Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi
Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi
Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi
NOMOR 1059/MENKES/SK/IX/2004
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN IMUNISASI
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Kesatu : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PEDOMAN
PENYELENGGARAAN IMUNISASI.
Ketiga : Tenaga kesehatan dan atau tenaga lainnya yang telah mengikuti
pelatihan serta pengelola program imunisasi dalam melaksanakan
imunisasi agar mengacu pada pedoman sebagaimana dimaksud
dalam Diktum Kedua.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 September 2004
MENTERI KESEHATAN,
I. PENDAHULUAN
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum perlu diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 melalui
Pembangunan Nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Dengan upaya imunisasi pula, kita sudah dapat menekan penyakit polio dan sejak
tahun 1995 tidak ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Hal ini sejalan dengan
upaya global untuk membasmi polio di dunia dengan Program Eradikasi Polio
(ERAPO).
Penyakit lain yang sudah dapat ditekan sehingga perlu ditingkatkan programnya
adalah tetanus maternal dan neonatal serta campak. Untuk tetanus telah
dikembangkan upaya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (MNTE) sedang
terhadap campak dikembangkan upaya Reduksi Campak (RECAM). ERAPO, MNTE
dan RECAM juga merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara
di dunia. Disamping itu, dunia juga menaruh perhatian terhadap mutu pelayanan dan
menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices) yang
dikaitkan dengan pengelolaan limbah tajam yang aman (save waste disposal
management), bagi penerima suntikan, aman bagi petugas serta tidak mencemari
lingkungan.
Walaupun PD3I sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi
dan merata. Kegagalan untuk menjaga tingkat perlindungan yang tinggi dan merata
dapat menimbulkan letusan (KLB) PD3I. Untuk itu, upaya imunisasi perlu disertai
dengan upaya surveilans epidemiologi agar setiap peningkatan kasus penyakit atau
terjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi. Dalam PP Nomor 25 Tahun
2000 kewenangan surveilans epidemiologi, termasuk penanggulangan KLB
merupakan kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk
mencapai tingkat population imunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga
dapat memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tehnologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan harapan dapat
memberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta masyarakat
lainnya.
8. Resolusi WHA 56.20, 28 Mei 2003 tentang Reducing Global Measles Mortality,
mendesak negara -negara anggota untuk melaksanakan The WHO-UNICEF
Strategic Plan for Measles Mortality Reduction 2001-2005 di negara-negara
dengan angka kematian campak tinggi sebagai bagian EPI;
9. Cape Town Measles Declaration, 17 Oktober 2003, menekankan pentingnya
melaksanakan tujuan dari United Nation General Assembly Special Session
(UNGASS) tahun 2002 dan World Health Assembly (WHA) tahun 2003 untuk
menurunkan kematian akibat campak menjadi 50 % pada akhir tahun 2005
dibandingkan keadaan pada tahun 1999; dan mencapai target The United
Millenium Development Goal untuk mereduksi kematian campak pada anak usia
kurang dari 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun 2015 serta mendukung The
WHO/UNICEF Global Strategic Plan for Measles Mortality Reduction and
Regional Elimination 2001-2005;
10. Pertemuan The Ninth Technical Consultative Group on Polio Eradication and
Polio Eradication and Vaccine Preventable Diseases in South-East Asia Region
tahun 2003 untuk menyempurnakan proses sertifikasi eradikasi polio, reduksi
kematian akibat campak menjadi 50% dan eliminasi tetanus neonatal, cakupan
DPT3 80% di semua negara dan semua kabupaten, mengembangkan strategi
untuk Safe Injections and Waste Disposal di semua negara serta memasukkan
vaksin hepatitis B di dalam Program Imunisasi di semua negara;
11. WHO-UNICEF tahun 2003 tentang Joint Statement on Effective Vaccine Store
Management Initiative.
A. Tujuan Umum
Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi akibat Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
B. Tujuan Khusus
C. Sasaran
b. Imunisasi Tambahan
? Bayi dan anak
b. Imunisasi Lanjutan
? Anak usia sekolah dasar
? Wanita usia subur
Sasaran Wilayah/Lokasi
? Seluruh desa/kelurahan di wilayah Indonesia.
III. PENGERTIAN UMUM
4. Bulan Imunisasi Anak Sekolah yang selanjutnya disebut BIAS adalah bentuk
operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah yang dilaksanakan pada
bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran semua anak kelas 1, 2 dan 3 di
seluruh Indonesia.
8. Vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat dari kuman, komponen kuman,
atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan dan berguna untuk
merangsang kekebalan tubuh seseorang.
10. Standarisasi dan spesifikasi peralatan imunisasi dan vaksin adalah suatu
persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam penyediaan peralatan imunisasi
dan vaksin untuk mencegah kerugian dan atau gangguan kesehatan bagi
masyarakat sasaran imunisasi.
11. Rantai vaksin adalah pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga
vaksin tersimpan pada suhu dan kondisi yang telah ditetapkan.
12. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, yang di duga
ada hubungannya dengan pemberian imunisasi.
13. Tenaga pelaksana adalah petugas atau pengelola yang telah memenuhi standar
kualifikasi sebagai tenaga pelaksana di setiap tingkatan dan telah mendapat
pelatihan sesuai dengan tugasnya.
A. Kebijakan
B. Strategi
A. Imunisasi Rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus
menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan.
Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi:
1. Imunisasi rutin pada bayi.
2. Imunisasi rutin pada wanita usia subur.
3. Imunisasi rutin pada anak sekolah.
B. Imunisasi Tambahan
1. Backlog Fighting
Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak
yang berumur 1 - 3 tahun pada desa non UCI setiap 2 (dua) tahun sekali.
2. Crash Program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat
karena masalah khusus seperti :
- Angka kematian bayi tinggi, angka PD3I tinggi.
- Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang.
- Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum
mendapatkan pada saat imunisasi rutin.
Karena biasanya kegiatan ini menggunakan biaya dan tenaga yang banyak
serta waktu yang relatif panjang, maka perlu diikuti pemantauan, supervisi
dan evaluasi. Indikatornya perlu ditetapkan misalnya cakupan DPT-1 dan
DPT-3/Campak untuk indikator pemantauan cakupan dan angka morbiditas
dan atau angka mortalitas untuk indikator penilaian dampak (evaluasi). Hasil
sebelum dan sesudah crash program menunjukkan keberhasilan program
tersebut. Hasil evaluasi ini akan menentukan bentuk follow up dari kegiatan
ini.
b. Sub PIN
Merupakan suatu upaya untuk memutuskan rantai penularan polio bila
ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas (kabupaten) dengan
pemberian dua kali imunisasi polio dalam interval satu bulan secara
serentak pada seluruh sasaran berumur kurang dari satu tahun.
A. Penyusunan Perencanaan
Analisa Situasi
Untuk menunjang analisa situasi diperlukan data yang lengkap mengenai :
- Peta wilayah dengan jumlah penduduk/sasaran.
- Data wilayah, jumlah tenaga, jumlah peralatan imunisasi, unit pelayanan
imunisasi yang ada.
- Data kesakitan & kematian.
- Hasil analisa PWS , hasil evaluasi.
Dari data di atas ditetapkan masalah, faktor penyebab serta potensi yang
dimiliki. Pikirkan alternatif pemecahan masalahnya dan usahakan untuk
mengkuantifikasikannya ke dalam % cakupan.
Menghitung Target
Aksesibilitas/Jangkauan Program (Cakupan DPT-1)
Kelompokkan Wilayah kerja dalam 3 kelompok:
a. Wilayah I, adalah wilayah yang dapat dijangkau pelayanan imunisasi
secara teratur,minimal 4 kali dalam setahun.
b. Wilayah II, adalah wilayah yang dapat dijangkau pelayanan imunisasi
namun kurang dari 4 kali setahun atau tidak teratur.
c. Wilayah III, adalah wilayah yang tidak terjangkau pelayanan imunisasi.
1. Persiapan Petugas
Kegiatan ini meliputi :
a. Inventarisasi sasaran;
b. Persiapan vaksin dan peralatan rantai vaksin; dan
c. Persiapan ADS dan safety box.
a. Inventarisasi Sasaran
Kegiatan ini dilakukan di tingkat Puskesmas dengan mencatat :
- Daftar bayi dan ibu hamil/WUS dilakukan oleh kader, dukun terlatih,
petugas KB, bidan di desa.
Sumber : Kelurahan, form registrasi bayi/ibu hamil, PKK.
2. Persiapan Masyarakat
Untuk mensukseskan pelayanan imunisasi, persiapan dan penggerakkan
masyarakat mutlak harus dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dengan
melakukan kerjasama lintas program, lintas sektoral, organisasi profesi, LSM
dan petugas masyarakat/kader.
