Kebijakan Filantropi Dalam Media Massa Di Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

Kebijaka

n
Filantropi
dalam
Media
Massa di
Indonesi
a

Kata Pengantar

Kegiatan sumbang-menyumbang memang tidak lepas dari naluri manusia


untuk menolong sesamanya. Namun penanganan yang buruk kadang bisa
menjadi problema.
Media massa memiliki peranan cukup besar dalam kegiatan filantropi di
Indonesia. Efeknya yang luas, serempak, dan homogen menyebabkan
banyaknya masyarakat menitipkan dana sumbangan mereka melalui
media massa. Tapi kegiatan filantropi media massa ini selain memiliki sisi
baik, juga terdapat sisi buruknya.
Hal ini juga berdampak pada independensi dan profesionalitas media
massa sebagai pelaku kegiatan jurnalisme. Maka, pengkajian mengenai
kegiatan filantropi di media massa Indonesia dirasa cukup penting.
Apalagi dengan kehadiran Kode Etik Filantropi Media Massa pada tahun
2013, ada baiknya jika kita mengkaji tentang isi kode etik tersebut dan
dampaknya pada kegiatan filantropi di media massa saat ini.
Selalu terdapat kekurangan dalam setiap karya, untuk itu Penulis
mengharapkan masukan atas terselesaikannya makalah ini.

Penulis

Daftar Isi
2

KATA PENGANTAR 2
PENDAHULUAN
1. Pengertian Filantropi 4
2. Sejarah Filantropi di Indonesia 5
ISI
1. Filantropi Media Massa 8
2. Sejarah Filantropi Media Massa 8
3. Komponen Kegiatan Filantropi Media Massa 10
4. Masalah Pelaksanaan Praktik Filantropi Media Massa 12
5. Pelanggaran Praktik
Jurnalisme 15

Filantropi

Media

Massa

terkait

dengan

6. Kode Etik Filantropi Media Massa 18


7. Contoh Pelanggaran Praktik Filantropi yang Dilakukan Media Massa
di Indonesia 20
PENUTUP
Simpulan 22
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 23

Pendahuluan

1. Pengertian Filantropi
Secara etimologi, filantropi (philanthropy) berasal dari kata Yunani
yaitu philein yang berarti cinta, dan anhropos yang berarti manusia.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
filantropi memiliki makna sebagai cinta kasih (kedermawanan dsb)
kepada sesama.
Maka menurut Olivier Zunz dalam bukunya yang berjudul
Philantrophy in America: A History, dapat disimpulkan bahwa
filantropi adalah mencintai sesama manusia dalam arti perhatian,
mengembangkan, dan menaikkan makna dari apa artinya menjadi
seorang manusia dengan memberi apa yang mereka miliki secara
sukarela. Dalam arti yang lebih modern, filantropi adalah kegiatan
atas inisiatif pribadi, untuk kepentingan publik, memfokuskan pada
kualitas kehidupan. Orang yang melakukan praktik filantropi disebut
filantropis (philanthropist).
Keduanya menggabungkan aspek ilmu sosial yang dikembangkan
pada abad ke-20 dengan tradisi asli manusia, dan menghasilkan
praktik filantropi yang berlawanan antara bisnis (inisiasi pribadi
untuk keuntungan pribadi, berfokus pada kemakmuran harta) dan
pemerintah (inisiasi publik untuk kebaikan masyarakat, berfokus
pada hukum dan perintah).
Menurut sifatnya, filantropi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
filantropi tradisional dan filantropi keadilan sosial (Social Justice
Philantrophy/ SJP). 1
Filantropi tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas (charity).
Praktik filantropi tradisional umumnya berbentuk pemberian para
dermawan kepada kaum miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok
seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Filantropi tradisional
berbasis karitas ini lebih pada individualistis dengan melibatkan
individu dengan harta berlebih (kaya). Contoh filantropi tradisional
adalah filantropi yang berakar pada tradisi dan agama di Indonesia
seperti tradisi maleman, megengan, dan kupatan dalam masyarakat
Jawa.
Sedangkan filantropi keadilan sosial merupakan sebuah praktik
pemberian sumbangan kepada lembaga-lembaga nirlaba yang
berupaya dalam proses perubahan struktural dalam upaya
mengentaskan kemiskinan dan kesetaraan baik secara ekonomi,
1 http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-perilaku-filantropi.html. diakses 13
September 2014

sosial, maupun politik. Filantropi keadilan sosial dirasa dapat


memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pemerataan kaum
yang tertindas (miskin) dibandingkan filantropi tradisional.2
Menurut Ketua Dewan Pengurus YAPPIKA dan Mantan Direktur
LP3ES, Rustam Ibrahim, praktik filantropi dewasa kini lebih mengacu
pada filantropi keadilan sosial. Sekarang filantropi dilihat sebagai
investasi sosial (social investment), dimana seseorang, sekelompok
orang, atau perusahaan bermitra dengan orang-orang yang
dibantunya. Sekarang filantropi tidak lagi dilihat sebagai individu,
tetapi juga dilihat sebagai suatu institusi yang bisa memberikan
bantuan. Sehingga muncullah istilah coorporate philantrophy.
Barry Knight mengatakan ada lima faktor yang bisa dikategorikan
sebagai filantropi keadilan sosial, diantaranya:
a.

Pemenuhan kebutuhan pokok


makanan, pakaian, dan perumahan.

masyarakat,

misalnya

b.

Berderma untuk hal-hal yang berhubungan dengan


kesetaraan seperti kesetaraan gender, anti-diskriminasi, Hak
Asasi Manusia (HAM).

c.

Kedermawanan untuk program yang berhubungan dengan


pembagian kekuasaan, misalnya penegakan demokrasi.

d.

Dukungan pendanaan untuk meningkatkan kapasitas


masyarakat.

e. Partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan. Kelima


program ini bisa dianggap sebagai filantropi untuk keadilan
sosial.
Namun di Indonesia, praktik filantropi khususnya yang dipayungi
media massa lebih merujuk pada faktor pertama yaitu pemenuhan
kebutuhan pokok masyarakat.

