Geologi Sejarah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

Nama : Kevin Muster Regulus Victor

NPM : 270110130016
Kelas : D
Fakultas : Teknik Geologi Universitas Padjadjaran , Sumedang
Mata Kuliah : Geologi Sejarah
1. Geologi sejarah menggunakan prinsip-prinsip geologi untuk merekonstruksi dan
memahami sejarah bumi. Bidang ini berfokus pada proses-proses geologi yang
mengubah

permukaan

dan

bawah

permukaan bumi,

dan

penggunaan stratigrafi, geologi struktur, serta paleontologi untuk menjelaskan urutan


kejadian tersebut. Bidang ini juga berfokus pada evolusi tumbuhan dan binatang
selama periode waktu berbeda dalam skala waktu geologi. Penemuan radioaktif dan
perkembangan berbagai metode penentuan umur radiometrik pada paruh pertama
abad ke-20 telah membawa arti penting untuk mendapatkan umur absolut dari umur
relatif dalam sejarah geologi. Kaitannya dengan stratigrafi dimana ini adalah ilmu
yang mempelajari urutan pembentukan batuan penyusun kerak bumi, terutama untuk
batuan-batuan yang berlapis. Dengan mempelajari stratigrafi, dapat diketahui sejarah
geologi dari bumi kita ini. Stratigrafi sangat berhubungan erat dengan ilmu geologi
sejarah yang mempelajari sejarah dari bumi sejak terbentuknya hingga sekarang.
Berikut akan disajikan beberapa contoh yang menggambarkan konsep-konsep
tersebut di atas. Moore (1941, h. 179) menyatakan bahwa stratigrafi adalah cabang
ilmu geologi yang membahas tentang definisi dan pemerian kelompok-kelompok
batuan, terutama batuan sedimen, serta penafsiran kebenaannya dalam sejarah
geologi.

Menurut

Schindewolf

(1954,

h.

24),

stratigrafi

bukan

Schichtbeschreibung, melainkan sebuah cabang geologi sejarah yang membahas


tentang susunan batuan menurut umurnya serta tentang skala waktu dari berbagai
peristiwa geologi (Schindewolf, 1960, h. 8). Teichert (1958, h. 99) menyajikan sebuah
ungkapan yang lebih kurang sama dalam mendefinisikan stratigrafi sebagai cabang
ilmu geologi yang membahas tentang strata batuan untuk menetapkan urut-urutan
kronologinya serta penyebaran geografisnya. Sebagian besar ahli stratigrafi Perancis

juga tidak terlalu menekankan komposisi batuan sebagai sebuah domain dari
stratigrafi (Sigal, 1961, h. 3). Penentuan statigrafi didasarkan pada tingkat kesegaran
batuan serta hubungan antara satuan batuan. Dengan mempelajari aspek aspek
biostatigrafi dan lithostatigrafi grafik maka kita akan dapat menyusun sejarah geologi
suatu daerah yang kita pelajari atau kita selidiki,adapun kita juga mengetahui litologi
batuan atau batuan penyusun yang terjadi pada daerah kita, sehingga menghasilkan
kenampakan yang khas yang selanjutnya dikenal sebagai relief. Sedangkan kaitannya
dengan geologi struktur adalah dimana keadan geologi stuktur mempelejari bentuk
arsitektur kerak bumi beserta gejala gejala geologi yang menyebabkan terjadinya
perubahan perubahan bentuk { deformasi } pada batuan. Pada geologi struktur
regional terdiri dari struktur Primer dan sruktur Sekunder sehingga menjadi acuan
dalam menjelaskan semua fenomena di alam secara struktur dalam bentuk geologi
sejarah untuk dapat digunakan dalam eksplorasi sumber daya alam baik hidrokarbon,
hidrotermal dan lainnya. Struktur primer adalah struktur yang terbentuk pada saat
pembentukkan batuan, seperti struktur sedimen pada batuan sedimen, sruktur aliran
pada batuan beku dan dan struktur batuan foliasi pada batuan metamorf. Struktur
sekunder adalah struktur yang terbentuk setelah proses pembentukkan batuan,
terutama akibat adanya tegasan eksternal yang bekerja selama atau sesudah
pembentukkan batuan. Bagian terbesar dari geologi struktur adalah contoh contoh
sekunder adalah kekar, sesar, dan lipatan.
2. Studi Pulau Seribu menawarkan kita kesempatan untuk memepelajari geologi
struktur, stratigrafi dan geologi sejarah melalui sedimen karbonat modern, proses
pembentukan dan evolusi karang, distribusi fasies, geometri build-up, dan proses
diagenesis awal. Studi singkapan dan batuan inti karbonat berumur Oligo-Miosen di
Indonesia, menunjukkan bahwa hubungan kondisi dan facies serupa dengan
lingkungan karbonat modern yang analog. Pentingnya reservoir karbonat terhadap
sistem hidrokarbon regional dan global dimasukkan ke dalam perspektif. OligoMiosen adalah umur saat produksi karbonat terjadi secara luas di Asia Tenggara.
Reservoir karbonat dari lapangan Arun, Natuna, Luconia, dan lapangan penting
lainnya diendapkan selama kurun waktu ini (Jordan dan Abdulla, 1992; Courteney,
dkk., 1989 ; Epting, 1989; Kusumastuti dkk., 2002). Lapangan ini menunjukkan

