Laporan Praktikum II

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK TEKNIK KIMIA SEMESTER II 2013/2014

Percobaan III. Pemisahan Senyawa Organik Ekstraksi dan Isolasi Kafein dari Daun Teh serta Uji Alkaloid

Nama: Juli Wahyu Prayogi NIM: 13012109 Kelompok: 07

Tanggal praktikum: 12 Februari 2014 Tanggal Pengumpulan: 19 Februari 2014 Asisten: Dennis Kwaria (20513007)

LABORATORIUM KIMIA ORGANIK FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014

1. Tujuan Percobaan a. Mengekstraksi kafein dari teh celup. b. Menentukan adanya kandungan alkaloid dalam kafein dengan uji kromatografi lapis tipis. c. Menentukan adanya kandungan alkaloid dalam kafein dengan pereaksi meyer dan dragendorff. 2. Teori Dasar 2.1 Kandungan teobromin dalam cokelat Teobromin atau xanteosa (C7H8N4O2) adalah zat kimia dari kelompok alkaloid. Teobromin memiliki nama IUPAC yaitu 3,7-dihidro-3,7-dimetil-1H-purin2,6-diona. Teobromin ada di tumbuhan kakao. Secara kimiawi, teobromin amat mirip dengan kafein. Karena kakao digunakan untuk membuat cokelat, senyawa ini juga ada pada coklat. Meski bernama teobromin, tidak ada bromin yang terkandung di dalamnya. Teobromin adalah bubuk tak larut air, kristalina, dan pahit. Warnanya bisa disebut putih ataupun tak berwarna. Teobromin memiliki efek yang serupa dengan kafein meskipun lebih kecil, membuatnya homolog. Teobromin adalah isomer teofilina sebagaimana paraxantina. Teobromin dikategorikan sebagai dimetil xantina, yang artinya senyawa ini masuk xantina dengan 2 gugus metil.

Gambar 1. Struktur molekul teobromin

Adanya kandungan teobromin dalam cokelat bisa menjadi racun untuk sebagian hewan bila dikonsumsi. Hewan-hewan yang bereaksi keracunan pada kandungan teobromin diantaranya adalah kuda, anjing, burung kakak tua, tikus-tikus jenis kecil dan kucing (khususnya anak kucing). Ini dikarenakan metabolisme tubuh mereka tidak dapat mencerna kandungan kimia ini secara efektif. Bila mereka diberi makan cokelat maka kandungan teobromin akan tetap berada dalam aliran darah

mereka hingga 20 jam, akibatnya hewan-hewan ini mungkin mengalami epilepsi dan kejang-kejang, serangan jantung, pendarahan internal, dan pada akhirnya

menyebabkan kematian. Penanggulangannya adalah dengan merangsang hewanhewan ini agar memuntahkan cokelat dan secepat mungkin membawa mereka ke dokter hewan. 2.2 Struktur molekul tanin Tanin merupakan suatu substansi yang banyak dan tersebar sehingga sering ditemukan dalam tanaman. Tanin diketahui mempunyai beberapa khasiat, yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri, dan antioksidan. Istilah tanin sendiri berasal dari bahasa Perancis, yaitu tanning. Pada mulanya senyawa tannin lebih dikenal sebagai tanning substance dalam proses penyamakan kulit hewan untuk dibuat sebagai kerajinan tangan.

Gambar 2. Struktur molekul tanin

Pada umumnya tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki berat molekul (BM) yang cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. 2.3 Fungsi kafein di alam Kafeina atau lebih populernya kafein ialah senyawa alkaloid xantina berbentuk kristal dan berasa pahit yang bekerja sebagai obat perangsang psikoaktif dan diuretik ringan. Kafein ditemukan oleh seorang kimiawan Jerman, Friedrich Ferdinand Runge, pada tahun 1819. Ia menciptakan istilah "kaffein" untuk merujuk pada senyawa kimia pada kopi. Kafein juga disebut guaranina ketika ditemukan pada guarana, mateina ketika ditemukan pada mate, dan teina ketika ditemukan pada teh. Semua istilah tersebut sama-sama merujuk pada senyawa kimia yang sama.

Gambar 3. Struktur molekul kafein

Kafein dijumpai secara alami pada bahan pangan seperti biji kopi, daun teh, buah kola, guarana, dan mate. Pada tumbuhan, ia berperan sebagai pestisida alami yang melumpuhkan dan mematikan serangga-serangga tertentu yang memakan tanaman tersebut. Ia umumnya dikonsumsi oleh manusia dengan mengekstraksinya dari biji kopi dan daun teh.