2. Sejarah Filantropi di Indonesia


Praktik filantropi di Indonesia bukanlah hal baru jika dilepas dari
kesinambungannya
dengan media
massa.
Kegiatan yang
mengatasnamakan kedermawanan ini ternyata sudah lama
dilakukan oleh masyarakat. Walaupun istilah ini masih terdengar
asing di telinga kita, tapi praktik filantropi sudah banyak dilakukan

2 Diambil dari kutipan Jurnal Galang, Vol. 1 No.1 Oktober 2005, PIRAC, 2005, Opini, Hal 77-78
5

sejak dahulu kala. Selain budaya, agama yang ada di Indonesia


banyak yang menjadikan filantropi sebagai bagian dari ajarannya.
Contohnya, dalam agama Islam dikenal istilah zakat, infak, sodakoh,
dan wakaf yaitu kegiatan beramal yang dilakukan muslim/muslimah
untuk membantu sesamanya yang membutuhkan. Agama lainpun
memiliki keyakinan serupa. Seperti agama Kristen Katolik dan
Protestan yang menggalang bantuan seperti Kolekte, Persepuluhan,
Dana Puasa Pembangunan, dan lain-lain. Agama Hindu dan Budha
pun memasukkan unsur filantropi dalam ajaran mereka dan dikenal
dengan istilah Dana Punia, Dharma, dan sebagainya.
Intinya, praktik filantropi yang dilakukan atas nama agama ini dapat
bersifat wajib (obligatory) atau secara sukarela (voluntary). Yang
penting, unsur keikhlasan, rasa tenggang rasa, dan tulus ingin
menolong sesama merupakan faktor yang penting dalam melakukan
kegiatan ini.
Sedangkan tradisi di Indonesia yang menerapkan praktik filantropi
juga ternyata sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.
Dalam masyarakat Jawa, filantropi dikenal dengan istilah jimpitan
yaitu para perempuan menyisihkan beras yang akan dimasak untuk
disumbangkan bagi kegiatan sosial lingkungan atau disumbangkan
kepada warga yang mendapatkan musibah. Ada juga tradisi
maleman, megengan dan kupatan, sebuah tradisi bertukar atau
mengirim makanan untuk kerabat dan saudara khususnya untuk
orang-orang tak mampu di lingkungan sekitar. Kegiatan ini dilakukan
setiap menjelang buka puasa, menjelang Lebaran, dan setelah
Lebaran.
Di tanah Sunda, dikenal juga praktik filantropi serupa yang disebut
dengan perelek. Dalam praktiknya, masyarakat menggalang dana
secara sukarela dan tanpa paksaan dan dana yang terkumpul
digunakan untuk membantu masyarakat dalam bidang apapun.
Masyarakat Bali juga punya tradisi serupa yang dikenal dengan
istilah Ngayah. Mereka secara sukarela dan tanpa pamrih
mengkolektifkan barang sumbangan mereka untuk mereka yang
membutuhkan. Ngayah memiliki konsep yang hampir mirip dengan
tradisi gotong royong di Jawa.
Seiring zaman, praktik filantropi tidak hanya berbasis agama dan
tradisi, tapi juga dilakukan secara lebih modern. Pada tahun 1990an, atas banyaknya bencana alam yang melanda serta krisis
ekonomi pasca tumbangnya rezim Orde Baru di bawah
6

kepemimpinan Presiden Soeharto, maka diprakarsai oleh keluargakeluarga kaya, perusahaan, dan aktivis LSM, mulai bermunculanlah
organisasi-organisasi filantropi seperti seperti yayasan keluarga,
yayasan perusahaan, media massa, dan Organisasi Masyarakat Sipil
(OMS), Organisasi Sumber Daya Masyarakat (OSMS), dan Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ) yang mengkhususkan pada peran sebagai
organisasi penyalur dana atau perantara. Program yang
dicanangkan oleh mereka juga tak sebatas memberikan sumbangan
berupa material dan kebutuhan pokok, tapi juga bisa masalahmasalah sosial lainnya seperti penegakan HAM, problem buruh dan
lain-lain.
Animo masyarakat untuk melakukan kegiatan derma di Indonesia
terbilang tinggi. Public Interest Research and Advocacy Center
(PIRAC) melakukan survei mengenai potensi dan perilaku
menyumbang masyarakat di sepuluh kota di Indonesia pada tahun
2000, 2004, dan 2007.3 Hasil survei menunjukkan program-program
derma yang bersifat umum mengalami kenaikan dari Rp 301,515
per orang per tahun pada tahun 2004 menjadi Rp 325,775 per
orang per tahun pada tahun 2007. Pada tahun 2002 dan 2004,
terdapat 16% responden yang menyisihkan dana untuk sumbangan.
Namun pada tahun 2007, jumlahnya meningkat drastis menjadi
43.7% responden. Sementara dana yang disisihkan juga meningkat
dari yang Rp 663,661 pada tahun 2004 menjadi Rp 767,272 pada
tahun 2007 (PIRAC, 2008).
Melihat lampu hijau ini, para organisasi dan lembaga
penggalang/penyalur dana mulai gencar mencari dukungan dari
masyarakat. Mereka tidak hanya melakukan metode konvensional,
tapi juga melakukan teknik-teknik penggalangan dana modern
seperti SMS, e-mail, membership, hingga menyisihkan uang
kembalian di swalayan.
Tak ayal, media massa juga menjadi pemain penting dalam kegiatan
filantropi di Indonesia. Menurut Effendy (1993), fungsi komunikasi
massa yang dilakukan oleh media massa secara umum adalah
fungsi informasi (to inform), fungsi pendidikan (to educate), dan
fungsi memengaruhi (to persuade). Namun, dengan adanya
kehadiran praktik filantropi dalam media massa, maka fungsi media
massa tidak hanya menjalankan fungsi informasi, fungsi pendidikan,
dan fungsi memengaruhi, tapi ditambah satu fungsi lagi yaitu fungsi
penggalang dana sosial. Melalui program mereka, media massa
3 Hamid Abidin dan Kurniawati, Berbagi untuk Negeri: Pola Perilaku Masyarakat Indonesia dalam
Berderma, Piramedia, Jakarta, 2005

mengumpulkan dan menyalurkan dana dari berbagai masyarakat


untuk berbagai masalah-masalah sosial, tidak hanya bencana, tapi
juga masalah pendidikan dan kesehatan.
Program-program berbasis filantropi inipun tidak hanya dihelat pada
saat-saat mendadak seperti ketika tiap bencana terjadi, program ini
baru dibuka. Namun program ini bahkan menjadi permanen dan
reguler. Dampaknya begitu luar biasa. Program-program berbasis
filantropi ini secara sukses menggalang dana besar-besaran dari
masyarakat. Saat bencana Tsunami di Aceh pada 26 Desember
2004, dana yang mengalir ke Aceh hingga tahun 2006 tercatat
sebesar Rp 28,5 triliun.4 Dana inipun berhasil digalang oleh 35
media massa cetak dan elektronik. Sementara jumlah media yang
menggalang tercatat lebih dari 150 media.