3. Pemberian Pelayanan Imunisasi
Kegiatan pelayanan imunisasi terdiri dari kegiatan imunisasi rutin dan
tambahan. Dengan semakin mantapnya unit pelayanan imunisasi, maka
proporsi kegiatan imunisasi tambahan semakin kecil.
Kelas 2 TT 0,5 cc
Kelas 3 TT 0,5 cc
Sehat Sakit
4. Koordinasi
Semua vaksin akan rusak bila terpapar suhu panas. Namun vaksin Polio,
Campak dan BCG akan lebih cepat rusak pada paparan panas dibandingkan
vaksin Hepatitis B, DPT, TT dan DT. Sebaliknya vaksin Hepatitis B, DPT, TT
dan DT akan rusak bila terpapar dengan suhu beku.
a. Pengadaan
Pengadaan vaksin untuk program imunisasi dilakukan oleh Ditjen. PPM &
PL dari sumber APBN dan BLN (Bantuan Luar Negeri). Pelaksanaan
pengadaan vaksin dilakukan melalui kontrak pembelian pada PT. Bio
Farma sebagai produsen vaksin satu-satunya di Indonesia.Vaksin yang
berasal dari luar negeri pada umumnya diterima di Indonesia apabila ada
kegiatan khusus (seperti Catch Up Campaign Campak) dan vaksin
tersebut telah lolos uji dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM).
b. Penyimpanan
Setiap unit dianjurkan untuk menyimpan vaksin tidak lebih dari stok
maksimalnya, untuk menghindari terjadinya penumpukan vaksin.
Bila frekuensi distribusi vaksin ke provinsi 1 (satu) kali setiap 3 (tiga) bulan,
maka stok maksimal vaksin di provinsi adalah kebutuhan vaksin untuk 4
(empat) bulan. Bila frekuensi pengambilan vaksin ke provinsi 1 (satu) kali
perbulan maka stok minimal di kabupaten adalah 1 (satu) bulan dan stok
maksimal adalah 3 (tiga) bulan, dan bila frekuensi pengambilan vaksin ke
kabupaten 1 (satu) kali per bulan maka stok maksimal di Puskesmas 1
(satu) bulan 1 (satu) minggu. Lihat bagan distribusi vaksin.
Bagan 2. Distribusi Vaksin
Provinsi
Stok:3 Bulan + Cadangan 1 Bulan
PENGAMBILAN
SETIAP 1 BULAN
Kabupaten
Stok:2 Bulan + Cadangan 1 Bulan
PENGAMBILAN
SETIAP 1 BULAN
Puskesmas
Stok:1 Bulan + Cadangan 1 Minggu
Vaksin yang berasal dari virus hidup (polio, campak) pada pedoman sebelumnya harus
disimpan pada suhu dibawah OoC. Dalam perkembangan selanjut, hanya
vaksin Polio yang masih memerlukan suhu dibawah OoC di provinsi dan
kabupaten/kota, sedangkan vaksin campak lebih baik disimpan di
refrigerator pada suhu 2 – 8oC. Adapun vaksin lainnya harus disimpan
pada suhu 2 – 8oC. Vaksin Hepatitis B, DPT, TT dan DT tidak boleh
terpapar pada suhu beku karena vaksin akan rusak akibat meningkatnya
konsentrasi zat pengawet yang merusak antigen. Di Puskesmas yang
mempunyai freezer pembuat cold pack, bagian freezer dari lemari es tidak
dipakai untuk menyimpan vaksin.
c. Distribusi
Pengertian distribusi disini adalah transportasi atau pengiriman vaksin dari
Pusat/Bio Farma ke provinsi, dari provinsi ke kabupaten/kota, dari
kabupaten/kota ke Puskesmas dan dari Puskesmas ke bidan di desa atau
posyandu.
d. Pemakaian
Dalam mengambil vaksin untuk pelayanan imunisasi, prinsip yang dipakai
saat ini, “early expired first out/EEFO” (dikeluarkan berdasarkan tanggal
kedaluarsa yang lebih dulu).
Namun dengan adanya VVM (vaccine vial monitor) maka ketentuan EEFO
tersebut menjadi pertimbangan kedua. VVM sangat membantu petugas
dalam manajemen stok vaksin secara cepat dengan melihat perubahan
warna pada indikator yang ada.
Vaksin yang dipakai haruslah vaksin yang poten dan aman. Sisa vaksin
yang sudah dibawa ke lapangan namun belum dibuka harus segera
dipakai pada pelayanan berikutnya, sedang yang sudah dibuka harus
dibuang. Sebelum dibuang periksa dulu apakah di antara pengunjung
diluar umur sasaran ada yang perlu dilengkapi imunisasinya dan ada yang
perlu mendapat booster. Namun hasil imunisasi ini jangan dilaporkan,
cukup dicatat dalam buku bantu.
Vaksin yang dipakai di unit pelayanan statis atau di dalam gedung (RS,
Puskesmas, BKIA, praktek swasta) dapat digunakan kembali setelah vial
dibuka dengan ketentuan sebagaimana tabel dibawah ini :
a. Dasar Pemikiran
- Hasil penelitian menunjukkan 45 - 50% praktek penyuntikan dalam
program imunisasi serta pembuangan alat suntik bekas pakai sebagai
tidak aman.
- Statement WHO/UNICEF/UNFPA Tahun 1997; hanya menggunakan
autodisable syringes (ADS) untuk setiap suntikan dalam program
imunisasi.
- Tersedianya bantuan dari GAVI untuk penyediaan ADS serta safety box
bagi program imunisasi di Indonesia selama 3 tahun.
b. Tujuan
Penyuntikan dan penanganan limbah alat suntik dalam Program Imunisasi
memenuhi standar “safe injection practices and safe waste disposal
management”.
c. Kegiatan
1) Penyediaan ADS serta safety box sesuai kebutuhan.
2) Pelatihan petugas serta supervisi.
3) Sosialisasi melalui LSM maupun media komunikasi.
4) Pemetaan sistem penanganan limbah.
5) Penyediaan peralatan penanganan limbah sesuai hasil pemetaan.
6) Pembentukan Komite Penanganan Limbah Medis, untuk memberikan
rekomendasi kepada pimpinan untuk mengatur kebijakan dan peraturan
perundangan.
1. Standar Tenaga
a. Tenaga Pelaksana di Tingkat Puskesmas
Petugas Imunisasi
- Kualifikasi : Tenaga perawat atau bidan yang telah mengikuti pelatihan
untuk tenaga petugas imunisasi.
- Tugas : memberikan pelayanan imunisasi dan penyuluhan.
? Kualifikasi :
Seorang tenaga dengan pendidikan minimal kelulusan D-3 Kesehatan
dan telah mendapat latihan pengelola program imunisasi.
? Tanggung jawab :
I. Pengelola program imunisasi bertanggung jawab terhadap
perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program imunisasi.
J. Untuk melaksanakan pencatatan dan pelaporan cakupan, kasus
PD3I serta kasus KIPI dapat ditunjuk seorang tenaga yang telah
dilatih atau dapat dirangkap oleh pengelola imunisasi.
2. Pelatihan Teknis
Kegiatan imunisasi hanya dapat dilaksanakan oleh petugas imunisasi yang
mempunyai latar belakang pendidikan medis atau keperawatan atau petugas
lain yang kompeten.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan/atau keterampila n pelatih dan petugas
imunisasi perlu dilakukan pelatihan. Terhadap pelatih dan petugas imunisasi
yang telah mengikuti pelatihan diberikan tanda bukti pelatihan berupa
sertifikat pelatihan. Pelatihan bagi pelatih dan petugas imunisasi harus
dilaksanakan sesuai dengan modul latihan petugas imunisasi.
Pelatihan bagi pelatih dan petugas imunisasi dapat diselenggarakan oleh
departemen, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan/atau
lembaga swasta. Departemen menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih
petugas imunisasi secara nasional. Pemerintah provinsi atau dinas yang
ditunjuk, menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih dan petugas imunisasi
kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota atau dinas yang ditunjuk, menyelenggarakan
pelatihan bagi petugas imunisasi kabupaten/kota dan kecamatan. Lembaga
swasta dapat menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih dan petugas imunisasi
kabupaten/kota dan kecamatan.
Lembaga swasta yang dapat menyelenggarakan pelatihan bagi pelatih dan
petugas imunisasi harus terakreditasi oleh departemen dan/atau dinas sesuai
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Pelatihan teknis diberikan kepada petugas imunisasi di Puskesmas, rumah
sakit dan tempat pelayanan lain, petugas cold chain di semua tingkat.
Pelatihan manajerial diberikan kepada para pengelola imunisasi dan
supervisor di semua tingkat.
1. Pencatatan
Untuk masing-masing tingkat administrasi perla diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Tingkat Desa
a) Sasaran Imunisasi
Pencatatan bayi dan ibu hamil untuk persiapan pelayanan imunisasi.
Petugas mengkompilasikan data tersebut ke dalam Buku Pencatatan
Hasil Imunisasi bayi dan ibu.
b) Hasil Cakupan Imunisasi
Pencatatan hasil imunisasi untuk bayi (BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B) dibuat
oleh petugas imunisasi di buku kuning. Satu buku biasanya untuk 1
desa. Untuk masing -masing bayi, imunisasi yang diberikan pada hari
itu dicatat di KMS.
Pencatatan Hasil Imunisasi TT untuk WUS termasuk ibu hamil dan
calon pengantin dibuat buku catatan imunisasi WUS untuk masing-
masing Ibu hamil dicatat di buku KIA/buku kohort ibu.
Untuk anak sekolah, imunisasi DT, campak atau TT yang diberikan
dicatat pada buku catatan khusus, 1 kopi diberikan kepada sekolah.
Untuk masing -masing anak sekolah, diberikan kartu TT seumur hidup
yang berisi catatan pemberian tetanus toxoid. Bila saat bayi terbukti
pernah mendapat DPT, maka dimulai dari DPT2 dapat dicatat sebagai
TT1 dan DPT3 sebagai TT2 pada kartu TT seumur hidup, sehingga
pemberian DT/TT di sekolah dicatat sebagai TT3. Bila tidak terbukti
pernah mendapat suntikan DPT maka DT dicatat sebagai TT1.
b. Tingkat Puskesmas
a) Hasil Cakupan Imunisasi
? Hasil kegiatan imunisasi di lapangan (buku kuning dan merah)
ditambah laporan dari Puskesmas pembantu di rekap di buku
pencatatan imunisasi Puskesmas (buku biru).
? Hasil imunisasi anak sekolah di rekap di Buku Hasil Imunisasi Anak
Sekolah.
? Hasil kegiatan imunisasi di komponen statik dicatat untuk sementara di Buku
Bantu, pada akhir bulan di rekap ke buku kuning atau merah sesuai
dengan desa asal sasaran.
? Laporan hasil imunisasi di balai pengobatan swasta dicatat di buku
biru dari bulan yang sesuai.
? Setiap catatan dari buku biru ini dibuat rangkap dua. Lembar ke 2
dibawa ke kabupaten sewaktu mengambil vaksin/konsultasi.
? Dalam menghitung persen cakupan, yang dihitung ha nya
pemberian imunisasi pada kelompok sasaran dan periode yang
dipakai adalah tahun anggaran mulai dari 1 Januari sampai dengan
31 Desember pada tahun tersebut
b) Pencatatan Vaksin
Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah nomor batch dan
tanggal kedaluarsa harus dicatat dalam kartu stok. Sisa atau stok
vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan
pengeluaran vaksin. Masing -masing jenis vaksin mempunyai kartu stok
tersendiri. Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan
mengeluarkan vaksin juga perlu dicatat di SBBK (Surat Bukti Barang
Keluar).
c) Pencatatan Suhu Lemari Es
Temperatur lemari es yang terbaca pada termometer yang diletakkan
ditempat yang seharusnya harus dicatat dua kali sehari yaitu pagi
waktu datang dan sore sebelum pulang. Pencatatan harus dilakukan
dengan upaya perbaikan:
? Bila suhu tercatat dibawah 20C, harus mencurigai vaksin DPT, DT
dan TT telah beku. Lakukan uji kocok, jangan gunakan vaksin yang
rusak dan buatlah catatan pada kartu stok vaksin.