3. Perlakuan dan Pengamatan Percobaan Ekstraksi kafein teh celup 2 3 4 5 6 dari No. 1 Perlakuan Pengamatan

Campuran: 10 kantong teh + 20 gram Campuran berwarna Na2CO3 + 225 mL air panas dalam cokelat kehitaman erlenmeyer I Dibiarkan selama 7 menit Didekantasi ke erlenmeyer II Campuran sisa + 50 mL air panas Didekantasi ke erlenmeyer II Hasil dekantasi di erlenmeyer II

didinginkan hingga suhu kamar 7 Masukkan 75 mL hasil dekantasi ke dalam corong pisah 8 Tambahkan 15 mL diklorometana Terbentuk dua fasa yang terpisah jelas. Fasa atas berwarna cokelat dan fasa

(CHCl2) ke dalam corong pisah

bawah bening 9 Kocok secara perlahan selama 5 menit Selesai (tutup corong dibuka setiap saat untuk terbentuk mengeluarkan gas) yang dikocok, emulsi ditandai

dengan batas fasa menjadi kabur dan bergelembung 10 Lakukan ekstraksi untuk mendapatkan Ekstrak fasa diklorometana (tutup corong dibuka) bening

masih mengandung bercak cokelat yang berwarna (emulsi) berada di

permukaan cairan 11 Ulangi langkah 7-10 untuk campuran yang tersisa 12 Ekstrak + kalsium klorida anhidrat Bercak berwarna

(CaCl2.6H2O). ikut terbawa

Aduk

lalu

dekantasi, cokelat

(emulsi) hilang. larutan

jangan sampai kalsium klorida anhidrat telah Terbentuk

putih kehijauan 13 Lakukan evaporasi untuk mendapatkan Terbentuk kristal kafein berwarna kehijauan 14 Uji kromatografi lapis tipis 2 1 Timbang kristal yang terbentuk Kristal yang menempel di gelas kimia + sedikit kloroform (CHCl3) Siapkan dua pelat KLT (pelat I dan II). Beri batas bawah dan batas atas pelat dengan pensil 3 Totolkan larutan sampel di batas bawah masing-masing pelat KLT 4 Pada pelat I, elusi dengan etil asetat- Sampel metanol 3:1 hingga batas atas dibawa kristal putih

eluen I mencapai batas atas dengan waktu yang lebih cepat daripada eluen II

Pada pelat II, elusi dengan kloroformmetanol 9:1 hingga batas atas

Amati noda yang terbentuk dengan alat Noda UV. Tandai letak noda dengan pensil

teramati

dengan bulatan oval berwarna hijau

7 Uji alkaloid 1 dengan pereaksi meyer dan 3 2

Tentukan Rf Kristal kafein + air (larutan) Masukkan larutan ke dua buah tabung reaksi Pada tabung I, tambahkan 1-2 tetes pereaksi meyer

dragendorff 4

Pada tabung II, tambahkan 1-2 tetes

pereaksi dragendorff 5 Amati endapan yang terbentuk pada Pada masing-masing tabung reaksi tabung I

terbentuk

endapan

kuning muda. Pada tabung II terbentuk endapan jingga

4. Pengolahan Data 4.1 Perolehan kristal kafein Perolehan kristal kafein teoretis = 0,25 gram Perolehan kristal kafein hasil percobaan = 0,18 gram

4.2 Titik leleh kristal kafein Titik leleh kristal kafein (literatur) = 227-228 oC Titik leleh kristal kafein hasil percobaan = 228-231 oC | |

4.3 Penentuan Rf noda

Keterangan: a: jarak yang ditempuh sampel b: jarak yang ditempuh pelarut (eluen) Untuk eluen etil asetat-metanol 3:1, b = 4,15 cm dan diperoleh a = 2,85 cm