Isi
1. Filantropi Media Massa
Pada bagian pendahuluan, sudah kita singgung bersama pengertian
dari filantropi. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apa itu
filantropi media massa?
Dalam praktiknya, filantropi dikaitkan dengan kegiatan berderma
secara terorganisir dan berorientasi jangka panjang. Hal ini
dilakukan untuk membedakan kegiatan karitas (charity) yang
bersifat lebih personal dan berjangka pendek. Dengan kata lain,
filantropi merupakan kegiatan kolektif yang dilaksanakan oleh suatu
lembaga atau organisasi. Kegiatan kolektif ini meliputi menggalang,
mengelola, dan mendistribusi dana kolektif dari masyarakat sipil
tanpa mengandalkan mekanisme birokratik pemerintah.5
Dengan adanya keterlibatan media massa dalam kegiatan filantropi
di Indonesia kurun 15 tahun terakhir ini, maka muncullah istilah
filantropi media massa. Maksudnya, kegiatan filantropi yang
dilakukan
oleh
media
massa.
Namun,
banyak
yang
mempertanyakan apakah pengertian ini tepat. Alasannya, dalam
kegiatannya, media massa melakukan kegiatan filantropi dengan
dana dari masyarakat, bukan dari perusahaan atau karyawan
mereka.
4 Makalah karya Prof. Dr Zulkifli Husin berjudul Refleksi Dua Tahun Musibah Tsunami di Nangroe
Aceh Darussalam. Makalah ini disampaikan untuk diskusi oleh TARI/Bank Dunia pada 23 Desember
2006 di Banda Aceh dalam melakukan Refleksi Dua Tahun terjadinya musibah Tsunami.

5 http://wikiwhat.com/encyclopedia/p/ph/philanthropy.html
8

Beberapa akademisi dan praktisi filantropi mengusulkan untuk


memberikan istilah yang lebih baik yaitu filantropi melalui media
massa.

2. Sejarah Filantropi Media Massa


Dalam sejarahnya, keterlibatan media massa dalam praktik
filantropi di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an. Media massa
yang pertama kali melakukan kegiatan filantropi adalah Yayasan
Sekar Mlatti yang didirikan oleh Kelompok majalah Femina Group
pada tahun 1979. Mereka membangun yayasan ini untuk
meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, terutama yang
berasal dari kalangan tidak mampu. Sumber dana awalnya hanya
bersumber dari perusahaan itu sendiri dan karyawannya. Namun
lambat laun pembaca Femina Group ingin ikut serta menyumbang
melalui yayasan itu.
Media massa lainnya yang menjadi pelopor kegiatan filantropi di
Indonesia adalah koran harian Kompas. Koran ini pertama kali
melaksanakan kegiatan filantropi pada tahun 1982 terkait dengan
bencana Gunung Galunggung. Awalnya, dan yang dihimpun berasal
dari perusahaan tapi pembacanya menjadi tertarik setelah
membaca laporannya di koran dan mulai ikut menyumbang dengan
menitipkan dana kepada pihak Kompas.
Koran Harian Republika juga melaksanakan kegiatan filantropi cukup
awal bernama Yayasan Dompet Dhuafa Republika yang akhirnya
melepaskan diri dan membentuk yayasan sendiri bernama Yayaysan
Dompet Dhuafa hingga kini.
Pada masa itu, dengan banyak menjamurnya organisasi yang
melakukan kegiatan ini kemudian memicu pengelola media massa
untuk melakukan aksi serupa. Alasannya beragam, diantaranya:
a.

Bentuk tanggung jawab sosial mereka terhadap bencana dan


masalah-masalah sosial lainnya yang melanda Indonesia.

b. Mendengar usulan pembaca, pendengar, dan pemirsanya untuk


menjadi
penyalur
dana
bagi
para
korban
kemudian
merealisasikannya.
c. Terinspirasi dari kesuksesan media lain yang langsung naik
pamornya karena menggalang aksi sosial. Masyarakat akan
menilai media massa yang mempraktikkan filantropi adalah
9

media yang baik secara moral, sehingga bisa menaikkan pamor.


Intinya, sambil menyelam minum air: membantu masyarakat
sekaligus mendapatkan respon positif dari khalayaknya yang
berujung pada naiknya pamor mereka.
200
150
100
50
0
TV

Radio

Cetak Online

Dalam tiga cerita tersebut, media


massa awalnya hanya melakukan kewajiban menolong sesama
dengan menggunakan dana pribadi. Namun seiring waktu, kegiatan
filantropi media massa mulai berasal dari dana masyarakat.
Penggalangan, pengelolaan, dan penyaluran sumbangan yang
dilakukan media massa di Indonesia mulai marak dilakukan pasca
bencana Tsunami di Aceh tahun 2004 silam. Media massa merasa
tak cukup jika hanya mengimbau masyarakat untuk membantu
saudaranya yang tertimpa musibah, tapi juga menjadi lembaga
amal. Uang milyaran rupiah pun bisa dikumpulkan oleh media
massa dalam waktu yang singkat.
Tercatat sebanyak 147 media massa telah menghelat program
filantropi.6 Dilihat dari jenis media massanya, media massa cetak
(koran dan majalah) merupakan pengelola sumbangan terbanyak
(106 media massa) dibandingkan televisi (16 media massa), radio
(20 media massa) dan media daring (5 media massa).
Peran media massa sebagai lembaga amal ini terbilang cukup
unik.
Grafik 1
Jenis dan Jumlah Pengelola Media Massa yang
Melakukan Aksi Filantropi

