Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan skripsi yang membahas perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Yogyakarta.
2. Perilaku utama jemaat GPIB adalah persekutuan, kesaksian, dan pelayanan yang didasarkan pada sistem teologi GPIB untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia.
3. Upaya membangun kesatuan antar gereja di Indonesia mer
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
60 tayangan94 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan skripsi yang membahas perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Yogyakarta.
2. Perilaku utama jemaat GPIB adalah persekutuan, kesaksian, dan pelayanan yang didasarkan pada sistem teologi GPIB untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia.
3. Upaya membangun kesatuan antar gereja di Indonesia mer
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan skripsi yang membahas perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Yogyakarta.
2. Perilaku utama jemaat GPIB adalah persekutuan, kesaksian, dan pelayanan yang didasarkan pada sistem teologi GPIB untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia.
3. Upaya membangun kesatuan antar gereja di Indonesia mer
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut merupakan skripsi yang membahas perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Yogyakarta.
2. Perilaku utama jemaat GPIB adalah persekutuan, kesaksian, dan pelayanan yang didasarkan pada sistem teologi GPIB untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia.
3. Upaya membangun kesatuan antar gereja di Indonesia mer
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 94
PERILAKU KEAGAMAAN JEMAAT GEREJA
PROTESTAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT (GPIB)
YOGYAKARTA
SKRIPSI Diajukan Pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: PADIL NIM: 03521283
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALI JAGA YOGYAKARTA 2009
v HALAMAN MOTTO
Manakala nilai hidup ini hanya untuk diri kita, maka akan tampak bagi kita bahwa kehidupan ini kecil dan singkat. Yang dimulai sejak kita memahami arti hidup dan berakhir hingga batas umur kita, tetapi apabila kita hidup juga untuk orang lain. Maka jadilah hidup ini bermakna panjang dan dalam. Bermula dari adanya kemanusiaan itu sendiri dan berlanjut sampai kita meninggal dunia ini (Sayyid Quthub)
vi HALAMAN PERSEMBAHAN
KARYA ILMIAH INI PENULIS PERSEMBAHKAN TERUNTUK MEREKA YANG TERCINTA:
Almamaterku Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Buat Abah dan emak ku yang selalu memberi semangat dalam kuliahku, serta mengingatkan arti pentingnya pendidikan. Buat kakak ku Muklis, Sadun, Sundus, dan Muttaqin. Teruntuk teman- teman seperjuangan yang senantiasa mengingatkan. Pemberi semangat dalam langkah kehidupan ini, memotifasiku dalam menata hidup yang lebih baik dengan penuh kasih sayang Terindah mengukir kebersamaan sahabat- sahabatku..
vii ABSTRAKSI
Negeri ini berdiri di atas fondasi keanekaragaman. Ibarat sebuah mosaik yang indah, keanekaragaman itu dapat menjadi batu-batu yang berwarna-warni yang membuat indahnya sebuah mosaik. Pluralitas agama merupakan salah satu fenomena yang tidak dapat disangkal dalam keanekaragaman tersebut. Dan setiap agama memiliki karakter yang unik, sebab setiap agama di bangun di atas sistem teologi yang berbeda-beda pula. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana perilaku jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta dan sistem teologis apa yang mendasari perilaku tersebut?. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut, penelitian ini dibingkai dalam sebuah studi lapangan di GPIB Marga Mulya Yogyakarta. Jemaat GPIB merupakan suatu kelompok jemaat yang memiliki tiga perilaku utama yang sangat dihidupkan dalam jemaat tersebut. Ketiga perilaku tersebut adalah persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Ketiga perilaku jemaat ini merupakan perilaku-perilaku yang digariskan oleh lembaga Gereja. Perilaku jemaat tidak dapat dipisahkan dari perilaku Gereja sebagai sebuah institusi. Persekutuan dipahami sebagai kehidupan bersama dengan menyatakan kasih, saling melengkapi dan menopang untuk bersekutu dengan Allah, yang nyata dalam ibadah, hidup pribadi, hidup persekutuan dan kehidupan bermasyarakat. Kesaksian adalah bentuk pewartaan Firman Allah dalam khotbah dan cara hidup. Pelayanan dimaknai sebagai pelayanan kasih ke dalam kepada sesama warga Jemaat dan ke luar kepada masyarakat. Ketiga perilaku tersebut bukan merupakan perilaku-perilaku yang muncul dengan sendirinya dalam Jemaat tersebut. Seperti apa yang dikatakan Parson, perilaku-perilaku tersebut merupakan hasil konstruksi teologis yang dibentuk oleh GPIB. Dan GPIB membingkai seluruh panggilannya sebagai panggilan untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia. Sebab bagi mereka misi merupakan perintah utama yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Seluruh hidup jemaat GPIB mesti diarahkan untuk membuat Kristus dikenal dan dicintai oleh seluruh dunia. Untuk membangun Gereja Misioner di Indonesia, GPIB mengusahakan kesatuan gereja-gereja di seluruh Indonesia. Gereja yang esa merupakan syarat utama untuk menjalankan misi kristiani. Upaya untuk mewujudkan kesatuan gereja-gereja di Indonesia itu merupakan penerusan karya yang pernah dilakukan Pemerintah Belanda setelah pembubaran VOC. Penekanan pada upaya membangun Gereja misioner di Indonesia bukan suatu upaya yang mudah dan tanpa masalah. Dalam menjalankan misi, pertemuan dengan agama lain tentu tidak dapat dihindari. Konflik dapat terjadi bila misi disamakan dengan Proselitisme. Akhirnya Dialog umat beragama merupakan kunci untuk dapat menghindari segala bentuk konflik yang mungkin terjadi akibat pertemuan dengan agama lain. Dalam dan melalui dialog antar umat beragama, agama-agama dapat saling memahami dan mengerti satu sama lain. Dengan demikian, keharmonisan di nusantara yang berdiri di atas keanekaragaman budaya dan agama bukan hanya sekedar sebuah impian melainkan kenyataan yang dirasakan oleh semua orang di dalamnya.
viii KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadiran Allah SWT, karena berkat rahmat dan taufik serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ini. Shalawat serta salam semoga tercurah dan terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir dan tokoh pembaharuan dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam penyusunan Skripsi ini penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini tidak akan terjadi/terwujud tanpa adanya bimbingan, dorongan dan bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini izinkan penyusun mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Sekar Ayu Ariyani, Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2. Ibu Dr. Syafaatun Almirzanah, Ph.D. Sebagai Ketua Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. Bapak Ustadzi Hamzah S.Ag., M.Ag Sebagai Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 4. Bapak Khairullah Zikri, S.Ag., MAStRel. Selaku pembimbing yang dengan rela hati mengorbankan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, pengarahan dan pengoreksian Skripsi ini dengan penuh ketelitian, keobjektifan dan penuh kearifan. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih semoga keikhlasan bapak dicatat sebagai amal sholih disisi Allah SWT. Amin 5. Semua Dosen Fakultas Ushuluddin baik langsung maupun tidak yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis selama ini. 6. Bapak/Ibu pimpinan tata usaha Fakultas Ushuluddin beserta stafnya yang telah memberikan kenyamanan segala kebutuhan kepada penulis.
ix 7. Teman-temanku Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2003 semoga kesuksesan selalu menyertai kita semua, teman-teman Plaryo jangan pernah berhenti berjuang untuk membantu yang tertindas. 8. Bapak Pendeta Murwanto Moesa Moesamoh, S. Th, Pendeta Prof. Dr. E. G. Singgih, Pendeta Joseph Ginting, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi tentang GPIB serta menyumbangkan pemikirannya. 9. Keluarga HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga dan teman-teman angkatan 2003 yang selalu memberi motifasi untuk menyelesaikan studi. 10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih atas semua kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam Skripsi ini. Namun ini usaha maksimal dari penulis untuk dapat menyelesaikan sebaik-baiknya. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis butuhkan dengan hati terbuka. Harapan akhir penulis semoga Skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada umumnya.
Yogyakarta. 21 Januari 2009 Hormat Penulis
Padil
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN......................................................................... ii HALAMAN NOTA DINAS............................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv HALAMAN MOTTO...................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi ABSTRAK....................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan masalah ......................................................................... 11 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ................................................. 12 D. Telaah Pustaka .............................................................................. 12 E. Metode Penelitian ......................................................................... 15 F. Kerangka Teori.............................................................................. 16 G. Sistematika Penulisan ................................................................... 20
BAB II. GAMBARAN UMUM GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT
A. Sejarah Pra-GPIB.......................................................................... 22 B. Sejarah GPIB Marga Mulya Yogyakarta ...................................... 27
xi C. Letak Geografis GPIB dan Domisili Jemaat Marga Mulya Yogyakarta .............................................................. 31 D. Struktur Organisasi GPIB Marga Mulya Yogyakarta.................... 33
BAB III. PERILAKU JEMAAT GEREJA PROTESTAN di INDONESIA BAGIAN BARAT
A. Gambaran Umum Perilaku Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta ................................................................................... 48 B. Persekutuan .................................................................................. 49 1. Persekutuan Intra Jemaat GPIB ..................................................... 49 2. Persekutuan Antar Gereja .............................................................. 51 3. Persekutuan dengan Umat Beragama Lain .................................... 52 C. Kesaksian ..................................................................................... 54 1. Pewartaan Firman Allah................................................................. 54 2. Cara Hidup ..................................................................................... 55 D. Pelayanan ...................................................................................... 56 1. Pelayanan Kasih Ke Dalam Kepada Seluruh Warga Jemaat ......... 56 2. Pelayanan Kasih Ke Luar kepada Masyarakat............................... 58 BAB IV. GEREJA MISIONER: MISI UTAMA GPIB
A. Pandangan Umum Tentang Gereja dalam GPIB ....................... 60 B. Gereja Yang Esa......................................................................... 63 C. Gereja Misioner.......................................................................... 66 D. Gereja Misioner Dalam Pluralitas Agama di Indonesia dan Urgensi Dialog Antar Umat Beragama...................................... 70
xii
BAB V . PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 76 B. Saran........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 80 Curriculum Vitae ........................................................................................... 83
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cara pandang terhadap dunia adalah pandangan yang paling fundamental dan berpengaruh terhadap realitas yang dianut oleh-oleh orang dalam suatu budaya. Cara pandang terhadap dunia menggabungkan asumsi- asumsi tentang hakekat realitas. Dalam dunia beragama, cara pandang terhadap dunia ini sama dengan pandangan-pandangan teologis yang diyakini. Tantangan-tantangan terhadap keyakinan ini mengancam fondasi-fondasi utama hidup orang-orang yang meyakininya. Mereka melawan tantangan- tantangan itu dengan emosi yang mendalam, karena tantangan-tantangan seperti itu mengancam untuk menghancurkan inti keyakinan mereka. Seperti ditunjukkan oleh Clifford Geertz, tidak ada ketakutan manusia yang lebih besar daripada ketakutan kehilangan suatu keteraturan dan arti hidup. 1 Orang- orang bahkan mau mati untuk kepercayaan-kepercayaan yang membuat hidup dan kematian mereka penuh makna. Isi-isi teologis suatu agama merupakan hal-hal yang fundamental. Sistem teologis itu merupakan dasar sebuah agama dibangun. Dan sistem teologis tersebut sangat menentukan perilaku keagamaan. Setiap ummat beragama menjalankan setiap kegiatan keagamaan atau perilaku keagamaan
1 Clifford Geertz, Religion as a Cultural Systems, dalam William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed.), Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach, Edisi III (New York: Harper and Row, 1972), hlm. 123.
2 lainnya berdasarkan sistem teologis yang ada. Sebagai hal yang paling fundamental, sistem teologis akan dipertahankan oleh para penganutnya. Dalam hubungan dengan perilaku keagamaan, Parson menegaskan bahwa perilaku agama merupakan suatu konstruksi teologis. Pranata agama sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain ketidaktahuan dan ketidakmampuan manusia dalam menghadapi masalah-masalah tertentu dan kelangkaan hal-hal yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. 2
Dalam berperilaku, setiap ummat beragama dikontrol oleh sistem kepercayaan yang dilembagakan. Parson menyebutnya sebagai mekanisme kontrol. 3 Mekanisme kontrol ini mencakup sebuah proses di mana status dan peran yang ada dalam sebuah sistem masyarakat diorganisir ke dalam sebuah sistem sosial, sehingga perbedaan ditekan. Mekanisme kontrol itu meliputi antara lain: pelembagaan, sanksi-sanksi dan aktivitas ritual. Dalam pengertian ini kita dapat mengerti bahwa sistem kepercayaan setiap agama dilembagakan dalam institusi atau organisasi dan Kitab Suci menjadi pedoman utama dalam mengambil keputusan untuk berperilaku. Perilaku keagamaan adalah respon atau tindakan terhadap ajaran agama yang dianut atau diyakini. Manusia yang beragama dan mengamalkan apa yang menjadi ajaran agama dan kepercayaannya merupakan salah satu ciri khas dari manusia yang taat menjalankan agamanya. Tingkah laku beragama dalam kehidupan sehari-hari bisa berdampak positif, namun bisa juga
2 Dikutip dalam Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2000), hlm. 79.
3 Dikutip dalam Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 29.
3 berdampak negatif tergantung bagaimana orang memahami agama yang diyakininya. Perbedaan tingkah laku beragama disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan, pemahaman yang berbeda dan pengamalan dalam ritual-ritual keagamaannya yang berbeda pula. 4
Perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu. Sikap adalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Lapierre (1934 dalam Allen, Guy, & Edgley, 1980) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, toleransi atau kesiapan antisipatif, pre-disposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. 5 Menurut teori perilaku terencana, di antara berbagai keyakinan yang akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai tersedia-tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan. Keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi yang tak langsung mengenai perilaku itu misalnya dengan melihat pengalaman teman atau orang lain yang pernah melakukannya, dan dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. 6
Di Indonesia kita mengenal ada banyak Gereja Protestan. Gereja- Gereja itu sebagai lembaga-lembaga yang mempunyai karakter yang unik. Setiap jemaat berbeda satu sama lain. Perilaku jemaat setiap Gereja pun berbeda-beda. Untuk memahami semua itu, kita perlu memahami sistem
4 Taupik Abdullah dan M. Rusli karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama ( Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm. 5. 5 Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 13. 6 Saifulddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengkurannya, hlm. 13.
4 kepercayaan yang ada dalam Gereja-gereja tersebut. Dalam hal ini, peneliti akan memfokuskan perhatian pada GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat). Berbicara tentang GPIB sama halnya dengan menyelami sejarah Gereja Protestan di Hindia Belanda. Banyak hal yang dapat diangkat, tapi hal- hal yang paling penting kiranya mencukupi bagaimana memahami GPIB dan usahanya melepas diri dari keterkaitan dengan kolonialisme. Tentu ada sebab- sebabnya mengapa Gereja-Gereja tidak senang dikuasai atau sekurang- kurangnya berada dalam pengawasan ketat Pemerintah Kolonial. Ketidak- senangan itulah antara lain menyebabkan Gereja-Gereja berjuang untuk berdiri sendiri. Maka jika kita berbicara tentang sejarah GPIB, kita berbicara tentang suatu Gereja yang mandiri dan dewasa membangun dirinya. 7
Gereja Protestan adalah lanjutan dari jemaat-jemaat VOC. Sekembalinya Pemerintah Belanda ke Indonesia pada tahun 1816, Raja Willem I merasa bahwa adalah kewajiban Negara untuk memperhatikan nasib Gereja secara resmi, maupun terhadap kaum Kristen peranakan. Hal ini termasuk tanggungan yang diwarisi dari Pemerintah V.O.C. yang telah bubar. Apalagi pada masa itu jemaat-jemaat Protestan tidak sanggup menyusun organisasinya dan menyelenggarakan keperluan jasmaninya sendiri. Itulah sebabnya Gereja Protestan di Indonesia diurus dan dipimpin oleh pemerintah, sama seperti Gereja Hervormd di Belanda pada zaman itu.
7 B. Simauw, Sejarah Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (Yogyakarta: Majelis Sinode XII GPIB, 1981), hlm. 103.
5 Gubernur Jenderal melantik Kerkhestuur sebagai badan pucuk pimpinan di Jakarta, serta mengangkat pendeta-pendeta sebagai golongan pegawai negeri. Sudah tentu Gereja yang demikian tidak berusaha merumuskan pengakuannya dengan tegas. Sejalan dengan bertambahnya orang Protestan Belanda (Kebanyakan Belanda peranakan), jemaat-jemaat Protestan terutama di Jawa dan Sumatera dan juga kota-kota besar di luar kedua pulau itu berusaha untuk memberi peluang pada orang pribumi untuk memimpin jemaat. Namun Gereja Protestan di bagian Timur Indonesia tetap merupakan jemaat-jemaat yang bergantung pada VOC. Mereka masih sangat membutuhkan pimpinan dan pertolongan yang baik dari Pemerintah. Sebagai jawabannya, Nederlandsch Zandiling Goootschap (NZG) akhirnya mengutus Joseph Kam, yang disebut Rasul Maluku mengunjungi dan mengurus segala jemaat dari pusat Maluku di Ambon sampai ke Kisar dan Sangir. Ia disebut Rasul Maluku karena ia melayani tanpa mengenal lelah sampai ajalnya pada tahun 1833. Keadaan ini terus berlangsung. Nederland Zending Goverman terus mengirim pendetanya dan Gubernemen membayar gaji mereka. Batas antara tugas dan kuasa pendeta-pendeta itu dengan kuasa pegawai pamong praja kurang tegas. Akhirnya pada tahun 1870 Gubernemen mengangkat semua pendeta di Maluku menjadi hulpprediker (secara harafiah berarti Pengkhotbah penolong) Gereja Protestan. Akibatnya, semua jemaat Gereja Kristen, juga jemaat-jemaat muda yang baru dibangun NZG di pulau-pulau selatan dan tempat lain, sejak waktu itu dimasukkan ke dalam
6 Gereja Protestan. Pada abad ini Gereja di Maluku berkembang ke mana-mana misalnya ke Seram, Kai dan Aru, dan Irian Barat dan Selatan. Perkembangan itu dikarenakan oleh ketekunan suku Ambon mewartakan Injil. Demikianlah Ambon-Lease menjadi pusat Gereja Rakyat Maluku yang anggotanya, pada saat itu berjumlah 280.000 jiwa. 8
Sistem pengangkatan pemimpin jemaat oleh pemerintah Belanda dan ketergantungan Gereja-gereja terhadap Pemerintah Belanda menimbulkan reaksi dari banyak pihak. Suatu penilaian tentang Gereja Protestan di Indonesia dahulu diberikan secara tepat oleh Dr. K.J. Brouwer. Menurutnya apa yang diciptakan Raja Willem I pada tahun 1815 itu tidak dapat disebut Gereja. Brouwer juga tidak menganggap tepat sebutan Gereja Negara. Istilah yang paling tepat untuk Gereja Protestan Hindia, menurut Brouwer ialah Suatu peralatan pemerintahan untuk mengatur kepentingan-kepentingan orang Protestan. 9
Para pendeta adalah pegawai negeri, yang ditetapkan khusus untuk menangani kebutuhan rohani orang-orang Protestan, sesuai aturan oleh Pemerintah Kolonial. Para pendeta (predikant) ditetapkan hanya orang Belanda atau penolong Eropa. Orang pribumi hanya dapat diangkat menjadi guru Injil atau penolong atau guru jemaat. Warga Gereja juga terkotak-kotak. Orang-orang Belanda atau Eropa masih memaksakan supaya orang pribumi Jemaat Melayu mengikuti pola mereka.
