Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Prolog

Al-Qur`an adalah ruh semesta; olehnya segala yang ada lebih bermakna, karenanya segala yang gelap
menjadi terang dan kepadanya segala pengetahuan bermuara. Ia ibarat sebuah pondasi kokoh, yang di
atasnya berdiri bangunan menjulang berkilau cahaya, sehingga biasnya mampu menerangi setiap sudut
cakrawala. Ia juga laksana tiang-tiang, yang menyangga berbagai apa yang membutuhkan penyangga.
Iapun seperti bumi, yang darinya tumbuh berbagai pepohonan, bunga serta rerumputan yang menghias
wajah dunia. Al-Qur`an adalah the way of life, sebuah kitab pedoman dalam menjalankan amanah
kehidupan.

, sepintas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk atas segala
sesuatu. Namun, apakah segala sesuatu yang dimaksud itu benar-benar meliputi segala aspek
kehidupan manusia? Sebagian ulama mengatakan bahwa al-Quran memang tidak menjelaskan secara
rinci seluruh urusan yang terkait dengan kehidupan manusia. Namun, di dalam al-Qur`an setidaknya
telah mengandung pokok-pokok atau dasar-dasar dari segala jenis ilmu (baik secara tegas ataupun
sebatas isyarat) yang berguna bagi kemaslahatan manusia secara khusus, serta keseimbangan tata
kosmos secara umum.

Abdullah bin Masud berkata: telah diturunkan di dalam al-Qur`an segala jenis ilmu, dan segala sesuatu
telah dijelaskan kepada kita di dalamnya.

Senada dengan diktum di atas, Imam Syafii juga pernah berkata: Tanyailah aku (tentang hal apapun)
sesuka kalian, maka aku akan memberi jawabannya dari dalam al-Qur`an!.

Adapun pada makalah kali ini, penulis tidak hendak mengkaji tentang percabangan ilmu yang bersumber
dari al-Quran, melainkan tentang ilmu al-Qur`an itu sendiri. Dengan kata lain, penulis hendak
memaparkan ilmu-ilmu yang terkait dengan al-Qur`an, dalam rangka untuk mendekati al-Qur`an, guna
mencapai pemahaman sempurna atas kandungan wahyu tersebut.

Untuk itu, pada beberapa ruas selanjutnya, penulis akan menjelaskan tentang definisi dari terma Ulm
al-Qur`n, tema/obyek/pokok kajian dalam ilmu al-Qur`an, manfaat dan urgensitasnya, serta sejarah
perkembangannya sejak zaman kenabian hingga masa sekarang. Maka selanjutnya, penulis senantiasa
memohon petunjuk serta taufik dari Allah SWT, agar proses penulisan makalah ini menjadi mudah dan
bermanfaat bagi siapa saja. Amin.

Definisi Ulumul Qur`an
Terma Ulumul Qur`an, dalam bahasa Arab merupakan susunan idhfi (gabungan dua kata). Yaitu
tersusun dari kata ulm dan al-Qur`an. Kata ulm adalah bentuk jama (plural) dari kata ilmu
(mashdar dari alima) yang berarti pengetahuan atau pemahaman. Para ulama pun berbeda pendapat
tentang makna etimologis dari kata ilmu. Para filosof memaknai ilmu sebagai gambaran atas sesuatu
yang terdapat dalam ruang akal. Sedangkan para teolog mengartikan ilmu sebagai suatu sifat yang
dengan sifat itu seseorang mampu dengan jelas mengatakan tentang suatu perkara atau urusan.

Sedangkan kata al-Qur`an adalah bentuk isim mashdar dari qara`a, berposisi sama dengan kata
qir`ah yang berarti bacaan. Menurut sebagian ulama, meskipun bentuk kata Quran adalah
mashdar (bacaan), namun ia bermakna seperti maf`l (yang dibaca). Pada tahap selanjutnya, kata al-
Quran dinisbatkan kepada satu kitab suci (kalam Allah yang mujiz) yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.

Sehingga secara tersusun (idhfi), Ulumul Quran, dapat kita pahami adanya berbagai ilmu pengetahuan
yang terkait-kelindan dengan al-Qur`an. Dengan kata lain, ada berbagai ilmu yang digunakan oleh para
ulama dalam rangka memahami al-Qur`an. Imam Suyuthi mendefinisikan Ulumul Qur`an sebagai sebuah
ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi proses turun, sanad, etika serta makna-
maknanya, yang terkait dengan hukum-hukum dan lain sebagainya.