karakteristik yang dapat dikaitkan dengan tren global Oligo-Miosen. Kecenderungan


ini berdampak pada hampir-seragamnya perkembangan karbonat yang diendapkan di
daerah tropis selama kurun waktu ini dan bersama-sama dengan pengaruh lokal dari
iklim dan tektonik, dapat dimanfaatkan untuk menentukan mengapa interval sejarah
geologi ini sangat potensial dalam pembentukan reservoir hidrokarbon yang sangat
baik. Informasi dirangkum sebagai berikut.
1) Tiga transgresi besar orde-kedua terjadi selama akhir Tersier: akhir Oligosen-Miosen
awal, Miosen tengah, Miosen akhir-Pliosen awal (Hardenbol dkk, 1998). Kondisi di mana
produksi karbonat mampu mengimbangi transgresi ini, sangat memungkinkan
terbentuknya suksesi karbonat yang tebal, berelief tinggi, dan backstepping.
2) Dimulai pada Eosen-Oligosen, peristiwa pendinginan global yang signifikan dimulai
dengan lapisan es (ice sheets) di Antartika meluas dan perairan yang lebih dingin mulai
bersirkulasi ke laut dalam (Shackleton dan Kennett, 1975). Transisi dari kondisi
Greenhouse menjadi Icehouse mengakibatkan amplitudo fluktuasi permukaan laut yang
lebih tinggi, yaitu orde ke-3 dan ke-4. Fluktuasi ini, sering di orde 100 meter,
mengakibatkan penyingkapan sedimen ke permukaan menjadi sering dan sangat umum.
Kemunculan ini sering menyebabkan pembentukan lensa air tawar yang menginisiasi
proses diagenesis meteorik yang dihasilkan dari perkembangan bentang alam karst dan
sistem gua.
3) Bersamaan dengan inisiasi event pendinginan besar (major cooling event) di Oligosen,
pergeseran kimia laut terjadi, yang mendukung pembentukan aragonit dan highmagnesium calcite (HMC) yang mendominasi terumbu karang-alga (Tucker dan Wright,
1990). Aragonite dan HMC lebih rentan daripada low-magnesium calcite untuk terlarut
dan ter-rekristalisasi bila terpapar dengan air meteorik. Diagenesis meteorik memberikan
efek yang signifikan terhadap porositas sekunder dan sistem permeabilitas pada sedimen
tersebut.
4) Pada Miosen awal, perkembangan karang meningkat di seluruh dunia dan karang
scleractinian muncul sebagai komponen frame-building yang dominan (Perrin, 2002).

