Modul 1.opini Publik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

MODUL 1 Opini Publik

Kegiatan Belajar 1: Hakikat Opini Publik Opini publik terjemahan dari bahasa Inggris public opinion merupakan pendapat dari sekumpulan orang yang menaruh perhatian terhadap sesuatu hal. Sesuatu hal yang biasa mendapat perhatian dari individu-individu yang berada pada suatu kelompok dapat berupa berikut ini. 1. 2. 3. 4. Isu atau pokok permasalahan. Suatu produk yang dihasilkan baik dari perumahan maupun pabrik. Orang-orang yang mempunyai kelebihan tertentu dari penampilannya. Lembaga-lembaga tertentu yang terkenal dan berhubungan dengan publik atau kumpulan orang.

Opini publik pada hakikatnya merupakan pendapat yang ditimbulkan oleh 4 unsur berikut ini. 1. Adanya suatu masalah yang bersifat (dipertentangkan). 2. Adanya publik atau kumpulan orang yang melibatkan diri pada masalah itu. 3. Adanya interaksi yang berupa diskusi dan tukar pikiran mengenai masalah yang dipertentangkan. 4. Adanya pendapat yang terintegrasi terhadap suatu masalah. Kegiatan Belajar 2: Opini publik merupakan bagian dari HAM, yaitu hak mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan. HAM ialah hak manusia yang melekat pada diri manusia sejak lahir. HAM itu, meliputi hak-hak asasi pribadi, ekonomi, politik, sosial budaya, buku, dan sebagainya. Piagam HAM yang bersifat universal dan asasi, yaitu Magna Charta 1215, Habeas Corpus Act 1679, Bill of Rights 1989, Declaration des Droits del' Homme et du Citoyen 1789, The Four Freedom of Roosevelt 1941, dan The Universal Declaration of Human Rights 1948. Di Indonesia HAM tercantum dalam UUD 1945, dan dasar negara Pancasila. HAM dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari manusia dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku. Kegiatan Belajar 3: Opini publik adalah bagian dari kajian komunikasi, yaitu sebagai hasil suatu proses komunikasi yang merupakan tanggapan/opini terhadap suatu masalah yang sifatnya kontroversial. Proses komunikasi adalah kegiatan penyampaian pesan yang dilakukan komunikator kepada komunikan baik melalui media bahwa maupun media-media lainnya. Unsur-unsur yang paling minimal dalam kegiatan komunikasi adalah adanya komunikator, pesan, dan komunikan. Bentuk komunikasi, yaitu proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan yang dituju, bentuknya: 1. komunikasi personal/pribadi;

2. komunikasi kelompok; 3. komunikasi massa; 4. komunikasi media. Feedback adalah reaksi yang timbul dari penerima pesan atau pesan itu sendiri, sedangkan efek adalah hasil dari suatu kegiatan komunikasi. Daftar Pustaka Bernard Hennesy. (1981). Public Opinion. Wadsworth Inc. Frazier, Moore. (1981). Public Relations, Case and Problem. Edisi ke-8. USA: Richard D, Twin Inc. Dan Nimmo. (1989). Komunikasi Politik. Terjemahan Tjun Suryaman. Bandung: Remaja Karya. Leonard W. Doab. (1948). Public Opinion and Propaganda. Henry Halt and USA: Company Inc. Philip Lesley. (1971). Public Relation Handbook. N.J. USA: Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs. Santoso Sastrosaputro. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya. Sunarno A.P. (1980). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.

MODUL 2 Opini Publik


Kegiatan Belajar 1: Pengertian Opini Publik dan Sikap Opini artinya dalam bahasa Indonesia adalah pendapat. Pendapat adalah pandangan seseorang mengenai sesuatu. Jadi, pendapat adalah subjektif. Dengan demikian, pendapat adalah evaluasi, penilaian, dan bukan fakta. Karena bukan fakta maka berubah atau diubah, tergantung situasi sosial yang berlaku. Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan berhasrat mencari sesuatu jalan keluar dan mewujudkan tindakan yang konkret. Perkataan publik melukiskan kelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat (1) dihadapi oleh suatu persoalan (isu); (2) berbeda pendapat mengenai persoalan (isu); (3) sebagai akibat keinginan mengadakan diskusi dengan mencari jalan keluar. Sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Kegiatan Belajar 2: Perbedaan Opini dan Sikap, serta Macam-macam Opini Opini adalah suatu sikap terhadap suatu topik khusus, ketika sikap berkembang menjadi kuat, akan muncul dalam bentuk opini. Sewaktu opini menjadi cukup kuat akan berubah menjadi pernyataan penting atau perilaku.

Sikap adalah predisposisi (kecenderungan) cara berpikir tertentu tentang topik tertentu. Suatu penelitian menggambarkan bahwa sikap sebagai bahan evaluasi bagi orang-orang dalam membahas masalah atau isu tertentu. Apabila kita memperhatikan pembicaraan sehari-hari dan mengamatinya serta mencatat tentang jenis-jenis opini itu adalah: 1. opini individu; 2. opini pribadi; 3. opini kelompok; 4. opini konsensus; 5. opini koalisi; 6. opini minoritas; 7. opini mayoritas; 8. opini menurut perhitungan angka; 9. opini aklamasi; 10. opini publik; 11. opini umum; opini khalayak; 12. opini musyawarah; 13. opini kesepakatan. Daftar Pustaka Azwar, Saifuddin. (1995). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hennesy, Bernard. (1989). Pendapat Umum. Alih Bahasa: Amiruddin Nasution. Jakarta: Erlangga. Kasali, Rhenald. (1994). Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Janowitz, Morris dan Hirsch, Paul (Editor). (1981). Reader in Public Opinion and Mass Communication. New York: The Free Press. Palapah. M.O. (1984). "Opini Publik" (Makalah). Bandung: Penataran Keterampilan Kabag Humas se Jawa Barat, Kerja sama Pemda Jawa Barat dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Sastropoetro, R.A. Santoso. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya. Seitel, Fraser P. (1992). The Practice of Public Relations. New York: Macmillan Publishing Company. Sunarjo, Djoenaesih S. (1984). Opini Publik. Yogyakarta: Liberty.

