Juknis Pelaksanaan BIAN 2022

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 82

PETUNJUK TEKNIS

BULAN IMUNISASI ANAK NASIONAL


(BIAN)
Pelaksanaan BIAN dalam Rangka Melindungi Anak Indonesia
dari Penyakit-penyakit yang dapat Dicegah
dengan Imunisasi

DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2022
-1-
-2-

d. bahwa dalam rangka melaksanakan Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1113/2022
tentang Penyelenggaraan Bulan Imunisasi Anak Nasional
Tahun 2022, perlu menyusun ketentuan mengenai tata
cara penyelenggaraan Bulan Imunisasi Anak Nasional
Tahun 2022;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d,
perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tentang Petunjuk
Teknis Penyelenggaraan Bulan Imunisasi Anak Nasional;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);

-2-
-3-

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 193);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 559);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014
tentang Upaya Kesehatan Anak (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 825);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014
tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
156);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT TENTANG PETUNJUK TEKNIS
PENYELENGGARAAN BULAN IMUNISASI ANAK NASIONAL.
KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bulan
Imunisasi Anak Nasional yang selanjutnya disebut petunjuk
teknis sebagaimana tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur
Jenderal ini.

-3-
-4-
BAB 1
PENDAHULUAN

-5-
-6-

Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia telah berkomitmen


untuk mencapai target/goal global seperti mencapai eliminasi campak-
rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) pada tahun 2023 serta
mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan mewujudkan Dunia Bebas
Polio pada tahun 2026.
Upaya penting dalam mencapai eliminasi campak-rubela/CRS, selain
penguatan imunisasi rutin tentunya, adalah dengan melaksanakan
pemberian imunisasi tambahan campak-rubela yang sifatnya massal dan
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya bagi sasaran prioritas
yang telah ditetapkan. Begitu juga dengan pencapaian eradikasi polio
global, dibutuhkan upaya imunisasi kejar IPV1 untuk menutup
kesenjangan imunitas dan memastikan anak-anak terlindungi dari virus
polio tipe 2. Selain itu, Indonesia juga perlu melakukan langkah yang serius
untuk menekan KLB PD3I yang saat ini telah mulai terjadi di masyarakat
agar tidak menjadi masalah baru di tengah-tengah pandemi yang belum
juga berakhir.
Sehubungan dengan hal itu, dibutuhkan suatu upaya kolaboratif
terintegrasi yang dapat mengharmoniskan kegiatan imunisasi tambahan
dan imunisasi kejar guna menutup kesenjangan imunitas di masyarakat.
Upaya tersebut dilaksanakan melalui kegiatan yang dinamakan Bulan
Imunisasi Anak Nasional.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bulan Imunisasi Anak
Nasional meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Monitoring dan evaluasi

C. Sasaran
Sasaran Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bulan Imunisasi Anak Nasional
adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, meliputi para pengambil
kebijakan, pengelola program dan logistik imunisasi, serta tenaga
kesehatan lainnya di Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Puskesmas;

-6-
-7-

2. Tenaga kesehatan di puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan


kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan imunisasi baik milik
pemerintah maupun swasta; dan
3. Pemangku kepentingan terkait.

D. Pengertian
1. Imunisasi Tambahan adalah jenis Imunisasi tertentu yang diberikan
pada kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena penyakit
sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
2. Imunisasi Kejar adalah kegiatan memberikan imunisasi kepada anak
yang belum menerima dosis vaksin sesuai usia yang ditentukan pada
jadwal imunisasi nasional.
3. Bulan Imunisasi Anak Nasional atau disingkat BIAN adalah upaya
pemberian imunisasi yang dilaksanakan secara terintegrasi yang
meliputi dua (2) kegiatan sebagai berikut:
a. kegiatan imunisasi tambahan berupa pemberian satu dosis
imunisasi campak-rubela secara massal tanpa memandang status
imunisasi sebelumnya kepada sasaran sesuai dengan rekomendasi
usia yang ditetapkan untuk masing-masing wilayah, dan
b. kegiatan imunisasi kejar berupa pemberian satu atau lebih jenis
imunisasi untuk melengkapi status imunisasi anak usia 12 sampai
dengan 59 bulan

-7-
-8-

BAB
BAB II
II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi dan Gambaran Klinis


1. Campak
Campak merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang
disebabkan oleh Morbilivirus. Diperkirakan pada tahun 2018, lebih dari
140.000 kematian akibat campak terjadi terutama pada anak berusia
kurang dari 5 tahun. Pada tahun 2020, total 93,913 kasus campak
dilaporkan di dunia, dengan 10 negara yang melaporkan kasus
terbanyak adalah Nigeria, Brazil, India, Kongo, Yaman, Somalia,
Pakistan, Uzbekistan, Burundi dan Tanzania.
Campak termasuk penyakit yang menular melalui percikan ludah
dengan gejala demam, ruam makulopapular dan gejala lain seperti
batuk, pilek dan/atau konjungtivitis. Campak dapat menyebabkan
immune amnesia yang akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
yang membuat penderita rentan untuk terkena penyakit lain seperti
pneumonia, diare dan radang selaput otak.
2. Rubela
Rubela adalah penyakit yang disebabkan oleh virus rubela. Virus ini
menular melalui percikan ludah yang ditandai dengan gejala awal
seperti demam ringan, ruam makulopapular dan pembengkakan pada
kelenjar limfe didaerah leher dan belakang telinga. Virus rubela jika
menular pada ibu hamil terutama trimester pertama dapat menembus
sawar plasenta dan menginfeksi janin sehingga menyebabkan abortus,
lahir mati atau cacat berat kongenital (birth defects) yang dikenal
sebagai penyakit Congenital Rubella Syndrome (CRS).
Pada tahun 2020, sebanyak 7.420 kasus Rubela dilaporkan secara
global. 10 negara yang melaporkan kasus terbanyak adalah India,
Tiongkok, Kongo, Nigeria, Sudan, Yaman, Malaysia, Filipina, Indonesia
dan Pakistan.

-8-
-9-

3. Difteri
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri difteri yang
memunculkan gejala utama seperti demam dan nyeri tenggorokan yang
disertai adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas,
mudah berdarah apabila disentuh atau dilakukan manipulasi pada
area tenggorokan. Penyakit ini dapat menyebabkan beberapa
komplikasi seperti gagal jantung dan gangguan ginjal sehingga memiliki
tingkat kematian yang tinggi. Pada tahun 2017, WHO melaporkan
sebanyak 8.819 kasus difteri terjadi di dunia dengan hampir 90%
terjadi di regional Asia Tenggara. India, Nepal dan Indonesia
menyumbangkan sekitar 96-99% kasus difteri di Asia Tenggara.
4. Polio
Polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio. Virus
ini jika menyerang sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan
anggota gerak dan/atau kelumpuhan otot pernafasan. Kasus polio yang
diakibatkan oleh virus polio liar sudah turun lebih dari 99% sejak tahun
1988 yaitu dari sekitar 350.000 kasus pertahun menjadi sekitar 33
kasus pertahun di tahun 2018. Pakistan dan Afghanistan menjadi
negara yang masih endemis untuk polio liar hingga saat ini. Eradikasi
polio ditargetkan untuk dapat tercapai di tahun 2026.
5. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi bakteri Bordetella
pertusis yang menyerang sistem pernafasan. Penyakit ini menular
melalui percikan ludah dan biasanya diawali dengan gejala demam,
batuk dan pilek. Penyakit ini sangat berbahaya terutama jika
menginfeksi bayi, yang dapat menyebabkan kematian. Pada tahun
2018 diperkirakan terdapat lebih dari 151.000 kasus pertusis di tingkat
global. Jumlah ini sudah sangat jauh berkurang dengan adanya
program imunisasi, dimana di tahun 2018 terdapat 129 negara yang
telah mencapai cakupan vaksinasi DPT3 sebesar 90%.

-9-
-10-

6. Tetanus Neonatorum
Tetanus merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh spora bakteri
Clostridium tetani. Jika mengenai bayi berusia <28 hari maka disebut
sebagai tetanus neonatorum. Gejalanya berupa spasme otot, kejang,
kesulitan dalam menelan dan bernafas. Diperkirakan 34.000 bayi
meninggal akibat tetanus di tahun 2015. Jumlah ini sudah sangat jauh
berkurang sebesar 96% dibandingkan jumlah kasus pada tahun 1988
terutama setelah dilakukannya perbaikan program imunisasi dan
persalinan yang bersih dan aman di negara-negara berkembang.

B. Situasi Penyakit –penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) Di


Indonesia
Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat global, telah berkomitmen
untuk mendukung agenda-agenda pengendalian penyakit global seperti
eradikasi polio, eliminasi campak-rubela/CRS, eliminasi hepatitis B,
pengendalian difteri, penurunan insidensi penyakit tuberkulosis dan
eliminasi tetanus maternal dan neonatal. Penyakit-penyakit tersebut
masuk dalam kategori penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I). Sistem surveilans untuk penyakit tersebut telah dilakukan dan
berkembang dengan dukungan laboratorium rujukan sebagai salah satu
komponen utama.

Campak dan rubela adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus yang
dapat menyebabkan kematian dan juga kecacatan yang disebut sebagai
Congenital Rubella Syndrome (CRS). Eliminasi campak-rubela ditargetkan
dicapai tahun 2023. Saat ini, di tingkat global, Indonesia masih masuk
dalam kategori endemis untuk campak dan rubella. Pada tahun 2021,
tercatat 132 kasus campak konfirmasi laboratorium terdapat di 71
Kab/Kota, 25 Provinsi, dan 267 kasus rubela konfirmasi laboratorium
terdapat di 84 Kab/Kota di 25 Provinsi. Kejadian Luar Biasa (KLB)
dilaporkan dibeberapa wilayah seperti di Maluku Utara, Papua, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Di awal tahun KLB juga
sudah dilaporkan di Aceh, Jawa Timur, Maluku, Sumatera Barat, dan
Sumatera Utara. Hal ini tentu sebagai salah satu dampak dari penurunan
cakupan imunisasi selama masa pandemi.

-10-
-11-

Pada tahun 2014, bersama dengan negara-negara lain di regional Asia


Tenggara, Indonesia memperoleh status bebas polio. Dan saat ini, sebagai
bagian dari masyarakat global, Indonesia berkomitmen untuk mencapai
status eradikasi polio di tahun 2026. Pada tahun 2019, terjadi KLB Polio
cVDPV-1 di Provinsi Papua yang mengharuskan dilakukannya Sub-Pekan
Imunisasi Nasional (Sub-PIN) sebanyak 2 putaran pada anak usia dibawah
15 tahun di Provinsi Papua dan Papua Barat. Risiko tidak hanya muncul
dari dalam negeri, tetapi juga risiko importasi dari negara lain yang
mengalami KLB seperti di Malaysia dan Filipina. Penurunan cakupan
imunisasi polio dan performa surveilans Lumpuh Layuh Akut
menyebabkan peningkatan risiko yang ditunjukkan dengan 28 provinsi
masuk kriteria daerah risiko tinggi untuk penularan penyakit polio.
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae yang memiliki angka kematian tinggi jika tidak ditangani secara
cepat. Indonesia saat ini masih termasuk negara endemis untuk difteri dan
menjadi penyumbang kasus difteri terbanyak bersama dengan India. Pada
tahun 2017, WHO melaporkan sebanyak 8.819 kasus difteri terjadi di
dunia dengan hampir 90% terjadi di regional Asia Tenggara. India, Nepal
dan Indonesia menyumbangkan sekitar 96-99% kasus difteri di Asia
Tenggara. Khusus untuk tahun 2021, telah terjadi peningkatan kasus
difteri dan mencatatkan sekitar 19 kabupaten/kota di 11 provinsi
mengalami KLB Difteri. Data juga menunjukkan terdapat 10,6% kasus
difteri yang dilaporkan meninggal dunia, proporsi ini lebih tinggi
dibandingkan di tahun 2020 (meningkat 2x lipat).
Selain beberapa penyakit menular diatas, saat ini Indonesia juga
sedang dalam upaya untuk mempertahankan status eliminasi tetanus
maternal dan neonatal yang diperoleh pada tahun 2016. Imunisasi menjadi
salah satu upaya penting untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum.
Perlu menjadi catatan, bahwa telah terjadi peningkatan 3x lipat jumlah
kasus tetanus neonatorum pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2020
dengan tingkat kematian mendekati 90%. Penyakit-penyakit PD3I lainnya
juga saat ini terus dimonitor terutama dengan menggunakan Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) yang dikirimkan setiap minggunya
oleh puskesmas.

-11-
-12-

C. Situasi Cakupan Imunisasi dan Hasil Penilaian Risiko di Indonesia


1. Situasi Cakupan Imunisasi Rutin
Adanya pandemi COVID-19 mengakibatkan pelaksanaan
imunisasi rutin tidak dapat berjalan optimal. Data lima tahun terakhir
menunjukkan ada penurunan cakupan imunisasi rutin, baik itu
imunisasi dasar lengkap, maupun imunisasi lanjutan baduta, yang
cukup signifikan selama masa pandemi COVID-19. Hal ini
menyebabkan jumlah anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi
dasar lengkap semakin bertambah banyak. Adapun capaian imunisasi
dasar lengkap dalam lima tahun terakhir dapat dilihat pada grafik di
bawah ini.

Capaian (%) Target (%)

93.0 92.9 93.6


92.0 92.5

93.7
92.0 92.0

84.2 84.2

2017 2018 2019 2020 2021

Grafik 1. Capaian Imunisasi Dasar Lengkap Tahun 2017-2021

Pada Grafik 1. di atas dapat dilihat bahwa capaian imunisasi dasar


lengkap pada tahun 2020 – 2021 tidak dapat mencapai target. Terjadi
penurunan capaian yang cukup signifikan pada tahun 2020 – 2021
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dimana capaian pada tahun
2020 sebesar 84,2% dan capaian tahun 2021 (berdasarkan data
laporan rutin sampai dengan 1 April 2022) juga hanya mencapai 84,2%.

-12-
-13-

Selain imunisasi dasar lengkap, penurunan cakupan juga terjadi


pada capaian imunisasi lanjutan campak-rubela baduta.

Grafik 2. Capaian Imunisasi Campak-Rubela Lanjutan Baduta

Dari Grafik 2. di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan


capaian imunisasi campak-rubela lanjutan baduta pada tahun 2020
dan 2021 dibandingkan tahun 2017 – 2019. Capaian imunisasi
campak-rubela lanjutan baduta pada tahun 2020 dan 2021 tidak dapat
mencapai target yang ditentukan, dimana capaian pada tahun 2020
sebesar 65,3% dari target 76,4% dan capaian tahun 2021 (berdasarkan
data laporan rutin sampai dengan 1 April 2022) hanya mencapai 58,5%
dari target 81%.
Pada bulan Juli 2020, Kementerian Kesehatan dan UNICEF
melakukan Rapid Survey untuk mengetahui persepsi orang tua dan
pengasuh dan dampaknya pada imunisasi rutin selama masa pandemi
COVID-19 di Indonesia. Beberapa temuan menunjukkan adanya
perubahan perilaku dan praktik dalam mencari layanan imunisasi
selama pandemi:
 Ketakutan orang tua tertular COVID-19 di Puskesmas, Posyandu,
atau fasyankes lainnya
 Kekhawatiran atas kepatuhan tenaga kesehatan dalam mengikuti
pedoman imunisasi yang aman di fasilitas pelayanan kesehatan

-13-
-14-

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4632/2021 tentang Petunjuk
Teknis Pelayanan Imunisasi Rutin pada Masa Pandemi COVID-19 yang
mencakup strategi dan kegiatan yang direkomendasikan untuk
meningkatkan cakupan imunisasi rutin di masa pandemi. Petunjuk
teknis tersebut mengatur alur, jumlah sasaran per hari, dan protokol
kesehatan yang perlu dilakukan untuk menghindari penularan COVID-
19 di layanan imunisasi, keamanan imunisasi ganda, dan imunisasi
kejar. Pembaharuan mikroplaning dan pembuatan janji temu
merupakan kegiatan yang direkomendasikan dalam pelaksanaan
imunisasi di masa pandemi. Selain itu, telah diterbitkan juga
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/12763/2021 tentang Panduan Operasional Upaya
Kesehatan di Posyandu Dalam Adaptasi kebiasaan Baru Untuk
Penerapan Masyarakat Produktif dan Aman CORONAVIRUS DISEASE
2019 (COVID-19) yang juga menjadi acuan dalam operasional posyandu
pada masa pandemi.