8 Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 313. 9 Dikutip dalam B. Simauw, Sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, hlm. 1.
7 Keadaan yang tidak Gerejawi itu tidak dikehendaki lebih lama oleh orang-orang yang memahami maksud Injil. Maka pemisahan antara Gereja dan negara mulai terwujud pada tahun 1934, meski merupakan hasil pergumulan yang tidak mudah sejak awal tahun-tahun 1900. Suatu komisi negara yang dibentuk pada tahun 1921, yang memberi laporannya di tahun 1927, menyebabkan diadakannya suatu Persidangan Besar (Grote Vergadering) di tahun 1933. Semangat dalam persidangan itu sangat berbeda dari semangat yang hidup dalam persidangan yang serupa di tahun 1916. Perbedaan itu adalah hasil kematangan pertumbuhan kehidupan rohani yang berkembang di dalam jemaat-jemaat Gereja Protestan di seluruh Indonesia. GPIB dilembagakan dalam iklim segar yang meliputi semua Gereja, baik dalam negeri maupun internasional. Itulah gerakan keesaan di antara Gereja-Gereja sedunia untuk membentuk Gereja Kristen yang esa. Perkembangan-perkembangan dalam tubuh Gereja Protestan di Indonesia sejak awal abad ke-20 jelas dijiwai oleh iklim oikomenis. Walaupun masalah pemisahan antara Gereja dan Negara sudah digumuli sejak tahun 1863, namun bukan masalah itu yang mendorong pembaharuan-pembaharuan GPI (Gereja Protestan Indonesia). Iklim oikomenis-lah yang mendorong pembaruan- pembaruan faham GPI sesudah pelembagaan Gereja Minahasa Injili Timur (GMIT) ditahun 1947. GMIT kemudian berkewajiban untuk memikirkan kelanjutan pekerjaannya di wilayah-wilayah di luar wilayah Gereja-gereja yang sudah berdiri sendiri.
8 Selama masa pendudukan Jepang, pada saat jemaat-jemaat di luar yang sudah berdiri sendiri ditinggalkan tanpa pimpinan, jemaat-jemaat itu tidak melebur ke dalam Gereja-gereja suku atau Gereja-gereja daerah. Tetapi mereka bertahan sebagai Gereja Protestan di Indonesia dan pimpinannya membuktikan kesanggupan memenuhi penggilan Gereja. Sifat Gereja di Indonesia itulah yang membuat mereka bertahan, kendati anggotanya sebagian besar berasal dari Minahasa, Maluku, Timor, keturunan Eropa dan lain-lain bangsa. Persoalan yang paling besar waktu itu adalah, bagaimana menanggulangi keesaan Gereja. Maka diputuskan sebagai berikut 10 : (1) Perbedaan-perbedaan bahasa dan bangsa tidak dapat dipakai sebagai dalih untuk tercapainya keesaan Gereja; (2) Untuk sementara waktu dapat dipertahankan jemaat-jemaat terdiri dari dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda; dan (3) Keesaan Gereja harus tercapai melalui semua jalan dan cara yang memungkinkan. Dalam kehidupannya sehari-hari, jemaat di GPIB Marga mulya Yogyakarta sangat menekankan persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Mereka membangun persekutuan yang kuat antar jemaat dalam Gereja. Mereka juga berupaya membangun persekutuan dengan jemaat-jemaat dari Gereja lain dan juga dengan masyarakat sekitar. Dalam hubungan dengan kesaksian, jemaat GPIB berusaha untuk menjadikan hidup mereka sebagai kesaksian agar dapat menarik orang-orang
10 B. Simauw, Sejarah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, hlm. 103.
9 untuk masuk dalam Gereja mereka. Mereka sangat bersemangat dalam melaksanakan misi atau pekabaran Injil. Dengan memahami Gereja sebagai kehidupan bersama atau persekutuan orang-orang yang percaya, baik pria, wanita, tua ataupun muda, maka sesungguhnya Gereja adalah suatu organisasi, lembaga atau institusi. Sebagai organisasi, Gereja memiliki keteraturan atau ketentuan yang spesifik dan umum sebagaimana organisasi pada umumnya. Maka Gereja menempatkan dirinya untuk tetap berhubungan dengan institusi atau organ yang lain secara vertikal atau horizontal, karena tentu saja sebuah organisasi tidak akan bisa untuk berdiri sendiri tanpa kerjasama dan bantuan dari organ yang lain. Dengan demikian jelas bahwa Gereja tidak berada dalam situasi atau keadaan yang vacum, tetapi berhubungan duniawi, karena ada di dalam kehidupan bersama. Sebagai sebuah organisasi, Gereja sebagai wujud konkrit dari persekutuan ummat Kristen mempunyai tugas pokok Pekabaran Injil di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, ia berfungsi sebagai penghimpun ummat Kristen sebagai anggotanya dan untuk memperbanyak pengikut. 11
Dalam buku A Theology of the Laicy, H Kraemer mengemukakan bahwa Gereja itu adalah untuk dunia, dan dalam rangka itu ia berbicara tentang Gereja sebagai wadah misi dan pelayanan. Kedua aspek ini bagaikan nafas dari Gereja itu sendiri, seperti halnya pentingnya nafas bagi tubuh manusia. Bisa juga dikatakan bahwa misi adalah hakikat Gereja, karena ia
11 A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama (Yogyakarta: IAIN Press, 1965), hlm. 36.
10 dipanggil, dipilih dan dikuduskan untuk menjalankan misi, yaitu menjadi berkat bagi semua orang. Misi kemudian dijabarkan ke dalam pelayanan Gereja. Yang dimaksud dengan pelayanan Gereja (The Churchs Ministry) adalah keseluruhan kegiatan Gereja sebagai ummat Allah untuk mengajak manusia. 12
Dalam upaya menunaikan panggilannya sebagai Gereja misioner, GPIB menghadapi berbagai tantangan dalam pluralitas Agama di Bangsa ini. Ketika misi dipahami sebagai prioritas dalam agama Kristen, interaksi dengan agama-agama lain cenderung tidak seimbang. Ada berbagai kecurigaan dari ummat beragama lain yang mengklaim bahwa misi GPIB identik dengan kristenisasi. GPIB menyadari hal ini sebagai tantangan yang perlu mematangkan pemaknaan atas panggilan mereka sebagai Gereja Misioner. Fakta membuktikan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi manusia. Karena itu, masalah keagamaan adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan umat manusia sepanjang sejarahnya. Adapun konflik antar kelompok keagamaan meliputi konflik intern kelompok umat beragama, konflik antar kelompok umat beragama dan hubungan (konflik, kerjasama dan kompetisi) masyarakat agama-penguasa (agama negara versus agama sipil). 13
Konflik antar ummat beragama seringkali disebabkan oleh upaya untuk mengajak umat beragama lain untuk berpindah agama.
12 Dikutip dalam Yayasan Wahana Dharma, Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 69. 13 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 60.
11 Perilaku jemaat beragama yang ingin mengajak orang lain masuk dalam kelompok mereka, terutama pada negara yang penduduknya pluralistik dari sudut agama, seringkali sangat di pengaruhi oleh sistem teologi yang dianut penduduknya. 14 Sebagai seorang muslim, perilaku keagamaan yang sangat menekankan misi atau pekabaran Injil dari Gereja Kristen, tentu menimbulkan anggapan bahwa ada upaya kristenisasi dari pihak Gereja. Karena itu, pemahaman akan sistem teologi yang dianut akan membantu kita, kaum muslim, untuk memahami perilaku keagamaan dalam GPIB Marga Mulya Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini: 1. Bagaimana perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Yogyakarta ? 2. Sistem teologis apa yang mempengaruhi perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Yogyakarta 3. Bagaimana implikasi perilaku keagamaan jemaat GPIB dalam konteks pluralitas di Indonesia?
14 Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, hlm. 79.
12 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Untuk mengetahui perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui sistem teologi yang melatarbelakangi perilaku jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Yogyakarta. 3. Untuk memahami implikasi perilaku keagamaan jemaat GPIB di tengah pluralitas Bangsa ini. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memperkaya khasanah kajian ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Ilmu Perbandingan Agama serta ilmu-ilmu yang berkaitan, khususnya kajian tentang agama lain yang terdapat dalam sejarah manusia. 2. Untuk menambah inspirasi dan gambaran bagi para peneliti yang berminat untuk mengkaji lebih dalam terhadap penelitian yang serupa untuk dikembangkan dalam spektrum yang lebih luas dan dapat berguna dalam mengembangkan wawasan studi.
D. Telaah Pustaka Penelitian tentang masalah Gereja secara umum sudah banyak di lakukan, baik itu dalam penelitian yang bersifat pustaka (Library Researh) maupun yang bersifat lapangan (Field research). Namun dari sejumlah hasil penelitian yang ada, penelitian tentang Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Yogyakarta, sejauh pembacaan dan pengamatan penulis belum banyak dilakukan.
13 Ada beberapa tulisan atau beberapa penelitian yang bersifat pustaka (Library research) dan lapangan (Field research) tentang Gereja. Penelitian- penelitian tentang Gereja yang bersifat pustaka di antaranya yaitu buku Sejarah Gereja. Buku ini menjelaskan tentang sejarah munculnya Gereja sebagai sebuah tempat ibadah umat Kristen. Di samping itu juga dijelaskan bagaimana perkembangan Gereja dalam masyarakat setempat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik penguasa. Dalam buku Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja yang diterbitkan oleh Yayasan Wahana Dharma Nusa, dijelaskan mengenai Gereja dalam menunaikan tugas panggilannya dalam masyarakat, yakni memberitakan Firman Allah, mengadakan pelayanan atau beramal bakti, termasuk pendidikan umat dan menata hidup bergereja dalam hidup berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam buku Gereja dan Kontektualisasi oleh penerbit yang sama, dijelaskan, bahwa toleransi antar satu kelompok terhadap yang lain harus diciptakan sehinggga kebencian tidak terjadi di antara satu agama dengan agama yang lain. Dalam Buku Bahtera Guna Dharma dijelaskan bahwa Gereja menghimpun dalam dirinya orang-orang dari berbagai latar belakang dan lingkungan bukanlah berdasarkan azas gerejani. Selain itu ada juga penelitian-penelitian yang bersifat lapangan. Dapat kita sebutkan skripsi Siti Nurrohmah Maria Wardani, yang berjudul Gereja Kristen Jawa Ambarukmo di Papringan Desa Catur Tunggal Depok Sleman.
14 Tulisan ini menguraikan tentang tugas-tugas yang diemban oleh Gereja ini, terutama tugas-tugas keagamaan. Kemudian dalam skripsi Siti Nurul Hidayah, yang berjudul Gereja Katolik Maria Assumpta Babarsari Catur Tunggal Depok Sleman, dijelaskan mengenai faktor-faktor yang mendukung dan menghambat terlaksananya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Gereja ini. Di antara sekian banyak literatur yang ada, sejauh ini penulis belum menemukan buku atau sejenisnya yang membahas dan mengkaji tentang Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Marga Mulya Yogyakarta. Titik tekan penelitian ini adalah pada keberadaan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Marga Mulya Yogyakarta, yang beranggotakan mayoritas masyarakat Timur Indonesia. Gereja ini seakan- akan tampil sebagai sebuah miniatur Indonesia yang jemaatnya terdiri dari Sabang sampai Merauke. Selain itu bahasa yang dipakainya sebagai bahasa persatuan jemaat adalah Bahasa Indonesia. Dalam hidup keseharian, mereka memiliki perilaku keagamaan yang tentu berbeda dengan yang lainnya. Secara ringkas, kalau kita berbicara mengenai GPIB itu sendiri maka kita sebenarnya berbicara tentang sebuah institusi yang identik dengan membangun dirinya secara mandiri. Dasar inilah yang menjadi sandaran penulis untuk mengarahkan penelitian ini pada perilaku jemaat GPIB baik internal (dalam) maupun eksternal (keluar). Penulis juga ingin memahami konstruksi teologis apa yang ada di belakang perilaku-perilaku keagamaan jemaat tersebut.
15 E. Metode Penelitian Karena metode merupakan salah satu hal yang terpenting dalam sebuah penelitian agar sampai pada tujuan yang diinginkan, maka penyusun menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan bahan penelitian ini, penulis menggunakan : a. Metode Observasi, yaitu metode dengan mengadakan pendekatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang akan diteliti. 15
Dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan secara langsung terhadap kondisi wilayah penelitian serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek penelitian. Observasi di lakukan di GPIB Marga Mulya Yogyakarta sejak 23 Juli 2008 sampai dengan 10 Oktober 2008. Dalam observasi, peneliti menghimpun data sebanyak- banyaknya yang dilakukan dengan mengamati langsung dan mencatat gejala-gejala yang sedang diteliti. b. Interview, adalah salah satu metode pengumpulan data, dengan proses tanya jawab yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian yang dihadiri dua orang atau lebih secara fisik dalam proses tanya jawab. 16 Di dalam metode interview peneliti tidak sekedar mengumpulkan data, namun sekaligus mencari tahu hal-hal yang mendasari perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Marga Mulya Yogyakarta.
15 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986), hlm 136. 16 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, hlm. 192.
16 c. Dokumentasi; penggunaan metode ini dimaksudkan untuk dapat mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau data yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Dengan cara ini, penulis akan menghimpun beberapa keterangan yang dikutip, disadur atau disaring dari dokumen yang ada, kemudian disusun menurut kerangka yang telah dibuat. Metode ini penulis gunakan di samping melengkapi data yang diperoleh juga sebagai penguat data yang penulis peroleh dari hasil observasi dan wawancara. Dokumen-dokumen yang dipelajari adalah dokumen-dokumen yang berasal dari GPIB yang langsung memberi informasi tentang jemaatnya. d. Analisis Data Di dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, penulis tidak menggunakan perhitungan statistik, tapi non statistik. Dalam hal ini penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan terlebih dahulu data-data dan kemudian dianalisa secara kualitatif. Setelah data dikumpulkan, pengolahannya dilakukan dengan dipilih dan dikelompokkan sesuai dengan kerangka penelitian yang telah dibuat. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara kualitatif.
F. Kerangka Teori Penelaahan permasalahan di atas tidak hanya diatasi dengan jalan pemikiran saja, tetapi juga menggunakan landasan teoritis.
17 Untuk menganalisis Perilaku jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Marga Mulya Yogyakarta, tulisan ini menggunakan salah satu teori peran yang dikemukakan oleh Parson. Istilah peran secara harfiah diartikan sebagai sebuah upaya untuk ikut serta dalam sebuah proses. Pengertian harfiah ini menunjukkan adanya aspek aktif dalam sebuah peran yaitu kehendak untuk terlibat dalam sebuah proses. Menurut Parson, mekanisme kontrol mencakup sebuah proses di mana status dan peran yang ada di dalam sebuah sistem masyarakat diorganisir kedalam sebuah sistem sosial, sehingga perbedaan dapat ditekan. Mekanisme kontrol itu meliputi antara lain: pelembagaan, sanksi-sanksi, dan aktifitas ritual. 17
Di sisi lain Parson juga mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pranata agama, antara lain, ketidak tahuan dan ketidak mampuan manusia dalam menghadapi masalah-masalah tertentu, dan kelangkaan hal-hal yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. 18
Jadi jelas bahwa perilaku jemaat dianggap mampu mempengaruhi sebuah pranata agama, dalam hal ini Gereja Protestan Indonesia bagian Barat Yogyakarta. Beranjak dari sebuah teori peran Parson, yang dianggap mempunyai sebuah legalitas dalam melakukan suatu perubahan (reformasi), sebuah perubahan tidak terlepas dari sebuah pranata agama, di mana perilaku jemaat memfungsikan Alkitab sebagai sebuah pedoman utama dalam mengambil keputusan.
17 Dikutip dalam Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, hlm. 29. 18 Dikutip dalam J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.), Sosiologi Teks Terapan dan Pengantar (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), hlm. 254.