MODUL 3 Pembentukan Opini Publik


Kegiatan Belajar 1: Syarat-syarat Pembentukan Opini Publik Meningkatnya peranan opini publik karena (1) adanya paham Sistem Demokrasi; (2) bertambahnya dan menyebarnya faktor pendidikan; (3) perkembangan teknologi komunikasi; (4)

ada tuntutan atas kebutuhan berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan; (5) banyak kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan programnya. Syarat terbentuknya opini publik terkait dengan alasan mengapa opini publik dibutuhkan kehadirannya dalam masyarakat karena (1) perusahaan/lembaga makin menjadi besar dan berkembang; (2) persaingan antara perusahaan dan organisasi semakin ketat; (3) tuntutan keinginan dan harapan dari masyarakat terhadap pelayanan, pemenuhan kebutuhan akan informasi semakin tinggi; (4) masyarakat semakin kritis; (5) perkembangan teknologi yang luar biasa; (6) pengaruh opini publik semakin besar terhadap keadaan ekonomi dan stabilitas sosial organisasi atau perusahaan. Empat unsur yang menimbulkan opini publik, yaitu (1) adanya masalah yang kontroversial; (2) adanya publik yang secara spontan terpikat kepada masalah tersebut; (3) adanya kesempatan untuk bertukar pikiran atau berdebat; (4) adanya interaksi dari individu-individu dalam publik yang menghasilkan opini yang bersifat kolektif. Kegiatan Belajar 2: Proses Pembentukan Opini Publik Proses pembentukan opini publik melalui tiga tahap pembicaraan (1) tahap masukan yang masih semrawut; (2) tahap pembicaraan mulai terarah, mulai membentuk pikiran yang jelas dan menyatu; (3) tahap dalam mana opini pada tahap kedua disebut telah menyatu telah bulat dan kuat di antara para anggota. Karakteristik opini publik (1) terdapat isi, arah dan intensitas; (2) adanya kontroversi; (3) opini publik mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi menyentuh semua orang; (4) opini publik itu relatif ada. Opini publik tidak murni disertai sifat (1) opini publik yang dimanipulasi; (2) opini publik yang direncanakan; (3) opini publik yang dikehendaki; (4) opini publik yang diprogramkan; (5) opini publik yang diinginkan. Daftar Pustaka Effendy, Onong Uchjana. (1986). Komunikasi dan Modernisasi, Bandung: Alumni. Hennessy Bernard. (1989). Pendapat Umum. Alih Bahasa: Amiruddin Nasution, Jakarta: Erlangga. Janowitz Morris dan Hirsch Paul. (1981). Reader in Public Opinion and Mass Communication. New York: The Free Press. Nimmo Dan. (1993). Komunikasi Politik, Komunikator Pesan dan Media, Pengantar: Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya. (1989). Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Pengantar: Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Karya. Satropoetro, R.A. Santoso. (1987). Pendapat Publik Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya. Susanto, Astrid S. (1975). Pendapat Umum. Bandung: Bina Cipta.

MODUL 4 Memahami Karakteristik, Bnetuk dan Sifat, serta Potensi dan Kompetensi Opini Publik Opini Publik

Kegiatan Belajar 1: Karakteristik Opini Publik Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar sosiologi, psikologi dan komunikasi tentang opini publik, menunjukkan beberapa unsur opini publik yang membedakan dengan opini lainnya. Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi opini publik dapatlah ditentukan karakteristik opini publik, yaitu: 1. adanya isu yang kontroversial; 2. adanya publik yang secara spontan terpikat pada isu dan melibatkan diri di dalamnya, dan berusaha untuk memberikan pendapatnya; 3. adanya kesempatan untuk bertukar pikiran atau berdebat mengenai masalah yang kontroversial oleh suatu publik; adanya interaksi antara "individu-individu" dalam publik yang menghasilkan suatu pendapat yang bersifat kolektif dan diekspresikan. Masalah kontroversial di dalam masyarakat muncul karena adanya berbagai pendapat yang bertentangan. Hal ini menyebabkan kontroversi dalam menghadapi isu adalah: 1. setuju atau tidak setuju tentang fakta; 2. perbedaan perkiraan tapi tak berbeda dalam pandangan; 3. mempunyai sumber yang berbeda. Kegiatan Belajar 2: Bentuk dan Sifat Opini Publik Bentuk opini publik dibedakan ke dalam 3 hal, yaitu opini kelompok, opini rakyat, dan opini massa. Pengungkapan opini cenderung diarahkan berdasarkan ungkapan dari kepercayaan nilai dan harapan. Kepercayaan mengacu pada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar tentang sesuatu. Nilai melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan seseorang, sedangkan harapan ditentukan oleh perkembangan terhadap apa yang terjadi di masa lalu, keadaan sekarang dan apa yang kirakira akan terjadi bila suatu perbuatan dilakukan. Publik dapat dibedakan antara publik massa, publik berminat, dan publik pembuat pendapat. Menurut sifatnya opini publik dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis, yaitu opini publik yang statis dan opini publik yang dinamis. Kualitas opini publik pada dasarnya bergantung pada kualitas dan kuantitas informasi. Kegiatan Belajar 3: Potensi dan Kompetensi Opini Publik

Opini publik tidak dapat dilihat dan ditunjuk dengan nyata, sebagaimana kita dapat menunjuk benda. Kekuatan, kemampuan dan kekuasaannya dapat disaksikan dengan nyata, misalnya runtuhnya Tembok Berlin, runtuhnya kekuatan Syah Iran. Harword Childs menyatakan hubungan antara pemerintah dan opini publik adalah two way relationship, reciprocal dan cyclical. Opini publik mempengaruhi pemerintah secara langsung melalui Pemilihan Umum, referendum dan public opinion polling. Sebaliknya pemerintah mempengaruhi opini publik melalui aksi-aksi dan komunikasi. Sifat opini publik yang statis, dinamis ataupun laten bergantung pada faktor-faktor perangsang dari luar, misalnya peristiwa yang mengguncangkan. Opini publik merupakan dasar hukum, dan kekuatan hukum adalah berdasarkan dukungan opini publik. Komunikasi dapat mempengaruhi opini publik dan opini publik dapat mempengaruhi komunikasi. Opini publik merupakan suatu penilaian sosial dan mempunyai kekuatan tersendiri, yaitu pendukung kelangsungan berlakunya adat istiadat, mempertahankan eksistensi suatu lembaga. Opini publik juga memiliki hukum-hukum yang disusun dari hasil penelitian yang dikemukakan Hadley Cantril dan Emory S. Bogardus. Daftar Pustaka Bernard Hennessy. (1981). Public Opinion, Wadsworth, Inc. Bernard Hennssey. (1990). Pendapat Umum. Terjemahan Amirudin Nasution). Jakarta: Erlangga. Dan Nimmo. (1989). Komunikasi Politik. Terjemahan Tjun Suryaman. Bandung: Remaja Karya. Dedy Djamaludin Malik dan Yosal Iriantara. (1994). Komunikasi Persuasif. Bandung: Remaja Karya. Frazier Moore. (1987). Hubungan Masyarakat, Prinsip, Zasus, dan Masalah. Terjemahan Lilawati Trino, Deddy F Djamaludin Malik, penyunting Onong U. Effendy). Bandung: Remaja Karya. Frazier Moore. (1981). Public Relations, Casses and Problem. 8th edition. USA: Richard D. Twin, Inc. Kartini Kartono. (1981). Psikologi Sosial Perusahaan dan Industri. Jakarta: Rajawali. Leonard W. Doab. (1948). Public Opinion and Propaganda. USA: Henry Hart and Company, Inc. Morris Janowitrz and Paul Hirsch. (1981). Reader in Public Opinion and Mass Communication. Third edition. New York: the Free Press. Philip Iesley. (1971). Public Relation Handbook. Englewood, Cliffs, N.J. USA: Prentice Hall Inc. Rhenald Kasali. (1994). Manajemen Publik Relation. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Santoso Sastrosaputro. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam

Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya. Sunarso A.P. (1990). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.

