Kedermawanan Kaum Beragama Dan Problem Kesalehan Sosial (Zuli Qodir) PDF
Kedermawanan Kaum Beragama Dan Problem Kesalehan Sosial (Zuli Qodir) PDF
Kedermawanan Kaum Beragama Dan Problem Kesalehan Sosial (Zuli Qodir) PDF
untuk
Perdamaian dan Keadilan Sosial
di Indonesia
Husna Yuni Wulansari
M.K. Ridwan
Naomi Resti Anditya
Nurhasanah
Nurul Iffakhatul Sholihah
Waskito Wibowo
2018
MAARIF Fellowship 2017-2018:
Filantropi Islam untuk Perdamaian dan Keadilan Sosial di Indonesia
Penulis: Husna Yuni Wulansari, M.K. Ridwan, Naomi Resti Anditya, Nurhasanah,
Nurul Iffakhatul Sholihah, Waskito Wibowo
148x210mm
xviii, 258 halaman
ISBN: 978-602-61010-2-0
Pengantar MAARIF Institute
Mungkinkah Gerakan Filantropi
Islam dapat Mewujudkan
Perdamaian dan Keadilan Sosial?
iii
Namun demikian, ada ruang kosong yang belum terisi oleh keberadaan
gerakan filantropi di Indonesia. Yakni tanggung jawab dan respon
sosial terhadap kelompok eks narapidana teroris dan keluarga yang
menyertainya. Karena hal ini bisa menjadi bagian dari strategi
melakukan deradikalisasi atau “disengagement” di kalangan kelompok
eks teroris agar mereka bisa kembali kepada kehidupan masyarakat
dengan normal, dan tidak kembali melakukan aksi-aksi teror yang telah
merusak tatanan kehidupan sosial.
Peran gerakan filantropi keagamaan yang berbasis pada ormas-ormas
keagamaan untuk orientasi “disengagement” kelompok eks-napiter
dalam hemat kami akan memberikan dampak yang positif bagi
penguatan perdamaian dan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Sebab sebagaimana kita fahami bersama, salah satu akar kekerasan
radikalisme-ekstremisme-terorisme adalah belum tercapainya keadilan
sosial yang menciptakan kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat,
di samping tentu ada problem teologis dan ideologis, terutama
interpretasi keagamaan yang seringkali keluar dari semangat keagamaan
moderat (wasathiyyah Islam).
Namun masalah keadilan sosial bisa jadi menjadi separuh dari solusi
dalam upaya meredakan persoalan kekerasan dan ekstremisme yang
saat ini masih menggelayut dalam kehidupan sosial di Indonesia. Oleh
karena itu upaya mengarusutamakan gerakan filantropi terutama yang
berbasis keagamaan atau berbasis ormas keagamaan untuk tujuan
melakukan moderasi dan “disengagement” laku ekstremisme-terorisme
menjadi sangat penting.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek; pertama, Filantropi
pada dasarnya bukan hanya ditujukan untuk mengentaskan persoalan
kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di kalangan umat.
iv
Lebih dari itu filantropi juga seharusnya dapat digunakan untuk
menyelesaikan persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi terutama
ekstremisme berbasis kekerasan dan radikalisme dengan memberikan
penyelesaian terutama pada aspek pemberdayaan ekonomi keluarga eks-
napiter. Filantropi juga bisa diorientasikan untuk memperkuat program-
program pencegahan radikalisme-terorisme dengan memperkuat
pandangan keagamaan moderat (Islam wasathiyyah).
Kedua, Gerakan filantropi Islam dengan mengumpulkan sumber
finansial dari umat Islam harus bisa digunakan untuk menciptakan solusi
fundamental bagi kehidupan umat itu sendiri. Problem ekstremisme dan
terorisme adalah salah satu persoalan fundamental yang dihadapi umat
di dunia saat ini terutama menyangkut citra umat Islam, selain adanya
kemiskinan yang juga sangat penting untuk dientaskan. Pemberdayaan
ekonomi bagi keluarga dan kelompok eks-narapidana terorisme
dan orang-orang yang potensial melakukan tindakan ekstremisme-
terorisme harus menjadi bagian penting dari gerakan filantropi berbasis
keagamaan ini.
Ketiga, sebagaimana diungkap dalam beberapa hasil riset, kedermawanan
dan filantropi yang diorientasikan pada isu radikalisme-ekstremisme-
terorisme saat ini banyak ditemukan justru bukan untuk melakukan
moderasi dan menciptakan solusi untuk meredam ekstremisme-
terorisme, namun sebaliknya malah lebih memperkuat proses
radikalisasi dan menopang gerakan ekstremisme dan terorisme itu
sendiri. Tidak jarang dana-dana hibah dari umat malah dipakai untuk
melakukan konsolidasi di antara kelompok-kelompok teror yang ada.
Penjelasan dan pembuktian empiris dari kondisi semacam ini misalnya
bisa ditemukan salah satunya dalam buku yang ada di hadapan pembaca
ini.
v
Buku ini merangkum berbagai tulisan hasil riset para peneliti muda
yang tergabung dalam program MAARIF Fellowship (MAF) 2017-
2018. Secara periodikal, selama dua tahun sekali MAARIF Institute
telah berupaya melakukan kaderisasi intelektual bagi para calon peneliti
muda. Mereka biasanya merupakan para mahasiswa S1 tingkat akhir
yang sedang menyelesaikan tugas skripsinya atau yang baru lulus dari
studi S1-nya. MAARIF Fellowship ini sendiri merupakan program
hibah dana untuk penelitian tersebut dalam berbagai tema-tema dan
isu-isu sosial keagamaan yang berkembang akhir-akhir ini.
Pada MAF 2017-2018 ini kami mengangkat tema penting mengenai
gerakan filantropi berbasis ormas keagamaan di Indonesia dalam upaya
menciptakan perdamaian dan keadilan sosial dengan judul “Filantropi
Islam, Perdamaian dan Keadilan Sosial”. Pada tahun ini, ada 6 peraih
MAARIF Fellowship dengan menyisihkan 59 pendaftar lainnya.
Keenam orang tersebut adalah M.K. Ridhwan (IAIN Salatiga), Husna
Yuni Wulansari (), Naomi Resti Anditya (Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta), Nurhasanah (Universitas Tanjungpura Pontianak), Nurul
Iffah Solekhah (IAIN Surakarta), dan Waskito Wibowo (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta).
Atas terselenggaranya program MAF 2017-2018 yang salah satu
outputnya adalah penerbitan buku ini, saya atas nama MAARIF
Institute ingin menyampaikan terimakasih sebesarnya kepada Badan
Pengurus LAZISMU Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin
oleh Hilman Latief, Ph.D., karena tanpa dukungan penuh dari
LAZISMU, program ini tidak akan berhasil untuk diselenggarakan.
Terimakasih kami sampaikan juga pada saudara Andar Nubowo, Ph.D.
Cand., yang telah memungkinkan kerjasama antara MAARIF Institute
dan Lazismu ini dapat dilakukan, terutama pada saat dia menjadi
Presiden Direktur LAZISMU.
vi
Kepada dewan juri sekaligus supervisor yang telah mendampingi
proses perjalanan program ini sejak awal, terima kasih tak terhingga
kami sampaikan diantaranya adalah Lies Marcoes, MA, Hilman Latief,
Ph.D., M. Najib Azca,. Ph.D., Taufik Andri, dan Ninuk Mardiana
Pambudi. Terimakasih saya sampaikan pada para spartan MI terutama
divisi riset yang telah bekerja keras mensukseskan program ini.
Akhirnya saya sampaikan selamat membaca kepada khalayak publik.
Saya harapkan hasil riset dalam buku ini bisa memberikan informasi
baru tentang kaitan dan pentingnya gerakan filantropi Islam dalam
upaya mencegah radikalisme-terorisme sehingga tercipta perdamaian
dan keadilan sosial bagi masyarakat di Indonesia.
Salam
vii
Hilman Latief
viii
Hampir dua dasawarsa ini, beberapa proyek riset tentang filantropi
Islam sudah dilakukan berbagai lembaga riset. Di Indonesia, tentu
pemerhati filantropi Islam cukup tahu bahwa pada awal tahun 2000an,
Ford Foundation, sebuah lembaga donor Internasional, ikut mendanai
kajian filantropi Islam di Indonesia dan bekerjasama dengan CSRC
(Center for the Study of Religions and Cultures) UIN Syarif Hidayatullah.
Dengan tema “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial,” proyek ini telah
menghasilkan beberapa literatur penting tentang perkembangan
filantropi Islam di Indonesia, baik mengenai pertumbuhan lembaga-
lembaga pengelola zakat, tata kelola wakaf, dampak filantropi untuk
mendorong keadilan sosial maupun proyeksi filantropi Islam di masa
akan datang. Setali tiga uang dengan itu, PIRAC (Public Interest
Research and Advocacy Center) menjadi lembaga riset lainnya yang secara
serius mengeksplorasi dinamika perkembangan lembaga filantropi di
Indonesia dan memfasilitasi berbagai topik riset, seperti filantropi
perempuan, gotong royong, filantropi dan lembaga swasta, dan lain-lain.
Begitu pula, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) yang belakangan
melakukan banyak riset tentang filantropi dan kaitannya dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). Riset-riset yang dilakukan oleh
lembaga tersebut di atas, setidaknya telah memberikan dan membuka
jalan untuk pengembangan studi filantropi lanjutan di Indonesia yang
ternyata semakin terbuka lebar.
Nampaknya, pentingnya filantropi Islam di Indonesia telah menarik
perhatian lembaga-lembaga kemanusiaan, salah satunya adalah
ICRC (International Committe of the Red Cross) atau Palang Merah
Internasional, sebuah organisasi kemanusiaan yang berbasis di Jenewa.
Tahun 2013, ICRC melaksanakan workshop bekerjasama dengan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Saat itu, beberapa
pegiat lembaga filantropi dan kemanusiaan Islam di Asia Tenggara
diundang untuk menyampaikan visi misi mereka serta mendiskusikan
ix
kemungkinan mencari “titik temu” antara prinsip-prinsip kemanusiaan
dalam Islam dengan konsep dasar “Hukum Humaniter” yang telah
dirumuskan dalam Konvensi Jenewa. Diskusi serupa juga digelar di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menelaah topik yang hampir
sama sebagai prawacana. Dalam diskusi yang berkembang waktu itu,
setidaknya terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang dibahas, yaitu
bagaimana konsep perang dalam Islam; skema perlindungan tawanan
anak kecil dan orang tua; apakah terdapat kompatibilitas antara Islam dan
hukum Humaniter Internasional; bagaimana memaknai imparsialitas
lembaga filantropi dan kemanusiaan dalam perang dan sebagainya. Bagi
saya, yang juga terlibat dalam diskusi-diskusi itu, pembahasan tersebut
sangat menarik dan menunjukkan bahwa, lagi-lagi, untuk memahami
dinamika filantropi Islam di Indonesia membutuhkan alat analisis yang
lebih kompleks dan terstruktur. Bahkan, seingat saya, ICRC sangat
intensif dalam masalah ini. Setidaknya ada beberapa pertemuan lain
yang digelar oleh ICRC, diantaranya di Bogor (2014) dan Manila-
Filippina (2016) yang melibatkan lebih banyak pihak, termasuk aktivis
dari lembaga-lembaga filantropi dan kemanusiaan selain Islam. Tentu
ada banyak lagi forum studi atau kajian tentang filantropi Islam yang
diselenggarakan di luar negeri, baik oleh lembaga riset, think tank,
intelejen, kampus dan lain-lain.
x
halnya, banyak keterangan dalam ajaran Islam yang mengecam sikap
dan sifat despotik, curang, penipuan, dan penindasan. Karena itulah,
di dalam Islam, selain ketaatan untuk beribadah dalam bentuk ritual
shalat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, zakat
menjadi salah satu pilar dari 5 pilar (rukun) Islam. Seiring dengan itu,
konsep dan kategori ketakwaan seorang mukmin, diantaranya ditandai
dengan pembelanjaan harta di jalan yang benar dan untuk memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat yang membutuhkan. Sebagai sebuah
bagian dari diskursus dan visi sosial Islam tentang keadilan, zakat
kerap dihadap-hadapkan dengan—atau dianggap sebagai lawan dari—
praktik riba’, yaitu sikap melipatgandakan keuntungan yang didalamnya
terdapat unsur penindasan yang memaksa dan menyengsarakan. Zakat
dipahami sebagai sebuah upaya untuk “membersihkan harta” dan
“mengembangkan harta” dengan cara menyisihkan sebagian harta yang
dimiliki atau dihimpun oleh seseorang. Dipahami dari ajaran Islam, di
balik harta yang dimiliki oleh seseorang, terdapat hak “orang lain”, yang
terdiri dari 8 ashnaf (kelompok yang berhak menerima zakat). Dalam
proses pendistribusian dana zakat inilah, para peneliti saat ini, termasuk
para penulis buku ini, mencoba mengorek berbagai isu yang sebelumnya
jarang diperdebatkan.
Di balik segudang kitab fikih yang telah tersedia dan menjadi rujukan
para ulama dalam memaknai dan mempraktikkan filantropi Islam,
nampaknya kajian untuk menganalisis konsep-konsep dasar seperti
keadilan sosial dan perdamaian terus berlanjut. Buku ini adalah salah
satunya. Saya yakin, tulisan-tulisan hasil para peneliti muda yang
terdapat dalam buku ini memberikan perspektif yang mencerahkan. Saya
melihat, mereka cukup berani untuk keluar dari genre studi filantropi
“konvensional” yang terbatas pada kajian tentang manajemen tata kelola
lembaga filantropi, pemberdayaan ekonomi, dan berbagai isu tentang
literasi finansial. Topik-topik yang ditulis dan diajukan oleh para penulis
xi
dalam buku ini sudah berani mengkontekstualkan tema filantropi ke
dalam konsep dasar tentang keadilan sosial, perdamaian dan bahkan isu
terorisme atau deradikalisasi. Oleh karena itulah, hemat saya, buku ini
menarik untuk dibaca sebagai bahan untuk melakukan ekspansi kajian
filantropi Islam di masa akan datang. Tentu, itu semua, juga tidak lepas
dari kerjasama antara MAARIF Institut (MI), sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang getol mengkampanyekan isu-isu keadilan, toleransi
agama, anti kekerasan, dan sebagainya, dengan Lazismu (Lembaga
Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah). Sebagai lembaga
filantropi Islam, Lazismu mendorong munculnya riset-riset baru untuk
mempertajam definisi dan klasifikasi kelompok-kelompok pinggiran
dalam masyarakat yang mungkin dan layak menjadi penerima manfaat
zakat. Baik langsung maupun tidak, hasil studi ini menjadi bahan bacaan
yang cukup penting dalam rangka merumuskan kelompok-kelompok
baru penerima manfaat dalam zakat. Dalam buku ini terdapat 6 topik
kajian yang menarik untuk ditelaah.
Tulisan M.K. Ridwan tentang “Mantan Narapidana Terorisme
sebagai Mustahik Zakat,” secara berani membawa diskursus filantropi
Islam ke dalam isu sosial-politik-keagamaan yang berkembang di
Indonesia, yaitu terorisme. M. K. Ridwan mencoba menyuguhkan hasil
penelaahannya terhadap literatur-literatur fikih Islam maupun sumber-
sumber lainnya untuk melihat apakah mantan narapidana terorisme
dapat diklasifikasikan sebagai mustahik (penerima manfaat dana
zakat). Dalam pandangannya, seseorang yang terlibat dalam tindakan
terorisme tentu memiliki sebab dan prinsip keagamaan yang keras dan
eskstrim. Pada saat yang sama, para mantan terpidana teroris juga kerap
mendapatkan isolasi dari kelompok masyarakat luas dan ruang yang
lebih sempit untuk beraktivitas sosial untuk meningkatkan taraf hidup
mereka agar lebih layak. Berdasarkan penelusurannya, ia menawarkan
dua kategori, yaitu mantan narapidana teroris yang ekonominya lemah
xii
dan tidak memiliki sumber penghasilan yang layak dapat dikategorikan
sebagai asnaf faqir sementara bagi yang memiliki ekonomi yang relatif
cukup, dapat dimasukan ke dalam kelompok muallafah qulubuhum
(yaitu orang-orang yang tunduk atau harus ditundukkan hatinya).
Upaya untuk menelaah filantropi Islam dan kaitannya dengan
narapidana terorisme disajikan dengan menarik oleh Husna Yuni
Wulansari. Ia melakukan studi terhadap beberapa lembaga filantropi
Islam dalam bingkai radikalisasi dan deradikalisasi. Dalam tulisannya,
dengan menganalisis beberapa narasi yang dimunculkan oleh lembaga
filantropi Islam, Husna melihat bahwa beberapa lembaga dakwah
dan filantropi Islam telah menunjukkan sikap “dukungan pasif ”
terhadap gerakan terorisme atau lebih tepatnya pelaku tindak pidana
terorisme. Husna melihat adanya sikap “simpati” terhadap motif yang
dilakukan pelaku terorisme (baca: bukan simpati karena dipenjara).
Lembaga filantropi, seperti Infak Dakwah Center dan Anfiqu Center,
menurut Husna sama sekali tidak menunjukkan misi untuk melakukan
deradikalisasi. Temuan lain dari Husna adalah bahwa NUCare-Lazisnu
menunjukkan pandangan yang anti terorisme, namun pada saat yang
sama program-program yang ditawarkannya belum secara langsung
ikut menyelesaikan masalah-masalah sosial-ekonomi yang dihadapi
oleh narapidana terorisme.
Selaras dengan hal di atas, problem sosial-ekonomi yang dihadapi oleh
mantan narapidana terorisme juga tergambar dalam tulisan Waskito
Wibowo dengan judul “Filantropi berbasis Masjid untuk Keluarga
Narapidana Terorisme.” Dengan melakukan studi kasus di Lamongan,
tempat beberapa mantan narapidana terorisme berasal atau tinggal,
terdapat gerakan kolektif berbasis masjid dari sebagian kelompok
masyarakat untuk meluluhkan hati mantan narapidana terorisme agar
dapat berintegrasi dan menerima—dan diterima oleh—masyarakat.
xiii
Agak berbeda dengan penelitian di atas, Waskito melihat bahwa
sebagian kelompok masyarakat sudah berpartisipasi untuk berempati
sekaligus mendampingi dengan memberikan santunan kepada keluarga
narapidana terorisme. Dukungan terhadap keluarga nararidana
terorisme memang menjadi perbicangan hangat di kalangan para
peneliti. Apakah dukungan itu akan memperkuat keyakinan pelaku teror
bahwa keluarganya akan ada yang membantu kalaupun dia terpenjara
atau terbunuh, ataukah dukungan itu akan mengubah mentalitas pelaku
teror bahwa masih banyak yang bisa dilakukan untuk berani hidup dan
melawan tantangan kehidupan dengan cara memberikan rizki yang
layak dan mendidik anak-anaknya agar memliki prestasi di masa depan.
Penelitian Naomi Resty Anditya mencoba menakar inklusivitas
filantropi Islam dengan studi kasus LAZISNU dan LAZISMU di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mencoba melihat apakah filantropi
Islam memiliki peran dalam mendorong perdamaian dan keharmonisan
dalam masyarakat. Dalam penelaahannya, LAZISNU dan LAZISMU
sudah mencoba menunjukkan sikap yang inklusif. Hal itu dapat
dibuktikan dengan cara mendistribusikan dana-dana filantropi Islam
yang tidak hanya terbatas pada satu kelompok saja, misalnya warga
dan simpatisan NU atau Muhammadiyah, tetapi juga sudah mencakup
kepada kelompok masyarakat yang lain. Dalam tulisannya, nampaknya
Naomi melihat adanya gap (jarak) antara diskursus inklusivitas dan
praktik filantropi yang inklusif. Secara diskursif, Lazisnu dan Lazismu
nampak cukup terbuka dalam mendefnisikan karakteristik penerima
manfaat yang tidak hanya dari satu kelompok atau satu agama saja,
tetapi di dalam praktiknya, masih terdapat kendala psikologis dan
strategi operasional sehingga program-program yang secara khusus
untuk “orang lain” yang bukan satu kelompok atau satu agama, belum
banyak bisa direalisasikan. Namun, Naomi juga melihat bahwa di
xiv
tingkat pusat, seperti Lazismu, beberapa program yang secara praktis
inklusif juga sudah banyak terlihat.
Filantropi dan pendidikan menjadi tema dari penelitian Nurul
Iffakhatul Sholihah. Ia membawa diskusi filantropi dan pendidikan ke
dalam diskusi tentang keadilan sosial. Lagi-lagi, kita bisa mengatakan
bahwa upaya menakar inklusvitas filantropi Islam juga dilakukan
dalam penelitian ini. Secara khusus, Nurul membandingkan program
pendidikan yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan Lazismu
(Lazis Muhammadiyah). Ia berkesimpulan bahwa program-program
pendidikan yang dilakukan oleh kedua lembaga ini lebih didominasi
dengan program yang sifatnya karitatif, dan belum masuk secara
sistemik untuk mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan di
Indonesia. Nampaknya, Nurul menginginkan bahwa lembaga filantropi
dapat berperan juga seperti LSM advokasi.
Tulisan terakhir berasal dari penelitian Nurhasanah tentang praktik
filantropi Islam di Kalimantan Barat. Ia menganalisis konsep inklusvitas
filantropi ketika dikaitkan dengan kelompok sosial khusus dan marjinal,
yaitu mantan pengguna narkoba, mantan terpidana, dan mantan
pekerja seks komersial (PSK). Penelitian dilakukan terhadap para
donatur dari empat lembaga filantropi Islam, yaitu Rumah Zakat, Lazis
PLN, Lazismu, Almumtaz Peduli, dan Tabungan Infak Harian (TIH)
Mujahidin. Survei dilakukan untuk melihat bagaimana pandangan
pada donatur muzakki dari keempat lembaga tersebut di atas tentang
pendayagunaan dana ZIS untuk tiga kelompok sosial yang disebutkan
di atas. Dengan jumlah prosentase yang berbeda, sebagian donatur
berpendapat bahwa ketiga kelompok marjinal di atas boleh menerima
ZIS karena mereka termasuk orang-orang yang berada dalam kesulitan,
sementara sebagian lain menyatakan tidak boleh karena mantan
xv
pengguna narkoba, mantan terpidana, dan pekerja seks komersial (PSK)
tidak termasuk dalam kategori asnaf.
xvi
sebuah daerah ketika sebuah lembaga amil zakat di daerah tersebut
hendak membangun shelter untuk para penderita HIV AIDS.
Sebagian aktivis berpendapat, program pembangunan shelter perlu
dilakukan, khususnya untuk mengedukasi dan memberikan dukungan
moral para para penderita HIV AIDS agar bisa menikmati sisa hidup
mereka dengan lebih baik dan bermakna. Mereka adalah korban dari
situasi sosial-ekonomi yang ada di hadapannya. Namun sebagian lain
berpendapat bahwa shelter tidak diperlukan karena lembaga filantropi
Islam tidak didirikan untuk memfasilitasi “para pendosa”, dan penderita
HIV AIDS adalah konsekuensi dari masa lalu.
Tetapi justru di sinilah letak menariknya buku ini, yaitu perdebatan
tentang kategori baru asnaf. Inklusivitas lembaga filantropi dilihat dari
bukan hanya bagaimana filantropi memberikan manfaat kepada orang
atau kelompok orang yang misalnya berbeda afiliasi keagamaan saja,
tetapi juga kepada kelompok orang yang tidak atau sangat tidak disukai
oleh pemerintah maupun masayarakat, seperi pelaku teroris, narkoba
dan pekerja seks. Oleh karena itu, saya melihat masih banyak kerja-kerja
intelektual dan akademis yang perlu dilakukan untuk mempertajam
dampak sebuah aksi sosial agar Islam bisa menjadi rahmat bagi
semesta dan menyentuh kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan
terlupakan karena status masa lalunya yang suram dan gelap. Dengan
berbagai keterbatasan data yang telah terhimpun, buku ini, memberikan
sumbangan yang cukup berharga di tengah gegap gempita semangat
gerakan filantropi Islam di Indonesia yang semakin semarak. Dengan
membaca buku ini, kita akan dibawa kepada suatu pertanyaan: cukup
inklusifkah filantropi Islam di Indoensia? Jawabannya ada para diri
pembaca semua. Selamat membaca!
xvii
Daftar Isi
Abstrak
Zakat merupakan tradisi filantropi Islam yang dinamis dan transformatif.