2. Imunisasi Tambahan
Selain kegiatan imunisasi rutin, Indonesia juga telah
melaksanakan beberapa kegiatan imunisasi tambahan sejak tahun
2000. Terbaru yaitu kegiatan Pekan Imunisasi Nasional Polio (tOPV)
pada tahun 2016 di seluruh provinsi, kecuali DIY, dengan cakupan
mencapai 96,5% secara nasional serta kegiatan pemberian imunisasi
tambahan campak-rubela dengan target usia 9 bulan sampai dengan
kurang dari 15 tahun yang dilaksanakan pada tahun 2017 untuk Pulau
Jawa dengan cakupan 100,98% dan pada tahun 2018 untuk provinsi
luar Pulau Jawa dengan cakupan 73,35%.

-14-
-15-

3. Hasil Penilaian Risiko Campak-Rubela


Penilaian risiko campak-rubela dilakukan tiap tahun dan hasilnya
bersifat dinamis sesuai dengan kekebalan populasi, kualitas program
surveilans, pelaksanaan program, penilaian ancaman dan penilaian
teknis menggunakan “Measles Risk Assessment WHO Tools”. Penilaian
risiko campak-rubela pada tahun 2020 menunjukkan 367
kabupaten/kota di 22 provinsi memiliki risiko sangat tinggi (warna
merah tua) dan tinggi (warna merah) untuk transmisi campak dan
rubela. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan mendesak untuk
memberikan imunisasi tambahan pada lokasi yang berisiko.

Gambar 1. Penilaian Risiko Campak Rubela Tahun 2020 per Provinsi

Penentuan usia target populasi untuk imunisasi tambahan


campak-rubela ditentukan oleh analisa kesenjangan imunitas terhadap
campak. Analisa dilakukan pada tingkat nasional dan provinsi
menggunakan data cakupan imunisasi rutin tahun 2019 dan imunisasi
tambahan 2017-2018. Profil imunitas campak di provinsi di luar Pulau
Jawa menunjukkan kesenjangan imunitas terjadi di usia kurang dari
12 tahun.
Berdasarkan analisa epidemiologi, maka provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Bali tidak perlu melakukan imunisasi tambahan
campak-rubela di tahun 2022.
Selain meningkatkan imunitas target populasi secara cepat,
pelaksanaan pemberian imunisasi tambahan juga bertujuan untuk
memperkuat perencanaan dan pelaksanaan imunisasi rutin, terutama
dalam perencanaan dan penjangkauan target populasi di daerah sulit.

-15-
-16-

4. Hasil Penilaian Risiko Polio


Penilaian risiko tahunan juga dilakukan terhadap polio dengan
menggunakan “WHO Polio Risk Assessment Tools” menggunakan
indikator suseptibilitas, kualitas program surveilans, fasilitas
kontainmen dan pelaksanaan program. Penilaian pada tahun 2020
menunjukkan 28 provinsi dan 373 kabupaten/kota sebagai risiko tinggi
penularan polio.

Gambar 2. Penilaian Risiko Polio Tahun 2020 per Provinsi

Salah satu indikator dalam penilaian suseptibilitas adalah


cakupan IPV dimana 10,952,096 anak belum menerima satu dosis IPV
pada periode 2016-2020. Hal ini mengakibatkan kerentanan anak-anak
tersebut terhadap penularan tipe 2 virus polio yang perlindungannya
didapat dari pemberian vaksin IPV. Mengingat kasus polio di dunia
terbanyak diakibatkan oleh cVDPV2, termasuk di Malaysia dan Filipina
pada tahun 2020, maka perlu dilakukan pemberian 1 dosis IPV kepada
anak yang belum diimunisasi IPV pada anak usia dibawah 5 tahun
sesegera mungkin.

-16-
-17-

5. Situasi Penyebaran Difteri

Gambar 3. Persebaran Kasus Difteri di Indonesia Tahun 2021

Pada tahun 2021, terdapat 96 kabupaten/kota dari 23 provinsi


yang melaporkan kasus Difteri dengan total 235 kasus. Kasus tersebut
mulai meningkat terutama sejak pertengahan tahun 2021. Case fatality
rate (CFR) di tahun 2021 mengalami peningkatan 2 kali lipat
dibandingkan tahun 2020 yaitu dari 5% menjadi 10.6%. Analisis
sementara data tahun 2022, terjadi peningkatan CFR menjadi 11.8%.
Data menunjukkan adanya penurunan cakupan imunisasi DPT-HB-
HiB dan BIAS di tahun 2020-2021 yang terjadi dihampir seluruh
wilayah yang kemudian diperkuat dengan sebaran usia kasus yang
didominasi balita dan kelompok anak usia sekolah dasar. Dengan
melihat data tersebut, maka Sebagian besar wilayah di Indonesia dapat
dikategorikan memiliki risiko untuk terjadi KLB Difteri.

D. Rekomendasi Komite Ahli


Bulan Imunisasi Anak Nasional atau BIAN dilaksanakan dengan
mempertimbangkan rekomendasi dan/atau kajian dari para ahli sebagai
berikut:
1. Rekomendasi Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau ITAGI dan
Komite Verifikasi Nasional Eliminasi Campak-Rubela/CRS Indonesia
terkait pelaksanaan imunisasi tambahan campak-rubela dalam rangka
mewujudkan eliminasi campak dan rubela

-17-
-18-

Strategi eliminasi campak dan rubela yang direkomendasikan oleh ITAGI


adalah rapid Rubella control and CRS elimination, dilakukan catch up
campaign dengan syarat cakupan tinggi dan merata. Kegiatan ini
diharapkan dapat menurunkan transmisi Rubela dan eliminasi CRS
dengan cepat, serta jangka panjang mengurangi beban pembiayaan
medis untuk CRS dan beban pendidikan khusus untuk anak disabilitas
akibat kelainan bawaan pada infeksi Rubela. Pemberian imunisasi
tambahan campak-rubela dapat dilaksanakan secara bertahap dengan
rentang waktu tahun 2021-2023 dengan mempertimbangkan hasil
penilaian risiko campak dan rubela dan situasi epidemiologi COVID-19
di masing-masing provinsi serta disesuaikan dengan kemampuan
pemerintah pusat terkait penyediaan logistik dan pemerintah daerah
sebagai pelaksana.
Komite Verifikasi Nasional Eliminasi Campak-Rubela/CRS Indonesia
telah mengeluarkan rekomendasi bahwa dengan mempertimbangkan
dampak COVID-19 maka eliminasi campak dan rubela/CRS Indonesia
sebaiknya tetap dilaksanakan sesuai target SEARO dengan penyesuaian
tahapan regional. Adapun untuk mempercepat pencapaian target
eliminasi campak dan rubela/CRS di Indonesia, salah satunya dilakukan
melalui upaya penguatan imunisasi rutin campak-rubela dosis 1 dan 2
dengan cakupan minimal 95% serta mempertimbangkan pelaksanaan
imunisasi tambahan campak-rubela secara bertahap dengan penetapan
target kelompok umur berdasarkan gambaran tingkat kekebalan
(immunity profile) terbaru dan melihat perkembangan cakupan imunisasi
rutin campak-rubela selama tahun 2020 yang terdampak oleh pandemi
COVID-19.
2. Rekomendasi ITAGI terkait pelaksanaan imunisasi kejar polio suntik
dosis pertama atau IPV1
Indonesia dan negara-negara lain di South East Asia Region (SEARO)
telah mendapatkan sertifikat bebas polio dari WHO pada Maret 2014.
Namun demikian, Indonesia harus tetap melaksanakan berbagai upaya
untuk mempertahankan status Indonesia Bebas Polio dan berkontribusi
mewujudkan Dunia Bebas Polio pada tahun 2026. Salah satu upaya
tersebut adalah menutup kesenjangan imunitas melalui upaya
imunisasi kejar.

-18-
-19-

Dalam kajiannya, ITAGI merekomendasikan agar dilaksanakan upaya


imunisasi kejar IPV1 bagi bayi dan anak yang telah terlewat jadwal
pemberian imunisasi IPV1 untuk menutup kesenjangan imunitas dan
memberikan perlindungan terhadap virus polio tipe 2.
3. Rekomendasi Komite Ahli Penanggulangan Difteri
Sehubungan dengan adanya peningkatan kasus serta Kejadian Luar
Biasa difteri di beberapa wilayah, maka Komite Ahli Penanggulangan
Difteri merekomendasikan untuk dilaksanakannya imunisasi kejar guna
menutup kesenjangan imunitas terutama pada anak usia kurang dari 5
tahun (balita) serta Outbreak Response Immunization bagi daerah yang
mengalami KLB menggunakan jenis vaksin yang sesuai dengan usia
sasaran.

-19-
-20-

BAB
BAB III
III
PERSIAPAN
PERSIAPAN BULAN
BULAN IMUNISASI ANAK
ANAK NASIONAL
NASIONAL

A. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mencapai dan mempertahankan kekebalan populasi yang tinggi dan
merata sebagai upaya mencegah terjadinya KLB PD3I
2. Tujuan Khusus
a. Menghentikan transmisi virus campak dan rubela setempat
(indigenous) di semua kabupaten/kota di wilayah Indonesia pada
tahun 2023 dan mendapatkan sertifikasi eliminasi campak dan
rubela/CRS pada tahun 2026 dari SEARO.
b. Mempertahankan Indonesia Bebas Polio dan mewujudkan
eradikasi polio global pada tahun 2026
c. Mengendalikan penyakit difteri dan pertusis

B. Tempat Pelaksanaan
Kegiatan BIAN dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai
berikut:
1. Puskesmas, Puskesmas pembantu;
2. Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta, Rumah Sakit/klinik
TNI dan POLRI;
3. Klinik, Praktik Dokter Swasta, Tempat Praktik Mandiri Bidan; dan
4. Fasilitas pelayanan kesehatan lainnya

Selain di fasilitas pelayanan kesehatan, BIAN juga dapat dilakukan di


pos pelayanan imunisasi dengan menerapkan protokol kesehatan. Pos
pelayanan imunisasi tersebut dapat berupa:
1. Pos pelayanan di sekolah atau satuan pendidikan maupun pesantren
2. Pos pelayanan komunitas seperti di Posyandu, lapangan, drive thru
(layanan tanpa turun), pelaksanaan imunisasi mobile dengan
memanfaatkan mobil Puskesmas keliling atau pelayanan kesehatan
bergerak lainnya, dan pasar (disesuaikan dengan situasi di daerah
masing-masing)

-20-
-21-

C. Waktu dan Mekanisme Pelaksanaan


1. Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional dibagi dalam dua
tahap.
a. Tahap I dilaksanakan mulai bulan Mei tahun 2022 bagi seluruh
provinsi di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua.
b. Tahap II dilaksanakan mulai bulan Agustus tahun 2022 bagi
provinsi di pulau Jawa dan provinsi Bali.
2. Sasaran Pelaksanaan
Sasaran pelaksanaan BIAN adalah sebagai berikut:
a. Sasaran imunisasi tambahan campak-rubela adalah:
 Provinsi Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat adalah anak usia 9 (sembilan) bulan sampai
dengan kurang dari 15 (lima belas) tahun;
 Provinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Lampung, seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua adalah anak usia 9 (sembilan)
bulan sampai dengan kurang dari 12 (dua belas) tahun;
 Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur adalah anak usia 9 (sembilan) bulan
sampai dengan 59 (lima puluh sembilan) bulan.
b. Sasaran imunisasi kejar adalah anak usia 12 (dua belas) bulan
sampai dengan 59 (lima puluh sembilan) bulan di seluruh provinsi
yang tidak atau belum lengkap mendapatkan imunisasi OPV,
imunisasi IPV, dan imunisasi DPT-HB-Hib.

Provinsi Bali dan DIY tidak melaksanakan pemberian imunisasi tambahan


campak-rubela, namun tetap melaksanakan imunisasi kejar

-21-
-22-

3. Mekanisme Pelaksanaan
Pelaksanaan BIAN dilakukan selama 30 hari kerja dengan mekanisme
sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Waktu dan Mekanisme Persiapan dan Pelaksanaan BIAN

D. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional di masa
pandemi COVID-19 perlu melibatkan berbagai pihak untuk
mengidenfitikasi/mendata sasaran, melakukan sosialisasi, edukasi dan
memobilisasi sasaran serta mendukung penyelenggaraan layanan
imunisasi. Berikut adalah strategi yang dapat diterapkan:
1. Bekerja sama dengan kepala desa, ketua RT/RW, guru dan kepala
sekolah, kader posyandu dan dasawisma setempat untuk
mengumpulkan data sasaran, mengidentifikasi lokasi pos imunisasi
baru, menyebarkan media KIE yang berisi manfaat, lokasi dan waktu
pelayanan dan kegiatan penggerakan masyarakat lainnya
2. Melakukan promosi Bulan Imunisasi Anak Nasional terintegrasi dengan
promosi imunisasi rutin dan vaksinasi COVID-19

-22-
-23-

3. Menyelenggarakan layanan imunisasi dengan memanfaatkan layanan


imunisasi yang telah tersedia, seperti Posyandu, Puskesmas pembantu
(pustu), dan Puskesmas serta membuka pos imunisasi baru baik dalam
dan luar ruangan pada lokasi-lokasi strategis.
4. Untuk sasaran yang bersekolah, agar mengoptimalkan pelayanan
imunisasi di sekolah/satuan pendidikan, namun apabila
sekolah/satuan Pendidikan belum menyelenggarakan Pembelajaran
Tatap Muka maka pelayanan bisa dilakukan di pos pelayanan
komunitas.
5. Advokasi kepada pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat.
6. Melibatkan organisasi profesi seperti PB IDI, PP IDAI, IBI, PPNI, dan
organisasi profesi lainnya.
7. Melibatkan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan seperti MUI,
PBNU, Muhammadiyah, PGI, Walubi, PHDI, KWI, PMI, PKK, Karang
Taruna dan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan lainnya.
8. Melibatkan organisasi atau lembaga yang menangani anak dengan
kebutuhan khusus seperti Kementerian Perlindungan Anak (KPPA),
Kementerian dan Dinas Sosial, Sekolah Luar Biasa (SLB), dan Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).

E. Pembiayaan
Pembiayaan kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional ini bersumber
dari APBN (Dekonsentrasi, DAK non fisik/BOK), APBD, dan sumber lain
yang sah.