Karang ini dapat tumbuh dengan cepat hingga 24 cm/tahun dalam studi modern (Davies,
1983), dan memungkinkan untuk terjadinya karbonat build-up yang dapat mengimbangi
kenaikan muka air laut yang paling cepat. Hal ini memberikan konstruksi rangka robust
untuk citra karbonat berelief tinggi pada seismik dan ditemukan di banyak daerah tropis
dan subtropis saat ini.
Kondisi ini menawarkan skenario reefal build-up yang mampu mengimbangi transgresi
terbesar laut, dan menghasilkan akumulasi sedimen tebal yang umumnya secara
mineralogi bersifat metastabil, meningkatkan kerentanannya terhadap leaching selama
penurunan muka air laut, yang sering terjadi, karena terjadinya Icehouse. Perkembangan
reservoir dengan porositas yang sangat baik dan memiliki net to gross tinggi umum
terjadi.
Dengan melihat build-up Pulau Seribu saat ini, kita mendapatkan gambaran mengenai
build-up Oligo-Miosen. Meskipun koral scleractinian terus berkembang, bumi masih
berada pada kondisi Icehouse dan sedimen masih berpotensi menjadi aragonitik dan
HMC. Lapangan Arun khususnya, memiliki hubungan erat dengan Pulau Seribu di
Yordania, 1998. Jordan menemukan facies yang mirip dan pola facies di Arun seperti
yang diamati di Pulau Seribu saat ini dan bahkan didokumentasikan kesamaan karang
yang luar biasa (semua kecuali satu genus dari 20 genus dicatat dari Arun ditemukan hari
ini di Pulau Seribu).
Latar belakang untuk setiap diskusi tentang perkembangan pertumbuhan karang dan
facies di nusantara adalah peran tektonisme. Kolisi lempeng Australia dan lempeng India
terhadap lempeng Asia berperan penting dalam membangun rezim iklim musiman yang
khas di kawasan Asia Tenggara. Gerakan berkelanjutan dari Lempeng Australia dan
Lempeng Pasifik menghasilkan susunan fragmen yang membentuk kepulauan dan dalam
proses menghasilkan beberapa perubahan yang luar biasa dan cepat pada permukaan laut
relatif dan tidak diragukan lagi berperan besar dalam banyak siklus frekuensi tinggi yang
terbukti dalam catatan sedimentasi karbonat Miosen di seluruh daerah.

Stratigrafi Lembar Jakarta Dan Kepulauan Seribu dengan cekungan sedimentasi tersier di
Jawa Barat yang terdiri dari tiga mandala sedimentasi, yaitu Mandala Paparan benua,
Mandala sedimentasi Cekungan Bogor dan Mandala Sedimentasi Banten. Mandala
Paparan Benua dicirikan oleh endapan paparan berupa batupasir kuarsa, batugamping dan
batulempung yang diendapkan dalam lingkungan laut dangkal. Mandala Sedimentasi

Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen
batuan andesitan-basaltan, tufaa dan batugamping. Mandala ini meliputi Bandung, Bogor
dan Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi Banten pada awal Miosen, endapan
sedimennya menyerupai endapan cekungan Bogor, sedangkan pada akhir Tersier
mendekati Paparan Benua.
Satuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Rengganis (Tmrs) yang berumur Miosen
Awal. Formasi ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Bojongmanik (Tmb) yang
berumur Miosen Tengah, sedangkan di bagian timur berkembang Formasi Klapanunggal
(Tmk). Formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Jatiluhur (Tmj). Formasiformasi tersebut di atas ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Genteng (Tpg) yang
berumur berumur Pliosen Awal. Formasi Genteng ditindih Formasi Serpong (Tpss)
berumur Pliosen Akhir. Formasi Serpong ditindih secara tidak selaras oleh Tufa Banten
(QTvb) yang berumur Plio-Plistosen. Tufa Banten ditindih Batuan Gunungapi Muda (Qv)
dan Andesit Gunung Sudamanik (Qvas) yang berumur Plistosen. Batuan terobosan yang
dijumpai di Lembar ini adalah Basalt Gunung Dago (Tmpb) yang berumur Mio-Pliosen.
Endapan termuda permukaan di daerah ini terdiri dari batupasir tufaaan dan
konglomerat/Kipas Aluvium (Qav), Endapan Pematang Pantai (Qbr) dan Aluvium (Qa),
serta di lain tempat tumbuh Batugamping Koral (Ql).
Struktur yang terdapat pada lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu berupa lipatan, sesar
dan kelurusan. Lipatan, dijumpai di bagian tenggara, berupa antiklin, dengan sumbu
berarah baratlaut tenggara, yang melipat Formasi Klapanunggal. Sesar yang dijumpai di
daerah ini ada 3 macam, yaitu sesar naik, dijumpai dibagian baratdaya, merupakan
kontak antara Formasi Bojongmanik dan Batuan Gunungapi Muda dengan arah baratlaut
tenggara. Sesar geser mengiri dijumpai dibagian baratdaya Lembar yang menyesarkan
Formasi Bojongmanik. Sesar turun, dijumpai di bagian tenggara Lembar, berarah
baratlaut tenggara dan memotong Formasi Klapanunggal. Kelurusan ini kemungkinan
merupakan zona lemah yang berupa sesar atau kekar. Struktur geologi tersebut di atas,
kemungkinan akibat gaya kompresi dengan arah timurlaut baratdaya.