18 Jadi pada prinsipnya perilaku jemaat sangat erat hubungannya dengan konstruksi teologis, kemudian konsep tersebut mampu membangun sebuah konstruksi teologis bagi Gereja Protestan Indonesia bagian Barat Yogyakarta. Untuk memahami panggilan GPIB sebagai Gereja misioner peneliti menggunakan teori yang dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions 19 . Kuhn menekankan bahwa keyakinan epistemologis menentukan perilaku dan pemahaman seseorang tentang misi. Beliau membedakan empat keyakinan epistemologis yakni realisme murni, idealisme, instrumentalisme dan realisme kritis. 1. Realisme Murni dan Idealisme Bagi aliran-aliran ini, pengetahuan itu harus tepat, obyektif dan pasti. Realisme murni berpandangan bahwa pengetahuan itu seperti sebuah foto dari realitas. Idealisme memandang bahwa pengetahuan itu menciptakan realitas; realitas itu ada dalam subyek yang berpikir. Akibatnya keduanya mencari teori yang menyatukan semua realitas. Mereka berusaha untuk memodifikasi sistem-sistem kepercayaan agar tercapai suatu teori yang menyatukan semuanya. Realisme murni dan idealisme tidak dapat menerima perbedaan pendangan tentang realitas dan komplementaritas sistem-sistem yang berbeda- beda. Mereka yakin bahwa kebenaran itu satu, tetap, tak berubah dan tidak dapat ada perbedaan pandangan sehingga mereka akan selalu berkonfrontasi dengan yang lain dan menganggapnya sebagai salah.
19 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Universitas Chicago Press, 1962).
19 2. Realisme Kritis Pendirian ini mengakui keterbatasan pengetahuan manusia dan karena itu terbuka untuk berubah dan pengujian kembali keyakinan-keyakinan mereka. Realisme kritis memungkinkan pandangan yang berbeda-beda tentang realitas. Realisme kritis memahami teori-teori dan sistem-sistem kepercayaan sebagai blueprints dari realitas. Setiap teori dan sistem dapat memberi kita sebagian kebenaran tentang realitas. Tidak ada satu pun yang memberi kita kebenaran yang utuh. Untuk itu setiap sistem kepercayaan dan ilmu saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Realitas itu terlalu kompleks bagi akal budi untuk menangkapnya secara total. Maka komplementaritas sistem- sistem dituntut dalam realisme kritis. Realisme kritis juga mengakui dimensi subyektif dari pengetahuan manusia, maka disadari juga bahwa konteks historis dan sosio-budaya mempengaruhi sistem-sistem pengetahuan. 3. Instrumentalisme Aliran ini memahami sistem-sistem pengetahuan sebagai pemecahan masalah. Setiap sistem mempunyai kebenaran tertentu untuk menjawab masalah tertentu. Karena itu tidak perlu menyatukan mereka dalam suatu teori yang menyatukan. Integrasi sistem-sistem itu dalam suatu sistem yang tunggal dan teori komplementaris tidak perlu dibicarakan. Keempat aliran ini sangat mempengaruhi cara seseorang berpandangan tentang misi di tengah pluralitas. Dalam relasi dengan agama-agama lain, realisme murni dan idealisme akan menolak agama-agama lain dan memandang mereka sebagai salah. Agama lain harus dihapuskan. Misi
20 diartikan sebagai misi untuk mempertobatkan orang lain. Instrumentalisme memandang agama-agama sebagai pelayan yang sangat berguna, sebagai pengikat masyarakat. Misi hanya dimaksudkan agar membantu orang lain menjadi lebih baik dalam agamanya. Yang terutama bukan pertobatan melainkan membantu orang untuk mengatasi persoalan-persoalan mereka. Realisme Kritis berusaha untuk mempelajari agama-agama lain dan memandang dialog dengan agama-agama lain sebagai hal yang sangat penting. Dialog tidak dimaksudkan untuk menciptakan suatu sintesa baru melainkan membangun jembatan pengertian sehingga orang dapat mendengar panggilan dalam cara yang mereka pahami, tanpa mencurigai kebenaran yang diajarkan.
G. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh bentuk penulisan skripsi sistematis, valid dan progresif, maka penyusun mambagi tulisan ini ke dalam lima bab yang secara lengkap dapat penyusun gambarkan sebagai berikut: Bab I, memuat pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II, mengutarakan gambaran umum Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). Bab III, memaparkan perilaku keagamaan dalam prespektif jemaat GPIB.
21 Bab IV, menguraikan landasan teologis yang menjelaskan perilaku keagamaan jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Marga Mulya yogyakarta, dan diakhiri dengan Gereja Misioner dalam pluralitas dan urgensi dialog antar umat beragama. Bab V, berisi Penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.
22 BAB II GAMBARAN UMUM GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT MARGA MULYA YOGYAKARTA
A. Sejarah Pra-GPIB Pada abad XVI, Portugis dan Spanyol yang menganut agama Kristen Katolik datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Melihat Bangsa Indonesia yang bodoh karena dapat ditipu daya oleh orang-orang Portugis dan Spanyol, maka perdagangan bergeser menjadi penjajahan. Di samping itu mereka juga menyebarkan Agama Kristen Katolik kepada rakyat Indonesia pada wilayah-wilayah yang belum banyak menganut Agama Islam. Pada akhir abad ke XVI, pada tahun 1512 sudah berdiri beberapa Gereja seperti di Minahasa, Sangir dan Talaud. 20
Kesuburan dan kekayaan hasil bumi Indonesia sangat mengundang simpati Bangsa-bangsa Barat untuk datang ke Indonesia. Setelah Bangsa Portugis dan Spanyol dapat menguasai Indonesia, kemudian disusul dengan kedatangan Belanda ke Indonesia yaitu pada tahun 1596, yang membawa Kristen Protestan. Kedatangan Belanda sangat mengganggu kestabilan ekonomi Portugis di Indonesia. Kehadiran Belanda membuat adanya persaingan dalam bidang perdagangan dan kekuasaan di Indonesia. Kemapanan Portugis dan Spanyol di Indonesia mulai terguncang. Oleh karena
20 Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Widjaya, 1986), hlm.23.
23 itu Portugis dan Spanyol merasa tidak senang atas kedatangan Belanda ke Indonesia. Pada awalnya Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Untuk lebih mengkordinasi perdagangan Belanda di Indonesia, dibentuklah suatu perkumpulan dagang dengan nama VOC (Verenigde Oost Indische Compagne) pada tanggal 20 Maret 1602. Dengan dukungan yang penuh dari pemerintahan Belanda, VOC pada akhirnya dapat mendominasi perdagangan di Indonesia. Untuk memperluas perdagangan di Indonesia agar tidak ada yang menyaingi, VOC melakukan penyerangan terhadap Portugis sehingga terjadilah peperangan antara Belanda dengan Portugis yang kemudian dimenangkan oleh Belanda. Wilayah kekuasaan Portugis yang ada di Ambon dapat direbut oleh Belanda pada tanggal 23 Februari 1605 dan disusul di kota Tidore pada tahun yang sama. Dengan demikian kekuasaan Portugis di Indonesia telah berakhir dan digantikan oleh Belanda. 21
Kemenangan Belanda atas Portugis diikuti pengalihan jemaat-jemaat Katolik Indonesia menjadi jemaat-jemaat Protestan, kecuali pada beberapa tempat yang tidak bernilai ekonomis bagi Belanda, seperti di Nusa Tenggara. Pada masa Portugis rakyat Indonesia banyak memeluk Kristen Katolik, tetapi setelah Portugis dikuasai oleh Belanda, maka agama Kristen Katolik dilarang
21 Soetarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Suatu Ekspresi ke Kristenan Jawa pada Abad ke XIX), Widi harijati Rahadi, terj (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 56.
24 di bumi Indonesia. Banyak rakyat yang sudah beragama Kristen Katolik harus pindah ke Kristen Protestan. 22
Namun, kekristenan di bawah VOC Belanda tidak lebih baik dari sebelumnya, antara lain karena VOC lebih mengutamakan urusan perdagangannya dari pada pemeliharaan jemaat-jemaat atau penyebaran Injil. 23 Selain itu, keberadaan VOC yang berkuasa di Indonesia sangat menindas rakyat, maka rakyat Indonesia pun mulai melakukan perlawanan. Akan tetapi perlawanan itu gagal dan tidak membuahkan hasil. Dengan demikian VOC leluasa melakukan monopoli perdagangannya. VOC terus menguasai Indonesia sampai dengan masa pembubarannya pada tanggal 31 Desember 1799. 24
Setelah keruntuhan VOC, pembinaan Gereja di Indonesia kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda pun kemudian menata ulang organisasi Gereja di Indonesia. Sesuai kecenderungan para penguasa di Eropa masa itu, raja Belanda, Willem I, bertekad menghapuskan pertikaian antar Gereja-gereja dengan menyatukan semua aliran Protestan di Indonesia yang telah berkembang selama di bawah VOC. 25
Raja Willem I merasa bahwa adalah kewajiban Negara untuk memperhatikan nasib Gereja secara resmi, maupun terhadap kaum Kristen peranakan. Hal ini termasuk tanggungan yang diwarisi dari pemerintah V.O.C.
22 T.B. Simatupang, Indonesia Negeriku: Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hlm. 6.
23 Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1994), hlm 14. 24 Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 24.
25 Zakaria J. Negolow, Kekristenan dan Nasionalisme, hlm.16.
25 yang telah bubar. Apalagi pada masa itu jemaat-jemaat Protestan tidak sanggup menyusun organisasinya dan menyelenggarakan keperluan jasmaninya sendiri. Ada dua faktor yang menyebabkan penyiaran Kristen Protestan di masa Kolonial Belanda menjadi lebih efektif, baik itu dalam arti konsolidasi untuk orang yang sudah memeluk agama Kristen atau Zending dalam kalangan yang menganut agama Islam, Hindu, Budha. Kedua faktor itu adalah timbulnya gerakan Kristen Protestan dan timbulnya gerakan penyebaran Kristen yeng lebih terorganisir dalam bentuk lembaga penyiaran Kristen yang mantap. 26
Sekitar tahun 1850-an Belanda mulai melakukan usaha yang lebih intensif untuk mengadakan Kristenisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Kristen Protestan sendiri melalui organisasi Gereja, yang disebut dengan Zending. Biasanya, satu daerah hanya dilayani oleh satu organisasi Zending. Di daerah Batak, misalnya ditempatkan organisasi Zending dari Jerman Barat yang bernama Rheinisehe Missionsgesell. Di pulau Jawa dan Sulawesi kegiatan Zending di dominisi oleh Belanda. 27
Derasnya arus misi dan zending yang masuk ke Indonesia semakin meramaikan Kristenisasi. Fenomena ini tidak hanya membuat penyebaran Kristen berlangsung secara substansial, melainkan dapat memberikan dampak yang negatif dalam arti fisik bagi kehadiran agama tersebut. Untuk mendukung para misionaris datang ke Indonesia maka infrastruktur sosial
26 Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, hlm.26 27 Karel. A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 246.
26 keagamaan harus disediakan seperti sekolah dan Gereja-gereja, karena Indonesia merupakan lahan terbuka bagi Kristenisasi. Kehadiran orang-orang Eropa jumlahnya sangat meningkat dan tujuannya adalah untuk meningkatkan pendidikan dan meningkatkan pelayanan Gereja-gereja terhadap masyarakat di Indonesia. 28
Sekitar tahun 1851 di Indonesia telah berdiri suatu organisasi pekabaran Injil. Konsolidasi atas penduduk yang sudah beragama Kristen sejak zaman Portugis dan Spanyol, diambil-alih oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1800-an. Dengan adanya penyiaran Injil yang datang dari luar negeri akan memantapkan Kristenisasi di Indonesia. Setelah tahun 1800- an, perkembangan agama Kristen Protestan sangat meluas, sampai ke pelosok- pelosok Indonesia sehingga dengan praktis daerah-daerah tersebut menganut Kristen Protestan. Demikian, sejarah masuknya Kristen Protestan di Indonesia tidak terlepas dari misi dagang Belanda yang ingin menguasai perdagangan guna memperoleh keuntungan yang sangat besar dari daerah-daerah jajahannya, yang dapat melakukan eksploitasi ekonomi di tanah jajahannya dan kemudian sambil menyebarkan ajaran agama Kristen Protestan. 29
Kehadiran Belanda di Indonesia makin lama makin menindas rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia tidak segan-segan melakukan perlawanan seperti peristiwa di Maluku (1817), Sultan Baharuddin di Palembang (1819),
28 Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 80. 29 Wiwin Siti Aminah (dkk.), Sejarah Teologi dan Etika Agama-agama (Yogyakarta: Dian Interpedi, 2003), hlm. 80.
27 Imam Bonjol di Minangkabau (1821-1837), Pangeran diponogoro di Jawa Tengah (1825-1830), Jlentik, Polim, Teuku Umar, Tjikditiro di Aceh (1860), Anak Agung Made di Lombok (1894-1895) dan Sisinga Mangaraja di tanah Batak (1900). Karena rakyat Indonesia pada waktu itu belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan, maka rakyat Indonesia mengalami kekalahan. Namun demikian, mereka tidak putus asa dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah sampai Indonesia merdeka. 30
Upaya untuk melepaskan diri dari penjajah dalam hidup beragama merupakan perjuangan GPIB. Mereka ingin membangun Gereja Indonesia sebagai Gereja yang mandiri dan tidak bergantung pada Pemerintah Belanda. GPIB Marga Mulya yang akan kita bicarakan dalam bagian berikut ini tidak dapat kita lepaskan dari sejarah perjuangan Gereja-gereja di Indonesia untuk membangun Gereja Indonesia yang mandiri.
B. Sejarah GPIB Marga Mulya Yogyakarta Tanggal dan tahun terbentuknya Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta secara pasti belum diketahui, karena penelitian untuk itu belum dilakukan. Berdasarkan catatan yang ditemukan, pada tanggal 14 Desember 1830 dilaksanakan Rapat Majelis Gereja (RMG) yang pertama. Jemaat Gereja pada saat itu masih dilayani oleh seorang Pendeta dari Solo. Karena pada saat itu jemaat belum memiliki gedung Gereja, maka kebaktian diselenggarakan di rumah-rumah anggota jemaat.
30 Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Membahas Proses Reformasi Paradigma Masyarakat Madani (Yogyakarta: Paradigma, 1999), hlm. 246.
28 Mulai 8 April 1831, dicoba untuk mengusahakan memperoleh sebuah gedung Gereja. Tempat ibadah yang direncanakan adalah gedung sekolah milik pemerintah yang kemudian mendapat persetujuan pemerintah. Gedung sekolah yang dipakai sebagai tempat ibadah warga jemaat tersebut sebelum dan selama dipakai mengalami perbaikan sebanyak 3 kali dengan biaya swadaya warga jemaat. Pada akhirnya dirasakan bahwa gedung sekolah tidak dapat menampung warga jemaat yang jumlahnya semakin bertambah dan disadari perlunya membangun sebuah Gereja. 31
Sejak 24 Januari 1857, kebaktian-kebaktian Gereja tidak lagi diselenggarakan di gedung sekolah akan tetapi diselenggarakan di Balai Keresidenan. Pada waktu itu jemaat telah memiliki Pendeta yaitu Ds. Begemen sebagai Pendeta pertama yang didatangkan ke Yogyakarta. Pada saat itu pembangunan gedung Gereja telah dimulai dan ditangani serius. Gambar dan bangunan di buat oleh Ir. P.A Van Holm. Berdasarkan catatan Rapat Majelis Jemaat pada tanggal 24 Juli 1857 disebutkan bahwa pembangunan gedung Gereja sudah berjalan dengan baik meskipun belum selesai seluruhnya dan masih diperlukan biaya untuk penyelesaian pembangunan gedung Gereja dan pengadaan peralatan atau perabot Gereja. Untuk kebutuhan tersebut pendeta-pendeta memutuskan mencari dana dari warga jemaat dan pinjaman dari Dana Diakonia. Pemerintah juga telah ikut membantu pembangunan gedung Gereja. Hal ini terbukti dari adanya surat dari pihak Gereja tertanggal 29 Mei 1857 yang meminta bantuan
31 Wawancara dengan Bapak Martin, Kepala Kantor Jemaat GPIB Marga Mulya, di Yogyakarta, tanggal 20 Juli 2008.
29 pemerintah dan berhasil. Dari Dana Diakonia mereka mendapat pinjaman uang sejumlah f 700. Dari catatan yang ada diperoleh keterangan bahwa gedung Gereja sungguh-sungguh dibangun atas biaya swadaya anggota jemaat. Hal itu terbukti dari laporan opster G.R Lavalette untuk memberikan perhitungan dan pertanggung-jawaban dari dana-dana yang telah diterima lengkap dengan daftar sumbangan yang telah dipakai habis untuk pembiayaan pembangunan gedung Gereja. Akhirnya Rapat Majelis Gereja tanggal 13 Oktober 1857 menyatakan bahwa pembangunan Gereja telah selesai, pemakaiannya akan dimulai dengan suatu upacara pada tanggal 15 Oktober 1857. Dari catatan yang ada, disebutkan bahwa Sri Sultan tercatat sebagai pribadi yang telah memberikan bantuan secara finansial. Uluran tangan Sri Sultan dan Kakandanya Almarhum berupa bahan-bahan bangunan. Untuk itu Majelis Gereja telah menyampaikan ucapan terima kasih. Seluruh anggaran yang tersedia untuk pembangunan gedung Gereja tersebut berjumlah f 16.000, berasal dari sumbangan sukarela sebanyak f 11.000 ditambah Dana Diakonia f 400. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan berupa bahan-bahan bangunan yang diberikan oleh Sri Sultan dan kakandanya almarhum. Dalam arsip disebutkan Gereja memiliki 500 buah kursi. 32
Belum ada sepuluh tahun sejak berdirinya, tepatnya tahun 1862 gedung Gereja mengalami kerusakan karena dilanda gempa bumi sehingga
32 Wawancara dengan Bapak Tontje Tnunai, Penatua GPIB Marga Mulya, di Yogyakarta, 25 Juli 2008.
30 kebaktian-kebaktian kembali diselenggarakan di gedung sekolah. Karena kebaktian masih dijalankan di gedung sekolah sampai Desember 1868 maka disimpulkan bahwa kerusakan gedung cukup parah, sehingga keuangan yang ada tidak cukup bagi perbaikan gedung Gereja. Akan tetapi pada bulan November 1868, Majelis Gereja dengan perantaraan Asisten Residen menerima bantuan keuangan sehubungan dengan kerugian karena gempa bumi sejumlah uang f 5000, akan tetapi tidak dijelaskan siapa yang memberikan sejumlah bantuan tersebut. Biaya perbaikan menghabiskan dana sebesar f 3867,25. Sejak saat itu gedung Gereja tidak banyak disebutkan lagi dalam arsip. Yang jelas bahwa gedung Gereja itulah yang masih berdiri sampai saat ini dan tepat pada tanggal 15 Oktober 2000 yang lalu telah berusia 143 tahun. Dalam perkembangannya, kapasitas gedung Gereja dirasakan sudah tidak mampu menampung jemaat yang makin bertambah. Karena kesulitan dana baru pada tahun 1985 diputuskan dalam Rapat Majelis Gereja untuk dilakukan rehabilitasi gedung Gereja. Dalam keputusannya, Majelis Gereja menyebutkan bahwa perlu dilakukan perluasan berupa perkantoran (konsistori) dan ruang ibadah (balkon). Untuk melaksanakan tugas tersebut dibentuklah Panitia Rehabilitasi Gereja yang bekerja berdasarkan Surat Keputusan Majelis Sinode GPIB No. 1896/86/MS/XIII/Kpts tertanggal 19 Juli 1986. Panitia Rehabilitasi tersebut diketuai oleh Supangat, BSc., dengan menggunakan pemborong CV. Pembina. Panitia telah berhasil menyelesaikan
31 balkon sehingga daya tampung gedung bertambah 100 kursi. Untuk penyelesaian rehabilitasi Gereja maka SK Panitia diperpanjang dengan SK Majelis Sinode GPIB Nomor: 1896/96/MS/XIII/Kpts tanggal 21 Januari 1987. Untuk tahap ini tanpa menggunakan pemborong, panitia berhasil membangun ruang konsistori bertingkat di dalam gedung Gereja, 2 kamar mandi/wc, ruang persiapan/perlengkapan, serta pemugaran keliling gedung Gereja, pembuatan saluran limbah air, perbaikan ruang parkir dan perbaikan atas gedung Gereja. Dengan diresmikannya semua yang telah berhasil dicapai dalam usaha rehabilitasi ini, bukan berarti bahwa rehabilitasi gedung Gereja telah selesai seluruhnya. Rehabilitasi ini masih akan dilanjutkan. Biaya rehabilitasi gedung Gereja selama ini sebesar Rp. 25.000.000,- bersumber dari keuangan jemaat, dan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp. 400.000,-.