F. Mikroplaning
Dalam penyusunan mikroplaning kegiatan BIAN dibutuhkan data
sebagai berikut:
1. Data sasaran
2. Peta wilayah kerja, yang memuat informasi mengenai batas-batas
wilayah, kondisi geografis (wilayah yang mudah dijangkau dan sulit
dijangkau), dan lokasi fasilitas pelayanan kesehatan atau pos
pelayanan imunisasi yang sudah ada serta fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya serta lokasi-lokasi yang berpotensi dijadikan pos
pelayanan imunisasi baru

-23-
-24-

3. Inventarisasi peralatan rantai dingin, meliputi jumlah dan kondisi cold


chain (untuk penyimpanan dan distribusi vaksin) yang ada saat ini
4. Jumlah kebutuhan vaksin dan logistik yaitu ADS, safety box, dropper,
serta logistik lainnya seperti perlengkapan anafilaktik, Alat Pelindung
Diri (APD) dan media KIE
5. Jumlah tempat pelayanan imunisasi yang tersedia, yaitu Posyandu,
Puskesmas, Puskesmas pembantu, rumah sakit, klinik, Pos Pelayanan
Imunisasi di Sekolah/Madrasah/Pesantren, dan pos pelayanan
imunisasi lainnya baik dalam gedung maupun luar gedung
6. Jumlah tenaga kesehatan pelaksana imunisasi yang tersedia, yang
terdiri dari dokter, bidan, dan perawat
7. Jumlah tenaga pengawas/supervisor yang tersedia
8. Jumlah tenaga guru yang dibutuhkan (untuk pelaksanaan di sekolah)
9. Jumlah tenaga kader yang tersedia
10. Jumlah tenaga medis yang tersedia untuk melakukan penanganan
apabila terjadi kasus KIPI, baik dokter pemerintah (PNS) maupun
swasta
11. Jumlah rumah sakit rujukan untuk menangani kasus KIPI

Mikroplaning sebaiknya disiapkan sekurang-kurangnya 6 (enam)


minggu sebelum pelaksanaan kegiatan dan ditinjau ulang 2 (dua) minggu
sebelum pelaksanaan.
Mikroplaning disusun bersama oleh pengelola program imunisasi,
pengelola logistik, penanggung jawab kegiatan BIAN beserta pengelola
program lain yang terkait. Hal-hal yang perlu didiskusikan dan disepakati
bersama yaitu:
1. Identifikasi kekurangan peralatan rantai dingin dan logistik lainnya di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun Puskesmas, serta upaya
mengatasi jika terjadi kekurangan
2. Penetapan jumlah tempat pelayanan imunisasi yang akan dibuka dan
di mana saja lokasinya

-24-
-25-

3. Jumlah tenaga pelaksana imunisasi, supervisor, tenaga medis untuk


penanganan KIPI serta guru dan kader yang yang masih dibutuhkan
dan solusi apa yang akan diambil apabila jumlah yang tersedia masih
kurang
4. Waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan pelatihan/sosialisasi bagi
petugas kesehatan, kader dan guru, sosialisasi kepada lintas program
dan lintas sektor, komite sekolah, serta pertemuan koordinasi lainnya
5. Rencana waktu pelaksanaan pelayanan imunisasi, terutama di daerah
perkotaan, termasuk tempat pelayanan imunisasi dapat dibuka pada
sore hari untuk menjangkau anak-anak yang ibu/orang tua nya
bekerja yang tidak dapat membawa anaknya ke pos pelayanan
imunisasi pada siang hari
6. Rencana khusus untuk menjangkau anak-anak yang tidak datang ke
pelayanan imunisasi karena sedang sakit atau bepergian. Rencana
khusus untuk menjangkau anak-anak terlantar dan anak usia sekolah
yang tidak bersekolah berkoordinasi dengan relawan dan dinas sosial
7. Rencana khusus untuk menjangkau anak-anak berkebutuhan khusus
8. Estimasi kebutuhan vaksin dan logistik lainnya serta rencana
pendistribusiannya
9. Rencana pengolahan limbah medis
10. Rencana penanganan dan penatalaksanaan kasus KIPI

1. Perhitungan dan Pendataan Sasaran


a. Data Sasaran Imunisasi Tambahan Campak-Rubela
1) Perhitungan Estimasi Sasaran
Jumlah estimasi sasaran dihitung berdasarkan data
Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan
tahun 2022.

-25-
-26-

2) Pendataan Sasaran
Tiga atau empat minggu sebelum pelaksanaan dimulai,
pengelola imunisasi provinsi/ kabupaten/kota
berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, Kanwil
Kementerian Agama, dan Dinas Sosial untuk
mendapatkan data anak sekolah sebagai data sasaran
imunisasi campak-rubela. Data ini kemudian dikonfirmasi
oleh petugas Puskesmas dengan mendatangi sekolah atau
satuan pendidikan untuk mendapat daftar murid dan
tanggal lahir dari Kepala Sekolah/guru. Untuk data
sasaran anak balita dan anak usia < 5 tahun yang tidak
sekolah, petugas Puskesmas dibantu oleh kader
melakukan kunjungan rumah ke rumah untuk mendata
seluruh sasaran bekerja sama dengan kepala desa, ketua
RT/RW, Tim Penggerak PKK, kader kesehatan dan
kelompok dasawisma setempat.
b. Data Sasaran Imunisasi Kejar
1) Identifikasi sasaran dilakukan dengan memanfaatkan buku
kohort/register imunisasi/buku KIA/catatan imunisasi
lainnya. Petugas dapat melihat data buku kohort/register
imunisasi/buku KIA/catatan imunisasi lainnya, kemudian
temukanlah catatan anak usia < 5 tahun yang tidak / belum
lengkap mendapatkan imunisasi dasar maupun lanjutan.
2) Petugas pengelola program imunisasi juga dapat berkoordinasi
dengan petugas pendata puskesmas (PIS-PK) dan tim KIA
puskesmas untuk mendapatkan data sasaran yang belum
mendapatkan imunisasi lengkap dan tidak tercatat di kohort
imunisasi Puskesmas. Jika masih ditemukan sasaran seperti
tersebut diatas, maka dapat dilakukan pendataan ulang sesuai
dengan kesepakatan di lokasi wilayah binaan puskesmas
bekerjasama dengan kepala desa, ketua RT/RW, Tim
Penggerak PKK, kader kesehatan dan kelompok dasawisma
setempat.

-26-
-27-

c. Verifikasi Data Sasaran Individu Imunisasi Tambahan Campak


Rubela dan Imunisasi Kejar
1) Data sasaran individu didapatkan dari database setiap
Puskesmas yang dapat diakses melalui dashboard pada laman
berikut http://sehatindonesiaku.kemkes.go.id/
2) Setiap Puskesmas akan diberikan akses pada dashboard dan
menunjuk petugas untuk melakukan verifikasi data sasaran
pada database.
3) Petugas melakukan verifikasi data sasaran pada database
dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Menyiapkan daftar data sasaran hasil pendataan pada
format mikroplaning
b. Mengakses database yang ada di dashboard untuk
mencocokkan data sasaran hasil pendataan dengan data
sasaran yang ada dalam database dengan melakukan
pencarian berdasarkan nama, tanggal lahir dan NIK
4) Apabila informasi identitas sasaran sudah benar dan dianggap
sebagai sasaran BIAN Puskesmas, lakukan verifikasi,
kemudian lengkapi informasi lainnya, seperti: alamat lengkap,
dan input jenis imunisasi yang akan diberikan pada saat BIAN
5) Apabila terdapat sasaran yang belum masuk di dalam database
Puskesmas di dashboard, petugas dapat menambahkan data
sasaran dengan menginput indentitas anak melalui dashboard.
6) Petugas puskesmas harus memastikan seluruh data sasaran
imunisasi per individu tercatat di dalam dashboard sehingga
dapat terhubung dengan data sasaran pada aplikasi
SehatIndonesiaku (ASIK).
7) Setiap data sasaran yang sudah terverifikasi akan
mendapatkan nomor IHS (Indonesia Health Service) yang dapat
digunakan pada saat mengakses layanan kesehatan
selanjutnya.
8) Cara penggunaan dashboard dapat dilihat lebih lanjut pada
Buku Panduan yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.

-27-
-28-

2. Perhitungan Kebutuhan Vaksin dan Logistik


a. Perhitungan Kebutuhan Vaksin
Untuk menghitung kebutuhan vaksin diperlukan data jumlah
sasaran, target cakupan, IP vaksin dan jumlah dosis yang diberikan
terhadap kelompok sasaran yang sudah ditentukan.

௃௨௠௟௔௛௦௔௦௔௥௔௡௫௃௨௠௟௔௛௉௘௠௕௘௥௜௔௡௫௧௔௥௚௘௧௖௔௞௨௣௔௡
Kebutuhan = { ሽ – sisa stok
ூ௉௏௔௞௦௜௡

IP vaksin pada pelaksanaan imunisasi massal, seperti pada


Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), imunisasi tambahan seperti
ORI, Sub PIN, PIN dan lain-lain lebih besar dari pada pelayanan
imunisasi rutin.

Tabel 2. IP Vaksin Untuk Perhitungan Kebutuhan Vaksin


Dalam Rangka Kegiatan BIAN
No Jenis vaksin Jumlah dosis/vial IP
1 OPV 10 8
2 DPT-HB-Hib 5 4
3 IPV 5 4
4 Campak-Rubela 10 8

b. Perhitungan Kebutuhan Logistik Lainnya


1) Kebutuhan Auto Disable Syringe (ADS) dihitung sebagai
berikut:
Kebutuhan ADS 5 ml = jumlah vial vaksin Campak-Rubela
+ 1% cadangan

Kebutuhan ADS 0,5 ml = jumlah sasaran + 1 %


cadangan

2) Kebutuhan safety box dihitung sebagai berikut:


Safety box ukuran 2,5 L = ‫ܵܦܣ݄݈ܽ݉ݑܬ‬ȀͷͲ
Safety box ukuran 5 L = ‫ܵܦܣ݄݈ܽ݉ݑܬ‬ȀͳͲͲ

-28-
-29-

3) Perhitungan Kebutuhan Perlengkapan Anafilaktik


Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting dalam
pelayanan imunisasi sebagai antisipasi terjadinya KIPI serius
(syok anafilaktik). Setiap tempat pelayanan imunisasi harus
menyediakan minimal 1 set perlengkapan anafilaktik sehingga
jumlah kebutuhan perlengkapan anafilaktik disesuaikan
dengan jumlah tempat pelayanan imunisasi.
4) Perhitungan Kebutuhan Pen Marker
Satu buah pen marker dapat digunakan untuk 100 orang
sasaran.
Pen marker = ‫݊ܽݎܽݏܽݏ݄݈ܽ݉ݑܬ‬ȀͳͲͲ

Keberhasilan pelaksanaan BIAN sangat bergantung pada


perencanaan ketersediaan vaksin dan logistik yang baik, yaitu:
 memastikan ketersediaan vaksin dan logistik lainnya di setiap
tingkatan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan
 penyusunan rencana distribusi yang detail yang menjelaskan kapan
dan bagaimana vaksin dan logistik didistribusikan ke setiap
tingkatan administrasi: dari provinsi ke kabupaten/ kota, dari
kabupaten/kota ke Puskesmas dan dari Puskesmas ke fasilitas
pelayanan kesehatan lain serta pos pelayanan imunisasi
 penyusunan rencana khusus untuk daerah-daerah yang sulit
dijangkau termasuk waktu distribusi vaksin ke daerah sulit tersebut

3. Perhitungan Tenaga Pelaksana


Kebutuhan tenaga pelaksana bervariasi pada setiap pos
pelayanan, dapat dihitung dengan pendekatan jumlah pos pelayanan
imunisasi dibagi dengan jumlah sasaran:
a. Untuk pelayanan di puskesmas, fasilitas pelayanan kesehatan dan
pos pelayanan komunitas, satu orang tenaga kesehatan
diperkirakan mampu memberikan pelayanan imunisasi sekitar 50
sasaran per hari. Untuk pelayanan di sekolah atau satuan
pendidikan, satu orang tenaga kesehatan diperkirakan mampu
memberikan pelayanan sekitar 100 sasaran per hari.

-29-
-30-

b. Setiap pos pelayanan dibantu oleh kurang lebih 3 (tiga) orang


kader/guru yang bertugas untuk: (1) menggerakkan
sasaran/orangtua untuk datang ke pos pelayanan imunisasi; (2)
mengatur alur pelayanan imunisasi di pos pelayanan; (3) mencatat
hasil imunisasi; dan (4) memberi tanda/marker pada kuku dan
kulit sekitar pangkal kuku jari kelingking kiri anak yang sudah
mendapat imunisasi tambahan campak-rubela.

Gambar 4. Contoh Pemberian Marker Pada Sasaran (Dokumentasi


Kegiatan Kampanye Imunisasi Campak-Rubela Tahun 2017-2018)

c. Setiap 3-5 pos pelayanan imunisasi dikoordinir oleh satu orang


supervisor untuk memastikan pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak
Nasional berjalan dengan baik. Supervisor juga bertugas memantau
kecukupan logistik dan KIPI

Perlu diinventarisasi juga tenaga yang dapat membantu


pelaksanaan di pos pelayanan, seperti:
a. tenaga kesehatan (perawat, bidan dan dokter) yang ada di fasilitas
pelayanan kesehatan lain untuk melakukan penyuntikan
b. tenaga kesehatan yang sedang tugas belajar di institusi pendidikan
kesehatan (sekolah tinggi keperawatan, sekolah tinggi kebidanan
dan Fakultas Kedokteran) untuk membantu pelayanan selain
penyuntikan seperti menyiapkan vaksin, membantu pelarutan
vaksin, meneteskan vaksin polio oral (OPV), mencatat penggunaan
vaksin dan logistik dan/atau edukasi kesehatan.

-30-
-31-

4. Pemetaan dan Penyusunan Jadwal Kegiatan


Sebelum menyusun jadwal kegiatan, petugas perlu mengetahui
wilayah kerjanya dengan baik. Kabupaten/kota harus
menginventarisasi daerah (kecamatan, Puskesmas, dan desa termasuk
sekolah) di wilayahnya berdasarkan tingkat kesulitannya. Hal ini akan
membantu dalam menentukan strategi pelaksanaan sehingga semua
sasaran dapat dijangkau. Setelah dilakukan pemetaan, tentukan
tanggal dan lamanya pelaksanaan tiap tempat pelayanan serta petugas
kabupaten yang bertanggung jawab sebagai supervisor dan nama-nama
tim di tempat pelayanan imunisasi.
5. Kegiatan Orientasi/Peningkatan Kapasitas
Sasaran kegiatan orientasi di tingkat:
a. Provinsi, yaitu TP UKS, petugas pengelola program imunisasi,
petugas pengelola program gizi dan kesehatan ibu dan anak (Gizi
KIA) serta petugas pengelola vaksin tingkat kabupaten/kota
b. Kabupaten/kota, adalah TP UKS, petugas pengelola program
imunisasi, petugas pengelola program Gizi KIA serta petugas
pengelola vaksin tingkat Puskesmas
c. Puskesmas yaitu para petugas kesehatan seperti dokter, bidan dan
perawat yang ditunjuk sebagai vaksinator pada pelaksanaan BIAN,
kader, kepala sekolah dan guru serta petugas pendukung lainnya

Metode orientasi dapat dilakukan secara bauran (blended) yaitu


kombinasi secara tatap muka dan daring.
Materi orientasi meliputi:
a. Tujuan dan strategi pelaksanaan BIAN
b. Waktu dan mekanisme pelaksanaan BIAN
c. Kelompok usia sasaran
d. Penyusunan mikroplaning, meliputi perhitungan dan pendataan
sasaran, perhitungan kebutuhan vaksin dan logistik, perhitungan
tenaga pelaksana, serta pemetaan dan penyusunan jadwal kegiatan
e. Pengelolaan vaksin dan rantai dingin vaksin
f. Penyelenggaraan pelayanan di tempat pelayanan imunisasi
g. Teknik penyuntikan yang aman
h. Keamanan vaksin
i. Pencatatan dan pelaporan hasil pelaksanaan BIAN

-31-
-32-

j. Pengelolaan limbah medis imunisasi


k. Surveilans KIPI
l. Monitoring dan supervisi pelaksanaan BIAN
m. Promosi Kesehatan
n. Panduan pelaksanaan pelayanan imunisasi pada era adaptasi
kebiasaan baru
o. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada masa pandemi COVID-
19

G. Pembentukan Kelompok Kerja Bulan Imunisasi Anak Nasional


Pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional membutuhkan upaya
total dari seluruh komponen pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga
perlu dibentuk suatu Panitia/Komite/Kelompok Kerja yang akan
bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses pelaksanaan BIAN di
masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Panitia/Komite/Kelompok Kerja ini bertugas untuk merencanakan,
mengelola, dan memantau seluruh kegiatan dalam rangka pelaksanaan
BIAN. Tim ini beranggotakan perwakilan dari lintas program dan lintas
sektor terkait serta organisasi profesi dan organisasi masyarakat yang dibagi
ke dalam lima bidang yaitu bidang perencanaan, logistik, pelaksanaan,
komunikasi serta monitoring dan evaluasi.
Kelompok Kerja ini dapat direaktivasi dari Kelompok Kerja Eliminasi
Campak-Rubela atau kelompok Kerja Eradikasi Polio yang sudah ada
sebelumnya dengan memperluas tugas-tugas sesuai dengan tujuan BIAN.

Tugas dan tanggung jawab Panitia/Komite/Kelompok Kerja per bidang


yaitu sebagai berikut:
1. Bidang Perencanaan
• Melakukan analisis situasi meliputi sasaran, tenaga, sarana-
prasarana yang dibutuhkan dan kondisi geografis
• Menyusun rencana anggaran pelaksanaan BIAN dan memastikan
ketersediannya
• Menyusun rencana dan jadwal kegiatan pelaksanaan BIAN

-32-
-33-

2. Bidang Logistik
• Menyusun perhitungan kebutuhan vaksin dan logistik serta rencana

distribusinya
• Melakukan koordinasi dan pemantauan proses distribusi
(pengambilan atau pengiriman) vaksin dan logistik lainnya
3. Bidang Pelaksanaan
• Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan orientasi pelaksanaan BIAN
• Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lintas program dan
lintas sektor
4. Bidang Komunikasi
• Mengembangkan materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
BIAN dengan mempertimbangkan muatan lokal
• Melakukan upaya promosi kesehatan meliputi advokasi dan
penggerakan masyarakat
• Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan media dalam rangka

publikasi kegiatan BIAN


• Melakukan dokumentasi kegiatan
5. Bidang Monitoring dan Evaluasi
• Menyusun jadwal rencana monitoring dan evaluasi
• Melakukan pemantauan pra-pelaksanaan, proses pelaksanaan, dan

pasca pelaksanaan
• Melakukan pemantauan terhadap proses pencatatan dan pelaporan
secara berjenjang
• Mengumpulkan data, melakukan analisa hasil kegiatan BIAN dan
membuat umpan balik

-33-
-34-

H. Promosi Kesehatan
1. Advokasi
Upaya advokasi dilakukan dalam rangka menggalang komitmen,
dukungan yang konkrit serta partisipasi aktif dari pemimpin daerah
tingkat provinsi (gubernur), pemimpin daerah tingkat kabupaten/kota
(bupati/walikota), dan pimpinan serta anggota DPRD tingkat provinsi
dan kabupaten/kota, para pembuat keputusan dari lintas sektor terkait
(seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Kanwil Kementerian Agama, Dinas
Sosial, TNI/POLRI, Majelis Ulama Indonesia, Dewan Mesjid Indonesia,
dll), tokoh masyarakat, tokoh agama, para ketua organisasi profesi
kesehatan, organisasi masyarakat, para pimpinan media cetak dan
elektronik lokal, serta pihak lainnya seperti LSM kesehatan.
Pertemuan-pertemuan advokasi dalam rangka menggalang
komitmen, dukungan yang konkret serta partisipasi aktif dari seluruh
pihak terkait (pimpinan daerah, sekolah, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dharma wanita, ketua TP PKK, Bunda PAUD, organisasi
masyarakat seperti Aisyiyah, Muslimat NU, Perdhaki, dan organisasi
keagamaan lainnya) dilaksanakan baik di provinsi, kabupaten/kota
maupun Puskesmas. Pada saat pertemuan dijelaskan mengenai tujuan
dilaksanakannya BIAN dan diberikan materi/informasi terkait
pelaksanaannya kepada seluruh peserta yang hadir. Kegiatan
pertemuan ini sebaiknya dilaksanakan sebelum dilakukan
penyusunan mikroplaning.

2. Penggerakan Masyarakat
Upaya penggerakan masyarakat dilakukan melalui strategi
komunikasi interpersonal yang baik, didukung oleh media massa dan
kegiatan lainnya yang bertujuan menyosialisasikan BIAN kepada
masyarakat. Tujuan kegiatan penggerakan masyarakat ini adalah agar
masyarakat sadar dan datang mendapatkan pelayanan imunisasi
selama masa pelaksanaan BIAN.

-34-
-35-

Sasaran penggerakan masyarakat dalam rangka BIAN adalah para


orang tua, sekolah/madrasah/pesantren, kelompok sosial
kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dharma wanita, TP
PKK, PAUD, organisasi keagamaan (seperti Aisyiyah, Muslimat NU,
Perdhaki, dan organisasi keagamaan lainnya), organisasi profesi
kesehatan, dan LSM setempat. Petugas kesehatan di setiap tingkatan
administrasi bertanggung jawab dalam memantau proses mobilisasi ini
berjalan sesuai yang diharapkan.
Dalam rangka melakukan upaya mobilisasi masyarakat yang efektif,
maka pemerintah daerah/ dinas kesehatan harus menetapkan saluran
informasi resmi sebagai sumber informasi. Selain itu, dapat
memanfaatkan media komunikasi lainnya seperti:
a. Media sosial, misalnya Instagram, Facebook, WhatsApp, Twitter,
Youtube, TikTok, dan media sosial lainnya

Akun Media Sosial Kementerian Kesehatan RI:


IG: @kemenkes_ri
Twitter: @kemenkesRI
FB: Kementerian Kesehatan RI
Yt: Kementerian Kesehatan RI
TikTok: @kemenkesRI

b. Media cetak dan elektronik


Tentukan media apa yang akan digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan komunikasi mengenai kegiatan Bulan Imunisasi Anak
Nasional, misalnya TV spot, radio spot, layanan SMS gateway, koran,
buletin, dan lain-lain
c. Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) cetak seperti leaflet,
brosur, banner, poster, spanduk, dan lainnya digunakan untuk
menyampaikan pesan-pesan komunikasi mengenai kegiatan BIAN
kepada masyarakat/ orang tua dan sekolah-sekolah. Untuk
penyampaian pesan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama
dapat dipilih media KIE yang berisi informasi yang lebih mendetail,
berisi tentang latar belakang, alasan, serta tujuan dari pelaksanaan
BIAN ini. Materi KIE juga dapat dimasukkan ke dalam materi dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan dan pendidikan.

-35-
-36-

d. Penggunaan megaphone/loudspeaker dapat digunakan untuk


menyosialisasikan BIAN dan mengajak masyarakat untuk membawa
anak-anak yang menjadi kelompok sasaran agar datang ke pos
pelayanan imunisasi dan mendapatkan imunisasi. Sosialisasi
penggunaan megaphone/loudspeaker ini juga dapat dilakukan pada
siang atau sore hari setelah pelayanan di pos pelayanan imunisasi
untuk menjaring sasaran yang tidak datang ke pos pelayanan
imunisasi pada pagi harinya
e. Pertemuan sosialisasi Komite Sekolah dan kelas
parenting/pengasuhan tentang BIAN dapat disampaikan pada saat
pertemuan komite sekolah, penerimaan rapor atau pertemuan
penerimaan peserta didik baru, serta pada pertemuan kelas
parenting/pengasuhan
f. Kegiatan Pencanangan
Kegiatan pencanangan dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan informasi mengenai kegiatan BIAN kepada masyarakat
luas dengan melibatkan pimpinan daerah, para pembuat
keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pihak lintas sektor
terkait lainnya. Kegiatan pencanangan dapat dilaksanakan di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan

I. Monitoring Kesiapan
Monitoring kesiapan BIAN dilaksanakan mulai 6 (enam) minggu
sebelum pelaksanaan BIAN dimulai, dan diulang pada 4 (empat) dan 2 (dua)
minggu sebelum pelaksanaan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan
puskesmas. Kegiatan ini meliputi penilaian terhadap:
1. Perencanaan, koordinasi dan pendanaan
2. Advokasi, sosialisasi, komunikasi, dan mobilisasi
3. Ketersediaan sumber daya manusia
4. Ketersediaan dan rencana distribusi vaksin, rantai dingin, dan
logistik lain seperti perlengkapan anafilaktik dan APD
5. Rencana monitoring dan supervisi

-36-
-37-

Format agar diisi secara elektronik melalui tautan sebagai berikut:


1. Untuk tingkat provinsi, dengan tautan
https://bit.ly/KesiapanBIAN_Provinsi
2. Untuk tingkat kabupaten/kota, dengan tautan
https://bit.ly/KesiapanBIAN_kako
3. Untuk tingkat puskesmas, dengan tautan
https://bit.ly/KesiapanBIAN_PKM

Hasil penilaian ini dapat dilihat pada dashboard dengan tautan


http://sehatindonesiaku.kemkes.go.id/. Penilaian ini juga dapat dilakukan
secara manual menggunakan Daftar Tilik Kesiapan yang dapat diunduh
pada tautan https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.
Monitoring kesiapan sebaiknya juga dilakukan secara mandiri (self-
assessment).

-37-
-38-

BAB
BABIVIV
PELAKSANAAN
PELAKSANAANBULAN
BULANIMUNISASI
IMUNISASI ANAK NASIONAL
ANAK NASIONAL

Pelaksanaan atau implementasi Bulan Imunisasi Anak Nasional meliputi


mekanisme dan alur pelayanan, penyiapan vaksin dan logistik, peran petugas
kesehatan, guru dan kader, penyuntikan yang aman, pemberian imunisasi
ganda, pengelolaan limbah serta pencatatan dan pelaporan.

A. Mekanisme dan Alur Pelayanan


Pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan dengan persyaratan ketat
seperti menerapkan protokol kesehatan. Pelayanan imunisasi di tempat
pelayanan mengikuti Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa
Pandemi.
1. Ketentuan Ruang/Tempat Pelayanan Imunisasi:
Diselenggarakan sesuai protokol kesehatan:
a. Menggunakan ruang/tempat yang cukup besar dengan sirkulasi

udara yang baik (dapat juga mendirikan tenda di lapangan terbuka).


Apabila menggunakan kipas angin, letakkan kipas angin di belakang
petugas kesehatan agar arah aliran udara kipas angin mengalir dari
tenaga kesehatan ke sasaran imunisasi
b. Memastikan ruang/tempat pelayanan imunisasi bersih dengan
membersihkan sebelum dan sesudah pelayanan dengan cairan
disinfektan
c. Tersedia fasilitas mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir atau
hand sanitizer
d. Atur meja pelayanan antar petugas agar menjaga jarak aman 1–2

meter
e. Ruang/tempat pelayanan imunisasi hanya untuk melayani anak
yang sehat
f. Jika memungkinkan sediakan jalan masuk dan keluar yang terpisah

bagi orang tua atau pengantar. Apabila tidak tersedia, atur agar
sasaran imunisasi dan pengantar keluar dan masuk bergantian

-38-
-39-

g. Sediakan tempat duduk bagi sasaran imunisasi dan orang tua atau

pengantar untuk menunggu sebelum dan 30 menit sesudah


imunisasi dengan jarak aman antar tempat duduk 1–2 meter. Atur
agar tempat/ruang tunggu sasaran yang sudah dan sebelum
imunisasi terpisah. Jika memungkinkan tempat untuk menunggu
30 menit sesudah imunisasi di tempat terbuka

2. Ketentuan Waktu Pelayanan Imunisasi:


a. Tentukan jadwal hari atau jam pelayanan khusus imunisasi dalam

rangka kegiatan BIAN di tempat pelayanan


b. Jam layanan tidak perlu lama dan batasi jumlah sasaran yang

dilayani dalam satu kali sesi pelayanan. Jika jumlah sasaran


banyak, maka dibagi menjadi beberapa kali sesi pelayanan agar
tidak terjadi penumpukan atau kerumunan orang
c. Koordinasi dengan lintas program lainnya untuk memberikan

pelayanan kesehatan lain bersamaan dengan imunisasi campak-


rubela jika memungkinkan
d. Informasikan nomor telepon petugas kesehatan atau kader yang
dapat dihubungi oleh orang tua atau pengantar untuk membuat
jadwal janji temu imunisasi yang akan datang

B. Penyiapan Vaksin dan Logistik


1. Distribusi Vaksin dan Logistik
Vaksin dan logistik didistribusikan secara berjenjang dari pusat
sampai ke tempat pelayanan imunisasi. Bagi tempat pelayanan
lainnya akan menerima vaksin dan pelarutnya dari Puskesmas
terdekat bila memiliki vaccine refrigerator.
Sebelum pelaksanaan, ADS 0,5 ml, ADS 5 ml, safety box, kapas,
formulir pencatatan, anafilatik kit, pen marker, kantong plastik untuk
limbah tidak tajam, dan logistik lainnya yang tidak memerlukan cold
chain dapat didistribusikan berdasarkan mikroplaning yang telah
dibuat. Vaksin dan pelarut didistribusikan ke tempat pelayanan pada
hari pelayanan menggunakan vaccine carrier standar.

-39-
-40-

Selama pelaksanaan BIAN, Puskesmas, fasilitas pelayanan


kesehatan atau pos pelayanan imunisasi akan menerima logistik
sebagai berikut:
a. Vaksin dan pelarut dalam jumlah yang sesuai
b. Dropper sesuai dengan jumlah vaksin OPV
c. ADS 0,5 ml dan ADS 5 ml
d. Safety box
e. Kapas
f. Formulir pencatatan dan pelaporan cakupan dan logistik
g. Formulir laporan KIPI serius
h. Formulir laporan KIPI non serius
i. Perlengkapan anafilaktik
j. Kantong limbah medis atau kantong plastik lain untuk vial vaksin
kosong dan limbah non medis lainnya
k. Pen marker
l. APD, minimal masker bedah
m. Sarana cuci tangan/hand sanitizer
n. Alat pengukur suhu tubuh (thermo gun)
o. Formulir skrining

2. Pengelolaan Vaksin Saat Pelayanan


a. Petugas menyiapkan vaksin dalam jumlah secukupnya untuk
dibawa ke tempat pelayanan.
b. Saat pelayanan, vaccine carrier tidak boleh terpapar sinar matahari
langsung. Pastikan vaccine carrier dalam keadaan bersih sebelum
digunakan. Untuk penggunaan vaccine carrier, vaksin yang sudah
dibuka atau dilarutkan ditempatkan pada spons atau busa
penutup vaccine carrier, sedangkan vaksin yang belum dibuka
atau dilarutkan tetap disimpan di bagian dalam vaccine carrier.
c. Vaksin yang akan dipakai harus dipantau kualitasnya dengan
memperhatikan: VVM masih A atau B, belum kadaluarsa,
disimpan pada suhu yang direkomendasikan, label masih ada, dan
tidak terendam air.
d. Untuk vaksin dengan kemasan multidosis, penting untuk
mencantumkan tanggal dan waktu pertama kali vaksin dibuka
atau dilarutkan.

-40-
-41-

e. Saat sesi pelayanan sudah selesai setiap harinya, petugas


bertanggung jawab mengembalikan vaccine carrier ke tempat
penyimpanan dan safety box yang telah terisi ke tempat
penyimpanan limbah sementara. Untuk pos imunisasi agar
mengembalikan vaccine carrier ke Puskesmas.

3. Pelarutan Vaksin Campak-Rubela


Dalam melarutkan vaksin harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Sehari sebelum pelayanan (minimal 12 jam), pelarut harus

disimpan dalam lemari es pada suhu 2–8oC. Pelarut juga harus


dimasukkan ke dalam vaccine carrier agar memiliki suhu yang

sama dengan vaksin yaitu berkisar 2–8oC pada saat pelarutan.


b. Pelarutan vaksin hanya boleh dilakukan ketika sasaran sudah
datang untuk imunisasi
c. Pelarut harus berasal dari produsen yang sama dengan vaksin yang
digunakan
d. Pastikan vaksin dan pelarutnya belum kadaluarsa dan VVM pada
vaksin masih dalam kondisi A atau B

e. Vaksin dan pelarut harus mempunyai suhu yang sama (2–8oC)


f. Melarutkan vaksin dengan menggunakan ADS 5 ml. Satu ADS 5
ml digunakan untuk melarutkan satu vial vaksin. Jangan
menyentuh jarum ADS dengan jari
g. Memastikan 5 ml cairan pelarut vaksin terhisap dalam ADS,
kemudian baru melakukan pencampuran dengan serbuk vaksin
kering campak-rubela
h. Masukkan pelarut secara perlahan ke dalam botol vaksin agar
tidak terjadi gelembung/busa
i. Kocok campuran vaksin dengan pelarut secara perlahan sampai
tercampur rata
j. Vaksin yang sudah dilarutkan hanya boleh digunakan dalam waktu
6 jam. Oleh karena itu, hanya boleh melarutkan satu vial vaksin dan
baru boleh melarutkan vaksin lagi bila vaksin pada vial sebelumnya
sudah habis serta masih ada sasaran. Catat tanggal dan jam
pelarutan vaksin pada label vaksin
k. Memperhatikan prosedur aseptik

-41-
-42-

4. Pengembalian Vaksin Sisa


a. Vaksin dan pelarut yang masih dalam keadaan tertutup (belum
digunakan) harus dikembalikan dan diberi tanda “K” (Kembali)
kemudian segera dimasukkan ke dalam vaccine refrigerator. Pada
hari pelayanan berikutnya, vaksin tersebut harus digunakan
segera dengan tetap memperhatikan kondisi VVM dan tanggal
kadaluarsa.
b. Untuk pelayanan imunisasi yang dilakukan di dalam gedung atau
di fasilitas pelayanan kesehatan, semua sisa vial vaksin campak-
rubela yang telah dilarutkan lebih dari 6 jam dimasukan ke dalam
plastik untuk dibuang dan dimusnahkan, sedangkan untuk
vaksin lainnya masih dapat digunakan selama belum melampaui
masa pemakaian (4 minggu untuk DPT-HB-Hib dan IPV,
sedangkan OPV 2 minggu)
c. Untuk pelayanan imunisasi di pos pelayanan imunisasi (luar
gedung), maka pada akhir sesi pelayanan sisa vaksin yang telah
dibuka atau dilarutkan harus langsung dibuang dan
dimusnahkan, tidak boleh dikembalikan lagi ke dalam vaccine
refrigerator untuk digunakan pada hari pelayanan berikutnya.

Vaksin harus segera dibuang apabila:


• Ada kecurigaan vial vaksin yang diduga terkontaminasi seperti vial

jatuh ke tanah, rubber cap tidak sengaja tersentuh, dan kontak


dengan air
• VVM C dan D

• Sudah melampaui waktu pelarutan atau waktu pemakaian

-42-
-43-

C. Cara Pemberian Imunisasi


Berikan imunisasi campak-rubela tanpa melihat status imunisasi dan
riwayat penyakit Campak atau Rubela sebelumnya. Untuk jenis imunisasi
lain, diberikan sesuai dengan status imunisasi sasaran. Berikut adalah
langkah-langkah dalam melakukan pemberian imunisasi:
1. Imunisasi dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai
(autodisable syringe/ ADS) sesuai dosis yang direkomendasikan.
Penggunaan alat suntik tersebut dimaksudkan untuk menghindari
pemakaian berulang jarum sehingga dapat mencegah penularan
penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B, dan Hepatitis C.
No Ukuran ADS Penggunaan
1 5 ml Pelarutan vaksin campak-rubela
2 0,5 ml Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib,
Campak-Rubela, IPV

2. Untuk imunisasi OPV, dilakukan dengan cara diteteskan. Sebelum


digunakan, pipet penetes (dropper) harus dipasangkan pada vial vaksin.
Berikan sasaran dua tetes vaksin OPV.
3. Pengambilan vaksin dengan cara memasukkan jarum ke dalam vial
vaksin dan pastikan ujung jarum selalu berada di bawah permukaan
larutan vaksin sehingga tidak ada udara yang masuk ke dalam spuit.
4. Tarik torak perlahan-lahan agar larutan vaksin masuk ke dalam spuit
dan keluarkan udara yang tersisa dengan cara mengetuk alat suntik
dan mendorong torak sampai pada skala dosis yang direkomendasikan
kemudian cabut jarum dari vial.
5. Bersihkan kulit tempat pemberian suntikan dengan kapas kering sekali
pakai atau kapas yang dibasahi dengan air matang, tunggu hingga
kering. Apabila lengan anak tampak kotor diminta untuk dibersihkan
terlebih dahulu.
6. Vaksin diberikan sesuai dengan dosis dan cara pemberian yang
dianjurkan.

-43-
-44-

Tabel 3. Dosis, Cara dan Tempat Pemberian Imunisasi


Jenis Vaksin Dosis Cara Pemberian Lokasi pemberian
OPV 2 tetes Oral Mulut
DPT-HB-Hib 0,5 mL Intramuskular Paha (usia <18
bulan), lengan atas
(≥18 bulan)
Campak-Rubela 0,5 mL Sub Kutan Lengan Atas
IPV 0,5 mL Intramuskular Paha (usia <18
bulan), lengan atas
(≥18 bulan)

7. Setelah vaksin disuntikkan, jarum ditarik keluar, kemudian ambil


kapas kering lalu ditekan pada bekas suntikan, jika ada perdarahan
kapas tetap ditekan pada lokasi suntikan hingga darah berhenti.
8. Pada pelaksanaan imunisasi kejar, perlu diperhatikan aturan
pemberian sebagai berikut:

Tabel 4. Aturan Pemberian Imunisasi pada Anak yang Terlambat


Mendapatkan Imunisasi
Jenis Total Jumlah Dosis Keterangan
Imunisasi yang Harus
Diberikan
OPV 4 dosis Interval minimal antar dosis adalah 4
minggu
IPV 1 dosis Diberikan segera ketika bayi/baduta
datang ke tempat pelayanan
DPT-HB- 4 dosis (3 dosis ● Interval minimal dosis pertama dan
Hib imunisasi dasar dan 1 kedua adalah 4 minggu (1 bulan),
dosis imunisasi ● interval minimal dosis kedua dan
lanjutan) ketiga adalah 6 bulan);
● interval minimal dosis ketiga dan
keempat adalah 12 bulan

-44-
-45-

9. Setelah melakukan pemberian imunisasi, catat jenis vaksin, tanggal


pemberian dan nomor batch vaksin pada buku KIA atau kartu/catatan
imunisasi lainnya.

Pelaksanaan imunisasi kejar dapat terus dilakukan sesuai interval,


sampai status imunisasi balita lengkap, meskipun kegiatan BIAN telah
selesai dilaksanakan

Pemberian imunisasi tambahan campak-rubela dan/atau imunisasi


kejar dilakukan dengan memperhatikan interval minimal 2 minggu
dengan vaksin COVID-19

D. Penyuntikan Aman
Pelaksanaan imunisasi harus bisa menjamin bahwa sasaran
mendapatkan kekebalan, serta menghindari penyebaran penyakit terhadap
petugas dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus
diperhatikan beberapa hal di bawah ini:
1. Selalu menggunakan ADS dalam pelayanan imunisasi
2. Jangan menggunakan ADS dengan kemasan yang telah rusak atau
telah melewati tanggal kadaluarsa
3. Jangan mengisi spuit dengan vaksin sebelum sasaran datang (pre-
filling)
4. Jangan meninggalkan jarum suntik menancap di vial vaksin
5. Jarum suntik habis pakai harus langsung dibuang ke safety box tanpa
menutup kembali jarum (no recapping). Jangan meletakkan jarum
suntik di atas meja atau di nampan setelah penyuntikan
6. Tenaga kesehatan harus mencuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan penyuntikan

-45-
-46-

Harus Dilakukan

Menyimpan vaksin dan pelarut vaksin Vaksin yang sudah dilarutkan/dibuka


menggunakan 2 atau 4 buah cool pack diletakkan diantara busa dalam vaksin
sesuai dengan tipe vaksin carrier carrier

Menuliskan tanggal dan jam vaksin


Melarutkan vaksin atau membuka vaksin
dibuka/dilarutkan di label vial vaksin
bila sasaran telah siap divaksinasi

Mencuci tangan dengan sabun dan air


Membersihkan kulit tempat pemberian
mengalir atau mengganti sarung tangan
suntikan dengan kapas kering sekali pakai
setiap sasaran baru
atau kapas yang dibasahi air matang

Pegang lengan yang akan disuntik dengan ibu jari dan telunjuk. Pegang alat suntik,
tusukkan jarum dengan sudut pemberian sesuai dengan jenis vaksin. Tidak perlu
dilakukan aspirasi terlebih dahulu

Gambar 5. Hal-hal yang Harus Dilakukan dalam Pelayanan Imunisasi

-46-
-47-

Tidak Boleh Dilakukan

Membuka karet penutup vial


Mengisi vaksin dalam alat suntik sebelum
sasaran siap divaksinasi (prefilling)

Mencampur vaksin dari vial satu dengan


Meninggalkan jarum diatas karet penutup
vial yang lain dalam 1 alat suntik
vial vaksin

Melakukan penutupan kembali alat


Menyimpan vaksin diluar vaksin carrier
suntik (recapping)

Menyentuh jarum dan tutup botol

Gambar 6. Hal-hal yang Tidak Boleh Dilakukan


dalam Pelayanan Imunisasi

-47-
-48-

E. Keamanan Pemberian Imunisasi Ganda


Pemberian lebih dari satu jenis imunisasi dalam satu kali kunjungan
bermanfaat untuk mempercepat perlindungan kepada anak, meningkatkan
efisiensi pelayanan dan orang tua tidak perlu datang ke fasilitas kesehatan
berulang kali. Pemberian imunisasi ganda sudah terbukti aman, efektif dan
tidak meningkatkan risiko KIPI pada anak. Pastikan pelayanan imunisasi
mematuhi prinsip penyuntikan aman, penyimpanan vaksin sesuai
prosedur dan memperhatikan kontra indikasi imunisasi.
Adapun cara pemberian imunisasi ganda adalah sebagai berikut:
1. Jelaskan manfaat dan keamanan pemberian imunisasi ganda kepada
orang tua/pengantar;
2. Atur posisi bayi/anak senyaman mungkin;
3. Pemberian imunisasi ganda dilakukan di tempat penyuntikan yang
berbeda. Atau bisa juga diberikan di satu tempat suntikan yang sama,
dengan lokasi suntikan dipisahkan setidaknya berjarak 2,5 cm (1
inchi);
Tabel 5. Lokasi Pemberian Imunisasi
Vaksin Lokasi Pemberian
Campak-Rubela Lengan Atas
IPV Usia < 18 bulan : Paha
DPT-HB-Hib Usia ≥ 18 bulan : Lengan Atas
4. Kurangi rasa nyeri dengan memberikan vaksin yang lebih tidak sakit
dahulu (contohnya berikan tetes OPV dan suntikan campak-rubela
terlebih dahulu, baru IPV diikuti dengan DPT-HB-Hib).
5. Apabila penyuntikan ganda tidak memungkinkan dilakukan
bersamaan, maka pemberian imunisasi berikutnya dapat dilakukan di
hari lain sesuai janji temu.

Manfaat Pemberian Imunisasi Ganda:


1. Melindungi anak sesegera mungkin selama bulan-bulan awal
kehidupan mereka yang rentan
2. Lebih sedikit jumlah kunjungan untuk imunisasi
3. Meningkatkan efisiensi layanan kesehatan

-48-
-49-

F. Peran Petugas Kesehatan, Guru, dan Kader


1. Tugas dan Peran Tenaga Kesehatan

Tabel 6. Tugas dan Peran Tenaga Kesehatan


No Kegiatan
Persiapan Sebelum Hari Pelaksanaan
1. Petugas kesehatan membuat pengumuman pemberitahuan
mengenai jadwal BIAN, dengan menyertakan nomor
telepon/WA/SMS untuk membuat janji temu (daftar) imunisasi
yang akan datang
2. Melakukan skrining kesehatan untuk kader/guru
3. Membuat jadwal pelayanan imunisasi dengan pihak sekolah,
guru atau orang tua agar kedatangan sasaran imunisasi dapat
diatur dan berjalan dengan baik
4. a. Melakukan skrining kesehatan untuk memastikan anak dan
pengantar dalam kondisi sehat untuk datang ke tempat
pelayanan imunisasi. Format skrining kesehatan anak
sebelum imunisasi dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.
b. Mengingatkan orang tua atau pengantar untuk membawa
anak ke tempat pelayanan imunisasi sesuai hari dan jam yang
telah ditentukan dengan membawa buku KIA atau buku
Rapor Kesehatanku
c. Membatasi jumlah pengantar hanya 1 orang
Hari Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
1. Memastikan diri, kader dan petugas kesehatan lainnya dalam
keadaan sehat untuk memberikan pelayanan (tidak demam,
batuk, pilek, dan lain-lain)
2. a. Menggunakan alat pelindung diri sebelum memulai
pelayanan yaitu masker bedah/masker medis (1 buah
masker medis dapat dipakai maksimal 4 jam, atau diganti
lebih sering apabila basah, robek atau rusak)

-49-
-50-

b. Petugas dapat menggunakan APD tambahan yaitu:


• Sarung tangan apabila tersedia

• Sarung tangan harus diganti untuk setiap satu sasaran

yang diimunisasi. Jangan menggunakan sarung tangan


yang sama untuk lebih dari satu anak. Bila sarung tangan
tidak tersedia, petugas dapat mencuci tangan dengan
sabun dan air mengalir setiap sebelum dan sesudah
imunisasi kepada sasaran. Jangan mencuci tangan dalam
keadaan menggunakan sarung tangan
• APD lain apabila tersedia, seperti baju dinas atau gown/apron,
dan face shield
• Baju dinas yang digunakan untuk pelayanan imunisasi

harus diganti setiap selesai sesi pelayanan apabila petugas


akan kembali ke Puskesmas
3. Memastikan ruang/tempat pelayanan imunisasi bersih
4. Memastikan tersedianya fasilitas cuci tangan dengan sabun dan
air mengalir atau hand sanitizer di tempat pelayanan imunisasi
dan mencuci tangan setiap ganti sasaran
5. Memastikan semua vaksin, logistik, dan peralatan/kit
anafilaktik tersedia dan dalam keadaan baik dan bersih
6. Memastikan tempat duduk antar petugas dan kader serta orang
tua/pengantar serta sasaran sesuai prinsip menjaga jarak aman
1–2 meter
7. Melakukan skrining kesehatan sebelum imunisasi pada saat
sasaran dan orang tua atau pengantar tiba di Fasyankes/Pos
Pelayanan Imunisasi. Apabila ditemukan gejala/riwayat kontak,
maka dianjurkan memeriksakan dirinya untuk kecurigaan
COVID-19 dan pemberian imunisasi ditunda
8. Pada saat pelayanan imunisasi kepada sasaran:
a. Menjelaskan imunisasi yang akan diberikan saat ini (jenis,
jadwal, manfaat, serta kemungkinan efek simpang yang akan
terjadi dan bagaimana cara untuk mengatasinya)
b. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir dan
menggunakan hand sanitizer sebelum dan setelah
melakukan imunisasi pada setiap sasaran imunisasi