MODUL 5 Memahami Prinsip-prinsip Opini Publik Ditinjau dari Aspek Sosiologi, Psikologi, dan Lingkungan
Kegiatan Belajar 1: Prinsip-prinsip Opini Publik Sosiologi adalah ilmu sosial yang mempelajari manusia dari sudut hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Tidak ada ukuran mutlak tentang jumlah orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Namun, mereka berkumpul dalam waktu cukup lama dan terjadi interaksi sosial sehingga timbul sistem komunikasi di antara mereka. Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa individu lainnya dalam menghadapi alam sekeliling. Oleh karena tidak dapat hidup sendiri maka manusia-manusia berkelompok dan terbentuklah kelompok sosial. Suatu himpunan manusia dapat disebut kelompok sosial bila memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Pada dasarnya hakikat kelompok sosial bukan terletak pada kedekatan jarak fisik melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi. Kelompok sosial menurut bentuknya dibedakan antara kelompok sendiri (In Group) dan kelompok luar (Out Group) keduanya penting dan saling mempengaruhi. Beberapa sarjana mengklasifikasikan kelompok sosial yang berbeda namanya Charles Harton Cooley mengklasifikasikan kelompok sosial dalam kelompok primer dan kelompok sekunder, sedangkan Ferdinand Tonies membedakan bentuk kehidupan bersama, yaitu Gemenschaft (paguyuban) dan Gesselshaft (patembayan) selain kelompok sosial dikemukakan di atas masih ada dua bentuk kelompok sosial yang tidak teratur, yaitu kerumunan dan publik. Kelompok sosial yang telah dijelaskan tersebut mempunyai peran dalam pembentukan opini publik. Masyarakat melahirkan kebudayaan yang kompleks dan menimbulkan kelompokkelompok kepentingan. Munculnya suatu isu peristiwa atau masalah akan ditanggapi berbeda sesuai dengan kelompok-kelompok kepentingan dan menghasilkan opini. Opini yang sama dari kelompok-kelompok sosial yang diungkapkan baik melalui media massa maupun nirmassa dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak akan menimbulkan opini publik. Opini publik dapat muncul secara tidak disengaja dan dapat juga disengaja melalui suatu perencanaan. Kegiatan Belajar 2: Opini Publik Ditinjau dari Aspek Psikologi Manusia merupakan makhluk hidup yang tertinggi derajatnya di alam ciptaan Tuhan. Dalam kegiatannya manusia merupakan makhluk individual, makhluk sosial dan makhluk ber-KeTuhanan.

Sikap manusia mengalami perkembangan yang khas dalam kehidupannya walaupun dalam lingkungan dan keadaan hidup yang sama. Berdasarkan latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita-berita yang berkembang manusia memiliki persepsi yang khas. Selain mempunyai persepsi manusia juga mempunyai sikap berdasarkan keyakinan dan perasaan yang melekat tentang sesuatu objek tertentu. Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognitif (keyakinan), emosi (perasaan) dan perilaku (tindakan), sedangkan sikap dapat dibedakan antara sikap individu dengan sikap sosial yang dinyatakan oleh kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial. Terbentuknya sikap mempunyai 3 sumber, yaitu sebagai berikut. 1. Berdasarkan pengalaman pribadi. 2. Berdasarkan pemindahan perasaan yang menyakitkan 3. Berdasarkan pengaruh sosial. Pengaruh sosial dapat meliputi orang tua, teman sebaya dan media massa. Persepsi dan sikap mempunyai peran dalam pembentukan opini. Seseorang mempersepsikan stimulus tertentu akan dicocokkan dengan rekaman yang ada berdasarkan latar belakang budaya, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita yang berkembang dalam memberikan interpretasi yang akan menentukan sikap. Sikap yang dinyatakan melalui lisan, tulisan, simbol, bahasa tubuh, eksperimen dan warna yang digunakan menunjukkan opini. Opini-opini yang berkembang pada suatu masyarakat akan mencapai suatu konsensus yang matang dan menyatu dalam masyarakat yang membentuk opini publik. Kegiatan Belajar 3: Opini Publik Ditinjau dari Aspek Lingkungan Faktor lingkungan dapat dibedakan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa keadaan sekeliling, musim, letak geografi yang mempengaruhi pada mata pencaharian atau kebiasaan. Lingkungan sosial merupakan sarana bagi manusia untuk bersosialisasi. Faktor sosial dapat dibedakan antara faktor sosial primer dan faktor sosial sekunder. Faktor sosial primer sangat berperanan bagi individu karena manusia pertama-tama berkembang dan dididik dalam lingkungan ini. Lingkungan sosial primer mempengaruhi individu dalam memperoleh kerangka dan kemungkinan untuk mengembangkan sifat-sifat sosialnya. Lingkungan sosial sekunder dalam kehidupan manusia diperlukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat secara objektif dan rasional. Interaksi dalam lingkungan sosial sekunder berdasarkan perhitungan untung rugi yang rasional dan objektif. Manusia sebagai makhluk sosial berinteraksi satu sama lainnya baik dalam lingkungan primer ataupun dalam lingkungan sosial sekunder. Faktor-ktor yang mendasari terjadinya interaksi adalah imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.

Daftar Pustaka Bimo Walgito. (1981). Pengantar Psikologi Umum. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Gerungan. (198). Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco. Jalaludin Rakhmat. (1985). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya. James F Calhoun. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (terjemahan). Semarang: IKIP Press. Paul B Horton, Chester L Hund. (1987). Sosiologi (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Rhenald Kasali. (1954). Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti. Saifudin Azwar. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soerjono Soekanto. (1987). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

MODUL 6 Opini Publik dan Kebijakan


Kegiatan Belajar 1: Opini Publik Kebijakan Sosial Dalam melakukan aktivitas guna mencapai tujuan, setiap organisasi baik organisasi sosial, ekonomi maupun politik membutuhkan adanya pedoman-pedoman umum bagi keputusan dan tindakannya. Kebijakan yang diambil akan berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain sesuai dengan visi, misi, dan tugas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Namun,, apabila dilihat dari penahapannya aktivitas yang dilakukan organisasi guna mengambil kebijakan akan mempunyai kesamaan, yaitu analisis dan penerapan. Hal yang sangat membedakan kebijakan dalam lembaga sosial lebih pada kebijakan normatif, yaitu kebijakan yang lebih mengutamakan nilai dan prinsip pelayanan dengan tidak meninggalkan prosedur rasional. Opini yang berkembang di masyarakat yang kemudian ditangkap dan dirumuskan merupakan suatu bahan bagi pengambil keputusan untuk menentukan nilai kemungkinan setiap alternatif kebijakan yang akan diambil oleh para penentu kebijakan. Kegiatan Belajar 2: Opini Publik Kebijakan Lembaga Ekonomi Sesuai dengan visi dan misi yang dimilikinya, kebijakan dalam lembaga ekonomi lebih mendekati pada tipe kebijakan rasional, yaitu kebijakan yang menitikberatkan pada prosedur dengan teknik-teknik kuantifikasi yang ketat dan biasanya dilakukan oleh para profesional (analisis kebijakan). Faktor yang menentukan dalam memaksimalkan keuntungan lembaga-lembaga ekonomi khususnya perusahaan adalah: 1. pengetahuan teknis, 2. permintaan produk, 3. pengetahuan suplai faktor, dan

4. suplai dana modal untuk membeli faktor-faktor produksi. Walaupun bukan sesuatu hal yang mudah, namun guna keberhasilan manajer dalam penentuan kebijakan, kemampuan untuk mengerti dan memahami motivasi serta perilaku konsumen merupakan hal yang harus dimiliki oleh perumus ataupun analis kebijakan perusahaan. Kegiatan Belajar 3: Opini Publik Kebijakan Politik Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, ini berarti bahwa apa yang dilakukan pemerintah harus sesuai dengan apa yang dipikirkan dan disuarakan (opini) rakyatnya. Beberapa indikator yang menyulitkan dalam mengkaji perumusan kebijakan politik, antara lain berikut ini. 1. Adanya konflik nilai yang melingkupi negara atau pemerintahan. 2. Timbulnya perbedaan mengenai kriteria kepentingan antara kelompok yang ada dalam sebuah negara. 3. Kebijakan politik sering kali merupakan hasil dari kompromi politis. Guna memahami perumusan kebijakan politik suatu negara maka dibutuhkan pemahaman atas semua proses politik yang berlaku di negaranya. Agar sebuah opini/tuntutan masuk agenda politik dan dirumuskan menjadi kebijakan maka tuntutan atau opini harus disuarakan lewat saluran-saluran yang diakui pemerintah. Daftar Pustaka Beattie Bruce R. (1994). Ekonomi Produksi. Terjemahan Soeratno Josoharjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Bernard Hennessy. (1981). Public Opinion. Wadsworth, Inc. Duverger Maurice. (1981). Partai Politik dan Kelompok-kelompok Penekan. Terjemahan Laila Hasyim. Bina Aksara. Iatridis Demitrius. (1994). Social Policy. IKIP Bandung. Mimbar Pendidikan (No. 4 Tahun XIV 1995). Bandung: University Press IKIP Bandung. Kamaluddin Rustian. (1992). Bunga Rampai Pembangunan Nasional dan Daerah. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI. Lindblom Charles E. (1986). Proses Penetapan Kebijakan. Terjemahan dari Ardian Syamsudin. Jakarta: Erlangga. MacAndrews Colin dan Mochtar Masoed. (1995). Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Oemar Hamalik. (1993). Pengolahan Sistem Informasi. Bandung: Trigenta Karya. Sjahrir. (1994). Kebijakan Negara Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: Obor Indonesia. Sumarno. (1990). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti. Supandi. (1988). Kebijakan dan Keputusan Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

MODUL 7 Kelompok Primer, Pengarus Personal pada Opini Publik


Kegiatan Belajar 1: Kekuatan Opini Publik secara Sosiologis, Psikologis dan Politis Penilaian sosial adalah bagian dari opini publik karena suatu permasalahan biasanya hangat dibicarakan. Kekuatan opini publik dapat dijelaskan secara sosiologis, psikologis dan politis. Perbedaan pandangan manusia biasanya apabila menyangkut masalah-masalah demokrasi, kehidupan yang layak, keputusan yang adil, kemakmuran, hidup sederhana, kenakalan remaja, harga sembako yang murah. Opini publik dan sikap pribadi mempunyai hubungan yang erat karena itu pengalaman pribadi seseorang akan menentukan sikapnya, yang juga dipengaruhi norma-norma yang hidup pada masyarakatnya. Opini publik dalam lingkup kegiatan politik dibentuk oleh perilaku tokoh-tokoh politik yang ada di sekitarnya. Opini publik kampus perlu dicermati oleh kelompok-kelompok atau publik yang ada pada masyarakat, sebab umumnya mereka beropini, merupakan bentuk kepedulian terhadap masalahmasalah yang ada pada masyarakat. Kegiatan Belajar 2: Opini Publik dan Komunikasi Massa Opini publik mengenai permasalahan apa saja, seperti berbagai masalah yang ada pada masyarakat, tokoh-tokoh penting yang dibicarakan di suatu negara produk-produk yang dikonsumsi massa, dan lembaga-lembaga negara yang dibicarakan masyarakat baru berarti jika sudah dimuat, disiarkan, dicetak, dan disebarluaskan oleh media massa. Media adalah alat atau sarana yang digunakan seseorang dalam penyampaian pesan kepada orang lain. Media massa adalah media yang dipakai dalam komunikasi massa, media massa tersebut misalnya televisi, radio, pers (surat kabar/majalah), dan film. Ciri-ciri komunikasi massa, yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Komunikasi ditujukan kepada massa. Komunikasi dilakukan secara serempak. Komunikatornya suatu organisasi/lembaga. Pesannya bersifat umum. Medianya disebut media massa, yaitu bisa menjangkau orang banyak. Umpan balik tidak langsung atau terlambat.