C. Letak Geografis GPIB dan Domisili Jemaat Marga Mulya Yogyakarta Secara geografis, gedung utama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) jemaat Marga Mulya Yogyakarta terletak di Jl. Ahmad Yani No. 05 Yogyakarta. Pada sisi sebelah selatan, gedung Gereja berdekatan dengan gedung Agung / gedung istana negera, di sebelah timur berdekatan dengan pasar Bringharjo, sedangkan di sebelah utara berdekatan dengan toko Mirota
32 batik dan di sebelah barat, berdekatan dengan kantor pelayanan perbendaharaan negara (PKPN) dan KOREM 072 PAMUNGKAS. 33
Warga jemaat GPIB Marga Mulia bertempat tinggal di beberapa wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Timur dengan Kabupaten Klaten, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa. Luas Propinsi DIY lebih kurang 3,185,80 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2000 sekitar 3.295.127 jiwa. Wilayah Propinsi DIY di bagi menjadi 5 daerah tingkat II, yaitu: 1. Kota Yogyakarta, sekaligus sebagai ibu kota Propinsi Daerah Istemewa Yogyakarta. 2. Kabupaten Sleman, dengan ibu kota Sleman, terletak di Beran, berada di bagian Utara Kota Yogyakarta. 3. Kabupaten Bantul, dengan ibu kota Bantul, berada di bagian Selatan Kota Yogyakarta. 4. Kabupaten Kulonprogo, dengan ibu kota Wates, terletak di bagian Barat Kota Yogyakarta. 5. Kabupaten Gunung Kidul, dengan ibu kota Wonosari, terletak di bagian Tenggara Kota Yogyakarta. 34
33 Wawancara dengan Bapak Yonathan Kaniyo, Penatua GPIB, di Yogyakarta tanggal 17 September 2008 34 Dokumen profil perguruan tinggi DIY. (Yogyakarta: Dinas Pendidikan-Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, 2006), hlm, ii.
33 Di daerah-daerah inilah jemaat GPIB berdomisili. Mereka tersebar dalam wilayah Propinsi ini. Selain GPIB Marga Mulya, GPIB juga memiliki gedung-gedung lain yang dijadikan sebagai tempat peribadahan. Misalnya, gedung Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang yang beralamat di Jalan Solo Km 9 Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Gedung tersebut bersifat sewaan tahunan, yang terlihat dalam surat perjanjian kerja sama antara pihak Pertama (Pihak GPIB) dan kedua (Pihak GBI) yang diwakili oleh Pendeta Joseph Ginting dari GPIB dan Pendeta Soepandri dari GBI. Nilai sewaan itu pertahunnya seharga sepuluh juta rupiah (Rp. 10.000.000,00), serta perbulannya pihak pertama membayar uang buat perawatan dan kebersihan gedung Gereja sebesar tiga ratus ribu rupiah (Rp 300.000,00). Jika dalam penggunaan gedung tersebut ada kerusakan pihak pertama sanggup memperbaiki, kecuali kerusakan di luar kekuasaan manusia (force majeure) seperti kebakaran, bencana alam (banjir, gempa bumi, angin taufan dan lain sebagainya). Jika salah satu pihak tidak berminat lagi meneruskan perjanjian kerjasamanya, maka perjanjiannya dapat diakhiri walaupun batas waktu belum habis.
D. Struktur Organisasi GPIB Jemaat Marga Mulya Yogyakarta GPIB memiliki pengurus Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) . PHMJ tersebut terdiri dari pejabat inti dan seksi-seksi pembantu dalam
34 pelayanan jemaat. Berikut kita dapat melihat susunan PHMJ periode 2007- 2009. Pajabat Inti JABATAN NAMA ASAL DAERAH/SUKU ketua Pdt Joseph Ginting Medan/Batak Ketua I Pnt Y.Kaniyo Jawa Ketua II Pnt Tonje thunay Nusa tenggara Timur Ketua III Pnt Hudzon Tahun Nusa tenggara Tmur Ketua IV Pnt J.W. Tehupelory Ambon Sekretasis Pnt C.B.E Ferdinandus Bangka Sekretaris I Dkn C Nyangkal Kalimantan tengah (Dayak) Sekretaris II Dkn Ny Erna R. Medan (Batak-jawa) Bendahara Dkn Ny. Helena N J Manado Bendahara I Dkn Rede Damayanti P Nusa tenggara Timur. Pdt Jamaat Moerwanto Manado
BPK Pelayanan Anak (PA)
Ketua Daniel Jawa Sek Novarina Nitalessy Ambon Bend Luh Putu Nila Damayanti Bali
BPK Persekutuan Taruna (PT)
Ketua Nugroho Adhitomo Jawa Waka Diana Kusumaningsih S Jawa Sek Linda Natalia Mait Manado Wasek Satya Almareva lalenoh Ambon Bend Indyah Yudha Sari Jawa
35 BPK Gerakan Pemuda (GP)
Ketua Agustine Ruth Batkorumbawa Manado Waka Sugianto Jawa Sek Abimata Putra Sulistyo Jawa Wasek Peppy Teurupun Ambon Bend Made Angga Saputra Bali BPK Persatuan Wanita (PW)
Ketua Rita Roosye Mamesa L Manado Waka R A Endang Elias S Jawa Sek Suko Ismurditi Teurupuh Jawa Bend Ester Adolfina Suyono P-K Manado BPK Persatuan Kaum Bapak
Ketua Benyamin E S Jawa Sek W. Noutje Silahoy Ambon Wasek Djoko Pitoyo Jawa Bend Destoro Mariado Jawa
BPK Persekutuan Kaum Lanjut Usia
Ketua Tantie Apituley Jawa Waka Ratih S Lere Dawa Jawa Sek Wasek Jeanne Benni H R Jawa Bend Parwaty purba Jawa
36 Kordinator Sektor
MARANATHA Pnt R. Winaryo Jawa SHALOM Dkn Andriyanto Jawa EBENHAEZER Pnt Ch. S Philip Kalimantan BETEL Dkn Jus Malinggas Manado LAHAIROY Dkn Ny. Suciwati Sihiti Jawa KOINIA Dkn Ibu Flora Meka Kupang PNEIL Pnt A.S.M Tambunan Medan EFATHA Pnt Bambang Widodo Jawa JANTEN Pnt Andreas Ngatiman Jawa IMANUEL Dkn. Ibu. Rachmad Jawa SARFAT Dkn Edyson Damanik Medan BETLEHEM Dkn Siswadi Jawa Dokumen GPIB Marga Mulya Yogyakarta tahun 2008
Tabel di atas menunjukkan suatu kenyataan bahwa GPIB Marga Mulya Yogyakarta merupakan suatu jemaat yang multi-etnis. Jemaat tidak dibangun sebagai suatu jemaat yang homogen melainkan sebagai jemaat yang terdiri dari orang-orang dari berbagai belahan bumi Indonesia. Penempatan orang-orang dalam struktur organisasi tidak dimonopoli oleh satu suku saja melainkan memberi ruang yang luas bagi anggota jemaat dari berbagai daerah. Dengan demikian GPIB Marga Mulya dapat disebut sebagai Gereja yang sangat terbuka dan menghargai perbedaan. Di dalam tata Gereja terdapat tiga jabatan pokok, yaitu Pendeta, Penatua dan Diaken. Ketiga pejabat yang memegang jabatan itu berkedudukan sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lain.
37 Mereka semua tergabung di dalam Majelis Gereja, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri. Tugas-tugas itu dirumuskan dalam Peraturan jemaat atau Gereja, tetapi secara bersama-sama mereka menjalankan tugas pengembalaan dan pelayanan disiplin gerejawi. 35
Jabatan tidak timbul dari jemaat. Allah-lah yang melengkapi manusia untuk pelayanan-pelayanan tertentu dalam jemaat. Akan tetapi pejabat-pejabat Gerejawi tetap berada di dalam jemaat, bukan berada di atas jemaat. Tugas mereka adalah membina atau memperlengkapi anggota-anggota jemaat. Dan untuk membuat Gereja itu hidup dalam pelayanannya, maka perlu peraturan- peraturan. Tetapi peraturan itu hanya sebagai alat atau saluran dari pelayan jemaat. Ketaatan itu dijalankan atas dasar kasih dan kebebasan bukan kekerasan atau paksaan. 36
Jabatan-jabatan Gerejani dan pelayanan Gereja dipandang sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat. Dan hubungan tersebut masih dipertahankan sampai sekarang. Artinya, keterlibatan seluruh Gereja - bukan hanya pejabat-pejabat tapi juga anggotanya - dalam pelayanan sangat ditegaskan. Selain itu setiap kesan yang dapat timbul seolah-olah pelayanan Gereja hanya meliputi pemberitaan Firman Allah dan pelayanan Sakramen-sakramen serta bentuk-bentuk lain dari padanya diusahakan disisihkan. Kesan tersebut sangat dimungkinkan dalam rumusan-rumusan Tata Gereja 1948 pasal IV.
35 L.Ch. Abineno, Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 38. 36 J.L.Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 78.
38 Paham tentang pelayanan Gereja atau dengan istilah panggilan Gereja yang dipakai pada waktu itu, bukan hanya terbatas pada pelayanan Firman Allah dalam bentuk pemberitaan dan sakramen serta bentuk-bentuk lain dari padanya. Pelayanan Gereja atau panggilan Gereja mesti dimengerti dalam konteks yang lebih luas. Meski demikian, tetap diperhatikan hubungan yang erat antara pelayanan Gereja dan jabatan-jabatan Gerejani. 37
Sebagai contohnya, pendeta-pendeta itu memiliki tugas yang berbeda- beda. Ada pendeta yang berkarya sebagai gembala-gembala dan guru-guru agama, ada pendeta-pendeta pengutus Injil, pendeta-pendeta pengajar dan pendeta-pendeta untuk pekerjaan umum dari Gereja. Juga jabatan pendeta, penatua dan diaken walau statusnya sama tetapi fungsinya berbeda sesuai jabatannya masing-masing. Pendeta mempunyai tugas melayani ibadah dan berkhotbah juga mengembala umat; Penatua tugasnya menjaga kemurnian ajaran Gereja serta mengembala umat; dan diaken bertugas untuk menolong orang fakir-miskin, janda-janda, yatim-piatu, kaum duafa serta pelayanan sosial lainya. 38
Mengenai jabatan dan pelayanan umum Gereja dapat dikatakan lebih lanjut, bahwa selain yang dimaksudkan pelayanan di bidang Pekabaran Injil masih ada pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ada pejabat yang ditugaskan untuk melakukan pelayanan yang menyangkut keseluruhan Gereja dan tidak membatasi dirinya pada pelayanan di satu jemaat. Ia disebut juga sebagai
37 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma (Jakarta: Lembaga Penelitian Perencanaan dan Pengembangan GPIB, 1981), hlm.28-29. 38 Wawancara dengan Bapak Murwanto Moesamoh, Pendeta GPIB Marga Mulya, di Yogyakarta, tanggal 12 Agustus 2008.
39 pelayan umum. Misalnya para pejabat, yaitu Pendeta, Penatua, Diaken, yang ditugaskan di Majelis Sinode, di badan-badan Gereja lainnya seperti Dewan Gereja-gereja di Indonesia dan bagian-bagiannya, semuanya diberi status pejabat-pejabat dalam pelayan umum GPIB. Demikian juga status pendeta- pendeta yang bertugas di bidang pendidikan di sekolah-sekolah Theologia yang diakui dan atau didukung oleh Gereja. Sejak tahun 1973 diambil suatu kebijaksanaan oleh Majelis Sinode terhadap pendeta-pendeta yang tidak bekerja penuh di kalangan Gereja. Mereka adalah para pendeta yang mempunyai pekerjaan sehari-hari di bidang pemerintahan atau instansi-instansi swasta. Pendeta-pendeta ini diberi status non-organik, artinya tidak berada dalam pengaturan organisasi struktural Gereja. Mereka tidak mempunyai kedudukan dalam salah-satu organisasi Gereja, seperti majelis jemaat. Mereka dapat diserahi tugas-tugas seperti penasihat atau duduk selaku wakil GPIB di dalam wadah-wadah oikumenis seperti Dewan Gereja-Gereja wilayah atau penugasan suatu Majelis Jemaat Sinode. Status ini juga diberikan kepada pendeta-pendeta atau pelayanan Tentara Negara Indonesia (TNI). Tetapi mereka diangkat bukan melalui pengusulan Gereja melainkan atas pengaturan TNI sendiri. Secara teknis mereka tidak berada dalam pengaturan Gereja, tetapi secara yuridis mereka berada dalam penilikan dan disiplin Gereja. Artinya mereka berada di bawah Tata Gereja, ordinasi- ordinasi dan peraturan-peraturan pelaksanaan Gereja. Dengan demikian pada hakikatnya mereka melaksanakan misi Gereja di tempat dan kedudukan
40 mereka. Pelayanan mereka dilihat dalam rangka pelayanan Gereja-Gereja di Indonesia dan masyarakat umum. Dalam hal ini status mereka dapat disamakan dengan status para Penatua dan Diaken yang diangkat dalam jabatan gerejani oleh Gereja, namun dalam pekerjaan sehari-hari tidak diatur oleh Gereja, tetapi mempunyai misi Gereja di tempat dan kedudukan mereka. 39
Penatua adalah salah satu anggota majelis Gereja. 40 Kata penatua dalam bahasa Inggris disebut Elders, yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani Presbuteroi, jamak dari Presbyter. Secara umum kata ini berkenaan dengan pemimpin-pemimpin yang ditentukan oleh kelebihan- kelebihan dalam usia atau kelebihan dalam kecakapan. 41
Para penatua itu di dalam perjanjian baru di sebut Presbyteros. Mereka selalu bersidang untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh Gereja atau jemaat (ber Sunodos). Karena Calvin sangat menekankan peranan para Presbyter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin Gereja, dan para penatua itu selalu bersidang dalam menghadapi permasalahan Gereja, maka tata Gerejanya di sebut tata Gereja Presbyterial-Synodal. 42
Setelah mengetahui sifat dari jabatan Gerejawi dan fungsi dari penatua Gereja, maka yang perlu dipertegas adalah bagaimana kedudukan penatua di dalam peraturan-peraturan Gereja. Dalam hal ini ada dua peraturan Gereja
39 Majelis Sinode XII GPIB,Bahtera Guna Dharma, hlm. 30-31. 40 Harun Hadiwiyono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1998), hlm. 362. 41 Vergillius ferm (ed.).Elder, an Enclopedia of Relegion, (USA: Green Wood Press, 1976), hlm. 246 42 GPIB, Hasil-Hasil Persidangan sinodal XIII (Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 1982), hlm. 74.