Konsep dan praksisnya senantiasa berkembang dan bergerak mengikuti
perubahan zaman. Salah satunya konsep mustahik yang mengalami
perluasan dan penyempitan sesuai kultur dan struktur sosio-ekonomi
masyarakat yang berlaku. Dengan menggunakan pendekatan sisiologis-
hermeneutis, penelitian ini menyimpulkan bahwa mantan narapidana
terorisme (napiter), dapat menjadi mustahik zakat dalam dua kategori;
pertama, mantan napiter ekonomi lemah, masuk ke dalam ashnaf faqir,
kedua, mantan napiter dengan ekonomi menengah ke atas, masuk ke
dalam ashnaf muallafah qulûbuhum.
Kata Kunci: Zakat, Mustahik, Mantan Napiter
Pendahuluan
Dalam keyakinan Islam, zakat merupakan kewajiban finansial bersifat
ibadah bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat untuk
mengeluarkannya. Zakat ini dikeluarkan orang-orang yang memiliki
harta dengan batas minimal tertentu untuk kemudian didistribusikan
kepada orang-orang dengan kriteria yang telah ditentukan dalam syariat
sebagai penerima zakat atau mustahik. Meskipun bernilai ibadah,
zakat diyakini dapat menjadi instrumen mengatasi masalah-masalah
1
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
1 Syahril Jamil, “Prioritas Mustahiq Zakat menurut Teungku Muhammad Hasbi ash
Shiddieqy,” Istinbath, 14.16 (2015), h. 146.
2 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, h. 14.
2
MK Ridwan
oleh dua faktor; pertama, faktor internal dari sisi tekstual ayat, al-Qur’an
tidak memberikan kriteria lebih khusus tentang siapa orang-orang
yang masuk ke delapan golongan tersebut; kedua, faktor eksternal,
ketika terjadi perbedaan realitas baik kultur maupun struktur sosio-
ekonomi, antara konteks masa kini dengan konteks masa di mana
al-Qur’an diturunkan. Sebagai jalan keluarnya, ada yang secara tegas
berpegang pada makna tekstualis dan membatasi (baca: menyempitkan)
pendistribusian zakat hanya untuk delapan golongan saja, sebagian lain
memperluas cakupannya dengan syarat-syarat yang ketat, dan sebagian
lainnya mengkontekstualisasikan dengan realitas zaman yang senantiasa
berkembang dan tidak terpaku pada pemaknaan harfiah (tekstual) ayat.
Beberapa topik yang menjadi perdebatan dalam mekanisme
pendistribusian zakat (mashârif al-zakâh) seperti; apakah pendistribusian
dana zakat harus sama (merata) pada setiap ashnaf; apakah boleh dana
zakat didistribusikan ke luar wilayah pengambilannya; apakah dana zakat
dapat digunakan untuk pemeliharaan fasilitas publik dan bukan untuk
individu penerimanya; atau apakah pendistribusiaannya harus selalu
kepada setiap delapan golongan tersebut. Sementara dalam konteks al-
ashnaf al-tsamâniyyah, yang masih kontroversial di antaranya; muallafah
qulûbuhum (orang-orang yang dibujuk hatinya agar tunduk kepada
Islam) apakah hak zakat untuk orang mualaf masih tetap berlaku
sampai sekarang; atau al-riqâb di mana pada konteks masa kini, konsep
perbudakan klasik sudah tidak ada lagi, maupun fi sabîlillah yang harus
ditafsirkan dalam kerangka makna sempit seperti berperang (jihad)
di jalan Allah, atau dipahami secara lebih luas sebagai “segala sesuatu
(jalan) yang mengarahkan pada keridhaan Allah” yang berarti segala
3
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
3 Ini disebabkan karena redaksi fi sabîlillâh secara literal seakan tidak (bisa) berdiri sendiri,
dan seperti membutuhkan pendamping. Sehingga mengesankan makna yang sangat global
dan belum jelas kriteria dan batasannya. Siti Tatmainul Qulub dan Ahmad Munif, “The
Meaning of Fi Sabilillah as a Mustahiq Zakat according to Contemporary Ulama” Bimas
Islam 8.4 (2015), h. 610.
4 Amelia Fauzi, Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di
Indonesia, trans. Eva Mushoffa (Yogyakarta: Gading Publishing, 2016), h. 46.
5 Irfan Syauki Beik dan Qurroh Ayuniyyah, “Fiqh of Asnaf in the Distribution of Zakat: Case
Study of the National Board of Zakat of Indonesia (BAZNAS)” al-Infaq 6.2 (2015), h. 202.
6 Sejak periode Islam awal, zakat telah menjadi ruang ijtihad yang luas, berbasis maslahah.
Perubahan sosio-politik dan komitmen keagamaan penguasa juga memberi dampak besar
terhadap dinamika pengelolaan zakat dan menimbulkan diskursus yang tajam di antara para
fuqahâ’. Fauzi, Filantropi Islam, h. 50-51.
4
MK Ridwan
5
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
8 Noor Huda Ismail, Dilema Narapidana Terorisme, Kompas edisi 27 Januari 2016, h. 7.
6
MK Ridwan
9 Untuk kajian terhadap mantan narapidana terorisme dalam perspektif psikologis baca,
Sarlito Wirawan Sarwono, Menakar Jiwa Mantan Narapidana Terorisme Melalui Tes
Davido CHaD (Jakarta: Salemba Humanika, 2013).
10 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan Psikologi, (Tangerang:
PT Pustaka Alvabet dan LaKIP, 2012), h. 52.
7
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
jelas terhadap suatu perkara akan lebih mudah untuk diterima oleh
masyarakat umum. Apalagi mengingat Indonesia secara umum adalah
“bangsa religius” yang meletakkan posisi agama sebagai faktor utama
dalam bertindak.11
Berdasarkan argumentasi di atas, dengan memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan yang terjadi dalam situasi kontemporer, serta urgensinya
masalah yang terjadi pada mantan napiter, menjadi sangat penting
untuk melakukan penelitian mendalam tentang reinterpretasi konsep
mustahik zakat, sebagai justifikasi hukum Islam atas posisi mantan
narapidana terorisme sebagai golongan penerima zakat. Sehingga,
pertanyaan dalam penelitian ini adalah; (1) bagaimana reinterpretasi
konsep mustahik di era kontemporer? (2) bagaimana landasan hukum
Islam ditinjau dari perspektif sosiologis-teologis atas posisi mantan
narapidana terorisme sebagai golongan penerima zakat?
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (library research) yang
menekankan pada proses telaah konseptual dengan menggunakan
pendekatan sosiologis-hermeneutis. Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh melalui metode kepustakaan. Peneliti
mengumpulkan bahan-bahan baik berupa buku, jurnal, hasil penelitian,
maupun sumber teks lainnya yang memiliki relevansi serta kontribusi
terhadap penelitian ini dengan cara sistematis dan terstruktur. Data
yang terkumpul, kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif-
analitis dengan mengkaji gagasan primer mengenai “ruang lingkup
permasalahan” yang relevan dengan gagasan sekunder, untuk mencari
simpul-simpul yang selaras dari keseluruhan data yang ada, sehingga
bersifat eksplanatoris. Dalam memecahkan konteks permasalahan,
8
MK Ridwan
9
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
19 Lihat misalnya dalam QS. at-Taubah [9]: 34, 60, al-An’am [6]: 141.
20 Kata “infâq” berasal dari kata “nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan” yang berarti
“berlalu, habis, laris, dan ramai”. Sehingga, infak (infâq) artinya “menghabiskan” atau
“membelanjakan” harta atau sesuatu. Ibn Manzur, Lisân al-Arab, h. 4507-9. Istilah infak
lebih umum karena mencakup seluruh pembiayaan baik yang bersifat ibadah maupun
sosial, bahkan segala sesuatu bentuk pembayaran baik yang halal maupun yang haram.
Sehingga, infak adalah segala sesuatu bentuk transaksi pembayaran atau aktivitas
mengeluarkan atau membelanjakan harta. Infak dengan berbagai derivasinya disebut dalam
al-Qur’an sebanyak 73 kali. Al-Qur’an mengungkapkannya baik dalam bentuk kalimat
informatif (al-akhbariyah), kalimat perintah dan larangan (al-insyâiyyah) dan juga dalam
bentuk perumpamaan (al-matsal). Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi stimulus
yang bersifat psikologis (taqsya’irru bihi al-qulûb) sesuai dengan konteks penerimanya.
Muhammad Sa’i, “Filantropi dalam al-Qur’an: Studi Tematik Makna dan Implementasi
Perintah Infak dalam al-Qur’an” Tasamuh 12.1 (2014), h. 64.
21 Istilah shadaqah (shadaqat) disebutkan 12 kali di dalam al-Qur’an yang kesemuanya turun
di Madinah. Kata shadaqah berasal dari kata “shidq” yang berarti benar. Susunan kata
shad-dal-qaf bermakna “terwujudnya sesuatu oleh sesuatu, atau membantu terwujudnya
sesuatu itu. Sehingga zakat dinamakan sedekah karena tindakan tersebut akan menunjukkan
kebenaran (shidq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah.
Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz III. Tahqiq. Muhammad Harun (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1979), h. 339-40.
10
MK Ridwan
11
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
12
MK Ridwan
13
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
30 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 323-5.
31 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 866.
14
MK Ridwan
32 Nurul Huda, dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro: Pendekatan Riset (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015), h. 8.
33 Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian, h. 14.
15
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
adalah spirit transformasi etika bisnis yang benar. (g) zakat mengajarkan
spirit aktif, kreatif dan produktif dengan mendorong setiap manusia
untuk mampu bekerja dan berusaha memiliki harta kekayaan (zakat
berperan sebagi penggerak roda perekonomian). (h) zakat merupakan
salah satu sumber abadi dana pembangunan sarana dan prasarana yang
harus dimiliki oleh umat Islam seperti, tempat ibadah, pendidikan,
kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pengembangan
kualitas sumber daya manusia. (i) zakat dapat mencegah terjadinya
penyakit deprivasi sosial. Deprivasi akan menyebabkan timbulnya
keresahan sosial (social unrest), yang pada akhirnya akan menyebabkan
disintegrasi sosial. Tidak jarang fenomena kemiskinan menyebabkan
munculnya sindrom split personality antara si kaya dengan si miskin,
yang pada akhirnya akan melahirkan massifikasi kemiskinan.
Adanya kewajiban zakat dalam tradisi Islam, menjadi salah satu bukti
nyata spirit Islam akan pembebasan manusia dari kesengsaraan hidup.
Zakat sebagai pondasi terhadap keberlangsungan hidup di muka
bumi adalah wujud kepedulian Islam terhadap kualitas kehidupan
umat manusianya. Di mana dengan hal tersebut, umat manusia dapat
menikmati kehidupannya yang dipenuhi dengan keberkahan langit dan
bumi. Serta mampu mandayagunakan segala apa yang ada di dalamnya
dengan sebaik-baiknya. Hingga akhirnya, manusia akan merasakan
kebahagiaan di berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian,
manusia pun akan mampu beribadah kepada Allah dengan penuh
kekhusyukkan dan juga dengan persiapan yang terbaik.34
Dengan demikian, zakat sebagai esensi ajaran Islam merupakan
suatu sistem unik yang mengandung muatan humanisasi, liberasi dan
transendensi. Di dalamnya, zakat memuat lima dimensi kehidupan
sekaligus, yaitu; pertama, dimensi keagamaan; kedua, dimensi keuangan
16
MK Ridwan
17
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
pada sisi inilah kita bisa memahami, bahwa Allah telah memberikan
arahan kelompok manusia mana yang harus diberi sedekah itu. Dengan
kata lain, batas ini terbuka pada sisi kuantitas, dan Allah membekali
dengan arahan kualitasnya, atau kepada siapa harta sedekah itu harus
diserahkan. Dengan demikian, QS. at-Taubah [9]: 60 bukanlah termasuk
ayat hudud. Sehingga terbuka ruang ijtihad yang sangat luas untuk
menambah atau mengurangi jumlah atau kategori mustahik zakat yang
didasarkan atas pertimbangan sistem sosial-ekonomi masyarakat yang
berlaku. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab
yang menghapus kategori muallafah qulûbuhum atas pertimbangan
politis. Kesimpulan ini mendukung tesis Asghar Ali Engineer, bahwa
sistem zakat adalah kedermawanan yang berfungsi sebagai sistem
perpajakan pada periode sejarah Islam awal, serta berjalan lebih didasari
oleh pertimbangan-pertimbangan praksis dibandingkan pertimbangan
agama.38
Pada tahapan kajian linguistik, ditemukan bahwa penggunaan redaksi
“innamâ” dalam ayat di atas adalah bentuk penyifatan dari kata “al-
shadaqâtu”, karena terma sedekah merupakan terma umum yang
mencakup zakat. Kata “innamâ” menjadi kata tunjuk atau penjelasan
dari sedekah yang dimaksudkan dalam ayat. Maka, yang disebut sebagai
“innamâ al-shadaqâtu” yaitu “zakat” yang berarti adalah batas minimal
pemberian atau batas minimal jumlah yang disedekahkan yang menjadi
kewajiban dalam Islam. Oleh karenanya, ketika Allah menyebutkan
pihak-pihak yang berhak menerima zakat, Allah mengawalinya
dengan redaksi “innamâ al-shadaqâtu”. Hal ini kemudian diperkuat
dengan penggunaan huruf “alif lam” yang berarti mengkhususkan
konteks sedekah yang dimaksudkan sebagaimana yang telah Allah
tunjukkan di ayat sebelumnya (QS. at-Taubah [9]: 58-59). Sehingga,
38 Asghar Ali Engineer, The State in Islam: Nature and Scope (New Delhi: Hope India
Publications, 2006).
18
MK Ridwan
39 Menurut Syahrur, dalam linguistik Arab, fungsi athaf adalah untuk menunjukkan adanya
perbedaan (pengertian antara kata yang berposisi sebagai athaf dan yang berposisi sebagai
yang di-athaf-kan) atau untuk menunjukkan antara kata yang umum dan yang khusus.
Artinya, al-ashnaf al-tsamâniyyah adalah sebuah entitas yang saling berlainan dan memiliki
perbedaan (li al-taghâyur) dan juga menunjukkan adanya yang khusus dari yang umum.
Penunjukkan yang khusus dari yang umum dipahami sebagai usaha penegasan (taukîd) dan
menarik perhatian pendengar pada pentingnya bagian yang khusus. Di sinilah, pentingnya
kita memahami perbedaan antara al-faqir dan al-miskin sebagai sesuatu yang berbeda dan
bukan sinonim. Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 57.
19
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
20
MK Ridwan
Kedua, al-masâkîn jamak dari kata miskin, berasal dari kata sakana yang
berarti “tenang, diam atau tidak bergerak” atau al-maskan yang artinya
“tempat tinggal yang nyaman untuk manusia”.44 Sehingga, terma
miskin berarti “orang yang terbatas kemampuannya dan memiliki rasa
aman yang relatif antar sesamanya, seperti orang-orang difabel dan
penyandang disabilitas.45 Orang-orang difabel berarti seseorang yang
memiliki kelainan mental dan akal (idiot) yang sifatnya mengganggu dan
menjadi suatu hambatan baginya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
secara layak dan normal. Kelainan dapat berupa ketidaknormalan atau
bahkan statusnya kehilangan, baik yang bersifat fisiologis, psikologis,
maupun struktur dan fungsi anatomis. Sementara para penyandang
disabilitas adalah orang-orang yang kehilangan salah satu atau semua
fungsi organ tubuhnya, yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan
interaksi antara kondisi biologis dan lingkungan sosial. Orang-orang
ini diidentifikasi sebagai penyandang cacat fisik, seperti buta, tuli, bisu,
kehilangan tangan dan kaki, dan lain sebagainya, baik yang disebabkan
karena faktor kelahiran maupun akibat kecelakaan dan bencana alam.
Kekurangan tersebut menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan
dalam menjalani kehidupan baik secara pribadi maupun bermasyarakat.
Tidak jarang, karena kekurangannya tersebut menimbulkan rasa minder
dan terjadi relasi yang timpang dalam mengakses sumber daya. Dengan
demikian, ada kemungkinan orang yang faqir tetapi tidak miskin, atau
orang miskin tetapi tidak faqir, maupun orang faqir sekaligus miskin.
Sehingga menjadi hal yang logis, ketika di dalam QS. at-Taubah [9]:
60, kata faqir mendahului kata miskin yang disambung dengan huruf
wawu athaf, menunjukkan adanya pengkhususan atas al-masâkîn dari
yang umum al-fuqarâ’i.
44 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. III, h. 88. Di dalam al-Qur’an kata sakana beserta derivasinya
disebutkan 69 kali. Tetapi tidak semuanya berhubungan dengan orang miskin. Ayat yang
menerangkan orang miskin berjumlah 23 ayat dalam 16 surat; 7 surat Makkiyah dan 9 surat
Madaniyyah. Rodin, “Rekonstruksi Konsep Fakir, h. 147.
45 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 487.
21
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
Salah satu ‘illah atau alasan seorang yang miskin berhak menerima zakat
adalah ketidakmungkinannya seorang yang dilahirkan buta mampu
mendirikan sekolah untuk mengajari dirinya sendiri dan membekali
dirinya dengan berbagai keterampilan untuk hidup dalam masyarakat
tanpa bantuan orang lain. Sehingga, ketika miskin dipahami sebagai
orang-orang yang difabel dan penyandang disabilitastidak memiliki
kemampuan untuk bekerja karena keterbatasan atau cacat fisik dan
mentalmaka seluruh lembaga dan yayasan yang menangani orang
miskin berhak untuk menerima bantuan pembiayaan dari zakat.46
Selama ini, permasalahan distribusi terhadap faqir dan miskin sering
tumpang tindih akibat ketidakjelasan kriteria dan batasannya masing-
masing. Sebagaimana definisi faqir di atas yang berbeda dengan
mainstream, di mana biasanya justru dipakai untuk mendefinisikan kata
miskin oleh kebanyakan ulama fikih dan cenderung menyamakan kedua
definisi kata tersebut. Penyamaan terhadap kedua konsep tersebut
menafikkan hikmah penyebutan secara terpisah nama fuqarâ’i dan al-
masâkîn di dalam al-Qur’an. Padahal tidak ada sinonimitas dalam tiap
kata (la taraduf fî al-kalimah) dalam bahasa Arab. Sinonimitas berarti
mereduksi terhadap konsep-konsep yang terkandung dalam setiap
term-term kunci dalam al-Qur’an.47
Akan tetapi, diletakkannya makna miskin yang lekat dengan makna
faqir, dapat dimengerti bahwa baik faqir maupun miskin adalah
golongan yang sama-sama tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sehingga, ‘illah seorang yang faqir dan miskin berhak menerima zakat,
salah satu di antaranya adalah ketidakmampuan mencari nafkah.
Ketidakmampuan ini tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor, seperti;
keterbatasan fisik dan mental (al-miskîn), maupun ketiadaan lapangan
pekerjaan, kualifikasi atau kemampuan yang dimiliki tidak memadai
22
MK Ridwan
48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 630.
49 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. I, h. 140; Ibn Manzur, Lisân, h. 3107.
50 Abdul Bakir, Hukum Zakat: Dilengkapi Kumpulan Hadits Bukhari tentang Zakat
(Yogyakarta: Pustaka Santri, 2013), h. 454.
51 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 631.
52 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. I, h. 131; Ibn Manzur, Lisân al-Arab, h. 107.
23
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
24
MK Ridwan
25
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
26
MK Ridwan
27
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
28
MK Ridwan
29
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
muallafah qulûbuhum menjadi payung hukum yang ideal karena ta’lif al-
qulub merupakan ‘illah yang dijadikan dasar untuk menyerahkan zakat
kepada mantan napiter. Adapun ‘illah tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, mantan napiter adalah seorang yang butuh untuk dijinakkan,
ditundukkan atau dilunakkan hatinya dari segala bentuk kekerasan
dan kerusakan. Dalam kaidah ushul fikih dijelaskan bahwa “menolak
mafsadat harus didahulukan, daripada mengambil manfaat”. Hal ini
sebagaimana ‘illah pada golongan orang yang dikhawatirkan melakukan
kejahatan. Mereka dimasukkan sebagai mustahik zakat, dengan harapan
dapat mencegah kejahatannya. Sebagaimana di dalam al-Qur’an juga
ditegaskan bahwa zakat adalah salah satu bentuk konkret atas realisasi
dari konsep amar ma’ruf nahi munkar (QS. at-Taubah [9]: 71).
Proses pelunakkan, penundukkan, penjinakkan ataupun pembinaan,
dilakukan menggunakan sistem pemidanaan. Dalam perspektif Islam,
sistem pemidanaan dengan dimasukkannya seseorang ke dalam penjara
adalah untuk menjaga dan menumbuhkembangkan semangat beragama,
menjaga jiwa masyarakat, memberdayakan semangat kreativitas bekerja
dengan pembekalan keterampilan, menjaga kehormatan keturunan,
sekaligus meningkatkan kadar intelektualitas masyarakat.69 Hal ini
berdasar pada tujuan hukum Islam yaitu untuk memelihara lima
prinsip kehidupan manusia; hifz al-din (perlindungan agama), hifz al-
nafs (perlindungan nyawa), hifz al-mal (perlindungan harta), hifz al-
aql (perlindungan akal), hifz al-nasl (perlindungan keturunan).70 Maka
sistem pemidanaan dalam perspektif Islam mengandung dua aspek
utama berupa perbaikan dan pencegahan atau dengan pemaknaan
pendidikan dan pertaubatan yang berorientasi pada proses rehabilitasi,
reintegrasi sosial dan pembelajaran atau pengobatan dari tindakan yang
salah menuju tindakan yang benar.
30
MK Ridwan
31
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
32
MK Ridwan
33
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
34
MK Ridwan
35
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
Simpulan
Kesimpulan ini bukanlah suatu hal yang dipaksakan ataupun dicari-
carikan pembenarannya. Namun, hal ini lebih karena realitas dan tuntutan
dunia kontemporer, sebagaimana praktik zakat pada sejarah Islam awal
yang lebih mempertimbangkan aspek praksis sosio-ekonomi, daripada
pertimbangan keagamaan. Serta berdasar atas landasan kaidah-kaidah
hukum Islam. Kesimpulan ini juga mendukung sebuah kenyataan
bahwa, banyak sektor yang tidak dapat dibiayai dari dana pajak, tetapi
dapat dibiayai dari dana zakat. Yaitu, segala program dan kegiatan yang
dapat dimasukkan dalam kategori mustahik zakat, seperti; ‘âmilîn,
muallafah qulûbuhum, riqâb, dan gharîm. Kepedulian lembaga filantropi
Islam terhadap permasalahan terorisme secara umum dan mantan
napiter secara khusus, harus benar-benar ditingkatkan dan menjadi
agenda gerakan bersama. Reformulasi pemahaman atas mustahik
zakat mampu mengoptimalkan fungsi, tujuan dan pengaruh zakat
bagi solusi kehidupan masyarakat secara lebih luas. Bukan saja hanya
terbatas pada konsep lama penafsiran tentang mustahik zakat, tetapi
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kultur dan struktur
sosio-ekonomi masyarakat pada masa sekarang. Sudah harus menjadi
pemahaman bersama bahwa, tradisi zakat adalah tradisi yang dinamis
dan bersifat transformatif. Di mana tradisi zakat terus mengikuti pola
gerak perkembangan zaman yang beradabtasi dengan kondisi politik,
ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Sehingga, mantan napiter
dapat dimasukkan sebagai ashnaf faqir bagi yang memiliki ekonomi
lemah, dan ashnaf muallafah qulûbuhum bagi yang memiliki ekonomi
36
MK Ridwan
Bibliography
al-Syathibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Vol. II. Kairo:
Dar al-Hadis, 1997.
