
36
sesuai dengan kondisi naskah sebagai langkah awal proses penyuntingan. Soeratno (1990: 5), menyatakan bahwa penentuan metode suntingan didasarkan pada: (1) pandangan tentang studi filologi yang dilatari oleh sikapnya terhadap variasi; (2) kondisi sasaran dan objek kerjanya seperti yang terlihat pada materialnya, pada sistem bahasa, sistem sastra, dan konvensi sosial budayanya; (3) besarnya jumlah peninggalan tulisan yang memuat teks dan bentuknya yang bermacam-macam; (4) kondisi bacaan yang rusak atau korup; (5) macam tujuan kerja. Metode penyuntingan teks berdasarkan jumlah peninggalan tulisan (naskah) yang memuat suatu teks dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode penyuntingan naskah tunggal dan metode penyuntingan naskah majemuk. Dalam menyunting suatu naskah tunggal, perbandingan tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, hanya dapat ditempuh dua jalan, yaitu melalui penerbitan suatu naskah dalam edisi diplomatik maupun edisi standar, serta dengan metode fotografi atau facsimile. Metode penyuntingan naskah majemuk dibagi menjadi empat, yaitu: 1. metode intuitif Metode ini dilakukan dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua, kemudian kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam naskah tersebut diperbaiki berdasarkan akal sehat, selera, dan pengetahuan yang luas dari penyunting, 2. metode gabungan Metode ini dipakai jika mutu naskah yang digarap hampir sama atau tidak ada naskah yang menonjol, dan secara filologis pada semua varian terdapat persamaan nilai,
37
3. metode stemma Metode ini bertujuan untuk mencari naskah yang paling asli. Metode stema dicapai dengan memberikan pembetulan-pembetulan pada bagian yang dipandang keliru. Metode ini didasarkan bahwa naskah disalin satu demi satu, sehingga apabila sekali saja penyalin berbuat kesalahan, maka kesalahan itu akan menurun pada naskah salinan berikutnya (Surono, 1983: 7-8). 4. metode legger atau landasan atau induk Metode ini dipakai dipakai jika mutu naskah yang satu dan naskah yang lain dinilai tidak sama. Semua varian dalam metode ini diperiksa dengan cermat baik dari segi bahasa maupun dari segi sastranya. Naskah yang memiliki teks bacaan yang lebih baik dipertimbangkan sebagai naskah yang menonjol. Naskah ini dianggap paling unggul dan paling tepat untuk dijadikan landasan atau induk sebagai dasar suntingan naskah. Proses penyuntingan teks, pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu transliterasi, kritik teks, dan terjemahan. Kritiks teks menurut Darusuprapta (1990b: 1), adalah menghakimi atau mengadili dalam arti menelaah atau mengkaji teks. Tujuan utama mengadakan kritiks teks adalah untuk mendapatkan bentuk teks yang otentik. Kritiks teks sangat diperlukan karena terbukti dalam tradisi bahwa naskah selalu mengalami penyalinan turun-temurun berulang kali. Tradisi ini
memungkinkan banyak perubahan dan penyimpangan yang timbul. Perubahan dan penyimpangan tersebut timbul karena: 1. penyalin sengaja memberikan pertimbangan dengan menambah, mengurangi, atau mengganti,
38
2. penyalin yang kurang terdidik, 3. kurang teliti, 4. khilaf dan terpecah perhatiannya, terkecoh dengan penggunaan huruf dan katakata yang sama. Gangguan-gangguan ini akan menimbulkan: (1) ablepsi: penggantian huruf yang mirip karena penulisan yang kurang jelas; (2) substitusi: penggantian kata yang sama maknanya; (3) transposisi: pertukaran letak suku kata/ larik; (4) hiperkorek: perubahan ejaan karena pergeseran lafal; (5) kontaminasi: penularan kata oleh pengaruh kata lain; (6) haplografi: karena adanya huruf atau suku kata yang sama; (7) saut du meme au meme: melompat dari kata ke kata yang sama; (8) lipografi: karena terlampauinya satu kata, baris, atau bait; (9) dittografi: terdapat pengulangan tulis suatu suku/kata (Darusuprapta, 1990b: 2-4). Kritik teks menyajikan variae lectiones yang dihimpun dalam aparat kritik. Aparat kritik merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah dalam kritik teks dengan tujuan memberikan koreksi pada teks yang disunting. Koreksi tersebut dapat berupa pembetulan, penambahan bacaan, lakuna, bacaan yang harus dihilangkan, maupun adanya perubahan bacaan. Aparat kritik juga memberikan kesempatan kepada pembaca untuk melihat varian-varian yang terdapat dalam naskah lain yang seversi. Aparat kritik ini dapat dicantumkan pada kaki halaman yang bersangkutan atau dikumpulkan tersendiri di belakang teks (Darusuprapta, 1990a:3). G. Dasar-dasar Penentuan Teks yang Akan Disunting Teori yang digunakan untuk memilih teks yang akan disunting harus dihubungkan dengan tujuan penelitiannya. Salah satu tujuan penelitian filologi adalah mendapatkan suatu teks yang paling lengkap dan representatif dari teks-teks yang ada. Dengan demikian perlu perbandingan naskah dan teks. Berdasarkan perbandingan naskah dan teks tersebut, dapat disusun kerangka teori untuk memilih