Atau dengan ungkapan lain kita dapat mengartikan Ulumul Qur`an sebagai: kumpulan pembahasan-
pembahasan yang terkait dengan al-Qur`an dalam segi proses turunnya, urutannya, proses
pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, ijaznya, nasikh-mansukhnya, pembelaan
terhadap berbagai syubhat (tuduhan-tuduhan seputar al-Qur`an) dan pembahasan lainnya.

Obyek Kajian Ulumul Qur`an
Sebelum kita merumuskan tentang maudlu atau obyek kajian Ulumul Qur`an, perlu kiranya kita
membedakan antara definisi Ulumul Qur`an sebagai sebuah susunan idhfi dan Ulumul Qur`an sebagai
sebuah nama dari disiplin ilmu yang komprehensif dan sistematis. Jika yang kita maksud adalah Ulumul
Qur`an yang didefinisikan secara idhfi (sebagaimana dijelaskan di atas), maka obyek kajiannya adalah
al-Qur`an yang ditinjau dari satu bentuk parsial dari ilmu-ilmu tersebut. Misalnya al-Qur`an ditinjau dari
sisi asbabun nuzul saja, al-Qur`an dari segi ilmu irab-nya saja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, jika yang kita maksud adalah Ulumul Qur`an yang berbentuk sebuah disiplin ilmu
komprehensif dan sistematis (ulm al-Qur`an bi mana al-mudawwan), maka obyek kajiannya adalah: al-
Quran yang ditinjau dari seluruh aspek keilmuan yang terkait dengannya.

Alhasil, obyek pembahasan Ulumul Qur`an ditinjau dari makna idhfi/laqabi lebih sempit dan terbatas,
oleh sebab hanya meninjau al-Qur`an dengan satu pisau analisa saja, yaitu dengan satu disiplin tertentu.
Sementara Ulumul Qur`an sebagai kitab al-mudawwan lebih luas dan menyeluruh.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sejauh mana obyek kajian Ulumul Qur`an. Namun
sebagian besar mengatakan, bahwa Ulumul Qur`an meliputi berbagai macam ilmu-ilmu keagamaan (al-
ulm al-dniyyah) dan ilmu-ilmu bahasa Arab (al-ulm al-Arabiyyah). Sehingga jika kita petakan, maka
tema kajian Ulumul Qur`an antara lain meliputi hal-hal berikut:
1. Proses dan sebab turunnya al-Qur`an (Nuzl al-Qur`an wa Sababuhu).
2. Ilmu qir`at (cara pembacaan al-Qur`an).
3. Pembahasan sanad. Yaitu berbagai rangkaian riwayat hadits yang terkait dengan al-Qur`an.
4. Persoalan kata-kata al-Qur`an. Antara lain membahas berbagai kata yang dianggap ambigu dalam al-
Qur`an, amm, khash, muthlaq, muqayyad dan lain sebagainya.
5. Tentang penggalian makna al-Qur`an yang terkait dengan hukum perkara tertentu.
6. Membahas karakteristik setiap ayat dan mengklasifikasikannya sesuai tempat turunyya ayat (Makki,
Madani, Safari, Hadlari, dsb.).

Dan masih banyak lagi pembahasan yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Untuk lebih
detailnya, kita bisa langsung merujuk ke berbagai kitab Ulumul Qur`an yang tersebar di berbagai
perpustakaan dan toko buku.

Urgensitas Ulumul Qur`an
Setelah melihat beberapa pemaparan di atas, mulai dari definisi hingga obyek serta ruang lingkup
kajiannya, kita akan dengan mudah menemukan urgensitas dan manfaat dari mempelajari Ulumul
Qur`an. Antara lain adalah:
- Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam
al-Qur`an.
- Selain itu, dengan mempelajari Ulumul Qur`an, secara otomatis kita telah membekali diri dengan
persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap, dalam rangka membela al-Qur`an dari berbagai tuduhan
dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
- Tentu saja, dengan mengetahui berbagai perangkat dan sarana yang ada, seorang penafsir (mufassir)
akan lebih mudah dalam mengartikan al-Qur`an dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.

Biasanya, dalam tradisi ulama klasik mereka mengatakan bahwa, urgensitas sebuah ilmu pengetahuan
dinilai dari tiga hal pokok. Pertama, dilihat dari sisi obyek kajiannya. Kedua, dinilai dari segi tujuannya.
Dan ketiga, dipandang dari sisi sejauh mana kebutuhan manusia akan ilmu tersebut. Bertolak dari ketiga
parameter tersebut, kita dapat mengatakan bahwa Ulumul Qur`an merupakan ilmu yang mulia dan
sangat penting, karena meliputi tiga aspek penilaian tersebut sekaligus.