Opini publik yang dimuat, ditayangkan, dan disiarkan media massa karena pengaruhnya yang dapat memperkuat atau mendukung, dan juga melemahkan atau mengancam posisi pemerintah, supaya tidak menimbulkan masalah, keberadaannya perlu diperhatikan pemerintah. Kegiatan Belajar 3: Kelompok Primer, Pengaruh Personal pada Opini Publik Kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama erat yang bersifat pribadi. Ada 2 kelompok primer yang berbeda, yaitu sebagai berikut. 1. Kelompok yang kerja samanya erat, seperti keluarga dan rukun tetangga. 2. Kelompok yang saling kenal-mengenal yang menekankan kepada sifat hubungan antarpribadi, seperti simpati, kerja sama, dan sopan. Ciri-ciri kelompok primer, yaitu sebagai berikut. 1. Secara fisik berdekatan. 2. Kelompoknya kecil. 3. Adanya hubungan antaranggota. Setiap orang yang berpengaruh di masyarakat, seperti para pemuka pendapat, biasanya opininya didengar orang. Daftar Pustaka Bernard Hennesy. (1981). Public Opinion. Wadsworth Inc. Frazier, Moore. (1981). P

Opini
Kamis, 04 September 2008 05:31

Duduk Soal Perda Syariah (2)

Oleh Bahtiar Effendy* Sebagai bukan ahli hukum, saya tidak tahu apakah hal yang seperti ini (bermunculannya perda-perda syariah) merupakan perkembangan yang merisaukan atau bukan bagi Indonesia dan demokrasi yang sedang tumbuh. Akan tetapi, sebagai orang yang mengamati Islam dalam konteks pembangunan politik Indonesia, ada beberapa catatan yang dapat diberikan. Dalam konteks perundang-undangan Islam di tingkat nasional, menarik melihatnya sebagai bentuk akomodasi parsial negara terhadap Islam. Hal ini merupakan penafsiran paling memungkinkan bagi rumusan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Rumusan ini terinspirasi dari sebagian isi preambule UUD 1945 dan beberapa pasal di dalam UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan agama. Lebih mencolok lagi, ini merupakan kelanjutan logis dari adanya Kementerian Agama. UUD pada dasarnya mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya di dalam menjalankan ajaran agama Islam. Jika mereka percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong tangannya, secara teoretis mereka diperbolehkan oleh UUD 1945 untuk menjalankan ajaran atau pemahaman keagamaan seperti itu. Demikian pula dengan soal perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Islam, dalam jumlah yang amat banyak, menganut paham bahwa orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Bisa saja mereka berpaham bahwa orang yang mencuri diputus kekuasaannya atau kesempatannya untuk mencuri. Akan tetapi, karena negara Indonesia bukan negara teokrasi atau negara agama, tidak serta-merta pandangan mengenai paham keagamaan seperti itu bisa dilaksanakan. Pernah ada orang yang memotong jari anaknya yang mencuri, dia dikenai hukuman.

Demikian pula ketika Jafar Umar Thalib menghukum rajam salah seorang pengikutnya, yang mengaku berbuat zina, dan minta dirajam, yang bersangkutan juga dikenai hukuman. Untuk menghindari hal yang sedemikian ini, agar terdapat keserasian hukum antara pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan KUHAP, negara perlu ikut mengatur kehidupan beragama. Hingga kini yang paling memungkinkan untuk diatur atau diakomodasi oleh negara adalah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti telah disebutkan di atas. Itu pun, menurut Munawir Syadzali, bersifat sukarela. Mereka yang tidak merasa nyaman bisa pergi ke lembaga peradilan umum. Sementara syariat Islam yang berkaitan dengan hukum pidana sulit atau tidak bisa diakomodasi. Pertimbangan-pertimbangan politik mengharuskan negara untuk melakukan akomodasi seperti itu. Itu semua dilakukan dalam rangka mencari jalan tengah, jalan yang paling memungkinkan seperti dalam kasus Aceh. Pertimbangan-pertimbangan politik, daripada NKRI pecah, Aceh diberi status khusus dengan kewenangan yang jauh lebih luas dibandingkan daerah-daerah lain. Kewenangan yang diberikan kepada Aceh untuk mengelola daerah tersebut menurut hukum Islam merupakan inti pembeda tersebut. Tidak banyak daerah yang diberi kewenangan khusus. Meski demikian, reformasi dan perkembangan politik pascamundurnya Presiden Soeharto mengharuskan pemerintah pusat untuk memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah kecuali beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan moneter/fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, dan politik luar negeri. Perkembangan politik demokrasi membangkitkan kemandirian daerah, termasuk dalam menyusun peraturan daerah. Perda syariah (saya tidak tahu pasti apakah istilah ini benar-benar dipakai oleh pemerintah kabupaten dan kota) harus diletakkan dalam konteks ini. Dalam pandangan daerah, meski tidak lepas dari motivasi-motivasi politik, jika pusat memiliki kewenangan membuat undang-undang yang berbau syariat Islam dan Aceh juga demikian pula adanya, apa salahnya (dalam pengertian diskriminasi, mengancam NKRI, bertentangan dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, berlawanan dengan hak asasi manusia/HAM) jika daerah juga membuat perda yang berbau syariah? Tentu, tidak semua perda syariah itu masuk akal atau penting bagi kemajuan suatu daerah. Bahkan, mungkin saja perda-perda itu justru menghambat perkembangan daerah. Melarang wanita untuk keluar rumah setelah pukul 9 malam adalah jenis peraturan daerah yang tidak masuk akal.

Demikian pula keharusan untuk bisa membaca Alquran atau menjadikan kemampuan membaca Alquran sebagai faktor dalam menentukan posisi birokratis seorang pejabat publik. Dalam konteks yang telah disebutkan, tidak bisa perdaperda tersebut serta-merta dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila atau UUD 1945. Tidak pula bisa dipandang sebagai hal yang otomatis membahayakan NKRI atau bertentangan dengan HAM. Saya tidak yakin aturan-aturan tersebut dibuat untuk dikenakan kepada semua penduduk daerah. Soal membaca Alquran atau berbusana muslim pasti diperuntukkan bagi pegawaipegawai muslim. Meski demikian, penting juga para pembuat perda itu diingatkan bahwa apa yang disebut busana muslim juga sesuatu yang multitafsir karenanya tidak bisa dipaksakan. Tata cara berpakaian dalam Islam, bukan dalam ibadah ritual tertentu seperti ketika melaksanakan sembahyang atau haji, lebih disemangati oleh prinsip decency, kesopanan, dan kewajaran sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Dalam hal-hal tertentu di pemerintahan dibolehkan adanya peraturan-peraturan yang bersifat spesifik atau berlaku khusus. Sebab hal ini berkaitan dengan posisi-posisi khusus yang mengharuskan kemampuan spesifik. Soal kemampuan membaca Alquran, misalnya. Bisa saja hal ini diberlakukan dalam posisi-posisi tertentu yang berkaitan dengan soal agama Islam. Misalnya, soal posisi imam besar sebuah masjid negara. Demikian pula hakim-hakim yang mengurusi soal keagamaan Islam. Juga bagi mereka yang memiliki kewenangan untuk menikahkan atau menceraikan warga negara menurut hukum Islam. Akan tetapi, meskipun boleh, pencantuman persyaratan khusus juga tidak mesti harus diadakan. Tanpa aturan khusus, orang yang bakal diberi jabatan imam besar pasti adalah orang yang bacaan Alqurannya istimewa. Dalam konteks jabatan seperti itu, kemampuan tersebut sudah bersifat inheren. Pencantuman keterampilan khusus hanya bersifat redundant, pengulangan yang tidak perlu. Karena itu, perda-perda tersebut tidak perlu untuk dilihat dalam konteks melanggar atau bertentangan dengan Pancasila/UUD 1945. Yang demikian bisa merupakan jauh panggang dari api. Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua melihat persoalannya secara lebih pas. Semuanya harus diletakkan dalam aturan main dan realitas politik yang ada.