Di negara-negara lain khususnya Amerika dan


Inggris, media massa tidak menggalang atau
mengelola dana sosial secara pribadi. Mereka lebih berperan dalam
mengajak masyarakat untuk menyumbang sekaligus mengawasi
kegiatan filantropi yang sedang berlangsung. Kalaupun melakukan
penggalangan sumbangan, media massa hanya menjadi bagian dari
program penggalangan dana yang dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi sosial lainnya. Mereka
lebih berperan menjadi promosi program sosial dan berkampanye.
Intinya, media massa di luar negeri hanya sebatas pada

6 Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan yang dilakukan oleh tim peneliti PIRAC dan PFI
10

pengumpulan dana, selebihnya dana yang sudah terkumpul akan


diserahkan pada badan-badan internasional, LSM, atau lembaga
pemerintah yang kompeten dan terpercaya untuk dikelola dan
disalurkan kepada korban.
Keterlibatan media massa dalam aksi filantropi mulai dari
menggalang, pengelolaan, dan penyaluran sumbangan mendapat
apresiasi dari masyarakat. Ada beberapa alasan mengapa
masyarakat lebih banyak menyumbang melalui media massa:
a. Daerah jangkauan (reaching out) media massa lebih luas
dibandingkan
dengan
organisasi-organisasi
sosial
yang
cenderung bekerja sendiri.
b. Media massa dapat memberikan efek emosional bagi
pembaca/pendengar/pemirsanya dengan memberi sentuhan
narasi yang menyentuh, lagu bernada sendu, atau gambargambar suasana lokasi pasca bencana.

3. Komponen Kegiatan Filantropi Media Massa


Public Interest and Advocacy Center (PIRAC) dan Perhimpunan
Filantropi Indonesia (PFI) telah melakukan survey kepada 147 media
massa yang tersebar di seluruh Indonesia (walaupun sebanyak
20,4% media berdomisili di Jakarta). Berikut hasil survey yang
dilakukan dalam risetnya tentang filantropi media massa di
Indonesia:
3.1.

Dari semua media massa yang ada di Indonesia, sebanyak 77,5%


media massa mengakui program filantropi mereka bersifat
temporer, sedangkan sisanya 21,8% bersifat reguler.

3.2.

Dalam penggunaan nama judul program, nama peduli dan


dompet menjadi istilah yang paling banyak digunakan.
Alasannya,
nama-nama
tersebut
dianggap
dapat
menggambarkan
bentuk
solidaritas
dari
masyarakat

11

0%

20%

40%

60%

dan

media

massa

untuk

membantu
korban
Grafik 2.
Pemilihan Penggunaan Judul Program Filantropi Media
bencana atau musibah.
Massa
Istilah Dompet juga
merefleksikan imej media massa sebagaii wadah yang tepat
untuk menyalurkan dana kepedulian masyarakat terhadap
saudaranya yang tertimpa musibah.

mandiri
bermitra

3.3.

Program filantropi media massa


sebanyak 87% dikelola melalui kepanitiaan, sedangkan sisanya
(13%)
mempercayakan
pengelolaannya
pada
yayasan.
Alasannya, kepanitiaan sifatnya lebih praktis dan tidak
membutuhkan SDM yang banyak.

Grafik 3.
Pengelola Program Filantropi di Media Massa

Untuk program filantropi dalam jangka pendek atau temporari,


kepanitiaan merupakan solusi yang tepat. Akan tetapi, untuk
12

program filantropi jangka panjang dan permanen, media massa


kemudian membuat yayasan sendiri yang terpisah dari
perusahaan. Alasannya, donasi yang diberikan masyarakat kian
besar sehingga butuh pengelolaan yang kian profesional pula.
Untuk pengelola yayasannya, perusahaan media massa ada yang
menunjuk karyawannya untuk melakukan part-time tanpa
dibayar, ada karyawan yang bekerja penuh untuk yayasan, ada
pula yang merekrut tenaga profesional.
3.4.

Dalam melakukan penyaluran sumbangan, media massa memiliki


caranya masing-masing. Hasil kajian PIRAC dan PFI menunjukkan
bahwa sebanyak 43% media massa memilih menyalurkan sendiri
sumbangan yang mereka kumpulkan dari donator kepada
masyarakat penerima manfaat. Alasannya, mereka trauma
bermitra dengan yayasan karena tak profesional dan akhirnya
tidak tepat sasaran. Selain itu, dana donasi pasti akan dipotong
untuk biaya operasional sehingga dana yang diterima
masyarakat tidak utuh. Kemudian sebanyak 20% media massa
bermitra dengan LSM atau yayasan untuk menyalurkan
sumbangan. Alasannya, mereka tidak punya cukup SDM untuk
mengelola dan menyalurkan sumbangan. Selain itu, mereka ingin
berfokus pada tugas mereka di media massa. Sisanya yaitu 37%
memilih kombinasi mekanisme penyaluran sendiri dan bermitra
dengan yayasan atau LSM. Media massa akan bermitra dengan
yayasan atau LSM jika dananya sangat besar atau untuk program
jangka panjang saja.
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Grafik 4.
Cara Media Massa Menyalurkan Dana
Sumbangan

