Analisis Sampah Teluk Ambon Dalam
Analisis Sampah Teluk Ambon Dalam
Analisis Sampah Teluk Ambon Dalam
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Secara umum perairan Teluk Ambon termasuk dalam wilayah
administratif kota Madya Ambon dan secara geomorfologi Teluk Ambon terbagi
atas dua bagian yaitu Teluk Ambon bagian luar dan Teluk Ambon bagian dalam.
Kota Ambon merupakan salah satu Kota di Provinsi Maluku yang terletak di
Pulau Ambon yang dikelilingi oleh laut dan merupakan Ibukota dari Provinsi
Maluku. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 luas wilayah
Kota Ambon seluruhnya 377 Km
2
.
Letak Kota Ambon berada sebagian besar dalam wilayah pulau Ambon,
dan secara geografis terletak pada posisi 3
0
-4
0
Lintang Selatan dan 128
0
-129
0
Bujur Timur, dimana secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan
Kabupaten Maluku Tengah dan memiliki 5 kecamatan yaitu kecamatan Nusaniwe,
Kecamatan Sirimau, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kecamatan Teluk
Ambon dan Kecamatan Leitimur Selatan.
Wilayah Kota Ambon sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang
berlereng terjal seluas 186,90 km
2
dan daerah daratan dengan kemiringan sekitar
10 persen seluas 55 km
2
atau 17% dari luas seluruh wilayah daratan dengan
batas-batas wilayah Kota Ambon sebagai berikut :
Sebelah Utara dengan Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
Sebelah selatan dengan Laut Banda
Sebelah Timur dengan Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah
Sebelah Barat dengan Petuanan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten
Maluku Tengah.
Wilayah Kota Ambon sebagian besar terletak pada wilayah pesisir pantai
sehingga banyak aktivitas nelayan untuk penangkapan ikan maupun budidaya
sangat dirasakan manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi karena sangat
didukung oleh sumberdaya alam pesisir dan laut yang demikian besar sekaligus
sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2
Gambar 1.1 Perairan Teluk Ambon dan Lokasi Penelitian
Pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Ambon, merupakan masalah
penting yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan
beragamnya sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan
produktif dan non produktif di upland (lahan atas), dari pemukiman penduduk dan
kegiatan yang berlangsung di badan perairan itu sendiri. J enis bahan pencemar
utama yang masuk di perairan terdiri dari limbah organik, limbah anorganik,
residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya.
Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia
seperti rumah tangga, industri,pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan
yang berupa bahan organik, yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen,
oksigen, nitrogen, fosfor, dan mineral lainnya. Limbah organik masuk ke dalam
perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid tersuspensi dan terlarut.
Pada umumnya yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju
dasar perairan, sedang bentuk lainnya berada di badan air, baik yang aerob
maupun anaerob (Garno, 2004).
Mukhtasor (2007) menyatakan limbah organik yang terbuang ke perairan
laut, apabila melebihi kemampuan asimilasi dari laut, dapat, mencemari perairan
dan menimbulkan penyuburan berlebihan (eutrofikasi). Gejala ini akan
menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut akibat meledaknya populasi
Lokasi penelitian
3
organisme tertentu sehingga dapat menimbulkan kematian beberapa organisme
perairan. Selanjutnya disebutkan bahwa pada kondisi perairan yang mengalami
eutrofikasi, organisme makrozoobenthos yang menjadi indikator lingkungan
jarang sekali ditemukan. Sedangkan kadar NH
3
perairan meningkat dan pH-nya
menjadi rendah. Keadaan ini menunjukan kondisi perairan yang tidak stabil
dimana terjadi penurunan kualitas perairan sehingga organisme laut akan mati
atau tidak dapat melangsungkan aktivitas hidupnya untuk proses pertumbuhan dan
perkembangbiakan.
Kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan di Teluk Ambon,
walaupun tidak didukung oleh data yang kuantitatif, namun secara kualitatif dapat
dirasakan. Dampak dari peningkatan jumlah penduduk serta pembukaan lahan
yang cepat dan tidak tertata dengan baik akan berpengaruh terhadap perubahan
ekosistem di Pulau Ambon, termasuk pula sumberdaya yang ada pada ekosistim
ini. Sebagai contoh yang dapat dirasakan antara lain berkurang hasil penangkapan
ikan umpan, dimana hingga awal tahun 1980, Teluk Ambon dikenal sebagai
ladang ikan umpan dan pemanfaatan yang sangat penting adalah untuk perikanan
yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya (Salili dkk, 2007).
Hasil penelitian logam berat di Teluk Ambon memperlihatkan bahwa
kandungan Raksa (Hg) berada di bawah 0,004 mg/l, Cadium (Cd) berada di
bawah 0,001 mg/l, Krom (Kr) berada dibawah 0,001 mg/l, Tembaga (Cu) berada
dibawah 0,008 mg/l, Timbal(Pb) berkisar antara 0.004 mg/l-0,005 mg/l , Seng
(Zn), berada dibawah 0,0078 mg/l-0,0083 mg/l ( BTKLPPM, 2008).
Kejadian marak alge di Teluk Ambon bagian dalam pada tahun 1994
(Wiadnyana, dalam salili dkk, 2007) telah menyebabkan 34 orang mengalami
sakit dan tiga diantaranya meninggal dunia akibat memakan kerang-kerangan
yang sudah terkontaminasi racun kesas (Paralytic Shellfish Poisoning/PSP) dari
fitoplankton/dinoflagelata beracun (Gymnodinium bahamense). Pada tahun 2004
nelayan pesisir Teluk Ambon merasa terganggu akibat pencemaran teluk yang
mengganggu pemeliharaan ikan keramba sampai pada hasil tangkapan yang
didapatkan sangat berkurang (Media Indonesia, 2004).
Pengembangan usaha budidaya ikan keramba jaring apung di Teluk
Ambon memberikan dampak positif berupa penciptaan lapangan kerja baru dan
4
peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Hal ini dapat terlihat dari hasil
panen kelompok-kelompok nelayan Desa Waiheru, Desa Latta, Desa Lateri yang
hasilnya diatas 1 ton/tahun sehingga sampai ekspor ke Hongkong. J enis ikan yang
dibudidayakan di perairan teluk Ambon adalah ikan kerapu, ikan baronang
(Berita.daerah.com, 2009)
Keberhasilan usaha budidaya perikanan di Teluk Ambon tersebut sangat
ditentukan oleh media pemeliharaan sebagai penunjang keberlanjutan usahanya.
Untuk itu sebagai upaya pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung
dapat tertata dengan baik dan berbasis pada kualitas perairan maka perencanaan
tata ruang laut diupayakan sebagai suatu rangkaian proses yang memenuhi kaidah
ilmiah yang dilegitimasi.
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka
dirumuskan:
1. Berapa besar tingkat pencemaran limbah organik di perairan di Teluk
Ambon?
2. Bagaimana mendapatkan lokasi dan sebaran luas yang dapat dikembangkan
untuk budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung?
3. Bagaimana pemetaan tata ruang budidaya ikan keramba jaring apung yang
berbasis kualitas air di perairan Teluk Ambon?
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan tingkat pencemaran limbah organik di perairan Teluk Ambon.
2. Mendapatkan lokasi dan sebaran luas yang dapat dikembangkan untuk
budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung.
3. Menggambarkan peta tata ruang budidaya ikan keramba jaring apung berbasis
kualitas perairan di Teluk Ambon.
1.4 Manfaat penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
5
1. Memberikan gambaran dan informasi kepada kelompok nelayan atau
pengusaha pembudidaya perikanan laut tentang persyaratan dan kelayakan
teknis kesesuaian lahan di Teluk Ambon untuk pengembangan budidaya ikan
dengan sistem keramba jaring apung.
2. Memperoleh data mengenai lokasi dan sebaran luas yang dapat dikembangkan
untuk budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung di Perairan Teluk
Ambon.
3. Memperoleh peta tata ruang budidaya ikan keramba jaring apung, sebagai
bahan acuan bagi pemerintah Provinsi Maluku membuat peta sejenis bagi
perairan lainnya di wilayah laut di Provinsi Maluku.
1.5 Batasan masalah
Dengan mempertimbangkan daya dukung dan fasilitas yang ada maka
batasan penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Lokasi penelitian hanya dilakukan di perairan Teluk Ambon dengan jumlah
titik sampel adalah 10 titik .
2. Parameter yang diukur adalah oksigen terlarut, pH, BOD, COD, salinitas,
Suhu, NH
3
, H
2
S dan Nitrogen, dan Fosfat.
3. Tata ruang hanya membahas budidaya ikan keramba jaring apung.
4. Untuk pemodelan musim kemarau dan musim hujan menggunakan data input
pasang surut yang berbeda dan debit musim hujan adalah 2 (dua) kali dari
debit musim kemarau serta skenario input konsentrasi berbeda antar kedua
musim.
6
Halaman ini sengaja dikosongkan