Hadits Sholat Fardhu
Hadits Sholat Fardhu
Hadits Sholat Fardhu
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al 'Ankabuut, 29 : 45)
Links:
[dalil-dalil tentang waktu shalat]
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktu-
shalat.htm
[hilang kOnsentRasi saat shOlat]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207
[tanya shOlat jama'ah]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349
[peRbedaan waktu untuk melaksanakan shalat faRdhu]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557
[shOlat faRdhu sepeRti seORang musafiR]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663
[kafiRkah meninggalkan shOlat?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272
[wajibkah shalat faRdhu beRjamaah?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784
[peRbedaan antaRa wajib dan faRdhu]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346
[pilihan menjama' shOlat atau shOlat di kendaRaan]
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atau-
sholat-kendaraan.htm?other
[shalat dan hukumnya]
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494
[sholat jama’ dan sholat qashar]
http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/
[apakah boleh seseorang berdo'a ketika shalat fardhu ?]
http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0
http://orido.wordpress.com 1
Hadith of the Day
-perbanyakamalmenujusurga-
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktu-
shalat.htm
Adakah di dalam Al-Quran dalil tentang waktu shalat? Ataukah hanya ada di dalam
hadits saja? Lalu bagaimana detail tiap waktu shalat yang sesungguhnya?
Sudewo
sudewoprojo@gmai
Jawaban
Ayat Pertama:
http://orido.wordpress.com 2
Hadith of the Day
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan
yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang,
yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb
dan Isya`.
Ayat kedua
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah
matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah
shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.
Sedangkan bila ingin secara lebih spesifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu
shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang shahih dan qath`i.
Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Karim. Di antaranya adalah
hadits-hadits berikut ini:
Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan berkata
kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan shalat Zhuhur
ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,
"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang
bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib
menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian waktu Isya`
menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu
Shubuh menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad, Nasai
dan Tirmizy. )
Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini
adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat.
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah
satunya adalah hadits berikut ini:
http://orido.wordpress.com 3
Hadith of the Day
Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada dalam
kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu
sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.)
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits
nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh
mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati
deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para
fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara lain kitab-kitab berikut ini:
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-
waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut:
Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah
bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah
terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk
Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang
`bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada
cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit.
Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah
fajar kazib.
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar
yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul
beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu
shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan
fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat
setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu
shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi
waktu untuk shalat shubuh.
http://orido.wordpress.com 4
Hadith of the Day
"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan
menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan menghalalkan
makan.." (HR Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim).
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini.
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat shubuh
dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR Muslim)
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong
ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia
adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi.
Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari
tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan
tergelincirnya matahari?"
Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun
sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.
Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda
menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat
yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata.
Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin
bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter,
maka pada saat itulah waktu Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah
timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit.
Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu
zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari
bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari
tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu
semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang
benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di
ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia
termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu
http://orido.wordpress.com 5
Hadith of the Day
rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan
shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits lainnya).
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala
sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam.
Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya
orang munafiq.
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ..."Itu adalah shalatnya orang
munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua
tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah
kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum
matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat
sebelum terbenam.
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat Ashar
sebelum matahari menguning."(HR Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah
hadits Aisyah ra.
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat
Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama.
Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16
pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan
Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.
Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan)
para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir
hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib sampai
hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang
berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat
dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:
http://orido.wordpress.com 6
Hadith of the Day
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu Maghrib
adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy)
Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala
fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa
setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga
masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.
Dari Abi Qatadah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu menjadi
tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat
berikutnya." (HR Muslim)
Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu
hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/ menunda shalat
Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy).
Dari anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga tengah
malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR Muttafaqun Alaihi).
Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya` hingga
tengah malam"(HR Muslim dan Nasai)
Ahmad Sarwat, Lc
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494
Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya.
Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari
kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka
yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.
Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan
http://orido.wordpress.com 7
Hadith of the Day
http://orido.wordpress.com 8
Hadith of the Day
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan
Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa
Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu saat
mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang
tinggal di negeri tersebut:
ت فِي ُك ِّل يَ ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة
ٍ صلَ َوا َ فَأ َ ْعلِ ْمهُ ْم أَ َّن هللاَ ا ْفتَ َر
َ ض َعلَ ْي ِه ْم َخ ْم
َ س
“Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat
dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)
Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari
semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul
bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, Al-Mughni,
kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345)
Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama
maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif
dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di
dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat
dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah
badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79)
http://orido.wordpress.com 9
Hadith of the Day
Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan
penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa
perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun
sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)
Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian)
maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman
maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ً فَإِ ْن ِخ ْفتُ ْم فَ ِر َجاال.صالَ ِة ْال ُو ْسطَى َوقُ ْو ُموا هلِل ِ قَانِتِي َْن َّ ت َوال ِ صلَ َوا َّ َحافِظُوا َعلَى ال
أَ ْو ُر ْكبَانًا فَإِ َذا أَ ِم ْنتُ ْم فَ ْاذ ُكرُوا هللاَ َك َما َعلَّ َم ُك ْم َما لَ ْم تَ ُك ْونُوا تَ ْعلَ ُم ْو َن
“Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar).
Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan
takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila
kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)
Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:
ف يَ ْلقَ ْو َن َغيًّا ِ صالَةَ َواتَّبَعُوا ال َّشهَ َوا
َ ت فَ َس ْو َ َف أ
َّ ضا ُعوا ال ٌ ف ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم َخ ْل
َ َفَ َخل
“Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(Maryam: 59)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
صالَتِ ِه ْم َساهُ ْو َن
َ ين هُ ْم َع ْن َ فَ َو ْي ٌل لِ ْل ُم
َ الَّ ِذ.صلِّي َْن
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat
mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)
Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan
seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat:
ُ فَإِ َذا ا ْن َسلَ َخ ْاألَ ْشهُ ُر ْال ُح ُر ُم فَا ْقتُلُوا ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َحي
ْث َو َج ْدتُ ُم ْوهُ ْم َو ُخ ُذ ْوهُ ْم
َصالَةَ َوآتَ ُوا ال َّز َكاة َّ ص ٍد فَإِ ْن تَابُوا َوأَقَا ُموا ال
َ ْصر ُْوهُ ْم َوا ْق ُع ُدوا لَهُ ْم ُك َّل َمر ُ َْواح
فَ َخلُّوا َسبِ ْيلَهُ ْم
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana
saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat
pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat
serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (At-
Taubah: 5)
Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:
صالَةَ تَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر
َّ إِ َّن ال
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(Al-‘Ankabut: 45)
Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat
merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:
ِ ت ي ُْذ ِهب َْن ال َّسيِّئَا
ت ِ إِ َّن ْال َح َسنَا
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud:
http://orido.wordpress.com 10
Hadith of the Day
114)
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan
utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala
melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya,
ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian
dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air
atau udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum.
(Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170)
Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam
agama ini, di antaranya:
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
،صلُ َح َسائِ ُر َع َملِ ِه
َ ت ْ صلُ َح َّ أَ َّو ُل َما ي َُحا َسبُ بِ ِه ْال َع ْب ُد يَ ْو َم ْالقِيَا َم ِة ال
َ فَإِ ْن،ُصالَة
ت فَ َس َد َسائِ ُر َع َملِ ِهْ َوإِ ْن فَ َس َد
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila
shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka
rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ك يُ ْبقِي ِم ْن َ ِ َما تَقُ ْو ُل َذل،ب أَ َح ِد ُك ْم يَ ْغتَ ِس ُل فِ ْي ِه ُك َّل يَ ْو ٍم َخ ْمسًا
ِ أَ َرأَ ْيتُ ْم لَ ْو أَ َّن نَ ْهرًا بِبَا
ُس يَ ْمحُو هللا ِ ت ْال َخ ْم ِ صلَ َوا
َّ ك َمثَ ُل ال َ ِ فَ َذل:الَ َ ق.ً الَ يُ ْبقِي ِم ْن َد َرنِ ِه َشيْئا:َد َرنِ ِه؟ قَالُ ْوا
بِ ِه َّن ْال َخطَايَا
“Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian,
di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang
engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para
sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah
bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahan-
kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520)
http://orido.wordpress.com 11
Hadith of the Day
yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul
Authar,1/398)
Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib,
dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim
yang mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana
ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya
dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang
menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3)
Faedah
Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia
mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ صالَةً فَ ْلي
ُصلِّ إِ َذا َذ َك َرهَا َ َم ْن نَ ِس َي
“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat
http://orido.wordpress.com 12
Hadith of the Day
tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)
Dalam riwayat Muslim (no. 1567):
َ صالَ ِة أَ ْو َغفَ َل َع ْنهَا فَ ْلي
ُصلِّهَا إِ َذا َذ َك َرهَا َّ إِ َذا َرقَ َد أَ َح ُد ُك ْم َع ِن ال
“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat
atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga
dari tidur).”
http://orido.wordpress.com 13
Hadith of the Day
4 Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang lebih
kita kenal dengan shalat sunnah.
5 Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan telah
mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada dirinya,
maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak laki-laki, ada
tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh rambut pada kemaluan,
dan sebagainya.
6 Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid.
7 Seperti hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ia berkata, "Aku pernah
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صالَ ِة َ ْك َو ْال ُك ْف ِر تَر
َّ ك ال ِ ْإِ َّن بَي َْن ال َّرج ُِل َوبَي َْن ال ِّشر
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
8 Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ijma’ kaum
muslimin.
9 Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– tentang
hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207
Konsultasi : Shalat
Pertanyaan:
Pak Ustadz, ketika sedang sholat tiba-tiba konsentrasi hilang sehingga tidak nikmat
sholat tersebut. Apakah shalat itu perlu diulang dari awal untuk mencapai kekhusuan
sholat atau teruskan saja sambil berusaha untuk konsentrasi (khusu)?
Rahmat Budiman
Jawaban:
Shalat khusyuk menjadi dambaan setiap orang yang beriman. Namun, tidak semua
orang bisa merasakan shalat khusyuk tersebut. Karena itu, di antara rahmat Allah
kepada kita, Dia mengatakan,
Celaka (wail) bagi orang yang shalat. Yaitu yang lalai dari shalatnya (QS al-Al-Maun)
http://orido.wordpress.com 14
Hadith of the Day
Dia tidak mengatakan "Celaka bagi orang yang shalat, yaitu yang lalai dalam
shalatnya" Sebab, lalai dari shalat menurut para ulama adalah lalai dan enggan
mengerjakannya atau tidak mengaplikasikan nilai-nilainya. Sementara, lalai dalam
shalat berarti tidak khusyuk dalam shalat. Inilah yang sulit bahkan nyaris tidak
mungkin dikerjakan oleh setiap orang yang shalat. Karena itu, kita harus bersyukur
karena Allah memakai redaksi yang pertama. Dia mengetahui kelemahan kita semua.
Karenanya pula, khusyuk bukan merupakan syarat sah shalat sehingga ketika shalat
yang kita kerjakan tidak diiringi kekhusyuan, tidak harus diulang selama rukun-
rukunnya terpenuhi.
Hanya saja kita memang harus terus berupaya untuk menjadikan shalat kita menjadi
khusyuk agar kriteria mukmin sejati seperti yang Allah sebutkan dalam surat al-
Mukminun ayat 2 terwujud. Di samping itu kita perlu membanyak shalat-shalat sunnah
untuk menututpi kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu.
