Sholat Jum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 46

(Pertemuan Ke-2)

AHKAM AT-THAHARAH:
(Wudhu, Mandi Junub dan Tayammum)[1]
Oleh: Med HATTA
Mukaddimah:

!

1. Allah berfirman dalam Surah an-Nisaa: 43:



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
2. Allah berfirman dalam (Surah al-Maaidah: 6):

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bangun hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub
maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Pentingnya Thaharah (Bersuci) dalam Islam:


Setiap pemerhati nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, akan nampak jelas baginya betapa perhatian Islam terhadap
kesucian dan kebersihan, bagaimana tidak, Allah SWT sangat menyukai orang-orang yang bersih, dalam surah al-Baqarah (222),
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.
Sedangkan nabi Muhammad SAW menjadikan kesucian separuh dari iman, sebagaimana dalam hadits diriwayatkan imam
Muslim, nabi bersabda: Kesucian itu separuh dari iman.

Dua ayat dari dua surah yang berbeda di atas; yaitu ayat ke-43 dari surah an-Nisaa dan ayat ke-43, dan ayat ke-6 dari
surah al-Maaidah, semuanya membahas hukum thaharah (bersuci) dari ketiga kategorinya: Wudhu, mandi junub, dan
tayammum. Ayat an-Nisaa, oleh ahli tafsir hukum, disebut menyempurnakan dan menegaskan hukum ayat al-Maaidah. Dengan
demikian ayat al-Maaidah lebih detail dan rinci dari ayat an-Nisaa, serta lebih kongkrit dari segi menjelaskan hukum. Oleh
karena itu, kita akan mendahulukan pembahasan ayat al-Maaidah sebelum membahas ayat an-Nisaa di sini, sebagai berikut:

Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangun hendak


mengerjakan shalat,

Hubungan Antar Ayat:


Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat:
Firman Allah: )

Ketahuilah bahwasanya Allah SWT membuka surah al-Maaidah ini dengan firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu,

demikian itu karena telah terjalin perjanjian prasetia antara Tuhan dan hamba, yaitu perjanjian rububiyah dan ubudiyah.
Sebagai manifestasi dari ayat kesaksian, Allah berfirman: Bukankah Aku sebagai Tuhanmu, hamba menjawab: Ya, kami
menyaksikan. Maka Allah berfirman pada awal al-Maaidah:

penuhilah aqad-aqad itu, meminta

kepada hamba untuk memenuhi perjanjian ubudiyah yang pernah dilafadzkannya agar memperoleh kebahagian di dunia dan
akhirat.

Sebagaimana diketahui bahwa kenikmatan di dunia terbatas pada dua hal: Kelezatan pada makanan dan kelezatan pada
pernikahan, maka Allah SWT menjelaskan mana yang halal dan yang haram dari makanan-makanan dan hubungan-hubungan
pernikahan, lalu ketika kebutuhan kepada makanan lebih tinggi dari pada kebutuhan terhadap pernikahan, dengan demikian,
mendahulukan penjelasan makanan atas pernikahan. Ketika Allah telah menjelaskan semua itu, lalu seakan-akan Dia
mengatakan: Sesungguhnya Aku telah memenuhi aqad rububiyah yang dibutuhkan di dunia dari manfaat dan kelezatankelezatan, maka giliranmu pula di dunia untuk memenuhi aqad ubudiyah.

Selanjutnya, ketika ketaatan paling tinggi setelah iman adalah shalat, dan shalat itu tidak mungkin dikerjakan kecuali
harus dengan thaharah, maka pada ayat ke-6 dari al-Maaidah ini menyebutkan syarat-syarat wudhu...

Tafsir Ayat Wudhu:


Allah berfirman: )

Hai orang-orang yang beriman, yaitu memanggil

orang-orang yang beriman saja, karena hanya merekalah yang diharapkan bisa konsukwen melaksanakan hukum-hukum Allah,
terutama pada hukum thaharah (bersuci) dengan tiga kategorinya: Wudhu, mandi junub dan tayammum, seperti berikut:

Pembahasan I: Hukum-Hukum Wudhu


Firman Allah: )

apabila kamu bangun hendak mengerjakan

shalat: Kata imam al-Qurthubi[2]: Ulama berbeda pendapat dalam memahami maksud firman Allah ini kepada beberapa
mazhab:

1)

Mazhab pertama: Mengatakan lafadz ini berlaku umum pada setiap kali hendak mengerjakan shalat, baik punya
wudhu atau tidak punya wudhu, maka baginya harus mengambil wudhu setiap hendak mengerjakan shalat, dan adalah Ali ra
melakukan hal itu sambil membacakan ayat ini, riwayat ini disebutkan oleh Abu Mohammad ad-Darami dalam musnadnya.
Sedangkan Ibn Sirin mengatakan: Adalah semua khalifah mengambil wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat.

2)

Mazhab kedua: Hukum ayat ini hanya berlaku khusus kepada nabi SAW: Berkata Abdullah bin Handzalah bin
Abu Amer al-Ghasil: Bahwasanya nabi SAW telah memerintahkan berwudhu setiap kali hendak mengerjaka shalat maka nabi
merasakan hal itu sulit, lalu memerintahkan dengan bersiwak dan membebaskannya dari wudhu kecuali orang yang berhadats
(tidak mempunyai wudhu).
Kata Alqamah bin al-Faghwaa dari bapaknya dia adalah salah seorang sahabat, dan pernah menjadi guide rasulullah SAW
ketika pergi ke Tabuk: Ayat ini diturunkan sebagai keringanan kepada rasulullah SAW, karena Beliau tidak mengerjakan suatu
pekerjaan kecuali harus selalu berwudhu, Beliau tidak mau berbicara dengan siapapun, tidak mau membalas salam dan
seterusnya, maka Allah menyampaikannya dengan ayat ini bahwa wudhu itu hanya untuk mengerjakan shalat saja bukan untuk
semua pekerjaan.

3)

Mazhab ketiga: Yang dimaksudkan dengan ayat mengambil wudhu untuk setiap shalat adalah untuk mencari
keutamaan, golongan ini menjadikan hal ini sebagai sunnah, dan adalah banyak dari sahabat termasuk Ibn Umar mengambil
wudhu setiap kali mereka hendak mengerjakan shalat sebagai mencari keutamaan, dan rasulullah SAW mengerjakan hal seperti
itu sampai Beliau menjama antara shalat lima waktu pada hari pembebasan kota Makkah dengan satu wudhu, dimaksudkan
memberitahukan kepada umat nabi SAW

[3].

Ada pula mazhab lain yang mengatakan: Bahwa fardu mengambil wudhu adalah memang untuk setiap kali shalat (pada awalnyapen) kemudian dihapuskan pada hari pembebasan kota Makkah. Kata al-Qurthubi: pendapat ini salah oleh dua riwayat berikut:

a) Dari Anas ra mengatakan: Adalah rasulullah SAW mengambil wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat, sedangkan umatnya
tidak demikian.
b) Hadits Suwaid bin an-Numan: Bahwa nabi SAW pernah mengerjakan shalat Ashar di waktu Maghrib dengan satu wudhu, waktu
itu di perang khaibar, yaitu tahun ke-6, dan ada mengatakan: Tahun ke-7, sedangkan pembebasan kota Makkah terjadi pada tahun
ke-8, dan ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Malik dalamMuwatthanya, dan dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim.

Maka jelas dari dua hadits ini bahwa kewajiban wudhu untuk setiap kali shalat itu tidak ada sebelum pembebasan kota Makkah.
Sebuah hadits dikeluarkan Muslim: Dari Buraidah bin al-Hashib bahwasanya rasulullah SAW mengambil wudhu setiap kali
hendak mengerjakan shalat, maka ketika hari pembebasan Makkah Beliau SAW mengerjakan beberapa shalat dengan satu
wudhu, dan menyapu kedua khof (sepatu panjang atau kos kaki terbuat dari kulit), lalu Umar ra bertanya: Engkau telah berbuat
sesuatu hari ini yang tidak pernah engkau lakukan sebelumnya, maka nabi bersabda: Saya sengaja melakukannya hai Umar.
Kenapa Umar menanyakan dan meminta penjelasan Beliau? Ada mengatakan bahwa: Umar menanyakannya karena nabi
mengerjakan sesuatu berbeda dari kebiasaan Beliau sejak shalatnya di Khaibar, Wallahualam[4].

Hadits lain, diriwayatkan oleh at-Tizmizi dari Anas bahwasanya nabi SAW selalu berwudhu setiap kali mengerjakan shalat baik
suci atau tidak suci, Hamid berkata: Saya menanyakan kepada Anas: Dan kalian sendiri bagaimana mengerjakannya? Anas
menjawab: Kami mengerjakan satu wudhu saja[5]. Telah diriwayatkan pula dari nabi SAW bersabda: Wudhu di atas wudhu itu

cahaya, maka rasulullah SAW senantiasa memperbaharui wudhu setiap kali hendak mengerjakan shalat. Dan adalah sesorang
memberi salam ketika nabi sedang buang hajat dan tidak membalasnya sampai selesai mengambil tayammum baru kemudian
nabi membalas salam dan bersabda: Saya tidak biasa menyebut nama Allah kecuali saya dalam keadaan suci[6].

4)

Pendapat lain dari as-Suddi dan Zaid bin Aslam: Arti ayat
) apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat, yaitu dari tidur.
Dan ayat dalam tawil ini menunjukkan adanya penyederhanaan kalimat (taqdim dan takhir), opsinya adalah: Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat dari tidur, atau habis buang air atau menyentuh perempuan sentuhan ringan -, maka basuhlah. Maka selesailah hukum hadats bagi yang berhadats kecil.
Kemudian menambahkan dari firman Allah:

dan jika kamu junub maka mandilah dan ini

adalah hukum yang lain, kemudian Allah menyebutkan untuk kedua hukum sekaligus berfirman: dan jika kamu sakit atau
dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih) [7].

5)

Pendapat Jumhur Uluma: Arti ayat apabila kamu bangun hendak mengerjakan shalat sedang kamu
dalam keadaan hadats, jadi tidak ada di dalam ayat ini taqdim dan takhir, tetapi ayat mengatur hukum bila terdapat air sampai
firman Allah: maka mandilah dan termasuk di sini bersentuhan ringan dari arti firman Allah jika kamu dalam keadaan
hadats. Kemudian tokoh pendapat ini menyebut setelah membacakan firman Allah: dan jika kamu junub maka mandilah, ini
mengatur jika tidak terdapat air dari kedua jenis hukum sekaligus, dan menyentuh perempuan di sini adalah bercinta (ML), dan
harus menyebutkan junub hal tidak terdapat air sebagaimana menyebutkan bila terdapat air, Dan ini adalah tafsir imam Syafii
dan sejawatnya, dan pendapat ini sejalan dengan pendapat-pendapat sahabat, seperti: Saad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abu
Musa al-Asyari, dan lain-lain...
Al-Qurthubi berkomentar: Kedua penafsiran di atas terbaik dalam memahami ayat, wallahualam, dan arti apabila kamu bangun apabila kamu hendak, sebagaimana firman Allah: Apabila kamu membaca al-Quran maka minta berlindunglah, yaitu apabila
kamu hendak, karena wudhu dalam keadaan shalat itu tidak mungkin[8].

Anggota-anggota Wudhu:
Allah

berfirman: )

hendak mengerjakan shalat, maka

basulah mukamu, Allah SWT menyebutkan empat anggota wudhu: Wajib membasuh muka, demikia juga
membasuh kedua tangan, wajib menyapu kepala menurut kesepakatan, dan ulama berbeda dalam kasus kedua kaki,
penjelasannya menyusul. Allah SWT tidak menyebutkan selain yang empat ini menunjukkan bahwa selain dari pada itu adalah
bagian dari adab dan sunnah-sunnah

[9].

Adapun keempat anggota wudhu, sebagai berikut:

I. Membasuh Muka (Wajah):


Muka (wajah) menurut bahasa dari kata al-muawajahah (bertatap muka), yaitu bagian dari badan yang mempunyai anggotaanggota tertentu, memiliki panjang dan lebar. Kemudian khusus untuk muka (wajah) mempunyai hukum-hukum, sebagai berikut:

a) Ukuran panjang: Dari permukaan dahi sampai kepada ujung dagu, dan lebarnya dari telinga sampai ke telingan yang lain, ini bagi
yang tidak memiliki berjenggot (klimis).

b) Bagi yang berjenggot: Jika dagu ditumbuhi oleh bulu-bulu, maka tidak terlepas dari hukum tipis atau lebat, kalau dagu ditumbuhi
rambut-rambut tipis, maka harus menyampaikan air kepada kulit dagu.

c) Jika jenggot tebal, maka hukumnya menjadi hukum rambut kepala dan harus diusap-usap jenggot. Kata Ibn Abdelhakam:
Mengusap-usap jenggot wajib pada wudhu dan mandi. Kata Abu Umar: Diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau
mengusap-usap jenggotnya dalam wudhu dari bagian muka semuanya secara lembut

[10].

Sedangkan Ibn Khoweiz membantah dan mengatakan: Bahwa ahli fiqhi sepakat bahwa mengusap-usap jenggot bukanlah wajib
dalam wudhu, kecuali sedikit, diriwayatkan dari Said bin Jabier, mengatakan: Apa alasan orang mengusap jenggotnya sebelum
tumbuh, karena apabila sudah tumbuh dia tidak mengusapnya, dan apa alasan orang yang tidak berjenggot membasuh dagunya
sedangkan tidak membasuhnya bagi orang yang mempunyai jenggot?