Sejarah geologi di mulai pada Miosen Awal. Pada Kala itu daerah ini merupakan tepian
selatan dari cekungan busur belakang tempat diendapkan Formasi Rengganis oleh arus
yang dipengaruhi gayaberat (gravity flows). Kemudian daerah ini mengalami
pengangkatan. Pada Miosen Tengah daerah ini merupakan cekungan laut dangkal di
bagian timur dan diendapkan Formasi Klapanunggal, yang menjemari dengan Formasi
Jatiluhur. Sedangkan dibagian barat berkembang sedimentasi Formasi Bojongmanik.
Formasi-formasi tersebut kemudian terangkat, terlipatkan, tersesarkan dan diterobos oleh
Basalt G. Dago pada Mio-Pliosen. Pada Pliosen Awal bagian utara daerah ini mengalami
penurunan dan berlingkungan laut dangkal (litoral), serta diendapkan Formasi Genteng.
Selanjutnya daerah ini terangkat kembali sehingga merupakan daratan, dan terbentuk
endapan sungai tua Formasi Serpong. Pengangkatan ini diikuti kegiatan gunungapi, yang
menghasilkan Tufa Banten yang terdiri dari batuan gunungapi yang berumur PlioPlistosen. Pada Plistosen awal terjadi kegiatan gunungapi yang menghasilkan Batuan
Gunungapi Muda dan terjadi parasit, yang menghasilkan Andesit Sudamanik. Sedangkan
ditempat lain terjadi genanglaut (atau mjungkin penurunan) sehingga memungkinkan
tumbuhnya batugamping koral yang terus tumbuh sampai sekarang. Hasil kegiatan
gunungapi di bagian selatan membentuk morfologi tinggi, akan tetapi akibat proses erosi
dan gerakantanah maka terbentuk endapan kipas aluvium. Sumber daya mineral yang ada
berupa batugamping, lempung, pasir, kerikil andesit basalt dan mungkin minyak bumi.
3. Pemetaan Geologi (Measure Section) merupakan suatu kegiatan pendataan informasiinformasi geologi permukaan dan menghasilkan suatu bentuk laporan berupa peta geologi
yang dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran dan susunan batuan (lapisan
batuan),

serta

memuat

informasi

gejala-gejala

struktur

geologi

yang

mungkin

mempengaruhi pola penyebaran batuan pada daerah tersebut. Selain pemetaan informasi
geologi, pada kegiatan ini juga sekaligus memetakan tanda-tanda mineralisasi yang berupa
alterasi mineral.

contoh peta geologi (formasi batuan)


Tingkat ketelitian dan nilai dari suatu peta geologi sangat tergantung pada informasiinformasi pengamatan lapangan dan skala pengerjaan peta. Skala peta tersebut mewakili
intensitas dan kerapatan data singkapan yang diperoleh yang diperoleh. Tingkat ketelitian
peta geologi ini juga dipengaruhi oleh tahapan eksplorasi yang dilakukan. Pada tahap
eksplorasi awal, skala peta 1 : 25.000 mungkin sudah cukup memadai, namun pada tahap
prospeksi s/d penemuan, skala peta geologi sebaiknya 1 : 10.000 s/d 1 : 2.500.
Pada tahapan eksplorasi awal, pengumpulan data (informasi singkapan) dapat dilakukan
dengan menggunakan palu dan kompas geologi, serta penentuan posisi melalui orientasi
lapangan atau dengan cara tali-kompas.
Namun dalam tahapan eksplorasi lanjut s/d detail, pengamatan singkapan dapat diperluas
dengan menggunakan metode-metode lain seperti uji sumur, uji parit, maupun bor tangan atau
auger, sedangkan penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan alat ukur permukaan seperti
pemetaan dengan plane table atau dengan teodolit. Sehingga dengan demikian dapat dilakukan
measure stratigrafi untuk mengetahui litologi dan pengendapan dari daerah measure section
secara lebih terperinci. Dimana measure stratigrafi atau stratigrafi terukur adalah suatu cara
untuk menerangkan urut-urutan lapisan batuan berdasarkan kedudukan dan ketebalannya. Kolom

stratigrafi terukur ini sendiri bertujuan untuk menjelasakan proses pengendapan, umur geologi
secara relatif maupun absolut (menggunakan mikrofosil) dan proses-proses yang terjadi setelah
pengendapan berlangsung. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai
arti penting dalam penelitian geologi dan pengukuran penampang stratigrafi merupakan salah
satu pekerjaan yang biasa dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Secara umum tujuan
pengukuran penampang stratigrafi adalah:
a)

Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu satuan stratigrafi

(formasi, kelompok, anggota dan sebagainya).