-50-
-51-

c. Memberikan imunisasi sesuai jadwal dengan prinsip


penyuntikan yang aman (safe injection)
d. Mencatat hasil pelayanan imunisasi ke dalam aplikasi
SehatIndonesiaku (ASIK) serta ke dalam buku KIA atau buku
catatan imunisasi maupun pada register kohort bayi atau
register kohort anak balita dan anak prasekolah atau e-
kohort KIA atau buku Rapor Kesehatanku
e. Meminta sasaran/pengantar untuk menunggu sampai 30
menit setelah imunisasi untuk memantau reaksi anafilaksis
f. Memberikan penjelasan apabila terjadi keluhan setelah
imunisasi harus segera menghubungi petugas kesehatan
9. Membersihkan area tempat pelayanan imunisasi sesudah selesai
pelayanan dengan cairan disinfektan

2. Tugas dan Peran Kader/Guru di Tempat Pelayanan Imunisasi

Tabel 7. Tugas dan Peran Kader/Guru


No Kegiatan
Persiapan Sebelum Hari Pelaksanaan
1. Membantu petugas kesehatan mengingatkan orang tua atau
pengantar pada H-1 pelayanan untuk:
a. Membantu petugas melakukan skrining kesehatan untuk
memastikan anak dan pengantar dalam kondisi sehat untuk
datang ke pelayanan imunisasi.
b. Memobilisasi anak ke tempat pelayanan imunisasi sesuai
hari dan jam yang telah ditentukan dengan membawa buku
KIA atau buku Rapor Kesehatanku
c. Membatasi jumlah pengantar hanya 1 orang
Hari Pelaksanaan Pelayanan Imunisasi
1. Memastikan diri dan guru/kader lainnya dalam keadaan sehat
untuk membantu pelayanan di tempat pelayanan imunisasi
(tidak demam, batuk, pilek, dan lain-lain)

-51-
-52-

2. Menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan prinsip


protokol kesehatan, masker medis atau masker kain minimal 3
lapis, face shield bila tersedia, dan dihimbau untuk
menggunakan baju lengan panjang
3. Membantu memastikan area pelayanan imunisasi bersih
4. Memastikan fasilitas cuci tangan pakai air dan sabun dan hand
sanitizer tersedia
5. Membantu menyiapkan catatan data sasaran anak yang menjadi
sasaran imunisasi
6. Membantu mengatur alur keluar dan masuk sasaran imunisasi
dan pengantar sesuai protokol kesehatan
7. Membantu petugas melakukan skrining kesehatan anak.
8. Membantu memastikan orang tua/pengantar dan sasaran
disiplin menerapkan protokol kesehatan
9. Ukur suhu anak dan pengantar saat tiba di tempat pelayanan
imunisasi sebelum memasuki area pelayanan imunisasi dengan
termometer (sebaiknya dengan termometer nonkontak). Apabila
ditemukan peningkatan suhu pada anak atau pengantar, maka
dianjurkan memeriksakan dirinya untuk kecurigaan COVID-19
dan pemberian imunisasi ditunda
10. Melakukan pendaftaran anak yang datang ke tempat pelayanan
imunisasi di buku register
11. Mencocokkan anak yang datang dengan data sasaran imunisasi
sesuai jadwal yang ditentukan petugas. Membantu mencatat
hasil pelayanan imunisasi ke dalam Buku KIA atau
kartu/catatan imunisasi lainnya maupun pada register kohort
bayi atau register kohort anak balita dan anak prasekolah atau
e-kohort KIA atau buku Rapor Kesehatanku
12. Membantu memastikan orang tua atau pengantar duduk di
ruang tunggu sesuai prinsip protokol kesehatan pada saat
menunggu sebelum imunisasi dan 30 menit sesudah imunisasi

-52-
-53-

13. Mengingatkan orang tua/pengantar untuk:


a. segera pulang ke rumah sesudah pelayanan di tempat
pelayanan imunisasi
b. membersihkan diri atau mandi dan cuci rambut
c. mengganti semua kain/linen (pakaian, gendongan) anak dan
pengantar yang dibawa ke tempat pelayanan imunisasi
14. Pada akhir pelayanan mendata anak yang tidak datang untuk
imunisasi sesuai dengan jadwal yang ditentukan
15. Mencatat dan melaporkan hasil catatan pendataan sasaran yang
datang dan tidak datang ke tempat pelayanan imunisasi kepada
petugas. Untuk anak- anak yang tidak datang, maka akan
dipanggil kembali dan dikumpulkan di tempat pelayanan pada
waktu yang ditentukan

G. Manajemen Limbah
1. Setiap tempat pelayanan imunisasi harus disediakan safety box dengan
jumlah yang cukup berdasarkan jumlah sasaran
2. Safety box harus diberi label dengan nama petugas, nama tempat
pelayanan, dan tanggal pelayanan
3. Semua ADS yang telah digunakan harus dimasukkan ke dalam safety
box. Jangan membuang sampah lainnya ke dalam safety box
4. Setelah safety box terisi ¾ (tiga per empat) penuh, harus ditempatkan
di tempat yang aman dalam kondisi tertutup dengan diberi tanda silang
(X) atau ditempelkan lakban
5. Limbah lainnya, seperti vial vaksin (yang sudah dicoret nomor batch-
nya), ampul pelarut, dan kapas, dibuang ke dalam kantong plastik
kuning khusus limbah medis atau kantong plastik biasa yang diberi
tanda/ditulis “limbah medis”
6. Setelah kantong plastik limbah medis terisi ¾ (tiga per empat) penuh,
diikat dengan ikatan tunggal dan ditempatkan di tempat yang aman
dalam kondisi tertutup
7. Safety box dibawa ke tempat penyimpanan limbah sementara di
masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan terkait untuk
dimusnahkan

-53-
-54-

8. Limbah yang telah terkumpul tersebut kemudian dimusnahkan sesuai


dengan ketentuan yang berlaku dan berkoordinasi dengan petugas
kesehatan lingkungan

H. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan pada pelaksanaan BIAN dilakukan secara
elektronik dan manual.
1. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan secara elektronik
menggunakan aplikasi sebagai berikut:
a. Aplikasi SehatIndonesiaku (ASIK)untuk hasil layanan imunisasi
b. Aplikasi SMILE untuk pencatatan dan pelaporan distribusi/alokasi,
penggunaan, pembuangan serta permintaan vaksin dan logistik
lainnya berdasarkan: nomor batch, expiry date/ED, kuantitas
(dosis) serta VVM.
2. Penggunaan aplikasi SehatIndonesiaku (ASIK) untuk pencatatan hasil
layanan dilakukan sebagai berikut:
a. Pencatatan hasil layanan imunisasi individu dilaksanakan secara
elektronik melalui aplikasi SehatIndonesiaKu (ASIK).
b. Pencatatan elektronik hasil layanan melalui aplikasi
SehatIndonesiaKu (ASIK) dapat dilakukan oleh Pengelola Program
Imunisasi & KIPI dan Pelaksana Imunisasi setiap Puskesmas yang
sudah terdaftar pada aplikasi SehatIndonesiaKu (ASIK).
c. Pengelola Program Imunisasi & KIPI dan Pelaksana Imunisasi wajib
mendaftarkan diri ke dalam aplikasi SehatIndonesiaKu (ASIK) agar
dapat melakukan pencatatan hasil layanan. Detail cara registrasi
pada aplikasi dapat dilihat pada Buku Panduan Penggunaan Aplikasi
SehatIndonesiaKu (ASIK) yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.
d. Sebelum pelaksanaan, Pengelola Program Imunisasi & KIPI
menentukan fasilitas pelayanan kesehatan dan pos pelayanan
imunisasi yang akan melaksanakan kegiatan BIAN dan melaporkan
kepada Farmasi untuk dapat didaftarkan dalam aplikasi SMILE.
e. Pengelola Program Imunisasi & KIPI menunjuk satu orang
Penanggung Jawab (PJ) untuk setiap fasilitas pelayanan kesehatan
dan pos imunisasi BIAN.

-54-
-55-

f. PJ fasilitas pelayanan kesehatan dan pos imunisasi BIAN


bertanggung jawab untuk mengambil vaksin dan logistik di Farmasi
Puskesmas. Pada saat pengambilan, PJ wajib membuka sesi Pos
Imunisasi melalui aplikasi SehatIndonesiaku (ASIK) dan
mengonfirmasi jumlah vial yang diterima melalui aplikasi. Pastikan
aplikasi terhubung dengan internet agar sesi pelayanan imunisasi
dapat dimulai.
g. Pelaksana imunisasi yang tidak bertugas sebagai PJ hanya perlu
memilih Pos Imunisasi yang sudah dibuka oleh PJ kemudian
melakukan pencatatan pelayanan imunisasi individu.
h. Pencatatan hasil layanan imunisasi wajib dicatat per individu.
Petugas akan menginput data hasil layanan imunisasi setiap sasaran
penerima imunisasi.
i. Pencatatan dan pelaporan BIAN per individu dilaksanakan secara
elektronik menggunakan database sasaran yang tersedia di Aplikasi
SehatIndonesiaku (ASIK).
j. Apabila sasaran belum terdaftar pada database sasaran imunisasi,
maka petugas perlu mendaftarkan sasaran tersebut dengan
menginput identitas sasaran seperti NIK (bila belum memiliki NIK
dapat melengkapi identitas lainnya), nama lengkap, tanggal lahir,
jenis kelamin, alamat dan data orang tua agar dapat memberikan
identifikasi yang tepat pada identitas sasaran.
k. Setelah kegiatan imunisasi pada hari tersebut selesai, PJ wajib
menutup sesi Pos Imunisasi pada aplikasi kemudian mencatat
jumlah vial vaksin yang belum dibuka ke dalam aplikasi
SehatIndonesiaKu (ASIK).
l. Apabila terjadi kendala dalam melakukan input data hasil layanan,
petugas dapat melengkapinya maksimal H+7 setelah pelaksanaan
imunisasi dengan memilih Pos Imunisasi dan tanggal pelaksanaan
yang sesuai dengan hari pemberian layanan imunisasi.
m. Tata cara penggunaan aplikasi SehatIndonesiaKu (ASIK) secara detail
dapat dilihat pada Buku Panduan Penggunaan aplikasi
SehatIndonesiaKu (ASIK) yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.

-55-
-56-

3. Penggunaan aplikasi SMILE dilakukan sebagai berikut:


a. Pencatatan penerimaan dan pengeluaran vaksin melalui aplikasi
yang dapat diakses petugas pengelola logistik secara online melalui
telpon genggam dan website. Sisa stok, vaksin ED dan rusak,
agregasi vaksin dan logistik di tiap tingkatan, serta analisis dan
pelaporan lain yang dibutuhkan pengelola logistik, adalah contoh
beberapa informasi yang dapat diperoleh secara cepat dan otomatis
dari SMILE. Karena hasil input petugas dan pengolahannya di
SMILE telah terintegrasi dengan dashboard satu data Kemenkes RI
https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines, sehingga petugas tidak
perlu melakukan penghitungan ulang atau memberikan laporan ke
Pusat secara manual lagi.
b. SMILE juga dilengkapi dengan notifikasi SMS kepada petugas
pengelola vaksin di tingkat Dinas Kesehatan Kota dan Kabupaten,
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan RI atas
kondisi vaksin dan logistik di setiap Fasilitas Kesehatan seperti
habis stok, kelebihan stok, permintaan vaksin yang harus
dipenuhi, vaksin yang mendekati ED, serta kondisi suhu kulkas
vaksin (pada kulkas telah terpasang alat pemantau suhu berbasis
IoT dan terhubung dengan SMILE).
c. Detail tata cara penggunaan aplikasi SMILE dapat diunduh pada
tautan https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN
4. Pencatatan juga dapat dilakukan secara manual menggunakan format
yang ditetapkan. Pencatatan secara manual dilakukan terpisah dari
kegiatan rutin. Pencatatan hasil imunisasi individual dilakukan setiap
hari pelayanan (format dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN).
5. Bagi sasaran balita, hasil pemberian imunisasi juga dicatat pada tabel
“Pelayanan Imunisasi” yang terdapat di Buku KIA (kolom usia
pemberian disesuaikan dengan yang tercantum pada tabel tersebut).
Bagi sasaran anak usia sekolah, hasil pemberian imunisasi tambahan
campak-rubela dapat dicantumkan di Buku Rapor Kesehatanku atau
catatan imunisasi lainnya.

-56-
-57-

6. Puskesmas melakukan rekapitulasi mingguan dan melaporkan secara


berjenjang meliputi hasil pelayanan dan pemakaian logistik (format
dapat diunduh pada tautan https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN)
yang dilakukan setiap hari Jumat setiap minggunya.
7. Pencatatan hasil imunisasi dan penggunaan logistik dari fasilitas
pelayanan kesehatan lain dan pos pelayanan imunisasi dilaporkan
kepada Puskesmas dan dimasukkan oleh petugas dalam rekapan
Puskesmas.

 Bagi anak usia 9-11 bulan yang belum mendapatkan imunisasi


rutin campak-rubela dosis pertama maka dosis imunisasi
tambahan campak-rubela saat BIAN dicatat sebagai cakupan
imunisasi dasar lengkap dan BIAN.
 Bagi anak usia 18-24 bulan yang telah mendapatkan 1 dosis
imunisasi rutin campak-rubela maka hasil layanan saat BIAN
dicatat sebagai cakupan imunisasi lanjutan baduta (imunisasi
campak-rubela dosis kedua) dan BIAN.
 Bagi anak usia 18-24 bulan yang telah mendapatkan 3 dosis
imunisasi rutin DPT-HB-Hib maka hasil layanan saat BIAN
dicatat sebagai cakupan imunisasi lanjutan baduta (imunisasi
imunisasi DPT-HB-Hib dosis keempat) dan BIAN.
 Bagi anak (yang akan memasuki kelas 1 sekolah dasar) di wilayah
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua yang mendapatkan imunisasi tambahan campak-Rubela
saat BIAN, maka hasil layanan saat BIAN dicatat sebagai cakupan
BIAS campak-rubela bulan Agustus dan BIAN.
 Pada daerah yang telah memberikan imunisasi campak-rubela
sebagai respons KLB (Outbreak Response Immunization) sejak
bulan Januari tahun 2022, maka hasil layanan ORI dicatat juga
sebagai hasil layanan imunisasi tambahan campak-rubela pada
BIAN.

-57-
-58-

BAB
BAB V V
PEMANTAUAN PENANGGULANGAN KIPI
PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KIPI

A. Pengertian
Vaksin yang digunakan dalam program imunisasi nasional termasuk
vaksin untuk Bulan Imunisasi Anak Nasional aman dan efektif. Secara
umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi pada tubuh, atau apabila terjadi,
hanya menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh
dengan menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap
antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi lokal dan sistemik seperti
nyeri pada tempat suntikan atau demam dapat terjadi sebagai bagian dari
respon imun. Komponen vaksin lainnya (misalnya bahan pembantu,
penstabil, dan pengawet) juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang
berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi ringan seminimal
mungkin namun tetap memicu respon imun terbaik. Frekuensi terjadinya
reaksi ringan vaksinasi ditentukan oleh jenis vaksin.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi atau yang dikenal sebagai KIPI
merupakan kejadian medik yang terjadi setelah imunisasi dan diduga
berhubungan dengan imunisasi. Kejadian ini dapat berupa reaksi vaksin,
kesalahan prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan, atau hubungan kausal
yang tidak dapat ditentukan. Pada saat imunisasi massal dimana
dilakukan pemberian imunisasi dalam jumlah banyak pada kurun waktu
tertentu, akan muncul jumlah laporan KIPI yang meningkat. Untuk itu
harus dilakukan persiapan kegiatan yang sistematik dan terencana dengan
baik.
Menurut Uppsala Monitoring Centre (UMC), KIPI diklasifikasikan
menjadi KIPI Serius dan KIPI Non-serius. KIPI serius adalah setiap kejadian
medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap, kecacatan,
kematian, dan menimbulkan masalah medikolegal, serta ng menimbulkan
keresahan di masyarakat. KIPI non-serius adalah kejadian medik yang
terjadi setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada
kesehatan si penerima (sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12
Tahun 2017).