Kata at-Thahawi: Tayyammum wajib menyapu kulit sebelum ditumbuhi bulu pada muka kemudian selanjutnya hukum itu gugur
pada semuanya. Demikian juga wudhu. Kata Abu Umar: Siapa yang menjadikan membasuh jenggot semuanya wajib ia
menjadikannya bagian dari muka, karena muka berasal dari kata al-muwajahah, sedangkan Allah memerintahkan membasuh
muka secara mutlak tidak mengkhususkan orang yang mempunyai jenggot dari yang klimis: Maka wajib membasuhnya dengan
dalil al-Quran karena jenggot itu menggantikan dari kulit muka.

[11]: Pada kasus ini ada beberapa pendapat, Hadits diriwayatka dari nabi SAW bahwa Beliau
membasuh jenggotnya[12], maka terjadi beberapa spekulasi, Ibn al-Munzir menceritakan dari Ishaq bahwa orang yang
Al-Qurthubi mengomentari

meninggalkan mengusap-usap jenggotnya dengan sengaja maka harus diulang, dan diriwayatkan oleh Tirmizi dari Utsman bin
Affan bahwasaya nabi SAW selalu mengusap-usap jenggotnya

[13]. Abu Umar berkata: Bagi yang tidak mewajibkan

membasuh bagian jenggot maka ia menganggap bahwa asli perintah membasuh kulit, maka wajib membasuh apa yang nampak
pada permukaan kulit, dan apa yang ada dibawah jenggot tidak perlu dibasuhnya, dan membasuh permukaan jenggot sebagai
ganti dari padanya.

d) Niat

[14]:

Para jumhur ulama mengharuskan niat pada wudhu, berdasarkan sabda rasulullah SAW:

) sesungguhnya segala perbuatan harus disertai dengan niat. Kata Bukhari: Termasuk di dalamnya iman, wudhu, shalat,

zakat, haji, puasa, dan hukum-hukum yang lain, dan Allah berfirman: )

Katakanlah

semuanya bekerja sesuai karakternya, yakni berdasarkan niatnya.


Dan sabda nabi SAW: akan tetapi jihad dan niat, lalu sebagian Syafii berkata: Tidak perlu niat, ini adalah pendapat Hanafiyah,
mengatakan: Tidak wajib hukumnya niat kecuali pada amalan fardu yang dimaksudkan dan janganlah menjadikan syarat untuk
selainnya, adapun yang menjadi syarat untuk shahnya amalan tertentu maka tidak diwajibkan niat padanya yang setara dengan
amalan yang diperintahkan itukecuali ada dalil yang menyertainya. Sedangkan thaharah itu syarat, maka orang yang tidak wajib
shalat tidak dikenakan fardu thaharah, seperti orang haid dan nifas

[15].

apabila kamu
bangun hendak mengerjakan shalat, maka basulah mukamu, maka
Ulama Maliki dan Syafii berargumen dengan firman Allah SWT: )

ketika Allah mewajibkan membasuh maka adalah niat telah menjadi syarat pada shahnya perbuatan itu, karena fardu dari sisi
Allah haruslah menjadi wajib pada amalan yang diperintahkan Allah dengannya.

Maka jika dikatakan: Bahwa niat tidak diwajibkan atasnya maka tidak wajib kepada yang dimaksudkannya yaitu mengengerjakan
perintah Allah, dan sebagaimana diketahui bahwa orang yang mandi sambil menahan dingin atau hal lain, ia berniat
melaksanakan kewajiban. Benarlah hadits: Bahwasanya wudhu itu menghapuskan dosa, jika itu bisa dilakukan tanpa niat maka
tidak akan menjadi penghapus, dan Allah berfirman: ) Dan tidaklah diperintahkan kamu
kecuali untuk menyembah Allah ikhlas dalam menjalankan agama-Nya

[16].

II. Membasuh Dua Tangan sampai Kedua Siku:


Firman Allah: )

dan tanganmu sampai dengan siku, orang-orang berbeda

dalam membatasi sampai dengan siku, maka ada golongan mengatakan: Benar sampai dengan siku, karena setiap kalimat
setelah ) apabila sejenis dari kalimat sebelumnya maka termasuk kedalamnya (Sibawiyah

[17] dll..)

Ada pula mengatakan tidak termasuk kedua siku pada wajib dibasuh, kedua riwayat ini disandarkan dari Malik, riwayat kedua
diprakarsai oleh Asyhab, dan yang pertama oleh kebanyakan ulama dan yang paling shah, sesuai riwayat dari ad-Daraqathni dari
Jabir bahwasanya nabi SAW apabila berwudhu Beliau mengedarkan air atas kedua sikunya.

III. Menyapu Kepala:


Firman Allah: )

dan sapulah kepalamu,

kalimat ) menyapu dipergunakan

dalam bahasa Arab pada banyak pengertian, bisa berarti ) bercinta, dikatakan: ) laki-laki

meremas-remas perempuan apabila bercinta dengannya. Dan ) memotong, seperti )


menyentuh sesuatu dengan pedang dan memotongnya dengannya, dan lain sebagainya...

dia

Dan yang dimaksud ) menyapu di sini adalah mengedarkan tangan atas bagian yang disapu secara khusus, dan apabila
mempergunakan alat maka berarti memindahkan alat ke tangan dan mengedarkannya kepada bagian-bagian yang disapu, yaitu
sesuai yang dimaksudkan firman Allah surah al-Maaidah yang sedang dikaji ini

[18].

Adapun ) kepala, adalah sebutan yang telah diketahui manusia secara pasti dan di antaranya adalah muka (wajah), maka
ketika Allah SWT menyebutnya sebagai salah satu anggota wudhu dan telah menetapkan muka (wajah) untuk disapu, maka
tinggallah sebagian kepala yang harus disapu, seandainya Allah tidak menyebut muka disapu maka wajiblah menyapu semua
kepala, termasuk padanya rambut-rambut kepala, kedua mata, hidung dan mulut.

Imam Malik sebelumnya telah mengisyaratkan kewajiban menyapu kepala dengan keterangan yang disebutkan ini, karena
ditanya tentang orang yang meninggalkan membasuh sebagian kepalanya dalam wudhu maka menerangkan: Lihatkah kamu
apabila seseorang meninggalkan membasuh sebagian mukanya apakah itu dibolehkan?

Lalu Malik menjelaskan seperti dijelaskan di atas bahwa kedua telinga adalah bagian dari kepala, dan hukum keduanya adalah
hukum kepala. Berbeda dengan az-Zahri, mengatakan: Kedua telinga bagian daripada muka maka keduanya disapu bersamanya,
berbeda juga dengan as-Syabi, mengatakan: Saya tidak dapat menerima kalau kedua telinga itu dari muka tetapi keduanya
bagian dari kepala, dan ini juga pendapat al-Hassan dan Ishaq...

[19]

Hukum-hukum dalam Menyapu Kepala:


A. Para ulama sepakat bahwa siapa yang menyapu kepalanya semuanya maka sangat baik dan telah mengerjakan yang selazimnya.
Dan imam Syafii berkata: Firman Allah )

dan sapulah kepalamu,

bisa berarti

sebagian kepala dan menyapu semuanya, lalu sunnah menunjukkan bahwa membasuh sebagiannya dibolehkan, yaitu bahwasanya
nabi SAW menyapu ubun-ubunnya...

B. Jumhur ulama membolehkan membasuh kepala sekali saja sudah cukup, dan imam Syafii mengharuskan membasuh kepala tiga
kali, berdasarkan riwayat dari Anas, Said bin Jabier, dan Athaa. Sedangkan Ibn Sirin menyapu kepala dua kali. Kata Abu Daud:
Hadits-hadits Utsman yang shah semuanya menunjukkan bahwa membasuh kepala hanya sekali: Lalu mereka menyebutkan
wudhu tiga kali, sebagian hadits-hadits itu mengatakan menyapu kepalanya dan tidak menyebutkan jumlah.

C. Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan dari mana memulai dengan menyapu kepala, sebagai berikut

[20]:

1) Imam Malik mengatakan: Dimulai dari bagian depan kepala, kemudian menarik dengan kedua tangannya kebagian belakang
kepala, lalu mengembalikan keduanya kebagian depan kepala, sesuai hadits Abdullah bin Zaid dikeluarkan oleh Muslim.
Pendapat ini pula dipakai oleh Syafii dan Ibn Hanbal.

2) Al-Hassan bin Hay mengatakan: dimulai dari bagian belakan kepala, dari hadits ar-Rabi binti Muawwiz bin Afraa, yaitu hadits
yag berbeda-beda lafadznya. Ada juga memulai dari pertengahan kepala.

Kata al-Qurthubi: Dan yang paling shah dalam kasus ini adalah hadits Abdullah bin Zaid, dia juga membolehkan sebagian kepala
saja tetapi dari bagian depannya. Diriwayatkan dari Ibrahim dan as-Syabi keduanya berkata: Dari bagian mana saja kepala kamu
sapu maka itu sudah boleh. Dan Umar menyapu ubun-ubunny saja.

D. Kesepakatan para ulama bahwa yang paling baik dilakukan adalah menyapu kepala dengan kedua tangan sekaligus, dan
membolehkan menyapu dengan satu tangan. Namun, mereka berbeda pada orang yang menyapu kepala dengan satu jari sehingga
menyebar bahwa boleh melakukan hanya untuk kepala saja, maka masyhur bahwa hal itu boleh melakukan, yaitu pendapat
Sufyan at-Tsauri, berkata: Bahwa menyapu kepala dengan satu jari diperbolehkan. Lalu ada pula mengatakan hal itu tidak boleh,
karena bertentangan dengan ketentuan menyapu dan seakan-akan mempermainkan, kecuali hal itu darurat karena sakit maka
tetap harus memperhatikan bagian-bagian yang harus disapu. Berkata Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Mohammad: Tidak boleh
menyapu kepala dengan kurang dari tiga jari tangan

[21].

E. Kedua telinga adalah bagian dari kepala menurut Malik, Ahmad, at-Tsauri, Abu hanifah, dan selain mereka, kemudian mereka
berbeda pendapat tentang memperbaharui air:

a) Imam Malik dan Ahmad berpendapat: Kedua telinga disapu dengan air yang baru bukan dari air yang dipakai menyapu kepala,
sebagaimana dilakukan oleh Ibn Umar, pendapat ini didukung juga oleh Syafii dalam memperbaharui air, dan berkata: Adalah
sunnah untuk keduanya bukan bagian dari muka dan kepala, karena kesepakatan ulama pada kasus bahwa tidak dicukur pada apa
yang ada atas keduanya dari bulu-bulu ketika haji. Pendapat Abu Tsaur pada kasus ini sama dengan pendapat Syafii.

b) Kata at-Tsauri dan Abu Hanifah: Keduanya disapu bersama dengan kepala dengan satu air, dan diriwayatkan dari kelompok
beberapa ulama salaf dari sahabat dan tabiin seperti pendapat ini.

c) Kata Daud: Bahwa menyapu kedua telinga adalah baik, dan jika tidak maka tidak apa-apa, karena keduanya tidak ada disebutkan di
dalam al-Quran

[22].

d) Ada pula yang berpendapat: Telinga adalah sebutan dari kepala, dan telah disebutkan oleh banyak hadits shahih dalam kitab anNasaai dan Abu Daud serta selain keduanya: Bahwasanya nabi SAW menyapu zahir dan batin kedua telinga, dan Beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam dua telinganya, Pemilik pendapat ini menunjukkan bahwa kedua telinga tidak disebutkan
dalam al-Quran karena keduanya bukan fardu seperti menyapu muka dan kedua tangan, hanya ditetapkan sebagai sunnah
menyapu keduanya dengan sunnah rasul.

Dan para ahlul ilmi tidak menyukai bagi orang yang berwudhu meninggalkan menyapu kedua telinganya dan memasukkannya
sebagai orang yang meninggalkan sunnah dari sunnah-sunnah nabi SAW. Serta ulama tidak menganjurkan mengulang-ulang
menyapu telinga kecuali Ishaq yang mengatakan: Bahwa orang yang meninggalkan menyapu kedua telinganya tidak boleh
baginya, Ahmad berkata: Bahwa yang meninggalkan menyapu kedua telinga saya harap untuk mengulanginya

[23].

F. Dalil-Dalil Tentang Membasuh Telinga:


1. Kedua telinga bagian dari muka, hadits dari nabi SAW bahwasanya beliau berdoa dalam sujudnya:
) Saya sujudkan mukaku kepada (Allah) yang menciptakannya dan membentuknya, dan melengkapi pendengarannya
dan penglihatannya, maka nabi menambahkan telinga kepada muka menunjukkan keduanya masuk hukum muka. Dan didalam
Mushnaf Abu Daud dari hadits Utsman: Maka dia membasu batin dan zahir kedua telinganya sekali, kemudian membasuh kedua
kakinya, lalu mengatakan: Mana yang bertanya tentang wudhu? Beginilah saya melihat rasulullah SAW berwudhu.
2. Zahir kedua telinga dibasuh bersama muka, sedangkan batinnya disapu bersama kepala, karena Allah SWT memerintahkan
membasuh muka dan memerintahkan menyapu kepala, maka apa yang ada dimukamu dari kedua telinga maka wajib
membasuhnya, karena it bagian dari pada muka, dan apa yang tidak berada dimuka maka wajib menyapunya karena itu bagian
dari kepala. Pendapat ini bertentangan dengan atsar dari nabi karena Beliau SAW menyapu zahir dan batin kedua telinganya
berdasarkan hadits Ali, Utsman, Ibn Abbas, ar-Rabi, dan selainnya.
3. Kedua telinga bagian dari kepala, sebagaimana sabda nabi SAW dari hadits as-Shanaabahi: Apabila nabi menyapu kepalanya maka
keluar dosa-dosa dari kepalanya sehingga keluar dari kedua telinganya

[24].