Selanjutnya di antara cara dan kiat untuk mencapai shalat yang khsuyuk adalah
sebagai berikut:
Itulah sejumlah cara yang bisa membantu kita untuk bisa khusyuk dalam melaksanakan
shalat.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349
Konsultasi : Shalat
http://orido.wordpress.com 15
Hadith of the Day
Pertanyaan:
saya seorang suami, memilih manakah saya sebagai seorang suami untuk sholat
jama'ah dimasjid ataukah jama'ah dirumah dengan istri??
saya masih agak bingung antara hadis yang menyatakan bahwa sampai orang buta-pun
tidak ada keringanan sedikitpun untuk tidak pergi ke masjid ketika mendengar adzan
sholat fardlu. dan bagaimana mensikapi hadist tersebut dengan Q.S Al- Baqarah ayat
43 "warkangu ma'arrakingin" dan rukuk lah bersama orang yang rukuk, padahal kalau
saya sholat dimasjid berarti saya membiarkan istri saya sholat sendiri dirumah???
jazakillah
wawan
Jawaban:
Pada dasarnya kedudukan shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dan wanita
berbeda. Bagi laki-laki, shalat berjamaah di masjid hukumnya adalah sunnah
muakkadah dan bahkan ada yang sebagian ulama yang mengatakan wajib. Di samping
riwayat tentang sahabat buta yang tetap disuruh ke masjid, ada sebuah riwayat dari
dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Demi Yang Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, suunguh aku berkeinginan untuk mengumpulkan kayu bakar kemudian
aku perintahkan shalat, azan dan memerintahkan seseorang menjadi imam, lalu aku
mendatangi orang yang tidak hadir dalam shalat jamaah dan aku bakar rumahnya.
Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya salah seorang mereka tahu bahwa
dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua daging tulang iga yang bagus,
pastilah mereka hadir shalat isya` berjamaah (HR. Bukhari dan Muslim).
Meski para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana istimbath hadits tersebut,
namun paling tidak melakukan shalat dimasjid tetap lebih utama.
Bahkan Al-Imam Abu Hanifah dan lainnya mengatakan bahwa shalat jamaah di masjid
itu hukumya fardhu kifayah. Artinya orang-orang akan berdosa bila tidak ada sama
sekali yang shalat di masjid. Pendapat ini adalah pendapat yang paling ringan dari
semua pendapat tentang urgensi shalat berjamaah di masjid.
http://orido.wordpress.com 16
Hadith of the Day
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557
Konsultasi : Ibadah
Pertanyaan:
Saya menetap di negara empat musim yang memiliki perbedaan waktu cukup lebar
antara musim dingin dan panas. saya merasa sangat kesulitan bangun pagi untuk shalat
subuh terutama apabila jadwal shalat subuh jatuh sekitar pukul 04.00 pagi. apakah
saya bisa menunda shalat subuh tsb dan mengerjakannya pada saat saya terbangun
setelah matahari terbit? pertanyaan kedua (menyangkut soal waktu) apabila saat
Ramadhan, imsyak jatuh pukul 04 pagi dan dan maghrib pukul 22.30 malam, apakah
saya harus berbuka puasa menunggu magrib (pukul 22.30) atau mengikuti waktu
Indonesia atau bagaimana? karena cukup berat apabila tidak makan dan minum selama
19 jam. jawaban dari Bapak/Ibu merupakan hal yang berarti bagi kelangsungan ibadah
saya di negeri orang. Selamat berpuasa. Terima kasih banyak, wassalam.
Ayu
Jawaban:
Ibadah shalat dan puasa adalah ibadah yang sangat terkait pelaksanaannya dengan
waktu. Sehingga bila dilakukan bukan pada waktu yang telah ditetapkan, ibadah itu
menjadi tidak sempurna, bahkan bisa menjadi tidak syah.
Waktu-waktu shalat dan puasa telah ditentukan secara detail dalam syariat Islam. Dan
setiap orang dimana pun berada terikat dengan waktu dimana dia berada.
Shalat Shubuh itu dimulai ketika munculnya syafaqul ahmar, yaitu mega yang
berwarna merah di ufuk timur. Mega ini muncul jauh sebelum terbitnya matahari, yang
menjadi batas berakhirnya waktu shubuh. Di dalam rentang waktu antara mega merah
dan terbitnya matahari inilah shalat shubuh dilakukan. Keluar dari waktunya secara
http://orido.wordpress.com 17
Hadith of the Day
sengaja, tentu tidak bisa diterima shalatnya. Kecuali bila dalam kasus tertentu seperti
orang yang bangun kesiangan.
Waktu Puasa
Demikian juga waktu untuk mulai dan berbuka puasa, sudah ditetapkan secara baku.
Mulai dari masuknya waktu shubuh dan berakhir dengan terbenamnya matahari di ufuk
barat. Dalam rentang waktu itulah puasa dilakukan.
Namun setiap muslim tetap terikat dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan
berdasarkan peredaran matahari (terbit dan terbenamnya). Meski pun terjadi
perbedaan panjang antara malam dan siang. Dimana pun seseorang berada di muka
bumi ini, maka dia harus mengikuti jadwal ibadah shalat dan puasa sesuai dengan
gejala peredaran matahari ini, meski pun setiap saat bisa berubah-ubah.
Barangkali pada musim panas, lamanya siang akan menjadi sangat panjang, karena
bisa saja jam 03.00 pagi matahari sudah terbit. Dan baru terbenam jam 21.00 malam
harinya. Sebaliknya, di musim dingin justru matahari terlambat sekali terbit, misalnya
pada jam 08.00 dan sudah terbenam pada jam 16.00 sore harinya. Tetapi selama
perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari masih jelas terjadi dalam setiap
harinya, jadwal shalat dan puasa tetap harus mengacu kepada peredaran matahari.
Kecuali untuk wilayah yang terlalu ekstrim, dimana matahari tidak terbit selama 6
bulan atau sebaliknya. Atau batas antara terbenam dan terbitnya matahari sangat
singkat dan tidak sampai hilang mega merahnya, sehingga tidak bisa dipastikan
kapankan masuk waktu Isya dna kapankah masuk waktu shubuh. Dalam kasus ini, para
ulama dalam Majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami dan Hai`ah Kibaril Ulama telah
menetapkan fatwa antara lain :
Pertama : Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu
tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam
kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal
puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian
siang dan malam setiap harinya.
Kedua : wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar)
sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega
merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka
yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat 'isya'nya saja dengan waktu
di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah
maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa),
disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega
merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
http://orido.wordpress.com 18
Hadith of the Day
Ketiga : Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu
hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya.
Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan
aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu
shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat
matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. "
Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT firmankan di dalam Al-Quran :
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid." (QS. Al-Baqarah :
187).
Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu
menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu
dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk
tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini
berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah
memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.
Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan
oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh
Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah.
Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana
malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya
terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan ?
Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar
hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim
dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain
mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang
ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan :
http://orido.wordpress.com 19
Hadith of the Day
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub
mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta
Sultan / Khalifah muslim.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663
Konsultasi : Ibadah
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr.wb
ustad, saya masih bingung bilang saja ada dlm perjalanan (mis. ke Mall) ba'da Zhuhur
hingga masuk waktu Is'ya krn biasanya hingga hari ini saya sholat fardhu seperti biasa
Ashar 4 raka'at dan seterusnya, tp saudara & temen saya memberitahu bahwa
seharusnya saya melakukan sholat fardhu seperti seorang musafir yaitu di qashar (mis.
menjadi 2 raka'at). Yang lebih menakutkan bagi saya yaitu pernyataan mereka yang
mengatakan "Allah SWT akan murka" bila kita sudah di beri kemudahan tp tidak
dijalankan. Apakah bener hal itu dan apakah ada ayat Atau hadist yang
menjelaskannya ? karena bagi saya sesungguhnya islam itu tidak mempersulit umatnya
(dan saya tdk merasa di persulit bila saya pergi ke Mall tiap datang waktu Sholat
langsung saya sholat di mushola Mall tsb).
Rita Selfina
Jawaban:
Jalan-jalan ke mall sama sekali bukanlah termasuk safar atau hal-hal lain yang bisa
dijadikan syarat dibolehkannya menjama` dan mengqashar shalat. Sebab mall itu
biasanya adanya di dalam kota tempat Anda tinggal, bukan ?
Barangkali kalau mall-nya itu adanya di lain kota atau bahkan di luar negeri yang
http://orido.wordpress.com 20
Hadith of the Day
jaraknya sudah melewati batas minimal syahnya jama` dan qashar shalat, bisa
dibenarkan untuk melakukannya.
Tetapi jalan-jalan ke mall di kota Anda sendiri jelaslah bukanlah sebuah perjalanan
yang dimaksud dalam masalah jama` dan qashar. Karena jalan-jalan itu berbeda
maknanya dengan perjalanan atau safar. Para ulama sudah menetapkan batas-batas
minimal jarak yang akan ditempuh sehingga membuat seseorang boleh melakukan
jama` atau qashar.
Lagi pula jama` dan qashar itu bukanlah termasuk maslah kewajiban, melainkan
rukhshah dari Allah SWT. Jadi merupakan bentuk keringanan yang diberikan. Memang
sebaiknya dimanfaatkan keringanan itu, namun tidak berarti orang yang tidak
memanfaatkannya malah dimurkai. Kalau begitu bukan lagi keringanan tetapi beban
atau kewajiban. Dan hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari disyariatkannya jama` dan
qashar.
Anda tidak perlu khawatir dengan apa yang disampaikan teman Anda itu dan juga tidak
perlu merasa bersalah bila apa yang Anda kerjakan tidak sesuai dengan apa yang
mereka katakan. Sebab perkataan mereka itu tidak berdasarkan dalil yang rajih dan
juga berbeda dengan apa yang dipahami oleh mayoritas ulama syariah. Maka biarkan
saja mereka mengatakan demikian, Anda tidak perlu merasa rendah diri.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272
Konsultasi : Aqidah
Pertanyaan:
dua hari yang lalu, saya mengikuti pengajian dengan tema mendoakan orang kafir.
Dalam salah satu penjelasannya, pengisi mengatakan, salah satu yang tidak boleh
didoakan adalah orang yang tidak sholat, karena dia telah kafir. Bagaimana dengan
orangtua kita yang jelas-jelas muslim tapi tidak mengerjakan sholat?apakah kita nggak
oleh mendoakannya?
Rijal
Jawaban:
http://orido.wordpress.com 21
Hadith of the Day
Para ulama membedakan antara orang yang sengaja menolak kewajiban shalat dengan
orang yang tidak shalat namun tetap mengakui kewajibannya.
Orang yang menolak kewajiban shalat memang layak dikatakan kafir. Sebab secara
tegas dia menolak adanya kewajiban shalat. Padahal kewajiban shalat itu adalah
perintah yang teramat jelas, tegas, diketahui oleh semua orang dan tidak alasan untuk
mengatakan tidak tahu kewajibannya.
Orang yang dengan sepenuh kesadaran menolak adanya kewajiban shalat, sama saja
dengan mengingkari ayat Al-Quran Al-Kariem. Dan sama saja dengan mengingkari
agama Islam. Dan sama saja dengan orang yang bukan Islam. Maka orang ini layak
disebut kafir akibat keyakinannya itu.
Sebaliknya, ada orang yang secara keyakinan menerima dan mengakui kewajiban
shalat, namun dalam pelaksanaannya terkadang tidak sepenuhnya dikerjakan. Ada
yang shalatnya hanya sehari dua kali, atau sekali seminggu atau dua kali setahun.
Orang yang tidak shalat tapi masih mengakui bahwa shalat itu wajib, tidak bisa
dikatakan kafir akibat kemalasannya itu. Memang dia berdosa besar karena
meninggalkan shalat fardhu, namun tidak sampai membuatnya menjadi kafir atau
keluar dari Islam.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784
Konsultasi : Ibadah
Pertanyaan:
assalaamu'alaikum WrWb
Langsung aja, apakah Shalat Fardhu itu wajib berjamaah?
Atas jawabannya saya ucpkan Jazakumulloh
Wassalaamu'alaikum WrWb
Hanif
Jawaban:
http://orido.wordpress.com 22
Hadith of the Day
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum shalat berjamaah itu adalah sunnah muakkadah.
Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu lebih utama dari
pada shalat sendirian dengan 27 derajat.
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,� shalat berjamaah itu lebih
utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat.(HR. Muttafaq alaihi)
Ada sebagian pendapat dari ulama yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya wajib. Dengan beberapa dalil yang diajukan. Misalnya tentang keinginan
Rasulullah SAW membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah ke masjid. Juga
tentang perintah baliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang buta namun tetap
diperintahkan shalat berjamaah di masjid. Bahkan meski pun seseorang harus
mendatangi masjid sambil merangkak.
Dengan dalil-dali seperti itu, ada yang berkesimpulan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya wajib. Namun jumhurul fuqaha tidak sampai mewajibkannya saja,
melainkan hanya mengatakan bahwa pada hakikatnya hukumnya hanya sunnah
muakkadah saja.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346
Pertanyaan:
Assalamualaikum, WRB
Salam dan selawat kepada Nabi Allah Muhammad SAW, semoga hamba mendapat
berkah dari pertanyaan ini Amin.
Saya ada pertanyaan ustad. Adakah perbedaan antara wajib dan fardhu, dan kalau
ustad berkenan bisakah ustad jelaskan tingkatannya (ie. fardh, sunnah....).
http://orido.wordpress.com 23
Hadith of the Day
Wassalamualaikum, WRB
Erwin
Erwin
Jawaban:
Jumhur ulama umumnya menyamakan makna fadhu dengan makna wajib. Mereka
mengatakan bahwa antara kedua itu tidak ada beda dalam makna dan pengertian.
Kecuali hanya pada masalah ibadah haji, mereka memang membedakan antara
keduanya.
Namun Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Hanafiyah membedakan pengertian keduanya.
Bagi mereka, fardhu adalah sesuatu yang telah ditsabatkan (ditetapkan) dengan dalil
yang mengharuskan secara ilmu untuk dikerjakan, baik dari Al-Quran al-Kariem
maupun sunah yang mutawatir atau dari ijma’. Atau dengan kata lain dengan dalil
yang bersifat qaht’i. Silahkan rujuk kepada kitab Ushul Asy-Syarkhasi jilid 1 hal 110
-113 dan juga kitab Al-Mahshul jilid 1 hal. 119.
Sedangkan wajib adalah sesuatu yang harus dikerjakan dengan dasar dalil yang bersifat
zhanni. Sehingga bisa saja tidak dengan ayat quran atau hadits mutawatir atau ijma,
tetapi dengan hadits ahad atau kesepakatan sebagian ulama (jumhur).
Lebih tegas lagi untuk membedakan antara makna fardhu dan wajib dalam pandangan
mereka adalah bahwa orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu hukumnya kafir.
Sedangkan orang yang mengingkari sesuatu yang wajib, hukumnya tidak kafir
melainkan fasik. Sebab sesuatu yang dianggap wajib itu dalilnya tidak atau belum
terlalu kuat atau belum qath’i. Sebaliknya, sesuatu yang fardhu itu dasar hukumnya
memang sudah mutlaq tidak mungkin mengelak.
Lebih tegas lagi untuk contoh adalah shalat lima waktu itu fardhu hukumnya,
sedangkan shalat witir malam hari buat Imam Abu Hanifah hukumnya wajib. Nah,
orang yang mengingkari kefardhuan shalat lima waktu hukumnya kafir, sedangkan yang
mengingkari kewajiban shalat witir hukumnya fasik.
Namun semua perbedaan ini hanya ada dalam fiqih Imam Abu Hanifah. Sedangkan fiqih
jumhurul ulama tidak mengenal perbedaan antara wajib dengan fardhu kecuali pada
bab haji sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
http://orido.wordpress.com 24
Hadith of the Day
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atau-
sholat-kendaraan.htm?other
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Pak Ustadz, bukankah kita boleh melakukan sholat di kendaraan sambil duduk di kursi
bis, dengan terlebih dahulu tayamum di kaca/jendela bis. Hal ini pernah saya lakukan
saat perjalanan naik bis dari Jakarta ke Pekan Baru yang menempuh jarak 2 hari 2
malam. Apakah kita perlu menjama' sholat setelah tiba/istirahat di kota terdekat
ataukah sudah gugur kewajiban kita karena sudah melakukan sholat di bis.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
Heri Setyadi
Heri Setyadi
heristar
Jawaban
Ada beberapa perbedaan ulama tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas
kendaraan. Perbedaan itu bukan semata-mata timbul dari ijtihad para ulama,
melainkan hadits-hadits yang kita terima dari Rasulullah SAW telah saling berbeda.
Maka wajar pula bila para ulama pun saling berbeda pandangan.
Sebagian ulama memandang masalah shalat di atas kendaraan adalah bahwa Rasulullah
SAW tidak pernah melakukannya. Kecuali hanya pada shalat sunnah saja. Adapun
ketika datang waktu shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah
dengan menghadap kiblat.
Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke mana
saja, memang benar. Namun ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunnah,
bukan shalat wajib. Dasarnya adalah hadits beliau SAW berikut ini:
http://orido.wordpress.com 25
Hadith of the Day
Dari Amir bin Rabi'ah ra. berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya
(shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun beliau
tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu." (HR. Muttafaq 'alaihi)
Hadits ini menurut An-Nawawi, Al-Iraqi, Al-Hafidz dan lainnya dikatakan sebagai
sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunnah di atas kendaraan dalam
perjalanan yang panjang. Sedangkan kalau bukan dalam perjalanan panjang, telah
terjadi perbedaan pendapat.
Imam Malik mengatakan bahwa bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan
qashar shalat, shalat sunnah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa shalat wajib itu tidak boleh lepas dari
menghadap kiblat. Sehingga bila shalat di atas kendaraan yang kemungkinan akan
berbelok-belok, batallah shalat itu. Maka beliau mengatakan bahwa para ulama
berijma' tidak boleh shalat fardhu di atas kendaraan.
Kecuali bila bisa dipastikan shalat di atas kendaraan itu tidak akan membuatnya lepas
dari menghadap kiblat, juga bisa dipastikan untuk bisa berdiri, ruku' sujud dengan
benar. Tetapi kalau tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak
dibenarkan. Demikianlah yang tertulis di mazhab kami (asy-Syafi'i) sebagaimana
perkataan An-Nawawi.
Sedangkan shalat di atas kapal laut, oleh mereka dikatakan bahwa para ulama telah
ijma' atas kebolehannya.