Untuk eluen kloroform-metanol 9:1, b = 4,1 cm dan diperoleh a = 2,35 cm

5. Pembahasan 5.1 Analisis cara kerja dan kemurnian kristal kafein Sebelum ekstraksi dilakukan, terlebih dahulu campuran hasil dekantasi ditambahkan dengan diklorometana. Dipilih pelarut diklorometana karena kelarutan kafein dalam diklorometana lebih baik (140 mg/mL) daripada dalam air (22 mg/mL), maka kafein larut dengan mudah di dalam diklorometana. Setelah ditambahkan diklorometana, terbentuk dua fasa yang terpisah yaitu fasa diklorometana (diklorometana dan kafein) dan fasa air (air, tanin, dan material teh celup yang larut dalam air). Setelah itu dilakukan pengocokan agar seluruh kafein larut dalam diklorometana dan terpisah dari fasa air. Namun, pengocokan ini menyebabkan terbentuknya emulsi antara fasa air dan fasa diklorometana. Terbentuknya emulsi ini sulit untuk dihindari, akan tetapi bisa diminimalisasi dengan pengocokan yang pelan selama lima menit. Hasil ekstraksi mengandung bercak-bercak berwarna cokelat pada permukaan cairan. Bercak tersebut merupakan emulsi yang ikut terekstrak. Sebagian emulsi sengaja diikutkan ke fasa diklorometana karena emulsi tersebut masih mengandung sedikit kafein. Sedikit kafein tersebut akan tertarik ke fasa diklorometana. Namun, emulsi juga mengandung fasa air yang tidak diinginkan. Oleh karena itu ditambahkan kalsium klorida anhidrat (CaCl2.6H2O) yang berfungsi untuk mengikat air (drying agent) mengingat sifatnya yang higroskopis. Berdasarkan analisis titik leleh dan Rf, kristal kafein yang dihasilkan memiliki kemurnian yang tidak terlalu baik. Hal ini disebabkan karena metode yang digunakan untuk mendapatkan kristal hanya metode evaporasi. Metode ini kurang efektif untuk mendapatkan kristal murni karena masih ada kemungkinan diklorometana belum teruapkan secara sempurna. Untuk mendapatkan kristal yang lebih murni, butuh metode tambahan yatu rekristalisasi dengan menggunakan pelarut aseton panas. Kristal kafein yang didapatkan memiliki trayek titik leleh 228-231 oC. Sementara trayek titik leleh berdasarkan literatur yaitu 227-228 oC. Kita bisa melihat bahwa terjadi pelebaran trayek titik leleh sebesar 3 oC dari yang seharusnya 1oC. Pelebaran trayek ini mengindikasikan adanya zat pengotor berupa diklorometana. Adanya diklorometana dalam kristal diidentifikasi dari baunya. Diklorometana memiliki bau yang menusuk.

5.2 Analisis randemen Dari percobaan, diperoleh kristal kafein 0,18 gram, sedangkan secara teoretis seharusnya diperoleh 0,25 gram. Dari perhitungan diperoleh randemen sebesar 72%. Randemen yang rendah ini disebabkan karena terbentuknya emulsi antara fasa air dan fasa diklorometana saat pengocokan. Emulsi ini sangat sulit untuk dihindari karena pada campuran terdapat surfaktan anion yang menyebabkan diklorometana membentuk emulsi dengan air. Surfaktan anion tersebut adalah garam tanin. Tanin merupakan salahsatu material yang ada dalam teh celup. Tanin dapat larut dalam diklorometana, padahal kafein yang diekstraksi sebaiknya dapat dipisahkan dari kandungan tanin sehingga tanin tidak boleh berada dalam fasa diklorometana. Oleh karena tanin merupakan senyawa fenolik yang bersifat cukup asam, maka senyawa ini dapat diubah dulu menjadi garam (deprotonasi gugus -OH) menggunakan Na2CO3 sehingga tanin berubah menjadi anion fenolik yang tidak larut dalam diklorometana, tetapi larut dalam air. Pada saat ekstraksi, sebagian emulsi masuk bersama fasa diklorometana ke dalam gelas kimia, sebagian lain masih tertinggal dalam corong pisah. Kami tidak mengikutkan semua emulsi bersama fasa diklorometana karena dikhawatirkan akan memberikan efek pengotor yang besar. Emulsi yang tertinggal dalam corong pisah masih mengandung sedikit kafein. Hal inilah yang menyebabkan perolehan kafein tidak maksimal. 5.3 Uji alkaloid dengan kromatografi lapis tipis Pada uji kromatografi lapis tipis, digunakan pelat yang penyusun materinya berupa silika gel dengan rumus empiris SiO2. Permukaan silika gel sangat polar, sehingga sampel organik yang memiliki gugus fungsi polar akan terikat dengan kuat pada permukaannya. Dalam hal ini, silika berfungsi sebagai fasa diam, sedangkan eluen merupakan fasa geraknya. Saat proses elusi, terdapat perbedaan waktu eluen membawa sampel hingga batas atas. Pergerakan eluen etil asetat-metanol 3:1 membawa sampel lebih cepat daripada eluen kloroform-metanol 9:1. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kepolaran sampel dan eluen etil asetat-metanol relatif sama daripada sampel dengan silika. Sedangkan, antara sampel dengan eluen kloroform-metanol memiliki perbedaan kepolaran yang lebih besar daripada antara sampel dengan silika. Akibatnya sampel lebih tertarik ke silika dan tertahan di pelat lebih lama. Hal ini juga memengaruhi nilai Rf yang diperoleh menjadi lebih rendah.