IV. Menyapu Kedua Kaki sampai Kedua mata Kaki:


wa Arjulakum (dan kakimu), Nafi, Ibn Amer dan al-Kisai
membaca: ) wa Arjulakum dengan nashab (baris atas), dan riwayat al-Walid bin Muslim dari Nafi
membaca:) wa Arjulukum dengan rafa (baris dhammah) dan ini juga bacaan al-Hassan dan alAmasy
Sulaiman.
Sedangkan
Ibn
Katsir,
Abu
Amr
dan
Hamzah
membacanya: ) wa
Arjulikum dengan baris kasrah/ bawah[25].
Firman

Allah: )

Hukum-Hukum Menyapu Kedua Kaki:


Dari perbedaan-perbedaan bacaan di atas, berbeda pula para sahabat dan tabiin mengeluarkan pendapatnya, sebagai
berikut[26]:

1. Bagi yang membaca dengan nashab (baris atas), menjadikannya umum ) dan mendasari pendapatnya bahwa yang fardu
dalam kasus kedua kaki adalah membasuh bukan menyapu, dan inilah pendapat jumhur dan mayoritas ulama, yaitu sifat wudhu
yang telah diperagakan oleh nabi SAW dengan perkataan dan perbuatannya, Beliau pernah melihat orang-orang berwudhu

meninggalkan tumitnya: Nabi mencela dan memanggil dengan suara yang tinggi bersabda:
) Binasalah orang yang berwudhu meninggalkan tumit itu dari neraka, maka basulah pada wudhu. Kemudian Allah SWT
memberi batas kepada kedua mata kaki sebagaimana juga berfirman pada kedua tangan sampai kepada kedua siku menunjukkan
atas wajib membasuh keduanya,wallahualam.

2. Bagi yang membaca dengan bari bawah menjadikan huruf ) sebagai amil, Ibn al-Arabi mengatakan: Para ulama sepakat bahwa
yang wajib adalah membasuh keduanya, saya tidak mengetahui ada yang menolak pendapat ini kecuali hanya at-Thabari dari ahli
fiqhi Islam, dan ada juga selainnya dari golongan ar-Rafidhah, dan at-thabari sangat getol membaca ayat ini dengan baris di
bawah[27].

Al-Qurthubi berkomentar: Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra mengatakan: Wudhu itu membasuh dua anggota dan
menyapu dua anggota, dan diriwayatkan pula bahwa adalah al-Hajjaj telah berkhutbah dengan bersemangat dan menguraikan
wudhu mengatakan: Basuhlah mukamu dan kedua tanganmu, dan sapulah kepalamu dan kedua kakimu, karena tiada satupun dari
anak cucu Adam lebih dekat dari kotorannya dari kedua kakinya, maka basulah batin dan zahir keduanya, lalu Anas bin Malik
mendengar dan mengatakan: Maha Benar Allah dan telah berbohong al-Hajjaj.

Allah berfirman: ) dan sapulah kepalamu dan kedua kakimu. Berkata: Adalah nabi SAW apabila
menyapu kedua kakinya Beliau membasahi keduanya, dan diriwayatkan dari Anas juga mengatakan: Al-Quran turun dengan
perintah menyapu, sedangkan sunnah memerintahkan dengan membasuh, dan adalah Ikrimah menyapu kedua kakinya dan
berkata: Tidak ada perintah pada kedua kaki dibasuh tetapi pada keduanya adalah perintah menyapu, dan Amer as-Syabi
berkata: Jibril menurunkan al-Quran dengan menyapu, tidakah anda melihat bahwa tayammum itu menyapu padanya apa yang
dibasuh, dan meniadakan apa yang disapu.

Kata Qatadah: Allah menfardukan dua yang dibasuh dan dua yang disapu. Sedangkan Ibn Jarir at-Thabari berpendapat:
Bahwa yang wajib pada keduanya adalah pilihan antara membasuh dan menyapu, dan menjadikan kedua bacaan sebagai dua
riwayat yang sama. An-Nuhas mengatakan: Dan yang paling baik dikatakan pada kasus bahwa menyapu dan membasuh adalah
keduanya wajib semua, maka menyapu wajib bagi yang membaca ayat dengan baris bawah, sedangkan membasuh wajib bagi
yang membaca dengan baris nashab (baris atas), dan kedua bacaan tersebut setara dengan dua ayat.

Kata Ibn Athiyah: Golongan yang membaca dengan kasrah (baris bawah) berpendapat bahwa menyapu kedua kaki
adalah membasuh[28].

Kata al-Qurthubi: Menurutku, dan adalah yang paling benar: Bahwa kalimat ) berarti ganda: Bisa berarti menyapu,
dan juga berarti membasuh. Kata al-Harawi: Al-Azhari mengatakan kepada kami, Abu Bakar Mohamed bin Utsman bin Said adDari mengatakan kepada kami dari Abu Hatem dari Abu zaid al-Anshari berkata: ) dalam bahasa Arab dapat berarti
membasuh dan menyapu... Wallahualam.

Firman Allah: )

Sampai dengan Kedua Mata Kaki:

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedua mata kaki, dan jumhur memastikan bahwa keduanya adalah dua
tulang yang menonjol pada kedua bagian samping kaki, dan al-Ashmai menentang pendapat ini dan mengatakan: Bahwa mata
kaki itu terdapat pada punggung kaki, ia mengatakannya pada kitab as-Shahhah. Dan diriwayatkan dari Ibn al-Qasim, yang
juga dikatakan Mohamed bin al-Hassan, berkata Ibn Athiyah: Saya tidak mengetahui ada orang yang menjadikan batasan wudhu
sampai kepada bagian ini, tetapi Abdelwahab pada kitab at-Talqin menuliskannya dengan kalimat yang didalamnya terdapat
percampur-adukan dan leganda fiksi[29].

Imam Syafii mengatakan: Saya tidak mengetahui ada orang menentang bahwa kedua mata kaki adalah dua tulang pada
persendian betis, kata at-Thabari dari Yunus dari Asyhab dari Malik: Mata kaki adalah yang keduanya menjadi wajib wudhu,
yaitu dua tulang yang lengket pada bagian betis, mengapit bagi tumit, dan mata kaki bukanlah berada pada permukaan kaki.

Kata al-Qurthubi mengomentari: Inilah pendapat yang benar dari tinjauan bahasa dan sunnah, karena mata kaki dalam
ucapan Arab diambil dari ketinggian dan dari istilah itu juga disebut al-Kabah, dan kaab bagi wanita apabila telah mekar buah
dadanya...[30]

Hukum-Hukum Menyapu Kedua Kaki:


Berkata Ibn Wahab: Menyelah-nyelah jari-jari kaki sangat disukai dan hendaklah melakukan itu juga pada jari-jari
tangan, berkata Ibn al-Qasim dari Malik: Barangsiapa yang tidak menyelah-nyelah jari-jari kedua kakinya maka itu tidak
dibolehkan atasnya, dan berkata Mohammad bin Khalid dari Ibn al-Qasim dari Malik tentang orang yang berwudhu di sungai
hanya menggerak-gerakan kedua kakinya: Sesungguhnya ia tidak dibolehkan sampai mebasuh keduanya dengan kedua
tangannya. Lalu Ibn al-Qasim mengatakan: Jika ia sanggup membasuh salah satunya dari kakinya yang lain maka itu boleh.

Saya mengatakan (al-Qurthubi-pen): Yang shahih bahwa tidak dibolehkan pada keduanya kecuali membasuh keduanya
seperti bagian kaki yang lain karena itu termasuk bagian kaki, sebagaimana pada jari-jari tangan termasuk bagian dari tangan,
serta tidak dianggap dengan melakukan pada jari-jari kedua tangan sedangkan melalaikan pada jari-jari kedua kaki, karena
manusia diperintahkan membasuh kaki semuanya seperti juga diperintahkan membasuh tangan semuanya.

Telah diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau apabila berwudhu menggosok-gosok jari-jari kedua kakinya
dengan jari kelingkingnya, sebagaimana juga diketahui bahwa Beliau SAW membasu kedua kakinya, dan ini menunjukkan
keumumam.

Dan adalah Malik pada akhir hayatnya menggosok-gosok jari-jari kedua kakinya dengan kelingkingnya atau dengan
sebagian jari-jarinya sebagai pengamalan hadits yang didengarkannya: Abu Abderrahman al-Habali dari al-Mustaurid bin
Syaddad al-Qurasyi berkata: Saya melihat rasulullah SAW berwudhu maka Beliau menyelah-nyelah antara jari-jari kedua
kakinya[31]. Berkata Ibn Wahab: Malik mengatakan kepada saya: Sesungguhnya inilah yang paling tepat, dan saya tidak
mendengarkannya kecuali baru-baru ini saja. Lalu berkata lagi Ibn Wahab: Dan saya dengar setelah itu ia ditanya tentang
menyelah-nyelah jari-jari pada wudhu maka memerintahkan hal itu.

Dan Huzaifah telah meriwayatkan bahwasanya nabi SAW bersabda: Selah-selahlah antara jari-jari maka tidak akan
diselah-selahnya api neraka, dan ini adalah sebuah nash tentang ancaman atas orang yang meninggalkan menyelah-nyelah. Maka
benarlah apa yang telah kita katakan kata al-Qurthubi ...[32]

Faedah-Faedah Yang Dapat di Ambil dari Kandungan Ayat


wudhu:
1)

Runtun antara anggota-anggota wudhu:

Yaitu menyertakan bagi orang yang

berwudhu pekerjaan demi pekerjaan sampai selesai tanpa ada spasi di antara selah-selahnya, dan tidak memisahkan dengan
pekerjaan lain yang bukan bagian dari padanya. Berbeda pendapat para ulama pada masalah ini: Berkata Ibn Abi Salamah dan
Ibn Wahab: Yang demikian itu termasuk bagian dari fardu wudhu dalam mengingat dan melupakan, maka barang siapa yang
memisahkan antara anggota-anggota wudhunya dengan sengaja atau lupa maka tidak dibolehkannya. Adapun Ibn Abdelhakam
mengatakan: Dibolehkannya bagi yang lupa dan sengaja.

Sedangkan kata Malik pada kitab al-Mudawwanah dan kitab Mohammad: Bahwa hukum runtun dijatuhkan, itu juga pendapat
Syafii. Berkata Malik dan Ibn al-Qasim: Jika memisahkannya karena sengaja tidak dibolehkan, dan dibolehkan bagi yang lupa,
kata Malik pula dari riwayat Ibn Habib: Dibolehkannya pada anggota yang dibasuh, dan tidak dibolehkan pada anggota yang
disapu. Kata al-Qurthubi: Dari pendapat-pendapat di atas saya mendasarkan pendapat saya[33]:

a)

Pertama: Bahwasanya Allah SWT memerintahkan perintah secara mutlak, mau runtun atau memisah-misahkan, dan yang
dimaksudkan adalah membasuh pada setiap anggota-anggota wudhu ketika hendak mengerjakan shalat.

b)

Kedua: Wudhu merupakan ibadah yang mempunyai rukun-rukun yang berbeda-beda maka wajib padanya runtun seperti
shalat, dan inilah pendapat yang paling benar, wallahualam[34].

2)

Tertib pada anggota-anggota wudhu: Berbeda pendapat para ulama fiqhi tentang hukum
tertib pada anggota-anggota wudhu ini, sebagai berikut:

a. Al-Abhari berpendapat: Tertib itu sunnah, karena kenyataan mazhab membolehkan terbalik pada anggota wudhu bagi orang yang
lupa, hanya berbeda pendapat bagi orang yang sengaja; ada yang mengatakan boleh dan harus tertib untuk selanjutnya, kata Abu
bakar al-Qadhi dan pengikutnya: Itu tidak boleh karena sia-sia.

Pendapat inilah dipakai Imam Syafii dan para pengikutnya, dan didukung juga Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaid al-Qasim bin
Sallam, Ishaq dan Abu Tsaur, serta dipilih pula oleh Abu Mashab dan sahabat Malik menyebutnya dalam Mokhtasharnya,
yang diceritakannya dari ulama Madinah dan Malik termasuk diantaranya, tentang orang yang mendahulukan dalam wudhu
kedua tangannya atas mukanya, tidak tertib dalam wudhu sebagaimana susunan ayat, maka harus mengulangi, dan tidak shalat
dengan wudhu itu.

b. Imam Malik dalam berbagai riwayatnya berpendapat, dan yang paling populer mengatakan: Huruf ) pada ayat tidak
menunjukkan penyusulan dan tertib, pendapat ini didukung oleh pengikut-pengikutnya, dan terima juga oleh Abu Hanifah dan
pengikutnya, at-Tsauri, al-Auzai, al-Laitsi bin Saad, al-Mazni dan Daud bin Ali.

c. Ilkiya at-Thabari mengatakan kenyataan firman Allah: )

maka basulah mukamu

dan kedua kakimu, mengharuskan pemisahan dan tertib sebagaimana pendapat yang shahih dari Mazhab
Syafii, yang merupakan mazhab mayoritas ulama.

d. Abu Umar mengatakan: Bahwasanya Imam Malik cenderung meneruskan wudhu sebagaimana adanya untuk segera mengerjakan
shalat, dan tidak melihat tertib itu wajib atasnya, ini adalah kesimpulan mazhabnya. Ali bin Zaid telah meriwayatkan dari Malik
berkata: Barangsiapa yang membasuh kedua tangannya kemudian mukanya, lalu mengingat tertibnya maka mengulangi
membasuh kedua tagannya, tetapi jika tidak mengingat hingga shalat maka mengulangi wudhu dan shalat, Ali menyambung:
Kemudian Malik berkata setelah itu: Tidak perlu mengulang shalat tetapi mengulang wudhu...

e. Dan yang paling shah pada kasus ini: Bahwa tertib patut pada empat sisi: Pertama, memulai dengan apa yang telah dimulai Allah
dengannya, sebagaimana sabda nabi SAW ketika menunaikan haji: Kami memulai dengan apa yang telah dimulai Allah
dengannya; kedua, kesepakatan ulama salaf yang mereka menjaga tertib; ketiga, mensejajarkan wudhu dan shalat; dan keempat,
meneladani rasulullah SAW pada hal itu

3)

[35].