b)

Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.

c)

Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan batuan dan urut-

urutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detil dan untuk menafsirkan lingkungan
pengendapan.
Pengukuran suatu penampang stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang
menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang resmi.
Dalam pengaplikasian biozonasi dalam bidang geologi ialah dalam penentuan umur batuan
sedimen, penentuan kematangan suatu hidrokarbon, dan korelasi. Penentuan umur batuan dapat
menggunakan dua metode :

penentuan umur absolut

penentuan umur relatif

Penentuan umur absolut menggunakan waktu paruh dari unsur radioaktif yang ada dalam batuan
tersebut (DATING). Penentuan umur relatif dengan membandingkan umur batuan tersebut
dengan umur batuan lain yang sudah diketahui umurnya, dengan membandingkan posisi
stratigrafinya. Penentuan umur batuan dengan zonasi foraminifera termasuk penentuan umur
relatif batuan. Umumnya yang digunakan untuk penentuan biozonasi umur batuan adalah
foraminifera planktonik kecil. Penentuan zonasi umur batuan dengan menggunakan foraminifera,
merupakan prinsip dalam biostratigrafi. Biostratigrafi merupakan tubuh lapisan tubuh batuan
yang dipersatukan berdasarkan kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi pembeda
terhadap batuan di sekitarnya. Banyak klasifikasi biozonasi yang diusulkan oleh beberapa
peneliti berdasarkan foraminifera plankton, diantaranya : Zonasi Bolli (1957, 1966), Blow
(1969), Postuma (1971), Bronnimann & Resig (1971), Berggren (1972, 1973),Kennet &

Srinivasan (1983) dan Bolli & Sanders (1985). Biozonasi Blow (1969) adalah yang paling sering
dipakai di Indonesia, untuk berbagai keperluan, baik penentuan umur batuan sedimen maupun
korelasi. Salah satu faktornya adalah karena sifat kesederhanaan pemakaiannya, dimana dalam
tatanama hanya menggunakan notasi huruf P (untuk Paleogen) dan N (untuk Neogen) dan angka
(1-22/23) untuk bagian yang lebih rinci dari zonanya.
Dalam biozonasi foraminifera dikenal adanya istilah ZONA, yaitu suatu lapisan atau tubuh
batuan yang dicirikan oleh satu takson fosil atau lebih. Ada beberapa macam zona dalam
biostratigrafi :
a.

Zona kumpulan

b.

Zona kisaran

c.

Zona Puncak

d.

Zona selang

e.

Zona rombakan

f.

Zona padat

4.
5. Rangkaian pegunungan muda dunia seperti Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediteran merupakan
hasil pengangkatan dari geosinklin utama yang terbentuk pada era Paleozoikum muda. Jadi
siklus pembentukan pegunungan muda dimulai dari pembentukan geosinklin utama pada era
Paleozoikum muda. Pada era Mesozoikum bawah/tua, Indonesia masih bersambung dengan
Eropa lewat laut yang dikenal dengan nama Latu Tethys. Fosil-fosil yang terbentuk pada masa
yang sama di kedua bagian dunia tersebut menunjukkan kesamaan. Oleh karena itu penelitianpenelitian geologi di Indonesia masih dapat menggunakan Tarikh Geologi Eropa untuk
menentukan umur batuan sampai dengan pra tersier. Akan tetapi untuk batuan yang terbentuk
pada era prakambrium di Indonesia, sulit ditentukan umumnya karena tidak diketemukan fosil
yang berasal dari era tersebut.Kalaupun sudah ada kehidupan pada prakambrium, fosil yang
terbentuk pada masa itu sudah mengalami kerusakan akibat proses-prose endogen yang sangat
aktif di Indonesia. Di samping itu endapan prakambrium telah tertimbun jauh di bawah lapisan
endapan yang lebih muda. Pada akhir Sekunder-Awal Tersier, terjadilah peristiwa geologi hebat
yang dikenal sebagai Revolusi Alam I di Indonesia, yaitu dasara laut Tethys mengalami
pengangkatan membentuk pegunungan Sirkum Mediteran. Pengangkatan dari geosinklin utama