Bakir, Abdul. Hukum Zakat: Dilengkapi Kumpulan Hadits Bukhari
tentang Zakat. Yogyakarta: Pustaka Santri, 2013.
Beik, Irfan Syauki Beik dan Qurroh Ayuniyyah. “Fiqh of Ashnaf in the
Distribution of Zakat: Case Study of the National Board of Zakat
of Indonesia (BAZNAS).” Al-Infaq 6.2 (2015): 201-216.
Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media,
Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010.
Engineer, Asghar Ali. The State in Islam: Nature and Scope. New Dhelhi:
Hope India Publications, 2006.
Faris, Ibn. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Fauzi, Amelia. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil
dan Negara di Indonesia. Trans. Eva Mushoffa. Yogyakarta: Gading
Publishing, 2016.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani, 2002.
Hanafi, Hassan. Islam in the Modern World: Religion and Development.
Vol. 1. Heliopolis: Dar Kebaa Bookshop, 2000.
Ismail, Noor Huda. Dilema Narapidana Terorisme. Kompas edisi 27
Januari 2016, n.d.
Jamil, Syahril. “Prioritas Mustahiq Zakat menurut Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy.” Istinbath 14.16 (2015): 145-159.
Khamdan, Muh. Bina Damai Terorisme. Kudus: Parist, 2015.
—. Penjara di dalam Pesantren. Kudus: Parist, 2010.
—. “Rethinking Deradikalisasi: Konstruk Bina Damai Penanganan
Terorisme.” Addin 9.1 (2015): 181-204.
Koehler, Daniel. Right-Wing Terrorism in the 21st Centure: The ‘National
Socialist Underground’ and the History of Terror from the Far-Right in
Germany. New York: Routledge, 2017.
37
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat
38
Filantropi Islam dalam Dukungan
Pasif bagi Terorisme di Indonesia
Husna Yuni Wulansari
Abstrak
Artikel ini mengamati hubungan lembaga filantropi Islam (Infaq
Dakwah Center, Anfiqu Center, dan NUCARE-LAZISNU) dengan
faktor-faktor yang dapat memajukan ataupun melemahkan dukungan
bagi terorisme di Indonesia. Dukungan bagi terorisme setidaknya
terdiri atas dua bentuk: aktif dan pasif. Kedua bentuk tersebut sama-
sama berperan dalam membantu keberlangsungan praktik dan narasi-
narasi radikal yang dimajukan oleh kelompok-kelompok teroris maupun
masyarakat Islamis radikal. Artikel ini berargumen bahwa Infaq
Dakwah Center dan Anfiqu Center berkontribusi terhadap dukungan
pasif bagi terorisme. Dukungan pasif tersebut diketahui melalui gagasan
dan praktik filantropinya bagi kalangan narapidana teroris dan keluarga
narapidana teroris, yang mana mengandung simpati terhadap berbagai
motif dan taktik teroris. Sebaliknya, NUCARE-LAZISNU berupaya
melemahkan dukungan bagi terorisme, tetapi praktiknya belum
mampu mengatasi problematika sosial-ekonomi yang dialami kalangan
narapidana teroris dan keluarga narapidana teroris, juga belum secara
strategis diarahkan untuk melemahkan narasi-narasi dukungan pasif.
Kata kunci : filantropi Islam, dukungan pasif, terorisme, narapidana
teroris, keluarga narapidana teroris.
39
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
41
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
4 Hilman Latief. Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah and Politics in
Indonesia, Utrecht, 2012.
5 ‘Produk IDC’, Infaq Dakwah Center (daring), http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
produk-idc-voa-islam/17/
42
Husna Yuni Wulansari
43
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
44
Husna Yuni Wulansari
secara sempit dan harfiah atau kaku, misalnya memaknai jihad dalam
konteks perang (qital) untuk melawan musuh. Individu atau kelompok
disebut sebagai “radikalis” apabila ia mengamini paham radikalisme
dan menggunakan berbagai taktik—baik melalui kekerasan dan/atau
tanpa kekerasan—untuk mencapai tujuannya. Salah satu tujuannya
yang banyak dikaji oleh para akademisi adalah tujuan politik. Radikalis
menginginkan perubahan (change) sistem dan nilai (value) yang berlaku
saat ini dengan yang mereka yakini. Dalam konteks Indonesia saat ini,
radikalis membawa semangat jihad mendirikan Negara Islam yang
menjadikan hukum Islam sebagai konstitusinya.8 Contoh individu
radikalis yakni Abu Bakar Ba’asyir, sedangkan kelompok radikalis yaitu
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshoru Tauhid ( JAT),
Jamaah Islamiyah ( JI), dan sejenisnya. Pada konteks ini, “terorisme”
(dan istilah turunannya) dapat juga dimasukkan ke dalam kategori
“radikalisme”, tetapi perlu ditekankan bahwa “terorisme” cenderung
selalu mengacu pada penggunaan taktik kekerasan.9
Perlu juga untuk menjelaskan apa yang dimaksud artikel ini sebagai
“dukungan” dan mengapa makna konseptual tersebut yang dipilih
sebagai fondasi dari pembangunan argumen. Gagasan “dukungan bagi
terorisme” sejauh ini tidak terkonseptualisasikan secara seragam, bahkan
pewujudannya cenderung sulit untuk dinilai dan diukur secara eksplisit.
Konsep “dukungan bagi terorisme” memiliki definisi yang berbeda-
beda, utamanya terkait apa saja yang dapat disebut sebagai “dukungan”.
Terlepas dari kepelikan konseptual tersebut, terdapat setidaknya dua
kategorisasi bentuk “dukungan” yang dapat disarikan dari berbagai
literatur tentang “dukungan bagi terorisme”10, yaitu dukungan aktif dan
pasif.
45
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
46
Husna Yuni Wulansari
47
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
48
Husna Yuni Wulansari
49
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
12 Pada saat artikel ini ditulis, wawancara validasi kepada pihak IDC belum berhasil dilakukan
karena IDC menolak untuk diwawancarai. Sementara itu, Anfiqu Center hanya bersedia
diwawancarai via Telegram. Meski demikian, data yang ditemukan penulis dari wawancara
virtual dengan Anfiqu Center sudah cukup secara jelas memverifikasi apa yang dimaksud
oleh LAZIS-LAZIS ini sebagai “mujahidin”. Anfiqu Center maupun IDC memiliki konsepsi
dasar yang sama tentang apa yang disebut sebagai “mujahidin”, yakni tidak lain adalah
mereka yang ditahan oleh Densus 88 karena aksi teror. Anfiqu Center dalam percakapan
virtual dengan penulis juga mengakui bahwa terinspirasi dan mempunyai aspirasi untuk
meningkatkan kiprahnya menjadi sebesar IDC. Penulis kemudian memperkuat data
sekunder terkait IDC dan melakukan analisis konseptual untuk mengonfirmasi apakah
narasi dan praktik yang dilakukan IDC memenuhi indikator dukungan bagi terorisme dan
sejauh apakah derajat dukungannya.
50
Husna Yuni Wulansari
13 VOA Islam, Panjimas.com dan Arrahmah.com merupakan contoh media Islam yang
kontennya banyak menyuarakan muatan radikalisme. VOA Islam dan Panjimas memiliki
afiliasi dengan IDC, yaitu masih dalam naungan satu kantor yang sama serta secara aktif
mempromosikan dan memberitakan aktivitas filantropi dan dakwah dari IDC di situs
webnya masing-masing.
14 Yayasan RUMPUT (FB Page), https://www.facebook.com/yayasanrumput. Yayasan
RUMPUT dan GASHIBU dinilai merupakan lembaga filantropi Islam yang sejenis dengan
IDC dan Anfiqu Center namun tidak dikupas lebih lanjut dalam studi kasus di artikel ini.
51
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
15 J. Millard Burr dan Robert O. Collins, Alms for Jihad: Charity and Terrorism in the Islamic
World, New York, Cambridge University Press, 2006.
16 Shawn Teresa Flanigan, ‘Charity as Resistance: Connections between Charity, Contentious
Politics, and Terror,’ Studies in Conflict & Terrorism, vol. 29, no. 7, 2006, p. 641-655.
52
Husna Yuni Wulansari
53
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
19 Lihat, misalnya: Kevin Siqueira dan Todd Sandler, 2006; Andrew H. Kydd dan Barbara F.
Walter, 2006; João Ricardo Faria dan Daniel G. Arce M., 2005.
20 Christopher Paul, ‘As a Fish Swims in the Sea: Relationships Between Factors Contributing
to Support for Terrorist or Insurgent Groups,’ Studies in Conflict & Terrorism, vol. 33, no.
6, 2010, pp. 488-510.
54
Husna Yuni Wulansari
21 Schmid (2017), p. 6.
22 USAID, Indonesian and Malaysian Support for the Islamic State, Washington, DC, 2016,
pp. 6-7.
55
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
internet, di mana sejumlah ‘pengikut’ dari website atau akun media sosial
tertentu dan cerita-cerita tentang “heroisme” teroris dapat dilacak.23
Kendati demikian, sebagaimana diuraikan di bagian klarifikasi definisi
di atas, semua pewujudan “dukungan” bagi teroris cenderung sulit
dinilai dan dibandingkan. Schmid (2017) berusaha membedakan tiga
jenis hubungan: (1) legal tetapi bukan berarti selalu tidak bermasalah,
(2) masih legal (menurut hukum di beberapa negara), tetapi bergantung
pada kategori kelompok radikalis-kekerasan manakah yang ditentang
atau didukung oleh pemerintah di negara bersangkutan, (3) ilegal, yakni
kelompok radikalis-kekerasan yang termasuk dalam daftar sanksi PBB,
lembaga regional atau nasional, sehingga dukungan bagi kelompok
tersebut secara jelas dinyatakan melanggar hukum. Masing-masing
hubungan mengindikasikan derajat dukungan yang berbeda-beda.
Jenis hubungan Derajat dukungan
Legal Empati atau “pengertian” bagi terorisme
Masih Legal Simpati bagi terorisme
Ilegal Segala bentuk dukungan di tataran perilaku
(behavioural) dan bantuan untuk organisasi teroris
23 Schmid (2017), p. 6.
56
Husna Yuni Wulansari
motif yang dimiliki oleh orang-orang lain yang memilih untuk tidak
menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, dan/atau orang-
orang yang hanya menggunakan kekerasan terhadap aparat keamanan
musuhnya, dalam arti lain tidak melawan masyarakat sipil dan non-
kombatan. Aktor-aktor lain ini bisa jadi memiliki kekecewaan dan
keluhan yang serupa terkait masalah-masalah seperti ketidakadilan,
ketimpangan, represi, intervensi pihak asing dan rezim otoritarian
pemerintah. Mereka yang berbagi keresahan dengan para teroris
(misalnya: keinginan untuk membangun negara sendiri) menunjukkan
pengertian empatik atas apa yang diinginkan oleh teroris, meskipun
mereka bisa saja sangat tidak setuju dengan metode kekerasan yang
digunakan oleh teroris.
Menunjukkan pengertian empatik terhadap keresahan teroris adalah
bentuk mengekspresikan opini atau aksi lisan dan merupakan bagian
dari aspek mentalitas seseorang, tetapi hal ini tidak bisa dinilai sebagai
kriminalitas. Ekspresi semacam ini berada di bawah perlindungan pasal
19 Universal Declaration of Human Rights yang menjamin kebebasan
berpendapat. Pengertian empatik berbeda dengan ‘menjustifikasi’, dan
merupakan identifikasi positif dengan modus operandi teroris. Suatu
ekspresi masih dapat disebut sebagai pengertian empatik sejauh tidak
mempromosikan atau mengadvokasikan terorisme.
57
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
58
Husna Yuni Wulansari
26 Adrian Cherney dan Kristina Murphy, ‘Support for Terrorism: The Role of Beliefs in Jihad
and Institutional Responses to Terrorism,’ Terrorism and Political Violence, 2017, pp. 1-21.
59
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
60
Husna Yuni Wulansari
61
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
30 Peter J Phillips, ‘Switching Costs, Grassroots Support of Terrorism and the Escalation of
Conflict,’ European Journal of Social Sciences, vol. 31, no. 2, 2012, pp. 148-159.
31 Kevin Siqueira dan Todd Sandler, ‘Terrorists versus the Government: Strategic Interaction,
Support, and Sponsorship,’ Journal of Conflict Resolution, vol. 50, no. 6, 2006, pp. 878-
898.
62
Husna Yuni Wulansari
63
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
64
Husna Yuni Wulansari
35 ‘Mujahid Eksekutor Pendeta Penghujat Islam Sudah Dioperasi, Tapi Donasi yang
Disalurkan Diinfakkan Kembali,’ Panjimas (daring), <http://www.panjimas.com/infaq-
dakwah-center-2/2015/05/14/mujahid-eksekutor-pendeta-penghujat-islam-sudah-dioperasi-
tapi-donasi-yang-disalurkan-diinfakkan-kembali>, diakses pada 25 November 2017.
36 Farouk Arnaz, ‘Sidang Pembunuh Calon Pendeta, Pengacara Akan Cari Saksi Ahli,’ Berita
Satu (daring), 14 Juli 2013, <http://www.beritasatu.com/hukum/125633-sidang-pembunuh-
calon-pendeta-pengacara-akan-cari-saksi-ahli.html>, diakses pada 25 November 2017.
65
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
66
Husna Yuni Wulansari
41 ‘Silaturrahim IDC dengan JITU Berlangsung Akrab, dari Tabayyun hingga Kerjasama
Dakwah,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
idc/247/silaturrahim-idc-dengan-jitu-berlangsung-akrab-dari-tabayyun-hingga-kerjasama-
dakwah/
67
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
42 ‘Mohon Doanya, Solo Darurat Banjir, Wisma IDC Terendam’, Infaq Dakwah
Center (FB Page), 19 Juni 2016, https://www.facebook.com/Infaq.Dakwah.Center/
posts/1209247642428239, diakses pada 25 Oktober 2017.
43 Solidaritas Keluarga Daeng Ali, Mujahid Mantan Preman Wafat Dibunuh Polisi Thaghut.
Ayo bantu!!, ‘Infaq Dakwah Center Posts,’ facebook.com (daring), 22 Juni 2014, <https://
www.facebook.com/Infaq.Dakwah.Center/posts/807136945972646>, diakses pada 10
Januari 2018.
44 ‘Sang Ayah Ditembak Densus, Rumah Keluarga Yatim ini Terancam Ambruk, Ayo Bantu
Bedah Rumah!!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/
read/idc/284/sang-ayah-ditembak-densus-rumah-keluarga-yatim-ini-terancam-ambruk-ayo-
bantu-bedah/
68
Husna Yuni Wulansari
45 ‘Keluarga Yatim Muallaf ini Hidup Serba Kekurangan. Ayo Bantu Beasiswa dan Modal
Usaha.!!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
idc/375/keluarga-yatim-muallaf-ini-hidup-serba-kekurangan-ayo-bantu-beasiswa-dan-
modal-usaha/
46 ‘IDC Sukses Bedah & Tebar Buku ‘’Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah’’
(Buku & VCD Gratis!!),’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.
com/read/idc/187/idc-sukses-bedah-tebar-buku-mengenal-dan-mewaspadai-penyimpangan-
syiah-vcd-gratis/ >, diakses pada 10 Januari 2018.
69
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
Anfiqu Center
Masih dalam semangat yang sama dengan IDC, Anfiqu Center—sebuah
LAZIS yang dulunya bernama Laziz Muwahidin—juga menunjukkan
posisi yang menjustifikasi terorisme. Akan tetapi, narasi-narasi jihad
yang diangkat oleh Anfiqu Center di dalam promosinya tidak se-
bergema IDC. Kali ini, salah satu penanggung jawab sekaligus penasehat
program Anfiqu Center bernama Ibnu Qudamah Al Arkhabiliy
bersedia diwawancarai, tetapi hanya jika melalui Telegram. Meskipun
47 ‘Program Tebar 30.000 Buku Ustadz Ba’asyir Sudah Tuntas, Buku Sudah Dicetak
Ulang dan Siap Dipesan Lagi. GRATIS!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.
infaqdakwahcenter.com/read/idc/211/program-tebar-30000-buku-ustadz-baasyir-sudah-
tuntas-dicetak-ulang-dan-siap-dipesan-lagi-gratis/>, diakses pada 10 Januari 2018.
70
Husna Yuni Wulansari
71
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
72
Husna Yuni Wulansari
73
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
NUCARE-LAZISNU
NU-CARE LAZISNU adalah badan otonom di bawah Nahdlatul
Ulama (NU) yang bergerak dalam ranah filantropi Islam. Narasumber
yang diwawancarai sebagai representatif dari NU-CARE LAZISNU
adalah H. Muh. Mahsun S.IP selaku Direktur Utama dari NUCARE-
LAZISNU Pimpinan Wilayah (PW) Jawa Tengah. NUCARE-
LAZISNU PW Jawa Tengah dipilih sebagi subjek penelitian terutama
karena PW ini otonominya mencakup wilayah-wilayah yang menjadi
hotspots ‘titik panas’ persebaran gagasan radikalisme di Indonesia, seperti
74
Husna Yuni Wulansari
75
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
76
Husna Yuni Wulansari
77
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
78
Husna Yuni Wulansari
79
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
80
Husna Yuni Wulansari
81
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
82
Husna Yuni Wulansari
Daftar Pustaka
Boylan, Brandon M. “Sponsoring Violence: A Typology of Constituent
Support for Terrorist Organizations.” Studies in Conflict & Terrorism.
(2015): 1-19.
Braddock, Kurt dan John Horgan. “Towards a Guide for Constructing
and Disseminating Counternarratives to Reduce Support for
Terrorism.” Studies in Conflict & Terrorism. (2015): 1-24.
Burr, J. Millard dan Robert O. Collins. Alms for Jihad: Charity and
Terrorism in the Islamic World. New York: Cambridge University
Press, 2006.
Byman, Daniel. “Passive Sponsors of Terrorism.” Survival. 47. 4 (2005):
117-144.
Cherney, Adrian dan Kristina Murphy. “Support for Terrorism: The
Role of Beliefs in Jihad and Institutional Responses to Terrorism.”
Terrorism and Political Violence. (2017): 1-21.
Fealy, Greg dan Aldo Borgu. Local Jihad: Radical Islam and terrorism in
Indonesia. Australia: Australian Strategic Policy Institute, 2005.
Flanigan, Shawn Teresa. “Charity as Resistance: Connections between
Charity, Contentious Politics, and Terror.” Studies in Conflict &
Terrorism. 29. 7 (2006): 641-655.
International Crisis Group. “Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing
Industry.” Asia report. 147. (2008): 1-21.
Latief, Hilman. Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah
and Politics in Indonesia. Utrecht, 2012.
Mascini, Peter. “Can the Violent Jihad Do without Sympathizers?.”
Studies in Conflict and Terrorism. (2006): 17.
Mesquita, Ethan Bueno de dan Eric S. Dickson. “The Propaganda of the
Deed: Terrorism, Counterterrorism, and Mobilization.” American
Journal of Political Science. 51. (2007): 464-381.
Paul, Christopher. “As a Fish Swims in the Sea: Relationships Between
Factors Contributing to Support for Terrorist or Insurgent Groups.”
Studies in Conflict & Terrorism. 33. 6 (2010): 488-510.
Phillips, Peter J. “Switching Costs, Grassroots Support of Terrorism
and the Escalation of Conflict.” European Journal of Social Sciences.
31. 2 (2012): 148-159.
83
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
84
Husna Yuni Wulansari
85
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia
jihad-ambonposo-menderita-kanker-ganas-ulurkan-kepedulian-
kita/>, diakses pada 10 Januari 2018.
‘Ustadz Hamim Jaelani Wafat, Donasi Rp 18 Juta Telah Diserahkan
Untuk Biaya RS,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.
infaqdakwahcenter.com/read/idc/168/ustadz-hamim-wafat-
donasi-rp-18-juta-telah-diserahkan-untuk-biaya-rs/>, diakses pada
10 Januari 2018.
Anfiqu Center (FB Page), 11 Juli 2017, https://www.facebook.com/
Anfiqucenter/, diakses pada 10 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), 25 September 2017, https://www.facebook.
com/Anfiqucenter/, diakses pada 10 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), 7 Oktober 2017, https://www.facebook.com/
Anfiqucenter/, diakses pada 11 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), https://www.facebook.com/Anfiqucenter/,
diakses pada 10 Desember 2017.
Arnaz, Farouk. ‘Sidang Pembunuh Calon Pendeta, Pengacara Akan
Cari Saksi Ahli,’ Berita Satu (daring), 14 Juli 2013, <http://www.
beritasatu.com/hukum/125633-sidang-pembunuh-calon-pendeta-
pengacara-akan-cari-saksi-ahli.html>, diakses pada 25 November
2017.
Misbahul Ulum, ‘Meluruskan Makna Jihad,’ NU Online (daring),
3 November 2011, <http://www.nu.or.id/post/read/34600/
meluruskan-makna-jihad>, diakses pada 10 Januari 2018.
Sahal, Husni. ‘Deradikalisasi & Penguatan Ekonomi Jadi Tema Munas
NU 2017,’ NUJABAR (daring), 19 Juli 2017, <https://nujabar.or.id/
deradikalisasi-penguatan-ekonomi-jadi-tema-munal-nu-2017/>,
diakses 5 Desember 2017.
Solidaritas Keluarga Daeng Ali, Mujahid Mantan Preman Wafat
Dibunuh Polisi Thaghut. Ayo bantu!!, ‘Infaq Dakwah Center Posts,’
facebook.com (daring), 22 Juni 2014, <https://www.facebook.com/
Infaq.Dakwah.Center/posts/807136945972646>, diakses pada 10
Januari 2018.
86
Filantropi Berbasis Masjid untuk
Keluarga Narapidana Terorisme:
Studi Kasus di Kabupaten
Lamongan
Waskito Wibowo
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran filantropi berbasis
masjid dalam pendampingan keluarga narapidana terorisme di
Kabupaten Lamongan beserta hambatan-hambatan yang dihadapi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan di
beberapa masjid di Kabupaten Lamongan dengan subjek yang diteliti
yaitu keluarga narapidana terorisme (napiter) asal Lamongan. Hasil
penelitian ini menunjukkan kebanyakan filantropi berbasis masjid
hanya berperan sebagai santunan (charity) saja dalam melakukan
pendampingan keluarga napiter, meskipun selain itu juga tedapat
beberapa peran lainnya seperti sebagai fasilitator, sebagai pendorong
menuju kemandirian, dan sebagai mediator.
Kata Kunci: Filantropi; masjid; keluarga napiter; pemberdayaan;
Lamongan
87
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
Pendahuluan
Sejak dekade terakhir Indonesia menjadi target serangan terorisme.
Rentetan peristiwa mulai dari serangkaian Bom Malam Natal, Bom
Kedubes Filipina, Bom Bali I dan II, Bom JW Marriot dan Ritz Calton,
sampai Bom Sarinah menjadi bukti fenomena tersebut. Munculnyanya
baiat dari beberapa oknum kepada Negara Islam Iraq dan Suriah dan
eksodus mereka ke kedua negara itu semakin menguatkan asumsi
Departemen Pertahanan Amerika Serikat bahwa kondisi perkembangan
terorisme di Indonesia tergolong dalam kategori negara kritis (critical),
artinya jaringan terorisme yang ada di Indonesia mampu memilih target
dan menyusun rencananya dalam melakukan penyerangan.1
Beragam definisi terorisme sendiri banyak muncul dari para pakar dan
badan pelaksana yang fokus dalam penanganan masalah terorisme.
Kata “terror” menurut arti bahasa arab disebut dengan istilah “irhâb”.
