Preskas Bedah Plastik Panfacial Fraktur
Preskas Bedah Plastik Panfacial Fraktur
Preskas Bedah Plastik Panfacial Fraktur
Oleh:
Aisya Fikritama Aditya
G99141150
Noviana Rahmawati
G99141177
Chrystina Yurita P.
G99142035
Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B. Sp.BP
BAB I
STATUS PASIEN
A.
ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama
: Nn. L
Umur
: 18 tahun
No RM
: 01320744
MRS
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: (+), ibu pasien.
6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi
Olahraga
Merokok
: bebas
: spontan, frekuensi pernafasan 20 x/menit
: pengembangan dinding dada kanan = kiri
: fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-)
: sonor/sonor
: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
: tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 88x/menit, CRT<2 detik
: GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
: suhu 36,5C, Jejas (+) lihat status lokalis
2.Secondary Survey
a. Keadaan umum
b. Kepala
c. Mata
reflek
cahaya
(+/+),
hematom
e. Hidung
f. Mulut
tragus (-/-).
: krepitasi (+), epistaksis (+)
: laserasi mukosa ginggiva (+), maloklusi (+), gusi
berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), gigi tanggal 1
gigi tanggal 12
vulnus apertum labia oris superior dextra, maxilla
goyang (+)
g. Leher
h. Thorak
i. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
j.
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor.
Auskultasi
k. Abdomen
l.
Inspeksi
: distended (-)
Auskultasi
Perkusi
: timpani
Palpasi
Genitourinaria
Akral dingin
Motorik
Oedema
B.
ASSESSMENT I
Pan facial fracture
C.
PLANNING I
1. O2 2 lpm
2. Pasang infus NaCl 0,9% 20 tpm
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (18 November 2015)
Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Golongan darah
HBsAg
PT
APTT
INR
Gula darah sewaktu
Creatinin
Ureum
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah
Hasil
Satuan
Darah Rutin
10.3
g/dl
29
%
6.5
ribu/ul
95
ribu/ul
3.38
ribu/ul
B
Non reactive
Hemostasis
250
menit
515
Menit
1.000
KIMIA KLINIK
116
mg/dl
1.0
mg/dl
49
mg/dl
ELEKTROLIT
141
mmol/L
3.5
mmol/L
105
mmol/L
Nilai Normal
14.0 17.5
33 45
4.5 14.5
150 450
4.50 5.90
Non reactive
1-3
3-7
60 - 140
0.9 1.3
< 50
136 - 145
3.3 5.1
98 106
E.
ASSESSMENT II
Vulnus apertum multiple regio facial
Vulnus apertum regio palatum
Pan facial fracture
F.
PLANNING II
Pro debridement dan repair vulnus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FRAKTUR PANFACIAL
A. Definisi
Fraktur panfacial adalah patah tulang yang melibatkan wajah bagian
atas, tengah, dan bagian bawah. Cedera tersebut umumnya terkait dengan
cedera
multisistem
atau
politrauma,
sehingga
pengobatan
sering
C. Anatomi
Struktur muskuloskeletal wajah sangat rumit. Wajah dibentuk oleh
sistema tulang yang kompleks dan jaringan ikat yang memberi bentuk wajah.
Sistem saraf pusat terletak sangat dekat dengan wajah. Pada kenyataannya,
(terutama
arteri)
dapat
menyebabkan
perdarahan
dalam.
Lokasi
Fraktur panfacial dapat terjadi pada berbagai tempat (Yadav et al.,
2012), yaitu antara lain:
1. Fraktur tulang hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis
fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan
2. Fraktur zigoma
Fraktur tulang zigoma atau tulang malar selalu disebabkan oleh
kekerasan langsung. Tulang ini biasanya ke belakang atau ke medial
menuju antrum maksila sehingga berdampak disana. Fraktur sering berupa
sebelum trauma)
Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
Edem periorbita dan ekimosis
Perdarahan subkonjungtiva
Enoftalmus
Ptosis
Karena kerusakan saraf infra-orbita
Terbatasnya gerakan mandibula
Emfisema subkutis
Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum
dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis sering terjadi pada
fraktur maksila. Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang
serius seperti pada jalan nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher
dan perut harus dilakukan segera sebelum pengobatan definitif pada
maksila. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi
fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan tulang
yang sangat hebat dan disertai infeksi.
Klasifikasi fraktur maksila dibagi menjadi 3 kategori:
a. Fraktur Maksila Le Fort I
Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal
bagian bawah antara maksila dan palatum atau arkus alveolar kompleks.
Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini
bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah
trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila dan
zigomatikomaksila vertikal buttress, bagian bawah lamina pterigoid,
anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum dan
apertura piriformis.
Fiksasi dari segmen fraktur yang tidak stabil menjadi strutur yang
stabil adalah tujuan pengobatan bedah definitif pada fraktur maksila.