Wudhu dapat diganti dengan tayammum apabila habis


waktu: Pendapat ini hanya dipakai oleh Imam Malik yang mengatakan boleh tayammum pada kasus ini, karena
tayammum pada konsepnya untuk memelihara waktu shalat, dan jika tidak demikian maka wajib menunda shalat sampai
menemukan air. Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan tayammum dalam kasus seperti ini, dengan firman Allah: lalu
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah, sedangkan pada kasus ini terdapat air, maka hilang syarat keharusan
tayammum, dengan demikian tidak boleh tayammum[36].

4)

Menghilangkan najis tidak wajib: Sebagian ulama berargument dengan ayat ini mengatakan
bahwa menghilangkan najis hukumnya tidak wajib, karena firman Allah: ) apabila kamu bangun hendak
mengerjakan shalat, ayat ini tidak menyebutkan istinja (menghilangkan najis) tetapi hanya memerintahkan wudhu, jika
menghilangkan najis itu wajib maka yang pertama diperintahkan adalah istinja. Ini adalah pendapat Mazhab Abu Hanifah, yaitu
riwayat dari Asyhab dari Malik.

Ibn Wahab berkata dari Malik: Menghilangkan najis wajib pada keadaan ingat dan lupa; dan ini juga pendapat Syafii; kata ibn
al-Qasim: Wajib menghilangkannya bagi yang ingat tetapi tidak bagi yang lupa; kata Abu Hanifah: Wajib menghilangkannya
pada kadar tertentu.

Dan paling shahih pendapat Ibn Wahab: Karena nabi SAW pernah bersabda tentang pemilik dua makam: Sesungguhnya
keduanya benar-benar telah disiksa dan keduanya tidak disiksa karena dosa besar, adapun yang pertema disiksa karena suka
menebar gosif, dan yang kedua tidak bersih setiap habis buang air. Jadi tidak disiksa kecuali hanya meninggalkan wajib, dan
tidak ada keterangan dari al-Quran, karena Allah SWT hanya menjelaskan dari ayat wudhu sifat-sifat wudhu secara khusus, dan
tidak mencakup hukum menghilagkan najis dan yang lainnya[37].

5)

Menyapu kedua Sepatu (khof[38]): Ayat ini juga menunjukkan hukum menyapu kedua
sepatu khof. Imam Malik pada kasus ini mempunyai tiga riwayat:

a)

Pertama: Tidak membolehkannya secara mutlak, sebagaimana pendapat kelompok Khawarij. Pendapat ini ditolok dan
tidak shah.

b)

Kedua: Menyapu kedua khof dalam keadaan musafir (bepergian), tidak menyapu bagi yang menetap, karena kebanyakan
hadits menganjurkan menyapu dalam keadaan musafir. Dan ada pula hadits tentang sepatu membolehkan menyapu bagi orang
yang menetap, hadits dari Huzaifah mengatakan: Tahukah kamu saya dan rasulullah SAW pernah berjalan, lalu Beliau
mengambil sepatu orang dibelakang dinding, maka berlalu sebagaimana dilakukan orang lain pergi buang air maka saya
mengawasinya, lalu Beliau memberi isyarat padaku maka saya datang dan berdiri dibelakangnya hingga selesai menambahkan
riwayat Lalu Beliau berwudhu dan menyapu atas kedua khofnya [39].

c)

Ketiga: Hadits Syarih bin Hanai berkata: Saya mendatangi Aisyah menanyainya tentang menyapu atas kedua khof, maka
berkata: Pergilah ke Ibn Abu Thalib lalu tanyailah dia: Karena dia pernah melakukan perjalanan bersama rasulullah SAW, maka
kami pun pergi menanyainya dan berkata: Rasulullah SAW menjadikan tiga hari dan tiga malam bagi yang musafir dan seharisemalam bagi yang menetap. Yaitu menyapu bagi yang musafir dan yang menetap[40].

Hukum-hukum khof yang lain:


A. Menurut Malik disapu atas kedua khof bagi musafir tanpa batasan waktu[41]. Kata Ibn Wahab saya telah mendengarkan Malik
berkata: Tidak ada warga kami yang membatasi waktu tentang kasus ini, Abu Daud meriwayatkan dari hadits Ubay bin Imarah
bahwa dia bertanya: Ya, rasulullah apakah saya boleh menyapu kedua khof? Bersabda: Ya tentu, bertanya lagi: Seharikah?
Bersabda: Sehari, bertanya lagi: Dua hari? Bersabda: Dua hari, bertanya lagi: Tiga hari? Bersabda: Ya sampai engkau kehendaki,
pada riwayat lain (Ya, terserah kamu)[42].

B. Menurut Syafii, Ahmad bin Hanbal, an-Numan dan at-Thabari: Disapu bagi yang menetap sehari-semalam, dan bagi yang musafir
tiga hari-tiga malam, berdasarkan hadits Syarih.

C. Sepakat para ulama menyapu kedua khof atas wudhu, dengan hadits al-Mughirah bin Syubah yang mengatakan: Pernah suatu
malam saya dan nabi SAW berjalan-jalan , pada waktu itu saya hendak membuka kedua khofnya maka bersabda: Biarkan saja
keduanya karena saya memasukkan keduanya suci dan menyapu keduanya.

Pembahasan II: Hukum-Hukum mandi junub


dan jika kamu junub

Allah berfirman: )
: Para jumhur dari umat telah sepakat bahwa
junub itu adalah tidak suci sebab keluar air (mani) atau bertemu kedua khitan. Dan diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa
tidak ada mandi kecuali sebab keluar air, dengan sabda rasulullah SAW: Bahwasanya air itu hanya sebab air (HR: Muslim),
sedangkan hadits Bukhari dari Ubay bin Kaab bahwa sanya ia bertanya: Ya rasulullah, apabila seseorang bercinta dengan
isterinya tapi tidak keluar? Bersabda: Harus mandi karena telah menyentuhkan perempuan dari padanya kemudian berwudhu lalu
shalat.

Kata al-Qurthubi: Seperti inilah kesepakatan para ulama dari sahabat dan tabiin serta ahli fiqhi dari berbagai penjuru,
bahwa mandi junub wajib dengan bertemunya dua khitan. Dan memang pernah ada perbedaan pendapat di antara sahabat
kemudian mereka kembali kepada riwayat Aisyah dari nabi SAW bersabda: Apabila duduk di antara cabang-cabangnya yang
empat dan menyentuh dua khitan dari padanya maka wajib mandi. (HR: Muslim). Dan hadits dari Bukhari: Apabila duduk di
antara cabang-cabangnya yang empat kemudian mengusahakannya maka wajib mandi. (Muslim menambahka: walaupun tidak
keluar)[43].


Firman Allah: )

maka mandilah: Memerintahkan mandi dengan air, oleh karena itu Umar dan

Ibn Masud menyatakan bahwa junub tidak dibolehkan dengan tayammum, akan tetapi menunda shalat sehingga mendapatkan
air. Dan para jumhur dari khalayak menepis pernyataan ini: Bahwa kasus ini hanya bagi yang menemukan air, dan disebutkan
juga hukum junub pada kasus tidak ada air dengan firman Allah: ) atau menyentuhperempuan, dan menyentuh di
sini adalah bercinta. Dan benar, Umar dan Ibn Masud keduanya telah kembali kepada pendapat semua orang bahwa junub boleh
tayammum...

Selanjutnya dipertegas oleh hadits Imran bin Hushain menjelaskan kasus ini, yaitu: Sungguh rasulullah SAW melihat
seseorang mengasingkan diri tidak ikut shalat bersama orang lain maka nabi bersabda: Wahai fulan apa yang menghalangi kamu
untuk shalat bersama mereka? lalu menjawab: Ya rasulullah saya sedang junub dan tidak ada air. Bersabda: Hendaklah kamu
memakai tanah yang suci, itu sudah cukup bagimu[44].

Hukum-hukum lain berhubungan dengan mandi junub:


1. Orang junub tidak boleh masuk mesjid; telah diriwayatkan dari nabi SAW bahwasanya Beliau tidak pernah membiarkan seseorang
junub untuk melintasi mesjid dan duduk di dalamnya kecuali Ali bin Abu Thalib ra. Dan diriwayatkan oleh Athiyah al-Aufi dari
Abu Said al-Khadari berkata: Nabi telah bersabda: Tidak pantas bagi seorang muslim untuk junub di dalam mesjid kecuali aku
dan Ali.
Ulama Maliki mengomentari: Kasus tersebut dibolehkan, karena rumah Ali berada di mesjid, sebagaimana juga rumah nabi SAW
berada di mesjid, sekalipun kedua rumah tersebut tidak berada persis di dalam mesjid tetapi berdempetan dengan mesjid dan
pintu keduanya berada di mesjid maka nabi SAW menjadikannya bagian dari mesjid lalu bersabda: Tidak pantas bagi seorang

muslim... seperti hadits di atas. Kata Abdullah bin Umar: Mereka sebenarnya tidak junub di dalam mesjid tetapi junub di rumah
masing-masing.

2. Ulama Maliki tidak membolehkan orang junub membaca al-Quran kecuali sekedar untuk memohon perlindungan. Telah
diriwayatka oleh Musa bin Oqbah dari Nafi dari Ibn Umar berkata: Sabda rasulullah SAW: Hendaklah tidak membaca orang
junub dan haid sesuatu apapun dari al-Quran [45]. Dan hadits dari Ali berkata: Adalah rasulullah SAW tidak diam dari
membaca al-Quran sedikitpun kecuali jika dia sedang junub [46]. Hadits lain dari Ibn Abbas dari Abdullah bin Rawahah:
Bahwasanya rasulullah SAW melarang kepada kita membaca al-Quran dalam keadaan junub.

3. Jumhur ulama dan para ahli fiqhi sepakat: Dibolehkan pada mandi junub menyiram dan membasuh saja seluruh anggota badan
sekalipun tidak menggosok-gosoknya, berdasarkan hadits Maimunah dan Aisyah menyifati mandi nabi SAW. Dan para imam
Mazhab meriwayatkan kedua hadits tersebut mengatakan: Bahwasanya nabi SAW meratakan air pada seluruh tubuhnya, dan itu
juga pendapat Muhammad bin Abdulhakam...

4. Membasuh tangan 7 kali dan faraj (kemaluan) 7 kali: Hadits dari Aisyah dan Maimunah: Bahwasanya nabi SAW setiap mandi
junub membasuh tangannya tujuh kali dan kemaluannya tujuh kali.

5. Niat sebelum mandi junub: Mazhab Malik mengharuskan niat bagi mandi junub, berdasarkan firman Allah: ) maka
mandilah, yaitu perintah berniat dan menyegerakan mandi. Ini adalah pendapat Imam Malik, didukung pula imam Syafii, Ishak
dan Abu Tsaur.

Sebagaiman firman Allah: ) dan tiada diperintahkan kepadamu kecuali menyembah kepada
Allah dengan tulus menjalankan agama: Iklash (tulus) adalah niat dalam mendekatkan diri kepada Allah, dimaksudkannya untuk
mengerjakan apa yang telah diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Hal ini juga telah ditegaskan nabi SAW
dalam sabdanya: Sesungguhnya segala perbuatan harus dengan niat, dan mandi junub adalah perbuatan ketaatan.

6. Kadar air dipakai mandi junub: Imam Malik meriwayatkan dari Ibn Syihab dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah ummul muminin
ra berkata: Bahwasanya rasulullah SAW mandi dari satu wadah yaitu al-farraqu untuk madi junub. Kata Ibn Wahab: alfarraqu sejenis ukuran terbuat dari kayu, kira-kira setara 5 qisth ukuran Bani Umayyah, atau sekarang kira-kira seukuran ember
No. 5 (lima liter). Ini mengisyaratkan tidak berlebih-lebihan mempergunakan air, karena segala yag berlebihan adalah tabsir[47].