ini digolongkan Geo Undasi oleh Van Bemmelen atau General Undation oleh Stille. Akibatnya,
hubungan antara Indonesia dengan Eropa terputus, organisme di Indonesia dan Eropa
berkembang menurut lingkungannya sendiri-sendiri, menghasilkan fosil yang berbeda pula.
Dengan demikian penelitian-penelitian geologi di Indonesia madih mengalami kesulitan untuk
menentukan umur lapisan batuan, karena Tarikh Geologi Eropa tidak bisa digunakan lagi akibat
perbedaan kandungan fosilnya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka Verbeek dan Fennema
berusaha menyusun Tarikh Geologi Indonesia berdasarkan litologi pada tahun 1938. Sebenarnya
penyusunan Tarikh Geologi Indonesia harus didasarkan pada penelitian Paleontologi, tidak
dibenarkan menyusun Tarikh Geologi atas dasar litologi, sebab umur lapisan batuan tidak dapat
ditafsirkan dari jenis batuannya.
Dasar pemikiran Verbeek dan Fennema menyusun Tarikh Geologi Indonesia atas dasara litologi
adalah:
1. Secara sadar mereka mengambil pendirian yang bertentangan dengan dalil yang melarang
penyusunan Tarikh Geologi atas dasar litologi, mengingat tidak adanya petunjuk lain
yang dapat digunakan untuk menentukan umur lapisan batuan. Dengan kata lain terpaksa
mereka lakukan mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, bukan tidak tahu kalau
Tarikh Geologi mestinya disusun atas dasar hasil penelitian Paleontologi.
2. Mereka berpendirian bahwa dimana-mana di pulau Jawa khususnya dalam periode
Neogen dimulai dengan aktivitas vulkanisme yang sangat dahsyat, menghasilkan batuan
andesit dan basal.
3. Kalau harus melakukan penelitan paleontologi terlibeh dahulu untuk menyusun Tarikh
Geologi Indonesia, akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat
banyak, disamping merka bukan ahli paleontologi.
4. Mereka menuyusun Tarikh Geologi Indoenesia berdasarkan litologi, sambil berusaha pula
mencari hubungan/petunjuk yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam melakukan
korelasi atau penasabahan dengan Eropa. Dengan kata lain Tarikh Geologi yang dibuat
dimaksudkan untuk sementar saja, kalau Tarikh Geologi Eropa bisa digunakan atau sudah
ada Tarikh Geologi yang disusun berdasarkan penelitian paleontologi maka tidak usah
menggunakan Tarikh Geologi atas dasar litologi yang dibuatnya. Dengan demikian maka
stratigrafi di Indonesia untuk periode Tersier dan Kuarter menggunakan Tarikh Geologi
buatan Verbeek dan Fennema walaupun banyak kelemahan dan kekurangannya. Akan
tetapi meskipun banyak kekurangannya, Tarikh Geologi tersebut masih digunakan sampai
sekarang, sebab belum ada tarikh lain yang lebih baik.

Tarikh Geologi yang disusun berdasarkan litologi sangat bermanfaat bagi ilmu tanah
karena langsung menunjukkan bahan asal/batuan induk tanah dan mencerminkan sifatsifat tanah yang dihasilkan. Yang terpenting dari Tarikh Geologi Indonesia buatan
Verbeek dan fennema adalah perlapisan batuan pada periode Miosen yang diberi kode
M1, M2, dan M3.
1. Etage M1 (tingkatan Breksi), yaitu perlapisan batuan yang terbentuk sesudah
terbentuknya gunung api tua di Indonesia. Tanah yang berasl dari batuan ini umumnya
kaya mineral bahan vulkanik sehingga dianggap baik atau potensi kesuburannya tinggi.
2. Etage M2 (tingkatan Mergel), yaitu batuan yang terbentuk setelah lapisan M1. Tanah
yang berasla dari batuan ini umunya berupa tanah margalit, suatu campuran antara
lempung dan kapur. Sifatnya kurang baik karena pekat, sulit merembeskan air sehingga
tata air tanah menjadi kurang baik.
3. Etage M3 (tingkatan Kapur), yaitu batuan yang terbentuk setelah lapisan M2. Tanah yang
berasal dari batuan ini berupa tanah-tanah kapur yang mempunyai sifat minerlamineralnya cepat tercuci ke lapisan bawah dan tata air kurang baik.
Pada akhir Tersier/awal Kuarter terjadi peristiwa alam besar berikutnya yang dikenal
sebagai Revolusi Alam II di Indonesia, dimana terjadi pelipatan hebat dan pembentukan
pegunungan baru. Beberapa bagian dari geosinklin yang tertutup sedimen seperti di
pantai timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan pantai Selatan dan Barat Kalimantan
mengalami pelipatan hebat membentuk pegunungan seperti Pegunungan Suligi - Lipat
Kain di Sumatera dan Pegunungan Kendeng di Jawa.Memasuki periode Kuarter
(Pleistosen) terjadilah 4 kali zaman es / zaman glasial diselingi interglasial yang
pengaruhnya terasa di seluruh dunia. Diperkirakan suhu di bumi turun sekitar 2 derajat
Celcius sehingga lapisan es di daerah kutub meluas ke arah lintang rendah (di Amerika
Utara mencapai lintang 40 derajat LU) menyebabkan air laut turun sekitar 70 meter.
Sebaliknya pada masa interglasial di mana iklim kembali normal, suhu naik lagi sekitar 2
derajat Celcius, maka daerah es mundur ke arah kutub dan air laut naik kembali sekitar
70 meter. Perunahan ketinggian permukaan air laut ini berpengaruh pada pulau-pulau di
paparan Sunda dan Sahul. Pada zaman glasial di mana permukaan air laut turun, pulaupulau Sumatera, Jawa, Kalimantan bersambung tanpa terpisahkan oleh laut, sebaliknya
pada zaman interglasial pulau-pulau tersebut terpisah oleh laut. Beberapa bukti yang