? Bila suhu tercatat diatas 80C, segera pindahkan vaksin ke cold box,
vaccine carrier atau termos yang berisi cukup cold pack (kotak
dingin beku). Bila perbaikan lemari es lebih dari 2 hari, vaksin harus
dititipkan di Puskesmas terdekat atau kabupaten. Vaksin yang telah
kontak dengan suhu kamar lebih dari periode waktu tertentu, harus
dibuang setelah dicatat di kartu stok vaksin.
c. Tingkat Kabupaten
a) Hasil cakupan imunisasi
Kompilasi laporan hasil imunisasi dari semua Puskesmas dan RSU
Kabupaten maupun RS swasta dilakukan setiap bulan dan dicatat di
buku hasil imunisasi kabupaten. Setiap catatan dari buku ini dibuat
dalam rangkap dua. Lembar ke 2 di bawa ke provinsi pada waktu
mengambil vaksin/konsultasi.
b) Pencatatan vaksin
Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah, nomor batch dan
tanggal kedaluarsa harus dicatat dalam kartu stok. Sisa atau stok
vaksin harus dihitung pada setiap kali penerimaan atau pengeluaran
vaksin. Masing-masing jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri.
Selain itu kondisi VVM sewaktu menerima dan mengirimkan vaksin ke
kabupaten juga perlu dicatat pada buku stok & SBBK (Surat Bukti
Barang Keluar).
c) Pencatatan barang imunisasi
Keluar masuknya barang termasuk vaksin harus dicatat di buku umum.
Nomor batch untuk vaksin, serta nomor seri untuk sarana cold chain
(lemari es, freezer, vaccine carrier) harus dicatat dalam kolom
keterangan. Untuk peralatan habis pakai seperti ADS perlu juga dicatat
nomor seri/lot masa kadaluarsa, jumlah dan merk, safety box cukup
dicatat jumlah dan jenisnya.
d. Tingkat Provinsi
2. Pelaporan
Pelaporan dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan imunisasi,
mulai dari Puskesmas pembantu, Puskesmas, rumah sakit umum, balai
imunisasi swasta, rumah sakit swasta, rumah bersalin swasta kepada
pengelola program di tingkat administrasi yang sesuai. Unit yang di bawah
melaporkan hasil rangkapnya ke unit yang diatasnya. Lihat skema pelaporan
dibawah ini.
SUBDIT IMUNISASI
DIT JEN PPM & PL
JAKARTA 1 X /bulan selambat-
lambatnya tgl 15
DINAS tembusan
KESEHATAN
PROVINSI 1 x / bulan selambat-
lambatnya tgl 10
DINAS KESEHATAN tembusan
KABUPATEN/KOTA
1 x / bulan selambat-
PUSKESMAS lambatnya tgl 5
- Cakupan Imunisasi
Dalam melaporkan cakupan imunisasi, harus dipisahkan pemberian
imunisasi terhadap kelompok diluar umur sasaran. Pemisahan ini
sebenarnya sudah dilakukan mulai saat pencatatan, supaya tidak
mengacaukan perhitungan persen cakupan.
Tingginya cakupan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan akhir program
imunisasi yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian terhadap PD3I.
Cakupan yang tinggi harus disertai dengan mutu program yang tinggi pula. Untuk
meningkatkan mutu program pembinaan dari atas (supervisi) sangat diperlukan.
1. Pengolahan PWS.
2. Analisa dan tindak lanjut PWS.
3. Pencatatan dan pelaporan.
4. Cold Chain dan logistik.
5. Peralatan dan pelayanan imunisasi .
6. Tindak lanjut dan pemantauan dampak program Imunisasi.
7. Kemitraan.
Grafik 1 dan 2 menunjukkan analisa hasil supervisi check list PWS di tingkat Provinsi.
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Y
u
ar
bi
el
ar
t
Ria
mu
DI
ceh
g
Jam
ulu
mb
ms
Jab
un
Su
I. A
ngk
mp
Su
Su
Be
La
D.
B
l
li
lut
lse
g
Ba
NT
g
en
Su
L
Ja
lten
Su
NA
Jat
Ka
SIO
NA
Pengelolaan PWS Analisis & TL CC & Log Dampak Prog.Imn.
Seorang supervisor harus memahami juklak dan juknis dengan baik. Supervisor dapat
berasal dari pusat, provinsi atau kabupaten. Penanggung jawab Puskesmas yang
disupervisi harus mendapat atau mengetahui hasil supervisi di Puskesmasnya,
sehingga bila ditemukan masalah yang dapat langsung dipecahkan ditempat dan
segera dapat ditindak lanjuti.
A. Pemantauan/Monitoring
Prinsip PWS :
1) Memanfaatkan data yang ada : dari cakupan/laporan cakupan imunisasi.
2) Menggunakan indikator sederhana : tidak terlalu banyak.