Pembahasan III: Hukum-Hukum tayammum[48]


Allah berfirman:
)

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau habis buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu,

sholihatin khofsah
Ads by GoSaveAd Options

Kamis, 06 Juni 2013

makalah tafsir ahkam sholihatin


KEWAJIBAN PUASA BAGI KAUM MUSLIMIN
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
Tugas Tafsir Ahkam

Disusun Oleh :
Sholihatim khofsah (210210021)

Dosen pengampu ;
Luthfi Hadi Aminudin, M.Ag

SYARIAH MUAMALAH 3
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PONOROGO

DESEMBER 2011

PENDAHULUAN

Puasa merupakan terjemahan dari sawm yang secara bahasa mempunyai arti menahan (alimsak) dan meninggalkan sesuatu.
Sedangkan secara istilah puasa sering didefinisikan oleh para fuqaha sebagai penaham diri dari
makan, minum, berhubungan suami istri dan segala hal yang (muftirot) mulai dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari.
Secara garis besar puasa dibagi menjadi dua. Yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Puasa wajib
meliputi puasa ramadhan, puasa kaffarat dan puasa nadhar. Sedangkan puasa sunnah banyak sekali
macamnya meliputi puasa pada hari senin dan kamis, puasa enam hari pada bulan syawal dan lain
sebagainya.
Jika kita renungkan dengan seksama, islam memang merupakan agama yang tidak hanya
mementingkan teori sebagai pedoman hidup, akan tetapi sejalan dengan itu juga mengutamakan
praktek nyata dalam realitas kehidupan. Sebagai ilustrasi, disatu pihak islam mengajarkan urgensi
kebersihan, dan dilain pihak islam juga mewajibkan bersusi (thaharah) melalui wudlu dan mandi junub.
Demikian pula halnya dengan perintah menaruh kepedulian kepada orang lain, khususnya terhadap
kaum fuqara, wa al-miskin, yang antara lain diwujudkan pensyari atau zakat puasa.
Dengan ini dapat kita fahamkan bahwasannya peratuan puasa bukanlah peraturan yang baru
diperbuat setelah Nabi Muhammad SAW diutus saja, melainkan sudah diperintahkan juga kepada
ummat-ummat terdahulu. Meskipun Kitab Taurat tidak menerangkan peraturan puasa sampai kepada
yang terkecil-kecil, namun didalamnya ada pujian dan anjuran kepada manusia agar melaksanakan
puasa.
Dalam makalah saya berikut ini, yang akan membahas tentang ayat-ayat puasa, serta pendapat
beberapa Ulama tentang ayat tersebut.

PEMBAHASAN

A. Ayat Dan Terjemah Qs. Al-Baqarah: 183-184

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwayat atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
184. yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara ada yang sakit atau dalam
perjalan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagiya berpuasa) sebanyak hari yang telah ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): member makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.[1]

Tafsir Al-Mufodat[2]
-

Al- Baqarah: 183

Atas kamu

diwajibkan

(mereka)
Beriman


Dari sebelum
kamu


Atas orangorang yang

Orang-orang
yang

diwajibkan

sebagaimana

Kamu
bertakwa

Al-Baqarah: 184

wahai

berpuasa

Agar kamu


Diantara kamu

lain

Maka barang
siapa

Adalah dia


Dari hari-hari

Seorang miskin

Memberi
makanan

Atau dalam
perjalanan

Kebaikan

Beberapa

sakit


Danatas
orang-orang
yang

Ia mengejakan

bagimu

Yang tertentu

Maka
hitunglah

Fidyah/denda Mereka berat


menjalankannya

Maka ia

Jika kamu

Lebih baik

Maka barang
siapa

Lebih baik

Dan bahwa kamu


berpuasa

baginya

Kamu
mengetahui

A. Asbabun Nuzul

1. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muadz bin Jabal r.a., bahwa ia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw. Tiba
di Madinah lalu ia berpuasa Asyura dan tiga hari setiap bulan, kemudian Allah SWT mewajibkan puasa
Ramadhan, maka turunlah ayat Hai orang-orang yang beriman, diwajubkan atas kamu berpuasa
sehingga dan wajib bagi mereka yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah
(yaitu) member makan seorang miskin,maka siapayang suka berpuasa (berpuasalah ia) dan yang suka

tidak berpuasa (ia pun tidak berpuasa) dan memberi makan seorang miskin, lalu Allah Azza wa Jalla
mewajibkan berpuasa bagi orang yang sehat dan mukim di negerinya, dan tepatlah (ketentuan megganti
puasa yang ditinggalka dengan) memberi makan kepada seorang miskin bagi orang tua yang tidak
kuat berpuasa, maka turunlah ayat maka barang siapa di antara kamu melihat bulan itu, hendaklah ia
berpuasa.[3]
2. Diriwayatkan dari salamah bin Akwa bahwa ia berkata: ketika turun ayat dan wajib bagi mereka yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin, maka siapa yang suka diantara kita berpuasa dan siapa yang suka berbuka dan
membayar fidyahsebagai gantinya, sehingga turunlah ayat berikutnya yang menasakhnya Maka siapa
diantara kamu melihat bulan, hendaklah ia berpuasa.

B. Munasabah

Quran surat al-Baqoroh mulai ayat 183-184 merupakan ayat yang berbicara mengenai hal-hal
yang terkait dengan puasa, utamanya puasa Ramadhan dalam segala dimensinya seperti; waktu
berpuasa, dispensasi bagi yang tidak mampu melakukannya dan apa saja yang boleh dan tidak berada
dalam satu ruku dan diakhiri dengan ungkapan Dan janganlah kamu memakan harta kamu di antara
sesame kamu secara tidak sah, juga janganlah digunakan untuk menyuap para hakim dengan tujuan
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui.Penutup ayat membicarakan puasa ini member petunjuk:
Pertama: bahwa manusia itu memiliki sifat rakus dan boros dalam usaha memperoleh harta dengan
menggunakannya, sehingga ia bisa menghalalkan segala cara untuk memperolehnya dan bila dapat
banyak sering lupa dan tidak tepat dalam menggunkannya.
Kedua: seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa inti dari puasa adalah menahan diri dan nafsu.
Karena itu, puasa dapat dijadikan sebagai katalisator untuk menahan agar perilaku negative berkenaan
dengan harta itu bisa diminimalisir dan tidak berkelanjutan.[4]
Semula, usaha pengumpulan dan perolehan harta sebanyak-banyaknya didorong oleh keinginan
untuk mengisi perut. Namun dalam perkembangannya-seperti yang disaksikan sekarang ini-ternyata
harta-benda merupakan symbol prestise. Nabi dan al-Quran sejak dini telah memperingatkan kepada
manusia agar membatasi keinginan perut, sebab pemenuhan keinginan perut merupakan sumber segala
penyakit, seperti penyakit kelamin, penyakit-penyakit modern seperti asam urat, kolesterol, darah tinggi
dan penyakit psikis seperti namimah, iri dan dengki serta lainnya.
Ayat sebelumnya berbicara mengenai qisas dan kematian. Relasinya dengan puasa adalah karena
kejadian tersebut banyak yang bermula dan diakibatkan dari dan oleh urusan perut. Karena lapar,
seseorang mencuri, membunuh dan menjual imannya dan karena ingin menumpuk harta, seseorang
melakukan korupsi dan lainnya.

Dari keterangan tersebut, kiranya cukup jelas bahwa menjalankan puasa secara benar
merupakan salah satu kiat sukses bagi manusia. Oleh karena itu, puasa bukan saja wajib, tapi juga
kebutuhan manusia semua. Sebab, tidak ada manusia yang memiliki cita-cita untuk gagal dalam
kehidupannya. [5]

C. Kandugan ayat

Telah diwajibkan atas kamu ibadah puasa sebagaimana diwajibkan pula kepada orang-orang
beriman pemeluk agama sebelum kalian, sejak Nabi Adam a.s.
Ayat ini mengandung pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus memberikan dorongan untuk
melaksankannya, memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Dan sesuatu yang berat jika
diwajibkan kepada orang banyak. Maka bagi yang bersangkutan akan menjadi mudah untuk
melakukannya, sekaligus memberikan dorongan kepada mereka untuk melakukannya,
Kemudian Allah menjelaskan manfaat dari ibadah puasa ini hikmah yang terkandung
didalamnya. pada dasarnya diwajibkannya puasa itu kepada kalian agar kalian mempersiakan diri untuk
bertakwa kepada Allah SWT. Caranya adalah maninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal,
demi menjalankan perintah dan mencari pahala-Nya. Dengan demikian, maka mental lkita terlatih
didalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak
melakukannya.[1]

1. Apakah kaun muslimin sudah pernah diwajibkan puasa sebelum (diwajibkan) puasa ramadhan ?
Melihat Zahir (bunyi leksikal) ayat(yaitu) dalam beberapa hari tertentu itu, dapat dipahami
bahwa puasa yang diwajibkan ini adalah puasa Ramadhan.
Namun dari riwayat Qatadah dan Ata, bahwa puasa yang diwajibkan kepada kaum muslimin itu
adalah tiga hati pada setiap bulan, kemudia setelah itu diwajibkanlah puasa Ramadhan. Hal ini
didasarkan pada suatu argument bahwa Allah SWT berfirman dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah:. Ini menunjukan bahwa kewjiban disini
bersifat pilihan (takhyir), sedang Ramadhan merupakan kewajiban yang ditentukan tayin maka sudah
pasti bahwa puasa yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah puasa Ramadhan.
Sedangkan menurut jumhur berargumentasi bahwa firman Allah Diwajibkan atas kamu
puasa ini bersighat mujmal (global), bisa diartikan satu hari, dua hari atau lebih dari itu, tetapi
kemudian dijelaskan dengan firman-Nya pada hari-hari yang tertentu ini juga masih bisa diartikan
seminggu, sebulan dan sebagainya, sehingga Allah menjelaskannya lagi dengan firmanNya Bulan Ramadhan. Maka ini semua adalah menjadi alasan yang jelas bahwa puasa yang diwajibkan
terhadap kaum Muslimin itu adalah puasa dibulan Ramadhan.
2. Kreteria Sakit dan bepergian yang membolehkan berbuka

Allah SWT memperkenankan bagi orang yang sakit dan bepergian dalam Ramadhan sebagai
rahmat dan memberi kemudahan.[2]
Sedang Fuqaha berbeda pendapat tentang sakit dan bepergian yang bagaimanakah yang
memperbolehkan (seseorang) berbuka? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
a. Golongan Zahiriyah berpendapat: sakit dan bepergian secara mutlak, tidak memandang apakak
bepergian itu dekt atau jauh, sakit ringan atau berat, seperti sakit jari atau sakit gigi. Ini menurut riwayat
dari Ata dan Ibnu Sirin. Pendapat ini didasaka pada keumuman ayat Maka barang siapa di antara
kamu ada yang saki atau bepergian. Di sini lafal saki dan bepergian disebutkan secara mutlak tanpa
diikat dengan sifat sakit yang sangat atau bepergian yang jauh, maka sakit dan bepergian yang
bagaimana saja dapat membolehkan berbuka.
b. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa rukhsah (keringanan) ini khusus bagi orang yang sakit, yang kalau
ia tetap berpuasa akan menyebabkan penderitaan dan kepayahan, demikian juga khusus bagi musafir
yang mengalami perjalanan yang memberatkan dan memayahkannya.
c. Jumhur Fuqaha berpendapat, bahwa sakit yang membolehkan berduka itu adalah sakit yang berat yang
dapat menyebabkan bahaya bagi jiwa, atau kalau diteruskan beruasa makan akan menambah sakitnya,
atau dikhawatirkan terlambat sembuhnya, sedang bepergian (yang membolehkan berbuka) yaitu
bepergian jauh yang menurut kebiasaan dapat menyebabkan penderitaan.[3]

3. Bepergian yang membolehkan berbuka puasa


Menurut al-ShafiI dan Ahmad seseorang boleh berbuka puasa (iftar) jika ia bepergian selama
dua hari dua malam dan jarak yang ditempuh kira-kira enam belasfarsakh kira-kira 128 km. pendapat
tersebut didasarkan pada:
a. Terminologi safar dalam syara dipahami sebagai bentuk bepergian yang menimbulkan kepayahan
(mashaqqah), sehingga dibolehkan mengqasrshalat. Sedang kepayahan sehari masih bisa tergantug,
adapun manakala kepayahan itu berulang sampai dua hari maka sudah cukup berat menanggungnya
sehingga sudah sepatutnya mendapat rukhsah (keringanan)
b. Hadist yang berbunyi:


Hai penduduk Mekah, janganlah mengqasr (shalat) kurang dari empat buud dari Mekkah ke Asfan.
Menurut ahli bahasa, setiap satu barid (jamak:burud) itu sama dengan farsakh,sehingga empat
burud sama dengan enam belas farsakh.
Ada riwayat lain sebagaimana di tulis al-Qurtubi bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berbuka dan
mengqasr shalat dalam (perjalan) empat burud, yaitu enam belasfaraskh.[4]

Sedangkan menurut Abu Hanifah dan al-Thawri, bepergian selama tiga hari tiga malam dan jarak
yang ditempuh kira-kira empat belas faraskh, pendapat tersebut didasarkan pada:
a. Firman Allah, Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan itu,hendaklah ia berpuasa, ini
menunjukan wajib puasa, tetapi kita bisa meninggalkannya dalam bepergian tiga hari lamanya karena
adanya ijma tentang diberikannya rukhsah.
b. Sabda Nabi saw:


orang yang mukim boleh mengusap boleh mengusap (sepatunya) selama sehari semalam, dan
bagi musafir selama tiga hari tiga malam.
Disini Nabi saw. Menjadikan syarat bepergian selama tiga hari tiga malam bagi bolehnya mengusap,
sedang rukhsah tidak bisa diketahui melainkan dari nash, maka bepergian tiga hari wajib dianggap
sebagai bepergian shari.

KESIMPULAN
A. Asbabun Nuzul

1. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muadz bin Jabal r.a., bahwa ia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw. Tiba
di Madinah lalu ia berpuasa Asyura dan tiga hari setiap bulan, kemudian Allah SWT mewajibkan puasa
Ramadhan, maka turunlah ayat Hai orang-orang yang beriman, diwajubkan atas kamu berpuasa
sehingga dan wajib bagi mereka yang berat menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah
(yaitu) member makan seorang miskin,
2. Diriwayatkan dari salamah bin Akwa bahwa ia berkata: ketika turun ayat dan wajib bagi mereka yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah.

