Laporan NH4 Soeman Hatana

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum penetapan NH4+ adalah :
1. Menganalisa / menentukan kadar NH4+ menggunakan pereaksi nessler dan
garam Rochelle dalam sampel.
2. Memahami metode analisis kadar NH4+.

1.2. Landasan Teori


1.2.1. Evaluasi Single Stage Dry Slow Sand Filter Dalam
Menyisihkan Beberapa Polutan Fisis Dari Air Permukaan
Pendahuluan
Saat ini penyediaan dan pelayanan air PDAM di Indonesia
baru mencakup 18% dari total populasi. Sisanya mendapatkan air
secara mandiri dari air permukaan dan air tanah. Hal ini
disebabkan terbatasnya dana pemerintah untuk
kebutuhan

air

menunjang

minum dan sanitasi penduduknya. Saat ini

pemerintah mulai menerapkan penyediaan air bersih secara individu


dan komunal untuk mencapai salah satu perjanjian dalam
Millennium Development Goals. Pengelolaan air secara komunal
untuk daerah-daerah kumuh dianggap lebih efektif dan lebih
mudah mengingat keterbatasan penyediaan air secara terpusat.
Untuk air yang tidak terlalu keruh, pengolahan dapat dilakukan
dengan proses penyaringan sederhana. Air minum didefinisikan
sebagai

air

yang

memiliki

kualitas

fisik,

kimia,

dan

bakteriologi yang dapat diterima untuk minum dan memasak


dengan aman. Menurut Chen et al. (2005), tujuan filtrasi adalah
menyingkirkan partikel-partikel tersuspensi dalam air dengan
melewatkan air tersebut melalui sebuah lapisan materi berpori.

Partikulat yang lebih besar ditahan dengan penyaringan dan


sedimentasi, sedangkan zat koloid ditahan dengan adsorpsi, atau
koagulasi dan sedimentasi. Interaksi biologis terjadi hanya ketika
air melewati dengan sangat

lambat

melalui media berpori.

Penyisihan zat tersuspensi secara fisik oleh media berpori pada


umumnya diperkirakan terjadi dalam dua tahap atau mekanisme,
yaitu transport dan attachment. Detachment juga mungkin berperan
selama filtrasi, tetapi proses tersebut kebanyakan terjadi selama
siklus backwash. Mekanisme transport menggerakkan sebuah
partikel menuju dan melalui pori filter sehingga partikel
tersebut menjadi sangat dekat dengan permukaan media filter atau
endapan yang ada. Kemudian mekanisme attachment bekerja
menahan partikel tersuspensi untuk kontak dengan permukaan
media atau dengan padatan yang sebelumnya sudah terendapkan.
Mekanisme

detachment

terjadi

karena

aksi

gaya-gaya

hidrodinamik dari aliran sehingga suatu bagian dari partikel yang


tadinya melekat, tetapi karena ikatan satu sama lainnya kurang
kuat, menjadi terlepas dari media filter atau dari endapan
sebelumnya dan akhirnya terbawa lebih jauh ke dalam atau melalui
filter. Menurut Revisi SNI 03-3981-1995 saringan pasir lambat
adalah bak saringan yang menggunakan pasir sebagai media filter
dengan ukuran butiran sangat kecil, namun mempunyai kandungan
kuarsa yang tinggi. Proses penyaringan berlangsung secara
gravitasi, sangat lambat dan simultan pada seluruh permukaan
media. Proses penyaringan merupakan kombinasi antara proses fisik
(filtrasi, sedimentasi dan adsorpsi), proses biokimia dan proses
biologis. Saringan pasir lambat lebih cocok mengolah air baku
yang mempunyai kekeruhan sedang sampai rendah, dan konsentrasi
oksigen terlarut sedang sampai tinggi. Kandungan oksigen terlarut
tersebut dimaksudkan untuk memperoleh proses biokimia dan
biologis yang optimal. Apabila air baku mempunyai kandungan

kekeruhan tinggi dan konsentrasi oksigen terlarut rendah, maka


sistem

saringan

pasir

lambat

membutuhkan

pengolahan

pendahuluan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui


efisiensi Single Stage Dry Slow Sand Filter dalam menyisihkan
berbagai macam pencemar utama dalam air permukaan yang akan
digunakan sebagai sumber air bersih komunal. Penelitian ini
merupakan bagian dari proyek Teknik Lingkungan ITB dalam
membandingkan Single Stage Dry Slow Sand Filtration dengan
Double Stage Dry Slow Sand Filtration.
METODOLOGI
Alur kerja penelitian yang dilakukan digambarkan pada Gambar 1.

Studi Lokasi,
Keadaan Aktual,
dan Alat yang
Akan Diteliti

Pemeriksaan
Contoh Air di
Laboratorium

Evaluasi
Pemeriksaan
Laboratorium
dan Evaluasi
Kinerja Alat

Pencarian Data
Sekunder

Pengambilan Data
Primer dengan
Pengukuran Debit
dan Pengambilan
Contoh Air

Pengolahan Data dan


Analisis Data

Gambar 1. Alur
kerja Penelitian

Studi Lokasi
Unit pengolahan skala kecil untuk menghasilkan air bersih ini
berlokasi di

dalam Sabuga ITB, tepatnya di sebelah tempat

pengelolaan sampah terpadu ITB. Pengolahan ini berada di ujung


sebelah kiri wilayah Sabuga jika kita masuk ke Sabuga dari jalan
masuk lewat Jalan Taman Sari. Sistem pengolahan

lengkap

yang

dimaksud terdiri dari sumur pengumpul, tangki sedimentasi, tangki


penyimpan air yang akan diolah, dry slow sand filter, tangki
penyimpan air yang sudah diolah, pompa, dan sistem perpipaan.
Di bawah ini, pada Gambar 2, merupakan gambaran sistem dari
sumber air baku sampai akhir pengolahan.

Gambar 2. Skema Pengolahan Air di Sabuga


Air baku diambil dari Sungai Cikapundung, disimpan dalam
sumur pengumpul, kemudian dipompakan menuju tangki sedimentasi.
Dari tangki sedimentasi, air dipompakan ke reservoir atas yang cukup
tinggi lalu dialirkan melewati filter. Air yang telah diolah disimpan
dalam reservoir penampung. Pengambilan data, pengambilan contoh
air, dan pemeriksaan air dilakukan selama 3 bulan dari tanggal 20
April sampai dengan 17 Juli 2009.

Setiap hari alat dinyalakan pada

pukul delapan pagi. Pukul dua belas siang dilakukan pengukuran debit
dan pengambilan contoh air yang langsung diperiksa di laboratorium
pada hari itu juga. Pengambilan data primer dilakukan dengan
pengambilan contoh air secara langsung (grab sampling) menggunakan
botol-botol plastik yang kualitasnya masih bagus. Botol-botol tersebut
dianggap layak digunakan karena selain kurangnya alat dan sarana untuk
melakukan pengambilan contoh air

menggunakan wadah yang

berkualitas, dipertimbangkan pemeriksaan air dilakukan langsung


setelah pengambilan contoh air. Jadi perubahan kualitas karena reaksi
kimia yang terjadi ketika contoh air kontak dengan botol plastik
dianggap minimal dan tidak terlalu mempengaruhi hasil pemeriksaan di
laboratorium.

Pemeriksaan Contoh air di Laboratorium


Pemeriksaan air dilakukan 5 hari dalam seminggu (senin sampai
jumat) selama total 45 hari dengan waktu yang tidak selalu kontinyu
karena keterbatasan waktu dan tidak sesuainya kondisi di lapangan
untuk pengambilan contoh air pada hari-hari tertentu. Air yang memasuki
unit pengolahan berasal dari sumur pengumpul di Sabuga yang
terhubung langsung dengan Sungai Cikapundung Bandung. Studi
diarahkan pada mekanisme penyisihan pencemar secara fisis. Oleh
karenanya, parameter yang dipilih untuk diperiksa dalam studi ini
adalah

parameter

fisis,

yaitu kekeruhan, warna, dan zat organik.

Kekeruhan dipilih karena parameter ini dapat mewakili polutan


tersuspensi lainnya. Baik parameter kekeruhan, warna, maupun zat
organik dapat disisihkan secara fisis oleh proses penyaringan.
Alat dan Metode Sampling
Parameter utama dalam contoh air yang diteliti di laboratorium
untuk mengetahui efektifitas mekanisme fisik adalah parameter

kekeruhan, warna, dan organik.