41 yang dianut oleh Gereja-Gereja Kristen Protestan, yaitu peraturan Konggregasional dan Presbyterial-Synodal, sebagai peraturan yang dipakai oleh Gereja-Gereja Protestan Kalvinis di seluruh dunia. Sistem pemerintahan Gereja Presbyterial-Sinodal merupakan sistem pemerintahan Gereja yang paling banyak di gunakan oleh Gereja-Gereja Kristen di seluruh dunia. Pada umumnya sistem ini di kenal sebagai ciptaan Yohanes Calvin, tetapi sebenarnya banyak ahli yang turut menyusun dan menciptakan sistem ini. Yohanes Calvin, dalam bagian-bagian tertentu, mengikuti pandangan-pandangan para ahli lainya, yaitu antara lain adalah Luther, Zwingli, Oecolampodios, Bucer, A.lasco, Knox, dan Melville. 43
Sistem ini disebut Presbyterial-Synodal karena sangat menekankan kepemimpinan Majelis Gereja. Di dalam majelis Gereja ini yang berhak memerintah adalah para Presbyter atau penatua. 44 Para Presbyter itulah yang terpanggil untuk melayani dan memimpin Gereja. Dalam kesempatan tertentu mereka mengadakan sidang di antara mereka sendiri, dan pada kesempatan yang lain wakil-wakil majelis Gereja dari berbagai jemaat mengadakan sidang untuk membahas hal-hal yang menyangkut Gereja-gereja setempat dan keseluruhan Gereja. Persidangan dari Gereja keseluruhan itu disebut synode. 45
Dilihat dari akar katanya, Presbyterial berasal dari kata Yunani Presbyteros (Tipeopnteps), artinya tua-tua (penatua). Sedangkan sinodal
43 J.L.Ch.Abinegno, Garis-garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 78. 44 J.A.C. Rullman, Peraturan Gereja Pedoman Hukum Gereja untuk Penyelenggara Djabatan, E.I. Sukarso, terj. (Djakarta: TPK, 1956), hlm. 30. 45 B.J.Boland, Percakapan Tentang Gereja (Djakarta: BPK Gunung Mulia,1951), hlm. 103.
42 gabungan dari kata Yunani Sun (sun:bersama-sama) dan Odos (Hodos: jalan: perjalanan: jalan atau sikap berfikir dan bertindak). 46 Jadi yang dimaksud dengan pemerintahan Gereja Presbyterial-Synodal adalah sistem pemerintahan Gereja, di mana pimpinan Gereja terdiri dari pejabat-pejabat Gereja, yaitu penatua atau Presbyter. 47
Para Presbyter itu atas nama Gereja seluruhnya melaksanakan Synode, yaitu persidangan yang memperhatikan pemiliharaan hidup Gereja keseluruhan. 48 Gereja-Gereja Kristen yang ada di Indonesia mengenal dua sistem pemerintahan Presbyterial, yaitu yang menekankan pada presbyterialnya dan yang menekankan pada synodalnya. Yang menjadi perbedaan adalah pengertian tentang Gereja, bukan mengenai jabatan. Gereja presbyterial (misalnya GKI Jawa Tengah) mengartikan Gereja sebagai Gereja setempat. Meskipun bersama dengan GKI yang lain diadakan persekutuan, tetapi persekutuan itu tidak disebut Gereja. Sedangkan Gereja Presbyterial-sinodal (missal GKI jabar dan GKI Jatim) berpendapat bahwa, yang disebut Gereja adalah Gereja keseluruhannya atau Gereja kesatuan (bukan persatuan) dan Gereja-Gereja setempat. 49
Perbedaan itu mengakibatkan perbedaan pula dalam mendudukkan Majelis Sinode. Gereja presbyterial mengganggap sinode bukan merupakan badan
46 Benyamin A.Abednego, Struktur Gereja dan Pembinaan Jemaat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 15. 47 LPK GKJ dan GKI Jateng, Pedoman Hidup Bergereja (Yogyakarta: LPK GKJ dan GKI Jateng, 1993), hlm.17. 48 B.J.Boland, Percakapan Tentang Gereja, hlm.103-104. 49 Benyamin A.Abednego, Beberapa Catatan Presbyterial-sinodal (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1973), hlm.4.
43 yang tetap, sinode hanya ada pada waktu persidangan begitu persidangan selesai, maka selesai pula Majelis Sinodenya. 50
Di samping pendeta dan penatua kebanyakan Gereja Kristen di Indonesia mengenal diaken sebagai jabatan gerejawi. Menurut tradisi yang diwarisi dari Gereja-gereja Barat yang datang memberitakan Injil di Indonesia, pekerjaan diaken ialah melayani orang-orang sakit dan orang-orang yang hidup dalam kekurangan. Dalam banyak peraturan Gereja hal ini tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu diaken-diaken umumnya tidak tahu persis apakah yang harus mereka lakukan. Akibatnya dalam banyak jemaat mereka mengerjakan pekerjaan yang sama atau yang hampir sama dengan pekerjaan para penatua. Mereka turut mengambil bagian dalam pimpinan ibadah, malahan mereka juga mendapat giliran untuk memberitakan Firman (berkhotbah) dalam ibadah-ibadah jemaat. 51
Calvin mengambil alih pikiran-pikiran Bucer mengenai jabatan-jabatan gembala, pengajar, penatua dan diaken. Tentang diaken ia banyak berbicara dalam karyanya Institutio. Di situ ia antara lain katakan: Pemeliharaan orang-orang miskin ditugaskan kepada Diaken-diaken. Dalam komentarnya tentang surat Roma ia membedakan dua macam Diaken. Di situ Rasul Paulus katakan: Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah melakukannya dengan hati yang ikhlas. Dan Siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukanya dengan sukacita .
50 Keputusan Sidang Sinode XIII GKJ, Tata Gereja (Yogyakarta: TPK, 1986), hlm.19. 51 J.L.Ch. Abineno, Diaken Diakonia dan Diakonat Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 1.
44 Menurut Calvin, Rasul Paulus dalam nas itu berkata-kata tentang jabatan gerejawi. Karena itu ia menarik kesimpulan, bahwa yang Rasul Paulus maksudkan dengan kedua ungkapan itu ialah: diaken-diaken yang mengurus kas untuk orang-orang miskin dan diaken-diaken yang bertugas untuk membagi-bagikan bantuan kepada orang-orang miskin dan orang-orang sakit. 52
Jadi, menurut Calvin, ada dua macam diaken. Yang satu melayani Gereja di bidang pengurusan soal-soal orang miskin dan yang kedua melayani Gereja di bidang pembagian bantuan kepada orang-orang miskin itu. Tentang Diaken-diaken ini ia berpendapat bahwa juga mereka harus di panggil oleh jemaat untuk pelayanan mereka. 53
Pandangan Calvin ini-yaitu tentang dua macam diaken- juga terdapat dalam komentar-komentar yang lain. Para ahli tidak tahu dengan pasti mengapakah pendapatnya demikian. Apakah ia dipengaruhi oleh situasi jemaat di Geneva, atau pendapatnya itu benar-benar adalah hasil dari percakapannya dengan tradisi Gereja Purba. Sebuah kutipan mencatat: Pada tahun 1535 telah didirikan di Geneva sebuah rumah sakit, sebelum Calvin datang dan bekerja di kota itu. Pekerja-pekerja di rumah sakit itu ( di bawah pimpinan sepasang suami-isteri) menggunakan dana-dana gerejawi, yang diurus oleh pegawai-pegawai administrasi untuk pemeliharaan orang-orang miskin. Hal ini sesuai benar dengan dua macam diaken, yang Calvin sebut dalam komentar- komentarnya, khususnya tentang Roma 12. Dewan kota di Geneva tidak setuju dengan komentar ini, yang Calvin mau terapkan dalam jemaat di kota itu. Penolakan ini lama sekali berlangsung. Baru pada tahun 1564, yaitu sesudah Calvin meninggal. Jemaat di Geneva mengumpulkan persembahan untuk orang miskin. Dalam situasi yang ia hadapi pada waktu itu ia sudah merasa senang, bahwa diaken-diaken tetap menunaikan tugas mereka di rumah-rumah sakit. Dan ia juga rupanya sudah merasa puas, bahwa ia telah mengatakan kekurangan- kekurangan Jemaat dalam khotbah-khotbahnya. Di Geneva ia banyak menemui kesulitan dari pihak dewan kota. Ia belajar bahwa manusia
52 J.L.Ch. Abineno, Diaken Diakonia dan Diakonat Gereja, hlm 47. 53 J.L.Ch. Abineno, Diaken Diakonia dan Diakonat Gereja, hlm 47.
45 tidak selalu dapat mencapai apa yang ia cita-citakan. Sesungguhnya demikian pikiran-pikiran reformatorisnya juga di bidang diakonat Gereja tetap hidup dalam tradisi reformed. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaruhnya yang besar. 54
Kebanyakan Gereja yang ada di Indonesia menggunakan dua peraturan yang terdiri dari Presbiter-Sinodal dan Konggresian. Untuk mewujudkan kebersamaan di dalam memimpin, melayani dan mengemban Gereja, GPIB memakai peraturan sistem Presbiterial Sinodal sehingga dengan peraturan tersebut para jemaat bersama-sama merencanakan, mengorganisasikan, serta melaksanakan tugas Gereja. Dengan demikian para jemaat berperan aktif membangun dan bertanggung-jawab dalam melayani dan memimpin Gereja untuk melengkapi orang-orang kudus. Karena sistem yang digunakan dalam Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat Jemaat Marga Mulya Yogyakarta adalah sistem Prebiter-Sinodal, maka ada peluang di mana semua Jemaat ataupun umat bisa bertemu bersama untuk merumuskan ataupun memikirkan bersama Gereja ke arah yang lebih maju dan bisa diterima di lingkungan masyarakat serta berperan dalam memikirkan persoalan yang mereka dihadapi. 55
Adapun Badan-badan /komisi-komisi, yang membantu dalam GPIB sebagai berikut. a. Komisi Pelayanan dan Kesaksian Membantu majelis jemaat dalam memikirkan penjabaran kebijakan dan perencanaan serta pelaksanaan kegiatan menurut bidangnya.
54 J.L.Ch. Abineno, Diaken Diakonia dan Diakonat Gereja, hlm 48. 55 Wawancara dengan H. Tahun, Penatua GPIB, di Yogyakarta, tanggal 29 Oktober 2008.
46 b. Komisi Penelitian Pengembangan dan Komisi Pembinaan dan Pengembangan Sumber daya Insani. c. Komisi Iman, Ajaran, Ibadah dan Kondisi Gereja dan Masyarakat d. Komisi Daya dan Dana serta Bidang Pelayanan dan Kategorial Seperti BPK Pelayanan Anak (semua anak Warga GPIB yang terdaftar di Jemaat, berusia 3 sampai 12 tahun, tetapi atas kemauan sendiri atau orang tua), Persekutuan Taruna(semua taruna Warga GPIB yang terdaftar di Jemaat, berusia 13 sampai 17 tahun, atas kemauan sendiri), Gerakan Pemuda (semua pemuda Warga GPIB yang terdaftar di dalam Jemaat, berusia 18 sampai 35 tahun, tetapi atas kemauan sendiri). Persatuan Wanita (semua wanita warga GPIB yang terdaftar di Jemaat, berusia 35 tahun ke atas,dan atau yang sudah menikah, tetapi atas kemauannya sendiri), Persekutuan kaum bapak (semua pria warga GPIB yang terdaftar di Jemaat, berusia 35 tahun ke atas, dan atau yang sudah menikah, tetapi atas kemauan sendiri), Persekutuan lanjut usia (semua warga jemaat GPIB yang terdaftar di jemaat, berusia 60 tahun ke atas, tetapi atas kemauan sendiri) dan Kelompok Fungsional dan Profesional . Bidang pelayanan kategorial, membantu majelis jemaat memikirkan penjabaran kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan serta pembinaan secara kategorial. Selain komisi-komisi di atas, jemaat atau umat merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Marga Mulya Yogyakarta. Meskipun mereka tidak terlibat di dalam struktur
47 keorganisasian GPIB, mereka tetap melaksanakan program atau kegiatan yang telah direncanakan dan disusun oleh pejabat Gereja. Peran serta jemaat dalam berbagai kegiatan Gereja dalam GPIB sangat besar. Sistem organisasi Gereja yang dipakai sangat memberi peluang bagi partisipasi jemaat. Di dalam GPIB kerja sama antar pejabat Gereja dan jemaat Gereja terjalin dengan baik. Mereka bersama-sama saling mendukung dalam karya pelayanan Gereja.
48 BAB III PERILAKU JEMAAT GEREJA PROTESTAN di INDONESIA BAGIAN BARAT MARGA MULYA YOGYAKARTA
A. Gambaran Umum Perilaku Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta Kalau kita masuk dalam kehidupan jemaat GPIB kita akan menemukan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mereka. Kita akan melihat bagaimana sebuah komunitas yang memiliki semangat untuk menjalankan tugas dan panggilan keagamaannya. Kita juga akan melihat sebuah komunitas yang berusaha membangun kesatuan dalam pluralitas. Ada tiga perilaku umum yang nampak dalam kehidupan harian jemaat GPIB yakni membangun persekutuan, mempertahankan kesaksian dan meningkatkan pelayanan. Ketiga perilaku ini - persekutuan, kesaksian dan pelayanan - merupakan tiga perilaku utama yang ditekankan oleh GPIB terhadap jemaatnya. Setiap anggota jemaat diwajibkan untuk membangun hidup yang didasari tiga perilaku ini. Persekutuan jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta adalah kehidupan bersama dengan menyatakan kasih, saling melengkapi dan menopang untuk bersekutu dengan Allah, yang nyata dalam ibadah, hidup pribadi, hidup persekutuan dan kehidupan bermasyarakat. Kesaksian Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta diartikan sebagai bentuk pewartaan Firman Allah dalam khotbah dan cara hidup jemaatnya. Pelayanan Jemaat GPIB
49 Marga Mulya Yogyakarta adalah pelayanan kasih ke dalam kepada sesama warga Jemaat dan ke luar kepada masyarakat. 56
Ketiga perilaku utama ini akan diuraikan dalam bagian yang terpisah- pisah di bawah ini, agar dapat memberikan suatu gambaran yang lebih utuh dan mendalam tentang fenomena perilaku jemaat GPIB.
B. Persekutuan 1. Persekutuan Intra Jemaat GPIB Hubungan anggota jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Marga Mulya Yogyakarta, sudah tertata dengan baik. Pengintegrasian dari semua kelompok juga telah dilaksanakan secara berencana, baik di tingkat jemaat maupun di tingkat keseluruhan Gereja. Hal ini dikarenakan di dalamnya ada banyak suku dan tidak hanya satu suku yang dominan serta penanganan Jemaat Marga Mulya Yogyakarta tidak menjadikan pluralitas sebagai penghalang dalam mewujudkan Gereja. Gereja tidak merngedepankan etnik atau suku. Keragaman suku dan bangsa dalam GPIB yang memunculkan corak yang unik menjadi dasar munculnya asas Nasionalisme. 57
Persekutuan jemaat GPIB dinyatakan dalam ibadah (kebaktian) yang selalu dilakukan secara bersama. Dalam kebaktian, mereka disatukan sebagai satu jemaat yang menyembah Tuhan. Tidak ada pembedaan di antara mereka. Mereka bernyanyi dan berdoa bersama-sama. Walau berasal dari berbagai
56 Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Marga Mulya, Nomor 1, tanggal 16 Oktober 2004. 57 Wawancara dengan C.B.E. Ferdinandus, Penatua GPIB, di Yogyakarta, tanggal 25 Oktober 2008.
50 kelompok suku bangsa yang berbeda-beda, mereka tetap berusaha membangun persekutuan hidup di antara mereka. Kebaktian-kebaktian biasanya diadakan di Gereja, rumah keluarga dan tempat atau ruang lain yang dapat dipertanggungjawabkan oleh majelis jemaat. Jenis-jenis kebaktian yang dilaksanakan adalah kebaktian Hari Minggu; kebaktian pelayanan sakramen baptisan kudus; kebaktian sakramen perjamuan kudus; kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah; kebaktian hari raya yang terdiri dari kebaktian hari raya Kristen (Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan dan Pentakosta); kebaktian hari raya gerejawi (HUT BPK Pelayanan Anak GPIB, HUT BPK Persekutuan Taruna GPIB, HUT Gerakan Pemuda GPIB, HUT BPK Persatuan Wanita GPIB, HUT BPK Persekutuan Kaum Bapak GPIB dan HUT GPIB), Kebaktian hari raya nasional (Hari Kemerdekaan RI dan hari-hari lain yang ditetapkan pemerintah); kebaktian pemakaman; kebaktian rumah tangga; dan Kebaktian BPK. 58
Dalam setiap kebaktian jemaat GPIB menampakkan persekutuannya sebagai satu jemaat. Dalam kebaktian, setiap jemaat mengambil bagian sesuai dengan perannya masing-masing sesuai dengan jabatannya masing-masing. Dan dalam keanekaragaman peran tersebut mereka menunjukkan kesatuan jemaat yang plural. Selain membangun persekutuan dalam ibadah, jemaat GPIB juga membangun persekutuan melalui pembentukan kelompok-kelompok kategorial. Kelompok-kelompok itu antara lain kelompok anak-anak GPIB,
58 Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Marga Mulya, Nomor 1, tanggal 16 Oktober 2004.
51 kelompok remaja GPIB, kelompok ibu-ibu GPIB, kelompok bapak-bapak GPIB dan kelompok kaum lanjut usia. Kelompok-kelompok tersebut dibentuk untuk memperkokoh kesatuan Gereja. Kelompok-kelompok itu terdiri dari anggota-anggota yang berasal dari berbagai etnis yang berbeda 59 . Dalam upaya membangun persekutuan dalam jemaat, peran pendeta dan majelis Gereja sangatlah besar. Mereka menjadi tanpa persatuan di dalam jemaat. Kalau ada masalah dalam jemaat, mereka akan berusaha untuk menanginya demi keutuhan Gereja. Mereka juga akan mendorong jemaatnya untuk tetap hidup dalam persekutuan Gereja 60 .
2. Persekutuan Antar Gereja Selain persekutuan intra jemaat, GPIB juga selalu berupaya membangun persekutuan dengan jemaat-jemaat dari Gereja lain. Dalam kehidupan sehari-harinya, GPIB selalu memandang Gereja-gereja lain sebagai satu kesatuan dari Gereja Kristen yang Esa dan kudus. 61 GPIB selalu berusaha untuk merangkul semua Gereja Kristen dalam satu Gereja Kristen yang esa. GPIB ingin melihat keberadaannya yang multi kultural, yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan kebudayaan, sebagai katalisator dalam usaha menuju kepada keesaan dan kesaksian bersama. Dalam banyak hal GPIB bersifat terbuka, artinya menerima segala suku atau bangsa tanpa membeda- bedakannya. Di daerah-daerah tertentu di mana GPIB berjumpa dengan
59 Wawancara dengan Sdri. Agustine Ruth Batkorumbawa, Ketua Gerakan Pemuda GPIB, di Yogyakarta, tanggal 12 September 2008.