Kenyataan bahwa UUD 1945 mencantumkan bab soal agama (dengan segala tafsirannya) bahwa pemerintah pusat beserta DPR juga mengundangkan sesuatu yang sebanding dengan perda syariah, bahkan lebih luas cakupannya dan bahwa Aceh merupakan daerah yang kental warna perda syariatnya hendaknya itu semua menjadi pertimbangan penting di dalam melihat kasus perda syariah. Jika perda syariah dilihat dari kacamata melawan atau menentang Pancasila dan UUD 1945 atau bahkan mengancam atau membahayakan kelangsungan NKRI atau secara ideologis dan teritorial bertentangan dengan NKRI, bagaimana UUPA, dan undang-undang Islam lain yang disahkan DPR itu harus dilihat? Demi keadilan, bukankah kita harus melihatnya dalam kacamata yang sama? Bersediakah kita melihat bahwa UUPA atau undang-undang tentang zakat, infak, dan sedekah dalam konteks membahayakan NKRI? Sebaliknya, para pelopor perda syariah yang sebagian besar justru bukan para aktivis partai Islam hendaknya menahan diri untuk tidak menonjolkan simbol. Jika perda syariah itu (hanya) sibuk mengatur soal baju, lama waktu baca Alquran, atau keharusan shalat berjamaah, hal tersebut justru mereduksi makna syariat dalam kehidupan muslim. Jika itu yang dilakukan, sebenarnya perda syariah yang seperti itu bertentangan dengan trademark Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Mestinya, tanpa harus menciptakan hal-hal yang tidak perlu, para pembuat perda itu merumuskan peraturan yang dengan semangat prinsip dan etika Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memerangi kebodohan, dan membuat masyarakat lebih mampu mengarungi kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang masih serba tidak pasti ini. Apa yang disebut dengan perda syariah mestinya diuji dari segi isi, kepatutan, dan kelayakannya. Bukan dari sifat simbolik yang menyertainya, terlebih jika hal tersebut terkait dengan bias ideologis dan politis yang ada dalam sejarah kita. Bisa saja sebuah daerah membikin perda yang isinya adalah keharusan untuk memperkuat cinta Tanah Air, sebab cinta Tanah Air itu bagian dari iman. Tanpa memakai kata sifat syariah, perda seperti ini oleh sebagian orang pasti akan dilihat sebagai perda syariah. Pengaitan, secara sadar atau tidak sadar, perda syariah dengan perlawanan atau pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hanya akan membuka stigma lama yang sudah secara susah payah kita usahakan untuk selesai meski belum tuntas. Membuka stigma sejarah lama, yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila, inilah sebenarnya yang bisa mengancam kelangsungan NKRI.(*)

*Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Memenuhi Kebutuhan Indonesia

Memperbaiki

Kebijakan

Publik

Kemampuan pemerintah untuk berhasil memberikan layanan dan mendorong pembangunan adalah cerminan dari visi kepemimpinan terpilih. Ini perlu didukung oleh kerangka kebijakan publik yang jelas yang menetapkan sasaran-sasaran yang transparan dan realistis, serta mekanisme-mekanisme untuk mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan. Tanpa tujuan-tujuan kebijakan yang jelas, pembaruan pemerintahan dikhawatirkan akan tidak terarah dan menjadi tidak efektif. Kebijakan publik di Indonesia bervariasi mulai dari yang dipertimbangkan dengan baik dan matang sampai yang tidak masuk akal, saling bertentangan dan kaku, bukti akan adanya pengelolaan sumber daya manusia yang lemah dalam tubuh aparatur negara dan kurangnya perencanaan strategis berjangka panjang. Keahlian yang dimiliki oleh Kemitraan dimanfaatkan untuk membantu lembaga-lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengidentifikasi, meneliti dan menerapkan tujuantujuan kebijakan praktis dalam bidang perdagangan, pengelolaan pemilu, administrasi kepegawaian, dan korupsi.

Memperkuat

dan

Mereformasi

Lembaga

Lembaga-lembaga negara yang kuat dengan mandat yang jelas sangat penting bagi reformasi tata pemerintahan. Alih-alih menjadi penyedia layanan dan advokasi bagi masyarakat miskin dan kehilangan haknya, terlalu sering penegakan hukum, peradilan, dan partai politik Indonesia tidak dapat bertanggung gugat kepada rakyat dan terperosok dalam kronisme dan korupsi. Selama satu dasawarsa terakhir serangkaian suksesi pemerintah nasional telah berusaha, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, untuk membuat lembaga-lembaga negara menjadi profesional, mencabut akar yang busuk dan membangun kembali dengan visi ke masa depan. Kemitraan bekerja sebagai fasilitator dan pendorong reformasi kelembagaan, pengembangan kapasitas internal, yang dipadukan dengan mekanisme pemantauan eksternal yang kuat.

Pemberdayaan

Masyarakat

Sipil

Upaya peningkatan kesadaran dan dukungan publik merupakan salah satu unsur penting dari pembaruan tata pemerintahan yang berhasil. Tanpa adanya penerimaan dari masyarakat lokal, upaya yang paling mulia pun akan menemui kegagalan. Walaupun masyarakat umum, sektor swasta dan kelompok-kelompok kepentingan lain merupakan para pemangku kepentingan utama, sektor swasta dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya seringkali merasa ditempatkan sebagai pihak luar, yang tidak mampu memengaruhi arah perubahan kebijakan yang konsekuensinya harus mereka tanggung. Kemitraan bekerja dengan berbagai CSO untuk secara aktif meningkatkan kapasitas mereka memantau dan terlibat dengan negara.