Dari perhitungan, didapatkan Rf untuk eluen etil asetat-metanol sebesar 0,687. Untuk eluen kloroform-metanol, didapatkan Rf sebesar 0,573. 5.4 Uji alkaloid dengan pereaksi meyer dan dragendorff Untuk membuktikan bahwa kristal yang didapatkan merupakan kristal kafein, maka dilakukan uji alkaloid. Uji ini dipilih mengingat kafein sendiri merupakan senyawa alkaloid. Pada tabung I yang berisi larutan kafein dan pereaksi meyer, terbentuk endapan kuning muda. Pada tabung II yang berisi larutan kafein dan pereaksi dragendorff terbentuk endapan jingga. Ini menunjukkan bahwa kristal yang diperoleh mengandung kafein. Berdasarkan literatur, pereaksi meyer mengandung logam Hg dan KI yang akan membentuk kompleks endapan kuning muda dengan senyawa alkaloid. Pereaksi dragendorff mengandung Bismut dan KI yang akan membentuk kompleks endapan jingga dengan senyawa alkaloid. Untuk memberikan gambaran, berikut adalah reaksi yang terjadi antara alkaloid dengan reagen.

Gambar 4. Reaksi alkaloid dengan pereaksi meyer

Gambar 5. Reaksi alkaloid dengan pereaksi dragendorff

6. Kesimpulan a. Prinsip dasar ekstraksi kafein dari teh celup adalah perbedaan kelarutan kafein pada dua fasa yang berbeda. Kelarutan kafein dalam fasa diklorometana lebih baik daripada dalam fasa air sehingga kafein dapat dipisahkan dari material-material lain penyusun teh. b. Kristal yang didapatkan dari percobaan merupakan kristal kafein karena uji alkaloid memberikan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan kuning muda dengan pereaksi meyer dan jingga dengan pereaksi dragendorff. c. Randemen kafein sebesar 72%. Sementara % kesalahan titik lelehnya sebesar 0,44%. d. Rf kafein dengan fasa gerak etil asetat-metanol 3:1 yaitu 0,687. Sedangkan dengan fasa gerak kloroform-metanol 9:1, didapatkan Rf sebesar 0,573.

Lampiran
1. Kandungan kafein dalam berbagai produk Dari beberapa literatur, diketahui bahwa kopi dan teh banyak mengandung kafein dibandingkan jenis tanaman lain, karena tanaman kopi dan teh menghasilkan biji kopi dan daun teh dengan sangat cepat, sementara penghancurannya sangat lambat. Berikut adalah kandungan kafein dalam beberapa produk:

Produk Secangkir kopi Secangkir teh Sebotol coca cola Minuman Bugar, dll ) Kopi instan Kopi moka (mentah) Kopi moka (sangrai) Kopi robusta jawa Kopi arabika Kopi liberika (mentah) Kopi liberika (sangrai) energi (Kratingdaeng,

Kandungan kafein 85 mg 35 mg 35 mg M-150,Galin 50 mg 2.8 5.0% 1.08% 0.82% 1.48% 1.16% 1.59% 2.19%

Table 1. kandungan kafein dalam berbagai produk 2. Data fisik kafein

Nama IUPAC: 1,3,7-trimetil- 1H-purina- 2,6(3H,7H)-dion Nama lain: 1,3,7-trimetilksantina, trimetilksantina, teina, metilteobromina Rumus molekul: C8H10N4O2 Massa molar: 194,19 gmol1 Penampilan: bubuk putih tidak berbau Densitas: 1,2 g.cm3 Titik lebur: 227-228 C (anhidrat), 234-235 C (monohidrat) Titik didih: 178 C (menyublim) Kelarutan dalam air: 22 mg.mL1 (25 C), 180 mg.mL1 (80 C), 670 mg.mL1 (100 C)

Daftar Pustaka Brady, Russel, Hollum. 2000. Chemistry: Matter and Its Changes. New York: John Wiley & Sons.halaman 207 Potter, Norman.1995. Food Science 5th ed. New York: Chapman & Hall. Halaman 35-36 Hart, Harold, et al. 2003. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga Mayo, D. W. et al. 1994. Microscale Organic Laboratory 3rd Edition. New York: John Wiley & Sons Posto, D., Johnson, C., Miller, M.1992. Experiments and Techniques in Organic Chemistry. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Halaman 56-59, 399-404. Solomons, T.W. Graham., Fryhle, Craig B. 2011. Organic Chemistry Tenth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 972-973.

Anda mungkin juga menyukai