. B. Munasabah
Quran surat al-Baqoroh mulai ayat 183-184 merupakan ayat yang berbicara mengenai hal-hal
yang terkait dengan puasa, utamanya puasa Ramadhan dalam segala dimensinya seperti; waktu
berpuasa, dispensasi bagi yang tidak mampu melakukannya dan apa saja yang boleh dan tidak berada
dalam satu ruku dan diakhiri dengan ungkapan Dan janganlah kamu memakan harta kamu di antara

sesame kamu secara tidak sah, juga janganlah digunakan untuk menyuap para hakim dengan tujuan
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui,

C. Kandungan
Ayat ini mengandung pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus memberikan dorongan untuk
melaksankannya, memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Dan sesuatu yang berat jika
diwajibkan kepada orang banyak. Maka bagi yang bersangkutan akan menjadi mudah untuk
melakukannya, sekaligus memberikan dorongan kepada mereka untuk melakukannya,
Kemudian Allah menjelaskan manfaat dari ibadah puasa ini hikmah yang terkandung didalamnya. pada
dasarnya diwajibkannya puasa itu kepada kalian agar kalian mempersiakan diri untuk bertakwa kepada
Allah SWT. Caranya adalah maninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan
perintah dan mencari pahala-Nya. Dengan demikian, maka mental lkita terlatih didalam menghadapi
godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya

[1] Ahmad Mustofa al-Maragihi, Tafsir al-Maraghi(Semarang: CV. Toha Putra,2000), 116
[2] Luthfi Hadi Aminudin, Tafsir Ayat Ahkam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 110
[3] Aminudin, Tafsir, 112
[4] Ibid, 112

1 Hamka, Tafsir Al-Azhar juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) ,115

[2] Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam, Terjemah Al-Quran Secara Lafzhiyah (Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat
Islam, Jilid I), 201-202
[3]Muhammad Ali As-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni , terj. Muamal Hamidy (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1985), 145-146
[4] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial (Depok Sleman Yogyakarta: eLSAQ Press,2005), 205
[5] Ibid, 205

Diposkan oleh sholihatin khofsah di 07.30


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar
Posting Lebih BaruBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Ads by GoSaveAd Options

Arsip Blog
2013 (3)
o Juni (3)
Hadits Ahkam
Fiqih Mawaris
makalah tafsir ahkam sholihatin

Mengenai Saya

sholihatin khofsah
Lihat profil lengkapku
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.
Ads by GoSaveAd Options

Ads by GoSaveAd Options

Ayat tayammum ini, turun pada Abdurrahman bin Auf yang junub sedang dia dalam keadaan terluka, maka diberi
kemudahan baginya untuk mengambil tayammum, kemudian hukum ayat ini menjadi umum untuk semua manusia. Dan
dikatakan pula, ayat ini turun disebabkan karena para sahabat tidak mempunyai air pada peperangan al-Marisie pada peristiwa
itu juga Aisyah ra kehilangan kalungnya.

Hadits dikeluarkan Malik dari riwayat Abdurrahman bin al-Qasim dari bapaknya dari Aisyah berkata: Telah terjatuh
kalung Asma maka nabi SAW memerintahkan orang-orang mencarinya, lalu tiba waktu shalat sedang mereka tidak punya wudhu
dan tidak ada air maka mereka shalat tanpa ada wudhu, maka Allah menurunkan ayat tayammum[49].

Sebab-sebab Tayammum:
dan jika kamu sakit

1. Karena sakit, firman Allah: )


: Sakit adalah keadaan tubuh yang tidak fit,
keluar dari batas keseimbangan tubuh yang normal, sampai kepada demam dan kelumpuhan, yaitu ada dua kategori: Parah atau
ringan, maka apabila sakit parah yang dikhawatirkan akan mati karena tersentuh air dingin, atau akan semakin memperparah
penyakitnya, atau takut berakibat buruk pada anggota badan tertentu dengan tersentuh dinginnya air, maka bertayammum
menurut kesepakatan ulama.

2. Musafir, firman Allah: )

atau dalam perjalanan: Diperbolehkan mengambil tayammum jika

dalam perjalanan panjang atau pendak ketika tidak ada air, dan tidak disyaratkan hanya untuk batas meng-qashar shalat. Ini
adalah pendapat Malik dan jumhur ulama. Sebagian mengatakan: Tidak boleh tayammum kecuali dalam perjalanan yang
mengharuskan qashar shalat, sebagian yang lain mensyaratkan harus perjalanan dalam ketaatan, semua ini adalah pendapat
lemah. Wallahualam[50].

Sepakat para ulama tayammum diperbolehkan bagi yang musafir, sebagaimana dijelaskan di atas, namun berbeda pendapat pada
kasus orang yang menetap. Malik dan pengikutnya membolehkan tayammum pada musafir dan yang menetap, ini juga pendapat
Abu Hanifah dan Mohammad. Syafii berpendapat: Tidak diperbolehkan bagi yang menetap kecuali khawatir akan ketinggalan
waktu shalat, sependapat dengan at-Thabari. Imam Syafii berkata juga diikuti oleh al-Laitsi dan at-Thabari: Apabila tidak ada air
di dalam pemukiman kemudian takut kehabisan waktu shalat, dan juga orang sakit maka boleh bertayammum, kemudian
mengulang...

3. Habis buang air, firman Allah: )

atau habis buang air: Yaitu orang menetap

(mukim) apabila tidak ada air maka bertayammum.

4. Menyentuh perempuan, firman Allah: )

atau menyentuh perempuan: Ubaidah meriwayatkan dari

Abdullah bin Masud mengatakan: Mencium termasuk bagian menyentuh, maka segala apa yang selain bercinta (ML) live adalah
menyentuh, pendapat ini juga dipakai Ibn Umar dan oleh Muhammad bin Yazid, lalu menambahkan: Karena telah disebutkan
pada awal ayat apa yang menjadi wajib atas orang yang bercinta (ML) dalam firman Allah: dan jika kamu junub maka
mandilah, dan Abdullah bin Abbas telah mengomentari: Menyentuh, meraba dan mencium adalah termasuk bercinta, hanya saja
Allah SWT mengiaskannya.

Berbeda Pendapat ulama pada hukum ayat ini kepada 5 mazhab:

A. Golongan mengatakan: Menyentuh di sini khusus bersentuhan dengan tangan.

B. Abu Hanifah mengatakan: Menyentuh di sini dikhususkan adalah meraba yaitu bercinta, karena junub wajib mandi sedangkan
menyentuh dengan tangan tidak kena hukum itu, bukan suatu hadats dan tiada pula membatalkan wudhu. Maka apabila seseorang

mencium isterinya dengan perasaanpun tidak membatalkan wudhunya, berdasarkan hadits diriwayatkan ad-Daraqathni dari
Aisyah berkata: Bahwasanya rasulullah SAW mencium sebagian isterinya kemudian keluar shalat tanpa harus mengambil wudhu
lagi, Urwah menimpali Aisyah mengatakan: Tidak satupun dicium beliau kecuali kamu, lalu Aisyah tersenyum saja.

C. Kata Malik: Menyentuh dengan bercinta wajib tayammum, sedangkan menyentuh dengan tangan wajib tayammum apabila
memakai perasaan. Maka apabila menyentuh tanpa syahwat tidak perlu wudhu, ini juga dipakai Ahmad dan Ishaq, yaitu sesuai
makna ayat.

D. Kata Ali bin Ziyad: Jika bersentuhan memakai kain tebal tidak apa-apa, tetapi Kalau hanya kain tipis saja maka wajib wudhu.

E. Kata Abdelmalik bin al-Majechoun: Barangsiapa sengaja menjentuh isterinya dengan tangannya bermaksud menggoda maka wajib
wudhu, merasa nikmat atau tidak.

Kata Qadhi Abou al-Waled al-Baji mengomentari 5 pendapat di atas: Yang lebih mendekati kebenaran adalah Mazhab Malik dan
para pengikutnya, bahwa yang membatalkan wudhu hanya sentuhan yang menimbulkan kegelian (enak) tidak membatalkan
selainnya, maka barangsiapa bermaksud mendapatkan keenakan dengan sentuhannya maka wajib wudhu, menikmati atau tidak
menikmati. Ini adalah makna hadits al-Utaibah dari riwayat Isa dari Ibn al-Qasim. Adapun kalau hanya sekedar bersentuhan,
telah diriwayatkan Ibn nafi dari Malik bahwa itu tidak perlu wudhu dan tidak usah mencuci kemaluannya hingga menyentuh
pakai perasaan atau keluar madzi.

Menurut Abu Ishaq barangsiapa bersentuhan maka batal wudhu, dan ini juga salah satu pendapat Malik dalamMudawwanah.
Sedangkan menurut Syafii: Apabila seseorang menyentuhkan sesuatu dari badannya kebadan perempuan baik itu tangan atau
anggota tubuh lain maka batal wudhu dengannya, ini juga pendapat Ibn Masud, Ibn Umar, az-Suhri dan Rabiah.

Adapun al-Auzai: Apabila menyentuh dengan tangan maka batal wudhu, jika menyentuh selain dari tangan tidak batal, dengan
firman Allah)

maka menyentuhnya dengan tangannya. Maka ini adalah

lima mazhab paling kuat mazhab Malik, yaitu diriwayatkan dari Umar dan anaknya Abdullah... Wallahualam..

5. Sebab Tayammum yang lain dan yang paling perinsif, firman Allah: )
, lalu kamu tidak mendapatkan air: Sebab yang
tidak didapatkan oleh musafir bersamanya adalah air, yaitu bisa saja tidak punya dalam jumlah banyak atau tidak mencukupi,
atau khawatir ditinggal rombongan, atau kehausan atau sejenisnya. Begitu juga kalau air yang ada diperlukan untuk keperluan
dalam perjalanan, maka pada kasus ini boleh tayammum.

Pada kasus ini terdapat perbedaan para ulama, apakah mencari air sebagai syarat shahnya tayammum atau tidak? Pada
kenyataannya mazhab Malik mensyaratkan mencari air, dan ini pula pendapat Syafii. Namun, al-Qadhi Abou Mohamed bin
Nasser berpendapat lain mengatakan bahwa itu bukanlah syarat tayammum, yaitu pendapat Abu Hanifah dan diriwayatkan dari
Ibn Umar bahwa dia pernah dalam sebuah perjalanan sedang dia sudah separuh perjalanan maka dia tidak mengarah ke air, kata
Ishaq tidak perlu mengejar air kecuali bila sudah sampai ketempatnya, dan dia membacakan hadits Ibn Umar. Dan yang lebih

shah serta masyhur adalah pendapat pertama yang telah dipilih Malik dalam Muwattha, dengan firman Allah:

), lalu kamu tidak mendapatkan air, hal ini mengharuskan bahwa tayammum tidak dilakukan kecuali setelah berusaha
mencari air.

Apabila sudah dipastikan tidak ada air, maka tidak usah memikirkan akan menemukan air pada waktu dekat, atau berharap akan
mendapatkannya, atau berfikir akan keduanya, pada kasus ini terdapat tiga opsi:

a.

Pertama:

Dibolehkan tayammum dan shalat pada awal waktu: Karena apabila ternyata terlepas dari keutamaan

memperoleh air maka lebih baik baginya mengejar keutamaan shalat pada awal waktu.

b.

Kedua: Bertayammum pada pertengahan waktu, diceritakan pengikut Malik darinya, lalu menunda shalat dengan harapan
meraih keutamaan mencari air tanpa kehilangan keutamaan awal waktu shalat, karena keutamaan awal waktu dapat tercapai
dengan pertengahannya karena masih mendekatinya.

c.

Ketiga: Menunda shalat hingga mendapatkan air pada akhir waktu, karena keutamaan mencari air lebih tinggi dari keutamaan
awal waktu...

Allah berfirman: ) maka bertayammumlah: Tayammum yang dikhususkan ayat ini disampaikan secara luas, nabi
bersabda: Kita telah dimuliakan atas orang lain dengan tiga hal, telah dijadikan kepada kita bumi semuanya menjadi mesjid, dan
menjadikan tanahnya kepada kita suci.... Pada pembahasan tayammum ini kita telah menyebutkan sebab turunnya, telah
menjelaskan pula sebab-sebab yang membolehkan tayammum dan kita masih akan kembali lagi lebih memperdalam ketika
membaca surah an-Nisaa: 43, pada pertemuan berikut, insya Allah...

Pembicaraan kita di sini tentang pengertian tayammum, sifatnya, teknisnya, siapa yang boleh tayammum, syaratsyaratnya, dan sebagainya dari hukum-hukumnya.

Tayammum secara bahasa adalah maksud. Saya bertayammum sesuatu maka saya memaksudkannya, dan saya
tayammum tanah maka memaksudkannya. Saya tayammum dengan bidikanku dan panahku yaitu saya memaksudkannya bukan
dari yang lain. Kata Ibn as-Sakitte pada firman Allah: )

maka tayammumlah

dengan tanah yang bersih: Yaitu maksudkanlah hal itu. Kemudian mereka memperluas penggunaan
kalimat ini hingga akhirnya menjadi tayammum sebagai menyapu muka dan kedua tangan dengan tanah. Kata Ibn al-Anbari:
Telah bertayammum orang itu, Artinya telah menyapukan tanah atas muka dan kedua tangannya.

Tayammum itu lazim bagi setiap muslim yang sudah kena wajib shalat apabila tidak ada air dan telah masuk waktu
shalat. Sepakat para ulama bahwa tayammum menghilangkan junub tapi tidak menghilangkan hadats, dan bahwasanya orang

tayammum dengan dua sebab itu apabila menemukan air maka Kembali hukum junub sebagaimana kembali berhadats lagi
seperti sedia kala, dengan hadits nabi ke Abu Zar: Apabila kamu menemukan air maka basuhkanlah kulitmu...

Firman

Allah: )

dengan tanah yang baik

(bersih); sapulahmukamu dan tanganmu dengan tanah itu: Kreteria tanah tayammum dan anggota-anggota tayammum
ini akan kita bahas ketika membaca ayat ke-43 dari surah an-Nisaa nanti, insya Allah...