Imam Zarkasyi (w. 794 H) maupun Imam Suyuthi (w. 911 H), keduanya mengungkapkan keprihatinan
mereka akan Ulumul Qur`an. Mengingat, menurut mereka, para pendahulu mereka belum ada
seorangpun yang menyusun sebuah kitab Ulumul Qur`an secara lengkap, sebagaimana mereka telah
menyusun Ulumul Hadits. Hal ini mereka ungkapkan dalam pendahuluan di kitab mereka masing-
masing, yaitu al-Burhn dan al-Itqn.

Sejarah Perkembangan Ulumul Qur`an
a. Fase Turunnya al-Qur`an
Masa ini dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW dan berjalan hingga masa khalifah Umar bin Khattab
ra. Pada periode ini, para sahabat belumlah perlu akan adanya sebuah ilmu tertentu dalam rangka untuk
memahami al-Qur`an. Sebab, secara alamiah mereka telah mampu memahami kandungan al-Qur`an
secara baik karena mereka merupakan orang Arab asli yang masih memiliki dzauq (cita rasa bahasa) dan
pemahaman yang mendalam terhadap bahasa Arab, bahasa al-Qur`an.

Meskipun demikian, pada waktu-waktu tertentu mereka juga menemukan beberapa kesulitas dalam
memahami sebuah ayat. Namun mengingat Nabi Muhamad masih hidup, para sahabat bisa langsung
menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di antara
mereka dalam memahami kata dzulm dalam surat al-Anam ayat 82.

Pada masa ini Ulumul Qur`an memang belum terbentuk sebagai suatu teori keilmuan tertentu
sebagaimana yang ada sekarang. Namun secara praktek, para sahabat sebenarnya telah secara otomatis
menerapkannya. Cikal bakal Ulumul Qur`an ini mereka dapatkan dari bergabai penjelasan Nabi, juga
berbagai riwayat tentang asbbun nuzul yang mereka dapatkan melalui jalur transmisi lisan ke lisan.

b. Fase Perintisan Ulumul Qur`an
Hingga sampailah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, dimana pada fase ini terjadi sebuah
peristiwa besar dalam sejarah al-Qur`an, yaitu penulisan dan pembukuan al-Qur`an dalam sebuah
mushaf khusus. Pada masa ini, beliau membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan
beranggotakan beberapa sahabat lain guna menyatukan ragam bacaan al-Quran.

Pada saat yang sama, beliau memerintahkan untuk membakar berbagai catatan al-Qur`an pribadi yang
dimiliki oleh umat Islam waktu itu, sebagai sebuah antisipasi agar tak terjadi perselisihan di antara
mereka, akibat bacaan al-Qur`an yang berbeda-beda. Dengan demikian, muncullah sebuah ilmu baru
yang dikenal saat itu dengan sebutan Ilmu Rasm Qur`n atau Ilmu Rasm Utsmni.

Berlanjut pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dicatat sejarah, bahwa
beliau memerintahkan kepada Abul Aswad al-Du`ali untuk menyusun sebuah kaidah tertentu dalam
rangka menjaga bahasa Arab dari kerusakan. Berangkat dari situ terciptalah sebuah ilmu baru yang
dikenal dengan Ilmu Nahwu atau Ilmu Irab al-Qur`an.

Maka pada fase ini, kita dapat mengatakan bahwa benih dari kemunculan Ulumul Qur`an telah mulai
tumbuh. Adapun para punggawa yang menggawangi tranformasi keilmuan al-Qur`an pada masa ini
antara lain adalah:
I. Dari kalangan Sahabat: Empat Khalifah pertama, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Kaab, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.
II. Dari kalangan Tabiin: Mujahid, Atha bin Yasar, Ikrimah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Said bin Jubair dan
Zaid bin Aslam.
III. Dari kalangan Tabi Tabiin: Malik bin Anas, yaitu murid dari Zaid bin Aslam.
Tiga generasi inilah yang secara tidak langsung telah merintis kemunculan Ulumul Qur`an. Menabur
benih-benih persemaiannya. Oleh sebab itu, tak heran jika pada masa selanjutnya akan bermunculan
berbagai karya yang terangkup dalam disiplin Ulumul Qur`an. Hadir pada abad kedua, ketiga dan
seterusnya, para ulama yang secara aktif dan elaboratif menyemai pertumbuhan Ulumul Qur`an. Untuk
lebih detail akan dijelaskan pada poin (c) berikut!