menunjukkan bahwa pulau-pulau di Indonesia bagian Barat tersebut pernah bersambung


satu sam lain adalah:
1. Diketemukan oleh ekspedisi laut adanya alur-alur sungai di dasar laut. Sungai-sungai dari
pantai utara Jawa dan sungai-sungai dari pantai selatan Kalimantan bergabung kemudian
bermuara di Selat Makasar, sedang sungai-sungai dari pantai timur Sumatera dan pantai
barat Kalimantan bergabung kemudian bermuara di Laut China Selatan.
2. Jenis ikan di sungai-sungai Jawa Utara dan Kalimantan Selatan sejenis, sedang jenis ikan
di sungai-sungai Sumatera Timur dan Kalimantan Barat sejenis.
3. Flora dan fauna di di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sejenis, bahkan sejenis dengan
fauna dan flora di Asia Tenggara.
4. Diketemukan timah endapan di dasar laut sekitar pulau Bangka, Belitung, dan Singkep,
suatu petunjuk bahwa endapan timah dasar laut tersebut tidak berasal dari pegunungan
Bukit Barisan yang terbawa air, melainkan daerah tersebut dahulu merupakan kaki
gunung.

Jika mengacu pada Indonesia dengan beragam pulau yang banyak, maka tentu tidak dapat
ditafsirkan pembentukan pulau secara terperinci , namun disini akan dijelaskan keterbentukan
pulau di Indonesia secara garis besar dengan pulau-pulau yang besar di Indonesia ini. Indonesia
telah dikenal luas sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. 2/3 wilayah negara ini adalah
lautan, berjajar di atasnya belasan ribu pulau yang sambung menyambung dari Sabang sampai

Merauke. Terhampar garis pantai yang amat panjang, hutan tropis yang senantiasa menghijau
karena terguyur hujan sepanjang tahun dengan berbagai satwa cantik di dalamnya dan puncakpuncak vulkanik yang mengintip di berbagai penjuru.
Dalam berbagai literatur keilmuan, disebutkan bahwa jumlah pulau yang dimiliki Indonesia
sekitar 17.500 pulau. Dari sekian banyak pulau itu, pernahkah anda berpikir untuk mengetahui
bagaimana proses pembentukannya? Mengapa kita bisa memiliki penampang alam yang
sedemikian uniknya ini, yang jarang dimiliki oleh banyak negara lain? Untuk itu kali ini saya
akan mengajak anda belajar bersama tentang proses terbentuknya "Zamrud Khatulistiwa".

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia
belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara yang bertabrakan
dengan lempeng bumi bagian utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan
Gunung Himalaya. Konon proses yang terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam itu
menyebabkan sebagian anak benua di selatan terendam air laut, sehingga yang muncul di
permukaan adalah gugusan-gugusan pulau (nusantara) yang merupakan mata rantai gunung
berapi.
Lalu bagaimana menurut teori geologi modern? Menurut ilmu kebumian yang lazim saat ini,
pembentukan kepualuan Indonesia terkait dengan teori tektonik lempeng. Teori tektonik lempeng
(tectonic plate) adalah teori yang menjelaskan pergerakan di kulit bumi sehingga memunculkan
bentuk permukaan bumi seperti yang sekarang kita diami.
Pergerakan diawali dengan menunjamnya lempeng dasar samudera yang disebabkan oleh
desakan lempeng benua yang lebih tebal dan keras dan di tempat inilah terbentuk palung laut
(dasar laut yang dalam dan memanjang). Dampak dari pergerakan lempeng terhadap wilayah
Indonesia membuat wilayah Indonesia rawan akan gempa bumi (namun juga kaya sumber daya
mineral). Padahal Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng besar dunia (Lempeng
Eurasia, Indo-Australia, Filipina dan Pasifik).
Lempeng-lempeng itu selalu bergerak 5-9 cm per tahun dan karena massa batuan yang bergerak
besar maka energi yang dihasilkan besar pula. Hal tersebut berdampak bukan hanya pada