60 Wawancara dengan C. E. B. Ferdinandus, Sekertaris GPIB, di Yogyakarta, tanggal 13 Septembr 2008.
61 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm.19.
52 Gereja-gereja yang searah, GPIB selalu terbuka untuk berkonsultasi dengan kelompok-kelompok independent atas dasar kerja saling menguntungkan, dan mengadakan pembinaan warga Gereja agar warga Gereja dapat memahami keberadaan kelompok-kelompok tersebut, demi membantu keesaan dan kesaksian bersama. GPIB selalu sadar akan tugas raksasa yang dihadapi bersama-sama oleh Gereja-gereja di Indonesia, dan berpegang dalam hal itu pada itikad bersama, seperti dinyatakan oleh Dewan Gereja-Gereja se-dunia dalam Sidang Rayanya yang pertama di Amsterdam tahun 1984. Gereja-gereja anggota Dewan Gereja-gereja di Indonesia bersama dengan semua badan yang bekerjasama dengan D.G.I. berkewajiban mengejar tugas pokoknya. 62
Ada berbagai kegiatan yang diadakan untuk membangun kerja sama antar Gereja. Salah satu kegiatan yang selalu dikembangkan adalah kunjungan antar jemaat Gereja. Sebagai contoh, Kelompok Pemuda GPIB sering mengadakan kunjungan ke gereja-gereja Kristen yang lain. Dalam kunjungan itu mereka melakukan kegiatan olahraga bersama dan sharing pengalaman. 63
3. Persekutuan dengan Umat Beragama Lain Penghayatan nilai-nilai budaya dalam konteks suku-suku di manapun juga berlangsung secara dinamis. Dunia modern dengan segala kecanggihannya, baik dalam bidang komunikasi maupun transportasi,
62 Majelis Sinode XIII, Bahtera Guna Dharma GPIB, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, pengembangan GPIB), hlm.43.
63 Wawancara dengan Sdra. Abimata Putra, Anggota Kelompok Pemuda GPIB, di Yogyakarta, tanggal 12 September 2008.
53 membuka sekat-sekat budaya dan mendinamisasi gerakan saling memengaruhi antara budaya yang satu dengan yang lain. Secara khusus, kalau kita mengambil contoh suku-suku di Indonesia, kita dapat melihat pengaruh satu sama lain yang telah meresap sampai ke akar budaya itu sendiri. Budaya yang terdiri dari banyak unsur, dari bahasa sampai makanan, telah saling merasuki. GPIB pun tak bisa lepas dari kenyataan bahwa ia hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang berbeda agamanya. Dalam membangun relasi dengan jemaat beragama lain, jemaat GPIB tidak memandang perbedaan sebagai suatu permasalahan. Mereka berusaha untuk membangun suatu relasi yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama atau ikatan primordial lainnya. Pdt. Murwanto menegaskan bahwa perbedaan agama atau budaya bukan halangan bagi jemaat GPIB untuk membangun persekutuan. Nilai-nilai budaya dan agama yang berbeda-beda di Indonesia justru dapat memperkaya jemaat. Lebih jauh lagi Beliau menegaskan bahwa persekutuan jemaat GPIB dengan umat beragama lain bukan didasarkan pada agama melainkan atas dasar nilai-nilai manusiawi. Ia mengatakan: Kita semua adalah makhluk ciptaan Tuhan. Mengapa harus saling membedakan dalam membangun relasi di antara kita?. 64
64 Wawancara dengan Pdt. Murwanto, Pendeta Jemaat GPIB, 22 Agustus 2008.
54 C. Kesaksian 1. Pewartaan Firman Allah Pekabaran Injil adalah ciri khas dari Gereja, demikianlah salah satu ungkapan dari persidangan Sinode Bandung, tahun 1964. Kristus diutus ke dalam dunia untuk menjalankan Rencana Keselamatan Allah. Inilah juga satu- satunya alasan bagi pekabaran injil. Itu berarti bahwa pekabaran Injil merupakan sesuatu yang mutlak bagi Gereja, yang wajib dalam kehidupan Gereja dan semua jemaat. Di dalam jemaat GPIB, Pekabaran Injil juga merupakan misi utama yang wajib dilakukan. Semua anggota jemaat dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang iman kristiani lewat cara mewartakan firman Allah. Firman Allah tidak hanya diwartakan di dalam jemaat GPIB sendiri melainkan juga mesti diwartakan kepada semua orang di luar Gereja. Jemaat GPIB menekankan bahwa misi pewartaan Injil itu sesuai dengan panggilan Gereja yakni tugas panggilan ke dalam dan tugas panggilan ke luar. 65 Panggilan Gereja untuk mewartakan Injil ini didasarkan atas perkataan Yesus: Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-murid-Ku. Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Ajarilah mereka melaksanakan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Aku akan selalu beserta kamu sampai akhir dunia ini. 66
Tidak cukup untuk memberi definisi bahwa Gereja adalah suatu persekutuan orang-orang percaya, di mana Firman Allah itu diberitakan dan
65 Wawancara dengan Bapak C. Nyangkal, Diaken GPIB, di Yogyakarta, tanggal 15 September 2008.
66 Lembaga Alkitab Indonesia, Kitab Suci Komunitas Kristiani, Jakarta, 2002, hlm. 83.
55 sakramen-sakramen dilayani secara tepat dan teratur. Firman itu kerapkali diberitakan begitu rupa, sehingga membatasi, mengurangi relasi Jemaat Tuhan dengan dunia. Dunia yang merupakan tempat di mana orang Kristen bergaul dengan orang-orang lain sering kali luput dari perhatian jemaat untuk mewartakan Firman. Padahal, dalam pergaulan itulah firman Allah mempunyai kedudukan dan kewibawaan yang mutlak. Bentuk-bentuk dan pola dalam pergaulan itu dapat berobah, tetapi harus ditentukan oleh Amanat Gereja yang tidak pernah berobah-robah yakni membuat semua orang mengenal dan mengimani Kristus. Gereja sebagai umat musafir di dunia, tidak akan mungkin terpisah dari dunia. 67
Dalam mewartakan Firman Allah, jemaat GPIB yakin bahwa Iman Kristen membawa hukum adat baru yang menggantikan adat lama. Karena itu mereka, dalam seluruh kehidupannya berusaha untuk mewartakan firman Allah. Berbagai tantangan dan ancaman yang dapat muncul dari pewartaan merupakan suatu salib yang harus mereka pikul. Mereka percaya bahwa mereka dipanggil untuk ikut menderita bersama Kristus. 68
2. Cara Hidup Selain lewat pekabaran Injil atau pewartaan Firman Allah, jemaat GPIB juga memberikan kesaksian lewat cara hidup mereka sehari-hari. Mereka selalu berusaha untuk membangun hidupnya sesuai dengan apa yang
68 Wawancara dengan Bapak Murwanto, Pendeta GPIB, di Yogyakart, tanggal 16 September 2008.
56 diperintahkan Tuhan dalam firman Allah. Mereka yakin bahwa melalui cara hidup yang baik mereka dapat membuat Kristus dikenal dan diimani oleh semua orang. Seorang ibu rumah tangga yang adalah anggota jemaat GPIB ketika ditanyai tentang bagaimana ia memberikan kesaksian, ia mengatakan: Untuk bersaksi tentang iman saya, saya selalu setia mengikuti kebaktian, menyayangi anak-anak, setia kepada suami saya dan selalu ingin membantu sesama yang menderita. 69 Seorang koster (yang selalu menjaga Gereja), ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama mengatakan bahwa ia bersaksi tentang imannya dalam menjalankan tugasnya dengan setia, memenuhi nafkah keluarganya dan membina rumah tangganya secara harmonis 70 . Seorang mahasiswa berkata: Saya membuat Kristus dikenal dan dicintai dalam cara hidup saya yang baik, di mana saya setia dalam menjalankan tugas perkuliahan dan mencintai serta mengabdi kepada orang tua. 71
D. Pelayanan 1. Pelayanan Kasih ke Dalam Kepada Seluruh Warga jemaat Pelayanan merupakan suatu perilaku yang sangat ditekankan dalam jemaat GPIB. Dalam kehidupannya sehari-hari mereka selalu berusaha untuk melayani orang lain. Pelayanan mereka pertama-tama diarahkan kepada
69 Wawancara dengan Ibu R. A. Endang Elias S., Wakil Ketua Persekutuan Wanita GPIB, di Yogyakarta, tanggal 13 September 2008.
70 Wawancara dengan Bapak Nyoto Partorejo, Koster GPIB, di Yogyakarta, tanggal 13 September 2008.
71 Wawancara dengan Sdra. Abimata Putra, Sekertaris Gerakan Pemuda GPIB, di Yogyakarta, tanggal 12 September 2008.
57 pelayanan di dalam jemaat. Dan pelayanan yang mereka lakukan adalah pelayanan-pelayanan yang didasarkan atas kasih persaudaraan. Pelayanan merupakan perintah yang diajarkan Yesus kepada para murid-murid-Nya. Setelah membasuh kaki para Murid-Nya, Yesus berkata: Jika Aku, Tuhan dan Guru-mu, membasuh kakimu, kamu juga harus saling membasuh kaki. Aku telah memberikan kepada kamu suatu teladan, supaya apa yang telah Kulakukan, juga harus kamu lakukan. 72
Pelayanan yang mereka lakukan dalam jemaat berupa pelayanan sektoral dan pelayanan kategorial. Pelayanan sektoral dimaksudkan sebagai pelayanan kepada warga jemaat yang dibagi dalam sektor-sektor sesuai ketetapan Majelis Jemaat. Secara umum GPIB dibagi dalam dua sektor besar yakni sektor Yogyakarta Barat yang berpusat di Janten dan sektor Yogyakarta Timur yang berpusat di Sambilegi. Pelayanan kategorial dimaksudkan sebagai pelayanan sesuai dengan bidang-bidang pelayanan kategorial (BPK), yang terdiri dari BPK Pelayanan Anak, BPK pelayanan Persekutuan Taruna, BPK Gerakan Pemuda, BPK Persekutuan Wanita, BPK Persekutuan Kaum Bapak dan BPK Persekutuan lanjut usia. 73 Pelayanan kategorial ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan setiap BPK yang berbeda-beda. Pelayanan tersebut disebut pelayanan kategorial yang agak berbeda dari pelayanan jemaat, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan. GPIB sudah lama terbiasa dengan pelayanan kategorial, ketika banyak Gereja lain masih terpaku pada pelayanan jemaat tradisional. Perbedaan pelayanan
72 Lembaga Alkitab Indonesia, Kitab Suci Komunitas Kristiani, hlm. 260.
73 Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta, Nomor 1, 16 Oktober 2004.
58 kategorial dari pelayanan jemaat terdapat dalam hal spesifikasi dan bidang pelayanannya. Jemaat kategorial dapat dibagi atas profesi misalnya guru/dosen, mahasiswa, dokter, wiraswasta dan tentara; usia misalnya kelompok taruna, pemuda dan lansia; dan jenis kelamin misalnya kaum ibu, kaum bapak, pemuda dan pemudi. 74
Meskipun pelayanan kategorial sudah lama berjalan di GPIB, tidaklah berarti bahwa hal itu tanpa persoalan. Sejak dulu terdapat masalah nisbah di antara pelayanan kategorial dan pelayanan jemaat. Masalahnya adalah kedudukan para pengurus bidang kategorial yang biasanya tidak termasuk dalam kemajelisan. Sementara semua pelayanan jemaat dilakukan oleh Majelis jemaat. 75
2. Pelayanan Kasih ke Luar Kepada Masyarakat Selain pelayanan ke dalam, GPIB juga melakukan pelayanan ke luar yakni pelayanan kepada semua orang yang tidak termasuk dalam kelompok jemaat mereka. Pelayanan dilakukan sebagai panggilan untuk menyaksikan Kristus ke luar kepada masyarakat dan melayani ke luar baik lewat perkataan maupun perbuatan. 76 Sebab Yesus berkata: Apa saja yang kamu lakukan
74 Wawancara dengan Bapak E. G. Singgih, Pendeta GPIB, di Yogyakarta, tanggal 16 September 2008.
75 Wawancara dengan Bapak C. E. B. Ferdinandus, Sekertaris GPIB, di Yogyakarta, tanggal 13 September 2008.
76 Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta, Nomor 1, tanggal 16 Oktober 2004.
59 untuk sala seorang saudara-Ku yang paling hina, itu kamu lakukan untuk Aku. 77
Pelayanan kepada orang-orang di luar jemaat biasanya dibingkai dalam pelayanan kasih. Pelayanan itu dapat dilakukan secara perorangan maupun secara persekutuan yang diatur dan diketahui oleh Majelis jemaat. Pelayanan kasih itu terutama berupa bantuan-bantuan yang diberikan kepada orang-orang yang miskin dan menderita. Jemaat GPIB melakukan pelayanan terhadap orang-orang sakit, jompo, yatim piatu, janda, duda dan yang menderita karena bencana, ketidakadilan dan lain sebagainya. Selain itu, Jemaat GPIB juga melakukan pelayanan kepada mereka yang berada di Lembaga pemasyarakatan. 78
77 Lembaga Alkitab Indonesia, Kitab Suci Komunitas Kristiani, hlm. 74
78 Wawancara dengan Bapak Juliyanto, Anggota Majelis Jemaat, di Yogyakarta, tanggal 14 Septembr 2008.
60 BAB IV GEREJA MISIONER: MISI UTAMA GPIB
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan dari tulisan ini, sistem teologis merupakan hal yang fundamental yang mendasari perilaku keagamaan seseorang atau sekelompok jemaat. Demikian, apa yang akan penulis uraikan dalam bab ini adalah upaya untuk memaparkan dasar-dasar teologis GPIB yang dapat membantu kita untuk memahami perilaku-perilaku keagamaan yang telah kita uraikan dalam bab sebelumnya.
A. Pandangan Umum Tentang Gereja dalam GPIB Dalam kehidupan dan pengaturan Gereja-gereja di Indonesia terjadi perubahan-perubahan besar selama dan sesudah jaman pendudukan Jepang. Hal-hal itu sesungguhnya bukan hanya terjadi karena keadaan dan pengaruh peperangan yang menyebabkan terputusnya hubungan dengan Gereja-gereja dan badan-badan Zending di Netherland, tetapi juga karena adanya pengaruh besar yang diberikan oleh konferensi Pekabaran Injil sedunia di Yerusalem pada tahun 1928. Pada konferensi ini diberikan suatu perhatian besar terhadap Gereja-gereja dalam perkembangan di daerah-daerah Pekabaran Injil. Gereja- Gereja dalam perkembangan itu mendapat bentuk-bentuk kehidupan gerejani yang cocok dengan lingkungan di mana mereka sedang berkembang. Gereja- gereja dalam perkembangan itu harus berakar dalam ibu pertiwi tidak boleh
61 merupakan Gereja-gereja yang dipindah-tanamkan dari suatu lingkungan hidup asing. Demikian di katakan: In many countries this has resulted in the desire that the churches should be rooted more deeply in the soil, with an increasing conviction that Jesus Christ alone can met their countries needs, we have come to see more clearly that these younger churches can bear their testimony more naturally, more adequately and more extensively only as they become thoroughly naturalised 79
Di banyak negara telah muncul suatu keinginan agar gereja-gereja tersebut mesti berakar lebih mendalam di negerinya, dengan suatu keyakinan bahwa Yesus Kristus sendiri akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara tersebut, dan kita harus melihat dengan jelas bahwa gerja-gereja muda tersebut dapat memberi kesaksian secara lebih alami, lebih sesuai dan lebih luas hanya jika mereka sungguh-sungguh dinaturalisasikan. GPIB mengambil semangat yang sama dan memandang bahwa Gereja di Indonesia mesti menjadi Gereja yang tertanam di dalam bumi nusantara ini. Mereka meyakini bahwa Gereja bukan sesuatu yang dicabut dari tanah asing dan ditanamkan di Indonesia, melainkan Gereja Indonesia mesti disesuaikan dengan budaya bangsa Indonesia sendiri. Gereja GPIB memandang bahwa Gereja-gereja di Indonesia perlu memiliki suatu wadah yang menampung semua Gereja di Indonesia. Pandangan ini didasarkan pada pemikiran sinode Am, tahun 1936, yang
79 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm. 13-14.