4. Masalah
Massa

Pelaksanaan

Praktik

Filantropi

Media

13

Walaupun banyak mendapat apresiasi, tapi juga tidak luput dari


kritik. Alasannya, media massa telah melakukan penyimpangan dari
tugas dan core competence mereka.
Banyak yang mempertanyakan seperti apa proses kegiatan
filantropi yang dilakukan oleh media massa, mulai dari
penggalangan, pengumpulan, dan penyaluran dananya? Apakah
tepat sasaran? Apakah semua dana dialokasikan semua untuk yang
membutuhkan? Kenyataannya banyak ditemukan kasus penyaluran
bantuan yang tidak tepat sasaran, tidak dilibatkannya donatur
dengan penerima donasi, hingga rekening donasi yang bercampur
dengan rekening perusahaan.
Tak sedikit juga yang berpendapat bahwa media massa yang
melaksanakan praktik filantropi tidak lagi bertugas sebagai
watchdog kegiatan filantropi. Kenyataannya, minim sekali
pemberitaan mengenai carut-marut penyaluran sumbangan yang
dilakukan lembaga sosial, termasuk media massa yang
bersangkutan. Media massa memilih untuk menutup-nutupi segala
kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan filantropi demi menutupi
aksi penyelewengan dana publik. Prinsip akuntabilitas tak lagi
dipegang oleh media massa.
Berikut paparan masalah-masalah yang harus dihadapi pelaku
filantropi media massa:
4.1. Problem Penggalangan Sumbangan
Dalam praktiknya, media massa ada yang bersifat pasif dengan
hanya
menyediakan
wadah
bagi
masyarakat
untuk
menyumbang. Namun, tidak sedikit pula media massa yang
mengkampanyekan masyarakat akan program filantropi mereka
misalnya iklan atau acara konser amal.
Ada beberapa masalah tentang transparansi dan akuntabilitas
dalam proses penggalangan sumbangan yang dilakukan oleh
media massa:
a. Eksploitasi
Korbannya

Gambar

dan

Tayangan

Bencana

dan

Media massa yang oportunis, terutama televisi, akan


menampilkan gambar-gambar dan tayangan tentang kondisi
korban tanpa ijin dan mengabaikan kondisi psikologis
korbannya. Mereka menjadi terlalu eksploitatif dan melebihlebihkan.
14

b. Tidak Menggunakan Rekening Khusus


Media massa seringkali menggunakan rekening perusahaan
untuk menampung sumbangan dari masyarakat. Ada juga
yang lebih tricky seperti menggunakan rekening karyawan.
Selain itu, tiap program filantropi tidak memiliki rekening
sendiri-sendiri melainkan disatukan dengan satu rekening.
c. Informasi Rekening tidak Lengkap
Media massa tidak menyampaikan informasi yang jelas dan
lengkap mengenai rekening yang digunakan. Mereka juga
tidak mencantumkan nominal sumbangan dan atas nama
siapa. Hal ini membuat masyarakat tidak bisa mengontrol
sumbangan mereka.
d. Informasi Program tidak Jelas dan Lengkap
Terkadang program filantropi media massa kurang memuat
informasi yang jelas. Misalnya, media massa tidak
memberitahukan kapan program ini akan dimulai dan diakhiri
sehingga masyarakat tidak bisa memonitori jalannya kegiatan
filantropi.
e. Tidak Ada Info Pengelola Program
Media massa tidak mencantumkan siapa-siapa saja yang
bertanggung jawab mengelola sumbangan dalam sebuah
program filantropi. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak
bisa meminta pertanggungjawaban jika mereka ingin
komplain. Selain itu, ketiadaan info nama pengelola program
akan membuat masyarakat menjadi skeptis apakah uang
mereka berada di tangan yang profesional atau tidak.
f. Tidak Ada Ijin Penggalangan Sumbangan
Kementrian Sosial membuat UU PUB (Pengumpulan Uang dan
Barang) UU No.9/1961 tentang ijin penggalan sumbangan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga memiliki UU No.
01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Namun
banyak media massa yang tak memiliki ijin dalam program
filantropi mereka. Alasannya beragam, ada yang merasa
dipersulit, ada yang merasa tidak punya banyak waktu untuk
memiliki ijin karena sifat program yang mendadak, dan ada
pula yang beralasan prosedur perijinan ini sudah ketinggalan
zaman.
15

4.2. Problem Pengelolaan Sumbangan


Pada tahap ini, media massa selaku pengelola melakukan
pencatatan
dan
pengadministrasian
sumbangan
yang
diterimanya, menentukan kegiatan yang akan dilakukan, dan
penentuan anggaran.
Terdapat beberapa masalah pada tahap ini:
a. Kesenjangan antara Jumlah Sumbangan dan Jumlah
Pengelola
Dana sumbangan masyarakat yang besar hingga bermilyarmilyar tidak diimbangi dengan jumlah pengelola yang
mumpuni, bahkan bisa hanya 2-3 orang saja. Akibatnya,
perencanaan kegiatan menjadi tidak matang sehingga tidak
maksimal.
b. Minimnya Kapasitas Pengelolaan Sumbangan
Selain kurangnya personel, mereka juga tidak dibekali dengan
pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumbangan.
Pemilik media massa juga tidak mau repot mengikutsertakan
mereka dalam pelatihan. Personel juga dicomot dari berbagai
divisi di media massa seperti Humas.
c. Transparansi Sumber dan Jumlah Dana Operasional
Media massa ada yang bersikap tertutup tentang dana
operasional tapi tak sedikit pula yang mau jujur bahwa
mereka mengambilnya dari dana sumbangan. Akan tetapi niat
baik itu tidak dibarengi dengan penjelasan mengenai berapa
jumlah uang yang dipakai untuk biaya operasional tadi.
d. Minimnya Akses Donatur dan Penerima Manfaat
Media massa tidak menyediakan sarana masukan, kritik, atau
komplain khusus kepada donatur untuk memantau dana
sumbangan mereka. Hal ini membuat donatur tidak bisa
menyampaikan pendapat mereka.
4.3. Problem Penyaluran Sumbangan
Tahap ini merupakan tahap final dalam program filantropi media
massa. Dalam tahap ini, penyelenggara akan menyerahkan
sumbangan yang diterima dari donatur kepada korban.
Terdapat beberapa masalah pada tahap ini:
16

a. Penumpukan Sumbangan di Areal Tertentu


Pengelola filantropi media massa seringkali tidak tepat
sasaran dalam memberikan sumbangan. Mereka menyalurkan
sumbangan masyarakat ke daerah-daerah yang ternyata
sudah dijangkau oleh media massa lainnya. Masing-masing
dari mereka enggan untuk berkomunikasi karena merasa
sesama kompetitor.
b. Pemanfaatan Sumbangan untuk Program Sosial Media
Massa
Uang sumbangan dari masyarakat sering dicampuradukkan
dengan program sosial media massa yang bersangkutan.
Misalnya, dalam rangka ulang tahun perusahannya, media
massa tersebut merayakannya dengan menyumbang ke
daerah
tertentu,
tapi
ternyata
menggunakan
uang
sumbangan.
c. Menyamarkan
Penyumbang