c. Fase Penulisan dan Pembukuan Ulumul Qur`an
Memasuki pertengahan abad ke-2 Hijriyah, muncul sebuah kitab karangan Syubah bin al-Hajjaj (w. 160
H), seorang ahli hadits dari kota Basrah sekaligus amirul mukminin dalam bidang hadits dengan kitab
Mushannafnya yang merupakan kumpulan-kumpulan hadits penjelas al-Quran. Pada masa ini juga
tumbuh seorang ahli tafsir yang menjadi guru ahli Hijaz, Ali al-Madini (w. 198 H). Selain beliau berdua
ada juga Waki` bin al-Jarrah, yang ketiganya ini merupakan para ulama ahli hadits sekaligus pakar tafsir
pada masanya.

Kemudian di abad ke-3 hadir Abu Ubaid al-Qsim bin Sallm yang menulis tentang Nasikh dan
Manskh. Dalam bidang Qir`t dan Fadl`il al-Qur`n ada Muhammad bin Ayyub al-Dhars (w. 294 H)
yang bermukim di Makkah. Sementara di Madinah ada Muhammad bin Khalaf al-Marzubn (w. 309 H)
dengan kitabnya al-Hw f Ulm al-Qur`n. Lalu disusul oleh Muhammad bin Jarir al-Thabari (w. 310
H) dengan kitab Jamiul Bayan f Tawli yyi al-Qur`n.

Pada abad ke-4, Abu Bakar Muhammad bin Qasim al-Anbari (w. 328 H) dengan karyanya Aj`ib Ulm al-
Qur`n. Abul Hasan al-Asyari (w. 324 H) tampil dengan buah karyanya al-Muhtazin f Ulm al-Qur`n.
Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H) menulis buku dalam tajuk Gharb al-Qur`n. Al-Baqilani (w. 403 H)
mempunyai sebuah karya berjudul Ijz al-Qur`n.

Beranjak menuju abad ke-5, Ibrahim bin Said al-Hfi (w. 430 H) menulis sebuah kitab berjudul al-
Burhn f Ulm al-Qur`n dan juga Irb al-Qur`n. Sementara itu, dalam bidang ilmu qiraat, Abu Amr
al-Dni (w. 442 H) menulis sebuah kitab bertajuk al-Taisr fi al-Qir`t al-Sab.

Sampai di penghujung abad ke-6, Abul Qasim Abdurrahman yang lebih dikenal dengan nama al-Suhaili
(w. 581 H) menulis sebuah kitab dalam tema Mubhamt al-Qur`n. Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) menulis
dua kitab sekaligus dalam bidang Ulumul Quran: Funn al-Afnn f Ulm al-Qur`n dan al-Mujtab f
Ulm tataallaqu bi al-Qur`n.
Memasuki abad ke-7, Alamuddin al-Sahawi (w. 641 H) mengarang sebuah buku berjudul Jaml al-
Qurr`. Sementara itu, di lain pihak, Abu Symah (w. 665 H) menulis kitab al-Mursyid al-Wajz fma
yataallaqu bi al-Qur`n al-Azz. Menurut imam Suyuthi, kedua kitab ini merupakan kitab sederhana
yang disusun dalam ranah kajian Ulumul Qur`an.

Abad ke-8 Hijriyah merupakan fase awal penyusunan disiplin Ulumul Qur`an dalam sebuah kitab yang
komprehensif dan sistematis. Yaitu digawangi oleh imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H) melalui
magnum opus beliau, al-Burhan f Ulm al-Qur`n.

Memuncak ke panggung singgasananya, Ulumul Qur`an sebagai sebuah disiplin keilmuan semakin eksis
dan mapan di abad ke-9. Muhammad bin Sulaiman al-Kfiji (w. 873 H), menulis sebuah kitab dalam
bidang Ulumul Qur`an yang judulnya tak sampai kepada kita. Namun menurut imam Suyuthi,
sebagaimana yang beliau catumkan dalam mukaddimah kitab al-Itqn, bahwa al-Kfiji pernah
mengatakan: Aku telah menulis sebuah kitab dalam bidang ilmu Tafsir yang belum pernah ditulis (oleh
orang lain) sebelumnya.