Kamus Al-Munawwir mendefinisikan Rahiba-Ruhbatan, waruhbânan,
wa rohabban, ruhbanan sebagai khâfa “takut”. Sedangkan kata Al-Irhâb
diterjemahkan dengan intimidasi.2
Sedangkan pengertian terorisme secara terminologi di antaranya adalah
yang dikemukakan oleh Walter Reich yang dikutip oleh Whittaker,
bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang didesain dengan
cara menyebarkan ketakutan ke lapisan masyarakat dengan tujuan untuk
mendapatkan dan meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan.3 Sementara
pengertian lain yang diambil dari salah satu badan yang berwenang
1 Indonesia dijadikan the second front terrorism juga dibuktikaan dengan serentetan aksi
terorisme dari pengeboman, penusukan, intimidasi pengibaran bendera ISIS sejak tahun
2000-2017. Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat Press, 2017, h. 19-22.
Lihat Juga Farid Septian, Pelaksanaan Deradikalisasi Narapidana Terorisme di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.I Mei 2010, h.
108.
2 Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers, t.t, 2001, h. 83.
3 A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta, PT. Kompas
Media Nusantara, 2009, h. 25.
88
Waskito Wibowo
89
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
7 Any Rufaidah, dkk, Pemaknaan Istri Napi Teror terhadap Tindakan Suami, Jurnal Psikologi
Ulayat volume 4, no.1, 2017, h. 17.
8 Melemahkan Narasi Teroris di Asia Tenggara Sebuah Panduan Praktis, data tersedia di
http://www.hedayahcenter.org/Admin/Content/File-412201614495.pdf
90
Waskito Wibowo
9 Ellies Sukmawati, “Lahan Kemiskinan dan Pendampingan,” dalam Arif Subhan dan Yusro
Kilun, ed., Islam yang Berpihak Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta,
Dakwah Press bekerja sama dengan CIDA, IISEP, PIC, 2007, h. 127.
10 Syamsul Kurniawan, Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, Jurnal Khatulistiwa –
Journal of Islamic Studies, Volume 4 Nomor 2 September 2014, h. 174
11 Sidi gazalba, Mesjid pusat ibadat dan kebudayaan islam, Jakarta: Pustaka al husna 1994.
Hlm. 126-128
12 Asep Usman Ismail, “Pembangunan Kesejahteraan Sosial Berbasis Masjid (Kasus Masjid
At-Taqwa Bintaro Jaya),” dalam Arif Subhan dan Yusro Kilun, ed., Islam yang Berpihak
Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta, Dakwah Press bekerja sama dengan
CIDA, IISEP, PIC, 2007, h. 174.
91
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
13 Anis Ulfiyatin, Makna menjadi keluarga ‘teroris’ bagi keluarga tersangka terorisme Amrozi
dan Ali Ghufron di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik volume 28, no. 2, 2015, h. 72.
14 Data tersedia di http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/page/90/?kecamatan
_id=3796 . Diakses pada 13 Agustus 2017
15 Noor Huda Ismail, Temanku Teroris?Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda,
Jakarta, PT.Mizan Publika, 2010, h. 337.
92
Waskito Wibowo
Literature Review
Filantropi Berbasis Masjid
Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani yakni “Philos” yang berarti
Cinta, dan “Anthropos” yang berarti Manusia. Filantropi secara harfiah
merujuk pada pengalaman barat pada abad delapan belas, yang mana
negara dan individu mulai merasa bertanggung jawab untuk perduli
terhadap kaum yang lemah, maka filantropi berarti konseptualisasi dari
praktik memberi (given), pelayanan (service), dan asosiasi (assosiation),
secara sukarela untuk pihak yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa
cinta.16
Menurut Mike W. Martin dalam bukunya Virtuous Giving yang dikutip
oleh Amelia Fauzia, filantropi secara umum adalah semua pemberian,
baik itu benda maupun layanan yang diberikan oleh seseorang ataupun
masyarakat dengan keadaan sukarela dengan tujuan diambil manfaatnya
untuk kepentingan umum. Selanjutnya dari definisi tersebut diketahui
bahwa terdapat empat unsur yang ada dalam filantropi, yaitu; sukarela,
pribadi (non-negara), adanya pemberian dan layanan/kerja sosial, serta
kepentingan umum.17
Kini para sarjana membagi filantropi menjadi dua macam, filantropi
tradisional dan filantropi berkeadilan. Makna filantropi tradisional
didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan publik
16 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Banualim, Revitalisasi Filantropi Islam, Ciputat, Pusat
Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005, h. 3.
17 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 17.
93
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
94
Waskito Wibowo
95
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
ini sesuai dengan definisinya jika dilihat dari segi harfiah yang artinya
tempat sembahyang. Masjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya
adalah sujudan, fi’il madi-nya sajada (ia telah sujud) kemudian dirubah
menjadi isim makan (kata keterangan tempat) sehingga menjadi
masjidu, masjid.25 Kementrian Agama RI mendefinisikan masjid sebagai
sebuah bangunan tempat ibadah (shalat), yang bentuk bangunannya
dirancang khusus dengan berbagai macam atribut yang menyertainya
seperti adanya kubah dengan simbol bulan bintang, menara yang tinggi,
memiliki ruangan yang dapat menampung banyak jamaah.26
Tipologi dan klasifikasi masjid berdasarkan statusnya dapat dibedakan
menjadi tujuh : 1) Masjid Negara sebagai masjid Negara, 2) Masjid
Akbar berada di tingkat nasional, 3) Masjid Raya berada di tingkat
propinsi, 4) Masjid Agung berada di tingkat kabupaten, 5) Masjid Besar
berada di tingat kecamatan, 6) Masjid Jami’ berada di tingkat kelurahan,
dan 7) Masjid berada di tingkat RW. 27
Dari pembahasan di atas, maka filantropi berbasis masjid adalah
pemberian, baik itu benda maupun layanan yang disalurkan oleh
seseorang ataupun masyarakat lewat masjid. Di kalangan masyarakat
akar rumput, Banyak dari mereka yang lebih cenderung untuk
memberikan santunannya dalam bentuk zakat ataupun lainnya lewat
para pemuka agama. Sehingga fenomena kepanitiaan zakat dan fitrah
berbasis masjid juga menjadi tren tersendiri.28
Sebenarnya, penyaluran santunan melalui masjid telah dicontohkan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya ketika menjadikan masjid sebagai
tempat kegiatan sosial. Mereka memfokuskan pengumpulan zakat,
25 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1994,
h. 118.
26 Syahidin, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung, Alpabeta, 2004, h. 121 (31)
27 Kementerian agama RI, Standar masjid, Jakarta, direktorat jenderal bimbingan masyarakat
islam, direktorat urusan agama islam dan pembinaan syari’ah, . 2011, h. 11-19.
28 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 11.
96
Waskito Wibowo
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, pemberdayaan
mengandung dua pengertian. Pengertian pertama adalah to give power
or to authority, dan pengertian kedua adalah to give ability or to enable.
Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan,
mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Sedang dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk
memberikan kemampuan atau keberdayaan.33
Sedangkan menurut Ife yang dikutip oleh Marhawati, dia menjelaskan
batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang
29 Ahmad Bagja, Ahmad Yani, Panduan Memakmurkan dan dimakmurkan Masjid, Jakarta,
Dewan Masjid Indonesia, h. 26.
30 Pedoman manajemen masjid, FOKKUS BABINROHIS pusat, ICMI orsat cempaka putih,
yayasan kado anak muslim, 2004, h. 17.
31 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 233.
32 Tantan Hermansyah dan Helmi Rustandi, Dari Masjid untuk Masyarakat, Kasus Masjid
Al-Hidayah Parung Bogor, h. 195.
33 Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), 1996, h. 3.
97
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
98
Waskito Wibowo
39 Dalmeri, Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah Multikultural,
Walisongo, Volume 22, Nomor 2, November 2014, h. 329.
40 Tantan Hermansyah dan Helmi Rustandi, dari Masjid untuk Masyarakat, Kasus Masjid Al
Hidayah Parung Bogor, h. 204.
41 Countering Violent Extremism and Radicalisation that Lead to Terrorism: Ideas,
Recommendations, and Good Practices from the OSCE Region, data tersedia di http://www.
osce.org/chairmanship/346841?download=true
99
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
100
Waskito Wibowo
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Diharapkan
penelitian ini dapat menjelaskan fenomena terkait dengan masalah yang
diteliti. Juga untuk memperoleh data dan informasi yang mendalam
mengenai kegiatan filantropi yang ada di masjid-masjid di Kabupaten
Lamongan dalam kaitannya dengan upaya pendampingan terhadap
keluarga napiter. Jumlah informan adalah 26 orang masyarakat yang
tersebar di 3 Desa dari 3 Kecamatan, Kecamatan Solokuro (Desa
Tenggulun), Kecamatan Paciran (Desa Blimbing), dan Kecamatan
Karanggeneng (Desa Kalanganyar). Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan November 2017 sampai Januari 2018.
Dalam rangka membantu mekanisme kerja peneliti maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara,
observasi, dan studi pustaka. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada 26 informan.
Observasi dilakukan untuk mengamati program filantropi masjid
dalam pendampingan masyarakat dan penerapan konsep counter
violence extremism (CVE). Sedangkan data sekunder berasal dari studi
kepustakaan yang bersumber dari buku-buku, artikel, laporan statistik
dari lembaga pemasyarakatan dan tulisan ilmiah lainnya. Sehingga
sumber data dalam penelitian ada dua macam.
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan
tiga aspek kegiatan, antara lain reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai,
44 Ridwan Al-Makassary dan Ahmad Gaus AF, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid Studi
Kasus Jakarta dan Solo, Jakarta, CSRC UIN, 2010, h. 45.
101
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
Hasil Penelitian
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
102
Waskito Wibowo
103
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
104
Waskito Wibowo
49 Secara umum salafisme diartikan sebagai gerakan yang menyeru umat Islam untuk
kembali kepada ajaran Islam murni sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad SAW.
dan al-salaf al-salih (tiga generasi Muslim pertama). Sedangkan Jan Hjarpe, mengartikan
fundamentalisme sebagai keyakinan kepada al-Qur`an dan Sunnah sebagai dua sumber
otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk
menciptakan masyarakat yang baru.
50 Data dari Sekretaris Desa Kalanganyar
51 benih-benih islam radikal di masjid studi kasus Jakarta dan solo, Ridwan Al-Makassary
dan Ahmad Gaus AF (Ed.), Jakarta, CSRC UIN, 2010, hlm. 49-50
105
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
106
Waskito Wibowo
107
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
108
Waskito Wibowo
109
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
Ali Imron merupakan saudara dari Amrozi dan Ali Ghufron, terpidana
mati kasus Bom Bali. Dia lahir dan tumbuh di Tenggulun bersama-sama
dengan saudara-saudaranya. Kemudian ikut perang di Afghanistan
setelah sebelumnya nyantri di Pondok Pesantren Karangasem Paciran.54
Dia dan keluarganya termasuk sekelompok orang Muhammadiyah yang
tinggal di Desa Tenggulun, dimana warganya lebih banyak orang-orang
Nahdliyyin. Berbeda halnya dengan Mubarok, dia merupakan ustadz
dari luar Tenggulun yang mengajar dan bermukim di Pondok Pesantren
Al-Islam. Setelah penangkapan dirinya, kini keluarganya sudah tidak
bermukim di Tenggulun dan kembali ke daerah asalnya.55
Kasus Bom Bali ketika itu sangat memantik amarah warga Nahdliyyin.
Selain karena dianggap telah mencemarkan nama Tenggulun, pada kasus
tersebut juga tidak ada pelaku yang berasal dari mereka. Bahkan sampai
ada seruan untuk mengusir dari desa. Hingga kini keluarga napiter
dan mantan napiter masih bertahan di desa Tenggulun selain karena
keberadaan Pondok Pesantren Al-Islam yang di kelola oleh mereka,
juga dukungan dari BNPT yang memberikan tugas dan tanggungjawab
untuk merubah mindset orang-orang yang masih memiliki paham
radikal.
Di tempat lain, tepatnya di Desa Blimbing Kecamatan Paciran, salah
seorang warga masih tercatat menjalani masa hukuman atas kasus
terorisme yang dilakukannya. Yakni narapidana bernama Mochammad
Ramuji yang terkadang dipanggil Kapten atau Botak. Dari penuturan
salah satu keluarganya56 diketahui bahwa Ramuji Lahir di Papua,
kemudian ketika menginjak balita orangtuanya pindah ke Desa
Blimbing. Ramuji menjalani masa anak-anak sampai dewasanya di
Desa Blimbing. Seperti halnya kakaknya, Ramuji hanya mengenyam
54 Hasil Wawancara dengan saudara ipar Ali Imron berinisial MM, pada 31 Januari 2018
55 Hasil wawancara dengan warga Tenggulun berinisial F pada 13 Januari 2018
56 Hasil wawancara kepada Muhammad Soleh, kakak Ramuji, pada 31 Januari 2018
110
Waskito Wibowo
111
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
112
Waskito Wibowo
b. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Kartasasmita, konsep pemberdayaan menekankan masyarakat
untuk menjadi subjek dalam melakukan pembangunan, dibandingkan
hanya menjadi objek semata. Dengan begitu akan menjadikan proses
pembangunan menjadi lebih hidup dan berkelanjutan karena dilakukan
secara sadar oleh masyarakat sendiri.
Dalam kehidupan, baik masyarakat pada umumnya maupun kelompok
radikal sama-sama memahami bahwa hidup secara berdampingan
merupakan suatu keniscayaan. Khususnya masyarakat umum masih
menjunjung tinggi nilai-nilai bermasyarakat. Seperti yang terjadi pada
jama’ah Masjid As-Syukur Desa Blimbing, mereka tetap menghargai
orang-orang dari kelompok radikal dengan tetap bertegur sapa ketika
bertemu. Selain itu jika ada acara pernikahan, baik kelompok radikal
maupun masyarakat umum, masih saling mengundang di antara
mereka. Meskipun jika dalam hal yang bersifat keagamaan masyarakat
masih sangat sensitif. Hal ini sedikit banyak karena dipengaruhi sikap
kelompok radikal yang tampak ingin menguasai masjid dengan cara
menjadi imam.
59 Disampaikan ketika sosialisasi hasil penelitian tentang “Arah dan Corak Keberagaman
Kaum Muda Muslim Indonesia” pada tanggal 23 Februari 2018
113
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
114
Waskito Wibowo
115
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
116
Waskito Wibowo
dilarang oleh Allah. Di satu sisi mengajak untuk kebaikan, satu sisi
kita harus menjauhkan mereka dari hal yang dilarang oleh Allah.
Dan ada pedomannya kita, jadi ngomongnya tidak ngelantur. Jadi
lewat pengkajian kitab tersebut mereka pun akan tahu seperti ini
toh.”65
117
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
118
Waskito Wibowo
dari anggota kelompoknya, sehingga hal ini menjadi tidak sah untuk
diterima. Hal ini secara tidak langsung akan berimbas kepada keluarga
napiter karena dia termasuk bagian dari komunitas tersebut. Keluarga
yang membutuhkan tersebut merasa canggung untuk menerima
bantuan dari pihak lain di luar kelompoknya.
Empowering. Potensi dan daya masyarakat menjadi titik fokus
dalam fase ini sehingga langkah-langkah nyata dibutuhkan dalam
pengaplikasikannya. Masjid dalam melakukan pendampingan kepada
keluarga napiter lewat dana filantropi sangat bergantung pada kreativitas
pengelolanya. Hal ini yang jarang ditemui dari masjid-masjid di
Kabupaten Lamongan. Dari sekian masjid yang memberikan bantuan
filantropi, rata-rata semuanya berbentuk charity. Tentunya bantuan ini
tidak bersifat berkelanjutan dan tidak mengatasi akar masalah. Bantuan
yang berupa santunan lebih cepat habis selaras dengan kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh keluarga tersebut.
Protecting. Inti dari tahap ini adalah pencegahan pihak lemah
menjadi bertambah lemah melalui keberpihakan dan perlindungan.
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa keluarga napiter terbuka
kepada masyarakat umum, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat
keterbukaan mereka dengan masyarakat umum pastinya berbeda. Rasa
khawatir, takut, cemas pasti tetap dirasakan oleh keluarga napiter.
Ini mengakibatkan mereka tetap kembali ke komunitas yang dia
merasa sama dan nyaman di dalamnya atau bahkan baru bergabung
di dalamnya. Ketika keluarga tersebut ternyata malah bergabung dan
berkumpul bersama kelompok radikal maka proses deradikalisasi akan
menjadi lebih berat.
Penutup
Beberapa temuan dalam penelitian yang membahas peran filantropi
berbasis masjid dalam pendampingan keluarga Narapidana Terorisme
119
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
120
Waskito Wibowo
Daftar Pustaka
..., Pedoman manajemen masjid, FOKKUS BABINROHIS pusat,
ICMI orsat cempaka putih, yayasan kado anak muslim, 2004
Al-Makassary, Ridwan dan Ahmad Gaus AF, Benih-Benih Islam
Radikal di Masjid Studi Kasus Jakarta dan Solo, Jakarta, CSRC
UIN, 2010
Al Makassary, Ridwan, Amelia Fauzia, Irfan Abu Bakar (ed), Masjid
dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus di Poso, Ambon,
Ternate dan Jayapura, Jakarta, CSRC UIN Jakarta, 2011,
Azra, azyumardi, Masjid-masjid tua di jakarta, Jakarta, cipta loka caraka,
2003
Bagja, Ahmad, Ahmad Yani, Panduan Memakmurkan dan dimakmurkan
Masjid, Jakarta, Dewan Masjid Indonesia,
Bakar, Irfan Abu dan Chaider S. Banualim, Revitalisasi Filantropi
Islam, Ciputat, Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2005
121
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
122
Waskito Wibowo
123
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)
124
Filantropi Islam untuk Perdamaian:
Menakar Inklusivitas LAZISNU
dan LAZISMU Cabang Daerah
Istimewa Yogyakarta
Naomi Resti Anditya
Abstrak
Penelitian ini berupaya menggali sejauh apa filantropi Islam dapat
bersikap inklusif dan mendorong perdamaian positif dengan melakukan
wawancara dan pengamatan kepada dua lembaga filantropi Islam, yaitu
LAZISNU dan LAZISMU Daerah Istimewa Yogyakarta. Inkluvitas
dalam penelitian ini mengikuti konsep modal sosial bridging dan
bonding yang dikemukakan oleh Robert Putnam. Filantropi yang
dapat melakukan upaya bridging berpotensi menjadi agen perdamaian.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa kedua lembaga filantropi Islam
tersebut cukup inklusif dalam ranah diskursif, tetapi belum sepenuhnya
inklusif dalam praktik. Upaya untuk mewujudkan inklusivitas masih
sebatas pemberian bantuan bagi umat Islam terlepas dari afiliasinya
dengan organisasi apapun dan pemberian bantuan secara massal.
Kata kunci: filantropi Islam, LAZISNU, LAZISMU, bridging social
capital, inclusiveness, peacebuilding
125
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
Pendahuluan
Perdamaian adalah cita-cita yang tertera dalam seluruh agama. Agama
bukan hanya kendaraan spiritual, tetapi juga kendaraan sosial yang
membawa visi sosial, salah satunya perdamaian. Dalam definisi Johan
Galtung, perdamaian bukan hanya suatu keadaan tanpa konflik dan
kekerasan, tetapi juga suatu keadaan ketika manusia dapat terbebas
dari hambatan-hambatan yang membelenggu potensi dan kemampuan
terbaiknya. Hambatan-hambatan tersebut termanifestasi dalam rasisme,
seksisme, diskriminasi, dan kemiskinan.1 Perdamaian inilah yang disebut
oleh Galtung sebagai perdamaian positif. Agama sendiri memiliki wajah
yang ambivalen. Di satu sisi, ia memiliki misi untuk menghadirkan
perdamaian positif atas perannya sebagai pembawa pesan damai, bukan
hanya antara manusia dengan Tuhan (relasi vertikal), tetapi juga antara
manusia dan manusia lainnya (relasi horisontal). Namun di sisi lain,
agama dapat pula menjadi kendaraan bagi kekerasan. Hal ini berlaku
pada seluruh agama, tak terkecuali Islam.
Sejak peristiwa 9/11, Islam mendapat sorotan dari Dunia Barat sebagai
agama perang. Peristiwa-peristiwa terorisme selalu menjadi bahan
untuk menyalahkan agama Islam sebagai sumber dan inspirasi bagi
aksi tersebut. Dalam kenyataannya, aksi terorisme dan perang bukanlah
aksi yang hanya dilakukan oleh beberapa kelompok Islam, tetapi semua
agama. Namun pandangan bias ini melihat bahwa aksi terorisme selalu
identik dengan Islam. Di tengah sentimen Barat yang menguat terhadap
Islam, dunia Islam merespon pandangan tersebut dengan berbagai
upaya. Pertama, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai
dan dapat berjalan bersama-sama dengan modernitas dan kemanusiaan
yang universal. Kedua, semakin meneguhkan kehadiran Islam sebagai
entitas berbeda dari dunia Barat yang sekuler (atau memiliki tradisi
1 Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” International Peace Research,
1969, hlm. 167-191
126
Naomi Resti Anditya
2 Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah, and Politics in
Indonesia (daring), 2012.
127
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
3 Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, Islam dan urusan Kemanusiaan: Konflik,
Perdamaian, dan Filantropi (Jakarta: ICRC, 2015)
4 Ibid
128
Naomi Resti Anditya
5 Ibid
129
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
6 Nahdlatul Ulama, ‘Kiai Said: Kokohkan Islam Moderat untuk Perdamaian’ (daring), 2017,
https://www.nu.or.id/post/read/83756/kiai-said-kokohkan-islam-moderat-untuk-perdamaian,
diakses 30 Januari 2018
7 Muhammadiyah, ‘PP Muhammadiyah Kembali Lakukan Kerjasama dengan
Community of Sant’Egidio’ (daring), 2017, http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-
12542-detail-pp-muhammadiyah-kembali-lakukan-kerjasama-dengan-community-of-
sant%E2%80%99egidio.html, diakses 30 Januari 2018
130
Naomi Resti Anditya
131
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
9 Amelia Fauzia, Faith and The State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2013)
10 Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, Islam dan urusan Kemanusiaan: Konflik,
Perdamaian, dan Filantropi (Jakarta: ICRC, 2015)
132
Naomi Resti Anditya
11 Greg Barton, ‘The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive
Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia’, Islam
and Christian–Muslim Relations, Vol. 25, No. 3, 2014, hlm. 287–301
12 Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan
Loyalitas Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Daulat Press, 2017) hlm. 158-189
13 Sidonia Gabriel dan Laurent Goestchel, ‘Motivation of philanthropists in peacebuilding:
promoting peace as personal satisfaction?’, Journal of Peacebuilding & Development, Vol.
11, No. 2, hlm. 51-65
133
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
134
Naomi Resti Anditya
Landasan Konseptual
Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep yang akrab dalam
studi perdamaian. Filantropi Islam, sebagai misi sosial dari agama, akan
diperlakukan sebagai agen dari perdamaian. Konsep perdamaian Johan
Galtung merupakan salah satu konsep yang sangat berperan dalam
penelitian. Peneliti ulung dalam bidang perdamaian, Johan Galtung,
memperkenalkan istilah negative peace dan positive peace sejak tahun
1969. Sebelum Galtung, orang melihat perdamaian hanya sebagai situasi
ketiadaan perang atau koersi dari negara dalam bentuk yang militeristik
yang disebut Galtung ‘perdamaian negatif ’. Galtung memperluas
konsep perdamaian dengan menyebutkan perdamaian positif, yaitu
perdamaian yang berdasar pada ‘integrasi umat manusia’.15 Istilah
‘integrasi manusia’ selanjutnya disebut sebagai ketiadaan ‘kekerasan
struktural’ sebagai respon atas ‘kekerasan langsung’ atau ’kekerasan fisik’
yang biasa menjadi referensi atas perang.
Integrasi umat manusia dapat diwujudkan apabila manusia dapat
mencapai potensinya secara penuh. Namun manusia tidak akan
mencapainya apabila ada hambatan-hambatan yang menghalanginya
mencapai kemampuan tersebut. Galtung menyebut hambatan ini sebagai
kekerasan struktural. Kekerasan struktual ini dapat dijabarkan oleh
15 Johan Galtung, ‘Violence, Peace, and Peace Research,’ International Peace Research, 1969,
hlm. 167-191
135
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
136
Naomi Resti Anditya
18 Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community
(New York: Touchstone Book, 2000)
137
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
138
Naomi Resti Anditya
20 Ashutosh Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India
(Connecticut: Yale University Press, 2003)
139
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
Akan tetapi, modal sosial bridging merupakan salah satu modal sosial
yang penting apabila demokrasi dan perdamaian hendak diperkuat.