Contoh air yang diambil adalah air

inlet dan air outlet alat. Pemeriksaan kekeruhan dilakukan dengan


metode Nephelometri, sesuai SK SNI M- 03-1989-F. Pemeriksaan
warna juga mengacu pada SK SNI yang sama. Sedangkan pemeriksaan
organik dilakukan dengan metode Titrasi Permanganometri sesuai
Standard Methods.
Evaluasi Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi

pemeriksaan

laboratorium

dilakukan

dengan

membandingkan kualitas air yang masuk ke dalam alat dengan air yang
telah melalui proses dan keluar dari alat yang diteliti. Evaluasi juga
dilakukan dengan membandingkan kualitas efluen dengan baku mutu
air minum yang berlaku di Indonesia. Evaluasi kinerja alat akan
dilakukan dengan mempelajari proses fisis yang terjadi dalam Single
Stage Dry Slow Sand Filter. Studi banyak dilakukan dalam ruang lingkup
slow sand filter konvensional.
Hasil Dan Pembahasan
Menurut Choo dan Tien (1995), dua cara filtrasi yang berbeda
telah diidentifikasi dalam media butiran berpori, yang pertama adalah
penyaringan (straining) dari partikel- partikel yang terbawa dan terjebak
dalam ruang pori; dan yang kedua adalah infiltrasi (infiltration),

yang

merupakan

pada

pengumpulan

dan

tumpukan

partikel-partikel

permukaan-permukaan butiran dari medium filter. Infiltrasi merupakan


proses sementara, dengan jalan tumpukan partikel-partikel menghalangi
tempat dari aliran skala-pori lokal dan pada akhirnya dapat menyebabkan
penyumbatan pada pori-pori yang ada. Dinamika filtrasi menurut Kim
dan Whittle (2006) dikendalikan oleh proses-proses skala-pori yang
sebaliknya juga dipengaruhi oleh topologi ruang pori, sifat -sifat dari
partikel-partikel

yang

terbawa (distribusi ukuran partikel, bentuk,

kekasaran permukaan, konsentrasi, dan lain-lain), butiran- butiran filter,


dan resim aliran hidrodinamik.
Mekanisme

transport

menyediakan

gaya-gaya

untuk

menggerakkan partikel-partikel keluar dari jalur aliran menuju sekitar


permukaan butiran media. Mekanisme transport antara lain penyaringan,
intersepsi, gaya-gaya inersia, sedimentasi, difusi, dan gaya-gaya
hidrodinamik. Sebuah studi yang dilakukan Craft pada tahun 1969
menunjukkan bahwa penyaringan penting untuk partikulat-partikulat
dengan diameter yang lebih besar sekitar 20% dari butiran-butiran
media yang dilalui aliran air. Mekanisme sedimentasi penting untuk
partikulat dengan ukuran lebih besar dari 30 m, dan dapat diabaikan
untuk partikulat dengan diameter lebih kecil dari 3 m (Herzig, 1970
dalam Chen, 2005). Mekanisme intersepsi harus diperhitungkan untuk
semua ukuran, sedangkan gaya-gaya inersia dan hidrodinamik dapat
diabaikan. Difusi hanya penting untuk partikel-partikel koloid (ukuran
kurang dari 0.1 m). Sebuah studi menunjukkan bahwa penyisihan dapat
diabaikan jika padatan tersuspensi berukuran kurang dari nilai kritis,
yaitu 1 m (Yao, 1971 dalam Chen, 2005). Proses attachment dalam
pelekatan partikel pada permukaan butiran media atau pada endapan
partikel yang sudah ada umumnya dihubungkan dengan empat jenis
gaya, yaitu gaya tekanan aksial cairan, gaya friksi, gaya-gaya permukaan
(van der Waals dan elektrik), dan gaya-gaya kimiawi. Endapan yang
terakumulasi memiliki struktur dengan kekuatan yang tidak sama. Di
bawah aksi gaya-gaya hidrodinamik akibat aliran air yang melalui
media, yang meningkat dengan semakin meningkatnya kehilangan
tekan, struktur ini menjadi hancur sebagian. Sebuah bagian tertentu
dari partikel-partikel yang menempel sebelumnya dengan ikatan yang
kurang kuat satu sama lainnya, akan terlepas dari butiran. Sebagai
akibatnya, dengan terakumulasinya endapan, endapan tersebut menjadi
tidak stabil dan bagian-bagiannya pecah akibat aliran air, kemudian

kembali tersuspensi dalam pori-pori yang ada. Mekanisme detachment


diteliti ketika kecepatan aliran dinaikkan secara tiba-tiba (Tuepker et al.
dan Cleasby et al., 1968 dalam Chen, 2005). Mekanisme ini juga bahkan
terjadi pada kecepatan aliran
dalam Chen,
mungkin

2005).

yang

Dari sudut

menentukan

apakah

konstan (Mintz,

1951,

1966

pandang makroskopik, kita tidak

kualitas

efluen

yang

memburuk

disebabkan detachment padatan atau penurunan efisiensi mekanisme


attachment
adalah

padatan seiring tersumbatnya filter (clogging). Adsorpsi

proses

mengakumulasinya

zat-zat

dalam

larutan

pada

suatu permukaan yang cocok dengan karakteristik zat-zat tersebut.


Adsorpsi merupakan operasi transfer massa dari unsur-unsur pokok
dalam fase cairan ditransfer ke fase padat. Proses adsorpsi terjadi dalam
4 langkah, yaitu bulk solution transport, film diffusion transport, pore
transport, dan adsorption. Partikel dalam air bergerak karena tarikan
gravitasi. Gerakan ini diperlambat oleh gaya dalam fluida yang
bergantung pada kecepatan partikel. Partikel yang sebelumnya melambat
akan terakselerasi sampai gaya dalam cairan menjadi seimbang dengan
gaya gravitasi. Partikel kemudian akan bergerak pada kecepatan
konstan, yang disebut sebagai terminal velocity. Gaya gravitasi
tergantung pada volume partikel dan perbedaan densitas antara partikel
dan

fluida.

Pada

cairan

dengan

konsentrasi

tinggi,

gerakan

partikel dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik dengan partikel-partikel


di sekitarnya.Beberapa hal yang perlu dibahas untuk mengetahui
keefektifan mekanisme fisik pada Single Stage Dry Slow Sand Filter
adalah pola fluktuasi Sungai Cikapundung, penyisihan kekeruhan,
warna, dan zat organik. Karakteristik air influen dan efluen selama 3
bulan dapat menggambarkan persentase kemampuan filter yang baru
dijalankan.
Karakteristik Air Baku

Karakteristik air Sungai Cikapundung dapat dilihat pada


Gambar 3. Konsentrasi warna, besi, dan mangan mengikuti fluktuasi
turbiditas air baku. Ketika turbiditas air baku menurun, konsentrasi
warna, besi dan mangan pun menurun. Ketika turbiditas naik,
konsentrasi pencemar pun meningkat. Turbiditas yang diukur selain
merupakan lumpur yang tidak terendapkan, juga merupakan konsentrasi
pencemar yang tersuspensi dalam air yang diperiksa. Oleh karena itu
sudah sewajarnya pencemar-pencemar dalam air mengikuti pola
fluktuasi turbiditas air baku. Konsentrasi fosfat cenderung menurun
selama waktu observasi. Berlainan
ammonium

meningkat

selama

dengan
waktu

fosfat,

konsentrasi

observasi walaupun

peningkatannya tidak signifikan. Fluktuasi kadar nitrit dalam air


belum dapat disimpulkan karena konsentrasinya yang kecil dan
masih jauh di bawah baku mutu. Parameter yang konsentrasinya
masih memenuhi baku mutu yang ada adalah pH dan nitrit. Selain dari
kedua parameter tersebut, parameter-parameter lain yang diperiksa
dalam studi ini cenderung tidak memenuhi baku mutu. Sebagian besar
polutan dalam air yang diperiksa berada dalam konsentrasi yang tidak
diijinkan untuk diminum. Aturan yang diacu adalah Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 907/ Menkes/ SK/ VII/ 2002
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Baku mutu
untuk zat organik mengacu pada keputusan sebelumnya. Pencemar
dalam air, seperti besi, mangan, nitrit, fosfat, ammonium, dan zat
organik, bekerja sama menimbulkan turbiditas dan warna. Selain itu,
tingkat keasaman air (pH) juga dipengaruhi oleh pencemar-pencemar
yang ada. Besi dan mangan dalam air baku dapat berasal dari tanah yang
terkikis di sepanjang aliran sungai. Nitrit dan ammonium berasal dari
kegiatan industri skala kecil namun beragam dan banyak jenisnya.
Senyawa fosfat dalam air baku berasal dari air limbah domestik di
sepanjang aliran sungai dan limbah pertanian yang ada di sepanjang
hulu Sungai. Sedangkan zat organik dapat berasal dari kegiatan alamiah

seperti penguraian dedaunan atau dari limbah domestik dan kegiatan


industri. Kualitas air baku cenderung meningkat, konsentrasi polutan
cenderung menurun. Hal ini dapat

diasumsikan diakibatkan oleh

perubahan cuaca. Pada awal waktu pengambilan contoh air, cuaca


kering

sehingga

konsentrasi

pencemar

tinggi.

Seiring

dengan

berjalannya waktu, intensitas hujan meningkat sehingga konsentrasi


pencemar menurun karena adanya pengenceran oleh air hujan.

Gambar 3. Karakteristik Air Sungai Cikapundung

Penyisihan Kekeruhan
Kekeruhan dipengaruhi oleh jumlah dan sifat alamiah zat
organik yang tersuspensi dan materi anorganik dalam air. Semakin
tinggi konsentrasi materi tersuspensi, semakin besar kekeruhannya.
Sumber kekeruhan dapat berasal dari pasir-pasir halus, lumpur,
lempung, zat organik, partikel-partikel besi, mangan, atau logam
teroksidasi lainnya. Data kekeruhan sangat berguna, terutama untuk
kualitas air minum. Partikel-partikel yang tersuspensi tersebut dapat
berupa senyawa organik atau anorganik yang dapat menimbulkan efek
terhadap kesehatan, estetika, dan proses desinfeksi. Fluktuasi kekeruhan
selama alat dijalankan digambarkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan antara Konsentrasi Kekeruhan Air yang


Masuk, Air yang
Keluar dari Filter, dan Baku Mutu Kekeruhan dalam Air Minum
Kecenderungan penyisihan kekeruhan oleh Single Stage Dry Slow Sand
Filter yang diteliti menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini
dikarenakan semakin banyaknya partikel- partikel tersaring yang
mengurangi ukuran pori media filtrasi. Berkurangnya ukuran pori
menyebabkan terjadinya penyumbatan (clogging) sehingga permukaan
atas filter sering terendam air. Untuk mengatasi hal ini, filter perlu
dibersihkan. Filter ini dirancang untuk memungkinkan dilakukannya
backwash sehingga tidak diperlukan pembersihan secara manual
(scrapping) seperti pada slow sand filter konvensional. Sesuai pola
backwashing filter yang dilakukan setiap hari ke lima tiap minggunya,
kinerja alat membaik pada hari pertama setelah

backwashing

dilakukan, yaitu setiap hari ke-6, 11, 16, 21, dan seterusnya. Pada
Gambar 5. penurunan efisiensi filter digambarkan.

Rata-rata penyisihan kekeruhan oleh alat selama 2 bulan 1


minggu adalah 76% dengan penurunan efektifitas sebesar 49%. Kinerja
filter tidak mencapai angka efisiensi awal karena backwashing ternyata
tidak berhasil mengembalikan kondisi filter yang sudah jenuh sehingga
proses attachment tidak berlangsung maksimal dan kemungkinan
terjadinya proses detachment menjadi semakin besar.
Penyisihan warna
Warna yang dapat disisihkan oleh filter konvensional adalah
warna semu, yaitu warna dalam air yang disebabkan oleh zat-zat
tersuspensi.

Secara

estetika

warna

dalam

air

minum

dapat

mengganggu. Selain itu, kemungkinan zat organik atau kekeruhan


penyebab air berwarna dapat berupa senyawa yang toksik, yang
dapat

membahayakan

kesehatan

para

pemakainya.

Fluktuasi

penyisihan warna selama alat dijalankan digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan Konsentrasi Warna Air yang Masuk dan


Air yang Keluar dari Filter

Warna dalam air dapat berasal dari zat organik terlarut (coloured
dissolved organic matter). Warna yang muncul terutama adalah dari
tannin yang dilepaskan oleh detritus yang hancur. Zat organik ini
menyerap cahaya dengan panjang gelombang pendek dari warna biru
sampai ungu. Oleh karenanya, air dengan kekeruhan rendah tampak
berwarna biru. Warna air akan menjadi hijau, hijau-kuning, dan coklat
dengan semakin meningkatnya zat organik terlarut ini. Pada Gambar
7 digambarkan persentase penyisihan warna.

Rata-rata penyisihan warna oleh alat selama 2 bulan 1 minggu


hanya mencapai 46%. Hal ini dikarenakan konsentrasi zat organik
terlarut dari air baku cukup tinggi.
Penyisihan zat organik
Jenis dan banyak senyawa organik sangat bergantung dari
sumber

pencemarnya, apakah berasal dari kegiatan alamiah seperti

penguraian dedaunan atau dari kegiatan industri seperti zat organik dari
zat warna tekstil. Kandungan zat organik yang tinggi, terutama zat
organik sintesis, dalam air minum dapat menyebabkan kerusakan gen,
kanker, dan penyakit lainnya. Sungai Cikapundung merupakan badan air
penerima dari limbah domestik dan industri kecil dari penduduk yang
tinggal di sekitar daerah aliran sungai. Oleh karena itu di dalamnya
terkandung baik pencemar organik limbah domestik maupun organik
sintesis yang berasal dari industri. Zat organik berlebih dapat
menyebabkan eutrofikasi. Fluktuasi penyisihan zat organik selama alat
dijalankan digambarkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Perbandingan Kandungan Zat Organik dalam Air yang


Masuk dan Air yang Keluar dari Filter

Efisiensi penyisihan organik cenderung menurun. Hal ini


diakibatkan

menurunnya

proses

attachment

meningkatnya proses detachment akibat

dan

kemungkinan

media filter yang jenuh.

Seperti halnya penyisihan kekeruhan, penyisihan zat organik juga


mengikuti pola waktu dilakukannya backwashing. Penyisihan maksimal
terjadi pada hari ke-6, 11, 16, 21, dan seterusnya. Persentase penyisihan
zat organik ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Persentase Penyisihan Zat organik oleh Filter pada 2


Bulan 1 Minggu
Rata-rata penyisihan zat organik oleh alat selama 2 bulan 1
minggu, tanpa memperhitungkan data anomali yang diakibatkan
kesalahan pemeriksaan di lab, adalah 32%. Setelah hari ke 30,
penyisihan membaik. Penyisihan zat organik yang membaik dapat
diasumsikan disebabkan oleh lapisan biologis yang tumbuh pada
permukaan filter semakin banyak. Lapisan biologis ini memerlukan
waktu yang cukup lama untuk dapat hidup dan tumbuh pada media
permukaan filter. Seiring bertambahnya lapisan biologis, penyerapan
dan penguraian zat organik oleh mikroorganisme meningkat. Asumsi ini
tetap terikat pada kondisi filter yang sudah jenuh yang mengakibatkan
efisiensi penyisihan menurun sebelum dilakukannya backwashing. Salah
satu zat organik yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam air
minum adalah biorefractory organics. Zat organik ini sulit terurai secara

biologis dan menyebabkan adanya rasa dan bau dalam air. Senyawasenyawa ini tidak bisa tuntas disisihkan dengan pengolahan biologis. Air
yang terkontaminasi harus diolah secara fisik dan kimia. Saringan pasir
lambat lebih cocok mengolah air baku yang mempunyai kekeruhan
sedang sampai rendah. Apabila air baku mempunyai kandungan
kekeruhan tinggi, sistem saringan

pasir

lambat

membutuhkan

pengolahan pendahuluan. Efisiensi Single Stage Dry Slow Sand Filter


ini dalam menyisihkan berbagai macam pencemar utama dalam air
permukaan

yang

komunal

belum

akan digunakan

sebagai sumber

air

bersih

dapat disimpulkan dikarenakan proses yang

diharapkan dominan terjadi pada slow sand filtration adalah proses


biologis oleh mikroorganisme pada permukaan filter. Menurut literatur,
lapisan aktif ini sedikitnya membutuhkan waktu 2 sampai 3 bulan untuk
tumbuh pada slow sand filter konvensional.

Filter

yang

tiap

minggunya dimatikan setiap hari jumat sore dan baru dijalankan


pada hari senin pagi mempengaruhi pertumbuhan lapisan aktif tersebut.

Kesimpulan
Selama 2 bulan 1 minggu, penyisihan filter akan pencemar yang
diperiksa cukup baik. Penyisihan kekeruhan mencapai 76%,
sedangkan warna dan zat organik hanya 46% dan 32%.
Sistem-sistem filtrasi yang mekanisme penyaringannya dominan,
tidak beroperasi dalam kondisi optimal karena penyumbatan terjadi
sangat cepat sehingga dibutuhkan backwashing yang sering.
Pembersihan filter sangat mempengaruhi kinerja filter terutama
dalam meningkatkan proses-proses fisik yang terjadi.

Melihat kondisi filter di lapangan dengan kemungkinan cepat


terjadinya clogging, maka dibutuhkan pengolahan pendahuluan
untuk mengurangi kekeruhan air yang akan diolah oleh slow sand
filter yang diujicobakan.

PRODUKSI ABON DAGING IKAN PARI


KARAKTERISASI KIMIA DAGING IKAN PARI

(RAYFISH)

Pendahuluan
Ikan pari termasuk dalam ikan bertulang rawan seperti ikan hiu
dengan bentuk tubuh pipih melebar (depressed) dimana sepasang sirip
dadanya melebar dan menyatu dengan sisi kirikanan kepalanya, sehingga
tampak atas atau tampak bawahnya terlihat bundar atau oval. Distribusi
geografis ikan pari sangat luas, ikan ini banyak ditemukan di perairan
tropis, subtropis dan perairan antartika yang dingin (Allen, 1997). Ikan
pari di seluruh perairan dunia terdeteksi sebanyak 34 spesies (Allen, 1997)
namun di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Sumber daya ikan elasmobranchii (pari dan hiu) sangat melimpah
di Indonesia. Tercatat bahwa hasil tangkapan ikan elasmobranchii pada
tahun 2002 sebesar 105.000 ton dan tahun 2003 sebesar 118.000 ton.
Besarnya sumber daya tersebut memungkinkan ikan pari untuk digunakan
sebagai sumber bahan makanan (Mardiah, 2008). Pemanfaatan ikan pari
sebagai bahan makanan masih belum optimal. Pengolahan ikan pari hanya
terbatas pada pengolahan daging yang dimasak secara langsung dan
pengawetan melalui pengasapan atau pengasinan karena ikan pari ini
mudah busuk (Berita Cirebon, 2009). Untuk meningkatkan nilai
ekonominya, daging ikan pari dapat diolah menjadi abon yang rasanya
lebih enak dan tahan lama. Daging ikan pari yang akan diolah menjadi
abon perlu dianalisis secara kimia. Menurut Michael (1992) analisis bahan
makanan ini dilakukan untuk menetapkan kandungan nutrisi dan
menetapkan apakah bahan makanan tersebut sesuai dengan aturan
pemenuhan gizi yang ada. Ikan pari yang digunakan dalam penelitian ini
adalah yang ditemui di pasaran yaitu ikan pari Burung Elang / Spotted
Eagle Ray (Aetobatus narinari), pari Mondol (Himantura gerardi), dan
pari Mutiara (Himantura jenkinsii). Ketiga jenis ikan pari tersebut diambil
dagingnya untuk diketahui kandungan gizinya yang meliputi kadar lemak
kasar, karbohidrat, dan protein Analisis suatu bahan makanan menurut

Winarno (1997) meliputi kadar abu, air, protein, lemak, dan karbohidrat.
Penelitian tentang kadar abu dan air pada daging ikan pari telah dilakukan
sebelumnya (Arinda, 2009). Glukosa termasuk dalam jenis karbohidrat
golongan monosakarida. Karbohidrat sebagai zat gizi merupakan nama
kelompok zatzat organik yang mempunyai struktur molekul yang berbedabeda, meski terdapat persamaanpersamaan dari sudut kimia dan fungsinya.
Semua karbohidrat terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan
oksigen (O), yang pada umumnya mempunyai rumus kimia Cn(H2O)n.
Rumus umum ini memberi kesan zat karbon yang diikat dengan air
(hidrasi), sehingga diberi nama karbohidrat. Persamaan lain adalah bahwa
ikatanikatan organik yang membentuk karbohidrat ini adalah polialkohol.
Dari sudut fungsi, karbohidrat adalah penghasil utama energi dalam
makanan maupun di dalam tubuh (Sediaoetama, 1985). Lemak adalah
sekelompok ikatan organik yang terdiri dari unsur-unsur karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), yang mempunyai sifat dapat larut dalam
pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzen dan
petroleum eter. Lemak yang mempunyai titik lebur tinggi bersifat padat
pada suhu kamar, sedangkan yang mempunyai titik lebur rendah, bersifat
cair. Lemak yang padat pada suhu kamar disebut lemak, sedangkan yang
cair pada suhu kamar disebut minyak. Kadar lemak kasar dalam ikan laut
secara umum adalah 0,2-20% (Zapsalis, 1986). Menurut Mardiah (2008)
kadar lemak dalam ikan pari adalah sebesar 0,42% berat basah. Molekul
protein mengandung unsurunsur C, H, O, dan unsur khusus yang terdapat
di dalam protein serta tidak terdapat di dalam molekul karbohidrat dan
lemak yaitu nitrogen (N). Anggapan dalam analisis bahan makanan semua
N berasal dari protein adalah hal yang tidak benar. Unsur nitrogen di
dalam makanan ini mungkin berasal dari ikatan organik lain yang bukan
protein seperti urea dan berbagai ikatan amino, yang terdapat dalam
jaringan tumbuhan. Nitrogen yang bukan berasal dari protein disebut nonprotein nitrogen (NPN), sebagai lawan dari protein nitrogen (PN). Yang
ditentukan di dalam analisis bahan makanan, ialah nitrogen total, yaitu

semua nitrogen yang terdapat di dalam contoh bahan makanan yang


dianalisis (Sediaoetama, 1985). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Mardiah (2008) kadar protein rata-rata dalam ikan pari adalah 16,86%
berat basah.
Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan
gelas, mortar, seperangkat alat soxhlet, seperangkat alat destilasi, labu
bulat, labu Kjeldahl, desikator, neraca analitis, dan spektrofotometer
Genesis, oven listrik, dan bunsen. Bahan-bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah daging ikan pari Burung Elang / Spotted Eagle Ray
(Aetobatus narinari) pari Mondol (Himantura gerardi), dan pari Mutiara
(Himantura jenkinsii), petroleum eter, glukosa, aqua DM, anthrone,
H2SO4 pekat, kertas saring Whatman 40 diameter 125 mm, CuSO4,
NaOH,

indikator

phenolphtalein,

bromtimol

biru,

metil

merah,

H2C2O42H2O, dan HCl.


Prosedur Kerja
Preparasi Sampel
Ikan pari yang akan dianalisis terdiri dari 3 spesies yaitu ikan pari
Burung Elang, pari Mondol, dan pari Mutiara. Daging ikan pari yang telah
dipotong dan dibersihkan, diiris tipis-tipis kemudian dioven selama 2 jam
pada suhu 105C dan dimasukkan dalam desikator. Daging yang telah
kering ini dihaluskan menggunakan mortar. Sampel yang telah halus
kemudian dianalisis kadar lemak, protein, dan glukosanya.
Penentuan Kadar Lemak
Kadar lemak dari daging kering ketiga spesies ikan pari tersebut
ditentukan dengan metode ekstraksi soxhletasi. Sampel yang telah halus
ditimbang sebanyak 5 gram dan dibungkus dengan kertas saring biasa
kemudian dimasukkan dalam labu reservoir atas pada rangkaian peralatan
soxhlet. Sampel diekstraksi selama 6 jam menggunakan 150 mL petroleum

eter yang telah dimasukkan dalam labu bulat. Setelah petroleum eter naik
ke labu reservoir atas, ekstrak lemak pada labu bulat diambil dan
ditempatkan dalam gelas beker yang telah diketahui massanya. Ekstrak
lemak ini diuapkan selama 24 jam kemudian ditimbang dan ditentukan
massa endapan lemak yang diperoleh.
Penentuan Glukosa
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Panjang gelombang maksimum untuk analisis glukosa ditentukan
dengan cara mengukur absorbansi larutan glukosa 8 ppm yang dibuat
dengan melarutkan 10 mg glukosa dalam aqua DM hingga volumenya
mencapai 100 mL kemudian diambil sebanyak 4 mL dan diencerkan
dengan aqua DM sampai volumenya 50 mL. Larutan glukosa ini diambil
sebanyak 1 mL dan ditambah dengan 3 mL pereaksi anthrone 2% yang
dibuat dengan melarutkan 1 g anthrone dalam H2SO4 pekat hingga
volumenya mencapai 50 mL. Larutan ini dipanaskan selama 12 menit
dalam penangas air pada suhu 100C. Setelah didinginkan dalam air
mengalir, larutan ini diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer
Genesis pada rentang panjang gelombang 610 sampai 700 nm dengan
interval 5 nm. Panjang gelombang maksimum diperoleh dari absorbansi
maksimum.
Pembuatan Kurva Kalibrasi Glukosa
Kurva kalibrasi glukosa dibuat dari plot antara nilai absorbansi
(sumbu y) dan konsentrasi glukosa (sumbu x). Variasi konsentrasi glukosa
yang digunakan adalah 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. Variasi konsentrasi larutan
ini dibuat dengan cara mengambil larutan glukosa 100 ppm dengan
masing-masing volume 1, 2, 3, 4, dan 5 mL kemudian dimasukkan dalam
labu ukur 50 mL dan ditambah aqua DM hingga batas volume. Masingmasing larutan glukosa diambil 1 mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi
yang berbeda kemudian ditambah 3 mL pereaksi anthrone 2%. Larutan ini
dikocok lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 100C selama 12

menit, kemudian didinginkan pada air mengalir. Larutan diukur


absorbansinya pada panjang gelombang 630 nm.
Penentuan Kadar Glukosa
Pengukuran kadar glukosa dalam sampel dilakukan dengan
menimbang sampel yang telah halus sebanyak 10 mg kemudian dilarutkan
dalam aqua DM. Larutan yang diperoleh kemudian diencerkan
menggunakan aqua DM dalam labu ukur hingga volumenya 100 mL.
Larutan ini disaring dengan kertas saring Whatman kemudian diambil
sebanyak 1 mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu ditambah 3 mL
pereaksi anthrone 2%. Larutan dikocok lalu dipanaskan dalam penangas
air pada suhu 100C selama 12 menit, kemudian didinginkan dalam air
mengalir. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 630 nm.
Pengukuran setiap sampel dilakukan sebanyak sepuluh kali.
Penentuan Kadar Protein
Kadar protein dalam daging ikan pari ditentukan dengan metode
Kjeldahl melalui tiga tahap yaitu destruksi sampel, destilasi, dan titrasi.
Sampel yang telah halus sebanyak 0,1 g dimasukkan dalam labu Kjeldahl
(bisa menggunakan tabung reaksi), ditambahkan 1 g CuSO4 dan 2,5 mL
H2SO4 pekat. Destruksi sampel dilakukan selama 2 jam pada suhu 100C.
Sampel yang telah didestruksi ditambah dengan 50 mL aqua DM dan 15
mL NaOH 50% w/v, dimasukkan ke dalam labu bulat yang telah diberi
batu didih, dan didestilasi. Destilat yang diperoleh ditampung dalam
erlenmeyer yang berisi 10 mL HCl 0,02 N; 4 tetes metil merah; dan 4 tetes
metil biru hingga volume total mencapai 40 mL.Destilat ini kemudian
dititrasi menggunakan NaOH 0,02 N yang telah distandarisasi dengan
asam oksalat. Titik akhir titrasi terjadi saat larutan berwarna hijau. Jumlah
NaOH yang digunakan untuk mencapai titik akhir titrasi tersebut dicatat.
Hasil Dan Diskusi
Hasil Penentuan Kadar Lemak Kasar
Kadar lemak kasar ditentukan dengan ekstraksi pelarut. Metode
yang digunakan adalah ekstraksi soxhletasi yang merupakan ekstraksi

semi-kontinu. Secara umum metode ini digunakan untuk meningkatkan


efisiensi ekstraksi lemak dari bahan makanan. Pelarut yang digunakan
dalam ekstraksi lemak harus mampu mengekstrak lemak dari sampel
dengan baik. Efisiensi ekstraksi tergantung pada polaritas lemak terhadap
polaritas pelarut. Lemak yang diekstrak bersifat nonpolar, sehingga pelarut
yang digunakan juga bersifat nonpolar. Pelarut organik yang digunakan
adalah petroleum eter yang bersifat nonpolar dengan titik didih 20-75C.
Selain itu menurut Mc.Clement (2003), pelarut yang digunakan juga relatif
tidak mahal, memiliki titik didih yang relatif rendah (sehingga dapat
terpisah dengan mudah melalui penguapan), dan aman digunakan. Sampel
yang dianalisis dikeringkan, ditumbuk/ dihaluskan, dan dibungkus dengan
kertas saring biasa. Pengeringan sampel dilakukan sebelum ekstrasi
pelarut, karena beberapa pelarut organik tidak dapat berpenetrasi dengan
mudah ke dalam suatu bahan yang masih mengandung air. Penumbukan
bertujuan untuk menghomogenkan sampel dan meningkatkan area
permukaan lemak yang mengarah pada pelarut. Kertas saring berisi sampel
diletakkan dalam chamber ekstraksi/labu reservoir atas, yang diletakkan di
atas labu yang berisi pelarut dan berada di bawah kondensor. Labu
dipanaskan sehingga pelarut menguap dan naik ke kondensor dimana uap
pelarut ini diubah menjadi cairan yang menetes ke dalam chamber hingga
merendam kertas saring yang berisi sampel. Pelarut ini mengekstrak lemak
yang ada dalam sampel. Ekstrak lemak ini kemudian masuk kembali ke
labu. Ekstraksi dilakukan jam. Ekstrak lemak yang diperoleh kemudian
dibiarkan dalam udara terbuka selama 24 jam untuk menguapkan
pelarutnya. Endapan lemak yang diperoleh ditimbang untuk menentukan
kadar lemak sampel. Perhitungan kadar lemak dilakukan secara gravimetri
yai dari massa lemak kasar dengan massa sampel awal. Analisis lemak dari
ketiga spesies yang masing-masing dilakukan dengan sepuluh kali
replikasi, memiliki nilai standar deviasi SD sebesar 0,392 untuk ikan pari
Burung Elang, 0,5245 ikan pari Mondol, dan 0,5273 untuk ikan pari
Mutiara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepresisian dari analisis

lemak pada ikan pari Burung Elang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ikan pari Mondol dan ikan pari Mutiara. Hasil analisis kadar lemak kasar
terdapat lampiran C, dan hasil perhitungan lemak kasar ditunjukkan pada
tabel 1. Lemak yang diperoleh dalam analisis bahan makanan merupakan
lemak total atau lemak kasar (crude fat) yang mencakup trigliserida dan
lemak-lemak jenis lain, termasuk lipoida seperti kolesterol,
karotenoid, dan sebagainya (Sediaoetama, 1985).
Kadar
No

Spesies Ikan Pari

Lemak (%)

Burung Elang/Aetobatus
narinari

3,00

Mondol/Himantura
2

2,89

gerrardi
Mutiara/Himantura

3,09

jenkinsii

Ketiga jenis spesies ikan pari yang dianalisis memiliki kadar lemak
rata perbedaan yang tidak terlalu jauh. Ikan pari yang memiliki kadar
lemak tertinggi adalah ikan pari Mutiara dengan prosentase 3,090%,
kemudian ikan pari Burung Elang 3,000%, dan ikan pari Mondol 2,890%.
Kadar lemak dari daging ketiga jenis ikan pari ini sesuai dengan dalam
ikan laut pada umumnya. Menurut Zapsalis (1986) kadar lemak secara
umum untuk ikan dan sumber makanan laut lainnya adalah sekitar 0,220%.

Pengolahan

ikan

pari

menjadi

abon

diharapkan

mampu

meningkatkan kadar lemak yang dikandungnya. Pendekatan statistik untuk


menguji perbedaan nilai kadar lemak kasar pada ketiga spesies dilakukan
dengan analisis variansi (ANOVA) satu arah. Berdasarkan ANOVA, nilai
kadar lemak kasar antar spesies tidak memiliki perbedaan. Dari hasil
perhitungan diperoleh F < Ftabel. Sehingga H0 diterima dan disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang sig antara nilai kadar lemak dari
ketiga spesies. Selain ANOVA maka dilakukan uji LSD ( Significant

Difference) untuk lebih meyakinkan bahwa setiap spesies ikan pari tidak
memiliki perbedaan lemak yang cukup signifikan. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa selisih antar rataan data kadar lemak lebih kecil dari
LSD maka tidak ada perbedaan diantara kelompok data yang ada pada
ANOVA. Sehingga data kadar lemak kasar tidak memiliki perbedaan
secara signifikan.
Hasil Penentuan Kadar Glukosa
Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Glukosa yang bereaksi dengan reagen anthrone menghasilkan
warna hijau. Produk reaksi ini dapat diukur pada panjang gelombang yang
berbeda. Spektra absorbansi diukur pada rentang panjang gelombang yang
cukup besar dari 500 sampai 800 nm (Leyva, 2007). Penentuan panjang
gelombang maksimum pada penelitian ini dilakukan dengan mengukur
absorbansi larutan standar glukosa dengan pereaksi anthrone. Rentang
panjang gelombang yang digunakan adalah antara 610-700 nm dengan
inter panjang gelombang 5 nm. Penentuan panjang gelombang maksimum
dalam penelitian ini dilakukan pada rentang 610 penelitian sebelumnya
oleh Komalawati (2004), dimana absorbansi larutan standar glukosa
dengan pereaksi anthrone yang berwarna pada rentang panjang gelombang
tersebut. Spektra panjang gelombang maksimum yang diperoleh
ditunjukkan pada gambar Gambar 1 Grafik Penentuan Panjang Gelombang
Maksimum n Fhitung signifikan Least ) an interval 610-700 berdasarkan
hijau terukur 1.

Gambar 1 Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum


Gambar tersebut menunjukkan absorbansi dimana terjadi serapan
maksimum (puncak tertinggi) yang terdapat pada panjang gelombang 630
nm. Panjang gelombang maksimum ini akan digunakan sebagai dasar
pengukuran selanjutnya.
Hasil Penentuan Kurva Kalibrasi
Pembuatan kurva kalibrasi sangat diperlukan dalam penentuan
kadar suatu zat yang menggunakan metode spektrofotometri. Tujuan
pembuatan kurva kalibrasi adalah untuk menentukan konsentrasi glukosa
berdasarkan absorbansi serta untuk menentukan ketepatan hasil analisa
yang sesuai dengan hukum Lambert- Beer. Kurva kalibrasi digunakan
sebagai standar eksternal. Kurva dibuat dari plot antara konsentrasi
glukosa (ppm) dengan absorbansi. Variasi konsentrasi larutan standar
glukosa yang digunakan yaitu 0 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; 4 ppm; dan 5
ppm. Masing-masing larutan diukur absorbansinya pada panjang
gelombang maksimum 630 nm. Hasil pengukuran antara konsentrasi dan
absorbansi dapat dilihat dalam tabel D.1 pada lampiran D. Berdasarkan
tabel tersebut maka dibuat kurva kalibrasi yangditunjukkan oleh gambar 2.
Berdasarkan kurva tersebut, persamaan regresi linear yang diperoleh
adalah y = 0,054x + 0,013 dengan nilai r2 = 0,998. Nilai ini memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai kurva kalibrasi karena harga r2 tersebut
terletak pada interval 0,9 < r2 < 1.
y = 0.054x + 0.013
R = 0.998

10

Konsentrasi Glukosa (ppm)

15

Nilai ini menunjukkan bahwa antara absorbansi dan konsentrasi


memiliki korelasi yang linear dimana semua titik terletak pada suatu garis
lurus dengan gradien yang positif. Uji t menunjukkan bahwa t hitung > t
tabel untuk selang kepercayaan 95% , maka H0 ditolak, sehingga ada
hubungan antara nilai konsentrasi dengan absorbansi.
Hasil Penentuan Kadar Glukosa
Karbohidrat terdiri atas monosakarida (meliputi glukosa, fruktosa,
dan galaktosa), disakarida (meliputi sukrosa, laktosa, dan maltosa), dan
oligosakarida (2 sampai 8 unit monosakarida), serta polisakarida (pati,
dekstrin, glikogen, dan serat) (Michael, 1992). Pada penelitian ini,
karbohidrat dianalisis dalam bentuk glukosa. Kadar karbohidrat diperoleh
melalui perkalian kadar glukosa dengan 10/9 sebagai faktor konversi
(Novian, 2002). Kadar karbohidrat ini dianalisis secara kuantitatif
menggunakan metode kolorimetri dengan spektrofotometer. Menurut
Mc.Clement (2003) metode anthrone merupakan salah satu contoh dari
metode kolorimetri pada penentuan konsentrasi gula dalam sampel.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan gula pereduksi dan nonreduksi karena kehadiran H2SO4 sebagai pengoksidasi yang kuat. Reaksi
antara glukosa dengan anthroneasam sulfat merupakan reaksi eksotermis
membentuk senyawa berwarna yang akan terjadi dengan baik melalui
pemanasan selama 12 menit pada suhu 100C. Mekanisme reaksi
pembentukan senyawa hidroksi furfural-anthrone adalah

Gambar 3 Mekanisme Reaksi Anthrone dengan


Glukosa

Larutan glukosa dengan anthrone-asam sulfat berwarna hijau agak


kekuningan, namun setelah dipanaskan berwarna hijau. Hal ini
menunjukkan bahwa glukosa telah bereaksi dengan anthrone sehingga
dapat dianalisis menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
630 nm. Konsentrasi glukosa dalam sampel memiliki hubungan yang
linear dengan absorbansi sampel. Karena itu, kadar glukosa dalam sampel
ditentukan dari kurva kalibrasi larutan glukosa. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh glukosa rata-rata untuk sepuluh kali replikasi dari
ikan pari Burung Elang adalah 2,2078 ppm; ikan pari Mondol 2,4685 ppm;
dan ikan pari Mutiara 2,4408 ppm. Nilai ini kemudian ditentukan untuk
menghitung kadar glukosa dari masing-masing spesies. Kadar glukosa dari
masing-masing spesies ikan pari adalah 2,4813%; 2,3164%; dan 2,3144%;
sehingga kadar karbohidrat rata-rata ditunjukkan pada tabel 1
Kadar
No

Spesies Ikan Pari


Burung
Elang/Aetobat
us narinari
Mondol/Himantur
a
Mutiara/Himantur
a

Karbohidrat

2,572

Analisis karbohidrat dari ketiga spesies yang masing-masing


dilakukan dengan sepuluh kali replikasi (lampiran F), memiliki nilai
standar deviasi SD sebesar 0,2737 untuk ikan pari Burung Elang, 0,4306
ikan pari Mondol, dan 0,4241 untuk ikan pari Mutiara. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kepresisian dari analisis karbohidrat pada
ikan pari Burung Elang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua
spesies lainnya. Berdasarkan ANOVA, nilai kadar karbohidrat antar
spesies tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa Fhitung < Ftabel sehingga H0 diterima dan
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara nilai kadar karbohidrat
dari ketiga spesies. Selain ANOVA maka dilakukan uji LSD untuk lebih
meyakinkan bahwa setiap spesies ikan pari tidak memiliki perbedaan
karbohidrat yang cukup signifikan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
nilai LSD lebih besar dari selisih antar rataan sehingga tidak terdapat
perbedaan diantara kelompok data kadar karbohidrat ketiga spesies ikan
pari.
Hasil Penentuan Protein
Analisis protein yang digunakan adalah metode Kjeldahl yang
terdiri dari proses destruksi, destilasi, dan titrasi. Metode ini juga
merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada
asam amino, protein, dan senyawa yang mengandung nitrogen
(Apriyantono, 1989). Metode Kjeldahl secara luas digunakan dan masih
merupakan metode standar sebagai perbandingan terhadap semua metode
yang lainnya. Metode ini bersifat universal, dan sesuai jika digunakan
sebagai metode utama untuk menentukan nilai protein dalam makanan.
Kekurangan dari metode Kjeldahl adalah tidak dapat memberikan
pengukuran terhadap protein yang sesungguhnya karena tidak semua
nitrogen dalam makanan membentuk protein. Protein yang berbeda
memiliki faktor konversi yang berbeda pula karena memiliki urutan asam
amino yang berbeda. Metode ini juga membutuhkan waktu yang lama

untuk dilakukan (Mc.Clement, 2003). Sampel daging didestruksi dengan


asam sulfat pekat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga
menghasilkan amonium sulfat. Menurut AOAC (2000), salah satu katalis
yang dapat digunakan adalah Cu yang berupa CuSO4. Senyawa H2SO4
pekat digunakan dalam proses destruksi sampel karena H2SO4 merupakan
agen pengoksidasi yang mampu menguraikan bahan makanan. Katalis
digunakan untuk mempercepat reaksi destruksi. Menurut Mc.Clement
(2003) destruksi sampel bertujuanm untuk mengubah beberapa nitrogen
dalam makanan (selain dalam bentuk nitrat atau nitrit) menjadi ammonia,
dan materi organik lain seperti CO2 dan H2O. N (daging) (NH4)2SO2
(aq) Sampel yang telah didestruksi kemudian dimasukkan dalam labu
bulat yang telah berisi aqua DM dan NaOH 50% w/v. Penambahan NaOH
bertujuan untuk mengubah ammonium sulfat menjadi gas ammonia :
(NH4)2SO4(aq) + 2NaOH(aq)

2NH3(g)

2H2O(l)

Na2SO4(aq)
Gas ammonia yang terbentuk dilepaskan dari larutan pada saat
proses destilasi dan terkondensasi sebagai destilat. Destilat yang
dihasilkan ditampung dalam erlenmeyer yang berisi HCl 0,02 N dan
indikator campuran metil merah dan metil biru. Larutan HCl digunakan
untuk mengubah gas ammonia menjadi ion ammonium dan secara cepat
HCl diubah menjadi ion Cl-. Reaksi yang terjadi:
NH3(g) + HCl(aq)

NH4 + (aq) + Cl- (aq)

Kandungan nitrogen dalam sampel ditentukan melalui titrasi


ammonium klorida dengan NaOH sehingga membentuk NH4OH. Reaksi
yang terjadi :
H+ (aq) + OH-(aq)

H2O(aq)

Indikator yang digunakan merupakan indikator campuran yaitu


metil merah (0,2% larutan dalam alkohol) dan metil biru/metilen biru
(0,1% dalam larutan alkohol) dengan perbandingan volume 1:1. Nilai pH
yang memungkinkan pengamat untuk melihat dengan jelas perubahan
warna indikator dan mengetahui akhir titrasi adalah 5,4.

Indikator berwarna merah violet dalam kondisi asam dan hijau


dalam kondisi basa (Lurie, 1975). Indikator ini digunakan karena mudah
didapat dan perubahan warnanya dapat dengan mudah diamati untuk
menentukan titik akhir titrasi. Konsentrasi ion OH- yang digunakan untuk
mencapai titik akhir titrasi ekivalen terhadap konsentrasi nitrogen dalam
sampel yang dianalisis. Titik akhir titrasi tercapai saat larutan berubah
warna dari merah violet menjadi hijau. Kadar nitrogen ini kemudian
digunakan untuk menghitung kadar protein. Perhitungan kadar protein
terdapat dalam lampiran H. Jumlah seluruh nitrogen dalam metode ini
dianggap berasal dari ikatan protein. Kadar nitrogen dalam protein ratarata 16%, sehingga 1 gram nitrogen berasal dari 6,25 g protein. Jadi untuk
mendapatkan total protein kasar, hasil total nitrogen dikalikan dengan
faktor konversi (Sediaoetama, 1985). Faktor konversi yang digunakan
untuk daging adalah 6,25 (Michael, 1992). Analisis protein kasar dari
ketiga spesies yang masing-masing dilakukan dengan sepuluhkali replikasi
memiliki nilai standar deviasi SD ikan pari burung elang sebesar 0,9453;
ikan pari mondol 0,7759; dan ikan pari mutiara 0,4436. Analisis protein
pada ikan pari burung elang dan ikan pari mondol kurang presisi. Analisis
kadar protein kasar terdapat pada lampiran I, dan hasil perhitungan ratarata protein kasar dalam ketiga jenis spesies ikan pari ditunjukkan pada
tabel 3.
Tabel 3 Kadar Protein dalam Daging Ikan Pari*
No
1
2
3

Spesies Ikan Pari


Burung
Elang/Aetob
atus
narinari
Mondol/Himan
tura
Mutiara/Himan
tura

Kada
r

28,187
%
22,328
16,935
%

Kadar protein rata-rata dalam daging ikan laut adalah 17-22%


(Belitz, 1987) sedangkan menurut Zapsalis (1986) kadar protein rata-rata

pada ikan adalah 15-20%. Kadar protein tertinggi terdapat pada ikan pari
Burung Elang dengan nilai sebesar 28,187%; kemudian pari Mondol
22,328%; dan pari Mutiara 16,935%. Berdasarkan ANOVA, nilai kadar
protein antar spesies memiliki perbedaan yang signifikan. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel, sehingga H0 ditolak
dan disimpulkan bahwa memang terdapat perbedaan yang signifikan
antara nilai kadar protein dari ketiga spesies. Selain ANOVA maka
dilakukan uji LSD untuk lebih meyakinkan bahwa setiap spesies ikan pari
memiliki perbedaan protein yang cukup signifikan. Hasil perhitungan LSD
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan diantara kelompok data pada
ANOVA.
Kesimpulan
Berdasarkan karakterisasi kimia yang telah dilakukan terhadap
ketiga jenis ikan pari maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa daging
ketiga jenis ikan pari Burung, pari Mondol, dan pari Mutiara memiliki
kadar lemak kasar masingmasing sebesar 3,000%; 2,890%; dan 3,090%.
Kadar karbohidrat 2,757%; 2,574%; dan 2,572% sedangkan kadar protein
kasar masing-masing adalah 28,187%%;22,328%; dan 16,935%.
1.2.2. Ammonium (NH4+)
Ammonium adalah ion yang apabila dengan sodium hidroksida
akan menghasilkan ammonia. Kation monovalen (NH 4+) dapat
dipandang sebagai produk reaksi ammonia ( suatu basa lewis ) dengan
ion hidrogen. Ion ammonium mempunyai simetri tetrahedral. Sifat
kimia garam ammonium acap kali serupa dengan garam logam alkali
yang setara. Ammonium mempunyai bentuk dalam fase cair. Dalam
SNI kadar ammonium yang diperbolehkan hanya sebesar 0,1 mg/l.
1.2.2.1. Metode Analisa NH4+
Metode penetapan kadar NH4+ adalah dengan :
1. Metode Nessler
Kadar ammonium dapat diukur dengan menggunakan metode
Nessler kualitatif dan kuantitatif. Dimana metode nessler kualitatif
yaitu dengan cara menggunakan reagen Nessler dan larutan garam

Rochelle. Dimana warna sampel dibandingkan dengan warna larutan


standart (NH4+) atau larutan stock ammonium. Warna sampel yang
paling mendekati warna larutan stock ammonium itulah yang paling
tinggi kadar ammoniumnya. Metode Nessler secara kuantitatif yaitu
dapat digunakan dengan spektrofotometri. Metode ini menggunakan
reagen Nessler dan larutan garam seignette. Kadar ammonium pada
kultur diukur setiap hari dengan mengambil 25 ml air sampel kultur,
diberi 1-2 tetes pereaksi garam seignette dan 0,5 ml pereaksi Nessler,
dikocok, dibiarkan selama 10 menit, kemudian ditera intensitasnya
pada panjang gelombang 420 nm dengan menggunakan spectrometer
merk spektronik 20 dari Milton Ray Company. Absorbs yang didapat
dihubungkan dengan persamaan pada kurva standar ammonium untuk
mengetahui konsentrasi ammonium pada sampel air kultur. Prinsip
penentuan (NH4+) adalah (NH4+) dengan reagen Nessler akan menjadi
warna kuning kecoklatan, dan warna ini dapat diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 425 nm. Dapat dihitung
dengan deret standart yang telah diketahui kadarnya dan dihitung
secara regresi linier.
2. Metode Rochelle
Dimana garam Rochelle dibuat dengan cara melarutkan 50 ml
KNaTartrat dalam 100 ml aquades.
3. Metode Ion Kromatografi.
Dalam metode ini menggunakan metode ion kromatografi dengan
kondisi pengukuran untuk ammonium menggunakan kolom Dionex
Ion Pac CS, sebagai eluen larutan methyl sulfonic acid 18 mM,
detektor Conductivity DX 5000 pada temperatur 40 0C. Untuk
mengetahui unjuk kerja metode ini dilakukan penentuan presisi metode
dengan cara mengukur contoh air limbah sebanyak 6 kali pengulangan.
1.2.2.2. Kelebihan dan Kelemahan Metode Analisis NH4+
Kelebihan dan kelemahan metode analisa NH4+ adalah
1. Metode Nessler secara kualitatif

Kelebihannya adalah dimana waktu dalam pengerjaannya lebih


singkat karena hanya membandingkan warna sampel dengan warna
larutan stock (NH4+) sedangkan kelemahannya adalah hasil yang
diperoleh tidak akurat karena hanya mengira ngira saja atau dengan
kata lain hasil tidak pasti.
2. Metode Nessler secara kuantitatif
Kelebihannya adalah hasil yang diperoleh lebih akurat karena
dilakukan dua kali pengerjaan dimana pertama dilakukan penambahan
reagen Nessler kedalam sampel dicampurkan dengan larutan garam
maka akan terbentuk warna kuning kecoklatan, dan warna inilah yang
diukur dengan spectrometer pada panjang gelombang 425 nm. Setelah
itu dapat dihitung dengan deret standart yang telah diketahui kadarnya
dan dapat dihitung secara regresi linier. Dan kelemahannya dalam
pengerjaannya lebih lama daripada metode nessler secara kualitatif
karena pengujian pada metode nessler secara kuantitatif dua kali
pengerjaan.
1.2.3. Penanggulangan Kelebihan/Kekurangan Kadar NH4+
Jika kelebihan kadar ammonium dapat ditanggulangi dengan cara :
1. Memanfaatkan enceng gondok. Enceng gondok dalam perairan
dapat mengurangi kadar ammonium dalam air yaitu dengan cara
berdasarkan umur dan lama kontak. Jika berdasarka umur yaitu
dengan menggunakan enceng gondok yang tua dan muda dalam air.
Tapi jika dengan lama kontak yaitu dengan lama waktu perlakuan
yaitu dengan waktu 2 hari, 4 hari, 6 hari. Jadi dapat dilihat
bagaimana penyerapan NH4+ selama 2 hari, 4 hari, 6 hari dan
pengaruh penyerapan NH4+ terhadap enceng gondok yang tua dan
muda.
2. Menggunakan sistem pengolahan dengan cara adsorpsi. Sistem
operasi yang dipergunakan adalah batch dan kontinyu. Sedangkan
adsorbat (kontaminan) yang dipergunakan adalah limbah artifisial,
yaitu larutan ammonium klorida. Pada sistem batch, terdapat empat

variabel bebas yang divariasikan, yaitu : pertama, konsentrasi


sorbat, terdiri dari 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, dan
100 ppm. Faktor yang kedua adalah waktu kontak, terdiri dari 2
jam, 4 jam, 6 jam, 24 jam, dan 48 jam. Sedangkan faktor yang
ketiga yaitu perlakuan awal adsorben: dengan pemanasan dan
penambahan asam. Faktor terakhir yaitu jenis adsorben yang
digunakan: bentonit dan kaolin.

BAB II
ALAT DAN BAHAN
2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tabung Nessler 50 ml
Pipet ukur 10 ml
Pipet ukur 1 ml
Pipet ukur 20 ml
Beaker glass 100 ml
Bola karet

: 8 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 1 buah
: 2 buah

7. Botol semprot

: 2 buah

2.2. Bahan
Bahan yang dipakai adalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Air kemasan Gundaling


Air kemasan clean-Q
Air lindi
Pereaksi Nessler
Garam Rochelle
Larutan stok NH4+ 1 ppm
Aquades

: 25 ml
: 25 ml
: 25 ml
: secukupnya
: secukupnya
: secukupnya
: secukupnya

BAB III
PROSEDUR KERJA

3.1. Prosedur Kerja Pembuatan Reagen pada Penetapan NH4+


1. Pereaksi Nessler
10 gram HgI2 dan 7 gram KI dilarutkandengan aquades, lalu dicampurkan
dengan larutan NaOH 30% 50 ml, kemudian ditambahkan aquades jadi
100 ml. Disimpan dalam botol warna gelap.
2. Larutan Garam Rochelle
50 gram Knatartratdilarutkan dalam 100 ml aquades.

3.2. Prosedur Kerja Penetapan NH4+


1. Dipipet masing masing sampel sebanyak 25 ml ke dalam tabung Nessler
50 ml.
2. Ditambahkan 1 ml larutan garam Rochelle.
3. Lalu ditambahkan 1 ml pereaksi Nessler.

4. Kemudian ditambahkan aquades sampai 50 ml, dan dibiarkan selama 5


menit.
5. Dilakukan penambahan yang sama terhadap larutan stock dengan memipet
larutan stock sebanyak 1 ml, 2 ml, 4 ml, 6 m, 8 ml dan 35 ml
6. Dibandingkan warna standar dengan warna sampel.

BAB IV
GAMBAR RANGKAIAN

4.1. Gambar Rangkaian Penetapan Kadar NH4+


1. Sampel di persiapkan terlebih dahulu

2. Sampel dimasukkan ke dalam tabung nessler sebanyak 25 ml

3. Kemudian ditambahkan larutan garam Rochelle sebanyak 1 ml ke


dalam masing masing larutan stock dan sampel

4. Setelah itu ditambahkan larutan pereaksi nessler sebanyak 1 ml dan


dimasukkan ke dalam masing masing larutan stock dan sampel

5. Kemudian ditambahkan aquades sampai volume 50 ke dalam masing


masing larutan stock dan sampel serta warna yang terbentuk pada
sampel dibandingkan denga warna larutan stock yang paling
mendekati.

6. Diamati warna yang ditunjukkan dan membandingkannya dengan


larutan stock.

BAB V
DATA PENGAMATAN

5.1. Data Pengamatan Penetapan Kadar NH4+ Dalam Air


Tabel. 5.1. Penetapan Kadar NH4+ Pada Larutan Standard
Larutan Stock

V. Garam

No

1 ppm

Rochelle

( ml )
1

(ml)
1

V. Pereaksi

Warna

Nessler (ml)
1

Kuning pucat

Kuning muda

Kuning

Kuning tua

Kuning pekat

35

Orange

Pengamatan :
1.. lar. stok 1 ml + lar. garam rochelle
Lar. bening + gel + lar. nessler
2. lar. stok 2 ml + lar. garam rochelle
Lar. bening + gel + lar. nessler
3. lar. stok 4 ml + lar. garam rochelle
Lar. bening + gel + lar. nessler
4. lar. stok 6 ml + lar. garam rochelle

lar. bening + gel


lar. kuning muda
lar. bening + gel
lar. kuning
lar. bening + gel
lar. kuning tua
lar. bening + gel

Lar. bening + gel + lar. nessler

lar. kuning pekat

5. lar. stok 8 ml + lar. garam rochelle

lar. bening + gel

Lar. bening + gel + lar. nessler

lar. kuning pekat

5. lar. stok 35 ml + lar. garam rochelle

lar. bening + gel

Lar. bening + gel + lar. nessler

lar. orange

Tabel. 5.2. Penetapan Kadar NH4+ Pada Larutan Sampel


No

Sampel

V. Sampel
( ml )

V. Garam

V. Pereaksi

Rochelle (ml)

Nessler (ml)

Warna

Gundaling

25

Kuning pucat

Clean Q

25

Kuning pucat

Air lindi

25

Orange

Pengamatan :
1. Air minum kemasan + lar. rochelle

lar. bening + gel

Lar. bening + gel + lar. nessler

lar. kuning pucat

2. Air lindi + lar. rochelle


Lar. bening + gel + lar. nessler

lar. bening + gel


lar. orange

Keterangan :
Sampel Gundaling pada akhir reaksi memiliki warna yang sama dengan larutan
stok NH4+ 1 ml, yaitu warna kuning pucat demikian juga dengan sampel clean-q,
sedangkan air lindi memiliki warna yang sama dengan larutan stok NH4+ 35 ml
yaitu warna orange.

BAB VI
PENGOLAHAN DATA
6.1 Perhitungan Kadar NH4+
6.1.1 Air minum Gundaling
Diketahui : volume sampel = 25 ml
Ditanya
: kadar NH4+ (ppm) .??
Jawab
:
mL stoke x kons. Larutan stoke
+
Kadar NH4 ppm =
Volume sampel
1 ml x 1 mg/L
=
25 ml
= 0,04 mg/L
= 0,04 ppm

6.1.2. Air Minum Merek Clean-Q


Diketahui : volume sampel = 25 ml
Ditanya : kadar NH4+ (ppm) .??
Jawab :
mL stoke x kons. Larutan stoke
Kadar NH4+ (ppm) =
Volume sampel
1 ml x 1 mg/L
=
25 ml
= 0,04 mg/L
= 0,04 ppm

6.1.3 Air Lindi


Diketahui : volume sampel = 25 ml
Ditanya : kadar NH4+ (ppm) .??
Jawab :
mL stoke x kons. Larutan stoke
Kadar NH4+ (ppm) =
Volume sampel
35 ml x 1 mg/L
=
25 ml
= 1,4 mg/L
= 1,4 ppm

6.2. Reaksi
NH4++ C4H4KNaO6 4H2O
Ammonium

Na(NH4)C4H4O64H2O

Garam Rochelle

Garam Ammonium Rochelle

Na(NH4)C4H4O64H2O + 2K2HgI4 + NaOHHgOHg(NH2)I


Garam Ammonium

Pereaksi

Natrium

Nessler

Hidroksida

Rochelle

7I- + C4H4KNaO6 4H2O


Iodida

Garam Rochelle

K+

+ 3 K+ + Na+ + H +
Kalium

Natrium Hidrogen

Kalium

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Kandungan NH4+ yang terdapat dalam air minum kemasan gundaling,
clean-q adalah 0,04 ppm karena memiliki warna yang sama dengan
larutan stok NH4+ 1 ml yaitu warna kuning pucat.
2.

Sampel air kemasan yang diuji dengan parameter ammonium

masih

memiliki kandungan ammonium dibawah standar maksimal yang ditentukan


oleh Standar Nasional Indonesia yaitu 0,15 mg/l.
Kadar NH4+ dengan cara membandingkan hasil warna yang diperoleh dari

3.

sampel dengan warna dari larutan stock NH 4+ dikatakan analisa secara


kualitatif.

7.2. Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti ketika melakukan praktikum
sehingga data yang dihasilkan akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Sri. 2015. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Air dan


LimbahIndustri. PTKI: Medan.
Ayu Paramita, Gladys. 2010. Produksi Abon Daging Ikan Pari (Rayfish) :
Karakterisasi Kimia Daging Ikan Pari. Prosiding Skripsi : Surabaya.
Fardiaz, Srikandi. . Polusi Air dan Udara.
Josephinne, Marieanna, dkk. Evaluasi Single Stage Dry Slow Sand Filter
Dalam Menyisihkan Beberapa Polutan Fisis Dari Air Permukaan.
Program studi teknik lingkungan : Bandung.
Mahida, U.N. . Pencemaran Air & Pemanfaatan Limbah Industri.
Notodarmojo, Suprihanto. 2005. Pencemaran Tanah & Air Tanah. Bandung :
ITB

LAMPIRAN

Standar Nasional Indonesia untuk Air Minum dalam kemasan


Sumber : BSN

Anda mungkin juga menyukai