Masih pada abad 9 ini, Jalaluddin al-Bulqni, guru imam Suyuthi juga telah menulis sebuah kitab berjudul
Mawqi al-Ulm min mawqi al-Nujm yang mencakup 50 tema pembahasan dalam bidang Ulumul
Qur`an. Disusul oleh imam Suyuthi (w. 911 H), beliau mengarang dua kitab dalam bidang Ulumul Qur`an,
yaitu al-Tahbr f Ulm al-Tafsr dan al-Itqn fi Ulm al-Qur`n. Adapun kitab pertama imam Suyuthi
tiada lain merupakan penjabaran dari kitab al-Bulqni, yang mana beliau sempurnakan lagi pembahasan-
pembahasannya hingga mencapai 102 jenis.

Sementara itu, kitab al-Itqn, menurut beberapa ulama modern dinilai banyak mengutip dari kitab al-
Burhn karya imam Zarkasyi. Meskipun menurut penuturan imam Suyuthi beliau lebih menjabarkan
dan melengkapi lagi pembahasan-pembahasan dalam al-Itqn, namun beberapa ulama menilai justru
imam Suyuthi lebih meringkas beberapa penjabaran yang ada di al-Burhn. Terlepas dari pendapat
para ulama di atas, kedua kitab tersebut (al-Burhn dan al-Itqn) merupakan dua rujukan primer
dalam bidang Ulumul Quran. Secara jelas dapat kita lihat, bahwa ulama-ulama setelah masa imam
Suyuthi, ketika hendak menulis kitab di bidang Ulumul Qur`an pasti meletakkan al-Burhn dan al-
Itqn di urutan pertama daftar buku-buku rujukan.

Epilog
Kajian Ulumul Qur`an tak berhenti begitu saja pada masa imam Suyuthi. Namun ia terus berkembang
dan menjadi salah satu disiplin ilmu yang subur, karena selalu saja menjadi wacara hangat di setiap
masa. Adab-abad setelah itu kita dapat menemukan lebih banyak lagi buku-buku yang berbicara tentang
Ulumul Qur`an. Sebut saja buku berjudul al-Mabhits f Ulm al-Qurn. Satu judul ini digunakan oleh
beberapa pengarang sekaligus dalam karya mereka. Syeikh Mann al-Qattn misalnya. Di samping itu
juga ada Dr. Subhi al-Shalih yang menggunakan judul sama.

Syeikh Muhammad Abdullah Darraz menulis kitab berjudul Nabaul Adzm. Ada juga al-Tibyn f Ulm
al-Qur`n karya Syeikh Thhir al-Jaz`iri. Syeikh Muhammad Ali Salmah menulis kitab berjudul
Manhaj al-Furqn f Ulm al-Qur`n. Dan masih banyak lagi kitab-kitab dalam ranah Ulumul Qur`an.

Sebagai penutup, penulis hendak mengutip pernyataan imam Zarkasyi dalam mukaddimah kitab al-
Burhn-nya: Dan ketahuilah, bahwa tidaklah satu jenis dari berbagai jenis pembahasan ini (yang ada
dalam al-Burhn), jika seandainya seseorang ingin meneliti dan mengkajinya, maka akan habislah
umurnya, sementara ia belum menyelesaikan (keseluruhan)nya. Maka kami ringkaslah setiap
pembahasan sesuai aslinya, dan kami berikan lambang serta rumus-rumus dalam berbagai babnya.
Karena sesungguhnya proses berproduksi dan berkarya membutuhkan waktu yang sangat panjang,
sementara umur manusia sangat pendek...!

Islam Sebagai Objek Ilmu Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki abad kedua puluh Masehi, keadaan dunia ditandai oleh
kemajuan yang dicapai oleh Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan segala implikasinya, yaitu berupa penjajahan mereka atas
dunia Islam. Negara-negara yang dahulu masuk ke dalam hegemoni Islam
seperti Spanyol, India, Sisilia, dan sebagainya sudah mulai melepaskan diri
dari Islam dan berdiri sendiri sebagai Negara yang sepenuhnya berada di
luar ideology Islam. Demikian pula Negara-negara yang secara ideologis
sepenuhnya dikuasai Islam juga sudah banyak yang menjadi jajahan
bangsa-bangsa lain. Negara-negara tersebut antara lain adalah Mesir, Turki,
Malaysia, dan Indonesia.
Menghadapi keadaan yang demikian itu, umat Islam mencari sebab-
sebabnya. Sebab-sebab tersebut yang utama diantaranya karena umat
Islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya
perpecahan.

BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM SEBAGAI OBJEK ILMU PENGETAHUAN


A. Berbagai Pendekatan Tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Para cendekiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi
adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita pada
pendkatan yang menganggap bahwa Islam hanya semata-mata sebagai
ideology. Menurut Usep Fathuddin misalnya termasuk yang menganggap
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak perlu. Lebih
lanjut ia mengatakan hemat saya, Islamisasi ilmu, bukanlah kerja ilmiah,
apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan umat dan lebih-lebih lagi bagi
para cendekiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu.
Islamisasi ilmu hanyalah kerja kreatif atas karya orang saja. Sampai
tingkat tertentu, tak ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala
orang atau atau seseorang ilmuan berhasil menciptakan atau
mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian, tentunya), akan
mencoba menangkap dan berusaha mengislamkannya.
Sementara itu, terdapat sejumlah kelompok ilmuawan yang mendukung
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Mulyanto misalnya mengatakan
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebaagai proses
penerapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan criteria
pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan dikembangkanya.
Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai criteria etis di luar struktur
ilmu pengetahuan.
Asumsi dasarnya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai.
Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil munculnya ilmu
pengetahuan Islam, sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu
pengetahuan Marxisme. Dan islam beserta ideology-ideologi lainnya, hanya
mampu merasuki subjek ilmu pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri.
Senada dengan Mulyono, Haidar Bagir, sungguhpun secara eksplisit tidak
menjelaskan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, namun secara implicit
melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu penting. Dalam kaitan ini, ia
misalkan mengemukakan tentang perlunya dibentuk sains yang islami. Umat
islam butuh sebuah system sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
material dan spiritual.
System sains yang ada kini tak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Ini disebabkan karena sains modern mengandung nilai-nilai khas
Barat yang melekat padanya, nilai-nilai ini banyak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam selain itu, telah terbukti menimbulkan ancaman bagi umat
islam dan bagi berlangsungnya kehidupan umat di dunia.
B. Realisasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Penyebab islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan
Dawam Rahardjo biasanya terkait dengan nama Ismail Faruqi, seorang
sarjana kelahiran Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat. Ia
dianggap sebagai pencetus utama gagasan ini, yang diikuti dengan pendirian
sebuah lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic Thought atau
yang lebih dikenal dengan singkatan III-T yang berkantor pusat, mula-mula
di mobil dari Washington D.C.
Tapi orang Malaysia tidak menganggapnya demikian. Mereka mengatakan
bahwa pencetus ide Islamisasi pengetahuan itu adalah seorang sarjana
budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib Alatas, adik kandung
Husein Alatas. Itu dicuri oleh Ismail Faruqi Naquib Alatas sendiri, dengan
dukungan Wakil Perdana Menteri Malaysia ketika itu, Anwar Ibrahim,
membentuk lembaga sendiri dengan nama Internasional Institut of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) yang berbasisi di Kuala Lumpur, dengan
gedung dan kompleksnya yang megah dan artistic, diatas sebuah bukit.
Menurut Dawam Rahardjo, bahwa pemikiran Faruqi tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan sebenarnya terfokus pada dua bidang studi. Pertama,
adalah Arabisme, mungkin karena pengaruh darah Palestinanya dan kedua,
adalah Islam. Dua bidang itu dilihat orang sebagai dua hal yang saling
berjalin berkelindan. Tapi pada mulanya ia menekuni masalah Arabisme.
Dari ketekunannya itu lahirlah karya monumental, empat jilid buku On
Arabisme Urban and Religion yang mendominasi diskursusnya. Baru tahap
keduanya ia mulai bergeser kepada studi Islam. Sejak itu ia mulai terjerat
oleh aktivisme yang menjadi gerakan Islam. Ia tidak hanya bergerak dalam
wacana ilmiah dan akademis tetapi juga melakukan advokasi politik.
Pandangan makin bergeser dalma melihat peranan penting Islam. Dengan
berbasis pada pandangannya tentang Islam yang demikian itulah, maka
pemikiran Faruqi akhirnya mengkristal dalam gagasan Islamization of
Knowledge yang kemudian menjadi salah satu agenda yang mewarnai dunia
islam, dan sekaligus menimbulkan bahan perbedaan (wacana) di kalangan
para ahli, sebagaimana telah disinggung diatas.
Terlepas dari pro kontra sebagaimana tersebut diatas, gejala menunjukan
bahwa Islam sebagai sebuah ide kemasyarakatan, kebudayaan dan
peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Ismail Faruqi diatas, tampak
makin diterima kehadirannya oleh masyarakat. Integrasi nilai-nilai Islam ke
dalam berbagai aspek kehidupan tampak makin terus berkembang nilai-nilai
Islam bukan hanya tercermin dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan,
melainkan juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih luas
lagi, yaitu ekonomi, social, budaya, politik, seni, dan sebagainya.