Prinsip ini tampak sederhana namun menjadi lebih kompleks pada pasien
dengan fraktur luas. Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat
berupa:
a. Fiksasi inter maksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi.
b. Fiksasi inter maksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka dan
pemasangan kawat baja atau mini plate.
b. Eksoftalmus
c. Diplopia
d. Asimetris pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow out fracture dari dasar
orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang meliputi
pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.
e. Gangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila
pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai
kanalis infra orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita
sangat mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rima orbita.
6. Fraktur tulang mandibula
Fraktur ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari
kranium. Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk
mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna,
proses mengunyah dan menelan yang sempurna.
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan
adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala
sebagai berikut:
a. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
b. Rasa nyeri yang disebabkan kerusakan pada nervus alveolaris inferior
c. Anestesia dapat terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi
dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak
d. Maloklusi, adanya fraktur mandibula sangat sering menimbulkan
maloklusi
e. Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi
f. Rasa nyeri saat mengunyah
7.
lidah ke dalam faring, maka suatu jalan nafas oral mungkin diperlukan. Jika
untuk alasan apapun suatu jalan nafas oral ternyata tidak memuasakan dan
ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi endotrakea merupakan
metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan bila mungkin, oleh
karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak btul-betul mengenal
anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. Trakeostomi
darurat perlu harus dibatasi pada keadaan dimana segala tindakan lain telah
gagal atau jika dicurigai terjadi cedera laring (Tekelioglu et al., 2013).
Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah
pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah
jantung yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik.
Keadaan ini biasany berespon dengan penggantian volume dan tindakan
hemostatik yang tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan
resusitatif awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis
(Jayita et al., 2013).
o Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Seperti cedera pada sistem organ lain, maka evaluasi awal pada
trauma kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang lengkap dan akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk saat
cedera serta deskripsi rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden
terjadi. Detil seperti apakah pasien mengenakan sabuk pengaman,
kecepatan kendaraan, dapat memberi petunjuk cedera yang harus dicari
(Ranganath et al., 2011).
Pemeriksaan fisik harus dilakukan sesegera mungkin oleh karena
pembengkakan akan menyamarkan deformitas tulang maupun tulang
rawan. Hal pertama yang harus diamati adalah status kesadaran pasien,
oleh karena adanya cedera otak merupakan prioritas pertama dalam
penatalaksanaan pasien setelah fungsi pernapasan dan kardiovaskular
stabil. Jaringan lunak yang menutup kepala dan leher perlu di inspeksi
secara cermat dan menyeluruh guna mencari laserasi termasuk bagian
dalam telinga, hidung dan mulut. Mobilitas wajah perlu perhatian khusus
karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh sangat penting artinya dalam
penatalaksanaan pasien berikutnya. Semua luka perlu dieksplorasi cukup
dalam untuk menentukan apakah ada cedera tulang atau tulang menjadi
terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka (de Melo et al.,
2013).
Pemeriksaan mempalpasi seluruh kepala dan leher mulai dari puncak
kepala dan bergerak kebawah, untuk mencari fraktur yang tergeser atau
struktur gerak yang abnormal. Integritas sutura frontozigomatikus perlu
diperhatikan, dimana biasanya mengalami fraktur. Perhatian khusus
diarahkan pada daerah frontal dimana fraktur sinus dapat menimbulkan
komplikasi intrakranial yang cukup bermakna, seperti fistula cairan
cerebrospinal, yang mana memerlukan penanganan segera. Fraktur sinus
frontalis biasanya ditandai dengan suatu lekukan pada daerah tengah dahi.
Terkadang fragmen-fragmen fraktur dapat dipalpasi pada lapisan
epidermis, atau sedalam luka jaringan lunak. Pada palpasi hidung, perlu
diperhatikan adanya deformitas tulang atau gerakan abnormal, khususnya
septum. Mobilitas septum paling baik ditentukan dengan memegang
septum anterior dengan ibu jari dan jari tengah dan ditekan dari samping.
Pipi perlu dipalpasi apakah ada nyeri tekan yang biasanya menunjukan
fraktur
zigoma.
Seluruh
mandibula
seharusnya
dipalpasi
untuk
suatu cedera vertebra servikalis, sampai secara radiografi dan klinis dapat
dibuktikan bahwa vertebra servikalis dalam keadaan normal (Rusman et
al., 2014).
o Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu
mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Fraktur hidung biasanya paling baik terlihat dengan
radiogram lateral, sementara fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus
paranasal paling jelas diperlihatkan dengan proyeksi waters. Penilaian
laminagrafik dapat sangat membantu dalam usaha menentukan apakah ada
fraktur dasar orbit ataupun fossa kranii anterior. Fraktur mandibula paling
jelas terlihat dalam pandangan oblik atau lebih disukai dengan radiogram
panoramik. CT scan mungkin akan sangat membantu dalam mendiagnosis
cedera tulang wajah ataupun laring. Laserasi pipi yang hebat dapat
dievaluasi menggunakan teknik sialografi guna menentukan apakah duktus
parotis masih utuh (Navaneetham et al., 2009).