Identitas

Masyarakat

sebagai

Pengelola sumbangan media massa seharusnya menuliskan


secara jelas Sumbangan Pemirsa, Bantuan Pembaca atau
Donasi Pendengar di berbagai media promosi sumbangan.
Namun, banyak media massa yang mengecilkan tulisan
tersebut dan malah memperbesar logo media massa mereka
sehingga terlihat yang menyumbang adalah media massa dan
bukan masyarakat.
d. Penyaluran Bantuan untuk Kepentingan Tokoh dan
Parpol
Tidak sedikit permintaan dari toko politik atau Parpol yang
meminta media massa untuk menyalurkan bantuan kepada
Dapil mereka. Walaupun pengelola praktik filantropi menolak,
mereka bisa melobi pemilik media.

5. Pelanggaran Praktik Filantropi Media Massa terkait


dengan Jurnalisme
5.1. Menyalahgunakan Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa secara umum antara lain memberikan
hiburan kepada khalayaknya. Namun ada fungsi yang tidak kalah
17

penting dari media massa yaitu fungsi meyakinkan atau persuasi


(to persuade). Menurut Devito (1996), persuasi bisa datang
dalam bentuk:
a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau
nilai seseorang;
b. Mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang;
c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu; dan
d. Memperkenalkan
tertentu.

etika

atau

menawarkan

sistem

nilai

Dalam kasus filantropi media massa, maka persuasi yang paling


pas adalah menggerakkan. Dilihat dari sudut pengiklan
(advertiser),
fungsi
terpenting
media
massa
adalah
menggerakkan (activating) konsumen untuk mengambil
tindakan.
Program filantropi media massa akan cukup sering dimunculkan
dalam media massa yang bersangkutan. Metodenya pun bisa
macam-macam, misalnya dalam televisi, program filantropi akan
diselipkan dalam sela-sela berita TV.
Awalnya, tujuan kegiatan filantropi ini adalah untuk kebaikan
yaitu menolong sesama, tapi tidak semua media massa memiliki
tujuan demikian. Ada pula yang menggalang program filantropi
untuk keuntungan pribadi, mulai dari penyelewengan dana
sumbangan hingga menerima tawaran Caleg atau Parpol
tertentu untuk memberikan sumbangan di Dapil mereka.
Selain fungsi persuasi yang tidak dijalankan sebagaimana
mustinya, media massa yang melakukan praktik filantropi kerap
tidak menjalankan fungsi informasi (to inform). Fungsi informasi
ialah menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada
masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap informasi yang
disampaikan hanya memenuhi kriteria dasar: aktual, akurat,
faktual, menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih,
jujur-adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis.
Namun seringkali media massa yang melakukan kegiatan
filantropi tidak menjalankan fungsi informasi secara semestinya.
Media massa tidak mencantumkan dengan jelas informasi
mengenai program tersebut kepada masyarakat. Misalnya,
18

mereka
hanya
mengumumkan
nama
program
tanpa
memberikan
informasi
lengkap
mengenai
kepanitiaan/organisasi/yayasan yang bertanggung jawab atas
program filantropi tersebut. Media massa juga kerap tidak
mendokumentasikan secara jelas bagaimana sumbangan
dikumpulkan, dikelola, dan disalurkan kepada sasaran. Hal ini
membuat masyarakat tidak bisa memonitori dana yang mereka
sumbangkan.
Akhirnya fungsi komunikasi massa menjadi disalahgunakan.
5.2. Fungsi Anjing Penjaga (Watchdog) Tidak Lagi Dilakukan
Media massa memiliki kewajiban sebagai anjing penjaga, yaitu
pemantau
jalannya
pemerintahan
dari
penyelewengan
kekuasaan dan juga pada semua lembaga yang kuat di
masyarakat.
Dalam praktik filantropi media massa, seharusnya media massa
yang bersangkutan ikut memantau jalannya proses kegiatan
filantropi, mulai dari penggalangan, pengelolaan, dan penyaluran
dana sumbangan. Media massa juga harus kritis memberitakan
proesnya jika ada sesuatu yang tidak berjalan dengan
semestinya, misalnya terjadi penggelapan dana, penyaluran
dana yang ternyata tidak tepat sasaran, dan lain-lain. Hal ini
bertujuan agar masyarakat bisa memonitori dana yang mereka
gelontorkan secara teratur dan jelas.
Namun masih saja ada media massa yang tidak menjalankan
peran ini. Mereka bahkan meyembunyikan fakta-fakta tersebut
untuk keuntungan pribadi. Intinya, media massa menjadi tidak
independen dalam pemberitaannya.
5.3. Mengeksploitasi
Filantropi

Korban

untuk

Kepentingan

Program

Media massa tidak jarang yang mengeksploitasi gambar atau


tayangan korbannya tanpa ijin dan mengabaikan kondisi
psikologis korbannya. Mereka menjadi terlalu eksploitatif dan
melebih-lebihkan.
Apa yang mereka lakukan bahkan telah melanggar Kode Etik
Jurnalistik, tepatnya BAB II tentang Cara Pemberitaan Pasal 6
yang berbunyi: Wartawan Indonesia menghormati dan
menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan
berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau
19

perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan


umum.
Dalam kasus ini, media massa melakukannya tidak atas
menyangkut kepentingan umum, melainkan agar programnya
dapat memberikan kesan dramatik berlebihan yang membuat
masyarakat tersentuh dan akhirnya menyumbang dana melalui
program mereka.
5.4. Framing Media Massa yang Tidak Tepat
Media massa memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau
menyiarkan dokumentasi penyerahan sumbangan dana kepada
target penerima sebagai bentuk tanggung jawab kepada
masyarakat.
Dalam kasus ini, televisi lebih banyak melakukan pelanggaran
dengan memakai selebritas, tokoh/pejabat publik, atau
petinggi/pemilik media yang tidak memiliki posisi struktural
dalam lembaga filantropi. Selain menunjukkan bergesernya
peran tanggung jawab dari stasiun televisi ke aktor-aktor
tersebut, praktik demikian mengesankan tidak independennya
media dan mengedepankan unsur branding perusahaan. Sebagai
contoh, penyerahan bantuan pemirsa oleh media milik MNC
Group lebih sering dilakukan oleh Hary Tanoesoedibjo 7 atau di
Trans 7, yang menggunakan pesohor untuk menyerahkan
bantuan.8
Selain itu, banyak yang tidak memunculkan nama sumbangan
dari pembaca/pemirsa/pendengar dan logo perusahaan
dibesarkan dalam pengumumannya di media massa sehingga
membuat masyarakat berfikir bahwa dana sumbangan yang
digunakan untuk program tersebut berasal dari perusahaan.
5.5. Wartawan terbelah pekerjaannya sehingga tidak bisa
fokus dalam mengerjakan kegiatan jurnalisme
Dalam praktiknya, banyak perusahaan media massa yang tidak
memakai tenaga profesional untuk menangani program
7 Hasil laporan penelitian Divisi Penelitian Remotivi dan didanai oleh Yayasan TIFA pada tahun
2013. Judul laporan penelitian adalah Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis Filantropi Media

8 Program Selebrita Siang, 25 Januari, pk. 12.00 WIB dan Opera van Java, 22 Januari 2013, Pk.
21.22 WIB. Merupakan hasil penelitian Remotivi dan didanai oleh Yayasan TIFA pada tahun 2013.
Judul laporan penelitian adalah Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis Filantropi Media

20

filantropi. Pemimpin perusahaan asal comot pegawainya untuk


mengurusi program, misalnya Humas, HRD, dan wartawan. Para
karyawan ini juga tidak pernah mendapat pengetahuan tentang
mengelola program filantropi yang baik dan benar sehingga
acapkali prosesnya menjadi berantakan.
Khusus untuk wartawan, mereka tidak bisa bekerja secara
maksimal sebagai pelaku kegiatan jurnalistik. Selain karena
harus membagi waktu, tenaga dan pikiran, pemberitaan terkait
jalannya program filantropi tidak dilandasi kebenaran.

6. Kode Etik Filantropi Media Massa


Untuk menjaga aturan main kegiatan filantropi media massa agar
berjalan dengan baik, benar, transparan, akuntabel, serta penuh
kesadaran dan tanggung jawab, Dewan Pers kemudian membuat
Kode Etik Filantropi Media Massa. Tim perumusnya terdiri dari
Antonius Eddy Suteja dari Harian Kompas selaku ketua. Selain dari
pihak media massa, ada pula peran dari Ketua Perhimpunan
Filantropi Indonesia (PFI) Hamid Abidin dan Sukesi Damayanti serta
perwakilan dari Public Interest Research and Advocacy Centre
(PIRAC) Ninik Anisah dan Nor Hiqmah.
Kode Etik Filantropi Media Massa kemudian disahkan oleh Ketua
Dewan Pers Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., pada Selasa, 29 Januari 2013
silam.
Menurut mereka, kebutuhan kode etik filantropi media massa sudah
sangat mendesak9. Dalam praktiknya masih banyak media massa
yang melakukan hal yang tidak benar terutama tentang
akuntabilitas, mulai dari dicampurnya antara rekening perusahaan
dan pribadi dengan rekening sumbangan, tidak membuat laporan
pertanggungjawaban, hingga penyaluran sumbangan yang tidak
tepat sasaran. Bahkan ada yang melakukan pemanfaatan dana
sumbangan seperti menggunakan dana sumbangan untuk kegiatan
CSR perusahaan hingga untuk kepentingan partai atau tokoh politik
tertentu.
Berikut hasil rumusan Kode Etik Filantropi Media Massa:

9 http://news.detik.com/read/2013/01/30/065714/2155883/10/1/dewan-pers-luncurkan-kode-etikfilantropi-media-massa diakses pada 15 September 2014

21

7. Contoh
Pelanggaran
Praktik
Filantropi
Dilakukan Media Massa di Indonesia

yang

22

iga stasiun televisi milik MNC Group terindikasi melakukan


pelanggaran etika dalam kegiatan penggalangan dana publik.
Sebanyak 50-80% siaran penyaluran bantuan di RCTI, Global TV,
dan MNC TV mengabaikan peran publik dengan tidak menyebut
bantuan bagi korban banjir sebagai sumbangan pemirsa. Pada siaran yang
memberitakan penyaluran bantuan, pemilik MNC Group, Harry
Tanoesoedibjo, muncul sebanyak 90-100%. Hal lain yang jadi masalah
etika adalah, adanya pencampuradukkan akun rekening bank, seperti
yang tampak pada program Beasiswa Obsesi di Global TV, di mana yang
digunakan adalah rekening Global TV Peduli. Atau di MNC TV, di mana
program MNC TV Peduli memiliki dua rekening bank dengan dua nama
kepemilikan rekening yang berbeda.
Fakta di atas didapati dari penelitian yang dilakukan Remotivi, sebuah
lembaga inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi.
Penelitian yang mengambil sampel data dalam kurun waktu 18-31 Januari
2013 ini mencatat bahwa ketiga media milik MNC Group ini memiliki
frekuensi kemunculan program filantropi paling tinggi. Dengan
menghitung tiap spot kemunculan siaran ajakan menyumbang dan
penyaluran bantuan, tercatat MNC TV menyiarkan sebanyak 72 spot, RCTI
67spot, Global TV 20 spot, disusul oleh TV One (17), Indosiar (13), SCTV
(11), Trans 7 (11), dan ANTV (2). Sedangkan Metro TV dan Trans TV
memegang teguh peran media sebagai anjing penjaga dengan tidak
ikut melakukan praktik filantropi.
Kemunculan lembaga bernama Harry Tanoesoedibjo Foundation (HT
Foundation) pada periode banjir Jakarta di awal tahun ini, dicatat oleh
penelitian ini sebagai sebuah anomali yang menerbitkan banyak
pertanyaan. Pasalnya, lewat tayangan berita Seputar Indonesia
Pagi (RCTI), Harry Tanoe mengumumkan bahwa dana HT Foundation
adalah dananya pribadi yang berbeda dengan program MNC TV Peduli,
RCTI Peduli, dan Global TV Peduli. Tapi anehnya, logo program filantropi
ketiga perusahaan televisi tersebut pernah muncul dalam satu
pemberitaan di RCTIyang kemudian lenyap pada pemberitaan
selanjutnyasehingga mengesankan adanya hubungan antarlembaga
tersebut.
Hal ini tambah membingungkan, karena di Global TV dan MNC TV, narasi
pemberitaannya mengatakan hal yang sebaliknya, bahkan mengesankan
bahwa HT Foundation punya hubungan erat dengan media-media milik
MNC Group dalam hal pengelolaan bantuan bencana: MNC Group melalui
HT Foundation mengirim bantuan untuk korban banjir, HT Foundation
juga menerima dana bantuan dari masyarakat untuk disalurkan, atau
23