C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kini kita sampai pada uraian yang menggambarkan praktik Islamisasi
ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini, terdapat sejumlah pendekatan yang
dapat digunakan.
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam
sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan (aksiologi), tanpa
mempersalahkan aspek ontologism dan epistemology ilmu pengetahuan
tersebut. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologinya tidak
dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah orang yang
mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
hanya sebagai beberapa etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan criteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan
dikembangkannya.
Dengan kata lain, Islamisasi pengetahuan dalam cara yang pertama ini
yaitu melihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam arti produksinay
adalah netral. Pengaruh keagamaan seorang yang menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi jelas amat dibutuhkan jika dipadukan dengan
keahlian dan ketelitian masing-masing.
Kedua, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan
dengan cara memasukan nilai-nilai Islami ke dalam konsep ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu
pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh muatan nilai-nilai yang
dimasukan oleh orang yang merancangnya. Dengna demikian, islamisasi
ilmu pengetahuan dan teknologi harus di lakukan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Ketiga,Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui
penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukanlah
dipahami secara teocentris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya Tuhan
dengan segala sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya serta jauh dari sifat-
sifat yagn tidak sempurna, melainkan tauhid yang melihat bahwa antara
manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan
segenap ciptaan Tuhan lainnya adalah merupakan satu kesatuan yang saling
membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semuanya itu merupakan
wujud tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan melalui
inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang
dan berkesinambungan. Dalam praktiknya tidak ada ilmu agama dan ilmu
umum yang disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan lalu diajarkan
kepada seseorang. Yang terjadi adalah sejak kecil ke dalam diri seseorang
sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktik pengalaman tradisi
keagamaan dan sebagainya. Setelah itu, kepadanya diajarkan dasar-dasar
ilmu agama yang kuat, diajarkan Al-Quran baik dari segi membaca maupun
memahami isinya. Selain itu juga, diajarkan hubungan antara satu ilmu
dengan ilmu lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai
bidang ilmu dan keahlian sesuai dengan bidang yang diminatinya.
Dengan demikian, maka islamisasi ilmu pengetahuan dapat dilakukan
dengan memetakan anak didik di dalam memasuki lembaga pendidikannya,
tanpa harus mengubah bentuk sekolah atau kurikulum atau lainnya.
Pendekatan ini pun cukup efektif, bahkan dapat dilihat pada sosok ilmuawan
dimasa lalu sebagai Ibn Sina, Ibn Rasyd, Al-Razi dan sebagainya.
D. Islam Normatif
Islam dari segi normative, memiliki pedoman yang jelas yakni wahyu
berupa Al-Quran dan Sabda Nabi berupa Hadis, yang menjelaskan pesan-
pesan Al-Quran lebih detail. Kajian terhadap Islam sebagai wahyu Allah
bukan bertujuan untuk mempertanyakan kebenaran Al-Quran dan Ajaran-
ajaranya, melainkan mempertanyakan bagaimana mempelajari cara
membaca Al-Quran, bagaimana memahami ayat-ayat Al-Quran , apa
hubungan ayat satu dengan ayat lainya atau surat satu dengan surat lainya,
kenapa bahasa Al-Quran memakai istilah ini bukan itu, dan lain sebagainya.
Sudah jelas bagi kaum Muslim bahwa Islam adalah wahyu Allah yang
diturunakn kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jika kita bandingkan dengan kitab
suci yang lain, Yahudi misalnya, sebagai agama yang lebih tua kehadirannya
dari agama-agama samawi lainya, kerapkali terdengar kritik yang mentakan
bahwa teks wasiat sepuluh tidak ada pada zaman Nabi Musa dan bukan
ajaran Nabi Musa. Demikian pula, dengan kitab suci agama Nasrani, sejarah
keaslian perjanjian lima tidak begitu jelas.
Bahkan Michael Hart dalam bukunya seratus tokoh yang paling
berpengaruh dalam sejarah menyatakan bahwa sebagian terbesar informasi
yang diperoleh tentang kehidupan Yesus tidak karu-karuan, simpang siur
tak menentukan kaum Nasrani sangat sulit menelususri orisinalitas Injil. Lagi
pula Injil tidak bisa disamakan dengan Al-Quran sebagai wahyu Allah atau
disamakan dengan kata-kata Nabi Isa AS. Hart menulis bahwa Orang yang
menjadi penulis bagian-bagian penting perjanjian baru dan merupakan
penganjur pertama orang-orang agar memeluk agama Nasrani adalah St.
Paul.