39
menyimpang dari kenyataan teks yang lain; (2) tulisannya jelas dan mudah dibaca; (3) keadaan naskah baik dan utuh; (4) bahasa lancar dan mudah dipahami; (5) umur naskah lebih tua (Djamaris, 1977: 28-29). H. Penentuan Tarikh Penyalinan Naskah Tarikh penyalinan suatu naskah dapat dirunut berdasarkan keterangan dari dalam (interne evidentie) yang terdiri atas: (1) kolofon (catatan pada akhir teks); (2) water mark (cap air atau lambang pabrik yang membuat kertas); (3) catatan di sampul luar, maupun sampul kertas bagian depan dan belakang naskah. Tarikh penyalinan naskah juga dapat dirunut melalui keterangan dari luar (externe evidentie), misalnya melalui pustaka-pustaka lain yang menyebut mengenai umur teks yang bersangkutan (Baried, 1994: 60-61). Watermark merupakan salah satu bagian naskah yang dapat digunakan untuk merunut usia penyalinan teks. Cap air dalam kertas ini sering diganti, sehingga dapat dirunut tahun pembuatannya melalui daftar cap. Kertas dengan watermark mulai dipakai di Indonesia pada abad 18 dan 19 (Baried, 1985: 6). Kertas ini didatangkan dari Eropa, kemudian segera dipakai karena persediaan terbatas. Jadi, tarikh penyalinan naskah dapat diperkirakan tidak jauh berbeda dari tahun pembuatan kertas (Baried, 1994: 61). Behrend (1990: 670), menetapkan tanggal penyalinan naskah yang berupa kodeks melalui kolofon yang terdapat pada kodeks. Selain itu, juga melalui keterangan-keterangan tertentu berupa sengkalan, catatan-catatan, dan lain-lain yang terdapat dalam salah satu atau beberapa teks yang termuat dalam kodeks. Behrend
40
juga menentukan terminus a quo saat penulisan paling awal dan terminus ad quem saat penulisan paling akhir, melalui keterangan-keterangan tersebut di atas. Sengkalan merupakan lambang-lambang tertentu yang mengandung angka tahun. Jika lambang tersebut dalam bentuk kelompok kata atau kalimat, disebut sebagai sengkalan lamba. Misalnya kata janma, anak bernilai satu; kata wukir, ardi, pandhita, muni bernilai tujuh, dan lain-lain. Jika dilambangkan dalam bentuk lukisan ataupun bangunan, disebut dengan sengkalan mmt. Sengkalan yang dilambangkan dengan huruf Jawa, dan biasanya terukir dalam bilah senjata tajam disebut dengan sengkalan sastra. Berdasarkan sistem tahun yang digunakan, terdapat dua jenis sengkalan, yaitu candrasengkala dan suryasengkala. Candrasengkala adalah sengkalan yang disusun berdasarkan tahun bulan (tahun Jawa), sedangkan suryasengkala disusun berdasarkan tahun matahari (Masehi). Sengkalan sudah biasa digunakan sebagai penanda tahun dalam suatu karya sastra. Bahkan Kitab Bharatayuddha sudah menggunakan sengkalan yang menunjukkan tahun 1079 Saka (Subalidinata, 1981: 92-93). Naskah Jawa terutama dalam manggalanya juga biasa mencantumkan tahun yang tidak tertulis dalam bentuk angka secara eksplisit. Naskah-naskah yang memuat Teori-teori mengenai sengkalan diantaranya dibahas oleh Padmosoekotjo (1953: 134-142). Pembahasan mengenai sengkalan oleh Padmosoekotjo, tidak begitu lengkap, sehingga terdapat kata yang tidak diketahui nilai angkanya. Oleh karena itu, digunakan pula teori mengenai sengkalan oleh Subalidinata (1981: 92-103). Subalidinata menyusun daftar nilai kata secara jelas dan terperinci, karena daftar ini
41
dikumpulkan dari tiga buah sumber sengkalan yang masing-masing disusun oleh Ranggawarsita, Ki Padmasusastra, dan Raden Bratakesawa. Penafsiran nilai angka dalam suatu sengkalan didasarkan pada beberapa hal, antara lain: (1) dasanama sinonim; (2) kesamaan suku kata; (3) hubungan kerja atau perbuatan; (4) kesamaan unsur bunyi; (5) kesamaan golongan atau jenis; (6) hubungan kerja dan sarana; (7) hubungan milik; (8) hubungan nilai angka Jawa; (9) berdasarkan kebiasaan, hukum, dan kenyataan yang berlaku; (10) berdasar analogi; dan (11) berdasarkan logika (Subalidinata, 1981: 96-98).
42