-58-
-59-

B. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi pada Bulan Imunisasi Anak Nasional


yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya
Semua vaksin memiliki reaksi simpang. Reaksi simpang yang mungkin
terjadi adalah reaksi lokal, seperti nyeri, bengkak, dan kemerahan di lokasi
suntikan. Reaksi sistemik bisa berupa ruam, demam, dan malaise. Reaksi
alergi berat seperti reaksi anafilaksis dapat terjadi pada setiap orang saat
pemberian vaksin. Reaksi yang sering terjadi pada saat imunisasi seperti
tercantum dalam Tabel 8.

Tabel 8. Reaksi Vaksin Ringan

Reaksi Lokal Reaksi Sistemik


Vaksin Nyeri, bengkak, Rewel,
Demam > 38 oC
merah malaise, dsb
Hepatitis B Dewasa ~15 % 1-6 % _
Anak-anak ~ 5 %

Hib 5-15 % 2-10 % -

Campak- ~10 % 5-15 % 5 % (Ruam)


Rubela/MMR
OPV Tidak ada <1% <1%

Pertusis (DTwP) ~ 50 % ~ 50 % ~ 55 %

Tetanus/DT/aTd ~ 10 % ~ 10 % ~ 25 %

-59-
-60-

Tabel 9. Reaksi Vaksin Berat: Jarang Sekali – Sangat Jarang


Rate per
Interval
Vaksin Reaksi sejuta
Awitan
dosis
Hib Tidak diketahui

Anafilaksis 0-1 jam 1-2


Hep B
Sindrom Guillain Barré 1-6 minggu 5
Kejang demam 5-12 hari 333
Measles/MR/ Trombositopenia 15-35 hari 33
MMR Anafilaksis 0-1 jam 1-50
Ensefalopati - <1
Vaccine-associated 0.76-1.3
paralytic poliomyelitis (dosis
(VAPP) pertama)
OPV Risiko meningkat pada 4-30 hari 0.17 (dosis
dosis pertama, dewasa, berikutnya)
dan penderita 0.15
imunokompromis (kontak)
Neuritis brakial 2-28 hari 5-10
Anafilaksis 0-1 jam 1-6
Tetanus
Abses steril 1-6 minggu 6-10

Seperti reaksi tetanus


DPT

Persistent inconsolable 0-24 jam 1000-


screaming (>3 jam) 60.000

Kejang 0-3 hari 570


DPT-HB-Hib Hypotonic,hyporesponsive 0-24 jam 570
episode (HHE)
Anafilaksis / renjatan 0-1 jam 20
Ensefalopati 0-3 hari 0-1

-60-
-61-

KIPI yang terkait kekeliruan prosedur dapat terjadi, untuk itu


persiapan sistem pelaksana imunisasi yang terdiri dari petugas pelaksana
yang kompeten (memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam
melaksanakan imunisasi dan memiliki sikap profesional cukup sebagai
tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas,
termasuk surat tugas, STR dan SIP harus disiapkan dengan lengkap.
Petugas pelaksana yang masuk dalam sistem ini harus memahami
petunjuk teknis yang diberikan.
KIPI terkait reaksi kecemasan juga mungkin terjadi. Reaksi
kecemasan sering terjadi pada anak yang lebih besar (ISRR/Immunization
Stress Related Response) sehingga harus diwaspadai karena sasaran pada
kegiatan ini adalah anak sampai dengan usia kurang dari 15 tahun. Reaksi
kecemasan yang mungkin timbul adalah pingsan yang gejalanya mirip
reaksi anafilaksis. Perbedaan yang harus diketahui petugas antara pingsan
karena kecemasan dan pingsan karena reaksi anafilaksis adalah tanda
vital, khususnya pernafasan dan tekanan darah yang normal pada pingsan
akibat reaksi kecemasan terhadap tindakan imunisasi/suntikan.
KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden harus
diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan anak yang akan
diimunisasi harus dilakukan seoptimal mungkin. Apabila diperlukan catat
data anak yang status kesehatannya meragukan, untuk digunakan
sebagai kelengkapan data apabila terjadi KIPI.

C. Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI


Pemantauan kasus KIPI dimulai langsung setelah imunisasi. Setelah
menerima imunisasi maka anak dianjurkan menunggu di lokasi imunisasi
sampai dengan 30 menit untuk dilakukan observasi timbulnya KIPI. Jika
tidak ada keluhan/gejala KIPI maka anak diperbolehkan pulang dan orang
tua diberikan edukasi tata laksana jika anak mengalami KIPI di rumah.
Puskesmas/fasyankes lainnya akan menerima laporan KIPI dari
masyarakat/orangtua/kader. Apabila ditemukan dugaan KIPI serius maka
harus segera direspon, diinvestigasi dan dilaporkan. Skema alur kegiatan
penemuan, pelacakan dan pelaporan kasus KIPI serius dilakukan seperti
pada gambar 6 berikut ini.

-61-
-62-

Gambar 7. Skema Penemuan dan Pelaporan Kasus KIPI Serius

Keterangan:
1. Orangtua, masyarakat, kader atau pihak lain yang mengetahui adanya
KIPI melaporkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan tempat
pelaksanaan vaksinasi atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
(Puskesmas/RS/Fasyankes Swasta)
2. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menetapkan petugas
penanggung jawab surveilans KIPI yang dapat dihubungi apabila ada
laporan KIPI serius dari orangtua, masyarakat, kader atau pihak lain
serta melakukan pencatatan dan pelaporan KIPI.
3. Selanjutnya, setiap fasilitas pelayanan kesehatan akan mencatat
laporan KIPI serius melalui formulir pelaporan KIPI serius dan atau
segera melaporkan KIPI serius melalui laman web Keamanan Vaksin
(www.keamananvaksin.kemkes.go.id), secara otomatis dinas
kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi akan
menerima laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan pelapor.

-62-
-63-

4. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi


segara melakukan investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja
sama dengan Balai Besar POM Provinsi dan Pokja PP KIPI
Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI Provinsi (jika diperlukan). Hasil
investigasi dicatat melalui formulir investigasi KIPI dan atau
dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara otomatis
Pokja maupun Komda PP KIPI akan menerima laporan tersebut.
5. Kemudian dilakukan kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI
Kabupaten/Kota atau Komda PP KIPI Provinsi setelah investigasi
selesai dilakukan. Komnas PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika
sudah dilakukan kajian oleh Pokja PP KIPI Kabupaten/Kota atau
Komda PP KIPI Provinsi.
6. Pencatatan dan pelaporan KIPI serius dilakukan melalui website
keamanan vaksin oleh petugas surveilans KIPI. Apabila tidak
memungkinkan, maka dapat dilakukan secara manual menggunakan
format standar yang dapat diunduh pada tautan bit.ly/formkipi .
Laporan segera dikirim secara berjenjang kepada Kementerian
Kesehatan cq. Substansi Surveilans PD3I dan KIPI serta Komnas PP-
KIPI melalui email: [email protected] dan
[email protected]

Sementara itu, untuk laporan KIPI Non-serius akan didapatkan oleh


Puskesmas / fasyankes lainnya dari orang tua/pengantar anak pada saat
pelayanan imunisasi di bulan berikutnya setelah pemberian imunisasi.
Pada saat skrining sebelum diberikan imunisasi maka petugas fasilitas
pelayanan kesehatan wajib menanyakan riwayat terjadinya KIPI pada anak
setelah diberikan imunisasi sebelumnya. Apabila orang tua/pengantar
anak menyatakan bahwa terdapat gejala klinis setelah pemberian
imunisasi namun dapat diatasi di rumah dan tidak menimbulkan risiko
potensial pada kesehatan anak, maka hal tersebut dapat dikategorikan
sebagai kasus KIPI Non-serius.
Apabila ditemukan KIPI Non-serius maka harus segera dicatat dalam
formulir pelaporan KIPI Non-serius, yang digunakan untuk mencatat
semua KIPI Non-serius dari semua imunisasi yang diberikan di bulan
sebelumnya. Fomulir skema alur kegiatan penemuan dan pelaporan kasus
KIPI Non-serius dilakukan seperti pada gambar berikut ini.

-63-
-64-

Gambar 8. Skema Penemuan dan Pelaporan Kasus KIPI Non-serius

D. KURUN WAKTU PELAPORAN KIPI


Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI
diperlukan pencatatan dan pelaporan dengan keterangan rinci semua
reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi yang merupakan
kegiatan dari surveilans KIPI. Data yang diperoleh dipergunakan untuk
menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan. Pelaporan KIPI
dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat.
Pada kasus KIPI serius, terutama yang menimbulkan perhatian
berlebihan/meresahkan masyarakat, atau yang masih membutuhkan
kelengkapan data, maka laporan satu kasus KIPI dapat dilaporkan
beberapa kali pada masing-masing tingkat pelaporan sampai laporan
memenuhi kelengkapan tersebut.

Pelaporan KIPI serius dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat


dipakai untuk tindakan penanggulangan. Kurun waktu pelaporan dapat
mengacu pada tabel di bawah ini.

-64-
-65-

Tabel 10. Kurun Waktu Pelaporan KIPI Serius Berdasarkan Jenjang


Administrasi Penerima Laporan
Kurun waktu diterimanya
Jenjang Administrasi
laporan
Dinas Kesehatan 24 jam dari saat penemuan
Kabupaten/Kota/Pokja KIPI kasus
Dinas Kesehatan Provinsi/Komda 24-72 jam dari saat penemuan
PP-KIPI kasus
Direktorat Pengelolaan Imunisasi 24 jam-7 hari dari saat
cq. Substansi Surveilans PD3I penemuan kasus
dan KIPI/Komnas PP-KIPI

Perbaikan mutu pelayanan diharapkan sebagai tindak lanjut dan


umpan balik setelah didapatkan kesimpulan penyebab berdasarkan hasil
investigasi kasus KIPI serius.
Sementara itu penemuan kasus KIPI Non-Serius pada pemberian
imunisasi sebelumnya di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan setiap
bulan pada saat penapisa sebelum pemberian imunisasi. Kasus KIPI Non-
serius dapat dicatat langsung ke dalam laman web keamanan vaksin, atau
direkap dalam formulir kasus KIPI Non-serius kemudian diunggah melalui
laman web keamanan vaksin sebelum tanggal 5 di bulan berikutnya.

E. Pelacakan KIPI
Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah
ditentukan, dengan memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin,
teknik dan prosedur imunisasi, serta melakukan perbaikan berdasarkan
temuan yang didapat.

-65-
-66-

Pelacakan KIPI yang dilakukan selama masa pandemi COVID-19


harus dilaksanakan sesuai prinsip protokol kesehatan yaitu dengan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dan menerapkan upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dan menjaga jarak aman 1 – 2
meter. Pelacakan KIPI serius secara lengkap dapat dilihat pada
Permenkes Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi dan
disesuaikan dengan Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/4638/2021
Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Tabel 11. Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI


Langkah Tindakan
1. Pastikan • Dapatkan catatan medik kasus (atau catatan klinis
informasi lain)
pada laporan • Periksa informasi tentang kasus dari catatan
medik dan dokumen lain
• Isi setiap kelengkapan yang kurang dari formulir
laporan KIPI
• Tentukan informasi dari kasus lain yang
dibutuhkan untuk melengkapi pelacakan
2. Lacak dan Tentang kasus:
Kumpulkan • Kronologis imunisasi saat ini yang diduga
data menimbulkan KIPI
• Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi sebelumnya dengan reaksi yang sama
atau reaksi alergi yang lain
• Riwayat keluarga dengan kejadian yang sama
Tentang kejadian:
• Kronologis, deskripsi klinis dan setiap hasil
laboratorium yang relevan dengan KIPI dan
penegakan diagnosis dari kejadian ikutan
• Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya

-66-
-67-

Tentang vaksin yang diduga menimbulkan KIPI:


• Tuliskan jenis vaksin dan nomor batch vaksin
• Prosedur pengiriman vaksin
• Kondisi penyimpanan
• Keadaan vaccine vial monitor
• Catatan suhu pada lemari es (vaccine refrigerator)
Tentang kondisi anak lainnya:
• Adakah anak lain yang mendapat imunisasi dari
vaksin dengan nomor batch yang sama dan
menimbulkan gejala yang sama
• Adakah anak lain yang tidak mendapat imunisasi
dan memiliki gejala yang sama
3. Menilai • Penyimpanan vaksin (termasuk vial/ampul vaksin
pelayanan yang telah dibuka), distribusi, dan pembuangan
dengan limbah
menanyakan • Penyimpanan pelarut, dan distribusi
tentang • Pelarutan vaksin (proses dan waktu/jam
dilakukan)
• Penggunaan ADS
• Penyimpanan perlengkapan anafilaktik
• Pelatihan praktik imunisasi, supervisi dan
pelaksana imunisasi
4. Mengamati • Apakah pelayanan imunisasi dilakukan dalam
pelayanan jumlah lebih banyak dari yang direncanakan
• Bagaimana penyimpanan vaksin dan pelarut
dalam lemari pendingin
• Prosedur imunisasi (pelarutan, penyimpanan
vaksin, teknik penyuntikan, safety injection,
pembuangan limbah)
5. Rumuskan • Kemungkinan penyebab kejadian tersebut
klasifikasi • Lakukan uji sterilitas dan toksisitas vaksin (jika
lapangan diperlukan)
6. Membuat • Buat kesimpulan penyebab KIPI
kesimpulan • Lengkapi formulir investigasi KIPI
Pelacakan • Lakukan tindakan koreksi dan rekomendasikan
tindakan lebih lanjut

-67-
-68-

F. Pengenalan dan Penanganan Anafilaktik


Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas sistemik yang berat,
terjadi dengan cepat (umumnya 5–30 menit sesudah suntikan), serius, dan
dapat menyebabkan kematian. Reaksi anafilaktik menjadi risiko pada
setiap pemberian vaksinasi, obat, makanan dan lainnya, dan merupakan
KIPI serius yang harus mendapat penanganan segera. Jika reaksi tersebut
cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.
Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis sampai pada terapi dilakukan
di tempat kejadian, dan setelah tanda-tanda vital dari kasus stabil baru
dipertimbangkan untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat. Setiap petugas
pelaksana imunisasi harus sudah kompeten dalam mengenali dan
menangani reaksi anafilaktik.
Selain reaksi anafilaktik, salah satu efek simpang dari pemberian
imunisasi yang dapat memiliki manifestasi klinis menyerupai reaksi
anafilaktik adalah reaksi kecemasan. Reaksi kecemasan karena imunisasi
berbeda dengan reaksi anafilaktik. Berikut adalah perbedaan antara reaksi
anafilaktik dengan reaksi kecemasan:

Tabel 12. Perbedaan Syok Anafilaktik dengan Reaksi Kecemasan

-68-
-69-

Tingkatan reaksi kecemasan mulai dari ringan hingga berat. Reaksi


kecemasan yang berat dapat mengakibatkan pucat hingga pingsan karena
anak menahan nafas, dan kadang disertai gerakan seperti kejang. Hal ini
lebih umum dijumpai pada usia remaja. Walaupun dapat terjadi pingsan,
hal ini tidak mengancam jiwa. Penanganannya cukup dengan
membaringkan penderita secara terlentang. Sangat penting untuk
membedakan reaksi kecemasan dengan reaksi anafilaktik karena reaksi
anafilaktik memerlukan penanganan khusus dan segera.
Reaksi kecemasan ringan ditandai oleh ekspresi wajah yang penuh
kecemasan dan pucat disertai gejala-gejala hiperventilasi, sakit kepala
ringan, pusing, kesemutan di tangan dan sekitar mulut. Reaksi kecemasan
lebih berat terjadi karena pasien menahan napas, terutama terjadi pada
anak dengan usia lebih muda, yang ditunjukkan dengan muka yang
kemerahan dan sianosis. Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan
kesadaran, dan bersamaan dengan dimulainya lagi usaha bernafas. Reaksi
kecemasan yang lebih berat dapat sampai menyebabkan pingsan. Selama
pingsan, seseorang tiba-tiba akan menjadi pucat, hilang kesadaran, dan
jatuh lemas ke bawah. Pingsan kadang-kadang diikuti oleh gerakan
seperti kejang klonik singkat (gerak sentakan ritmik/berirama dari anggota
badan), apabila anggota badan yang bergerak ditahan gerakan akan
berhenti, dan keadaan ini tidak membutuhkan penanganan yang spesifik.
Pingsan relatif sering terjadi setelah imunisasi pada remaja dan dewasa,
tetapi jarang pada anak kecil. Bisa ditangani secara sederhana dengan
membaringkan penderita secara terlentang. Pemulihan kesadaran terjadi
dalam satu atau dua menit, tetapi penderita mungkin membutuhkan lebih
banyak waktu untuk pemulihan penuh. Tanda utama pada keadaan
pingsan karena reaksi kecemasan adalah tanda vital seperti frekuensi
jantung, kuat nadi, isi kapiler, dan frekuensi napas normal.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda
sesuai dengan berat atau ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang. Namun pada tingkat yang berat berupa syok
anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi.