Mereka yang berpandangan bahwa shalat fardhu boleh dikerjakan di atas kendaraan,
berangkat dari hadits lainnya dari Rasululullah SAW berikut ini:
ُق هُ َو َوأَصْ َحابُه ٍ ضيِ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْنتَهَى إلَى َم َ ي َّ َِع ْن يَ ْعلَى ب ِْن ُم َّرةَ أَ َّن النَّب
ُصاَل ةَّ ت ال ْ ض َر َ َوال َّس َما ُء ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َو ْالبِلَّةُ ِم ْن أَ ْسفَ َل ِم ْنهُ ْم فَ َح، احلَتِ ِه ِ َوهُ َو َعلَى َر
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى َرا ِحلَتِ ِه َ ِ فَأ َ َم َر ْال ُم َؤ ِّذ َن فَأ َ َّذ َن َوأَقَا َم ثُ َّم تَقَ َّد َم َرسُو ُل هَّللا
َر َواهُ أَحْ َم ُد.وع
ِ ض ِم ْن الرُّ ُك َ َصلَّى بِ ِه ْم يُو ِم ُئ إي َما ًء يَجْ َع ُل ال ُّسجُو َد أَ ْخف َ َف
َُّوالتِّرْ ِم ِذي
Dari Ya'la bin Murrah bahwa Rasulullah SAW melwati sebuah celah sempit bersama
dengan para shahabat dengan menunggang kendaraan. Saat itu langit hujan dan tanah
menjadi basah. Lalu datanglah waktu shalat, beliau memerintahkan muadzdzin untuk
adzan dan qamat. Lalu Rasulullah SAW memajukan kendaraannya ke depan dan
http://orido.wordpress.com 26
Hadith of the Day
melakukan shalat dengan membungkuk, bungkuknya untuk sujud lebih rendah dari
bungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Daaruquthunydan Tirmizy)
Oleh At-Tirmizy, hadits ini dinilai sebagai hadits gharib dan dinilai sebagai hadits
dha'if oleh Al-Baihaqi. Sedangkan yang men-shahih-kan hadits ini adalah Abdul Haq,
lalu yang mengatakannya hasan adalah At-Tuzy.
Secara isi kandungan hukumnya, jelas sekali bahwa hadits ini bertentangan 180
derajat isinya dengan hadits Bukhari dan Muslim di atas, yang menyebutkan tidak ada
shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits ini justru menyebutkan dengan tegas bahwa
Rasulullah SAW dan para shahabat melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, secara
berjamaah pula. Bahkan sempat dikumandangkan adzan dan iqamah sebelumnya.
Lalu bagaimana kesimpulan hukumnya, bolehkah kita shalat fardhu di atas kendaraan?
Jawabnya kembali kepada pendapat mana kita akan memilih. Kalau kita cenderung
menerima hadits yang pertama, maka kalau pun kita shalat fardhu di atas kendaraan,
masih ada kewajiban untuk mengulangi shalat di rumah. Sebab kendaraan itu tidak
bisa menjamin bahwa shalat kita bisa tetap menghadap kiblat, juga tidak bisa shalat
sambil berdiri tegak, ruku dan sujud secara sempurna.
Namun bila kita cenderung menerima pendapat yang kedua, tidak apa-apa juga.
Silahkan shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat, tanpa berdiri, tanpa rukuk
dan sujud yang sempurna. Toh dahulu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah
melakukannya juga, mesi kalau kita bicara kekuatan haditsnya, lebih lemah
dibandingkan hadits yang pertama.
Jalan Terbaik
Umumnya sikap yang paling baik adalah keluar dari khilaf, selagi masih
memungkinkan. Yang sama sekali sudah tidak ada khilafnya adalah shalat jama' dan
qashar. Maka dalam perjalanan seperti yang anda sebutkan, shalat Dzuhur dan Ashar
sebaiknya anda jama' dan demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Yaitu saat
istirahat di suatu perhentianjalan. Bisa dikerjakan di mushalla atau di mana saja, yang
penting bisa menghadap kiblat dengan benar, bisa berdiri, sujud dan ruku'dengan
benar.
Semua untuk menghindari diri dari khilaf para ulama. Kita cari amannya dan kepastian
hukum yang lebih jelas.
Apalagi mengingat bahwa selama masih ada air, kita toh masih belum boleh
bertayamum. Meski pun di dalam kendaraan. Dan sebenarnya, memang ada air di
dalam kendaraan, paling tidak kita punya botol air kemasan yang bisa dibeli sepanjang
perjalanan.
http://orido.wordpress.com 27
Hadith of the Day
tidak bisa digunakan. Lagi pula, debu mikroskopis itu sendiri bukan hanya ada di
jendela dan dinding saja, tetapi di udara pun ada juga beterbangan. Masak kita mau
bertayammum dengan debu mikroskopis yang beterbangan di udara?
Karena itu, yang paling aman adalah kita turun dari kendaraan, lalu cari mushalla dan
berwuhdu dengan benar, lalu shalat jama' dan juga boleh diqashar sekalian. Alternatif
ini selagi masih mungkin dilakukan, sebaiknya dikerjakan. Kecuali dalam kondisi
tertentu di mana kita memang tidak mungkin alias mustahil berhenti dan singgah di
suatu tempat. Misalnya perjalanan dengan kereta api atau pesawat terbang.
Sedangkan dengan bus umum atau mobil pribadi, sangat dimungkinkan untuk berhenti
sejenak untuk shalat, mungkin sambil istirahat atau makan.
http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/
Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua
rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat
Shubuh tidak bisa diqashar.
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana
firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah
(pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menerimanya.” (HR: Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat
bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang
sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk
bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
http://orido.wordpress.com 28
Hadith of the Day
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan
yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh
Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan
umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah
karena sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur
untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan
menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya
dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al
Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para
ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat
adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan
maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak
yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita,
(AlMuhalla, 21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir
kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur
bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di
Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari
Muslim).
Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar
shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan
tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat
Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir
namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian
ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak
menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun
demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir
seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk.
Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena
yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama
musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi
kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang
http://orido.wordpress.com 29
Hadith of the Day
dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau
tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun
seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia
bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau
tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan
kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah
hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung
shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak
mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan
pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar,
setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian
dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara
berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu
juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum
pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat
Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja
mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah
imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah
sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan
musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya
seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis
Shawaab.
(Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan Al-
Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )
http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0
http://orido.wordpress.com 30
Hadith of the Day
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang berdo’a di tengah shalat wajib,
misalnya setelah melakukan beberapa rukun seperti ketika sujud seusai membaca
Subhanallah lalu berdo’a Allahummaghfirli warhamni (Ya Allah ampunilah aku dan
rahmatillah aku) atau do’a yang lain ? Saya berharap mendapatkan nasihat yang
bermanfaat.
Jawaban
Disyariatkan bagi seorang mukmin untuk berdo’a ketika shalatnya di saat yang
disunnahkan untuk berdo’a, baik ketika shalat fardhu maupun shalat sunnah. Adapun
saat berdo’a katika shalat adalah tatkala sujud, duduk di antara dua sujud dan akhir
salat setelah tasyahud dan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum
salam. Sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud untuk memohon ampunan. Telah
diriwayatkan pula bahwa beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika
sujud, maka perbanyaklah do’a (ketika itu)
Di dalam Ash-Shahihian dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepadanya berkata :
Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hal ini menunjukkan disyariatkannya
berdo’a dalam kondisi-kondisi tersebut dengan do’a yang disukai oleh seorang muslim,
http://orido.wordpress.com 31
Hadith of the Day
baik yang berhubungan dengan akhirat maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan
duniawiyah. Dengan syarat dalam do’anya tidak ada unsur dosa dan memutuskan
silaturahim. Namun yang paling utama adalah memperbanyak do’a dengan do’a yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan Solo]
http://www.almanhaj.or.id/content/1381/slash/0
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaa,
Syaikh Abdul Aiz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan
apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?
Jawaban
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama muslim, Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa menyalami para sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka
saling bersalaman, Anas Radhiyallahu ’anhu dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata :
Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam apabila berjumpa mereka saling
bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan
Disebutkan dalam Ash-Shahihain [1], bahwa Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ’anhu,
salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi Shallallahu ’alaihi
wa sallam di masjidnya menuju Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ’anhu ketika Allah
menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima
taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan setelah wafatnya beliau, juga riwayat dari Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
Artinya : Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan
berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari
pohonnya [2]
Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya
belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai
http://orido.wordpress.com 32
Hadith of the Day
pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan
menghilangkan permusuhan.
Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk
bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru’. Sedangkan yang dilakukan
oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah
salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak
adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut
adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.
Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya
belum sempat bersalaman, karena jika telah bersalaman sebelumnya maka itu sudah
cukup.
[Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz]
http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0
Oleh
Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para
ulama).[2]
http://orido.wordpress.com 33
Hadith of the Day
"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa': 101]
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab
radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-
orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu
menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau
menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah
Allah tersebut.[3]
"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan
Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim)
dan dua raka'at apabila safar"[4]
"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat
Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5]
Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu
alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat
dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]
http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0
8]
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan
diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat
yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-,
karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak
berijtihad.[9]
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah
keluar (meninggalkan) kota Madinah.
http://orido.wordpress.com 34
Hadith of the Day
Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala
alihi wasallam di kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota
Madinah) dua raka'at"[11]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat
bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung
halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15]
http://orido.wordpress.com 35
Hadith of the Day
dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat,
kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu
anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab: 21]
[17]
JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang
melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]
Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat
pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya'
dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan
sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan
boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam.
[20]
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir
atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan
ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir
ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya
hujan [23] , dan orang sakit.[24]
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi
wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib
dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab
takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya.[26]
http://orido.wordpress.com 36
Hadith of the Day
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'.
Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara
keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh
maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan
mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat
perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak
berdasar) maka tertolak.[27]
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya
masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama¡¦
(menggabungnya) dengan shalat lain.[29]
http://orido.wordpress.com 37
Hadith of the Day
selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang
musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka
(makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti
salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi
imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata:
Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami
adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua
(qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36]
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar
adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada'
Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan
menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39].
Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para
sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila
safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama
dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat
Jum'at"
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau
tidak melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para
ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan
menyelisihinya.[41]
[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami. Beliau
adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota
Malang, Jawa Timur]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-
227.
http://orido.wordpress.com 38
Hadith of the Day
http://orido.wordpress.com 39
Hadith of the Day
Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.
[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216
http://www.almanhaj.or.id/content/1064/slash/0
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang sakit dibagian perutnya,
lalu dia masuk rumah sakit dan dioperasi. Setelah dioperasi di tidak sadarkan diri
selama satu setengah hari karena pengaruh obat bius. Setelah dia sadar, dia masih
belum mampu melaksanakan shalat dengan sempurna dan juga belum bisa mandi
selama satu minggu. Bagaimana orang ini harus shalat?
Jawaban
Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya,
berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara
shalat orang yang sakit.
“Artinya : Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk.
Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” [Hadits Riwayat Bukhari]
Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil
terlentang”.
Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan
badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud
dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai
dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” [At-Tagabun : 16]
Jika seorang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius atau karena sakitnya
terlalu parah, dia harus segera mungkin mengqadla shalat-shalat wajib yang belum dia
laksanakan selama dia tidak sadar, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
http://orido.wordpress.com 40
Hadith of the Day
“Artinya : Barangsiapa yang tertidur atau lupa melaksanakan shalat maka hendaklah
dia segera shalat ketia dia ingat atau terbangun dan tidak ada denda selain itu”
[Hadits Riwayat Muslim]
Tidak diragukan lagi bahwa pingsan karena sakit atau karena obat bius hukumnya sama
dengan orang yang tertidur, walaupun selama dua atau tiga hari. Jadi dia tidak boleh
(tidak usah) mengundurkan shalat-shalat tersebut untuk dilakukan bersama shalat-
shalat yang sejenis. Tapi yang benar adalah dia harus segera mengerkan shalat-shalat
fardhu yang dia tinggalkan ketika dia sudah sadar, seperti orang yang bangun dari
tidurnya atau orang yang teringat dari kelupaannya. Dan jika dia tidak mampu
menggunakan air, dia boleh bertayamum berdasarkan ayat-ayat yang telah lalu. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-
Tibyan Solo]
http://www.almanhaj.or.id/content/1039/slash/0
Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih
Sebagian orang ada yang mengangkat tangan setelah bangun dari ruku seperti
mengangkat tangan tatkala berdoa. Cara seperti ini tidak ada contohnya akan tetapi
yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti
mengangkat tangan pada waktu Takbiratul Ihram. Barangsiapa yang melakukan
perbuatan tersebut hendaknya dihindari dan diperingatkan dengan keras. Dari
Abdullah Ibnu Umar bahwa tatkala beliau memulai shalat bertakbir sambil mengangkat
kedua tangan dan tatkala mengucap : “Sami’allahu liman hamidahâ€
mengangkat kedua tangan dan tatkala bangun dari rakaat yang kedua beliau juga
mengangkat kedua telapak tangan, dan hadits ini disandarkan oleh Ibnu Umar kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah ada hadits yang menganjurkan berdoa
mengangkat tangan setelah shalat fardhu, sebab ada orang yang mengatakan bahwa
http://orido.wordpress.com 41
Hadith of the Day
Jawaban.