banyaknya aktivitas vulkanis dan tektonis di Indonesia, tapi juga tenaga besar yang terjadi pada
fenomena-fenomena tersebut.

Adanya pergerakan subduksi antara dua lempeng kemudian menyebabkan terbentuknya deretan
gunung berapi dan parit samudera. Demikian pula subduksi antara lempeng Indo-Australia dan
lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain adalah Bukit
Barisan di Pulau Sumatera dan deretan gunung berapi di sepanjang pulau Jawa, Bali dan
Lombok, serta parit samudera yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda).
Lempeng tektonik terus bergerak hingga suatu saat gerakannya mengalami gesekan atau
benturan yang cukup keras. Fenomena seperti inilah yang dapat menimbulkan gempa, tsunami
dan meningkatnya kenaikan magma ke permukaan bumi. Dari tiga tipe batas lempeng yang
dikenal (konvergen, divergen dan shear), terbentuknya kepulauan Indonesia dapat dijelaskan
sebagai batas lempeng konvergen dimana terjadi tumbukan antara lempeng Indo-Australia dari
selatan, lempeng Pasifik dari timur dan lempeng Asia dari utara. Setelah dijelaskan panjang lebar
tentang dasar keilmuannya, selanjutnya mari kita masuk ke pembahasan inti. Indonesia terdiri
dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Rangkaian pulaupulau ini menjadi bagian utama dari kepulauan Nusantara. Di dalamnya terdapat lebih dari 400
gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi
itu terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut (bahkan Indonesia merupakan
tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif/Ring of Fire, sehingga terdapat puluhan
patahan aktif yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia). Lalu bagaimana proses pembentukan
pulau-pulau utama ini?

Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Lombok hingga kepulauan Nusa Tenggara :


Pulau-pulau tersebut terbentuk karena adanya aktivitas vulkanisme di bawah permukaan bumi,
hasil yang dapat dirasakan di permukaan bumi adalah adanya lava (cairan larutan magma pijar
yang mengalir keluar dari dalam bumi). Lama kelamaan lava tersebut memadat bertambah besar
membentuk sebuah busur pulau. Proses seperti ini dikenal sebagai Island Arc.
Pulau Sulawesi :
Pulau Sulawesi terbentuk akibat pertemuan lempeng Filipina, Indo-Australia, Eurasia dan
lempeng mikro lain di daerah tersebut.
Pulau Papua dan Kalimantan :
Keduanya terbentuk dari pecahan super benua pada awal terbentuknya permukaan bumi. Teori
tektonik lempeng menyebutkan bahwa dahulu seluruh daratan di muka bumi ini adalah satu
daratan yang sangat luas bernama Pangea, kemudian induk benua ini terpecah menjadi dua yaitu
Godwana (di Utara) dan Laurasia (di Selatan). Seiring berjalannya waktu kedua lempeng besar
tersebut terpecah-pecah kembali menjadi benua-benua seperti sekarang.
Pulau-pulau kecil :
Proses terbentuknya pulau-pulau ini lebih sederhana dibanding yang lain. Mereka berasal dari
endapan pecahan kerang, koral dan binatang laut lainnya. Semakin lama semakin besar dan
akhirnya terbentuklah sebuah pulau baru.
Demikianlah pembelajaran singkat kita mengenai proses terbentuknya kepulauan Indonesia. Hal
yang dapat dipetik adalah bagaimana kita dapat menjaga keindahan alam yang ada ini sebagai
sebuah warisan agung proses pembentukan muka bumi. Kekayaan mineral yang ada di dalamnya
bukanlah benda tak berharga yang dapat digunakan tanpa pertimbangan keseimbangan
kehidupan. Selain itu semoga proses yang telah dijelaskan di atas menyadarkan kita untuk
senantiasa siap menghadapi berbagai bencana alam yang memang menjadi bagian tak
terpisahkan dari kepulauan nusantara.

Anda mungkin juga menyukai