Hukum-hukum Thaharah Menyempurnakan Nimat Allah:



Allah berfirman: )

Allah tidak hendak menyulitkan

kamu: Yaitu menyusahkan dalam agama, dalilnya firman Allah pada ayat lain: dan tidaklah dijadikan kepadamu dalam
agama dari kesulitan.

Firman Allah: )

tetapi Dia hendak membersihkan kamu:

Yaitu dari dosa-dosa sebagaimana telah kita sebutkan dari hadit Abu Harairah dan as-Shanabahi, dan ada pula mengatakan:
Membersihkan dari hadats dan junub. Ungkapan lain mengatakan: Agar kamu berhak menyandang predikat orang suci yang telah
disandang dengannya oleh ahli taat.

Firman Allah: )

dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu:

Yaitu dengan memberi kemudahan pada tayammum bagi orang yang sakit dan musafir; dikatakan pula: Nimat dengan
menjelaskan hukum-hukum syariat; ada juga mengatakan: Nimat dengan diampunkannya dosa-dosa, di dalam khabar
dijelaskan: Kesempurnaan nimat adalah masuk surga dan bebas dari api neraka.

Firman Allah: )

supaya kamu bersyukur: Yaitu agar kamu mensyukiri segala

nimat-Nya maka kamu menjalankan ketaatan pada-Nya.

Demikian kita akhiri pembahasan ayat pertama dari ayat thaharah yaitu ayat ke-6 dari surah al-Maaidah, insya Allah, kita
akan lanjutkan ayat lain dari surah an-Nisaa: 43 yang akan memperjelas dan menegaskan ayat thaharah di atas, khususnya
tayammum....

Ayat Tayammum[51]
Allah berfirman dalam Surah an-Nisaa: 43:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,


sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang
kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air,
maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun.
Kamus Ayat Tayammum[52]:
janganlah kamu shalat

1. )
: Yaitu jangan mendekati sebagai kiasan dari masuk ke
dalamnya, atau janganlah kamu memasuki dari mesjid-mesjidnya.
2. ) dalam keadaan junub: Dari mengalami junub dengan bercinta (ML) atau keluar mani
3. )
sekedar berlalu: menyeberangi jalan yaitu bepergian (musafir)

tempat buang air

4. )
: Tempat yang rendah dari permukaan bumi seperti wadi, yang dimaksud
tempat dipersiapkan untuk membuang hajat (buang air), karena orang-orang dipedalaman terpencil dan sebagian
warga perkampungan membuang hajat mereka pada tempat-tempat yangg rendah agar tertutup dari penglihatan
orang.
5. )

menyentuh perempuan: Kiasan dari bercinta (ML)

6. )

maka tayammumlah: maka niatkanlah

7. )

tanah: yang bersih tanah yang suci. Dan ) : Permukaan bumi.


Maha Pema'af

8. )
: Yang Mempunyai Sifat Pemaaf dan Dia-lah yang menghapuskan segala
kesalahan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Maha Pengampun

9. )
: Yang Mempunyai Pengampunan, sedangkan ) : Menutupi dosadosa dengan tanpa mengadakan perhitungan atasnya.

Sebab-sebab Turun Ayat[53]:


janganlah kamu shalat

A. Sebab Turun ayat: )


: Riwayat dari Ali ra berkata: Adalah
Abdurrahman bin Auf pernah mengundang kami makan, lalu memberikan kami hidangan dan menuangkan khamar,
maka kami pun berpesta khamar, dan masuk waktu shalat, mereka mendorong aku menjadi imam lalu aku
membaca: ) : Katakanlah: hai orang-orang kafir, saya tidak menyembah
apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kamu sembah. Maka Allah menurunkan:

Hai orang-orang yang beriman,


janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan [54].
)

Sedangkan Ibn Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa yang imam adalah Abdurrahman, adapun shalat yang dikerjakan
adalah Magrib, waktu itu sebelum diharamkan khamar.

maka tayammumlah

B. Sebab Turun ayat: )


: Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Malik dari Aisyah ra berkata: Kami telah keluar bersama nabi dalam sebuah perjalanan, hingga kami sampai ke alBaid atau markaz tentara lalu saya merasa telah kehilangan kalung, maka rasulullah SAW pergi mencarinya dan
dibantu pula orang-orang yang lain, mereka berada ditempat yang tidak ada air dan mereka pun tidak ada yang bawa
air... Maka Allah menurunkan ayat tayammum lalu mereka bertayammum. Maka Asid bin Hadhier, salah seorang
komandan pasukan, menyelah: Wah, ini adalah awal berkah dari kamu hai putri Abu Bakar.
Dan dalam riwayat: Semoga Allah memuliakanmu hai Aisyah, tidak terjadi padamu sesuatu yang kamu tidak inginkan
kecuali Allah telah menjadikannya kemudahan bagi umat Islam. Selanjutnya Aisyah menambahkan: Lalu nabi
mengirimkan tunggangan yang tadinya aku tumpangi, maka kami menemukan kalung itu di balik pelananya[55].

sholat jum'at
MAKALAH

TAFSIR TENTANG SHALAT JUMAT


(SURAT AL JUMUAH 9-11)

Mata kuliah

: Tafsir Ahkam 1

Jurusan/Prodi

: Syariah/Akhwalus Syakhsiyah

Dosen pengampu
Kelas
Kelompok

: Muhammad Hasan Bisyri M.Ag


:A
:5

Di susun oleh:

. M. Nova Muttafiq
. Rozif Anintia FR
. Firman Adhomyufit
. Hanik Rosyidah
. Wahyu Hikmawati

( 2011 111 038)


(2011 111 015)
(2011 111 025)
( 2011 110 003)
(2011 111 004)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2011/2012

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Shalat adalah media komunikasi antara insan dengan Tuhan dan merupakan suatu ibadah yang dapat
mengikat hati dan menguatkan iman. Dari segi ini shalat dapat membawa kontak sosial dan saling tolong
menolong antar sesamadalam amal kebajikan dan ketaqwaan. Kalau shalat wajib lima waktu sehari
semalam tidak dapat berjamaah ke masjid lantaran kesibukan, kemalasan dan lain sebagainya, maka
Allah SWT mewajibkan kaum muslimin untuk menunaikan sholat berjamaah satu minggu sekali yaitu
pada hari Jumat dan kaum muslimin diwajibkan agar bergegas menuju masjid apabila adzan telah
berkumandang, Namun demikian fakta yang terjadi di sebagian masyarakat kita tidak seperti yang
demikan karena lantaran kesibukan dan kemalasan dari masing-masing.

Dengan latar belakang di atas maka, penulis menyusun Makalah ini mencoba mengingatkan pada diri
sendiri dan kaum muslimin dalam sholat jumat, makalah ini sedikit membahas tentang Sholat jumat
yang berisi tentang ayat yang mewajibkan sholat jumat beserta terjemahan, mufrodat, Asbabun Nuzul
Ayat, tafsir dan penjelasannya. Dan semoga makalah sederhana kami ini dapat bermanfaat.

BAB I
PEMBAHASAN

TAFSIR TENTANG SHOLAT JUMAT


(AL-JUMUAH AYAT 9-11)

A. Surat Al-Jumuah ayat 9-11

B. Terjemahan
(9) Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
(10)
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(11)
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah
lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.
C.Kosa kata (Mufrodat)

Maka bertebaranlah kamu

: Dan carilah (carilah rezeki)

Untuk mencari rejeki Allah

:
:

Mereka bubar

Dan mereka tinggalkan kamu (dalam khotbahmu)[1]

: Maka berjalanlah kamu

Genderang, seruling, dsb.

: Sholat

Tinggalkanlah olehmu jual beli

D. Asbabun Nuzul
1. Di riwayatkan dari imam Ahmad, Bukhari Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra.
Bahwa ia berkata, yang artinya:
Tatkala Nabi Muhammad SAW berkhutbah pada hari jumat, tiba-tiba datang kafilah ke Madinah,
kemudian bergegaslah Sahabat-sahabat Rasulullah hingga tidak ada yang tertinggal melainkan dua belas
orang termasuk aku, Abu bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini..

2. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Abi Yala dengannya, sampai kepada Jabir bin Abdillah, bahwa ia
berkata:

, , .
, :
)...... : ,

Artinya: Tatkala Nabi saw sedang berkhotbah pada hari Jumat kemudian tiba kafilah ke Madinah lalu
sahabat-sahabat Rasulullah saw bersabda melainkan dua belas orang. Kemudian Rasulullah bersabda:
Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaanNya kalau kamu ikuti mereka sehingga tidak ada seorangpun
yang tertinggal tertu akan mengalir kepadamu lembah yang penuh api.[2] Kemudian turun
ayat
3. Abu hayyan meriwayatkan dalam tafsirnya Al-Bahrul Muhith, bahwa sebabnya sampai mereka bubar
yaitu karena penduduk madinah pada saat itu ditimpa musim paceklik, dan harga barang-barang
kebutuhan sangat tinggi. Maka ketika dihyah datang dengan membawa barang dagangan, sedang
menurut adat kebiasaan mereka, bahwa kafilah yang masuk kota diharuskan masuk memukul
kendangan bunyi-bunyian lainya. Begitulah ketika kafilah-kafilah masuk kota dengan bunyi-bunyianya
maka merekapun buyar untuk menontonnya, sedang Rasulullah SAW pada saat itu tengah berdiri dia
atas mimbar yang dihadapan tinggal dua belas orang. Jabir berkata :Aku salah seorang diantara
mereka. Maka turunlah ayat ini

E.Munasabah Ayat
Dalam surat Al-Jumah ayat 5:

Allah mencela orang-orang Yahudi karena mereka lari dari kematian untuk mencintai dunia dan
menyukai kenikmatannya.[3] Oleh karena orang yang tidak mengamalkan kitab yang diturunkan
kepadanya itu mencintai kehidupan dan meninggalkan segala yang bermanfaat baginya di akhirat.[4]
Kemudian dalam surat Al-Jumah ayat 10:

Allah menyebutkan bahwa orang-orang mukmin tidak dilarang memetik buah dunia dan
kebaikannya, sambil mengusahakan apa yang bermanfaat baginya di akhirat, seperti shalat pada hari
Jumat di masjid dengan cara berjamaah. Orang mukmin harus bekerja keras untuk dunia dan akhirat.[5]
Surat sebelumnya, yaitu As-Saff ditutup dengan perintah untuk berjihad, yang dinamakan sebagai
perniagaan. Dan surat ini ditutup dengan perintah shalat Jumat dan pemberitahuan bahwa shalat itu
lebih baik daripada perniagaan duniawiyah.[6]

F.

Tafsir

1. Hari jumat di masa jahiliyah disebut hari Arubah, sedang orang yang pertama kali menyebutnya
hari Jumat adalahKaab bin Luay. Dan diriwayatkan bahwa sebabnya disebut demikian, karena
penduduk Madinah berkumpul sebelum Nabi SAW datang, kemudian orang-orang Anshar berkata:
Kaum Yahudi mempunyai hari dimana pada setiap minggu mereka berkumpul pada hari itu, demikian
juga kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang kita pergunakan untuk berkumpul pada hari itu,
berdzikirlah dan bersyukur kepada-Nya. Lalu mereka menyambut: Hari Sabtu milik kaum Yahudi, hari
Ahad milik kaum Nasrani, maka pakailah hari Arubah (untuk kita). Kemudian mereka menemui Asad bin
Zurarah. Lalu Asad shalat bersama mereka dua rakaan bersama pada hari Arubah itu, maka hari itu
kemudian disebut hari Jumah karena pada hari itu mereka berkumpul. Lalu mereka menyembelih
seekor kambing untuk makan malam. Itulah permulaan Jumatan dalam Islam.[7]
2. Firman Allah Maka segeralah ingat kepada Allah adalah suatu ungkapan yang lembut, yaitu
hendaknya seorang mukmin menegakkan sholat jumat dengan kesungguhan dan penuh kegairahan,
sebab lafal As-sayu mengandung arti kehendak, kesungguhan dan tekad yang bulat. Tidak berarti lari,
sebab hal itu di larang.
Al-Hasan berkata: Demi Allah maksudnya As-sayu itu bukan segera dalam arti lari dengan kaki, tetapi
dengan tekad dalam hati dan niat yang didasari rasa senang. Kaum muslimin dilarang menuju tempat
shalat kecuali dalam keadaan tenang.[8]
Dari Abu Qatadah, Ia berkata, ketika kami shalat bersama Nabi SAW, tiba-tiba terdengar kegaduhan
beberapa orang lelaki, ketika beliau selesai shalat, beliau menanyakan, Ada apa kamu? Mereka
menjawab, Kami bergegas untuk shalat. Beliau mengatakan, Janganlah kamu lakukan itu, Apabila
kamu mendatangi shalat, maka berjalanlah kamu dengan tenang. Kerjakanlah shalat yang kamu dapati
dan sempurnakanlah shalat yang kamu ketinggalan.[9]
3. Firman Allah Dan tinggalkanlah jual beli itu, yang dimaksud adalah segala macam muamalah
seperti jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Bentuk seperti ini disebut majas mursal.
Abu Hayyan berkata: Disebutnya jual beli dalam konteks ini adalah karena dalam hal inilah
kebanyakan kesibukan yang dialami oleh para pedagang, terutama mereka yang datang dari desa-desa.
Kebanyakan mereka itu tetap berada di pasar-pasar sampai siang hari, maka mereka diperintah oleh

Allah supaya segera menuju perdagangan akhirat dan pada saat itu dilarang mengurus perdagangan
dunia sampai selesai menunaikan ibadah shalat Jumat.[10]
4. Ulama Salaf As-Ahalih mengikuti Nabi saw dalam semua perbuatan, gerak-gerik, bahkan
diamnyapun, sampai hal-hal yang mereka tidak mengetahui apa rahasia amalan itu dikerjakan oleh Nabi
SAW. Hal itu tidak lain karena begitu cintanya mereka kepada Nabi SAW. Ada satu riwayat mengatakan
bahwa sebagian mereka apabila usai shalat Jumat, beliau biasa ke pasar kemudian berkeliling-keliling
sejenak lalu kembali ke masjid kemudian shalat. Lalu ditanya kepadanya: Mengapa anda berbuat
seperti itu? Ia menjawab: Sungguh aku pernah melihat Rasulullah SAW berbuat begitu, sambil
membaca firman Allah. Dan apabila shalat telah usai ditunaikan, maka bertebaranlah untuk mengurus
kepentingan duniawi.[11]
5. Arak bin Malik apabila selesai shalat Jumat, ia beranjak dari tempatnya kemudian berhenti didepan
pintu msjid lalu berdoa:

, , ,
Artinya: Ya Allah aku telah memenuhi panggilanMu, telah menunaikan kewajiban shalat dariMu, dan kini
aku telah keluar sebagaimana Engkau adalah sebaik-baik Dzat pemberi rezeki. (HR. Ibnu
Mardawaih).[12]
6. Firman Allah Dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak itu, merupakan suatu ungkapan yang
lembut. Dalam ayat ini Allah menyuruh berupaya mencari rizki dan sibuk dalam perdagangan, tetapi hal
ini bisa membawa manusia kepada kelengahan dan bahkan bisa membuat seseorang sangat mencintai
harta sehingga tak segan-segan berbuat dusta, menipu dan sebagainya, maka Allah selanjutnya
memerintahkan kepada muslim supaya banyak-banyak mengingat Allah agar ia sadar bahwa dunia dan
segala kenikmatan ini tidak kekal dan bahwa alam akhiratlah yang kekal, maka hendaknya jangan
mengurus perdagangan dunia yang bisa melalaikan kepentingan akhirat.[13]
7. Idza pada asalnya untuk masa yang akan datang (Lil Istigbal), sedang idza dalam firman Allah
Apabila kamu diseru, diturunkan sesudah peristiwa itu terjadi dan setelah mereka bubar
meninggalkan Rasulullah saw. Maka idza dalam ayat ini bukan Lil Isigbal tetapi digunakan untuk masa
yang lalu (madhi).[14]

G. Keutamaan Hari Jumat


Hari jumah adalah hari yang paling mulia secara mutlaq, Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab
sahihnya, bahwa Nabi SAW bersabda:



Artinya:

Sebaik-baiknya hari adalah hari Jumat, pada hari Jumat itu Adam diciptakan, pada hari Jumat ia
dimasukkan kedalam syurga, pada hari Jumat (pula) ia dikeluarkan dari syurga, dan hari kiamat tidak
akan terjadi melainkan pada hariJumat. (HR. Muslim)
Imam malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, yang
artinya, Sebaik-baiknya hari adalah hari Jumat, pada hari itu adam diciptakan, pada hari itu ia
diturunkan dari syurga, pada hari itu pula ia di terima tobatnya, pada hari itu pula ia wafat, pada hari itu
kiamat akan terjadi dan tidak ada seekor binatang pun melainkan bersuara pada hari Jumat sejak subuh
hingga terbit matahari karena akan merasa takut akan hari kiamat, kecuali manusia dan jin. Dan pada
hari Jumat ada satu saat yang tidak bertepatan seorang muslim dengan saat itu dimana ia sedang
mengerjakan sholat sambil memohon sesuatu kepada Allah, melainkan mesti dikabulkanya.

H. Kandungan Hukum
1 .Adzan manakah yang wajib di penuhi?
Firman Allah Apabila kamu diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat segeralah ingat kepada
Allah dan tinggalkanlah jual beli dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang adzan mana yang wajib
dipenuhi. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1) Sebagian mereka berkata; Yang dimaksud itu adzan yang pertama yang dilaksanakan diatas menara.
2) Yang lain berkata; Yang dimaksud yaitu adzan yang kedua yang dilaksanakan didepan khatib ketika ia
naik mimbar.
Golongan pertama, beralasan:
a. Bahwa yang dimaksud adzan itu adalah memberitahu, sedang memenuhi pemberitahuan itu tentu
setelah pemberitahuan itu berlangsung yaitu sesudah adzan yang pertama (diatas menara).

b.

Hadist yang diriwayatkan Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Saib bin Yazid r.a. bahwa ia berkata:

Artinya: Mulai adzan Jumah di zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar yaitu ketika Imam duduk diatas
mimbar, kemudian dizaman Utsman karena manusia bertambah banyak jumlahnya maka ia tambah
adzan ketiga diatas zaura, maka urusan adzan itu berlaku seperti itu.

Mereka berkata, menuju masjid ketika adzan kedua dikumandangkan yakni tatkala khatib sudah naik
mimbar menjadikan orang-orang tidak dapat mendengarkan (sebagian) isi khotbah, yang pada dasarnya
Allah meringankan shalat Jumat (hanya dua rakaat) itu adalah untuk tujuan tersebut. Sedang dizaman
Nabi SAW, masyarakat belum memerlukan adzan karena dekatnya rumah mereka dari masjid dan
karena semangat (antusias) mereka untuk memperoleh petunjuk-petunjuk hukum dari Rasulullah SAW.
Pendapat inilah yang secara lahiriyah dipegangi dikalangan Ulama Hanafiyah. Dan meninggalkan jual beli
karena Allah berfirman Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat.dst;
pendapat ini dipandang sah menurut madzhab Hanafi.
Golongan kedua, beralasan:
a. Wajib segera menuju masjid dan meninggalkan jual beli itu ketika adzan kedua di waktu khatib naik
mimbar, karena adzan itulah yang dikumandangkan pada zaman Nabi SAW, sedang Nabi Muhammad
SAW adalah manusia yang paling berkeinginan agar kaum muslimin menunaikan kewajiban mereka
tepat waktu.
b. Mereka berkata lagi: Bahwa orang yang hendak shalat (berjamaah) disunatkan datang lebih awal
karena hal itu mempunyai faedah yang banyak sebagaimana dianjurkan oleh hadist-hadist Nabi.
2. Sahkah jual beli yang dilakukan saat Adzan?
Firman Allah Dan tinggalkanlah jual beli itu menunjukkan haramnya jual beli dan muamalah yang
dilakukan pada waktu adzan, tetapi Ulama berbeda pendapat, apakah jual beli tersebut sah atau fasid?
Sebagian mereka berpendapat fasid karena ada larangan (dan tinggalkanlah jual beli), sedang sebagian
besar dari mereka mengatakan bahwa perbuatan itu haram tapi akadnya tetap sah, dipersamakan
dengan shalat ditempat iorang lain tanpa izin (ghashab), maka shalatnya sah tapi makruh.
Al-Qurtubi berkata: Saat diharamkannya jual beli itu ada dua pendapat
1. Sesudah tergelincirnya matahari sampai selesainya shalat. (Dhahhak,Al Hassan Al ato)
2. Sejak adzan, yaitu ketika imam telah berada diatas mimbar sampai masuk waktu shalat (Asy-syafii)
Sedangkan menurut Imam Malik wajibnya ditinggalkan jual beli itu sejak adzan berkumandang, dan
apabila pada saat itu masih jual beli, maka jual belinya fasid.
Ibnu Arabi berkata bahwa yang benar semuanya adalah fasid karena jual beli itu dilarang adalah terletak
pada segi penggunaan waktunya maka apa saja yang dilakukan pada saat itu hukumya haram secara
syari dan dinilai fasid.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa jual beli pada waktu itu boleh, sedang larangan itu ditakwil
sebagai sunnah berdasarkan firman Allah itu lebih baik bagimu demikian menurut syafii.

3. Apakah khutbah syarat sahnya sholat jumat?


Firman Allah maka bersegeralah mengingat Allah ini menunjukkan bahwa khutbah adalah syarat
sahnya shalat jumat karena mengingat Allah itu bisa berupa mendengarkan khutbah saja atau
mendengarkan khutbah plus sholat (jumat), maka dengan demikian mau tidak mau khutbah adalah
syarat syahnya sholat jumat. Lagi pula sholat jumat itu diringankan karena adanya khutbah, dan karena
itu pula maka khutbah jumat itu wajib hukumnya. Demikian menurut madzhab Jumhur fuqoha.
Menurut Fuqoha Syafiiyah dan Hanabilah khutbah harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
a. Hamdalah
b. Doa shalawat atas Nabi
c. Membaca ayat suci al-quran
d. Pesan untuk bertakwa kepada kaum muslimin
e. Syafiiyah menambahkan doa untuk kaum muslimin dan muslimat

4. Jumlah peserta shalat jumat


Mengenai jumlah peserta shalat jumat tidak ada perbedaan dikalangan fuqoha bahwa diantara syarat
sahnya ssholat jumat adalah berjamaah, karena nabi bersabda yang Artinya jumat itu wajib atas setiap
muslim dengan berjamaah kecuali empat golongan: hamba, perempuan, anak-anak atau orang yang
sedang sakit. (HR. Abu Daud/Imam Nawawi berkata: Rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari Muslim).
Dipandang dari segi penamaannya (jumah/jamaah) maka, bagi orang yang shalat sendirian tidak dapat
dikatakan shalat jumat, jadi shalat jumat harus mutlaq berjamaah. Hanya saja fuqoha berbeda
pendapat mengenai jumlah pesertanya. Dalam hal ini ada lima belas pendapat sebagaimana yang telah
dibawakan al-Hafiz ibnu Hajar al-Asqolani dan dalam Al-Quran sendiri tidak menentukan jumlah
tertentu, demikian juga sunnah Nabi Muhammad SAW dalam Haditsnya tidak ada. Adapun kelompok
pandangan dari golongan fuqoha adalah sebagai berikut:

Golongan Hanafiyah: Cukup dengan empat orang termasuk imam, ada yang mengatakan cukup tiga
orang.

Syafiiyah dan Hanabilah: Minimal empat puluh orang. Dalam hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad,
Bukhori, Muslim, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a. dikatakan Tatkala Nabi saw
berkhutbah pada hari Jumat, tiba-tiba datang kafilah ke Madinah, kemudian bergegaslah sahabatsahabat Rasulullah hingga tidak ada yang tertinggal melainkan duabelas orang.. berarti tadinya tidak
hanya 12 orang saja yang berada dalam masjid melainkan lebih. Sehingga mereka menyimpulkan 40
orang.

Hadist lain dari Jabir bin Abdillah mengatakan:


Artinya
Telah berlaku sunnah bahwa tiap-tiap tiga orang, seorang menjadi Imam; tiap-tiap sudah sampai empat
puluh orang lalu ke atasnya berdiri Jumat dan Hari Raya Adha dan Fitri. ( Riwayat ad-Daruquthni).[15]

Malikiyah: Tidak disyaratkan jumlah tertentu tetapi hanya disyaratkan berjamaah yang berdomisili
di sebuah desa dan disitu ada perdagangan.

PENUTUP
KESIMPULAN
Dari Makalah kami yang sederhana tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut

Bahwasanya Shalat jumat wajib atas muslim laki-laki yang mukallaf dengan syarat-syarat tertentu
Bahwasanya Wajib segera menuju masjid apabila adzan telah dikumandangkan untuk mendenagrkan
khutbah dan menuaikan shalat jumat
Haram jual beli dan semua bentuk muamalah ketika adzan sudah dikumandangkan
Tidak ada larangan mengurusi dagangan setelah itu atau sesudahnya, bahkan dianjurkan
Rezeki itu ditangan Allah, namun untuk memperolehnya jangan sampai meninggalkan perintah Allah
SWT
Kesibukan seorang mukmin dalam urusan keduniaan tidak boleh sampai melupakan urusan Akhirat.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali As-Shabuni, Penerjemah: Muammal Hamidy, dkk, Terjemah Tafsir Ayat
Ahkam jilid 3, (Surabaya: PT Bina Ilm, 2003), hal.219-220
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT. PUSTAKA PANJIMAS, 2004), jilid: 28,

Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar,dkk, Terjemah Tafsir al-Maraghi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra,1974), juz:28, hal.164
Imam Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin As-Suyuti, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar,
Terjemah Tafsir Jalaluddin berikut Asbabul Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), jilid:
2, hal.1090

[1] Imam Jalaluddin al-Mahalli & Imam Jalaluddin As-Suyuti, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Terjemah

Tafsir Jalaluddin berikut Asbabul Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2004), jilid: 2, hal.1090
[2] Muhammad Ali As-Shabuni, Penerjemah: Muammal Hamidy, dkk, Terjemah Tafsir Ayat Ahkam ash-

Shabuni 3, (Surabaya: PT Bina Ilm, 2003), hal.219-220


[3] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar,dkk, Terjemah Tafsir al-Maraghi,

(Semarang: PT. Karya Toha Putra,1974), juz:28, hal.164


[4] Ibid, hal.159
[5] Ibid, hal.164
[6] Ibid, hal.149
[7] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hal.220-221
[8] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hal.221
[9] Ahmad Mustofa Al-Maraghi,Op.Cit, hal.165
[10] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hal.221
[11] Ibid, hal.222
[12] Ibid, hal.222
[13] Ibid, hal.222-223
[14] Ibid, hal.223
[15] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. PUSTAKA PANJIMAS, 2004), jilid: 28, hal.185.

Diposkan 9th December 2012 oleh rahma arrozif

Anda mungkin juga menyukai