Pendidikan Nilai Dan Etika
Pendidikan Nilai Dan Etika
Pendidikan Nilai Dan Etika
PENDAHULUAN
Dewasa ini akhlak kita sebagai generasi penerus bangsa sebagian sudah
terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya negatif sehingga mengarah pada penyimpangan
perilaku dan akhlak yang kurang baik. Adapun penyimpangan prilaku dan akhlak
tersebut diantaranya mencuri, merampok, perkelahian atau tawuran, meminumminuman keras, penyalahgunaan narkoba, dan pembunuhan secara keji oleh massa.
Disamping itu bahasa dan tutur kata yang digunakan jorok, kasar, dan kurang berkenan
di hati sanubari. Kemudian dalam pergaulan sehari-hari sudah tidak mengenal lagi
batas kesopanan dan tatakrama baik terhadap orang tua, guru, saudara, teman,
tetangga maupun pengurus setempat seperti RT/RW Lurah/Kepala Dewasa, Camat,
Bupati, Polisi maupun tentara, dan celakanya para pemimpim yang mempunyai
kekuasaan berlaku korup. Kecenderungan para penguasa berlaku korup ini
sebagimana digambarkan oleh Lord Acton (Wikipedia, 2010) "Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely." kekuasaan cenderung kepada korup, dan
kekuasaan yang absolut cenderung kepada korup yang absolut.
Selain itu pada masyarakat modern terlihat kecenderungan berperilaku serba
instan, praktis, ingin serba cepat. Akibatnya keinginan serba cepat itu kadangkala
menyebabkan aturan dilanggar, nilai-nilai moral terabaikan, dan lain sebagainya. Sikap
manusia modern seperti ini telah digambarkan oleh Al-Quran dengan kata-kata
al-ajalah yaitu ketergesa-gesaan, serba instan (Q.S Al-Qiyamah: 20-21).
Penyimpangan prilaku dan akhlak yang kurang baik juga terjadi di kalangan
siswa SD. Sering kita temukan anak-anak usia SD sudah tidak mampu lagi
membedakan mana orang tua mana teman, mana manusia mana hewan. Bahasa yang
digunakan selalu disertai dengan kata-kata kotor, seolah kata-kata kotor itu menjadi
bumbu penyedap yang wajib diucapkan. Dunia premanisme sudah merambah siswa
SD (http://bataviase.co.id, 2010), seperti yang terjadi di Cipinang Jatinegara Jakarta
Timur karena di bawah pengaruh obat yang termasuk jenis narkoba, siswa kelas 3 SD
di Cipinang menyekap dan menganiaya enam teman sekelasnya di kamar mandi.
Bocah ini bahkan menyayat tangan teman-temannya itu.
Bahkan mirisnya lagi siswa SD sudah terbiasa menyaksikan adegan film porno
yang akhirnya mencoba untuk melakukannya. Kasus ini trejadi di Depok 4 siswa SD
memperkosa bergilir 2 siswa SD (detektifromantika.wordpress.com: 2008) Di sisi lain
aspek emosi siswa semakin rapuh, ditandai dengan tidak percaya diri, sombong, cepat
putus asa, mencari jalan pintas untuk keluar dari masalah, dalam hal ini terjadinya
kasus siswa SD yang bunuh diri sebagaimana yang terjadi di Surabaya
(http://infoindonesia.wordpress.com, 2007) gara-gara tidak mampu membayar SPP,
Miftahul Jannah nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Tidak seimbangnya
aspek kognisi dan aspek apektif yang akhirnya melahirkan siswa yang cerdas secara
intelektual tetapi tidak cerdas secara etika, dan sopan santun.
Bertolak belakang dengan fenomena tersebut setiap orang tua sangat
mengharapkan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang sholeh, tau cara berbakti
kepada Tuhannya dan tau bersikap sopan dan santun kepada sesama, menjadi qurrata
ayun (Q.S. 25: 74) demikian juga para pendidik mengharapkan anak didikannya
menjadi manusia yang tepat guna, berakhlakul karimah, mempunyai kecerdasan
intelektual, spiritual, emosional dan social.
pelajaran. Setiap guru memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan Pendidikan Nilai
kepada peserta didik, rasanya sungguh tidak bijak jika masalah penanaman nilai, moral,
dan etika hanya diserahkan kepada guru PAI dan PKN.
Senada dengan pendapat Mulyana (1999) bahwa pelaksanaan Pendidikan Nilai
dapat dilakukan oleh semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan termasuk di
dalamnya kepala sekolah dan staf administrasi. Oleh karena itu, Pendidikan Nilai dalam
konteks formal memiliki dua dimensi, yaitu: (1) upaya dalam pemberian muatan
kurikulum tertulis (written curiculum) dengan sejumlah bidang kajian tertentu yang
bersifat normatif dan akademik, (2) upaya dalam pemberian muatan kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum) atas inisiatif dan komitmen pendidik.
Bagi setiap guru membaca the hidden curriculum sungguh sangat penting.
Sebab pengajaran harus bermula (take off) dari potret afektif anak dan kehidupan
tersebut menuju target nilai yang diharapkan. Tidak setiap anak berada pada posisi nilai
yang sama.
Dalam setiap pengajaran seharusnya bukan hanya memberikan pengetahuan
demi pemenuhan ranah kognitif (cognitve) saja, tetapi yang paling penting adalah
pemenuhan terhadap aspek apeksi (affective) berupa nilai yang sangat dibutuhkan dan
berpengaruh terhadap penentuan perilaku dan kepribadian seseorang. Kosasih Djahiri
(1985: 18) menyatakan bahwa wujud dari ranah afeksi adalah sikap (=penampilan
kecenderungan akan sesuatu), penghayatan/cita rasa: emosi dan feeling; kemauan;
nilai dan keyakinan/belief (sebagai tingkat tertinggi yang paling mantap).
Dalam proses pembelajaran, guru dapat memberikan Pendidikan Nilai melalui
beberapa pendekatan. Djahiri (1996) mengemukakan delapan pendekatan dalam
Pendidikan Nilai atau budi pekerti, yaitu : Evocation; yaitu pendekatan agar peserta
didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon
afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya. Inculcation; yaitu pendekatan agar
peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap. Moral Reasoning;
yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari
pemecahan suatu masalah. Value clarification; yaitu pendekatan melalui stimulus
terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral. Value
Analyisis; yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral.
Moral Awareness; yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan
kesadarannya akan nilai tertentu. Commitment Approach; yaitu pendekatan agar siswa
sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses Pendidikan Nilai.
Union Approach; yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan
secara riil dalam suatu kehidupan.
Sementara Hers (1980), menawarkan bentuk Pendidikan Nilai sebagai
pendidikan moral. Menurutnya terdapat empat model pendidikan moral, yaitu teknik
pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan sosial.
Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang pendidikan moral dalam
pengertian promoting self-awareness and self caring dan bukan mengatasi masalah
moral yang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal
tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan
dan menilai/menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri.
Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari
pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara yang sangat
sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada upaya menangani isuisu kebijakan yang kompleks. Pengembangan kognitif moral adalah model yang
membantu peserta didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan
menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral.
Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan keefektifan peserta didik
mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Terdapat empat hal penting
yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral, yaitu: berfokus
kepada kehidupan, penerimaan akan sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan
harus mengarah pada tujuan (Raths, 1978). Model-model tersebut melihat pendidikan
moral sebagai upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian diri, bukan
pemecahan.
Dari beberapa pendekatan tersebut dapat dikembangkan berbagai metode
penyampaian Pendidikan Nilai. Namun yang perlu disadari oleh setiap guru sebelum
menentukan pilihan tentang pendekatan dan metode yang akan digunakan, terlebih
dahulu harus memahami tahapan perkembangan minat dan kepedulian anak terhadap
nilai. Egan (UNESCO, 1991) menjelaskan bahwa perkembangan minat dan kepedulian
anak terhadap nilai berlangsung dalam empat tahap, yaitu: tahapan mitos, romantis,
filosofis, dan ironis. Keempat tahapan perkembangan itu berlangsung seiring dengan
pertumbuhan fisik anak yang semakin lama semakin dewasa. Secara rinci tahapantahapan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Perkembangan Minat dan Kepedulian Anak terhadap Nilai
Tahapan/Usia /Jenis
Karakteristik Perkembangan
Tahap mitos
(5-10 tahun)
Tahap Romantis
(8-15 tahun)
Tahap Filosofis
(14-20 tahun)
Tahap Ironis
(20 tahun keatas)
Diadaptasi dari K Egan dalam Values and Ethics and the Science and Technology
Curriculum (UNESCO, 1991)
Berdasarkan tahap perkembangan tersebut anak siswa SD sebagain besar
berada pada tahap mitos. Pada usia ini nilai moral berupa baik-buruk, bagus-jelek,
sayang-benci, suka dan tidak suka menjadi fokus utama perhatian mereka. Oleh karena
itu jika dari awal konsep tentang benar-salah, baik-buruk, bagus-jelek salah
disampaikan kepada anak, maka akan berakibat fatal. Pengenalan siswa SD terhadap
konsep ini dapat disampaikan dengan cara melibatkan perasaan mereka, dalam hal ini
metode bercerita, bermain peran, dan menggali pengalaman moral siswa amat cocok
untuk digunakan.
Sedangkan Jean Piaget membagi tahap perkembangan moral anak kepada dua
tahap, tahap pertama heteronomous morality, moral realism, atau morality of constraint.
Tahap ini merupakan moralitas yang belum matang secara intelektual, yang dipengaruhi
oleh salah satu sisi kasih-sayang orang dewasa yang ada di sekitar anak.
Heteronomous morality seorang anak merupakan ungkapan struktur yang secara umum
belum matang, masih bersifat egosentris dan statis. Dan tahap kedua disebut dengan
autonomous morality atau morality in cooperation, anak memperoleh kemandirian
dalam pembuatan keputusan moral, atau anak memperoleh kemampuan untuk
memainkan peran sesuai dengan perkembangan intelektualnya, selain itu juga
ketergantungan pada orang dewasa mulai diubah menjadi kesederajatan dalam
kerjasama sosial. Sementara Lawrence Kohlberg membagi tahapan perkembangan
moral terbagi kepada tiga tahap, yaitu prakonvensional, moralitas konvensional,
moralitas pascakonvensiona
Sesuai dengan tahapan-tahapan tersebut, bagi siswa SD sangat memerlukan
prototype sebagai contoh sesosok makhluk yang sarat dengan nilai-nilai yang telah
mereka ketahui. Untuk itu metode uswah hasanah atau keteladan sangat penting
ditonjolkan oleh para pendidik. Berkaitan dengan hal ini Tafsir (2005: 143-144)
menyebutkan bahwa metode uswah hasanah (keteladanan) akan mempengaruhi pola
perilaku siswa, karena siswa meneladani hal-hal yang baik dari gurunya. Guru sebagai
pembawa nilai-nilai agama, kultural, ilmu pengetahuan dan sosial akan memperoleh
manfaat dalam mendidik siswa apabila menerapkan metode ini, terutama dalam
pendidikan pembentukan kepribadian siswa yang berakhlak mulia. Peneladanan itu ada
dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak disengaja adalah
keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan sifat keikhlasan dan sebangsanya,
sedangkan keteladanan yang disengaja adalah seperti memberi contoh membaca yang
baik, mengerjakan sholat yang baik, dll. Keteladanan yang disengaja adalah
keteladanan yang memang disertai penjelasan atau perintah agar meneladaninya.
Keteladanan tidak disengaja dilakukan secara tidak formal. Keteladanan ini kadangkadang kegunaannya lebih besar daripada kegunaan keteladanan formal. Berdasarkan
penelitian Aeni (2009) metode ini sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku.
Selain melalui pengintegrasian pendidikian nilai ke dalam berbagai mata
pelajaran di sekolah, Pendidikan Nilai juga dapat diberikan dalam bentuk kegiatan pada
wilayah ekstra kulikuler maupun intra kulikuler, dan ada yang menambah dengan
wilayah school culture yang dibentuk keterpaduan antara keduanya plus pembiasaan
sikap dan perilaku secara personal.
MENGAPA PENDIDIKAN NILAI ITU PERLU?
Peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh manusia-manusia pada bangsa
itu. Maju mundurnya peradaban bangsa sangat erat terkait dengan akhlak/moral
bangsa itu, dan baik-buruknya moral suatu bangsa sangat ditentukan oleh faktor
pendidikan. Melalui Pendidikan Nilai, pendidikan menjadi lebih bernilai, tidak hambar
dan tidak hampa. Dalam hal ini penulis membuat analogi pentingnya Pendidikan Nilai
dalam proses pembelajaran. Pendidikan Nilai diibaratkan sebagai pupuk, peserta didik
diibaratkan sebagai tanah, dan berbagai bidang studi diibaratkan sebagai berbagai
macam tanaman.
Analogi tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: setiap siswa menerima berbagai
mata pelajaran di sekolah, jika setiap mata pelajaran tersebut tidak memiliki ruh
Pendidikan Nilai dalam arti tidak diintegrasikan kepada Pendidikan Nilai maka
penyampaian mata pelajaran tersebut terasa hampa dan tak bersari, demikian juga
siswa sebagai obyek yang menerima berbagai pelajaran tersebut tidak tumbuh menjadi
siswa yang utuh (ada sesuatu yang hilang dalam diri siswa), demikian halnya jika pada
suatu tanah pertanian ditanami berbagai macam tanaman tetapi tidak dipupuk dengan
pupuk yang kwalitas super maka tidak akan menggemburkan tanah, dan tidak akan
menumbuhsuburkan tanaman tersebut, walaupun tanaman itu hidup tapi tumbuh tidak
sempurna. Jika pupuk itu diberikan sesuai dengan kadarnya dan ditunjang dengan
pemeliharaan yang baik, maka tanah pertanian itu akan gembur dan akan
menyuburkan tanaman, mengokohkan akar-akar tanaman, dan diatas tanah tersebut
akan tumbuh tanaman yang beraneka ragam dengan akar yang kuat, tidak mudah
terseok-seok oleh angin, dan tidak mudah tercerabut. Jika lahan pertanian yang
berhasil ini ada di sepanjang hamparan tanah Indonesia, maka wajah Indonesia
menjadi wajah yang hijau menyejukkan, indah mempesona, dan sehat membawa
manfaat.
Dalam proses pembelajaran siswa menerima berbagai macam pelajaran yang
bermuatan Pendidikan Nilai, maka setiap ilmu yang telah mereka dapatkan melalui
berbagai macam pelajran plus Pendidikan Nilai itu akan megokohkan akar-akar setiap
siswa, dari proses pendidikan inilah lahir siswa-siswa yang berfikir sholeh dan beramal
cerdas, cerdas intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. Ilustrasi inilah tataran
aksiologi dari Pendidikan Nilai.
Pendidikan Nilai bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai luhur kedalam peserta
didik. Salah satu bentuk nilai-nilai luhur tersebut sebagaimana terdapat dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UUSPN, No. 20 th 2003 Bab
II Pasal 3).
Menurut Mulyana (2004: 167-168) terdapat empat pesan nilai yang terdapat dalam
UUSPN tahun 2003, yaitu:
1. Ciri umum UUSPN tahun 2003 yang desentralistik menunjukkan bahwa
pengembangan nilai-nilai kemanusiaan terutama yang dikembangkan melalui
demokratisasi pendidikan menjadi hal yang utama
2. Tujuan pendidikan nasional yang semakin diberikan tekanan utama pada aspek
keimanan dan ketakwaan mengisyaratkan bahwa nilai inti (core values) pembangunan
karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Ini mengandung arti
bahwa semua proses pendidikan di Indonesia harus bermuara pada penguatan
kesadaran nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan agama yang dianut
3. Dengan disebutkannya KBK pada bagian penjelasan UUSPN, ini menandakan
bahwa nilai-nilai kehidupan peserta didik perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan belajar mereka.
4. Perhatian terhadap PAUD memiliki misi nilai yang sangat penting bagi
perkembangan anak, walaupun persepsi nilai dalam pemahaman anak tidak sedalam
pemahaman orang dewasa, benih-benih untuk mempersepsi dan mengapresiasi
sesuatu dapat ditumbuhkan pada usia sedini mungkin.
Sekolah dasar adalah lingkungan pendidikan formal pertama yang dialami oleh
anak. Di sekolah dasar anak dikenalkan dan ditanamkan pondasi dasar terhadap nilainilai: kesopanan, tata krama, budi pekerti, etika dan moral. Dari pondasi yang sangat
kuat inilah yang akan menjadikan anak tumbuh menjadi anak yang cerdas otaknya,
bersih hatinya, dan terampil tangannya, tiga komponen pendidikan ada dalam dirinya
aspek kognitif, afektif, dan spikomotor. Inilah cerminan manusia yang utuh.
KESIMPULAN
Dalam memperbaiki kondisi bangsa yang hampir tidak memiliki daya adaptif
system maka Pendidikan Nilai sangat dipandang perlu dalam proses pendidikan di
persekolahan. Penanaman nilai-nilai harus dimulai sejak dini, secara formal dalam
lingkungan pendidikan, penanaman itu dimulai ketika anak di Sekolah Dasar. Upaya
efektif dalam menyampaikan Pendidikan Nilai adalah perlu adanya penokohan sebagai
wujud konkret dari internalisasi nilai, dalam hal ini metode keteladanan sangat penting,
guru harus menjadi contoh dan pelopor pertama bagi siswa dalam penanaman nilai.
Upaya yang sinergi dari semua pihak yang terkait dengan komponen pendidikan dalam
melaksanakan Pendidikan Nilai sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan nasional yang menghasilkan manusia
yang kaffah (utuh-paripurna).
DAFTAR PUSTAKA
Admin. ( 2007, 16 November). Anak SD bunuh diri karena Tak Mampu Bayar SPP.
Radar Sidoarjo. (Online), Tersedia: http://infoindonesia.wordpress.com. (9 Oktober
2010).
Aeni, A.N. (2009). Pendidikan Nilai di SD Tanggung Jawab Seluruh Bidang Studi.
Makalah pada Konferensi Pendidikan Dasar (Kopendas) 1 Tingkat Internasional 10-11
Oktober 2009, Sumedang.
Aeni. A. N. (2009). Respons Mahasiswa Terhadap Kegiatan Tutorial PAI dan
Pengaruhnya Terhadap Penghayatan Nilai-nilai Agama Islam (Studi Kasus di UPI).
Tesis pada Program Magister SPS UPI. Tidak diterbitkan.
Al-Quran
Bum. (2010, 09 Pebruari). Siswa SD jadi Preman. Batavia. (Online), Tersedia:
http://bataviase.co.id. (9 Oktober 2010).
Djahiri. A.K. (1985). Stategi Pengajaran Afektif- Nilai-Moral. Bandung: Granesia.
Djahiri. A.K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: Lab.
Pengajran PMP IKIP. 12
Hakam, K. A. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.
Hers, Richard. H. et al. (1980). Model of Moral Education: An Appraisal. New York:
Longman Inc.
http://en.wikipedia.org. John Dalberg-Acton, 1st_Baron_Acton. (9 Oktober 2010).
Kaswardi, E.K. (1993). Pendidikan Nilai Memasuki tahun 2000. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Mardiaatmadja, B.S. (1986). Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Mulyana. R. (1999). Cakrawala Pendidikan Umum Suatu Upaya EMmpertegas Body of
Knowledge. Bandung: Ikatan Mahasiswa dan Alumni PU PPS IKIP.
Mulyana. R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning; A Philosophy of the Curriculum for General
Education. New York: McGraw-Hill Book Company.
Raths, L.E, Harmin, M & Simon, S.B. (1978). Values and Teaching: working with values
in the classroom. Second edition. Columbus: Charles. E. Merrill Publishing Company.
Sumaatmadja, N. (2004). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi. Bandung:
Alfabeta.
Tafsir. A. (2005). Ilmu Pendidikan DAlam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
UNESCO. (1991). Values and Ethics and the Science and Technology Curriculum.
Bangkok: Principal Regional Office for Asia and the Pasific.
Winecoff, H.L. & Bufford, C. (1985). Toword Improvrd Instruction: A Curriculum
Development Handbook for International Scholls. AISA.