62 memutuskan untuk membentuk Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Lebih jauh, pandangan ini didasarkan pada syahadat yang mengatakan bahwa Aku parcaya Gereja yang am. Gereja itu dinamakan Am, sebab tidak mungkin didapati dua atau tiga Gereja tanpa membuat Kristus terbagi: suatu hal yang mustahil. Orang-orang pilihan Allah malahan semuanya sedemikian bertalian di dalam Kristus hingga mereka, yang berada di bawah satu kepala, semakin berpadu seolah-olah menjadi satu tubuh dan saling bersangkutan bagaikan anggota-anggota satu tubuh. Mereka benar-benar dibuat menjadi satu, karena mereka hidup bersama dalam satu iman, pengharapan dan kasih, oleh Roh Allah yang sama.dan mereka terpanggil tidak hanya untuk menerima warisan yang sama yaitu hidup yang kekal, tetapi juga untuk memasuki persekutuan dengan satu Allah dan satu Kristus. 80
Untuk memperjuangkan dan membangun Gereja sebagai Gereja yang Esa, GPIB memandang bahwa sifat misioner Gereja perlu ditanamkan. Gereja dipanggil untuk mewartakan firman Allah kepada semua makhluk di seluruh dunia. Ini merupakan tugas pokok yang mesti diemban oleh Gereja. Panggilan utama ini ditanamkan mulai dari anak-anak yang dibina, di kebaktian anak-anak dan kebaktian remaja sampai di kalangan orang-orang tua di dalam kegiatan-kegiatan jemaat-jemaat. Gereja mempunyai panggilan untuk memberitakan kabar kesukaan tentang pengampunan dosa dan hidup yang kekal dalam Yesus Kristus. Panggilan itu dilihat sebagai tugas utama dan kriteria-kriteria yang menentukan berhak tidaknya Gereja itu disebut
80 Yohanes Calvin, Institutio-Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hlm. 227.
63 GEREJA. Dan panggilan ini ditujukan kepada kepada Gereja secara keseluruhan baik pejabat-pejebat maupun kaum awam. Mereka sekalian bersama-sama bertanggungjawab atas hidup Gereja selanjutnya, yaitu atas sifat Gereja sebagai Gereja misioner. 81
Demikian, GPIB memandang bahwa Gereja itu mesti merupakan Gereja yang sungguh berurat akar di Indonesia. Ada dua ciri utama Gereja yang sangat ditekankan dalam jemaat GPIB yakni Gereja yang Esa dan Gereja Misioner. Kedua ciri utama ini akan penulis uraikan berikut ini.
B. Gereja Yang Esa Gereja Kristen pada umumnya bukanlah sebuah kelompok yang sama dan seragam. Ada banyak kelompok jemaat dalam kekristenan. Ada Gereja Katolik, Protestan, Anglikan, Ortodoks dan lain sebagainya. Gereja Protestan sendiri memiliki Gereja-Gereja yang berdiri sendiri. Ada Gereja Batak Indonesia, Gereja Bethel Indonesia, Gereja Kristen Jawa, Gereja Pentakosta Indonesia dan lain sebagainya. Setiap Gereja memiliki cara pandang yang berbeda-beda. 82
Sejak Pemerintahan Belanda mengusai Indonesia, Gereja-gereja di Indonesia diorganisir dan ditata kembali. Pengorganisasian ini dimaksudkan agar Gereja-gereja di Indonesia dapat berdiri sebagai satu kesatuan. GPIB hadir dengan tujuan untuk terus mempertahankan keesaan Gereja itu. Mereka berupaya untuk terus membangun Gereja yang Esa di Indonesia. Penerusan
81 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm. 27
82 Wawancara dengan Bapak Murwanto, Pendeta GPIB, di Yogyakarta, tanggal 13 September 2008.
64 misi Pemerintah Belanda ini sering kali menyebabkan ada gurauan bahwa GPIB itu adalah Gereja Penerus Iman Belanda. 83
Usaha menuju keesaan Gereja yang dilakukan oleh GPIB dapat kita lihat dasarnya dalam sejarah perjalanan gerekan Oikumenis dalam Gereja. Pada zaman Reformasi Gereja Katolik Roma untuk pertama kali (sejak skisma dengan Gereja Ortodoks Yunani tahun 1054) diperhadapkan dengan ancaman perpecahan secara besar-besaran. Walaupun Luther dengan cepat dikucilkan dari Gereja (1521), namun tetap diusahakan mencari perdamaian dengan pengikut-pengikutnya, kaum injili, demi kesatuan Kristen terhadap ancaman Turki. Kepentingan politis ini melahirkan upaya-upaya untuk mempersatukan kekristenan tetapi perbedaan teologis antara Katolik dan Protestan tidak dapat didamaikan. Jalan oikumenis yang diusahakan pun menemui kegagalan. 84
Gerakan oikumenis kemudian digeser menjadi upaya mempersatukan Gereja-gereja Kristen Protestan yang berbeda-beda. Gerakan ini dimulai pada zaman pencerahan dan pietisme. Selain ada pencerahan yang memusuhi Gereja-gereja ada juga pencerahan yang tetap positif terhadap agama Kristen dan Gereja. Pencerahan semacam ini sependapat dengan pietisme bahwa iman pertama-tama adalah hal pribadi. Iman Kristen bertolak dari hati pribadi. Gerakan Pietisme dalam arti yang sebenarnya adalah gerakan di Gereja-gereja di Lutheran Jerman, yang sekitar tahun 1675 mulai membangkitkan kehidupan Gerejawi. Gereja-gereja rakyat dianggap mati
83 E. G. Singgih, Mengantisipasi Masa depan Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 298.
84 Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 3
65 karena iman kristen kurang dihayati baik oleh Gereja sebagai keseluruhan maupun oleh anggota-anggotanya. Dirasakan bahwa Gereja-gereja dan para teolog terlalu sibuk dengan pertikaian-pertikaian tentang ajaran dan kurang menyadari bahwa percaya bukan kegiatan akali saja melainkan menyangkut hati seseorang. Oleh sebab itu, pietisme menekankan kesalehan pribadi dan penghayatan secara perseorangan akan keselamatan yang diperjuangkan oleh Kristus. Bagi pietisme, iman itu perkara hati dan bukan perkara otak. 85
Pietisme menekankan kesalehan pribadi, penghayatan iman secara individual sebagai hal yang terutama, dan semua hal lain seperti keanggotaan Gereja atau penerimaan suatu syahadat adalah hal kedua. Penekanan pada individu ini memungkinkan Gereja untuk merasa diri sejiwa dengan semua orang kristen yang walaupun berasal dari Gereja lain, juga mencari penghayatan yang sedalam-dalamnya akan Yesus Kristus dan keselamatan yang diberikanNya kepada setiap orang yang mau menerimaNya. Sikap terbuka di kalangan Pietis di kemudian hari sangat mempengaruhi perhimpunan-perhimpunan pekabaran Injil. 86
Seiring hidupnya semangat pietisme, pada abad 19, ada empat usaha yang dikembangkan untuk mempersatukan Gereja-gereja kristen yang berbeda-beda. Pertama, usaha mempersatukan orang-orang kristen yang mempunyai dasar teologis atau pengakuan iman yang sama. Kedua, usaha untuk memprsatukan orang-orang Kristen Protestan dalam satu perhimpunan. Ketiga, usaha melalui Voluntary Movements (Gerakan-gerakan sukarela)
85 Christian De Jonge, Apa Itu Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm. 38.
86 Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, hlm. 5.
66 seperti gerakan-gerakan kebangunan rohani. Keempat, usaha untuk bekerjasama di bidang pekabaran Injil. 87
GPIB lahir dalam semangat oikumenis ini. Mereka menghadapi masalah pokok: Bagaimana dipahami keesaan menuju terbentuknya Gereja Kristen yang Esa di Indonesia? Masalah ini merupakan masalah yang penting yang digumuli oleh GPIB. GPIB memandang gerakan oikumenis sedunia terlampau jauh dari jangkauan warga GPIB secara rata-rata. Apa yang ditekankan oleh GPIB adalah usaha untuk menghimpun seluruh Gereja di Indonesia dalam satu kesatuan. Mereka mengemban misi: The whole church should set itself to the total task of winning the whole world for Christ, Seluruh Gereja mesti disatukan untuk suatu tugas umum yakni memenangkan seluruh dunia untuk Kristus. 88 Bagi GPIB, keesaan Gereja- gereja perlu ditegakkan demi terwujudnya misi utama Gereja yakni sebagai Gereja Misioner. Tentang Gereja Misioner, akan penulis uraikan dalam bagian berikut ini.
C. Gereja Misioner Gereja misioner merupakan misi utama dari GPIB. Seluruh perilaku keagaamaan yang dilaksanakan di dalamya, termasuk upaya untuk membangun Gereja yang esa di Indonesia dapat dimengerti dalam kerangka ini. GPIB berupaya untuk mempertahankan Gereja sebagai suatu komunitas misioner yang tidak pernah berhenti mewartakan tentang Kristus dan
87 Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, hlm. 6.
88 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm. 42-43.
67 ajaranNya, serta sedapat mungkin memberi kesaksian kepada dunia agar dunia mengenal dan percaya kepada Kristus. Dasar teologis tentang pembangunan Gereja misioner di hubungkan dengan bebarapa hal berikut ini: Jemaat hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk yang lain, yaitu untuk dunia. Dalam hubungan itu jemaat direlasikan dan diikutsertakan dalam misio dei, yaitu penyelematan Allah. Itulah tindakan penyelamatan Allah yang berlaku bukan saja dengan dan di dalam jemaat, melainkan dengan segenap umat manusia dan di dalam dunia ini. Karena itu jemaat Kristen dibangun sedemikian rupa sehingga ibadah, pelayanan, kesaksian, persekutuan dan pendidikan jemaat langsung dihubungkan dengan tindakan dalam dunia ini. Pembangunan jemaat secara demikian dengan sendirinya bersifat terbuka, fleksibel dan dialogis terhadap segala perkembangan dunia dan masyarakat. 89
Gereja pada dasarnya dipanggil untuk melaksanakan misi Kristus, untuk bersaksi kepada dunia dan mengenai penyelamatan Kristus. Kehidupan Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Allah, harus memiliki dua kecenderungan ini yakni dipanggil dan diutus. Gereja tidak boleh ngumpul-ngumpul terus, beribadah saja terus dengan sikap yang saleh, sementara itu kita tidak memencar, untuk memberitakan perbuatan-
89 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm. 35.
68 perbuatan yang besar dari Allah dan mengabarkan keselamatan itu bagi orang lain. Jadi irama hidup Gereja adalah come and go atau kumpul dan pergi. Itulah tugas utama dari umat Kristen. 90
Hakekat Gereja adalah misioner. Gereja kehilangan maknanya bila kehilangan sifat misionernya ini. Jemaat kristiani tidak dapat lagi disebut sebagai pengikut-pengikut Kristus bila mereka kehilangan semangat untuk mewartakan Kristus kepada orang lain. Tentang hal ini S. Wesley Ariarajah menulis: Agama Kristen memiliki sifat misioner sejak terbentuknya. Menurut kitab Injil Yesus memulai pelayanannya dengan pemberitaan tentang datangnya Kerajaan Allah dan memanggil manusia untuk bertobat dan percaya kepada Injil. Sampai Ia ditangkap dan dihukum mati, Yesus sudah berkeliling untuk menjalankan misinya di berbagai kota dan desa sambil berkotbah, mengajar, dan membawa kebahagiaan ke dalam kehidupan umat manusia. Sesudah kematianNya, para pengikut Yesus yang berbekal kebangkitanNya dan dipenuhi kuasa Roh Kudus, juga terdorong untuk menjadi saksi tentang kebangkitanNya, terkadang dengan resiko dipenjarakan bahkan dibunuh. Paulus merasa yakin melalui pertemuan dengan Kristus yang bangkit, bahwa kedatangan pemerintahan baru yang meruntuhkan semua tembok pemisah harus diberitakan sampai ke ujung bumi. 91
Karena panggilan suci itu, GPIB selalu menekankan pentingnya membangun jemaat misioner. Gereja misioner mempunyai misi utama untuk membuat Kristus dikenal dan diimani oleh semua orang. Jemaat GPIB tidak akan pernah berhenti mewartakan Injil kepada dunia. Hidup dan seluruh kegiatan yang mereka lakukan diarahkan demi misi suci ini yakni mewartakan tentang Kristus.
90 Wawancara dengan Bapak Murwanto, Pendeta GPIB, di Yogyakarta, tanggal 16 September 2008.
91 S. Wesley Ariarajah, Tak Mungkin Tanpa Sesamamu: Isu-isu Dalam Relasi Antar Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 109.
69 Bagi mereka, jemaat misioner adalah suatu ujian iman kristen. Kalau ladang-ladang Tuhan di Indonesia menguning, artinya hasil dan akibat dari ekonomi Roh Kudus, maka itu tidak terjadi secara kebetulan. Tuhan sendiri bertindak dan mematangkan dunia ini untuk menyambut kedatangan kembali Kristus. Dan Pembangunan jemaat misioner berarti menuai juga di ladang itu 92 . Mereka meyakini bahwa panggilan untuk mewartakan Kristus di tengah dunia adalah karya Roh Kudus sendiri. Mereka tidak mewartakan sendiri melainkan Allah-lah yang memberikan kekuatan kepada mereka untuk melakukannya. Allah pun tetap menyertai mereka dalam seluruh karya misioner mereka. Gereja misioner dipahami sebagai Gereja yang aktif melakukan misi. Artinya, Gereja masuk ke dalam dunia untuk melaksanakan misi Tuhan, tetapi bukan karena dunia berharga melainkan karena dunia ini adalah musuh. Hanya saja, di tengah musuh itu ada orang-orang yang potensial bisa menjadi teman. Mereka inilah yang menjadi motivasi utama mengapa Gereja masuk ke dalam dunia, yaitu membawa keluar dari dunia orang-orang yang potensial diselamatkan, sehingga menjadi selamat secara aktual. Dalam kehidupan baru, sebagai orang yang telah diselamatkan, tidak ada lagi masalah seperti yang dihadapi ketika masih ada di dunia. Dalam arti ini, Gereja misioner dipahami sebagai pengumpul orang. 93
Pandangan teologis yang menekankan pentingnya Gereja misioner tentu akan membawa dampak postif ataupun negatif dalam kehidupan bersama
92 Majelis Sinode XII GPIB, Bahtera Guna Dharma, hlm. 57.
93 E. G. Singgih, Mengantisipasi Masa depan Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, hlm. 286-287.
70 dalam masyarakat. Pluralitas merupakan suatu fenomen yang tak dapat disangkal dalam bangsa Indonesia. Cara pandang kristen yang telah penulis uraikan dalam bab ini tentu akan mempunyai implikasi dalam pluralitas bangsa ini dan dialog antar umat beragama. Semua ini akan penulis uraikan dalam bagian berikut ini.
D. Gereja Misioner Dalam Pluralitas Agama di Indonesia dan Urgensi Dialog Antar Umat Beragama Seperti telah diuraikan di atas, pandangan GPIB tentang Gereja misioner merupakan dasar bagi perilaku keagamaan jemaat GPIB. Mereka mengabdikan hidup mereka untuk persekutuan, kesaksian dan pelayanan demi terbangunnya Gereja misioner di Indonesia. Namun, upaya mewujudkan Gereja misioner di Indonesia bukanlah suatu upaya yang tanpa masalah. Sebab Indonesia bukan kumpulan orang-orang yang seragam (uniform) dalam budaya dan agama. Di Indonesia, kenyataan pluralitas agama adalah fakta yang mesti diakui. Ciri misioner bukanlah sesuatu yang jahat dalam dirinya. Setiap agama besar punya ciri misioner tersebut. Pengamatan lebih mendalam menunjukkan bahwa sebenarnya semua agama, kecuali yang disebut agama-agama tradisional, - bahwa agama merupakan bagian dari satu komunitas tertentu dalam hubungan dengan pemahaman tentang jalan hidup- bersifat misioner. Maka menjadi agama misioner bukan merupakan suatu masalah, seperti yang diduga kelompok lain, bagi semua agama yang muncul dari budaya
71 semitis. Islam juga memiliki keyakinan bahwa beritanya memang dimaksudkan untuk disampaikan kepada semua orang. Demikian Islam juga merupakan sebuah agama misioner. Bahkan Hindu dan Budha juga merupakan agama-agama yang punya ciri misioner ini. 94
Demikian panggilan GPIB untuk membangun Gereja misioner di Indonesia bukanlah suatu masalah an sich. Pandangan tentang misi, menurun Kuhn, sangat ditentukan oleh keyakinan epistemologis seseorang. Yang menimbulkan masalah adalah ketika misi dipandang sebagai kristenisasi, atau dalam teorinya Kuhn, misi didasari oleh pandangan realisme murni dan idealisme, di mana tidak ada kebenaran di luar agama mereka sendiri. Dalam konteks ini, cara perilaku jemaat yang terlalu menekankan misi, dalam perspektif realisme murni dan idealisme, akan memandang orang-orang dalam agama lain sebagai yang harus dipertobatkan. Penekanan pada misi ini sangat rentan untuk menciptakan kelompok fundamentalisme dalam agama. Pengalaman sejarah mencatat bahwa antara Islam dan Kristen sering terjadi ketegangan. Agama Kristen, dengan cara hidup yang sangat menekankan misi sering dipandang oleh kaum muslim sebagai upaya kristenisasi. Merebaknya isu kristenisasi lebih terasa setelah peristiwa 1965 yang menyulut kebencian sebagian ummat Islam terhadap ummat Kristen. 95
Salah satu kisah yang menarik terjadi di Yogyakarta pada tahun 2007. Salah satu bagian dari ummat Kristen merencanakan Jogja Festival 2007 yang
94 S. Wesley Ariarajah, Tak Mungkin Tanpa Sesamamu: Isu-isu Dalam Relasi Antar Iman, hlm.107-108.
95 Suhadi Cholil (ed.), Resonansi Dialog Agama dan Budaya (Yogyakata: CRCS UGM, 2008), hlm. viii
72 kurang lebih berintikan misi pengobatan yang akan dipimpin oleh pendeta Peter Youngren dari Kanada. Jauh hari sebelumnya, panitia memasang iklan besar dan selebaran di mana-mana. Tak lama setelah itu, baliho besar yang terpasang di pojok kota menjadi sasaran kritik grafiti sebagian kelompok dari agama lain yang menentangnya. Selebaran tudingan juga bermunculan bersifat mengingatkan ummat muslim untuk tidak hadir, bahkan juga berupa ancaman. Sehari sebelum acara itu rencananya digelar, gerakan yang dikonsolidir oleh kelompok-kelompok tertentu mendesak kepolisian untuk membatalkan acara tersebut. Kemudian pada hari itu juga, kepolisian Yogyakarta mencabut izin penyelenggaraan acara tersebut. Sempat muncul ketegangan tapi kearifan semua yang terlibat dalam peristiwa ini membuat tidak munculnya kekerasan. 96
Tentang akibat yang mungkin dari penekanan pada misi sebagai hal yang terpenting dalam pluralitas agama di Bangsa ini telah disadari oleh para pemimpin jemaat GPIB. Pendeta Murwanto menegaskan bahwa: Masih ada prasangka-prasangka terhadap orang-orang Kristen, yang dalam hal ini menimbulkan banyak salah paham. Satu hal yang lain lagi yaitu salah paham yang menganggap usaha-usaha pertolongan atau tindakan etis dalam misi Kristen sebagai usaha terselubung untuk membuat seorang pemeluk agama lain, meninggalkan agamanya dan masuk agama Kristen. Jadi ada tuduhan bahwa orang Kristen tidak tulus dalam menolong, seperti ada udang di balik batu. Atau menolongnya dengan syarat, dengan pamrih. Atau memberitakan misi Kristen dengan menghalalkan segala cara dengan janji yang muluk-muluk. Oleh karena itu, salah satu masalah besar yang harus ditanggulangi adalah bagaimana meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi kesalahpahaman tersebut. 97