o Prioritas tindakan
Dalam perawatan pasien trauma telah dikembangkan suatu skala
prioritas yang sangat jelas menyusul tindakan resusitasi yang bertujuan
menstabilkan jalan napas dan mempertahankan curah jantung. Urutannya
adalah: a. Evaluasi dan penanganan tiap cedera SSP, b. Evaluasi dan
penanganan tiap cedera abdomen ataupun toraks, c. Penanganan trauma
pada jaringan lunak, wajah dan ekstremitas dan d. Reduksi dan fiksasi dari
fraktur wajah dan ekstremitas. Bilamana diterapkan pada kasus trauma
wajah maka panduan ini mengharuskan luka jaringan lunak ditutup dalam
empat hingga enam jam pertama setelah cedera (Mall et al., 2014).
Pasien dengan fraktur panfacial biasanya stabil setelah masuk rumah
sakit tetapi sebanyak 35% dari mereka memerlukan alat bantu saluran
napas selama jam berikutnya. Cedera midface/Le Fort III dan patah tulang
mandibula dapat menyebabkan obstruksi jalan napas bagian atas. Airway
harus diamankan pada cedera midface dan terutama pada trauma panfacial,
Ringkasan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sourav S, Vandana D, Surgical Approaches and Management of Panfacial
Trauma : A Case Report. Journal of Clinical and Diagnostic Research.
2015;9(8):ZD13-ZD14
2. Ranganath K, Kumar HRH, The Correction of Post-Traumatic Pan Facial
Residual Deformity. J. Maxillofac. Oral Surg. 2011;10(1):20-24
3. Yadav SK, et al. Rogue-Elephant-Inflicted Panfacial Injuries : A Rare Case
Report. Case Report in Dentistry. 2012. doi:10.1155/2012/127957
4. Asnani U, et al. Panfacial Trauma - A Case Report. International Journal
of Dental Clinics. 2010;2(2):35-38
5. Erdem G, et al. Minimally invasive approaches in severe panfacial
fractures.
Turkish
Journal
of
Trauma
&
Emergency
Surgery.
2010;16(6):541-545
6. Jayita P, et al. Bilateral Sphenopalatine Artery Embolisation in Panfacial
fractures-a case report. International Journal of Collaborative Research
on Internal Medicine Public Health .2013;5(1):30-36
7. Mall BB, et al. Panfacial Trauma-A Flexible Surgical Approach. Journal
of Universal College of Medical Sciences. 2014;2(3):41-44
8. Amaral MB, et al. Superolateral dislocation of the intact mandibular
condyle associated with panfacial fracture: a case report and literature
view. Dental Traumatology. 2011;27: 235-240 doi: 10.1111/j.16009657.2011.00980.x
9. de Melo WM, et al. Using the Bottom-Up and Outside-In Sequence for
Panfacial Fracture Management: Does It Provide a Clinical Sgnificance ?.
The Journal of Craniofacial Surgery . 2013;24(5):e479-e481
10. Anwer HMF, et al. Submandibular approach for tracheal intubation in
patients with panfacial fractures. British Journal of Anaesthesia.
2007;98(6):835-40
11. Navaneetham, et al. Submental intubation the answer to panfacial trauma.
Department Of Oral & Maxillofacial Surgery. 2009
12. Deka D, et al. Submental intubation: A solution for anesthetic dilemma in
mid- and panfacial fractures. Journal of Medical Society. 2015:29(1):23-25
A prospective
study.
Indian
Journal
of
Anaesthesia.
2011;55(3):299-304
14. Babu I, et al. Submental tracheal intubation in a case of panfacial trauma.
Kathmandu University Medical Journal. 2008;6(1):102-104
15. Rusman B, et al. Wire internal fixation: an absolete, yet valuable method
for surgical management of facial fractures. Pan African Medical Journal.
2014; 17:219 doi:10.11604/pamj.2014.17.219.3398
16. Chauhan A, et al. Submandibular intubation in pan-facial trauma patients:
an
alternative
approach
for
intraoperative
airway
management.
Management.
Trauma
Monthly.
2012;17(3):361-2.
DOI:
10.5812/traumamon.8090
20. Abhishek S, et al. (2012). Transmylohoid/Submental Endotracheal
Intubation in Pan-facial Trauma: A Paradigm Shift in Airway Management
with Prospective Study of 35 Cases. Indian Journal Otolaryngol Head
Neck Surg (JulySept 2013) 65(3):255259.
21. Bogo R, et al. Associated injuries in patients with facial fractures: a
review of 604 patients. Pan African Medical Journal. 2013;16:119
doi:10.11604/pamj.2013.16.119.3379