Investasi Dalam Pendidikan dan Informasi Tata Pemerintahan


Dalam dasawarsa terakhir ini ada berbagai macam prakarsa pembaruan tata pemerintahan yang telah dilakukan di seluruh Indonesia. Upaya untuk menelusuri berbagai keberhasilan, kegagalan, dan pelajaran yang dapat dipetik dari prakarsa-prakarsa ini dapat membantu mengarahkan dan menyempurnakan proyek-proyek serupa di masa yang akan datang. Sayangnya sampai saat ini belum ada pusat informasi atau pusat penelitian yang mengumpulkan dan menerbitkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan selama ini secara koheren. Kemitraan sedang berupaya mengisi kekosongan ini, dimulai pada tahun 2008 dengan menyelesaikan indeks tata pemerintahan, yang menetapkan tolok ukur yang sama dan mengevaluasi semua provinsi berdasarkan kartu skor indikator-indikator tata pemerintahan yang ketat dan menyeluruh.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 1


I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia dalam bahasa Prancis disebut Droit L'Homme, yang artinya hak-hak manusia dan dalam bahsa Inggris disebut Human Rights. Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar

yang wajib dilindungi oleh Pemerintah, maka muncul istilah Basic Rights atau Fundamental Rights. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah Hak asasi manusia.(Ramdlon Naning; 1982 : 97) Meriam Budiardjo, mengemukakan bahwa : Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh daqn dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar baqngsa, ras, agama, kelamin dank arena itu bersifat universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan harkat dan cita-citanya. (Meriam Budiardjo; 1980 : 120)

HAK ASASI MANUSIA BIDANG EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT PERUBAHAN UUD 1945
Oleh : I MADE SUBAWA ( Bagian Hukum Tata Negara ) ABSTRAK Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia, bersifat universal dan harus dilindungi secara hukum. Oleh karena itu tidak dapat dikurangi, dirampas dan karenanya harus dipertahankan. Di Indonesia dalam Bab XA Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan mengenai hak asasi manusia. Namun kaitannya dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya, identifikasinya belum rinci dan jelas. Oleh karena hak-hak yang berkaitan dengan hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya, masih tersebar dalam Pasal-Pasal Perubahan UUD 1945. Pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, terjadi ketika negara gagal memenuhi hak-hak asasi yang dimaksud. Dalam hal ini individu atau masyarakat mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, melalui advokasi. Kata Kunci : Hak asasi ekonomi, sosial dan budaya, wajib dipenuhi, pelanggaran, advokasi. ABSTRACT Human right is elementary rights which naturally attach at human it self, having the character as universal and have to judicial protect. Therefore cannot lessen, to be hijacked and for this reason have to be defended. In Indonesia in Chapter of XA the changed of constitution 1945 determined about human right. But its bearing with rights in economic section, social and culture, identify have not yet detail and clear. Because of rights related to rights in economic area, social and culture, still spread over the changed of constitution 1945. Impact to rights of economic, social and culture, happened when state fail to fulfill such basic rights wich meant. In this case individual or citizens have the right to claim accomplishment to rights of economic, social and culture, through advocatie. Keyword : Rights Basic of economic, social and culture, appreciative to fulfill, impact, advocatie.

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 2


Di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam menimbang huruf b ditentukan bahwa : Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Pengertian hak asasi dikemukakan oleh para

sarjana di atas maupun dalam Undang-undang No. 3 tahun 1999 adalah hak-hak alamiah dari manusia. Leach Levin seorang aktivis hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia ada dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, ialah bahwa hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia sorang manusia. Hak adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin matabat setiap manusia (Natural Rights). Kedua, hak asasi manusia adalah hak-hak menurut hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama.(Levin, Leach; terjemahan Ny.Nartomo; 1987 :3) Pengertian hak asasi manusia sebagai hak-hak menurut hukum mempunyai pengertian yang lebih luas, bukan saja hak-hak alamiah atau hak moral saja, tetapi juga meliputi hak-hak menurut hukum yang dibuat oleh badan yang berwenang dalam negara. Yang dimaksud dengan hak dalam pembicaraan mengenai hak asasi manusia diartikan sebagai suatu lingkungan keadaan atau daerah kebebasan bertindak dimana pemerintah tidak mengadakan pembatasannya, sehingga membiarkan kepada individu atau perseorangan untuk memilih sendiri. Oleh karena itu maka hak mengandung arti membatasi kekuasaan berdaulat dari pemerintah. (Yudana Sumanang; 1970 : 5) Isi dari pada hak asasi manusia hanya dapat ditelusuri lewat penelusuran aturan hukum dan moral yang berlaku dalam masyarakat. John Locke (1632-1704) yang dikenal sebagai bapak hak asasi manusia, dalam bukunya yang berjudul Two Treatises On Civil Government, menyatakan tujuan Negara adalah untuk melindungi hak asasi manusia warga negaranya. Manusia sebelum hidup bernegara atau dalam keadaan alamiah (status naturalis) telah hidup dengan damai dengan haknya masing-masing, yaitu hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan hak atas penghormatan terhadap harta miliknya, yang semua itu merupakan propertinya.(Dikutif dari I Dewa Gede Atmadja; 2002 ;3-5) Di Indonesia berdasarkan Perubahan UUD 1945 dalam Bab XA ditentukan mengenai Hak Asasi manusia. Namun kaitannya dengan hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya identifikasinya

belum rinci dan jelas. Oleh karena hak-hak yang berkaitan dengan hak dibidang ekonomi, sosial dam budaya masih tersebar dalam pasal-pasal yang ada. Dengan penelusuran melalui pendekatan sejarah, maka ditemukan perkembangan dari ha-hak dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lazimnya dikatagorikan sebagai hak-hak positif (Positive Rights) yang dirumuskan dalam bahasa rights to (hak atas), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikategorikan sebagai hak-hak negative (Negative Rights ) yang dirumuskan dalam bahasa freedom from (kebebasan dari). Sebagai hak-hak positif, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dipahami sebagai hakhak yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justicible), sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak-hak negative, dapat dituntut di muka pengadilan. (Kasim, dalam Kasim dan Arus: xii-xiv). Pemahaman hak-hak asasi manusia atas hak-hak positif hak-hak negatif tersebut mulai ditinggalkan. Sekarang ini mulai diterima pendapat, bahwa pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga bisa dimajukan dalam pengadilan. Indikasinya dapat dicermati dalam pendapat pakar

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 3


hukum asasi manusia yang dituangkan dalam Pinsip-Prinsip Limbung dan Pedoman Mastricht, maupun sejumlah yurisprudensi dari badan peradilan hak-hak asasi manusia tingkat internasional maupun regional Eropa. Pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terjadi ketika negara gagal memenuhi hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam sistem hukum (-internasional) hak asasi meletakan kewajiban pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya pada negara. Manakala negara gagal dalam kewajibannya itu, maka telah terjadi pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Di pihak lain, individu atau kelompok individu mempunyai hak umtuk menuntut pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya yang salah satunya adalah melalui advokasi yakni menanggapi kepentingan warga untuk mentransformasikan hakhak ekonomi, sosial dan budaya yang formal menjadi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sesungguhnya dan efektif. Tuntutan itu beranjak dari prinsip bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak hukum seperti halnya hak-hak sipil dan politik. (Dikutif dari Marhaendra Wija Atmaja; 2004 : 1-2) Tulisan ini bermaksud menguraikan hak-hak ekonomi,sosial dan budaya menurut perubahan UUD 1945. Untuk itu dirumuskan pertanyaannya yaitu : Bagaimana mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur menurut perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 ? II. PEMBAHASAN HAK-HAK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT PERUBAHAN UUD 1945 1. Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi. Di dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan : Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam Pasal 28D ayat (2) Perubahan UUD 1945 ditentukan :Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selanjutnya khusus mengenai perekonomian diatur dalam Pasal 33 Perubahan UUD 1945 yaitu : (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penelusuran dalam kepustakaan ditemukan bahwa hak asasi manusia bidang ekonomi adalah hak yang berkaitan dengan akitivitas perekonomian, perburuhan, hak mempero!eh pekerjaan, perolehan upah dan hak ikut serta dalam serikat buruh. - Hak memperoleh Pekerjaan. Deklarasi Umum Persenkatan Bangsa-dangsa (PBB) tentang HAM, dalam pasal 23 ayat (1) menentukan setiap orang berhak atas pekerjaan berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil serta baik dan atas perlindungan terhadap pengangguran. Dalam International Covenant on Economc, Social and Cultural 1966, pasal 6 ayat (1) menentukan negara-negara peserta perjanjian ini mengakui hak untuk bekerja yang meliputi setiap orang atas kesempatan memperoleh nafkah dengan melakukan pekerjaan yang secara bebas dipilihnya atau diterimanya dan akan mengambil tindakan-tindakan yang layak dalam melindungi hak ini. Kecuali itu, dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menentukan :setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak (ayat 1). Selain itu ditentukan setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil (ayat 2). Setiap orang baik. pria maupun wanita yang

melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama (ayat 3). Sedangkan ayat 4 menentukan setiap orang baik pria maupun wanita dalam rnelakukan pekerjaan yang sepadan dengan

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 4


martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarga. - Hak mendapat upah yang sama. Untuk menciptakan keadilan, maka perolehan upah antara pria dan wanita diharapkan tidak berbeda dalam hal jenis kelamin dan kualitas pekerjaan yang sama. The Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam pasal 23 ayat (2) menentukan setiap orang dengan tidak ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. Hal yang sama juga diatur secara rinci dalam pasal 7 International Covenant on Economic, Social and Cultural menetukan negara-negara peserta perjanjian mcngakui hak setiap orang akan kenikmatan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang mejamin : a. Pemberian upah bagi semua pekerja, sebagai minimum dengan : 1) Gaji yang adil dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa perbedaan apapun, terutama wanita yang dijamin kondisi kerjanya tidak kurang dan kondisi yang dinikmati oleh pria, dengan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama. 2) Penghidupan yang layak untuk dirinya dan keluarganya sesuai dengan ketentuanketentuan dalam perjanjian. b. Kondisi keja yang aman dan sehat; c. Persamaan kesempatan untuk setiap orang untuk dipromosikan pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, tanpa pertimbangan lain kecuali senioritas dan kecakapan; d. Istirahat, santai dan pembatasan dan jam kerja yang layak dan liburan berkala.dengan upah dan juga upah pada hari libur umum. Hal yang sama dalam hukum positif Indonesia diatur dalam pasal 38 Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. - Hak ikut serta dalam Serikat Buruh. Piagam dalam Dekiarasi Umum Perserikatan Bangsa Bangsa 1948, pada pasal 23 ayat (4) menentukan :setiap orang herhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat kerja untuk melindungi kepentingannya. Pengaturan dala Perjajian International Tahun 1966 tentang HAM ekonomi, sosial dan budaya, pada pasal 8 antara lain menentukan : 1. Negara-negara Peserta Perjanjian berusaha

menjamin : a. hak setiap orang membuat serikat buruh dan menjamin anggota serikat buruh menurut pilihannya, hanya tunduk pada peraturan organisasi yang bersangkutan, demi promosi dan perlindungan bagi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak boleh dikenakan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang diatur dengan undang-undang dan yang diperlukan dalam masyarakat demokrasi bagi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau demi perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain ; b. hak serikat buruh untuk mendirikan federasi atau konfederasi nasional dan hak konfederasi membentuk atau menjadi organisasi senikat buruh internasional; c. hak serikat buruh untuk berperan secara bebas, tanpa pembatasan kecuali yang diatur oleh undang-undang dan yang diperlukan dalam masyarakat demokrasi demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau demi perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain; d. hak mogok, asalkan sesuai dengan hukum dari negara-negara tertentu. 2. Pasal ini tidak mencegah pengenaan pembatasan hukum terhadap pelaksanaan hakhak ini oleh anggota-anggota angkatan bersenjata atau kepolisian atau pementah negara yang bersangkutan. 3. Tidak ada sesuatu dalam pasal ini yang akan memberi wewenang kepada negara negara Peserta pada Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional 1948 tentang kebebasan Perserikatan dan Perlindungan terhadap hak

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 5


berorganisasi guna membuat Undang-undang sedemikian rupa yang akan merugikan, jaminan-jaminan yang ditentukan dalam Konvensi tersebut. Pengaturan yang sama secara yuridis formal juga diakui di Indonesia yaitu melalui Undang-undang HAM pasal 39. Disebutkan, setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (Dikutif dari Johanes Usfunan; 2002 : 11-13) 2. Hak Asasi Manusia di bidang Sosial dan Budaya a. Hak asasi Manusia di bidang Sosial Hak asasi manusia bidang sosial adalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak atas jaminan sosial, hak atas perumahan dan hak

atas pendidikan. Dalam Perubahan UUD 1945 ditentukan sbb.: Pasal 28H ayat (3) Perubahaqn UUD 1945 menentukan :Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermantabat. Pasal 28H ayat (1) Perubahan UUD 1945 menentukan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 31 Perubahan UUD 1945 menentukan tentang pendidikan dan kebudayaan yaitu : Ayat (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan Ayat (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang. Ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan menjungjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. b. Hak Asasi manusia di bidang Budaya Hak asasi manusia dalam bidang budaya dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pasal 28C Perubahan UUD 1945 menentukan bahwa :Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28I ayat (3) Perubahan UUD 1945 menentukan bahwa:Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan

peradaban. Pasal 32 Perubahan UUD 1945 menentukan : Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ayat (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Di dalam Perubahan UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang wajib

Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 6


menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Berangkat dari ketentuan tersebut, maka perlindungan , pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah merupakan tanggung jawab Negara, terutama pemerintah. Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. Maka dalam rangka memenuhi semua itu dikeluarkan antara lain: Perubahan UUD 1945 (Bab XA tentang Hak Asasi Manusia) UU RI NO.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. UU RI NO.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi manusia. Dan peraturan-peraturan lainnya III. PENUTUP 1. KESIMPULAN a. Identifikasi hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya tersebar dibeberapa Pasal dalam Perubahan UUD 1945. b. Hak asasi manusia di bidang ekonomi di atur dalam : Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negaraberhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28D ayat (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. c. Hak asasi manusia di bidang sosial dan budaya di atur dalam : Pasal 28H ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusiayang bermantabat. Pasal 28H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelaayanan kesehatan. Pasal 31 ayat (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negarawajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

Anda mungkin juga menyukai