-69-
-70-

Kriteria 1 gejala muncul tiba-tiba dalam menit sampai jam melibatkan kulit
jaringan mukosa atau keduanya (Mis: bercak merah diseluruh tubuh terasa
gatal dan panas bibir lidah dan uvula bengkak)

Ditambah sedikitnya satu dari keadaan berikut:


Gejala pada pernafasan Tekanan darah menurun
(Mis: sesak nafas, mengi, mendadak atau timbulnya gejala
batuk, stridor, hipoksemia) disfungsi organ seperti hipotonia
(kolaps), inkontinensia
ATAU kriteria 2 dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul mendadak
setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya

Gejala muncul Gejala pada Tekanan darah Gejala pencernaan


tiba-tiba dalam pernapasan menurun yang timbul
hitungan menit (Misal: sesak mendadak atau mendadak (Misal:
sampai jam, napas, batuk timbulnya gejala nyeri perut sampai
melibatkan kulit, hipoksemia) disfungsi organ kram muntah)
jaringan seperti hypotonia
mukosa, atau kolep
keduanya (Misal: Inkontinensia
bercak merah di
seluruh tubuh,
terasa gatal dan
panas, serta
bibir, lidah, dan
uvula bengkak)
ATAU kriteria 3 Tekanan darah berkurang setelah pajanan alergen yang
diketahui untuk pasien
(dalam hitungan menit sampai jam)

Bayi dan anak-anak tekanan darah sistolik rendah


spesifik usia atau pengurangan tekanan darah sistolik
yang lebih besar dari 30%

-70-
-71-

Keterangan:
*Sebagai contoh: imunologik namun independen IgE atau non imunologik
(aktivasi sel mast langsung)
**Sebagai contoh: setelah sengatan serangga berkurangnya tekanan darah dapat
menjadi satu-satunya manifestasi anafilaksis atau setelah imunoterapi alergen
bercak merah gatal diseluruh tubuh dapat menjadi manifestasi awal satu-satunya
dari anafilaksis
***Tekanan darah sistolik rendah pada anak diartikan sebagai tekanan darah
yang kurang dari 70 mmHg untuk usia 1 bulan - 1 tahun, kurang dari 70 mmHG
+ (2 kali usia) untuk 1 -10 tahun; dan kurang dari 90 mmHg untuk usia 11 -17
tahun
Frekuensi denyut jantung normal bervariasi dari 80 sampai 140 x / menit untuk
usia 1-2 tahun; 80-12x/menit untuk usia 3 tahun, dan 7-115 x/menit usia 3
tahun. Pada bayi dan anak kelainan pernafasan lebih umum terjadi daripada
hipotensi dan syok dan syok lebih sering bermanifestasi takikardia dari hipotensi

Gambar 9. Gejala dan Tanda Anafilaksis Syok

1. Miliki protokol gawat darurat tertulis


untuk mengenal anafilaksis beserta
tatalaksananya dan latih secara rutin
2. Sedapat mungkin, jauhkan
bayi/anak dari paparan faktor
pemicu, yang kemungkinan menjadi
pemicu gejala
3. Nilai jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi (airway, breathing, circulation),
status mental, kulit, dan berat badan
4. Pada saat yang sama, panggil bantuan
tim resusitasi (jika kejadian di rumah
sakit) atu tim medis gawat darurat (jika
kejadian di luar rumah sakit/komunitas)

5. Letakkan bayi/anak pada posisi


terlentang atau setengah berbaring
dalam posisi yang nyaman pada lengan
pengasuhnya

-71-
-72-

6. Beri injeksi epinefrin (adrenalin) secara


intramuskuler pada regio tengah paha
bagian depan dengan dosis 0,01 mg/kg
larutan 1:1000 (1 mg/ml), maksimum
0,3 mg. Catat waktu pemberian dan
dosis, ulangi 5–15 menit kemudian bila
diperlukan. Kebanyakan pasien akan
menunjukkan respon setelah 1–2 dosis
7. Bila diperlukan, berikan oksigen dengan
kecepatan tinggi (8-10 L/menit) dengan
masker khusus bayi/anak

8. Buat akses intravena menggunakan


jarum dan mulai pemberian resusitasi
cairan dengan larutan NaCl 0,9% NaCl
dengan dosis 10-20 ml/kg selama 5–10
menit

9. Pantau tekanan darah, denyut dan


fungsi jantung, status pernafasan, serta
kadar oksigen sesering mungkin dalam
interval yang teratur

10. Bila diperlukan, lakukan resusitasi


jantung paru dengan kompresi dada
100 kali per menit kedalaman 4 cm
secara kontinu dan berikan napas
buatan dengan kecepatan 15–20
kali/menit

Gambar 10. Langkah-langkah dalam Penanganan Syok Anafilaktik


Sumber (dengan modifikasi):
Simon, FER, & Sampson, HA. Anaphylaxis: Unique aspects of clinical diagnosis and
management in infants (birth to age 2 years). J Allergy Clin Immunol 2015(135):1125-31.

-72-
-73-

Untuk itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan


anafilaktik, stetoskop, tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan
oxymeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan anafilaktik terdiri dari:
1. Epinefrin ampul 1 : 1000
2. Deksametason ampul
3. Spuit 1 ml
4. Infus set
5. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
6. Tabung oksigen
Format pelaporan KIPI dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.

-73-
-74-

BAB
BAB VI
VI
MONITORING
MONITORING DAN EVALUASI
EVALUASI

A. Evaluasi Cakupan Bulan Imunisasi Anak Nasional


Monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan program imunisasi
merupakan komponen yang sangat penting, yang dilakukan untuk menilai
apakah kegiatan yang dilakukan dilaksanakan dengan baik dan sudah
sesuai dengan aturan yang berlaku. Monitoring dan evaluasi ditujukan
pada setiap tahapan kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan
(termasuk di dalamnya adalah hasil cakupan), dan dampak.
Monitoring dan evaluasi terhadap kesiapan bertujuan untuk menilai
kesiapan pelaksanaan kegiatan, dilakukan mulai dari tingkat nasional
sampai Puskesmas menggunakan instrumen Daftar Tilik Kesiapan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan bertujuan untuk
mengetahui implementasi standar dan prosedur pelayanan pada saat
pelaksanaan kegiatan dan hasil capaian kegiatan pelayanan dibandingkan
dengan target atau standar yang ditetapkan. Penilaian terhadap
pelaksanaan kegiatan menggunakan Daftar Tilik Supervisi dan format RCA
(Rapid Convenience Assessment). Monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kegiatan dapat dilakukan saat atau setelah pelaksanaan Bulan Imunisasi
Anak Nasional.

Target pelaksanaan BIAN adalah:


1. Target cakupan pemberian imunisasi tambahan campak-rubela
yaitu minimal 95% dari keseluruhan sasaran dan merata di
seluruh desa/kelurahan.
2. Target capaian imunisasi kejar yaitu:
 minimal 80% dari seluruh anak yang tidak atau belum lengkap
imunisasi IPVnya mendapatkan 1 dosis imunisasi IPV
 minimal 80% dari seluruh anak yang tidak atau belum lengkap
imunisasi OPVnya mendapatkan sekurang-kurangnya 1 dosis
imunisasi OPV
 minimal 80% dari seluruh anak yang tidak atau belum lengkap
imunisasi DPT-HB-Hibnya mendapatkan sekurang-kurangnya
1 dosis imunisasi DPT-HB-Hib

-74-
-75-

Kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan harus dapat


mengidentifikasi pencapaian hasil kegiatan seperti cakupan di masing-
masing wilayah, pemakaian vaksin dan logistik serta masalah-masalah
yang dihadapi saat pelaksanaan, termasuk identifikasi kasus KIPI yang
terjadi serta aspek-aspek penyebabnya. Semakin cepat monitoring dan
evaluasi dilakukan, maka semakin cepat tindak lanjut perbaikan dapat
dilaksanakan.
Dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan BIAN, dilakukan analisis
berdasarkan pengelompokkan usia sasaran dan wilayah administrasi.
Hal ini penting untuk menilai dan melakukan analisis kelompok-kelompok
usia sasaran dan wilayah yang belum mencapai target, sehingga dapat
disusun strategi dan tindak lanjut yang tepat untuk meningkatkan
cakupan.

B. Monitoring Kualitas Pelayanan


Pemantauan terhadap pelaksanaan layanan imunisasi BIAN
bertujuan untuk memonitor kualitas pelayanan yang dilakukan dan
kendalanya dengan menggunakan Daftar Tilik (Ceklist) Supervisi
Pelaksanaan. Supervisi dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kementerian Kesehatan.
Supervisi dilakukan secara elektronik melalui tautan
https://bit.ly/Supervisi_BIAN. Kegiatan ini juga dapat dilakukan secara
manual menggunakan Daftar Tilik Supervisi yang dapat diunduh pada
tautan https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.
Idealnya, seluruh Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilakukan supervisi. Pemilihan Puskesmas atau Fasilitas Pelayanan
Kesehatan prioritas yang akan disupervisi berdasarkan kriteria tingkat
kesulitan jangkauan (wilayah sulit dan biasa) atau berdasarkan daerah
yang berisiko tinggi (daerah kumuh, padat penduduk, daerah sulit secara
sosial dan ekonomi, dan lain-lain).

-75-
-76-

Dalam supervisi semua aspek pelaksanaan dilihat sesuai dengan


daftar tilik. Hasil supervisi dianalisa dan didiskusikan bersama pelaksana
lain yang terkait. Kemudian dilakukan pemecahan masalah dan rencana
tindak lanjut bersama dengan kepala Puskesmas dan petugas. Bila
ditemukan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai prosedur, segera
dilakukan tindak lanjut perbaikan misalnya dengan melakukan “on the job
training” pada petugas.
Pada tingkat kabupaten/kota hasil supervisi dari beberapa
Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain direkapitulasi,
dianalisis, dan dibuat rencana tindak lanjut. Kemudian dilaporkan ke
atasan langsung serta diumpanbalikkan ke Puskesmas melalui pertemuan
khusus (dapat dilakukan secara daring) maupun tertulis.

C. Rapid Convenience Assessment (RCA)


RCA adalah suatu survei cepat untuk mencari anak yang belum
diimunisasi, serta mengetahui alasan tidak diimunisasi, sekaligus menilai
apakah cakupan sudah sesuai dengan yang dilaporkan. Dalam Petunjuk
Teknis ini, pelaksanaan RCA ditujukan pada 20 rumah yang memiliki
sasaran kegiatan BIAN.
RCA dapat dilakukan di tengah kegiatan dengan tujuan untuk
memperbaiki pelaksanaan kegiatan. Kriteria pemilihan lokasi untuk RCA
kategori ini adalah daerah dengan cakupan yang rendah. RCA juga dapat
dilakukan di akhir kegiatan atau di lokasi yang cakupannya tinggi dengan
tujuan untuk sweeping.
Kriteria pemilihan Puskesmas untuk dilakukan RCA di akhir kegiatan
adalah:
1. Puskemas yang telah mencapai target cakupan kegiatan BIAN
2. Puskesmas yang tidak mencapai target namun menyatakan telah
menyelesaikan kegiatan BIAN. Hal ini dilakukan untuk
mengidentifikasi jumlah anak yang belum diimunisasi, alasan anak
yang belum diimunisasi, dan umpan balik untuk perencanaan program
imunisasi berikutnya.

-76-
-77-

RCA dilakukan di 20 rumah di tingkat desa/kelurahan, dengan


prioritas pada:
1. Desa dengan jumlah sasaran yang besar
2. Desa yang sulit dijangkau:
Di daerah perkotaan, RCA juga dilakukan di tempat-tempat umum,
antara lain di daerah padat dan kumuh (sekitar pasar, kolong jembatan,
dll), daerah persinggahan (transit) darat/laut/udara. Untuk daerah
seperti ini, maka wawancara dilakukan pada 20 anak dan informasi
dilengkapi dengan nama desa/kecamatan/ kabupaten/kota anak
tersebut berasal.

Dianjurkan untuk melakukan RCA pada minimal 4 (empat) Puskesmas


per kabupaten/kota, dan 2 (dua) desa per Puskesmas, dengan prioritas
desa seperti penjelasan di atas. RCA dilakukan secara elektronik melalui
tautan https://bit.ly/RCA_BIAN. Hasil RCA dapat dilihat pada dashboard
dalam dengan tautan http://sehatindonesiaku.kemkes.go.id/.
Kegiatan ini juga dapat dilakukan secara manual menggunakan Daftar
Tilik Supervisi yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/MateridanInstrumenBIAN.
Apabila dalam pelaksanaan RCA ditemukan sasaran yang belum
mendapatkan imunisasi maka petugas RCA mencatat identitas anak,
nama orang tua, dan alamat tempat tinggal, kemudian mengarahkan orang
tua atau anak untuk mendapatkan imunisasi tambahan campak-rubela
atau melengkapi imunisasi dasar dan lanjutannya di Puskesmas,
Posyandu, atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Daftar anak yang
belum mendapatkan imunisasi tambahan campak-rubela maupun belum
mendapat atau belum lengkap imunisasinya, baik dasar maupun lanjutan,
diserahkan oleh petugas pelaksana RCA kepada pihak Puskesmas untuk
ditindaklanjuti.

-77-
-78-

D. Evaluasi Dampak
Evaluasi dampak bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan
kegiatan BIAN. Evaluasi dampak pelaksanaan imunisasi tambahan
campak-rubela dapat dilakukan dengan menggunakan data rutin
surveilans campak-rubela. Hal ini dilakukan dengan membandingkan
insidensi campak-rubela pada periode yang sama sebelum dan setelah
imunisasi masal. Dengan catatan, sensitifitas surveilans campak-rubela
dapat dipertahankan dengan pencapaian discarded rate campak > 2 per
100.000 penduduk. Untuk imunisasi kejar, evaluasi dampak imunisasi
kejar dapat dilakukan dengan menggunakan indikator surveilans difteri,
surveilans AFP dan surveilans PD3I lainnya.
Evaluasi dapat dilakukan melalui:
1. Analisis data kasus suspek PD3I dari alert SKDR yang dilakukan respon
2. Analisis data kasus PD3I dari laporan rutin surveilans PD3I
3. Kajian terhadap data KLB PD3I
4. Penilaian risiko transmisi Campak-Rubela dan Polio

-78-
BAB VII
PENUTUP

-79-

Anda mungkin juga menyukai