Bantuan dari Global TV Peduli dan HT Foundation ini dananya berasal dari
masyarakat.
Tak pelak, penelitian berjudul Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis
Filantropi Media yang ditulis oleh Muhamad Heychael dan Roy Thaniago
ini mencecar hal tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan, Benarkah
dana HT Foundation hanya berasal dari kocek pribadi Hary Tanoe, seperti
yang
dikatakan
olehnya?
Tapi
mengapa
informasi
tersebut
bertolakbelakang, seperti yang tersiar melalui Global TV dan MNC TV? Dan
kalau benar itu merupakan dana pribadi Hary Tanoe, mengapa dana
tersebut tidak ia sumbangkan saja melalui serangkaian kegiatan filantropi
milik MNC Group, seperti halnya pemirsa lain yang menyumbang?
Keanehan lain yang dicatat dalam penelitian ini adalah ucapan terima
kasih
penerima
sumbangan.
Lewat
tayangan Dahsyat, Menuju
Dahsyatnya Awards, dan Dahsyatnya Awards, RCTI Peduli mengabarkan
kegiatan penyaluran sumbangannya yang diserahkan melalui anggota
TNI. Yang menimbulkan pertanyaan adalah, adanya kesamaan ucapan
terima kasih dari beberapa personil TNI di beberapa wilayah berbeda yang
menjadi perwakilan penerima sumbangan: Terima kasih sebesarbesarnya kepada Bapak Harry Tanoesoedibjo selaku CEO MNC Group dan
Direktur Utama RCTI Peduli yang telah menggagas dan menyerahkan
bantuan kepada para korban banjir. Dan kami ketahui, bahwasanya
bantuan ini tidak hanya diserahkan di lokasi ini saja, tetapi juga di
beberapa lokasi lainnya dan sangat membantu para korban banjir. Selain
terkesan diskenariokan, Remotivi menilai ucapan tersebut lebih
menekankan peran kedermawanan Harry Tanoe ketimbang pemirsa yang
menyumbang.
Sumber: Remotivi.or.id10

PENUTUP
1. Simpulan
Media massa Indonesia memegang peranan besar dalam
melaksanakan kegiatan filantropi.
Kegiatan filantropi media massa dapat mengancam peran
media massa sebagai anjing penjaga.
10 Remotivi merupakan organisasi independen yang melakukan pengawasan
terhadap berbagai tayang televisi Indonesia. Hasil penelitian di atas dirilis pada
tahun 2013 dengan didanai oleh Yayasan TIFA dan keperluan analisis yang
diperoleh dari Komisi Penyiaran Indonesia.
24

2. Saran

Kegiatan fialntropi media massa hendaknya dilakukan hanya


sebatas pengumpulan dana. Untuk pengelolaan dan
penyaluran
sumbanga,
media
massa
sebaiknya
menyerahkannya pada yayasan atau organisasi terpercaya.
Selain kode etik, ada baiknya juga dibarengi dengan sanksi
tegas bila ada media massa yang melakukan pelanggaran.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel. 2001. Sembilan Elemen Jurnalisme.
Jakarta: Yayasan Pantau
Sumadiria, AS Haris. 2011. Jurnalistik Indonesia. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media
Ardianto Elvinaro, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2007. Komunikasi
Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Azra, Azyumardi. Berderma untuk Semua. Jakarta: Mizan
25

Abidin, Hamid, Nor Hikmah, Ninik Annisah & Mafil Eka Putra. 2013.
Membangun Akuntabilitas Filantropi Media Massa. PIRAMEDIA

B. Jurnal
Heychael, Muhamad dan Roy Thaniago. 2013. Ketika Televisi Peduli:
Potret Dilemati Filantropi Media. Diakses pada 14 September
2014 melalui
https://www.academia.edu/4464992/Ketika_Televisi_Peduli_Potre
t_Dilematis_Filantropi_Media
Abidin, Hamid dan Yuni Kusumastuti. 2005. Rustam Ibrahim:
Filantropi Keadilan Sosial Tidak Identik dengan Advokasi.
Jurnal Galang Vol. 1 No. 1 Oktober 2005, PIRAC, 2005, Opini, Hal
77-83
___________, Filantropi Indonesia: Perkembangan Potensi dan
Tantangannya. Diakses pada 10 September 2014 melalui
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Kajian
%20Ditpolkom/2)%20Peran%20Filantropi%20Untuk
%20Keberlanjutan%20OMS/Bab%20III_Bappenas_Final1.pdf
Kode Etik Filantropi Mediamassa. Diakses pada 13 September 2014
melalui www.dewanpers.or.id%2Fdlfile.php%3Fnmfile
%3D452099.rancangan%2520kode%2520etik%2520filantropi
%2520media
%2520massa.pdf&ei=pxAXVP2pONejugTJ0IDADg&usg=AFQjCN
Fy_vkEEIMHeQnW1Y0eHbOMo4Eq4g&sig2=_GBana4_9wL1ekTkZb5kg

C. Website
_____, Philanthropy.
http://en.wikipedia.org/wiki/Philanthropy#cite_note-1 (diakses
pada 13 September 2014).
_______, Pengertian Perilaku Filantropi.
http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-perilakufilantropi.html (diakses pada 13 September 2014).

26

27

Anda mungkin juga menyukai