140
Naomi Resti Anditya
23 Nahdlatul Ulama, ‘NU-Care Presentasikan Filantropi Islam Nusantara pada Kader PMII’
(daring), http://www.nu.or.id/post/read/77611/nu-care-presentasikan-filantropi-islam-
nusantara-pada-kader-pmii-, diakses 30 Januari 2018
24 Amelia Fauzia, Faith and The State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2013)
141
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
25 Bapak Yazid Afandi adalah Ketua LAZISNU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2017 di kediaman Bapak Yazid Afandi.
Beliau secara sukarela membantu mengelola LAZISNU DIY disamping pekerjaannya
sebagai pengajar di UIN Sunan Kalijaga
26 Saudara Mamba’ul adalah Sekretaris LAZISNU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Direktur Operasional. Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Januari 2018 di kediaman
Saudara Mamba’ul. Beliau secara sukarela membantu mengelola LAZISNU DIY
disamping pekerjaannya di agen percetakan.
142
Naomi Resti Anditya
143
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
144
Naomi Resti Anditya
27 Jonathan Bentall, ‘Have Islamic aid agencies a privileged relationship in majority Muslim
areas? The case of post-tsunami reconstruction in Aceh’, Journal of Humanitarian
Assistance, 2008.
145
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
146
Naomi Resti Anditya
147
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
148
Naomi Resti Anditya
29 Nahdlatul Ulama, ‘Wabah Campak dan Gizi Buruk, NU Segera Berangkatkan Relawan
ke Asmat’ (daring), 2018, https://www.nu.or.id/post/read/85335/wabah-campak-dan-gizi-
buruk-nu-segera-berangkatkan-relawan-ke-asmat, diakses 31 Januari 2018
30 Muslimoderat, ‘Jihad, Kemanusiaan NU untuk Asmat Papua Diberangkatkan Besok’
(daring), 2018, < http://www.muslimoderat.net/2018/01/jihad-tim-kemanusiaan-nu-untuk-
asmat.html>, diakses 31 Januari 2018
31 Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006)
149
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
150
Naomi Resti Anditya
32 Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah, and Politics in
Indonesia (daring), 2012.
33 Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, 2006
34 Fauzia, 2013
151
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
35 Bapak Cahyono adalah Ketua LAZISMU Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain
mengelola LAZISMU DIY, beliau juga bekerja sebagai kepala sekolah. Wawancara
dilakukan pada 3 Januari 2018 di kantor LAZISMU DIY.
152
Naomi Resti Anditya
36 Data ini merupakan rekapitulasi dari program-program LAZISMU mulai Januari hingga
Oktober. Bulan November dan Desember tidak dimasukkan karena belum direkap oleh
pihak LAZISMU.
153
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
154
Naomi Resti Anditya
Apa yang dijelaskan oleh Saudari Neneng pun sedikit berbeda dengan
apa yang dipaparkan oleh Bapak Cahyono yang mengatakan bahwa
LAZISMU dalam Program Pendayagunaan memiliki prinsip: 1)
menyejahterakan, 2) untuk semua orang yang membutuhkan, 3) tidak
membedakan suku, agama dan ras, dan 4) ikhlas. Cerita mengenai
37 Saudari Neneng adalah staf eksekutif LAZISMU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
yang memegang administrasi keuangan. Saudari Neneng merupakan pekerja profesional di
kantor LAZISMU. Wawancara dilakukan pada tanggal 1 Maret 2018 di Kantor LAZISMU
DIY.
155
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
156
Naomi Resti Anditya
157
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
39 Jateng Tribunnews, ‘Lazismu Berhasil Himpun Dana Rp 20 Miliar bagi Warga Rohingya’
(daring), 2017, http://jateng.tribunnews.com/2017/11/04/lazismu-berhasil-himpun-dana-rp-
20-miliar-bagi-warga-rohingya, diakses 30 Januari 2018
40 Diah Kusumaningrum, ‘Interdependence versus Truth and Justice: Lessons from
Reconciliation Processes in Maluku’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 20, No. 1,
2016, hlm. 34-49
158
Naomi Resti Anditya
159
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
41 Hal ini masih menjadi kemungkinan, karena baik perwakilan LAZISNU maupun
LAZISMU tidak benar-benar mengecek latar belakang penerima.
160
Naomi Resti Anditya
161
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
Penutup
Penelitian ini telah berusaha melihat sejauh apa filantropi Islam dapat
bersikap inklusif dan mendorong perdamaian positif dalam definisi
Galtung. Filantropi telah menjadi praktik yang dalam sejarahnya selalu
berusaha menciptakan perbaikan keadaan dalam masyarakat. Meskipun
demikian, filantropi berbasis keagamaan, terutama Islam, seringkali
dianggap eksklusif karena memiliki kultur yang berbeda dari filantropi
a la Barat. Di tengah-tengah sentimen agama yang menguat, menarik
untuk melihat apakah filantropi Islam di Indonesia dapat menjadi agen
perdamaian positif, salah satu melalui upaya menjadikan lembaganya
inklusif. Dua lembaga filantropi Islam dipilih sebagai ‘sampel’ dari
filantropi Islam yang diklaim moderat, yaitu Lembaga Amil Zakat Infak
Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dan Lembaga Amil Zakat
Infak Sedekah Muhammadiyah. Kedua lembaga merupakan filantropi
yang berada di dalam naungan organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Baik NU maupun
Muhammadiyah mendukung demokrasi di Indonesia, mempertahankan
outlook Islam yang moderat, dan menerima pluralisme. Filantropi kedua
lembaga pun mewarisi nilai-nilai tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan definisi perdamaian positif Galtung dan
konsep modal sosial (social capital) bridging dan bonding oleh Putnam,
penelitian ini berusaha menakar inklusivitas kedua lembaga dari tataran
diskursif dan praktis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan metode in-depth interview dengan narasumber yang sangat
terbatas, yaitu dua narasumber dari masing-masing LAZIS. Meskipun
demikian, hasil yang ditemukan pada LAZISNU dan LAZISMU DIY
tidak dapat berlaku secara umum bagi filantropi Islam di Indonesia.
LAZISNU dan LAZISMU merupakan pemain baru dalam dunia
filantropi Islam di Indonesia. Keduanya baru muncul di tahun 2000an.
Meskipun demikian, filantropi yang dilakukan oleh kedua organisasi
162
Naomi Resti Anditya
163
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
Daftar Pustaka
164
Naomi Resti Anditya
Sumber Daring
Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah,
and Politics in Indonesia (daring), 2012.
Jateng Tribunnews, ‘Lazismu Berhasil Himpun Dana Rp 20 Miliar
bagi Warga Rohingya’ (daring), 2017, http://jateng.tribunnews.
com/2017/11/04/lazismu-berhasil-himpun-dana-rp-20-miliar-
bagi-warga-rohingya, diakses 30 Januari 2018
LAZISMU, ‘Terang untuk Semua di Indonesia Timur’ (daring), 2017,
https://www.lazismu.org/terang-untuk-semua-di-indonesia-
timur/, diakses 30 Januari 2018
Muhammadiyah, ‘PP Muhammadiyah Kembali Lakukan Kerjasama
dengan Community of Sant’Egidio’ (daring), 2017, http://m.
muhammadiyah.or.id/id/news-12542-detail-pp-muhammadiyah-
kembali-lakukan-kerjasama-dengan-community-of-
sant%E2%80%99egidio.html, diakses 30 Januari 2018
165
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta
166
Filantropi Islam untuk Pendidikan
Berkeadilan, Quo Vadis ?
Studi Perbandingan Kasus pada
LazisMu dan Dompet Dhuafa
Nurul Iffakhatul Sholekhah
Abstrak
Pendidikan berkeadilan dipercaya sebagai kunci mengatasi kesenjangan
sosial di Indonesia. Lembaga Amil Zakat (LAZ) turut berperan
dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial melalui progam
pendidikan berkeadilan. Oleh karena itu, bagaimana LAZ ikut andil
dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan di Indonesia menjadi
penting untuk diketahui. Analisis penelitian ini menggunakan
studi perbandingan kasus pada program pendidikan yang dimiliki
oleh Dompet Dhuafa dan LazisMu (Lazis Muhammadiyah). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa program pendidikan pada Dompet
Dhuafa dan LazisMu masih didominasi oleh program karitatif. Ini
terjadi karena kuatnya dorongan mewujudkan pendidikan Islam
serta masih minimnya program penddikan pada kedua LAZ yang
mendukung terwujudnya sistem pendidikan berkeadilan. Hal tersebut
mengindikasikan peran Dompet Dhuafa dan LazisMu masih belum
optimal dalam mengatasi kesenjangan sistemik di dunia pendidikan di
Indonesia.
Kata Kunci: Dompet Dhuafa, LazisMu, pendidikan berkeadilan, studi
perbandingan antar kasus
167
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan satu dari
sedikit negara yang terus mampu mempertahankan pertumbuhan
ekonomi yang positif setiap tahunnya. Akan tetapi, pertumbuhun
ekonomi tersebut beriringan dengan peningkatan kesenjangan
sosial, yang mana 10% orang terkaya di Indonesia menguasai
hampir lebih dari 77% kekayaan negara dan mengakibatkan 205
juta rakyatnya terperangkap dalam jerat kemiskinan. Sehingga
tidak mengherankan apabila Indonesia dinobatkan sebagai negara
dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi ketiga di dunia.1
1 World Bank, Indonesia's rising divide, Washington, DC: World Bank ,2016,h. 7-14
2 ESCAP,Time for Equality: The Role of Social Protection in Reducing Inequalities in Asia
and the Pacific, Bangkok:United Nations Publication,2015,h.24-25
168
Nurul Iffakhatul Sholekhah
3 ESCAP, Ibid.,h.26
4 Lihat Guillermo Cruces, et al, “Are There Ethnic Inequality Traps in Education?”,Poverty
Monitoring,Measurement and Analysis (pmma) Working Paper 2012-05,
Nairobi:Partnership for Economic Policy
5 Lihat Wicaksono, E., H. Amir, and A. Nugroho, “The Sources of Income Inequality
in Indonesia: A Regression Based Inequality Decomposition.”,ADBI Working Paper
667,Tokyo: Asian Development Bank Institute(2017)
169
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
6 Lihat Eliza Brewis, “Inclusive development in Indonesian higher education reform post-
1997” (Paper presented at ASEASUK Conference, UK, 2016), h. 19
7 Lihat D.Susanti, “Privatisation and Marketisation of Higher Education in Indonesia: the
challenge for equal access and academic values”. Higher Education vol. 61 no. 2, 2011, hal.
210
8 Indonesia Ministry of National Development Planning and the United Nations Children’s
Fund, “SDG Baseline Report on Children in Indonesia”, Jakarta: BAPPENAS and UNICEF
(2017), h. 67
170
Nurul Iffakhatul Sholekhah
9 Ibid., hal. 46
10 World Bank, Loc.Cit
11 Zainulbhar dan Francine, Laporan Singkat : Peran Zakat dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: UNDP dan BAPPENAS,2017.
171
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
12 Hilman Latief, “Filantropi Dan Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. XXVIII No. 1 2013/1434, pp. 123-139
172
Nurul Iffakhatul Sholekhah
13 Teori yang menjelaskan bagaimana suatu aktivitas ataupun tindakan dipahami untuk
menghasilkan serangkaian hasil yang berkontribusi untuk meraih hasil akhir yang
diinginkan (Goodrick,2014)
173
Gambar 2. Memaksimalkan peran LAZ dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan
Filantropi Islam untuk
(WelnerPendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
dan Ferley, 2010)
7
short-term change Medium-term change Long-term change
input output advokasi kebijakan pada
program/kebijakan yang
mendukung penddikan
berkeadilan maupun
dukungan pada
penghapusan kebijakan- membangun
top-down pendekatan legal kebijakan yang pengaruh dalam
advokasi menyebabkan kesenjangan penetuan kebijakn
pendidikan melaului pendidikan sesuai
lembaga pemerintahan dengan program/
kebijakan yang
mendukung organisasi- didukung oleh LAZ
organisasi yang memelakukan
asumsi: keberhasilan untuk advokasi kebijakan pada
pendidikan berkeadilan
mewujudka pendidikan beberkeadilan
terletak pada pemfokusan program membangkitkan kesadaran
dorongan dan dukungan
dan pembiayaan LAZ pada dan kepedulian
dari masyarakat luas akan
permasalahan pendidikan anak-anak Pengembangan masyarakat luas akan
penerapan kebijakan dan
keterlibatan warga permasalahan pada
tertinggal dan tidak mampu dan program pendidikan
negra pendidikan melauli media
berkeadilan sebgaimana
hanya jika dilakukan dengan masa, maupun media
yang diusung oleh LAZ
menjawab permasalahan sitemik lainnya perubahan arah
kesenjangan pendidikan kebijakan pendidikan
membangun kerjasama yang berkeadilan dan
dengan organisasi /lembaga penghilangan
yang mendukung kebijakan yang
masyarakat marginal mendapatkan masukkan menyebbakan
melibatkan dan khsunya yang mendukung dan dukungan langsung kesenjangan dalam
mendukung organisasi dalam keadilan dalam dari komunitas pendidikan
komunitas pendidikan masyarakat rentan dan
grassroot masyarakat miskin dan tertingga atas program
advokasi tertinggal melakukan komunikasi pendidikan yang diusung
,menjalin hubungan langsung, LAZ
dan melibatkan masyarakat
marginal dalam program
pendidikan
analisa kebijakan
Menciptakan/membangun menghasilkan
pengembangan bidang/departemen/program penelitian yang
penelitiian pendidikan dalam laz yang berfokus pada menjawab
penelitian dalam pendidikan permasalahnkesenjang
di Indonesia an pendidikan
Asumsi: kunci dari mewujudkun pendidikan
berkeadilan adalah kontinuitas dari program mendukung lembaga-
karitatif untuk anak-anak yang tertinggal dan lembaga yang bergerak
tidak mampu dan investasi pada program dalam peneltian pendidkan
advokasi,pemberdayaaan masyarakat, dan
dukungan terhadapa organisasi pendidikan pada
menghasilkan program
masyrakat tidak mampu
menciptakan program-program inovasi pendidikan menjawab dan
pendampingan pendidikan, e.g. berdasarkan pada penelitian memberikan solusi
inovasi/ kepakaran pelatihan guru, manajemen mengenai solusi empirik dari
sekolah yang efektif, permasalahan siswa rentan permasalahan siswa
pendampingan belajar siswa dan tertinggal dapat rentan dan tertinggal
diterapakan
bantuan langsung
menjawab kerugian yang
bantuan pembiayaan disesbbakan oleh ketidakadilan
penerima, meskipun
sekolah, beasiswa, sistem pendidikan , akan tetapi
bantuan pembiayaan terbatas jumlahnya,
pembangunan sekolah tidak menyelesaikan masalah
langsung merasakan manfaat
maupun institusi pendidikan dari kesenjangan pendidikan
langsung
6
Gambar 2. Memaksimalkan peran LAZ dalam mewujudkan
pendidikan berkeadilan (Welner dan Ferley, 2010)
Kedua, Program-program pendidikan pada lembga filantropi merupakan
program inovasi pendidikan yang menjawab permasalahan pendidikan
yang dihadapai oleh siswa dari keluarga miskin dan tidak mampu, dan
bukan sebatas menjawab permasalahan pendidikan pada umumnya.
Apabila program pendidikan berfokus sebatas pada pengembangan
sekolah secara umum, hal ini akan meninggalkan mereka yang tertinggal
semakin tertinggal di belakang. Sebaliknya, apabila suatu program
174
Nurul Iffakhatul Sholekhah
175
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
Metodologi Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian empiris mengenai peran lembaga Amil Zakat (LAZ),
khususnya pada program pendidikan yang dimiliki oleh Dompet
Dhuafa dan LazisMu. Peran keduanya dalam mewujudkan pendidikan
berkeadilan masih sangat terbatas. Meskipun demikian, dengan
176
Nurul Iffakhatul Sholekhah
177
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
Pengumpulan Data
Kami memulai penelitian ini dengan mengumpulkan data dengan
mereview dokumen-dokumen yang berkenaan dengan program
pendidikan pada LazisMu dan Dompet Dhuafa, baik dalam Katalog
program yang dikeluarkan oleh lembaga , maupun pada official website
LazisMu dan Dompet Dhuafa. Kemudian narasi dari kedua manajer
program dari LazisMu dan Dompet Dhuafa dikumpulkan melalui ‘in-
depth interview’. Sebelum melakukan interview dengan kedua majer
program LAZ tersebut, peneliti telah merefleksikan dirinya dalam
mempelajari program -program pendidikan yang terdapat pada masing-
masing LAZ.
18 Dalam theory-based sampling, kasus dipih berdasarkan “pertanyaan konseptual, dan bukan
berfoukus pada ‘representativeness’( bagaimana suatu kasus mewakili kasus yang lain)…”
(Miles & Huberman, 1994, hal.29).
178
Nurul Iffakhatul Sholekhah
Analisa Data
Fokus utama dalam meneliti program pendidikan pada LAZ ini terletak
pada jenis-jenis program pendidikan yang dimiliki oleh LAZ serta
maksud dan tujuan penciptaan program pendidikan, Fokus program
pendidikan yang dijalankan (apakah karitatif atau hingga program
advokasi), serta sasaran program (ditujukan untuk mengembang
pendidikan pada umumnya ataukah targeted universalism). Dengan
menggunakan framework yang disebutkan di atas mengenai tiga
komponen fundamental dalam memaksimalkan program pendidikan
LAZ untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan.19 Penelitian ini
menunjukkan beberapa penemuan awal dari perbandingan antar
program pendidikan pada LazisMu dan Dompet Dhuafa. Disamping
itu, opini dan penjelasan dari manajer program LazisMu dan Dompet
Dhuafa digunakan untuk memeperkaya pemahaman pada review
dokumen dan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
penciptaan program pendidikan pada masing-masing LAZ.
179
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
180
Nurul Iffakhatul Sholekhah
181
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
182
Nurul Iffakhatul Sholekhah
20 Mehta, J., & Teles, S. “Jurisdictional politics: A new federal role in education”,in F. M.
Hess & A. P. Kelly (Eds.), Carrots, sticks, and the bully pulpit: Lessons from a half-century
of federal efforts to improve America’s schools, Cambridge, MA: Harvard Education
Press,2012,h.199-201.
183
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
184
Nurul Iffakhatul Sholekhah
22 Ibid.,
23 Ibid.,
185
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
“[…]oh sekolah itu jelek,bintang satu misalkan, nah kita punya target
satu tahun sekolah ini harus bisa bintang lima misalkan, selama satu
tahun, setelah itu sekolah tidak didampingi tapi tetap kita monitor,
dan mereka berkewajiban untuk memberikan report dari apa yang
sudah kita berikan, metode atau tools yang telah kita berikan untuk
mengukur sekolah mereka” (Februari,2018)
186
Nurul Iffakhatul Sholekhah
187
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
188
Nurul Iffakhatul Sholekhah
189
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
190
Nurul Iffakhatul Sholekhah
28 Kevin Welner dan Amy Farley, “A Philanthropy at Its Best Report , Confronting Systemic
Inequity In Education :High Impact Strategies for Philanthropy.”
191
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
192
Nurul Iffakhatul Sholekhah
193
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
194
Nurul Iffakhatul Sholekhah
195
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
Misi
1. Menyelenggrakan model pendidikan berkualitas bagi masyarakat
marginal
2. Melahirkan pemimpin masyarakat
3. Mewujudkan tata kelola organisasi yang berdaya saing global30
196
Nurul Iffakhatul Sholekhah
Hal tersebut kemudian sejalan dengan dengan salah satu misi Dompet
Dhuafa Pendidikan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya
yakni “melahirkan pemimpin masyarakat” yang sekaligus juga
mengusung misi Dompet Dhuafa untuk melahirkan kader pemimpin
berkarakter dan berkompetensi global.
Dalam penjelasan mengenai tujuan program Beastudi Indonesia
diatas secara jelas menerangkan bahwa DD dalam program Perguruan
197
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
198
Nurul Iffakhatul Sholekhah
199
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
Hal ini juga dapat terlihat pada program SLI dan SGI, dimana kedua
program tersebut ini memberikan pendampingan maupun pelatihan
34 Dompet Dhuafa.,Ibid
35 Dompet Dhuafa.,Ibid
200
Nurul Iffakhatul Sholekhah
201
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
36 Kevin Welner dan Amy Farley, A Philanthropy at Its Best Report , Confronting Systemic
Inequity In Education :High Impact Strategies for Philanthropy.
202
Nurul Iffakhatul Sholekhah
203
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
204
Nurul Iffakhatul Sholekhah
dari keluarga miskin dan tidak mampu yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan oleh Dompet Dhuafa. Demikian dengan program-
program pendidikan pada LazisMu yang diciptakan untuk sejalan
dengan pergerakan organisasi masyarakat Muhammadiyah maupun
organisasi pendidikan milik ormas Muhammadiyah. Tujuan penciptaan
program yang dilandaskan pada alasan tersebut tentunya belum dapat
menjawab polemik permasalahan kesenjangan pendidikan.
Meskipun, Latief dan Amirrachman(2016) telah menjelaskan bahwa
da’wah untuk menyebarkan nilai-nilai Islam merupakan unsur penting
dan tak terpisahkan dalam pelaksanaan program pendidikan oleh
LAZ, demikian pula bila dilihat dalam historisnya bahwa filantropi
Islam menjadi bagian penting dari tumbuh dan berkembang pesatnya
pendidikan Islam37, maka tujuan LAZ dalam menciptakan program
pendidikannya untuk menyebarkan nilai-nilai Islam dapat dipahami.
Disisi lain, LAZ diharapkan dapat menjalankan perannya untuk
menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. menjawab
masalah utama masyarakat saat ini, yakni permasalahan kesenjangan
sosial yang salah satu akanya berasal dari kesenjangan pendidikan di
Indonesia.
Oleh karena itu, peneliti berargurmen bahwa untuk mewujudkkan
pendidikan berkeadilan, sejatinya pergesekkan antar LAZ dan nilai
da’wah islam dengan program yang ditujukkan pendidikan berkeadilan
tidak perlu ada, mengingat pendidikan Islam dipercaya dapat menjadi
salah satu alternatif dalam semakin memeperluas layanan pendidikan
yang dapat dijangkau oleh masyarakat miskin dan tidak mampu.38
Akan tetapi, permasalahannya terletak pada bagaimana LAZ dapat
mengusung pendidikan Islam yang dapat menjawab permasalahan
kesenjangan pendidikan yang dihadapai oleh anak-anak dari keluaraga
205
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
39 Brest, P. dan Harvey, H, Money Well Spent. A Strategic Plan for Smart Philanthropy, New
York: Bloomberg Press.2008
206
Nurul Iffakhatul Sholekhah
207
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
pada kedua LAZ tersebut serta dapat lebih memhamai dampak sosial
dari tiap-tiap program tersebut.
Selanjutnya,penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai
program pada tiap LAZ menarik untuk dilakukan untuk meberikan
pemahaman yang lebih utuh mengenai damapak tiap-tiap program,
seperti pada program SGI maupun SLI dengan Jaringan Sekolah
Literasinya. Disamping itu, memahami posisi LAZ dalam perannya
untuk mengatasi kesenjangan sosial dalam gender, menarik untuk
dibahas melalui program Smart Ekselensia milik Dompet Dhuafa yang
memberika beasiswa hanya kepada siswa laki-laki dari keluarga dhuafa.
Penelitian mengenai bagaimana perumusan rekomendasi Muktamar
Muhammadiyah juga menjadi hal yang menarik untuk diketahui untuk
memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih utuh mengenai
agenda yang diusung oleh organisasi masyarakat Muhammadiyah dan
LazisMu.
Daftar Pustaka
Brest, P. and Harvey, H. (2008): Money Well Spent. A Strategic Plan
for Smart Philanthropy. New York: Bloomberg Press.
Brewis, Eliza. Inclusive development in Indonesian higher education
reform post-1997. ASEASUK Conference; 16 September 2016,
UK
Clandinin, D., & Connelly, F. (2000). Narrative inquiry: Experience and
story in qualitative research. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Cruces, Guillermo, Marcelo Bérgolo, Adriana Conconi and Andrés
Ham (2012). “Are There Ethnic Inequality Traps in Education?”
Poverty Monitoring, Measurement and Analysis (pmma) Working
Paper 2012-05, Partnership for Economic Policy, Nairobi.
ESCAP. 2015. Time for Equality : The Role of Social Protection in
Reducing Inequalities in Asia and the Pacific. Bangkok: United
Nations publication
208
Nurul Iffakhatul Sholekhah
209
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
210
Kontribusi Lembaga Sosial
Berbasis Filantropi Islam
di Kota Pontianak
Nurhasanah
Abstrak:
Di Kalbar terdata sebanyak 65.203.000 jiwa pengguna narkoba dengan
sebaran terbanyak di kota Pontianak, sebesar 37,41% persentase mantan
napi tahun 2015-2017, dan pekerja seks komersial (PSK) secara angka
bisa dikatakan cukup mengkhawatirkan di kota tersebut. Adanya fakta
ini menjadi dasar peneliti untuk mengetahui kontribusi lembaga sosial
filantropi islam di kota Pontianak melalui lima lembaga terhadap ketiga
kelompok sosial tersebut. Selain itu untuk mengetahui variasi respon
donatur, dan dampak yang dirasakan penerima bantuan. Penelitian ini
menggunakan metode mix methods dengan sequential exploratory strategy.
Diketahui satu dari lima lembaga yang pernah membantu keluarga
mantan nara pidana dan pengguna narkoba di Beting. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi referensi untuk mengkaji kembali program
kerja lembaga filantropi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat khususnya di kota Pontianak.
Kata kunci: Kontribusi, Filantropi, Islam, Pontianak
211
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
Pendahuluan
Di Indonesia sebelum mengenal kajian-kajian ilmiah mengenai masalah
kemiskinan, masyarakat sudah menjalankan tradisi yang merespon
terhadap permasalahan kemiskinan dalam bentuk pemberian. Kegiatan
‘memberi’ dalam berbagai bentuknya tidak terbatas dalam bentuk
uang atau barang melainkan juga pekerjaan atau berbagai upaya untuk
meringankan beban orang miskin serta meningkatkan kesejahteraannya
yang disebut sebagai filantropi.1
Secara bahasa istilah filantropi baru mengemuka di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Dalam kamus, kata philanthropy diterjemahkan
sebagai kedermawanan (Echols J dan Shadily, 1985). Philantropia
berasal dari bahasa Yunani yaitu philo (cinta) dan anthrophos
(manusia). Filantropi secara umum berarti cinta terhadap atau sesama
manusia.2 Secara etimologis, makna filantropi (philanthropy) adalah
kedermawanan, kemurahatian, atau sumbangan sosial: sesuatu yang
menunjukkan cinta kepada manusia.3
Hal senada juga diungkapkan oleh Hilman Latief terkait istilah filantropi
yang merupakan konsep filosofis yang dirumuskan dalam rangka
memaknai hubungan antar-manusia dan rasa cinta seseorang atau
sekelompok orang kepada sesamanya. Rasa cinta tersebut dieskpresikan
diantaranya melalui tradisi berderma atau memberi. Konsep filantropi
berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas dan relasi sosial
antara orang miskin dan orang kaya, antara yang ‘kuat’ dan yang ‘lemah’,
antara yang ‘beruntung’ dan ‘tidak beruntung’ serta antara yang ‘kuasa’
dan ‘tuna-kuasa’.
1 Zaim Saidi, dkk, Kedermawanan Untuk Keadilan Sosial, Jakarta: Piramedia, 2006, hlm. 5.
2 Marty Sulek, “On the Classical Meaning of Philanthropia”, Nonpropit and Voluntary Sector
Quarterly, 39: 3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/Q/
What_does_philanthropy_mean (diakses 17 januari 2018).
3 John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.1995.
212
Nurhasanah
4 Hilman Latief, Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam, 28
(1), 2013, hlm 124.
5 Muh Awal Satrio, Qardhul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan CSR dan Kegiatan Filantropi
Lembaga Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Kajian Bisnis, 23 (2),
Juni 2015, hal. 105.
6 https://indonesiana.tempo.co/read/111718/2017/05/24/salmannashiir/pemberdayaan-
lembaga-filantropi-islam-di-indonesia diakses 17 januari 2018.
213
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
214
Nurhasanah
13 Hilman Latief, Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, 28
(1), 2013, hlm 128.
14 Nana Mintarti, “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Zakat: Model-Model Dan Pengukuran
Kinerja Program” dalam Rahmatina A. Kasri dan Arif R. Haryono (eds.). . Bangsa Betah
Miskin: Kajian Kritis Atas Indikator Dan Program Pengentasan Kemiskinandi Indonesia,
Sebuah Tawaran Solusi. Jakarta: Indonesia Magnificence of Zakat, 2011, 77-145.
15 Nur Fadhilah, Pemberdayaan Komunitas Marjinal Berbasis Zakat Di LPP-Ziswaf Harapan
Umat Malang Jawa Timur, dinamika penelitian, 17 (1), 2017, hlm. 90.
215
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
Pembahasan
Gerakan Filantropi Islam dalam SDGs
Saat ini gerakan filantropi menjadi satu diantar aktor kunci yang
diharapkan berperan dalam kontribusi besar pada pelaksanaan
Sustainable Development Goals (SDGs).16 SDGs merupakan agenda
pembangunan global berkelanjutan yang telah mendapatkan konsensus
atau kesepakatan dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan berkomitmen pada pencapaiannya. SDGs sebagai inisiatif
kelanjutan dari platform sebelumnya yaitu Millenium Development
Goals (MDGs).
Meskipun cakupan bidang SDGs terbilang sangat luas dan ambisius,
hal ini tetap disusun dengan mempertimbangkan berbagai realitas
nasional, kapasitas dan tingkat pembangunan yang berbeda-beda serta
menghormati kebijakan dan prioritas nasional. Sebagai produk, SDGs
merupakan hasil dari kesepakatan multi pihak dan sebuah proses yang
bersifat transparan, partisipatif dan inklusif terhadap semua suara
pemangku kepentingan selama tiga tahun yang panjang.
16 Hamid Abidi, dkk, Berbagi dan Berkolaborasi untuk SDGs, Jakarta: Filantropi Indonesia,
2017, hlm. 34.
216
Nurhasanah
Hal ini sejalan dengan salah satu jargonnya yaitu No One Left Behind
(melibatkan semua pihak tanpa kecuali), yang mana di tingkat
implementasinya diharapkan bahwa SDGs dapat diaplikasikan oleh
semua pihak baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil dari
seluruh masyarakat dunia untuk membangun masa depan yang lebih
inklusif, berkelanjutan dan tangguh baik untuk manusia dan juga planet.
Sebagai agenda global pembangunan berkelanjutan dengan target 15
tahun (2015 – 2030), SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 target capaian.
Dimana 17 tujuan yang disesuaikan dari hasil ANP menunjukkan bahwa
poin SDGs nomor 1, 2, dan 3 menjadi kelompok prioritas filantropi
Islam terhadap SDGs. Pada kelompok prioritas kedua terdiri dari poin
SDGs nomor 4, 8, 10, dan 16. Kelompok prioritas ketiga meliputi
tujuan ke 6, 12, 9, dan 7 dari SDGs. Sementara selebihnya dari 17 poin
SDGs termasuk ke dalam kelompok prioritas ke empat. Meskipun dari
ketujuhbelas poin SDGs dapat dikontribusikan (baik secara langsung
maupun tidak langsung) dari kerja-kerja zakat, akan tetapi tidak
seluruhnya menjadi kewajiban zakat untuk melaksanakannya. Selain
terikat kepada asnaf, ada tugas dan tanggungjawab pemerintah sebagai
penyelenggara Negara yang dapat mengatur dan mengelola setiap lini
kehidupan masyarakat.17
Ketujuh belas point tersebut yaitu: Pertama, tanpa kemiskinan yang
diartikan dengan mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun.
Kedua, tanpa kelaparan berupa mencapai ketahanan pangan dan gizi yang
baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Ketiga, kehidupan
sehat dan sejahtera yang diartikan untuk menjamin kehidupan yang
sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia.
Keempat, pendidikan berkualitas berupa jaminan kualitas pendidikan
yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar
17 BAZNAS, Zakat on SDGs, Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017, hlm. Viii.
217
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
218
Nurhasanah
219
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
220
Nurhasanah
221
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
222
Nurhasanah
223
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
29 Muh Awal Satrio, Qardhul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan CSR dan Kegiatan Filantropi
Lembaga Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Kajian Bisnis, 23 (2),
Juni 2015, hal. 105.
30 http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-perilaku-filantropi.html, diakse 18
Januari 2018.
31 Nur Kholis, dkk, Profile of Islamic Philantrophy in Yogyakarta Special Province, Jurnal
Ekonomi Islam: La-Riba, 7.1 (2010): 65.
224
Nurhasanah
32 BAZNAS, Zakat on SDGs, Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017, hlm. i.
33 https://www.kompasiana.com/dianay/dilema-kaum-marjinal_552e5b396ea83493518b4589,
diakses 30 januari 2018.
34 https://www.kompasiana.com/susbandono/kaum-marjinal_55018ee7a333117f72513585,
diaksek 30 Januari 2018.
225
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
226
Nurhasanah
227
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
228
Nurhasanah
orang mampu tapi dari mereka yang kurang mampu atau tidak bekerja.45
Sehingga upaya pencegahan perlu didukung dalam rangka mencapai
kesejahteraan bersama termasuk LAZ yang merupakan kegiatan
filantropi pula.
Selanjutnya, mantan nara pidana. Mantan napi yang dimaksud adalah
mereka yang bebas biasa untuk Kalimantan barat di tahun 2015
sebanyak 2007 orang, tahun 2016 sebanyak 2046 orang, dan di tahun
2017 sebanyak 2084 yang ditotalkan sebanyak 6137. Secara khusus
untuk kota Pontianak pada tahun 2015 sebanyak 659 orang, tahun
2016 sebanyak 818 orang, dan tahun 2017 sebanyak 819 total dari tiga
tahun tersebut sebanyak 2296.46 Sehingga jika dipersenkan jumlah
mantan napi di Pontianak sebesar 37,41% yang artinya tindak pidana
atau kasus hukum terbesar terjadi di Pontianak dibandingkan dengan
12 kabupaten dan 1 kota lainnya di Kalbar.
Mantan Napi ini berasal dari berbagai kasus namum belum ditemukan
terkait kasus terorisme. Meskipun dari hasil penelitian FKPT Provinsi
Kalbar tentang daya tahan masyarakat menangkal radikalisme di
Kalbar cukup mengkhawatirkan. Dari lima kabupaten kota yang
diteliti yaitu, Pontianak, Mempawah, Singkawang, Kayong Utara, dan
Sintang pada tahun 2017 secara umum untuk melihat tujuh variabel
berkaitan persoalan hukum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan
lainya. Diketahui dari hasil wawancara dan kuesioner yang disebarkan
dapat disimpulkan pada tempat-tempat tertentu 70% di daerah Kalbar
mengkhawatirkan untuk daya tangkal masyarakat terkait gerakan
radikalisme dan terorisme karena banyaknya kekecewaan47 dan
229
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
48 Wawancara dengan Nur Iskandar, Humas FKPT Kalbar, 6 November 2017, di kediaman
narasumber, Pontianak.
49 Wawancara dengan Prof Kamarullah, Ketua Peneliti FKPT Kalbar, 15 November
2017, di Ruang Wakil Rektor 1 Untan.
50 http://www.pontianakpost.co.id/cegah-terorisme-di-kalbar-suhadi-berdayakan-masyarakat,
diakses 4 April 2018.
51 Bantuan reintegrasi oleh masyarakat dan lembaga filantropi akan membantu pandangan
nature of people mantan napi teroris, bahwa mereka dipedulikan oleh lingkungannya
sehingga bisa perlahan mengurangi tensi radikalisasi. Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi
Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama,
Jakarta: Daulat Press, 2017. H. 158
52 Jumlah data tidak dapat dipublikasikan
230
Nurhasanah
231
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
232
Nurhasanah
233
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
234
Nurhasanah
235
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
3. LazisMU Pontianak
Lazis Muhammadiyah (LazisMU) di Pontianak berdiri sejak tahun
2010. Dipimpin oleh seorang direktur dengan sistem koordinasi pusat
ke wilayah, lalu daerah, dan unit-unit cabang dibeberapa tepat dalam
satu daerah. Program yang dimiliki LazisMu Pontianak berupa tahfiz
Quran, Bazar sembako berkerja sama dengan BNI Syariah, dalam bidang
sosial seperti penangulangan bencana, dan pendidikan berupa sekolah
bagi yang kurang mampu. Teknik publikasi yang dilakukan untuk
mendapatkan dana ziswaf dari donator berupa kampanye mengajak
warga muhammadiyah dan pengurus untuk zakat profesi, serta kerja
sama dengan berbagai pihak seperti bank syariah dan koramil.
Dalam memandang delapan ashnaf untuk dana infaq dan sedekah
pengurus memandang sisi kemanusian, status sosial. Sedangkan untuk
zakat tetap fokus pada ke delapan ashnaf. Sejauh ini belum ada program
yang menyentuh atau menyasar kepada mantan napi, sosialisasi
pencegahan/reabilitas mantan pengguna narkoba, dan PSK. Terkait
SDGs, sinergisitas program LazisMu Pontianak disesuaikan dengan
hasil rakornas. Dimana upaya yang dilakukan adalah menjadikan
penerima zakat sebagai pengeluar zakat kedepannya sebagaimana
tujuan SDGs.60
236
Nurhasanah
237
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
62 Wawancara dengan Asrul Putra Nanda, Branch Manager Rumah Zakat Wilayah Kalbar, 19
Desember 2017, di Kantor RZ, Pontianak.
238
Nurhasanah
terdiri dari 4-5 orang yang mendapat modal usaha sebesar 500.000
ribu dan harus mengembalikan dana tersebut dalam waktu yang
sudah ditentukan. Namun, tidak berjalan dengan baik dan sudah tidak
berlangsung lagi. Terkait sinergisitas program LAZ Almumtaz Peduli
dengan SDGs berfokus pada program pendidikan karena pendidikan
diyakini sebagai cara untuk melepaskan seseorang dari belenggu
kemiskinan.63
Sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa
secara umum dapat dinyatakan kontribusi lembaga sosial berbasis
filantropi cukup baik di kota Pontianak. Fundrising paling banyak nilai
nominalnya diperoleh oleh Rumah Zakat yakni sekitar 100 juta per bulan.
Hal ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat terhadap brand Rumah
Zakat dan kreativitas program yang dijalankan. Sedangkan umumnya
untuk manajemen dan distribusi dana zakat, LAZ mendistribusikan
dana zakat untuk fakir miskin, beasiswa pelajar, memberikan pelatihan,
korban bencana alam, kegiatan-kegiatan produktif, kesehatan, dan
aktifitas dakwah atau penyebaran ajaran agama islam.
Apabila ditinjau dari jenis kegiatan pendistribusian nampak bahwa yang
dijadikan program unggulan untuk menarik simpati muzakki adalah
melalui penonjolan akuntabilitas pendistribusian zakat, infak, sedekah,
dan wakaf di bidang-bidang yang populer di mata masyatakat. Ini
bisa dibuktikan dari lebih intensif dan fokusnya penyebaran informasi
program pendistribusian zakat yang menggambarkan kegiatan-
kegiatan tadi di profil dan buletin-buletinnya. Alokasi pemberian dana
ZISW yang paling besar porsinya kepada golongan fakir miskin dengan
berbagai posnya, baik pos untuk pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
ekonomi produktif maupun karitas.
63 Wawancara dengan Jahir, Direktur Almuntaz Peduli, 10 Januari 2018, di kantor Almumtaz
Peduli, Pontianak.
239
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
Namun, terkait kalangan marjinal yang teliti yaitu mantan nara pidana,
mantan pengguna narkoba, dan PSK belum terlalu mendapatkan
perhatian. Hal ini dikarenakan basis data yang belum memadai terkait
kondisi ketiga objek kalangan marjinal tersebut maupun pemahaman
terhadap fiqih zakat itu sendiri oleh pengurus lembaga sosial berbasis
filantropi baik LAZ maupun LSM.
Tetapi secara insidental sudah ada beberapa LAZ yang menyantuni
kalangan ini terutama para keluarga pengguna narkoba, mantan nara
pidana, dan nara pidana di lapas anak. Seperti RZ, TIH Mujahidin, dan
Almumtaz Peduli.
240
Nurhasanah
Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa sebesar 80.0% atau sebanyak
24 partisipan mengetahui untuk apa dana ziswaf yang mereka sulurkan
ke lembaga filantropi yang diteliti, sisanya sebesar 20.o% atau sebanyak
6 partisipan tidak mengetahui untuk apa dana yang disalurkan ke
lembaga filantropi tersebut.
Terkait dampak bagi donatur sebesar 63.3% atau sebanyak 19 partisipan
menyatakan bahwa dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf dapat
membuat hidup mereka lebih tenang. Sedangkan 36.7% atau sebanyak
11 partisipan memilih rezeki semakin selancar setelah menyalurkan
dana tersebut.
Selanjutnya mengenai bolehkah dana ZISW itu difungsikan untuk
meningkatkan kesejahteraan mantan nara pidana, mantan pengguna
narkoba, dan pekerja seks komersial (PSK) 40.0% partisipan tidak dan
60.0% partisipan menyatakan boleh. Dimana secara umum mereka yang
mengatakan tidak dikarenakan tiga objek ini bukan termasuk delapan
ashnaf sebagaimana yang sudah diatur jelas dalam surah At-taubah ayat
60 yaitu mereka yang tergolong fakir, miskin, amil, muallaf (saudara
baru), hamba, orang yang berhutang, fii sabilillah dan ibn sabil (Riyaldi,
2017: 19). Jadi mantan napi, mantan pengguna narkoba, dan PSK tidak
berhak dalam menggunkan dana zakat.
Sedangkan mereka yang menyatakan boleh dana zakat, infak, dan
sedekah ini digunakan untuk tiga objek penelitian secara umum
beranggapan bahwa mereka termasuk orang yang dalam kesulitan dan
harus ditolong agar dapat kembali kejalan yang benar dan kehidupan
yang normal. Namun, ada juga yang beranggapan dari yang setuju
ini tidak sepakat dengan dana zakat untuk tiga objek tersebut. Tetapi
terkait infak dan sedekah sangat diperbolehkan penggunaannya untuk
tiga objek penelitian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka
dengan cara yang halal dan baik.
241
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
242
Nurhasanah
Penutup
Keberadaan lembaga sosial berbasis filantropi Islam seamakin hari
semakin bertambah diharapkan dapat menjadi satu diantara sarana
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan
masyarakat. Baik mereka yang tergolong miskin maupun yang
termajinalkan di lingkungan masyarakat.
Saat ini arah program yang dirancang setiap lembaga masih berfokus
peningkatan taraf hidup orang-orang miskin sebagian besar melalui
bidang pendidikan. Dimana Lazis PLN Wilayah Kalbar dengan
beasiswa dan peningkatan skill, serta program ESQnya untuk mereka
yang kurang mampu. TIH Mujahidin dengan bantuan untuk dhuafa
66 Wawancara dengan Azizah, orang tua penerima bantuan dari RZ, 9 Januari 2018, di
kampung Beting.
243
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
244
Nurhasanah
Daftar Pustaka
Abidi, Hamid dkk. Berbagi dan Berkolaborasi untuk SDGs. Jakarta:
Filantropi Indonesia, 2017.
Ali, Hasanuddin dkk. Indonesia Middle Class Muslim: Religiosity and
Comsumerism. Jakarta: Alvara Research center, 2017.
Azazi, Zanuar. Dampak Sosio-Ekonomi Keberadaan PSK, Kajian Sosiologis
Terhadap Keberadaan PSK di Gang Sadar Baturaden. Purwokerto:
IAIN Purwokerto, 2016.
Azizah. 2018. Kompirmasi bantuan dari LAZ RZ di Beting, di
kampung Beting.
BAZNAS. Zakat on SDGs. Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017.
Beni dan Muhammad. 2017. Kontribusi LazisMU terhadap tiga objek
yang diteliti, Di Café Detik, Pontianak.
Creswell, Jhon. W. Recearch Design. London: SAGE Publications, 2009.
Darmamely. 2018. Keberadaan Pekerja Seks Komersial di Pontiank, di
Kantor Terpadu, Pontianak.
Fadhilah, Nur. Pemberdayaan Komunitas Marjinal Berbasis Zakat
Di LPP-Ziswaf Harapan Umat Malang Jawa Timur, dinamika
penelitian, 17 (1) (2017): 89-112.
Iskandar, Nur. 2017. Tentang Terorisme di Pontianak, di kediaman
narasumber, Pontianak
Isnawati. 2017. Peta Persebaran Pengguna Narkoba di Kalbar, di Hotel
Mercure, Pontianak.
Echols, J dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
1959.
Firmansyah. Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan dan
Kesenjangan Pendapatan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 21. 2
(2013): 179-190.
Jahir. 2018. Kontribusi TPU Almumtaz Peduli terhadap tiga objek yang
diteliti, di kantor Almumtaz Peduli, Pontianak.
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Kamarullah. 2017. Tentang Terorisme di Pontianak, di Ruang Wakil
Rektor 1 Untan.
Kholis, Nur dkk. Profile of Islamic Philantrophy in Yogyakarta Special
Province. Jurnal Ekonomi Islam: La-Riba, 7.1 (2010): 61-84.
245
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak
246
EPILOG
A. Pendahuluan
Dalam tulisan ini saya akan memberikan penjelasan terkait
dengan peristiwa-peristiwa keramahan (hostility) atau dalam
bahasa Islam sering diidentikan dengan istilah sedekah (sadakah)
atau wakaf dalam hal pemberian pertolongan (bantuan sosial)
pada orang beragama, sesama agama atau antar agama. Dari
manakah munculnya persoalan terkait dengan hospitality atau
filantropi yang belakangan sebenarnya menjadi bagian penting
dalam pelayanan keagamaan yang merupakan bentuk kesalehan
sosial umat beragama. Akan saya coba jelaskan sekalipun hanya
sepintas sebagai landasan untuk menguraikan seluk beluk
hospitality atau sekedah atau wakaf yang memang menjadi tradisi
agama-agama di semua agama, bukan hanya agama Abraham saja.
Kita tahu ada banyak agama yang hadir dimuka bumi. Untuk
Indonesia sekurang-kurangnya ada enam agama (saya sebut
sebagai agama resmi) Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu selain dan beberapa agama lokal yang tidak diakui.
Oleh karena agama-agama lokal (agama suku) tidak diakui maka
pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada hospitality yang
melibatkan agama-agama resmi saja. Dengan harapan juga dapat
memberikan penjelasan terkait dengan masalah-masalah yang
bermunculan dalam agama resmi itu sendiri sebab dalam agama
resmi juga banyak masalah, selain internal sekaligus masalah
dengan sesame agama resmi terutama agama-agama misionaris
(tiga agama Abraham).
247
Dari sana sebagian masyarakat memilih tidak mengikuti aturan
agama formal jika hendak beribadah. Orang beribadah dianggap
tidak selalu berhubungan dengan formalisasi, sebab formalisasi
lebih cenderung menciptakan manusia-manusia munafik dan
tiranik. Sedangkan agama non resmi tidak memperhatikan secara
ketat atas orang yang hendak berbuat baik. Disinilah daya tarik
agama spiritual menjadi bagian dalam hidup beragama di belahan
Negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.
248
Soal keramahan (hospitality) dalam agama-agama sebenarnya
sebuah fenomena yang telah berjalan lama, dlam banyak tradisi di
belahan dunia. Dari Asia, Afrika, Eropa sampai Amerika-Amerika
Latin, dalam banyak nama namun satu yang menjadi perhatian
yakni adanya ajarn dari etika keagamaan tentang member,
membantu orang-orang yang berada digaris luar keluarga. (lihat,
Warent Ilchman (2010). Namun sekalipun motivasi member atau
membantu, member sumbangan, karitas, gotong royong, sedekah
atau tithe atau wakaf seringkali dicurigai dalam kaitannya dengan
misi keagamaan yang bermakna tidak bersahabat alias negative.
Hal ini inilah yang menyebabkan aktivitas filantropi, hostility atau
sedekah seringkali berdimensi ambivalen. Penuh dengan suasana
keramahan dan ekdamaian, tetapi sekaligus berdimensi konflik
dan kecurigaan antaragama (pelaku kedermawanan) social. Tentu
saja aneh, tetapi dala realitas sehari-hari persoalan kesalehan dari
agama bukan hal yang tidak bisa ditemukan. Agama-agama
memang mengajarkan tentang kesalehan social, selain kesalehan
individual tetapi ketika ada sekelompok masyarakat yang
kebetulan berbeda agama melakukan aktivitas social sebagai
bentuk dari keimanan akan mendapatkan masalah di masyarakat.
Inilah jebakan paling kuat dari kesalehan agama yang
terorganisasikan, bukan agama yang berdimensi spiritual. Dimensi
formal tampak sekali masih dominan dalam masyarakat kita,
sehingga dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa keagamaan
kita masih bersifat resmi ketimbang keagamaan yang tulus pada
Tuhan, bukan pada Negara dan legalitas.
249
memang penuh dengan masalah. Seperti saya samaikan diatas,
bahwa hal terssebut seringkai karena adanya formalisasi dan
aturan yang demikian rigit menghlangi praktek-praktek kesaehan
sosia sebagai ajaran etika agama.
Memerhatikan hal itu, menjadi jelas sekarang bahwa praktek
kedermawanan, dalam ruang agama-agama resmi sangat jelas akan
memperpanjang daftar masalah, padahal sejak awal agama-agama
banyak memberikan kerangka dan landasan etik untuk
memberikan pertolongan pada orang lain. Soal kedermawanan
sebenarnya soal aktivitas member secara sukarel dan membantu
orang lain yang berada di luar keluarga. Kedermawanan menjadi
sarana utama yang dipakai masyarakat dalam upaya mereka
mewujudkan pemahaman niai-nilai budaya, untuk melaksanakan
apa yang menjadi amanat dari budaya mereka. Tetapi lagi-lagi
mewujudkan amanat budaya mereka ini kemudian
menumbuhkan sikap kontroversi dan berbahaya, terutama jika
orang lain memandangnya sebagai “faksional” atau jika para
penguasa menafsirkan aktivitas itu sebagai upaya
“pemberontakan” terhadap legitimasi kekuasaan atau upaya
merongrong wibawa kekuasaan.
250
menerima perbedaan dengan lapang dan berbuah pada keadaban
bersama-toleransi.
B. Rezimintasi Kesalehan
Mengapa demikian keras sikap pihak mayoritas pada kesalehan
(keramahan umat beragama lain)? Tentu ini pertanyaan yang
sangat penting untuk dijawab sebab praktek kesalehan social
bukanlah fenomena sekarang saja dan dalam satu agama
sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini.
251
untuk sekolah dasar), miskin tidak dapat menikmati fasilitas
kesehatan umum, miskin tidak dapat mendapatkan akses public
services seperti jalan raya yang memadai dan seterusnya. Oleh
sebab itu, sesungguhnya bukanlah hal aneh ketika perhatian pada
kaum miskin menjadi hal penting dalam agama-agama, termasuk
Islam. Pengalaman gereja Ortodoks di Serbia yang melayani
masyarakat miskin dengan memberikan makanan pokok dan
pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang sudah berlangsung
lama. Pelayanan orang miskin di Arab Saudi sejak zaman
kekhaifahan merupakan hal yang tidak tertolak. Tetapi mengapa
ketika pihak Kristen melakukan pelayanan pada mereka yang
membutuhkan dipersoalkan? Inilah yang problem yang
sebetulnya bukan saja eksternal agama tetapi sekaligus internal,
sebab ada pemahaman yang bersifat dominative dan hegeminik
sehingga bersifat resmi dan tidak resmi.
252
Yahudi, Kristen dan Islam, karena dalam tradisi Hindu dan Budha
juga memiliki ajaran kebajikan pada orang lain dan telah
berlangsung lama. Gagasan hospitality di kalangan gereja ortodoks
Serbia misalnya telah berlangsung sejak zaman warisan Bizantium
yang menjelaskan kecintaan sesame manusia bukan hanya kepada
kerabatnya. (Ruzica, 2010)
Persoalan kesalehan ternyata sudah lama menjadi perdebatan
yang tarik menarik antara pemerintah (kekuasaan Negara versus
agama), sebagaimana terjadi di Amerika sejak pemerintahan
George Bush, Bill Clinton dan Walker Bush, ketika
mengintrodusir soal pelayanan kesehatan pada masyarakat dimana
agama juga menginisiasikan tentang kesalehan pada masyarakat
sebagai pilihan pelayanan. Apa yang dilakukan oleh agama untuk
menyediakan makanan, lapangan pekerjaan dan pelajaran
membaca pada masyarakat menjadi persoalan ketika Negara juga
melakukan hal yang sama. Pertarungan antara institusi keagamaan
dan Negara menjadi kentara ketika keduanya berbut pada wilayah
public. (Bartskowski 2003: 4-5)
253
kebutuhan masyarakat. Tugas Negara akhirnya seakan-akan
diambil alih oleh institusi keagamaan seperti Muhammadiyah,
NU, gereja atau Yayasan Kristen lainnya. Tetapi yang terjadi
adalah pelayanan public dalam bidang pendidikan dan kesehatan
sekan-akan menjadi wilayah masyarakat sipil. Dan hal yang paling
aneh ketika pelayanan dari institusi keagamaan demikian popular
di masyarakat maka Negara menjadi mengabaikan peran-peran
sentral pelayanan public ini. Sementara itu, seteah institusi
keagamaan sukses dalam pelayanan public Negara kemudian
melemparkan masalah bahwa institusi keagamaan mengambil alih
peran Negara karena menghendaki apa yang dinamakan “pujian”
dan memiliki motiv-motiv tertentu. Inilah problem sangat jelas
dan kuat dari perebutan kesalehan bermotif hospitality.
Kesalehan menjadi salah satu ajang kontestasi kekuatan
keagamaan, baik konservatif maupun progresif.
254
dinamakan dengan sedekah, wakaf atau charity atau hostility
sebagai hal yang sangat penting dikerjakan oleh kaum agama
sebab kesalehan tidak hanya kesalehan individual (ritual
simbolik) tetapi yang bersifat pelayanan umum (public services).
(Bartskowski, 2003: 5)
C. Prosedural Kesalehan
Saya akan menceritakan satu hal yang diharapkan dapat lebih
menjelaskan soal pertarungan kesalehan karena di dalamnya
mengandung pelbagai macam prsedur dalam melaksanakannya.
Prosedur inilah yang nanti kita dapat saksikan sebagai prosedura
kesalehan dalam agama apapun, tanpa terkeceuali tertutama
agama-agama yang cenderung menekankan adanya formalitas,
seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.
255
ketika semua yang dilakukan oleh instutusi keagamaan kemudian
membawa masalah social seperti kecurigaan dan kebencian atas
kelompok yang memberinya.
256
behaviore dan religious giving yang bermakna praying. (Cascione
2003: 17)
257
daripihak pemberi sedekah-penderma, sebab pihak pemberi
sedekah sebenarnya yang diinginkan adalah agar dana
individualnya tersampaikan karena berpaham alturisme religious.
Inilah kesalehan individual yang tersandera oleh keslehan rezim
atau procedural kesalehan yang kadang membuat pertentangan
serius diantara penerima dana beasiswa dengan lembaga pengelola
keuangan besiswa. (Cascione 2003: 31)
258
teta harus diberikan posisi penting dengan cara pengelolalaan
yang prosefisonal, transparan, bertanggung jawab dan penyaluran
yang tepat. Hal-hal procedural kesalehan mestinya dapat
diminimalisasi sehingga dorongan-dorongan mengerjakan
aktivitas social dengan memberikan perhatian pada kepentingan
umum, terutama mereka yang benar-benar membutuhkan dana
santunana sehingga kesan-kesan negative dari aktivitas hospitality
tidak menumbuhkan kecurigaan di antara pihak-pihak yang
sejauh ini mendapatkan informasi memadai tentang aktivitas
kedermawanan sebagai bagian dari dorongan etika keagamaan.
259
Tanggung jawab social lembaga atau yayasan pemberi dana
kedermawanan dengan pihak yang akan menerima dana.
260
Sejarah kesalehan yang terdapat dalam aktivitas hospitality-wakaf-
sedekah dan sejenisnya memberikan gambaran bahwa dalam
setiap agama akan senantiasa didapatkan ajaran tentang
menyantuni orang lain. Menyantuni mereka yang dalam keadaan
kekuarangan sehingga harus dibantu. Membantu mereka tanpa
mempertimbangkan dimensi agama, etnis atau pun jenis kelamin.
Hanya saja dalam banyak kasus kesalehan social umat beragama
seringkali bertabrakan dengan adanya dominasi-dominasi
kesalehan yang dikonstuksikan oleh rezim kekuasaan tertentu.
Dari sana yang terjadi kemudian adalah adanya kecurigaan-
kecurigaan dan kebencian yang datang dari aktivitas kesalehan
social. Oleh sebab itu sebuah rumusan yang memungkinkan
adanya kerjasama dan dialog agar terhindar dari kecurigaan harus
senantiasa dilakukan. Hal ini juga akan membuat efektivnya
sumbangan yang dilakukan oleh sebuah institusi keagamaan.
261
bentuknya yang lebih sempurna seperti keenganan menjalankan
ibadah social dan ibadah ritual kacuali karenatakut adanya razia
dari polisi syariah. Polisi syariah akan bekerja secara maksimal
untuk mengawasi kesalehan orang-orang yang beriman dalam
praktek keagamaan. Pertanyaanya apakah umat beragama akan
menjalankan ibadah social dan ibadah individual ketika diawasi
oleh polisi syariah? Bukankah hal ini memberikan cermin bahwa
kaum beriman berkehendak menjalankan aktivitas ketika
diakawal oleh oleh sebuah institusi keagamaan atau institusi
Negara yang punya otoritas.
262
sebagai kodrat Tuhan agar masyarakat ebragama beramal saleh
social, bukan sekedar shaleh secara individual semata. Kesalehan
tidak berhenti pada dimensi ritual keagamaan yang tidak
berdampak pada perubahan social ekonomi umat.
E. Penutup
Dari penjelasan yang telah saya sampaikan dalam tulisan ini,
jelaslah bahwa persoalan kesalehan social umat beragama bukan
tanpa resiko. Aktivitas hospitality-filantropi sebagai bagian dari
263
dorongan spiritual dan altrusime religious ternyata dilapangan
bukan tanpa masalah. Ada banyak kisah menjelaskan adanya
masalah di sana oleh karena itu harus berhati-hati sehingga
aktivitas social dalam bentuk kedermawanan tidak menjadi
boomerang kaum beriman di atas pelayanannya.
264
dirumuskan oleh para ahli fikih klasik. Perlu perluasan siapa
sebenarnya penerima zakat pada zaman kekinian. Apakah korban
perang berhak menerima zakat ataukah tidak. Bahkan para TKW,
TKI, bahkan Para pekerja seks yang insaf juga perlu dipikirkan
perlu atau tidaknya menjadi bagian dari penerima zakat. Selain itu
juga mereka yang menjadi korban terorisme, para mantan
terpidana terorisme (napiter) juga perlu mendapatkan perhatian
dari para pengelola dana zakat, infak dan sodakoh khususnya dari
lembaga filantropi Islam.
265
Daftar Bacaan
266
PROFIL PENERIMA
MAARIF Fellowship 2017-2018
267
M.K. Ridwan adalah nama populer dari nama
panjangnya Muhammad Kholil Ridwan, lahir di
Tanggamus, Lampung pada 26 Juni 1994.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD,
Tsanawiyah, dan Aliyah di Tanggamus.
Kemudian hijrah ke Jawa untuk melanjutkan
jenjang pendidikan S1 di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga pada jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir lulus tahun 2017 dan tercatat sebagai wisudawan
terbaik, dan menjadi wakil wisudawan untuk menyampaikan pidato
pada wisuda ke-VI IAIN Salatiga 2017. Penulis saat ini sedang
menggeluti studi al-Qur’an kontemporer dan bidang penelitian sosial-
keagamaan. Penulis pernah melakukan riset terkait pandangan Majlis
Tafsir Al-Qur’an (MTA) tentang jihad sebagai respon atas fenomena
ISIS (2014), dan menjadi peneliti junior pada program “Live in
Ahmadiyah” di Kuningan Jawa Barat (2016).
Keaktifannya dalam kegiatan penulisan dan riset, telah
menghantarkannya menerbitkan beberapa tulisan di jurnal ilmiah.
Di antaranya, “Kontekstualisasi Etika Muslim terhadap the Others;
Aplikasi Pendekatan Historis Kritis atas al-Qur’an” Maghza (2016);
“Agama; Antara Cita dan Kritik”, Fikrah (2016), “Metodologi
Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran
Kontekstual Abdullah Saeed” Millati (2016), “Kontekstualisme Hadis;
Analisis Metode Hermeneutika Fatima Mernissi” Dinamika (2016),
“Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam Wacana
Qur’anic Studies” Theologia (2017), “Penafsiran Pancasila dalam
Perspektif Islam: Peta Konsep Integrasi” Dialogia (2017).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Salatiga sebagai ketua umum BPL (Badan
Pengelola Latihan), di kampus menjadi ketua umum Himpunan
Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan juga aktif di
Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI).
268
Beberapa prestasi yang pernah diraih di antaranya Juara II Lomba Karya
Tulis Ilmiah Tingkat Nasional FKMTHI di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (2015), Juara I Lomba Karya Ilmiah Perpustakaan tingkat Kota
Salatiga (2016), Juara II IPPBMM cabang Menulis Isi Kandungan al-
Qur’an Tingkat PTKIN se-Jawa Madura (2016), dan Juara III Lomba
Musabaqoh Makalah Al-Qur’an (MMQ) Putra pada PIONIR ke-VIII
PTKIN se-Indonesia di UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2017), dan yang
terakhir sebagai penerima MAARIF Fellowship (MAF) dari MAARIF
Institute (2017).
Judul artikel : “Reinterpretasi Konsep “Mustahik”: Dapatkah
Mantan Napiter Digolongkan Penerima Zakat?”
Kontak : [email protected]
269
Nurhasanah. (IG: @na2nhf ) dilahirkan pada 3
Februari 1995 di Sei. Raya Kepulauan Kab.
Benkayang, Kalbar. Pernah menempuh
pendidikan S1 di Pendidikan Fisika FKIP
Universitas Tanjungpura Pontianak tahun 2012-
2016. Aktif diberbagai organisasi mahasiswa
baik internal dan eksternal, terutama pada kajian
ilmiah, dan gerakan sosial. Seperti Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Fisika, Forum Pemuda Pelopor Kalbar, KAMMI
Pontianak, Cendekia Muda Indonesia, dan IsNet (Indonesian Scholars
Network) wilayah Kalbar.
Founder komunitas IRC (Intelligent Reading Community), Pemuda
Pelopor bidang pendidikan tahun 2016 perwakilan Kab. Bengkayang
untuk Kalbar, Runner Up Duta Baca Kalbar 2017, Penerima t Award
Fellowship 2017 dari MAARIF Institute.
Judul artikel : “Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi
Terhadap Mantan Nara Pidana, Mantan Pengguna
Narkoba, dan Pekerja Seks Komersial di Kota
Pontianak”
Kontak : [email protected]
270
Nurul Iffakhatul Sholekhah, merupakan
mahasiwa Pendidikan Bahasa Inggris semester
8 di IAIN Surakarta kelahiran 18 April 1996.
Iffah, pernah menjadi salah satu delegasi
Student Mobility Program, Kementerian
Agama Republik Indonesia di tahun 2015 ke
Perth, Westren Australia. Iffah yang pernah
bersekolah di SMK IT Smart Informatika,
sebuah sekolah gratis bagi kaum dhuafa dan kurang mampu milik
Yayasan Solopeduli Ummat, menjadikan penelitian ini sebagai salah
satu misi pribadinya untuk ikut andil dalam mengembangkan program
pendidikan LAZ untuk dapat memberikan kesempatan kepada jutaan
anak kurang mampu dan ekonomi lemah lain untuk dapat menikmati
pendidikan dan memutus rantai kesenjangan sosial. Iffah, aktif
berkecimpung dalam dunia penelitian dan pernah menjadi pemakalah
di beberapa konferensi International, seperti ISCIS (International
Student Conference on Islamic Studies) 2017, IAIN Manado dan
ICELLL (International Conference on English Language, Linguistic,
and Literature) 2017 di Surakarta
Judul artikel : “Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan,
Quo Vadis ? Studi Perbandingan Kasus pada
LazisMu dan Dompet Dhuafa”
Kontak : [email protected]
271
Waskito Wibowo lahir di Gresik pada tanggal
23 Agustus 1994. Ia menyelesaikan studi pada
tahun 2016 di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan skripsi
tentang perbandingan sistem pendidikan di
pesantren tradisional dan modern. Sampai saat
ini ia juga mendapatkan kepercayaan sebagai
Asisten Pengasuh (Murobbi) di Ma’had Al-
Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia
juga dipercaya sebagai Ketua Bidang Keilmuan Pimpinan Cabang
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Ciputat periode 2015-
2016. Salah satu pencapaiannya yakni sukses menyelenggarakan
pelatihan riset dengan nama School of Research sebagai wadah pembinaan
dan pendampingan bagi mahasiswa dari lintas organisasi kemahasiswaan
selama 6 bulan. Selain itu, ia juga pernah mengikuti rangkaian Kuliah
Umum Dr. Hussain Mohi-Ud-Din Qadri mengenai Pakistani Youth
Role in Preventing Pro-Violence Ideology dan menjadi Koordinator Acara
pada Kuliah Umum bertajuk Relasi Umat Beragama untuk Kemanusiaan
dan Bangsa. Pada awal tahun 2017, ia bersama 25 orang kader muda
Muhammadiyah se-Indonesia menjadi Awardee program
Muhammadiyah Scholarship Preparation Program (MSPP) angkatan
pertama. Program yang diprakarsai oleh Majelis DIKTILITBANG PP
Muhammadiyah dan LAZISMU ini bertujuan untuk mempersiapkan
kemampuan kader-kader muda Muhammadiyah dengan membuka
peluang studi lanjut di luar negeri untuk jenjang Magister dan Doktoral
dan Awardee MSPP ini diproyeksi untuk mengabdi sebagai dosen
PTM/A setelah menyelesaikan studi.
Judul artikel : “Peran Filantropi Berbasis Masjid Dalam
Pendampingan Keluarga Narapidana Terorisme di
Kabupaten Lamongan”
Kontak : [email protected]
272
PROFIL DEWAN JURI
MAARIF Fellowship 2017-2018
273
Muhammad Najib Azca, Ph.D., lahir di Pekalongan, 6 Mei 1968.
Menyelesaikan pendidikan di SD Islam Kauman, SMP Ma’had Islam
dan SMAN 1 Pekalongan sebelum melanjutkan kuliah di Jurusan
Sosiologi UGM pada tahun 1987. Semasa mahasiswa aktif di Jamaah
Musholla Fisipol UGM, menjadi pengurus Senat Mahasiswa dan
Pemimpin Redaksi LPM Sintesa Fisipol UGM. Sempat menjadi
jurnalis di tabloid mingguan DeTIK yang dibredel oleh rezim orde
baru pada 21 Juni 1994, penulis akhirnya menyelesaikan skripsinya
mengenai sosiologi pengetahuan Dwifungsi ABRI pada tahun 1996.
Skripsi itu kemudian di terbitkan oleh Penerbit LKIS sebagai buku
pada 1998 berjudul Hegemoni Tentara, dengan kata pengantar dari Prof.
Dr. Herbert Feith, guru besar dari Universitas Monash, Australia. Tak
lama setelah lulus kuliah, penulis diangkat menjadi asisten dosen di
Jurusan Sosiologi Fisipol UGM sambil menjadi peneliti di Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
Pada tahun 2001, penikmat musik dan sastra tersebut melanjutkan studi
master di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari
Australian Development Scholarship (ADS). Tesis masternya berjudul
The Role of Security Forces in Communal Conflict: The case of Ambon,
Indonesia di bawah supervisi Prof. Dr. Harold Crouch mendapat nilai
high distinction. Berlanjut dengan sejumlah publikasi internasional
antara lain, artikel berjudul “In between military and militia; the
dynamics of the security forces in the communal conflict in Ambon”
yang dimuat di Asian Journal of Social Sciences, Volume 34, No. 3 (431-
455) Leiden: Brill Publisher, 2006, “A Tale of two troubled areas; Forced
migration, social violence, and societal (In)security in Indonesia” terbit
di Asia Pacific Migration Journal Vol 15 No.1. 2005, artikel berjudul
“Security forces in in Ambon: From the national to the local” di buku
berjudul Violence in Between; Conflict and Security in Archipelagic
274
Southeast Asia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute and ISEAS
dengan editor oleh Damien Kingsburry, serta artikel berjudul “Security
Sector Reform, Democratic Transition, and Social Violence: The Case
of Ambon, Indonesia” diterbitkan oleh Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management, Bonn, Germany, available at
http://www.berghof-handbook.net. Pada tahun 2006, penyuka puisi
yang gemar bermain gitar tersebut melanjutkan studi doktoral di
Amsterdam School for Social Science Research (ASSR) di Universiteit
van Amsterdam (UvA) dengan beasiswa dari WOTRO, sebuah lembaga
riset di Belanda. Di bawah supervise Prof. Henk Schulte Nordholt, Prof.
Dr. Irwan Abdullah, Dr. Oscar Verkaik dan Dr. Gerry van Klinken,
penulis merampungkan disertasi berjudul After Jihad: A Biographical
Approach to Passionate Politics yang diuji secara terbuka pada bulan
Mei 2011.
Pada tahun 2010 penulis terpilih menjadi Ketua Program Studi Sarjana
Jurusan Sosiologi UGM hingga sekarang. Pada awal 2012 giliran terpilih
sebagai Ketua Umum Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia
(APSSI) untuk periode 2012-2015. Pada awal tahun 2011 bersama
sejumlah kolega akademik mendirikan Youth Studies Centre (YouSure)
Fisipol UGM dan bertindak sebagai Direktur YouSure hingga kini.
Penulis juga bertindak sebagai Ketua Sidang Redaksi Jurnal Studi
Pemuda yang diterbitkan oleh YouSure Fisipol UGM. Edisi perdana
jurnal Volume 1, No. 1, bertema Pemuda, Agensi, Reformasi terbit pada
Mei 2012. Jurnal Volume 1, No.2, bertema Ragam Transisi Pemuda:
Pengalaman Bertumbuh di Indonesia sedang dalam proses cetak. Selain
sibuk dengan urusan lembaga dan organisasi penulis juga menghasilkan
sejumlah publikasi, antara lain, menjadi editor dan penulis buku
berjudul Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia
(bersama Subando Agus Margono dan Lalu Wildan) diterbitkan oleh
275
YouSure Fisipol UGM (2011) serta menulis sebuah monografi berjudul
After the Communal War: Understanding and Addressing Post-
Conflict Violence in Eastern Indonesia dan Seusai Perang Komunal:
Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya
Penanganannya (bersama dengan Patrick Barron and Tri Susdinarjanti)
yang diterbitkan oleh CSPS BOOKS (2012).
Kontak: [email protected] dan [email protected].
276
de la Renta, dan Anita Roddick. Di samping menulis tentang industri
mode Indonesia untuk Young Fashion Entrepreneur Competition
British Council (2010), peraih penghargaan Xelibri Fashion Award
(2003); penulis mode tahun 2001 dari Yayasan Bina Buku (Anugerah
Penghargaan Wartawati Mode 2001); Fashion Icon 2010 bidang
penulisan mode dari Jakarta Food and Fashion Festival (2001) ini juga
pernah tampil sebagai pembicara pada forum diskusi Asia Tropic Style,
Fashion Connections Singapore, (Singapura, 1998); Campaign for
Real Beauty (2007); dan pembicara pada diskusi batik Yayasan Batik
Indonesia (2009).
Kontak: [email protected]
277
dalam perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan
perempuan dalam Islam. Pemikiran Lies dipengaruhi oleh Prof. Harun
Nasution. Prof.Harun Nasution mengajarkan Lies untuk berpikir bebas
dan memahami bahwa Islam dapat dipahami dari berbagai perspektif
yang berbeda.
Kontak: [email protected]
278
MAARIF FELLOWSHIP 2017
Filantropi Islam, Penanggulangan
Terorisme dan Keadilan Sosial
Dasar Pemikiran
Salah satu permasalahan sosial yang tidak kunjung tuntas di
masyarakat kita adalah kemiskinan dan kesenjangan antara yang
kaya dan yang miskin. Indeks angka kemiskinan dan kesenjangan
ekonomi masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Merujuk
data dari badan Pusat Statistika (BPS), jumlah masyarakat miskin
berdasarkan propinsi secara keseluruhan sebanyak 28,41 juta
(Maret 2016). Jumlah penduduk miskin yang tersebar di perkotaan
sebesar 10.339.79 dan di pedesaan sebesar 17665.62.1 Jumlah
penduduk miskin paling banyak ada di Pulau Jawa, sebesar 15,31
juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di Sumatera 6,31 juta jiwa,
Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, Pulau Sulawesi 2,19 juta
jiwa, Maluku 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan sebesar 0,99 juta
jiwa. Tren kesenjangan pun semakin memburuk, walau Indeks
Gini secara keseluruhan mengalami peningkatan.
Kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia
menjadi potensi suburnya radikalisme-terorisme. Leon P. Baradat (1994:
16) mengingatkan bahwa dalam suatu sistem politik, ada kelompok
radikal yang menginginkan perubahan secara komprehensif atas sistem
yang berlaku (status quo). Mereka akan memperjuangkan perbaikan
1 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 (update 18 Agustus 2016), diakses
pada 9 Januari 2017, 10.42 am.
279
hidup agar lebih baik dari situasi kemiskinan yang dialami dan secara
ekstrem tidak puas dengan kondisi masyarakat yang ada. Sederhananya,
mereka dalam kondisi di mana perasaan adanya ketidakadilan dan
kekecewaan. Kondisi ini pula bisa membawa seseorang untuk menjadi
bagian dari kelompok radikalisme dan terorisme. Fathali Moghaddam
(2004: 162-166) menjelaskan bagaimana seseorang secara bertahap
melewati tangga menjadi teroris. Basisnya adalah kondisi psikologis dan
penafsiran seseorang terhadap situasi yang dialaminya.
Salah satu solusi yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa
ini dari bahaya radikalisme-terorisme adalah mengentaskan kemiskinan
dan pemberdayaan ekonomi umat melalui peran lembaga filantropi.
Kedermawanan (Filantropi) dalam khazanah Islam merupakan salah
satu upaya menjawab tantangan dan masalah sosial kemasyarakatan ini.
Mulai dari Zakat, Infaq, Sedekah, hingga Wakaf. Instrumen-instrumen
ini giat dikampanyekan oleh kelompok-kelompok Islam. Maraknya
kegiatan dan kesadaran berfilantropi ini tentu tidak terlepas dari fakta
sosiologis bahwa masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang
memiliki rasa solidaritas dan kedermawanan yang tinggi. Rasa solidaritas
dan kedermawanan ini dapat dilihat mulai dari tingkat kampung hingga
ke tingkat yang lebih tinggi. Di kampung-kampung misalnya, masih
terdapat gerakan jimpitan yang mengumpulkan beras dari setiap rumah
warga sebagai sumbangan untuk desa. Bila terjadi bencana alam atau
musibah yang menimpa suatu daerah atau tempat, berbagai pihak aktif
membuat program penggalangan dana untuk membantu meringankan
beban korban. Berbagai program penggalangan dana yang diinisiasi oleh
media massa, perusahaan, organisasi kemasyarakatan untuk membantu
korban tersebut segera saja disambut antusias oleh masyarakat dengan
aktif mengirim bantuan, baik dana, tenaga, pakaian layak atau makanan.
Menariknya, gerak filantropi yang dilakukan oleh masyarakat berjalan
dengan sangat baik tanpa intervensi lebih jauh dari pemerintah. Ada
280
kesadaran masyarakat yang demikian tinggi untuk filantropi, namun
bila merujuk data penelitian BAZNAS dan IPB, potensi zakat sebesar
Rp 217 T (berdasarkan produk domestik bruto tahun 2010) belum
sepenuhnya tercapai.2
Menurut hasil penelitian Riaz Hassan (2008), masyarakat Muslim
Indonesia memiliki kedermawanan yang tinggi dibanding beberapa
negara lain yang menjadi obyek penelitian. Indonesia mendapat 94%,
Mesir 87%, Pakistan, 58%, Kazakhstan 49% untuk membayar zakat.
Demikian pula menurut sebuah survei Global@dvisor bertajuk ‘Views
on Globalisation and Faith’ oleh Ipsos MORI. Survei dilakukan di
24 negara pada April 2011 dan melibatkan hampir 20.000 responden
berdasarkan garis-garis keagamaan, Kristiani (Katolik dan Protestan
di 19 negara), Islam di tiga negara (Indonesia, Arab Saudi dan Turki),
Hindu (India), Budhis di tiga negara (China, Jepang, dan Korea
Selatan). Dalam salah satu aspek survei tersebut (religiusitas), menarik
untuk melihat bagaimana agama menjadi motivator untuk melakukan
pemberian (giving)—waktu dan uang—untuk membantu mereka yang
membutuhkan. Hasilnya adalah: di antara penganut Kristen sebesar
24%, Muslim 61 %, Budhis 20%, dan Hindu 33%. Di kalangan negara
Islam, Muslim Indonesia merupakan negara paling dermawan dengan
persentase sebesar 91%, Arab Saudi 71 %, dan Muslim Turki 33%.
Hal ini menunjukkan bahwa kedermawanan merupakan potensi
yang besar di masyarakat kita. Ajaran Islam mengenai ZIS demikian
mewarnai keputusan-keputusan individu dalam giving and sharing.
Demikian pula tradisi-tradisi lokal yang ada di tengah masyarakat
dalam bentuk gotong royong, tolong menolong, saling bantu memasak
dan sharing bahan makanan ketika ada perayaan khusus di masyarakat
(pernikahan, kerja bakti, pengajian). Tradisi ini nyatanya (sebagaimana
2 http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/16/01/21/o1b126385-potensi-
zakat-nasional-mencapai-rp-217-triliun
281
diperkuat hasil survei di atas) masih bertahan dan semakin kokoh.
Selain karena masyarakat Indonesia masih mempertahankan tradisi
ini, salah satu faktor lainnya adalah membaiknya situasi ekonomi di
Indonesia dan berhasil mendorong membengkaknya jumlah kelas
menengah Muslim. Kelas menengah ini, di tengah situasi kemiskinan
yang juga masih membelit sebagian masyarakat, turut berkontribusi
pada meningkatnya kesadaran berfilantropi. Selain meningkatnya
pendapatan mereka, bertambahnya pengetahuan tentang agama dan
kesadaran akan kewajiban mendorong mereka untuk berkontribusi.
Selain alasan agama, semangat berfilantropi juga menjadi gaya hidup
tersendiri di tengah sosialita kelas menengah ini. Tren ini muncul di
kelompok jetset, dengan tradisi charity yang kuat.
Di tengah meningkatnya kesadaran warga untuk menyalurkan zakatnya
ke lembaga profesional yang dikelola oleh civil society, negara juga
berpartisipasi dalam filantropi. Hal ini nampak dari beberapa praktek
yang muncul di lingkup birokrasi dengan cara pemotongan secara
langsung dari gaji atau penghasilan seorang pegawai pemerintah,
mulai dari lingkup pemda hingga guru. Hasil pemotongan dikelola
oleh BAZDA, sebuah badan zakat yang dikelola oleh pemda. Selain
negara, pasar (privat company), juga mulai terlibat dalam filantropi
dengan membentuk lembaga filantropi tersendiri. Pada satu titik, tentu
saja situasi ini kondusif bagi meningkatnya kesadaran berbagai elemen
masyarakat dalam memenuhi kewajiban agama. Namun, di sisi lain,
bagi pegiat filantropi di kalangan civil society, terjadi kontestasi di antara
badan atau lembaga zakat yang dikelola masyarakat, negara, dan pasar
(privat/Market).
Peningkatan jumlah lembaga filantropi seharusnya memiliki peranan
khusus pada upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. Riset
yang dilakukan oleh Crisis Group Asia (2011) menegaskan bahwa peran
zakat yang efektif dan program bantuan kemanusiaan akan menjadi
282
langkah preventif untuk menanggulangi terorisme di komunitas yang
rentan akibat kemiskinan, ketidakadilan sosial, atau karena ada bencana.
Hal ini akan berpotensi untuk mendorong kemandirian keluarga dan
mantan narapidana terorisme untuk lepas dari jejaring terorisme yang
mengungkungnya.
Persoalan perasaan kecewa dan tidak adil akibat ketimpangan sosial dan
ekonomi tidak akan menjadi persoalan serius jika ada kepedulian dari
sesamanya. Sejauh ini, state actor atau non-state actor telah melakukan
berbagai upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. BNPT
sejak tahun 2013 telah melakukan program deradikalisasi di Lapas-
lapas yang ditujukan kepada para narapidana terorisme (napiter).
Kemudian tahun 2014 program BNPT merambah program di luar
Lapas. Sasaran program tersebut yakni keluarga napiter, mantan napiter
serta jaringannya. Bentuk kegiatannya adalah seminar dan diskusi
dengan sasaran program. Pada tahun 2016 program BNPT melakukan
pemberdayaan ekonomi keluarga dan mantan napiter. Kegiatannya
berbentuk bantuan modal usaha berupa barang kepada target program.
Sedangkan di kalangan non-state actor, ada beberapa civil society yang
telah melakukan upaya yang sama. Beberapa diantaranya yaitu Yayasan
Prasasti Perdamaian, Search for Common Ground, dan Aliansi Indonesia
Damai (AIDA). Kegiatannya ketiganya sama yakni disengagement baik
langsung kepada narapidana terorisme ataupun penguatan kapasitas
petugas yang bertanggungjawab atas warga binaan napiter. Bentuk
kegiatannya adalah conceling kepada napiter. Dan satu di antaranya
yaitu YPP telah melakukan pemberdayaan ekonomi napiter dan
mantan napiter berupa bantuan dana usaha. Kegiatan tersebut sudah
berlangsung sejak 2008 sampai sekarang.
Bagaimana dengan lembaga filantropi Islam? Apakah ada yang
melakukan pemberdayaan ekononomi bagi keluarga dan mantan
283
narapidana terorisme? Baru-baru ini ada lembaga filantropi, Lazis
Muwahidin, yang secara khusus menjalankan program buka puasa
bersama pada Ramadhan 2017 bagi para narapidana terorisme. Lembaga
tersebut membuat program “Ifthor untuk mujahidin tertawan”. Target
kegiatannya adalah para ikhwan (sebutan oleh lembaga tersebut)
yang ada di Lapas-lapas se-Indonesia. Pada program tahap 1, Lazis
Muwahidin telah mengumpulkan donasi sebesar Rp.10.800.000. Dana
tersebut sudah tersalurkan di 13 Lapas dengan jumlah 24 mujahidin di
berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan tersebut menarik dan penting,
namun patut dilihat bagaimana dampak perubahan yang ingin dicapai
ke depannya dalam konteks disengagement para narapidana terorisme
ini dari jaringan sebelumnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Maarif Award Fellowship (MAF)
tahun ini mengangkat tema “Filantropi Islam, Penanggulangan
Terorisme dan Keadilan Sosial”. Adapun subtema dalam Maarif Award
Fellowship (MAF) 2017 adalah sebagai berikut:
1. Filantropi Islam dan Upaya Penanggulangan Terorisme
2. Filantropi Islam dan Kemiskinan
3. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi Umat
4. Filantropi Islam dan Penguatan Demokratisasi Civil Society
Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama MAARIF Fellowship (MAF) 2017
Tujuan Kegiatan
1. Melakukan kaderisasi intelektual pada kaum muda Indonesia untuk
menjadi intelektual yang kritis, mencerahkan, dan memihak pada
kemanusiaan dan keadilan sosial.
284
2. Mewadahi potensi-potensi kreatif anak muda Indonesia untuk
turut serta mencari jawaban terhadap berbagai persoalan sosial
keagamaan yang terjadi di tanah air.
3. Memperkuat tradisi riset dan penulisan yang berbasiskan pada
metode penelitian yang mumpuni serta pembacaan sumber-sumber
yang otoritatif dan diskusi yang intensif serta serius
Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan ini berlangsung selama 7 bulan ( Juni-Desember
2017) yang terdiri dari:
1. Tahap Seleksi:
Pengumuman MAARIF Fellowship (MAF) melalui media massa
nasional, media elektronik, dan media sosial kepada seluruh
mahasiswa dan anak muda di tanah air. Kemudian dilakukan seleksi
terhadap para peserta yang telah membuat proposal riset dan
mempresentasikannya di depan dewan juri MAARIF Fellowship
yang telah ditunjuk oleh MAARIF Institute. Selanjutnya, para
peserta yang lolos seleksi diumumkan dan dilanjutkan dengan
dimulainya program fellowship.
2. Tahap Orientasi:
Tahap ini akan akan berlangsung selama seminggu sebelum tahap
riset dan penulisan. Selama satu minggu, peserta yang terpilih
akan mendapatkan orientasi mengenai penulisan ilmiah, metode
referensi (pengutipan), metode penelitian, public speaking,
persiapan bahan untuk presentasi, dan excursion.
285
4. Tahap Seminar Hasil Penelitian:
Kegiatan ini berupa seminar presentasi dari riset para peserta yang
terpilih dan dibarengi juga dengan orasi ilmiah dari intelektual
garda depan di negeri ini. Naskah hasil riset para pemenang
MAARIF Fellowship bersama dengan naskah orasi ini nantinya
akan diterbitkan oleh MAARIF Institute.
286
Tema Riset
Filantropi Islam yang hendak dikaji pada MAARIF Fellowship (MAF)
2017 ini adalah “Filantropi Islam, Penanggulangan Terorisme dan
Keadilan Sosial”. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin berusaha dijawab
dalam riset ini di antaranya adalah:
• Apakah benar pemberdayaan ekonomi bisa menanggulangi potensi
radikalisme-terorisme di masyarakat? Bagaimana model terbaik
pemberdayaan ekonomi bagi keluarga dan mantan narapidana
terorisme?
• Apakah aspek gender dalam pemberdayaan ekonomi secara
signifikan berpengaruh kepada upaya penanggulangan radikalisme?
• Adakah data terpilah secara gender anggota keluarga napiter? Jika
tidak ada bagaimana agar diperoleh data pilah gender napiter yang
intens berhubungan dengan napiter di penjara?
• Apakah ada analisis yang bisa menggambarkan aspek gender yang
berpengaruh pada keberhasilan deradikalisasi melalui program
penguatan ekonomi?
• Adakah lembaga filantropi yang secara khusus mendata keluarga
dan mantan narapidana terorisme yang masuk dalam kategori
mustahik? Adakah program pendidikan dan pemberdayaan
ekonomi yang disiapkan lembaga filantropi khusus untuk keluarga
dan mantan narapidana terorisme?
• Bagaimana tingkat keberhasilan program pemberdayaan di
kalangan keluarga dan mantan narapidana terorisme? Apakah ada
metode yang dapat mengukur keberhasilan tersebut? Apa ada best-
practices dan lesson-learned yang dapat direplikasi oleh lembaga
zakat untuk program yang sama?
• Apakah meningkatnya kelas menengah Muslim di Indonesia—
yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan ekonomi—
mendorong meningkatnya penghimpunan yang diperoleh oleh
lembaga-lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah?
287
• Tingginya kedermawanan ini melahirkan pertanyaan, apakah
akan mendorong menurunnya angka kemiskinan dan mengurangi
kesenjangan antara yang kaya dan miskin? Apakah dana-dana
zakat tersebut telah berhasil memberdayakan mustahik dan
kelompok mustad’afin yang mendapat bantuan? Bagaimana
dampak pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
zakat ini?
• Bagaimana praktek pengelolaan dana ZIS oleh lembaga-lembaga
filantropi Islam? Apakah sekedar charity dan pemberian semata?
Atau turut serta memberdayakan hingga penerima manfaat mandiri
dan lepas baik dari jerat kemiskinan ?
• Namun kedermawanan ini juga turut melahirkan malapraktek
yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat yang terlanjur
percaya kepada nilai kedermawanan. Bagaimana transparansi
lembaga-lembaga penyalur ZIS dalam mendistribusikan harta
yang dititipkan oleh mustahik?
• Bagaimana kontribusi filantropi Islam bagi penguatan demokratisasi
dan Civil society?
Kriteria Peserta
1. Mahasiswa Strata Satu (S1) atau fresh graduate yang baru saja
merampungkan studinya di berbagai perguruan tinggi di tanah air
(maksimal 1 tahun).
2. Jika dianggap perlu akan diberlakukan gender afirmative action
dengan memberi peluang 30% kepada peserta peneliti perempuan
yang memenuh kriteria minimal.
3. Mempunyai pengalaman di organisasi mahasiswa, di bidang
jurnalistik, atau di bidang riset (salah satunya atau semuanya).
4. Mempunyai keinginan kuat untuk belajar penelitian dan menulis
serta bersedia untuk dibimbing oleh para pendamping riset.
288
5. Menunjukkan contoh hasil karya tulis atau penelitian yang
sudah pernah dihasilkan, baik sudah dipublikasikan atau belum
dipublikasikan.
Persyaratan
1. Proposal riset dikirim rangkap dua, diketik di atas kertas kwarto,
spasi 1,5 dengan font Times New Roman ukuran huruf 12, 5-7
halaman.
2. Melampirkan biografi singkat penulis, fotokopi KTM, 1 lembar
foto ukuran 3x4, alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail.
3. Proposal riset dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan di sudut
kiri atas amplop ditulis “MAARIF Fellowship (MAF) 2017”
289
4. Naskah dikirim ke: Panitia MAARIF Fellowship (MAF) 2017
dengan alamat: MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jl.
Tebet Barat Dalam II No. 6, Tebet Barat, Jakarta Selatan 12810 –
Indonesia.
5. Proposal penelitian dapat juga dikirim dalam bentuk file MS.Word
melalui e-mail: [email protected], mujadid.rais@gmail.
com, dan [email protected], dengan menyertakan identitas
lengkap.
6. Proposal penelitian dikirim ke panitia paling lambat tanggal 13
September 2017.
7. Peserta yang lolos seleksi tahap awal proposal diharuskan
mengikuti seleksi wawancara di hadapan dewan juri untuk
mempertanggungjawabkan proposal yang ditulisnya dan
menyampaikan rancangan riset dan penulisannya.
Insentif
Para peserta yang terpilih dalam MAARIF Fellowship (MAF) akan
mendapat insentif berupa:
1. Dana riset sebesar Rp.12.000.000,00
2. Living cost selama minggu selama orientasi di MAARIF Institute.
3. Penerbitan karya hasil riset para peserta terpilih MAARIF
Fellowship.
Dewan Juri
1. Hilman Latief, Ph.D.
2. Muhammad Najib Azca, Ph.D.
3. Ninuk Pambudi
4. Lies Marcoes, M.A.
5. Taufik Andrie
290
PROFIL
MAARIF INSTITUTE
FOR CULTURE AND HUMANITY
291
VISI, MISI, DAN NILAI DASAR
Visi:
Menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk
mewujudkan praksis Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan
menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme
Ahmad Syafii Maarif.
Misi
1. Mendorong aktualisasi nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kebinekaan
untuk memulihkan keadaban publik, saling menghargai, dan
kerjasama yang konstruktif bagi keindonesiaan dan kemanusiaan.
2. Memperkuat dan memperluas partisipasi masyarakat sipil dan
generasi muda untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang
berkeadilan atas dasar kebinekaan
Tujuan
1. Memperkuat peran-peran kewargaan masyarakat sipil dalam
melembagakan nilai-nilai kebinekaan untuk mewujudkan tata-
kelola publik yang non-diskriminatif.
2. Memfasilitasi partisipasi aktif generasi muda dalam membumikan
nilai-nilai kebinekaan.
3. Mengoptimalkan peran-peran kewargaan masyarakat sipil dan
generasi muda dalam mempromosikan nilai-nilai kebinekaan
melalui beragam media.
Nilai Dasar
1. Egaliter
2. Non-diskriminasi
3. Toleran
4. Inklusif
292
PENGORGANISASIAN
Yayasan Ahmad Syafii Maarif Dewan Pembina
1. Jeffrie Geovannie (Ketua) 1. Abdul Munir Mulkhan
2. Benjamin Jiaravanon (Wakil Ketua) 2. Abd. Rohim Ghazali
3. Rizal Sukma (Sekretaris) 3. Amin Abdullah
4. Suyoto (Bendahara) 4. Clara Juwono
5. Garin Nugroho
6. Luthfi Assyaukanie
7. Muhadjir Effendy
8. Raja Juli Antoni
9. Fajar Riza Ul Haq
Eksekutif:
Direktur Eksekutif : Muhammad Abdullah Darraz
Direktur Program Riset : Mohammad Shofan
Direktur Program Islam dan Media : Khelmy K. Pribadi
Kepala Sekretariat : Muhammad Supriadi
Manajer Program Islam for Justice : Pipit Aidul Fitriyana
Manajer Keuangan : Henny Ridhowati
Asisten Program Islam for Justice : Fithri Dzakiyah H.
Asisten Program Islam dan Media : Deni Murdiani
Asisten Kesekretariatan : Pripih Utomo
(Kerumahtanggaan)
Asisten Keuangan : Titik Lestari
293
JARINGAN ASSOCIATE PENELITI
1. Ahmad Fuad Fanani, MA.
2. Ahmad Najib Burhani, Ph.D (LIPI)
3. Ahmad Norma Permata, Ph.D. (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
4. Ai Fatimah Nur Fuad, Lc., Ph.D.
(Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA)
5. Alpha Amirrachman, M. Phil. Ed. Ph.D
(Amsterdam University, Belanda)
6. Andar Nubowo, D.E.A.
7. Benni Setiawan, M.S.I.
8. David Krisna Alka, S.Th.I.
9. Dewi Candraningrum, Ph.D.
(Universitas Muhammadiyah Surakarta)
10. Emran Quresy, Ph.D. (Harvard University)
11. Hilman Latief, Ph.D. (ISIM-Leiden University)
12. Irfan Amalee, MA.
13. Muhammad Hilaly Basya, MA
(Universitas Muhammadiyah Jakarta)
14. Nader Hashemi Ph.D. (Nort Western University)
15. Pradana Boy ZTF, Ph.D.
16. Putut Widjanarko, Ph.D. (Mizan Production)
17. Rebea Volkmann, Ph.D.
18. Rudi Sukandar, Ph.D.
19. Siti Sarah Muwahidah, MA.
20. Sukidi Mulyadi, MA. (Harvard University)
21. Tuti Alawiyah Burhani, Ph.D.
22. Wahyudi Akmaliah Muhammad, MA. (LIPI)
23. Yayah Khisbiyah, Ph.D. Cd.
(Universitas Muhammadiyah Surakarta)
24. Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy (STAIN Salatiga)
25. Dr. Zuly Qodir
294