E. Islam Aktual
Islam actual memahami ekspresi religious para penganutnya dalam
bentuk pengamalan. Dari sudut pandang ini, tampak corak dan ragam
pengamalan yang berbeda-beda di satu tempat dengan tempat lainya.
Namun, corak pengamalan itu terbatas pada hal yang bukan prinsip
melainkan menyangkut dengan sesuatu yang biasa disebut dengan Furu.
Dari sudut pandang doktrin, Islam adalah agama yang di wahyukan oleh
Allah, agama satu-satunya yang benar dan diterima di sisi Allah sesuai
dengan surat Ali Imran ayat 19. Disamping ajaran yang bersifat doktrin,
Islam juga merupakan agama yang dapat diteliti dari berbagai sudut
pandang seperti sejarahnya, akidahnya, hukumnya, moralnya dan
sosiologinya.
Sedangkan dipandang dari penganutnya, Islam dapat diteliti dari
berbagai sudut pandang, misalnya bagaiamana ketaatan penganutnya
terhadap agamanya. Dari segi ini, meminjam istilah Atho Muzhar, Islam
dapat dipandang sebagai Produk budaya, produk sejarah, gejala social dan
lain-lain. Islam sebagai Produk Budaya akan member corak yang berbeda
antara satu daerah dengan daerah yang lain karena masing-masing
penganut dimasing-masing wilayah akan berbeda-beda.
Dalam hal islam sebagai produk budaya dan sejarah memberikan
gambaran kepada kita bahwa campur tangan manusia dlaam membedah
atau memformulasikan ajarna, mazhab, pendapat dan renungannya
demikian dominan. Mereka sama-sama mendasarkan pendapatnya atas teks
wahyu atau sunnah Nabi. Menghadapi islam dalam wajahnya yang berasal
dari produk sejarah mendorong kita untuk berijtihad untuk mencari
kebenaran atau keluar dari lingkungan social keagamaan yang menurut
penilaian kita tidak sesuai dengan teks yang ada.

F. Memahami Islam Secara Komprehenshif
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar orang berpendapat
tentang Islam, atau menyaksikan orang yang mengamalkan ajaran Isalam.
Kadang-kadang kita menyaksikan ada pendapatnya yang ekstrim, yang
longgar, bahkan ada yang serba boleh. Ada juga penilaian orang luar Islam
terhadap islam yang terkesan miring bahkan negative, di samping tidak
sedikit yang netral dan fair.
Untuk memahami islam secara utuh (komprehenshif), memang tidak
dapat hanya dengan mengandalkan satu pendapat. Orang memahami islam
dari sudut tafsir al-Quran saja, tanpa mempertimbangkan hal-hal yang lain,
maka keislamannya dianggap parsial. Demikian juga, mengamalkan Islam
dari sudut pandang hokum fiqih semata, juga akan tidak utuh. Dengan
demikian, untuk memahami islam secara benar dapat ditempuh dengan
beberapa cara yaitu:
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah. Kekeliruan memahami islam adalah karena orang yang
hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh
dari bimbingan Al-Quran dan As-Sunnah, atau melalui pengenalan dari
kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Kedua, Islam harus dapat dipelajari secara integral, tidak parsial, artinya
ia dipelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat.
Memahami Islam secara parsial akan menimbulkna sikap skeptic, bimbang,
dan tidak pasti.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para
ulama besar, kaum zuama dan sarjana-sarjana Islam, karena pada
umumnya mereka telah memiliki pemahaman tentang islam yang
menyeluruh.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk
mentransformasikan nilai-nilai keislaman ke dalam berbagai bidang
kehidupan manusia, khususnya ilmu pengetahuan. Dengan Islamisasi ilmu
pengetahuan dapat diketahui dengan jelas, bahwa Islam bukan hanya
mengatur segi-segi ritualitas dalam arti sholat, puasa, zakat, dan haji
melainkan sebuah ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan dunia
termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ditengah-tengah perdebatan disekitar setuju atau tidak setuju dengan
Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, tampaknya Islamisasi ilmu
pengetahuan tersebut pada akhirnya merupakan suatu keharusan. Lahirnya
Industri perbankan yang berbasiskan Syariah seperti yang dipraktikan pada
Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah,
Bank BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, 1998, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Didin Saefuddin Buchori, 2005, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana
Pustaka.


Read more: http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/islam-sebagai-objek-ilmu-
pengetahuan.html#ixzz2t0sJrWN3

Anda mungkin juga menyukai