Sepengetahuan saya tidak ada dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun contoh dari para sahabat tentang berdoa mengangkat tangan setelah shalat
fardhu. Dan apa yang dikerjakan oleh sebagian orang berdoa mengangkat tangan
setelah shalat fardhu adalah perbuatan bid’ah berdasaerkan sabda Nabi.
Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu yang bukan dari ajaranku, maka
tertolak[Muttafaqun ‘Alaih]
[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam
Berdo’a hal. 70-72 Darul Haq]
http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/155
http://orido.wordpress.com 42
Hadith of the Day
http://orido.wordpress.com 43
Hadith of the Day
http://orido.wordpress.com 44
Hadith of the Day
14. Melakukan sesuatu yang melalaikannya dari shalat .
Ini menunjukkan bahwa dia lebih menuruti hawa nafsu daripada
menta'ati Allah. Betapa banyak orang yang tetap sibuk dengan
pekerjaannya, menonton TV, ngobrol dan sebagai-nya sementara
seruan adzan telah berkumandang. Padahal melalaikan shalat dan
mengingat Allah adalah suatu bencana besar. Allah berfirman,
artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jangan-lah hartamu
dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah, barangsiapa
melakukan demiki-an maka mereka itulah orang-orang yang merugi."
(Al-Munafiqun: 9).
15. Memejamkan mata ketika shalat tanpa keperluan .
Ini adalah makruh. Ibnu Qayyim berkata, 'Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak mencontohkan shalat dengan meme-jamkan
mata.' Akan tetapi jika memejamkan mata tersebut diperlukan
misalnya, karena di hadapan-nya ada lukisan atau sesuatu yang
menghalangi kekhusyu'annya maka hal itu tidak makruh.
16. Makan atau minum dalam shalat.
Ini membatalkan shalat. Ibnul Mundzir berkata, 'Para ahli ilmu
sepakat bahwa orang yang shalat dilarang makan dan minum.'
Karena itu, bila masih terdapat sisa makanan di mulut, seseorang
yang sedang shalat tidak boleh menelannya tetapi hendaknya
mengeluarkannya dari mulutnya.
17. Tidak meluruskan dan merapatkan barisan.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Kalian mau meluruskan barisan-barisan kalian atau Allah akan
membuat perselisihan di antara hati-hati kalian."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun rapatnya barisan, sebagaimana yang dipraktekkan para
sahabat adalah pundak dan telapak kaki seseorang merapat dengan
pundak dan telapak kaki kawannya.
18. Imam tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah,
sehingga menjadikan makmum juga tergesa-gesa, tidak thuma'ninah
dan tidak sempat membaca Fatihah. Setiap imam akan ditanya tentang
shalatnya, dan thuma'ninah adalah rukun, karena itu ia wajib atas
imam karena dia adalah yang diikuti.
19. Tidak memperhatikan sujud dengan tujuh anggota.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Kami diperin-tahkan untuk sujud dengan tujuh anggota;
kening -dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya sampai ke
hidungnya-, dua tangan, dua lutut dan dua telapak kaki."
(Muttafaq Alaih).
20. Membunyikan ruas jari-jari ketika shalat.
Ini adalah makruh. Ibnu Abi Syaibah meriwayat-kan:
http://orido.wordpress.com 45
Hadith of the Day
http://dzikir.org/b_shalat.htm
Tuntunan Shalat
Shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan - perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbiratul Ihram dan disudahi dengan Salam disertai dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Definisi Semacam ini telah disepakati oleh para ulama ahli fiqih dimana mereka mengatakan :
Keutamaan Shalat
http://orido.wordpress.com 46
Hadith of the Day
Didalam Agama Islam Shalat mempunyai kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah-
ibadah yang lain. Ada banyak kutipan ayat-ayat Al-qur'an mengenai keutamaan Shalat. Inilah
beberapa kutipan tersebut :
Artinya :"Peliharalah semua Shalat(mu), dan peliharalah shalat wusthaa" (Al Baqarah :238)
Artinya :"Dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu" (Thaha : 14)
Artinya :"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya" (Thaha : 132)
Artinya : "Dan dirikanlah olehmu shalat, karena sesungguhnya shslat itu dapat mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (Al Ankabut : 45)
Artinya : "Dan dirikanlah olehmu akan shalat dan berikanlah olehmu zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku' "(Al-Baqarah : 43)
Artinya :
"Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama,
dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama" (HR. Baihaqqi)
Shalat merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan sebesar-besarnya
tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama. Shalat merupakan tanda syukur atas nikmat
yang telah dikaruniakan Allah kepada hambanya. Ia merupakan ibadah yang membuktikan
keislaman seseorang. Shalat adalah ibadah yang sangat mendekatkan hamba kepada Khaliqnya,
Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi :
http://orido.wordpress.com 47
Hadith of the Day
Artinya : "Sedekat-dekat hamba kepada Tuhannya ialah dikala hamba itu bersujud (didalam
Shalat). Maka banyak-banyaklah berdo'a didalam sujud itu"
Shalat merupakan tiang agama dan merupakan suatu ibadah yang menentukan apakah
seseorang itu Islam atau kafir. Sebagaimana sabda Rasulullah :
"(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)
Didalam hadist dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. tentang ancaman Allah kepada orang yang
meninggalkan shalat, sebagai berikut :
http://orido.wordpress.com 48