Indikator PWS, untuk masing-masing antigen :
? DPT-1 : Jangkauan/aksesibilitas pelayanan
? Hepatitis B 1 < 7 hari : Jangkauan/a ksesibilitas pelayanan
? Campak : Tingkat perlindungan (efektifitas program)
? Polio-4 : Tingkat perlindungan (efektifitas program)
? Drop out DPT-1 – Campak : Efisiensi/manajemen program
3) Dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan setempat.
4) Teratur dan tepat waktu : setiap bulan
Teratur untuk menghindari hilangnya informasi penting.
Tepat waktu agar tidak terlambat dalam mengambil keputusan.
5) Lebih dimanfaatkan sendiri atau sebagai umpan balik untuk dapat
mengambil tindakan daripada hanya dikirimkan sebagai laporan.
6) Membuat grafik yang jelas dan menarik untuk masing-masing indikator
diatas, untuk memudahkan analisa.
% Bulan ini 9.4 7.6 6 6.4 10.5 9.8 3.7 12.1 8.6 5.7 8.0
% Bulan Lalu 7.6 3.6 15 7.1 13.3 7.6 5.1 11.1 5.9 4.2 5.7
Trend
DESA A B C D E F G H I J Puskesmas
B. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila
dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan
evaluasi dilakukan secara berkala dalam program imunisasi. Berdasarkan
sumber data, ada dua macam evaluasi :
Flacon
Bulan J F M A M J J A S O N D
Grafik melihat hubungan antara stok vaksin pada satu titik waktu terhadap
stok minimal dan maksimal. Kesiapan penyediaan vaksin ditunjukkan
dengan garis stok selalu diatas stok minimal (sebelum pengambilan
vaksin) dan diatas garis stok maksimal, dapat berarti unit pelayanan
mengalami masalah dalam penyerapan vaksin melalui kegiatan
operasionalnya atau dalam membuat perencanaan kebutuhan vaksin.
12
10
Diatas 8/VIAL
8
Dosis per vial
Dibawah8/VIAL
6
0
.Y
AR
EL
EL
IND NTB
AR
TIM
T
T
T
U
A
LI
EL
AR
IM
KU
BI
IA
EH
TIM
NG
G
MU
LU
NT
RIA
PU
BA
D.I
LTR
JAM
EN
LS
MS
UN
ES
MB
NG
JAB
LS
LT
RT
LB
LU
.AC
LTE
JA
SU
PA
SU
SU
TIM
JAT
ON
KA
MP
LTE
SU
KA
SU
KA
KA
MA
SU
D.I
KA
LA
IJA
SU
LU
DK
KU
NG
BE
c. Suhu Lemari Es
Pencatatan suhu lemari es atau freezer dilakukan setiap hari pada grafik
suhu yang tersedia untuk masing-masing unit. Dengan menambah catatan
saat terjadinya peristiwa penting pada grafik tersebut, seperti sweeping,
KLB, KIPI, penggantian suku cadang, grafik suhu ini akan menjadi sumber
informasi penting.
Grafik 6. Contoh Grafik Suhu Lemari Es Puskesmas
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
O
C P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S P S
.+16
.+15 GANTI SPARE PART
.+14
.+13
.+12
.+11
.+10
.+9
.+8 SAFARI KB-KES
.+7
Daerah
.+6
.+5 suhu yang
.+4
.+3 tepat
.+2
.+1
0
.-1
.-2
.-3
.-4
.-5
v
FW.
FT.
v v v v v v v v v v v v v v V
VVM
A: A A A A
A A Bulan
A A: A A A A A A A A A Catatan
A :A A A A A A A A A A A
Propinsi
Kabupaten. : Tahun :
Indikator VVM memakai vaksin polio (HS)
Puskesmas : Penanggung jawab
100
90
80
% 70
60
50
40
30
20
10
0
2000 2001 2002 2003
Cakupan Campak
60
50
40
30
20
10
0
des
asta
andu
asta
asta
intah
bantu
s
kter
esma
Polin
k Sw
an Sw
RS. W
ek Do
Posy
emer
.Pem
Pusk
Klini
RS.P
Prakt
k Bid
Pusk
Klini
Frekuensi
X. PENUTUP
Hal-hal yang bersifat teknis operasional yang belum diatur di dalam Keputusan ini
akan ditetapkan lebih lanjut.
MENTERI KESEHATAN,