96 Suhadi Cholil (ed.), Resonansi Dialog Agama dan Budaya, hlm. 158.
97 Wawancara dengan Bapak Murwanto, Pendeta GPIB, di Yogyakarta, tanggal 16 September 2008.
73 Untuk menghilangkan kesalahpahaman itu, dialog antar umat beragama merupakan suatu tuntutan yang mutlak demi terwujudnya keharmonisan dalam bangsa yang pluralis ini. E. G. Singgih, salah seorang pendeta senior dalam GPIB, mengatakan: Mengenai salah paham terhadap usaha-usaha pertolongan dan tindakan etis Kristen, jalan keluar yang dapat ditempuh adalah berkomunikasi dengan mereka yang salah paham itu dan menjelaskan bahwa tugas misi adalah sesuatu yang mulia, yang tidak dapat dikotori dengan motif-motif yang tidak murni, seperti iming-iming. Kalaupun ada orang yang menjadi Kristen, hal ini bukan karena iming-iming, tetapi karena mereka yang telah ditolong mulai bertanya-tanya mengenai apa atau siapa yang menyebabkan orang Kristen mau menolong juga orang yang berada di luar kelompok Kristen. Bisa juga menjelaskan bahwa orang Kristen menolong karena pada waktu itu tidak ada yang menolong. Tetapi kalau ada dari kalangan sendiri yang bisa menolong, tentu orang Kristen yang berasal dari luar tidak akan memaksa untuk memberi pertolongan. sebab pertolongan yang bersifat memaksa sudah bukan pertolongan lagi. 98
Menyimak apa yang dikatakan kedua pendeta di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan misioner GPIB perlu dipahami dalam kerangka pluralitas agama di Indonesia. Bagi keduanya, dalam menjalankan misinya, GPIB perlu membangun dialog dengan umat beragama lain. Dialog antar umat beragama akan menjadi instrumen yang tepat untuk memahami agama yang lain dan dapat saling menghargai satu sama lain. Dialog antar agama didasari pada kenyataan bahwa tidak ada satu agama pun yang dapat mengklaim kebenaran Allah sebagai miliknya sendiri. Misi Kristen tidak dapat dibingkai dalam asumsi bahwa umat beragama lain perlu diselamatkan. Kedua pendeta ini dapat kita sebut sebagai orang-orang yang berpandangan realisme kritis. Cara pandang inilah yang ingin dan selalu disalurkan kepada para jemaatnya.
98 Wawancara dengan Bapak E. G. Singgih, Pendeta GPIB, di Yogyakarta, tanggal 16 September 2008.
74 Dalam dialog antar umat beragama, pandangan tentang misi tidak identik dengan proselitisme. Eka Darmaputra menegaskan hal ini dengan mengatakan: Proselitisme tidak identik dengan karya misi. Tetapi misi secara alkitabiah adalah menjadi saksi, bukan proselitisasi. Karya misi hanyalah suatu alat. Dalam proselitisasi kita mengklaim diri kita sendiri sebagai subyek. Panggilan kita bukan membawa orang ke dalam agama kita melainkan membawa Kristus kepada orang. Tugas kita bukan mentobatkan orang, melainkan mentobatkan diri sendiri untuk melayakkan kita melakukan misi Allah kepada manusia. Penginjilan adalah memperkenalkan Kristus, bukan memperbesar agama kita. Tentu dalam hal ada yang kemungkinan alih agama, tetapi itu bukan tugas apalagi tujuan kita. Alih agama adalah suatu keputusan yang orang harus lakukan secara bebas, bertanggungjawab, serta secara pribadi di hadapan Allah, di bawah tuntunan Roh Kudus. Dan itu jauh dari kemampuan kita. 99
Pentingnya dialog dikatakan juga oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke X demikian: Setiap kita melakukan dialog antar agama, selain menyadarkan diri kita akan keberagaman keyakinan agama kita, agar juga dihayati sebagai momentum peneguhan tekad guna merekatkan semangat persatuan-kesatuan bangsa. Gereja sebagai duta wacana yang bermakna utusan firman menyandang misi guna mewujudkan perdamaian, kemerdekaan dan keadilan atas dasar kasih Tuhan Yang Maha Memberi. Oleh Karena itu, menjadi kewajiban setiap insan Nasrani untuk mendialogkan ilmu, amal dan firman yang diserapnya dalam wacana kritis dengan masyarakat melewati batas-batas tembok Gereja, yang telah termuat dalam jiwa-semangat: Gereja tanpa dinding. 100
Demikian, dialog antar umat beragama tidak boleh diabaikan dalam menunaikan misi Gereja GPIB. Dialog umat beragama hanya dapat dikembangkan bila orang memiliki pandangan realisme kritis di mana agama-
99 Eka Darmaputra, Inter-relationship Among Religious groups ini Indonesia: Peacefull Co-Existence or Creative Pro-Existence? An Appeal, dalam F. Sulaiman dan I. Rakhmat (ed.), Masihkah Benih Tersimpan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 32.
100 Sri Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita (Jakarta, 2007), hlm. 36.
75 agama dihargai karena memiliki kebanarannya masing-masing. Bila misi dibarengi dengan upaya membangun dialog dengan agama lain, misi akan menjadi suatu ajang untuk saling memperkaya antar umat beragama. Jemaat GPIB, lewat pemimpin-pemimpinnya, telah berusaha untuk memberikan pengertian yang seimbang tentang misi kepada jemaatnya. Mereka sangat menekankan pentingnya dialog dan sikap menghargai agama lain. Misi tidak dapat diidentikkan dengan proselitisme. Pertobatan seseorang yang memutuskan untuk berpindah agama bukanlah akibat dari ajakan dari karya misi GPIB melainkan sebagai proses batin seseorang yang memutuskan dengan bebas. GPIB tidak mencari anggota jemaat baru melainkan berusaha untuk membantu semua orang hidup dalam keharmonisan sebagai saudara dalam Tuhan. 101
Upaya para pemimpin GPIB ini bukan suatu pekerjaan yang telah selesai. Di tataran akar rumput, sikap fanatik yang masih memandang misi sebagai upaya untuk mengajak orang lain menjadi Kristen (Proselitisme) masih sering ditemukan. Karena itu, upaya penyadaran tetap dilakukan lewat khotba-khotba dalam ibadah, ceramah, seminar dan berbagai kegiatan lainnya. Semua ini dimaksudkan agar konflik antar umat beragama di Indonesia dapat dihindari, sehingga tercipta Bangsa yang tenteram dan damai. 102
101 Wawancara dengan Bapak Joseph Ginting, Pendeta GPIB, tanggal 20 Januari 2009.
102 Wawancara dengan Bapak Joseph Ginting, Pendeta GPIB, tanggal 20 Januari 2009.
76 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Suasana hidup yang harmonis di dalam bangsa yang berdiri di atas pluralitas agama merupakan impian setiap orang. Suasana hidup yang harmonis itu hanya dapat tercipta bila setiap agama dapat saling membuka diri untuk menerima yang lain dan berusaha memahami yang lain. Tanpa sikap keterbukaan ini pluralitas agama akan menjadi suatu sumber konflik. Dan konflik yang terjadi antar umat beragama juga sering dipicu oleh perilaku jemaat yang sangat mementingkan misi dan melupakan kahadiran agama yang lain. Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta merupakan salah satu kelompok jemaat Kristen Protestan yang sangat menekankan persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Dalam kehidupan sehari-harinya, seluruh kegiatan yang dilakukan jemaat ditandai dengan usaha membangun dan memperkuat persekutuan, meningkatkan kesaksian dan melaksanakan pelayanan yang efektif. Perilaku jemaat GPIB tidak dapat dilepas-pisahkan dari ajaran GPIB sebagai sebuah institusi. Persekutuan yang dibangun dalam jemaat GPIB terdiri dari persekutuan intra jemaat dan persekutuan ekstra jemaat, yakni dengan orang- orang di luar jemaat GPIB. Kesaksian dipahami sebagai usaha untuk membuat hidup mereka dan hidup persekutuan mereka dapat menyaksikan
77 Kristus di tengah dunia. Kesaksian dapat dilakukan baik secara perorangan maupun secara kelompok dalam persekutuan. Dan pelayanan dimengerti sebagai pelayanan kasih, yang dilakukan baik pelayanan di antara sesama jemaat maupun pelayanan kepada orang-orang di luar jemaat GPIB. Persekutuan, kesaksian dan pelayanan yang merupakan perilaku- perilaku utama jemaat GPIB hanya dapat dipahami bila kita mengerti sistem teologis yang diyakini jemaat tersebut. GPIB meyakini bahwa seluruh umat Kristen mesti ada dalam satu kesatuan. Karena itu mereka mengupayakan akan terbangun Gereja yang esa di Indonesia. Keesaan Gereja di Indonesia ini menjadi prasyarat utama untuk mencapai misi utama GPIB yakni membangun Gereja Misioner di Indonesia. Upaya untuk membangun Gereja misioner di Indonesia, yang penduduknya terdiri dari pemeluk agama yang beranekaragam bukanlah suatu upaya yang netral atau tanpa masalah. Penekanan pada misi yang terlalu berlebihan terhadap misi akan menimbulkan kecurigaan dari umat beragama lain bahwa GPIB berupaya untuk melakukan kristenisasi. Untuk mengatasi ketegangan ini, dialog antar umat beragama merupakan suatu keharusan. Misi perlu dibingkai dalam dialog antar umat beragama. Misi tidaklah identik dengan proselitisme. Misi tidaklah pertama- tama dimaksudkan untuk membuat orang beragama lain masuk menjadi kristen melainkan bagaimana membawa Kristus kepada dunia. Misi bukanlah sekedar usaha untuk memperbesar jumlah jemaat Gereja.
78 Dalam pluralitas agama di Indonesia misi akan menjadi pertemuan antar berbagai agama. Setiap agama tidak dapat mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran yang mutlak. Setiap agama memiliki keyakinan dan berbeda dan sikap saling menghargai akan membantu menciptakan keharmonisan di ibu pertiwi ini. Dalam dan melalui dialog antar umat beragama, kita dapat saling memahami dan mengerti satu sama lain. Pengertian dan pemahaman satu sama lain tentu akan menepis segala bentuk kecurigaan terhadap umat beragama lain. Dengan demikian, pluralitas bukan lagi menjadi suatu sebab konflik melainkan kekayaan yang memperindah bangsa ini. Akhirnya, sebuah mosaik akan terlihat indah hanya bila tersusun atas batu-batu yang berwarna-warni.
B. Saran Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mencatat beberapa saran yang dapat saya berikan kepada pembaca dan kepada pihak-pihak terkait yang dapat membantu kita dalam upaya menciptakan keharmonisan hidup beragama di Indonesia. 1. Kepada sesama jemaat GPIB, penulis menyarankan agar dalam hidup beragama, penekanan pada upaya membangun Gereja misioner tidak boleh mengantar kamu semua ke dalam sikap eksklusivime. Sikap menghargai agama lain dalam bermisi tidak akan memberi peluang bagi umat beragama lain untuk menilai misi tersebut sebagai upaya kristenisasi.
79 2. Kepada para pemimpin jemaat GPIB, saya mengusulkan agar dialog- dialog yang bertemakan misi di tengah pluralitas agama bukan hanya menjadi urusan para teolog, para pendeta atau pejabat Gereja lainnya, melainkan mesti juga melibatkan jemaat-jemaat yang sederhana, yang seringkali mudah terpancing pada sikap fanatisme yang berlebihan. 3. Kepada sesama kaum akademisi Fakultas Ushuluddin khususnya yang ada dalam jurusan Ilmu Perbandingan Agama saya menyarankan agar terus berupaya mengembangkan studi-studi tentang agama-agama lain agar dapat menjelaskan perilaku-perilaku kegamaan setiap jemaat. Sebab setiap perilaku merupakan konstruksi sistem teologis tertentu. 4. Akhirnya kepada semua pembaca dan khususnya kaum muslin saya menyarankan agar tidak cepat memandang perilaku-perilaku jemaat GPIB sebagai upaya kristenisasi. Sikap kecurigaan terhadap yang lain akan menjadi benteng yang menghalangi terciptanya keharmonisan dalam hidup bersama.
80
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taupik dan M. Rusli karim (ed.). Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya. 1989.
Abednego, Benyamin A. Beberapa Catatan Presbyterial-sinodal. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1973.
----------------- Struktur Gereja dan Pembinaan Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1991.
Abineno, J.L.Ch. Diaken Diakonia dan Diakonat Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
------------------ Garis-garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1994.
------------------ Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1992.
----------------- Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998.
Ali A.Mukti. Ilmu Perbandingan Agama. Yogyakarta: IAIN Press. 1965.
Aminah, Wiwin Siti (dkk.). Sejarah Teologi dan Etika Agama-agama. Yogyakarta: Dian Interpedi. 2003.
Ariarajah, S. Wesley. Tak Mungkin Tanpa Sesamamu: Isu-isu Dalam Relasi Antar Iman. Jakarta: BPK Gunung Mulia.2008.
Azwar, Saifuddin. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Bakry, Hasbullah. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Widjaya. 1986.
Berkhof dan I.H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1992.
Boland, B.J. Percakapan Tentang Gereja. Djakarta: BPK Gunung Mulia.1951.
Buwono X, Sri Sultan Hamengku. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta. 2007.
81 Calvin, Yohanes. Institutio-Pengajaran Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Cholil, Suhadi (ed.). Resonansi Dialog Agama dan Budaya. Yogyakata: CRCS UGM. 2008.
Darmaputra, Eka. Inter-relationship Among Religious groups ini Indonesia: Peacefull Co-Existence or Creative Pro-Existence? An Appeal, dalam F. Sulaiman dan I. Rakhmat (ed.). Masihkah Benih Tersimpan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1990.
De Jonge, Christian. Apa Itu Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998.
----------------- Menuju Keesaan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1990.
Dokumen profil perguruan tinggi DIY. Yogyakarta: Dinas Pendidikan-Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006.
Effendi, Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press. 2001.
Ferm, Vergillius (ed.). Elder, an Enclopedia of Relegion. USA: Green Wood Press.1976.
Geertz, Clifford. Religion as a Cultural Systems, dalam William A. Lessa dan Evon Z. Vogt (ed.), Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach. New York: Harper and Row. 1972.
GPIB. Hasil-Hasil Persidangan sinodal XIII. Jakarta: Majelis Sinode GPIB. 1982.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. 1986.
Hadiwiyono, Harun, Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.1998.
Harahap, H. Syahrin. Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin. Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada. 2000.
Kaelan. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Membahas Proses Reformasi Paradigma Masyarakat Madani. Yogyakarta: Paradigma. 1999.
Keputusan Sidang Sinode XIII GKJ. Tata Gereja. Yogyakarta: TPK. 1986. Lembaga Alkitab Indonesia. Kitab Suci Komunitas Kristiani. Jakarta. 2002.
82 LPK GKJ dan GKI Jateng, Pedoman Hidup Bergereja. Yogyakarta: LPK GKJ dan GKI Jateng. 1993.
Majelis Sinode XII GPIB. Bahtera Guna Dharma. Jakarta: Lembaga Penelitian Perencanaan dan Pengembangan GPIB. 1981.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (ed.). Sosiologi Teks Terapan dan Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2004.
Ngelow, Zakaria J. Kekristenan dan Nasionalisme. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1994.
Partonadi, Soetarman Soediman. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Suatu Ekspresi ke Kristenan Jawa pada Abad ke XIX. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2001.
Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat GPIB Marga Mulya, Nomor 1, tanggal 16 Oktober 2004.
Rullman, J.A.C. Peraturan Gereja Pedoman Hukum Gereja untuk Penyelenggara Djabatan. E.I. Sukarso, terj. Djakarta: TPK. 1956.
Simatupang, T.B. Indonesia Negeriku: Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1984.
Simauw B. Sejarah Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat. Yogyakarta: Majelis Sinode XII GPIB. 1981.Singgih, E. G. Mengantisipasi Masa depan Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III. (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004.
Steenbrink, Karel. A. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001.
S. Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: Universitas Chicago Press. 1962
Zamroni. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992.
Yayasan Wahana Dharma. Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1998.
83 CURRICULUM VITAE
Nama : Padil Tempat/Tanggal Lahir : Jambi, 08 Juni 1984 Nim : 03521283 Agama : Islam Kebangsaan : Indonesia Status : Belum Kawin Alamat di Yogyakarta : Jl. Pintu Selatan UPN No. 9 RT. 13 RW. 02 Seturan- Yogyakarta.
Nama Orang Tua Bapak : Yakub Usman Ibu : Hanisa Alamat Orang tua : Desa Pasar Terusan Rt. 03 Kec, Muara Bulian, Kab, Batang-Hari,Propinsi JAMBI.
Riwayat Pendidikan : 1. Sekolah SDN 264 Desa Pasar Terusan 1990 s/d 1997 2. Sekolah MTSN Desa Pasar Terusan 1997 s/d 2000 3. Sekolah MAN-MODEL JAMBI, 2000 s/d 2003 4. Kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2003
Pemberdayaan Kelompok Wanita Tani Dahlia Melalui Optimalisasi Janggelan Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Desa Siki Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek