Fimosis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Pada akhir tahun pertama kehidupan, retraksi kulit prepusium ke belakang
sulkus glandularis hanya dapat dilakukan pada sekitar 50% anak laki-laki; hal ini
meningkat menjadi 89% pada saat usia tiga tahun. Insidens fimosis adalah sebesar
8% pada usia 6 sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun.
Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat
di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Preputium penis
merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium
selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat
lahir, namun seiring bertambahnya usia dan pertumbuhan

terjadi proses

keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian
dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis. 1,2
Di Jepang, fimosis ditemukan pada 88% bayi yang berusia 1 hingga 3
bulan dan 35% pada balita berusia 3 tahun. Insidens fimosis adalah sebesar 8%
pada usia 6 sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun.
Beberapa penelitian mengatakan kejadian Phimosis saat lahir hanya 4% bayi yang
preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis
terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan
itu berkurang. Sampai umur 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh.
Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10
tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga umur 16-17 tahun. Dari kelompok
terakhir ini ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila
tidak ditangani.1,2
Parafimosis harus dianggap sebagai kondisi darurat karena retraksi
prepusium yang terlalu sempit di belakang glans penis ke sulkus glandularis dapat
mengganggu perfusi permukaan prepusium distal dari cincin konstriksi dan juga
pada glans penis dengan risiko terjadinya nekrosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Fimosis, baik bawaan sejak lahir (kongenital) maupun didapat, merupakan

kondisi dimana kulit yang melingkupi kepala penis (glans penis) tidak bisa ditarik
ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis. Kulit yang melingkupi
kepala penis tersebut juga dikenal dengan istilah kulup, prepuce, preputium, atau
foreskin. Preputium terdiri dari dua lapis, bagian dalam dan luar, sehingga dapat
ditarik ke depan dan belakang pada batang penis. Pada fimosis, lapis bagian dalam
preputium melekat pada glans penis. Kadangkala perlekatan cukup luas sehingga
hanya bagian lubang untuk berkemih (meatus urethra externus) yang terbuka.
Sebaliknya, parafimosis merupakan kondisi dimana kulit preputium
setelah ditarik ke belakang batang penis tidak dapat dikembalikan ke posisi
semula ke depan batang penis sehingga penis menjadi terjepit. Fimosis dan
parafimosis yang didiagnosis secara klinis ini, dapat terjadi pada penis yang
belum disunat (disirkumsisi) atau telah disirkumsisi namun hasil sirkumsisinya
kurang baik. Fimosis dan parafimosis dapat terjadi pada laki-laki semua usia,
namun kejadiannya tersering pada masa bayi dan remaja.

Gambar 1. Gambaran Klinis Fimosis

Fimosis kongenital (fimosis fisiologis) timbul sejak lahir sebenarnya merupakan


kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium
selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat
lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor
pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara
glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium
terpisah dari glans penis. Suatu penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi
yang seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis pada saat lahir,
namun mencapai 90% pada saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-laki berusia 17
tahun yang masih mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian
lain mendapatkan hanya 20% dari 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.
Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis)
timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan kebersihan (higiene) alat
kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium
(balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful
retraction) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan
jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputium yang membuka.
Fimosis kongenital seringkali menimbulkan fenomena ballooning, yakni
kulit preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran air seni
tidak diimbangi besarnya lubang di ujung preputium. Fenomena ini akan hilang
dengan sendirinya, dan tanpa adanya fimosis patologik, tidak selalu menunjukkan
adanya hambatan (obstruksi) air seni. Selama tidak terdapat hambatan aliran air
seni, buang air kecil berdarah (hematuria), atau nyeri preputium, fimosis bukan
merupakan kasus gawat darurat.
.

Phimosis adalah kondisi di mana preputium tidak bisa diretraksi (ditarik)


melewati glans penis. Phimosis ini umumnya bersifat alamiah (physiologic
phymosis). Sementara, phimosis patologis adalah kondisi di mana si kulup tidak
bisa ditarik akibatnya adanya scarring

(jaringan parut .. hmm apa yah

terjemahannya yang pas) di sekitar glans penis dengan preputium, biasanya akibat
infeksi. Bedanya antara phimosis alamiah dan patologis adalah pada phimosis
alamiah (atau fisiologis), tidak ada scarring. Kedua hal ini cukup mudah
dibedakan dengan pemeriksaan fisik. Kalau kulup terasa sangat ketat pada
phymosis fisiologis, maka dapat diberikan salep

kortikosteroid (misalnya

triamcinolone 0,1% seperti Ketricin (R) ) di sekitar glans penis sambil meretraksi
kulup pelan-pelan; tentunya jika memang anak dan atau orangtua memilih tidak
disunat.

Gambar 2. Kiri: phimosis fisiologis, kanan: phimosis patologis, adanya phimotic


ring/scar[4]

2.2

Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di antara

kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan kulup
menjadi melekat pada kepala penis, sehingga sulit ditarik ke arah pangkal.

Penyebabnya bisa dari bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena infeksi
atau benturan. Fimosis dapat disebabkan oleh:
1. Kegagalan kulup untuk melonggar selama proses pertumbuhan
2. Infeksi seperti balinitis
3. Cacat yang disebabkan oleh trauma
4. Penyakit pada alat kelamin.

2.3

Anatomi dan Perkembangan Penis


Pembentukan penis dimulai dari minggu ke-7 kehamilan dan selesai pada

minggu ke-17 [8]. Integumen penis di depan lipatannya membentuk preputium,


yang melingkupi glans penis dan meatus urethra eksternus (Gambar 2.1).
Preputium mempunyai banyak fungsi ; terutama sebagai proteksi,
imunologi dan fungsi erotis. Mukosa bagian dalam preputium ini melingkupi
glans dan lalu melipat bersatu dengan pangkal glans penis [9]. Preputium terikat
pada permukaan bawah glans yang disebut frenulum yang merupakan bangunan
yang sangat sensitif. Preputium kaya vaskularisasi dan inervasi. Reseptor-reseptor
sentuhan yang halus banyak terdapat di preputium. Sirkumsisi menghilangkan
sebagian besar daerah-daerah sensitif tersebut [10]. Tidak seperti preputium, glans
hanya memiliki reseptor tekan dan tidak mempunyai reseptor sentuhan yang
halus.
Kelenjar yang terdapat pada preputium dan glans menghasilkan sekret,
yang membantu dalam lubrikasi dan pertahanan terhadap infeksi. Lisozim dalam
sekret ini dapat melawan mikroorganisme yang berbahaya. Cathepsin B,
kimotripsin, neutrofil elastase, sitokin dan pheromone seperti androsterone juga
diproduksi disini. Sel-sel Langerhans yang terdapat pada preputium tampaknya
memberikan resistensi terhadap infeksi HIV [9-11]. Pada saat bayi lahir dan
beberapa tahun pertama kehidupan, mukosa bagian dalam preputium melekat
pada glans dan karenanya dia tidak bisa di retraksi. Secara bertahap dengan
bertambahnya umur anak, preputium bisa di retraksi.

2.4

Patofisiologi Fimosis
Normalnya hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan

debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul didalam


prepusium dan perlahan-lahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi
penis yang terjadi secara berkala membuat prepusium menjadi retraktil dan dapat
ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun, 90% prepusium sudah dapat di
retraksi.1
Pada kasus fimosis lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga
tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang
hanya tersisa lubang yang sangat kecil di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan
terjadi fenomena balloning dimana prepusium mengembang saat berkemih
karena desakan pancaran urine yang tidak diimbangi besarnya lubang di ujung
prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning
maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam prepusium. Adanya kandungan
glukosa pada urine menjadipusat bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu,
komplikasi yang paling sering dialami akibat fimosis adalah infeksi saluran kemih
(ISK). ISK paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus fimosis7.
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang
akan

mengakibatkan terjadinya penumpukan

kotoran-kotoran

pada

glanspenis sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis


dan prepusium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium
tidak dapat ditarik kebelakang 7.
Pada

lapisan

dalam

prepusium

terdapat

kelenjar

sebacea

yang

memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan


prepusium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan prepusium dan glans penis yang
membentuk semacam lembah di bawah korona glans penis (bagian kepala penis
yang berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran,
sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini

mudah

dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan

karena prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah
perlekatan

prepusium

dengan

glans penis,

debris

dan

sel

matiyang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan.7


Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini
terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi
pembengkakan kemerahan dan produksi pus di antara glans penis dan prepusium.
Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi pada diabetes.3

2.5

Manifestasi Klinis Fimosis


Tanda dan gejala dari fimosis antara lain:
1. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin
2. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat
mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal
tersebut disebabkan oleh karena urin yang keluar terlebih dahulu tertahan
dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar
melalui muaranya yang sempit.Biasanya bayi menangis dan mengejan saat
buang air kecil karena timbul rasa sakit.
3. Kulit penis tak bisa ditarik kea rah pangkal ketika akan dibersihkan
4. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang
memancar dengan arah yang tidak dapat diduga. Kadang-kadang terjadi
enuresis atau retensi urin dan meatus urethra berbentuk pin-point dan
jaringan di depan preputium berwarna putih dan mengalami fibrosis [913]. Phimosis yang disebabkan BXO biasanya mengalami phimosis berat
dengan meatal stenosis, lesi glanular atau keduanya [11].
5. Bisa juga disertai demam
6. Iritasi pada penis
Insiden phimosis patologis adalah 0,4 per 1000 anak laki-laki per tahun

atau 0,6% anak laki-laki mengalami phimosis pada ulang tahun ke-15 mereka.
Kejadian phimosis patologis ini jauh lebih rendah daripada phimosis fisiologis,
yang biasa terjadi pada anak-anak dan menurun sesuai dengan bertambahnya usia
3

Phimosis fisiologis hanya melibatkan preputium yang tidak bisa diretraksi. Bisa

saja terjadi balloning saat anak berkemih. Tapi nyeri, disuria dan infeksi lokal atau
ISK tidak terlihat pada phimosis fisiologis ini. Pada tarikan yang lembut, kerutan
preputium dan jaringan di atasnya berwarna merah muda dan sehat.
Pada phimosis patologis, biasanya ada nyeri, iritasi kulit, infeksi lokal,
perdarahan, disuria, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, nyeri preputial,
ereksi yang terasa nyeri terutama saat koitus dan pancaran kencing lemah.
Phimosis pada anak laki-laki dan orang dewasa dapat bervariasi tingkat
keparahannya.
Derajat berat phimosis berdasarkan klasifikasi Kayaba dkk. A.
Meuli dkk. menilai keparahan phimosis dalam 4 derajat

11

, yaitu :

1. derajat I : preputium sepenuhnya dapat diretraksi, dengan cincin stenotik


pada shaft penis
2. derajat II : preputium dapat diretraksi sebagian dengan eksposure parsial
pada glans
3. derajat III : preputium dapat di retraksi sebagian dengan eksposure pada
meatus saja
4. derajat IV : preputium tidak dapat diretraksi sama sekali.
Klasifikasi lain dari keparahan phimosis dikemukakan oleh Kikiros dkk.9-11 yaitu
sebagai berikut ;
1. derajat 0 : preputium bisa diretraksi penuh
2. derajat 1 : preputium dapat diretraksi penuh tapi preputium tegang di
belakang glans
3. derajat 2 : eksposure parsial glans
4. derajat 3 : retraksi parsial dengan eksposure hanya pada meatus
5. derajat 4 : retraksi dapat dilakukan sedikit sekali dengan glans dan meatus
tidak terekspose sama sekali
6. derajat 5 : sama sekali tidak bisa retraksi.
Berdasarkan keadaan preputium, phimosis dikategorikan berdasarkan
peningkatan keparahan yaitu preputium normal, preputium cracking, scarred dan
BXO (balanitis obliterans xerotica) 11.

2.6

Diagnosis

Jika prepusium tidak dapat atau hanya sebagian yang dapat diretraksi, atau
menjadi cincin konstriksi saat ditarik ke belakang melewati glans penis, harus
diduga adanya disproporsi antara lebar kulit prepusium dan diameter glans penis.
Selain konstriksi kulit prepusium, mungkin juga terdapat perlengketan antara
permukaan dalam prepusium dengan epitel glandular dan atau frenulum breve.
Frenulum breve dapat menimbulkan deviasi glans ke ventral saat kulit prepusium
diretraksi. Diagnosis parafimosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik.

2.7

Penatalaksanaan
Ketika seorang anak dibawa dengan riwayat ketidakmampuan retraksi

preputium, penting untuk mengkonfirmasi apakah itu phimosis fisiologis atau


patologis. Manajemen phimosis tergantung pada usia anak, jenis phimosis, derajat
keparahan phimosis, penyebab dan kondisi morbiditas yang terkait.
Ketika dipastikan bahwa phimosis pada anak tidak patologis, sangat
penting untuk meyakinkan orang tua bahwa kondisi tersebut normal pada anak
dengan usia tertentu. Mereka harus diajarkan bagaimana menjaga preputium dan
mukosa preputium terjaga kebersihan dan higienitasnya. Pencucian biasa dengan
air hangat dan retraksi lembut selama anak mandi dan buang air kecil akan
membuat preputium lama-kelamaan akan dapat diretraksi 11-13. Sabun yang lembut
dapat digunakan, tapi hindari sabun yang terlalu kuat kandungan bahan kimianya
karena

dapat

menyebabkan

dermatitis

iritan

kimia

dan

phimosis

patologis. Follow-up mengenai kebersihan preputium perlu diulang secara


berkala.

1. Steroid topikal
Steroid topikal telah dicoba digunakan pada kasus-kasus phimosis sejak lebih dari
2 dekade terakhir. Secara keseluruhan, penelitian menggunakan krim topikal
untuk phimosis telah menghasilkan hasil yang memuaskan. Angka keberhasilan
berkisar antara 65-95 % 1. Mekanisme kerja terapi steroid topikal dalam phimosis
sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi kortikosteroid diyakini
bekerja melalui efek anti inflamasi dan imunosupresif lokalnya. Pemberian

10

pelembab mere pada penelitian-penelitian sebelumnya dikatakan telah gagal untuk


menghasilkan hasil yang memuaskan. Golubovic dkk. membandingkan pemberian
steroid topikal dibandingkan dengan vaseline dan mendapatkan bahwa 19 dari 20
anak dengan phimosis mengalami perbaikan dengan pemberian steroid dan hanya
4 dari 20 anak yang mengalami perbaikan dengan pemberian vaseline

11,12

. Steroid

mungkin bekerja dengan merangsang produksi lipocortin. Hal ini pada gilirannya
menghambat aktivitas fosfolipase A2 dan mengakibatkan menurunnya produksi
asam arakidonat.
Steroid juga menurunkan mRNA sehingga formasi interleukin-1
berkurang. Sehingga terjadilah proses anti inflamasi dan imunosupresi

11,13

Steroid juga menyebabkan penipisan kulit. Pembentukan glikosaminoglikan pada


kulit (terutama asam hyaluronic) oleh fibroblas akan berkurang. Proliferasi
epidermal dan ketebalan stratum korneum juga berkurang 9-13.
Betamethasone 0,05 % yang diberikan dua kali sehari selama 4 minggu
secara konsisten menunjukkan hasil yang baik

11-13

. Angka keberhasilan lebih

tinggi pada anak laki-laki pada usia lebih besar dengan tanpa adanya infeksi
Tingkat kepatuhan dalam pemberian betamethasone dilaporkan menjadi penyebab
kegagalan terapi . Penelitian yang dilakukan pada anak pada usia yang lebih muda
juga telah menghasilkan hasil yang baik . Pemberian betametason krim 0.1 % juga
menghasilkan hasil yang sama baiknya. Dewan dkk. mendapatkan angka
keberhasilan sebesar 65% dengan pemberian krim hidrokortison 1%. Steroid
lainnya telah dicoba dan didapatkan efektif dalam terapi phimosis termasuk
clobetasol proprionate 0,05 %, triamcinolone 0,1 % dan mometason dipropionat .
Usia pasien, jenis dan tingkat keparahan phimosis, pemberian yang tepat dari
salep, kepatuhan dalam pengobatan dan perlunya retraksi preputium secara teratur
berpengaruh terhadap angka keberhasilan atau kegagalan pengobatan

11,12

. Efek

samping dengan steroid topikal yaitu nyeri dan hiperemis yang ringan pada
preputium tetapi itu sangat jarang terjadi. Tidak ada efek samping signifikan yang
dilaporkan bahkan pada anak yang lebih muda

9-13.

Tingkat pembiayaan dengan

pemberian steroid topikal juga lebih murah daripada sirkumsisi sebesar 27,4 %
.Pemberian steroid topikal juga tidak menimbulkan ketakutan pada anak dan tanpa
trauma psikologis seperti pada sirkumsisi . Beberapa penelitian telah

11

menunjukkan bahwa terdapat penurunan retraktabilitas pada beberapa bulan


setelah mendapatkan terapi lengkap . Namun, pemberian ulang steroid topikal
terbukti berguna dalam kasus tersebut.

Diperlukan perhatian khusus orang tua terhadap risiko penyerapan steroid


secara sistemik dan supresi pada hipotalamic-pituitary-adrenal (HPA). Tapi risiko
ini kecil mengingat fakta bahwa sejumlah kecil krim steroid yang digunakan dan
luas permukaan kulit yang diolesi krim steroid yang tergolong kecil. Selain itu,
steroid hanya digunakan selama 4-6 minggu. Golubovic dkk. mendapatkan bahwa
level kortisol pada pagi hari meningkat tetapi tidak signifikan pada pasien yang
menerima salep betametason dibandingkan dengan control.Steroid topikal dapat
digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk phimosis patologis dan
merupakan pilihan terapi sebelum diputuskan untuk dilakukan pilihan operasi.
Namun, pasien dengan BXO mempunyai respon yang jelek terhadap steroid
topikal .
Untuk mengurangi kecemasan atas efek samping steroid topikal, salep
antiinflamasi nonsteroid bisa digunakan sebagai alternative. Sodium diclofenak
diberikan tiga kali sehari lalu dievaluasi dan didapatkan angka keberhasilan 75 %
dibandingkan dengan petroleum jelly, yang diketahui tidak mempunyai efektifitas
pada kasus yang digunakan . Krim estrogen 0,1 % juga telah diuji dan ditemukan
efektif pada 90 % kasus .
Jika pasien yang mengalami balanitis atau balanoposthitis, tergantung
pada etiologinya, dapat diberikan juga antibiotik topikal atau antijamur . Kontrol
glukosa darah secara ketat sangat penting pada pasien diabetes .

2. Dilatasi dan Stretching


Dalam hal ini, retraksi preputium secara lembut dapat dilakukan oleh seorang
dokter pada pasien rawat jalan. Adhesiolisis tanpa pembedahan ini merupakan
tindakan yang efektif, murah dan pengobatan yang aman untuk phimosis .
Campuran eutektik anestesi lokal (EMLA) dapat digunakan sebelum upaya
release adhesi preputium . He dan zhou menggunakan balon kateter yang

12

dirancang khusus dengan menggunakan anestesi lokal pada 512 anak laki-laki dan
100% berhasil. Teknik ini sederhana, aman, murah, tidak menyakitkan dan
memberikan efek trauma lebih ringan daripada sirkumsisi. Hal ini ditemukan
lebih menguntungkan digunakan pada terapi anak-anak tanpa fibrosis atau
infeksi . Terapi kombinasi menggunakan peregangan (stretching) dan steroid
topikal
3. Terapi bedah
Terapi invasif ini diberikan pada phimosis rekuren yang gagal dengan terapi
medis.
-

Alternatif Bedah konservatif

Merupakan terapi alternatif konservatif selain sirkumsisi dengan banyak


komplikasi, masalah dan risiko . Preputioplasty adalah istilah medis untuk operasi
plastik pada preputium phimosis. Prosedur ini memiliki penyembuhan keluhan
nyeri yang lebih cepat, morbiditas yang lebih sedikit, biaya yang lebih ringan dan
menyediakan preservasi lebih pada kulit preputium, menjaga erotis dan fungsi
fisiologis seksual . Kelemahannya adalah phimosis dapat kambuh kembali
10,12.

Dorsal slit dengan transversal closurebanyak direkomendasikan karena

merupakan

tindakan

yang

simpel

dan

hasilnya

memuaskan. Prosedur

lateral yang dijelaskan olehLane dan South memberikan kosmetik yang


memuaskan. Frenulotomy dan meatoplasty juga memberikan hasil yang baik.
Beberapa prosedur seperti Y and V plasty (Ebbehoj prosedur) merupakan
prosedur yang kompleks dan memerlukan keahlian khusus. Oleh karena itu
prosedur ini tidak banyak dipakai.
-

Sirkumsisi
Dalam hal ini, preputium benar-benar dipotong. Sirkumsisi adalah salah

satu operasi tertua yang dikenal manusia yang berawal dari upacara keagamaan
[90]. Namun secara bertahap menjadi prosedur rutin pada neonatus di Amerika
Serikat dan di beberapa negara eropa sehubungan dengan kebersihan penis yang
dilaporkan dapat mencegah kanker .Sirkumsisi akan menyembuhkan dan
mencegah kekambuhan phimosis .Hal ini juga mencegah episode lebih lanjut dari

13

balanoposthitis

dan

menurunkan

kejadian

infeksi

saluran

kemih

5-11

Komplikasinya antara lain berupa nyeri, penyembuhan luka yang relative lebih
lama, perdarahan, infeksi, trauma psikologis dan biaya yang lebih tinggi .
Selain itu, sirkumsisi dapat menyebabkan pembentukan keloid, meskipun
sangat jarang terjadi. Kemungkinan penurunan seksual pada laki-laki yang
dilakukan sirkumsisi dan pasangannya telah dilaporkan karena hilangnya jaringan
sensitif seksual . Dengan munculnya prosedur bedah plastik yang lebih baru untuk
phimosis, sirkumsisi banyak ditinggalkan di eropa dan amerika. Sirkumsisi harus
dihindari pada anak-anak dengan anomali genital dimana preputium mungkin
diperlukan untuk operasi korektif di kemudian hari.

4. Terapi lain
Pemberian antibiotik, injeksi steroid intralesi, terapi laser karbondioksida, dan
preputioplasty radial atau dengan injeksi intralesi steroid semuanya telah
dijelaskan sebagai terapi untuk phimosis, tetapi tidak ada percobaan terkontrol
acak yang tepat dari keberhasilan mereka dan hasil jangka panjangnya.

2.8

Komplikasi dan Penyulit Fimosis

Komplikasi fimosis dapat berupa :


1. Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih
2. Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian
terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
3. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
4. Penarikan preputium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa
nyeri dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis
5. Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
6. Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
7. Fimosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker penis.

2.9 Penyulit pada Fimosis

14

2.9.1 Smegma

Gambar3.

Smegma/keratin pearl

Smegma adalah sel epitel yang mengalami deskuamasi yang terperangkap di


bawah preputium, dan seringkali membentuk semacam benjolan kecil berwarna
putih di bawah kulit. Biasanya smegma ini akan keluar (ekstrusi) sendiri saat
kulup sudah menjadi retractile.
2.9.2

Parafimosis

Berlainan dengan fimosis, parafimosis merupakan kasus gawat darurat.


Upaya untuk menarik kulit preputium ke belakang batang penis, terutama yang
berlebihan namun gagal untuk mengembalikannya lagi ke depan manakala sedang
membersihkan glans penis atau saat memasang selang untuk berkemih (kateter),
dapat menyebabkan parafimosis. Kulit preptium yang tidak bisa kembali ke depan
batang penis akan menjepit penis sehingga menimbulkan bendungan aliran darah
dan pembengkakan (edema) glans penis dan preputium, bahkan kematian jaringan
penis dapat terjadi akibat hambatan aliran darah pembuluh nadi yang menuju
glans penis. Oleh karena itu, setelah memastikan bahwa tidak ada benda asing
seperti karet atau benang yang menyebabkan penis terjepit, dokter akan berupaya
mengembalikan kulit preputium ke posisinya secara manual dengan tangan atau
melalui prosedur invasif dengan bantuan obat bius (anestesi) dan penenang

15

(sedasi). Jarang diperlukan tindakan sirkumsisi darurat untuk mengatasi


parafimosis. Walaupun demikian, setelah parafimosis diatasi secara darurat,
selanjutnya diperlukan tindakan sirkumsisi secara berencana oleh karena kondisi
parafimosis tersebut dapat berulang atau kambuh kembali.

Gambar 4. Parafimosis

Jika tidak bisa dikembalikan secara manual (glans penis didorong ke


belakang sambil menarik preputium kedepan. harus diberi anastesi maka bisa
dilakukan multiple puncture di sekitar foreskin yang membengkak, atau jika
semasih susah, dilakukan dorsal slit, yakni melakukan sayatan kecil di kulup
sampai penis bisa dikembalikan (terutama jika anak tidak mau disunat). Juka
memang anaknya berencana disunat, bisa dilakukan sirkumsisi .

16

Gambar 5.

Hasil akhir dorsal slit. mengingat hasil teknik ini secara kosmetik,
kadang beberapa orang memilih dilakukan sirkumsisi

Ballooning

Kalau kulup lengket dengan glans penis, seringkali terlihat ballooning atau
kulit kulup menggembung saat anak akan berkemih. Hal ini umumnya tidak
masalah dan akan menyembuh sendiri jika kulup sudah menjadi retractile. Hal
yang mesti diperhatikan apakah anak menjadi harus mengedan saat berkemih atau
malah BAK yang keluar menjadi tidak lancar.
-

Balanitis, posthitis, balanoposthitis

Kadang, terjadi radang di daerah glans penis (balanitis), kulup/foreskin


(posthitis) atau keduanya (balanoposthitis). Perawatannya adalah dengan
membersihkan penis dan kulup dengan air bersih dan pemberian salep antibiotik.
Kadang diperlukan antibiotik minum. Radang yang terjadi berulang-ulang pada
glans penis mungkin menyebabkan terjadinya scarring (pathologic phimosis).

17

BAB III
KESIMPULAN
Phimosis patologis perlu dibedakan dari phimosis fisiologis, yang
merupakan hal yang normal pada anak-anak. Dokter harus menjelaskan kedua
jenis phimosis ini untuk menghindari kecemasan orangtua. Modalitas non-bedah
yang lebih baru seperti steroid topikal dan adhesiolisis merupakan tindakan yang
efektif, aman dan murah untuk phimosis pada anak-anak. Orang tua harus
disadarkan langkah-langkah ini untuk mengobati phimosis. Jika operasi memang
diperlukan, teknik bedah plastik konservatif harus dilakukan daripada sirkumsisi
pada pasien yang menolak sirkumsisi. Hal ini akan membantu pasien, keluarga
mereka, dan kesehatan serta masyarakat pada umumnya.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. B. Steadman and P. Ellsworth, To circ or not to circ: in- dications, risks,


and alternatives to circumcision in the pe- diatric population with
phimosis, Urologic Nursing, vol. 26, no. 3, pp. 181194, 2006.
2. K. Spilsbury, J. B. Semmens, Z. S. Wisniewski, and C. D. A. J. Holman,
Circumcision for phimosis and other medical indications in Western
Australian boys, Medical Journal of Australia, vol. 178, no. 4, pp. 155
158, 2003.
3. K. R. Shankar and A. M. K. Rickwood, The incidence of phimosis in
boys, British Journal of Urology International, vol. 84, no. 1, pp. 101102,
1999.
4. P. A. Dewan, Treating phimosis, Medical Journal of Austral- ia, vol. 178,
no. 4, pp. 148150, 2003.
5. R. S. Van Howe, Is neonatal circumcision clinically benefi- cial? Argument
against, Nature Clinical Practice Urology, vol. 6, no. 2, pp. 7475, 2009.
6. C. J. Mansfield, W. J. Hueston, and M. Rudy, Neonatal cir- cumcision:
associated factors and length of hospital stay, Journal of Family Practice,
vol. 41, no. 4, pp. 370376, 1995.
7. R. S. Van Howe, Cost-effective treatment of phimosis, Pedi- atrics, vol.
102, no. 4, p. E43, 1998.
8. J. H. Yiee and L. S. Baskin, Penile embryology and anatomy, The
Scientific World Journal, vol. 10, pp. 11741179, 2010.
9. C. J. Cold and J. R. Taylor, The prepuce, British Journal of Urology
International, vol. 83, 1, pp. 3444, 1999.
10. M. L. Sorrells, J. L. Snyder, M. D. Reiss et al., Fine-touch pressure
thresholds in the adult penis, British Journal of Urology International, vol.
99, no. 4, pp. 864869, 2007.
11. Shahid, Sukhbir Kaur, Phimosis in Children, International Scholarly
Research Network, ISRN Urology, vol, 2012, Article ID 707329, 2012.
12. S. Tekgl, H.S. Dogan, P. Hoebeke, R. Kocvara et al.,
Phimosis,Guidelines on Paediatric Urology, vol 2014, pp 10-2, 2014.
13. Jeffrey S. Palmer, Phimosis and Paraphimosis, Campbells Walsh Urology,
10th ed, pp 3530-43, 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai