Kedermawanan Kaum Beragama Dan Problem Kesalehan Sosial (Zuli Qodir) PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 312

Filantropi Islam

untuk
Perdamaian dan Keadilan Sosial
di Indonesia
Husna Yuni Wulansari
M.K. Ridwan
Naomi Resti Anditya
Nurhasanah
Nurul Iffakhatul Sholihah
Waskito Wibowo

2018
MAARIF Fellowship 2017-2018:
Filantropi Islam untuk Perdamaian dan Keadilan Sosial di Indonesia

Penulis: Husna Yuni Wulansari, M.K. Ridwan, Naomi Resti Anditya, Nurhasanah,
Nurul Iffakhatul Sholihah, Waskito Wibowo

Editor : Saefudin Zuhri


Desain Cover : PrimeDesign
Desain Layout : Harhar Muharam

148x210mm
xviii, 258 halaman

MAARIF Institute, 2018

ISBN: 978-602-61010-2-0
Pengantar MAARIF Institute
Mungkinkah Gerakan Filantropi
Islam dapat Mewujudkan
Perdamaian dan Keadilan Sosial?

Di Indonesia, gerakan filantropi berbasis keagamaan, khususnya


filantrofi Islam telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Hal ini terjadi terutama pada era pasca Orde Baru. Berkembangnya
gerakan filantropi dalam bentuk lembaga-lembaga pengumpul dan
penyalur dana masyarakat/umat ini dilandasi oleh adanya persoalan
politik dan ekonomi yang terjadi dewasa ini. Lembaga-lembaga
filantropi Islam muncul untuk menanggapi kegagalan pemerintah
dalam melayani seluruh warganya dalam rangka menciptakan keadilan
dan kesejahteraan sosial. 
Dalam hal ini, gerakan filantropi Islam ingin mengisi kekosongan
yang selama ini menjadi tugak pokok pemerintah. Salah satu yang
ingin direspon adalah persoalan kemiskinan yang melanda negeri ini.
Gerakan filantropi Islam menggalang dana dari masyarakat dan umat
untuk kemudian melakukan pemberdayaan umat dan masyarakat,
terutama kaum miskin dan mustadh’afin.
Dalam kajian Baznas, potensi dana filantropi di Indonesia yang
berasal dari dana zakat dan wakaf bisa mencapai 1000 trilyun lebih
(zakat mencapai Rp. 217 triliun dan wakaf sebanyak 1.400 km persegi
setara Rp. 790 triliun). Namun dalam reallitasnya pengumpulan dana
filatropi Islam ini belum lebih dari 5 triliun (Farid Septian, 2016; Uzlif
Rosyid, 2015).

iii
Namun demikian, ada ruang kosong yang belum terisi oleh keberadaan
gerakan filantropi di Indonesia. Yakni tanggung jawab dan respon
sosial terhadap kelompok eks narapidana teroris dan keluarga yang
menyertainya. Karena hal ini bisa menjadi bagian dari strategi
melakukan deradikalisasi atau “disengagement” di kalangan kelompok
eks teroris agar mereka bisa kembali kepada kehidupan masyarakat
dengan normal, dan tidak kembali melakukan aksi-aksi teror yang telah
merusak tatanan kehidupan sosial.
Peran gerakan filantropi keagamaan yang berbasis pada ormas-ormas
keagamaan untuk orientasi “disengagement” kelompok eks-napiter
dalam hemat kami akan memberikan dampak yang positif bagi
penguatan perdamaian dan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Sebab sebagaimana kita fahami bersama, salah satu akar kekerasan
radikalisme-ekstremisme-terorisme adalah belum tercapainya keadilan
sosial yang menciptakan kesejahteraan bagi seluruh elemen masyarakat,
di samping tentu ada problem teologis dan ideologis, terutama
interpretasi keagamaan yang seringkali keluar dari semangat keagamaan
moderat (wasathiyyah Islam).
Namun masalah keadilan sosial bisa jadi menjadi separuh dari solusi
dalam upaya meredakan persoalan kekerasan dan ekstremisme yang
saat ini masih menggelayut dalam kehidupan sosial di Indonesia. Oleh
karena itu upaya mengarusutamakan gerakan filantropi terutama yang
berbasis keagamaan atau berbasis ormas keagamaan untuk tujuan
melakukan moderasi dan “disengagement” laku ekstremisme-terorisme
menjadi sangat penting.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek; pertama, Filantropi
pada dasarnya bukan hanya ditujukan untuk mengentaskan persoalan
kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di kalangan umat.

iv
Lebih dari itu filantropi juga seharusnya dapat digunakan untuk
menyelesaikan persoalan konflik dan kekerasan yang terjadi terutama
ekstremisme berbasis kekerasan dan radikalisme dengan memberikan
penyelesaian terutama pada aspek pemberdayaan ekonomi keluarga eks-
napiter. Filantropi juga bisa diorientasikan untuk memperkuat program-
program pencegahan radikalisme-terorisme dengan memperkuat
pandangan keagamaan moderat (Islam wasathiyyah).
Kedua, Gerakan filantropi Islam dengan mengumpulkan sumber
finansial dari umat Islam harus bisa digunakan untuk menciptakan solusi
fundamental bagi kehidupan umat itu sendiri. Problem ekstremisme dan
terorisme adalah salah satu persoalan fundamental yang dihadapi umat
di dunia saat ini terutama menyangkut citra umat Islam, selain adanya
kemiskinan yang juga sangat penting untuk dientaskan. Pemberdayaan
ekonomi bagi keluarga dan kelompok eks-narapidana terorisme
dan orang-orang yang potensial melakukan tindakan ekstremisme-
terorisme harus menjadi bagian penting dari gerakan filantropi berbasis
keagamaan ini.
Ketiga, sebagaimana diungkap dalam beberapa hasil riset, kedermawanan
dan filantropi yang diorientasikan pada isu radikalisme-ekstremisme-
terorisme saat ini banyak ditemukan justru bukan untuk melakukan
moderasi dan menciptakan solusi untuk meredam ekstremisme-
terorisme, namun sebaliknya malah lebih memperkuat proses
radikalisasi dan menopang gerakan ekstremisme dan terorisme itu
sendiri. Tidak jarang dana-dana hibah dari umat malah dipakai untuk
melakukan konsolidasi di antara kelompok-kelompok teror yang ada.
Penjelasan dan pembuktian empiris dari kondisi semacam ini misalnya
bisa ditemukan salah satunya dalam buku yang ada di hadapan pembaca
ini.

v
Buku ini merangkum berbagai tulisan hasil riset para peneliti muda
yang tergabung dalam program MAARIF Fellowship (MAF) 2017-
2018. Secara periodikal, selama dua tahun sekali MAARIF Institute
telah berupaya melakukan kaderisasi intelektual bagi para calon peneliti
muda. Mereka biasanya merupakan para mahasiswa S1 tingkat akhir
yang sedang menyelesaikan tugas skripsinya atau yang baru lulus dari
studi S1-nya. MAARIF Fellowship ini sendiri merupakan program
hibah dana untuk penelitian tersebut dalam berbagai tema-tema dan
isu-isu sosial keagamaan yang berkembang akhir-akhir ini.
Pada MAF 2017-2018 ini kami mengangkat tema penting mengenai
gerakan filantropi berbasis ormas keagamaan di Indonesia dalam upaya
menciptakan perdamaian dan keadilan sosial dengan judul “Filantropi
Islam, Perdamaian dan Keadilan Sosial”. Pada tahun ini, ada 6 peraih
MAARIF Fellowship dengan menyisihkan 59 pendaftar lainnya.
Keenam orang tersebut adalah M.K. Ridhwan (IAIN Salatiga), Husna
Yuni Wulansari (), Naomi Resti Anditya (Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta), Nurhasanah (Universitas Tanjungpura Pontianak), Nurul
Iffah Solekhah (IAIN Surakarta), dan Waskito Wibowo (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta).
Atas terselenggaranya program MAF 2017-2018 yang salah satu
outputnya adalah penerbitan buku ini, saya atas nama MAARIF
Institute ingin menyampaikan terimakasih sebesarnya kepada Badan
Pengurus LAZISMU Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin
oleh Hilman Latief, Ph.D., karena tanpa dukungan penuh dari
LAZISMU, program ini tidak akan berhasil untuk diselenggarakan.
Terimakasih kami sampaikan juga pada saudara Andar Nubowo, Ph.D.
Cand., yang telah memungkinkan kerjasama antara MAARIF Institute
dan Lazismu ini dapat dilakukan, terutama pada saat dia menjadi
Presiden Direktur LAZISMU.

vi
Kepada dewan juri sekaligus supervisor yang telah mendampingi
proses perjalanan program ini sejak awal, terima kasih tak terhingga
kami sampaikan diantaranya adalah Lies Marcoes, MA, Hilman Latief,
Ph.D., M. Najib Azca,. Ph.D., Taufik Andri, dan Ninuk Mardiana
Pambudi. Terimakasih saya sampaikan pada para spartan MI terutama
divisi riset yang telah bekerja keras mensukseskan program ini.
Akhirnya saya sampaikan selamat membaca kepada khalayak publik.
Saya harapkan hasil riset dalam buku ini bisa memberikan informasi
baru tentang kaitan dan pentingnya gerakan filantropi Islam dalam
upaya mencegah radikalisme-terorisme sehingga tercipta perdamaian
dan keadilan sosial bagi masyarakat di Indonesia.

Salam

Muhammad Abdullah Darraz


Direktur Eksekutif

vii
Hilman Latief

Menakar Inklusivitas Filantropi


Islam di Indonesia
Semakin meningkatnya kegairahan kegiatan filantropi Islam di
Indonesia dalam bentuk penghimpunan dana-dana sosial Islam –baik
berupa zakat, infak, shadaqah maupun wakaf, semakin terbuka lebar pula
ruang baru bagi para akademisi, peneliti dan pengamat sosial ekonomi
untuk menggali topik-topik penelitian filantropi yang baru. Kendati
kerap dipahami sebagai praktik sosial yang sederhana saja, kegiatan
filantropi Islam di Indonesia sesungguhnya sudah memasuki babak
baru yang patut diperhatikan secara lebih mendalam. Pasalnya praktik
filantropi tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Ada banyak faktor
dan fakta yang kompleks di balik praktik filantropi Islam, seperti tentang
kemiskinan, efektivitas kebijakan negara, standar kesejahteraan warga,
inklusivitas filantropi, intervensi kekuatan ekonomi asing, daya jangkau
dan dampak kegiatan filantropi, doktrin keagamaan, sumber daya
manusia dan sebagainya. Di Indonesia, studi filantropi Islam juga bukan
lagi barang baru. Riset-riset tentang filantropi mulai berkembang di
kampus-kampus, jurusan-jurusan yang memiliki fokus kajian filantropi
juga mulai didirikan, lembaga riset independen juga sudah banyak
beroperasi di beberapa kota besar, dan bahkan pemerintah sendiri sudah
mulai melirik filantropi Islam sebagai salah satu kegiatan yang bisa
diproyeksikan untuk mendukung kerja-kerja pembangunan. Tak heran,
ruang-ruang untuk mengeskplorasi filantropi Islam juga semakin luas,
seiring dengan perkembangan dan dinamika sosial, politik, budaya dan
teknologi di Indonesia.

viii
Hampir dua dasawarsa ini, beberapa proyek riset tentang filantropi
Islam sudah dilakukan berbagai lembaga riset. Di Indonesia, tentu
pemerhati filantropi Islam cukup tahu bahwa pada awal tahun 2000an,
Ford Foundation, sebuah lembaga donor Internasional, ikut mendanai
kajian filantropi Islam di Indonesia dan bekerjasama dengan CSRC
(Center for the Study of Religions and Cultures) UIN Syarif Hidayatullah.
Dengan tema “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial,” proyek ini telah
menghasilkan beberapa literatur penting tentang perkembangan
filantropi Islam di Indonesia, baik mengenai pertumbuhan lembaga-
lembaga pengelola zakat, tata kelola wakaf, dampak filantropi untuk
mendorong keadilan sosial maupun proyeksi filantropi Islam di masa
akan datang. Setali tiga uang dengan itu, PIRAC (Public Interest
Research and Advocacy Center) menjadi lembaga riset lainnya yang secara
serius mengeksplorasi dinamika perkembangan lembaga filantropi di
Indonesia dan memfasilitasi berbagai topik riset, seperti filantropi
perempuan, gotong royong, filantropi dan lembaga swasta, dan lain-lain.
Begitu pula, Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) yang belakangan
melakukan banyak riset tentang filantropi dan kaitannya dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). Riset-riset yang dilakukan oleh
lembaga tersebut di atas, setidaknya telah memberikan dan membuka
jalan untuk pengembangan studi filantropi lanjutan di Indonesia yang
ternyata semakin terbuka lebar.
Nampaknya, pentingnya filantropi Islam di Indonesia telah menarik
perhatian lembaga-lembaga kemanusiaan, salah satunya adalah
ICRC (International Committe of the Red Cross) atau Palang Merah
Internasional, sebuah organisasi kemanusiaan yang berbasis di Jenewa.
Tahun 2013, ICRC melaksanakan workshop bekerjasama dengan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Saat itu, beberapa
pegiat lembaga filantropi dan kemanusiaan Islam di Asia Tenggara
diundang untuk menyampaikan visi misi mereka serta mendiskusikan

ix
kemungkinan mencari “titik temu” antara prinsip-prinsip kemanusiaan
dalam Islam dengan konsep dasar “Hukum Humaniter” yang telah
dirumuskan dalam Konvensi Jenewa. Diskusi serupa juga digelar di
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menelaah topik yang hampir
sama sebagai prawacana. Dalam diskusi yang berkembang waktu itu,
setidaknya terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang dibahas, yaitu
bagaimana konsep perang dalam Islam; skema perlindungan tawanan
anak kecil dan orang tua; apakah terdapat kompatibilitas antara Islam dan
hukum Humaniter Internasional; bagaimana memaknai imparsialitas
lembaga filantropi dan kemanusiaan dalam perang dan sebagainya. Bagi
saya, yang juga terlibat dalam diskusi-diskusi itu, pembahasan tersebut
sangat menarik dan menunjukkan bahwa, lagi-lagi, untuk memahami
dinamika filantropi Islam di Indonesia membutuhkan alat analisis yang
lebih kompleks dan terstruktur. Bahkan, seingat saya, ICRC sangat
intensif dalam masalah ini. Setidaknya ada beberapa pertemuan lain
yang digelar oleh ICRC, diantaranya di Bogor (2014) dan Manila-
Filippina (2016) yang melibatkan lebih banyak pihak, termasuk aktivis
dari lembaga-lembaga filantropi dan kemanusiaan selain Islam. Tentu
ada banyak lagi forum studi atau kajian tentang filantropi Islam yang
diselenggarakan di luar negeri, baik oleh lembaga riset, think tank,
intelejen, kampus dan lain-lain.

Mengolah Konsep Dasar dalam Konteks Baru


Topik-topik studi filantropi Islam saat ini berkembang dan para
peneliti mencoba mengaitkannya dengan berbagai konsep dasar,
seperti keadilan dan perdamaian. Islam adalah agama yang di dalam
ajaran-ajarannya memiliki semangat untuk tegaknya keadilan sosial
(al-‘adalah al-ijtima’iyyah). Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an maupun
narasi dalam tradisi Islam (hadits) yang mendorong kaum beriman
(mukmin) untuk bersikap adil dan menegakkan keadilan. Sama

x
halnya, banyak keterangan dalam ajaran Islam yang mengecam sikap
dan sifat despotik, curang, penipuan, dan penindasan. Karena itulah,
di dalam Islam, selain ketaatan untuk beribadah dalam bentuk ritual
shalat, puasa, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, zakat
menjadi salah satu pilar dari 5 pilar (rukun) Islam. Seiring dengan itu,
konsep dan kategori ketakwaan seorang mukmin, diantaranya ditandai
dengan pembelanjaan harta di jalan yang benar dan untuk memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat yang membutuhkan. Sebagai sebuah
bagian dari diskursus dan visi sosial Islam tentang keadilan, zakat
kerap dihadap-hadapkan dengan—atau dianggap sebagai lawan dari—
praktik riba’, yaitu sikap melipatgandakan keuntungan yang didalamnya
terdapat unsur penindasan yang memaksa dan menyengsarakan. Zakat
dipahami sebagai sebuah upaya untuk “membersihkan harta” dan
“mengembangkan harta” dengan cara menyisihkan sebagian harta yang
dimiliki atau dihimpun oleh seseorang. Dipahami dari ajaran Islam, di
balik harta yang dimiliki oleh seseorang, terdapat hak “orang lain”, yang
terdiri dari 8 ashnaf (kelompok yang berhak menerima zakat). Dalam
proses pendistribusian dana zakat inilah, para peneliti saat ini, termasuk
para penulis buku ini, mencoba mengorek berbagai isu yang sebelumnya
jarang diperdebatkan.
Di balik segudang kitab fikih yang telah tersedia dan menjadi rujukan
para ulama dalam memaknai dan mempraktikkan filantropi Islam,
nampaknya kajian untuk menganalisis konsep-konsep dasar seperti
keadilan sosial dan perdamaian terus berlanjut. Buku ini adalah salah
satunya. Saya yakin, tulisan-tulisan hasil para peneliti muda yang
terdapat dalam buku ini memberikan perspektif yang mencerahkan. Saya
melihat, mereka cukup berani untuk keluar dari genre studi filantropi
“konvensional” yang terbatas pada kajian tentang manajemen tata kelola
lembaga filantropi, pemberdayaan ekonomi, dan berbagai isu tentang
literasi finansial. Topik-topik yang ditulis dan diajukan oleh para penulis

xi
dalam buku ini sudah berani mengkontekstualkan tema filantropi ke
dalam konsep dasar tentang keadilan sosial, perdamaian dan bahkan isu
terorisme atau deradikalisasi. Oleh karena itulah, hemat saya, buku ini
menarik untuk dibaca sebagai bahan untuk melakukan ekspansi kajian
filantropi Islam di masa akan datang. Tentu, itu semua, juga tidak lepas
dari kerjasama antara MAARIF Institut (MI), sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang getol mengkampanyekan isu-isu keadilan, toleransi
agama, anti kekerasan, dan sebagainya, dengan Lazismu (Lembaga
Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Muhammadiyah). Sebagai lembaga
filantropi Islam, Lazismu mendorong munculnya riset-riset baru untuk
mempertajam definisi dan klasifikasi kelompok-kelompok pinggiran
dalam masyarakat yang mungkin dan layak menjadi penerima manfaat
zakat. Baik langsung maupun tidak, hasil studi ini menjadi bahan bacaan
yang cukup penting dalam rangka merumuskan kelompok-kelompok
baru penerima manfaat dalam zakat. Dalam buku ini terdapat 6 topik
kajian yang menarik untuk ditelaah.
Tulisan M.K. Ridwan tentang “Mantan Narapidana Terorisme
sebagai Mustahik Zakat,” secara berani membawa diskursus filantropi
Islam ke dalam isu sosial-politik-keagamaan yang berkembang di
Indonesia, yaitu terorisme. M. K. Ridwan mencoba menyuguhkan hasil
penelaahannya terhadap literatur-literatur fikih Islam maupun sumber-
sumber lainnya untuk melihat apakah mantan narapidana terorisme
dapat diklasifikasikan sebagai mustahik (penerima manfaat dana
zakat). Dalam pandangannya, seseorang yang terlibat dalam tindakan
terorisme tentu memiliki sebab dan prinsip keagamaan yang keras dan
eskstrim. Pada saat yang sama, para mantan terpidana teroris juga kerap
mendapatkan isolasi dari kelompok masyarakat luas dan ruang yang
lebih sempit untuk beraktivitas sosial untuk meningkatkan taraf hidup
mereka agar lebih layak. Berdasarkan penelusurannya, ia menawarkan
dua kategori, yaitu mantan narapidana teroris yang ekonominya lemah

xii
dan tidak memiliki sumber penghasilan yang layak dapat dikategorikan
sebagai asnaf faqir sementara bagi yang memiliki ekonomi yang relatif
cukup, dapat dimasukan ke dalam kelompok muallafah qulubuhum
(yaitu orang-orang yang tunduk atau harus ditundukkan hatinya).
Upaya untuk menelaah filantropi Islam dan kaitannya dengan
narapidana terorisme disajikan dengan menarik oleh Husna Yuni
Wulansari. Ia melakukan studi terhadap beberapa lembaga filantropi
Islam dalam bingkai radikalisasi dan deradikalisasi. Dalam tulisannya,
dengan menganalisis beberapa narasi yang dimunculkan oleh lembaga
filantropi Islam, Husna melihat bahwa beberapa lembaga dakwah
dan filantropi Islam telah menunjukkan sikap “dukungan pasif ”
terhadap gerakan terorisme atau lebih tepatnya pelaku tindak pidana
terorisme. Husna melihat adanya sikap “simpati” terhadap motif yang
dilakukan pelaku terorisme (baca: bukan simpati karena dipenjara).
Lembaga filantropi, seperti Infak Dakwah Center dan Anfiqu Center,
menurut Husna sama sekali tidak menunjukkan misi untuk melakukan
deradikalisasi. Temuan lain dari Husna adalah bahwa NUCare-Lazisnu
menunjukkan pandangan yang anti terorisme, namun pada saat yang
sama program-program yang ditawarkannya belum secara langsung
ikut menyelesaikan masalah-masalah sosial-ekonomi yang dihadapi
oleh narapidana terorisme.
Selaras dengan hal di atas, problem sosial-ekonomi yang dihadapi oleh
mantan narapidana terorisme juga tergambar dalam tulisan Waskito
Wibowo dengan judul “Filantropi berbasis Masjid untuk Keluarga
Narapidana Terorisme.” Dengan melakukan studi kasus di Lamongan,
tempat beberapa mantan narapidana terorisme berasal atau tinggal,
terdapat gerakan kolektif berbasis masjid dari sebagian kelompok
masyarakat untuk meluluhkan hati mantan narapidana terorisme agar
dapat berintegrasi dan menerima—dan diterima oleh—masyarakat.

xiii
Agak berbeda dengan penelitian di atas, Waskito melihat bahwa
sebagian kelompok masyarakat sudah berpartisipasi untuk berempati
sekaligus mendampingi dengan memberikan santunan kepada keluarga
narapidana terorisme. Dukungan terhadap keluarga nararidana
terorisme memang menjadi perbicangan hangat di kalangan para
peneliti. Apakah dukungan itu akan memperkuat keyakinan pelaku teror
bahwa keluarganya akan ada yang membantu kalaupun dia terpenjara
atau terbunuh, ataukah dukungan itu akan mengubah mentalitas pelaku
teror bahwa masih banyak yang bisa dilakukan untuk berani hidup dan
melawan tantangan kehidupan dengan cara memberikan rizki yang
layak dan mendidik anak-anaknya agar memliki prestasi di masa depan.
Penelitian Naomi Resty Anditya mencoba menakar inklusivitas
filantropi Islam dengan studi kasus LAZISNU dan LAZISMU di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia mencoba melihat apakah filantropi
Islam memiliki peran dalam mendorong perdamaian dan keharmonisan
dalam masyarakat. Dalam penelaahannya, LAZISNU dan LAZISMU
sudah mencoba menunjukkan sikap yang inklusif. Hal itu dapat
dibuktikan dengan cara mendistribusikan dana-dana filantropi Islam
yang tidak hanya terbatas pada satu kelompok saja, misalnya warga
dan simpatisan NU atau Muhammadiyah, tetapi juga sudah mencakup
kepada kelompok masyarakat yang lain. Dalam tulisannya, nampaknya
Naomi melihat adanya gap (jarak) antara diskursus inklusivitas dan
praktik filantropi yang inklusif. Secara diskursif, Lazisnu dan Lazismu
nampak cukup terbuka dalam mendefnisikan karakteristik penerima
manfaat yang tidak hanya dari satu kelompok atau satu agama saja,
tetapi di dalam praktiknya, masih terdapat kendala psikologis dan
strategi operasional sehingga program-program yang secara khusus
untuk “orang lain” yang bukan satu kelompok atau satu agama, belum
banyak bisa direalisasikan. Namun, Naomi juga melihat bahwa di

xiv
tingkat pusat, seperti Lazismu, beberapa program yang secara praktis
inklusif juga sudah banyak terlihat.
Filantropi dan pendidikan menjadi tema dari penelitian Nurul
Iffakhatul Sholihah. Ia membawa diskusi filantropi dan pendidikan ke
dalam diskusi tentang keadilan sosial. Lagi-lagi, kita bisa mengatakan
bahwa upaya menakar inklusvitas filantropi Islam juga dilakukan
dalam penelitian ini. Secara khusus, Nurul membandingkan program
pendidikan yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan Lazismu
(Lazis Muhammadiyah). Ia berkesimpulan bahwa program-program
pendidikan yang dilakukan oleh kedua lembaga ini lebih didominasi
dengan program yang sifatnya karitatif, dan belum masuk secara
sistemik untuk mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan di
Indonesia. Nampaknya, Nurul menginginkan bahwa lembaga filantropi
dapat berperan juga seperti LSM advokasi.
Tulisan terakhir berasal dari penelitian Nurhasanah tentang praktik
filantropi Islam di Kalimantan Barat. Ia menganalisis konsep inklusvitas
filantropi ketika dikaitkan dengan kelompok sosial khusus dan marjinal,
yaitu mantan pengguna narkoba, mantan terpidana, dan mantan
pekerja seks komersial (PSK). Penelitian dilakukan terhadap para
donatur dari empat lembaga filantropi Islam, yaitu Rumah Zakat, Lazis
PLN, Lazismu, Almumtaz Peduli, dan Tabungan Infak Harian (TIH)
Mujahidin. Survei dilakukan untuk melihat bagaimana pandangan
pada donatur muzakki dari keempat lembaga tersebut di atas tentang
pendayagunaan dana ZIS untuk tiga kelompok sosial yang disebutkan
di atas. Dengan jumlah prosentase yang berbeda, sebagian donatur
berpendapat bahwa ketiga kelompok marjinal di atas boleh menerima
ZIS karena mereka termasuk orang-orang yang berada dalam kesulitan,
sementara sebagian lain menyatakan tidak boleh karena mantan

xv
pengguna narkoba, mantan terpidana, dan pekerja seks komersial (PSK)
tidak termasuk dalam kategori asnaf.

Cukup Inklusifkah Filantropi Islam?


Dari 6 hasil penelitian yang diulas secara singkat di atas, nampaknya
argumen besar yang hendak dibangun terletak pada inklusivitas filantropi
Islam di Indonesia. Inklusivitas yang dimaksud adalah cakupan kegiatan
filantropi Islam dalam menjangkau kelompok-kelompok sosial yang
khusus, mungkin termarjinalkan atau bahkan terlupakan dalam wacana
filantropi Islam yang saat ini berkembang. Situasi sosial dan politik
di Indonesia memang menyisakan banyak masalah sosial yang patut
mendapatkan perhatian bersama, baik pemerintah, pengusaha, maupun
masyarakat umum, khususnya organisasi filantropi Islam. Konsep
kemiskinan dan kefakiran perlu penerjemahan ulang dan dikontekskan
dalam realitas kongkret. Bagaimanapun saat ini banyak kelompok baru
dalam masyarakat yang terhimpit oleh keadaan, akhirnya melakukan
kejahatan, jatuh dalam kemiskinan dan memungkinkan mereka untuk
kemudian dimasukan dalam salah satu kelompok asnaf (penerima
zakat).
Perlu dicatat bahwa buku ini bukanlah buku fikih. Para peneliti juga
bukan para ahli fikih. Karena itu, rumusan hasil penelitian yang
dihasilkan bukan untuk memberikan formulasi-formulasi fikih. Meski
demikian, apa yang menjadi refleksi dari para peneliti muda yang
menulis dalam buku ini perlu mendapatkan perhatian para ulama
dan lembaga keislaman sebagai bahan untuk refleksi dan memikirkan
kembali kategori-kategori khusus yang mungkin secara literal tidak
pernah dimasukan dalam kategori penerima manfaat zakat. Narapidana
terorisme, narapidana korban narkoba, keluarga narapidana terorisme,
dan pekerja seks komersial adalah contoh-contoh kelompok sosial
yang didiskusikan para peneliti. Saya teringat, dengan perdebatan di

xvi
sebuah daerah ketika sebuah lembaga amil zakat di daerah tersebut
hendak membangun shelter untuk para penderita HIV AIDS.
Sebagian aktivis berpendapat, program pembangunan shelter perlu
dilakukan, khususnya untuk mengedukasi dan memberikan dukungan
moral para para penderita HIV AIDS agar bisa menikmati sisa hidup
mereka dengan lebih baik dan bermakna. Mereka adalah korban dari
situasi sosial-ekonomi yang ada di hadapannya. Namun sebagian lain
berpendapat bahwa shelter tidak diperlukan karena lembaga filantropi
Islam tidak didirikan untuk memfasilitasi “para pendosa”, dan penderita
HIV AIDS adalah konsekuensi dari masa lalu.
Tetapi justru di sinilah letak menariknya buku ini, yaitu perdebatan
tentang kategori baru asnaf. Inklusivitas lembaga filantropi dilihat dari
bukan hanya bagaimana filantropi memberikan manfaat kepada orang
atau kelompok orang yang misalnya berbeda afiliasi keagamaan saja,
tetapi juga kepada kelompok orang yang tidak atau sangat tidak disukai
oleh pemerintah maupun masayarakat, seperi pelaku teroris, narkoba
dan pekerja seks. Oleh karena itu, saya melihat masih banyak kerja-kerja
intelektual dan akademis yang perlu dilakukan untuk mempertajam
dampak sebuah aksi sosial agar Islam bisa menjadi rahmat bagi
semesta dan menyentuh kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan
terlupakan karena status masa lalunya yang suram dan gelap. Dengan
berbagai keterbatasan data yang telah terhimpun, buku ini, memberikan
sumbangan yang cukup berharga di tengah gegap gempita semangat
gerakan filantropi Islam di Indonesia yang semakin semarak. Dengan
membaca buku ini, kita akan dibawa kepada suatu pertanyaan: cukup
inklusifkah filantropi Islam di Indoensia? Jawabannya ada para diri
pembaca semua. Selamat membaca!

xvii
Daftar Isi

Pengantar MAARIF Institute: Mungkinkah Gerakan Filantropi


Islam dapat Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan Sosial? ....... iii
Pengantar LAZISMU: Menakar Inklusivitas Filantropi Islam
di Indonesia ................................................................................. viii

Daftar Isi........................................................................................................... xviii


1. Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat........ 1
M.K. Ridwan
2. Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme
di Indonesia.............................................................................................. 39
Husna Yuni Wulansari
3. Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana
Terorisme: Studi Kasus di Kabupaten Lamongan...................... 87
Waskito Wibowo
4. Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas
LAZISNU dan LAZISMU Cabang D.I.Yogyakarta............... 125
Naomi Resti Anditya
5. Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis?
Studi Perbandingan Kasus pada LazisMu dan Dompet Dhuafa...... 167
Nurul Iffakhatul Sholihah
6. Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam
di Kota Pontianak................................................................................... 211
Nurhasanah
7. Epilog : Kedermawaan Kaum Beragama dan Problem Kesalehan 247
Zuly Qodir

Profil Penerima MAARIF Fellowship 2017-2018............................ 267


Profil Dewan Juri MAARIF Fellowship 2017- 2018....................... 273
Profil MAARIF Fellowship 2017-2018....................................... 279
Profil MAARIF Institute............................................................................ 291
xviii

Mantan Narapidana Terorisme
Sebagai Mustahik Zakat
MK Ridwan

Abstrak
Zakat merupakan tradisi filantropi Islam yang dinamis dan transformatif.
Konsep dan praksisnya senantiasa berkembang dan bergerak mengikuti
perubahan zaman. Salah satunya konsep mustahik yang mengalami
perluasan dan penyempitan sesuai kultur dan struktur sosio-ekonomi
masyarakat yang berlaku. Dengan menggunakan pendekatan sisiologis-
hermeneutis, penelitian ini menyimpulkan bahwa mantan narapidana
terorisme (napiter), dapat menjadi mustahik zakat dalam dua kategori;
pertama, mantan napiter ekonomi lemah, masuk ke dalam ashnaf faqir,
kedua, mantan napiter dengan ekonomi menengah ke atas, masuk ke
dalam ashnaf muallafah qulûbuhum.
Kata Kunci: Zakat, Mustahik, Mantan Napiter

Pendahuluan
Dalam keyakinan Islam, zakat merupakan kewajiban finansial bersifat
ibadah bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat untuk
mengeluarkannya. Zakat ini dikeluarkan orang-orang yang memiliki
harta dengan batas minimal tertentu untuk kemudian didistribusikan
kepada orang-orang dengan kriteria yang telah ditentukan dalam syariat
sebagai penerima zakat atau mustahik. Meskipun bernilai ibadah,
zakat diyakini dapat menjadi instrumen mengatasi masalah-masalah

1
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

sosial dan kesenjangan ekonomi. Di samping berdimensi vertikal-


teologis, yang dilaksanakan atas perintah agama, zakat juga memiliki
nilai horizontal-sosiologis yang didasarkan atas prinsip kemanusiaan.1
Karena itu, para pemikir peran sosial keagamaan dalam dunia Islam
meyakini zakat dapat menjadi solusi ketimpangan sosial dan ekonomi
dan mengindari dari bencana sosial seperti kemiskinan, kelemahan fisik
maupun mental.2
Salah satu aspek penting dalam tradisi zakat, baik yang bersifat
konseptual-teoretis maupun operasional-aplikatif, adalah
mendefinisikan siapa penerima zakat dan prosedurnya. Meskipun
kriteria penerima zakat dianggap telah ditetapkan secara teologis dan
bersifat mengikat namun perkembangann sosial ekonomi umat Islam
juga berkembang bersama perubahan-perubahan struktur masyarakat.
Perubahan itu berimplikasi kepada munculnya kelompok-kelompok
fakir dan miskin jenis baru yang tidak tercakup dalam kriteria mustahik
konvensional. Karenanya, dalam proses pendistribusian dana zakat,
diperlukan peta ulang soal mustahik, dan cara pengelolaannya secara
profesional agar mempunyai signifikansi dan akurasi sesuai dengan
sasaran dan perkembangan zaman.
Permasalahan pendistribusian dana zakat sebenarnya telah ditetapkan
oleh Allah melalui QS. at-Taubah [9]: 60 yang menetapkan penerima
zakat kepada delapan golongan (ashnaf) yaitu; (1) fuqarâ; (2) masâkîn;
(3) âmilîn; (4) muallafah qulûbuhum (5) riqâb; (6) ghârimîn; (7) sabîlillah;
dan (8) ibnu sabîl.
Kriteria ashnaf ini sebetulnya masih abstrak dan umum, karenanya
melahirkan berbagai alternatif penafsiran bahkan “polemik”, baik di
kalangan ahli hukum Islam maupun ahli tafsir. Perdebatan ini dipicu

1 Syahril Jamil, “Prioritas Mustahiq Zakat menurut Teungku Muhammad Hasbi ash
Shiddieqy,” Istinbath, 14.16 (2015), h. 146.
2 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, h. 14.

2
MK Ridwan

oleh dua faktor; pertama, faktor internal dari sisi tekstual ayat, al-Qur’an
tidak memberikan kriteria lebih khusus tentang siapa orang-orang
yang masuk ke delapan golongan tersebut; kedua, faktor eksternal,
ketika terjadi perbedaan realitas baik kultur maupun struktur sosio-
ekonomi, antara konteks masa kini dengan konteks masa di mana
al-Qur’an diturunkan. Sebagai jalan keluarnya, ada yang secara tegas
berpegang pada makna tekstualis dan membatasi (baca: menyempitkan)
pendistribusian zakat hanya untuk delapan golongan saja, sebagian lain
memperluas cakupannya dengan syarat-syarat yang ketat, dan sebagian
lainnya mengkontekstualisasikan dengan realitas zaman yang senantiasa
berkembang dan tidak terpaku pada pemaknaan harfiah (tekstual) ayat.
Beberapa topik yang menjadi perdebatan dalam mekanisme
pendistribusian zakat (mashârif al-zakâh) seperti; apakah pendistribusian
dana zakat harus sama (merata) pada setiap ashnaf; apakah boleh dana
zakat didistribusikan ke luar wilayah pengambilannya; apakah dana zakat
dapat digunakan untuk pemeliharaan fasilitas publik dan bukan untuk
individu penerimanya; atau apakah pendistribusiaannya harus selalu
kepada setiap delapan golongan tersebut. Sementara dalam konteks al-
ashnaf al-tsamâniyyah, yang masih kontroversial di antaranya; muallafah
qulûbuhum (orang-orang yang dibujuk hatinya agar tunduk kepada
Islam) apakah hak zakat untuk orang mualaf masih tetap berlaku
sampai sekarang; atau al-riqâb di mana pada konteks masa kini, konsep
perbudakan klasik sudah tidak ada lagi, maupun fi sabîlillah yang harus
ditafsirkan dalam kerangka makna sempit seperti berperang (jihad)
di jalan Allah, atau dipahami secara lebih luas sebagai “segala sesuatu
(jalan) yang mengarahkan pada keridhaan Allah” yang berarti segala

3
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

kebaikan untuk kemaslahatan umat manusia.3 Hal tersebut menjadi


kajian yang hingga saat ini masih terus berlanjut, dengan argumentasi
baik naqli maupun aqli.4
Sebegitu jauh, konsep mustahik merupakan tema pembahasan yang
paling sedikit dikaji. Hal ini bisa dilacak pada sumber-sumber kajian
fikih zakat yang sangat minim akan gagasan dan ide-ide pembaruan
tentang konsep mustahik. Berbeda halnya dengan kajian fikih zakat
tentang penentuan sumber-sumber harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya (al-amwâl az-zakawiyyah) yang sudah cukup luas dan
elaboratif. Padahal dalam upaya melakukan modernisasi kosep zakat,
di samping melakukan pembaruan di bidang al-amwâl az-zakâwiyyah
(sumber), juga penting untuk melakukan pembaruan di bidang al-
ashnaf al-tsamâniyyah (sasaran).5
Adanya keseimbangan pembaruan zakat dalam aspek sumber (harta)
dan sasaran (mustahik) menjadi langkah strategis dalam kerangka
modernisasi zakat. Karena, sebagaimana konsep harta, stratifikasi
sosial masyarakat pun selalu berevolusi mengikuti perubahan pola
struktur sosio-ekonomi masyarakatnya. Sejarah mencatat bagaimana
zakat dipraktikkan secara berbeda-beda pada setiap masa dan selalu
mengalami perkembangan secara kontekstual.6 Artinya konsep
mustahik serta aplikasinya seharusnya juga mengalami perluasan atau
penyempitan bergantung pada konteks struktur sosio-ekonomi umat.

3 Ini disebabkan karena redaksi fi sabîlillâh secara literal seakan tidak (bisa) berdiri sendiri,
dan seperti membutuhkan pendamping. Sehingga mengesankan makna yang sangat global
dan belum jelas kriteria dan batasannya. Siti Tatmainul Qulub dan Ahmad Munif, “The
Meaning of Fi Sabilillah as a Mustahiq Zakat according to Contemporary Ulama” Bimas
Islam 8.4 (2015), h. 610.
4 Amelia Fauzi, Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di
Indonesia, trans. Eva Mushoffa (Yogyakarta: Gading Publishing, 2016), h. 46.
5 Irfan Syauki Beik dan Qurroh Ayuniyyah, “Fiqh of Asnaf in the Distribution of Zakat: Case
Study of the National Board of Zakat of Indonesia (BAZNAS)” al-Infaq 6.2 (2015), h. 202.
6 Sejak periode Islam awal, zakat telah menjadi ruang ijtihad yang luas, berbasis maslahah.
Perubahan sosio-politik dan komitmen keagamaan penguasa juga memberi dampak besar
terhadap dinamika pengelolaan zakat dan menimbulkan diskursus yang tajam di antara para
fuqahâ’. Fauzi, Filantropi Islam, h. 50-51.

4
MK Ridwan

Dengan demikian, tradisi zakat merupakan tradisi yang dinamis. Dalam


konteks adaptasi atas perubahan sisuasi itu, Muhammad Syahrur, salah
seorang pemikir fiqh Islam di era modern ini menyatakan bahwa meski
Islam dalam batas-batas hukumnya bersifat tetap dan pasti (istiqâmah),
namun Islam juga bersifat lentur dan dinamis (hanîfiyya) dengan
memberikan ruang gerak ijtihad di antara kedua batas minimal dan
batas maksimal.7
Dengan bacaan konteks masa kini, di mana perubahan-perubahan
dan tuntutan zaman serta berbagai situasi tak terhindarkan,
maka kelangsungan ashnaf dalam dataran aplikatif membutuhkan
pendefinisian ulang. Misalnya setelah penghapusan semesta atas budak
sebagai deklarasi universal atas penghapusan perbudakan di muka bumi,
dibutuhkan definisi ulang mereka yang berhak menerima zakat dengan
kriteria yang sama dengan karakteristik budak. Misalnya tidak memiliki
pelindung, tergantung penuh kepada orang lain dalam relasi yang
timpang (majikan), rentan berpindah keyakinan akibat kemiskinannya
dan tidak merdeka, rentan terkondisikan untuk melakukan perbuatan
zalim. Pada era modern kriteria-kriteria serupa budak maupun
kelompok ashnaf lainnya sangat mudah ditemukan, antara lain mereka
yang pernah terjerat dalam gerakan sosial politik keagamaan yang
mengusung ideologi ekstremisme dan melakukan upaya makar kepada
pemerintahan yang sah dan berdaulat dan karenanya mereka ditangkap
diadili dan menyandang status sebagai narapidana khusus terorisme atau
biasa disebut napiter. Dengan karakteristik yang menyamakan antara
napiter dengan salah satu ashnaf zakat, dapatkah mereka dikategorikan
sebagai mustahik zakat?
Dengan memasukkan mereka sebagai ashnaf zakat, maka dari segi
praksis kegiatan-kegiatan disengagement, deradikalisasi, conceling

7 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, (Damaskus: al-Ahli


Publishing House, 1990), h. 453.

5
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

maupun bentuk-bentuk program pemberdayaan ekonomi lainnya dapat


dilakukan dalam kerangka pemberian zakat, guna memutus mata rantai
terorisme yang dapat melindungi umat Islam sendiri dari perbuatan
aniaya yang dilarang oleh agama.
Upaya ini didasarkan pada sebuah alasan bahwa mantan napiter
merupakan kelompok rentan. Ketika napiter keluar dari penjara dan
berusaha hidup kembali di tengah komunitasnya, pada dasarnya mereka
mengalami alienasi, dan pengucilan. Mereka mengalami gangguan
untuk beradaptasi akibat stigma dan sistem sosial yang tak sanggup
menerima kehadiran mereka kembali. Stigma negatif masyarakat
terhadap mereka terus melekat dengan julukan mantan teroris. Kuatnya
stigma ini bukan perkara mudah bagi masyarakat untuk menerima
kembali mereka sebagai bagian dari masyarakat. Sebab umumnya
masyarakat di sekitar tempat seorang napiter itu berasal juga menerima
stigma serta sangsi sosial kolektif yang tidak kecil, selalu dicurigai dan
diawasi, serta mengalami kesulitan-kesulitan untuk bekerja secara
normal tanpa stigma. Karenanya ketika sang napiter kembali ke
kampungnya, tak heran mereka mengalami pengasingan sosial karena
masyarakat di sekitarnya masih khawatir bahkan phobia atas tindakan
dan aksi terorisme yang pernah dilakukannya.8
Terjadinya penolakan masyarakat terhadap napiter menyebabkan
tidak bekerjanya daya dukung sosial kepada mereka. Sistem sosial
yang tersedia tidak dapat mengatasi keterasingan para pantan napiter
yang mengakibatkan terputusnya aspek ekonomi, pendidikan, politik,
keagamaan serta hubungan sosial lainnya. Napiter akan mengalami
alienasi dalam komunitas akibat dua faktor; faktor eksternal, akibat
stigma negatif atas dirinya sebagai mantan teoris yang dianggap
berbahaya dan bahkan dosanya tidak dapat diampuni karena telah
melanggar ketentuan negara maupun agama; faktor internal, sebagai

8 Noor Huda Ismail, Dilema Narapidana Terorisme, Kompas edisi 27 Januari 2016, h. 7.

6
MK Ridwan

dampak dari faktor eksternal yang menimbulkan rasa cemas, khawatir


bahkan takut dalam diri seorang napiter untuk bergaul dengan orang
lain, dan menghindar dari pergaulan dan kegiatan-kegiatan sosial-
keagamaan. 9
Secara logis psikologis, keadaan itu akan mudah mengkondisikan
mereka membangun hubungan dengan komunitas awalnya yang
menjeratnya sebagai teroris. Sebab hanya kelompok itu yang mereka
ketahui dan merasa nyaman berada di dalamnya. Karenanya, perhatian
dalam proses pembinaan mereka akan membawa banyak perubahan
dalam diri mantan napiter dan sangat berpengaruh dalam merealisasikan
perubahan diri.10 Tentunya hal ini akan berpotensi untuk melepaskan
mantan napiter dari jejaring terorisme yang mengungkungnya.
Pertanyaannya, daya dukung sosial seperti apa yang dapat disediakan
komunitas dalam upaya disengagement mereka dengan komunitas asal
mereka sebagai teroris? Hasil riset Crisis Group Asia (2011) menegaskan
bahwa program zakat yang dimaknai ulang sebagai program bantuan
kemanusiaan dapat berperan bagi penanggulangan terorisme pada
komunitas yang rentan akibat kemiskinan, ketidakadilan sosial-
ekonomi, dan akibat tertimpa bencana.
Dengan demikian, wacana untuk memasukkan mantan napiter
sebagai golongan penerima zakat, merupakan sesuatu hal yang harus
dipertimbangkan. Meskipun, upaya ini merupakan terobosan yang
relatif baru di mana kajian keagamaan oleh ulama-ulama terdahulu
belum membahasnya, namun mengingat urgensi sangatlah tepat
untuk melakukan kajian atas kemungkinan memasukkan mereka ke
dalam ashnaf zakat. Untuk itu dibutuhkan penggalian aspek hukum
Islam sebagai legitimasi teologis dan sosiologis. Adanya hukum yang

9 Untuk kajian terhadap mantan narapidana terorisme dalam perspektif psikologis baca,
Sarlito Wirawan Sarwono, Menakar Jiwa Mantan Narapidana Terorisme Melalui Tes
Davido CHaD (Jakarta: Salemba Humanika, 2013).
10 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan Psikologi, (Tangerang:
PT Pustaka Alvabet dan LaKIP, 2012), h. 52.

7
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

jelas terhadap suatu perkara akan lebih mudah untuk diterima oleh
masyarakat umum. Apalagi mengingat Indonesia secara umum adalah
“bangsa religius” yang meletakkan posisi agama sebagai faktor utama
dalam bertindak.11
Berdasarkan argumentasi di atas, dengan memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan yang terjadi dalam situasi kontemporer, serta urgensinya
masalah yang terjadi pada mantan napiter, menjadi sangat penting
untuk melakukan penelitian mendalam tentang reinterpretasi konsep
mustahik zakat, sebagai justifikasi hukum Islam atas posisi mantan
narapidana terorisme sebagai golongan penerima zakat. Sehingga,
pertanyaan dalam penelitian ini adalah; (1) bagaimana reinterpretasi
konsep mustahik di era kontemporer? (2) bagaimana landasan hukum
Islam ditinjau dari perspektif sosiologis-teologis atas posisi mantan
narapidana terorisme sebagai golongan penerima zakat?

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (library research) yang
menekankan pada proses telaah konseptual dengan menggunakan
pendekatan sosiologis-hermeneutis. Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh melalui metode kepustakaan. Peneliti
mengumpulkan bahan-bahan baik berupa buku, jurnal, hasil penelitian,
maupun sumber teks lainnya yang memiliki relevansi serta kontribusi
terhadap penelitian ini dengan cara sistematis dan terstruktur. Data
yang terkumpul, kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif-
analitis dengan mengkaji gagasan primer mengenai “ruang lingkup
permasalahan” yang relevan dengan gagasan sekunder, untuk mencari
simpul-simpul yang selaras dari keseluruhan data yang ada, sehingga
bersifat eksplanatoris. Dalam memecahkan konteks permasalahan,

11 Fauzi, Filantropi Islam, h. 14.

8
MK Ridwan

penulis menggunakan nalar induksi12 dengan berpijak pada prinsip


pokok yang merupakan pedoman legal dalam menentukan arah yang
akan dituju seperti, mengakui universalitas al-Qur’an, berpegang pada
prinsip bahwa dalil (nash) berlaku umum selama tidak ada petunjuk
bahwa dalil itu berlaku khusus, memfungsikan analogi yang benar, serta
mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari pembelakuan sebuah
hukum.13

Esensi Ajaran Islam tentang Zakat


Istilah zakat secara mikro dapat dipahami melalui dua sisi. Secara
etimologis, zakat merupakan bentuk kata dasar (masdar) dari kata
“zakâ” yang berarti al-namâ (pertumbuhan atau perkembangan) dan al-
ziyâdah (bertambah).14 Di dalam al-Qur’an juga terdapat banyak kata
yang memiliki akar makna yang sama dengan zakat, seperti al-barakatu
(keberkahan), ath-thaharatu (kesucian),15 al-tazkiyah (bersih) dan ash-
shalâhu (kebaikan). Kata “zakât” dalam bentuk ma’rifah (definitif )
disebutkan 28 kali di dalam al-Qur’an, di antaranya 27 kali disejajarkan
dengan kewajiban shalat,16 dan hanya satu kali disebutkan dalam
konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat (QS.
al-Mu’minun [23]: 2-4).17 Di antaranya delapan ayat turun di Makkah
dan selebihnya turun di Madinah.18

12 Artinya, untuk mendapatkan pemahaman yang kontekstual dan komprehensif, penulis


tidak hanya mendeduksi makna dari teks, tetapi juga menginduksi dari realitas. Sehingga,
dalam penelitiannya tidak hanya sekadar menjelaskan (auslegn), tetapi juga memahami
(verstehen). Hassan Hanafi, Islam in the Modern World; Religion and Development, Vol. I
(Heliopolis: Dar Kebaa Bookshop, 2000), h. 486-7.
13 Yusuf Qardhawy, Fiqhuz Zakât: Dirâsati Muqâranah li Ahkâmihâ wa Falsafatihâ fî Daw
al-Qur’ân wa as-Sunnah (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1994), h. 23-30.
14 Ibn Manzur, Lisân al-Arab (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979), h. 1846-7.
15 Misalnya dalam QS. asy-Syams [91]: 9 dan QS. al-A’la [87]: 14.
16 Menurut Yusuf Qaradhawy, ulama masih berbeda pendapat tentang jumlah ayat zakat,
ada yang menyatakan bahwa terdapat 82 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat
dengan zakat. Menurut Qardhawy, bahwa jumlah tersebut terlalu dibesar-besarkan. Lihat
Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 40.
17 Umumnya dalam bentuk fi’il amr (perintah), kadangkala dalam bentuk fi’il mudhâri’,
fi’il madhi, dan bahkan dalam bentuk jumlah ismiyyah. Lihat Hafidhuddin, Zakat dalam
Perekonomian, h. 1.
18 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 42.

9
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Di dalam al-Qur’an terdapat istilah-istilah lain dari zakat, yang meskipun


mempunyai makna berbeda, tetapi sering digunakan untuk merujuk
pada konteks zakat, seperti kata infâq, haq dan shadaqâh.19 Keterkaitan
zakat dengan infak, karena pada hakikatnya zakat adalah suatu bentuk
penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan yang diperintahkan oleh
Allah SWT.20 Zakat disebut sebagai hak, karena memang zakat adalah
ketetapan yang bersifat pasti dari Allah yang harus diberikan kepada
golongan yang berhak menerimanya. Adapun, keterkaitan zakat dengan
sedekah, karena zakat adalah sebutan untuk sedekah wajib (minamal)
yang harus dikeluarkan oleh kaum hartawan (aghniyâ) sebagai cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT.21
Secara terminologis, zakat adalah istilah yang digunakan oleh al-
Qur’an untuk menandakan kewajiban khusus memberikan sebagian
harta individu sebagai jalan untuk beramal dan membantu sesama umat
manusia sebagai bentuk kepedulian sosial. Yusuf Qardhawy, seorang
ulama al-Azhar Mesir, menjelaskan bahwa zakat adalah sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada orang-orang

19 Lihat misalnya dalam QS. at-Taubah [9]: 34, 60, al-An’am [6]: 141.
20 Kata “infâq” berasal dari kata “nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan” yang berarti
“berlalu, habis, laris, dan ramai”. Sehingga, infak (infâq) artinya “menghabiskan” atau
“membelanjakan” harta atau sesuatu. Ibn Manzur, Lisân al-Arab, h. 4507-9. Istilah infak
lebih umum karena mencakup seluruh pembiayaan baik yang bersifat ibadah maupun
sosial, bahkan segala sesuatu bentuk pembayaran baik yang halal maupun yang haram.
Sehingga, infak adalah segala sesuatu bentuk transaksi pembayaran atau aktivitas
mengeluarkan atau membelanjakan harta. Infak dengan berbagai derivasinya disebut dalam
al-Qur’an sebanyak 73 kali. Al-Qur’an mengungkapkannya baik dalam bentuk kalimat
informatif (al-akhbariyah), kalimat perintah dan larangan (al-insyâiyyah) dan juga dalam
bentuk perumpamaan (al-matsal). Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi stimulus
yang bersifat psikologis (taqsya’irru bihi al-qulûb) sesuai dengan konteks penerimanya.
Muhammad Sa’i, “Filantropi dalam al-Qur’an: Studi Tematik Makna dan Implementasi
Perintah Infak dalam al-Qur’an” Tasamuh 12.1 (2014), h. 64.
21 Istilah shadaqah (shadaqat) disebutkan 12 kali di dalam al-Qur’an yang kesemuanya turun
di Madinah. Kata shadaqah berasal dari kata “shidq” yang berarti benar. Susunan kata
shad-dal-qaf bermakna “terwujudnya sesuatu oleh sesuatu, atau membantu terwujudnya
sesuatu itu. Sehingga zakat dinamakan sedekah karena tindakan tersebut akan menunjukkan
kebenaran (shidq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah.
Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Juz III. Tahqiq. Muhammad Harun (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1979), h. 339-40.

10
MK Ridwan

yang berhak menerimanya.22 Menurut Wahbah Zuhaily dalam Fiqhul


Islam wa Adilatuh, zakat berarti “penuaian”, yakni penuaian hak yang wajib
dikeluarkan dari sebagian harta yang dimiliki sebagai suatu ketetapan
Allah.23 Adapun menurut UU No. 23/2011 tentang pengelolaan zakat,
zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang
Muslim dan atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan syariat Islam.24
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan–dalam
hal ini penulis sependapat dengan Muhammad Syahrur–bahwa zakat
adalah suatu bentuk sedekah minimal (innamâ ash-shadaqâtu) atau
batas minimal jumlah dari harta yang dimiliki seseorang yang harus
disedekahkan kepada orang lain yang menjadi kewajiban dalam Islam.
Zakat menjadi pilar yang bercorak sosial-ekonomi. Menandakan zakat
adalah ibadah mâliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis dan menentukan, baik dilihat dari aspek ajaran Islam, maupun
dari aspek potensi yang dimiliki bagi pembangunan kesejahteraan umat
manusia.25
Terdapat hubungan yang sangat erat dan berkait kelindan antara aspek
etimologis dan terminologis zakat, di mana harta yang dikeluarkan
akan menjadi bertambah, berkembang, tumbuh, berkah, suci, bersih dan
baik.26 Dikeluarkannya zakat akan membuat tumbuh kembang, baik
pada harta itu sendiri maupun pada aspek pahala, dan juga karena zakat
adalah bentuk penyucian atas kerakusan, kebakhilan jiwa, dan bentuk-
bentuk penyakit kemanusiaan lainnya, sekaligus bentuk penyucian jiwa
manusia dari dosa-dosanya.

22 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 37.


23 Wahbah Zuhaily, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, trans. Agus Effendi dan Bahruddin
Fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 85.
24 Yusuf Wibisono, Mengelola Zakat Indonesia: Diskursus Pengelolaan Zakat Nasional dari
Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
25 Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian, h. 15.
26 Lihat QS. at-Taubah [9]: 103, dan QS. ar-Ruum [30]: 39.

11
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Secara historis, zakat telah lebih dahulu disyariatkan kepada umat


sebelum Islam. Hal ini bisa dibuktikan di dalam al-Qur’an yang
banyak menyebutkan perintah zakat kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad; pertama, zakat telah diperintahkan kepada Ibrahim dan
keturunannya (QS. al-Anbiya [21]: 72-72); kedua, al-Qur’an secara
khusus menyebutkan Ismail diperintahkan untuk shalat dan zakat (QS.
Maryam [19]: 54-55); ketiga, Allah mensyariatkan shalat dan zakat
kepada kaum bani Israil (QS. al-Maidah [5]: 12, al-Baqarah [2]: 83);
keempat, Allah memerintahkan Isa beserta umatnya untuk mendirikan
shalat dan menunaikan zakat (QS. Maryam [19]: 30-31); kelima,
al-Qur’an memerintahkan secara umum kepada ahl-Kitab untuk
mendirikan shalat dan menunaikan zakat (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
Syariat zakat dalam tradisi Islam sudah dimulai pada periode Makkah.
Komitmen Islam terhadap perubahan sosial dan kepedulian terhadap
orang-orang tertindas (mustadh’afûn), menjadikan zakat sebagai salah
satu bukti konkret keberpihakan Islam terhadap kelompok rentan
tersebut. Pada fase ini, syariat zakat masih dalam bentuknya yang
substantif dan karitatif, dengan sistem sukarelawan (voluntary system).
Misalnya al-Qur’an menggunakan kalimat “memberi makan dan
mengajak memberi makan orang miskin”. Hal ini bisa ditemukan di dalam
surat al-Qur’an yang turun pertama, misalnya dalam QS. al-Muddatsir
[74]: 38-46, atau al-Qalam [68]: 19-33, kemudian QS. al-Haqqah [69]:
30-34, al-Fajr [89]: 17-18. Selanjutnya perintah untuk “memberikan
sebagian harta yang dimiliki kepada peminta-minta, yang berkekurangan,
kaum fakir miskin dan atau orang-orang yang terlantar dalam perjalanan”.
Misalnya, QS. adz-Dzariat [51]: 19-20, al-Ma’arij [70]: 19-25, al-Isra’
[17]: 26, ar-Rûm [30]: 38. Ataupun perintah untuk “mengeluarkan hak
bagi hasil panen” (QS. al-An’am [6]: 141).27

27 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 52-4.

12
MK Ridwan

Al-Qur’an kembali menegaskan ajaran zakat pada fase Makkah


dengan mulai memuji orang yang berzakat dan mencerca bagi yang
tidak menunaikannya. Misalnya dalam QS. ar-Ruum [30]: 38-39, an-
Naml [27]: 1-3, Luqman [31]: 4, al-A’raf [7]: 156-157, al-Fushshilat
[41]: 6-7, asy-Syams [91]: 9, al-A’la [87]: 14. Secara umum, ayat-ayat
Makkiyah masih berupa formatnya yang ikhbâriyah (informatif ), tidak
mengandung unsur perintah (kewajiban). Berarti zakat dalam periode
Makkah adalah zakat yang belum ditentukan batas dan besarannya,
tetapi masih diserahkan kepada masing-masing individu sesuai dengan
kadar keimanan, kedermawanan dan perasaan tanggung jawab sosial.28
Barulah pada fase Madinah, ketika umat Islam telah mencapai puncak
eksistensi yang memiliki teritorial kekuasaan dan pemerintahan sendiri,
zakat menjadi syariat yang baku, dan memiliki muatan hukum yang
detail, mulai dari jenis harta yang wajib dizakati, besarannya, sasaran
distribusinya, hingga badan yang bertugas mengelolanya. Beberapa ayat
Madaniyah menjelaskan zakat sebagai suatu kewajiban yang bersifat
tegas dan mengikat serta memiliki instruksi yang sangat jelas (obligatory
system). At-Taubah adalah surat yang paling banyak berbicara perintah
zakat, misalnya QS. at-Taubah [9]: 5, 11, 18, 34-35, 58-60, 67, 71, 103,
kemudian al-A’raf [7]: 156, al-Maidah [5]: 55-56, al-Hajj [22]: 41.
Zakat menjadi syariat yang baku pada tahun kedua setelah hijrah (624
M), dengan ketetapan bahwa kewajiban zakat fitrah lebih dulu daripada
zakat harta.29
Sebagai suatu ajaran Islam yang sangat penting, zakat menyimpan
potensi dan kemanfaatan sebagaimana dikemukakan oleh M. Quraish
Shihab, seorang tokoh mufasir Indonesia, bahwa setidaknya terdapat tiga
landasan filosofis disyariatkannya zakat. (1) Istikhlaf (penugasan sebagai
khalifah di bumi). Karena harta hanyalah titipan, maka manusia sebagai

28 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 60.


29 Fauzi, Filantropi Islam, h. 48.

13
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

khalifah, dituntut untuk menggunakan hartanya demi kesejahteraan


alam semesta sebagai manifestasi dari spirit rahmatan lil alamîn. (2)
Solidaritas sosial. Karena manusia adalah makhluk sosial, maka dituntut
untuk saling bekerja sama dan tolong menolong, terutama antara si kaya
dengan si miskin. (3) Persaudaraan. Zakat memberikan artian bahwa
setiap manusia sejatinya bersaudara karena memiliki kesamaan asal.
Maka setiap manusia harus saling berbagi dan menyisihkan hartanya
untuk kebutuhan orang lain.30
Sementara itu, hikmah dan manfaat disyariatkannya zakat, yang dapat
dirasakan baik bagi muzakki dan mustahik maupun bagi masyarakat
umum di antaranya; pertama, bagi muzakki. (a) zakat adalah bentuk
perwujudan keimanan serta sarana pendekatan diri kepada Allah.
(b) zakat adalah bentuk aktualisasi rasa syukur atas segala karunia
nikmat yang diberikan Allah. (c) zakat adalah sarana terapi hati dan
pembersihan diri dari kecintaan terhadap dunia (hedonistik). (d)
zakat adalah sarana menumbuhkan akhlak mulia (karakter dermawan)
dengan rasa kemanusiaan yang tinggi serta memperkuat rasa solidaritas
(kepedulian) sosial (menghilangkan sifat egois). (e) zakat mampu
mengikis habis sifat-sifat kikir, bakhil, rakus dan materialistis di dalam
jiwa seseorang. (f ) zakat mampu menumbuhkan ketenangan hidup,
sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki.
(g) zakat dapat mengembangkan kekayaan batin dan meningkatkan
optimisme hidup.31 (h) zakat merupakan medan jihad (dakwah bil mâl)
ataupun ladang ibadah bagi kaum hartawan.
Kedua, bagi mustahik. (a) zakat akan membebaskan penerimanya dari
tekanan kebutuhan hidup, baik materi, psikis, maupun kebutuhan
maknâwiyyah fikriyyah lainnya, sehingga terbebas dari bahaya kefakiran,

30 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), h. 323-5.
31 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 866.

14
MK Ridwan

kekufuran dan kekafiran. (b) zakat berfungsi untuk menolong,


membantu dan membina mereka yang kekurangan, sehingga mereka
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya untuk beribadah dengan tenang
(khusyu) kepada Allah SWT. (c) zakat membersihkan jiwa penerimanya
dari penyakit hasad (iri), dengki, benci dan bentuk kecemburuan sosial
lainnya. Karena orang miskin yang sangat membutuhkan itu ketika
melihat orang di sekitarnya hidup mewah dan bergelimang harta, tetapi
tidak mengulurkan bantuannya, akan merasa sakit hati (iri, dendam dan
benci) kepada orang kaya dan bahkan kepada masyarakat secara umum.
Hal ini akan memutuskan tali persaudaraan, menghilangkan rasa cinta
dan mencabik-cabik kesatuan sosial.32
Ketiga, bagi masyarakat umum (sosial). (a) zakat adalah pilar amal
bersama antara orang-orang kaya dengan para mujahid yang seluruh
waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah. (b) zakat adalah
bentuk pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong-
menolong dalam kebaikan dan takwa. (c) zakat adalah pondasi dalam
membangun jaminan sosial (zakat sebagai dana taktis) secara utuh
dan menyeluruh bagi setiap masyarakat yang membutuhkannya (zakat
sebagai alternatif asuransi). (d) zakat adalah sistem bantuan yang
berkesinambungan dan terorganisir dengan baik, maka dimungkinakan
zakat dapat berperan besar dalam menghapus peminta-minta dan
mengimplikasikan dorongan untuk hidup ke arah yang lebih baik
dan sejahtera. (e) zakat adalah sarana terbaik transfer (distribusi) atau
pemerataan kekayaan (pendapatan) yang egaliter. Karena zakat akan
mencegah terjadinya akumulasi (penumpukkan) harta pada satu tangan
(golongan tertentu) dan pada saat yang sama mendorong manusia
untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi.33 (f ) zakat

32 Nurul Huda, dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro: Pendekatan Riset (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015), h. 8.
33 Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian, h. 14.

15
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

adalah spirit transformasi etika bisnis yang benar. (g) zakat mengajarkan
spirit aktif, kreatif dan produktif dengan mendorong setiap manusia
untuk mampu bekerja dan berusaha memiliki harta kekayaan (zakat
berperan sebagi penggerak roda perekonomian). (h) zakat merupakan
salah satu sumber abadi dana pembangunan sarana dan prasarana yang
harus dimiliki oleh umat Islam seperti, tempat ibadah, pendidikan,
kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pengembangan
kualitas sumber daya manusia. (i) zakat dapat mencegah terjadinya
penyakit deprivasi sosial. Deprivasi akan menyebabkan timbulnya
keresahan sosial (social unrest), yang pada akhirnya akan menyebabkan
disintegrasi sosial. Tidak jarang fenomena kemiskinan menyebabkan
munculnya sindrom split personality antara si kaya dengan si miskin,
yang pada akhirnya akan melahirkan massifikasi kemiskinan.
Adanya kewajiban zakat dalam tradisi Islam, menjadi salah satu bukti
nyata spirit Islam akan pembebasan manusia dari kesengsaraan hidup.
Zakat sebagai pondasi terhadap keberlangsungan hidup di muka
bumi adalah wujud kepedulian Islam terhadap kualitas kehidupan
umat manusianya. Di mana dengan hal tersebut, umat manusia dapat
menikmati kehidupannya yang dipenuhi dengan keberkahan langit dan
bumi. Serta mampu mandayagunakan segala apa yang ada di dalamnya
dengan sebaik-baiknya. Hingga akhirnya, manusia akan merasakan
kebahagiaan di berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian,
manusia pun akan mampu beribadah kepada Allah dengan penuh
kekhusyukkan dan juga dengan persiapan yang terbaik.34
Dengan demikian, zakat sebagai esensi ajaran Islam merupakan
suatu sistem unik yang mengandung muatan humanisasi, liberasi dan
transendensi. Di dalamnya, zakat memuat lima dimensi kehidupan
sekaligus, yaitu; pertama, dimensi keagamaan; kedua, dimensi keuangan

34 Qardhawy, Spektrum Zakat, h. 27.

16
MK Ridwan

dan ekonomi; ketiga, dimensi moral, keempat, dimensi sosial, kelima,


dimensi politik. Di mana semua dimensi tersebut memainkan peranannya
masing-masing dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia.35

Pemahaman Kontemporer Mustahik Zakat


Secara tekstual, QS. at-Taubah [9]: 60 menetapkan delapan golongan
sebagai yang berhak menerima zakat. Namun, meski secara jelas
ayat tersebut menyatakan delapan golongan penerima zakat, tetapi
ayat tersebut masih menyimpan ambiguitas mengenai kategori yang
dimaksud. Yaitu, apakah yang dimaksud adalah kategori pendistribusian,
kategori penerima, atau (dalam penafsiran yang lebih modern)
kelompok-kelompok tersebut sebetulnya tidak mengidentifikasi
kategori sama sekali, tetapi hanya sebagai contoh.36 Sebagaimana fakta
sejarah mencatat bahwa pembagian zakat dalam sejarah Islam awal
lebih didasari atas pertimbangan praksis daripada teks keagamaan.37
Dalam pembacaan teori limit, ayat tersebut memberikan penjelasan
bahwa zakat adalah batas minimal negatif yang boleh dilampaui.
Batas minimal ini boleh dilampaui melalui mekanisme sedekah. Maka,

35 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 1120-1.


36 Dalam hal ini al-Qur’an sering menerangkan sesuatu menggunakan contoh sebagai sarana
(medium) bahasa agar lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat Arab yang mengalami
proses turunnya wahyu. Al-Qur’an memiliki karakter tasyâbuh, yaitu memiliki ketetapan
dalam bentuk teks dan memiliki kandungan yang (dapat dipahami) secara dinamis. Inilah
yang disebut dengan al-Qur’an memiliki dua sisi mata uang berbeda yang tidak bisa
dipisahkan. Yaitu, di satu sisi mengandung lokalitas sebagai medium bahasa, di sisi lain
mengandung universalitas makna karena sifatnya yang shalih li kulli zaman wa makan dan
statusnya sebagai kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia sepanjang masa. Maka harus
dipahami bahwa praktik keislaman yang terjadi pada abad ke-7 masehi di Jazirah Arab
merupakan hasil interaksi umat Islam dengan al-Qur’an pada saat dan tempat itu pula. Hasil
interaksi tersebut merupakan alternatif pertama dalam memahami Islam, sekaligus sebagai
contoh bagaimana Islam diterapkan dalam masyarakat kesukuan pada saat itu. Muhammad
adalah seorang pelopor ijtihad, dalam pengertian bahwa beliau telah hidup sesuai dengan
pesan Allah. Tetapi bukan berarti bahwa kita harus membuat pilihan yang sama dengan
beliau (secara mutlak). Itu hanyalah referensi dan variasi pertama, bukan satu-satunya
dan yang terakhir atau bersifat final. Semata-mata karena mereka ‘membaca’ wahyu yang
diterima berdasarkan kapasitas intelektual dan pandangan dunia mereka, sehingga umat
Islam kontemporer hendaknya membaca teks berdasarkan sinaran pandangan dunia mereka
sendiri. Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 38.
37 Fauzi, Filantropi Islam, h. 45.

17
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

pada sisi inilah kita bisa memahami, bahwa Allah telah memberikan
arahan kelompok manusia mana yang harus diberi sedekah itu. Dengan
kata lain, batas ini terbuka pada sisi kuantitas, dan Allah membekali
dengan arahan kualitasnya, atau kepada siapa harta sedekah itu harus
diserahkan. Dengan demikian, QS. at-Taubah [9]: 60 bukanlah termasuk
ayat hudud. Sehingga terbuka ruang ijtihad yang sangat luas untuk
menambah atau mengurangi jumlah atau kategori mustahik zakat yang
didasarkan atas pertimbangan sistem sosial-ekonomi masyarakat yang
berlaku. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab
yang menghapus kategori muallafah qulûbuhum atas pertimbangan
politis. Kesimpulan ini mendukung tesis Asghar Ali Engineer, bahwa
sistem zakat adalah kedermawanan yang berfungsi sebagai sistem
perpajakan pada periode sejarah Islam awal, serta berjalan lebih didasari
oleh pertimbangan-pertimbangan praksis dibandingkan pertimbangan
agama.38
Pada tahapan kajian linguistik, ditemukan bahwa penggunaan redaksi
“innamâ” dalam ayat di atas adalah bentuk penyifatan dari kata “al-
shadaqâtu”, karena terma sedekah merupakan terma umum yang
mencakup zakat. Kata “innamâ” menjadi kata tunjuk atau penjelasan
dari sedekah yang dimaksudkan dalam ayat. Maka, yang disebut sebagai
“innamâ al-shadaqâtu” yaitu “zakat” yang berarti adalah batas minimal
pemberian atau batas minimal jumlah yang disedekahkan yang menjadi
kewajiban dalam Islam. Oleh karenanya, ketika Allah menyebutkan
pihak-pihak yang berhak menerima zakat, Allah mengawalinya
dengan redaksi “innamâ al-shadaqâtu”. Hal ini kemudian diperkuat
dengan penggunaan huruf “alif lam” yang berarti mengkhususkan
konteks sedekah yang dimaksudkan sebagaimana yang telah Allah
tunjukkan di ayat sebelumnya (QS. at-Taubah [9]: 58-59). Sehingga,

38 Asghar Ali Engineer, The State in Islam: Nature and Scope (New Delhi: Hope India
Publications, 2006).

18
MK Ridwan

penggunaan “adat hasr” berupa redaksi “innamâ” dalam ayat tersebut


bukan dinisbatkan kepada al-ashnaf al-tsamaniyah, tetapi kepada “al-
shadaqâtu”.
Penggunaan huruf “lam tamlik” yang diawali pada kata “lil fuqarâ’i”
adalah penyifatan dari al-ashnaf al-tsamaniyah yang berarti menyatakan
kepemilikan atas “innamâ al-shadaqâtu”. Tetapi penggunaan huruf
tersebut hanya sampai pada ashnaf “wa al-muallafati qulûbuhum”. Dan
kemudian redaksi selanjutnya diawali dengan huruf “fi” yakni “wa f î
ar-riqâbi wa al-ghârimîna wa fî sabîlillah wa ibn sabîl”. Yang berarti
membedakan antara empat ashnaf yang disebutkan pertama, dengan
empat ashnaf selanjutnya. Meskipun, masing-masing kelompok
dihubungkan dengan huruf wawu athaf (salah satu kata sandang yang
berarti “dan”) yang menunjukkan adanya kesamaan tindakan.39 Tetapi,
terdapat perbedaan makna dalam penggunaan huruf “lam” dengan huruf
“fî”. Yaitu, huruf “lam” menunjukkan adanya prioritas atau kebutuhan
(al-hajiyyat) atas sesuatu yang dinisbatkan kepadanya, sedangkan huruf
“fî” menujukkan kepantasan atau kemaslahatan (al-daruriyyat).
Yusuf Qardhawy dengan mendukung pendapat dari Zamakhsyari,
Ibnu Munayyir, Imam Khazin, Rasyid Ridha, dan Muhammad Syaltut,
menjelaskan bahwa perbedaan dalam penggunaan kata pada ashnaf,
mengisyaratkan bahwa empat ashnaf yang pertama menerima zakat
secara langsung dan untuk dimiliki secara mutlak atau dimanfaatkan
sekehendak hatinya, karenanya al-Qur’an menggunakan huruf lam,
yang menunjukkan kepemilikan sekaligus prioritas. Sedangkan empat

39 Menurut Syahrur, dalam linguistik Arab, fungsi athaf adalah untuk menunjukkan adanya
perbedaan (pengertian antara kata yang berposisi sebagai athaf dan yang berposisi sebagai
yang di-athaf-kan) atau untuk menunjukkan antara kata yang umum dan yang khusus.
Artinya, al-ashnaf al-tsamâniyyah adalah sebuah entitas yang saling berlainan dan memiliki
perbedaan (li al-taghâyur) dan juga menunjukkan adanya yang khusus dari yang umum.
Penunjukkan yang khusus dari yang umum dipahami sebagai usaha penegasan (taukîd) dan
menarik perhatian pendengar pada pentingnya bagian yang khusus. Di sinilah, pentingnya
kita memahami perbedaan antara al-faqir dan al-miskin sebagai sesuatu yang berbeda dan
bukan sinonim. Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 57.

19
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

ashnaf selanjutnya, dana zakat tidak diserahkan langsung kepada


mereka atau menjadi hak miliknya, tetapi dialokasikan untuk kebutuhan
mereka, karenanya al-Qur’an menggunakan kata fî yang menunjukkan
pengumpulan atau pemeliharaan.40
Sehingga, penafsiran kontemporer terhadap kedelapan ashnaf, sebagai
berikut:
Pertama, fuqarâ’i jamak dari kata faqir, secara etimologi berasal dari kata
faqara yang dalam bahasa Arab berarti “menunjukkan adanya celah pada
sesuatu atau mencuatnya suatu bagian dari sesuatu ke permukaannya”.41
Dari pengertian ini muncul istilah al-‘amud al-faqr yang berarti
“tulang punggung”. Dalam konteks inilah muncul kata al-faqir yang
artinya “pihak yang tulang punggungnya lemah karena kehinaan dan
kemelaratannya”.42 Maka, yang disebut sebagai al-faqir adalah orang
yang lemah karena minimnya penghasilan dan beratnya beban yang
harus dipikul, seakan-akan ia membanting tulang punggungnya hingga
patah. Namun, istilah faqir merupakan istilah yang pengertiannya
berkembang sesuai kondisi sosio-ekonomi pada tempat dan zamannya
masing-masing. Sehingga, dalam memahami pengertian atau konsep
faqir tidak perlu berpatok pada pengertian atau konsep yang telah
dibuwat oleh para ahli fikih klasik, karena pengertian atau konsep
tersebut bisa jadi hanya cocok pada masa mereka, tetapi sudah tidak
relevan pada konteks masa ini. Karenanya, faqir secara definitif adalah
orang yang tidak mampu melakukan transaksi sekecil apapun sesuai
standar atau ukuran yang telah ditetapkan terhadap kondisi sosio-
ekonomi masyarakat di mana ia hidup.43

40 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 612.


41 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. IV, h. 443-4; Ibn Manzur, Lisân al-Arab, h. 3444.
42 Kata faqir dengan berbagai derivasinya, di al-Qur’an disebutkan sebanyak 14 kali. Baca
Dede Rodin, “Rekonstruksi Konsep Fakir dan Miskin sebagai Mustahik Zakat” Ijtihad 15.1
(2015), h. 142.
43 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 486.

20
MK Ridwan

Kedua, al-masâkîn jamak dari kata miskin, berasal dari kata sakana yang
berarti “tenang, diam atau tidak bergerak” atau al-maskan yang artinya
“tempat tinggal yang nyaman untuk manusia”.44 Sehingga, terma
miskin berarti “orang yang terbatas kemampuannya dan memiliki rasa
aman yang relatif antar sesamanya, seperti orang-orang difabel dan
penyandang disabilitas.45 Orang-orang difabel berarti seseorang yang
memiliki kelainan mental dan akal (idiot) yang sifatnya mengganggu dan
menjadi suatu hambatan baginya untuk melakukan kegiatan sehari-hari
secara layak dan normal. Kelainan dapat berupa ketidaknormalan atau
bahkan statusnya kehilangan, baik yang bersifat fisiologis, psikologis,
maupun struktur dan fungsi anatomis. Sementara para penyandang
disabilitas adalah orang-orang yang kehilangan salah satu atau semua
fungsi organ tubuhnya, yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan
interaksi antara kondisi biologis dan lingkungan sosial. Orang-orang
ini diidentifikasi sebagai penyandang cacat fisik, seperti buta, tuli, bisu,
kehilangan tangan dan kaki, dan lain sebagainya, baik yang disebabkan
karena faktor kelahiran maupun akibat kecelakaan dan bencana alam.
Kekurangan tersebut menyebabkan seseorang memiliki keterbatasan
dalam menjalani kehidupan baik secara pribadi maupun bermasyarakat.
Tidak jarang, karena kekurangannya tersebut menimbulkan rasa minder
dan terjadi relasi yang timpang dalam mengakses sumber daya. Dengan
demikian, ada kemungkinan orang yang faqir tetapi tidak miskin, atau
orang miskin tetapi tidak faqir, maupun orang faqir sekaligus miskin.
Sehingga menjadi hal yang logis, ketika di dalam QS. at-Taubah [9]:
60, kata faqir mendahului kata miskin yang disambung dengan huruf
wawu athaf, menunjukkan adanya pengkhususan atas al-masâkîn dari
yang umum al-fuqarâ’i.

44 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. III, h. 88. Di dalam al-Qur’an kata sakana beserta derivasinya
disebutkan 69 kali. Tetapi tidak semuanya berhubungan dengan orang miskin. Ayat yang
menerangkan orang miskin berjumlah 23 ayat dalam 16 surat; 7 surat Makkiyah dan 9 surat
Madaniyyah. Rodin, “Rekonstruksi Konsep Fakir, h. 147.
45 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 487.

21
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Salah satu ‘illah atau alasan seorang yang miskin berhak menerima zakat
adalah ketidakmungkinannya seorang yang dilahirkan buta mampu
mendirikan sekolah untuk mengajari dirinya sendiri dan membekali
dirinya dengan berbagai keterampilan untuk hidup dalam masyarakat
tanpa bantuan orang lain. Sehingga, ketika miskin dipahami sebagai
orang-orang yang difabel dan penyandang disabilitastidak memiliki
kemampuan untuk bekerja karena keterbatasan atau cacat fisik dan
mentalmaka seluruh lembaga dan yayasan yang menangani orang
miskin berhak untuk menerima bantuan pembiayaan dari zakat.46
Selama ini, permasalahan distribusi terhadap faqir dan miskin sering
tumpang tindih akibat ketidakjelasan kriteria dan batasannya masing-
masing. Sebagaimana definisi faqir di atas yang berbeda dengan
mainstream, di mana biasanya justru dipakai untuk mendefinisikan kata
miskin oleh kebanyakan ulama fikih dan cenderung menyamakan kedua
definisi kata tersebut. Penyamaan terhadap kedua konsep tersebut
menafikkan hikmah penyebutan secara terpisah nama fuqarâ’i dan al-
masâkîn di dalam al-Qur’an. Padahal tidak ada sinonimitas dalam tiap
kata (la taraduf fî al-kalimah) dalam bahasa Arab. Sinonimitas berarti
mereduksi terhadap konsep-konsep yang terkandung dalam setiap
term-term kunci dalam al-Qur’an.47
Akan tetapi, diletakkannya makna miskin yang lekat dengan makna
faqir, dapat dimengerti bahwa baik faqir maupun miskin adalah
golongan yang sama-sama tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sehingga, ‘illah seorang yang faqir dan miskin berhak menerima zakat,
salah satu di antaranya adalah ketidakmampuan mencari nafkah.
Ketidakmampuan ini tentu saja disebabkan oleh berbagai faktor, seperti;
keterbatasan fisik dan mental (al-miskîn), maupun ketiadaan lapangan
pekerjaan, kualifikasi atau kemampuan yang dimiliki tidak memadai

46 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 487.


47 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 44.

22
MK Ridwan

untuk menghasilkan pendapatan yang cukup,48 tidak memiliki cukup


modal atau alat usaha, maupun adanya ketidakadilan sosial, ekonomi
dan politik (al-faqir).
Ketiga, al-âmilîna ‘alaihâ. Secara etimologi berasal dari bahasa Arab
amila-ya’malu yang bermakna “mengerjakan atau melakukan sesuatu”.49
Kata amil adalah bentuk ism fail yang berarti pelaku dari suatu
pekerjaan. Sehingga, terminologi amil didefinisikan sebagai orang/
panitia/lembaga/badan yang bertugas untuk mengelola zakat, baik
dalam pengumpulan, pencatatan, penghitungan, penyimpanan, sensus
muzakki dan mustahik hingga pendistribusiannya.50
Menurut M. Quraish Shihab, penggunaan kata alaihâ yang mengikuti
redaksi al-‘âmilîna, memberikan kesan bahwa para pengelola zakat
melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan mengakibatkan
keletihan (jerih payah). Ini karena kata ’alâ mengandung makna
penguasaan dan kemantapan sesuatu (profesionalitas). Sehingga,
penggunaan kedua rangkaian kata ini untuk menunjukkan para
pengelola berhak untuk menerima zakat atas dasar dua hal; (1)
pekerjaan mereka yang berat dan; (2) upaya tersebut adalah mencakup
kepentingan sedekah (zakat).51 Karena itulah penyerahan zakat bagi al-
ashnaf al-tsamaniyah bukan hanya didasarkan kebutuhan mereka atas
dana tersebut, tetapi juga karena kontribusi yang dapat mereka berikan
kepada kaum Muslim.
Keempat, al-muallafati qulûbuhum. Kata muallafah adalah bentuk jamak
dari kata muallaf, berasal dari kata alafa, yang berarti “menyatukan,
melunakkan atau menjinakkan”.52 Menurut Yusuf Qardhawy, muallafah

48 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 630.
49 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. I, h. 140; Ibn Manzur, Lisân, h. 3107.
50 Abdul Bakir, Hukum Zakat: Dilengkapi Kumpulan Hadits Bukhari tentang Zakat
(Yogyakarta: Pustaka Santri, 2013), h. 454.
51 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 631.
52 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. I, h. 131; Ibn Manzur, Lisân al-Arab, h. 107.

23
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

qulûbuhum adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya


atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya
niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya
kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum Muslim
dari musuh. Dengan demikian, golongan muallafah qulûbuhum bisa dari
golongan Muslim maupun non-Muslim didasarkan atas keumuman
redaksi al-muallafati qulûbuhum.53
Sebagian ulama menyatakan bahwa ashnaf muallafah qulûbuhum status
hukumnya sudah tidak berlaku (ter-nasakh) dengan sebab kejayaan
umat Islam. Sehingga Islam sudah tidak membutuhkan golongan
muallafah qulûbuhum. Namun, Yusuf Qardhawy membatah hal tersebut
dan menegaskan bahwa ashnaf muallafah qulûbuhum tidak pernah di
nasakh. Argumentasi pembatalan ashnaf muallah qulûbuhum didasarkan
pada fakta ijma’ sahabat atas tindakan Umar bin Khatab yang tidak
memberi zakat kepada muallafah qulûbuhum, adalah tidak bisa diterima.
Karena, ayat al-Qur’an tidak bisa dinasakh dengan ijma’, bahkan hadis
sekalipun. Sedang di dalam ayat lainnya tidak ada sama sekali ayat
yang membatalkannya. Sebagaimana QS. at-Taubah [9]: 60 turun pada
periode Madinah akhir. Oleh karena itu, status hukum ashnaf muallafah
qulûbuhum tidak pernah terhapus dan akan terus ada sepanjang masa.
Namun, dalam praktiknya, kembali kepada ijtihad masing-masing untuk
memberikan atau tidak dana zakat kepada ashnaf muallafah qulûbuhum.54
Secara definitif, orang yang masuk golongan muallafah qulûbuhum, di
antaranya; (1) golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman
kelompok serta keluarganya; (2) golongan orang yang dikhawatirkan
melakukan kejahatan terhadap umat Islam; (3) golongan orang yang
baru masuk Islam; (4) pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah
memeluk Islam yang memiliki sahabat non-Muslim; (5) pemimpin

53 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 594.


54 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 601.

24
MK Ridwan

dan tokoh kaum Muslimin yang memiliki pengaruh kuat di kalangan


masyarakatnya, akan tetapi imannya masih lemah; (6) kaum Muslimin
yang bertempat tinggal diperbatasan dengan kawasan musuh;55 (7)
orang yang diberi dengan harapan berjihad melawan para pembangkang
zakat;56 (8) mendamaikan kelompok atau negara yang sedang berkonflik.
Kelima, ar-riqâb adalah bentuk jamak dari kata raqaba yang bermakna
“leher”.57 Makna ini kemudian berkembang menjadi “hamba sahaya”,
karena tidak jarang tangan hamba sahaya dibelenggu dengan
mengikatnya ke leher. Penggunaan fî pada kata ar-riqâb mengisyaratkan
bahwa harta zakat yang menjadi bagiannya itu diletakkan dalam wadah
khusus untuk keperluan mereka. Harta yang menjadi hak mereka
tidak diserahkan kepada mereka pribadi (secara langsung) untuk
dimiliki, tetapi dialokasikan untuk melepaskan belenggu perbudakan
yang mengikatnya dan mencegah sekaligus memberantas lahirnya
perbudakan baru.58
Namun, di era saat ini, ar-riqâb sebagaimana makna aslinya, sudah
tidak ada lagi. Karena sistem perbudakan sudah dihapuskan, dan
semua negara dunia tidak ada lagi yang menganut ataupun mengakui
sistem perbudakan konvensional. Tetapi bukan tidak mungkin,
praktik perbudakan itu akan muncul kembali, baik dalam bentuknya
yang lama maupun dengan sistem yang lebih baru. Oleh karena itu,
perlu memahami karakteristik dari sistem perbudakan tersebut, di
antaranya; (1) Manusia diperlakukan layaknya hewan; (2) Manusia
diposisikan sebagai barang (aset) produktif yang berhak dieksploitasi;
(3) Manusia diperjual-belikan layaknya hewan peliharaan; (4) Manusia
tidak memiliki hak kepemilikan sama sekali atas sesuatu bahkan dirinya
sekalipun; (5) Manusia disetubuhi tanpa dinikahi.59

55 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 595-7.


56 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 632.
57 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. II, h. 427.
58 Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 632-3.
59 Bakir, Hukum Zakat, h. 505-8.

25
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Keenam, al-ghârimîn adalah bentuk jamak dari kata ghârim, bermakna


“yang berhutang”.60 Penggunaan kata fî pada al-ghârimîn sebagaimana
ar-riqâb, berarti seolah-olah Allah berfirman “zakat pada orang yang
berhutang (fi al-ghârimîn)” dan bukan “zakat untuk orang yang berhutang
(li al-ghârimîn)”. Ini mengisyaratkan bahwa zakat bukan untuk dimiliki
oleh orang yang berhutang, tetapi untuk melunasi hutangnya.
Secara terminologi al-ghârimîn berarti orang dililit hutang sehingga tidak
mampu membayarnya, karena hutangnya lebih besar daripada kekayaan
yang dimilikinya. Yang berarti ghârim sejatinya memiliki kecukupan
untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya, tetapi tidak mungkin
untuk menjual kebutuhan dasarnya demi melunasi hutang. Karena
justru akan menyebabkan kesengsaraan. Di sinilah letak perbedaannya
dengan faqir. Kriteria ghârim yang berhak untuk menerima zakat,
seperti yang berhutang demi kemaslahatan dan atau keselamatan baik
dirinya, keluarganya maupun orang lain, serta berhutang demi sebuah
kebajikan.61
Ketujuh, fî sabîlillah memiliki dua cakupan makna; makna yang
umum (harfiah) dan makna yang khusus. Secara harfiah, f î sabîlillah
berarti segala cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau segala
aktivitas yang menghantarkan menuju jalan dan keridhaan Allah.
Yaitu, suatu pintu yang sangat luas mencakup semua kemaslahatan
umum. Sedangkan makna khususnya ialah menolong agama Allah dan
menegakkannya dalam bentuk jihad.62

60 Ibn Faris, Mu’jam, Vol. IV, h. 419.


61 Qardhawy, Spektrum Zakat, h. 72.
62 Qardhawy, Fiqhuz Zakat, h. 653-4. Secara elaboratif Qardhawy memperluas makna jihad
tidak hanya terbatas pada peperangan yang menggunakan pedang atau senjata api, tetapi
jihad bisa menggunakan pena dan lisan. Jihad bisa dalam bentuk pikiran, pendidikan,
sosial, ekonomi, politik, dan juga militer. Semuanya diorientasikan demi kepentingan
dan menegakkan Islam. Lihat Yusuf Qardhawy, Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental
Terlengkap tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim
dan Arif Munandar Riswanto (Bandung: Mizan, 2010).

26
MK Ridwan

Kelangsungan ashnaf fî sabîlillah dalam realitas kontemporer,


menunjukkan bahwa serangan terhadap Islam dalam bidang
pemikiran, kejiwaan, kesehatan dan kebudayaan lebih berbahaya dan
lebih berdampak buruk daripada serangan militer. Sehingga, ketika
dahulu dana zakat untuk ashnaf fî sabîlillah terbatas hanya digunakan
untuk pembelian senjata dan perlengkapan perang, kendaraan perang,
kebutuhan mujahid, serta untuk nafkah keluarga yang ditinggalkan.
Maka, pada realitas kontemporer, ashnaf fî sabîlillah harus diperluas
hingga cakupan menegakkan Islam dalam bidang pemikiran, dakwah,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan berbagai sektor modern
lainnya.63
Kedelapan, ibn sabîl yang bermakna “anak jalanan”, adalah bentuk
kiasan dari musafir, yakni orang yang melintas atau mengadakan suatu
perjalanan dari satu daerah ke daerah lain, dan menjadikan “jalan”
sebagai tempat tinggal atau kehidupannya. Perjalanan ini terdapat
beberapa macam, seperti; perjalanan untuk mencari rizki, perjalanan
mencari ilmu, perjalanan untuk berjihad di jalan Allah, dan perjalanan
untuk melaksanakan ibadah yang tinggi lagi istimewa seperti berhaji.
Dalam kriteria dan batasan-batasan tertentu, semua jenis perjalanan
tersebut berhak untuk mendapatkan zakat, termasuk di dalamnya yang
kehabisan bekal dalam perjalanannya, misal karena hilang, dicopet atau
dirampok.64
Penggunaan kata fî yang diathofkan dengan sabîlillah, berarti dana zakat
tidak diterima secara langsung oleh ibn sabîl, akan tetapi diberikan
kepada hal-hal yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya, perusahaan, loket pembelian tiket, ataupun kampus-kampus
tempat menuntut ilmu.

63 Qulub dan Munif, “The Meaning of Fi Sabîlillah, h. 626.


64 Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, h. 487.

27
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Mantan Napiter sebagai Mustahik Kontemporer


Adanya usulan supaya lembaga filantropi Islam turut berperan dalam
upaya penanggulangan terorisme, harus ditopang oleh hukum yang
jelas, rasional dan komprehensif dalam rangka memperluas cakupan
zakat.65 Karena kurangnya perhatian lembaga filantropi Islam terhadap
masalah terorisme, disebabkan belum adanya hukum yang pasti
terhadap kebolehan dana zakat digunakan sebagai solusi alternatif
bagi pemberantasan terorisme. Maka, dalam konteks inilah, konsep
mustahik perlu diperluas, mengingat adanya tuntutan dan kebutuhan
pada situasi masa kini.66 Salah satu strategi yang bisa dilakukan oleh
lembaga filantropi Islam adalah dengan cara bekerjasama dalam bentuk
program-program penanggulangan terorisme, baik yang sifatnya
preventif maupun kuratif.
Beberapa riset melaporkan bahwa salah satu faktor yang mendorong
seseorang menjadi teroris adalah “masalah kemiskinan”.67 Kerentanan
seseorang yang mengalami krisis ekonomi dengan ketidakmampuannya
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, dapat memaksa seseorang
terpengaruh dan lebih mudah untuk direkrut menjadi teroris. Mulai
dari tawaran status sosial, perbaikan ekonomi, hingga menjanjikan
pekerjaan, menjadi beberapa strategi prekrutan. Karenanya tidak sedikit
mantan napiter yang keluar dari penjara dengan kondisi finansial

65 Dalam mekanisme penetapan (istinbath) hukum Islam, selain berpedoman dengan


al-Qur’an dan Sunnah, terdapat beberapa metode yang bisa digunakan, salah satunya
adalah metode qiyas (analogi). Yaitu suatu cara menetapkan hukum dengan mencari
kesamaan ‘illah dan menganalogikannya pada suatu perkara yang sudah jelas hukumnya.
Sebagaimana dalam kaidah ushul fikih, bahwa ketetapan hukum selalu berkaitan dengan
‘illah (motif yang terukur). Bila ‘illah itu ada, maka ketetapan hukum bisa berlaku, bila
tiada, maka ketetapan itu gugur.
66 Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fikih bahwa hukum itu bisa berubah sesuai dengan
perubahan zaman, tempat dan keadaan.
67 Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan
Keamanan Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).

28
MK Ridwan

yang tidak mencukupi, emosional, ataupun mendapat penolakan dari


masyarakat.68
Sehingga, mantan napiter dalam kategori ekonomi lemah, hukum yang
berlaku atasnya adalah ashnaf faqir. Hal ini didasarkan pada sejumlah
‘illah; pertama, mantan napiter adalah seorang yang mengalami
kerusakan sistem sosial yaitu terputusnya hubungan masyarakat dalam
aspek ekonomi, pendidikan, politik dan keagamaan; kedua, mantan
napiter adalah seorang yang tidak memiliki cukup modal atau alat usaha;
ketiga, mantan napiter adalah seorang yang tidak memiliki pekerjaan
(pendapatan), kualifikasi serta kemampuan yang mereka miliki tidak
memadai, dan/atau minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang
mau menerima seorang mantan napiter.
Mantan napiter diberi zakat dengan harapan mampu dan mau untuk
memperbaiki kehidupannya serta meningkatkan taraf kehidupan yang
lebih baik. Zakat menjadi suatu motor penggerak yang berpotensi
memberikan tunjangan dan jaminan kehidupan. Zakat dapat berperan
meningkatkan taraf hidup dan mendorong kemampuan mantan
napiter untuk bisa menghidupi dirinya dan keluarganya berdasarkan
kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks inilah, model-model
pemberdayaan yang bersifat aktif-produktif bisa diterapkan, selain hal-
hal yang sifatnya pasif-karitatif.
Akan tetapi, permasalahan terorisme cukup kompleks. Tidak semua yang
menjadi teroris disebabkan oleh kebutuhan ekonomi. Ada banyak faktor
yang mendorong seseorang menjadi teroris seperti; politik, situasional,
keagamaan atau bahkan sekadar mencari sensasi dan perhatian.
Untuk menciptakan payung hukum yang komprehensif dan holistik
dibutuhkan ketentuan hukum yang berlaku bagi mantan napiter dalam
kategori ekonomi menengah ke atas. Maka dalam konteks inilah ashnaf

68 Sarwono, Terorisme di Indonesia, h. 50.

29
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

muallafah qulûbuhum menjadi payung hukum yang ideal karena ta’lif al-
qulub merupakan ‘illah yang dijadikan dasar untuk menyerahkan zakat
kepada mantan napiter. Adapun ‘illah tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, mantan napiter adalah seorang yang butuh untuk dijinakkan,
ditundukkan atau dilunakkan hatinya dari segala bentuk kekerasan
dan kerusakan. Dalam kaidah ushul fikih dijelaskan bahwa “menolak
mafsadat harus didahulukan, daripada mengambil manfaat”. Hal ini
sebagaimana ‘illah pada golongan orang yang dikhawatirkan melakukan
kejahatan. Mereka dimasukkan sebagai mustahik zakat, dengan harapan
dapat mencegah kejahatannya. Sebagaimana di dalam al-Qur’an juga
ditegaskan bahwa zakat adalah salah satu bentuk konkret atas realisasi
dari konsep amar ma’ruf nahi munkar (QS. at-Taubah [9]: 71).
Proses pelunakkan, penundukkan, penjinakkan ataupun pembinaan,
dilakukan menggunakan sistem pemidanaan. Dalam perspektif Islam,
sistem pemidanaan dengan dimasukkannya seseorang ke dalam penjara
adalah untuk menjaga dan menumbuhkembangkan semangat beragama,
menjaga jiwa masyarakat, memberdayakan semangat kreativitas bekerja
dengan pembekalan keterampilan, menjaga kehormatan keturunan,
sekaligus meningkatkan kadar intelektualitas masyarakat.69 Hal ini
berdasar pada tujuan hukum Islam yaitu untuk memelihara lima
prinsip kehidupan manusia; hifz al-din (perlindungan agama), hifz al-
nafs (perlindungan nyawa), hifz al-mal (perlindungan harta), hifz al-
aql (perlindungan akal), hifz al-nasl (perlindungan keturunan).70 Maka
sistem pemidanaan dalam perspektif Islam mengandung dua aspek
utama berupa perbaikan dan pencegahan atau dengan pemaknaan
pendidikan dan pertaubatan yang berorientasi pada proses rehabilitasi,
reintegrasi sosial dan pembelajaran atau pengobatan dari tindakan yang
salah menuju tindakan yang benar.

69 Muh. Khamdan, Pesantren di dalam Penjara (Kudus: Parist, 2012), h. 110.


70 Abu Ishak al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Vol. II, (Kairo: Dar al-Hadis,
1997), h. 20.

30
MK Ridwan

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang


Lembaga Pemasyarakatan, yang mengganti sistem hukuman penjara
(penjeraan) menjadi pemasyarakatan, adalah salah satu langkah strategis
dalam menanggulangi masalah terorisme. Undang-Undang tersebut
membawa konsekuensi yuridis berupa peralihan dari sistem penjeraan
(detterence) yang menekankan pembalasan (retribution), menuju
sistem pemasyarakatan yang menekankan rehabilitasi, reedukasi, dan
reintegrasi sosial. Sistem penjeraan dipandang selain tidak humanis dan
juga bertentangan dengan filsafat Pancasila, juga memiliki efektivitas
yang rendah. Sehingga, diterapkannya sistem pemasyarakatan,
tujuannya agar mantan napiter mampu berinteraksi kembali di dalam
masyarakat karena adanya perubahan sikap maupun paradigma berfikir
yang moralis dan agamis berdasarkan semangat kemanusiaan.71
Dalam konteks inilah, lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai
lembaga pendidikan yang betujuan untuk membina, mendidik,
membimbing narapidana, sekaligus menjadi lembaga pembangunan
yang bertujuan agar warga binaan mempunyai kemampuan dan
keterampilan, keahlian sesuai bakat dan minat serta latar belakang, yang
dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam bermasyarakat.72 Hal ini
sesuai dengan tesis Daniel Koehler, bahwa dalam menghadapi terorisme,
kita tidak bisa menggunakan pendekatan kekerasan atau kebencian.
Bukan hanya akan gagal total, tetapi hanya akan menciptakan siklus
baru terorisme, yakni lahirnya para martir dan teroris yang lebih brutal.
Maka, dibutuhkan suatu pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai
humanitas untuk merangkul dan mengajak mereka bekerja sama dalam
rangka merealisasikan perubahan diri.73

71 Khamdan, Pesantren di dalam Penjara, h. 2-3.


72 Khamdan, Pesantren di dalam Penjara, h. 112.
73 Daniel Koehler, Right-Wing Terrorism in the 21st Centure: The ‘National Socialist
Underground’ and the History of Terror from the Far-Right in Germany (New York:
Routledge, 2017).

31
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Kedua, mantan napiter adalah seorang yang berusaha hidup dalam


dunia yang “baru” dengan meninggalkan lingkungan atau kehidupannya
sebagai seorang teroris. Siksaan psikologis terberat yang dialami
oleh mantan napiter adalah stigmatisasi secara sistemik yang muncul
dari masyarakat dan juga dari kelompoknya (jaringan terorisme).
Menyandang predikat sebagai mantan napiter merupakan beban yang
sangat berat. Stigma buruk dari masyarakat dan ancaman dari mantan
rekan teroris sangat mungkin didapatkan.
Adanya stigma negatif dari masyarakat memaksa mantan napiter
untuk mau dan mampu beradaptasi kembali serta memiliki kekuatan
untuk bertahan menghadapi kesulitan dan rintangan dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena pada dasarnya, bukan perkara yang mudah bagi
masyarakat untuk mau secara cuma-cuma menerimanya kembali sebagai
bagian dari masyarakat tersebut. Sebab masih terdapat kekhawatiran
bahkan phobia atas tindakan dan aksi terorisme yang pernah
dilakukannya.74 Karena menyangkut stigma atas bahayanya pelaku
teroris sehingga menjadikan masyarakat takut dan penuh waspada.
Para mantan napiter dianggap sebagai sosok yang perlu dicurigai
akan mengulangi tindak kejahatan sebelumnya. Apalagi terdapat
kecenderungan umum masyarakat dalam memandang mantan napiter
sebagai seorang yang memiliki gaya bicara keras, cenderung kasar,
bermuka sangar dan menakutkan. Adanya fakta penolakan masyarakat
terhadap jenazah para mantan napiter, menjadi bukti nyata tantangan
berat bagi mantan napiter untuk kembali berkumpul dan menyatu
ke dalam masyarakat. 75 Pada saat itulah sikap benci dan penolakan
masyarakat akan membuat mantan napiter merasakan kehilangan dan
ragu untuk menjalani kehidupan barunya.

74 Ismail, Dilema Narapidana Terorisme, h. 7.


75 Misalnya jenazah Bagus Budi Pranoto alias Urwah disambut dengan bentangan spanduk
penolakan pemakaman jenazah di Bulu, Kudus. Hal serupa dialami oleh jenazah Ario
Sudarso alias Aji yang ditolak di Kutasari, Purbalingga, serta Hadi Susilo alias Adib di
Kagilan, Solo. Muh. Khamdan, Bina Damai Terorisme (Kudus: Parist, 2015), h. 172.

32
MK Ridwan

Mantan napiter juga menjadi sosok yang penuh dilema. Karena


tantangan berat selanjutnya selain harus menghadapi stigma negatif
dan penolakan oleh masyarakat, mantan napiter juga akan sulit untuk
diterima kembali secara utuh dalam kelompoknya (jaringan teroris)
semula, karena akan dicurigai dalam dua hal; dianggap telah membongkar
rahasia kelompok dan dianggap sebagai mata-mata pemerintah. Belum
lagi ketika muncul peristiwa yang berkaitan dengan teror, maka aparat
pemerintah selalu mencari dan menemuinya untuk mendapatkan
informasi dalam proses penyelidikan.76 Sangat dimungkinkan mantan
napiter mendapatkan ancaman dari rekan teroris yang membuatnya
merasa takut akan datangnya bencana sosial dalam berbagai bentuknya;
baik material maupun moral, yang menyebabkan gangguan psikologis,
bahkan membuatnya hidup dalam kekhawatiran dan kegelisahan; takut
akan keselamatan dirinya dan keluarganya, maupun masa depan anak-
anaknya.
Berdasarkan kondisi yang dialami oleh seorang mantan napiter, dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua kecenderungan yang mungkin
dilakukan oleh mantan napiter; diterima oleh lingkungan masyarakat
atau diterima kembali oleh kelompok jaringan teroris sebelumnya.
Tergantung kelompok mana (masyarakat atau jaringan terorisme)
yang lebih bisa menerima dan mengakomodir dirinya. Menyadari
kemungkinan psikologis yang dapat terjadi, posisi ini memaksa tidak
adanya alternatif lain bagi masyarakat, keluarga maupun organisasi
kemasyarakatan lainnya untuk mau menerima kembali dan memberikan
ruang maupun interaksi yang baik agar proses integrasi sosial berjalan
lancar serta menjauhkannya dari kelompok terorisme, agar identitas
sosial yang terbangun tidak terulang kembali sebagai seorang pelaku
terorisme.77

76 Muh. Khamdan, “Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan


Terorisme” Addin. 9.1 (2015), h. 199.
77 Khamdan, Bina Damai, h. 172.

33
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Dalam hal inilah, mantan napiter membutuhkan bimbingan


dan dukungan, baik keberanian dalam menjalani kehidupan,
mempertahankan keyakinan dalam merealisasikan perubahan diri,
maupun pertolongan dalam bentuk perlindungan dari berbagai
macam kejahatan yang mungkin mengintainya. Karena bagaimanapun,
mantan napiter adalah manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan.
Mereka bukanlah orang-orang penyandang gangguan jiwa, penderita
skizofrenik ataupun yang tergolong berkepribadian anti sosial
(psikopat). Mereka adalah orang-orang yang biasa dan dengan gaya
hidup yang biasa-biasa saja: bekerja, bersekolah, mengaji, berkeluarga,
memiliki anak, dan sebagainya.78 Mereka akan lunak dan luluh hatinya,
manakala negara dan/atau seseorang memperhatikan dirinya beserta
keluarganya. Misalnya dengan membekalinya keterampilan dan modal
atau membantu perekonomian keluarganya, ataupun dalam masalah
administrasi seperti pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK) yang biasanya kepolisian tidak dapat menghilangkan catatan
pernah terlibat terorisme.
Kecenderungan menjadi teroris, bukanlah sikap yang diwariskan. Tidak
ada orang yang sejak lahir memiliki kecenderungan terhadap kekerasan
dan pembunuhan. Semuanya dipelajari, dibentuk oleh pengalaman,
pengasuhan, pendidikan, atau pelatihan. Karena itu, sikap bisa
diubah, dikurangi atau bahkan dihilangkan melalui proses reedukasi,
rehabilitasi, pengalaman, pengasuhan, atau pelatihan yang sistematis
dan berkelanjutan.79 Adanya perlakuan baik oleh masyarakat terhadap
matan napiter, pada akhirnya akan membuat mereka memiliki self-
worth (nilai diri), self-esteem (harga diri), dan well-being (kesejahteraan).
Mereka merasa lebih dihargai dan dianggap menjadi bagian dari
masyarakat. Kepedulian bersama menjadi hal yang sangat penting

78 Sarwono, Menakar Jiwa Mantan Teroris, h. 9.


79 Sarwono, Terorisme di Indonesia, h. 131.

34
MK Ridwan

untuk mendorong mantan napiter dan keluarganya berinteraksi dengan


masyarakat. Penerimaan dan kepedulian masyarakat dalam lingkungan
sosial terhadap mantan napiter, menjadi faktor dominan seorang mantan
napiter mau merealisasikan perubahan diri.80 Hal ini akan mengubah
perspektif mereka pada nature of people atau memandang masyarakat
dan negara yang sebelumnya negatif menjadi positif.81
Ketiga, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa mantan napiter
adalah orang yang rentan untuk kembali menjadi seorang teroris,
karena dekatnya dengan jaringan terorisme. Seperti ‘illah pada
golongan orang yang bertempat tinggal di benteng-benteng dan daerah
perbatasan dengan musuh. Mereka diberi zakat dengan harapan dapat
mempertahankan diri dan tetap teguh dengan keyakinannya.
Ada kesan bahwa pemerintah tidak cukup cakap mengelola napiter
saat keluar dari lapas. Sehingga terkesan ignorance (pengabaian)
terhadap mantan napiter. Hal ini disebabkan karena kurangnya dana
dan pengetahuan. Apalagi terdapat kecenderungan bahwa para mantan
napiter masih menyimpan rasa dendam terhadap pemerintah. Kesadaran
ini menjadikan inisiatif pemberdayaan dan pembinaan harus dibangun
melalui masyarakat dan organisasi non-pemerintah. Lembaga filantropi
Islam dapat memainkan peranannya dalam melakukan program-
program pemberdayaan dan pembinaan keterampilan berwirausaha dan
berwiraswasta sesuai minat, bakat dan latar belakang yang dimiliki.
Upaya kepedulian terhadap mantan napiter, dengan menjadikannya
sebagai mustahik zakat, akan berimplikasi kepada masyarakat untuk
secara bersama-sama mau peduli terhadap mereka. Hal ini sekaligus
mengimplikasikan edukasi yang baik kepada masyarakat. Karena
masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, di mana dalam

80 Sarwono, Terorisme di Indonesia, h. 48.


81 Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah
dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat Press, 2017, h. 158

35
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

setiap tindakannya membutuhkan legitimasi hukum (teologis) agama.


Dengan adanya kepedulian terhadap matan napiter, diharapkan akan
berdampak pada pengurangan terorisme di Indonesia. Minimal seorang
mantan napiter tidak kembali menjadi teroris di kemudian hari.

Simpulan
Kesimpulan ini bukanlah suatu hal yang dipaksakan ataupun dicari-
carikan pembenarannya. Namun, hal ini lebih karena realitas dan tuntutan
dunia kontemporer, sebagaimana praktik zakat pada sejarah Islam awal
yang lebih mempertimbangkan aspek praksis sosio-ekonomi, daripada
pertimbangan keagamaan. Serta berdasar atas landasan kaidah-kaidah
hukum Islam. Kesimpulan ini juga mendukung sebuah kenyataan
bahwa, banyak sektor yang tidak dapat dibiayai dari dana pajak, tetapi
dapat dibiayai dari dana zakat. Yaitu, segala program dan kegiatan yang
dapat dimasukkan dalam kategori mustahik zakat, seperti; ‘âmilîn,
muallafah qulûbuhum, riqâb, dan gharîm. Kepedulian lembaga filantropi
Islam terhadap permasalahan terorisme secara umum dan mantan
napiter secara khusus, harus benar-benar ditingkatkan dan menjadi
agenda gerakan bersama. Reformulasi pemahaman atas mustahik
zakat mampu mengoptimalkan fungsi, tujuan dan pengaruh zakat
bagi solusi kehidupan masyarakat secara lebih luas. Bukan saja hanya
terbatas pada konsep lama penafsiran tentang mustahik zakat, tetapi
berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kultur dan struktur
sosio-ekonomi masyarakat pada masa sekarang. Sudah harus menjadi
pemahaman bersama bahwa, tradisi zakat adalah tradisi yang dinamis
dan bersifat transformatif. Di mana tradisi zakat terus mengikuti pola
gerak perkembangan zaman yang beradabtasi dengan kondisi politik,
ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Sehingga, mantan napiter
dapat dimasukkan sebagai ashnaf faqir bagi yang memiliki ekonomi
lemah, dan ashnaf muallafah qulûbuhum bagi yang memiliki ekonomi

36
MK Ridwan

menengah ke atas. Dalam hal inilah, konsep-konsep yang ditawarkan


oleh Islam tidak kontraproduktif dengan semangat zaman dan benar-
benar kontekstual (shalih li kulli zaman wa makan).

Bibliography
al-Syathibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Vol. II. Kairo:
Dar al-Hadis, 1997.
Bakir, Abdul. Hukum Zakat: Dilengkapi Kumpulan Hadits Bukhari
tentang Zakat. Yogyakarta: Pustaka Santri, 2013.
Beik, Irfan Syauki Beik dan Qurroh Ayuniyyah. “Fiqh of Ashnaf in the
Distribution of Zakat: Case Study of the National Board of Zakat
of Indonesia (BAZNAS).” Al-Infaq 6.2 (2015): 201-216.
Djelantik, Sukawarsini. Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media,
Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010.
Engineer, Asghar Ali. The State in Islam: Nature and Scope. New Dhelhi:
Hope India Publications, 2006.
Faris, Ibn. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Fauzi, Amelia. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil
dan Negara di Indonesia. Trans. Eva Mushoffa. Yogyakarta: Gading
Publishing, 2016.
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani, 2002.
Hanafi, Hassan. Islam in the Modern World: Religion and Development.
Vol. 1. Heliopolis: Dar Kebaa Bookshop, 2000.
Ismail, Noor Huda. Dilema Narapidana Terorisme. Kompas edisi 27
Januari 2016, n.d.
Jamil, Syahril. “Prioritas Mustahiq Zakat menurut Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy.” Istinbath 14.16 (2015): 145-159.
Khamdan, Muh. Bina Damai Terorisme. Kudus: Parist, 2015.
—. Penjara di dalam Pesantren. Kudus: Parist, 2010.
—. “Rethinking Deradikalisasi: Konstruk Bina Damai Penanganan
Terorisme.” Addin 9.1 (2015): 181-204.
Koehler, Daniel. Right-Wing Terrorism in the 21st Centure: The ‘National
Socialist Underground’ and the History of Terror from the Far-Right in
Germany. New York: Routledge, 2017.

37
Mantan Narapidana Terorisme Sebagai Mustahik Zakat

Nurul Huda, dkk. Zakat Perspektif Mikro-Makro: Pendekatan Riset.


Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Qardhawy, Yusuf. Fiqhuz Zakât: Dirâsati Muqâranah li Ahkâmihâ wa
Falsafatihâ fî Daw al-Qur’ân wa al-Sunnah. Beirut: Mu’assasah ar-
Risalah, 1994.
—. Fiqih Jihad Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad
Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah. Trans. Irfan Maulana Hakim
dan Arif Munandar Riswanto. Bandung: Mizan, 2010.
—. Spektrum Zakat: dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Trans. Sari
Narulita. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
Qulub, Siti Tatmainul dan Ahmad Munif. “The Meaning of Fi Sabilillah
as a Mustahiq Zakat according to Contemporary Ulama.” Bimas
Islam 8.4 (2015): 609-632.
Rodin, Dede. “Rekonstruksi Konsep Fakir dan Miskin sebagai Mustahik
Zakat.” Ijtihad 15.1 (2015): 137-158.
Sa’i, Muhammad. “Filantropi dalam al-Qur’an: Studi Tematik Makna
dan Implementasi Perintah Infak dalam al-Qur’an.” Tasamuh 12.1
(2014): 57-82.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Menakar Jiwa Mantan Terorisme Melalui Tes
Davido CHaD. Jakarta: Salemba Humanika, 2013.
—. Terorisme di Indonesia: dalam Tinjauan Psikologis. Tengerang: PT
Pustaka Alvabet dan LaKIP, 2012.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
—. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. V.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syahrur, Muhammad. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah.
Damaskus: al-Ahli Publishing House, 1990.
Wibisono, Yusuf. Mengelola Zakat Indonesia: Diskursus Pengelolaan
Zakat Nasional dari Rezim Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 ke Rezim Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Zuhaily, Wahbah. Zakat Kajian berbagai Mazhab. Trans. Agus Effendi
dan Bahruddin Fananny. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Zuhri, Saefudin. Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat
Press, 2017.

38

Filantropi Islam dalam Dukungan
Pasif bagi Terorisme di Indonesia
Husna Yuni Wulansari

Abstrak
Artikel ini mengamati hubungan lembaga filantropi Islam (Infaq
Dakwah Center, Anfiqu Center, dan NUCARE-LAZISNU) dengan
faktor-faktor yang dapat memajukan ataupun melemahkan dukungan
bagi terorisme di Indonesia. Dukungan bagi terorisme setidaknya
terdiri atas dua bentuk: aktif dan pasif. Kedua bentuk tersebut sama-
sama berperan dalam membantu keberlangsungan praktik dan narasi-
narasi radikal yang dimajukan oleh kelompok-kelompok teroris maupun
masyarakat Islamis radikal. Artikel ini berargumen bahwa Infaq
Dakwah Center dan Anfiqu Center berkontribusi terhadap dukungan
pasif bagi terorisme. Dukungan pasif tersebut diketahui melalui gagasan
dan praktik filantropinya bagi kalangan narapidana teroris dan keluarga
narapidana teroris, yang mana mengandung simpati terhadap berbagai
motif dan taktik teroris. Sebaliknya, NUCARE-LAZISNU berupaya
melemahkan dukungan bagi terorisme, tetapi praktiknya belum
mampu mengatasi problematika sosial-ekonomi yang dialami kalangan
narapidana teroris dan keluarga narapidana teroris, juga belum secara
strategis diarahkan untuk melemahkan narasi-narasi dukungan pasif.
Kata kunci : filantropi Islam, dukungan pasif, terorisme, narapidana
teroris, keluarga narapidana teroris.

39
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Fenomena kelompok masyakarat Islamis yang berpihak pada gerakan


kelompok teroris di Indonesia telah mendorong berbagai upaya untuk
menjelaskannya. Artikel ini berusaha melihat fenomena semacam ini
dengan menjelaskan bahwa unsur masyarakat Islamis, secara spesifik
lembaga filantropi Islam berbasis komunitas, memiliki hubungan dengan
faktor-faktor yang, pada derajat tertentu, dapat memajukan dukungan
bagi terorisme melalui gagasan dan praktik kedermawanannya. Artikel
ini juga akan mengamati pola hubungan yang, sebaliknya, melemahkan
dukungan bagi terorisme. Pengamatan terhadap variasi hubungan
ini ditujukan untuk melihat sejauh mana mitigasi dukungan bagi
terorisme berbasis masyarakat sipil diikutsertakan di dalam program
kedermawanan lembaga filantropi Islam moderat. Lebih jauh lagi,
penelitian ini akan berupaya menjelaskan mengapa ketiga lembaga
filantropi Islam tersebut memajukan ataupun melemahkan dukungan
bagi terorisme. Guna menjelaskan hubungan dengan faktor “dukungan
bagi terorisme”, artikel ini akan berfokus terhadap posisi tiga lembaga
filantropi Islam berbasis komunitas yang berbeda-beda—yakni Infaq
Dakwah Center (IDC), LAZIS Muwahidin atau kini berubah nama
menjadi Anfiqu Center, dan LAZIS Nahdlatul Ulama atau biasa
disebut NUCARE-LAZISNU—vis-à-vis isu terorisme.
Terorisme, di samping sering dicirikan sebagai taktik yang sarat
kekerasan, juga melibatkan strategi komunikasi politik yang mana
melalui media massa dan media sosial, berusaha mendekati serta
memengaruhi masyarakat umum. Terlepas dari kepentingan, motivasi
dan target spesifik yang dimiliki tiap individu dan kelompok teroris,
aksi terorisme bertujuan untuk memenangkan “hati dan pikiran”
targetnya dan/atau mengintimidasi dan menakuti musuhnya serta
unsur masyarakatnya sendiri guna menciptakan persetujuan atau
ketundukan.1 Terorisme tumbuh di dalam mayarakat yang bersedia
1 Alex P. Schmid, ‘Public Opinion Survey Data to Measure Sympathy and Support for
Islamist Terrorism: A Look at Muslim Opinions on Al Qaeda and IS,’ ICCT Research
Paper, 2017, p. 3.
40
Husna Yuni Wulansari

mendukung penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan yang


diklaim oleh individu atau kelompok teroris terkait. Kendati demikian,
dukungan tidak semata-mata ada atau “ditakdirkan”, tetapi teroris kerap
menggunakan persuasi yang bersifat koersif maupun positif untuk
mengamankan bantuan dari unsur masyarakat yang, tanpa persuasi
tersebut, mungkin tidak akan menawarkan dukungannya. Selain
dengan mengamati bagaimana teroris memersuasi, “dukungan bagi
terorisme” dapat juga dipahami melalui sikap dan perilaku masyarakat
terhadap teroris. Asumsinya yakni meskipun kebanyakan masyarakat
mengecam dan menganggap bahwa terorisme adalah tindakan yang
tidak dapat diterima, terdapat segelintir pihak yang turut memberikan
dukungan—dengan bentuk dan derajat yang bervariasi—bagi teroris,
meskipun tidak terlibat secara langsung dalam aksi terorisme. Sebagai
konsekuensinya, individu dan/atau kelompok yang terlibat langsung
dalam terorisme dapat memperoleh keuntungan dari dukungan yang
diberikan oleh segelintir orang tersebut.2 Kendati dukungan dari unsur
masyarakat tidak selalu berkontribusi positif terhadap keberhasilan aksi
teroris, dukungan tersebut baik disadari atau tidak, turut “melestarikan”
keberlangsungan gagasan dan praktik terorisme.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa lembaga filantropi
Islam? Penelitian terhadap lembaga filantropi Islam dalam hubungannya
dengan isu terorisme menjadi penting karena dua pertimbangan.
Pertama, kedermawanan lembaga filantropi Islam bukan semata-mata
dilihat sebagai bentuk altruisme3 maupun perintah agama, melainkan
berhubungan erat dengan pergulatan politik dan dakwah. Peran dan
motif dari kedermawanannya berhubungan erat dengan prinsip,
karakter, kepentingan, tujuan, bahkan aliran Islam lembaga terkait.
Entitas-entitas filantropi ini muncul sebagai akibat dari dinamika politik

2 Brandon M. Boylan, ‘Sponsoring Violence: A Typology of Constituent Support for Terrorist


Organizations,’ Studies in Conflict & Terrorism, 2015, pp. 1-19.
3 Berdasarkan KBBI, altruisme berarti paham (sifat) yang lebih memperhatikan dan
mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme).

41
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

yang terjadi dalam konteks domestik maupun global. Proses lembaga


filantropi untuk memobilisasi kedermawanannya bergantung pada, dan
berasal dari, diskursus politik atas gagasan “keadilan” dan “kesatuan
umat”. Alhasil, kegiatan filantropi dapat juga dipahami sebagai ekspresi
kegelisahan politik.4 Oleh karenanya, lembaga filantropi Islam perlu juga
dipahami sebagai bagian dari masyarakat Muslim yang tidak semata-
mata berusaha meringankan penderitaan ekonomi umat, melainkan
pada konteks dan derajat tertentu turut “bergulat” dalam mendukung
ataupun melawan wacana dan praktik terkait terorisme di Indonesia.
Pertimbangan kedua berpangkal dari adanya beberapa lembaga filantropi
Islam yang secara terang-terangan menyalurkan zakat, infaq dan sedekah
(ZIS) kepada narapidana teroris (napiter), keluarga napiter, dan aktivis
Islam radikalis. Dua di antaranya yang baru-baru ini kiprahnya semakin
aktif adalah IDC dan Anfiqu Center. Lantas apa yang problematik
dari penyaluran ZIS kepada entitas teroris, apabila penerima ZIS
yang bersangkutan memang membutuhkannya? Problematika diawali
dengan narasi yang digunakan kedua lembaga tersebut untuk mengajak
umat Islam menyalurkan ZIS-nya. Dalam situs resmi IDC misalnya,
terdapat sebuah kampanye program “Solidaritas Keluarga Mujahidin”
yang ditulis sebagai berikut:
“Ratusan mujahid Islam yang berjuang menegakkan Syariat Islam
secara totalitas, dijebloskan ke penjara karena amaliah jihadnya
dianggap berbahaya dan makar oleh rezim zalim. Demi jihad
mereka harus berpisah dengan keluarga, menghabiskan waktu
bertahun-tahun, belasan tahun, puluhan tahun hingga seumur hidup
di penjara. Keluarga, istri dan anak-anak para mujahidin menjadi
tanggung jawab kaum Muslimin. Melalui program ini diharapkan
dapat mempertebal solidaritas, kemanusiaan dan kecintaan terhadap
syariat Jihad Fisabilillah yang sangat diagungkan Islam”.5

4 Hilman Latief. Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah and Politics in
Indonesia, Utrecht, 2012.
5 ‘Produk IDC’, Infaq Dakwah Center (daring), http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
produk-idc-voa-islam/17/

42
Husna Yuni Wulansari

Sementara Anfiqu Center, masih dengan nuansa promosi yang serupa,


mengunggah sebuah poster di website dan akun Facebook-nya. Dalam
poster tersebut terdapat tulisan: “IFTHOR UNTUK MUJAHIDIN
TERTAWAN TAHAP 2. Berbagi ifthor untuk berbuka puasa untuk
para mujahidin yang berada dibalik terali besi dengan total lebih dari
21 penjara”.6 Kedua kampanye tersebut sama-sama menonjolkan
sebutan “mujahidin” untuk merujuk pada individu yang terlibat
dalam aksi terorisme. Di titik ini, narasi IDC dan Anfiqu Center
menunjukkan adanya hubungan dengan fenomena terorisme Islamis,
namun pertanyaan terkait “dalam bentuk apakah dan sejauh manakah
hubungannya” masih perlu dikupas lebih jauh. Oleh sebab itulah
“dukungan bagi terorisme” menjadi pisau analisis yang potensial untuk
memahami persoalan ini.
Perlu digarisbawahi bahwa lembaga filantropi Islam seperti IDC
dan Anfiqu Center dapat dinilai sebagai pihak yang menyampaikan
ideologi, nilai, justifikasi, atau persoalan-persoalan pokok yang selaras
dengan narasi-narasi teroris kepada simpatisan dan khalayak umum.
Mengingat bahwa narasi-narasi tersebut dapat menjadi kendaraan
untuk memersuasi, maka kegagalan dalam memitigasi efektivitas
persuasif dari narasinya dapat mengakibatkan dampak buruk, termasuk
memperkenankan ideologi yang terkandung di dalamnya untuk
terasimilasi dengan audiens sehingga meningkatkan kemungkinan bagi
dukungan terhadap narasi terorisme sejenis.7 Berangkat dari asumsi
tersebut, menjadi masuk akal untuk turut melihat upaya mitigasi dari
lembaga filantropi Islam lain yang memiliki perhatian terhadap kontra-
terorisme. Sejauh ini, masih sulit menemukan lembaga filantropi Islam
yang secara eksplisit memasukkan penanggulangan terorisme ke dalam
agenda kedermawanannya. Nahdlatul Ulama (NU) salah satunya, sangat

6 https://www.facebook.com/Anfiqucenter/, diakses pada 10 November 2017.


7 Kurt Braddock & John Horgan, ‘Towards a Guide for Constructing and Disseminating
Counternarratives to Reduce Support for Terrorism,’ Studies in Conflict & Terrorism, 2015,
pp. 1-24.

43
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

aktif menyuarakan perlawanan terhadap radikalisme dan terorisme


sekaligus mengkampanyekan nilai-nilai Islam moderat. Akan tetapi,
NUCARE-LAZISNU, badan otonom di bawah NU yang bergerak
di bidang filantropi, secara kasat mata tidak menunjukkan posisi yang
jelas dalam isu terorisme. Hal inilah yang menjadi rasionalitas untuk
mengamati apakah lembaga filantropi Islam dengan kecenderungan
Islam moderat memiliki perhatian untuk melemahkan dukungan bagi
terorisme dan sejauh mana perhatian tersebut dimanifestasikan ke
dalam upaya nyata.
Berdasarkan latar di atas, penelitian ini mengajukan pertanyaan
sebagai berikut: Bagaimana kedermawanan lembaga filantropi Islam
berimplikasi terhadap dukungan bagi terorisme? Sejauh mana gagasan
dan praktiknya dapat menyumbang atau melemahkan dukungan bagi
terorisme? Apa yang dapat menjelaskan motif dari upaya lembaga
filantropi Islam untuk menyumbang atau melemahkan dukungan bagi
terorisme?
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memperjelas maksud
dari beberapa istilah yang menjadi sorotan utama di artikel ini. Pertama,
mengenai “radikal/radikalisme” dan “teroris/terorisme”. Dua istilah
tersebut banyak diperdebatkan dari segi konseptual serta dipahami
dengan makna yang berbeda-beda, baik oleh kalangan akademisi
maupun praktisi. Meski demikian, artikel ini akan menggunakan istilah
“radikalisme” untuk merujuk pada ideologi dan aktivitas yang bertujuan
untuk memurnikan ajaran Islam kembali kepada tauhid dengan
menegakkan hukum syariah Islam dan negara Islam. Penggunaan
istilah ini perlu dibedakan dengan radikalisme yang mengklaim
operasinya atas landasan motif politik non-relijius lainnya, seperti
organisasi militan Kurdistan, organisasi militan Macan Tamil, dan
sejenisnya. “Radikalisme” biasanya identik dengan pemaknaan “jihad”

44
Husna Yuni Wulansari

secara sempit dan harfiah atau kaku, misalnya memaknai jihad dalam
konteks perang (qital) untuk melawan musuh. Individu atau kelompok
disebut sebagai “radikalis” apabila ia mengamini paham radikalisme
dan menggunakan berbagai taktik—baik melalui kekerasan dan/atau
tanpa kekerasan—untuk mencapai tujuannya. Salah satu tujuannya
yang banyak dikaji oleh para akademisi adalah tujuan politik. Radikalis
menginginkan perubahan (change) sistem dan nilai (value) yang berlaku
saat ini dengan yang mereka yakini. Dalam konteks Indonesia saat ini,
radikalis membawa semangat jihad mendirikan Negara Islam yang
menjadikan hukum Islam sebagai konstitusinya.8 Contoh individu
radikalis yakni Abu Bakar Ba’asyir, sedangkan kelompok radikalis yaitu
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshoru Tauhid ( JAT),
Jamaah Islamiyah ( JI), dan sejenisnya. Pada konteks ini, “terorisme”
(dan istilah turunannya) dapat juga dimasukkan ke dalam kategori
“radikalisme”, tetapi perlu ditekankan bahwa “terorisme” cenderung
selalu mengacu pada penggunaan taktik kekerasan.9
Perlu juga untuk menjelaskan apa yang dimaksud artikel ini sebagai
“dukungan” dan mengapa makna konseptual tersebut yang dipilih
sebagai fondasi dari pembangunan argumen. Gagasan “dukungan bagi
terorisme” sejauh ini tidak terkonseptualisasikan secara seragam, bahkan
pewujudannya cenderung sulit untuk dinilai dan diukur secara eksplisit.
Konsep “dukungan bagi terorisme” memiliki definisi yang berbeda-
beda, utamanya terkait apa saja yang dapat disebut sebagai “dukungan”.
Terlepas dari kepelikan konseptual tersebut, terdapat setidaknya dua
kategorisasi bentuk “dukungan” yang dapat disarikan dari berbagai
literatur tentang “dukungan bagi terorisme”10, yaitu dukungan aktif dan
pasif.

8 Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah


dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat Press, 2017, pp. 164
9 Lihat, misalnya: Wahid, 2009; Bruinessen, 2002; Fealy & Borgu, 2005; Wiktorowicz, 2005.
10 Lihat, misalnya: Paul, 2010; Boylan, 2015; Cherney dan Murphy, 2017.

45
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Dukungan aktif merujuk pada penyediaan bantuan material secara


aktif untuk menyokong aksi teroris. Bentuknya bermacam-macam,
misal: pemberian dana; menyebarkan dorongan maupun propaganda
agar melakukan kekerasan atau bergabung dalam organisasi teroris;
penyediaan logistik dan bantuan operasional; penyediaan suaka dan
tempat perlindungan; pasokan pengetahuan dan saran ahli bagi
organisasi teroris; penyediaan fasilitas untuk perekrutan dan pelatihan
anggota organisasi teroris; pemerolehan senjata dan bahan peledak
dan sebagainya. Dukungan aktif merupakan komponen penting yang
dibutuhkan organisasi teroris agar dapat terus beroperasi.
Tidak kalah pentingnya dengan dukungan aktif, dukungan pasif
mengacu pada perasaan atau ekspresi simpati bagi aksi terorisme, yang
mana masyarakat pemberi dukungan pasif memiliki keyakinan implisit
bahwa tindakan dan/atau ideologi teroris memiliki legitimasi yang
dapat dibenarkan. Dukungan pasif mencakup sikap di mana masyarakat
tetap diam, tidak melaporkan tetapi tidak juga melawan aksi terorisme,
sehingga secara tidak langsung membiarkan keberlanjutan terorisme.
Masyarakat pemberi dukungan pasif tidak memobilisasi diri untuk
menyumbang bagi kampanye ataupun operasional terorisme, tetapi tidak
juga memobilisasi untuk melawannya. Dukungan pasif menimbulkan
sejumlah konsekuensi penting, di antaranya: menciptakan suaka atau
lingkungan yang memungkinkan terorisme untuk berlindung dan
berlanjut; memberikan toleransi atau penerimaan terhadap aktivitas
terorisme; menghasilkan empati dan ketidakacuhan terhadap aksi
kelompok teroris dan ideologi yang mendasarinya; menuntun pada
kurangnya keinginan masyarakat untuk berbuat sesuatu dalam
menghadapi terorisme; menyulitkan proses mobilisasi masyarakat
dalam upaya melawan radikalisme kekerasan dan radikalisasi yang
berbasis masyarakat. Apabila dukungan pasif berada pada dimensi yang
cenderung bersifat attitudinal atau bersangkutan dengan aspek sikap

46
Husna Yuni Wulansari

seseorang terhadap terorisme, dukungan aktif tidak hanya mencakup


dimensi attitudinal tetapi juga behavioral atau menyangkut aspek
perilaku. Namun perlu diingat bahwa mereka yang memiliki sikap
positif terhadap terorisme tidak serta-merta memanifestasikannya
dalam perilaku yang aktif. Berangkat dari penjabaran definisi tersebut,
artikel ini akan menitikberatkan analisis pada bentuk dukungan pasif
seperti apa yang berusaha dimajukan ataupun diputus oleh lembaga
filantropi Islam.
Argumen utama yang hendak dijelaskan oleh artikel ini yaitu bahwa
terdapat variasi dalam hubungan antara masing-masing lembaga
filantropi Islam dengan faktor “dukungan bagi terorisme”. Gagasan
dan praktik spesifik dari IDC, Anfiqu Center maupun NUCARE-
LAZISNU—kendati ketiganya sama-sama bergerak dalam semangat
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat Muslim—ternyata
menuntun pada posisi yang berbeda-beda dalam menggagas dan
menyikapi isu terorisme di Indonesia. Artikel ini akan menunjukkan
bagaimana IDC dan Anfiqu Center sama-sama menyumbang
dukungan pasif bagi terorisme dengan menjustifikasi narasi-narasi
radikal. Kendati demikian, dukungan pasif tersebut perlu juga dipahami
sebagai bentuk aksi kedermawanan yang muncul akibat rasa solidaritas
dan identifikasi dalam kelompok untuk meredakan penderitaan yang
sehari-hari dialami oleh narapidana teroris, keluarga narapidana
teroris, dan aktivis Islam radikalis. Di lain sisi, NUCARE-LAZISNU,
kendati gagasannya dengan tegas menentang terorisme, praktiknya
belum secara tepat sasaran dan tepat guna diarahkan untuk memutus
atau setidaknya melemahkan dukungan bagi terorisme. Upaya untuk
mengemansipasi penderitaan yang dialami oleh kelompok teroris pun
tidak diimplementasikan secara spesifik.

47
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Pemahaman tentang variasi posisi lembaga filantropi Islam di dalam


spektrum “dukungan” bagi terorisme menjadi salah satu upaya yang
signifikan untuk mengevaluasi dan memajukan strategi penanggulangan
terorisme yang bertumpu pada keterlibatan aktif masyarakat sipil.
Sejauh ini, penanggulangan terorisme melalui peran masyarakat sipil
di Indonesia sudah mulai dikembangkan, tidak hanya oleh organisasi
Muslim moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetapi
juga berbagai lembaga swadaya masyarakat. Ironisnya, dalam persoalan
ini lembaga filantropi Islam justru belum terdengar gaungnya.
Bahkan dalam konteks lembaga filantropi Islam yang berada di bawah
naungan organisasi Islam moderat seperti NUCARE-LAZISNU
pun, upaya untuk menanggulangi terorisme—atau setidaknya untuk
turut membantu meringankan beban kesengsaraan ekonomi-sosial
dari kelompok yang berada di “ring 1” kantong terorisme (seperti
narapidana teroris, keluarga teroris dan aktivis radikalis Islam)—belum
diarusutamakan.
Kurangnya pengarusutamaan ini penting untuk dievaluasi lebih jauh
mengingat dua hal: pertama, peran dan kontribusi lembaga filantropi
Islam di Indonesia dalam menyasar isu-isu keadilan, kesejahteraan dan
solidaritas umat Muslim sebetulnya sangatlah signifikan. Lembaga
filantropi Islam bisa menghimpun dan menggerakkan sejumlah
besar umat Muslim untuk mengambil tindakan dalam membenahi
permasalahan sosial tertentu. Pada dasarnya entitas ini juga berpotensi
untuk mengambil tindakan yang bisa berpengaruh dalam melanggengkan
atau justru melawan terorisme.Terlebih lagi, apabila mempertimbangkan
premis bahwa “radikalisme dapat berkembang karena permasalahan di
level struktural, seperti kemiskinan dan marjinalisasi ekonomi”, maka
perhatian lembaga filantropi Islam di isu-isu kesejahteraan dan keadilan
sosial menjadi relevan untuk menghentikan laju perkembangan
radikalisme. Kedua, lembaga filantropi Islam yang memiliki

48
Husna Yuni Wulansari

kecenderungan terhadap radikalisme Islam, dalam kasus ini yaitu IDC


dan Anfiqu Center, justru sudah lebih konsisten mewujudkan agenda
redistribusi kesejahteraan ekonomi dan penguatan solidaritas umat, yang
mana ternyata berdampak pada pembentukan hubungan dengan faktor
yang memajukan dukungan bagi terorisme. Asumsi yang digunakan
di sini adalah bahwa penanggulangan terorisme akan efektif apabila
diikuti upaya memutus aliran dukungan dalam segala bentuknya. Oleh
karena itu, artikel ini juga akan berusaha menawarkan refleksi terkait
bagaimana mengarusutamakan penanggulangan terorisme berbasis
masyarakat sipil yang berbeda, yaitu melalui keterlibatan strategis dari
lembaga filantropi Islam yang tepat dan relevan.
Terdapat dua limitasi yang hendak diklarifikasi dalam artikel ini.
Pertama, tidak dipungkiri bahwa proses terbentuknya “dukungan”
tidak serta-merta berjalan satu arah, misalnya dimobilisasi oleh basis
kelompok teroris saja atau oleh negara saja atau oleh masyarakat saja.
Akan tetapi, dukungan bagi terorisme muncul akibat proses mobilisasi
dan relasi yang kompleks, yang mana terjadi hubungan antar berbagai
unit (internal dan eksternal) yang terlibat, baik secara langsung maupun
tidak langsung, di dalam diskursus terorisme. Sebagaimana dijelaskan
oleh Boylan misalnya, dukungan bagi terorisme dapat diperoleh karena
dua tipe hubungan: (1) perilaku suportif masyarakat tertentu terhadap
organisasi teroris, dan (2) metode persuasi yang digunakan oleh
organisasi teroris terhadap masyarakat. Alih-alih berdiri sendiri-sendiri,
kedua mekanisme tersebut beroperasi dalam suatu ‘rangkaian dukungan’
yang interdependen dan saling berpotongan.11 Guna melihat ‘rangkaian
dukungan’ secara lebih utuh, perlu terlebih dahulu menganalisis satu per
satu masing-masing tipe hubungan dalam dukungan bagi terorisme.
Maka sebagai langkah awal dari proses tersebut, artikel ini bermaksud
memberikan pemahaman tentang dukungan yang muncul karena

11 Boylan, pp. 2-3.

49
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

perilaku masyarakat terhadap kelompok teroris. Kedua, artikel ini tidak


menyangkal bahwa penting juga untuk meneliti dalam “kondisi apa”
dukungan pasif dapat menuntun pada dukungan aktif. Gagasan ini dapat
dijadikan agenda penelitian lanjutan yang potensial untuk menjelaskan
keterlibatan aktif publik dalam aktivitas terorisme. Namun, artikel ini
akan dibatasi dengan meneliti faktor-faktor yang bisa menjelaskan ada
atau tidaknya bentuk dukungan di tataran pasif dan mengapa dukungan
tersebut berusaha diberikan ataupun dilemahkan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, secara spesifik melalui
analisis konten. Data-data mengenai ketiga lembaga filantropi Islam
diperoleh dari situs web resmi, akun-akun media sosial resmi seperti
Twitter dan Facebook, literatur, serta divalidasi melalui wawancara.12
Guna mengidentifikasi posisi ketiga lembaga filantropi Islam vis-à-vis
fenomena terorisme, data yang diperoleh dari masing-masing lembaga
akan dikelompokkan ke dalam elemen-elemen yang kemudian dapat
dianalisis untuk menilai sejauh mana gagasan dan praktiknya memenuhi
manifestasi dukungan bagi terorisme. Elemen-elemen tersebut terdiri
atas persepsi terhadap: (1) jihad; (2) kelompok teroris, narapidana
teroris, keluarga narapidana teroris dan aktivis Islam radikal; (3)
negara dan pemerintah; (4) masyarakat non-Muslim. Justifikasi terkait
pemilihan subjek penelitian akan diperjelas di bagian yang menjabarkan
masing-masing lembaga filantropi Islam.

12 Pada saat artikel ini ditulis, wawancara validasi kepada pihak IDC belum berhasil dilakukan
karena IDC menolak untuk diwawancarai. Sementara itu, Anfiqu Center hanya bersedia
diwawancarai via Telegram. Meski demikian, data yang ditemukan penulis dari wawancara
virtual dengan Anfiqu Center sudah cukup secara jelas memverifikasi apa yang dimaksud
oleh LAZIS-LAZIS ini sebagai “mujahidin”. Anfiqu Center maupun IDC memiliki konsepsi
dasar yang sama tentang apa yang disebut sebagai “mujahidin”, yakni tidak lain adalah
mereka yang ditahan oleh Densus 88 karena aksi teror. Anfiqu Center dalam percakapan
virtual dengan penulis juga mengakui bahwa terinspirasi dan mempunyai aspirasi untuk
meningkatkan kiprahnya menjadi sebesar IDC. Penulis kemudian memperkuat data
sekunder terkait IDC dan melakukan analisis konseptual untuk mengonfirmasi apakah
narasi dan praktik yang dilakukan IDC memenuhi indikator dukungan bagi terorisme dan
sejauh apakah derajat dukungannya.

50
Husna Yuni Wulansari

Artikel akan dimulai dengan tinjauan literatur terhadap studi tentang


hubungan antara filantropi Islam dan terorisme. Bagian berikutnya akan
berusaha memaparkan lebih rinci konsep “dukungan bagi terorisme”,
sekaligus memperjelas cara mengukur dukungan bagi terorisme.
Kemudian, temuan dari masing-masing lembaga filantropi Islam
akan dijabarkan satu per satu dan menganalisisnya melalui elemen-
elemen yang dapat menjelaskan faktor yang memprediksi dukungan
bagi terorisme beserta motifnya. Artikel akan ditutup dengan refleksi
mengenai kemungkinan memformulasikan strategi pencegahan dan
perlawanan terhadap terorisme berbasis komunitas.

Filantropi Islam dan Terorisme


Belakangan ini, semakin banyak entitas masyarakat sipil yang
menyuarakan dukungan pasif bagi terorisme, misalnya berupa simpati
dan afirmasi terhadap motif dan aksi teroris, melalui media daring
maupun luring. Entitas masyarakat sipil tersebut terdiri atas berbagai
kalangan, mulai dari kelompok paramiliter Islam radikal-intoleran
seperti Front Pembela Islam (FPI), media berbasis masyarakat tanpa
afiliasi organisasi Islamis tertentu seperti VOA Islam, Panjimas.com dan
Arrahmah.com,13 hingga lembaga filantropi Islam seperti GASHIBU
(Gerakan Sehari Seribu; telegram.me/TukangSapuGashibu), Yayasan
RUMPUT14, Infaq Dakwah Center (IDC), dan Anfiqu Center. Kendati
demikian, upaya di tataran akademis untuk menjelaskan dukungan pasif
masyarakat bagi terorisme di Indonesia masih sangat minim.

13 VOA Islam, Panjimas.com dan Arrahmah.com merupakan contoh media Islam yang
kontennya banyak menyuarakan muatan radikalisme. VOA Islam dan Panjimas memiliki
afiliasi dengan IDC, yaitu masih dalam naungan satu kantor yang sama serta secara aktif
mempromosikan dan memberitakan aktivitas filantropi dan dakwah dari IDC di situs
webnya masing-masing.
14 Yayasan RUMPUT (FB Page), https://www.facebook.com/yayasanrumput. Yayasan
RUMPUT dan GASHIBU dinilai merupakan lembaga filantropi Islam yang sejenis dengan
IDC dan Anfiqu Center namun tidak dikupas lebih lanjut dalam studi kasus di artikel ini.

51
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Di tingkat global, berbagai kajian tentang hubungan antara lembaga


filantropi dengan terorisme cenderung menitikberatkan telaahnya pada
persoalan terkait bagaimana kegiatan amal dari suatu lembaga filantropi
Islam berkontribusi terhadap dukungan aktif bagi terorisme, khususnya
yang berupa pendanaan. Burr dan Collins (2006) misalnya, menjelaskan
bahwa terdapat sejumlah organisasi amal Islam dari berbagai negara
yang menggunakan donasi yang dikumpulkannya untuk mendanai
aktivitas jihad organisasi-organisasi teroris. Salah satunya yakni
International Islamic Relief Organization (IIRO) dari Arab Saudi,
sebuah organsiasi humaniter non-pemerintah yang berfokus untuk
memberikan bantuan bagi korban perang dan bencana alam. Akan
tetapi, jangkauan kegiatan amalnya merambah hingga memberikan
bantuan dana bagi Taliban, Al Qaeda, Jamaah Islamiyah dan Abu
Sayyaf. Tidak hanya IIRO, penulis mengidentifikasi tiga belas lembaga-
lembaga amal Islam lain yang mendanai teroris, di antaranya seperti Al
Haramain Islamic Foundation, World Assembly of Muslim Youth, Al
Wafa Humanitarian Foundation. Pengumpulan amal untuk mendanai
organisasi teroris semacam ini memanfaatkan jaringan Islamis global
yang bergerak melalui platform daring.15 Masih dalam persoalan yang
sejenis, Flanigan (2006) mengambil sudut pandang yang berbeda
dengan menjelaskan bahwa organisasi teroris juga melakukan kegiatan
amal untuk memobilisasi dukungan dan penerimaan dari masyarakat,
sekaligus sebagai bentuk resistensi atas kekecewaan dan eksklusi politik
atau sosial yang dialaminya.16
Dalam konteks Indonesia pun, fokus kajian terkait dukungan lembaga
amal berbasis masyarakat bagi terorisme masih terbatas pada bentuk
dukungan aktif. Sebagai ilustrasinya, laporan International Crisis Group

15 J. Millard Burr dan Robert O. Collins, Alms for Jihad: Charity and Terrorism in the Islamic
World, New York, Cambridge University Press, 2006.
16 Shawn Teresa Flanigan, ‘Charity as Resistance: Connections between Charity, Contentious
Politics, and Terror,’ Studies in Conflict & Terrorism, vol. 29, no. 7, 2006, p. 641-655.

52
Husna Yuni Wulansari

(ICG) tahun 2005 dan 2008 menemukan bahwa jaringan KOMPAK,


lembaga amal Islam yang didirikan oleh Dewan Dakwah Islam
Indonesia, berperan penting dalam melakukan perekrutan, pembiayaan
dan pelatihan para relawan mujahidin di Solo, Makassar, Poso, dan
Ambon. Berdasarkan laporan ICG, KOMPAK secara eksplisit memiliki
afiliasi dengan organisasi-organisasi teroris seperti Darul Islam dan
Jamaah Islamiyah.17 Sementara itu, Taufiq dan Arianti (2014) mencoba
mengambil subjek penelitian yang afiliasi organisasionalnya lebih
longgar dan cenderung kabur, tetapi sama-sama bergerak dalam agenda
kelompok-kelompok teroris. Taufiq dan Arianti meneliti GASHIBU
(Gerakan Sehari Seribu), sebuah organisasi amal yang memberikan
bantuan kepada narapidana teroris (napiter) dan keluarga napiter.
Penelitian tersebut berargumen bahwa GASHIBU adalah bagian dari
entitas radikalis militan yang membentuk jaringan komunitas suportif
yang bertujuan melawan upaya deradikalisasi pemerintah dengan cara
memengaruhi narapidana teroris (napiter) dan keluarga napiter agar
menolak ikut program deradikalisasi yang dilakukan aktor pemerintah
maupun LSM. Tidak hanya itu, organisasi amal semacam GASHIBU
dinilai sebagai bentuk sumber pendanaan baru bagi komunitas
ekstremis di Indonesia.18 Artikel ini akan berusaha melangkah lebih
jauh dari kedua penelitian tersebut dengan menawarkan tiga kebaruan:
(1) mengangkat subjek penelitian lain (IDC dan Anfiqu Center), yang
mana meskipun aktivitasnya tidak terlihat se-militan dan se-eksplisit
KOMPAK maupun GASHIBU, tetapi menunjukkan adanya bentuk
dukungan pasif. Dukungan pasif tersebut penting untuk ditelaah dengan
mempertimbangkan premis bahwa keberlangsungan gagasan dan
praktik terorisme juga bergantung pada justifikasi dari simpatisannya;

17 International Crisis Group, ‘Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry’, Asia


report no. 147, 2008, pp. 1-21.
18 Muh Taufiqurrohman dan V. Arianti, ‘The ‘Anti-Deradicalization’ Movement of Indonesian
Terrorist Networks,’ Journal of the International Centre for Political Violence and
Terrorism Research, vol. 6, no. 2, 2014, (p).

53
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

(2) tidak hanya mengidentifikasi bentuk dukungannya, motif atau


alasan di balik pemberian dukungan tersebut juga akan dianalisis di
sini; (3) menganalisis lembaga filantropi Islam dengan latar belakang
yang cenderung berseberangan (NUCARE-LAZISNU) sebagai upaya
untuk melihat variasi posisi lembaga filantropi Islam dalam dukungan
bagi terorisme.

Dukungan Bagi Terorisme


Sejauh ini, penelitian yang bergerak di topik “dukungan bagi terorisme”
terpolarisasi, tidak hanya dalam gagasan tentang apa yang memenuhi
definisi dan kategori dukungan, tetapi juga tentang unit analisis
yang dijadikan titik tumpu untuk menjelaskan sumber pemerolehan
dukungan. Secara umum, terdapat setidaknya dua sudut pandang dalam
memahami unit analisis dari sumber dukungan bagi terorisme. Pertama,
yaitu penelitian yang membahas dukungan yang dihasilkan secara
internal atau dalam arti lain dimobilisasi oleh organisasi teroris itu
sendiri.19 Kedua, yaitu penelitian yang menjelaskan sumber dukungan
yang berasal dari unit analisis eksternal, contohnya: masyarakat secara
umum, negara, kelompok diaspora, lembaga swadaya masyarakat,
kelompok kriminal terorganisir, dan kelompok teroris atau pemberontak
lainnya.20 Artikel ini menemui relevansinya dengan penelitian yang
menggunakan unit analisis eksternal, yakni secara spesifik masyarakat.
Sebagian besar studi mengenai “dukungan bagi terorisme” yang
mengangkat masyarakat sebagai unit analisisnya berusaha untuk
menjawab: (1) bagaimana dukungan bagi teroris dapat diukur? (2)
mengapa komponen tertentu dari masyarakat mendukung terorisme?
(3) bagaimana teroris menghasilkan dukungan dari unsur masyarakat?

19 Lihat, misalnya: Kevin Siqueira dan Todd Sandler, 2006; Andrew H. Kydd dan Barbara F.
Walter, 2006; João Ricardo Faria dan Daniel G. Arce M., 2005.
20 Christopher Paul, ‘As a Fish Swims in the Sea: Relationships Between Factors Contributing
to Support for Terrorist or Insurgent Groups,’ Studies in Conflict & Terrorism, vol. 33, no.
6, 2010, pp. 488-510.

54
Husna Yuni Wulansari

dan (4) apakah dukungan masyarakat penting bagi kesuksesan teroris?


Artikel ini akan berfokus pada pertanyaan pertama dan kedua.
Pengukuran terhadap dukungan bagi terorisme hingga kini masih melalui
perdebatan teoritis. Secara empiris, kita dapat mengetahui, misalnya,
bahwa beberapa tahun belakangan ini lebih dari 30,000 Muslim dari
lebih dari 100 negara telah pergi ke Suriah dan “arena jihad” lainnya
untuk bergabung dengan Islamic State (IS), Jabhat al Nusra (cabang
resmi Al Qaeda di Suriah) dan kelompok-kelompok jihadis lainnya.21
Lebih spesifik di konteks Indonesia, BNPT menyatakan bahwa pada
November 2014, terdapat 300 warga negara Indonesia telah bergabung
dengan ISIS di Timur Tengah, dan hanya sebulan setelahnya, dilaporkan
lebih dari 500 orang berangkat juga. Sementara menurut Densus 88,
sejumlah 202 WNI berangkat untuk berjuang ke Suriah dan Irak. Pihak
Densus 88 mengakui bahwa angka sesungguhnya bisa jadi belasan lebih
banyak dari itu, dan estimasi ini belum termasuk 30-40 orang yang
dikabarkan telah meninggal di medan perang.22
Fenomena tersebut adalah pertanda tegas dari dukungan. Ukuran
dukungan lainnya yang lebih tidak tampak adalah aliran donasi yang
digunakan sebagai taktik kelompok-kelompok teroris dan pemberontak
untuk memperoleh uang, senjata, penasehat, logistik, inteligensi, suaka,
dsb, dari simpatisan dan sponsornya. Sebagian besar dari bentuk
dukungan semacam ini terjadi dalam kekaburan proxy wars di mana
negara-negara asing—terkadang melalui pihak ketiga yang berlaku
sebagai penghubung—menyokong kelompok bersenjata lokal secara
diam-diam. Wujud asli dan penuh dari dukungan rahasia ini seringkali
baru muncul ke permukaan beberapa tahun berikutnya setelah
pertempuran telah dimenangkan atau dikalahkan. Akan tetapi, platform
untuk mengekspresikan dukungan lain yang tak kalah signifikan adalah

21 Schmid (2017), p. 6.
22 USAID, Indonesian and Malaysian Support for the Islamic State, Washington, DC, 2016,
pp. 6-7.

55
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

internet, di mana sejumlah ‘pengikut’ dari website atau akun media sosial
tertentu dan cerita-cerita tentang “heroisme” teroris dapat dilacak.23
Kendati demikian, sebagaimana diuraikan di bagian klarifikasi definisi
di atas, semua pewujudan “dukungan” bagi teroris cenderung sulit
dinilai dan dibandingkan. Schmid (2017) berusaha membedakan tiga
jenis hubungan: (1) legal tetapi bukan berarti selalu tidak bermasalah,
(2) masih legal (menurut hukum di beberapa negara), tetapi bergantung
pada kategori kelompok radikalis-kekerasan manakah yang ditentang
atau didukung oleh pemerintah di negara bersangkutan, (3) ilegal, yakni
kelompok radikalis-kekerasan yang termasuk dalam daftar sanksi PBB,
lembaga regional atau nasional, sehingga dukungan bagi kelompok
tersebut secara jelas dinyatakan melanggar hukum. Masing-masing
hubungan mengindikasikan derajat dukungan yang berbeda-beda.
Jenis hubungan Derajat dukungan
Legal Empati atau “pengertian” bagi terorisme
Masih Legal Simpati bagi terorisme
Ilegal Segala bentuk dukungan di tataran perilaku
(behavioural) dan bantuan untuk organisasi teroris

Empati bagi Terorisme


Bentuk empati (“pengertian”) bagi terorisme dapat berupa penerimaan
terhadap legitimasi dari beberapa grievances atau wujud ‘kekecewaan’
teroris, sebagaimana diekspresikan dalam pernyataan pendapat lisan
maupun tertulis. Umumnya, bentuk ini mencerminkan sikap non-
partisan yang sedikit banyak lebih netral dan tidak membenarkan
terorisme sebagai taktik berkonflik yang sah. Teroris kerap didorong
oleh motif-motif tertentu yang membuatnya siap untuk mengambil
resiko dan mengorbankan hidupnya demi tujuan yang dianggapnya
mulia. Motif-motif tersebut seringkali tidak jauh berbeda dari motif-

23 Schmid (2017), p. 6.

56
Husna Yuni Wulansari

motif yang dimiliki oleh orang-orang lain yang memilih untuk tidak
menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, dan/atau orang-
orang yang hanya menggunakan kekerasan terhadap aparat keamanan
musuhnya, dalam arti lain tidak melawan masyarakat sipil dan non-
kombatan. Aktor-aktor lain ini bisa jadi memiliki kekecewaan dan
keluhan yang serupa terkait masalah-masalah seperti ketidakadilan,
ketimpangan, represi, intervensi pihak asing dan rezim otoritarian
pemerintah. Mereka yang berbagi keresahan dengan para teroris
(misalnya: keinginan untuk membangun negara sendiri) menunjukkan
pengertian empatik atas apa yang diinginkan oleh teroris, meskipun
mereka bisa saja sangat tidak setuju dengan metode kekerasan yang
digunakan oleh teroris.
Menunjukkan pengertian empatik terhadap keresahan teroris adalah
bentuk mengekspresikan opini atau aksi lisan dan merupakan bagian
dari aspek mentalitas seseorang, tetapi hal ini tidak bisa dinilai sebagai
kriminalitas. Ekspresi semacam ini berada di bawah perlindungan pasal
19 Universal Declaration of Human Rights yang menjamin kebebasan
berpendapat. Pengertian empatik berbeda dengan ‘menjustifikasi’, dan
merupakan identifikasi positif dengan modus operandi teroris. Suatu
ekspresi masih dapat disebut sebagai pengertian empatik sejauh tidak
mempromosikan atau mengadvokasikan terorisme.

Simpati bagi Terorisme


Memiliki simpati bagi alasan-alasan kelompok teroris terletak di
posisi tengah antara bentuk “pengertian” dan “dukungan” yang lebih
aktif. Simpati menunjukkan tidak hanya penerimaan terhadap tujuan-
tujuan yang dikejar teroris, tetapi juga suatu derajat penerimaan
terhadap kebenaran dari taktik teroris (seperti bom bunuh diri,
penyanderaan, pembantaian massal). Simpati bagi alasan-alasan teroris
dan penerimaan terhadap modus operandinya tidak cukup untuk

57
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

disebut sebagai keterlibatan personal yang aktif. Kendati demikian, jika


seandainya buronan teroris mengetuk pintu dari seorang simpatisan dan
meminta tempat persembunyian dari kejaran polisi, banyak simpatisan
yang kemungkinan tidak akan menolak untuk memberinya tempat
berlindung sementara, terutama apabila orang yang meminta bantuan
telah dikenal secara personal. Umumnya, simpati bagi terorisme bersifat
“attitudinal” yaitu mewujud di tataran sikap, ketimbang “behavioural”
yaitu mewujud di tataran perilaku. Simpati bagi terorisme bersifat pasif
ketimbang aktif, tetapi cenderung menunjukkan derajat persetujuan
ideologis. Simpatisan teroris dapat menunjukkan penerimaan atau
bahkan feelings of gratification ‘perasaan kegembiraan’ (“layani dengan
baik”, shamateh dalam bahasa Arab) manakala terjadi “keberhasilan” aksi
terorisme oleh kelompok atau gerakan yang didukungnya. Dalam hal
ini, simpatisan mengidentifikasi dirinya dengan pelaku aksi terorisme
ketimbang dengan korban atau pemerintah di wilayah yang mana
insiden teroris terjadi.24 Simpatisan tidak serta-merta akan mengubah
dukungan pasifnya menjadi bantuan yang lebih aktif dan konkret. Hal ini
memunculkan pertanyaan terkait seberapa signifikan peran simpatisan
dalam terorisme. Meskipun tidak memainkan peran esensial dalam
seluruh aspek persiapan aksi terorisme, simpatisan berperan dalam
memberikan dukungan dengan “berlaku sebagai sponsor, calon anggota
potensial, atau propagandis atas gagasan dan aksi jihad kekerasan”.25

Dukungan Aktif bagi Terorisme


Di tingkatan ketiga, dukungan aktif bagi terorisme merupakan bentuk
dukungan yang bersifat material dan/atau behavioural (berkaitan dengan
perilaku). Schmid mengidentifikasi dua belas derajat dukungan aktif:
(1) mempromosikan dan mengadvokasikan penggunaan terorisme

24 Schmid (2017), pp. 6-9.


25 Peter Mascini, ‘Can the Violent Jihad Do without Sympathizers?,’ Studies in Conflict and
Terrorism, 2006, p. 17.

58
Husna Yuni Wulansari

dalam demonstrasi, di media massa atau internet; (2) membantu


teroris dalam mengumpulkan informasi dan distribusi propaganda;
(3) menawarkan alibi atau pernyataan palsu bagi terduga pelaku aksi
terorisme; (4) memberikan pelayanan bagi teroris seperti rumah
perlindungan bagi buronan; (5) mendonasikan yang bagi organisasi
teroris; (6) menyediakan fasilitas dan bantuan lainnya bagi rekrutmen
dan pelatihan anggota baru organisasi teroris; (7) menyediakan kartu
identitas palsu; (8) menyediakan nasehat ahli dan intelijen bagi
organisasi teroris; (9) menyediakan bantuan logistik dan transportasi
untuk melintasi perbatasan dan/atau mencapai tempat tujuan; (10)
pemerolehan senjata, amunisi dan bahan peledak untuk teroris; (11)
menyediakan bantuan personel dan operasional; (12) melakukan
pekerjaan lepas untuk kelompok teroris, baik sebagai ‘lone wolf’ atau
dengan bergabung kelompok teroris secara langsung. Intinya, dukungan
aktif bagi terorisme menitikberatkan pada bentuk-bentuk dukungan
yang diwujudkan ke dalam perilaku aktif sekaligus konkret.
Mengingat bahwa analisis akan dititikberatkan pada dukungan pasif,
maka penting untuk memperjelas cara dalam mengidentifikasi ada atau
tidaknya dukungan pasif. Berbagai literatur menerapkan kombinasi
faktor yang berbeda-beda untuk memprediksi tingkatan dukungan
pasif bagi terorisme. Namun terlepas dari perbedaan faktor-faktor
yang dikombinasikan, hampir seluruhnya sepakat bahwa pandangan
seseorang tentang jihad atau penggunaan kekerasan atas nama Islam
merupakan faktor penting untuk memprediksi dukungan bagi terorisme.
Beberapa penulis lain kemudian menambahkan faktor prediksi yang
lain, misalnya: melihat apakah orang-orang Muslim percaya bahwa
teroris memiliki kekecewaan yang dapat dibenarkan, bagaimana
sikapnya terhadap kebijakan maupun aksi kontra-terorisme26, persepsi

26 Adrian Cherney dan Kristina Murphy, ‘Support for Terrorism: The Role of Beliefs in Jihad
and Institutional Responses to Terrorism,’ Terrorism and Political Violence, 2017, pp. 1-21.

59
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

terhadap Amerika Serikat27, persepsi terhadap kelompok militan dan


Islam politik.28

Beragam Motif: Mengapa Unsur Masyarakat


Memberikan Dukungan bagi Terorisme?
Berbagai penelitian menjabarkan alasan individu dalam mendukung
terorisme melalui berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat
dirangkum setidaknya ke dalam tiga tipe.29 Tipe pertama menyebutkan
bahwa dukungan bagi terorisme muncul karena konteks yang opresif,
seperti kekecewaan, alienasi, perasaan terancam dan terhina, frustasi
akibat ketidakadilan dan represi ekonomi-politik. Masyarakat Muslim
yang merasa teralienasi dari lingkungan sosialnya, termarjinalisasi secara
ekonomi dan politik, atau tersudut oleh kemajuan diskursus-diskursus
kontra-terorisme bias Barat pasca insiden 9/11, cenderung dihadapkan
pada terbukanya kesempatan untuk meningkatkan simpatinya bagi aksi
terorisme.
Tipe kedua menjelaskan bahwa unsur masyarakat mendukung
terorisme karena adanya faktor yang berasal dari proses sosial dan
kultural. Dalam tipe ini, faktor-faktor seperti pembentukan identitas,
tingkat kesalehan, ikatan komunal dengan kelompok etnis atau relijius
tertentu, dan kesesuaian ideologi memainkan peran untuk mendorong
unsur masyarakat memberikan ataupun memutus dukungan bagi
terorisme. Dalam proses pembentukan identitas misalnya, masyarakat
Muslim membangun persepsinya atas ancaman eksternal, sehingga
terjadi peliyanan dengan memahami dunia ke dalam pandangan “kami”
versus “mereka”. Peliyanan semacam ini menjadi sumber kohesi dan
idealisasi atas nilai-nilai dalam-kelompok. Proses identitas berdampak
27 Ethan Bueno de Mesquita dan Eric S. Dickson, ‘The Propaganda of the Deed: Terrorism,
Counterterrorism, and Mobilization,’ American Journal of Political Science, vol. 51, 2007,
p. 464-381.
28 Daniel Byman, ‘Passive Sponsors of Terrorism,’ Survival, vol. 47, no. 4, 2005, pp. 117-144.
29 Paul, pp. 488-510.

60
Husna Yuni Wulansari

bagi terorisme dalam dua arah: memajukan dan melemahkan dukungan


bagi terorisme. Serangan teroris yang berhasil misalnya, dapat menjadi
aksi simbolik yang menginspirasi solidaritas dan penyatuan identitas di
antara berbagai pihak yang memangku kepentingan yang sama dengan
teroris. Di sisi lain, identitas dapat bekerja melawan organisasi teroris,
jika masyarakat terkait memaknai kelompok teroris sebagai orang luar.
Tidak hanya itu, ikatan kekeluargaan dan/atau ikatan kekeluargaan
fiktif juga mudah dimobilisasi untuk menghasilkan dukungan bagi
terorisme. Anggota Jemaah Islamiyah misalnya, secara rutin menikahi
saudara perempuan atau anak dari anggota atau pendukungnya yang
lain. Tetapi ikatan kekeluargaan fiktif juga bisa sekuat ikatan darah
dan pernikahan. Dalam budaya yang memiliki rasa kepemilikan yang
kuat, anggota kelompok teroris di masyarakat tersebut diperlakukan
sebagaimana keluarga.
Ideologi yang relevan dengan unsur masyarakat dapat muncul, baik
karena dibangun secara eksplisit oleh organisasi teroris itu sendiri,
ataupun telah terbentuk dalam suatu komunitas tetapi dimanfaatkan oleh
teroris untuk menciptakan kondisi di mana unsur masyarakat merasakan
adanya kesesuaian ideologis. Apapun mekanisme pembentukannya,
proses sosial dan kultural berkontribusi penting bagi keputusan untuk
mendukung ataupun tidak mendukung terorisme. Proses sosial dan
kultural dapat juga dibangun di atas faktor-faktor yang terdapat di
tipe pertama. Sebagai ilustrasi, perasaan adanya ancaman, penghinaan,
ataupun alienasi dapat menciptakan kekosongan yang memungkinkan
ideologi untuk masuk dan menjadi ‘penawar’ bagi masalah-masalah
identitas tersebut.
Tipe ketiga membahas kemunculan dukungan bagi terorisme akibat
struktur kesempatan politik. Tipe ini menyebutkan bahwa dukungan
unsur masyarakat dapat dimodelkan sebagai kontestasi kuasa dan
perebutan sumber daya antara teroris dan negara. Unsur masyarakat

61
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

dapat menyokong terorisme ketika negara gagal untuk menghentikan


aliran dukungannya.30 Siqueira dan Sandler (2006) misalnya,
berargumen bahwa keberlanjutan kampanye teroris ditentukan oleh
dukungan di tingkat akar rumput, efektivitas aksi kontra-terorisme
pemerintah, dan sponsor dari negara. Kompetisi antagonis antara teroris
dan negara terjadi ketika keduanya saling berusaha merebut dukungan
unsur masyarakat.31
Artikel ini akan mencoba menerapkan konsep dukungan bagi terorisme
melalui empat tahapan. Pertama, memprediksi bentuk dukungan
melalui pendirian masing-masing lembaga filantropi Islam terhadap
faktor-faktor berikut: (1) jihad; (2) kelompok teroris, narapidana
teroris, keluarga narapidana teroris dan aktivis Islam radikal; (3) negara
dan pemerintah; (4) unsur masyarakat non-Muslim. Pendirian tersebut
dapat diketahui dan dipetakan dengan mengamati berbagai narasi yang
terkandung dalam gagasan dan praktik filantropinya. Kedua, memahami
motif di balik pendirian tiap lembaga filantropi Islam. Pemahaman
terkait motif ini akan dibatasi pada tipe motif pertama dan kedua, tanpa
menyertakan analisis terhadap tipe ketiga. Tanpa menampik signifikansi
dari motif tipe ketiga, pembatasan ini didasari oleh pertimbangan bahwa
belum ada penelitian yang menelaah motif internal lembaga filantropi
Islam dalam memberikan (atau melemahkan) dukungan bagi terorisme.
Oleh karenanya, pengamatan terhadap motif dukungan tipe ketiga—
yang notabene lebih jauh menganalisis relasi dan kontestasi kuasa
dengan berbagai aktor eksternal—dapat menjadi agenda penelitian
lanjutan lainnya.

30 Peter J Phillips, ‘Switching Costs, Grassroots Support of Terrorism and the Escalation of
Conflict,’ European Journal of Social Sciences, vol. 31, no. 2, 2012, pp. 148-159.
31 Kevin Siqueira dan Todd Sandler, ‘Terrorists versus the Government: Strategic Interaction,
Support, and Sponsorship,’ Journal of Conflict Resolution, vol. 50, no. 6, 2006, pp. 878-
898.

62
Husna Yuni Wulansari

Infaq Dakwah Center (IDC)


IDC mengklaim dirinya sebagai “lembaga independen yang berkhidmat
untuk memfasilitasi kaum muslimin dalam menyalurkan infaq dan
shadaqah secara tepat, produktif dan multiguna kepada pihak-pihak
yang membutuhkan (mustahiq) untuk menunjang dakwah dan
pemberdayaan umat Islam”.32 IDC dipilih sebagai salah satu subjek
penelitian karena dua alasan. Pertama, salah satu karakteristik khusus
yang menonjol dari kegiatan amal IDC adalah dedikasinya untuk secara
eksplisit menekankan kalangan napiter, aktivis Islamis, keluarga napiter
dan keluarga aktivis Islamis sebagai mustahiq (penerima zakat, infaq dan
sedekah). Penekanan tersebut menjadi titik pangkal yang krusial dalam
pemilihan subjek penelitian. Tidak hanya itu, kecondongannya pada
kalangan teroris dan aktivis Islamis juga dikonfirmasi oleh pemberitaan
VOA Islam dan Panjimas, media jurnalisme daring beraliran radikal33
yang ikut mempromosikan kegiatan filantropi IDC. Kedua, IDC telah
berkiprah sejak tahun 2009 dan selama lima tahun terakhir semakin
aktif menggalang kegiatan amal berbasis Islam melalui berbagai medium
daring maupun luring. Kendati pelaporan keuangannya cenderung
tidak kredibel (yang mana akan dibuktikan lebih lanjut di bagian ini),
IDC mengklaim mampu menggalang donasi dalam jumlah relatif
besar, yakni sekitar Rp 51.200.000,00 rutin setiap bulannya. Kiprahnya
di media sosial juga cukup aktif: Laman resmi Facebook-nya (https://
www.facebook.com/Infaq.Dakwah.Center/) memiliki 21,298 likes dan
21,372 followers, sementara akun Twitter-nya (@IDCinfaqCenter)
memiliki 1,155 followers. Variasi programnya beragam dan jangkauan
geografis dari kegiatannya pun cukup luas, tidak sekadar bergerak di
satu atau dua titik wilayah saja. Keaktifan dan kemapanan kiprah IDC

32 ‘Apa Itu IDC’, Infaq Dakwah Center (daring), http://www.infaqdakwahcenter.com/read/


apa-itu-idc-voa-islam/13/, diakses pada 24 Oktober 2017.
33 VOA Islam dan Panjimas dinilai beraliran radikal karena konten yang dipublikasikannya
mengandung muatan radikalisme (lihat penjelasan makna radikalisme di hal. 4).

63
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

menjadi dasar yang penting untuk melihat sejauh mana ia berkorelasi


dengan isu terorisme. Sayangnya, pihak IDC menolak untuk
diwawancarai dengan alasan “sedang banyak agenda terkait beberapa
program dan mempersiapkan pindah kantor”. Ketika diminta untuk
wawancara di tempat lain atau melalui medium lain pun, narahubung
yang bersangkutan tidak merespon lebih lanjut. Oleh karenanya untuk
menyiasati kesulitan ini, analisis akan memanfaatkan data sekunder
yang dirasa cukup mengingat betapa intensnya pemberitaan tentang
IDC di berbagai media daring seperti situs web resmi, akun Facebook
resmi, serta publikasi berita oleh VOA Islam dan Panjimas.
Secara umum, IDC memiliki tiga program utama, yaitu program
dakwah, program sosial dan kemanusiaan, dan program pendidikan
dan pelatihan. Masing-masing program utama memiliki program yang
lebih spesifik dan menghasilkan setidaknya empat belas produk: (1)
Gerakan S-3 (Sehari Seribu Saja, Seminggu Sepuluh ribu saja, Sebulan
Seratus ribu Saja, Setahun Sejuta Saja, Setiap Saat Sesuai kondisi); (2)
Infaq Dakwah Terpadu; (3) Infaq & Zakat Cerdas Untuk Beasiswa
Yatim dan Dhuafa; (4) Infaq Darurat; (5) Infaq Jariyah dan Waqaf; (6)
Infaq Produktif; (7) Solidaritas Keluarga Mujahidin; (8) Cinta Yatim
Syuhada; (9) Solidaritas Kemanusiaan Untuk Muslim Internasional;
(10) Jihad Media; (11) Semarak Dakwah Ramadhan; (12) Tebar
Qurban dan Aqiqah; (13) Sedekah Jum’at; dan (14) Sedekah Barang.34
Kendati program filantropi IDC menjangkau berbagai macam
kalangan dengan fokus yang cukup luas, beberapa gagasan dan praktik
IDC secara spesifik menunjukkan kesesuaian dengan faktor dukungan
bagi terorisme. Sebagai sebuah lembaga zakat, infaq dan sedekah, cara
IDC menginterpretasikan dan membingkai beberapa jenis mustahiq
cenderung bias pada radikalisme. Islam mengenal delapan jenis asnaf
atau golongan yang berhak menerima zakat, di antaranya fakir, miskin,
34 ‘Program IDC’, Infaq Dakwah Center (daring), http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
program-idc-voa-islam/16/, diakses pada 24 Oktober 2017.

64
Husna Yuni Wulansari

amil (pengurus zakat), muallaf (orang yang dibujuk hatinya), riqab


(hamba sahaya), gharimin (orang yang memiliki hutang), fi sabilillah
(orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (orang yang sedang
dalam perjalanan). Dalam konteks asnaf ini, IDC memiliki bermacam-
macam program bantuan zakat, infaq dan sedekah yang dikhususkan
kepada kalangan keluarga “mujahid” fi sabilillah atau orang-orang yang
melaksanakan “jihad” di jalan Allah.
Lantas siapakah yang dimaksud IDC sebagai “mujahid”? Sebagai
ilustrasi, pada salah satu artikel yang diunggah admin IDC di situs
web-nya, istilah “mujahid” digunakan IDC untuk merujuk pada
narapidana pelaku kasus pembunuhan calon pendeta. Artikel tersebut
memberitakan IDC yang menyerahkan bantuan lima juta rupiah untuk
operasi hemoroid (wasir) salah satu personel “Trio Mujahid Jepara”,
Sony Sudarsono. Menurut IDC, Sony adalah aktivis Islam yang telah
berjihad ke mancanegara, pernah mengikuti pelatihan jihad di Moro,
Filipina, dan bergabung Bersama kafilah I’dad di Aceh.35 Sony dan dua
orang “aktivis mujahid” lainnya dikabarkan melakukan pembunuhan
terhadap Omega Suparno, calon pendeta di Kudus karena dugaan
penghujatan Islam dan pemurtadan.36
Tidak hanya itu, dalam artikelnya yang lain, IDC mempromosikan
ajakan bersedekah untuk “ummahat pengikut jihad Ambon-Poso”
yang menderita kanker ganas. Ummahat bernama Ummu Irhab ini
disebut sebagai aktivis penegakan syariat Islam yang sudah malang
melintang mengikuti ayahnya berkeliling di berbagai “medan jihad”

35 ‘Mujahid Eksekutor Pendeta Penghujat Islam Sudah Dioperasi, Tapi Donasi yang
Disalurkan Diinfakkan Kembali,’ Panjimas (daring), <http://www.panjimas.com/infaq-
dakwah-center-2/2015/05/14/mujahid-eksekutor-pendeta-penghujat-islam-sudah-dioperasi-
tapi-donasi-yang-disalurkan-diinfakkan-kembali>, diakses pada 25 November 2017.
36 Farouk Arnaz, ‘Sidang Pembunuh Calon Pendeta, Pengacara Akan Cari Saksi Ahli,’ Berita
Satu (daring), 14 Juli 2013, <http://www.beritasatu.com/hukum/125633-sidang-pembunuh-
calon-pendeta-pengacara-akan-cari-saksi-ahli.html>, diakses pada 25 November 2017.

65
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

nasional dari Ambon hingga Poso.37 Selain ajakan untuk membantu


“mujahidah” tersebut, IDC juga menggalang bantuan untuk keluarga
yatim “mujahid dakwah” di daerah Jakarta. Berdasarkan keterangan
IDC, keluarga tersebut ditinggal wafat oleh sang ayah, Ustadz Sanjaya
Halim Abdullah, seorang “mujahid” yang pernah bergabung di beberapa
ormas Islam. Salah satu ormas Islam yang disebutkannya memiliki
afiliasi dengan organisasi teroris Jamaah Islamiyah, yakni Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Almarhum Ustadz Sanjaya
juga diklaim aktif di Persatuan Islam (PERSIS) dan kelaskaran jihad
bagian pengkaderan Brigade Hizbullah.38 Tidak hanya Ustadz Sanjaya,
IDC juga memberikan bantuan untuk biaya rumah sakit almarhum
“mujahid” yang pernah melawan Salibis di perang Ambon dan perintis
dakwah tauhid dan jihad di Semarang bernama Ustadz Hamim Jaelani.39
Banyak artikel IDC lainnya yang menggunakan sebutan “mujahid”,
memberikan keterangan bahwa para “mujahid” tersebut sedang ditahan
di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (LP), atau istilahnya “mujahid
aseer”.40
Kendati demikian, artikel-artikel tersebut tidak secara eksplisit
menjelaskan bentuk “jihad” seperti apa yang dilakukan oleh “mujahid”
penerima bantuan dari IDC yang membuat para ikhwan tersebut
ditahan di beberapa LP. Pada unggahan berita lainnya, kata “mujahid”
digunakan oleh IDC untuk secara lebih abstrak merujuk pada “aktivis
dakwah Islam”, “aktivis nahi munkar”, ataupun “aktivis tahfidz” (penghafal

37 ‘Ummahat Pengikut Jihad Ambon-Poso Menderita Kanker Ganas, Ulurkan Kepedulian


Kita,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/71/
ummahat-pengikut-jihad-ambonposo-menderita-kanker-ganas-ulurkan-kepedulian-kita/>,
diakses pada 10 Januari 2018.
38 ‘Masya Allah..!!! Satu Jam Bersama Keluarga Yatim Mujahid Dakwah di Gang Sempit
Ibukota Jakarta,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
idc/290/masya-allah-satu-jam-bersama-keluarga-yatim-mujahid-di-gang-sempit-ibukota-
jakarta/
39 ‘Ustadz Hamim Jaelani Wafat, Donasi Rp 18 Juta Telah Diserahkan Untuk Biaya RS,’ Infaq
Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/168/ustadz-hamim-
wafat-donasi-rp-18-juta-telah-diserahkan-untuk-biaya-rs/>, diakses pada 10 Januari 2018.
40 IDC, Anfiqu Center, dan beberapa media Islam radikal sejenis (seperti Panjimas)
menggunakan istilah mujahid aseer untuk merujuk pada “mujahid yang sedang ditawan”.

66
Husna Yuni Wulansari

Qur’an), baik tahfidz yang sedang menjadi narapidana di LP maupun


yang tidak dipenjara. Namun, di satu artikel yang diunggah Panjimas,
IDC secara eksplisit menyebutkan bahwa pihaknya membantu keluarga
“mujahid” terlepas dari apakah “mujahid” tersebut termasuk dalam kubu
pro-ISIS maupun tidak pro-ISIS.41
Pada titik ini, dapat diketahui bahwa IDC menggambarkan
“pembunuhan terhadap pendeta” dan aktivitas jihad di DDII, PERSIS,
Moro, Poso, Ambon dan Aceh sebagai “jihad”. Makna jihad yang
dipegang oleh IDC tersebut mengacu pada jihad sebagai qital atau
perang, yang mana dalam interpretasi makna ini memerangi ancaman
tehadap Islam dapat dibenarkan. Narasi-narasi yang diunggah IDC
menunjukkan bahwa lembaga ini menganggap penggunaan kekerasan
untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dapat dibenarkan menurut
beberapa ayat Qur’an dan Hadits Riwayat. Sebagaimana pada artikel
yang memberitakan bantuan operasi untuk “Mujahid Eskekutor
Pendeta Penghujat Islam”, IDC menyertakan kutipan: “Dalam Syariat
Islam, hukuman kepada orang yang murtad adalah dibunuh berdasarkan
dalil shahih”. IDC secara tegas menekankan bahwa “mujahidin” yang
disebutkan di atas adalah “seutama-utamanya manusia”, misalnya
dengan menyertakan potongan HR Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri:
“Rasulullah SAW ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau
menjawab, ‘Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah’”.
Oleh karenanya, menurut IDC, mujahidin harus didukung melalui
segala bentuk solidaritas dan bantuan dengan pertimbangan bahwa:
“pahala jihad tidak terbatas kepada mujahid yang berperang saja. Apa
saja yang berkaitan dengan Jihad di Jalan Allah akan diberikan ganjaran
dan keutamaan yang berlipat kali ganda”. IDC mencantumkan QS Al-

41 ‘Silaturrahim IDC dengan JITU Berlangsung Akrab, dari Tabayyun hingga Kerjasama
Dakwah,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
idc/247/silaturrahim-idc-dengan-jitu-berlangsung-akrab-dari-tabayyun-hingga-kerjasama-
dakwah/

67
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Anfal: 74 sebagai justifikasi atas ajakan untuk turut berjihad melalui


dukungan bagi mujahidin. IDC mengklaim telah mendirikan Wisma
Keluarga Mujahid dan Wisma Tahfidz di daerah Plalan, Sukoharjo,
Surakarta sebagai tempat bermukim keluarga mujahid aseer dan aktivis
Islam dakwah penghafal Qur’an.42
IDC membangun persepsi liyan terhadap negara dan pemerintah,
bahkan cenderung memandangnya sebagai musuh dan ancaman.
Dalam artikel tentang bantuan sedekah untuk Ustadz Hamim Jaelani
misalnya, IDC menggambarkan “kesadisan” Laksus Kopkamtib yang
disebutnya sebagai Densus di rezim Order Baru. Tidak hanya itu,
IDC menggunakan kata “thaghut” (salah satu maknanya mengacu
pada sebutan untuk rezim yang berhukum dengan hukum selain
Allah) untuk menyebut pemerintah. Dalam berbagai unggahannya,
IDC kerap menggambarkan bahwa aparat kepolisian (misalnya Tim
Buru Sergap) dan Densus 8843 berlaku secara “ganas”, “brutal”, “zalim”,
“kejam”, dan “biadab” kepada “mujahid”, keluarga “mujahid” dan
aktivis Islam.44 Hampir sebagian besar narasi-narasi yang digunakan
IDC untuk mengajak publik bersedekah kepada keluarga “mujahid”
mencantumkan cerita tentang peristiwa ketika Densus 88 atau
aparat kepolisian menangkap terduga teroris. Cerita-cerita tersebut
disampaikan secara kronologis, cukup mendetail dan dibingkai dengan
menyoroti penderitaan atau kesengsaraan yang dialami oleh terduga
teroris serta istri dan anak-anak yang ditinggalkannya. Narasi yang
mengandung simpati bagi terorisme inilah yang dipublikasikan IDC

42 ‘Mohon Doanya, Solo Darurat Banjir, Wisma IDC Terendam’, Infaq Dakwah
Center (FB Page), 19 Juni 2016, https://www.facebook.com/Infaq.Dakwah.Center/
posts/1209247642428239, diakses pada 25 Oktober 2017.
43 Solidaritas Keluarga Daeng Ali, Mujahid Mantan Preman Wafat Dibunuh Polisi Thaghut.
Ayo bantu!!, ‘Infaq Dakwah Center Posts,’ facebook.com (daring), 22 Juni 2014, <https://
www.facebook.com/Infaq.Dakwah.Center/posts/807136945972646>, diakses pada 10
Januari 2018.
44 ‘Sang Ayah Ditembak Densus, Rumah Keluarga Yatim ini Terancam Ambruk, Ayo Bantu
Bedah Rumah!!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/
read/idc/284/sang-ayah-ditembak-densus-rumah-keluarga-yatim-ini-terancam-ambruk-ayo-
bantu-bedah/

68
Husna Yuni Wulansari

untuk memobilisasi donatur agar menyalurkan bantuan kepada napiter


maupun keluarga narapidana teroris.
Berdasarkan serangkaian persepsi tersebut, IDC merupakan simpatisan
yang mengidentifikasi dirinya dengan pelaku aksi terorisme ketimbang
dengan negara ataupun pemerintah. Secara implisit, narasi yang
dikeluarkan oleh IDC menggambarkan adanya perasaan terancam
maupun diopresi oleh “rezim”. Bahkan terdapat ekspresi yang di satu sisi
mengutuki perlakuan aparat negara, sekaligus di sisi lain memuliakan
aksi serta modus operandi terorisme. Persepsi terhadap negara dan
pemerintah sebagai musuh ini pula yang menjelaskan motif di balik
solidaritas dan dukungan IDC kepada para “mujahidin”.
Gagasan dan praktik IDC juga mencerminkan sikap yang cenderung
intoleran dan meliyankan unsur masyarakat non-Muslim. Bahkan cara
IDC menggambarkan muallaf sebagai salah satu mustahiqnya pun
cenderung menunjukkan rasa permusuhan dan terancam. Misalnya,
IDC menyuarakan bantuan untuk mendanai anak-anak ke pesantren
tauhid dengan menggambarkan bahwa anak-anak tersebut hidup
di “lingkungan Kristen” yang rawan kristenisasi dan pemurtadan di
kawasan Solo.45 Ajakan untuk bersedekah kepada keluarga muallaf
selalu disertai dengan narasi yang menunjukkan pentingnya membantu
perekonomian muallaf agar mereka tidak kembali menjadi Kristen lagi.
Selain terkait umat Kristen, sentimen dan sikap antipati IDC juga
secara eksplisit ditunjukkan terhadap kelompok Syiah.46
Di titik ini, IDC secara jelas menciptakan paradigma “kami” (orang-
orang Muslim) vis-à-vis “mereka”(non-Muslim, murtad, etnis Tionghoa,

45 ‘Keluarga Yatim Muallaf ini Hidup Serba Kekurangan. Ayo Bantu Beasiswa dan Modal
Usaha.!!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/
idc/375/keluarga-yatim-muallaf-ini-hidup-serba-kekurangan-ayo-bantu-beasiswa-dan-
modal-usaha/
46 ‘IDC Sukses Bedah & Tebar Buku ‘’Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah’’
(Buku & VCD Gratis!!),’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.
com/read/idc/187/idc-sukses-bedah-tebar-buku-mengenal-dan-mewaspadai-penyimpangan-
syiah-vcd-gratis/ >, diakses pada 10 Januari 2018.

69
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

dan/atau Syiah). Meskipun tidak menunjukkan adanya afiliasi yang jelas


dengan organisasi Islamis manapun, IDC menunjukkan afirmasinya
terhadap tokoh maupun kelompok Islamis radikal. Sebagai contohnya,
IDC menyoroti testimoni Abu Bakar Ba’asyir, salah satu tokoh pendiri
Jamaah Islamiyah, organisasi teroris terkemuka di Indonesia. Testimoni
tersebut berisi wasiat tertulis dari Ustadz Ba’asyir yang menghimbau
kepada umat Muslim untuk menegakkan kewajiban jihad di Indonesia
dengan jiwanya bagi yang mampu dan dengan hartanya melalui
pemenuhan kebutuhan keluarga “mujahidin”. IDC bahkan pernah
mengadakan sebuah program untuk membagikan secara gratis 30.000
eksemplar buku karya Ustadz Ba’asyir yang berisi gagasan tauhid dan
dorongan untuk menerapkan Syariat islam secara kaffah ke seluruh
Indonesia.47
Persepsi identitas internal kelompok yang dibangun oleh IDC tersebut
menuntun pada serangkaian inisiatif untuk bersolidaritas, tidak hanya
kepada umat Muslim yang berada pada arus utama, tetapi secara spesifik
kepada kalangan teroris dan kelompok Islamis radikal. Inisiatif tersebut
berusaha dimajukan oleh IDC dengan membingkai ajakan bersedekah
ke dalam gagasan “keutamaan jihad fi sabilillah”.

Anfiqu Center
Masih dalam semangat yang sama dengan IDC, Anfiqu Center—sebuah
LAZIS yang dulunya bernama Laziz Muwahidin—juga menunjukkan
posisi yang menjustifikasi terorisme. Akan tetapi, narasi-narasi jihad
yang diangkat oleh Anfiqu Center di dalam promosinya tidak se-
bergema IDC. Kali ini, salah satu penanggung jawab sekaligus penasehat
program Anfiqu Center bernama Ibnu Qudamah Al Arkhabiliy
bersedia diwawancarai, tetapi hanya jika melalui Telegram. Meskipun
47 ‘Program Tebar 30.000 Buku Ustadz Ba’asyir Sudah Tuntas, Buku Sudah Dicetak
Ulang dan Siap Dipesan Lagi. GRATIS!!,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.
infaqdakwahcenter.com/read/idc/211/program-tebar-30000-buku-ustadz-baasyir-sudah-
tuntas-dicetak-ulang-dan-siap-dipesan-lagi-gratis/>, diakses pada 10 Januari 2018.

70
Husna Yuni Wulansari

Anfiqu Center relatif masih baru apabila dibandingkan dengan IDC


maupun GASHIBU, yakni belum genap satu tahun, kiprahnya baru-
baru ini mulai aktif dan semakin muncul ke permukaan. Anfiqu Center
mengklaim tidak memiliki afiliasi apapun dengan IDC maupun
GASHIBU, tetapi keinginannya untuk berdakwah dan melakukan
filantropi terinspirasi oleh IDC. Lembaga ini mengaku belum memiliki
struktur kepengurusan, sehingga masih mengandalkan relawan yang
berubah-ubah sesuai kemampuan dan kesempatannya. Mengingat
luasnya jangkauan wilayah program Anfiqu Center, keterbatasan tenaga
dan belum adanya jaringan relawan tetap disiasati dengan komunikasi
melalui media sosial.
Di akun Facebook dan situs web lamanya, sebagian besar artikel yang
diunggah Anfiqu Center merupakan promosi dan laporan terkait
program yang ditujukan untuk “mujahidin” dan kelurganya. Pada
bulan Mei hingga Juli misalnya, program yang dipromosikan adalah
pembagian paket ifthar (buka puasa) untuk “mujahid aseer” di penjara.
Dana yang digalang rata-rata Rp 15.000.000,00 dengan estimasi jumlah
“ikhwan” sekitar 60 orang. Sementara pada bulan Agustus hingga
September, program yang digencarkan adalah qurban untuk “mujahidin
tertawan”. Berbeda dengan IDC, Anfiqu Center mencantumkan daftar
LP dan jumlah narapidana yang diberikan bantuan. LP yang tercakup
dalam program ifthar dan qurban Anfiqu Center tersebar di seluruh
Indonesia dengan jumlah lebih dari 21 LP, mulai dari LP di daerah Jawa
Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah,
Nusakambangan, Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi Utara dan
Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, hingga Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat.48 Terkait hal ini, Anfiqu Center mengonfirmasi
bahwa yang disebutnya sebagai “mujahidin aseer” adalah “mereka yang
ditangkap Densus 88 karena diduga melakukan aksi teror terhadap

48 Anfiqu Center (FB Page), https://www.facebook.com/Anfiqucenter/, diakses pada 10


Desember 2017.

71
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

aparat kepolisian”. Dari sinilah diketahui bahwa Anfiqu Center


menginterpretasikan teroris dan narapidana teroris sebagai “mujahidin”.
Sama dengan IDC, Anfiqu Center juga mencantumkan hadits di dalam
promosi kegiatan filantropinya, contohnya yaitu: “Rasulullah SAW
bersabda: “Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta
seorang mujahid akan menerima pahala setengah dari pahala berjihad.”
(HR Muslim)”. Anfiqu Center mengajak khalayak untuk “menyucikan
harta melalui keluarga mujahid” dengan menyatakan bahwa “mengurus
keluarga Mujahid bisa dilakukan misalnya dengan melindungi keluarga
mereka, memenuhi kebutuhannya dan memberikan bantuan finansial
serta menjaga kehormatan mereka”.49
Dalam perihal jihad, Anfiqu Center pun memandang jihad sebagai qital
dengan menuliskan pendiriannya secara asertif bahwa: “jihad sudah
menjadi wajib dalam fiqih… Tamkin (kejayaan) tidak akan terwujud
tanpa kejujuran dalam beramal, kemauan yang kuat, keberanian yang
menggebu, ambisi yang mengalir, pukulan yang dahsyat, ancaman yang
nyata, pembunuhan yang menggetarkan musuh”.50
Terkait persepsinya dengan negara dan pemerintah, Anfiqu Center
juga memandang pemerintah telah berlaku “dholim” terhadap ulama
“mujahid”. Anfiqu Center menilai bahwa pemerintah dan negara saat
ini sangat jauh dari syariat Islam maupun ajaran Qur’an dan sunnah.
Dalam salah satu unggahannya, Anfiqu Center menyatakan simpatinya
kepada Abu Bakar Ba’asyir yang ditahan di penjara Gunung Sindur,
Bogor.
“Selain dipenjara dan dibatasi hak-haknya, beliau juga diperlakukan
secara tidak manusiawi oleh pemerintah Dholim negeri ini dengan
membisunya mereka dari memberi izin berobat saat beliau sakit…
Ulama Mujahid yang berusia sekitar 75 tahun ini mendapat vonis

49 Anfiqu Center (FB Page), 11 Juli 2017, https://www.facebook.com/Anfiqucenter/, diakses


pada 10 Desember 2017.
50 Anfiqu Center (FB Page), 25 September 2017, https://www.facebook.com/Anfiqucenter/,
diakses pada 10 Desember 2017.

72
Husna Yuni Wulansari

15 tahun penjara oleh pemerintah Dholim, dan tidak sampai di sini


ke dholimannya dilanjutkan dengan penyiksaan secara perlahan-
lahan dengan membiarkannya sakit dan tidak menanggapi surat
izin untuk berobat padahal surat permintaan untuk berobat telah
diberikan kepada BNPT dan Densus 88 dua minggu yang lalu.”51

Narasi simpati tersebut dilengkapi dengan ajakan untuk bersolidaritas


dan berinfaq kepada “mujahidin”: “Saudarakau, begitulah kondisi
para mujahidin yang menyuarakan Al Haq. Saudaraku, berinfaqlah
untuk membantu saudaramu seiman yang sedang tertimpa ujian yang
disebabkan karena keimanan dan keteguhan mereka dalam memegang
bara tauhid.”
Kedekatan identitasnya dengan Ustadz Ba’asyir juga ditunjukkan dalam
unggahan lainnya berupa foto ketika Ustadz Ba’asyir dijenguk oleh
keluarga besar Laziz Muwahidin. Solidaritas Anfiqu Center terhadap
“mujahidin” terbentuk karena adanya persepsi atas “kekejaman” yang
dilakukan oleh pemerintah kepada narapidana teroris. Lembaga ini
mengidentifikasikan dirinya kepada kelompok teroris yang “tertindas”,
sekaligus meliyankan sosok yang dianggapnya sebagai musuh atau
ancaman, yaki pemerintah dholim. Tidak hanya itu, cara Anfiqu Center
membentuk anggapan atas dunia juga cenderung meliyankan pihak
yang tidak seiman:
“Perlu diketahui bahwa orang-orang kafir bersatu-padu bahu-
membahu dalam misi-misinya untuk menjadikan ummat Islam ini
mengikuti tabiat dan millah mereka. Banyak terjadi penyimpangan
dan pemurtadan dari sisi aqidah dan tauhid ummat Islam lantaran
kesempitan hidup. Dan kondisi ini sering dibaca oleh orang-
orang kafir yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani dan orang-orang
kafir secara umum, yang menjadi titik lemah umat Islam untuk
dimurtadkan dan diarahkan untuk berpindah agama karena
kesulitan ekonomi dan kesempitan hidup.”52

51 Anfiqu Center (FB Page), 7 Oktober 2017, https://www.facebook.com/Anfiqucenter/,


diakses pada 11 Desember 2017.
52 Wawancara dengan Ibnu Qudamah Al Arkhabiliy, 14 November 2017.

73
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Tidak hanya peliyanan terhadap unsur masyarakat non-Muslim, Anfiqu


Center menciptakan persepsi musuh terhadap kapitalisme yang dinilai
telah memarjinalkan kaum Muslim dan menimbulkan penderitaan
ekonomi:
“kaum Muslimin di Indonesia ini harus bersatu dalam berbagai sisi
diantaranya dari sisi tolong menolong dalam finansial di saat kaum
Muslimin yang menjadi mayoritas di negeri ini menjadi masyarakat
yang terpinggirkan atau termarjinalkan akibat ideologi kapitalis
yang menggurita di negeri ini. Maka dengan wujudnya LazizMu53
(nama lama Anfiqu Center) ini diharapkan bisa meringankan beban
kaum Muslimin yang sedang membutuhkan bantuan.”54

Dengan demikian, motif kedermawanan Anfiqu Center dapat dipahami


tidak hanya dari caranya memosisikan identitasnya pada kalangan
teroris, tetapi juga umat Muslim yang termarjinalkan dalam sistem
ekonomi.

NUCARE-LAZISNU
NU-CARE LAZISNU adalah badan otonom di bawah Nahdlatul
Ulama (NU) yang bergerak dalam ranah filantropi Islam. Narasumber
yang diwawancarai sebagai representatif dari NU-CARE LAZISNU
adalah H. Muh. Mahsun S.IP selaku Direktur Utama dari NUCARE-
LAZISNU Pimpinan Wilayah (PW) Jawa Tengah. NUCARE-
LAZISNU PW Jawa Tengah dipilih sebagi subjek penelitian terutama
karena PW ini otonominya mencakup wilayah-wilayah yang menjadi
hotspots ‘titik panas’ persebaran gagasan radikalisme di Indonesia, seperti

53 Tidak untuk disamakan dengan LAZISMU (LAZIS Muhammadiyah). LazizMu adalah


nama awal dari Anfiqu Center. Pada awal tahun 2017, Anfiqu Center berdiri dengan nama
“Laziz Muwahidin” dan nama tersebut bertahan selama delapan bulan. Pada Desember
2017, situs web Laziz Muwahidin menulis: “kami mengumumkan perbaikan nama dari
Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh (Laziz) Muwahidin (Mu) menjadi “Anfiqu
Center””. Lihat situs web: https://www.anfiqucenter.org/2017/12/06/dari-lazizmu-ke-
anfiqu-dari-perahu-ketinting-ke-kapal-sederhana/
54 Wawancara dengan Ibnu Qudamah Al Arkhabiliy, 14 November 2017.

74
Husna Yuni Wulansari

Surakarta. Terlebih lagi, wilayah-wilayah titik panas tersebut juga


menjadi tempat sasaran aktivitas filantropi IDC dan Anfiqu Center.
NU terkenal sebagai organisasi masyarakat Muslim berbasis nilai-nilai
Islam moderat, demikian halnya dengan NUCARE-LAZISNU yang
memiliki visi dan misi yang sama dengan NU. Dalam jargon moderasinya,
NU beserta segenap badan otonom di bawahnya menentang radikalisme
dan terorisme. Terkait persoalan jihad yang banyak digaungkan oleh
kelompok-kelompok radikal, NU meluruskan bahwa makna jihad tidak
terbatas pada pengertian perang atau angkat senjata saja, melainkan
lebih kepada wujud penghambaan seseorang kepada Yang Maha
Kuasa sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurut NU, “jihad
bukanlah aksi teror, jihad bukanlah meledakkan bom. Akan tetapi
jihad adalah upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan seperti yang
digariskan oleh Tuhan”.55 Nilai-nilai moderat NU tidak hanya tercermin
dalam penolakan terhadap terorisme, melainkan juga sikap toleransi
dan keberagaman berkeyakinan dan beragama. NUCARE-LAZISNU
berkehendak untuk menyemaikan ahlu sunnah wal jamaah (aswaja),
Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Bahkan NUCARE-LAZISNU
mengkhawatirkan tumbuhnya intoleransi di lingkungan sekolah,
yang ditengarai dari kultur-kultur seperti mudahnya bagi anak-anak
untuk mengafirkan teman atau kerabat non-Muslimnya. Pendirian
NUCARE-LAZISNU terhadap negara dan pemerintah di dalam isu
terorisme pun menunjukkan sikap yang suportif.
Lantas yang perlu diselisik lebih jauh adalah, sejauh manakah
penentangan tersebut ikut diwujudkan dalam agenda-agenda filantropi
NUCARE-LAZISNU. NUCARE-LAZISNU mengusung misi
pemberdayaan masyarakat guna mengatasi problem seperti kemiskinan,

55 Misbahul Ulum, ‘Meluruskan Makna Jihad,’ NU Online (daring), 3 November 2011,


<http://www.nu.or.id/post/read/34600/meluruskan-makna-jihad>, diakses pada 10 Januari
2018.

75
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

pengangguran dan minimnya akses pendidikan. Misi tersebut


diturunkan ke dalam lima bidang yang kemudian dipecah menjadi
berbagai program di bawah masing-masing bidang: ekonomi, kesehatan,
pendidikan, kebencanaan, dan qurban. Ketika ditanya tentang mustahiq
ataupun penerima bantuan dari program-programnya, NUCARE-
LAZISNU tidak secara spesifik mendata siapa saja yang merupakan
anggota keluarga dari narapidana teroris maupun aktivis dakwah Islam
radikal. Menurut penuturan Pak Mahsun, NUCARE-LAZISNU tidak
memilah-milah siapa yang termasuk kalangan napiter atau mantan
napiter, selama penerima bantuan memenuhi kriteria delapan asnaf.
Programnya pun tidak ada yang secara spesifik langsung menyasar ke
kalangan napiter.
Namun di titik inilah praktik filantropi NUCARE-LAZISNU
belum mampu (dan kemungkinan besar akan sulit) untuk secara
strategis mengintervensi kelompok-kelompok radikal yang berpotensi
memberikan dukungan bagi terorisme. NUCARE-LAZISNU
menilai bahwa orang-orang yang sudah terradikalisasi cenderung
resisten, memusuhi dan melakukan perundungan terhadap segala
unsur NU. Konsekuensinya, NUCARE-LAZISNU merasa sulit dan
akan kontraproduktif apabila masuk ke tengah kalangan-kalangan
radikal dengan membawa nama lembaga resmi di bawah NU. Guna
menyiasati hal tersebut, NUCARE-LAZISNU PW Jawa Tengah lebih
berfokus pada upaya membentengi masyarakat agar tidak terpengaruh
dengan narasi-narasi radikalisme. Satu hal yang paling ditekankan dari
upaya pembentengan ini adalah taktik-taktik yang bersifat kultural,
yakni melestarikan tradisi-tradisi NU (seperti tahlilan, takziyah, dan
selametan) di lingkungan masyarakat. Penanaman nilai-nilai moderat
melalui kultur tersebut dilakukan oleh NU dengan cara-cara yang tidak
terlalu vulgar, tetapi disisipkan ke dalam interaksi sosial sehari-hari.

76
Husna Yuni Wulansari

Di tataran struktural, upaya NUCARE-LAZISNU melemahkan


dukungan bagi terorisme ditekankan pada kerja sama untuk menyokong
upaya-upaya yang sudah lebih dulu dijalankan oleh lembaga-lembaga
relevan lainnya. Sebagai ilustrasi, NUCARE-LAZISNU PW Jawa
Tengah menyokong FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme)
dalam program deradikalisasinya. Contoh lain, NUCARE-LAZISNU
juga menyatakan bahwa lembaganya menyokong Maarif NU (lembaga
pendidikan di bawah NU), IPNU (Ikatan Pelajar NU), dan Fatayat
(lembaga Muslimat NU) untuk menangkal bibit-bibit intoleransi dan
radikalisme di kalangan sekolah, kampus, dan keluarga. Kendati tidak
secara eksplisit menyatakan bentuk sokongan seperti apa yang diberikan
kepada lembaga-lembaga lain, NUCARE-LAZISNU menegaskan
bahwa peran utamanya adalah untuk memberikan pemahaman dan
kesadaran kepada masyarakat mengenai paham radikalisme yang
dinilainya dapat “merusak” tatanan bangsa dan negara.56
Pada Juli 2017 silam, NU mengadakan Musyawarah Nasional (Munas)
Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) dengan mengangkat tema
“Memperkokoh Nilai Kebangsaan melalui Program Deradikalisasi dan
Penguatan Ekonomi Warga”. Pihak Pengurus Besar NU menyatakan
tema tersebut dipilih atas pertimbangan bahwa “kalau perekonomian
warga tidak kuat, gampang sekali untuk jadi radikal, kalau perekonomian
kuat, untuk radikal tidak mau”.57 Sejalan dengan upaya penguatan
ekonomi tersebut, NUCARE-LAZISNU memegang peranan dalam
program produktif Ekonomi Mandiri NUCARE (EMN). EMN
memberikan bantuan pengembangan, pemasaran, peningkatan mutu
dan nilai tambah, serta memberikan modal kerja dalam bentuk dana
bergulir kepada petani, nelayan, peternak dan pengusaha mikro. Di

56 Wawancara dengan H. Muh. Mahsun S.IP, 22 Desember 2017.


57 Husni Sahal, ‘Deradikalisasi & Penguatan Ekonomi Jadi Tema Munas NU 2017,’
NUJABAR (daring), 19 Juli 2017, <https://nujabar.or.id/deradikalisasi-penguatan-ekonomi-
jadi-tema-munal-nu-2017/>, diakses 5 Desember 2017.

77
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

dalam program EMN ini juga, NUCARE-LAZISNU sekaligus


memperkuat tradisi ke-nahdliyin-an.58
Terkait elemen-elemen yang menjelaskan faktor hubungan dengan
dukungan bagi terorisme, NUCARE-LAZISNU dari segi gagasan
memang secara tegas berusaha memutus dukungan dalam bentuk
apapun. Kendati demikian, dari segi praktik, kegiatan filantropinya
belum secara strategis mencakup upaya melemahkan dukungan bagi
terorisme. Ketidakstrategisan upaya tersebut dikarenakan NUCARE-
LAZISNU sebagai lembaga otonom belum melihat perlunya pendataan
dan inisiatif khusus bagi kalangan keluarga napiter atau mantan napiter.
Meskipun program-program filantropinya sudah cukup mapan, tidak
ada yang secara independen dan terspesialisasi menyasar kalangan
napiter atau mantan napiter, melainkan memasukkannya di bawah
program-program umum lainnya. NUCARE-LAZISNU cenderung
tidak melihat adanya kebutuhan spesifik untuk menyasar penderitaan
ataupun kekecewaan yang dipersepsikan oleh kelompok radikal dan
teroris. Hal tersebut dapat menjadi problematik apabila mengingat
LAZIS-LAZIS berbasis masyarakat yang gagasan dan praktiknya
condong pada radikalisme sudah lebih aktif menyasar keluarga napiter
dan aktivis Islamis. Sikap NUCARE-LAZISNU dan NU secara umum
yang cenderung eksklusif serta berfokus pada inisiatif untuk masyarakat
Islam moderat ataupun nahdliyin dapat juga dipahami melalui proses
identitas. Di kasus ini, NUCARE-LAZISNU juga melakukan
peliyanan terhadap kelompok radikal. Peliyanan ini dapat dipahami
karena NUCARE-LAZISNU menciptakan konstruksi musuh atau
ancaman kepada kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai moderatnya. Bahkan persepsi NU tentang upaya penanggulangan
radikalisme melalui peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masih
bias pada kebutuhan untuk melindungi masyarakat Muslim arus
58 Wawancara dengan H. Muh. Mahsun S.IP, 22 Desember 2017.

78
Husna Yuni Wulansari

utama. Sebagai konsekuensinya, belum ada upaya serius untuk lebih


jauh mengemansipasi dan menyasar problematika yang dialami oleh
kalangan radikal dan teroris.

Ketiga LAZIS dalam Rangkaian Dukungan bagi


Terorisme: Refleksi Singkat
Sejauh ini, dapat dilihat bahwa IDC dan Anfiqu Center tidak sekadar
berempati terhadap motif-motif dari pelaku terorisme, melainkan
menegaskan penerimaan terhadap keabsahan dan bahkan keutamaan
dari taktik-taktik teroris. Pada dasarnya kedua LAZIS tersebut
sama-sama tidak memiliki kejelasan dari segi transparansi keuangan.
Pelaporan yang diunggah hanya mencantumkan artikel berisi informasi
bahwa uang dengan nilai tertentu telah disalurkan kepada penerima
yang bersangkutan dan disertai foto. Tetapi tidak ada rincian jelas
tentang siapa saja yang mendonasikan uang dengan jumlah berapa dan
untuk apa pemasukan donasi tersebut digunakan, sehingga kredibilitas
dari IDC dan Anfiqu Center patut dipertanyakan. Terlepas dari isu
kredibilitas ini, IDC dan Anfiqu Center secara jelas berkontribusi
terhadap dukungan pasif bagi terorisme dengan menjustifikasi alasan-
alasan dan taktik-taktik teroris serta memajukan narasi-narasi yang
mengandung justifikasi tersebut di dalam medium promosi filantropinya.
Menyebut pelaku teroris sebagai “mujahid” dan membenarkan aksi
teror dan kekerasannya sebagai amalan “jihad” merupakan faktor yang
menunjukkan simpati bagi terorisme. Simpati tersebut sedikit banyak
membantu keberlangsungan gagasan dan praktik terorisme karena
pembenarannya terhadap motif teroris dimanifestasikan ke dalam
narasi-narasi filantropi Islam yang disebarkan secara luas kepada publik.
Akan tetapi di sisi lain, kita justru perlu mengevaluasi kembali strategi
penanggulangan terorisme yang sudah ada. Apabila melihat praktik
kedermawanan IDC dan Anfiqu Center secara lebih kritis, inisiatif-

79
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

inisiatif yang mereka lakukan adalah bentuk solidaritasnya untuk


membantu meringankan penderitaan sosial-ekonomi yang dialami
oleh kalangan radikal dan teroris. Usaha meringankan penderitaan
kalangan teroris ini dapat dipahami, setidaknya, sebagai dua hal:
pertama, sebagai tindakan politik dari lembaga berbasis masyarakat
yang memiliki kesesuaian motif dan tujuan dengan kelompok teroris
dan Islamis radikal. Kesesuaian motif dan tujuan tersebut dapat
muncul akibat pembentukan identitas atau nilai-nilai yang selaras;
serta kesamaan dalam mempersepsikan musuh, ancaman, maupun
kekecewaan atas konteks tertentu yang dianggap opresif. Tindakan
politik lembaga filantropi Islam radikal ini dapat dilihat sebagai siasat
untuk memajukan pengaruhnya—atau bahkan menghimpun dukungan
publik yang lebih luas—di dalam kontestasi wacana tentang isu
terorisme maupun keislaman secara umum di Indonesia. Sebagai dua
entitas yang serupa namun tak sama, IDC dan Anfiqu Center memiliki
caranya masing-masing dalam mempersepsikan dan menarasikan apa
yang mereka anggap sebagai musuh, ancaman, maupun kekecewaannya.
Kendati demikian, IDC dan Anfiqu Center sama-sama berusaha untuk
memenangkan ‘hati dan pikiran’ publik agar ikut memvalidasi serta
bersimpati terhadap aksi terorisme yang disebutnya sebagai amalan
“jihad”.
Kedua, memahami filantropi lembaga sejenis IDC dan Anfiqu Center
sebagai usaha kelompok Islamis radikal untuk mengisi celah atas tidak
terpenuhinya emansipasi dan kesejahteraan bagi kalangan radikal dan
teroris secara umum. Celah tersebut dapat muncul akibat kurangnya
upaya yang tepat dari pihak-pihak lain di luar kalangan radikal dalam
mengurangi penderitaan keluarga napiter dan mantan napiter. Pihak-
pihak lain tersebut tidak lain adalah berbagai pemangku kepentingan
yang memiliki perhatian untuk menanggulangi radikalisme dan
terorisme, seperti pemerintah, LSM, dan kelompok Muslim moderat.

80
Husna Yuni Wulansari

Terlepas dari pertanyaan seputar transparansi atau kebenaran terkait


penderitaan yang dialami kalangan “mujahidin”, IDC dan Anfiqu Center
mampu secara simpatik menceritakan bahwa para “mujahid” secara
umum sedang menghadapi kesusahan yang memerlukan uluran tangan
dari donatur. Cerita tentang kesusahan kalangan “mujahid” itupun
diperkuat dengan pembentukan figur “musuh” atau “liyan” yang dianggap
memiliki andil dalam penyebab ataupun pemburukan kesengsaraan
para “mujahid”. Pada titik inilah menjadi relevan untuk merefleksikan
inisiatif NUCARE-LAZISNU dalam membantu kalangan radikal
dan teroris, tidak hanya untuk meringankan penderitaan sehari-hari
keluarga napiter, tetapi juga sebagai upaya melemahkan narasi-narasi
radikal yang dibawa oleh aktivitas lembaga filantropi radikal.
Memang benar bahwa NUCARE-LAZISNU tidak serta-merta
mengeksklusi keluarga napiter dan kelompok Islamis radikal
dalam program kedermawanannya. Tetapi NUCARE-LAZISNU
sejauh ini tidak memberikan perhatian khusus dan tidak berusaha
mengontestasikan gagasan “bersedekah untuk membantu amaliyah
jihad para mujahidin”. Padahal, narasi-narasi semacam itu merupakan
bentuk dukungan pasif bagi terorisme dan sudah secara intens
dipublikasikan oleh lembaga-lembaga ZIS semacam IDC dan Anfiqu
Center. Mengingat posisinya yang secara lantang menolak radikalisme
dan terorisme, menjadi masuk akal apabila NUCARE-LAZISNU
akan dilihat sebagai pihak “musuh” oleh kalangan “mujahid”, dan hal ini
merupakan sebuah tantangan tersendiri. Akan tetapi, tantangan tersebut
seharusnya tidak mengerdilkan upaya kelompok moderat menjadi
sebatas upaya pencegahan, dalam kata lain, terputus pada inisiatif-
inisiatif untuk membentengi masyarakat yang memang sudah moderat.
Kendati sulit, kelompok moderat perlu juga berusaha lebih jauh untuk
mengambil langkah-langkah kuratif terhadap kelompok yang menjadi
simpatisan radikal ataupun telah terradikalisasi. Pemerintah dan unsur

81
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

masyarakat sipil juga perlu lebih proaktif dalam memutus berbagai


bentuk simpati publik bagi terorisme supaya persebaran wacana
radikalisme dapat ditekan.
Oleh karenanya, jika suatu lembaga filantropi Islam memiliki perhatian
terhadap penanggulangan terorisme, maka gagasan dan praktik
filantropinya perlu mengarusutamakan upaya untuk melemahkan
berbagai wujud dukungan bagi terorisme, tak terkecuali narasi-narasi
yang bersimpati terhadap motif dan taktik teroris. Kita mengetahui
bahwa dukungan pasif bagi terorisme—sebagaimana yang diberikan
oleh IDC maupun Anfiqu Center—tidaklah melanggar hukum.
Memberikan simpati bagi tindakan maupun pelaku terorisme—sejauh
tidak berkontribusi langsung dan aktif terhadap aktivitas teroris—
juga tidak bisa ditindaklanjuti melalui ranah hukum. Akan tetapi, kita
tidak dapat begitu saja mengesampingkan simpati dan narasi yang
membenarkan, apalagi mempromosikan, paham radikalisme kekerasan.
Hal ini penting karena narasi-narasi terorisme dapat mendorong
individu untuk mengadopsi cara pandang tertentu dalam memahami
dunia dan mengambil kekerasan sebagai jalan keluar bagi permasalahan
yang diidentifikasinya.59 Pada akhirnya, permasalahan ini tidak bisa
dipahami secara biner. Dalam kata lain, upaya untuk mengemansipasi
penderitaan narapidana teroris dan keluarga narapidana teroris adalah
hal yang perlu dilakukan secara cermat agar tidak membawa efek
samping, seperti pelanggengan narasi terorisme.

59 Lihat kajian-kajian tentang narasi ekstremis/teroris, misalnya: Schmid (2014).

82
Husna Yuni Wulansari

Daftar Pustaka
Boylan, Brandon M. “Sponsoring Violence: A Typology of Constituent
Support for Terrorist Organizations.” Studies in Conflict & Terrorism.
(2015): 1-19.
Braddock, Kurt dan John Horgan. “Towards a Guide for Constructing
and Disseminating Counternarratives to Reduce Support for
Terrorism.” Studies in Conflict & Terrorism. (2015): 1-24.
Burr, J. Millard dan Robert O. Collins. Alms for Jihad: Charity and
Terrorism in the Islamic World. New York: Cambridge University
Press, 2006.
Byman, Daniel. “Passive Sponsors of Terrorism.” Survival. 47. 4 (2005):
117-144.
Cherney, Adrian dan Kristina Murphy. “Support for Terrorism: The
Role of Beliefs in Jihad and Institutional Responses to Terrorism.”
Terrorism and Political Violence. (2017): 1-21.
Fealy, Greg dan Aldo Borgu. Local Jihad: Radical Islam and terrorism in
Indonesia. Australia: Australian Strategic Policy Institute, 2005.
Flanigan, Shawn Teresa. “Charity as Resistance: Connections between
Charity, Contentious Politics, and Terror.” Studies in Conflict &
Terrorism. 29. 7 (2006): 641-655.
International Crisis Group. “Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing
Industry.” Asia report. 147. (2008): 1-21.
Latief, Hilman. Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah
and Politics in Indonesia. Utrecht, 2012.
Mascini, Peter. “Can the Violent Jihad Do without Sympathizers?.”
Studies in Conflict and Terrorism. (2006): 17.
Mesquita, Ethan Bueno de dan Eric S. Dickson. “The Propaganda of the
Deed: Terrorism, Counterterrorism, and Mobilization.” American
Journal of Political Science. 51. (2007): 464-381.
Paul, Christopher. “As a Fish Swims in the Sea: Relationships Between
Factors Contributing to Support for Terrorist or Insurgent Groups.”
Studies in Conflict & Terrorism. 33. 6 (2010): 488-510.
Phillips, Peter J. “Switching Costs, Grassroots Support of Terrorism
and the Escalation of Conflict.” European Journal of Social Sciences.
31. 2 (2012): 148-159.

83
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

Schmid, Alex P. “Public Opinion Survey Data to Measure Sympathy


and Support for Islamist Terrorism: A Look at Muslim Opinions
on Al Qaeda and IS.” ICCT Research Paper. (2017): 3.
Schmid, Alex P. “Public Opinion Survey Data to Measure Sympathy
and Support for Islamist Terrorism: A Look at Muslim Opinions
on Al Qaeda and IS.” ICCT Research Paper. (2017): 3.
Siqueira, Kevin dan Todd Sandler. “Terrorists versus the Government:
Strategic Interaction, Support, and Sponsorship.” Journal of Conflict
Resolution. 50. 6 (2006): 878-898.
Taufiqurrohman, Muh dan V. Arianti. “The ‘Anti-Deradicalization’
Movement of Indonesian Terrorist Networks.” Journal of the
International Centre for Political Violence and Terrorism Research. 6.
2 (2014): p.
USAID. Indonesian and Malaysian Support for the Islamic State.
Washington, DC, 2016.
Wahid, KH. Abdurrahman. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta, 2009.
Wiktorowicz, Quintan. “A Genealogy of Radical Islam”. Studies in
Conflict & Terrorism. (2005): 75-97.
Zuhri, Saefudin, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat
Press, 2017.
’Anfiqu Center,’ https://www.facebook.com/Anfiqucenter/, diakses
pada 10 November 2017.
‘Apa Itu IDC’, http://www.infaqdakwahcenter.com/read/apa-itu-idc-
voa-islam/13/, diakses pada 24 Oktober 2017.
‘IDC Sukses Bedah & Tebar Buku ‘’Mengenal dan Mewaspadai
Penyimpangan Syi’ah’’(Buku & VCD Gratis!!),’Infaq Dakwah Center
(daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/187/
idc-sukses-bedah-tebar-buku-mengenal-dan-mewaspadai-
penyimpangan-syiah-vcd-gratis/ >, diakses pada 10 Januari 2018.
‘Keluarga Yatim Muallaf ini Hidup Serba Kekurangan. Ayo Bantu
Beasiswa dan Modal Usaha.!!!,’ Infaq Dakwah Center (daring),
<http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/375/keluarga-
yatim-muallaf-ini-hidup-serba-kekurangan-ayo-bantu-beasiswa-
dan-modal-usaha/

84
Husna Yuni Wulansari

‘Masya Allah..!!! Satu Jam Bersama Keluarga Yatim Mujahid Dakwah


di Gang Sempit Ibukota Jakarta,’ Infaq Dakwah Center (daring),
<http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/290/masya-allah-
satu-jam-bersama-keluarga-yatim-mujahid-di-gang-sempit-
ibukota-jakarta/
‘Mohon Doanya, Solo Darurat Banjir, Wisma IDC Terendam’, Infaq
Dakwah Center (FB Page), 19 Juni 2016, https://www.facebook.
com/Infaq.Dakwah.Center/posts/1209247642428239, diakses
pada 25 Oktober 2017.
‘Mujahid Eksekutor Pendeta Penghujat Islam Sudah Dioperasi, Tapi
Donasi yang Disalurkan Diinfakkan Kembali,’ Panjimas (daring),
<http://www.panjimas.com/infaq-dakwah-center-2/2015/05/14/
mujahid-eksekutor-pendeta-penghujat-islam-sudah-dioperasi-
tapi-donasi-yang-disalurkan-diinfakkan-kembali>, diakses pada 25
November 2017.
‘Program IDC’, Infaq Dakwah Center (daring), http://www.
infaqdakwahcenter.com/read/program-idc-voa-islam/16/, diakses
pada 24 Oktober 2017.
‘Program Tebar 30.000 Buku Ustadz Ba’asyir Sudah Tuntas, Buku
Sudah Dicetak Ulang dan Siap Dipesan Lagi. GRATIS!!,’ Infaq
Dakwah Center (daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/
read/idc/211/program-tebar-30000-buku-ustadz-baasyir-sudah-
tuntas-dicetak-ulang-dan-siap-dipesan-lagi-gratis/>, diakses pada
10 Januari 2018.
‘Sang Ayah Ditembak Densus, Rumah Keluarga Yatim ini Terancam
Ambruk, Ayo Bantu Bedah Rumah!!!,’ Infaq Dakwah Center
(daring), <http://www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/284/
sang-ayah-ditembak-densus-rumah-keluarga-yatim-ini-terancam-
ambruk-ayo-bantu-bedah/
‘Silaturrahim IDC dengan JITU Berlangsung Akrab, dari Tabayyun
hingga Kerjasama Dakwah,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://
www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/247/silaturrahim-idc-
dengan-jitu-berlangsung-akrab-dari-tabayyun-hingga-kerjasama-
dakwah/
‘Ummahat Pengikut Jihad Ambon-Poso Menderita Kanker Ganas,
Ulurkan Kepedulian Kita,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://
www.infaqdakwahcenter.com/read/idc/71/ummahat-pengikut-

85
Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi Terorisme di Indonesia

jihad-ambonposo-menderita-kanker-ganas-ulurkan-kepedulian-
kita/>, diakses pada 10 Januari 2018.
‘Ustadz Hamim Jaelani Wafat, Donasi Rp 18 Juta Telah Diserahkan
Untuk Biaya RS,’ Infaq Dakwah Center (daring), <http://www.
infaqdakwahcenter.com/read/idc/168/ustadz-hamim-wafat-
donasi-rp-18-juta-telah-diserahkan-untuk-biaya-rs/>, diakses pada
10 Januari 2018.
Anfiqu Center (FB Page), 11 Juli 2017, https://www.facebook.com/
Anfiqucenter/, diakses pada 10 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), 25 September 2017, https://www.facebook.
com/Anfiqucenter/, diakses pada 10 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), 7 Oktober 2017, https://www.facebook.com/
Anfiqucenter/, diakses pada 11 Desember 2017.
Anfiqu Center (FB Page), https://www.facebook.com/Anfiqucenter/,
diakses pada 10 Desember 2017.
Arnaz, Farouk. ‘Sidang Pembunuh Calon Pendeta, Pengacara Akan
Cari Saksi Ahli,’ Berita Satu (daring), 14 Juli 2013, <http://www.
beritasatu.com/hukum/125633-sidang-pembunuh-calon-pendeta-
pengacara-akan-cari-saksi-ahli.html>, diakses pada 25 November
2017.
Misbahul Ulum, ‘Meluruskan Makna Jihad,’ NU Online (daring),
3 November 2011, <http://www.nu.or.id/post/read/34600/
meluruskan-makna-jihad>, diakses pada 10 Januari 2018.
Sahal, Husni. ‘Deradikalisasi & Penguatan Ekonomi Jadi Tema Munas
NU 2017,’ NUJABAR (daring), 19 Juli 2017, <https://nujabar.or.id/
deradikalisasi-penguatan-ekonomi-jadi-tema-munal-nu-2017/>,
diakses 5 Desember 2017.
Solidaritas Keluarga Daeng Ali, Mujahid Mantan Preman Wafat
Dibunuh Polisi Thaghut. Ayo bantu!!, ‘Infaq Dakwah Center Posts,’
facebook.com (daring), 22 Juni 2014, <https://www.facebook.com/
Infaq.Dakwah.Center/posts/807136945972646>, diakses pada 10
Januari 2018.

86

Filantropi Berbasis Masjid untuk
Keluarga Narapidana Terorisme:
Studi Kasus di Kabupaten
Lamongan
Waskito Wibowo

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran filantropi berbasis
masjid dalam pendampingan keluarga narapidana terorisme di
Kabupaten Lamongan beserta hambatan-hambatan yang dihadapi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan di
beberapa masjid di Kabupaten Lamongan dengan subjek yang diteliti
yaitu keluarga narapidana terorisme (napiter) asal Lamongan. Hasil
penelitian ini menunjukkan kebanyakan filantropi berbasis masjid
hanya berperan sebagai santunan (charity) saja dalam melakukan
pendampingan keluarga napiter, meskipun selain itu juga tedapat
beberapa peran lainnya seperti sebagai fasilitator, sebagai pendorong
menuju kemandirian, dan sebagai mediator.
Kata Kunci: Filantropi; masjid; keluarga napiter; pemberdayaan;
Lamongan

87
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Pendahuluan
Sejak dekade terakhir Indonesia menjadi target serangan terorisme.
Rentetan peristiwa mulai dari serangkaian Bom Malam Natal, Bom
Kedubes Filipina, Bom Bali I dan II, Bom JW Marriot dan Ritz Calton,
sampai Bom Sarinah menjadi bukti fenomena tersebut. Munculnyanya
baiat dari beberapa oknum kepada Negara Islam Iraq dan Suriah dan
eksodus mereka ke kedua negara itu semakin menguatkan asumsi
Departemen Pertahanan Amerika Serikat bahwa kondisi perkembangan
terorisme di Indonesia tergolong dalam kategori negara kritis (critical),
artinya jaringan terorisme yang ada di Indonesia mampu memilih target
dan menyusun rencananya dalam melakukan penyerangan.1
Beragam definisi terorisme sendiri banyak muncul dari para pakar dan
badan pelaksana yang fokus dalam penanganan masalah terorisme.
Kata “terror” menurut arti bahasa arab disebut dengan istilah “irhâb”.
Kamus Al-Munawwir mendefinisikan Rahiba-Ruhbatan, waruhbânan,
wa rohabban, ruhbanan sebagai khâfa “takut”. Sedangkan kata Al-Irhâb
diterjemahkan dengan intimidasi.2
Sedangkan pengertian terorisme secara terminologi di antaranya adalah
yang dikemukakan oleh Walter Reich yang dikutip oleh Whittaker,
bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang didesain dengan
cara menyebarkan ketakutan ke lapisan masyarakat dengan tujuan untuk
mendapatkan dan meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan.3 Sementara
pengertian lain yang diambil dari salah satu badan yang berwenang

1 Indonesia dijadikan the second front terrorism juga dibuktikaan dengan serentetan aksi
terorisme dari pengeboman, penusukan, intimidasi pengibaran bendera ISIS sejak tahun
2000-2017. Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat Press, 2017, h. 19-22.
Lihat Juga Farid Septian, Pelaksanaan Deradikalisasi Narapidana Terorisme di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.I Mei 2010, h.
108.
2 Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers, t.t, 2001, h. 83.
3 A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta, PT. Kompas
Media Nusantara, 2009, h. 25.

88
Waskito Wibowo

dalam menangani terorisme, FBI, sebagai berikut: the unlawful use of


force or violence against persons or property to intimidate or coerce a
government, civilian populations, or any segment theart, in furtherance
of political or sosial objective.4 (penggunaan kekuatan atau kekerasan
yang tidak sah terhadap orang atau harta benda untuk mengintimidasi
atau memaksa pemerintah, penduduk sipil, atau bagian dari mereka
demi tujuan politik atau sosial).
Orang-orang yang berpaham ekstrem di Indonesia tergolong sedikit
jumlahnya. Sehingga ketika terdapat di antara mereka yang melakukan
tindakan terorisme, maupun hanya berpaham radikal, maka kebanyakan
masyarakat akan segera menilai bahwa keluarganya juga memiliki
pemahaman yang sama.5 Perlu diketahui bahwa tidak semua keluarga
pelaku tindakan terorisme memiliki paham yang radikal. Hasil penelitian
Sarwono pada tahun 2016 menunjukkan istri bukanlah bagian dari
terorisme. Jarang ada istri yang mendapat informasi mengenai aktivitas
terorisme suami di dalam kelompok ekstremis. Penelitian Sarwono
menemukan hanya 1 dari 11 partisipan (istri) yang mengetahui
keterlibatan suami dengan kelompok ekstremis. Lainnya baru tahu pada
saat suami ditangkap. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa istri
dalam keluarga ekstremis ibaratkan koin bermata dua. Di satu sisi dia
bisa menjadi motivator utama yang mendesak suami dan anak mereka
untuk bertarung, tapi di sisi lain juga bisa menjadi kunci pelepasan.6

4 Terrorism in the United States 1999


5 Menurut Schmid, Terma radikalisme dan ekstremisme memiliki makna yang tidak
persis sama, namun secara esensial keduanya berarti bukan moderate dan bukan
mainstream. Mengutip dari hasil penelitian CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
secara sederhana radikalisme itu memiliki ciri bercita-cita ingin mengubah tatanan tatanan
sosial kemasyarakatan melalui kontrol politik kenegaraan dengan mengubah ideologi
negara menjadi sebuah negara Islam atau kekhilafaan. Adapun ekstrimisme bercirikan
memperjuangkan cita-cita ideologisnya dengan kekerasan, termasuk terorisme, dan sudah
dipastikan anti terhadap sistem atau negara.
6 Indonesia’s Lamongan Network: How East Java, Poso and Syria Are Linked, data tersedia
di http://file.understandingconflict.org/file/2015/04/IPAC_18_Lamongan_Network.pdf

89
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Para suami kebanyakan sangat merahasiakan aktivitasnya kepada siapa


pun, termasuk kepada istri. Rata-rata alasan mereka ketika berpamitan
adalah untuk mencari nafkah seperti dagang, melaut, ataupun profesi
lainnya. Seringkali para suami memanfaatkan konsep kewajiban taat
dan patuh istri untuk menjadi tameng dalam menghindari pertanyaan-
pertanyaan istri yang dikhawatirkan akan membongkar aktivitas mereka.
Dalam konsep ketaatan, apabila suami tidak berkenan memberitahu,
maka istri tidak dibolehkan memaksa dan bertanya lebih jauh. Mereka
hanya dimandati untuk mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan
mendidik anak-anak, tidak boleh lebih dari itu.7
Baik sikap pro maupun kontra terhadap tindakan yang dilakukan oleh
salah satu anggota keluarga yang melakukan aksi terorisme, namun
pendampingan terhadap keluarga narapidana dipandang sangat perlu,
mengingat hal ini berkaitan dengan pemberantasan paham radikal
sampai ke akarnya. Keluarga, termasuk orangtua, saudara kandung, dan
pasangan bisa menjadi pemberi pengaruh yang kuat dalam mencegah
berkembangnya narasi ekstremisme dengan menggunakan kekerasan
serta melemahkan daya tariknya.8 Maka ketika keluarga para pelaku
tindakan terorisme itu dikucilkan, akan memperbesar peluang mereka
terjerumus pada pemahaman radikal atau juga semakin yakin dengan
ideologi yang dianut. Istilah pendampingan sendiri dijelaskan oleh
Departemen Sosial sebagai berikut,
“proses menjalin relasi sosial antara pendamping dengan kelompok
dampingan dan masyarakat sekitarnya dalam rangka memecahkan
masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber
dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup serta akses anggota

7 Any Rufaidah, dkk, Pemaknaan Istri Napi Teror terhadap Tindakan Suami, Jurnal Psikologi
Ulayat volume 4, no.1, 2017, h. 17.
8 Melemahkan Narasi Teroris di Asia Tenggara Sebuah Panduan Praktis, data tersedia di
http://www.hedayahcenter.org/Admin/Content/File-412201614495.pdf

90
Waskito Wibowo

terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan pekerjaan dan fasilitas


pelayanan publik lainnya.”9

Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia


tentu kehidupan masyarakatnya tidak bisa terlepas dari masjid. Namun
fungsi masjid pada masa kini mengalami pergeseran sesuai dengan
perubahan kondisi sosial masyarakat. Setelah mengalami penyempitan
fungsi dibandingkan pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, dimana
masjid menjadi pusat kegiatan umat, antara lain: pendidikan, politik,
ekonomi, sosial dan budaya,10 serta menjadi sentra persoalan hukum
dan peradilan,11 masjid kini diharapkan tidak hanya menjadi tempat
ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan masyarakat, termasuk
didalamnya juga pendampingan dan pemberdayaan masyarakat.
Antara masjid dan masyarakat harus menciptakan sebuah hubungan
yang saling menghidupkan. Masyarakat menghidupkan masjid dengan
kegiatan ritual keagamaan di satu sisi. Di lain sisi, masjid menghidupkan
masyarakat dengan berbagai program sosial secara tersasar, khususnya di
bidang pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan.12 Program-program
tersebut dapat diselenggarakan melalui penggalangan dana filantropi
yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf. Dengan demikian,
diharapkan fungsi masjid dapat terwujud, khususnya dalam mengikis
paham-paham radikal.
Penelitian ini dilakukan di beberapa masjid di Kabupaten Lamongan.
Penelitian ini berfokus pada upaya penanggulangan terorisme melalui

9 Ellies Sukmawati, “Lahan Kemiskinan dan Pendampingan,” dalam Arif Subhan dan Yusro
Kilun, ed., Islam yang Berpihak Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta,
Dakwah Press bekerja sama dengan CIDA, IISEP, PIC, 2007, h. 127.
10 Syamsul Kurniawan, Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, Jurnal Khatulistiwa –
Journal of Islamic Studies, Volume 4 Nomor 2 September 2014, h. 174
11 Sidi gazalba, Mesjid pusat ibadat dan kebudayaan islam, Jakarta: Pustaka al husna 1994.
Hlm. 126-128
12 Asep Usman Ismail, “Pembangunan Kesejahteraan Sosial Berbasis Masjid (Kasus Masjid
At-Taqwa Bintaro Jaya),” dalam Arif Subhan dan Yusro Kilun, ed., Islam yang Berpihak
Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta, Dakwah Press bekerja sama dengan
CIDA, IISEP, PIC, 2007, h. 174.

91
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

santunan dan pendekatan kepada keluarga narapidana kasus terorisme


oleh jajaran pengurus masjid, khususnya amil. Kabupaten Lamongan
beberapa kali diberitakan oleh media karena aksi terpidana dan terduga
teroris yang berasal dari daerah tersebut. Yang paling ramai diberitakan
adalah kasus Bom Bali I dengan terdakwa Amrozi dan Ali Gufron
yang terjadi pada tahun 2002. Melalui proses panjang, kedua terdakwa
menjadi sorotan dunia internasional menjelang eksekusi hukuman mati
yang diberikan oleh kejaksaan. Media nasional dan internasional pun
turut menyoroti peristiwa ini, termasuk keberadaan keluarga mereka.13
Kabupaten Lamongan berpenduduk muslim sebanyak 1,172,320 jiwa
dan memiliki masjid berjumlah 1965 yang tersebar di 27 kecamatan.14
Dengan jumlah masjid sebanyak itu, masjid dapat difungsikan sebagai
tempat untuk melakukan pendekatan kepada keluarga narapidana kasus
terorisme dan mereka dirangkul sehingga terlepas dari pemarjinalan
secara hukum, ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Karena
keluarga dalam lingkaran terorisme merupakan korban secara tidak
langsung, yang akan menanggung beban psikis dan stigma negatif akan
perbuatan pelaku teror.15
Filantropi berbasis masjid merupakan bentuk filantropi yang paling
banyak ditemui di masyarakat tataran akar rumput, khususnya di
pedesaan. Dalam penelitian ini ingin diketahui bagaimana peran
filantropi berbasis masjid terhadap keluarga para narapidana kasus
terorisme dan apa saja hambatan yang akan dihadapi dalam proses
pendekatan tersebut. Karena untuk merangkul keluarga narapidana
terorisme tidaklah mudah. Beberapa di antara mereka ada yang tetap

13 Anis Ulfiyatin, Makna menjadi keluarga ‘teroris’ bagi keluarga tersangka terorisme Amrozi
dan Ali Ghufron di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jurnal
Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik volume 28, no. 2, 2015, h. 72.
14 Data tersedia di http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/page/90/?kecamatan
_id=3796 . Diakses pada 13 Agustus 2017
15 Noor Huda Ismail, Temanku Teroris?Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda,
Jakarta, PT.Mizan Publika, 2010, h. 337.

92
Waskito Wibowo

menutup diri bahkan masih beranggapan bahwa apa yang dilakukan


oleh teroris adalah tindakan yang benar. Belum lagi image dari
masyarakat yang melihat mereka dengan pandangan negatif, berdampak
pada kendala dalam proses pengikisan paham radikal terhadap keluarga
narapidana.

Literature Review
Filantropi Berbasis Masjid
Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani yakni “Philos” yang berarti
Cinta, dan “Anthropos” yang berarti Manusia. Filantropi secara harfiah
merujuk pada pengalaman barat pada abad delapan belas, yang mana
negara dan individu mulai merasa bertanggung jawab untuk perduli
terhadap kaum yang lemah, maka filantropi berarti konseptualisasi dari
praktik memberi (given), pelayanan (service), dan asosiasi (assosiation),
secara sukarela untuk pihak yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa
cinta.16
Menurut Mike W. Martin dalam bukunya Virtuous Giving yang dikutip
oleh Amelia Fauzia, filantropi secara umum adalah semua pemberian,
baik itu benda maupun layanan yang diberikan oleh seseorang ataupun
masyarakat dengan keadaan sukarela dengan tujuan diambil manfaatnya
untuk kepentingan umum. Selanjutnya dari definisi tersebut diketahui
bahwa terdapat empat unsur yang ada dalam filantropi, yaitu; sukarela,
pribadi (non-negara), adanya pemberian dan layanan/kerja sosial, serta
kepentingan umum.17
Kini para sarjana membagi filantropi menjadi dua macam, filantropi
tradisional dan filantropi berkeadilan. Makna filantropi tradisional
didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan publik
16 Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Banualim, Revitalisasi Filantropi Islam, Ciputat, Pusat
Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005, h. 3.
17 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 17.

93
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

yang sifatnya berbasis karitas atau belah kasihan berbentuk pemberian


untuk kepentingan pelayanan sosial, seperti pemberian para dermawan
kepada kaum miskin.18 dalam rangka membantu mencukupi kebutuhan
primer sekunder bahkan sampai pada kebutuhan tresier. Dalam dunia
islam, zakat, infaq, dan sedekah dapat dikategorikan sebagai filantropi
tradisional.
Pada tatanan dirkursus, penggunaan istilah zakat, infak, sedekah dan
wakaf memiliki perbedaan yang signifikan. Zakat dapat diartikan sebagai
pengeluaran harta yang sifatnya wajib serta berdasarkan perhitungan
tertentu. Istilah infak, merujuk pada pemberian yang sifatnya bukan
zakat, yang jumlahnya dapat lebih besar ataupun dapat lebih kecil dari
zakat, biasanya untuk kepentingan umum. Istilah sedekah, mengacu
pada derma yang jumlahnya kecil yang biasanya diserahkan pada orang
miskin, pengemis, pengamen, dan lain sebagainya. Adapun istilah
wakaf, hampir setara dengan infak, tidak boleh diperjualbelikan dan
tidak dapat diwariskan.19 Zakat, sedekah, dan wakaf telah mendapatkan
posisi tersendiri dalam kehidupan masyarakat muslim. Zakat telah
memberikan arti berupa konsolidasi solidaritas sosial. Sedekah berfungsi
memberikan jaminan kepada masyarakat serta menyatukan mereka.
Sedangkan wakaf seringkali hadir untuk menggantikan fasilitas publik.20
Berbeda dengan filantropi tradisional, filantropi modern yang
lazim disebut sebagai filantropi keadilan sosial merupakan bentuk
kedermawanan yang menjembantani jurang antara yang kaya dan yang
miskin. Substansi dari filantropi modern terlihat jelas pada orientasinya,

18 Chusnan Yusuf, Filantropi untuk pembangunan sosial, Jurnal penelitian dan


pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007: 81-84, h. 74.
19 Abdurrahman Kasdi, Filantropi Islam Untuk Pemberdayaan Ekonomi Umat: Model
Pemberdayaan ZISWAF di BMT Se-Kabupaten Demak, Iqtishadia, Vol. 9, No. 2, 2016:
227-245, h. 230.
20 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 67-68.

94
Waskito Wibowo

yakni pada institusional dan sistematik.21 Konsep Filantropi Keadilan


Sosial mengacu pada praktik berdema yang dilakukan secara teroganisir
untuk mengatasi berbagai ketidak adilan dalam masyarakat. Filantropi
keadilan sosial lebih fokus pada upaya mengatasi akar persoalan
ketidakadilan sosial, bukan symptom atau gejalanya. Sehingga pemberian
derma pada filantropi keadilan sosial diprioritaskan untuk program-
program yang sifatnya strategis dan berdimensi jangka panjang.22
Dapat disimpulkan secara umum perbedaan mendasar antara filantropi
tradisional dengan filantropi keadilan sosial dengan tabel sebagai
berikut:23
Tabel 1. Perbedaan filantropi tradisional dan filantropi keadilan sosial
Sumber: Andy Agung Prihatna (2015)
ASPEK FILANTROPI FILANTROPI
PEMBANDING TRADISIONAL KEADILAN SOSIAL
Motif Individual Publik, Kolektif
Orientasi Kebutuhan Mendesak Kebutuhan Jangka Panjang
Bentuk Pelayanan Sosial Langsung Mendukung Perubahan Sosial
Sifat Tindakan Yang Berulang- Kegiatan Menyelesaikan
ulang Ketidakadilan Struktur
Dampak Mengatasi Ketidakadilan Mengatasi Akar Penyebab
Sosial Ketidakadilan Sosial
Contoh Program Menyediakan Tempat Advokasi Perundang-
Tinggal Yatim Piatu undangan, perubahan
kebijakan publik

Sementara masjid, secara terminologi diartikan sebagai tempat khusus


untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas (universal).24 Hal
21 Chusnan Yusuf, Filantropi untuk pembangunan sosial, Jurnal penelitian dan pengembangan
Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007: 81-84, h. 75.
22 Understanding Social Justice Philanthropy, data tersedia di http://www.justicefunders.org/
Resources/Documents/Understanding_Social_Justice_Philanthropy.pdf
23 Andy Agung Prihatna, dalam Chaider S Bamualim dan Abu Bakar, Irfan (ed), Revitalisasi
Filantropi Islam, Study Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta, Pusat
Bahasa dan Budaya Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015,
24 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung, Trigenda Karya, 1993,
h. 29.

95
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

ini sesuai dengan definisinya jika dilihat dari segi harfiah yang artinya
tempat sembahyang. Masjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya
adalah sujudan, fi’il madi-nya sajada (ia telah sujud) kemudian dirubah
menjadi isim makan (kata keterangan tempat) sehingga menjadi
masjidu, masjid.25 Kementrian Agama RI mendefinisikan masjid sebagai
sebuah bangunan tempat ibadah (shalat), yang bentuk bangunannya
dirancang khusus dengan berbagai macam atribut yang menyertainya
seperti adanya kubah dengan simbol bulan bintang, menara yang tinggi,
memiliki ruangan yang dapat menampung banyak jamaah.26
Tipologi dan klasifikasi masjid berdasarkan statusnya dapat dibedakan
menjadi tujuh : 1) Masjid Negara sebagai masjid Negara, 2) Masjid
Akbar berada di tingkat nasional, 3) Masjid Raya berada di tingkat
propinsi, 4) Masjid Agung berada di tingkat kabupaten, 5) Masjid Besar
berada di tingat kecamatan, 6) Masjid Jami’ berada di tingkat kelurahan,
dan 7) Masjid berada di tingkat RW. 27
Dari pembahasan di atas, maka filantropi berbasis masjid adalah
pemberian, baik itu benda maupun layanan yang disalurkan oleh
seseorang ataupun masyarakat lewat masjid. Di kalangan masyarakat
akar rumput, Banyak dari mereka yang lebih cenderung untuk
memberikan santunannya dalam bentuk zakat ataupun lainnya lewat
para pemuka agama. Sehingga fenomena kepanitiaan zakat dan fitrah
berbasis masjid juga menjadi tren tersendiri.28
Sebenarnya, penyaluran santunan melalui masjid telah dicontohkan
oleh Rasulullah dan para sahabatnya ketika menjadikan masjid sebagai
tempat kegiatan sosial. Mereka memfokuskan pengumpulan zakat,

25 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1994,
h. 118.
26 Syahidin, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung, Alpabeta, 2004, h. 121 (31)
27 Kementerian agama RI, Standar masjid, Jakarta, direktorat jenderal bimbingan masyarakat
islam, direktorat urusan agama islam dan pembinaan syari’ah, . 2011, h. 11-19.
28 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 11.

96
Waskito Wibowo

infaq, shadaqah di masjid, kemudian menyalurkan bantuan tersebut


kepada para sahabat yang membutuhkannya.29 Secara tidak langsung
masjid akan berperan sebagai lembaga untuk meningkatkan ekonomi
umat lewat filantropinya.30
Secara resmi pengumpulan zakat di Indonesia biasanya dikoordinir
oleh tiga macam organisasi: Panitia Zakat, BAZ, dan LAZ. Panitia
Zakat dibentuk ketika bulan Ramadhan untuk mengumpulkan dan
mendistribusikan zakat. Panitia didirikan oleh pengurus masjid,
organisasi lingkungan (RT dan RW) setempat, maupun organisasi
sosial.31 Namun disayangkan selama ini masjid kurang kreatif dalam
proses penggalangan donasi dan santunan yang nantinya dapat
dimanfaatkan bagi masyarakat.32

Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, pemberdayaan
mengandung dua pengertian. Pengertian pertama adalah to give power
or to authority, dan pengertian kedua adalah to give ability or to enable.
Dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan,
mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain.
Sedang dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk
memberikan kemampuan atau keberdayaan.33
Sedangkan menurut Ife yang dikutip oleh Marhawati, dia menjelaskan
batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang

29 Ahmad Bagja, Ahmad Yani, Panduan Memakmurkan dan dimakmurkan Masjid, Jakarta,
Dewan Masjid Indonesia, h. 26.
30 Pedoman manajemen masjid, FOKKUS BABINROHIS pusat, ICMI orsat cempaka putih,
yayasan kado anak muslim, 2004, h. 17.
31 Amelia fauzia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil dan Negara di
Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006, h. 233.
32 Tantan Hermansyah dan Helmi Rustandi, Dari Masjid untuk Masyarakat, Kasus Masjid
Al-Hidayah Parung Bogor, h. 195.
33 Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), 1996, h. 3.

97
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk


meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan
untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas
mereka.34
Dr. Adil M M Darwis dalam kitab Al-Masjid fi Al-Islâm wa Risâlatuhu
fi Al-Mujtama’ Al-Mu’âshir menyebutkan bahwa masjid merupakan
pusat peradaban masyarakat muslim yang mencerminkan adanya
keterkaitan yang kuat antara kehidupan masyarakat dengan agama.35
Berkaca dari sejarah ketika Nabi Muhammad membangun sebuah
masjid di Desa Quba sebelum sampai di Madinah merupakan indikasi
akan pentingnya keberadaan masjid. Selain masjid merupakan pusat
dimulainya peradaban islam,36 secara tidak langsung Nabi ingin
menyampaikan bahwa masjid diproyeksikan untuk menjadi pilar utama
dalam membina dan membangun masyarakat Islam yang maju.37
Kebanyakan kaum muslim belum sepenuhnya menyadari fungsi masjid
sebagai sebuah lembaga yang melayani kebutuhan umat dalam berbagai
aspek. Mereka masih memandang masjid sebagai tempat shalat saja,
tanpa memaksimalkan potensi masjid sebagai pusat pengembangan
dan pemberdayaan kesejahteraan sosial umat yang meliputi aspek
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.38 Secara lebih
spesifik kegiatan pemberdayaan komunitas yang dapat dilakukan di
masjid antara lain seperti melalui pendampingan dengan memberikan
motivasi, meningkatkan kesadaran, mentransformasikan pengetahuan,

34 Marhawati Mappatoba, sinergi pemberdayaan masyarakat marginal di desa tertinggal


Kabupaten/kota provinsi sulawesi tengah, Media Litbang Sulteng 2 (1), Oktober 2009, h.
35.
35 Adil Muhammad Muhammad Darwis, Al-Masjid fil Islam wa Risalatuhu fi Al-Mujatama’
Al-Mu’ashir, Mesir, Maktabah Darul ‘ilmi, 1996, h. 8-11.
36 Azra, azyumardi, Masjid-masjid tua di jakarta, Jakarta, cipta loka caraka, 2003, h. 11.
37 Tasyrifin Karim, Panduan pelatihan dan Orientasi Pemberdayaan Masjid dan Jamaah, dalam
M. Natsir Zubair, Mendisain Masjid Masa Depan, Jakarta, DMI, 2017, h. 75.
38 Asep Usman Ismail, Pembangunan Kesejahteraan Sosial Berbasis Masjid, Kasus Masjid At
taqwa bintaro jaya, dalam Islam yang Berpihak, Filantropi Islam dan Kesejahteraan Sosial,
Arief Subhan, Yusro Kilun, Jakarta, dakwah press, 2007, h. 174.

98
Waskito Wibowo

mengajarkan sikap, meningkatkan kemampuan, mengurangi beban,


mengembangkan jaringan dan lain-lain.39
Dimensi peran yang diberikan masjid dalam pemberdayaan masyarakat
sangatlah besar. Ini bisa ditelisik dari saluran bantuan yang diberikan
dengan tolak ukur berupa pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS),
wakaf, pengelolaan hewan qurban, pengelolaan konflik horizontal, dan
lain lain. Yang dimaksud pengelolaan di sini adalah keseluruhan proses
yang dilakukan dari awal sampai akhir. Contoh yang dapat diambil
adalah pengelolaan ZIS. Mulai dari tahap awal seperti himbauan kepada
umat untuk mengeluarkan ZIS, lalu mencatatnya dan mendistribusikan,
sampai akhirnya mempertanggungjawabkan semuanya dilakukan oleh
masjid.40

Countering Violent Extremism


Konsep Counter Violent Extremism (CVE) dianggap penting setelah
ditetapkannya resolusi 2178 dari security council PBB pada tahun 2014.
Berbeda dengan kontra-terorisme, CVE lebih memfokuskan pada proses
radikalisasi. Konsep ini tidak melibatkan penuntutan, penangkapan,
atau tindakan aparat yang menjurus kepada kekerasan, melainkan
lebih kepada usaha untuk menggerakkan dan memberdayakan aktor-
aktor yang secara tradisional tidak berkaitan dengan aparat keamanan
nasional, seperti pemerintah lokal, pendidik, buruh, masyarakat sipil dan
lain lain. Masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan diberikan
pemahaman bahwa perang melawan radikalisme adalah merupakan
tugas bersama.41

39 Dalmeri, Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Ekonomi dan Dakwah Multikultural,
Walisongo, Volume 22, Nomor 2, November 2014, h. 329.
40 Tantan Hermansyah dan Helmi Rustandi, dari Masjid untuk Masyarakat, Kasus Masjid Al
Hidayah Parung Bogor, h. 204.
41 Countering Violent Extremism and Radicalisation that Lead to Terrorism: Ideas,
Recommendations, and Good Practices from the OSCE Region, data tersedia di http://www.
osce.org/chairmanship/346841?download=true

99
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

CVE dibagi menjadi tiga tingkat penekanan: Pertama adalah pencegahan


primer yang bertujuan untuk mencegah masyarakat umum agar tidak
tertarik pada narasi ekstremis, terutama mereka yang kemungkinan
rentan terhadap pengaruhnya. Kedua adalah pencegahan sekunder
yang lebih spesifik menargetkan mereka yang teridentifikasi memiliki
pandangan yang ekstrem dan mungkin pada saat itu sedang melakukan
tindakan kekerasan. Adapun ketiga, pencegahan tersier bertujuan
mengelola individu-individu yang telah terlibat dalam tindakan ekstrem
sadis dan sekarang sedang dipenjara atau dalam proses diintegrasikan
kembali ke masyarakat.42
Menurut Oliver Ramsbothan yang dikutip oleh Ridwan Al-Makassary,
dkk disebutkan bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses pembangunan perdamaian di suatu tempat
yang didapati konflik. Istilah “ambivalence of the sacred” menjelaskan
bahwa pelegitimasian konflik atau perang dan penyeruan resolusi koflik
dan rekonsiliasi perang, keduanya sama-sama terdapat di hampir semua
agama besar.43
Kepentingan masjid dalam melawan paham radikal yang berujung
kekerasan tidak bisa dilepaskan dari ‘identitas’ atau corak yang melekat
padanya. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua ormas
Islam moderat terbesar di Indonesia berdiri di garda terdepan dalam
memerangi paham-paham radikal, khususnya yang menggunakan
kekerasan. Di antara alasan atas kekhawatiran kedua ormas tersebut
dengan keberadaan aliran yang berpaham radikal adalah hilangnya

42 Cameron Sumpter, Countering violent extremism in Indonesia: priorities, practice and


the role of civil society, data tersedia di http://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/
download/103/86
43 Ridwan Al Makassary, Amelia Fauzia, Irfan Abu Bakar (ed), Masjid dan Pembangunan
Perdamaian: Studi Kasus di Poso, Ambon, Ternate dan Jayapura, Jakarta, CSRC UIN
Jakarta, 2011, h. 17.

100
Waskito Wibowo

dominasi mereka, dan berubahnya wajah Islam Indonesia yang toleran


dan ramah.44

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Diharapkan
penelitian ini dapat menjelaskan fenomena terkait dengan masalah yang
diteliti. Juga untuk memperoleh data dan informasi yang mendalam
mengenai kegiatan filantropi yang ada di masjid-masjid di Kabupaten
Lamongan dalam kaitannya dengan upaya pendampingan terhadap
keluarga napiter. Jumlah informan adalah 26 orang masyarakat yang
tersebar di 3 Desa dari 3 Kecamatan, Kecamatan Solokuro (Desa
Tenggulun), Kecamatan Paciran (Desa Blimbing), dan Kecamatan
Karanggeneng (Desa Kalanganyar). Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan November 2017 sampai Januari 2018.
Dalam rangka membantu mekanisme kerja peneliti maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara,
observasi, dan studi pustaka. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada 26 informan.
Observasi dilakukan untuk mengamati program filantropi masjid
dalam pendampingan masyarakat dan penerapan konsep counter
violence extremism (CVE). Sedangkan data sekunder berasal dari studi
kepustakaan yang bersumber dari buku-buku, artikel, laporan statistik
dari lembaga pemasyarakatan dan tulisan ilmiah lainnya. Sehingga
sumber data dalam penelitian ada dua macam.
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan
tiga aspek kegiatan, antara lain reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai,

44 Ridwan Al-Makassary dan Ahmad Gaus AF, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid Studi
Kasus Jakarta dan Solo, Jakarta, CSRC UIN, 2010, h. 45.

101
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data yang telah diperoleh,


yaitu dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, dan mengorganisasi data, dengan demikian maka dapat ditarik
kesimpulan. Tahap kedua, data akan disajikan dalam bentuk narasi.
Kemudian tahap ketiga, akan dilakukan penarikan kesimpulan dari data
yang diperoleh.

Hasil Penelitian
1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Kabupaten Lamongan


Sumber: www.lamongankab.go.id

Lamongan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi


Jawa Timur. Memiliki letak geografis pada 6° 51’ 54” sampai dengan
7° 23’ 6” Lintang Selatan dan berada di antara garis bujur timur 112°
4’ 41” sampai 112° 33’ 12”. Berdasarkan data BPS pada tahun 2016,
Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah kurang lebih 1.812,80
km² atau ± 3.78 % dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur yang terdiri

102
Waskito Wibowo

dari 27 kecamatan. Batas wilayah administratif Kabupaten Lamongan


antara lain, laut Jawa di sebelah Utara, Kabupaten Gresik di Timur,
Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto di Selatan, dan
Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban di Barat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan,
penduduk Kabupaten Lamongan pada tahun 2016 berjumlah 1.342.266
jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 740,44 jiwa/km2. Dan jumlah
penduduk terbesar berada di Kecamatan Paciran yaitu sebanyak 96.017
jiwa. Demikian pula Kecamatan Paciran merupakan kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi yaitu 2.004 jiwa/km.45 Jumlah penduduk
terbanyak selanjutnya adalah Kecamatan Babat (88.958) disusul dengan
Kecamatan Brondong (73.790). Dari populasi tersebut, sejumlah
1.338.441 orang menganut agama Islam.
Diantara jumlah pemeluk Islam yang besar tersebut terdapat sejumlah
orang yang berpaham radikal dan ekstrem. Sebagaimana data yang
didapat dari Ditjenpas, diketahui bahwa total narapidana terorisme
(napiter) dan mantan napiter di Kabupaten Lamongan adalah
berjumlah 17 orang, dengan rincian 4 orang masih berstatus napiter
dan 13 lainnya sudah bebas. Ketersebaran ke-17 orang tersebut adalah
sebagai berikut; 7 orang berasal dari Desa Tenggulun (Kecamatan
Solokuro), 1 orang dari Desa Blimbing (Kecamatan Paciran), 1 orang
dari Desa Kalanganyar (Kecamatan Karanggeneng), 3 orang dari Desa
Sedayulawas (Kecamatan Brondong), 3 orang dari Desa Kentong
(Kecamatan Glagah), dan 1 orang dari Desa Gedangan (Kecamatan
Maduran), 1 orang dari Desa Sukodadi (Kecamatan Sukodadi).
Kecamatan Solokuro merupakan satu di antara tiga kecamatan dalam
penelitian ini yang tercatat memiliki jumlah napiter ataupun mantan

45 Laporan informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah kabupaten lamongan


tahun 2016, data tersedia di https://lamongankab.go.id/blh/files/2017/07/Buku-Laporan-
IKPLHD-2016.pdf

103
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

napiter terbanyak. Berpenduduk sebanyak 48.475 jiwa dengan 47.085


di antaranya beragama Islam, Kecamatan Solokuro memiliki masjid
sebanyak 28 buah. Kini terdapat 2 orang warga Kecamatan Solokuro
yang masih menjalani masa hukuman atas kasus terorisme dan 5 lainnya
sudah bebas dari menjalani masa hukuman yang seluruhnya berasal
dari Desa Tenggulun. Mayoritas warga Tenggulun berafiliasi dengan
ormas Nahdlatul Ulama, hanya sebagian kecil saja yang tergabung
di Muhammadiyah. Namun di antara para napiter maupun mantan
napiter diketahui bahwa kebanyakan mereka mengikuti atau menjadi
simpatisan Muhammadiyah.46 Desa Tenggulun sendiri berpenduduk
sebanyak 2.515 jiwa.47 Dari penelusuran selama penelitian berlangsung,
didapati bahwa hanya ada dua masjid di Desa Tenggulun, 1 milik
Muhammadiyah dan 1 milik Nahdlatul Ulama.
Sedangkan Kecamatan Paciran memiliki 95.969 penduduk yang
beragama islam dari total 96.017 jiwa. Terdapat 68 masjid yang terbagi
menjadi 33 masjid Muhammadiyah, 18 masjid Nahdlatul Ulama, dan
15 masjid yang bercorak lainnya. Pada saat ini terdapat 1 warganya yang
berasal dari Desa Blimbing yang masih menjalani masa hukuman akibat
kasus terorisme. Namun berdasarkan penelusuran di berbagai sumber
diketahui bahwa beberapa warga Kecamatan Paciran juga ditangkap
karena tuduhan kasus terorisme, meskipun dalam proses hukumnya
belum sampai pada penetapan sebagai terpidana. Desa Blimbing sendiri
dihuni sekitar 16.745 jiwa48 dengan mayoritas masyarakat tergabung
di ormas Muhammadiyah, selebihnya aktif di Nahdlatul Ulama, Front

46 Hasil dari penelusuran selama wawancara berlangsung


47 Diakses pada tanggal 23 Januari 2018 dari https://lamongankab.go.id/solokuro/tenggulun
48 Diakses pada tanggal 23 Januari 2018 dari https://lamongankab.go.id/paciran/profil

104
Waskito Wibowo

Pembela Islam (FPI), serta kelompok salafi49. Adapun jumlah masjid


yang ada di Desa Blimbing sebanyak 13 bangunan dengan 11 masjid
terafiliasi ke Muhammadiyah. Sisanya menjadi milik NU dan kelompok
HTI.
Adapun kecamatan terakhir yang menjadi area penelitian adalah
Kecamatan Karanggeneng. Terdapat 44 masjid di Kecamatan
Karanggeneng, yang memiliki populasi sebesar 44.735 jiwa, dan hanya
terdapat 23 non muslim , dengan selebihnya beragama Islam. Sama
seperti Kecamatan Paciran, saat ini hanya terdapat 1 warga Kecamatan
Karanggeneng yang sedang ditahan atas kasus terorisme. Warga tersebut
berasal dari Desa Kalanganyar yang memiliki total penduduk sebanyak
2.856 jiwa.50 Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang dianut oleh
hampir semua masyarakat desa tersebut. Dan masjid At-Taqwa yang
bercorakkan Nahdlatul Ulama menjadi masjid satu-satunya masjid
yang berdiri di desa tersebut.
Penetapan masjid-masjid tersebut milik sebuah organisasi atau kelompok
berdasarkan polarisasinya dalam dengan dinamika Islam dan masyarakat
sekitar, juga penyebutan masjid yang disertai dengan penyandingan
dengan organisasi tertentu. Selain itu identifikasi pengafiliasian tersebut
dapat pula diketahui dari letak, kegiatan, ritual ibadah yang dianut, dan
keterkaitan takmir masjid dengan lembaga tertentu. Biasanya lembaga
ini yang memutuskan struktur kepengurusan takmir masjid.51

49 Secara umum salafisme diartikan sebagai gerakan yang menyeru umat Islam untuk
kembali kepada ajaran Islam murni sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad SAW.
dan al-salaf al-salih (tiga generasi Muslim pertama). Sedangkan Jan Hjarpe, mengartikan
fundamentalisme sebagai keyakinan kepada al-Qur`an dan Sunnah sebagai dua sumber
otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk
menciptakan masyarakat yang baru.
50 Data dari Sekretaris Desa Kalanganyar
51 benih-benih islam radikal di masjid studi kasus Jakarta dan solo, Ridwan Al-Makassary
dan Ahmad Gaus AF (Ed.), Jakarta, CSRC UIN, 2010, hlm. 49-50

105
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

2. Peran Filantropi Berbasis Masjid dalam Pendampingan


Keluarga Narapidana Terorisme
Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Islam memegang
peran penting tidak hanya dalam hal berbau keagamaan warganya
saja, namun juga menjalar ke semua sendi kehidupan. Begitu juga
dengan yang terjadi di Kabupaten Lamongan, dalam tataran grassroots
masjid menjadi pemberi komando yang efektif dalam menggerakkan
masyarakat dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk di antaranya
menyalurkan sebagian dari harta bendanya.
Berdasarkan hasil temuan penelitian, peranan filantropi berbasis masjid
di Kabupaten Lamongan dalam melakukan pendampingan keluarga
Narapidana Terorisme di antaranya yaitu: (1) peranan sebagai charity,
(2) peranan sebagai fasilitator (3) peranan sebagai pendorong menuju
kemandirian, dan (4) peranan sebagai mediator.
Dari data yang diperoleh di lapangan, bentuk-bentuk dari filantropi
yang dipraktikkan oleh masjid di Kecamatan Paciran, dan Kecamatan
Solokuro, dan Kecamatan Karanggeneng yakni sebagai berikut; 1) zakat
fitrah, 2) zakat mal, 3) kurban, 4) infaq, 6) shadaqah, 7) wakaf, 8) santunan
anak yatim, 9) pembangunan gedung, 10) fasilitas perpustakaan, 11)
pembelajaran agama.
Cara pengumpulan dana filantropi pun beraneka ragam. Ada yang
mewajibkan masyarakat untuk menyedekahkan hartanya dengan
cara mengedarkan amplop jika berbentuk uang atau amil langsung
menghampiri ke rumah calon muzakki jika itu berbentuk beras dalam
durasi bulanan. Selain itu ada yang berbentuk iuran bulanan untuk
pembelian hewan kurban dengan nominal yang telah ditentukan, dan
juga cara mainstream dengan membentuk kepanitiaan ketika sudah
memasuki bulan Ramadhan.

106
Waskito Wibowo

Kebanyakan dari praktik filantropi yang ada di masjid-masjid di


Lamongan masih berbentuk charity saja, termasuk di masjid-masjid
yang memberikan bantuan kepada kelarga napiter. Mereka kebanyakan
memberikan bantuan dalam bentuk santunan baik itu sedekah, zakat
fitrah, kurban ataupun bentuk filantropi Islam lainnya. Seperti di Masjid
As-Syukur dan Nurul Huda Kel. Blimbing, Kec. Paciran, kedua masjid
ini memasukkan keluarga napiter, terduga teroris, maupun orang-orang
dari kelompok mereka ke dalam daftar mustahiq yang berhak menerima
bantuan.
Masjid Baitul Muttaqin yang terletak di Desa Tenggulun Kecamatan
Solokuro dalam perjalanannya melakukan pendampingan kepada
keluarga napiter dengan perpanjangan tangan lewat Yayasan Lingkar
Perdamaian (YLP). Dimana Masjid Baitul Muttaqin dan YLP
merupakan yayasan percontohan yang dikembangkan dan mendapatkan
suntikan dana dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT). Sebagian besar pengurus YLP juga merupakan Pengurus
Masjid Baitul Muttaqin.
Masjid selaku harta wakaf sering digunakan untuk menggelar rapat dan
pertemuan dengan keluarga napiter dan mantan napiter, tidak hanya
dari desa Tenggulun saja, tapi juga dari daerah lain. Pemanfaatan fungsi
masjid Baitul Muttaqin mengalami pergeseran yang sangat kontras
setelah sebelumnya juga dipakai untuk menginap, menggelar rapat,
dan konsolidasi dalam rangka pelaksanaan Bom Bali. Selain itu Masjid
Baitul Muttaqin juga sering dipakai para dermawan untuk membagikan
bantuan berupa barang-barang seperti tas dan peralatan sekolah kepada
anak-anak napiter dan yatim. Namun berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari Masjudi, Ketua Takmir Masjid Baitul Muttaqin, banyak
dari keluarga napiter yang kecewa karena pemberian santunan kala itu

107
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

dinilai kurang serius dan hanya dipakai untuk dokumentasi laporan


saja.52
Di dekat Masjid Baitul Muttaqin kini berdiri gedung sekolah diniyah.
Gedung tersebut merupakan bantuan BNPT yang kini diperuntukkan
bagi kegiatan belajar mengajar dimana murid-muridnya berasal dari
anak masyarakat setempat, termasuk juga anak napiter ataupun mantan
napiter. Salah satu di antara pengajar diniyah tersebut adalah istri
Ali Imron. Sebelum gedung tersebut berdiri, kegiatan belajar diniyah
dilakukan di dalam Masjid Baitul Muttaqin. Namun, karena dianggap
mengganggu jama’ah, maka pengurus YLP mengajukan permohonan
gedung kepada BNPT.
Sementara Menurut Ketua Takmir Masjid As-Syukur, Matruhan, selain
pemberian yang berupa zakat dan infaq, pemberian juga bisa berupa
sumbangan biaya bagi kalangan tidak mampu, termasuk mereka yang
berasal dari kelompok radikal yang sedang ditimpa musibah seperti sakit,
meninggal dunia, dan lain sebagainya. Lebih jauh, dia menerangkan
bahwa Masjid As-Syukur pernah memediasi kelompok tersebut ketika
meminta sepetak tanah yang terletak di jalanan umum dengan dalih
akan digunakan untuk kepentingan umum. Selain itu, ketika hari raya
Idul Adha, takmir masjid juga mengajak beberapa anggota kelompok
radikal untuk menjadi panitia kurban dan kemudian memberikan jatah
untuk mereka.53
Adapun Masjid Nurul Huda yang berada di Dusun Gowa, Desa
Blimbing, Kecamatan Paciran memberikan jadwal ceramah setiap hari
Senin setelah shubuh kepada Zainal Anshori dengan materi tentang
tauhid. Zainal Anshori merupakan salah satu dari tiga orang yang
ditangkap densus atas tindakan terorisme terkait rencana pengeboman

52 wawancara ini dilakukan pada 30 Desember 2017


53 Wawancara dilakukan pada 25 Januari 2018

108
Waskito Wibowo

kantor polisi sektor Brondong. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan


karena salah satu pendiri Masjid Nurul Huda adalah kakek dari Zainal
Anshori.
Terdapat fenomena yang lazim terjadi di Masjid Nurul Huda, yaitu
ketika jadwal Zainal Anshori mengisi ceramah ataupun khutbah, para
kelompok paham radikal berbondong-bondong berjama’ah di masjid
ini. Berbeda ketika khotib lain yang mengisi, mereka akan membuat
jama’ah sendiri di mushola yang biasa mereka gunakan. Termasuk ketika
beberapa orang dari kalangan mereka mendapatkan jatah beras bulanan
ataupun daging kurban setiap hari raya idul adha dari Masjid Nurul
Huda, mereka sepakat untuk menolak dengan alasan karena berasal dari
selain golongan mereka.
Berbeda dengan dua kecamatan sebelumnya, di Kecamatan
Karanggeneng, tepatnya di Desa Kalanganyar tidak ditemukan kegiatan
filantropi yang menyasar kepada keluarga napiter sama sekali. Bahkan
takmir masjid At-Taqwa, dalam hal ini jama’ah dan ketua RT setempat,
tidak mengetahui adanya warga desa tersebut yang terlibat kegiatan
terorisme dan sedang menjalani masa hukuman.

a. Keluarga Narapidana Terorisme Lamongan


Pada awal tahun 2000-an Lamongan menjadi pusat perhatian dunia
internasional karena Bom Bali yang dilakukan oleh oknum asal salah
satu desa di Lamongan, Tenggulun. Kini, setelah belasan tahun berjalan,
banyak perubahan yang terjadi dengan desa tersebut. Desa Tenggulun
menjadi role model dalam melakukan kegiatan deradikalisasi. Namun
berdasarkan informasi yang didapat dari Ditjenpas, ada dua warga
Tenggulun yang masih menjalani hukuman. Mereka adalah Ali Imron
dan Utomo Pamungkas alias Mubarok.

109
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Ali Imron merupakan saudara dari Amrozi dan Ali Ghufron, terpidana
mati kasus Bom Bali. Dia lahir dan tumbuh di Tenggulun bersama-sama
dengan saudara-saudaranya. Kemudian ikut perang di Afghanistan
setelah sebelumnya nyantri di Pondok Pesantren Karangasem Paciran.54
Dia dan keluarganya termasuk sekelompok orang Muhammadiyah yang
tinggal di Desa Tenggulun, dimana warganya lebih banyak orang-orang
Nahdliyyin. Berbeda halnya dengan Mubarok, dia merupakan ustadz
dari luar Tenggulun yang mengajar dan bermukim di Pondok Pesantren
Al-Islam. Setelah penangkapan dirinya, kini keluarganya sudah tidak
bermukim di Tenggulun dan kembali ke daerah asalnya.55
Kasus Bom Bali ketika itu sangat memantik amarah warga Nahdliyyin.
Selain karena dianggap telah mencemarkan nama Tenggulun, pada kasus
tersebut juga tidak ada pelaku yang berasal dari mereka. Bahkan sampai
ada seruan untuk mengusir dari desa. Hingga kini keluarga napiter
dan mantan napiter masih bertahan di desa Tenggulun selain karena
keberadaan Pondok Pesantren Al-Islam yang di kelola oleh mereka,
juga dukungan dari BNPT yang memberikan tugas dan tanggungjawab
untuk merubah mindset orang-orang yang masih memiliki paham
radikal.
Di tempat lain, tepatnya di Desa Blimbing Kecamatan Paciran, salah
seorang warga masih tercatat menjalani masa hukuman atas kasus
terorisme yang dilakukannya. Yakni narapidana bernama Mochammad
Ramuji yang terkadang dipanggil Kapten atau Botak. Dari penuturan
salah satu keluarganya56 diketahui bahwa Ramuji Lahir di Papua,
kemudian ketika menginjak balita orangtuanya pindah ke Desa
Blimbing. Ramuji menjalani masa anak-anak sampai dewasanya di
Desa Blimbing. Seperti halnya kakaknya, Ramuji hanya mengenyam

54 Hasil Wawancara dengan saudara ipar Ali Imron berinisial MM, pada 31 Januari 2018
55 Hasil wawancara dengan warga Tenggulun berinisial F pada 13 Januari 2018
56 Hasil wawancara kepada Muhammad Soleh, kakak Ramuji, pada 31 Januari 2018

110
Waskito Wibowo

bangku sekolah Sekolah Dasar (SD) dikarenakan persoalan ekonomi.


Setelah lulus SD, Ramuji ikut seorang juragan (sebutan untuk orang
yang punya perahu) untuk pergi melaut.
Setelah lama melaut, Ramuji kemudian menikahi perempuan asal Garut
dan pindah ke rumah istrinya di sana. Pada tahun 2014 Ramuji kembali
ke Desa Blimbing karena alasan pekerjaan, namun ketika itu istri dan
anaknya tetap ditinggal di Garut. Sekitar 6 bulan pasca dia balik ke
kampung halamannya, dia ditangkap oleh Densus di Jalan Blimbing
Raya dengan tuduhan kasus terorisme.
Aktivitas Ramuji selama 6 bulan itu banyak dihabiskan di atas laut,
sehingga ketika terjadi penangkapan, tetangga sekitar banyak yang
kaget, termasuk juga keluarganya. Di lain sisi karena keseharian Ramuji
yang sama seperti masyarakat Desa Blimbing pada umumnya, menjadi
nelayan yang waktunya banyak dihabiskan di atas perahu, juga keluarga
memang sangat jarang bertemu dengannya di rumah. Berdasarkan
informasi yang didapat dari kakaknya, selama di Blimbing Ramuji
sesekali mengikuti ceramah yang diprakarsai oleh kelompok Front
Pembela Islam (FPI), namun dia tidak termasuk partisipan aktif. Selain
itu tidak jarang dia berpindah-pindah masjid untuk melaksanakan
shalat tanpa melihat itu masjid NU ataupun Muhammadiyah.
Jika dilihat dari corak semua masjid di Desa Blimbing, dari total
13 masjid, 10 di antaranya bercorakkan Muhammadiyah, 1 masjid
merupakan campuran antara Muhammadiyah dan NU, 2 masjid
tersisa milik NU dan kelompok salafi, maka dapat ditarik gambaran
bahwa mayoritas masyarakat Desa Blimbing mengikuti organisasi
Muhammadiyah. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa
beberapa masyarakat yang tergabung di kelompok radikal di sana juga
masih berpahamkan Muhammadiyah. Seperti halnya beberapa warga

111
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

yang ditangkap dengan tuduhan perencanaan peledakan bom di Polsek


Brondong tahun lalu.
Sementara satu napiter asal Lamongan lainnya yang berasal dari
Desa Kalanganyar Kecamatan Karanggeneng berinisial AAB. Orang
tua AAB merupakan pendatang dari Desa Sukodadi yang pindah ke
Desa Kalanganyar. AAB mengenyam bangku sekolah dasar di Desa
Kalanganyar, kemudian dia melanjutkan jenjang sekolah menengahnya
di Babat dan Lamongan. Di samping itu dia juga nyantri di salah satu
Pesantren Muhammadiyah di sekitar sana. Setelah menyelesaikan
studinya, AAB memilih untuk bekerja di Jakarta. AAB di kalangan
teman-temannya dikenal sebagai sosok yang pintar namun jarang
bergaul dengan teman sebayanya di kampung.
Keluarga AAB merupakan satu-satunya warga Muhammadiyah
yang ada di Desa Kalanganyar, selebihnya adalah Nahdliyyin. Namun
keluarga tersebut tetap membaur dengan masyarakat. Bahkan menurut
penuturan ketua RT setempat57 orangtua AAB juga tetap ikut kegiatan
keagamaan warga NU seperti tahlilan, yasinan, dan sebagainya. Karena
faktor tersebut berita tentang terlibatnya AAB dalam aksi terorisme
sangat dirahasiakan oleh keluarga sehingga tidak ada satu masyarakat
pun yang mengetahui.
Banyaknya warga maupun simpatisan Muhammadiyah yang terlibat aksi
terorisme di daerah Lamongan disebabkan beberapa faktor. Pertama,
Lamongan merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah warga
dan simpatisan Muhammadiyah yang banyak, khususnya di Pantura.
Hal ini memperbesar peluang masyarakat Muhammadiyah untuk ikut
terlibat. Kedua, berdasarkan pernyataan Kapolsek Paciran, Fandil,58
bahwa masyarakat Pantura memiliki sifat temperamen dan keras,
sehingga membuat mereka mudah untuk terprovokasi. Ketiga, terkait

57 Wawancara dilakukan pada 31 Januari 2018


58 Wawancara dilakukan pada 1 Januari 2018

112
Waskito Wibowo

dengan kasus AAB, mengutip Dr. Chaider S Bamualim59, bahwa ketika


dihadapkan pada sebuah situasi yang bertentangan dengan prinsipnya,
anak muda NU, khususnya yang belajar di pesantren akan menolak
dengan tegas dan lebih kuat dalam mempertahankan keyakinannya
dibandingkan dengan anak muda Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan
pengajaran agama yang ada di NU berdasarkan dengan kitab-kitab
klasik tertentu yang ditransformasikan pengajarannya secara turun
temurun.

b. Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Kartasasmita, konsep pemberdayaan menekankan masyarakat
untuk menjadi subjek dalam melakukan pembangunan, dibandingkan
hanya menjadi objek semata. Dengan begitu akan menjadikan proses
pembangunan menjadi lebih hidup dan berkelanjutan karena dilakukan
secara sadar oleh masyarakat sendiri.
Dalam kehidupan, baik masyarakat pada umumnya maupun kelompok
radikal sama-sama memahami bahwa hidup secara berdampingan
merupakan suatu keniscayaan. Khususnya masyarakat umum masih
menjunjung tinggi nilai-nilai bermasyarakat. Seperti yang terjadi pada
jama’ah Masjid As-Syukur Desa Blimbing, mereka tetap menghargai
orang-orang dari kelompok radikal dengan tetap bertegur sapa ketika
bertemu. Selain itu jika ada acara pernikahan, baik kelompok radikal
maupun masyarakat umum, masih saling mengundang di antara
mereka. Meskipun jika dalam hal yang bersifat keagamaan masyarakat
masih sangat sensitif. Hal ini sedikit banyak karena dipengaruhi sikap
kelompok radikal yang tampak ingin menguasai masjid dengan cara
menjadi imam.

59 Disampaikan ketika sosialisasi hasil penelitian tentang “Arah dan Corak Keberagaman
Kaum Muda Muslim Indonesia” pada tanggal 23 Februari 2018

113
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Proses pengambil alihan masjid dengan menggunakan cara pergantian


para takmir yang berpaham moderat ke kelompok garis keras sudah
jamak terjadi di Indonesia. Dengan alasan ajaran yang dipraktikkan di
masjid merupakan bid’ah dan sesat mereka kemudian menguasai jajaran
kepengurusan masjid. NU dan Muhammadiyah selaku dua organisasi
islam moderat di Indonesia merasa paling dirugikan atas hal ini.60
Tidak jauh berbeda, keadaan masyarakat di Desa Tenggulun tampak
lebih welcome dengan keluarga napiter maupun mantan napiter yang
sudah kembali ke masyarakat. Meskipun masih ada ketidaksukaan di
sebagian orang, namun secara umum masyarakat sudah mengangap
mereka sebagai bagian dari masyarakat sebagaimana masyarakat
lainnya. Menurut pengakuan salah seorang warga61, hubungan
masyarakat dengan para napiter, mantan napiter dan juga keluarganya
renggang hanya ketika kejadian berlangsung saja, setelahnya mereka
akan membaur sebagaimana sebelumnya.
Meskipun Desa Tenggulun memiliki satu masjid NU dan satu masjid
Muhammadiyah, namun keluarga napiter maupun mantan napiter tidak
hanya membaur ke salah satu masjid saja. Lebih jauh, Takmir Masjid
Al-Mubarok yang berafiliasi ke NU menjelaskan,
“Kalau sudah kembali ke masyarakat, ya sudah. Ada kerja bakti, ada
apa itu, semuanya sudah. Sudah tidak kemudian mengasingkan diri
atau diasingkan. Nanti kalau sudah di sini kembali ke masyarakat ya
sudah mereka seperti masyarakat seperti dulu. Jadi tetap tidak ada
perbedaan, kemudian bergaul dengan masyarakat tidak merasa dia
itu istilahnya mantan teroris cah, malu dll.”62

Pandangan berbeda disampaikan oleh ketua takmir masjid Baitul


Ghofur Dusun Jetak Kecamatan Paciran, Kyai Ghoni.63 Menurutnya
60 Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia, Jakarta, PT.Desantara Utama Media, 2009, h. 191.
61 Wawancara dilakukan dengan warga berinisial M pada 13 Januari 2018
62 Wawancara dilakukan pada 23 Januari 2018
63 Wawancara dilakukan pada 1 Januari 2018

114
Waskito Wibowo

keberadaan kelompok radikal atau bahkan teroris terkadang harus


dipandang secara positif. Tidak bisa dipungkiri bahwa kelompok-
kelompok tersebut yang membuat kemaksiatan di lingkungan pantura
bisa ditekan jumlahnya, khususnya yang dilakukan oleh kaum remaja.
Contoh kecil adalah pemakaian narkoba dan pacaran yang memang
terhitung sering dilakukan. Namun kelompok tersebut juga harus tetap
berbenah, bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu tidak selalu dilakukan
dengan tindakan kekerasan. Karena seringkali kekerasan akan berbalas
dengan kekerasan pula. Lewat obrolan-obrolan bersama juga terkadang
bisa meyamakan persepsi ataupun memberi nasehat serta masukan.
Hal ini yang sudah sering dia jalani selaku tokoh NU di Desa Paciran
bersama Kyai Hakam Mubarok yang mewakili pihak Muhammadiyah.
Sangat disayangkan jika usaha masyarakat untuk merangkul kembali
keluarga napiter justru terhalangi oleh aktivitas penyebaran paham
kelompok radikal. Sebenarnya hal ini lumrah mengingat suatu
kelompok atau komunitas akan berusaha untuk terus menyebarkan apa
yang mereka yakini. Namun dalam konteks pendampingan ini justru
akan memunculkan antipati dari masyarakat. Hal ini terlihat dari apa
yang terjadi di Dusun Jompong dan Desa Sedayulawas Kecamatan
Brondong.
Di kedua tempat itu sempat didapati anggota kelompok tersebut
mendekati warga umum dan merekrut mereka, khususnya dari
kalangan anak muda. Selain itu menurut Ketua Takmir Masjid At-
Taqwa Sedayulawas, Bapak Ahzab,64 pernah ada rencana perebutan
masjid dan mushola oleh kelompok tersebut. Meskipun sebenarnya
Desa Sedayulawas merupakan desa yang hampir seluruh warganya
berpahamkan Muhammadiyah, namun dikarenakan di sana berdiri
Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang berafiliasi dengan Pondok Ngruki,

64 Wawancara dilakukan pada 1 Januari 2018

115
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

sehingga membuat kelompok non-mainstream sedikit memiliki


keberanian.

c. Countering Violence Extremism


Countering Violence Extremism (CVE) atau bisa diartikan dengan
“Melawan Ekstrimisme Brutal” atau “melawan Esktrimisme Dengan
Menggunakan Kekerasan” merupakan sebuah terobosan gagasan
atau konsep baru dalam melawan paham radikal khususnya yang
menggunakan kekerasan lewat masyarakat sipil apa pun profesinya
selama bukan aparat keamanan. Dalam penelitian ini, takmir masjid
dan pengelola filantropi menjadi aktor utama di samping juga pihak
lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diketahui kebanyakan
penerapan CVE dilakukan sebatas dengan ceramah dan kajian keislaman
kepada masyarakat luas. Dana infaq bulanan masjid digunakan untuk
membayar para muballigh yang menyampaikan ceramahnya dalam
periode mingguan, bulanan, maupun waktu lainnya yang disepakati.
Praktik ini diterapkan sebagaimana dijumpai di Masjid Ar-Royan
Dusun Jompong, namun hanya dengan pembahasan yang terbatas.
Paham radikal dan ekstrem hanya dikupas sedikit serta sebatas cuplikan-
cuplikan saja di dalam pengajian. Format yang berbeda dilakukan di
Masjid Baitul Ghofur yang terletak di Dusun Jetak, Desa Paciran.
Menurut Kyai Ghofur yang juga pengampu langsung dari pengajian
tersebut, pengkajian kitab At Targhib Wa At Tarhib yang selama ini
dilakukannya akan bisa memberikan masyarakat pengetahuan yang
lebih komprehensif sesuai dengan kandungan kitab tersebut.
“Kalau saya itu mengajar ngajinya menggunakan kitab At Targhib
Wa At Tarhib. Targhib artinya orang itu disenangkan melakukan
suatu ibadah yang diperintah, kalau Tarhib itu artinya memberi
peringatan kepada orang agar jangan mendekati sesuatu yang

116
Waskito Wibowo

dilarang oleh Allah. Di satu sisi mengajak untuk kebaikan, satu sisi
kita harus menjauhkan mereka dari hal yang dilarang oleh Allah.
Dan ada pedomannya kita, jadi ngomongnya tidak ngelantur. Jadi
lewat pengkajian kitab tersebut mereka pun akan tahu seperti ini
toh.”65

Adapun bentuk lainnya seperti di Masjid Nurul Huda, yaitu dengan


pola kajian tematik. Setiap hari selalu diadakan kajian keislaman
dengan disiplin yang berbeda. Di antaranya adalah terkait aqidah,
fikih, hadits, akhlak, dan lainnya. Dari penuturan takmir masjid66, dia
pernah menegur salah satu penceramah yang menyampaikan khutbah
dengan konten yang mengkampanyekan cita-cita Hizbut Tahrir (HT).
Kekurangan dari cara ini adalah terkadang penceramah dengan inisiatif
sendiri menyampaikan hal-hal yang justru kontra produktif. Di masjid
tetangga desa, Kandangsemangkon, terdapat muballigh yang tanpa
diminta sudah dengan sendirinya menyampaikan terkait isu radikalisme.
Mereka menyampaikannya di Khutbah Jum’at dan di kuliah shubuh.
Menurut Takmir Masjid Baiturrahman67, meskipun hal ini tidak secara
resmi tapi paling tidak sudah mewakili keprihatinan dan upaya masjid
dalam memerangi paham-paham radikal.
Dalam upaya mencegah jama’ahnya yang mayoritas orang
Muhammadiyah terseret narasi ekstrem, Masjid At-Taqwa
Sedayulawas selalu mewanti-wanti akan nilai-nilai yang dipegang
dan diajarkan di Muhammadiyah. Jika berbicara jihad, maka jihad
dalam Muhammadiyah itu ranahnya ada di bidang pendidikan, sosial,
kesehatan, kemasyarakatan, dan dakwah.68

65 Wawancara dilakukan pada 1 Januari 2018


66 Wawancara dilakukan pada 2 Januari 2018
67 Wawancara dilakukan pada 13 Januari 2018
68 Wawancara dilakukan pada 1 Januari 2018

117
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Masjudi selaku Ketua Takmir Masjid Baitul Muttaqin Tenggulun


menyatakan bahwa69 hal yang paling mengkhawatirkan dalam upaya
program deradikalisasi adalah kebijakan pemerintah yang kontroversial
dan bahkan terkadang tidak berpihak pada masyarakat. Karena hal ini
dapat memicu keinginan mantan napiter untuk kembali melakukan
aksi kekerasan. Hal ini sesuai dengan salah satu prasyarat munculnya
terorisme yaitu kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugasnya
sebagai pengontrol jalannya kehidupan bernegara.

Hambatan Pendampingan Keluarga Narapidana


Terorisme
Proses pendampingan dari masjid lewat dana filantropi kepada keluarga
napiter jika menggunakan konsep pemberdayaan ala Kartasasmita
maka pengupayaannya dibagi menjadi tiga proses, enabling, empowering,
protecting. Dari proses itu bisa dianalisa hambatan-hambatan yang
menyertai selama pendampingan diupayakan.
Enabling. Proses ini menitikberatkan pada penciptaan suasana atau iklim
yang mendukung. Namun dalam kenyataannya, kondisi masyarakat
belum sepenuhnya memandang perlunya santunan kepada keluarga
napiter. Banyak masjid yang abai dan menganggap keluarga tersebut
merupakan tanggungjawab kelompoknya. Padahal selain kondisi
mereka yang memang membutuhkan bantuan akibat ditinggal oleh
kepala keluarga, cara ini juga dapat digunakan untuk melunakkan hati
mereka sehingga mau meninggalkan paham radikal, atau setidaknya
mau mendengar dari orang lain di luar kelompok mereka. Kendala yang
lain, sikap elitis dan merasa dirinya yang paling benar dari kelompok
radikal. Kelompok tersebut kebanyakan tidak mau menerima bantuan
yang bukan berasal dari kelompok mereka. Mereka berdalih bahwa
tata cara yang digunakan berbeda ataupun pengelola bukan berasal

69 Wawancara dilakukan pada 30 Desember 2017

118
Waskito Wibowo

dari anggota kelompoknya, sehingga hal ini menjadi tidak sah untuk
diterima. Hal ini secara tidak langsung akan berimbas kepada keluarga
napiter karena dia termasuk bagian dari komunitas tersebut. Keluarga
yang membutuhkan tersebut merasa canggung untuk menerima
bantuan dari pihak lain di luar kelompoknya.
Empowering. Potensi dan daya masyarakat menjadi titik fokus
dalam fase ini sehingga langkah-langkah nyata dibutuhkan dalam
pengaplikasikannya. Masjid dalam melakukan pendampingan kepada
keluarga napiter lewat dana filantropi sangat bergantung pada kreativitas
pengelolanya. Hal ini yang jarang ditemui dari masjid-masjid di
Kabupaten Lamongan. Dari sekian masjid yang memberikan bantuan
filantropi, rata-rata semuanya berbentuk charity. Tentunya bantuan ini
tidak bersifat berkelanjutan dan tidak mengatasi akar masalah. Bantuan
yang berupa santunan lebih cepat habis selaras dengan kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh keluarga tersebut.
Protecting. Inti dari tahap ini adalah pencegahan pihak lemah
menjadi bertambah lemah melalui keberpihakan dan perlindungan.
Meskipun banyak pihak mengatakan bahwa keluarga napiter terbuka
kepada masyarakat umum, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat
keterbukaan mereka dengan masyarakat umum pastinya berbeda. Rasa
khawatir, takut, cemas pasti tetap dirasakan oleh keluarga napiter.
Ini mengakibatkan mereka tetap kembali ke komunitas yang dia
merasa sama dan nyaman di dalamnya atau bahkan baru bergabung
di dalamnya. Ketika keluarga tersebut ternyata malah bergabung dan
berkumpul bersama kelompok radikal maka proses deradikalisasi akan
menjadi lebih berat.

Penutup
Beberapa temuan dalam penelitian yang membahas peran filantropi
berbasis masjid dalam pendampingan keluarga Narapidana Terorisme

119
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

di Kabupaten Lamongan beserta hambatan-hambatannya dapat


disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, di antara peran yang ditunjukkan oleh filantropi berbasis
masjid adalah peranan sebagai charity, fasilitator, pendorong menuju
kemandirian, dan mediator. Namun kebanyakan peran yang diberikan
kepada keluarga narapidana terorisme lebih bersifat karitatif. Dalam
artian santunannya lebih menunjang aspek pemenuhan hidup secara
langsung lewat pemberian-pemberian bantuan berupa bahan makanan,
material maupun uang secara tunai. Strategi karitas ini pada level
praktiknya menyentuh level-level kehidupan dengan bentuk pelayanan
hidup.
Kedua, penyebaran teroris di Kabupaten Lamongan, baik yang masih
menjalani masa hukuman maupun yang sudah bebas, kebanyakan
berada di desa yang mayoritas warganya adalah orang Muhammadiyah.
Bahkan di antara teroris tersebut merupakan warga Muhammadiyah. Di
antara faktor yang mempengaruhi adalah jumlah warga dan simpatisan
Muhammadiyah yang banyak di Lamongan, sifat temperamen yang
dimiliki masyarakat Pantura, dan kurang kokohnya pemahaman anak
muda muda Muhammadiyah tentang prinsip keagamaannya.
Ketiga, hubungan masyarakat dengan kelompok radikal dalam kehidupan
bermasyarakat terlihat baik dan masih mau untuk bersosialisasi,
termasuk kepada keluarga napiter. Hal ini ditunjukkan ketika mereka
tetap membaur ketika sedang ada hajatan di lingkungan tempat mereka
tinggal. Namun respon berbeda ditunjukkan oleh kelompok radikal dan
masyarakat dalam hal yang menyangkut ibadah karena kekhawatiran
pengambil alihan masjid dan penyebaran ideologi.
Keempat, dalam mengimplementasikan teori CVE, kebanyakan masjid
melakukan ceramah-ceramah dengan berbagai model, di antaranya
pengajian tematik dalam berbagai disiplin kajian keislaman, pengajian

120
Waskito Wibowo

kitab kuning seperti At Targhib Wa At Tarhib, atau hanya disinggung


sedikit lewat inisiatif penceramah. Kegiatan ceramah tersebut bersumber
dari dana filantropi yang ada di masjid yang berasal dari masyarakat.
Kegiatan deradikalisasi merupakan tugas bersama seluruh komponen
masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka mengoptimalkan upaya-
upaya tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan, di antaranya
adalah: 1) Kepolisian sebagai penjaga keamanan memberikan
pengawasan terhadap kegiatan kelompok-kelompok radikal; 2)
Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam moderat terbesar di
Indonesia lebih memberikan perhatian kepada masyarakat di daerah-
daerah rawan terjangkit paham radikalisme. Membentengi warganya
dengan pemahaman Islam yang sesuai dengan yang telah dirumuskan
oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, termasuk di dalamnya melakukan
penguatan dan arahan ke pesantren-pesantren yang beraliran
Muhammadiyah; 3) Tokoh masyarakat hendaknya menghimbau kepada
warga untuk memulai membuka diri dan mendekati keluarga napiter.

Daftar Pustaka
..., Pedoman manajemen masjid, FOKKUS BABINROHIS pusat,
ICMI orsat cempaka putih, yayasan kado anak muslim, 2004
Al-Makassary, Ridwan dan Ahmad Gaus AF, Benih-Benih Islam
Radikal di Masjid Studi Kasus Jakarta dan Solo, Jakarta, CSRC
UIN, 2010
Al Makassary, Ridwan, Amelia Fauzia, Irfan Abu Bakar (ed), Masjid
dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus di Poso, Ambon,
Ternate dan Jayapura, Jakarta, CSRC UIN Jakarta, 2011,
Azra, azyumardi, Masjid-masjid tua di jakarta, Jakarta, cipta loka caraka,
2003
Bagja, Ahmad, Ahmad Yani, Panduan Memakmurkan dan dimakmurkan
Masjid, Jakarta, Dewan Masjid Indonesia,
Bakar, Irfan Abu dan Chaider S. Banualim, Revitalisasi Filantropi
Islam, Ciputat, Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2005

121
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Darwis, Adil Muhammad Muhammad, Al-Masjid fil Islam wa


Risalatuhu fi Al-Mujatama’ Al-Mu’ashir, Mesir, Maktabah Darul
‘ilmi, 1996
Fauzia, Amelia, Filantropi islam sejarah dan kontestasi masyarakat sipil
dan Negara di Indonesia, Yogyakarta, Gading publishing, 2006
Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta,
Pustaka Al-Husna, 1994, h. 118.
Hermansyah, Tantan dan Rustandi, Helmi. “Dari Masjid untuk
Masyarakat (Kasus Masjid Al- Hidayah Parung Bogor).” Dalam
Arief Subhan dan Yusro Kilun, ed. Islam yang Berpihak Filantropi
Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Dakwah Press bekerja sama
dengan CIDA, IISEP, PIC, 2007.
Hendropriyono, A.M, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam,
Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2009
Husaini, Adian, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani
Pers, t.t, 2001
Ismail, Asep Usman, “Pembangunan Kesejahteraan Sosial Berbasis
Masjid (Kasus Masjid At-Taqwa Bintaro Jaya),” dalam Arif Subhan
dan Yusro Kilun, ed., Islam yang Berpihak Filantropi Islam dan
Kesejahteraan Sosial, Jakarta, Dakwah Press bekerja sama dengan
CIDA, IISEP, PIC, 2007
Ismail, Noor Huda, Temanku Teroris?Saat Dua Santri Ngruki
Menempuh Jalan Berbeda, Jakarta, PT.Mizan Publika, 2010
Karim, Tasyrifin, Panduan pelatihan dan Orientasi Pemberdayaan
Masjid dan Jamaah, dalam M. Natsir Zubair, Mendisain Masjid
Masa Depan, Jakarta, DMI, 2017
Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung,
Trigenda Karya, 1993, h. 29. (Transformasi Sosial Masjid dalam
Pusaran Peradaban 30)
Neumann, Peter R, Countering Violent Extremism and Radicalisation
that Lead to Terrorism: Ideas, Recommendations, and Good
Practices from the OSCE Region
Onny S, Prijono,. dan Pranarka A.M.W. (ed.), Pemberdayaan: Konsep,
Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), 1996,
Prihatna, Andy Agung, dalam Chaider S Bamualim dan Abu Bakar,
Irfan (ed), Revitalisasi Filantropi Islam, Study Kasus Lembaga

122
Waskito Wibowo

Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa dan Budaya


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015
Syahidin, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung, Alpabeta,
2004
Sukmawati, Ellies, Lahan Kemiskinan dan Pendampingan,” dalam
Arif Subhan dan Yusro Kilun, ed., Islam yang Berpihak Filantropi
Islam dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta, Dakwah Press bekerja sama
dengan CIDA, IISEP, PIC, 2007
Wahid, Abdurrahman, ed. Ilusi Negara Islam. Jakarta: Desantra Utama
Media, 2009.
Zeiger, Sara, Melemahkan Narasi Teroris di Asia Tenggara Sebuah
Panduan Praktis, Hedayah, 2016
Zubair, M. Natsir, Mendisain Masjid Masa Depan, Jakarta, DMI, 2017,
Zuhri, Saefudin, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat
Press, 2017

..., Understanding Social Justice Philanthropy, National Committee for


Responsive Philanthropy (NCRP)
..., Indonesia’s Lamongan Network: How East Java, Poso and Syria
Are Linked, INSTITUTE FOR POLICY ANALYSIS OF
CONFLICT (IPAC)
Dalmeri, Revitalisasi Fungsi Masjid Sebagai Pusat Ekonomi dan
Dakwah Multikultural, Walisongo, Volume 22, Nomor 2, November
2014,
Kasdi, Abdurrahman, Filantropi Islam Untuk Pemberdayaan Ekonomi
Umat: Model Pemberdayaan ZISWAF di BMT Se-Kabupaten
Demak, Iqtishadia, Vol. 9, No. 2, 2016: 227-245,
Rufaidah, Any, dkk, Pemaknaan Istri Napi Teror terhadap Tindakan
Suami, Jurnal Psikologi Ulayat volume 4, no.1, 2017
Septian, Farid, Pelaksanaan Deradikalisasi Narapidana Terorisme di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jurnal Kriminologi
Indonesia Vol. 7 No.I Mei 2010
Sumpter Cameron, Countering violent extremism in Indonesia:
priorities, practice and the role of civil society, Journal for
deradicalization. 2017. Nr.11.

123
Filantropi Berbasis Masjid untuk Keluarga Narapidana Terorisme (Lamongan)

Ulfiyatin, Anis, Makna menjadi keluarga ‘teroris’ bagi keluarga tersangka


terorisme Amrozi dan Ali Ghufron di Desa Tenggulun, Kecamatan
Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan,
dan Politik volume 28, no. 2, 2015
Yusuf, Chusnan, Filantropi untuk pembangunan sosial, Jurnal penelitian
dan pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007: 81-
84,

Hasil Wawancara dengan Ahmad Ahzab, Ketua Takmir Masjid At-


Taqwa pada 1 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Fandil, Kapolsek Paciran, pada 1 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Ghoni, Ketua Takmir Masjid Baitul Ghofur
pada 1 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Ketua RT III Desa Kalanganyar pada 31
Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Ketua Takmir Masjid Al-Mubarok pada 23
Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Ketua Takmir Masjid Baiturrahman 13
Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Ketua Takmir Masjid Nurul Huda pada 2
Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Masjudi, Ketua Takmir Masjid Baitul
Muttaqin pada 30 Desember 2017
Hasil Wawancara dengan Matruhan, Ketua Takmir Masjid As-Syukur
pada 25 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan Muhammad Soleh, saudara Ramuji, pada 31
Januari 2018
Hasil Wawancara dengan salah satu warga Desa Tenggulun berinisial
M pada 13 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan saudara ipar Ali Imron berinisial MM, pada
31 Januari 2018
Hasil Wawancara dengan warga Tenggulun berinisial F pada 13 Januari
2018

124

Filantropi Islam untuk Perdamaian:
Menakar Inklusivitas LAZISNU
dan LAZISMU Cabang Daerah
Istimewa Yogyakarta
Naomi Resti Anditya

Abstrak
Penelitian ini berupaya menggali sejauh apa filantropi Islam dapat
bersikap inklusif dan mendorong perdamaian positif dengan melakukan
wawancara dan pengamatan kepada dua lembaga filantropi Islam, yaitu
LAZISNU dan LAZISMU Daerah Istimewa Yogyakarta. Inkluvitas
dalam penelitian ini mengikuti konsep modal sosial bridging dan
bonding yang dikemukakan oleh Robert Putnam. Filantropi yang
dapat melakukan upaya bridging berpotensi menjadi agen perdamaian.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa kedua lembaga filantropi Islam
tersebut cukup inklusif dalam ranah diskursif, tetapi belum sepenuhnya
inklusif dalam praktik. Upaya untuk mewujudkan inklusivitas masih
sebatas pemberian bantuan bagi umat Islam terlepas dari afiliasinya
dengan organisasi apapun dan pemberian bantuan secara massal.
Kata kunci: filantropi Islam, LAZISNU, LAZISMU, bridging social
capital, inclusiveness, peacebuilding

125
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Pendahuluan
Perdamaian adalah cita-cita yang tertera dalam seluruh agama. Agama
bukan hanya kendaraan spiritual, tetapi juga kendaraan sosial yang
membawa visi sosial, salah satunya perdamaian. Dalam definisi Johan
Galtung, perdamaian bukan hanya suatu keadaan tanpa konflik dan
kekerasan, tetapi juga suatu keadaan ketika manusia dapat terbebas
dari hambatan-hambatan yang membelenggu potensi dan kemampuan
terbaiknya. Hambatan-hambatan tersebut termanifestasi dalam rasisme,
seksisme, diskriminasi, dan kemiskinan.1 Perdamaian inilah yang disebut
oleh Galtung sebagai perdamaian positif. Agama sendiri memiliki wajah
yang ambivalen. Di satu sisi, ia memiliki misi untuk menghadirkan
perdamaian positif atas perannya sebagai pembawa pesan damai, bukan
hanya antara manusia dengan Tuhan (relasi vertikal), tetapi juga antara
manusia dan manusia lainnya (relasi horisontal). Namun di sisi lain,
agama dapat pula menjadi kendaraan bagi kekerasan. Hal ini berlaku
pada seluruh agama, tak terkecuali Islam.
Sejak peristiwa 9/11, Islam mendapat sorotan dari Dunia Barat sebagai
agama perang. Peristiwa-peristiwa terorisme selalu menjadi bahan
untuk menyalahkan agama Islam sebagai sumber dan inspirasi bagi
aksi tersebut. Dalam kenyataannya, aksi terorisme dan perang bukanlah
aksi yang hanya dilakukan oleh beberapa kelompok Islam, tetapi semua
agama. Namun pandangan bias ini melihat bahwa aksi terorisme selalu
identik dengan Islam. Di tengah sentimen Barat yang menguat terhadap
Islam, dunia Islam merespon pandangan tersebut dengan berbagai
upaya. Pertama, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai
dan dapat berjalan bersama-sama dengan modernitas dan kemanusiaan
yang universal. Kedua, semakin meneguhkan kehadiran Islam sebagai
entitas berbeda dari dunia Barat yang sekuler (atau memiliki tradisi
1 Johan Galtung, “Violence, Peace, and Peace Research,” International Peace Research,
1969, hlm. 167-191

126
Naomi Resti Anditya

Yudeo-Kristen) dan menempatkan dunia Barat sebagai ‘Yang-Lain’.


Ketiga, meyakinkan bahwa Islam memiliki tradisi dan cara berpikir
sendiri tetapi tidak menutup kemungkinan untuk koeksis dengan
Dunia Barat. Penelitian ini akan fokus pada wacana yang pertama, yaitu
bagaimana kelompok moderat Islam berusaha menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang damai, tidak menolak modernitas, serta
memiliki visi kemanusiaan yang tidak bertentangan dengan konsep
kemanusiaan yang dikembangkan di Barat.
Indonesia berada jauh dari pusat perkembangan agama Islam. Jauh
sebelum era penjajahan Barat, Indonesia (waktu itu disebut Nusantara)
didominasi oleh agama Hindu dan Buddha. Islam muncul dan mulai
dikenal di Nusantara melalui pedagang-pedagang dari jazirah Arab
dan Tiongkok. Berbeda dengan beberapa negara di Dunia Islam,
Islam di Nusantara hadir dalam keadaan yang relatif damai.2 Melalui
asimilasi dan akulturasi, Islam justru berkembang pesat di Indonesia
hingga jumlah penganutnya melebihi Hindu, Buddha, dan Kristen—
agama yang dibawa oleh penjajah pada era kolonialisme. Perkembangan
Islam di Indonesia membentuk budaya dan tradisi Islam yang ramah,
moderat, dan damai. Kemampuan Islam Indonesia untuk koeksis
dan mengakomodasi berbagai agama lain menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam demokratis terbesar di dunia. Islam arus utama
di Indonesia berusaha mendorong demokrasi dan perdamaian, serta
terlibat dan berpartisipasi dalam proses tersebut. Dengan kultur Islam
yang kuat, Indonesia tidak serta-merta menjadi negara Islam, tetapi juga
tidak menjadi negara sekuler. Islam arus utama di Indonesia berusaha
meyakinkan publik bahwa demokrasi yang dianut dapat diakomodasi
dalam Islam. Apresiasi terhadap keberagaman juga didorong dan
diperkuat dalam berbagai wacana Islam damai di Indonesia. Islam

2 Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah, and Politics in
Indonesia (daring), 2012.

127
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

moderat, dalam berbagai kanalnya, berusaha mempertahankan


kehadirannya secara simbolik, tetapi tidak pula menghilangkan
keragaman di luar dirinya.
Salah satu wujud Islam yang berkomitmen terhadap perdamaian
positif di Indonesia adalah organisasi filantropi yang berbasis agama
(faith-based philanthropy), terutama organisasi filantropi Islam (OFI).
Istilah filantropi, yaitu kegiatan berderma, memiliki padanan sendiri
yang lebih spesifik di dalam Islam, yaitu zakat. Dalam Al-Quran, zakat
termasuk dalam 5 Rukun Islam. Di dalam Islam terdapat lima pilar
utama atau disebut Rukun Islam, yaitu syahadat (pengakuan tentang
iman), salat lima waktu, zakat, puasa selama Ramadhan dan Haji
(ziarah ke Mekah sekali dalam seumur hidup untuk setiap Muslim yang
secara fisik dan finansial mampu melakukannya). Perlu ditekankan di
sini bahwa kata zakat berulang kali disebutkan di dalam Al- Quran,
dan penyebutan kata tersebut sering dipersandingkan dengan kata salat.
Hal itu menandakan bahwa Al- Quran memberikan penekanan yang
sama tentang kewajiban manusia kepada Tuhan harus diikuti kewajiban
manusia kepada sesamanya.3 Zakat bukan satu-satunya bentuk aktif
kedermawanan dalam Islam, karena ada pula kegiatan memberi
yang lain, yaitu infaq, sadaqa, dan waqf. Semuanya disalurkan untuk
kepentingan kemanusiaan. Kegiatan berderma yang memiliki akar kuat
di Islam ini menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah berkomitmen
untuk mewujudkan perdamaian positif, yaitu dengan mengupayakan
keadilan sosial. Di era reformasi Indonesia, berbagai lembaga filantropi
Islam semakin menjamur. Tidak seperti pada saat masa kepemimpinan
Soeharto, filantropi Islam menikmati kebebasan lebih luas untuk
melakukan aktivismenya4, begitu pula dengan LSM lain yang berfungsi

3 Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, Islam dan urusan Kemanusiaan: Konflik,
Perdamaian, dan Filantropi (Jakarta: ICRC, 2015)
4 Ibid

128
Naomi Resti Anditya

sebagai pendukung demokratisasi, penyeimbang kekuatan publik-privat


dalam negara, juga alternatif apabila terjadi aksi yang opresif dari negara.
Cukup jelas bahwa ajaran Islam adalah etika pendorong seseorang
untuk memberikan sebagian hartanya demi kepentingan kemanusiaan
dan perdamaian. Perdamaian sendiri menurut Galtung adalah ketika
semua orang, tanpa melihat latar belakangnya, dapat mencapai
kemampuannya yang paling penuh. Islam adalah agama yang memiliki
sisi universal sekaligus primordial, sehingga filantropinya pun dapat
memiliki dua sisi tersebut.5 Di era ini saat masyarakat cenderung
melekatkan dirinya dalam ruang primordial, menarik untuk melihat
bagaimana pemeluk Islam yang mengklaim agamanya sebagai agama
damai merespon situasi ini: semakin berusaha masuk ke dalam ruang
primordial juga atau justru merangkul ide kemanusiaan yang universal.
Pertanyaannya adalah seberapa jauh filantropi Islam berkomitmen
mewujudkan kesejahteraan yang inklusif, yang tidak hanya menyasar
kalangan Muslim saja. Mengapa pertanyaan ini penting? Karena
sebagai salah satu etika pendorong kemanusiaan terbesar, filantropi
Islam di Indonesia mungkin sekali untuk dapat menjadi jembatan
perdamaian dan berperan aktif dalam binadamai, terutama dalam
waktu ketika sentimen antaragama menguat karena tensi politik akhir-
akhir ini. Singkatnya, filantropi Islam sangat berpotensi menjadi agen
perdamaian yang aktif.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini menggunakan
studi kasus LAZISNU (Lembaga Amil Zakat Infaq Sedekah Nahdlatul
Ulama) dan LAZISMU (Lembaga Amil Zakat Infaq Sedekah
Muhammadiyah) D. I. Yogyakarta yang merupakan dua OFI dari
organisasi masyarakat Islam terbesar sekaligus ormas Islam moderat
di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

5 Ibid

129
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan dengan


metode in-depth interview kepada pengurus badan LAZISNU dan
LAZISMU Yogyakarta. Kedua filantropi Islam tersebut dipilih karena
mereka menginduk kepada dua ormas terbesar, tertua di Indonesia.
Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, ormas tersebut
secara resmi menunjukkan moderasi mereka di dalam tatanan politik
Indonesia. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Said
Aqil Siroj dengan tegas menghimbau umat Islam untuk menguatkan
nilai-nilai cinta tanah air dan nilai-nilai Islam moderat di Indonesia
yang mendorong perdamaian. Islam di Indonesia lahir dari sendi-sendi
budaya dan oleh karenanya, budaya tersebut harus tetap dijaga.6 Dengan
resonansi yang sama, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar
Nashir, juga menggemakan pesan agar umat beragama dapat bersama-
sama mewujudkan misi perdamaian yang konstruktif. Nashir juga
berpesan agar semua umat beragama menghalau ideologi ekstrimis.7
LAZISNU dan LAZISMU, meskipun belum lama berdiri, merupakan
anak dari dua ormas dengan konstituten besar Islam arus utama
di Indonesia yang sangat mungkin menjadi ormas dengan sejarah
filantropi paling tua di Indonesia. Melalui kedua lembaga tersebut, akan
didapatkan dinamika filantropi Islam dari dahulu hingga sekarang dan
kaitan dari dinamika tersebut dengan perubahan orientasi perdamaian
inklusif yang dicari dalam penelitian ini. Lokasi di Yogyakarta dipilih
karena peneliti memiliki akses yang cukup mudah untuk bertemu
dengan pengelola LAZ, tetapi juga karena Yogyakarta merupakan

6 Nahdlatul Ulama, ‘Kiai Said: Kokohkan Islam Moderat untuk Perdamaian’ (daring), 2017,
https://www.nu.or.id/post/read/83756/kiai-said-kokohkan-islam-moderat-untuk-perdamaian,
diakses 30 Januari 2018
7 Muhammadiyah, ‘PP Muhammadiyah Kembali Lakukan Kerjasama dengan
Community of Sant’Egidio’ (daring), 2017, http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-
12542-detail-pp-muhammadiyah-kembali-lakukan-kerjasama-dengan-community-of-
sant%E2%80%99egidio.html, diakses 30 Januari 2018

130
Naomi Resti Anditya

daerah dengan tingkat intoleransi cukup tinggi8—yang membuatnya


menjadi daerah strategis untuk banyak proyek perdamaian. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dengan metode
in-depth interview dengan narasumber yang sangat terbatas, yaitu dua
narasumber dari masing-masing LAZ, karena staf tiap LAZ yang
terbatas dan pekerjaan narasumber di luar LAZ membuat mereka
tidak mudah untuk ditemui di kantor setiap hari. Setiap narasumber
menempati posisi yang strategis dan mengetahui kegiatan LAZ secara
keseluruhan. Oleh karena jumlah yang tidak besar dan sifat penelitian
yang spesifik tersebut, hasil dari penelitian ini sangat mungkin tidak
mewakili karakter filantropi Islam secara umum.

Celah dalam Penelitian Sebelumnya


Filantropi Islam di Indonesia dan kaitannya dengan inklusivitas dan
perdamaian merupakan ranah yang belum banyak dieksplorasi secara
spesifik. Penelitian komprehensif tentang filantropi Islam dilakukan
oleh Amelia Fauzia dan Hilman Latief. Fauzia dalam Faith and The
State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia mendiskusikan secara
komprehensif bagaimana filantropi Islam berkembang di Indonesia
dan relasinya dengan negara. Salah satu bagian spesifik dalam bukunya
menjelaskan bagaimana filantropi Islam, meskipun memiliki akar kuat
dalam tradisi agama Islam, baru mulai dibangkitkan secara serius oleh
pendiri Muhammadiyah, yaitu KH Ahmad Dahlan, pada awal abad ke-
20 justru karena ia hendak meneguhkan identitasnya dari Yang-Lain,
yaitu filantropi Kristen yang dibawa bersama era kolonialisme. Atas basis
keberadaan Yang-Lain inilah filantropi Islam berdiri sebagai sebuah
aksi yang masif dan mulai terorganisir secara serius. Dalam konteks
sejarah tersebut, filantropi Islam bergerak bagi kepentingan umat Islam

8 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi


2014: “Utang” Warisan Pemerintah Baru (Jakarta: 2014)

131
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

saja, dengan diiringi oleh gerakan dakwah. Seiring dengan perubahan


zaman, ketiadaan kolonialisme, dan pengakuan atas keberagaman di
Indonesia, filantropi yang dijalankan oleh Muhammadiyah menjadi
filantropi yang inklusif. Orientasi ini juga dinahkodai oleh organisasi
Muhammadiyah yang menjadi salah satu ormas Islam moderat di
Indonesia, yang mendukung demokrasi.9
Latief dan Mutaqin dalam Islam dan urusan Kemanusiaan: Konflik,
Perdamaian, dan Filantropi melihat bahwa filantropi Islam, sebagai
manifestasi dari prinsip kemanusiaan Islam, bisa memiliki dua wajah
yang ambivalen: primordial dan universal.10 Dalam penelitiannya, Latief
dan Mutaqin melihat bahwa agensi kemanusiaan filantropi Islam vis-à-
vis kemanusiaan versi Dunia Barat yang lebih sekuler bisa terkontestasi
dalam medan konflik komunal atau bencana. Dukungan filantropi
Islam pada konsep kemanusiaan yang sekuler cenderung terbatas pada
aspek simbolik dan diskursif. Hal ini memengaruhi beberapa prinsip
kemanusiaan seperti imparsialitas (prinsip tidak berpihak) yang kadang-
kadang dapat membingungkan posisi filantropi Islam, terutama apabila
konflik komunal tersebut merupakan konflik antara umat Islam dan
umat dari agama lain. Bantuan kemanusiaan yang diberikan bisa jadi
menjadi tidak lagi imparsial. Di sisi lain, kelompok Muslim moderat
berusaha untuk tetap membangun jembatan antarumat untuk tetap
mempermudah proses rehabilitasi dan rekonsiliasi pascakonflik.
Barton melihat bahwa NU dan Muhammadiyah, dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia, telah menunjukkan progresivitasnya
dalam menyediakan pendidikan (sebagai bagian dari filantropi) yang
modern dan inklusif. Barton menyandingkan NU dan Muhammadiyah
dengan Gullen yang dapat menyediakan pendidikan secara modern,

9 Amelia Fauzia, Faith and The State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2013)
10 Hilman Latief dan Zezen Zaenal Mutaqin, Islam dan urusan Kemanusiaan: Konflik,
Perdamaian, dan Filantropi (Jakarta: ICRC, 2015)

132
Naomi Resti Anditya

mengedepankan nilai-nilai Islam, tetapi juga mendukung moderasi


dan pluralisme.11 Zuhri dalam rekomendasi penelitiannya memperkuat
potensi NU dan Muhammadiyah dalam menjaga perdamaian. Konteks
penelitiannya melihat peran strategis NU dan Muhammadiyah
dalam melakukan upaya deradikalisasi di Indonesia. Melalui lembaga
pendidikan, seperti pesantren di NU dan sekolah serta perguruan tinggi
di Muhammadiyah, lembaga kesehatan yang di miliki Muhammadiyah,
keduanya bisa memotong mata rantai radikalisasi melalui kepedulian
dan moderatisasi pemahaman yang sebelumnya radikal.12
Selain pustaka mengenai filantropi Islam dan inklusivitas, beberapa
pustaka lain berusaha untuk menjelaskan relasi filantropi dan
binadamai. Sidonia & Goetschel mengatakan bahwa tujuan filantropi
dan binadamai adalah sama, yaitu untuk mencapai perbaikan dalam
masyarakat, sehingga keduanya bersifat konstitutif (saling mengisi;
saling meng-ada-kan). Namun dalam banyak praktiknya, binadamai
sebagai bidang yang spesifik merupakan lahan yang tidak lebih diminati
oleh banyak filantropi dibandingkan proyek-proyek yang berorientasi
pada pembangunan fisik (developmentalism), karena hasil dari proyek
binadamai tidak mudah untuk diukur secara konkret. Filantropi yang
mau memfokuskan dirinya ke proyek-proyek binadamai pasti memiliki
orientasi nilai personal terhadap perdamaian, relasi personal dengan
proyek binadamai, dan keyakinan kuat bahwa proyek-proyek ini akan
berdampak pada perbaikan di masa depan.13

11 Greg Barton, ‘The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama: Progressive
Islamic Thought, Religious Philanthropy and Civil Society in Turkey and Indonesia’, Islam
and Christian–Muslim Relations, Vol. 25, No. 3, 2014, hlm. 287–301
12 Saefudin Zuhri, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan
Loyalitas Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Daulat Press, 2017) hlm. 158-189
13 Sidonia Gabriel dan Laurent Goestchel, ‘Motivation of philanthropists in peacebuilding:
promoting peace as personal satisfaction?’, Journal of Peacebuilding & Development, Vol.
11, No. 2, hlm. 51-65

133
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Welty melihat bagaimana Mennonite Central Committee (MCC),


yaitu filantropi berbasis agama Kristen (diakonia), dapat memfasilitasi
binadamai secara inklusif karena orientasinya semata-mata adalah
terciptanya perdamaian. Sedangkan Berger melihat dari konteks
Kanada, bahwa filantropi berbasis agama dapat melampaui batas-batas
tradisionalnya karena ada dua hal: situasi kompetitif antara aksi-aksi
sukarela; dan pengakuan negara terhadap multikulturalisme yang
asertif. 14
Melalui tinjauan pustaka tersebut, terdapat beberapa poin yang
penting untuk diamati. Pertama, pustaka tersebut menunjukkan
bahwa secara umum, filantropi Islam Indonesia yang diwakili oleh
NU dan Muhammadiyah, merupakan filantropi Islam yang ramah dan
inklusif. Namun sejarah berdirinya filantropi tersebut dimungkinkan
karena Otherness yang berusaha diteguhkan oleh mereka, yaitu sebagai
kontrahegemoni dari filantropi Kristen. Identitas ini yang membuat
posisi “inklusivitas” dalam Islam menjadi tidak cukup tegas dalam aksi.
Kedua, filantropi berbasis agama dapat menjadi pendorong terbesar
bagi perdamaian yang inklusif selama ada orientasi perdamaian dalam
visinya dan lingkungan tempatnya beroperasi merupakan tempat
yang multikultural dengan berbagai filantropi-filantropi lain yang
‘berkompetisi’.
Dua poin tersebut penting untuk digarisbawahi, tetapi penting untuk
diperhatikan bahwa pustaka-pustaka tersebut hanya menyinggung
inklusivitas dari filantropi Islam dalam porsi yang sedikit dan masih
belum banyak dieksplorasi. Penelitian ini hendak mengisi celah
tersebut dengan berusaha menakar sejauh apa filantropi Islam yang
diwakili oleh NU dan Muhammadiyah menjadi filantropi yang inklusif,

14 Emily Welt, ‘Faith-Based Peacebuilding and Development: An Analysis of the Mennonite


Central Committee in Uganda and Kenya’, Journal of Peacebuilding and Development,
Vol. 9, No. 2, hlm. 65-70

134
Naomi Resti Anditya

selayaknya tujuan dari perdamaian itu sendiri. Latief telah meneliti


bagaimana filantropi Islam ‘berinteraksi’ dengan filantropi lain dan
penerima bantuan di medan konflik, sedangkan penelitian ini akan
berusaha untuk mengeksplorasi bagaimana filantropi Islam melakukan
aktivismenya sehari-hari dalam program-program umum untuk dapat
memperlihatkan konsistensi pola inklusivitas maupun eksklusivitas
dalam program reguler mereka.

Landasan Konseptual
Penelitian ini akan menggunakan beberapa konsep yang akrab dalam
studi perdamaian. Filantropi Islam, sebagai misi sosial dari agama, akan
diperlakukan sebagai agen dari perdamaian. Konsep perdamaian Johan
Galtung merupakan salah satu konsep yang sangat berperan dalam
penelitian. Peneliti ulung dalam bidang perdamaian, Johan Galtung,
memperkenalkan istilah negative peace dan positive peace sejak tahun
1969. Sebelum Galtung, orang melihat perdamaian hanya sebagai situasi
ketiadaan perang atau koersi dari negara dalam bentuk yang militeristik
yang disebut Galtung ‘perdamaian negatif ’. Galtung memperluas
konsep perdamaian dengan menyebutkan perdamaian positif, yaitu
perdamaian yang berdasar pada ‘integrasi umat manusia’.15 Istilah
‘integrasi manusia’ selanjutnya disebut sebagai ketiadaan ‘kekerasan
struktural’ sebagai respon atas ‘kekerasan langsung’ atau ’kekerasan fisik’
yang biasa menjadi referensi atas perang.
Integrasi umat manusia dapat diwujudkan apabila manusia dapat
mencapai potensinya secara penuh. Namun manusia tidak akan
mencapainya apabila ada hambatan-hambatan yang menghalanginya
mencapai kemampuan tersebut. Galtung menyebut hambatan ini sebagai
kekerasan struktural. Kekerasan struktual ini dapat dijabarkan oleh

15 Johan Galtung, ‘Violence, Peace, and Peace Research,’ International Peace Research, 1969,
hlm. 167-191

135
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Galtung karena pertama-tama ia melihat adanya jurang ketimpangan


antara negara-negara di Utara dan di Selatan (North-South) yang
diciptakan oleh sejarah penjajahan dan kapitalisme global atau
imperialisme.16 Struktur yang timpang ini telah memengaruhi interaksi
manusia yang dihambat oleh klasifikasi berdasarkan keadaan sosio-
ekonomi dengan standar Barat yang timpang. Kekerasan struktural
termanifestasi dalam kemiskinan, hegemoni oleh satu pihak yang
represif, pengambilan hak-hak politik, pengambilalihan akses terhadap
sumber daya, diskriminasi, rasisme, seksisme, dan lain-lain. Kekerasan
struktural tidak selalu terlihat menyengsarakan secara fisik seperti
perang, dan tidak selalu terlihat jelas (apparent). Akan tetapi kekerasan
struktural ini jelas ada dan dapat menjadi bahaya laten bagi terciptanya
perdamaian positif. Bertolak dari gagasan Galtung, maka perjuangan
perdamaian sesungguhnya merupakan perjuangan menyatukan
umat manusia dengan menghapuskan hambatan-hambatan yang
menghalangi manusia mencapai potensi tertingginya.
Karya dari Johan Galtung menginspirasi aksi-aksi binadamai
(peacebuilding). Melalui pemahaman akan perdamaian positif, maka
cara-cara untuk menghapuskan konflik dan kekerasan yang destruktif
harus menyasar pada masalah akarnya (root cause), bukan hanya pada
masalah di luarnya.17 Masalah-masalah akar inilah yang menjadi basis
dari aksi binadamai. Struktur binadamai harus mendukung manajemen
perdamaian dan resolusi konflik yang meliputi aspek-aspek yang luas
dan multidimensi. Dalam kata lain, urusan perdamaian bukan lagi
urusan bagaimana menyelesaikan perang, tetapi juga membangun situasi
politik, hukum, ekonomi dan institusi masyarakat yang memungkinkan
manusia untuk hidup sejahtera dan damai.

16 Johan Galtung, ‘A Structural Theory of Imperialism’, Journal of Peace Research, 1971,


hlm. 81-94
17 Cedric D. Coning, ‘Understanding Peacebuilding as Essentially Local’, Stability:
International Journal of Security and Development, Vol. 2, No. 1, 2013

136
Naomi Resti Anditya

Dalam pekerjaan binadamai, masyarakat madani (civil society) merupakan


salah satu elemen yang sangat penting. Ia memiliki kapasitas untuk
dapat mengontrol pemerintah, memberikan akses bagi masyarakat
ketika pemerintah di suatu negara tidak mampu memberikan atau tidak
mau memberikan. Filantropi Islam sebagai civil society juga memiliki
kapasitas tersebut. Ia mendukung struktur binadamai karena ia
membantu memberikan akses alternatif bagi masyarakat yang hendak
mencapai potensi penuhnya tetapi terhambat oleh kekerasan struktural
yang dilakukan oleh negara.
Selain Galtung, konsep lain yang akan digunakan sebagai pisau analisis
dalam penelitian ini adalah konsep inklusivitas dalam modal sosial (social
capital) yang dibahas oleh Robert D. Putnam. Dalam bukunya yang
berjudul Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community,
Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai “the connections among
individuals’ social networks and the norms of reciprocity and trustworthiness
that arise from them.” Modal sosial dibayangkan sama bernilainya seperti
modal finansial, tetapi wujudnya adalah manusia, jejaring, prinsip
timbal-balik, dan kepercayaan. Semua berkaitan dengan sejauh apa
manusia dapat memiliki elemen-elemen tersebut. Di buku tersebut,
Putnam mengamati bahwa modal sosial yang dimiliki oleh Amerika
Serikat pada tahun 1900 hingga 1960 meningkat, dapat terlihat
dalam keterlibatan masyarakat yang besar dalam berbagai peristiwa
politik. Namun sejak 1970an, modal sosial itu menurun. Situasi ini
menyebabkan meningkatnya masalah sosial di Amerika Serikat, mulai
dari pendidikan yang tidak efektif, kemiskinan, keterbatasan eknomi,
hingga konflik sosial antarindividu maupun antarkelompok. Putnam
hendak memberikan cara-cara untuk mengembalikan modal sosial
tersebut.18

18 Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community
(New York: Touchstone Book, 2000)

137
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Bagian dari penjelasan Putnam yang akan digunakan dalam penelitian


ini adalah bagaimana Putnam mendiskusikan dua jenis modal sosial
yang paling penting, yaitu bonding dan bridging. Bonding adalah
modal sosial yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking) dan
cenderung mendorong identitas yang eksklusif, misalnya kelompok-
kelompok berbasis subnasional (suku, agama, organisasi fraternal). Di
sisi lain, jenis bridging adalah jenis modal sosial yang berorientasi keluar
(outward looking) dan berusaha untuk melibatkan orang dari berbagai
latar belakang sosial yang berbeda-beda. Contoh dari bridging adalah
gerakan masyarakat sipil (civil rights movement) atau kelompok pelayanan
pemuda. Menurut Putnam, apabila modal sosial ini menurun, maka
secara signifikan masalah-masalah sosial akan semakin banyak, karena
modal sosial memiliki beberapa karakter yang dapat “menerjemahkan
aspirasi menjadi kenyataan”. Putnam menjelaskan kelima karakter
tersebut. Pertama, modal sosial membuat masalah kolektif menjadi lebih
mudah untuk diselesaikan, karena akan ada pertentangan antarkelompok
yang lebih sedikit, sehingga ia dapat menngkatkan lingkungan yang
lebih aman, bersahabat, dan produktif. Kedua, ia membuat transaksi
bisnis menjadi lebih mudah, karena orang saling percaya satu sama
lain. Hasilnya adalah kesejahteraan ekonomi dapat meningkat. Ketiga,
modal sosial memperluas kesadaran kita tentang kesalingterhubungan.
Ia dapat meningkatkan kualitas institusi sipil dan demokrasi. Keempat,
modal sosial membantu meningkatkan aliran informasi yang dapat
meningkatkan produksi pendidikan dan ekonomi. Kelima, modal sosial
meningkatkan kesehatan dan kebahagiaan manusia, baik dalam proses
psikologi maupun biologis, karena keduanya membutuhkan kontak
manusia.19
Senada dengan Putnam, seorang peneliti bernama Ashutosh
Varshney dalam Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims
19 Ibid

138
Naomi Resti Anditya

in India mendiskusikan bagaimana jaringan antarkomunitas, alih-alih


intrakomunitas, yang lebih berperan menciptakan perdamaian. Dengan
melihat India, Varshney membuktikan bahwa daerah-daerah yang
memiliki modal sosial bridging lebih besar (antara Hindu-Muslim) di
India cenderung menjadi daerah yang lebih aman dan damai daripada
yang modal sosial bonding-nya lebih besar. Varshey hendak mendorong
jejaring kehidupan kewargaan (civil life network) yang lebih kuat.20
Dalam penelitian ini, konsep bridging social capital berguna untuk
menjadi “standar” bagaimana filantropi Islam berkomitmen terhadap
perdamaian positif dan inklusif. Filantropi Islam, dalam hal ini adalah
LAZISNU dan LAZISMU, menjadi filantropi yang inklusif apabila
ia dapat melakukan bridging antarkomunitas; tidak hanya ia memberi
bantuan secara terbuka bagi semua orang, tetapi juga bekerja sama
dengan masyarakat maupun LSM lain yang bisa saja tidak berasal dari
latar belakang keIslaman yang sama. Hal ini dilandasi kepercayaan
bahwa apabila filantropi Islam membuka bantuannya untuk semua
orang yang membutuhkan tanpa melihat latar belakang primordialnya,
maka filantropi Islam benar bisa menjadi agen perdamaian.
Terlepas dari penekanan pada bridging dalam penelitian ini, modal
sosial bonding tidak serta-merta menjadikan filantropi Islam sebagai
badan yang eksklusif dan tertutup sama sekali. Pada kenyataannya,
ada banyak faktor yang membuat mengapa filantropi berbasis agama
memberikan bantuan bagi kelompok yang terpilih, salah satunya adalah
karena kedekatan secara kultural (cultural proximity). Hal ini merupakan
sesuatu yang cukup wajar dalam berbagai institusi. Putnam sendiri tidak
mengatakan bahwa modal sosial bonding menjadi sia-sia, karena baik
bonding ataupun bridging dibutuhkan dalam kehidupan kewargaan.

20 Ashutosh Varshney, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India
(Connecticut: Yale University Press, 2003)

139
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Akan tetapi, modal sosial bridging merupakan salah satu modal sosial
yang penting apabila demokrasi dan perdamaian hendak diperkuat.

Filantropi LAZISNU-NUCARE Daerah Istimewa


Yogyakarta
Lembaga Amil Zakat Infaq Sedekah Nahdlatul Ulama adalah lembaga
yang berada di bawah naungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, salah
satu organisasi Islam tertua dan terbesar di Indonesia. LAZISNU
berdiri pada tahun 2004 “sebagai sarana untuk membantu masyarakat,
sesuai amanat muktamar NU yang ke-31 di Asrama Haji Donohudan,
Boyolali, Jawa Tengah.”21 Sebagai lembaga filantropi, LAZISNU
terbilang muda, terutama di dalam dunia filantropi Islam yang sudah
mulai bangkit pada tahun 1990an, namun filantropi dalam NU sendiri
sudah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka.
NU, yang artinya secara harfiah adalah ‘kebangkitan ulama’, merupakan
organisasi Islam dari sayap ‘tradisional’. Berdirinya NU dapat ditelusuri
pada awal abad ke-20 ketika ulama-ulama tradisional mengorganisasi
diri mereka dan membentuk NU pada tahun 1926. Terbentuknya NU
dapat dikatakan sebagai sebuah reaksi terhadap gerakan Islam yang
modernis dan reformis. KH. Hakim ‘Asy’ari adalah founding father
dari NU, seorang ulama tradisional yang disegani sekaligus kepala
pesantren di Tebuireng. Perjalanan organisasi NU dibiayai oleh anggota
atau simpatisan Nahdliyin.22 Sekarang NU adalah organisasi Islam
yang terbesar di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, petinggi NU
selalu merujuk filantropi yang dilakukan oleh founding father dan warga
NU sebagai filantropi Islam Nusantara—sebuah istilah yang berarti

21 NU Care-LAZISNU, ‘Tentang Kami’ (daring), https://nucarelazisnu.org/, diakses 29


Januari 2018
22 Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah, and Politics in
Indonesia (daring), 2012.

140
Naomi Resti Anditya

Islam yang hadir dari sendi-sendi budaya di Indonesia dan menerima


perbedaan.23
Warisan dari sejarah filantropi Nahdlatul Ulama yang paling terlihat
adalah pesantren, yaitu institusi pendidikan Islam di desa yang dipimpin
oleh kyai. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf warga Nahdliyin disalurkan
paling banyak untuk perkembangan pesantren. Melalui pesantren inilah,
orang-orang Muslim yang tinggal di daerah tersebut memberikan zakat
mereka ke kyai. Sampai sekarang, kebiasaan memberikan zakat ke kyai
masih ada di desa-desa di Indonesia. Pesantren, institusi pendidikan
dari filantropi NU, menjadi medium yang penting bagi NU untuk
mendiseminasikan nilai-nilai keislamannya.24
Meskipun ‘warisan’ dari filantropi NU di bidang pendidikan sudah
terlihat, namun kebangkitan signifikan dalam filantropi NU adalah
pendirian LAZISNU sebagai lembaga filantropi. Berbeda dengan
kegiatan kedermawanan Islam (charity) biasa yang sifatnya lebih
personal, filantropi seperti LAZIS berfungsi untuk merumuskan
gagasan, program, mengukur keberhasilan, dan juga melaporkan dana-
dana ZIS yang terkumpul dari umat. LAZIS dapat dikatakan sebagai
bentuk modern dari kegiatan berderma dalam Islam. Pada tahun
2016, LAZISNU berhasil mengumpulkan 50 miliar dan dana tersebut
disalurkan pada kelompok-kelompok yang paling membutuhkan.
NU CARE sendiri merupakan “rebranding sebagai pintu masuk agar
masyarakat global mengenal Lembaga Ambil Zakat, Infak, dan Sedekah
Nahdlatul Ulama.” Sekarang NU CARE memiliki jaringan pelayanan
dan pengelolaan ZIS di 12 negara, 34 provinsi, dan 376 kabupaten/
kota di Indonesia. Sistem informasi dan layanannya semakin mengikuti

23 Nahdlatul Ulama, ‘NU-Care Presentasikan Filantropi Islam Nusantara pada Kader PMII’
(daring), http://www.nu.or.id/post/read/77611/nu-care-presentasikan-filantropi-islam-
nusantara-pada-kader-pmii-, diakses 30 Januari 2018
24 Amelia Fauzia, Faith and The State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia
(Leiden: Brill, 2013)

141
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

perkembangan zaman dengan berusaha memberikan informasi real-


time pada audiens.
Untuk mendapatkan informasi mengenai LAZISNU Yogyakarta,
saya bertemu dengan Bapak Yazid Afandi25 dan Saudara Mamba’ul.26
Bapak Yazid adalah Direktur LAZISNU Yogyakarta, sedangkan
Mamba’ul adalah Direktur Program merangkap Sekretaris LAZISNU
Yogyakarta. LAZISNU DIY berdiri pada tahun 2006, 2 tahun setelah
LAZISNU didirikan. Berkaitan dengan berdirinya LAZISNU yang
relatif baru dalam dunia filantropi Islam di Indonesia, Bapak Yazid
memiliki penjelasan menarik. Ia mengatakan bahwa NU sebenarnya
tidak cukup kuat secara kelembagaan, begitu pula dengan filantropinya.
Kekuatan filantropi NU ada di individu Nahdliyin-nya. Menurut Bapak
Yazid, beberapa pemberdayaan warga NU dilakukan secara personal
oleh individu-individu tertentu yang mampu. Banyak warga NU yang
mendirikan pesantren dengan kemampuan pribadinya, tetapi tidak
melalui NU sebagai lembaga.
Karena kekuatannya ada secara perseorangan, maka hingga saat ini,
LAZISNU masih berusaha menciptakan sistem yang baik sebagai
lembaga filantropi. Dalam wawacara, ia mengatakan, “secara sistem, kami
belum matang. Tetapi secara gerakan sudah oke.” Menurut Bapak Yazid,
tidak mudah untuk menyepakati suatu sistem dalam LAZISNU karena
“orang pintarnya banyak”. Maksudnya, di NU ada banyak orang yang
berpegang kuat pada argumen dan pandangan personal, sehingga tidak
mudah mencapai satu keputusan bersama. Selain itu, penting untuk
digarisbawahi bahwa pengurus LAZISNU DIY bukanlah orang-

25 Bapak Yazid Afandi adalah Ketua LAZISNU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Desember 2017 di kediaman Bapak Yazid Afandi.
Beliau secara sukarela membantu mengelola LAZISNU DIY disamping pekerjaannya
sebagai pengajar di UIN Sunan Kalijaga
26 Saudara Mamba’ul adalah Sekretaris LAZISNU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Direktur Operasional. Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Januari 2018 di kediaman
Saudara Mamba’ul. Beliau secara sukarela membantu mengelola LAZISNU DIY
disamping pekerjaannya di agen percetakan.

142
Naomi Resti Anditya

orang yang secara profesional adalah alim, melainkan warga NU yang


mengabdi di bidang filantropi. Hal ini menjadi sesuatu yang penting
untuk diperhatikan, karena di LAZISMU Yogyakarta, seluruh stafnya
adalah staf profesional yang datang setiap hari bekerja di LAZISMU.
Fakta ini dapat menjadi cerminan dari apa yang dikatakan oleh Bapak
Yazid sebagai “sistem yang belum matang” bagi LAZISNU secara
kelembagaan.
Dengan konteks tersebut, NU berusaha menggerakkan dana umat
dari bawah ke atas dengan cara menggerakkan kader-kader NU yang
ada di tingkat kecamatan, atau disebut sebagai MWC (Majelis Wakil
Cabang). Bapak Yazid mengatakan bahwa saat ini pengkaderan NU di
DIY dilakukan cukup masif di tingkat MWC, sehingga kader-kader
tersebut yang dapat mengumpulkan dana ZIS dari umat-umat di
sekitar. Program utama LAZISNU saat ini adalah memaksimalkan dana
filantropi masyarakat. Fungsi LAZIS di bawah Pengurus Wilayah NU
(dijelaskan sebelumnya di atas) adalah sebagai bagian yang melakukan
konsolidasi MWC-MWC di pusat daerah.
MWC NU di kecamatan inilah yang menjalankan program-program
filantropi. LAZISNU PW—istilah sederhana untuk menyebut
LAZISNU DIY yang ditugaskan kepada Bapak Yazid—memang
berusaha menyentuh di tataran kebijakan; yaitu merumuskan gagasan
dan program-program yang baik untuk dilakukan. Namun pengerjaan
ada di tangan kreatif MWC. Bapak Yazid menjelaskan bagaimana
MWC di Bantul bisa menyediakan layanan ambulan gratis dengan
memaksimalkan dana umat yang dikumpulkan di masjid-masjid NU
di daerah tersebut. Di Kulonprogo, MWC dapat mendanai beberapa
orang untuk beternak ayam (program kewirausahaan) dengan uang
yang dikumpulkan dari umat.

143
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Ketika ditanya seberapa beragam penerima bantuan dari LAZISNU


(melalui MWC-MWC), Bapak Yazid menjawab demikian:
“Sebenarnya dalam tataran policy, kita… apa… mengikuti, walaupun
harus mengikuti mazhab tertentu ya, saya sejak awal ya, sejak awal
menekankan, bahkan sejak periode dulu, bahwa dana LAZIS itu
yang menikmati bukan hanya orang Muslim. Dari sisi policy. Ehm....
Termasuk pemaknaan dari mustahik, dari delapan asnaf. 8 asnaf itu
sebenarnya, ehm… itu tidak terfokus pada orang Muslim, dari sisi
policy. Dari sisi semangatnya. Cuma karena memang ada keterbatasan,
ya kita prioritaskan yang warga kita. Tetapi sebenarnya itu kan
skala prioritas, bukan karena satu komitmen. Nggak, komitmennya
tetap. Kemanusiaan itu siapapun ya. Cuma karena kemampuannya
itu terbatas, khususnya pada penyaluran dana-dana dampingan
ya, dana-dana produktif maksud saya, dana-dana yang digunakan
untuk masyarakat… untuk hak mereka… sangat terbatas. Maka ada
skala prioritas. Tapi kalau memang bisa digunakan untuk… ini…
apa… secara umum, ya tentu ngga terbatas itu… Karena ambulan,
misalnya… Kok tetanggganya non-Muslim ada yang meninggal
seperti itu, ya kita siap. Ya maka pada sisi itu, apa yang bisa dilakukan
untuk yang tidak se-golongan dengan kita, kita berikan. Cuma…
tadi, karena persoalan kemampuan yang sangat terbatas itu, kita
gunakan skala prioritas. Jadi, ehm, saya termasuk yang apa ya…
yang sependapat bahwa Islam itu harus terbuka ya… Tidak…
Islam itu tidak hanya untuk orang Islam, tidak eksklusif. Islam
itu untuk umat… termasuk untuk penyaluran zakat. Pemanfaatan
zakat itu siapa itu… itu harus terbuka. Cuma karena kemampuan
masih terbatas, baru ada skala prioritas. Saya kira wajar kalau kita
menempatkan seperti itu.”

Dalam penjelasan tersebut, Bapak Yazid beberapa kali menegaskan


bagaimana ia selalu menekankan pentingnya memberi tidak hanya bagi
orang-orang Muslim, tetapi bagi semua orang, termasuk yang orang-
orang non-Muslim. Tetapi visi dan komitmen ini masih terbatas pada
bantuan yang sifatnya massal dan tidak produktif, misalnya seperti
dicontohkan adalah penyediaan layanan ambulans untuk siapa saja
yang membutuhkan. Dana-dana produktif yang diukur dan dipantau

144
Naomi Resti Anditya

orang per orang belum pernah diberikan kepada orang-orang selain


dari kelompok Muslim. Apabila melihat dari pernyataan Bapak Yazid,
maka dapat disimpulkan bahwa secara diskursif, LAZISNU memiliki
target untuk memberikan bantuan secara terbuka pada siapa saja,
tetapi pada praktiknya, ada prioritas yang diberikan kepada orang-
orang Muslim. Ketika Bapak Yazid mengatakan “Saya kira wajar kalau
kita (LAZISNU) menempatkan seperti itu” maka pernyataan ini dapat
merujuk ke kedekatan kultural (cultural proximity) yang khas dalam
dunia Islam. “Kultural” menurut Benthall, merupakan eufemisme dari
“religius”. Menurut Benthall, kedekatan kultural dalam pemberian
bantuan yang paling khas di Dunia Islam ini dipengaruhi oleh konsep
ummah atau komunitas Muslim transnasional.27 “Skala prioritas” yang
dimaksud oleh Bapak Yazid juga menunjukkan sensitivitas kultural
dalam filantropi LAZISNU bagi warna NU sendiri. Ini ditekankan
dalam pernyataannya ketika Bapak Yazid menjawab apakah LAZISNU
memberikan bantuan bagi narapidana dan narapidana terorisme. Bapak
Yazid menjawab,
“Untuk napi teroris itu sudah banyak orang yang mengambil kavling
itu. Yayasan-yayasan nasional maupun internasional itu sudah banyak
yang mengambil kavling itu. Nah sementara masyarakat-masyarakat
bahwa itu… lha ya… dan itu warga NU ya… Ya itu banyak yang
tidak cover itu... Cara Jawane ora kemedol iku [dalam istilah Bahasa
Jawa, artinya “tidak terjual”]. Tidak bisa disetting program dicarikan
duit itu tidak bisa. …. Maka kita ambil kavling yang ini… yang
betul-betul, dalam tanda kutip, terlupakan oleh publik.”

Pernyataan ini menunjukkan bagaimana LAZISNU berusaha untuk


memiliki visi yang dekat dengan NU itu sendiri: menyejahterakan
kehidupan warganya. Melalui wawancara dengan Bapak Yazid, terlihat
bahwa bonding adalah hal yang penting dan menjadi ‘praktik utama’

27 Jonathan Bentall, ‘Have Islamic aid agencies a privileged relationship in majority Muslim
areas? The case of post-tsunami reconstruction in Aceh’, Journal of Humanitarian
Assistance, 2008.

145
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

dalam LAZISNU DIY, tetapi di sisi lain, LAZISNU juga menyadari


pentingnya filantropi Islam untuk terbuka pada seluruh kelompok,
termasuk kelompok non-Muslim.
Hal yang berbeda didapatkan ketika saya melakukan wawancara
kepada Saudara Mamba’ul sebagai Sekretaris dan Direktur Program
LAZISNU DIY. Sebagai seseorang yang lebih banyak turun ke lapangan
dibandingkan Bapak Yazid, Saudara Mamba’ul cukup memperhatikan
berjalannya program-program dari berbagai MWC di Yogyakarta.
Ketika ditanya mengenai keragaman penerima, Mamba’ul mengatakan
demikian,
“Konsep dari zakat itu sendiri kan mengandung 8 asnaf tadi. 8
asnaf itu, ehm, untuk zakat ini otomatis persyaratannya harus Islam.
Untuk yang zakat… berarti harus Islam. Tetapi kami tidak pernah
menanyakan apakah jenengan [kamu] dari orang NU atau orang
Muhammadiyah. Dari Islam yang mana atau bagaimana. Praktiknya
penerima bantuan kami rata-rata tidak punya kartu NU. Bahkan ada
juga yang orang Muhammadiyah. Artinya kami ini tidak melihat
mereka orang NU atau Muhammadiyah atau dari golongan yang
lain. Memang ketika kami survei [ternyata] layak, ya kami beri.
Seperti itu.”

Pernyataan dari Saudara Mamba’ul cukup berbeda dengan Bapak Yazid


ketika ia mengatakan bahwa zakat dalam delapan asnaf hanya diberikan
untuk orang Islam. Perbedaan pandangan ini menarik karena itu berarti
ada semangat inklusivitas yang lebih besar di ranah kebijakan, tetapi
karena tidak pernah terwujud dalam praktik, maka semangat atau
roh inklusivitas tadi tidak tereifikasi dalam pengabdi di LAZISNU.
Saya bertanya kepada Bapak Yazid, apakah ada perumusan bersama
di LAZISNU se-Indonesia atau minimal LAZISNU DIY mengenai
pemaknaan mustahik dalam delapan asnaf. Ia mengatakan bahwa
perumusan tersebut tidak pernah dilakukan. Sekali lagi, ia mengatakan
bahwa “belum dirumuskan saja sudah terlalu banyak orang pintar di

146
Naomi Resti Anditya

NU”. Artinya, belum ada usaha struktural di NU untuk memaknai asnaf


secara modern. Kemungkinan besar banyak orang di LAZISNU sadar
bahwa pemaknaan asnaf tidak tertutup, tetapi usaha ini tidak diangkat
dalam forum bersama.
Selain mewawancarai pengurus sebagai representasi dari wacana
yang dibangun oleh lembaga itu sendiri, saya juga melihat aktivitas
LAZISNU melalui laporan program dan laporan keuangan. Pada
tahun 2017, LAZISNU berhasil mengumpulkan dana zakat sebesar
Rp344.281.927,00 dan dana infaq sebesar Rp2.223.623.734,27. Jumlah
ini merupakan jumlah yang sangat besar. Sesuai dengan penjelasan
Mamba’ul bahwa LAZISNU “gerakannya lebih sporadis tetapi hasilnya
tidak begitu kelihatan.” Dana yang besar ini juga didukung oleh
kekuatan warga NU yang besar pula di daerah-daerah pedesaan di
DIY. Seluruh dana ini disalurkan ke dalam berbagai macam kegiatan,
namun program utama LAZISNU-NUCARE DIY ada tiga macam:
NU Care, NUpreneur, dan NU Smart. Sesuai dengan namanya masing-
masing, NU Care adalah program-program yang menyalurkan dana
bantuan bagi korban bencana, baik bencana alam maupun bencana
kemanusiaan seperti perang atau konflik-konflik komunal. NUpreneur
adalah program-program yang menyalurkan dana bantuan untuk
pemberdayaan umat, biasanya adalah pemberdayaan ekonomi melalui
bantuan modal usaha. Sedangkan NU Smart adalah program-program
yang menyalurkan dana bantuan untuk pendidikan, baik pendidikan
formal maupun pendidikan pesantren. Semuanya diberikan kepada
kaum dhuafa. Menurut Mamba’ul, amanah dari LAZISNU Pusat adalah
memperbanyak porsi bantuan untuk program NUpreneur, yaitu sebanyak
60%, karena saat ini LAZISNU memiliki tujuan utama pemberdayaan
umat dan meningkatkan kemandirian umat. Kegiatan-kegiatan yang
diturunkan dari program NUpreneur ada berbagai macam, di antaranya
adalah ternak kambing, ternak ayam, pengrajin keripik, dan angkringan.

147
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

LAZISNU memberikan modal (yang tidak selalu berupa uang) bagi


keluarga miskin untuk mengembangkan usaha-usaha tersebut. NU
Care yang diberikan kepada korban bencana mengonsumsi dana paling
banyak, karena dalam beberapa waktu terakhir, daerah-daerah di DIY
kerap terdampak bencana, misalnya bencana banjir yang cukup serius
beberapa waktu lalu. Sedangkan NU Smart memiliki program subsidi
biaya pendidikan masyarakat miskin, baik mereka yang bersekolah di
sekolah formal maupun di pesantren. Mamba’ul mengatakan bahwa
sejauh ini program-program tersebut memang selalu menyasar ke umat
Islam, meskipun tidak semuanya adalah warga NU. Tetapi program NU
Care sebagai dana bantuan pascabencana, tidak melihat latar belakang
penerima.
Saya juga berusaha melihat filantropi LAZISNU Pusat untuk
mendapatkan gambaran konsisten diskursif dan praktik di dalam
LAZISNU Daerah dan Pusat. Sepanjang tahun 2017, LAZISNU
secara nasional berhasil menghimpun dana 16,7 miliar rupiah. Seperti
LAZISNU Wilayah DIY, dana tersebut paling banyak disumbangkan
untuk korban bencana dan untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Prioritas bagi kemandirian ekonomi dan pemberdayaan umat tercermin
jelas dalam program dan kegiatan-kegiatan NUpreneur.28
Bicara mengenai inklusivitas dalam penyaluran dana bantuan, terdapat
salah satu kegiatan gagasan LAZISNU yang inklusif, yaitu bantuan
kesehatan untuk penduduk di Asmat, Papua. Pada Januari 2018,
diberitakan bahwa terjadi wabah campak di Asmat. Wabah dan gizi
buruk yang lama terjadi pada penduduk Asmat mengakitbatkan 61 anak
meninggal dunia. Menanggapi hal ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
mengirimkan relawan kesehatan ke Asmat. Relawan tersebut merupakan

28 Republika, ‘Gelar Rakornas, NU Care-Lazisnu Bahas Kemandirian Ekonomi NU’ (daring),


2018, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/18/01/30/p3ch71313-gelar-
rakornas-nu-carelazisnu-bahas-kemandirian-ekonomi-nu, diakses 31 Januari 2018

148
Naomi Resti Anditya

perwakilan dari NU Care-LAZISNU, Lembaga Penanggulangan


Bencana dan Perubahan Iklim (LBPI-NU), dan dokter dari Lembaga
Kesehatan NU (LK-NU).29 Warga di Asmat sendiri didominasi oleh
agama Kristen. Menurut Sekjen PBNU Ahmad Helmy Faishal Zainy,
mengirimkan relawan kemanusiaan ke Asmat adalah “bagian dari terus
merekatkan ukhuwah wathaniyah (ikatan kebangsaan) sebagai entitas
bangsa Indonesia.”30 Meskipun penerima bantuan tidak berasal dari umat
Islam, tetapi ia membayangkan bahwa ini adalah bentuk solidaritas bagi
saudara sebangsa. Bantuan LAZISNU ke Asmat merupakan salah satu
upaya dari bridging antarkomunitas. Dalam bridging tersebut, kentara
bahwa batas-batas dalam identitas pada dimensi ethnic menghilang
untuk kepentingan civic yang lebih luas.

Filantropi LAZISMU Daerah Istimewa Yogyakarta


LAZISMU adalah lembaga filantropi yang berada di bawah naungan
organisasi Islam Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah memiliki
beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan. Muhammadiyah didirikan
oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 1912. Kota Yogyakarta
menjadi salah satu basis pendukung Muhammadiyah terbesar. KH.
Ahmad Dahlan terinspirasi dari Muhammad ‘Abduh dan Rashid
Rida untuk membawa Islam yang lebih reformis. Muhammadiyah
mempromosikan ijtihad, yaitu penafsiran individu atas Al-Quran
dan Sunnah. Prinsip ini berbeda dengan NU yang lebih menekankan
pada taqlid, yaitu penerimaan penafsiran Al-Quran sebagaimana
diberikan oleh para ulama.31 Sejak berdirinya, Muhammadiyah

29 Nahdlatul Ulama, ‘Wabah Campak dan Gizi Buruk, NU Segera Berangkatkan Relawan
ke Asmat’ (daring), 2018, https://www.nu.or.id/post/read/85335/wabah-campak-dan-gizi-
buruk-nu-segera-berangkatkan-relawan-ke-asmat, diakses 31 Januari 2018
30 Muslimoderat, ‘Jihad, Kemanusiaan NU untuk Asmat Papua Diberangkatkan Besok’
(daring), 2018, < http://www.muslimoderat.net/2018/01/jihad-tim-kemanusiaan-nu-untuk-
asmat.html>, diakses 31 Januari 2018
31 Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006)

149
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

sendiri mencampurkan pendidikan agama dan pendidikan sekuler.


Ini adalah upayanya untuk menciptakan komunitas Islam yang lebih
modern dan tidak mencampurkan keyakinan Islam dengan tradisi lokal
(praktik-praktik sinkretisme). Prinsip ini juga berbeda pula dengan
NU yang berusaha untuk tidak mengadopsi tradisi puritanisme seperti
Muhammadiyah, karena NU memiliki corak sufistik yang dekat dengan
spiritualitas tradisional, khususnya Jawa. Meskipun berbeda, namun
Muhammadiyah juga konsisten mendukung toleransi umat beragama
di Indonesia dan menerima keberagaman. Kedua organisasi tersebut
disebut sebagai dua organisasi Islam moderat di Indonesia, yang terus
menggelorakan semangat kebangsaan.
Sama dengan LAZISNU dalam Nahdlatul Ulama, LAZISMU
dalam Muhammadiyah juga merupakan lembaga yang relatif baru,
yang berdiri tahun 2016. Akan tetapi filantropi yang dijalankan oleh
Muhammadiyah sama tuanya dengan berdirinya Muhammadiyah
itu sendiri. Sejak berdirinya hingga saat ini, Muhammadiyah selalu
fokus dalam pelayanan sosial dan pendidikan. KH Ahmad Dahlan
sendiri selalu menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu sosial. Dalam
berbagai khotbahnya, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya
mengentaskan kemiskinan. Muhammadiyah melakukan reformasi
dalam praktik zakat dengan membuat badan yang bertanggung
jawab terhadap zakat. Ini adalah upaya awal modernisasi pengelolaan
zakat. Hingga sekarang, Muhammadiyah tidak pernah masuk dalam
politik praktis, meskipun banyak dari anggota Muhammadiyah yang
mendukung Partai Amanat Nasional (PAN), partai yang dibentuk
oleh cendekiawan Muhammadiyah, Amien Rais, tetapi PAN tidak
pernah secara resmi memiliki afiliasi dengan Muhammadiyah. Secara

150
Naomi Resti Anditya

konsisten, Muhammadiyah menaruh perhatian yang lebih berat pada


isu kesejahteraan sosial.32
Filantropi Muhammadiyah mulai aktif berdekatan dengan berdirinya
Muhammadiyah itu sendiri, yaitu sejak 1913. Sejak tahun 1913,
Muhammadiyah aktif menyelenggarakan pendidikan Islam. Pada
1919, dengan dukungan guru-guru dari organisasi nasionalis Boedi
Oetomo, Muhammadiyah mendirikan sekolah Islam Hooge School
Muhammadiyah. Muhammadiyah berusaha melakukan modernisasi
institusi pendidikannya dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat
yang dekat dengan Kekristenan pada masa itu. Tidak hanya mendirikan
sekolah, Muhammadiyah juga mendirikan klinik kesehatan (kini
rumah sakit) dan panti asuhan. Semuanya adalah bentuk filantropi dari
Muhammadiyah. Sejak waktu itu, kesejahteraan sosial menjadi salah
satu kepedulian umat Islam untuk berzakat dengan cara yang lebih
terorganisir.33
Pada saat berdirinya, filantropi Muhammadiyah dibentuk untuk
menghalau Kristenisasi yang berkembang melalui filantropi Kristen
dari kolonial. Ia menempatkan dirinya berada di spektrum yang lain
dari filantropi Kristen pada masa itu. Sehingga tidak heran bahwa
gerakan filantropi Muhammadiyah juga diwarnai oleh gerakan dakwah
yang mengajak orang-orang untuk memeluk Islam atau mengamalkan
ajaran Islam yang lebih modern dan reformis. Meskipun terbentuk
karena keberadaan filantropi Kristen sebagai Yang-Lain, namun
dalam perjalanannya, filantropi Muhammadiyah tidak selalu eksklusif.
Seiring dengan dukungannya bagi demokrasi dan pluralisme, filantropi
Muhammadiyah yang sebelumnya sangat menekankan bonding, mulai
menuju bridging.34

32 Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah, and Politics in
Indonesia (daring), 2012.
33 Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, 2006
34 Fauzia, 2013

151
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Organisasi Muhammadiyah baru membentuk LAZIS khusus di bawah


sayapnya, yaitu LAZISMU, pada tahun 2016. Meskipun baru beroperasi
setahun, namun LAZISMU sudah melakukan berbagai macam
program dan dapat mengumpulkan dana umat dalam jumlah yang
tidak sedikit. Untuk penelitian ini, saya melakukan wawancara dengan
Ketua LAZISMU DIY, Bapak Cahyono.35 Berbeda dengan LAZISNU
yang amil-nya tidak dipekerjakan secara profesional, LAZISMU
memiliki staf tetap yang bekerja setiap hari di kantor. LAZISMU DIY
merupakan ‘pusat’ dari LAZISMU di tiap kabupaten/kota di DIY.
Ia memiliki kantor layanan di seluruh kabupaten/kota di DIY yang
menerima dana ZISKA dan menyalurkannya. LAZISMU DIY sebagai
LAZISMU daerah berusaha menerjemahkan program-program yang
dianjurkan dari LAZISMU Pusat. Ia menginisiasi program-program
filantropi dan mengoordinir berjalannya program-program tersebut.
Hal ini berbeda dari LAZISNU yang basisnya ada di akar rumput dan
cenderung sporadis sehingga lebih susah dikontrol atau dilihat hasilnya
secara keseluruhan. Secara organisasional, meskipun LAZISMU lebih
baru, namun strukturnya memungkinkan dana bantuan dikelola secara
terpusat dan hasilnya dapat dilihat dengan jelas.
Saat ini, LAZISMU DIY memberikan perhatian besar pada bantuan
ekonomi dan bantuan pendidikan. Bapak Cahyono menjelaskan
bahwa fungsi dari LAZIS adalah menyalurkan dana yang diperoleh
dari umat (Islam) kepada umat yang membutuhkan. Sampai sekarang,
dana bantuan yang terkumpul di LAZISMU merupakan dana bantuan
dari warga Muhammadiyah sendiri, belum berasal dari sumber lain.
Meskipun demikian, jumlah yang diterima oleh LAZISMU dari
kekuatan warga Muhammadiyah tidaklah sedikit. Laporan keuangan

35 Bapak Cahyono adalah Ketua LAZISMU Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain
mengelola LAZISMU DIY, beliau juga bekerja sebagai kepala sekolah. Wawancara
dilakukan pada 3 Januari 2018 di kantor LAZISMU DIY.

152
Naomi Resti Anditya

tahun 201736 dari LAZISMU DIY menunjukkan bahwa LAZISMU


menerima dana zakat sejumlah Rp162.476.103, 00 dan dana infaq
sejumlah Rp406.576.560,00. Semuanya telah disalurkan kepada
mustahik melalui 34 program yang berbeda-beda, di antaranya adalah
program beasiswa pendidikan, bantuan sarana dan prasarana dan
mutu SDM bagi sekolah, tambahan gaji guru, bantuan modal usaha
ternak, bantuan dana panen padi, bantuan bencana Aceh, Aleppo dan
Rohingnya, bantuan sembako, bantuan rehabilitasi bencana di Bima,
bantuan dana musafir, bantuan sarana dan prasarana masjid, gaji amil,
dan lain sebagainya.
Saat ditanya apakah penerima bantuan dari LAZISMU beragam atau
hanya untuk orang Muslim saja, Bapak Cahyono menjelaskan bahwa
bantuan LAZISMU diberikan kepada siapa saja yang berhak dalam
asnaf.
“LAZISMU memang kalau untuk Z-nya, zakat, itu ada
kecenderungan memang eksklusif ya. Karena zakat itu ada
ketentuannya. Jadi zakat itu pendapatannya juga ada ketentuan 2,5%
dari umat Islam, penyalurannya juga ke 8 asnaf. Walaupun memang
nanti 8 asnaf itu, ehm… yang saya maksud eksklusif itu eksklusif ke
8 asnaf. Saya yakin dalam, apa ya, dalam tataran Islam rahmatan ‘lil
alamin, 8 asnaf itu tidak dalam kapasitas mereka [penerima bantuan]
Islam tok atau Muhammadiyah tok, tapi umum. Makanya ketika
kita salurkan zakat itu bisa dinikmati juga oleh umat lain. Jadi kita
tidak melihat ya, Islam atau tidak Islam, Muhammadiyah atau tidak
Muhammadiyah. Yang penting dia dhuafa, kaum yang berhak dari
golongan fakir miskin atau dari golongan yang gharim atau nanti
ada sabililah atau ibnu sabil, ya orang yang dalam perjalanan tapi
dia kehabisan bekal dan sebagainya, tapi dia bukan Muslim, itu saya
yakin untuk zakat mal atau zakat umum itu masih bisa menerima.
Ya memang zakat yang khusus untuk umat islam itu zakat fitrah,
untuk ketika Ramadan.”

36 Data ini merupakan rekapitulasi dari program-program LAZISMU mulai Januari hingga
Oktober. Bulan November dan Desember tidak dimasukkan karena belum direkap oleh
pihak LAZISMU.

153
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Dalam paparan tersebut, sementara terlihat bahwa interpretasi asnaf


yang dipegang oleh LAZISMU lebih terbuka. Asnaf ditafsirkan sebagai
kategori penerima zakat secara sosial, bukan dalam dimensi kultural
atau ethnic. Bapak Cahyono menegaskan kembali pentingnya Islam
sebagai agama yang menjadi manfaat bagi semua umat.
“Jadi kita, apa ya, kita terbuka. Kita Muhammadiyah mengedepankan
Islam rahmatan ‘lil alamin itu tadi, Islam bagi semua. Apalagi kok
itu ketika dana infaq dan sedekah, itu lebih terbuka lagi. Jadi kalau
zakat itu tadi saya sampaikan, ketentuan saya sebutkan eksklusif,
khusus begitu ya, itu khusus karena ada ketentuan asnaf. Tapi untuk
latar belakangnya tetap terbuka. Dan kita dalam mentasharrufkan
itu umum. Jadi kemarin ketika berbagi untuk tukang becak, kita
tidak mengetahui itu tukang becak Muslim atau tidak Muslim,
Muhammadiyah atau tidak, rajin sholat atau tidak, tidak kita
ketahui.”

Bapak Cahyono juga menjelaskan bahwa dalam penyaluran dana


bantuan pendidikan, LAZISMU masih menyasar sekolah-sekolah
dari Muhammadiyah sendiri. Hal ini merupakan usaha bonding untuk
menguatkan kesejahteraan umat Muhammadiyah dan bentuk dari
sensitivitas kulturalnya. Bapak Cahyono menjelaskan,
“Kalau mungkin tadi untuk pemberdayaan sekolah itu memang
kita baru menyasar yang swasta dan swasta yang banyak kan swasta
Muhammadiyah. Ada sekolah swasta unggul ya Muhammadiyah, ada
sekolah swasta yang minus, miskin, lemah itu juga Muhammadiyah.
Jadi ya sudah lah kita nyasar ke dalam saja mungkin masih banyak
yang sekolahnya di pelosok itu. Itu mungkin pendidikan yang kita
arahnya masih eksklusif.”

Wawancara dengan Bapak Cahyono memperlihatkan bahwa


LAZISMU berusaha untuk dapat bersifat inklusif dan terbuka dengan
tidak melihat latar belakang penerimanya selain bahwa penerima
dikategorikan dalam kategori mustahik menurut delapan asnaf, tetapi

154
Naomi Resti Anditya

dalam wawancara lain bersama Saudari Neneng37 terdapat kesan yang


berbeda mengenai hal tersebut. Secara umum, ia mengatakan bahwa
LAZISMU tidak pernah memberikan bantuan secara eksklusif hanya
bagi umat Muhammadiyah, namun ketika ditanya apakah LAZISMU
pernah memberikan bantuan, konsumtif maupun produktif (bersifat
pendayagunaan) kepada komunitas di luar umat Islam, ia mengatakan
bahwa sejauh ini hanya umat Muslim yang memperoleh.
“Kalau untuk mustahiknya semuanya sama, Mbak, yang sesuai
delapan asnaf … Saat ini memang dari semua daftar [penerima] itu
Muslim, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya kita
akan memberikan bantuan untuk non-Muslim.”

Lebih lanjut lagi, Saudari Neneng juga menjelaskan bagaimana


LAZISMU juga memberi bantuan untuk umat yang rentan terhadap
Kristenisasi.
“Kalau kemarin di Munggangwetan itu kondisi SD-nya itu
Kristenisasi memang, jadi ya memang yah, kami LAZISMU, kami
melihat, kalau dalam Islam itu kan memang sangat ini ya, membantu
umat… Itu kan kondisinya sangat sangat, maksudnya akidahnya
memang kalau bisa jangan sampai berubah [keyakinan]. Jadi kami
memang sangat membantu sekali kalau SD ataupun seseorang
dalam lingkungan yang Kristenisasi itu, memang kami akan bantu
agar bertahan akidahnya. Tapi untuk saat ini memang yang kami
bantu itu Muslim, yang konsumtif maupun yang produktif.”

Apa yang dijelaskan oleh Saudari Neneng pun sedikit berbeda dengan
apa yang dipaparkan oleh Bapak Cahyono yang mengatakan bahwa
LAZISMU dalam Program Pendayagunaan memiliki prinsip: 1)
menyejahterakan, 2) untuk semua orang yang membutuhkan, 3) tidak
membedakan suku, agama dan ras, dan 4) ikhlas. Cerita mengenai

37 Saudari Neneng adalah staf eksekutif LAZISMU Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
yang memegang administrasi keuangan. Saudari Neneng merupakan pekerja profesional di
kantor LAZISMU. Wawancara dilakukan pada tanggal 1 Maret 2018 di Kantor LAZISMU
DIY.

155
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

bagaimana LAZISMU memberikan bantuan untuk mencegah


Kristenisasi menunjukkan sensitivitas kultural, tetapi sekaligus ketakutan
terhadap Yang-Lain, yaitu komunitas di luar Islam. Bantuan diberikan
justru karena eksistensi Yang-Lain, sehingga yang ada bukanlah kerja
sama tetapi kompetisi.
Melalui dua wawancara tersebut, secara diskursif LAZISMU memiliki
bayangan akan orientasi filantropi Islam yang terbuka dan inklusif,
tetapi dalam praktiknya belum ada pemberian bantuan yang inklusif.
Kalaupun ada bantuan yang diberikan pada orang non-Muslim, maka
bantuannya kemungkinan besar bersifat konsumtif dan massal, seperti
pembagian sembako untuk tukang becak di hari raya Idul Fitri. Saya
mengecek bank data (database) yang dimiliki oleh LAZISMU selama
tahun 2017. Pada awalnya, dengan melihat daftar nama penerima, saya
berpikir bahwa terdapat mustahik dari kelompok agama lain, terutama
dari asnaf fakir miskin dan fi sabililah. Namun menurut Saudari
Neneng, semuanya adalah umat Islam. Seperti pada wawancara dengan
LAZISNU, prinsip cultural proximity jauh lebih terlihat di LAZISMU
daripada usaha bridging.
Saya juga berusaha menelusuri apakah ada kesamaan orientasi inklusivitas
antara LAZISMU wilayah (dalam penelitian ini, yaitu Yogyakarta) dan
LAZISMU Pusat yang ada di Jakarta. Dalam kesempatan berkunjung
ke LAZISMU Jakarta, Direktur Program menjelaskan bahwa penerima
bantuan LAZISMU memang didominasi oleh umat Islam, tetapi
LAZISMU sendiri tidak berpatokan pada latar belakang etnoreligius
penerima, melainkan pada kelayakan dari penerima. Salah satu program
unggulan dari LAZISMU adalah Indonesia Terang, yaitu program
elektrifikasi rumah-rumah yang tidak memiliki akses listrik. LAZISMU
memasang sel surya di 283 rumah di tiga desa di Timor Tengah Selatan,

156
Naomi Resti Anditya

Nusa Tenggara Timur.38 LAZISMU ingin mewujudkan kedaulatan


energi dan mendorong pencapaian pembangunan berkelanjutan melalui
Sustainable Development Goals (SDGs). Elektrifikasi ini diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas rumah tangga di desa-desa tersebut. Tidak
hanya memberikan pemasangan sel surya, tetapi LAZISMU bersama
kolaborator lainnya juga menggelar pelatihan dan pengisian modul
monitoring kepada tim pendamping kabupaten. Apa yang menarik
dari program ini adalah penerimanya yang 90 persen merupakan warga
non-Muslim. Dengan keadaan demografis demikian, LAZISMU
memberikan bantuannya. Akan menarik untuk menelusuri interaksi apa
yang dibangun oleh LAZISMU di NTT—apakah ini merupakan sikap
altruisme dan civic virtue dari filantropi LAZISMU (menolong karena
memang ingin menolong) atau bantuan ini adalah salah satu medium
dakwah—namun karena keterbatasan akses, penelitian ini tidak dapat
menyentuh LAZISMU Pusat ke arah tersebut.
Kegiatan LAZISMU Pusat lain yang bisa dikatakan inklusif dan
berorientasi pada binadamai adalah program pendirian pasar perdamaian
di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Daerah ini merupakan daerah
konflik antara etnis Muslim Rohingnya dengan kelompok Buddha.
Dana bantuan yang masuk ke LAZISMU berjumlah 20 miliar rupiah.
Selain digunakan untuk membangun kembali bangunan-bangunan
yang rusak, memberikan layanan kesehatan, mendirikan rumah sakit dan
sekolah, serta bantuan cepat tanggap lain, dana ini akan dipergunakan
untuk membangun pasar perdamaian. Pasar dipilih oleh LAZISMU
karena selain berfungsi sebagai pemulih keadaan ekonomi, ia merupakan
tempat interaksi berbagai macam orang. Sehingga diharapkan pasar

38 LAZISMU, ‘Terang untuk Semua di Indonesia Timur’ (daring), 2017, https://www.lazismu.


org/terang-untuk-semua-di-indonesia-timur/, diakses 30 Januari 2018

157
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

ini dapat menjadi tempat berkumpul antaretnis.39 Dengan interaksi


antaretnis yang semakin intensif, diharapkan ada ada rekonsiliasi antara
kelompok satu dan yang lainnya. Program ini merupakan wujud inclusive
placemaking, yaitu penciptaan tempat bertemunya orang-orang dari
latar belakang yang berbeda untuk saling berinteraksi dan mewujudkan
pertemanan antargolongan. “Pasar perdamaian” serupa juga tercipta di
Ambon setelah konflik komunal Kristen-Islam. Ada setidaknya lima
pasar yang menjadi tempat bertemu orang-orang Islam dan Kristen.
Orang-orang Ambon menyebutnya ‘pasar tiban’, yang sesungguhnya
merupakan pasar gelap. Kusumaningrum melihat pasar ini melayani
kebutuhan seluruh golongan dan menciptakan ruang bertemu ketika
ruang-ruang lain sangat ter-segregasi. Karena inklusivitasnya, pasar ini
menjadi salah satu pendorong rekonsiliasi di Ambon.40 Dengan program
yang sama di Rakhine, LAZISMU sebenarnya telah melakukan usaha-
usaha bridging untuk menciptakan perdamaian.
Kedua program LAZISMU Pusat cukup mewakili bagaimana
LAZISMU bisa menjadi ‘model’ dari filantropi Islam yang inklusif.
Secara diskursif, baik LAZISMU Pusat maupun LAZISMU Daerah
sama-sama mengamini bahwa bantuan filantropi Islam harus disalurkan
kepada siapa saja yang berhak selama memenuhi kelayakan dan sesuai
dengan kategori asnaf secara sosial, bukan secara etnoreligius. Pada
tataran praktis, program-program yang dijalankan merupakan campuran
antara bonding dan bridging. LAZISMU Pusat dapat membuat program-
program yang inklusif dan berorientasi bridging, sedangkan LAZISMU
DIY lebih banyak berfokus pada program-program bonding dan belum
ada inisiatif untuk melakukan bridging di Yogyakarta.

39 Jateng Tribunnews, ‘Lazismu Berhasil Himpun Dana Rp 20 Miliar bagi Warga Rohingya’
(daring), 2017, http://jateng.tribunnews.com/2017/11/04/lazismu-berhasil-himpun-dana-rp-
20-miliar-bagi-warga-rohingya, diakses 30 Januari 2018
40 Diah Kusumaningrum, ‘Interdependence versus Truth and Justice: Lessons from
Reconciliation Processes in Maluku’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 20, No. 1,
2016, hlm. 34-49

158
Naomi Resti Anditya

Seberapa inklusif filantropi Islam?


Penelitian terhadap filantropi Islam, yang diwakili oleh LAZISNU dan
LAZISMU DIY sebagai lembaga filantropi dari dua induk organisasi
Islam di Indonesia, telah memberikan paparan tentang gambaran
inklusivitas di tataran diskursif dan praktis. Dalam penelitian ini, konsep
bridging social capital berguna untuk menjadi “standar” bagaimana
filantropi Islam berkomitmen terhadap perdamaian positif dan inklusif.
Filantropi Islam dapat menjadi filantropi yang inklusif apabila ia dapat
melakukan bridging antarkomunitas; tidak hanya ia memberi bantuan
secara terbuka bagi semua orang, tetapi juga bekerja sama dengan
masyarakat maupun LSM lain yang bisa saja tidak berasal dari latar
belakang keislaman yang sama. Dengan tuntunan konsep tersebut,
maka untuk melihat inklusivitas kedua filantropi yang dibahas, unsur-
unsur inklusivitas tersebut dapat diterjemahkan dalam tabel berikut ini.
LAZISNU LAZISMU
DIY DIY
Mengupayakan bridging secara diskursif Tidak Ya
sepenuhnya
Mengupayakan pemberian bantuan bagi Tidak Tidak
masyarakat yang beragam sepenuhnya sepenuhnya
Konsisten dengan nilai dan praktik Tidak Tidak
kegiatan yang inklusif di badan pusat sepenuhnya sepenuhnya
Melakukan kerja sama dengan LSM Tidak Tidak
atau komunitas dalam satu golongan
Mengupayakan program-program Ya Ya
kesejahteraan ekonomi
Mengupayakan program-program untuk Tidak Tidak
binadamai
Perbandingan dalam tabel ini hanya berfungsi untuk mempermudah
penggambaran tentang sejauh apa LAZISNU dan LAZISMU DIY
dapat bersikap inklusif dalam pemberian bantuan, melakukan bridging,

159
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

dan mendorong terciptanya perdamaian. Melalui tabel tersebut, maka


dapat ditarik beberapa poin penting sebagai hasil penelitian.
1. Secara prinsip, NU maupun Muhammadiyah sama-sama memiliki
komitmen untuk mewujudkan Islam yang moderat dan mendukung
perdamaian antarkelompok. Dalam badan filantropi NU, yaitu
LAZISNU, sejauh apa yang didapat dalam penelitian ini, tidak
ada kesepakatan dalam merumuskan atau mereinterpretasi delapan
asnaf. Seorang mengatakan bahwa interpretasi asnaf bisa menyasar
ke siapa saja, tidak harus Muslim, tetapi seorang lain mengatakan
bahwa interpretasi asnaf harus ditujukan bagi Muslim. Sedangkan
perwakilan LAZISMU mengatakan bahwa interpretasi asnaf dapat
kelompok agama apapun. Dalam hal ini, secara diskursif, keduanya
meyakini bahwa dana bantuan dari filantropi Islam dapat diberikan
secara terbuka kepada siapa saja, meskipun ketidaksepakatan
interpretasi tersebut hadir di LAZISNU.
2. Dalam praktiknya, kedua filantropi belum menyasar mustahik dari
latar belakang beragam secara sengaja. Kalaupun ada, kemungkinan
besar penerima tersebut mendapat bantuan yang sifatnya konsumtif
danmassal.41
3. Apabila dibandingkan dengan kantor pusat dari masing-masing
filantropi, maka dapat dilihat bahwa baik LAZISMU maupun
LAZISNU di DI Yogyakarta belum dapat melakukan program-
program bridging seperti yang ada di pusat, meskipun dari aspek
nilai, mereka mengamini apa yang dilakukan pusat. Kemungkinan
besar hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya yang
dimiliki oleh lembaga di daerah, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya ekonomi.
4. Kedua filantropi ini sama-sama tidak pernah melakukan kerja
sama apapun dengan LSM, komunitas, atau organisasi lain, baik
yang segolongan (Islam), maupun yang tidak. Keduanya hanya

41 Hal ini masih menjadi kemungkinan, karena baik perwakilan LAZISNU maupun
LAZISMU tidak benar-benar mengecek latar belakang penerima.

160
Naomi Resti Anditya

bekerja sama dengan badan-badan internal, baik NU maupun


Muhammadiyah. Kerja sama antarinstitusi hanya dilakukan di
pusat. Hal ini menunjukkan bahwa kedua filantropi tidak berusaha
untuk melakukan bridging dengan cara kerja sama antarkomunitas.
5. Kedua filantropi sama-sama mencurahkan perhatian pada
program-program yang sifatnya pemberdayaan ekonomi dan
pengentasan kemiskinan. Praktik ini menunjukkan bahwa kedua
filantropi berkomitmen dan berusaha mewujudkan aspek keadilan
sosial dalam perdamaian positif yang dipaparkan Galtung.
6. Tidak ada dari kedua filantropi yang mengupayakan program-
program yang menyasar bidang binadamai. Seluruh dana bantuan
dicurahkan untuk program-program yang menyentuh aspek
kesejahteraan ekonomi (termasuk pendidikan) dan pemulihan
pascabencana. Meskipun kedua aspek tersebut juga termasuk
bentuk upaya mewujudkan perdamaian positif, namun upaya
mewujudkan perdamaian negatif (meniadakan atau mengelola
konflik) juga elemen yang penting untuk binadamai.

Dari poin-poin tersebut, dapat disimpulkan bahwa filantropi LAZISNU


dan LAZISMU DIY cukup inklusif secara diskursif, tetapi dalam praktik
kegiatannya belum sepenuhnya inklusif. LAZISNU dan LAZISMU
DIY memberi ruang besar untuk melakukan bonding ke komunitas
mereka masing-masing, tetapi menyadari bahwa upaya bridging juga
penting sebagai manifestasi dari Islam rahmatan ‘lil alamin, walaupun
tidak dilakukan karena berbagai faktor. Selain itu, orientasi dari kedua
lembaga filantropi masih berkutat pada tataran kesejahteraan ekonomi,
tetapi belum menyentuh aspek-aspek strategis lain dari perdamaian,
misalnya manajemen konflik, penciptaan ruang dialog antarkelompok,
atau program-program lain yang mengampanyekan riset maupun
advokasi tentang toleransi, dialog antarkelompok, dan manajemen
konflik.

161
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Penutup
Penelitian ini telah berusaha melihat sejauh apa filantropi Islam dapat
bersikap inklusif dan mendorong perdamaian positif dalam definisi
Galtung. Filantropi telah menjadi praktik yang dalam sejarahnya selalu
berusaha menciptakan perbaikan keadaan dalam masyarakat. Meskipun
demikian, filantropi berbasis keagamaan, terutama Islam, seringkali
dianggap eksklusif karena memiliki kultur yang berbeda dari filantropi
a la Barat. Di tengah-tengah sentimen agama yang menguat, menarik
untuk melihat apakah filantropi Islam di Indonesia dapat menjadi agen
perdamaian positif, salah satu melalui upaya menjadikan lembaganya
inklusif. Dua lembaga filantropi Islam dipilih sebagai ‘sampel’ dari
filantropi Islam yang diklaim moderat, yaitu Lembaga Amil Zakat Infak
Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dan Lembaga Amil Zakat
Infak Sedekah Muhammadiyah. Kedua lembaga merupakan filantropi
yang berada di dalam naungan organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Baik NU maupun
Muhammadiyah mendukung demokrasi di Indonesia, mempertahankan
outlook Islam yang moderat, dan menerima pluralisme. Filantropi kedua
lembaga pun mewarisi nilai-nilai tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan definisi perdamaian positif Galtung dan
konsep modal sosial (social capital) bridging dan bonding oleh Putnam,
penelitian ini berusaha menakar inklusivitas kedua lembaga dari tataran
diskursif dan praktis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan metode in-depth interview dengan narasumber yang sangat
terbatas, yaitu dua narasumber dari masing-masing LAZIS. Meskipun
demikian, hasil yang ditemukan pada LAZISNU dan LAZISMU DIY
tidak dapat berlaku secara umum bagi filantropi Islam di Indonesia.
LAZISNU dan LAZISMU merupakan pemain baru dalam dunia
filantropi Islam di Indonesia. Keduanya baru muncul di tahun 2000an.
Meskipun demikian, filantropi yang dilakukan oleh kedua organisasi

162
Naomi Resti Anditya

induknya, NU dan Muhammadiyah, merentang jauh bersamaan


dengan berdirinya organisasi tersebut. Perjalanan NU tidak dapat lepas
dari filantropi di bidang pendidikan sehingga NU dapat mengelola
pesantren-pesantren di pedesaan dan menyebarkan ideologinya melalui
institusi tersebut. Semangat kedermawanan Muhammadiyah juga
tereifikasi dalam organisasinya sendiri, yang sejak awal hingga sekarang
selalu fokus pada peningkatan kesejahteraan sosial dan pendidikan. NU
mewakili umat Islam tradisionalis, dan Muhammadiyah mewakili umat
Islam yang lebih reformis-modernis. Dalam perjalanannya, meskipun
banyak berbeda dalam prinsip, namun kedua lembaga sama-sama
mendukung moderasi dalam beragama Islam di Indonesia, mendorong
demokrasi, dan menerima keberagaman. Prinsip-prinsip ini tercermin
dalam aktivisme kedua filantropi yang dinaunginya untuk mendukung
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa LAZISNU dan LAZISMU DIY
sudah cukup inklusif di tataran diskursif, tetapi belum sepenuhnya
inklusif di tataran praktik. LAZISNU dan LAZISMU konsisten
melakukan bonding dengan pemberian bantuan bagi umat Islam;
berupaya melakukan bridging dengan memberikan bantuan yang
sifatnya santunan tidak hanya pada umat Islam tetapi juga orang-
orang non-Muslim; konsisten mewujudkan perdamaian positif di aspek
keadilan sosial dengan orientasi program yang berusaha mengentaskan
kemiskinan; namun tidak menyentuh aspek-aspek strategis dalam
perdamaian yang berusaha mempertemukan berbagai komunitas
dari latar belakang berbeda-beda untuk bicara tentang pengelolaan
konflik dan binadamai. Apabila filantropi Islam hendak menjadi
agen perdamaian yang serius, maka ia harus membuka ruang untuk
memberikan bantuan-bantuan yang produktif bagi masyarakat yang
beragam, konsisten menjalin kerja sama dengan komunitas dan LSM
dari berbagai latar belakang, dan mau mendanai program-program

163
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

yang menyentuh aspek perdamaian srategis atau binadamai, misalnya


pelatihan, riset, maupun advokasi yang menyuarakan toleransi, dialog
antarkelompok, dan manajemen konflik.
Dengan segala keterbatasan penelitian ini, dua ZIS yang dikaji tentu
tidak dapat sepenuhnya mewakili filantropi Islam di Indonesia. Oleh
karena itu, sangat penting untuk dilakukannya kajian lanjutan mengenai
inklusivitas filantropi Islam dengan skala wilayah yang lebih luas, jumlah
lembaga yang lebih banyak, serta narasumber yang lebih banyak pula.
Selain itu, penting pula untuk mewawancarai para penerima bantuan,
terutama apabila penerima bantuan tersebut berasal dari kelompok di
luar Islam. Dengan demikian, akan didapatkan gambaran utuh dan
lebih komprehensif mengenai inklusivitas filantropi Islam.

Daftar Pustaka

Sumber Buku dan Jurnal


Barton, Greg. “The Gülen Movement, Muhammadiyah and Nahdlatul
Ulama: Progressive Islamic Thought, Religious Philanthropy and
Civil Society in Turkey and Indonesia”, Islam and Christian–Muslim
Relations, 25.3 (2014).
Benthall, Jonathan, “Have Islamic aid agencies a privileged relationship
in majority Muslim areas? The case of post-tsunami reconstruction
in Aceh”, Journal of Humanitarian Assistance, 2008.
Coning,C.“Understanding Peacebuilding as Essentially Local”,  Stability:
International Journal of Security and Development, 2.1 (2013).
Fauzia, Amelia. Faith and The State: A History of Islamic Philanthropy in
Indonesia. Leiden: Brill, 2013.
Gabriel, Sidonia, dan Goestchel, Laurent. “Motivation of philanthropists
in peacebuilding: promoting peace as personal satisfaction?”, Journal
of Peacebuilding & Development, 11.2 (2016).
Galtung, Johan. “A Structural Theory of Imperialism”. Journal of Peace
Research. 1971.

164
Naomi Resti Anditya

Galtung, Johan. “Violence, Peace, and Peace Research,” International


Peace Research, 1969.
Kusumaningrum, Diah. “Interdependence versus Truth and Justice:
Lessons from Reconciliation Processes in Maluku”, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. 20.1 (2016).
Latief, Hilman, dan Mutaqin, Zezen. Islam dan urusan Kemanusiaan:
Konflik, Perdamaian, dan Filantropi. Jakarta: ICRC, 2015.
Putnam, Robert. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community. New York: Touchstone Book, 2000.
Varshney, Ashutosh. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims
in India. Connecticut: Yale University Press, 2003.
Welty, Emily. “Faith-Based Peacebuilding and Development: An
Analysis of the Mennonite Central Committee in Uganda and
Kenya”, Journal of Peacebuilding and Development. 9.2 (2014).
Zayd, Naṣr Ḥāmid Abū. Reformation of Islamic Thought: A Critical
Historical Analysis Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006.
Zuhri, Saefudin. Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama. Jakarta: Daulat
Press, 2017.

Sumber Daring
Hilman Latief, Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah,
and Politics in Indonesia (daring), 2012.
Jateng Tribunnews, ‘Lazismu Berhasil Himpun Dana Rp 20 Miliar
bagi Warga Rohingya’ (daring), 2017, http://jateng.tribunnews.
com/2017/11/04/lazismu-berhasil-himpun-dana-rp-20-miliar-
bagi-warga-rohingya, diakses 30 Januari 2018
LAZISMU, ‘Terang untuk Semua di Indonesia Timur’ (daring), 2017,
https://www.lazismu.org/terang-untuk-semua-di-indonesia-
timur/, diakses 30 Januari 2018
Muhammadiyah, ‘PP Muhammadiyah Kembali Lakukan Kerjasama
dengan Community of Sant’Egidio’ (daring), 2017, http://m.
muhammadiyah.or.id/id/news-12542-detail-pp-muhammadiyah-
kembali-lakukan-kerjasama-dengan-community-of-
sant%E2%80%99egidio.html, diakses 30 Januari 2018

165
Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar Inklusivitas LAZISNU dan LAZISMU Cabang Yogyakarta

Muslimoderat, ‘Jihad, Kemanusiaan NU untuk Asmat Papua


Diberangkatkan Besok’ (daring), 2018, < http://www.muslimoderat.
net/2018/01/jihad-tim-kemanusiaan-nu-untuk-asmat.html>,
diakses 31 Januari 2018
Nahdlatul Ulama, ‘Kiai Said: Kokohkan Islam Moderat untuk
Perdamaian’ (daring), 2017, https://www.nu.or.id/post/read/83756/
kiai-said-kokohkan-islam-moderat-untuk-perdamaian, diakses 30
Januari 2018
Nahdlatul Ulama, ‘NU-Care Presentasikan Filantropi Islam Nusantara
pada Kader PMII’ (daring), http://www.nu.or.id/post/read/77611/
nu-care-presentasikan-filantropi-islam-nusantara-pada-kader-
pmii-, diakses 30 Januari 2018
Nahdlatul Ulama, ‘Wabah Campak dan Gizi Buruk, NU Segera
Berangkatkan Relawan ke Asmat’ (daring), 2018, https://www.
nu.or.id/post/read/85335/wabah-campak-dan-gizi-buruk-nu-
segera-berangkatkan-relawan-ke-asmat, diakses 31 Januari 2018
NU Care-LAZISNU, ‘Tentang Kami’ (daring), https://nucarelazisnu.
org/, diakses 29 Januari 2018
Republika, ‘Gelar Rakornas, NU Care-Lazisnu Bahas Kemandirian
Ekonomi NU’ (daring), 2018, http://www.republika.co.id/berita/
dunia-islam/wakaf/18/01/30/p3ch71313-gelar-rakornas-nu-
carelazisnu-bahas-kemandirian-ekonomi-nu, diakses 31 Januari
2018

166

Filantropi Islam untuk Pendidikan
Berkeadilan, Quo Vadis ?
Studi Perbandingan Kasus pada
LazisMu dan Dompet Dhuafa
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Abstrak
Pendidikan berkeadilan dipercaya sebagai kunci mengatasi kesenjangan
sosial di Indonesia. Lembaga Amil Zakat (LAZ) turut berperan
dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial melalui progam
pendidikan berkeadilan. Oleh karena itu, bagaimana LAZ ikut andil
dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan di Indonesia menjadi
penting untuk diketahui. Analisis penelitian ini menggunakan
studi perbandingan kasus pada program pendidikan yang dimiliki
oleh Dompet Dhuafa dan LazisMu (Lazis Muhammadiyah). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa program pendidikan pada Dompet
Dhuafa dan LazisMu masih didominasi oleh program karitatif. Ini
terjadi karena kuatnya dorongan mewujudkan pendidikan Islam
serta masih minimnya program penddikan pada kedua LAZ yang
mendukung terwujudnya sistem pendidikan berkeadilan. Hal tersebut
mengindikasikan peran Dompet Dhuafa dan LazisMu masih belum
optimal dalam mengatasi kesenjangan sistemik di dunia pendidikan di
Indonesia.
Kata Kunci: Dompet Dhuafa, LazisMu, pendidikan berkeadilan, studi
perbandingan antar kasus

167
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan satu dari
sedikit negara yang terus mampu mempertahankan pertumbuhan
ekonomi yang positif setiap tahunnya. Akan tetapi, pertumbuhun
ekonomi tersebut beriringan dengan peningkatan kesenjangan
sosial, yang mana 10% orang terkaya di Indonesia menguasai
hampir lebih dari 77% kekayaan negara dan mengakibatkan 205
juta rakyatnya terperangkap dalam jerat kemiskinan. Sehingga
tidak mengherankan apabila Indonesia dinobatkan sebagai negara
dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi ketiga di dunia.1

Gambar 1. lingkar setan kesenjangan sosial2

1 World Bank, Indonesia's rising divide, Washington, DC: World Bank ,2016,h. 7-14
2 ESCAP,Time for Equality: The Role of Social Protection in Reducing Inequalities in Asia
and the Pacific, Bangkok:United Nations Publication,2015,h.24-25

168
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Akar kesenjangan sosial adalah kesenjangan dalam kesempatan


(inequality in opportunity), dimana jerat lingkar setan kesenjangan
sosial telah dimulai sejak seorang anak dilahirkan.3 Gambar 1
menunjukkan sebuah siklus jerat lingkar setan kesenjangan sosial,
dimana kondisi sosio-ekonomi sebuah keluarga tempat dimana
seorang anak dilahirkan menjadi suatu faktor krusial yang
menentukan masa depan seoarang anak. Anak dari keluarga
miskin dan tidak mampu, cenderung mendapatkan pendidikan
yang rendah dengan kualitas yang rendah. Mengakibatkan anak
tersebut akan skill dan pendapatan yang rendah. Sebaliknya,
anak yang dilahirkan dalam keluarga kaya kemungkinan besar
mendapatkan pendidikan yang tinggi yang berkualitas tinggi,
sehingga anak ini akan memiliki keahlian dan penghasilan yang
lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan anak dari keluarga miskin
dan tidak mampu ini akan terus terjebak dalam kondisi sosio-
ekonomi yang sama dengan orangtuanya. Pola ini apabila tidak
segera diputus, maka akan melahirkan sebuah intergenerational
inequality, yakni kondisi yang terus memerangkap keluarga
miskin dan tidak mampu dalam kemiskinan, akibat adanya
kesenjangan dalam kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi
dan berkualitas.4
Pendidikan yang berkeadilan dipercaya sebagai kunci utama dalam
mengatasi kesenjangan sosial di Indonesia, khususnya dalam mengatasi
inequality in opportunity yang menjadi akar dari permasalahan
kesenjangan sosial tersebut.5 Pendidikan berkeadilan merupakan suatu

3 ESCAP, Ibid.,h.26
4 Lihat Guillermo Cruces, et al, “Are There Ethnic Inequality Traps in Education?”,Poverty
Monitoring,Measurement and Analysis (pmma) Working Paper 2012-05,
Nairobi:Partnership for Economic Policy
5 Lihat Wicaksono, E., H. Amir, and A. Nugroho, “The Sources of Income Inequality
in Indonesia: A Regression Based Inequality Decomposition.”,ADBI Working Paper
667,Tokyo: Asian Development Bank Institute(2017)
169
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

sistem pendidikan yang memungkinkan anak-anak dari keluarga


miskin dan tidak mampu untuk mendapatkan akses pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Kemampuan anak dari keluarga miskin dan
tidak mampu ini dalam meraih bangku perguruan tinggi menjadi hal
yang penting untuk memutus jerat kesenjangan sosial sebagaimana
yang digambarkan pada Gambar 1. Pendidikan tinggi dipercaya
mampu memberikan pendidikan dalam rangka meraih kemampuan
dan keahlian hidup yang tinggi (high skill). Sehingga dengan keahlian
tersebut, diharapkan anak-anak dari keluarga miskin dan tidak mampu
mendapatkan penghasilan lebih tinggi dan pada akhirnya dapat
mengubah kondisi sosio-ekonominya kearah yang lebih baik.
Menyadari pentingnya perguruan tinggi, pemerintah Indonesia telah
meningkatkan kebijakan pada perguruan tinggi yang semakin pro-
inklusif.6 Misalnya, pemberian beasiswa kepada 90.000 mahasiswa dari
keluarga miskin dan tidak mampu, hingga kebijakan yang mengharuskan
tiap perguruan tinggi mengalokasikan 20% penerimaan mahasiswa dari
keluarga miskin dan tidak-mampu. Akan tetapi pada penerepannya,
kebijakan alokasi 20% menerima mahasiswa dari keluarga miskin dan
tidak mampu sulit dipenuhi oleh institusi perguruan tinggi. Penyebabnya
adalah minimnya partisipasi mahasiswa baru yang berasal dari keluarga
miskin dan tidak mampu.7 Data terbaru dari Bappenas dan Unicef,
menunjukkan bahwa dari 6 juta mahasiswa baru yang mendaftar ke
perguruan tinggi, hanya 20% mahasiswa yang berasal dari keluarga
miskin dan tidak mampu. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 15% yang
mampu menyelesaikan pendidikannya.8. Hal ini disebabkan karena

6 Lihat Eliza Brewis, “Inclusive development in Indonesian higher education reform post-
1997” (Paper presented at ASEASUK Conference, UK, 2016), h. 19
7 Lihat D.Susanti, “Privatisation and Marketisation of Higher Education in Indonesia: the
challenge for equal access and academic values”. Higher Education vol. 61 no. 2, 2011, hal.
210
8 Indonesia Ministry of National Development Planning and the United Nations Children’s
Fund, “SDG Baseline Report on Children in Indonesia”, Jakarta: BAPPENAS and UNICEF
(2017), h. 67

170
Nurul Iffakhatul Sholekhah

anak-anak dari keluarga miskin dan tidak mampu cenderung untuk


memiliki kompetensi belajar dua kali lebih rendah dan lebih cenderung
untuk tidak melanjutkan pendidikannya.9 Sehingga mengakibatkan,
meskipun pada awal pendidikan dasar terdapat gap yang kecil antar
anak-anak dari keluarga tidak mampu dengan golongan di atasnya
dalam menyelesaikan pendidikannya,tetapi kemudian gap ini semakin
membesar seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan
semakin menurunnya tingkat partisipasi anak-anak dari keluarga
miskin dan tidak mampu.10

LAZ dan Pendidikan Berkeadilan


Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia,
Lembaga Amil Zakat (LAZ), sebuah lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat untuk mengumpulkan dan mendistribusikan dana
zakat,infak,shadaqoh, maupun waqaf, diharapkan dapat berpartisipasi
dalam menjawab permasalahan kesenjangan pendidikan yang menjadi
akar dari permasalahan kesenjangan sosial di Indonesia. Terlebih lagi,
dalam fungsinya. dana zakat dipercaya memiliki peran dan tujuan
utama untuk menciptakan keadilan sosial. Dalam rangka melaksanakan
fungi utama zakat tersebut, telah timbul kesadaran dari beberapa LAZ
mengenai bagaimana dana ziswaf dapat dipergunakan untuk dapat
menjawab permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial, sera
bagaimana LAZ dapat ikut andil dalam pertumbuhan berkelanjutan
di Indonesia.11 Seiring dengan perkembangan tersebut, beberapa
penelitian berkenaan dengan LAZ, kesenjangan sosial maupun
pendidikan telah dilaksanakan. Fauzia (2017) dalam penelitiannaya
mengungkapkan bahwa meskipun modernisasi maupun Islamisasi

9 Ibid., hal. 46
10 World Bank, Loc.Cit
11 Zainulbhar dan Francine, Laporan Singkat : Peran Zakat dalam Mendukung Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: UNDP dan BAPPENAS,2017.

171
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

mendorong pertumbuhan filantropi, akan tetapi hal tersebut belum


mampu untuk menumbuh kembanagkan filantrofi yang berbasis pada
keadilan sosial.
Peran filantropi Islam dalam dunia pendidikan sendiri, telah dimulai
pada zaman penjajahan Belanda yang dilakukan oleh ormas Islam
sebagai bentuk pertahanan diri dan perlawanan terhadap kolonianlisasi
dan gerakan misionaris yang didukung oleh pemerintah Belanda.12
Sedangkan dalam perkembangan terbarunya, Latief dan Amirrachman
(2016) mencatat bahwa filantropi Islam dalam dunia pendidikan telah
berperan sebagai lembaga di luar pemerintah yang ikut andil dalam
menciptakan kesejateraan sosial (non-state welfare) dengan menyedikan
layanan pendidikan bagi masyarak miskin dan tidak mampu dengan
memberikan layanan pendidikan yang berbeda dengan layanan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun sekolah
swasta komersil milik organisasi masayarakat Islam lainnya
Penelitian diatas telah memberikan gambaran awal, mengenai hubungan
antara LAZ dan keadilan sosial maupun hubungan antara LAZ dan
pendidikan. Meskipun bagaimana program pendidikan LAZ ikut andil
dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan sebagai kunci mewujudkan
keadilan sosial belum maupun masih jarang untuk diteliti. Maka,sebagai
bentuk usaha untuk mengisi research gap sebagaimana pada pembahasan
diatas, laporan penelitian ini berusaha memaparkan studi perbandingan
kasus yang menganalisa, membandingkan, dan membedakan program-
program pendidikan pada LazisMu dan Dompet Dhuafa, serta faktor-
faktor-faktor kontekstual yang membentuk perbedaan pada penciptaan
program pendidikan pada kedua LAZ tersebut.

12 Hilman Latief, “Filantropi Dan Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Pendidikan Islam,
Vol. XXVIII No. 1 2013/1434, pp. 123-139

172
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Memaksimalkna Peran LAZ untuk Mewujudkan


Pendidikan Berkeadilan
Dalam melakukan analisa pada program pendidikan yang dimiliki oleh
LAZ, theory of change13 oleh Welner dan Ferley (2010) digunakan sebagai
rambu-rambu dalam analisa. Theory of change ini dipilih peneliti karena
memberikan gambaran utuh dan lengkap mengenai program – program
pendidikan seperti apakah yang harus dimiliki oleh lembaga filantropi
untuk dapat ikut andil dalam mewujudakkan sistem pendidikan
berkeadilan. Serta memudahkan peneliti untuk memahamai perbedaan
karakteristik pada program-program pendidikan yang dimiliki ooleh
LAZ sejara lebih jelas. Gambar berikut menunjukkan program-
program LAZ yang dapat secara maksimal memberikan perubahan
pada kesenjangan sistem pendidikan yang diadaptasi dari theory of
change Welner dan Ferley (2010).

Welner dan Ferley (2010) mejelaskan bahwa dalam


memaksimalkan peran lembaga filantropi untuk mewujudkan
kebijakan pendidikan berkeadilan, ada beberapa langkah yang
perlu untuk diterapkan oleh lembaga tersebut, (Gambar 2.)
Langkah pertama dimulai dengan deklarasi tujuan program yang
eksplisit untuk mengatasi kesenjangan sistemik pendidikan. Langkah
ini, memastikan suatu lembaga mengarahkan program-programnya
untuk menjawab kesenjangan pendidikan. Tanpa deklarasi tujuan
program yang jelas dan eksplisit ini, lembaga filantopi dapat terjebak
dalam masalah pendidikan yang sejatinya hanya produk dari kesenjangan
sistemik pendidikan.

13 Teori yang menjelaskan bagaimana suatu aktivitas ataupun tindakan dipahami untuk
menghasilkan serangkaian hasil yang berkontribusi untuk meraih hasil akhir yang
diinginkan (Goodrick,2014)

173
Gambar 2. Memaksimalkan peran LAZ dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan
Filantropi Islam untuk
(WelnerPendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)
dan Ferley, 2010)

7
short-term change Medium-term change Long-term change
input output advokasi kebijakan pada
program/kebijakan yang
mendukung penddikan
berkeadilan maupun
dukungan pada
penghapusan kebijakan- membangun
top-down pendekatan legal kebijakan yang pengaruh dalam
advokasi menyebabkan kesenjangan penetuan kebijakn
pendidikan melaului pendidikan sesuai
lembaga pemerintahan dengan program/
kebijakan yang
mendukung organisasi- didukung oleh LAZ
organisasi yang memelakukan
asumsi: keberhasilan untuk advokasi kebijakan pada
pendidikan berkeadilan
mewujudka pendidikan beberkeadilan
terletak pada pemfokusan program membangkitkan kesadaran
dorongan dan dukungan
dan pembiayaan LAZ pada dan kepedulian
dari masyarakat luas akan
permasalahan pendidikan anak-anak Pengembangan masyarakat luas akan
penerapan kebijakan dan
keterlibatan warga permasalahan pada
tertinggal dan tidak mampu dan program pendidikan
negra pendidikan melauli media
berkeadilan sebgaimana
hanya jika dilakukan dengan masa, maupun media
yang diusung oleh LAZ
menjawab permasalahan sitemik lainnya perubahan arah
kesenjangan pendidikan kebijakan pendidikan
membangun kerjasama yang berkeadilan dan
dengan organisasi /lembaga penghilangan
yang mendukung kebijakan yang
masyarakat marginal mendapatkan masukkan menyebbakan
melibatkan dan khsunya yang mendukung dan dukungan langsung kesenjangan dalam
mendukung organisasi dalam keadilan dalam dari komunitas pendidikan
komunitas pendidikan masyarakat rentan dan
grassroot masyarakat miskin dan tertingga atas program
advokasi tertinggal melakukan komunikasi pendidikan yang diusung
,menjalin hubungan langsung, LAZ
dan melibatkan masyarakat
marginal dalam program
pendidikan

analisa kebijakan

Menciptakan/membangun menghasilkan
pengembangan bidang/departemen/program penelitian yang
penelitiian pendidikan dalam laz yang berfokus pada menjawab
penelitian dalam pendidikan permasalahnkesenjang
di Indonesia an pendidikan
Asumsi: kunci dari mewujudkun pendidikan
berkeadilan adalah kontinuitas dari program mendukung lembaga-
karitatif untuk anak-anak yang tertinggal dan lembaga yang bergerak
tidak mampu dan investasi pada program dalam peneltian pendidkan
advokasi,pemberdayaaan masyarakat, dan
dukungan terhadapa organisasi pendidikan pada
menghasilkan program
masyrakat tidak mampu
menciptakan program-program inovasi pendidikan menjawab dan
pendampingan pendidikan, e.g. berdasarkan pada penelitian memberikan solusi
inovasi/ kepakaran pelatihan guru, manajemen mengenai solusi empirik dari
sekolah yang efektif, permasalahan siswa rentan permasalahan siswa
pendampingan belajar siswa dan tertinggal dapat rentan dan tertinggal
diterapakan

bantuan langsung
menjawab kerugian yang
bantuan pembiayaan disesbbakan oleh ketidakadilan
penerima, meskipun
sekolah, beasiswa, sistem pendidikan , akan tetapi
bantuan pembiayaan terbatas jumlahnya,
pembangunan sekolah tidak menyelesaikan masalah
langsung merasakan manfaat
maupun institusi pendidikan dari kesenjangan pendidikan
langsung

6
Gambar 2. Memaksimalkan peran LAZ dalam mewujudkan
pendidikan berkeadilan (Welner dan Ferley, 2010)
Kedua, Program-program pendidikan pada lembga filantropi merupakan
program inovasi pendidikan yang menjawab permasalahan pendidikan
yang dihadapai oleh siswa dari keluarga miskin dan tidak mampu, dan
bukan sebatas menjawab permasalahan pendidikan pada umumnya.
Apabila program pendidikan berfokus sebatas pada pengembangan
sekolah secara umum, hal ini akan meninggalkan mereka yang tertinggal
semakin tertinggal di belakang. Sebaliknya, apabila suatu program

174
Nurul Iffakhatul Sholekhah

inovasi pendidikan baik berupa inovasi pada pembelajaran, manajemen


sekolah maupun inovasi teknik belajar serta program-proram lain yang
berhasil menjawab permasalahan pendidikan bagi siswa tertinggal
dan tidak mampu akan juga bermanfaat untuk siswa lainnya.14 Untuk
itulah ‘targeted universalism’, yakni sebuah value program pendidikan
yang berfokus untuk menjawab permasalahan pendidikan bagi siswa
tertinggal dan tidak mampu harus menjadi fokus program LAZ untuk
dapat mewujudkan pendidikan berkeadilan.15
Ketiga, yakni keberlanjutan dari program pendidikan karitatif yang
ditujukkan untuk menjaawab permasalahan pendidikan anak dari
keluarga miskin dan tidak mampu, ke dalam program advokasi. Advokasi
kebijakan melalui dua arah, yakni melalui advokasi akar rumput, yakni
sebuah upaya perubahan kebijakan pendidikan berkeadilan yang
dimulai dari masyarakat itu sendiri dan top-down adovokasi, upaya
perubahan kebijakan dengan mempengaruhi kebijakan lewat lembaga
pemerintahan perlu untuk dilakukan. Hal ini disebabkan, bahkan
jika LAZ telah berhasil menutup seluruh permasalahan pendidikan
yang tidak terpenuhi oleh pemerintah, akan tetapi kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah masih tetap saja menyebabkan kesenjangan
sistemik pendidikan yang terus menerus merugikan anak-anak dari
keluarga miskin dan tidak mampu maka program LAZ seperti ini,
ibarat meneteskan air setitik ke dalam lautan. 16 Sehingga, untuk
mengoptimalkan sumber daya yang terbatas pada LAZ, namun tetap
dapat meraih dampak yang luas, program pendidikan LAZ haruslah
diarahkan pada program yang mempengaruhi perubahan secara
sistemik, yakni melalui program advokasi kebijakan untuk pendidikan
berkeadilan.
14 Kevin Welner dan Amy Farley, A Philanthropy at Its Best Report , Confronting
Systemic Inequity In Education :High Impact Strategies for Philanthropy, Washington
D.C.:NCRP,2010
15 Kevin Welner, Legal rights, local wrongs: When community control collides with
educational equity,New York: SUNY Press, 2001
16 Kevin Welner dan Amy Farley, Op.Cit., 15-20

175
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, penelitian pada LAZ


dan pengaruhnya dalam mewujudkan sistem pendidikan berkeadilan
masih jarang dilaksanakan. Sehingga, pemahaman bagaimana
sebenarnya program pendidikan LAZ dalam mewujudkan pendidikan
berkeadilan serta faktor yang mempengaruhi hal tersebut masih minim
unutk diketahui.
Apalagi ditambah dengan beragamnya program pendididkan dan
konteksnya pada LAZ. Sehingga, inilah saatnya bagi kita untuk
memperkaya data-data empirik mengenai program-program pendidikan
LAZ beserta kontek yang menyertainya. Ini juga adalah waktunya
bagi kita untuk melihat secara spesifik program-program pendidikan
pada LAZ, kenapa program-program tersebut dilaksanakan, faktor
kontekstual dimana program-program tersebut dikembangkan dan
dilaksankan, serta sejauh mana program-program pendidikan LAZ
tersebut ikut mewujudkan pendidikan berkeadilan di Indonesia.
Untuk itulah, penelitian ini dilaksankan untuk mengisi dan menjawab
beberapa dari kekosongan penelitian diatas. Penelitian ini bertujuan
untuk menemukan bukti-bukti empirik untuk menjawab berikut ini :
Apa sajakah variasi dan program pendidikan yang dimiliki oleh LAZ
dalam hubungannya dengan mewujudkan pendidikan berkeadilan ?

Apakah motif dan faktor-faktor yang mempengaruhi LAZ dalam


merancang program-program pendidikannya dalam hubungannya
dengan mewujudkan pendidikan berkeadilan ?

Metodologi Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian empiris mengenai peran lembaga Amil Zakat (LAZ),
khususnya pada program pendidikan yang dimiliki oleh Dompet
Dhuafa dan LazisMu. Peran keduanya dalam mewujudkan pendidikan
berkeadilan masih sangat terbatas. Meskipun demikian, dengan

176
Nurul Iffakhatul Sholekhah

semakin maraknya penelitian untuk mengetahui peran keduanya dalam


mewujudkan kesejahteraan sosial, penelitian ini diharapkan dapat
menginisiasi sebuah agenda penelitian dan memberikan informasi
dalam membandingkan pemikiran untuk mengembangkan program
pendidikan pada kedua LAZ tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan arahan dalam merumuskan sebuah conceptual framework
pada pengembangan program pendidikan LAZ serta bagaimana
LAZ dapat memaksimalkan program pendidikannya untuk dapat
berkontribusi mewujudkan sistem pendidikan berkeadilan di Indonesia.
Metode pada penelitian ini menggunakan interview dengan manajer
program dari LazsiMu dan Dompet Dhuafa. Tujuannya adalah untuk
memahami motif dari tujuan dan sasaran program pendidikan yang
dimiliki oleh kedua LAZ tersebut. Peneliti melakukan analisa pada
dokumen program pendidikan dengan menggabungkan narrative
inquiry approach,17 dari manajer program pendidikan LazisMu
dan Dompet Dhuafa mengenai maksud dan tujuan dari program
pendidikan yang dijalankan. Fokus utama dalam mengetahui penjelasan
dari manajer program pendidikan dari masing-masing LAZ ini adalah
untuk memahami perbedaan dari program dan tujuan pelaksanaan
program pendidikan pada kedua LAZ. Narasi dari manajer program
pada masing-masing LAZ, sebagai pengawas dan pelaksana program
pendidikan pada kedua LAZ diharapkan dapat membantu peneliti
untuk mengidentifikasi motif dan tujuan pelaksanaan program
pendidikan pada kedua LAZ tersebut. Disamping itu, hal tersebut
juga diharapkan dapat membantu peneliti mengetahui trend dan
fokus program pendidikan yang dijalankan, untuk menentukkan sejauh
mana program pendidikan kedua LAZ tersebut mendukung program
pendidikan berkeadilan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

17 D.Clandinin dan F.Connelly,Narrative inquiry: Experience and story in qualitative


research, CA: Jossey-Bass,2000

177
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Konteks Penelitian Penelitiain ini dilaksanakan pada dua LAZ


bersertifikasi nasional, yakni LazisMu dan Dompet Dhuafa. Pemilihan
pada ke dua lembaga tersebut berdasarkan theory based sampling18,
dimana dua LAZ tersebut berbeda baik dari sisi basis lembaga maupun
visi dan misi yang dimiliki kedua lembaga tersebut. Dimana, Dompet
Dhuafa sebagai LAZ berbasis Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ)
secara eksplisit memiliki visi dan misi berkenaan dengan mewujudkan
sistem berkeadilan. Sementara LazisMu sebagai LAZ berbasis organisasi
masyarakat, baik dalam visi maupun misinya tidak mencantumkan
secara eksplisit baik visi maupun misi untuk mewujudkan sistem yang
berkeadilan. Dengan pemilihan kedua LAZ yang berbeda tersebut
diharapkan peneliti mampu memberikan pemahaman bagaimana
program pendidikan dalam kedua lembaga tersebut mendukung
maupun belum mendukung terwujudnya sistem pendidikan berkeadilan
untuk mengatasi kesenjangan sistemik pendidikan di Indonesia

Pengumpulan Data
Kami memulai penelitian ini dengan mengumpulkan data dengan
mereview dokumen-dokumen yang berkenaan dengan program
pendidikan pada LazisMu dan Dompet Dhuafa, baik dalam Katalog
program yang dikeluarkan oleh lembaga , maupun pada official website
LazisMu dan Dompet Dhuafa. Kemudian narasi dari kedua manajer
program dari LazisMu dan Dompet Dhuafa dikumpulkan melalui ‘in-
depth interview’. Sebelum melakukan interview dengan kedua majer
program LAZ tersebut, peneliti telah merefleksikan dirinya dalam
mempelajari program -program pendidikan yang terdapat pada masing-
masing LAZ.

18 Dalam theory-based sampling, kasus dipih berdasarkan “pertanyaan konseptual, dan bukan
berfoukus pada ‘representativeness’( bagaimana suatu kasus mewakili kasus yang lain)…”
(Miles & Huberman, 1994, hal.29).

178
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Analisa Data
Fokus utama dalam meneliti program pendidikan pada LAZ ini terletak
pada jenis-jenis program pendidikan yang dimiliki oleh LAZ serta
maksud dan tujuan penciptaan program pendidikan, Fokus program
pendidikan yang dijalankan (apakah karitatif atau hingga program
advokasi), serta sasaran program (ditujukan untuk mengembang
pendidikan pada umumnya ataukah targeted universalism). Dengan
menggunakan framework yang disebutkan di atas mengenai tiga
komponen fundamental dalam memaksimalkan program pendidikan
LAZ untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan.19 Penelitian ini
menunjukkan beberapa penemuan awal dari perbandingan antar
program pendidikan pada LazisMu dan Dompet Dhuafa. Disamping
itu, opini dan penjelasan dari manajer program LazisMu dan Dompet
Dhuafa digunakan untuk memeperkaya pemahaman pada review
dokumen dan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
penciptaan program pendidikan pada masing-masing LAZ.

Fokus Program Pendidikan LazisMu


dan Dompet Dhuafa
Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh program pendidikan pada
Lazismu termasuk dalam program karitatif, baik berupa bantuan
pembiayaan langsung maupun program inovasi. Hal tersebut
menunjukkan, bahwa skema program pendidikan lazismu adalah
pendekatan non-advokasi, dimana program-programnya difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang tidak tercakup dalam
program pemerintah. Pendekatan ini memang dapat menjawab
kebutuhan mendesak pendidikan, akan tetapi tidak menjawab akar
masalah dari kesenjangan pendidikan itu sendiri. Misalkan, pada
program beasiswa mentari yang memberikan bantuan pembiayaan

19 Kevin Welner dan Amy Farley, Loc.Cit

179
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

sekolah dari SD hingga SMA/K kepada 3100 pelajar dan 72 anak


asuh di Indonesia. Beasiswa ini meskipun dapat membantu siswa-siswa
yang membutuhkan bantuan untuk dapat terus bersekolah, akan tetapi
sumber daya pada LazisMu yang hanya mampu menyediakan kurang
lebih 3000 beasiswa, masih meninggalkan jutaan siswa miskin dan tidak
mampu lainnya dibelakang. Dengan tidak adanya kebijakan pembiayaan
yang memihak siswa miskin dan tidak mampu, LAZ terpaksa untuk
terus menerus berfungsi sebagai penambal kekurangan pemerintah.
Sebagai contoh, dikarenakan tidak adanya kebijakan pemerintah yang
menyediakan skema bantuan pendidikan bagi siswa miskin dan tidak
mampu, LAZ terus berusaha untuk menambal kekurangan pemerintah
ini, dengan memberikan bantuan pembiayaan pendidikan, akan tetapi
keadaan ini akan terus saja terjadi selama kebijakan pendidikan yang
dimiliki pemerintah tidak berubah.
Tabel 1. Program Pendidikan LazisMu
Jenis Program Nama Program Sasaran Program
Top-down Pendekatan legal - -
advokasi
Advokasi Pemberdayaan masyarkat sipil - -
akar melibatkan dan mendukung organisasi - -
rumput komunitas masyarakat miskin dan
tertinggal dalam dunia pendidikan
Penelitian pendidikan - -
Program Inovasi/kepakaran 4 sekolah kreatif, Pengembangan
Karitatif 6 sekolah aman, Sekolah
trensains Pengembangan
Sekolah
Musik edukasi Pengembangan
Sekolah
Bantuan Pembiayaan langsung Beasiswa sang surya Mahasiswa
Perguruan Tinggi di
Indonesia
Beasiswa mentari Siswa sd-sma
save our school Pengembangan
sekolah umum
dan sekolah
muhammadiyah
Program peduli guru Guru sekolah
umum dan sekolah
muhammadiyah

180
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Program-program pendidikan LazsiMu menunjukkan tidak adanya


program inovasi pendidikan yang ditujukan untuk mengatasi masalah
kesenjangan pendidikan yang dialami oleh anak dari keluarga miskin
dan tidak mampu. Demikian pula kontinuitas dari program karitatif
pendidikan ke dalam program advokas kebijakan pendidikan berkeadilan
masih belum ditemukkan. Hal ini mengindikasikan,masih minimya
peran LazisMu dalam mengatasi kesenjangan sistemik pendidikan di
Indonesia

Fokus Program Pendidikan DD


Tabel 2. Program pendidikan Dompet Dhuafa
untuk pendidikan berkeadilan
Jenis Program Nama Program Sasaran Program
Top-down Pendekatan legal - -
advokasi
Advokasi Pemberdayaan
akar masyarkat sipil -
rumput -
melibatkan dan Komunitas Filantropi
mendukung Pendidikan
organisasi komunitas
-
masyarakat miskin
dan tertinggal dalam
dunia pendidikan
Penelitian
pendidikan - -

Program Inovasi/kepakaran Kampus Bisnis Umar Usman Pengembangan sekolah


Karitatif Beasiswa anak tani Pendampigan Persiapan ke
Perguruan Tinggi
Komunitas Media Pengembangan sekolah
Pembelajaran
Pendampingan Perpustakaan Pengembangan Sekolah
Jaringan Sekolah Literasi Pengembangan Sekolah
Sekolah Literasi Indonesia Pengembangan sekolah
Sekolah Desa
Sekolah Beranda
Sekolah Urban
Sekolah Kota
Sekolah Smart Cibinong Pengembangan Sekolah
Sekolah Guru Indonesia Pengembangan sekolah
Smart Ekselensia Siswa smp-sma dari keluarga
miskin dan tidak mampu
terpilih se Indonesia

181
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Jenis Program Nama Program Sasaran Program


Program Bantuan Pembiayaan Beasiswa Aktivis Nusantara Aktivis Mahasiswa di
Karitatif langsung (Baktinusa) Perguruan Tinggi Indonesia
Beastudi Etos Mahasiswa di Perguruan
Tinggi favorit terpilih di
Indonesia
BEASISWA INDIA Mahasiswa s1 dari keluarga
miskin
Tertiary Education Support Bantuan pendidikan dan
Program (TESPRO) pembinaan anak-anak korban
bom kuningan
Beasiswa skripsi yarob Bantuan biaya skripsi bagi
mahasisa s1 dala jurusan teknik
dan ekonomi syariah
Beasiswa Prestasi chevron Beasiswa s1 bagi kalangan
dhuafa yang berdomisili di
wilayah sekitar area CGS
di Kabupaten Bogor dan
Sukabumi
Beasiswa Kepemimpinan Pengembangan kapasitas
dompet dhuafa keilmuan dan kepemimpinan
berupa dana dukungan S2
(bidang keilmuan yang
dibutuhkan masyarakat)
Beastudi ekonomi syariah pemberdayaan mahasiswa S1
calon pakar ekonomi syariah
yang merupakan kerja sama
antara Dompet Dhuafa dengan
STEI SEBI
Beasiswa Universitas Al Mahasiswa s2 Al-Azhar, Cairo
Azhar Cairo Mesir
Beasiswa dokter spesialis Beasiswa Dokter Spesialis
Jumlah Penerima Program merupakan program investasi
Beasiswa sumber daya manusia Dokter
Spesialis

Tabel 2 menunjukkan bahwa program pendidikan Dompet


Dhuafa, dalam program pendidikan dasar-pendidikan menengahnya
sebagian besar termasuk dalam program inovasi pendidikan. Program
program tersebut yakni berupa SLI yang merupakan program
inovasi pengembangan instruksional sekolah-sekolah di kalangan
masyarakat marjinal, KOMED yakni wadah pembinaan guru untuk
mengembangkan media pembelajaran, Beasiswa Anak Tani yakni
bantuan pembinaan dan pendampingan anak-anak petani yang duduk
di kelas 9 SMA/K/MA ,serta Pendampingan Perpustakaan yang

182
Nurul Iffakhatul Sholekhah

sesuai namanya merupkan program pendampingan perpustakaan di


berbagai sekolah dasar untuk meningkatakan literasi siswa. Disamping
itu DD juga memiliki program pelatihan guru bernama Sekolah Guru
Indonesia yang memiliki variasi program mulai dari pelatihan guru,
pengembangan kapasitas kepala sekolah serta beasiswa S2 dalam
bidang ilmu keguruan. Selanjutnya,salah satu program pendidikan
dasar-menengah DD juga termasuk didalamnya gabungan anatara
program pemberian beasiswa dan juga inovasi manajemn sekolah yakni
Smart Ekselensia,yang merupakan program sekolah gratis pada jenjang
smp dan sma selama 5 tahun bagi anak-anak sari keluarga miskni dan
tidak mampu. Sekolah ini, dalam deskripsi program pendidikan DD
disebutkan telah melahirkan lulusan berkualitas, yakni generasi yang
berkepribadian islami dan berjiwa pemimpin. Lebih lanjut dalam
program pendidikan dasar-menengah DD juga telah mengembangkan
jaringan komuntas pendidikan melalui Jaringan Sekolah Literasi dan
Komunitas Filantropi Pendidikan
Melalui program-program pendidikan dasar-menengahnya, pada
DD ditemukan telah berperan sebagai jurisdictional challenger yakni
sebuah lembaga yang membentuk organisasi pendidikan yang bersaing
atau menawarkan alternatif dari institusi pendidikan tradisional yang
ada.20 Hal ini dapat terlihat jelas pada dua program program DD
yakni program SLI disertai dengan Jaringan Sekolah Literasinya yang
berfokus pada peningkatan kualitas sekolah marjinal. Serta SGI yang
merupakan program alternatif pelatihan dan pengembangan kapasitas
guru maupun kepala sekolah.

20 Mehta, J., & Teles, S. “Jurisdictional politics: A new federal role in education”,in F. M.
Hess & A. P. Kelly (Eds.), Carrots, sticks, and the bully pulpit: Lessons from a half-century
of federal efforts to improve America’s schools, Cambridge, MA: Harvard Education
Press,2012,h.199-201.

183
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Sekolah Literasi Indonesia


Program SLI dan Jaringan Sekolah Literasi ini juga merupakan
program DD yang menunjukkan adanya program advokasi kebijakan
melalui akar rumput pada program pendidikan DD. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh manjer program pendidikan DD sebagai berikut,
“bagaimana kita lakukan advokasi secara benar-bener terlihat, misalkan
di salah satu wilayah atau kabupaten kita sudah mengintervensi 5 sekolah
dengan program Sekolah Literasi Indonesia, nah di program tersebut
kita mengembangkan skema oke dari lima SLI tadi harus ada sekolah
imbas yang itu harus dapat dikelola oleh sekolah-sekolah pionir , ketika
itu menjadi kegiatan bersama karena permasalahan kita adalah harus
meningkatkan kualitas sekolah itu akan menjadi agenda komunitas
pendidikan yang ada di kabupaten tersebut untuk lebih memberikan
rekomendasi kepada pemerintah daerah , jadi memang cara advokasinya
adalah bener-bener bertahap nggak langsung[...]” ( Februari, 2018)
Sekolah Literasi Indonesia (SLI) dibentuk untuk mewujudkan sekolah
berbasis masyarakat yang berkonsentrasi pada peningkatan kualitas
sistem instruksional pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah21.
Manajer program pendidikan Dompet Dhuafa lebih lanjut melanjutkan,
bahwa sekolah yang dikembangkan dalam Sekolah Literasi Indonesia
merupakan sekolah formal khusus yang berada dalam naungan
Kementerian Agama (wawancara, Februari 2018). Penerima manfaat
program ini adalah sekolah-sekolah masyarakat marginal. Berdasarkan
daerah penerima manfaat, sasaran sekolah literasi Indonesia dibagi
menjadi tiga wilayah pengembangan : Sekolah Desa, Sekolah Kota.
Sekolah Urban, Sekolah Beranda( perbatasan, terpencil, dan pulau
terluar) SLI ini hingga tahun 2017 sudah mencakup 38 sekolah

21 Dompet Dhuafa, Public Expose :Dompet Duafa Pendidikan 2017, Jakarta:Dompet


Dhuafa,2017.

184
Nurul Iffakhatul Sholekhah

dampingan dan 10 sekolah jaringan dengan rencana untuk mencakup


hingga 148 jaringan sekolah literasi di tahun 2018 ini.22
Program Sekolah Literasi Indonesia(SLI) dan Jaringan Sekolah Literasi
(Serasi Network) merupakan dua program yang terkait satu sama lain
dimana Serasi Netwok, merupakan jaringan dari Sekolah Literasi
Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah apakah SLI merupakan
program yang menjawab permasalahan pendidikan yang dimiliki oleh
anak dari keluarga miskin dan tidak mampu? SLI diketahui merubkan
sebuah program pendidikan untuk meningkatan kualitas sistem
instruksional pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah, manajer
program pendidikan DD menjelaskan bahwa,
“Kalo SLI berkesinambungan sesuai dengan assessment awal bahwa
kita kan mendampingi sekolah yang memiliki kapasitas awalnya itu
jelek, kapasitas bukan infrastruktur ya, apakah dari kualitas sekolah,
kualitas kepala sekolah, kualitas manajemen sekolah, nah kita mulai
melakukan penilaian[…]” (Februari 2018)

dimana dalam keterangan programnya disebutkan bahwa keunggulan


programnya, yakni :
1. Kecakapan literasi
2. Efektivitas pembelajaran
3. Kepemimpinan instruksional
4. Lingkungan belajar yang kondusif
5. Pembiasaan karakter
6. Efektivitas manajerial.23
Dalam program ini, DD memberikan pendampingan sekolah tertinggal
dalam kurun waktu satu tahun yang kemudian dilanjutkan dengan
monitoring berkala oleh pihak sekolah kepada DD, sebagaimana yang
dijelaskan oleh manajer program pendidikan DD sebagai berikut,

22 Ibid.,
23 Ibid.,

185
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

“[…]oh sekolah itu jelek,bintang satu misalkan, nah kita punya target
satu tahun sekolah ini harus bisa bintang lima misalkan, selama satu
tahun, setelah itu sekolah tidak didampingi tapi tetap kita monitor,
dan mereka berkewajiban untuk memberikan report dari apa yang
sudah kita berikan, metode atau tools yang telah kita berikan untuk
mengukur sekolah mereka” (Februari,2018)

Ukuran keberhasilan suatu sekolah dalam SLI ini diukur dengan


bagaimana sekolah mampu melaksanakan visi-misi sekolah. Akan
tetapi bagaimana proses pendidikan membantu siswa-siswa untuk
meningkatkan keberhasilan belajaranya belum merupakan tujuan dari
program ini, sebagaimana yang diungkapakan oleh manajer program
pendidikan DD berikut ini,
“[…](keberhasilan sekolah)kita lihat dari konsep visi-misi sekolah
yang ingin dikembangkan,apakah konsepnya hanya akademik atau
apakah ada yang lain, apakah konsepnya mereka kembangkan
sekolah karakter,punya karakter, inovatif, main musik, atau peduli
lingkungan atau apa, keberhasilan itu tidak hanya dari UN,itu
adalah sampingan saja[…]” (Februari,2018)

“[…]Nggak lah (tidak ada program untuk siswa yang kesulitan


belajar),kita langsung intervensi guru-gurunya, kita asumsikan
murid murid itu normal.” (Februari,2018)

Program SLI sebagai program jurisdictional challenge, telah menyediakan


program alternatif pengembangan kapasitas instruksional dengan
tujun untuk meningkatkan “kualitas” sekolah marjinal. Meskipun,
pengembangan “kualitas” yang diusung oleh DD melalui SLI ini adalah
kualitas dalam kaitanya dengan kepribadian dan karakter yang dimiliki
oleh siswa sebagaimana yang telah peneliti paparkan pada bagian SLI
sebelumnya. Dengan tujuan tersebut, DD kemudian mengembangkan
komunitas SLI dalam Jaringan Sekolah Literasi melalui skema Sekolah
Imbas sebagaimana paparan manajer program pendidikan DD diatas
Dari temuan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun program
SLI memang ditujukan untuk sekolah tertinggal pada masyarakat

186
Nurul Iffakhatul Sholekhah

marjinal, akan tetapi apakah kemudian SLI ini dapat menjawab


permasalahan pendidikan siswa miskin dan tidak mampu sebagaimana
yang dipaparkan, misalkan mengenai permasalahan capaian akademik
siswa dari keluarga miskin dan tidak mampu tidak terlihat dalam
program ini.
Melalui rangkain program SLI dan Jaringan Sekolah Literasi, DD
telah menjalankan apa yang disebut dengan advokasi akar rumput
yang merupakan suatu usaha untuk merubah kebijakan, salah satunya
yakni melalui program pengembangan komunitas melalui Jaringan
Sekolah Literasi. Akan tetapi,meskipun suatu usaha advokasi kebijakan
ditemukan dalam program pendidikan DD, namun meninjau dari
tujuan program SLI yang dapat dilihat pada bagian pembahasan SLI
sebelumnya, peneliti berependapat bahwa rangkaian program advokasi
kebijakan melalui dua program tersebut diatas belum menjawab
permasalahan kesenjangan sistemik pendidikan di Indonesia.

Sekolah Guru Indonesia


Sekolah Guru Indonesia yang merupakan program pelatihan dan
pengembangan kapasitas guru terdiri dari 4 diverensiasi program mulai
dari program pelatihan dan penempatan fresh graduate guru, pelatihan
guru serta pengembangan kapasitas kepala sekolah. Memastikan
kualitas kepala sekolah dan guru merupakan kunci dari pendidikan
berkeadilan untuk dapat menjawab permasalahan kesenjangan sistemik
pendidikan yang dihadapi oleh anak dari keluarga miskin dan tidak
mampu.24 Program pengembangan kualitas kepala sekolah dan guru
untuk dapat menghasilkan kepala sekolah dan guru yang berkualitas
yang mampu meningkatkan performa sekolah yang tertinggal dan
menjawab permasalahan pendidikan memerlukan program khusus

24 OECD, Education at a Glance 2011: OECD Indicators,Paris: Organization for Economic


Cooperation and Development,2011.

187
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

yang memberikan pembekalan dan ilmu yang memadai baik bagi


kepala sekolah dan guru untuk dapat memahami permasalahn-
permasalahan yang terdapat sekolah-sekolah yang tertinggal dan siswa
dari keluarga miskin dan tidak mampu serta bagaima cara terbaik untuk
menghadapai hal tersebut.25Melalui program SGI, DD telah memulai
pembinaan mahasiswa keguruan yang baru saja lulus untuk ditempatkan
pada sekolah-sekolah yang membutuhkan hingga pelatihan dan
pengembangan kapasitas kepala sekolah dan guru. Akan tetapi, data
yang dimiliki peneliti tidak cukup memadai untuk menganalisa apaah
program-program dalam SGI telah memberikan pembekalan khusus
bagi para kepala sekolah maupun guru yang mengajar di sekolah-
sekolah yang tertinggal.
Disamping program-program tersebut, DD juga memiliki program
KOMED yang ditujukkan untuk mengembangkan media pembelajaran.
Namun kemudian apakah media –media pembelajaran yang diusung dan
dikembangkan dalam komunitas ini ditujukkan untuk meningkatkan
capaian belajar siswa perlu untuk diteliti lebih lanjut.

Program Community Engagement Dompet Dhuafa


Merupakan sebuah program yang berfokus pada community
engagement , dalam deskripsi programnya dijelaskan bahwa program
ini bertanggungjawab untuk “mengelola community Engagement,
communication and resources mobilitation, dan stakeholder relation
management”. Program ini memiliki dua anak kegiatan yakni
Pengelolaan Alumni, yakni Alumni Smart Ekselensia dan Alumni
beasiswa DD lainnya meliputi pendataan, orientasi, pengembangan
SDM, dan penguatan sistem pengelolaan serta Komunitas Filantropi
Pendidikan Indonesia, yang dalam Katalog program Dompet Dhuafa

25 Day, C., et al,The Impact of School Leadership on Pupil Outcomes,University of


Nottingham,2009.

188
Nurul Iffakhatul Sholekhah

dideskripsikan sebagai “gerakan kerelawanan yang mengajak khalayak


untuk sama-sama ambil bagian dalam proses pemenuhan hak pendidikan
masyarakat marginal”. Lebih lanjut manajer program pendidikan DD
menjelaskan bahwa,
“Komunitas pendidikan Indonesia lahir dari para relawan-relawan
yang pernah berinteraksi dengan dompet dhuafa dan memiliki value
pergerakan yang sama untuk memajukan pendidikan[…]” (Februari
2018)

Dalam publikasinya disebutkan bahwa hingga tahun 2017 kemarin DD


melalui program Komunitas Filantropi Pendidikan telah menjaring
kurang lebih sebanyak 4000 relawan dan 50 komunitas pendidikan.26
Sementara program-program yang telah dilaksanakan DD dalam
Komunitas Filantropi Pendidikan ini, diantaranya yakni kegiatan-
kegiatan yang melibatkan para relawa, melalui kegiatan Dapur
Relawan, Cuti Berbagi dan Ruang Inspirasi, serta pelaksanaan kegiatan
Training Cerdas Sosial Untuk para pelajar yang telah dilaksanakan di
11 Kabupaten/Kota.27
Pengembangan dan pemberdayaan komunitas diketahui merupakan
salah satu langkah utama dalam rangkaian program advokasi akar-
rumput untuk mendapatkan masukkan dan dukungan langsung dari
komunitas masyarakat rentan dan tertinggal atas program pendidikan
yang diusung sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.
Akan tetapi, pada temuan diatas mengungkapkan bahwa program
Strategic Partnership Dompet Dhuafa, khusunya dalam program
Community Engagement, masih belum terintegrasi dalam suatu usaha
untuk menjaring masukkan dan dukungan untuk atas program- yang
diusung oleh Dompet Dhuafa. Menanggapi mengenai hal tersebut,
manajer pendidikan DD menjelaskan bahwa,

26 Dompet Dhuafa, Katalog Program Dompet Dhuafa 2017, Jakarta:Dompet Dhuafa,2017


27 Ibid.,

189
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

[…] “kita berikan kebebasan komunitas relawan untuk lebih


mengembangkan diri dalam hal masalah pendidikan selain itu masih
harus memiliki ruh value dompet dhuafa. Value domept dhuafa itu
pertama misalkan kita mendapatkan ilmu pengetahuan dari dompet
dhuafa dan kewajiban kita itu harus me-share pengetahuan itu.”
[…] (Februari 2018)

Pernyataan tersebut diatas menjelaskan bahwa arah dan kegiatan yang


diusung oleh baik itu jejaring relawan maupun komunitas sepenuhnya
berada ditangan mereka. Sedangkan program maupun kegiatan
dengan format melibatkan komunitas untuk mengetahui permasalahan
kesenjangan pendidikan maupun melibatkan komunitas dalam
penelitian untuk mengetahui bagaimana langkah terbaik mengatasi
permasalahan kesenjangan pendidikan belum terlihat dalam Community
Engagement Dompet Dhuafa

Program Pendidikan Tinggi pada Dompet Dhuafa


Program Pendidikan Dompet Dhuafa, secara keseluruhan terlihat
didominasi oleh progam Beastudi Pendidikan yang memiki 11 jenis
program beasiswa kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi sebagimana
yang da;at dilihat pada Gambar 5 dengan berbagai skema dan variasi
program, yang terdiri dari; Beasiswa Etos; Baktinusa; beasiswa India
dan beasiswa anak tani dibawah program Beasiswa BANTU; 3
beasiswa kepakaran yakni beasiswa Chevron, Beasiswa Skripsi Yarob,
dan TESpro; serta 5 Beasiswa Kepakaran yang terdiri atas Beasiswa S2
Kepemimpinan DD, Beasiswa S2 Al-Azhar, Beasiswa Dokter Spesialis,
Beastudi Ekonomi syariah,dan School Leadership Engineering.

Sasaran Program Pendidikan LazisMu


dan Dompet Dhuafa
Dalam menjalankan program pendidikannya LazisMu sebagaimana
yang ditunjukkan oleh Gambar 3, memiliki 4 program pengembangan

190
Nurul Iffakhatul Sholekhah

sekolah. Program pengembangan sekolah yang dimaksud disini adalah


program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas suatu
sekolah secara keseluruhan baik melaui peningkatan sarana dan
prasarana sekolah dan strukturnya, inovasi dalam manajemen sekolah,
kurikulum, program pengayaan sekolah serta segala hal yang terkait
dengan peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.28 Program
pengembangan sekolah yang dimiliki LazisMu terdiri dari program
inovasi manajemen sekolah, berupa sekolah creative dan sekolah
aman yang memperkenalkan sekolah anti bullying, trensains dengan
mengusung inovasi kurikulum sekolah setingkat SMA yang berupa
penggabungan antara pesantren dan sains. Selain itu, terdapat juga
program musik edukasi yang menyasar berbagai Taman Kanak-kanak,
dan juga Program Peduli Guru yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan guru.
Sedangkan untuk program-program pendidikan dengan tujuan untuk
mengatasi permasalahan pendidikan pada siswa yang tertinggal dan
tidak mampu LazisMu memiliki program berupa beasiswa mentari,
yang merupakan pemberian bantuan pembiayaan pendidikan bagi
anak-anak yatim dan pelajar dari keluarga kurang mampu ditingkat SD-
SMA dan beasiwa Sang Surya berupa bantuan pembiayaan perguruan
tinggi. Kedua, program yang ditujukan untuk siswa dari keluarga miskin
dan tidak mampu ini bertujuan untuk memberikan bantuan akses
pendidikan berupa bantuan pebiayaan pendidikan. Gambaran sebaran
jenis program pendidikan yang terdapat di lazismu diatas menunjukkan
bahwa sebagian besar program pendidikan lazismu, yakni 4 dari 6
program pendidikan, berfokus pada program peningkatan sekolah
secara umum.

28 Kevin Welner dan Amy Farley, “A Philanthropy at Its Best Report , Confronting Systemic
Inequity In Education :High Impact Strategies for Philanthropy.”

191
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Sementara itu, Dalam menjalankan program pendidikannya Dompet


Dhuafa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 4, memiliki
20 jenis program pendidikan,yang terbagi menjadi 12 program yang
ditujukkan untuk menyelasaikan permasalahan pendidikan pada anak
dari keluarga miskin dan tidak mampu, 6 program pengembangan
sekolah, serta 2 program pengembangan komunitas pendidikan
sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kategori Program Pendidikan Dompet Dhuafa

Program pengembangan sekolah yang dimiliki Dompet Dhuafa terdiri


dari: program inovasi manajemen sekolah dalam program SLI dan
KOMED; Program pendidikan guru yakni melalui program SGI;
serta pembentukan inovasi program perguruan tinggi yang berfokus
pada bisnis Islam bernama Kampus Umar-Usman, dan program
untuk meningkatkan literasi siswa dalam program Pendampingan
Perpustakaan.
Sedangkan program pendidikan Dompet Dhuafa yang ditujukkan
untuk mengatasi permasalahan pada anak miskin dan tidak mampu

192
Nurul Iffakhatul Sholekhah

terdiri dari program pendampingan siswa dalam Beasiswa Anak Tani,


gabungan antar program pemberian bantuan langsung dan inovasi
manajemen pengembangan sekolah untuk anak dari keluarga miskin
dan tidak mampu dalam program Smart Ekselensia dan program
karitatif berupa 11 jenis beasiswa perguruan tinggi kepada anak dari
keluarga miskin dan tidak mampu sebagaimana yang terlihat dalam
gambar 4. Disamping itu, dalam program pendidikannya DD juga
memiki dua program pengembangan komunitas pendidikan melalui
Jaringan Sekolah Literasi dan Komunitas Filantropi Pendidikan.
Gambaran sebaran jenis program pendidikan Dompet Dhuafa diatas,
menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan
menengah, program pendidikan DD lebih banyak terdiri dari 4
program pengembangan sekolah yakni SLI, KOMED, Pendampingan
Perpustakaan, dan SGI. Sementara program untuk mengatasi
permasalahan pendidikan yang dialami oleh anak dari keluarga miskin
dan tidak mampu yang terdiri dari 2 program, yakni program Smart
Ekselensia dan Beasiswa Anak Tani.

Tujuan Program Pendidikan LazisMu dan DD


Dalam penyusunan program-programnya, termasuk di dalamnya
program pendidikan, lazisMu menerapkan beberapa kriteria bagaimana
suatu program diputuskan untuk di jalankan yakni (1)assessment akar
rumput organisasi Muhammadiyah, sebagaimana mana yang dijelaskan
manajer program lazsiMu yang menyatakan,
“misalnya pada program karitatif itu berdasarkan temuan fakta
di lapangan. Jaringan muhammadiyah kan luas, ada dari rumah
sakit, sekolah, perguruan tinggi, ortom-ortom muhammadiyah,
dan majelis lainnya. Mereka biasanya assessment di lapangan,
mereka menemukan masalah-masalah di masyarakat dan berusaha
memecahkan. Nah itu nanti, mereka ke lazismu. Selain mereka
punya dana sendiri, mereka ke lazizsmu juga” ( Januari 2018)

193
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Salah satu contoh dari program pendidikan lazismu dengan pola


perumusan program seperti ini dapat terlihat jelas pada program
Trensains, dimana program ini merupakan salah satu dukungan lazismu
dalam proyek yang diusung oleh salah satu kader organisasi masyarakat
Muhammadiyah, manajer program LazisMu menyatakan bahwa,
“…trensains ini merupakan salah projek karya satu kader terbaik
muhammadiyah, yang dana pembangunanya berasal dari kerjasama
Lazismu dan Muhammadiyah. Program ini ditujukkan untuk
masyarakat umum…”( Januari 2018)

Demikian pula, dalam Program Peduli Guru, dimana program


dilaksanakan berdasarkan temuan di lapangan bahwa masih banyak
guru yang mengabdi dalam sekolah-sekolah muhammadiyah yang
memiliki kesejahteraan rendah, meskipun kemudian penerima bantuan
program ini tidak hanya terbatas pada guru-guru yang mengabdi dalam
sekolah milik Muhammadiyah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
manajer program LazisMu berikut yang menyatakan,
“Misalnya, salah satu rekomendasi dari muhamadiyah ada
menyangkut buruh migran, itu kita terjemahkan dalam bentuk
program. Program itu ada advokasi buruh migran, ada des bumi
(desa buruh migran). Kita mendorong peraturan pemerintah agar
buruh migran terlindungi secara hukum” ( Januari 2018)

Kedua, yakni menjawab isu-isu terkini dalam masyarakat. yakni goal


yang telah ditetapkan dari awal yang merupakan terjemahan dari visi
misi muhammadiyah. manajer program lazismu menjelaskan lebih
lanjut sebagai berikut,
“Misalnya, salah satu rekomendasi dari muhamadiyah ada
menyangkut buruh migran, itu kita terjemahkan dalam bentuk
program. Program itu ada advokasi buruh migran, ada des bumi
(desa buruh migran). Kita mendorong peraturan pemerintah agar
buruh migran terlindungi secara hukum” ( Januari 2018)

Dalam 13 rekomendasi muktamar Muhammadiyah terdapat


rekomendasi-rekomendasi program untuk lazismu, berupa: membangun

194
Nurul Iffakhatul Sholekhah

masyrakat ilmu, toleransi dan kerukunan umat beragama, peningkatan


daya saing umat Islam, penyatuan kalender Islam, pelayanan dan
pemberdayaan kelompok difabel, pengendalian narkotika, psikotropika
dan zat adiktif, tanggap dan tangguh menghadapi bencana, optimalisasi
bonus demografi, gerakan berjamaah lawan korupsi, jihad konstitusi,
adaptasi dan migrasi perubahan iklim, pemanfaatan teknologi
komunikasi, serta human trafficking dan perlindungan buruh migran.29.
Salah satu contoh dari program pendidikan LazisMu yang berdasarkan
pada terjemahan visi dan misi Muhammadiyah, yakni program Beasiswa
Surya kepada para mahasiswa yang memplejari ilmu pengetahuan yang
dibiutuhkan masyarakat, salah satunya yakni Beasiswa kepada para
mahasiswa yang memepelajari Ilmu Falaq, sebagaimana rekomendasi
Muktamar Muhammadiyah untuk melakukan penyatuan kalender
Islam.
Sementara itu, pada Dompet Dhuafa, penelitian ini menemukan
bahwa program pendidikan Dompet Dhuafa dirumuskan dalam rangka
mengimplementasi visi-misi dan nilai- nilai lembaga yang dimiliki
oleh Dompet Dhuafa. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa progam-
program pendidikan DD dilaksanakan dengan menuju pada 3 misi dari
Dompet Dhuafa itu sendiri yakni,
1. Melahirkan kader pemimpin berkarakter dan berkompetensi global
2. Melakukan advokasi kebijakan untuk mewujudkan sistem yang
berkeadilan
3. Mengembangkan diri sebagai organisasi global melalui inovasi,
kualitas pelayanan, tranparansi, akuntabilitas, independensi dan
kemandirian lembaga
Kemudian pelaksanaan programnya dibagi kedalam tiga bagian, yakni
program-program pendidikan dibawah Dompet Dhuafa Pendidikan

29 LazisMu, Proposal Program LazisMu 2017, Jakarta:LazisMu,2017

195
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

dan juga program-program dibawah DD Corporate University, serta


Program Kampus Bisnis Umar-Usman.
Demikan pula pada program-program pendidikan DD dibawah
Dompet Dhuafa Pendidikan juga dilaksanakan berdasarkan pada visi
dan misi yang dimiliki oleh DD Pendidikan, yakni :
Visi
Terpercaya dalam memberdayakan masyarakat marjinal melaui
program pendidikan yang berkualitas

Misi
1. Menyelenggrakan model pendidikan berkualitas bagi masyarakat
marginal
2. Melahirkan pemimpin masyarakat
3. Mewujudkan tata kelola organisasi yang berdaya saing global30

Berikut, peneliti paparkkan motif dan tujuan yang mempengaruhi


penciptaan program pendidikan DD,

Tujuan 1 : Melaksanakan visi dan misi DD


Melahirkan Pemimpin Masyarakat
Gambar 3 yang menunjukkan bahwa program pendidikan pada
Dompet Dhuafa di dominasi oleh program-program untuk Pendidikan
Tinggi yang berada dibawah divisi Beastudi Indonesia, yakni berupa 11
program karitatif pembiayaan langsung dalam skema beasiswa. Program
Perguruan Tinggi Dompet diciptakan sebagai bentuk implementasi
dari visi-misi maupun nilai organisasi yang dimiliki oleh Dompet
Dhuafa. Sebagaimana yang dapat terlihat dalam “Annual Report:
Public Exspose Dompet Dhuafa Pendidikan 2017”, menyatakan bahwa
program-program dibawah divisi Beastudi Indonesia bertujuan untuk
mencetak SDM startegis di level perguruan tinggi dengan melakukan
pembinaan,kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa,

30 Dompet Dhuafa, “Public Exspose: Dompet Dhuafa Pendidikan 2017”.

196
Nurul Iffakhatul Sholekhah

[…](dalam)mencetak SDM startegis DD pendidikan dilakukan


dengan mencari bahan terbaik, kemudian mencampur bahan
baku dengan komposisi tertentu, mencetak, merapikan , kemudian
membakar sesuai dengan rentang waktu tertentu hasilnya batu bata
terbaik siap menjadi bagian dari rumah besar peradaban bangsa.
(hal. 23)

Contoh dari program untuk mengimplementaasikan misi DD


pendidikan dalam melahirkan pemimpin masyarakat dapat terlihat pada
program untuk melahirkan pemimpin masyaratkat dapat terlihat pada
program Beasiswa Etos, dimana Dompet Dhuafa memberikan beasiswa
kepada mahasiswa yang berasal dari keluaraga miskin dan tidak mampu
yang diterima di 17 Perguruan Tinggi favorit di Indonesia, beserta
dengan asrama dan program pembinaan. Disamping itu, terdapat
program Baktinusa, sebuah program yang ditujukkan khusus untuk para
aktivis kampus agar memiliki skill leadership. Para aktivis kampus ini,
diharapkan untuk dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang memiliki
integritas di berbagai sektor kehidupan bangsa.31Demikian pula pada
program Smart Ekselensia, yang dalam Katalog Program Pendidikan
Dompet Dhuafa 2017 memiliki tujuan sebagai berikut,
(Siswa Smart Ekselensia) dikembangkan menjadi seorang
pembelajar dan pemimpin yang memegang kuat nilai-nilai Islam
dan siap memberikan kontribusi terbaik bagi agama dan bangsa

Hal tersebut kemudian sejalan dengan dengan salah satu misi Dompet
Dhuafa Pendidikan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya
yakni “melahirkan pemimpin masyarakat” yang sekaligus juga
mengusung misi Dompet Dhuafa untuk melahirkan kader pemimpin
berkarakter dan berkompetensi global.
Dalam penjelasan mengenai tujuan program Beastudi Indonesia
diatas secara jelas menerangkan bahwa DD dalam program Perguruan

31 Dompet Dhuafa, Ibid.,

197
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Tingginya menekankan pada pembinaan Sumber Daya Manusia(SDM)


strategis dengan memilih bahan-bahan terbaik, yang diimplementasikan
dengan memberikan Beasiswa kepada mahasiswa yang diterima pada
Perguruan Tinggi favorit dai keluarga miskin dan tidak mampu32.
Pemilihan SDM startegis ini, dijelaskan oleh manajer program
pendidikan Dompet Dhuafa sebagai perwujudan salah satu dampak
program pendidikan yakni sustainability pengetahuan, dimana dengan
program beasiswa bagi mahasiswa yang diterima pada perguruan-
perguruan tinggi favorit di Indonesia, yang dipercaya merupaka
perguruan tinggi yang dipercaya meluluskan lulusan yang berkualitas,
maka ilmu dari para penerima beasiswa ini kemudian dapat dimanfatkan
secara luas untuk msyarakat. Sebagaimana yang diungkapakan oleh
manajer program pendidikan Dompet Dhuafa bahwa,
[…]“salah satu indicator sustainable pengetahuaan dalam program
pendidikan Dompet Dhuafa, bahwa ilmu itu tidak disimpan untuk
kita sendiri, akan tetapi dibagikan agar bermanfaat untuk orang lain
.”[…] (Februari 2018)

Membentuk Model Pendidikan Berkualitas bagi Masyarakat


Marjinal
Visi dan misi DD Pendidikan untuk menciptakan “model Pendidikan
Berkualitas bagi masyarakat marjinal”33,diterjemahkan melalui program
Smart Ekselensia Islamic Leadership Boarding School.Program ini
merupakan program sekolah gratis dari tingkat SMP-SMA selama 5
tahun yang disertai dengan pembinaan untuk menghasilkan lulusan
yang memiliki jiwa pemimpin yang memegang teguh tatanan nilai
Islam. Program ini diberikan kepada siswa terpilih dari keluara dhuafa
dan laki-laki. Dalam Katalog programnya diterangkan bahwa alumni
program Smart Ekselensia diterima di Perguruan Tinggi favorit

32 Dompet Dhuafa, Ibid.,


33 Ibid.,

198
Nurul Iffakhatul Sholekhah

di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh manajer program


pendidikan Dompet Dhuafa sebagai berikut,
“dompet dhuafa dalam pendidikan lebih kepada bagaimana
memberikan akses pendidikan pada masyarakat marginal, marginal
itu dalam konteks kemiskinan mereka termasuk dalam keluarga yang
miskin yang tidak dapat tidak dapat mengakses pendidikan yang
baik, marginal itu dalam konteks geografis, misalnya masyarakat
yang ada di suku pedalaman atau di perbatasan. Jadi bagaimana kita
bisa memeberikan layanana kulaitas pendidikan pada masyarakat
marginal yang ke dua bagaimana kita bisa meningkatakan kualitas
pendidikan tidak hanya di masyarakat marginal tapi bagaimana
kita juga bisa meningkatkan akases pendidikan bagi masyarakat
kota.”[…] (Februari,2018)

Tujuan 2 : memenuhi internal need lembaga


Disamping sebagai bentuk implementasi visi dan misi yang dimiliki,
program pendidikan Dompet Dhuafa juga diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan dari lembaga sebagaimana yang ditemukani pada program
Beasiswa S2 Dokter Spesialis dan S2 Al-Azhar, sebagimana yang
dijelaskan oleh manajer program pendidikan Dompet Dhuafa sebagai
berikut,
[…]“memberikan beasiswa kepakaran pada mahasiswa S2 Al-Azhar
dengan tujuan mahasiswa bisa memeberikan sumbangsih yang nanti
setelah lulus dapat menyumbangkan ke program-program da’wah
yang dikembangkan oleh dompet dhuafa, mereka nanti bisa menjadi
endorstment Dompet Dhuafa di berbagai negara, misalkan dompet
dhuafa buka cabang di Hongkong, kita utus untuk mengembangkan,
oleh dompet dhuafa penekannya di sana , ketika dia punya title
al-azhar kan penilaian orang wah ini cara akademisnya benar, itu
menjadikan potisioning branding pada dompet dhuafa,”[…] (
Februari 2018)
[…]“kenapa kita memberikan beasiswa dokter karena dompet
dhuafa sedang mengembangan rumah sakit . semoga mahasiswa
yang diberikan beasiswa ini bisa bekerja dan itu ada di MOU nya
mereka diberikan beasiswa dengan ikatan dinas, harus mengabdi
di rumah sakit yang didirikan oleh dompet dhuafa”[…] (Februari
2018)

199
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Tujuan 3 :Dompet Dhuafa sebagai Jurisdictional Challenger


Melalui ketiga program pendidikan yakni Smart Ekselensia, SLI beserta
Jaringan Sekolah Literasi,dan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa
berperan sebagai jurisdictional challenger , yakni suatu organisasi yang
membetuk dan atau menawarkan program pendidikan yang menjadi
alternative dari institusi pendidikan tradisional yang ada (Reckhlow
& Synder, 2014). Hal ini juga beriringan dengan visi dan misi pada
Dompet Dhuafa Pendidikan yakni “mendirikan sekolah model untuk
masyarakat marjinal”34,serta nilai-nilai Islami dan Inovatif yang dianut
oleh lembaga Dompet Dhuafa.35
[…]“awalnya memikirkan permasalahan yang ada di pendidikan yang
belum dijamah oleh pihak lain lalu kita bandingkan dengan kebijakan
pemerintah, contohnya oh kebijakan pemerintah menegenai
infrastruktur , oke permasalahan pendidikan bisa diselesaikan oleh
pemerintah mengenai infrastruktur, apakah kemudian dompet
dhuafa memberikan infrastruktur ? tidak karena itu sudah diberikan
oleh pemerintah., apakah dompet dhuafa memberikan cash money
kepada sekolah yang telah dilaksanakan pemerintah melalui BOS ?
tidak karena itu suddah diberikan oleh pemerintah, jadi kita mencari
hal-hal yang menjadi key problem dalam pendidikan dan itu belum
ditangani oleh pihak manapun.”[…] (Februari 2018)
[…]“Prosesnya (menciptakan program pendidikan) adalah dari
pemikiran kita bahwa di pendidikan itu ada masalah , kita mencari
masalah utama pendidikan yang kemudian tidak ada pihak yang
mengurus masalah itu. Misalnya saja waktu itu pemerintah belum
consern dengan yang namanya literasi , kita kembangkan program
literasi, selama sepuluh tahun berjalan literasi menjadi suatu hal
yang terkenal dan sudah biasa sekarang. Contohnya seperti itu,
kita awalnya memikirkan permasalahan yang ada di pendidikan
yang belum dijamah oleh pihak lain lalu kita bandingkan dengan
kebijakan pemerintah”[…] (Februari, 2018)

Hal ini juga dapat terlihat pada program SLI dan SGI, dimana kedua
program tersebut ini memberikan pendampingan maupun pelatihan

34 Dompet Dhuafa.,Ibid
35 Dompet Dhuafa.,Ibid

200
Nurul Iffakhatul Sholekhah

yang menjadi alternative dari institusi pendidikan yang ada. Pada


SLI, DD menawarkan pendampingan untuk meningkatkan sistem
instruksional sekolah untuk mengisi kekosongan program pemerintah
maupun lembaga lain. Demikian pula dalam program SGI, lembaga
DD menawarkan program alternative pelatihan guru dan kepala
sekolah dari program pelatihan yang telah ada dan di selenggarakan
untuk pemerintah. Meskipun perlu dicatat bahwa sebagaimana yang
telah dibahas oleh peneliti pada pada pembahasan program SLI dan
Jaringan Sekolah Literasi pada bagian sebelumnya, peningkatan kualitas
pada program ini tidak ditekankan pada peningkatan capaian akademik
pada siswa di seolah-seolah marjinal yang berada di bawah program
ini. Demikian pula pada program Sekolah Guru Indonesia,karena
keterbatasan data yang dimiliki oleh peneliti, peneliti tidak dapat
menyimpulkan apakah program ini memiliki program pelatihan
khusus yang memberikan pembekalan pada guru-guru dan/atau Kepala
Sekolah dari sekolah untuk menangani permasalahan yang di hadapai
pada sekolah-sekolah marjinal dan permaslahan pendidikan pada siswa
dari keluarga miskin dan tidak mampu.
Demikian pula pada program Kampus Bisnis Umar-Usman, program
Bisnis Islam dipilih sebagai faktor pembeda (inovasi) dan untuk
menciptakan entrepreneur muslim yang tangguh, sebagaiman yang
diungkapkan oleh manajer program pendidikan Dompet Dhuafa yang
menyatakan,
[…] “kenapa dompet dhuafa nggak buka ilmu hadits atau ilmu apa
itu sudah banyak dilakukan perguruan tinggi lain, dan itu tidak seksi
lagi untuk dilakukan lagi oleh dompet dhuafa, dan dompet dhuafa
bisa saja memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang sedang S2
di al-azhar itu salah satu distingsi begitu. Jadi ini menjadi program
siswa engineering bagaimana dompet dhuafa bisa menciptakan
enterpeneur muslim yang tangguh.”( Februari 2018)

201
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Analisa Studi Antar Kasus Program Pendidikan


LazisMu dan Dompet Dhuafa
Dalam mewujudkan kebijakan yang mendukung pendidikan berkeadilan,
terdapat beberapa kunci utama yang harus dimiliki oleh LAZ, yakni:
deklarasi eksplisit untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan dan/
atau mengatasi kesenjangan sistemik pendidikan di Indonesia.
Program inovasi pendidikan yang ditujukan untuk mengatasi masalah
kesenjangan pendidikan yang dialami oleh anak dari keluarga miskin
dan tidak mampu. Serta kontinuitas antar program inovasi pendidikan
yang ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan pendidikan
yang dialami oleh anak dari keluarga miskin dan tidak mampu yang
kemudian dilanjutkan dengan program advokasi kebijakan lewat akar
rumput maupun top-down advokasi.36
Baik pada LazisMu maupun Dompet Dhuafa ditemukan suatu
persamaan, meskipun tidak pada semua program pendidikan, bahwa
motif penciptaan program pendidikan pada kedua LAZ tersebut yakni
untuk mengisi kekosongan dari peran pemerintah. Pada Dompet
Dhuafa terlihat bahwa program pendidikannya diarahkan untuk
melahirkan kader pemimpin masyarakat, sedangkan pada LazisMu
diarahkan untuk mengisi kekososngan pemerintah pada program-
program pendidikan ormas Muhammadiyah.
Pada LazisMu tidak ditemukan deklarasi eksplisist untuk mewujudkan
pendidikan berkeadilan, demikian pula tidak ditemukan program-
program pendidikan yang mengarah pada hal tersebut. Sementara DD
yang memiliki visi “Terwujudnya masyarakat dunia yang berdaya melalui
pelayanan, pembelaan dan pemberdayaan yang berbasis pada sistem yang
berkeadilan”, dengan salah satu misinya yakni, “Melakukan advokasi
kebijakan untuk mewujudkan sistem yang berkeadilan”,ditemukan memiliki

36 Kevin Welner dan Amy Farley, A Philanthropy at Its Best Report , Confronting Systemic
Inequity In Education :High Impact Strategies for Philanthropy.

202
Nurul Iffakhatul Sholekhah

program advokasi akar rumput yakni berupa program Jaringan Sekolah


Literasi yang berada dibawah program DD Pendidikan. Meskipun
program Sekolah Literasi belum menjawab permasalahan kesenjangan
sistemik pendidikan dan sebagian besar program pendidikan DD
didominasi oleh program Beasiswa Perguruan Tinggi. Seiring dengan
tidak ditemukannya deklarasi eksplisit untuk mewujudkan sistem
pendidikan berkeadilan dalam visi-misi DD Pendidikan yang menaungi
sebagian besar program pendidikan DD.
Tabel 3. Fokus dan trend Program pendidikan pada LazisMu dan
Dompet Dhuafa
Jenis Program LazisMu Dompet Dhuafa
Top-down Pendekatan legal
advokasi - -
Advokasi Pemberdayaan masyarkat sipil
akar rumput - -
melibatkan dan mendukung organisasi Jaringan Sekolah
komunitas pendidikan masyarakat Literasi,komunitas
-
miskin dan tertinggal dalam dunia Filantropi
pendidikan Pendidikan
Penelitian pendidikan - -
Program Inovasi/ Pengembangan sekolah Musik Edukasi, SLI,KOMED,
Karitatif kepakaran secara umum Sekolah Aman, Pendampingan
Sekolah Pintar, Perpustakaan. SGI
Trensains
masalah pendidikan siswa Smart Ekselensia
dari keluarga miskin dan -
tidak mampu
Bantuan Perguruan Tinggi Beasiswa Surya 11 Beasiswa dalam
Pembiayaan dibawah divisi
langsung Beastudi Indonesia
Pendidikan Dasar- Beasiswa Mentari, Beasiswa Anak Tani,
Menengah save our shool

Sementara misi DD untuk “melahirkan kader pemimpin berkarakter


dan berkompetensi global, yang diturunkan juga ke dalam misi DD
pendidikan “melahirkan pemimpin masyarakat”, terlihat kemudian
diwejawantahkkan dalam berbagai program pendidikan DD. Program
pendidikan untuk melahirkan pemimpin masyarakat dan pemimpin
muslim melalui pengelolaan SDM strategis bangsa, dengan mengkader
calon-calon pemimpin muslim yang dibina mulai dengan program

203
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Smart Ekselensia, SLI dan Jaringan Sekolah Literasi Indonesia, serta


Beastudi Indonesia yang mengkader mahasiswa-mahasiswa berprestasi
dari keluarga dhuafa untuk dapat menjadi pemimpin-pemimpin dalam
masyarakat dengan ilmu dan karakter yang dimiliki.
Tidak adanya deklarasi eksplisit untuk mewujudkan pendidikan
berkeadilan pada motif dan tujuan program pendidikan kedua LAZ
tersebut seiring dengan terciptanya 3 program pada LazisMu dan 12
program pada Dompet Dhuafa berupa bantuan pembiayaan langsung,
3 program Lazismu dan 4 Program DD berupa program inovasi
pendidikan yang menekankan pada pengembangan sekolah secara
umum sebagaimana yang dapat terlihata pada Gambar 6. Sebaran
program pada dua LAZ tersebut mengindikasikan bahwa program-
program pendidikan pada kedua LAZ tersebut belum diarahkan untuk
menjawab permasalahan kesenjangan sistemik pendidikan.

Pendidikan Islam vs Pendidikan Berkeadilan


Sementara Welner dan Ferley(2010) mengemukakan mengenai dua
kemungkinan pergesekkan kebijakan pada lembaga Filantropi dalam
pendidikan, yakni antara program pendidikan untuk mengatasi
permasalahan struktural atau masalah jangka pendek, dan antar kebijakan
untuk mengatasi permaalahan sekolah (peendidikan) secara umum atau
berfokus pada permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh anak-anak
dari keluarga miskin dan tidak mampu, penelitian ini menemukan
adanya pergesekkan kebijakan antara mendorong pendidikan Islam
dan pendidikan berkeadilan dalam program-program pendidikan yang
dimiliki kedua LAZ tersebut sebagai lembaga Filantropi Islam.
Pada Dompet Dhuafa ditemukan bahwa program-program pendidikan
yang dimilikinya masih didominasi oleh program-program yang
ditujukan untuk menciptakan pemimpin muslim yang unggul dan
berkualitas dengan program beasiswa yang diberikan kepada anak-anak

204
Nurul Iffakhatul Sholekhah

dari keluarga miskin dan tidak mampu yang memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan oleh Dompet Dhuafa. Demikian dengan program-
program pendidikan pada LazisMu yang diciptakan untuk sejalan
dengan pergerakan organisasi masyarakat Muhammadiyah maupun
organisasi pendidikan milik ormas Muhammadiyah. Tujuan penciptaan
program yang dilandaskan pada alasan tersebut tentunya belum dapat
menjawab polemik permasalahan kesenjangan pendidikan.
Meskipun, Latief dan Amirrachman(2016) telah menjelaskan bahwa
da’wah untuk menyebarkan nilai-nilai Islam merupakan unsur penting
dan tak terpisahkan dalam pelaksanaan program pendidikan oleh
LAZ, demikian pula bila dilihat dalam historisnya bahwa filantropi
Islam menjadi bagian penting dari tumbuh dan berkembang pesatnya
pendidikan Islam37, maka tujuan LAZ dalam menciptakan program
pendidikannya untuk menyebarkan nilai-nilai Islam dapat dipahami.
Disisi lain, LAZ diharapkan dapat menjalankan perannya untuk
menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. menjawab
masalah utama masyarakat saat ini, yakni permasalahan kesenjangan
sosial yang salah satu akanya berasal dari kesenjangan pendidikan di
Indonesia.
Oleh karena itu, peneliti berargurmen bahwa untuk mewujudkkan
pendidikan berkeadilan, sejatinya pergesekkan antar LAZ dan nilai
da’wah islam dengan program yang ditujukkan pendidikan berkeadilan
tidak perlu ada, mengingat pendidikan Islam dipercaya dapat menjadi
salah satu alternatif dalam semakin memeperluas layanan pendidikan
yang dapat dijangkau oleh masyarakat miskin dan tidak mampu.38
Akan tetapi, permasalahannya terletak pada bagaimana LAZ dapat
mengusung pendidikan Islam yang dapat menjawab permasalahan
kesenjangan pendidikan yang dihadapai oleh anak-anak dari keluaraga

37 Hilman Latief, “Filantropi Dan Pendidikan Islam di Indonesia”


38 Eliza Brewis , “Inclusive development in Indonesian higher education reform post-1997”

205
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

miskin dan tidak mampu, yakni dengan program-program pendidikan


yang menegedepankan kontinuitas dan integrasi program karitatif
pendidikan dan advokasi untuk menjawab permasalahan struktural
pendidikan.

Kesimpulan dan Penelitian Lebih Lanjut


Pada penelitian ini, pertama peneliti melaksanakan identifikasi dan
analisa pada program-program pendidikan yang terdapat pada dua
LAZ di Indonesia yakni pada LAZ berbasis Ormas, yakni LazisMu dan
LAZ berbasis OPZ, yakni Dompet Dhuafa. Kemudian, perbandingan
antar program pendidikan dan motif yang mempengaruhi penciptaan
program pada kedua lembaga tersebut peneliti lakukan untuk
mengetahui sejauh mana program pendidikan kedua LAZ tersebut
ikut andil dalam mewujudkan pendidikan berkeadilan. Penelitian
ini menemukan bahwa kedua LAZ tersebut menerapkan apa yang
disebut dengan Strategic Philanthropy, dimana program-program
pendididikan dilaksanakan untuk memenuhi goal maupun tujuan dari
LAZ.39 Penelitian ini kemudian juga menemukan bahwa program
pendidikan pada LAZ masih didominasi oleh program-program
karitatif pendidikan, berupa program bantuan pembiaayaan langsung,
melalui berbagai jenis beasiswa, maupun program inovasi pendidikan
yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan secara umum dan
bukan untuk menjawab permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh
anak-anak dari keluarga miskin dan tidak mampu. Sehingga, pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa program pendidikan pada LAZ
yang belum diarahkan untuk menjawab permasalahan kesenjangan
pendidikan, dikarenakan program pendidikan pada LAZ masih
disominasi program pendidikan LAZ yang ditujukkan untuk mengisi

39 Brest, P. dan Harvey, H, Money Well Spent. A Strategic Plan for Smart Philanthropy, New
York: Bloomberg Press.2008

206
Nurul Iffakhatul Sholekhah

kekosongan peran pemerintah dalam membangun dan menyebarkan


nilai-nilai Islam di Indonesia.
Penemuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa advokasi
kebijakan ditemukan pada saat LAZ tersebut secara eksplisit
mencantumkkan program adokasi kebijakkan pada visi maupun
misisnya sebgaimana yang ditemukkan pada DD. Hal ini menunjukkan
untuk dapat mengoptimalkan peran LAZ dalam mewujudkan sistem
pendidikan yang berkeadilan, deklasrasi eksplisit lembaga untuk
mengatasi kesenjangan sistem pendidikan dan mewujudkan pendidikan
berkeadilan baik dalam isi maupun misis nya menjadi hal utama yang
perlu dilakukan sebgaimana yang diungkapakan oleh Welner dan
Farley(2010).Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
pada LAZ yang ingin berperan dalam mewujudkan pendidikan
berkeadilan, sebagai kunci dalam mengatasi kesenjangan sosial di
Indonesia. Serta untuk memahami program-program pendidikan
seperti apakah yang harus dirancang dan dimiliki oleh LAZ dalam
mewujudkan agendanya tersebut.
Penelitian ini menggunakan analisa dokumen serta wawancara
untuk mengetahui sejauh mana program pendidikan pada LazisMu
dan Dompet Dhuafa ikut berperan dalam mewujudkan pendidikan
berkeadilan. Pemahaman terhadapa pelaksanaan pada tiap-tiap pogram
pendidikan yang dijalankan oleh kedua LAZ tersebut bergantung pada
deskripsi program pada dokumen yang dianalisa oleh peneliti serta
pemahaman yang peneliti peroleh melalui wawancara dengan manajer
program pendidikan kedua LAZ tersebut. Sehingga peneliti tidak
dapat menentukkan bagaimana dalam praktiknya tiap-tiap program
pendidikan dilaksanakan. Oleh karena itu, penelitian lapangan melalui
observasi yang mendalam pada tiap-tiap program pendidikan pada
LazisMu dan Dompet Dhuafa perlu untuk dilakukan untuk semakin
memberikan bukti empirik mengenai pelaksanaan program pendidikan

207
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

pada kedua LAZ tersebut serta dapat lebih memhamai dampak sosial
dari tiap-tiap program tersebut.
Selanjutnya,penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai
program pada tiap LAZ menarik untuk dilakukan untuk meberikan
pemahaman yang lebih utuh mengenai damapak tiap-tiap program,
seperti pada program SGI maupun SLI dengan Jaringan Sekolah
Literasinya. Disamping itu, memahami posisi LAZ dalam perannya
untuk mengatasi kesenjangan sosial dalam gender, menarik untuk
dibahas melalui program Smart Ekselensia milik Dompet Dhuafa yang
memberika beasiswa hanya kepada siswa laki-laki dari keluarga dhuafa.
Penelitian mengenai bagaimana perumusan rekomendasi Muktamar
Muhammadiyah juga menjadi hal yang menarik untuk diketahui untuk
memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih utuh mengenai
agenda yang diusung oleh organisasi masyarakat Muhammadiyah dan
LazisMu.

Daftar Pustaka
Brest, P. and Harvey, H. (2008): Money Well Spent. A Strategic Plan
for Smart Philanthropy. New York: Bloomberg Press.
Brewis, Eliza. Inclusive development in Indonesian higher education
reform post-1997. ASEASUK Conference; 16 September 2016,
UK
Clandinin, D., & Connelly, F. (2000). Narrative inquiry: Experience and
story in qualitative research. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Cruces, Guillermo, Marcelo Bérgolo, Adriana Conconi and Andrés
Ham (2012). “Are There Ethnic Inequality Traps in Education?”
Poverty Monitoring, Measurement and Analysis (pmma) Working
Paper 2012-05, Partnership for Economic Policy, Nairobi.
ESCAP. 2015. Time for Equality : The Role of Social Protection in
Reducing Inequalities in Asia and the Pacific. Bangkok: United
Nations publication

208
Nurul Iffakhatul Sholekhah

Fadillah et al (2012), “Organisasi Pengelola Zakat (Opz): Deskripsi


Pengelolaan Zakat Dari Aspek Lembaga Zakat”. Kajian Akuntansi,
pp. 60-74
Fauzia, A. (2017). Islamic philanthropy in Indonesia: Modernization,
Islamization, and Social Justice. Austrian Journal of South-East
Asian Studies, 10(2), 223-236
Goodrick, D. (2014). Comparative Case Studies, Methodological Briefs:
Impact Evaluation 9, UNICEF Office of Research, Florence.
Hanushek, E. and L. Woessmann (2006), “Does Educational Tracking
Affect Performance and Inequality? Differences-in-Differences
Evidence across Countries”, Economic Journal, Vol. 116, pp. 63–76.
Hess & A. P. Kelly (Eds.), Carrots, sticks, and the bully pulpit: Lessons
from a half-century of federal efforts to improve America’s schools
(pp. 197–216). Cambridge, MA: Harvard Education Press.
https://www.dompetdhuafa.org/pendidikan/in_non_formal/beastudi-
indonesia, diunduh pada 2 Januari 2018
https://www.dompetdhuafa.org/pendidikan/in_non_formal/sekolah-
guru-indonesia, diunduh pada 2 Januari 2018
https://www.dompetdhuafa.org/pendidikan/profil, diunduh pada 2
Januari 2018
https://www.dompetdhuafa.org/pendidikan/sekolah_mandiri/sekolah-
satya-cendekia, diunduh pada 2 Januari 2018
https://www.lazismu.org/pendidikan/, diunduh pada 2 Januari 2018
Indonesia Ministry of National Development Planning and the United
Nations Children’s Fund (2017). SDG Baseline Report on Children
in Indonesia. Jakarta: BAPPENAS and UNICEF
Latief dan Amirrachman. 2016. “Islamic Philanthrophy and The Rights
to Education: Modalities of Education Provision for Underprivileged
Groups in Indonesia” dalam Khun Eng Kuah dan Jason Eng Thye
Tan (Eds.). Educating Marginalized Communities in East and
Southeast Asia: State, civil and NGO partnerships. Routledge.
Latief, Hilman. (2013). “Filantropi Dan Pendidikan Islam di Indonesia”,
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. XXVIII No. 1 2013/1434, pp. 123-
139

209
Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan, Quo Vadis? (LazisMu vs Dompet Dhuafa)

Levacic, R. (2008), “Financing schools: evolving patterns of autonomy


and control”, Educational Management Administration and
Leadership, Vol. 36, pp. 221-34.
Lubienski, C. (2006), “School Diversification in Second-Best Education
Markets. International Evidence and Conflicting Theories of
Change”. Educational Policy, Vol. 20, No. 2, pp. 323-344.
Mehta, J., & Teles, S. (2012). Jurisdictional politics: A new federal role
in education. In F. M. Hess & A. P. Kelly (Eds.), Carrots, sticks,
and the bully pulpit: Lessons from a half-century of federal efforts
to improve America’s schools (pp. 197–216). Cambridge, MA:
Harvard Education Press.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An
expanded sourcebook. Thousand Oaks, CA: Sage
OECD (2011b). Education at a Glance 2011: OECD Indicators. Paris:
Organization for Economic Cooperation and Development.
Susanti, D. (2011) Privatisation and Marketisation of Higher Education
in Indonesia: the challenge for equal access and academic values, in
Higher Education 61 (2), 209-218
Welner and Farley, A Philanthropy at Its Best Report , Confronting
Systemic Inequity In Education :High Impact Strategies for
Philanthropy, NCRP:2010
Welner, Kelvin (2001). “Legal rights, local wrongs: When community
control collides with educational equity”.Albany, New York: SUNY
Press
Wicaksono, E., H. Amir, and A. Nugroho. 2017. The Sources of
Income Inequality in Indonesia: A Regression-Based Inequality
Decomposition. ADBI Working Paper 667. Tokyo: Asian
Development Bank Institute. Available: https://www.adb.org/
publications/sources- income-inequality-indonesia
World Bank. 2016. Indonesia’s rising divide. Washington, DC:
World Bank Group. http://documents.worldbank.org/
curated/en/267671467991932516/ Indonesias-rising-divide
(diakses 30 Agustus 2017).
Zainulbhar dan Francine (2017), “Laporan Singkat: Peran Zakat
dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”,
UNDP dan BAPPENAS

210

Kontribusi Lembaga Sosial
Berbasis Filantropi Islam
di Kota Pontianak
Nurhasanah

Abstrak:
Di Kalbar terdata sebanyak 65.203.000 jiwa pengguna narkoba dengan
sebaran terbanyak di kota Pontianak, sebesar 37,41% persentase mantan
napi tahun 2015-2017, dan pekerja seks komersial (PSK) secara angka
bisa dikatakan cukup mengkhawatirkan di kota tersebut. Adanya fakta
ini menjadi dasar peneliti untuk mengetahui kontribusi lembaga sosial
filantropi islam di kota Pontianak melalui lima lembaga terhadap ketiga
kelompok sosial tersebut. Selain itu untuk mengetahui variasi respon
donatur, dan dampak yang dirasakan penerima bantuan. Penelitian ini
menggunakan metode mix methods dengan sequential exploratory strategy.
Diketahui satu dari lima lembaga yang pernah membantu keluarga
mantan nara pidana dan pengguna narkoba di Beting. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi referensi untuk mengkaji kembali program
kerja lembaga filantropi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat khususnya di kota Pontianak.
Kata kunci: Kontribusi, Filantropi, Islam, Pontianak

211
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Pendahuluan
Di Indonesia sebelum mengenal kajian-kajian ilmiah mengenai masalah
kemiskinan, masyarakat sudah menjalankan tradisi yang merespon
terhadap permasalahan kemiskinan dalam bentuk pemberian. Kegiatan
‘memberi’ dalam berbagai bentuknya tidak terbatas dalam bentuk
uang atau barang melainkan juga pekerjaan atau berbagai upaya untuk
meringankan beban orang miskin serta meningkatkan kesejahteraannya
yang disebut sebagai filantropi.1
Secara bahasa istilah filantropi baru mengemuka di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Dalam kamus, kata philanthropy diterjemahkan
sebagai kedermawanan (Echols J dan Shadily, 1985). Philantropia
berasal dari bahasa Yunani yaitu philo (cinta) dan anthrophos
(manusia). Filantropi secara umum berarti cinta terhadap atau sesama
manusia.2 Secara etimologis, makna filantropi (philanthropy) adalah
kedermawanan, kemurahatian, atau sumbangan sosial: sesuatu yang
menunjukkan cinta kepada manusia.3
Hal senada juga diungkapkan oleh Hilman Latief terkait istilah filantropi
yang merupakan konsep filosofis yang dirumuskan dalam rangka
memaknai hubungan antar-manusia dan rasa cinta seseorang atau
sekelompok orang kepada sesamanya. Rasa cinta tersebut dieskpresikan
diantaranya melalui tradisi berderma atau memberi. Konsep filantropi
berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas dan relasi sosial
antara orang miskin dan orang kaya, antara yang ‘kuat’ dan yang ‘lemah’,
antara yang ‘beruntung’ dan ‘tidak beruntung’ serta antara yang ‘kuasa’
dan ‘tuna-kuasa’.

1 Zaim Saidi, dkk, Kedermawanan Untuk Keadilan Sosial, Jakarta: Piramedia, 2006, hlm. 5.
2 Marty Sulek, “On the Classical Meaning of Philanthropia”, Nonpropit and Voluntary Sector
Quarterly, 39: 3 (2010), 386. Lihat juga Dictionary dalam http://www.answers.com/Q/
What_does_philanthropy_mean (diakses 17 januari 2018).
3 John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.1995.

212
Nurhasanah

Dalam perkembangannya, konsep filantropi dimaknai secara lebih luas


yakni tidak hanya berhubungan dengan kegiatan berderma itu sendiri
melainkan pada bagaimana keefektifan sebuah kegiatan memberi, baik
material maupun nonmaterial, dapat mendorong perubahan kolektif di
masyarakat.4
Filantropi ibarat anggur lama dalam botol baru maksudnya istilah
filantropi tergolong baru, tapi praktiknya sudah dilakukan ratusan
tahun lalu seperti tradisi masyarakat di daerah-daerah tertentu seperti
jimpitan, parelek, patungan, buah sulungan, dan lainnya. Dapat diartikan
sebagai aktivitas berbagi dukungan dan sumber daya secara sukarela
yang didorong cinta kasih kepada sesama dan bertujuan untuk mengatasi
masalah sosial kemanusiaan serta memajukan kepentingan umum.
Dalam Agama Islam, kegiatan filantropi, ditemukan dalam berbagai
bentuk antara lain Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISW).5
Berfokus pada Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam, wacana
filantropi sebagai suatu gerakan dalam mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan sosial bukanlah hal mustahil. Berdasarkan hasil riset yang
dilakukan BAZNAS dan FEM IPB terungkap bahwa potensi zakat
nasional mencapai 3,4% dari PDB atau sebesar 217 triliun. Hal yang
sama terjadi pada sektor wakaf yang baru dapat menghimpun dana
wakaf 147 miliar dari potensi pertahun 6 triliun.6
Perbandingan pengumpulan Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) secara nasional
pada tahun 2015 mencapai 3,6 triliun dan meningkat signifikan pada
tahun 2016 hingga mencapai 5 triliun. Berdasarkan jenis dananya maka

4 Hilman Latief, Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam, 28
(1), 2013, hlm 124.
5 Muh Awal Satrio, Qardhul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan CSR dan Kegiatan Filantropi
Lembaga Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Kajian Bisnis, 23 (2),
Juni 2015, hal. 105.
6 https://indonesiana.tempo.co/read/111718/2017/05/24/salmannashiir/pemberdayaan-
lembaga-filantropi-islam-di-indonesia diakses 17 januari 2018.

213
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

pengumpulan zakat pada tahun 2016 mencapai 3,7 triliun.7 Hingga


akhir bulan Ramadhan 1438 H/ 2017 M, pengumpulan dana ZIS
secara nasional telah mencapai pada kisaran 5 triliun sampai 6 triliun.8
Jika ditarik lebih jauh ke belakang pertumbuhan pengumpulan ZIS
terus meningkat.
Ditambah dana CSR (Corporate Social Responsibility), berdasarkan data
Kementerian Sosial tahun 2015 menyatakan peluang besarnya dana
CSR di Indonesia mencapai Rp. 12 Triliun.  Diketahui dana CSR
berasal dari 700-an perusahaan saat ini kurang optimal pemanfaatannya,
sebab kurangnya data base program yang valid dan sesuai sasaran, serta
pengawasan penyaluran. Sementara tentang potensi dana ZISW yang
belum tergalang optimal, diantara sebabnya adalah lemahnya edukasi
ZISW di tengah-tengah masyarakat dan channel payment yang rata-rata
masih harus tatap muka.9 Besarnya potensi ini selaras dengan kondisi
Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia.10
Namun potensi dana ZISW berbanding terbalik dengan realisasi
di lapangan dimana zakat yang terkumpul pada lembaga amil zakat
pemerintah maupun swasta masih sangat kecil.11 Padahal jika potensi
ZISW dapat dimaksimalkan akan memperkecil kesenjangan sosial,
meminimalisir jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin,
serta dengan zakat akan tumbuh nilai kekeluargaan dan persaudaraan.12
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan pada saat yang sama
sebagai negara yang plural secara agama dan budaya, lembaga filantropi

7 BAZNAS, Buku Statistik Nasional, 2016, hlm. 22


8 BAZNAS, Laporan Penghimpunan ZIS, 2017 semester I.
9 Edy Kurniawan, “stop eksklusif, jadilah kolaboratif” RZMagz, Edisi 51, Desember 2017,
hlm. 55.
10 Hasanuddin Ali, dkk, Indonesia Middle Class Muslim: Religiosity and Comsumerism,
Jakarta: Alvara Research center, 2017, hlm. 1.
11 Firmansyah, Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan
Pendapatan, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 21(2), Desember 2013, hlm. 189.
12 Firmansyah, Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan
Pendapatan, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 21(2), Desember 2013, hlm. 180.

214
Nurhasanah

Islam dihadapkan pada tantangan besar dalam merumuskan konsep


perubahan kolektifnya. Pertama, bagaimana Lembaga Filantropi Islam
yang sudah ada dan beroperasi di pelbagai daerah dapat mengembangkan
program-programnya secara lebih inovatif. Kedua, bagaimana Lembaga
Filantropi Islam beroperasi dalam negara yang plural secara agama
dan budaya ini dapat mendefinisikan kelompok-kelompok marjinal
yang menjadi target mereka secara baru dan cerdas. Apakah kelompok
marjinal itu adalah kaum miskin yang berafiliasi pada agama atau
aliran keagamaan tertentu? Apakah kelompok marjinal itu juga dapat
mencakup kelompok masyarakat sipil minoritas? Sejauh ini, kelompok
masyarakat tertindas dan marjinal belum mendapat penjabaran dan
interpetasi yang memadai. Ketiga, bagaimana Lembaga Filantropi Islam
tampil lebih inklusif dan dapat menjaga aksesibilitasnya agar dapat
memperkuat barisan masyarakat sipil yang memiliki latar belakang
sosial keagamaan yang berbeda-beda.13
Selain itu satu diantara paradigma dalam pemberdayaan berbasis zakat
yang terdapat dalam gerakan filantropi adalah paradigma transformasi,
yaitu suatu proses menggerakkan masyarakat dengan nilai-nilai baru
yang dapat mencerahkan jiwa, semangat, dan daya nalar masyarakat
sehingga dapat kembali menemukan jalan hidup yang fitrah dan
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, kondisi suatu masyarakat
ditentukan oleh tegaknya nilai-nilai ruhani, bukan hanya nilai-nilai
materi.14 Yang mana zakat mengandung makna pemberdayaan diri
terhadap seorang yang lemah, sehingga zakat menjadi kekuatan yang
mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan keadaan mustahik.15

13 Hilman Latief, Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, 28
(1), 2013, hlm 128.
14 Nana Mintarti, “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Zakat: Model-Model Dan Pengukuran
Kinerja Program” dalam Rahmatina A. Kasri dan Arif R. Haryono (eds.). . Bangsa Betah
Miskin: Kajian Kritis Atas Indikator Dan Program Pengentasan Kemiskinandi Indonesia,
Sebuah Tawaran Solusi. Jakarta: Indonesia Magnificence of Zakat, 2011, 77-145.
15 Nur Fadhilah, Pemberdayaan Komunitas Marjinal Berbasis Zakat Di LPP-Ziswaf Harapan
Umat Malang Jawa Timur, dinamika penelitian, 17 (1), 2017, hlm. 90.

215
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Berkaitan dengan transformasi dan perubahan kolektif lembaga


sosial berbasis filantropi Islam kepada kelompok-kelompok sosial
yang termajinalkan dilakukan penelitian ini. Yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pengelolan dana Lembaga Filantropi Islam
berupa Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, ditinjau dari pemberdayaan mantan nara
pidana, mantan pengguna narkoba, dan pekerja seks komersial (PSK),
variasi respon para donatur terhadap pemanfaatan dana ZISW yang
disalurkan untuk ketiga objek tersebut, dan dampak bantuan terhadap
objek yang diteliti di kota Pontianak.

Pembahasan
Gerakan Filantropi Islam dalam SDGs
Saat ini gerakan filantropi menjadi satu diantar aktor kunci yang
diharapkan berperan dalam kontribusi besar pada pelaksanaan
Sustainable Development Goals (SDGs).16 SDGs merupakan agenda
pembangunan global berkelanjutan yang telah mendapatkan konsensus
atau kesepakatan dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan berkomitmen pada pencapaiannya. SDGs sebagai inisiatif
kelanjutan dari platform sebelumnya yaitu Millenium Development
Goals (MDGs).
Meskipun cakupan bidang SDGs terbilang sangat luas dan ambisius,
hal ini tetap disusun dengan mempertimbangkan berbagai realitas
nasional, kapasitas dan tingkat pembangunan yang berbeda-beda serta
menghormati kebijakan dan prioritas nasional. Sebagai produk, SDGs
merupakan hasil dari kesepakatan multi pihak dan sebuah proses yang
bersifat transparan, partisipatif dan inklusif terhadap semua suara
pemangku kepentingan selama tiga tahun yang panjang.
16 Hamid Abidi, dkk, Berbagi dan Berkolaborasi untuk SDGs, Jakarta: Filantropi Indonesia,
2017, hlm. 34.

216
Nurhasanah

Hal ini sejalan dengan salah satu jargonnya yaitu No One Left Behind
(melibatkan semua pihak tanpa kecuali), yang mana di tingkat
implementasinya diharapkan bahwa SDGs dapat diaplikasikan oleh
semua pihak baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil dari
seluruh masyarakat dunia untuk membangun masa depan yang lebih
inklusif, berkelanjutan dan tangguh baik untuk manusia dan juga planet.
Sebagai agenda global pembangunan berkelanjutan dengan target 15
tahun (2015 – 2030), SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 target capaian.
Dimana 17 tujuan yang disesuaikan dari hasil ANP menunjukkan bahwa
poin SDGs nomor 1, 2, dan 3 menjadi kelompok prioritas filantropi
Islam terhadap SDGs. Pada kelompok prioritas kedua terdiri dari poin
SDGs nomor 4, 8, 10, dan 16. Kelompok prioritas ketiga meliputi
tujuan ke 6, 12, 9, dan 7 dari SDGs. Sementara selebihnya dari 17 poin
SDGs termasuk ke dalam kelompok prioritas ke empat. Meskipun dari
ketujuhbelas poin SDGs dapat dikontribusikan (baik secara langsung
maupun tidak langsung) dari kerja-kerja zakat, akan tetapi tidak
seluruhnya menjadi kewajiban zakat untuk melaksanakannya. Selain
terikat kepada asnaf, ada tugas dan tanggungjawab pemerintah sebagai
penyelenggara Negara yang dapat mengatur dan mengelola setiap lini
kehidupan masyarakat.17
Ketujuh belas point tersebut yaitu: Pertama, tanpa kemiskinan yang
diartikan dengan mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun.
Kedua, tanpa kelaparan berupa mencapai ketahanan pangan dan gizi yang
baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Ketiga, kehidupan
sehat dan sejahtera yang diartikan untuk menjamin kehidupan yang
sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia.
Keempat, pendidikan berkualitas berupa jaminan kualitas pendidikan
yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar

17 BAZNAS, Zakat on SDGs, Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017, hlm. Viii.

217
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

sepanjang hayat. Kelima, kesetaraan gender yang dilakukan dengan


mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Keenam, air bersih dan sanitasi yang layak yaitu menjamin ketersediaan
serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk
semua. Ketujuh, energi bersih dan terjangkau berupa menjamin
akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern
untuk semua. Kedelapan, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi
dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif
dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif, menyeluruh,
dan pekerjaan yang layak untuk semua. Sembilan, industri, inovasi,
dan infrastruktur berupa membangun infrastruktur yang tangguh,
meningkatkan industri inklusif, berkelanjutan, dan mendorong inovasi.
Sepuluh, berkurangnya kesenjangan artinya mengurangi kesenjangan
intra dan antar Negara. Sebelas, kota dan pemukiman yang berkelanjutan
dengan cara menjadikan kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh,
dan berkelanjutan. Dua belas, konsumsi dan produksi yang bertanggung
jawab yaitu menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
Tiga belas, penanganan perubah iklim berupa mengambil tindakan
cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya.
Empat belas, ekosistem lautan yaitu melestarikan dan memanfaatkan
secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudra untuk
pembangunan berkelanjutan. Lima belas, ekosistem daratan yaitu
melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan
penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan
kehilangan keragaman hayati.
Enam belas, perdamain, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh artinya
menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses untuk semua, dan menyediakan

218
Nurhasanah

akses untuk keadilan semua, dan membangun kelembagaan yang


efektif akuntabel, dan inklusif disemua tingkatan. Terakhir, tujuh belas
yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan berupa menguatkan sarana
pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan
berkelanjutan.18
Pada perkembangannya, terutama di Indonesia, para pihak saling
melihat potensi-potensi sumber daya termasuk pendanaan untuk
pencapaian SDGs dari banyak sektor tidak terkecuali zakat. Dilihat dari
jenis program yang dilakukan oleh kerja-kerja zakat, tidak terelakkan
memiliki irisan yang jelas terhadap tujuan capaian SDGs. Misalnya
pengentasan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan berkualitas, air dan
sanitasi, dan lainnya. Oleh karena itu, zakat dapat dikatakan sebagai
salah satu instrument yang memiliki peran dan kontribusi yang strategis
bagi capaian SDGs.
Potensi keterkaitan dan irisan antara zakat dengan SDGs tidak hanya
pada program, melainkan juga dengan para pelaku yang mungkin terlibat,
disamping SDGs juga mensyaratkan adanya kerjasama diantara multi
stakeholder di masyarakat. Keterkaitan lainnya juga mungkin muncul
dari pendekatan dan cara pengelolaan program, alokasi sumber daya,
para beneficiaries/penerima program zakat, hingga pertanggungjawaban
dan akuntabilitas di dalam mencapai tujuan dan hasil yang diharapkan.
Kontribusi zakat untuk mendukung SDGs juga didukung dengan
adanya UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang
menyebutkan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang
bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, khusus di dalam Pasal 3 di UU yang sama menjelaskan bahwa
pengelolaan zakat bertujuan; 1) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pelayanan dalam pengelolaan zakat, 2) Meningkatkan manfaat zakat
18 Hamid Abidi, dkk, Berbagi dan Berkolaborasi untuk SDGs, Jakarta: Filantropi Indonesia,
2017, hlm. 9-10.

219
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan


kemiskinan.19
Menurut Zaim Saidi, Muhammad Fuad, dan Hamid Abidin, filantropi
di Indonesia yang di dalamnya terdapat aktivitas zakat, infak, sedekah,
dan wakaf dari pra-kemerdekaan hingga pasca-orde baru berkembang
melalui tiga arus utama. Pertama, filantropi tradisional, yang bersumber
pada agama dengan semangat dakwah. Praktek filantropi tradisional
tercermin dalam berbagai layanan sosial, terutama pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan.20
Kedua, organisasi masyarakat sipil yang mulai bermunculan pada
1970-an. Organisasi-organisasi yang bermunculan bersamaan dengan
proyek modernisasi, yang menimbulkan berbagai persoalan baru
dalam masyarakat Indonesia, seperti kemiskinan, peminggiran rakyat,
lingkungan, polusi, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya.
Ketiga, organisasi filantropi kemanusiaan dan organisasi sumber daya
masyarakat sipil. Arus ketiga ini muncul bersamaan dengan krisis
ekonomi pada tahun 1997 dan runtuhnya rezim otoriter. Keduanya
telah mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam berbagai persoalan.
Karena itu, masa ini dapat dipandang sebagai masa subur berdirinya
organisasi-organisasi filantropi, sehingga pada tahun 2003 sudah berdiri
setidaknya 27 organisasi.21

Gerakan Filantropi Islam dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ)


Salah satu bentuk gerakan sosial yang memilki pengaruh penting
terhadap bidang filantropi adalah Forum Zakat (FOZ), yang didirikan
oleh sejumlah organisasi pada 1997. Asosiasi ini berhasil menggalang
19 BAZNAS, Zakat on SDGs, Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017, hlm. 2-4.
20 http://docplayer.info/35335049-Filantropi-islam-dan-kebijakan-negara-pasca-orde-baru-
studi-tentang-undang-undang-zakat-dan-undang-undang-wakaf.html, diakses 17 Januari
2018.
21 Zaim Siidi, Muhammad Fuad, dan Hamid Abidin, Kedermawanan untuk Keadilan Sosial,
Jakarta: piramedia, 2006, 1-3.

220
Nurhasanah

jaringan organisasi filantropi, mendiskusikan persoalan-persoalan


zakat dengan pemerintah, menyebarkan informasi, mengkoordinasikan
berbagai kegiatan dan menjadi konsultan dalam berbagai persoalan
zakat. Hanya dalam waktu dua tahun, asosiasi ini sudah beranggotakan
150 buah lembaga.22 Di antara kontribusi penting forum ini adalah
penyiapan draf undang-undang zakat, yang kemudian disahkan sebagai
UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.23
Di dalam FOZ tersebut terdiri dari berbagai LAZ. LAZ merupakan
lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh swasta atau diluar
pemerintah. LAZ adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya
dibentuk atas kesadaran masyarakat yang mempunyai visi dan
kemampuan pengelolaan zakat untuk membuat kekuatan kolektif dan
mampu menjalankan LAZ sebagai institusi yang mempunyai kapasitas
sesuai otoritas yang diberikan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) lembaga
bentukan pemerintah.
Secara garis besar tugas LAZ sama seperti BAZ tapi berbeda ditingkatan
otoritas karena BAZ merupakan badan independen yang berafiliasi
dengan pemerintah mempunyai otoritas untuk mengawasi dan
mengaudit kinerja LAZ, sementara LAZ terbatas pada pengumpulan,
pengelolaan, pendistribusian, dan pendayagunaan yang disertai dengan
peran. Lebih bersifat swasta dan tidak berafiliasi langsung dengan
pemerintah sehingga hal inilah yang perlu diawasi BAZ karena
keterlepasan LAZ dari pengawasan pemerintah secara langsung.24
LAZ muncul sebagai upaya untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan
kesadaran masyarakat muslim dalam menyalurkan ZISW. Sebagian
lainnya didirikan oleh beberapa organisasi masa (ormas) Islam dan
para aktivis muslim, sebagai counter wacana terhadap pengelolaan zakat
22 Forum Zakat, Direktori Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia, Jakarta, FOZ, 2001. XI.
23 Arskal Salim, Challenging the Secular State, 127-128.
24 http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16706/BAB%20II.
pdf?sequence=6&isAllowed=y, diakses 17 januari 2017.

221
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

yang dilakukan pemerintah dan kelompok muslim lainnya yang kurang


optimal dan profesional.
Diperkirakan jumlah lembaga-lembaga yang didirikan sampai dengan
tahun 2007 oleh masyarakat mencapai 500 lembaga baik yang bersifat
insidental menjelang Ramadhan atau penanggulangan bencana
maupun lembaga permanen yang mengelola dana zakat dan wakaf.
Data tahun 2012 jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang aktif
dan terdaftar di Forum Zakat hanya sebanyak 33 lembaga, jumlah ini
belum termasuk unit pengumpul zakat di perusahaan-perusahaan dan
Badan Amil Zakat Daerah di seluruh propinsi di Indonesia.25 Diketahui
kondisi lembaga tersebut berdasarkan hasil survei Indonesian Zakat and
Development Report 2012 terhadap 180 OPZ di Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Selatan mencatat ada sekitar 22 OPZ atau 12% OPZ belum
memiliki visi dan misi.26
Menurut Hendri Tanjung (2012) situasi itu tidak terlepas dari
pemahaman pendayagunaan zakat hanya sebatas menyalurkan saja.
Alasan utama, prinsip pengelolaan zakat itu adalah amanah sehingga
LAZ menomorduakan adanya visi dan misi. Kondisi itu tentu perlu
diperbaiki mengingat dalam pengelolaan zakat tidak sebatas amanah
saja, perlu ada rencana kerja, analisis terhadap sasaran dan evaluasi
pencapaian berikut dengan perbaikan yang perlu dilakukan.
Sedangkan data terakhir tahun 2017 berdasarkan rekomendasi dan
dilanjutkan dengan pemberian izin oleh Kementerian Agama pada
LAZ terdapat 17 LAZ untuk tingkat nasional, 7 LAZ untuk tingkat
provinsi, dan 11 LAZ untuk tingkat kabupaten. Sedangkan LAZ yang
telah mendapatkan rekomendasi BAZNAS namun masih mengurus
25 Nur Kholis, dkk, Profile of Islamic Philantrophy in Yogyakarta Special Province, Jurnal
Ekonomi Islam: La-Riba, 7.1 (2010): 62.
26 http://www.republika.co.id/berita/syariah/keuangan/12/01/30/lym2qb-waduh-12-persen-
organisasi-pengelola-zakat-tak-punya-visi-dan-misi, diakses 25 Januari 2018.

222
Nurhasanah

izin di Kementerian Agama adalah sebagai berikut, untuk tingkat


nasional dan provinsi belum ada, namun untuk tingkat kabupaten/kota
terdapat 5 LAZ.27

Perkembangan Gerakan Filantrop Islam di Indonesia


Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata
bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada
lembaga filantropi yang memiliki sasaran hanya pada layanan sosial
(social services), dengan keyakinan bahwa memberi layanan, beban
kemiskinan masyarakat dapat dikurangai atau bahkan dihilangkan.
Sementara itu, ada juga lembaga filantropi yang bergerak dalam
perubahan sosial (social change), dengan menjadikan keadilan sosial
(social justice) sebagai tujuan utamanya.28 Dengan kata lain, kedua model
filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih baik dengan
melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah pemberdayaan
ekonomi, hukum, dan sebagainya (Widiyawati, 2011:20).
Perkembangan filantropi di Indonesia juga diwarnai dengan perluasan
program yang ditawarkan kepada masyarakat untuk didukung dan
disumbang. Kecenderungan lain yang muncul dalam perkembangan
filantropi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir adalah upaya sinergi
dan kolaborasi antar lembaga. Kolaborasi ini tidak hanya terjadi antar
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti yang selama ini banyak
dilakukan, tapi juga antara LSM dengan OPZ dan perusahaan. Dompet
Dhuafa Republika (DDR) misalnya bersinergi dengan YLKI untuk
menggalang sumbangan bagi perlindungan konsumen dari makanan
bermelamin. DDR juga bersinergi dengan ICW dan YAPPIKA
27 http://pusat.baznas.go.id/lembaga-amil-zakat/daftar-lembaga-amil-zakat/, diakses 25
Januari 2018.
28 Marty Sulek, “On the Classical Meaning of Philanthropia,” Nonpropit and Voluntary Sector
Quarterly, 39: 3 (2010), 205. Lihat juga Andi Agung Prihatna, “Filantropi dan Keadilan
Sosial di Indonesia,” dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan
Wakaf di Indonesia, ed. Chairder S. bamualim dan irfan abu bakar, Jakarta, PBB UIN Syarif
Hidayatullah, 2005, 14.

223
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

untuk mengkampanyekan program antikorupsi di sekolah dan dengan


YLBHI untuk menggalang sumbangan bagi program bantuan hukum
bagi rakyat miskin.29
Dilihat berdasarkan sifatnya, dikenal dua bentuk filantropi, yaitu
filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi
tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas. Praktek filantropi
tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan
sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan
miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.30 Namun,
kelemahannya adalah tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan
masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan
tapi tidak memberi pancing (kail).
Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice
philanthropy), bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan
dengan upaya memobilisasi sumber daya untuk mendukung kegiatan
yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab
langgengnya kemiskinan. Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah
mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut. Yakni adanya
faktor ketidakadilan dalam alokasi sumber daya, dana, atau akses
kekuasaan dalam masyarakat.31

Kelompok Sosial yang Termarjinalkan


Berbicara tentang filantropi untuk kesejahteraan dan keadilan sosial
sudah seharusnya gerakan yang ada juga menyentuh segala lapisan

29 Muh Awal Satrio, Qardhul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan CSR dan Kegiatan Filantropi
Lembaga Keuangan Syariah untuk Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Kajian Bisnis, 23 (2),
Juni 2015, hal. 105.
30 http://www.referensimakalah.com/2013/05/pengertian-perilaku-filantropi.html, diakse 18
Januari 2018.
31 Nur Kholis, dkk, Profile of Islamic Philantrophy in Yogyakarta Special Province, Jurnal
Ekonomi Islam: La-Riba, 7.1 (2010): 65.

224
Nurhasanah

masyarakat. Terutama terhadap mereka, masyarakat miskin dan


kalangan marjinal. Sebagaimana tujuan zakat yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan dan memberikan keadilan bagi mustadhafin atau orang-
orang lemah, rentan serta terpinggirkan (marjinal).32
Secara umum, mereka yang tergolong masyarakat terpinggirkan adalah
orang miskin, gelandangan, pemulung, kaum buruh dengan gaji rendah,
anak jalanan, para penyandang cacat, terjangkit penyakit HIV dan
AIDS, masyarakat tradisional, korban perdagangan manusia, korban
kekerasan domestik, remaja yang mengalami konflik dengan hukum,
buruh tani, pekerja seks, dan lainnya. Mereka terpinggirkan karena
tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, termasuk kebijakan dan
program pemerintah yang tidak berpihak.33
Menurut  Hetifah Sjaifudian, Ph.D, ahli Ilmu Sosial dan aktivis Yayasan
AKATIGA Surakarta, biasanya  kaum marjinal diidentikkan dengan
mereka yang miskin.  Tetapi, kaum marjinal tidak serta-merta identik
dengan miskin.  Orang miskin, hampir pasti menjadi kaum marjinal,
tetapi kelompok terpinggirkan belum tentu karena miskin. Mereka
adalah orang-orang yang secara ekonomi, agama, hukum, sosial, politik
atau budaya tidak mempunyai akses kepada kehidupan yang sejahtera,
aman, nyaman, damai dan berkembang.  Mereka secara struktural,
secara sengaja, secara sistematis, secara terencana dipinggirkan agar
tidak “mengganggu” kaum-tengah.34
Konsep marjinalisasi juga boleh dikaitkan dengan fenomena
penyingkiran sosial yang berlaku kerana ketidakseimbangan dalam
program pembangunan masyarakat dan juga peluang pendidikan
yang tidak menyeluruh. Demi memenuhi keperluan hidup, mereka

32 BAZNAS, Zakat on SDGs, Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017, hlm. i.
33 https://www.kompasiana.com/dianay/dilema-kaum-marjinal_552e5b396ea83493518b4589,
diakses 30 januari 2018.
34 https://www.kompasiana.com/susbandono/kaum-marjinal_55018ee7a333117f72513585,
diaksek 30 Januari 2018.

225
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

mempunyai kecenderungan untuk terlibat dalam aktivititas yang tidak


bermoral, menyalahi etika dan norma, dan berbagai aktivitas negatif
seperti terlibat dalam penggunaan narkoba, pengedaran narkoba,
pelacur dan individu yang terlibat dalam tindakan kejahatan (Perlman,
1976: 92).35
Keberadaan mereka pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya
akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran,
gelandangan/pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human
trafficking, narapidana, dan lain-lain di suatu negara. Dengan demikian
masyarakat (kaum) marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui
pemberian solusi yang tepat, maka berarti pula ini disiapkan untuk
menjadi benih bom waktu yang dahsyat untuk merusak sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara.36
Seperti tindakan radikalisme dan terorisme, yang mana tindakan ini
dapat menjadi ancaman terbesar bagi keutuhan NKRI.37 Sebagaimana
disampaikan oleh Menteri Agama RI Bapak Lukman Hakim Saifuddin
(2014), bahwa “Radikalisme berbasis agama tidak selalu disebabkan
faktor ideologi atau paham keagamaan, tapi juga bisa dipengaruhi oleh
faktor sosial, seperti ketidakadilan politik, hukum, ekonomi, dan lain
sebagainya.”38 Sehingga keberadaan mereka perlu diperhatikan pula
dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilaan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam sila kelima
dasar Negara Indonesia.

35 Dalam Alfitri, Pengenalan Masyarakat Marginal, Fakultas Sospol Universitas Sriwijaya,


Inderalaya, 2015. Dapat pula diakses melalui http://eprints.unsri.ac.id/id/eprint/5265.
36 https://www.kompasiana.com/dianay/dilema-kaum-marjinal_552e5b396ea83493518b4589,
diakses 30 Januari 2018.
37 https://www.kompasiana.com/rosyi-jepara/terorisme-ancaman-terbesar-bagi-keutuhan-
nkri_59730ce5a66664775f4fa502, diakse 18 Januari 2017.
38 Disampaikan saat silaturrahim Menag dengan Tokoh Ormas Islam dan Seminar Nasional
tentang Penanggulangan Bahaya ISIS di Jakarta, 2014

226
Nurhasanah

Dimana indikator kesejahteraan berdasarkan Badan Pusat Statistik


melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang merupakan
salah satu sumber informasi untuk mendapatkan gambaran mengenai
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Mulai tahun 2015, pengumpulan
data Susenas Kor dilaksanakan pada Bulan Maret. Data Kor yang
disajikan dalam publikasi ini estimasinya mencakup hingga level
kabupaten/kota.
Informasi mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang telah
dikumpulkan melalui Susenas, digunakan sebagai dasar untuk
memperoleh berbagai indikator pencapaian kesejahteraan rakyat.
Indikator tersebut meliputi: angka partisipasi sekolah dan angka
melek huruf untuk bidang pendidikan; angka morbiditas, pemanfaatan
fasilitas kesehatan, jaminan kesehatan, pemberian ASI pada baduta,
dan imunisasi untuk bidang kesehatan, dan penolong persalinan; umur
perkawinan pertama, partisipasi KB, dan rata-rata jumlah anak yang
dilahirkan untuk bidang fertilitas dan KB; kondisi tempat tinggal,
sumber air untuk minum, memasak, mandi dan mencuci untuk bidang
perumahan; kepemilikan HP, akses internet dalam pemanfaatan
teknologi informasi, serta bantuan/program pemerintah untuk
kesejahteraan masyarakat.39

Gambaran Kelompok Sosial yang Diteliti di


Pontianak
Sebagaimana tujuan penelitian ini belum di ketahui apakah LAZ yang
ada di Pontianak secara spesifik mengalokasikan ZISWnya untuk
mereka kalangan marjinal. Dimana dalam penelitian ini kalangan yang
dimaksud adalah Mantan Pengguna Narkoba, Mantan Nara Pidana, dan
Pekerja Seks Komersial (PSK). Mengapa kalangan ini? Tujuannya posisi

39 BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat, 2017, hlm. 3.

227
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

masyarakat yang marginal dan powerless dibuat menjadi lebih berdaya40


untuk hidup lebih baik kedepannya. Diketahui di kota ini terkenal
sebuah wilayah bernama Beting yang aktif dengan aktivitas kejahatan
sosial seperti peredaran narkoba (Mundzirin, 2015). Berdasarkan data
BNN Kalbar, jumlah pecandu di Kalbar sebanyak 65.203.000 jiwa,
prevalensi >1,88% - <2,08%, dengan sebaran pengguna terbanyak di
kota Pontianak.41
Secara umum tren pengguna narkoba dari tahun 2008 hingga 2015
dilihat dari perevalensinya selalu mengalami peninggkatan dimana
tahun 2008 sebesar 1,43% menjadi 1,87% di tahun 2015. Proporsi
menurut gender dan pekerjaan, sebesar 74,5% pengguna narkoba
dari kalangan pria, sisanya 25,49% wanita. Secara pekerjaan, 50,34%
pengguna mereka yang berprofesi di swasta, instansi pemerintahan, dan
wiraswasta. 27,32% kalangan pelajar dan mahasiswa, sisanya 22,34%
mereka yang tidak berkerja. Sedangkan untuk tindak pidana kasus
penyalahan narkoba berfokus pada kota Pontianak pada tahun 2015
sebanyak 92 kasus dan 105 kasus pada tahun 2016. Secara umum untuk
cakupan kalbar tahun 2015 sebanyak 375 kasus dan 522 kasus tahun
2016 dengan persentase 39,2%.42
Mengapa perlu menjadi perhatian gerakan filantropi? Indonesia gawat
narkoba43 yang mana daya rusak narkoba lebih serius dibanding
korupsi dan terorisme karena merusak otak yang tidak ada jaminan
sembuh.44 Sehingga akan merusak generasi penerus bangsa. Selain itu,
tren yang ada saat ini pengguna narkoba bukan lagi hanya dari kalangan
40 http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16706/BAB%20II.
pdf?sequence=6&isAllowed=y, diakses 18 Januari 2018.
41 Wawancara dengan Isnawati, Kabid Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Kalbar, 27 November 2017, di Hotel Mercure, Pontianak.
42 Nasrullah, Penanganan Penyalah Guna Narkotika, disampaikan dalam Pelaksanaan
Rakernis Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalbar, kamis, 15 desember 2016 di Pontianak.
43 http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/10331931/Presiden.Jokowi.Indonesia.Gawat.
Darurat.Narkoba, diakses 18 Januari 2018.
44 Nasrullah, Penanganan Penyalah Guna Narkotika, disampaikan dalam Pelaksanaan
Rakernis Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalbar, kamis, 15 desember 2016 di Pontianak.

228
Nurhasanah

orang mampu tapi dari mereka yang kurang mampu atau tidak bekerja.45
Sehingga upaya pencegahan perlu didukung dalam rangka mencapai
kesejahteraan bersama termasuk LAZ yang merupakan kegiatan
filantropi pula.
Selanjutnya, mantan nara pidana. Mantan napi yang dimaksud adalah
mereka yang bebas biasa untuk Kalimantan barat di tahun 2015
sebanyak 2007 orang, tahun 2016 sebanyak 2046 orang, dan di tahun
2017 sebanyak 2084 yang ditotalkan sebanyak 6137. Secara khusus
untuk kota Pontianak pada tahun 2015 sebanyak 659 orang, tahun
2016 sebanyak 818 orang, dan tahun 2017 sebanyak 819 total dari tiga
tahun tersebut sebanyak 2296.46 Sehingga jika dipersenkan jumlah
mantan napi di Pontianak sebesar 37,41% yang artinya tindak pidana
atau kasus hukum terbesar terjadi di Pontianak dibandingkan dengan
12 kabupaten dan 1 kota lainnya di Kalbar.
Mantan Napi ini berasal dari berbagai kasus namum belum ditemukan
terkait kasus terorisme. Meskipun dari hasil penelitian FKPT Provinsi
Kalbar tentang daya tahan masyarakat menangkal radikalisme di
Kalbar cukup mengkhawatirkan. Dari lima kabupaten kota yang
diteliti yaitu, Pontianak, Mempawah, Singkawang, Kayong Utara, dan
Sintang pada tahun 2017 secara umum untuk melihat tujuh variabel
berkaitan persoalan hukum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan
lainya. Diketahui dari hasil wawancara dan kuesioner yang disebarkan
dapat disimpulkan pada tempat-tempat tertentu 70% di daerah Kalbar
mengkhawatirkan untuk daya tangkal masyarakat terkait gerakan
radikalisme dan terorisme karena banyaknya kekecewaan47 dan

45 Wawancara dengan Isnawati, Kabid Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN


Provinsi Kalbar, 27 November 2017, di Hotel Mercure, Pontianak.
46 Data SDP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Kalimantan
Barat
47 Wawancara dengan Iskandar Ruslan, peneliti FKPT Kalbar, 21 November 2017, di Ruang
Doses Ekonomi Islam IAIN Pontianak.

229
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

keperluan politik.48 Namun, sebagaimana disampaikan sebelumnya di


Pontianak belum ditemukan kasus tindak pidana terorisme. Sejauh ini
posisi Kalbar, kota Pontianak khususnya hanya sebatas tempat lewat/
singgah sementara para teroris.49 Mulai dari Nurdin M Top, Doktor
Azhari dan pelaku Bom Bali semuanya pernah singgah di Kalimantan
Barat karena daerah ini merupakan daerah lintasan dari Luar Negeri
yang bisa melalui darat terutama kota Pontianak.50
Mantan Napi juga perlu mendapat setuhan gerakan filantropi karena
selepas dari penjara orang-orang ini tidak bisa langsung diterima di
lingkungan masyarakatnya. Selain membantu menghilangkan stigma
negatif, mereka juga perlu pendampingan dan pembinaan yang tidak
hanya pihak terkait seperti pengurus lembaga pemasyarakatan tempat
dulunya mereka di penjara tetapi semua lapisan masyarakat yang ada
agar mereka bisa menjalankan kehidupan lebih baik dan tidak kembali
terjerumus dalam perbuatan yang salah atau melanggar hukum. Ini
sebagai bentuk reintegrasi yang akan membantu upaya deradikalisasi.51
Bagaimana dengan pekerja seks komersial (PSK)? Secara angka bisa
dikatakan cukup mengkhawatirkan.52 Namun, sebagian besar mereka
bukanlah penduduk asli atau masyarakat berkartu tanda penduduk kota
Pontianak. Latar belakang mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks

48 Wawancara dengan Nur Iskandar, Humas FKPT Kalbar, 6 November 2017, di kediaman
narasumber, Pontianak.
49 Wawancara dengan Prof Kamarullah, Ketua Peneliti FKPT Kalbar, 15 November
2017, di Ruang Wakil Rektor 1 Untan.
50 http://www.pontianakpost.co.id/cegah-terorisme-di-kalbar-suhadi-berdayakan-masyarakat,
diakses 4 April 2018.
51 Bantuan reintegrasi oleh masyarakat dan lembaga filantropi akan membantu pandangan
nature of people mantan napi teroris, bahwa mereka dipedulikan oleh lingkungannya
sehingga bisa perlahan mengurangi tensi radikalisasi. Lihat Saefudin Zuhri, Deradikalisasi
Terorisme: Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama,
Jakarta: Daulat Press, 2017. H. 158
52 Jumlah data tidak dapat dipublikasikan

230
Nurhasanah

komersial (PSK) sebagian besar karena tuntutan ekonomi. Ada pula


gaya hidup atau bahkan karena kekecewaan dimasa lalu.53
Meskipun diakui sebagai sebuah pekerjaan dan terdata agar dapat
dipantau kesehatannya oleh Komisi Penaggulangan AIDS kota
Pontianak, tetap saja perekerjaan ini adalah perkerjaan yang ‘tidak baik’
atau dosa dalam agama. Selain itu, prostitusi tidak hanya merupakan
pelanggaran gejala moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan
orang yang apabila dilakukan melanggar UU No. 21 Tahun 2007
tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.54
Dari segi agama misalnya, Islam akan memberikan sanksi hukum yang
tegas kepada seseorang yang melakukan hubungan kelamin di luar
nikah, dan hal ini di konsepsikan sebagai perbuatan zina yang para
pelakunya akan mendapat balasan azab dari Allah.55 Praktik perzinaan
sendiri dapat mendatangkan dampak yang tidak baik khususnya bagi
para pelakunya yang dapat mengakibatkan munculnya berbagi penyakit
seperti HIV/AIDS dimana jumlah kasusnya yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Sehingga para pekerja ini perlu mendapat perhatian
gerakan filantropi agar bisa keluar dari pekerjaan tersebut dan mencari
pekerjaan yang lebih baik secara moral dan kesehatan mereka kelak.

Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota


Pontianak
Penelitian ini merupakan penelitian mix methods (campuran), yaitu
suatu langkah dengan mengkombinasikan metode kuantitatif dan
kualitatif (Creswell, 2009: 203). Yang mana menggunakan sequential
exploratory strategy.
53 Wawancara dengan Dr. Darmamely, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga
Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Pontianak, 9 januari
2018, di Kantor Terpadu, Pontianak.
54 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
55 Zanuar azazi, Dampak Sosio-Ekonomi Keberadaan PSK, Kajian Sosiologis Terhadap
Keberadaan PSK di Gang Sadar Baturaden, purwokerto: IAIN Purwokerto, 2016, hlm. 3.

231
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Menurut Creswell (2009; 211), “The sequential exploratory strategy


involves a first phase of qualitative data collection and analysis, followed
by a second phase of quantitative data collection and analysis that builds
on the results of the first qualitative phase. Weight is generally placed on
the first phase. and the data are mixed through being connected between
the qualitative data analysis and the quantitative data collection.”

Dengan Snow Balling56 sebagai teknik pengambilan sampel, yaitu setelah


syarat administratif terpenuhi untuk melakukan penelitian, peneliti
akan menghubungi kepala/pimpinan lembaga sosial berbasis filantropi
tersebut untuk mengetahui secara lengkap tentang pelaksanaan program
dan pengelolaan dana dari para donatur, seterusnya peneliti menghubungi
para donatur untuk mengetahui dampak apa yang dirasakan donatur
setelah bergabung di lembaga tesebut. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan kuesioner online untuk para donator. Terakhir peneliti
menghubungi para penerima bantuan program pemberdayaan.
Untuk menentukan subjek penelitian supaya dapat menjaring informasi
yang memadai agar dapat menemukan suatu model pemberdayaan
masyarakat, maka semua informasi akan digali langsung dari pengurus
lima Lembaga sosial berbasis Filantropi islam tersebut, anggota/
donatur, dan masyarakat penerima bantuan, dengan menggunakan
teknik indeph interview, sebagai pendukung digunakan kuesioner, dan
analisis dokumen/pustaka.
Dari 14 lembaga baik LAZ dan LSM yang ada di kota Pontianak
di pilih lima lembaga dimana empat lembaga merupakan LAZ dan
satu LSM. Sampel dalam penelitian ini adalah Rumah Zakat, Lazis
PLN, LazisMu, Almumtaz Peduli, dan Tabungan Infak Harian (TIH)
Mujahidin.
Ditinjau dari kepemilikan, dimana RZ terpusat di Jakarta, Lazis PLN
merupakan BUMN yang dana ziswnya langsung ditarik dari gaji para
56 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 97.

232
Nurhasanah

pegawainya, LazisMu merupakan milik organisasi Muhammadiyah,


Almumtaz Peduli merupakan LAZ bentukan masyarakat setempat,
dan Tabungan Infak Harian (TIH) Mujahidin merupakan satu
diantara program LSM Masjid Raya Mujahidin Kalimantan Barat
yang mengumpulkan dana infak, sedekah dan wakaf dari jamaah masjid
tersebut.

Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi


Islam di Kota Pontianak
Dari tujuan filantropi dan SDGs inilah dijadikan pijakan untuk
melihat kontribusi kelima lembaga sosial berbasis filantropi Islam
terhadap kelompok-kelompok sosial yang menjadi objek penelitian.
Adapun pertanyaan yang diajukan kepada setiap Narasumber dari lima
lembaga meliputi, program kerja, teknik publikasi yang dilakukan,
cara mendapatkan dana dari donator, pandangan pengurus lembaga
terhadap delapan ashnaf berhubungan dengan reformasi fiqih zakat,
adakah program berkaitan tiga objek yang diteliti, dan program apa
yang disiapakan atau dikerjakan lembaga dalam upaya mendukung
SDGs. Dari hasil penelitian melalui wawancara terhadap lima lembaga
dengan pertanyaan serupa diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Lazis PLN Wilayah Kalbar


Lazis PLN merupakan lembaga filantropi berbentuk LAZ yang
sumber dana ziswnya diperoleh dari para pegawai PLN sebagaimana
disampaikan sebelumnya. Struktur secara terpusat, dimana sebesar 2,5%
dari gaji para pegawai PLN tiap bulannya diserahkan oleh bendahara ke
pada Amil di Lazis tersebut.
Namun untuk Kalimantan Barat yang mencakup Pontianak baru
dikukuhkan kembali tahun 2015. Program kerja yang dilakukan Lazis
PLN di rancang berdasarkan lima pilar yang kemudian di fokuskan

233
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

ke dalam masing-masing bidang. Pertama, bidang pendidikan dengan


program kerja seperti Beasiswa, pembekalan skill, dan program lainnya.
Kedua, bidang kesehatan berupa pengobatan gratis, khitan massal, dan
program lainnya. Ketiga, bidang dakwah berupa mengirimkan da’i-
da’i kepedalaman, ESQ (Emosional Spiritual Qoetion) yang rutin
dilakukan, dan program lainnya.
Keempat, bidang sosial berupa pemberian sembako, bantuan guru ngaji,
dan program lainnya Kelima, bidang ekonomi berupa pemberian modal
usaha kepada masyarakat miskin (menengah kebawah-red). Meskipun
dana ziswaf yang diperoleh langsung dari para pegawai PLN di Kalbar
tetapi penggunaan dana diperuntukan umum tidak terbatas pada
kalangan atau keluarga para pegawai dengan berpatokan pada delapan
ashnaf.
Sampai saat ini porsi pemberian zakat di Lazis PLN sebesar 60% ke
fakir miskin sisanya sebesar 40% ke fisabilillah. Sebelumnya pengurus
Lazis PLN pernah pula menyalurkan zakatnya ke gharim (orang yang
berhutang) yang terjerat hutang riba. Namun, setelah konsultasi dan
dikaji tentang fiqih zakat oleh para ustad maka pemberian ini sudah
tidak dilakukan lagi.
Berkaitan dengan program untuk mantan napi, sosialisasi pencegahan/
reabilitas mantan pengguna narkoba, dan PSK sampai saat ini belum
ada data jika yang diberi dana ziswaf tersebut termasuk mantan napi,
mantan pengguna narkoba, dan PSK. Selain itu pula menurut pengurus
yang diwawancarai terutama pengguna narkoba biasanya adalah mereka
dari kalangan yang mampu sehinggga tidak termasuk dalam 8 ashnaf
penerima zakat. Dalam rangka sinergisitas program LAZ dengan
SDGs untuk mendukung program SDGs Lazis PLN menjadikan
program yang sudah dijalankan berupa pendidikan yang berkelanjutan
dari penerima zakat dari SD hingga perguruan tinggi.57
57 Wawancara dengan Yusrizal, Ketua Lazis PLN, 5 Desember 2017, di kantor lazis PLN
Kalbar, Pontianak.

234
Nurhasanah

2. TIH Mujahidin Pontianak


Tabungan Infaq Harian (TIH) Mujahidin bukan merupakan LAZ.
Namun, lembaga sosial keumatan yang dipilih karena berbasis filantropi.
Dibentuk pada 16 Februari 2008 untuk menunjang program keumatan
dan dakwah islamiyah Masjid Raya Mujahidin.58 TIH Mujahidin
merupakan satu diantara bidang yang berfokus pada pengelolaan dana
infaq dan sedekah jamaah Masjid Raya Mujahidin Pontianak Kalbar
dibawah yayasan Mujahidin. Struktur pengurus pada TIH Mujahidin
berupa ketua, bendahara, bagian oprasional, marketing, dan bagian
oprasional. Dikarenakan fokus pengumpulan dana yang dilakukan
berupa infaq dan sedekah TIH Mujahidin bergerak di bidang sosial
dhuafa, mualaf, dan lainnya.
Dimana program kerja yang dilakukan dibagi kebeberapa bidang yaitu
bidang sosial berupa bantuan bagi para dhuafa. Bidang pendidikan
berupa beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Kedua program dari
yang sudah disebutkan sebelumnya merupakan program rutin dari TIH
Mujahidin. Publikasi yang dilakukan melalui media sosial di facebook
dan brosur yang di bagikan kepada jamaah masjid.
Sumber infak, sedekah, dan wakaf didapatkan dari jamaah masjid Raya
Mujahidin Pontianak yang disalurkan melalui kotak-kotak amal yang
tersedia di masjid serta dari para jamaah yang sudah mendaftarkan diri
menjadi donatur tetap kepada pengurus TIH Mujahidin. Meskipun
dana yang ada berupa hasil dari infak dan sedekah dimana penggunaanya
bisa lebih fleksibel namun pengurus tetap berpatokan kepada 8 ashnaf
dalam penyalurannya.
Adapun yang pernah dilakukan diluar delapan ashnaf itu baru pada
narapidana di lapas anak dimana program yang dilakukan berupa bakti
sosial, pemberian Alquran, dan motivasi melalui penyampaian materi

58 Bulletin TIH Mujahidin, edisi 17, Januari 2017.

235
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

dari narasumber (ustad-red). Sejauh ini sedang diupayakan ke arah


sinergisitas dengan SDGs melalui program-program pemberdayaan
yang berkelanjutan namun sampai saat ini masih terkendala di gerakan.59

3. LazisMU Pontianak
Lazis Muhammadiyah (LazisMU) di Pontianak berdiri sejak tahun
2010. Dipimpin oleh seorang direktur dengan sistem koordinasi pusat
ke wilayah, lalu daerah, dan unit-unit cabang dibeberapa tepat dalam
satu daerah. Program yang dimiliki LazisMu Pontianak berupa tahfiz
Quran, Bazar sembako berkerja sama dengan BNI Syariah, dalam bidang
sosial seperti penangulangan bencana, dan pendidikan berupa sekolah
bagi yang kurang mampu. Teknik publikasi yang dilakukan untuk
mendapatkan dana ziswaf dari donator berupa kampanye mengajak
warga muhammadiyah dan pengurus untuk zakat profesi, serta kerja
sama dengan berbagai pihak seperti bank syariah dan koramil.
Dalam memandang delapan ashnaf untuk dana infaq dan sedekah
pengurus memandang sisi kemanusian, status sosial. Sedangkan untuk
zakat tetap fokus pada ke delapan ashnaf. Sejauh ini belum ada program
yang menyentuh atau menyasar kepada mantan napi, sosialisasi
pencegahan/reabilitas mantan pengguna narkoba, dan PSK. Terkait
SDGs, sinergisitas program LazisMu Pontianak disesuaikan dengan
hasil rakornas. Dimana upaya yang dilakukan adalah menjadikan
penerima zakat sebagai pengeluar zakat kedepannya sebagaimana
tujuan SDGs.60

4. Rumah Zakat (RZ) Wilayah Kalbar


Sejarah berdirinya RZ, hadir di Pontianak atau didirikan pada tahun
2008 yang pada mulanya hanya berfokus di Pontianak. Sekarang sudah
59 Wawancara dengan Sarwono, Maneger Oprasional TIH Mujahidin, 5 Desember 2017, di
kantor TIH Mujahidin, Pontianak.
60 Wawancara dengan Beni dan Muhammad, Sekretaris dan Fundrising Lazismu Pontianak,
15 Desember 2017, Di Café Detik, Pontianak

236
Nurhasanah

menjadi RZ wilayah Kalbar Program yang dilaksanakan merupakan


turunan pusat dan program sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan
wilayah. Fokus program RZ yaitu, pendidikan melalui senyum juara,
kesehatan melalui senyum sehat, perekonomian melalui senyum
mandiri, dan lingkungan melalui senyum lestari.
Dimana pada program senyum juara program yang ada berupa bantuan
pendidikan, beasiswa ceria, mobil juara, sekolah juara, dan beasiswa
juara. Pada senyum sehat program yang dilakukan yaitu layanan
bersalin gratis, ambulance gratis, khitan masal, klinik Pratama RBG dan
bantuan kesehatan. Senyum mandiri program yang ada berupa bantuan
wirausaha. Terakhir, senyum lestari berupa kampong berseri61 yang di
Pontianak berada di Serasan tepian sungai Kapuas.
Untuk memperoleh dana ziswaf publikasi dilakukan dengan bildboard,
media massa, spanduk, medsos (online), website. Dimana untuk
menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, dan wakafnya donatur dapat
datang langsung ke kantor, bisa juga melalui transaksi online, dan atau
melalui website. Dalam pengelolan dana dari donatur, untuk dana infak
diperuntukan untuk apapun dengan fokus 99% tetap untuk muslim.
Sedangkan dana zakat pengelolaannya akan full untuk delapan ashnaf.
Berkaitan dengan program untuk mantan napi, sosialisasi pencegahan/
reabilitas mantan pengguna narkoba, dan PSK sampai saat ini baru ada
untuk keluarga napi, namun programnya berupa pemberian bingkisan
lebaran, buka puasa bersama. Bersifat insidental saat ramadhan dan
lebaran saja belum dalam bentuk pemberdayaan.
Berbicara sinergisitas dengan SDGs apa yang sudah dikerjakan RZ
sebelumnya sudah sinergis dengan MDGs jadi saat SDGs program yang

61 RZMagz, edisi 51, desember 2017, hlm. 36.

237
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

ada tinggal penyesuaian dan tetap pada empat rumpun sebagaimana


disampaikan sebelumnya.62

5. TPU Almumtaz Peduli


Berdiri sejak tahun 2008. Latar belakangnya dari 10 orang yang
melakukan infaq kecil-kecilan melalui gema infak yang kemudian
menjadi Almumtaz Peduli. Struktur pengurusan dipimpin oleh direktur
dan dibantu tim Ar-razaq. Program yang dimiliki terfokus dalam empat
program yaitu, program pendidikan berupa peduli tahfidz, anak yatim,
dan dhuafa berprestasi. Program kemanusian berupa penuli 1.000
lansia. Program dakwah berupa peduli guru ngaji. Terakhir program
ekonomi berupa bantuan dhuafa finance. Dalam upaya mendapatkan
dana ziswaf dari donator Almumtaz Peduli menggunakan media seperti
majalah, brosur, media online seperti whatshapp dan facebook, serta usaha
aqiqah dengan jumlah donator tetap berkisar 700 ratus hingga saat ini.
Untuk pengelolaan dana zakat berfokus pada 8 ashnaf. Sedangkan
infaq dan sedekah sasaran beragam namun paling banyak kepada orang
miskin. Dimana setiap donasi dari donatur dipisahkan sesuai tujuan
donatur. Jelasnya antara dana zakat, infak, dan sedekah di kelola masing-
masing tidak disatukan meskipun infak dan sedekah dapat difungsikan
ke hal yang sama. Berkaitan program untuk mantan napi, sosialisasi
pencegahan/reabilitas mantan pengguna narkoba, dan PSK pada saat
ini baru ada untuk lapas anak berupa penyedian dai pada tahun 2015
dan sudah tidak berlangsung lagi sebab pengurusnya berhalangan tetap.
Serta narkoba di Beting berupa program wirausaha yang berlangsung
selama enam bulan.
Bentuk program berupa pembentukan kelompok wirausaha yang
anggotnya terdiri dari ibu-ibu di kampung Beting. Setiap kelompok

62 Wawancara dengan Asrul Putra Nanda, Branch Manager Rumah Zakat Wilayah Kalbar, 19
Desember 2017, di Kantor RZ, Pontianak.

238
Nurhasanah

terdiri dari 4-5 orang yang mendapat modal usaha sebesar 500.000
ribu dan harus mengembalikan dana tersebut dalam waktu yang
sudah ditentukan. Namun, tidak berjalan dengan baik dan sudah tidak
berlangsung lagi. Terkait sinergisitas program LAZ Almumtaz Peduli
dengan SDGs berfokus pada program pendidikan karena pendidikan
diyakini sebagai cara untuk melepaskan seseorang dari belenggu
kemiskinan.63
Sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa
secara umum dapat dinyatakan kontribusi lembaga sosial berbasis
filantropi cukup baik di kota Pontianak. Fundrising paling banyak nilai
nominalnya diperoleh oleh Rumah Zakat yakni sekitar 100 juta per bulan.
Hal ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat terhadap brand Rumah
Zakat dan kreativitas program yang dijalankan. Sedangkan umumnya
untuk manajemen dan distribusi dana zakat, LAZ mendistribusikan
dana zakat untuk fakir miskin, beasiswa pelajar, memberikan pelatihan,
korban bencana alam, kegiatan-kegiatan produktif, kesehatan, dan
aktifitas dakwah atau penyebaran ajaran agama islam.
Apabila ditinjau dari jenis kegiatan pendistribusian nampak bahwa yang
dijadikan program unggulan untuk menarik simpati muzakki adalah
melalui penonjolan akuntabilitas pendistribusian zakat, infak, sedekah,
dan wakaf di bidang-bidang yang populer di mata masyatakat. Ini
bisa dibuktikan dari lebih intensif dan fokusnya penyebaran informasi
program pendistribusian zakat yang menggambarkan kegiatan-
kegiatan tadi di profil dan buletin-buletinnya. Alokasi pemberian dana
ZISW yang paling besar porsinya kepada golongan fakir miskin dengan
berbagai posnya, baik pos untuk pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
ekonomi produktif maupun karitas.

63 Wawancara dengan Jahir, Direktur Almuntaz Peduli, 10 Januari 2018, di kantor Almumtaz
Peduli, Pontianak.

239
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Namun, terkait kalangan marjinal yang teliti yaitu mantan nara pidana,
mantan pengguna narkoba, dan PSK belum terlalu mendapatkan
perhatian. Hal ini dikarenakan basis data yang belum memadai terkait
kondisi ketiga objek kalangan marjinal tersebut maupun pemahaman
terhadap fiqih zakat itu sendiri oleh pengurus lembaga sosial berbasis
filantropi baik LAZ maupun LSM.
Tetapi secara insidental sudah ada beberapa LAZ yang menyantuni
kalangan ini terutama para keluarga pengguna narkoba, mantan nara
pidana, dan nara pidana di lapas anak. Seperti RZ, TIH Mujahidin, dan
Almumtaz Peduli.

Profil dan Varian Respon Donatur


Profil dan varian donatur dari lima lembaga filantropi yang diteliti
diambil melalui kuesioner online sebanyak 30 partisipan dengan porposi
80:20, dimana 80% dari donatur lima lembaga dan 20% masyarakat
umum. Dari karakteristik partisipan sebagai berikut: berdasarkan
persentase menurut jenis kelamin 63.3% perempuan dan 36.7% laki-
laki.
Dari sisi penghasilan 43.3% partisipan berpenghasilan kurang dari 1
juta/bulan, 36.7% partisipan berpenghasilan antara 1 juta sampai 3 juta/
bulan, 10% partisipan berpenghasilan antara 3 juta sampai 5 juta/bulan,
dan 10% partisipan berpenghasilan lebih dari 5 juta/bulan.
Rentang usia 10-20 tahun 6.7%, usia 21-30 tahun 43.5%, usia 31-40
tahun 36.8%, usia 41-50 tahun 3.0%, dan usia diatas 50 tahun 10.0%.
Sedangkan domisili 80.0% tinggal di Pontianak dan 20.0% tinggal di
Kubu Raya yang jaraknya berkisar 51.9 Km dengan waktu tempuh
kurang dari 2 jam.64

64 Sumber dari Google Map

240
Nurhasanah

Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa sebesar 80.0% atau sebanyak
24 partisipan mengetahui untuk apa dana ziswaf yang mereka sulurkan
ke lembaga filantropi yang diteliti, sisanya sebesar 20.o% atau sebanyak
6 partisipan tidak mengetahui untuk apa dana yang disalurkan ke
lembaga filantropi tersebut.
Terkait dampak bagi donatur sebesar 63.3% atau sebanyak 19 partisipan
menyatakan bahwa dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf dapat
membuat hidup mereka lebih tenang. Sedangkan 36.7% atau sebanyak
11 partisipan memilih rezeki semakin selancar setelah menyalurkan
dana tersebut.
Selanjutnya mengenai bolehkah dana ZISW itu difungsikan untuk
meningkatkan kesejahteraan mantan nara pidana, mantan pengguna
narkoba, dan pekerja seks komersial (PSK) 40.0% partisipan tidak dan
60.0% partisipan menyatakan boleh. Dimana secara umum mereka yang
mengatakan tidak dikarenakan tiga objek ini bukan termasuk delapan
ashnaf sebagaimana yang sudah diatur jelas dalam surah At-taubah ayat
60 yaitu mereka yang tergolong fakir, miskin, amil, muallaf (saudara
baru), hamba, orang yang berhutang, fii sabilillah dan ibn sabil (Riyaldi,
2017: 19). Jadi mantan napi, mantan pengguna narkoba, dan PSK tidak
berhak dalam menggunkan dana zakat.
Sedangkan mereka yang menyatakan boleh dana zakat, infak, dan
sedekah ini digunakan untuk tiga objek penelitian secara umum
beranggapan bahwa mereka termasuk orang yang dalam kesulitan dan
harus ditolong agar dapat kembali kejalan yang benar dan kehidupan
yang normal. Namun, ada juga yang beranggapan dari yang setuju
ini tidak sepakat dengan dana zakat untuk tiga objek tersebut. Tetapi
terkait infak dan sedekah sangat diperbolehkan penggunaannya untuk
tiga objek penelitian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka
dengan cara yang halal dan baik.

241
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Dampak dan Harapan Penerima


Secara umum tujuan setiap lembaga sosial filantopi Islam yang ada
dengan sumber dana dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf baik berasal
dari masyarakat umum maupun pegawai perusahan/BUMN tersebut
adalah untuk menjadikan penerima zakat dapat menjadi pemberi zakat
kedepannya yang pada akhinya dapat menciptakan kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Sehingga perlunya perhatian lembaga sosial berbasis filantropi Islam
kepada kelompok sosial yang diteliti. Dalam rangka melepaskan mereka
dari permasalahan sosial dan ekonomi agar dapat hidup normal dan baik
secara moral di masyarakat. Dari hasil penelitian diketahui pengaruh
lembaga sosial berbasis filantropi ini bagi ketiga objek penelitian belum
signifikan baik dari segi pemberdayaan maupun karitas (sedekah)
berupa bantuan yang sifatnya insendental. Diketahui dari lima lembaga
yang diteliti hanya satu lembaga yang sudah pernah membantu satu
diantara objek yang diteliti.
Melalui wawancara langsung kepada keluarga penerima bantuan
diperoleh informasi bahwa yang diberikan berupa bantuan paket
lebaran berisi baju dan makanan dengan latar belakang orang tua/kepala
keluarganya mantan nara pidana dari RZ Wilayah Kalbar. Dimana
penerima yang dipilih berdasarkan informasi atau saran dari lembaga
yang telah diwawancarai dan pengurus Beting Pintar selaku Pembina
anak-anak yang ada di kampung beting. Dimana sekitar 20% anak-anak
yang dibina merupakan anak dengan kondisi orang tua mantan nara
pidana, pengguna narkoba, bahkan ada yang sedang dalam penjara.65

Paket/bantuan yang ada diserahkan kepada anak mantan napi


tersebut. Pemberian itu berdampak bagi anak penerima, yaitu lebih
senang dan tambah semangat belajar mengaji menurut penuturan
65 Wawancara dengan Nurbaiti, Direktur Beting Pintar, 9 januari 2018 di kampung beting.

242
Nurhasanah

ibu penerima.66 Kedepan harapan keluarga penerima agar bantuan


tersebut tidak hanya berupa barang tetapi juga berupa uang agar
dapat membantu memenuhi kebutuahan lainnya apa lagi bantuan
yang diberikan menjelang hari Raya Idul Fitri. Selanjutanya
terkait bantuan yang pernah disalurkan kepada nara pidana di
lapas anak oleh TIH Mujahidin dan TPU Almumtaz Peduli tidak
dilakukan penelusuran lebih lanjut karena diluar objek penelitian
dan sudah tidak berlangsung beberapa tahun terakhir.
Selain itu juga dikarenakan keterbatasan informasi penerima bantuan
dari kelima lembaga sosial berbasis filantropi Islam ini. Sebab uatamanya
adalah kelima lembaga belum memiliki data base yang bisa menyatakan
apakah kalangan miskin yang sudah terbantu selama ini termasuk dalam
tiga golongan tesebut yang pasti jika tiga objek penelitian ini termasuk
katagori penerima zakat dan harus dibantu maka akan segera dibantu
tutur setiap pengurus lembaga yang diteliti.

Penutup
Keberadaan lembaga sosial berbasis filantropi Islam seamakin hari
semakin bertambah diharapkan dapat menjadi satu diantara sarana
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan
masyarakat. Baik mereka yang tergolong miskin maupun yang
termajinalkan di lingkungan masyarakat.
Saat ini arah program yang dirancang setiap lembaga masih berfokus
peningkatan taraf hidup orang-orang miskin sebagian besar melalui
bidang pendidikan. Dimana Lazis PLN Wilayah Kalbar dengan
beasiswa dan peningkatan skill, serta program ESQnya untuk mereka
yang kurang mampu. TIH Mujahidin dengan bantuan untuk dhuafa

66 Wawancara dengan Azizah, orang tua penerima bantuan dari RZ, 9 Januari 2018, di
kampung Beting.

243
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

dan beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu. LazisMU Pontianak


dengan program tahfiz quran, bantuan, dan sekolah bagi yang kurang
mampu. Rumah Zakat (RZ) Wilayah Kalbar dengan empat program
yang semua difokuskan untuk daerah dan mereka yang kurang mampu.
Begitu pula TPU Almumtaz Peduli dengan program peduli tahfiz, anak
yatim, dan dhuafa berprestasi untuk mereka yang kurang mampu.
Dari hasil penelitian diketahui para pengurus lembaga belum melirik
adanya variabel lain yang mempengaruhi ketimpangan sosial di
masyarakat yaitu adanya kelompok sosial (marjinal) yang perlu disentuh
pula dengan dana ZISW agar dapat kembali kejalan yang benar
sebagaimana tujuan gerakan filantropi dan SDGs, no one left behind.
Sehingga belum ditemukan kontribusi yang signifikan dari lembaga
sosial berbasis filantropi di kota Pontianak untuk meningkatkan
kesejahteraan tiga kelompok kalangan marjinal yang diteliti.
Berkaitan dengan respon para donatur cukup baik jika dana yang
mereka salurkan dimanfaatkan untuk pemberdayaan tiga objek yang
diteliti selama dengan porsi yang sesuai dan mereka (tiga objek ini)
termasuk dalam 8 ashnaf yang berhak menerima zakat. Sedangkan
untuk penerima sebagaimana belum signifikannya bantuan dari LAZ
dan LMS berbasis filantropi yang diteliti, kelompok ini pun belum bisa
merasakan bantuan yang maksimal pula.
Program yang sudah ada belum bersifat berkelanjutan atau pembinaan
sehingga dampak yang ada pun hanya bersifat sementara (insidental).
Akibatnya bantuan yang diberikan tidak berpengaruh besar bagi
perubahan kehidupan penerima agar bisa lepas dari permasalahan yang
ada untuk bisa hidup lebih baik, sejahtera, dan merasakan keadilan
sosial sebagaimana mestinya.

244
Nurhasanah

Daftar Pustaka
Abidi, Hamid dkk. Berbagi dan Berkolaborasi untuk SDGs. Jakarta:
Filantropi Indonesia, 2017.
Ali, Hasanuddin dkk. Indonesia Middle Class Muslim: Religiosity and
Comsumerism. Jakarta: Alvara Research center, 2017.
Azazi, Zanuar. Dampak Sosio-Ekonomi Keberadaan PSK, Kajian Sosiologis
Terhadap Keberadaan PSK di Gang Sadar Baturaden. Purwokerto:
IAIN Purwokerto, 2016.
Azizah. 2018. Kompirmasi bantuan dari LAZ RZ di Beting, di
kampung Beting.
BAZNAS. Zakat on SDGs. Jakarta: Pusat Kajian Strategis Baznas, 2017.
Beni dan Muhammad. 2017. Kontribusi LazisMU terhadap tiga objek
yang diteliti, Di Café Detik, Pontianak.
Creswell, Jhon. W. Recearch Design. London: SAGE Publications, 2009.
Darmamely. 2018. Keberadaan Pekerja Seks Komersial di Pontiank, di
Kantor Terpadu, Pontianak.
Fadhilah, Nur. Pemberdayaan Komunitas Marjinal Berbasis Zakat
Di LPP-Ziswaf Harapan Umat Malang Jawa Timur, dinamika
penelitian, 17 (1) (2017): 89-112.
Iskandar, Nur. 2017. Tentang Terorisme di Pontianak, di kediaman
narasumber, Pontianak
Isnawati. 2017. Peta Persebaran Pengguna Narkoba di Kalbar, di Hotel
Mercure, Pontianak.
Echols, J dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
1959.
Firmansyah. Zakat Sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan dan
Kesenjangan Pendapatan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 21. 2
(2013): 179-190.
Jahir. 2018. Kontribusi TPU Almumtaz Peduli terhadap tiga objek yang
diteliti, di kantor Almumtaz Peduli, Pontianak.
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1995.
Kamarullah. 2017. Tentang Terorisme di Pontianak, di Ruang Wakil
Rektor 1 Untan.
Kholis, Nur dkk. Profile of Islamic Philantrophy in Yogyakarta Special
Province. Jurnal Ekonomi Islam: La-Riba, 7.1 (2010): 61-84.
245
Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi Islam di Kota Pontianak

Kurniawan, Edy. “Stop Eksklusif, Jadilah Kolaboratif ”. RZMagz, Edisi


51, 2017.
Latief, Hilman. Filantropi dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal
Pendidikan Islam, 28. 1 (2013): 123-139.
Mundzirin, Achmad. (2015, November 24). Stigma Buruk Kampung
Beting, Salah Siapa?. Pro Kalbar.
Nanda, Asrul. P. 2017. Kontribusi Rumah Zakat terhadap tiga objek
yang diteliti, di Kantor RZ, Pontianak.
Nurbaiti. 2018. Kompirmasi bantuan dari LAZ RZ di Beting, di
kampung Beting.
Rahmatina. A, dkk. Bangsa Betah Miskin: Kajian Kritis Atas Indikator
Dan Program Pengentasan Kemiskinandi Indonesia, Sebuah Tawaran
Solusi. Jakarta: Indonesia Magnificence of Zakat, 2011.
Ruslan, Iskandar. 2017. Tentang Terorisme di Pontianak, di Ruang
Doses Ekonomi Islam IAIN Pontianak.
Saidi, Zaim dkk. Kedermawanan Untuk Keadilan Sosial. Jakarta:
Piramedia, 2006.
Sarwono. 2017. Kontribusi TIH Mujahidin terhadap tiga objek yang
diteliti, di kantor TIH Mujahidin, Pontianak.
Satrio, Muh A. Qardhul Hasan Sebagai Wujud Pelaksanaan CSR
dan Kegiatan Filantropi Lembaga Keuangan Syariah untuk
Pemberdayaan Masyarakat, Jurnal Kajian Bisnis, 23. 2 (2015): 104-
111.
Sulek, Marty. On the Classical Meaning of Philanthropia. Nonpropit
and Voluntary Sector Quarterly, 39.3 (2010): 386.
Tamin, Imron. H. Peran Filantropi dalam Pengentasan Kemiskinan di
dalam Komunitas Lokal. Jurnal Sosiologi Islam, 1. 1 (2011): 35-58.
Widyawati, Filantropi Islam dan Kebijakan Negara Pasca-Orge Baru:
Studi Tentang Undang-Undang Zakat dan Undang-Undang Wakaf.
Bandung: Arsad Press, 2011.
Yusrizal. 2017. Kontribusi Lazis PLN terhadap tiga objek yang diteliti,
di kantor lazis PLN Kalbar, Pontianak.
Zuhri, Saefudin, Deradikalisasi Terorisme: Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Jakarta: Daulat
Press, 2017.

246
EPILOG

Kedermawanan Kaum Beragama dan Problem Kesalehan Sosial


: Zuly Qodir

A. Pendahuluan
Dalam tulisan ini saya akan memberikan penjelasan terkait
dengan peristiwa-peristiwa keramahan (hostility) atau dalam
bahasa Islam sering diidentikan dengan istilah sedekah (sadakah)
atau wakaf dalam hal pemberian pertolongan (bantuan sosial)
pada orang beragama, sesama agama atau antar agama. Dari
manakah munculnya persoalan terkait dengan hospitality atau
filantropi yang belakangan sebenarnya menjadi bagian penting
dalam pelayanan keagamaan yang merupakan bentuk kesalehan
sosial umat beragama. Akan saya coba jelaskan sekalipun hanya
sepintas sebagai landasan untuk menguraikan seluk beluk
hospitality atau sekedah atau wakaf yang memang menjadi tradisi
agama-agama di semua agama, bukan hanya agama Abraham saja.

Kita tahu ada banyak agama yang hadir dimuka bumi. Untuk
Indonesia sekurang-kurangnya ada enam agama (saya sebut
sebagai agama resmi) Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu selain dan beberapa agama lokal yang tidak diakui.
Oleh karena agama-agama lokal (agama suku) tidak diakui maka
pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada hospitality yang
melibatkan agama-agama resmi saja. Dengan harapan juga dapat
memberikan penjelasan terkait dengan masalah-masalah yang
bermunculan dalam agama resmi itu sendiri sebab dalam agama
resmi juga banyak masalah, selain internal sekaligus masalah
dengan sesame agama resmi terutama agama-agama misionaris
(tiga agama Abraham).

Ada banyak hal yang menyebabkan masyarakat mengalihkan


perhatiannya pada agama-agama non resmi atau agama yang tidak
terorganisasikan. Salah satu penyebabnya, karena agama yang
terorganisasikan cenderung bersifat formalitas dan kurang
menghargai hal-hal yang berdimensi spiritual alias non formal.

247
Dari sana sebagian masyarakat memilih tidak mengikuti aturan
agama formal jika hendak beribadah. Orang beribadah dianggap
tidak selalu berhubungan dengan formalisasi, sebab formalisasi
lebih cenderung menciptakan manusia-manusia munafik dan
tiranik. Sedangkan agama non resmi tidak memperhatikan secara
ketat atas orang yang hendak berbuat baik. Disinilah daya tarik
agama spiritual menjadi bagian dalam hidup beragama di belahan
Negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.

Jika agama-agama resmi cenderung mengarah pada formalisasi


maka yang menjadi kekhawatiran adalah muncul banyak jamaah
agama yang menjadi agnostic atau dalam bahasa lain melakukan
desakralisasi atas agama yang diaggap suci. Desakralisasi dan
agnostisisme saya anggap sebagai buah dari kuatnya dominasi
agama-agama resmi atas mereka yang beragama tetapi enggan
dengan masalah-masalah ritualistic yang rigit. Masalah ritul
memang senantiasa terlihat demikian rigit dengan segala macam
aturan yang tampak tidak dapat dinegosiasikan dan kompromi,
sehingga mempersulit sebagian umat beragama yang hendak
menjalankan ibadah dalam kacamata spiritual atau dalam
kerangka esoteric, bukan sekedar eksoterik dalam agama.
Sebenarnya antara eksoterik danesoterik harus saling melengkapi.

Namun itulah slah satu kerangkeng agama-agama yang


terorganisasikan. Demikian banyak aturan yang harus ditaati dan
dijalankan sehingga seseorang akan tampak saleh ketika
menjalankan berbagai macam ritual berdasarkan aturan dan kidah-
kaidah yang ada dalam agama resmi. Sementara jika menjalan
amalan diluar aturan dianggap heretic. Heretic artinya cenderung
tidak bisa diterima sebagai amalan dalam sebuah agama sekalipun
berniat menjadi amalan termasuk amal saleh (kesalehan
sekalipun). Oleh sebab tidak mengikutikaidah-kaidah maka
perbuatannya tidak bermakna alias muspra. Ini kesulitan agama
resmi atau yang terorganisasikan dengan rigit. Hal itu
berpengaruh pada belbgai kesalehan lainnya dalam beragama
termasuk kesalehan memberikan santunan atau hospitality yang
belakangan menjadi bagian dari aktivitas keagamaan.

248
Soal keramahan (hospitality) dalam agama-agama sebenarnya
sebuah fenomena yang telah berjalan lama, dlam banyak tradisi di
belahan dunia. Dari Asia, Afrika, Eropa sampai Amerika-Amerika
Latin, dalam banyak nama namun satu yang menjadi perhatian
yakni adanya ajarn dari etika keagamaan tentang member,
membantu orang-orang yang berada digaris luar keluarga. (lihat,
Warent Ilchman (2010). Namun sekalipun motivasi member atau
membantu, member sumbangan, karitas, gotong royong, sedekah
atau tithe atau wakaf seringkali dicurigai dalam kaitannya dengan
misi keagamaan yang bermakna tidak bersahabat alias negative.
Hal ini inilah yang menyebabkan aktivitas filantropi, hostility atau
sedekah seringkali berdimensi ambivalen. Penuh dengan suasana
keramahan dan ekdamaian, tetapi sekaligus berdimensi konflik
dan kecurigaan antaragama (pelaku kedermawanan) social. Tentu
saja aneh, tetapi dala realitas sehari-hari persoalan kesalehan dari
agama bukan hal yang tidak bisa ditemukan. Agama-agama
memang mengajarkan tentang kesalehan social, selain kesalehan
individual tetapi ketika ada sekelompok masyarakat yang
kebetulan berbeda agama melakukan aktivitas social sebagai
bentuk dari keimanan akan mendapatkan masalah di masyarakat.
Inilah jebakan paling kuat dari kesalehan agama yang
terorganisasikan, bukan agama yang berdimensi spiritual. Dimensi
formal tampak sekali masih dominan dalam masyarakat kita,
sehingga dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa keagamaan
kita masih bersifat resmi ketimbang keagamaan yang tulus pada
Tuhan, bukan pada Negara dan legalitas.

Lebih lagi jika praktek kedermawanan social (filantropi) atau


sedekah dilakukan oleh agama Kristen pada orang muslim. Dan
saya pikir juga demikian jika orang muslim berderma pada orang
Kristen akan dicurigai dengan pelbagai alasan. Padahal dalam
etika agama-agama tidak lagi memperhatikan apakah orang yang
hendak dibantu beragama A atau B yang penting adalah
kelompok masyarakat yang membutuhkan maka harus dibantu
atau disentuh dengan bahasa kemanusiaan. Dengan demikian
praktek kedermawanan social dalam rentang basis keagamaan

249
memang penuh dengan masalah. Seperti saya samaikan diatas,
bahwa hal terssebut seringkai karena adanya formalisasi dan
aturan yang demikian rigit menghlangi praktek-praktek kesaehan
sosia sebagai ajaran etika agama.
Memerhatikan hal itu, menjadi jelas sekarang bahwa praktek
kedermawanan, dalam ruang agama-agama resmi sangat jelas akan
memperpanjang daftar masalah, padahal sejak awal agama-agama
banyak memberikan kerangka dan landasan etik untuk
memberikan pertolongan pada orang lain. Soal kedermawanan
sebenarnya soal aktivitas member secara sukarel dan membantu
orang lain yang berada di luar keluarga. Kedermawanan menjadi
sarana utama yang dipakai masyarakat dalam upaya mereka
mewujudkan pemahaman niai-nilai budaya, untuk melaksanakan
apa yang menjadi amanat dari budaya mereka. Tetapi lagi-lagi
mewujudkan amanat budaya mereka ini kemudian
menumbuhkan sikap kontroversi dan berbahaya, terutama jika
orang lain memandangnya sebagai “faksional” atau jika para
penguasa menafsirkan aktivitas itu sebagai upaya
“pemberontakan” terhadap legitimasi kekuasaan atau upaya
merongrong wibawa kekuasaan.

Dalam bentuk lain, sebenarnya hospitality jika benar diterima dan


dilakukan oleh masyarakat agama, akan menjadi bekal untuk
tumbuhnya sebuah masyarakat yang mandiri, kuat dan beradab,
sebab itulah hospitality akan mendorong bagi tumbuhnya civil
society. Namun yang terjadi malahan sebaliknya, aktivitas
hospitality dilihat dalam konteks tidak sesuai dan tidak cocok
dengan Negara dan masyarakat yang berbeda, sehingga menjadi
sarana untuk saling bermusuhan bukan persudaraan. Jika
hospitality diterima dengan lapang, maka disitulah makna
keberagamaan secara mendalam adalah menerima perbedaan
formalitas, selain juga hospitality juga bermakna untuk dapat
menerima yang berbeda dalam kerangka melaksanakan nilai-nilai
keagamaan yang diajarkan dalam tradisi masing-masing agama
dan tradisi local yang telah berkembang ratusan tahun bahkan
ribuan tahun yang lalu. Inilah civil society yang sebenarnya,

250
menerima perbedaan dengan lapang dan berbuah pada keadaban
bersama-toleransi.

Namun dengan masih berkembangnya pemahaman dan cara


pandang bahwa memberkan pelayanan pada umat yang berbeda
sebagai bentuk perbuatan negative, sebenarnya yang masih
berkembang dalam masyarakat kita adalah cara pandang
“minoritas dan mayoritas”. Minoritas ditematkan sebagai bagian
dari masyarakat yang harus “tunduk” pada mayoritas, sementara
mayoritas pandangannya harus menjadi “acuan” pihak minoritas.
Dengan cara pandang demikian jelaslah bahwa hospitality yang
bermula dari nilai-nilai etik agama-agama bukan berbuah pada
kebajikan tetapi malah kecurigaan. Oleh sebab itu hal yang
menjadi tugas agamwan dan masyarakat agama adalah
memberikan pemahaman bahwa hospitality merupakan ajaran
semua agama dan pemberiannya diberikan pada mereka yang
membutuhkan, memang jelas ada niat, tetapi niatnya adalah
mengamalkan kesalehan individual menjadi bentuk konkret
kesalehan social. Namun saya benr-benar menyadari bahwa
pemahaman hospitality sebagai pengamalan kesaehan individual
yang ada dalam setiap agama tidak banyak dianut oleh kalangan
mayoritas. Yang terjadi dalam pemahaman mayoritas adalah jika
ada sekekelompok umat menjalankan aktivitas social maka
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, dicurigai dan
bahkan diusir.

B. Rezimintasi Kesalehan
Mengapa demikian keras sikap pihak mayoritas pada kesalehan
(keramahan umat beragama lain)? Tentu ini pertanyaan yang
sangat penting untuk dijawab sebab praktek kesalehan social
bukanlah fenomena sekarang saja dan dalam satu agama
sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini.

Dalam Islam sebenarnya ajaran tentang kesalehan social untuk


memerhatikan orang miskin demikian banyak. Orang miskin
sekarang ini banyak bentuknya. Termasuk miskin untuk dapat
akses pada ilmu pengetahuan (tidak dapat memasukkan anaknya

251
untuk sekolah dasar), miskin tidak dapat menikmati fasilitas
kesehatan umum, miskin tidak dapat mendapatkan akses public
services seperti jalan raya yang memadai dan seterusnya. Oleh
sebab itu, sesungguhnya bukanlah hal aneh ketika perhatian pada
kaum miskin menjadi hal penting dalam agama-agama, termasuk
Islam. Pengalaman gereja Ortodoks di Serbia yang melayani
masyarakat miskin dengan memberikan makanan pokok dan
pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang sudah berlangsung
lama. Pelayanan orang miskin di Arab Saudi sejak zaman
kekhaifahan merupakan hal yang tidak tertolak. Tetapi mengapa
ketika pihak Kristen melakukan pelayanan pada mereka yang
membutuhkan dipersoalkan? Inilah yang problem yang
sebetulnya bukan saja eksternal agama tetapi sekaligus internal,
sebab ada pemahaman yang bersifat dominative dan hegeminik
sehingga bersifat resmi dan tidak resmi.

Dalam kasus Islam misalnya, ada beberapa Negara yang memiliki


kekayaan berlimpah seperti Abu Dhabi, Arab Saudi,
Bruneidarusaalam, dan Negara-negara yang cukup miskin seperti
Bangladesh, Turkey, Pakistan, India, Sudan dan beberpa lainnya.
Beberapa dari Negara ini telah memiliki fasilitas boratorium yang
memadai dalambidang teknologi tetapi masyarakatnya miskin,
sehingga membutuhkan santunan. Namun ketika santunan
kesalehan diberikan oleh Negara-negara kaya dan beragama
bukan muslim, yang terjadi adalah adanya penghakiman
melakukan aktivitas negative dengan istilah yang kurang nyaman
didengar yakni “penginjilan” atau proselytizing, mengajak untuk
masuk pada agama Kristen, padahal pemberian sebagai bentuk
dari kebaikan-kebaikan orang beriman pada masyarakat yang
memang dianjurkan oleh agama. Inilah yang saya sebut sebagai
rezimintasi kesalehan.

Kesalehan sudah menjadi konstruksi rezim yang punya otoritas


tertentu, sehingga perbuatan baik sebagai amal saleh tidak akan
dengan mudah mendapatkan pujian kebaikan tetapi malah bisa
jadi mendapatkan cacian dan makin yang bisa berujung pada
kekerasan antar pemeluk agama Tuhan. Benar bukan saja antara

252
Yahudi, Kristen dan Islam, karena dalam tradisi Hindu dan Budha
juga memiliki ajaran kebajikan pada orang lain dan telah
berlangsung lama. Gagasan hospitality di kalangan gereja ortodoks
Serbia misalnya telah berlangsung sejak zaman warisan Bizantium
yang menjelaskan kecintaan sesame manusia bukan hanya kepada
kerabatnya. (Ruzica, 2010)
Persoalan kesalehan ternyata sudah lama menjadi perdebatan
yang tarik menarik antara pemerintah (kekuasaan Negara versus
agama), sebagaimana terjadi di Amerika sejak pemerintahan
George Bush, Bill Clinton dan Walker Bush, ketika
mengintrodusir soal pelayanan kesehatan pada masyarakat dimana
agama juga menginisiasikan tentang kesalehan pada masyarakat
sebagai pilihan pelayanan. Apa yang dilakukan oleh agama untuk
menyediakan makanan, lapangan pekerjaan dan pelajaran
membaca pada masyarakat menjadi persoalan ketika Negara juga
melakukan hal yang sama. Pertarungan antara institusi keagamaan
dan Negara menjadi kentara ketika keduanya berbut pada wilayah
public. (Bartskowski 2003: 4-5)

Menilik dari kisah yang terjadi di Amerika tersebut sebenarnya


tidak aneh jika kita coba bawa ke Indonesia soal kesalehan ini.
Kesalehan kemudian menjadi bagian dari konstruksi Negara,
apalagi ketika Negara merasa tersaingi oleh kekuatan sipil.
Kekuatan sipil inilah yang dikatakan sebagai embrio dari civil
society yang dikhawatirkan akan mereduksi kekuasaan ataupun
mnemunculkan adanya delegitimasi kekuasaan. Kekhawatiran ini
memang mestinya tidak perlu terjadi, karena potensi masyarakat
sipil dalam membantu masyarakat tidak bermaksud mereduksi
kekuasaan dan delegitimasi kekuasaan, tetapi pada kenyataanya
seringkali Negara yang dalam kondisi terjepit akan melakukan
klaim bahwa yang dilakukan masyarakat sipil hanyalah
mengganggu stabilitas politik masyarakat. Inilah yang saya
katakana sebagai bagian dari persaingan kesalehan antara institusi
keagamaan dan Negara dalam pelayanan public.

Benar bahwa keharusan memberikan pelayanan adalah pihak


Negara, tetapi Negara tidak selalu sanggup melayani seluruh

253
kebutuhan masyarakat. Tugas Negara akhirnya seakan-akan
diambil alih oleh institusi keagamaan seperti Muhammadiyah,
NU, gereja atau Yayasan Kristen lainnya. Tetapi yang terjadi
adalah pelayanan public dalam bidang pendidikan dan kesehatan
sekan-akan menjadi wilayah masyarakat sipil. Dan hal yang paling
aneh ketika pelayanan dari institusi keagamaan demikian popular
di masyarakat maka Negara menjadi mengabaikan peran-peran
sentral pelayanan public ini. Sementara itu, seteah institusi
keagamaan sukses dalam pelayanan public Negara kemudian
melemparkan masalah bahwa institusi keagamaan mengambil alih
peran Negara karena menghendaki apa yang dinamakan “pujian”
dan memiliki motiv-motiv tertentu. Inilah problem sangat jelas
dan kuat dari perebutan kesalehan bermotif hospitality.
Kesalehan menjadi salah satu ajang kontestasi kekuatan
keagamaan, baik konservatif maupun progresif.

Oleh sebab itu, kesalehan yang bersumber pada agama-agama


atau etika agama tidak selalu berdimensi religious murni, tetapi
selalu berdiensi politik. Dari sana disadari atau tidak pemahaman
tentang hostility menyebabkan apa yang dinamakan pertarungan
tentang kesalehan. Kesalehan bukan hanya menjadi tujuan dari
etika agama-agama tetapi berebut dengan kehendak Negara yang
juga berkehendak untuk melayani masyarakat, sekalipun dalam
kenyataannya seringkali bertabrakan bahkan tidak mampu
menjadi pusat pelayanan masyarakat sipil secara keseluruhan.
Inilah rezimintasi hostility.

Sebagai sebuah kegiatan yang bersifat social, hostility-


kedermawanan yang bersumber pada etika agama, menjadi
pilihan institusi keagamaan sebagai sebuah gagasan yang semula
merupakan ajaran reformasi keagamaan, karena sebagian paham
keagamaan lebih menekankan pada ibadah yang dinamakan
sebagai kebajikan formal. Kebajikan formal yang dimaksudkan
adalah kebajikan yang berupa doa-doa (praying), ritual perjalanan
(haji dalam Isalam), ziarah kubur (wisata ziarah ke Yerusalem) dan
seterusnya pada agama Yahudi dan Kristen. Kemudian reformasi
keagamaan memberikan tekanan pada kebajikan social yang

254
dinamakan dengan sedekah, wakaf atau charity atau hostility
sebagai hal yang sangat penting dikerjakan oleh kaum agama
sebab kesalehan tidak hanya kesalehan individual (ritual
simbolik) tetapi yang bersifat pelayanan umum (public services).
(Bartskowski, 2003: 5)

Disitulah semakin jelas bahwa soal kesalehan merupakan


pertarungan institusional, baik keagamaan dan Negara. Dan
karena itu menjadi masuk akal ketika apa yang dinamakan
kedermawanan selalu berdimensi politik selain berdimensi
kesalehan keagamaan. Insiativ-inisiatif dari komunitas keagamaan
tidak akan berjalan demikian mulus begitu saja karena dalam
sebuah Negara akan selalu muncul apa yang disebut kelompok
mayoritas dalam hal agama, dan minoritas agama sehingga dua
institusi keagamaan ini pun yang saling bertarung. Pertarungan
dua institusi keagamaan menjadi problem serius ketika Negara
bermain di dalamnya menjadi tidak netral disana.

C. Prosedural Kesalehan
Saya akan menceritakan satu hal yang diharapkan dapat lebih
menjelaskan soal pertarungan kesalehan karena di dalamnya
mengandung pelbagai macam prsedur dalam melaksanakannya.
Prosedur inilah yang nanti kita dapat saksikan sebagai prosedura
kesalehan dalam agama apapun, tanpa terkeceuali tertutama
agama-agama yang cenderung menekankan adanya formalitas,
seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.

Persoalan pemberian beasiswa adalah hal yang paling terang


dalam hal procedural kesalehan, selain masalah lainnya. Tetapi
masalah beasiswa ini yang paling krusial dan debatable dalam
masyarakat menyangkut siapa pemberinya dan motivvasi apa yang
dijalankan dibelakangnya. Tentu saja memberikan beasiswa
adalah hal yang sangat penting dan bermanfataat, tetapi jika
membawa pada pertarungan kesalehan maka membuat agama-
agama hanya sebagai ladang pertarungan dan keresahan social
yang berlatar belakang keagamaan. Anak-anak usia sekolah
memang perlu mendapatkan perhatian namun menjadi rumit

255
ketika semua yang dilakukan oleh instutusi keagamaan kemudian
membawa masalah social seperti kecurigaan dan kebencian atas
kelompok yang memberinya.

Sebuah motivasi pemberian bieasiswa adalah motivasi kesalehan


keagamaan, selain juga motivasi kedermawanan. Motivasi
keagamaan karena dimensi altruism dari orang atau institusi
keagamaan, sementara motivasi ekdermawanan karena tanggung
jawab social keagamaan (orang beriman). Hal seperti itu
sebenarnya merupakan motivasi positi dari sebuah perilaku
keagamaan sekalipun seringkali dipahami berbeda dengan motiv
politik yang terdapat dibelakang pemberian beasiswa. (Cascione,
2003: 14-15)

Kedermawanan (kesalehan umat beragama) dalam memberikan


beasiswa sebenarnya merupakan perhatian manusia-manusia
beriman atas keinginan menolong manusia lain sehingga sesama
manusia diakui sebagai manusia yang bermartabat. Sesama
manusia memiliki akses untuk sekolah, menuntut ilmu
pengetahuan dan kehidupan yang lebih baik dimasa depan.
Sebagai pemberi derma, sebetulnya mendorong pada kesuksesan
dimasa masa depan dan menghilangkan kesan-kesan negative
yang menjadi pendorong dalam pemberian beasiswa atau
pemberian-pemberian lainnya pada sesame umat Tuhan di muka
bumi. Inilah dorongan psikologi positif bukan pesakitan
psikologis yang diderita umat beragama. (Cascione 2003: 15)

Banyak pemberian beasiswa sebagai bentuk kedermawanan


(hospitality) bermula dari kekuatan individual yang kemudian
dikelola oleh institusi, seperti gereja, masjid, yayasan dan
seterusnya, tetapi semua itu sebenarnya sebagai bentuk dari
adanya motivasi untuk memperbaiki kondisi masyarakat agar
memiliki mentalitas berderma dan bukan hanya mentalitas
mengemis atau menerima tetapi giving pada masyarakat. Lebih
lagi jika pemberian didasarkan pada motivasi keagamaan hal itu
sebenarnya memiliki dua dimensi sekaligus. Dimensi collective

256
behaviore dan religious giving yang bermakna praying. (Cascione
2003: 17)

Beasiswa adalah sebuah fenomena yang dapat diakatakan


fenomena sebab banyak individu dan institusi yang bersedia
memberikan sumbangan pendidikan pada mereka yang bukan
kerabat atau keluarga. Dari perpekti klasik sampai kontemporer
menyatakan bahwa pemberian beasiswa merupakan fenomena
yang sudah “mezaman” karena sejak dari dahulu hingga saat ini
terus berlangsung dan berjalan untuk semua jenjang pendidikan.
Bahwa belakang ada pengurangan pemberian beasiswa dengan
syarat-syarat yang demikian rigit sebenarnya tidak disyaratkan
oleh parapemberi derma atau dermawan (para pemberi besiswa)
hanya saja procedural penerima beasiswa ini yang kemudian
mencitrakan bahwa beasiswa pun berhubungan dengan masalah-
masalah administrasi termasuk kependudukan. Padahal awalnya
pemberian beasiswa bermaksud pada mereka yang membutuhkan
akses pada dunia pendidikan, bukan harus dengan
prosedurprosedur khusus.

Apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor atau sponsor


untuk beasiswa belakangan demikian ketat menerapkan
administrasi pada calon penerima. Msih beruntung secara khusus
tidak disebutkan identitas keagamaan tetapi identitas etnik, jenis
kelamin dan region menjadi pertimbangan khusus. Hal ini dalam
bahasa lain sebenarnya dapat diterjemahkan sebagai praktek
penerapan procedural kesalehan sebab semula para pemberi
beasiswa tidak pernah mensyaratkan.

Problem utama dalam pemahaman tradisional tentang pemberian-


wakaf atau sedekah (hostility) adalah adanya gap pemahaman
tentang sifat atruisme religious dengan aturan-aturan yang rigit
mengenai jumlah dana yang hendak disampaikan-diberikan. Hal
itu menyangkut motivasi internal dari para pengelola lembaga
keuangan (dana beasiswa). Apakah dana yang diberikan untuk
research, studi ataukah untuk biaya hidup, semuanya berjalan
sebagaimana kehendak lembaga pengelola dana beasiswa bukan

257
daripihak pemberi sedekah-penderma, sebab pihak pemberi
sedekah sebenarnya yang diinginkan adalah agar dana
individualnya tersampaikan karena berpaham alturisme religious.
Inilah kesalehan individual yang tersandera oleh keslehan rezim
atau procedural kesalehan yang kadang membuat pertentangan
serius diantara penerima dana beasiswa dengan lembaga pengelola
keuangan besiswa. (Cascione 2003: 31)

Namun demikian tidak berarti bahwa pengelolaan dana beasiswa


tidak perlu diakuan secara baik dan professional. Pengelolaan
dana besiswa tetap harus professional tetapi harus
mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya tidak procedural atau
cultural, sebab terdapat banyak masyarakat yang tidak bisa atau
belum bisa mengakses dana beasiswa jika diterapkan dengan
ketat persoalan-persoalan procedural sebagaimana diinginkan oleh
lembaga pengelola dana beasiswa. Disinilah seringkali antara niat
baik pemberi dana beasiswa denganmasyarakat terjadi kecurigaan
karena banyaknya prosedur-prosedur yang harus dilengkapi
sebagaimana persyaratan dari lembaga pengelola keuangan
beasiswa.

Ada sedikit perbedaan yang muncul dalam studi filantropis atau


hospitality antara tahuntahun 1970 sampai tahun 2000-an atau
memasuki abad ke-21. Jika pada awal tahun 1970-an lebih
menekankan pada masalah-masalah keagiatan aktivitas praktis
kehidupan keagamaan. Sementara pada tahun 2000-an aktivitas
filantropi sudah lebih bergerak kearah hal-hal yang bersifat social,
seperti research, pembiayaan beasiswa, dan beberapa hal yang
dapat memengaruhi perubahan social, termasuk penanaman nilai-
nilai sosia keagamaan. Inilah perubahan yang sangat penting
dalam studi hospitality-filantropis sepanjang tiga decade terakhir.
(Cascione 2003: 31)

Dengan memerhatikan perubahan studi fiantropis-hospitality


sebenarnya persoaan-persoalan jebakan formlisasi kesalehan dapat
dihindari. Sekalipun benar adanya bahwa pihak pengelola dana
keuangan para penderma atau dermawan atau aktivitas hospitality

258
teta harus diberikan posisi penting dengan cara pengelolalaan
yang prosefisonal, transparan, bertanggung jawab dan penyaluran
yang tepat. Hal-hal procedural kesalehan mestinya dapat
diminimalisasi sehingga dorongan-dorongan mengerjakan
aktivitas social dengan memberikan perhatian pada kepentingan
umum, terutama mereka yang benar-benar membutuhkan dana
santunana sehingga kesan-kesan negative dari aktivitas hospitality
tidak menumbuhkan kecurigaan di antara pihak-pihak yang
sejauh ini mendapatkan informasi memadai tentang aktivitas
kedermawanan sebagai bagian dari dorongan etika keagamaan.

D. Politik Kesalehan Keagamaan


Apakah itu semua artinya berkaitan dengan apa yang dinamakan
politik kesalehan keagamaan? Politik kesaehan merupakan
sebuah aktivitas yang di dalamnya dominan jebakan-jebakan
administrasi karena tuntutan para pengelola dana social. Dengan
pelbagai macam argument para pengelola dana social memberikan
persyaratan-persyaratan yang rigit sehingga tidak banyak pihak
dapat memungut dana social keculai memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh para pengelola. Tentu saja hal ini baik pada satu
pihak memberikan batasan pada para pengelola dalam
menyalurkan dana social pada masyarakat, tetapi dipihak lain
dengan syarat-syarat yang ditetapkan akan memberikan kesan
negative pada masyarakat yang berada diluar intitusi yang
bersangkutan, misalnya institusi gereja atau institusi masjid.

Bagaimanakah mendamaikan kondisi seperti itu? Salah satu


alternative yang dapat dilakukan adalah dengan cara
mengornisasikan kembali dana kedermawanan bersama
masyarakat arus bawah sehingga di antara mereka saling mengerti
darimana asal usul dana yang akan diberikan, berapa jumlah dan
untuk apa dana tersebut dipergunakan. Bagaimana pelaporan dan
apa saa yang harus dilaporkan diketahui bersama antara pengelola
dana kedermawanan dan penerima dana kedermawanan. Dari sini
diharapkan akan terjadi saling pemahaman sehingga tidak terjadi
lagi kecurigaan-kecurigaan antara pihak penerima dan pengelola.

259
Tanggung jawab social lembaga atau yayasan pemberi dana
kedermawanan dengan pihak yang akan menerima dana.

Dengan semaksimal mungkin melibatkan masyarakat calon


penerima manfaat dana hospitality akan mengurangi resistensi
dan kecurigaan yang seringkali muncul menjadi penghalang
dalam aktivitas tanggung jawab social. Masyarakat juga harus
diberi pemahaman serta dilatih agar bertanggung jawab atas apa
yang telah diterima dari para pemberi dana social, sekalipun dana
tersebut bersifat social namun pertangggung jawaban harus
dilakukan. Benar bahwa pemberi tidak akan mempersoalkan
bagaimana penggunaannya, karena memiliki prinsip altruism
religious tetapi aspek tanggung jawab penerima tetap harus
diperhatikan. Hal ini mengingat salah satu penyebab munculnya
keraguan dan kecurigaan karena seringkali pertanggung jawaban
tidak bersifat terbuka, hanya diantara para pengelola dan
penerima manfaat tidak seara bersama-sama.

Dalam konteks pemberian dana social berlatarbelakang


keagamaan, hal yang tidak boleh terjadi adalah bagaimana agar
pihak-pihak yang bersangkutan memiliki rasa memiliki dan
tanggung jawab. Bagaimana mekanisme tanggung jawab
dilakukan harus dirumuskan secara tegas diawal kegiatan.
Beberapa hal yang dapat menjadi pijakan dalam kaitannya dengan
aktivitas hospitality antara lain; melakukan perencanaan ulang
berdasarkan kemampuan calon penerima manfaat dana sehingga
nantinya harus dapatmempertanggung jawabkan. Bagaimana
caranya adalah dengan membangun kemampuan skil penerima
manfaat bersama lembaga pemberi dana; mengalamatkan dana-
dana dengan merumuskan tujuan bersama dengan penerima
manfaat; mendorong terjadinya proses yang akan menjadi sarana
operasional antara penerima dana dengan pengelola dana; dan
melakukan improvisasi metode yang akan meningkatkan
efektivitas penerima dana dan pengelola sehingga masa depan
penerima menjadi lebih luas dimasa depan. (: Marry Ellen, 2006:
22-23)

260
Sejarah kesalehan yang terdapat dalam aktivitas hospitality-wakaf-
sedekah dan sejenisnya memberikan gambaran bahwa dalam
setiap agama akan senantiasa didapatkan ajaran tentang
menyantuni orang lain. Menyantuni mereka yang dalam keadaan
kekuarangan sehingga harus dibantu. Membantu mereka tanpa
mempertimbangkan dimensi agama, etnis atau pun jenis kelamin.
Hanya saja dalam banyak kasus kesalehan social umat beragama
seringkali bertabrakan dengan adanya dominasi-dominasi
kesalehan yang dikonstuksikan oleh rezim kekuasaan tertentu.
Dari sana yang terjadi kemudian adalah adanya kecurigaan-
kecurigaan dan kebencian yang datang dari aktivitas kesalehan
social. Oleh sebab itu sebuah rumusan yang memungkinkan
adanya kerjasama dan dialog agar terhindar dari kecurigaan harus
senantiasa dilakukan. Hal ini juga akan membuat efektivnya
sumbangan yang dilakukan oleh sebuah institusi keagamaan.

Kisah tentang kerumitan pemberian bantuan yang dilakukan oleh


gereja Ortodoks Serbia, pemberian bantuan di gereja Injili Rusia,
dan sumbangan yayasan pendidikan dari Arab Saudi kepada
Negara-negara yang kurang beruntung semacam Bangladesh,
India, Serbia, Bosnia dan seterusnya dapat menjadi pelajaran
berharga pada yayasan pendidikan, yayasan gereja, yayasan Islam
dan seterusnya agar apa yang menjadi kebaikan mereka tetap
dalam kondisi membangun terwujudnya keadaban dan
masyarakat sipil yang kuat. Apapun yang dilakukan oleh banyak
lembaga social akan berhasil ketika ada komunikasi yang intensif
diantara para pengelola dan penerima sehingga tidak agi
mengesankan adanya dominasi kesalehan yang saya sebut sebagai
politik kesalehan karena sebenarnya tidak menguntungkan pada
perkembangan sifat dan keagamaan yang dewasa.

Jika politik kesalehan terus berlangsung dan dilanggengkan


dengan doktrin-doktrin teologis yang bersumber kitab suci dan
noktah-noktah keagamaan secara kuat, maka yang terus
berlangsung bukanlah dialog dan kerjasama iman sebagaimana
diinginkan oleh sebagian umat beragama. Bahkan yang akan
terjadi adalah adanya manipulasi-manipulasi keagamaan dalam

261
bentuknya yang lebih sempurna seperti keenganan menjalankan
ibadah social dan ibadah ritual kacuali karenatakut adanya razia
dari polisi syariah. Polisi syariah akan bekerja secara maksimal
untuk mengawasi kesalehan orang-orang yang beriman dalam
praktek keagamaan. Pertanyaanya apakah umat beragama akan
menjalankan ibadah social dan ibadah individual ketika diawasi
oleh polisi syariah? Bukankah hal ini memberikan cermin bahwa
kaum beriman berkehendak menjalankan aktivitas ketika
diakawal oleh oleh sebuah institusi keagamaan atau institusi
Negara yang punya otoritas.

Pertanyaan dapat diajukan disini, bagaimana dengan praktek


filantropi dalam Islam (kedermawanan dalam Islam) yang tampak
dalam zakat, infak sadakah, yang seringkali dikelola oleh lembaga-
lembaga social keagamaan bahkan unsur dari kekuatan politik
tertentu seperti partai politik. Kita di Indonesia mengenal
berbagai lembaga filantropi semacam rumah zakat yang dikelola
oleh saudara-saudara dari Partai Keadilan Sejahtera, KPPU
(Keadilan Pengelolaan Pemberdayaan Umat) juga dari sayap
partai PKS, dompet dhuafa harian Republika, Lazismu milik
Muhammadiyah dan Lazis-NU milik NU.

Adakah relevansi pemberdayaan ekonomi atau kesejahteraan


umat dengan hadirnya pelbagai lembaga filantropi tersebut? Jika
terjadi, dalam bidang apakah yang diurus oleh lembaga-lembaga
filantropi. Jika tidak terjadi, apakah penyebabnya sehingga
besarnya dana yang dikelola belum mampu menciptakan
kesejahteraan keadilan social bagi masyarakat luas? Apakah
manajerial yang salah ataukah para penerima manfaat yang tidak
tepat sasaran ataukah programnya yang tidak sesuai dengan
kebutuhan factual di masyarakat penerima manfaat. Lantas
kenapa lembaga kedermawanan social tersebut terus dapat berdiri
ditengah hiruk pikuk kerawanan social ekonomi masyarakat?
Problem social ekonomi umat merupakan fakta yang tidak dapat
kita hindarkan. Problem ini akan senantiasa hadir di tengah
masyarakat beragama, dalam bentuk rezim kekuasaan politik yang
seperti apa pun. Bahkan saya berpikir problem ekonomi umat ini

262
sebagai kodrat Tuhan agar masyarakat ebragama beramal saleh
social, bukan sekedar shaleh secara individual semata. Kesalehan
tidak berhenti pada dimensi ritual keagamaan yang tidak
berdampak pada perubahan social ekonomi umat.

Dalam kaitannya dengan pelbagai isu kontemporer seperti


radikalisme terorisme, ketidakadilan social, kesenjangan antara
kaum kere dengan kaum berada, biaya sekolah dan seterusnya
menjadi menarik untuk dilihat secara seksama. Kajian dalam buku
ini, yang merupakan kajian lapangan atas beberapa lembaga
filantropi Islam memberikan penjelasan yang sangat memperkaya
para pembaca tentang dinamika filantropi Islam di Indonesia.
Kajian tentang filantropi Islam di Indonesia, dapat kita katakan
sebagai sebuah kajian yang relative baru jika dibandingkan di
negara lain. Praktek filantropi memang telah mafhum adanya,
namun filantropi sebagai suatu kajian apalagi sebagai suatu
disiplin ilmu masih relative baru. Ahlinya pun tidak terlalu banyak
untuk tidak mengatakan deficit. Oleh sebab itu, karangan dalam
buku ini filantropi Islam yang merupakan para pemenang
beasiswa penelitian dari Maarif Institute dapat dikakatan sebagai
kajian-kajian pioneer filantropi dalam isu-isu kontemporer.

Kajian-kajian yang dilakukan dalam buku ini, dengan sangat tegas


mencoba mempersoalkan pendekatan fikih klasik terhadap
mereka yang dikatakan kaum miskin (mustadafin), siapa yang
layak mendapatkan zakat dan sodakoh serta pemberian
pemberian social lainnya. Apakah korban bencana terorisme,
perempuan pekerja seks komersial dapat menerima zakat infak
dan sodakoh, apakah PSK dianggap syah ataukah tidak syah
zakatnya. Serta bagaimana kinerja Lembaga Zakat infah dan
sodakoh bekerja menyantuni masyarakat tanpa pandang agama,
aliran keagamaan bahkan politik perlu diperhatikan.

E. Penutup
Dari penjelasan yang telah saya sampaikan dalam tulisan ini,
jelaslah bahwa persoalan kesalehan social umat beragama bukan
tanpa resiko. Aktivitas hospitality-filantropi sebagai bagian dari

263
dorongan spiritual dan altrusime religious ternyata dilapangan
bukan tanpa masalah. Ada banyak kisah menjelaskan adanya
masalah di sana oleh karena itu harus berhati-hati sehingga
aktivitas social dalam bentuk kedermawanan tidak menjadi
boomerang kaum beriman di atas pelayanannya.

Tanpa mengurangi misi keagamaan, sebenarnya aktivitas


kedermawanan-hospitality sebenarnya dalam ektensinya yang
lebih jauh akan mendorong pada tumbuhnya masyarakat sipil
yang kuat. Bahkan jika aktivitas kedermawanan social berjalan
dengan baik sebenarnya disana telah tumbuh apa yang dinamakan
embrio dari civil society, hanya sayangnya aktivitas social
kedermawanan seringkali dicurigai sebagai aktivitas yang berlatar
belakang mendorong kelompok masyarakat untuk melakukan
konversi keagamaan. Padahal setiap aktivitas kedermawanan
sebenarnya merupakan aktivitas yang didorong oleh semua etika
agama, sebagai bentuk perwujudan kesalehan social kaum
beriman.

Apa yang selama ini telah dilakukan oleh lembaga-lembaga


keagamaan semacam gereja, masjid, yayasan pendidikan, dan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat menampung
kedermawanan social para individu yang berpunya dan memiliki
altruism religious, sebenarnya menjadi sumber adanya kemajuan
masyarakat dalam mengamalkan prinsip-prinsip etika social. Apa
yang telah berjalan selama ini diharapkan dapat berjalan dengan
baik dan menjadi pertanda bagi tumbuh dan berkembangnya
masyarakat sipil yang kuat, tanpa Negara merasa hendak dikudeta
atau lembaga-lembaga keagamaan merasa bertanggung jawab atas
persoalan bangsa yang melilitnya, sehingga harus mengambil alih
tanggung jawab Negara pada lembaga-lemaga keagamaan.

Kajian yang ada dalam buku ini, memiliki kekuatan melihat


lembaga-lembaga filantropi dikalangan masyarakat Islam,
sekalipun dampaknya masih belum maksimal. Dalam perspektif
fikih misalnya, perlu ada perluasan fikih tentang para penerima
zakat, bukan hanya depalan penerima zakat sebagaimana

264
dirumuskan oleh para ahli fikih klasik. Perlu perluasan siapa
sebenarnya penerima zakat pada zaman kekinian. Apakah korban
perang berhak menerima zakat ataukah tidak. Bahkan para TKW,
TKI, bahkan Para pekerja seks yang insaf juga perlu dipikirkan
perlu atau tidaknya menjadi bagian dari penerima zakat. Selain itu
juga mereka yang menjadi korban terorisme, para mantan
terpidana terorisme (napiter) juga perlu mendapatkan perhatian
dari para pengelola dana zakat, infak dan sodakoh khususnya dari
lembaga filantropi Islam.

265
Daftar Bacaan

Ruzica, Miroslav, Kristen Ortodoks, Negara Bangsa dan


Filantropi: Fokus Gereja Ortodoks Serbia, dalam Filantropi di
Berbagai Negara, terjemahan, CSRC, Jakarta, 2010

Bartkowski, John P, Charitable Choices: Religion, Race, and


Poverty I the Post-Welfare Era, New York Uiversity, 2003

Cascione, Gregory L, Philanthropists in Higher Education:


Institutional, Biographical, and Religious Motivations for Giving ,
Routledge Falmer, 2003

Capek, Mary Ellen S and Molly Mead, Effective Philantropy,


The MIT, Cambridge, Massacusetts, 2006

Latif, Hilman, Melayani Umat, Maarif Institute-Gramedia, 2013

266
PROFIL PENERIMA
MAARIF Fellowship 2017-2018

Husna Yuni Wulansari. Perempuan kelahiran


Malang, 19 Juni 1996 ini mengambil jurusan
Ilmu Hubungan Internasional, di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada. Saat melakukan penelitian MAARIF
Fellowship 2017, penulis telah memasuki
semester 7 di tahun ajaran 2017/2018. Penulis
merupakan asisten peneliti di Institute of
International Studies (IIS) UGM dan terlibat dalam beberapa
penelitian, seperti: “Mempelajari Selatan: Konsep dan Perdebatan”;
“Crafting Right-Based Water Governance in the Southeast Asia: State,
Market, and Urban Poor”; “Haluan Baru Politik Luar Negeri Indonesia:
Diplomasi ‘Middle Power’ di Bawah Presiden Joko Widodo”; “Universal
Health Rights and ASEAN Regional Integration”; dan “Nonviolence as Key
to Democratic Consolidation in Indonesia”.
Judul artikel : “Filantropi Islam dalam Dukungan Pasif bagi
Terorisme di Indonesia”
Kontak : [email protected]

267
M.K. Ridwan adalah nama populer dari nama
panjangnya Muhammad Kholil Ridwan, lahir di
Tanggamus, Lampung pada 26 Juni 1994.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD,
Tsanawiyah, dan Aliyah di Tanggamus.
Kemudian hijrah ke Jawa untuk melanjutkan
jenjang pendidikan S1 di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga pada jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir lulus tahun 2017 dan tercatat sebagai wisudawan
terbaik, dan menjadi wakil wisudawan untuk menyampaikan pidato
pada wisuda ke-VI IAIN Salatiga 2017. Penulis saat ini sedang
menggeluti studi al-Qur’an kontemporer dan bidang penelitian sosial-
keagamaan. Penulis pernah melakukan riset terkait pandangan Majlis
Tafsir Al-Qur’an (MTA) tentang jihad sebagai respon atas fenomena
ISIS (2014), dan menjadi peneliti junior pada program “Live in
Ahmadiyah” di Kuningan Jawa Barat (2016).
Keaktifannya dalam kegiatan penulisan dan riset, telah
menghantarkannya menerbitkan beberapa tulisan di jurnal ilmiah.
Di antaranya, “Kontekstualisasi Etika Muslim terhadap the Others;
Aplikasi Pendekatan Historis Kritis atas al-Qur’an” Maghza (2016);
“Agama; Antara Cita dan Kritik”, Fikrah (2016), “Metodologi
Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran
Kontekstual Abdullah Saeed” Millati (2016), “Kontekstualisme Hadis;
Analisis Metode Hermeneutika Fatima Mernissi” Dinamika (2016),
“Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam Wacana
Qur’anic Studies” Theologia (2017), “Penafsiran Pancasila dalam
Perspektif Islam: Peta Konsep Integrasi” Dialogia (2017).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Salatiga sebagai ketua umum BPL (Badan
Pengelola Latihan), di kampus menjadi ketua umum Himpunan
Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan juga aktif di
Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI).

268
Beberapa prestasi yang pernah diraih di antaranya Juara II Lomba Karya
Tulis Ilmiah Tingkat Nasional FKMTHI di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (2015), Juara I Lomba Karya Ilmiah Perpustakaan tingkat Kota
Salatiga (2016), Juara II IPPBMM cabang Menulis Isi Kandungan al-
Qur’an Tingkat PTKIN se-Jawa Madura (2016), dan Juara III Lomba
Musabaqoh Makalah Al-Qur’an (MMQ) Putra pada PIONIR ke-VIII
PTKIN se-Indonesia di UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2017), dan yang
terakhir sebagai penerima MAARIF Fellowship (MAF) dari MAARIF
Institute (2017).
Judul artikel : “Reinterpretasi Konsep “Mustahik”: Dapatkah
Mantan Napiter Digolongkan Penerima Zakat?”
Kontak : [email protected]

Naomi Resti Anditya, Mahasiswa Universitas


Gadjah Mada kelahiran Kudus, 28 Februari
1996 ini telah aktif di organisasi sejak di bangku
SMA Kristen Satya Wacana, dan terakhir
berlanjut di Korps Mahasiswa Hubungan
Internasional UGM dan di Young Interfaith
Peace Community. Selain telah mulai menulis di
Jurnal Indonesia Foreign Policy Review Vol.3,
Issue 6, 2016, “Tantangan dan Peluang Indonesia dalam Kepemimpinan
Lingkungan di ASEAN: Belajar dari Musibah Kebakaran Hutan”,
Naomi juga membantu sebagai asisten peneliti dibeberapa penelitian,
diantaranya: Human Rights Reporting in Indonesia; Haluan Baru Politik
Luar Negeri Indonesia: Diplomasi ‘Middle Power’ di Bawah Presiden
Joko Widodo; dan Gentrification and the Problem of Environmental
Justice.
Judul artikel : “Filantropi Islam untuk Perdamaian: Menakar
Inklusivitas Lazisnu dan Lazismu di Yogyakarta”
Kontak : [email protected]

269
Nurhasanah. (IG: @na2nhf ) dilahirkan pada 3
Februari 1995 di Sei. Raya Kepulauan Kab.
Benkayang, Kalbar. Pernah menempuh
pendidikan S1 di Pendidikan Fisika FKIP
Universitas Tanjungpura Pontianak tahun 2012-
2016. Aktif diberbagai organisasi mahasiswa
baik internal dan eksternal, terutama pada kajian
ilmiah, dan gerakan sosial. Seperti Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Fisika, Forum Pemuda Pelopor Kalbar, KAMMI
Pontianak, Cendekia Muda Indonesia, dan IsNet (Indonesian Scholars
Network) wilayah Kalbar.
Founder komunitas IRC (Intelligent Reading Community), Pemuda
Pelopor bidang pendidikan tahun 2016 perwakilan Kab. Bengkayang
untuk Kalbar, Runner Up Duta Baca Kalbar 2017, Penerima t Award
Fellowship 2017 dari MAARIF Institute.
Judul artikel : “Kontribusi Lembaga Sosial Berbasis Filantropi
Terhadap Mantan Nara Pidana, Mantan Pengguna
Narkoba, dan Pekerja Seks Komersial di Kota
Pontianak”
Kontak : [email protected]

270
Nurul Iffakhatul Sholekhah, merupakan
mahasiwa Pendidikan Bahasa Inggris semester
8 di IAIN Surakarta kelahiran 18 April 1996.
Iffah, pernah menjadi salah satu delegasi
Student Mobility Program, Kementerian
Agama Republik Indonesia di tahun 2015 ke
Perth, Westren Australia. Iffah yang pernah
bersekolah di SMK IT Smart Informatika,
sebuah sekolah gratis bagi kaum dhuafa dan kurang mampu milik
Yayasan Solopeduli Ummat, menjadikan penelitian ini sebagai salah
satu misi pribadinya untuk ikut andil dalam mengembangkan program
pendidikan LAZ untuk dapat memberikan kesempatan kepada jutaan
anak kurang mampu dan ekonomi lemah lain untuk dapat menikmati
pendidikan dan memutus rantai kesenjangan sosial. Iffah, aktif
berkecimpung dalam dunia penelitian dan pernah menjadi pemakalah
di beberapa konferensi International, seperti ISCIS (International
Student Conference on Islamic Studies) 2017, IAIN Manado dan
ICELLL (International Conference on English Language, Linguistic,
and Literature) 2017 di Surakarta
Judul artikel : “Filantropi Islam untuk Pendidikan Berkeadilan,
Quo Vadis ? Studi Perbandingan Kasus pada
LazisMu dan Dompet Dhuafa”
Kontak : [email protected]

271
Waskito Wibowo lahir di Gresik pada tanggal
23 Agustus 1994. Ia menyelesaikan studi pada
tahun 2016 di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan skripsi
tentang perbandingan sistem pendidikan di
pesantren tradisional dan modern. Sampai saat
ini ia juga mendapatkan kepercayaan sebagai
Asisten Pengasuh (Murobbi) di Ma’had Al-
Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia
juga dipercaya sebagai Ketua Bidang Keilmuan Pimpinan Cabang
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Ciputat periode 2015-
2016. Salah satu pencapaiannya yakni sukses menyelenggarakan
pelatihan riset dengan nama School of Research sebagai wadah pembinaan
dan pendampingan bagi mahasiswa dari lintas organisasi kemahasiswaan
selama 6 bulan. Selain itu, ia juga pernah mengikuti rangkaian Kuliah
Umum Dr. Hussain Mohi-Ud-Din Qadri mengenai Pakistani Youth
Role in Preventing Pro-Violence Ideology dan menjadi Koordinator Acara
pada Kuliah Umum bertajuk Relasi Umat Beragama untuk Kemanusiaan
dan Bangsa. Pada awal tahun 2017, ia bersama 25 orang kader muda
Muhammadiyah se-Indonesia menjadi Awardee program
Muhammadiyah Scholarship Preparation Program (MSPP) angkatan
pertama. Program yang diprakarsai oleh Majelis DIKTILITBANG PP
Muhammadiyah dan LAZISMU ini bertujuan untuk mempersiapkan
kemampuan kader-kader muda Muhammadiyah dengan membuka
peluang studi lanjut di luar negeri untuk jenjang Magister dan Doktoral
dan Awardee MSPP ini diproyeksi untuk mengabdi sebagai dosen
PTM/A setelah menyelesaikan studi.
Judul artikel : “Peran Filantropi Berbasis Masjid Dalam
Pendampingan Keluarga Narapidana Terorisme di
Kabupaten Lamongan”
Kontak : [email protected]

272
PROFIL DEWAN JURI
MAARIF Fellowship 2017-2018

Hilman Latief, Ph.D., lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia


menyelesaikan pendidikan dasarnya di Pondok Pesantren Darul
Arqam Muhammadiyah, Garut, dan melanjutkan studi sarjananya
di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga,
Yogyakarta (1999). Ia memperoleh gelar MA (Master of Arts)
dari Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah
Mada, Indonesia, dan dari Departemen Perbandingan Agama,
Universitas Michigan Barat-Amerika Serikat pada tahun 2003
dan 2005. Ia memperoleh gelar Ph.D. (Doktor Filsafat) dari
Universitas Utrecht-Belanda pada tahun 2012. Pada 2013, dia
seorang rekan peneliti di KITLV (The Royal Netherlands Institute
of Southeast Asian and Caribbean Studies/Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde). Pada 2014, ia menerima
Penghargaan Alumni Achievement Award dari School of Arts and
Sciences, Universitas Western Michigan. Ia merupakan dosen di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kontak: [email protected]

273
Muhammad Najib Azca, Ph.D., lahir di Pekalongan, 6 Mei 1968.
Menyelesaikan pendidikan di SD Islam Kauman, SMP Ma’had Islam
dan SMAN 1 Pekalongan sebelum melanjutkan kuliah di Jurusan
Sosiologi UGM pada tahun 1987. Semasa mahasiswa aktif di Jamaah
Musholla Fisipol UGM, menjadi pengurus Senat Mahasiswa dan
Pemimpin Redaksi LPM Sintesa Fisipol UGM. Sempat menjadi
jurnalis di tabloid mingguan DeTIK yang dibredel oleh rezim orde
baru pada 21 Juni 1994, penulis akhirnya menyelesaikan skripsinya
mengenai sosiologi pengetahuan Dwifungsi ABRI pada tahun 1996.
Skripsi itu kemudian di terbitkan oleh Penerbit LKIS sebagai buku
pada 1998 berjudul Hegemoni Tentara, dengan kata pengantar dari Prof.
Dr. Herbert Feith, guru besar dari Universitas Monash, Australia. Tak
lama setelah lulus kuliah, penulis diangkat menjadi asisten dosen di
Jurusan Sosiologi Fisipol UGM sambil menjadi peneliti di Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
Pada tahun 2001, penikmat musik dan sastra tersebut melanjutkan studi
master di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari
Australian Development Scholarship (ADS). Tesis masternya berjudul
The Role of Security Forces in Communal Conflict: The case of Ambon,
Indonesia di bawah supervisi Prof. Dr. Harold Crouch mendapat nilai
high distinction. Berlanjut dengan sejumlah publikasi internasional
antara lain, artikel berjudul “In between military and militia; the
dynamics of the security forces in the communal conflict in Ambon”
yang dimuat di Asian Journal of Social Sciences, Volume 34, No. 3 (431-
455) Leiden: Brill Publisher, 2006, “A Tale of two troubled areas; Forced
migration, social violence, and societal (In)security in Indonesia” terbit
di Asia Pacific Migration Journal Vol 15 No.1. 2005, artikel berjudul
“Security forces in in Ambon: From the national to the local” di buku
berjudul Violence in Between; Conflict and Security in Archipelagic

274
Southeast Asia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute and ISEAS
dengan editor oleh Damien Kingsburry, serta artikel berjudul “Security
Sector Reform, Democratic Transition, and Social Violence: The Case
of Ambon, Indonesia” diterbitkan oleh Berghof Research Center for
Constructive Conflict Management, Bonn, Germany, available at
http://www.berghof-handbook.net. Pada tahun 2006, penyuka puisi
yang gemar bermain gitar tersebut melanjutkan studi doktoral di
Amsterdam School for Social Science Research (ASSR) di Universiteit
van Amsterdam (UvA) dengan beasiswa dari WOTRO, sebuah lembaga
riset di Belanda. Di bawah supervise Prof. Henk Schulte Nordholt, Prof.
Dr. Irwan Abdullah, Dr. Oscar Verkaik dan Dr. Gerry van Klinken,
penulis merampungkan disertasi berjudul After Jihad: A Biographical
Approach to Passionate Politics yang diuji secara terbuka pada bulan
Mei 2011.
Pada tahun 2010 penulis terpilih menjadi Ketua Program Studi Sarjana
Jurusan Sosiologi UGM hingga sekarang. Pada awal 2012 giliran terpilih
sebagai Ketua Umum Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia
(APSSI) untuk periode 2012-2015. Pada awal tahun 2011 bersama
sejumlah kolega akademik mendirikan Youth Studies Centre (YouSure)
Fisipol UGM dan bertindak sebagai Direktur YouSure hingga kini.
Penulis juga bertindak sebagai Ketua Sidang Redaksi Jurnal Studi
Pemuda yang diterbitkan oleh YouSure Fisipol UGM. Edisi perdana
jurnal Volume 1, No. 1, bertema Pemuda, Agensi, Reformasi terbit pada
Mei 2012. Jurnal Volume 1, No.2, bertema Ragam Transisi Pemuda:
Pengalaman Bertumbuh di Indonesia sedang dalam proses cetak. Selain
sibuk dengan urusan lembaga dan organisasi penulis juga menghasilkan
sejumlah publikasi, antara lain, menjadi editor dan penulis buku
berjudul Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia
(bersama Subando Agus Margono dan Lalu Wildan) diterbitkan oleh

275
YouSure Fisipol UGM (2011) serta menulis sebuah monografi berjudul
After the Communal War: Understanding and Addressing Post-
Conflict Violence in Eastern Indonesia dan Seusai Perang Komunal:
Memahami Kekerasan Pasca-Konflik di Indonesia Timur dan Upaya
Penanganannya (bersama dengan Patrick Barron and Tri Susdinarjanti)
yang diterbitkan oleh CSPS BOOKS (2012).
Kontak: [email protected] dan [email protected].

Ir. Ninuk Mardiana Pambudy, M.Hum. dilahirkan pada 29 April


1960. Wartawan senior harian Kompas ini menyelesaikan pendidikan
S1 di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(1983) dan meraih gelar master dari Program Kajian Wanita, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia (2003) dengan judicium cum laude.
Wakil Pemimpin Redaksi HarianKompas (sejak Juni 2012) ini pernah
menjadi Editor Desk Investigasi Kompas (2010 -2012); Wakil Editor
Desk Non-Berita (Kompas Minggu) dengan liputan, antara lain, gaya
hidup (2000-2010); Pjs Editor Iptek Kompas (1988- 1991); Editor
DeskKompas Minggu (1991- 1998); editor suplemen Swara seputar
isu gender (1999-2000). Anggota tim panitia seleksi anggota pengganti
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2011) dan anggota tim
panitia seleksi anggota Komnas Perempuan (2007) ini pernah, bersama
Maria Hartingsih, mewawancarai Joseph Stiglitz dan Muhammad
Yunus, dua orang pemenang Nobel Ekonomi, saat mereka berada di
Indonesia (2007). Selain itu, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Nasional (sejak 2004); Board of Advisors Respect
Program, World Learning (International Development Program-
USAID (2008); dan anggota Board Jakarta Fashion Week (2009,
2010) ini juga pernah mewawancarai beberapa perancang/pebisnis
mode internasional, antara lain, Karl Lagerfeld, Santo Versace, Oscar

276
de la Renta, dan Anita Roddick. Di samping menulis tentang industri
mode Indonesia untuk Young Fashion Entrepreneur Competition
British Council (2010), peraih penghargaan Xelibri Fashion Award
(2003); penulis mode tahun 2001 dari Yayasan Bina Buku (Anugerah
Penghargaan Wartawati Mode 2001); Fashion Icon 2010 bidang
penulisan mode dari Jakarta Food and Fashion Festival (2001) ini juga
pernah tampil sebagai pembicara pada forum diskusi Asia Tropic Style,
Fashion Connections Singapore, (Singapura, 1998); Campaign for
Real Beauty (2007); dan pembicara pada diskusi batik Yayasan Batik
Indonesia (2009).
Kontak: [email protected]

Lies Marcoes, MA., lahir di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal


17 Februari 1958. Menulis sejak SMA di Banjar, Lies adalah seorang
konsultan independen, pakar gender, peneliti, fasilitator pelatihan
analisis gender dan konsultasi di bidang hak-hak perempuan, kesehatan
reproduksi, dan gender dalam Islam. Lulusan IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta jurusan Perbandingan Agama, yang juga penyuka traveling
ini, selalu antusias jika diajak bicara soal penelitian antropologi. Lies
meneruskan studi dan memperoleh gelar Masternya dalam bidang
Antropologi Kesehatan dari Universitas Amsterdam (Belanda).
Lies merupakan aktivis feminis muslim Indonesia dan seorang ahli dalam
kajian Islam dan Jender. Saat ini Lies aktif menjabat sebagai Direktur
Yayasan Rumah Kita Bersama (disingkat Rumah KitaB). Lies berperan
penting di dalam mempromosikan kesetaraan jender di Indonesia.
Lies menjembatani jurang antara Muslim dan feminis sekuler serta
mendorong seluruh feminis untuk bekerjasama dengan Islam dalam
mempromosikan kesetaraan gender. Lies merupakan fasilitator feminis
handal dan melalui keahliannya tersebut telah banyak berkontribusi

277
dalam perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan
perempuan dalam Islam. Pemikiran Lies dipengaruhi oleh Prof. Harun
Nasution. Prof.Harun Nasution mengajarkan Lies untuk berpikir bebas
dan memahami bahwa Islam dapat dipahami dari berbagai perspektif
yang berbeda.
Kontak: [email protected]

Taufik Andrie, adalah seorang ahli dalam isu Counter Violence


Extremism (CVE), memiliki pengalaman di CVE selama lebih dari
17 tahun. Karya dan dedikasinya dalam masalah ini telah diakui oleh
organisasi lokal dan internasional.
Kontak: [email protected]

278
MAARIF FELLOWSHIP 2017
Filantropi Islam, Penanggulangan
Terorisme dan Keadilan Sosial

Dasar Pemikiran
Salah satu permasalahan sosial yang tidak kunjung tuntas di
masyarakat kita adalah kemiskinan dan kesenjangan antara yang
kaya dan yang miskin. Indeks angka kemiskinan dan kesenjangan
ekonomi masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Merujuk
data dari badan Pusat Statistika (BPS), jumlah masyarakat miskin
berdasarkan propinsi secara keseluruhan sebanyak 28,41 juta
(Maret 2016). Jumlah penduduk miskin yang tersebar di perkotaan
sebesar 10.339.79 dan di pedesaan sebesar 17665.62.1 Jumlah
penduduk miskin paling banyak ada di Pulau Jawa, sebesar 15,31
juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di Sumatera 6,31 juta jiwa,
Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, Pulau Sulawesi 2,19 juta
jiwa, Maluku 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan sebesar 0,99 juta
jiwa. Tren kesenjangan pun semakin memburuk, walau Indeks
Gini secara keseluruhan mengalami peningkatan.
Kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia
menjadi potensi suburnya radikalisme-terorisme. Leon P. Baradat (1994:
16) mengingatkan bahwa dalam suatu sistem politik, ada kelompok
radikal yang menginginkan perubahan secara komprehensif atas sistem
yang berlaku (status quo). Mereka akan memperjuangkan perbaikan
1 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 (update 18 Agustus 2016), diakses
pada 9 Januari 2017, 10.42 am.

279
hidup agar lebih baik dari situasi kemiskinan yang dialami dan secara
ekstrem tidak puas dengan kondisi masyarakat yang ada. Sederhananya,
mereka dalam kondisi di mana perasaan adanya ketidakadilan dan
kekecewaan. Kondisi ini pula bisa membawa seseorang untuk menjadi
bagian dari kelompok radikalisme dan terorisme. Fathali Moghaddam
(2004: 162-166) menjelaskan bagaimana seseorang secara bertahap
melewati tangga menjadi teroris. Basisnya adalah kondisi psikologis dan
penafsiran seseorang terhadap situasi yang dialaminya.
Salah satu solusi yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa
ini dari bahaya radikalisme-terorisme adalah mengentaskan kemiskinan
dan pemberdayaan ekonomi umat melalui peran lembaga filantropi.
Kedermawanan (Filantropi) dalam khazanah Islam merupakan salah
satu upaya menjawab tantangan dan masalah sosial kemasyarakatan ini.
Mulai dari Zakat, Infaq, Sedekah, hingga Wakaf. Instrumen-instrumen
ini giat dikampanyekan oleh kelompok-kelompok Islam. Maraknya
kegiatan dan kesadaran berfilantropi ini tentu tidak terlepas dari fakta
sosiologis bahwa masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang
memiliki rasa solidaritas dan kedermawanan yang tinggi. Rasa solidaritas
dan kedermawanan ini dapat dilihat mulai dari tingkat kampung hingga
ke tingkat yang lebih tinggi. Di kampung-kampung misalnya, masih
terdapat gerakan jimpitan yang mengumpulkan beras dari setiap rumah
warga sebagai sumbangan untuk desa. Bila terjadi bencana alam atau
musibah yang menimpa suatu daerah atau tempat, berbagai pihak aktif
membuat program penggalangan dana untuk membantu meringankan
beban korban. Berbagai program penggalangan dana yang diinisiasi oleh
media massa, perusahaan, organisasi kemasyarakatan untuk membantu
korban tersebut segera saja disambut antusias oleh masyarakat dengan
aktif mengirim bantuan, baik dana, tenaga, pakaian layak atau makanan.
Menariknya, gerak filantropi yang dilakukan oleh masyarakat berjalan
dengan sangat baik tanpa intervensi lebih jauh dari pemerintah. Ada

280
kesadaran masyarakat yang demikian tinggi untuk filantropi, namun
bila merujuk data penelitian BAZNAS dan IPB, potensi zakat sebesar
Rp 217 T (berdasarkan produk domestik bruto tahun 2010) belum
sepenuhnya tercapai.2
Menurut hasil penelitian Riaz Hassan (2008), masyarakat Muslim
Indonesia memiliki kedermawanan yang tinggi dibanding beberapa
negara lain yang menjadi obyek penelitian. Indonesia mendapat 94%,
Mesir 87%, Pakistan, 58%, Kazakhstan 49% untuk membayar zakat.
Demikian pula menurut sebuah survei Global@dvisor bertajuk ‘Views
on Globalisation and Faith’ oleh Ipsos MORI. Survei dilakukan di
24 negara pada April 2011 dan melibatkan hampir 20.000 responden
berdasarkan garis-garis keagamaan, Kristiani (Katolik dan Protestan
di 19 negara), Islam di tiga negara (Indonesia, Arab Saudi dan Turki),
Hindu (India), Budhis di tiga negara (China, Jepang, dan Korea
Selatan). Dalam salah satu aspek survei tersebut (religiusitas), menarik
untuk melihat bagaimana agama menjadi motivator untuk melakukan
pemberian (giving)—waktu dan uang—untuk membantu mereka yang
membutuhkan. Hasilnya adalah: di antara penganut Kristen sebesar
24%, Muslim 61 %, Budhis 20%, dan Hindu 33%. Di kalangan negara
Islam, Muslim Indonesia merupakan negara paling dermawan dengan
persentase sebesar 91%, Arab Saudi 71 %, dan Muslim Turki 33%.
Hal ini menunjukkan bahwa kedermawanan merupakan potensi
yang besar di masyarakat kita. Ajaran Islam mengenai ZIS demikian
mewarnai keputusan-keputusan individu dalam giving and sharing.
Demikian pula tradisi-tradisi lokal yang ada di tengah masyarakat
dalam bentuk gotong royong, tolong menolong, saling bantu memasak
dan sharing bahan makanan ketika ada perayaan khusus di masyarakat
(pernikahan, kerja bakti, pengajian). Tradisi ini nyatanya (sebagaimana

2 http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/16/01/21/o1b126385-potensi-
zakat-nasional-mencapai-rp-217-triliun

281
diperkuat hasil survei di atas) masih bertahan dan semakin kokoh.
Selain karena masyarakat Indonesia masih mempertahankan tradisi
ini, salah satu faktor lainnya adalah membaiknya situasi ekonomi di
Indonesia dan berhasil mendorong membengkaknya jumlah kelas
menengah Muslim. Kelas menengah ini, di tengah situasi kemiskinan
yang juga masih membelit sebagian masyarakat, turut berkontribusi
pada meningkatnya kesadaran berfilantropi. Selain meningkatnya
pendapatan mereka, bertambahnya pengetahuan tentang agama dan
kesadaran akan kewajiban mendorong mereka untuk berkontribusi.
Selain alasan agama, semangat berfilantropi juga menjadi gaya hidup
tersendiri di tengah sosialita kelas menengah ini. Tren ini muncul di
kelompok jetset, dengan tradisi charity yang kuat.
Di tengah meningkatnya kesadaran warga untuk menyalurkan zakatnya
ke lembaga profesional yang dikelola oleh civil society, negara juga
berpartisipasi dalam filantropi. Hal ini nampak dari beberapa praktek
yang muncul di lingkup birokrasi dengan cara pemotongan secara
langsung dari gaji atau penghasilan seorang pegawai pemerintah,
mulai dari lingkup pemda hingga guru. Hasil pemotongan dikelola
oleh BAZDA, sebuah badan zakat yang dikelola oleh pemda. Selain
negara, pasar (privat company), juga mulai terlibat dalam filantropi
dengan membentuk lembaga filantropi tersendiri. Pada satu titik, tentu
saja situasi ini kondusif bagi meningkatnya kesadaran berbagai elemen
masyarakat dalam memenuhi kewajiban agama. Namun, di sisi lain,
bagi pegiat filantropi di kalangan civil society, terjadi kontestasi di antara
badan atau lembaga zakat yang dikelola masyarakat, negara, dan pasar
(privat/Market).
Peningkatan jumlah lembaga filantropi seharusnya memiliki peranan
khusus pada upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. Riset
yang dilakukan oleh Crisis Group Asia (2011) menegaskan bahwa peran
zakat yang efektif dan program bantuan kemanusiaan akan menjadi

282
langkah preventif untuk menanggulangi terorisme di komunitas yang
rentan akibat kemiskinan, ketidakadilan sosial, atau karena ada bencana.
Hal ini akan berpotensi untuk mendorong kemandirian keluarga dan
mantan narapidana terorisme untuk lepas dari jejaring terorisme yang
mengungkungnya.
Persoalan perasaan kecewa dan tidak adil akibat ketimpangan sosial dan
ekonomi tidak akan menjadi persoalan serius jika ada kepedulian dari
sesamanya. Sejauh ini, state actor atau non-state actor telah melakukan
berbagai upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. BNPT
sejak tahun 2013 telah melakukan program deradikalisasi di Lapas-
lapas yang ditujukan kepada para narapidana terorisme (napiter).
Kemudian tahun 2014 program BNPT merambah program di luar
Lapas. Sasaran program tersebut yakni keluarga napiter, mantan napiter
serta jaringannya. Bentuk kegiatannya adalah seminar dan diskusi
dengan sasaran program. Pada tahun 2016 program BNPT melakukan
pemberdayaan ekonomi keluarga dan mantan napiter. Kegiatannya
berbentuk bantuan modal usaha berupa barang kepada target program.
Sedangkan di kalangan non-state actor, ada beberapa civil society yang
telah melakukan upaya yang sama. Beberapa diantaranya yaitu Yayasan
Prasasti Perdamaian, Search for Common Ground, dan Aliansi Indonesia
Damai (AIDA). Kegiatannya ketiganya sama yakni disengagement baik
langsung kepada narapidana terorisme ataupun penguatan kapasitas
petugas yang bertanggungjawab atas warga binaan napiter. Bentuk
kegiatannya adalah conceling kepada napiter. Dan satu di antaranya
yaitu YPP telah melakukan pemberdayaan ekonomi napiter dan
mantan napiter berupa bantuan dana usaha. Kegiatan tersebut sudah
berlangsung sejak 2008 sampai sekarang.
Bagaimana dengan lembaga filantropi Islam? Apakah ada yang
melakukan pemberdayaan ekononomi bagi keluarga dan mantan

283
narapidana terorisme? Baru-baru ini ada lembaga filantropi, Lazis
Muwahidin, yang secara khusus menjalankan program buka puasa
bersama pada Ramadhan 2017 bagi para narapidana terorisme. Lembaga
tersebut membuat program “Ifthor untuk mujahidin tertawan”. Target
kegiatannya adalah para ikhwan (sebutan oleh lembaga tersebut)
yang ada di Lapas-lapas se-Indonesia. Pada program tahap 1, Lazis
Muwahidin telah mengumpulkan donasi sebesar Rp.10.800.000. Dana
tersebut sudah tersalurkan di 13 Lapas dengan jumlah 24 mujahidin di
berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan tersebut menarik dan penting,
namun patut dilihat bagaimana dampak perubahan yang ingin dicapai
ke depannya dalam konteks disengagement para narapidana terorisme
ini dari jaringan sebelumnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Maarif Award Fellowship (MAF)
tahun ini mengangkat tema “Filantropi Islam, Penanggulangan
Terorisme dan Keadilan Sosial”. Adapun subtema dalam Maarif Award
Fellowship (MAF) 2017 adalah sebagai berikut:
1. Filantropi Islam dan Upaya Penanggulangan Terorisme
2. Filantropi Islam dan Kemiskinan
3. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi Umat
4. Filantropi Islam dan Penguatan Demokratisasi Civil Society

Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama MAARIF Fellowship (MAF) 2017

Tujuan Kegiatan
1. Melakukan kaderisasi intelektual pada kaum muda Indonesia untuk
menjadi intelektual yang kritis, mencerahkan, dan memihak pada
kemanusiaan dan keadilan sosial.

284
2. Mewadahi potensi-potensi kreatif anak muda Indonesia untuk
turut serta mencari jawaban terhadap berbagai persoalan sosial
keagamaan yang terjadi di tanah air.
3. Memperkuat tradisi riset dan penulisan yang berbasiskan pada
metode penelitian yang mumpuni serta pembacaan sumber-sumber
yang otoritatif dan diskusi yang intensif serta serius

Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan ini berlangsung selama 7 bulan ( Juni-Desember
2017) yang terdiri dari:

1. Tahap Seleksi:
Pengumuman MAARIF Fellowship (MAF) melalui media massa
nasional, media elektronik, dan media sosial kepada seluruh
mahasiswa dan anak muda di tanah air. Kemudian dilakukan seleksi
terhadap para peserta yang telah membuat proposal riset dan
mempresentasikannya di depan dewan juri MAARIF Fellowship
yang telah ditunjuk oleh MAARIF Institute. Selanjutnya, para
peserta yang lolos seleksi diumumkan dan dilanjutkan dengan
dimulainya program fellowship.

2. Tahap Orientasi:
Tahap ini akan akan berlangsung selama seminggu sebelum tahap
riset dan penulisan. Selama satu minggu, peserta yang terpilih
akan mendapatkan orientasi mengenai penulisan ilmiah, metode
referensi (pengutipan), metode penelitian, public speaking,
persiapan bahan untuk presentasi, dan excursion.

3. Tahap Riset dan Penulisan:


Tahap ini akan berlangsung selama 3 bulan. Para peserta yang telah
lolos seleksi menjalani program riset dan penggalian data tentang
tema yang ditulisnya.

285
4. Tahap Seminar Hasil Penelitian:
Kegiatan ini berupa seminar presentasi dari riset para peserta yang
terpilih dan dibarengi juga dengan orasi ilmiah dari intelektual
garda depan di negeri ini. Naskah hasil riset para pemenang
MAARIF Fellowship bersama dengan naskah orasi ini nantinya
akan diterbitkan oleh MAARIF Institute.

Distingsi dengan Model Fellowship lainnya


1. Para peserta terpilih akan memperoleh dana penelitian sebesar
Rp.12.000.000,00.
2. Selama proses orientasi dalam program MAARIF Fellowship
(MAF), para peserta diberikan training mengenai metode
penelitian, public speaking, presentasi penelitian, serta akses untuk
menulis di berbagai media massa nasional. Salah satu dewan
juri akan memberikan supervisi pada proses riset dan penulisan
fellowship mereka. Sedangkan para penulis senior di MAARIF
Institute akan memberikan bimbingan dan konsultasi secara
intensif kepada mereka tentang penulisan di media massa nasional.
3. Para peserta MAARIF Fellowship (MAF) akan dikenalkan dan
diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi secara
langsung dengan para tokoh bangsa dan lintas agama yang selama
ini menjadi jaringan MAARIF Institute.
4. Untuk menjaga keberlanjutan ikatan dan jaringan, setelah selesainya
program ini, para peserta tetap didorong untuk menulis di media
massa atau jurnal dengan mencantumkan nama sebagai penerima
MAARIF Fellowship (MAF) tahun 2017.
5. Sebagai salah satu usaha untuk melanjutkan pengkaderan
intelektual, MAARIF Institute akan berusaha memberikan
rekomendasi jika para peserta terpilih ini berminat melanjutkan
sekolah di jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar
negeri.

286
Tema Riset
Filantropi Islam yang hendak dikaji pada MAARIF Fellowship (MAF)
2017 ini adalah “Filantropi Islam, Penanggulangan Terorisme dan
Keadilan Sosial”. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin berusaha dijawab
dalam riset ini di antaranya adalah:
• Apakah benar pemberdayaan ekonomi bisa menanggulangi potensi
radikalisme-terorisme di masyarakat? Bagaimana model terbaik
pemberdayaan ekonomi bagi keluarga dan mantan narapidana
terorisme?
• Apakah aspek gender dalam pemberdayaan ekonomi secara
signifikan berpengaruh kepada upaya penanggulangan radikalisme?
• Adakah data terpilah secara gender anggota keluarga napiter? Jika
tidak ada bagaimana agar diperoleh data pilah gender napiter yang
intens berhubungan dengan napiter di penjara?
• Apakah ada analisis yang bisa menggambarkan aspek gender yang
berpengaruh pada keberhasilan deradikalisasi melalui program
penguatan ekonomi?
• Adakah lembaga filantropi yang secara khusus mendata keluarga
dan mantan narapidana terorisme yang masuk dalam kategori
mustahik? Adakah program pendidikan dan pemberdayaan
ekonomi yang disiapkan lembaga filantropi khusus untuk keluarga
dan mantan narapidana terorisme?
• Bagaimana tingkat keberhasilan program pemberdayaan di
kalangan keluarga dan mantan narapidana terorisme? Apakah ada
metode yang dapat mengukur keberhasilan tersebut? Apa ada best-
practices dan lesson-learned yang dapat direplikasi oleh lembaga
zakat untuk program yang sama?
• Apakah meningkatnya kelas menengah Muslim di Indonesia—
yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan ekonomi—
mendorong meningkatnya penghimpunan yang diperoleh oleh
lembaga-lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah?

287
• Tingginya kedermawanan ini melahirkan pertanyaan, apakah
akan mendorong menurunnya angka kemiskinan dan mengurangi
kesenjangan antara yang kaya dan miskin? Apakah dana-dana
zakat tersebut telah berhasil memberdayakan mustahik dan
kelompok mustad’afin yang mendapat bantuan? Bagaimana
dampak pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
zakat ini?
• Bagaimana praktek pengelolaan dana ZIS oleh lembaga-lembaga
filantropi Islam? Apakah sekedar charity dan pemberian semata?
Atau turut serta memberdayakan hingga penerima manfaat mandiri
dan lepas baik dari jerat kemiskinan ?
• Namun kedermawanan ini juga turut melahirkan malapraktek
yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat yang terlanjur
percaya kepada nilai kedermawanan. Bagaimana transparansi
lembaga-lembaga penyalur ZIS dalam mendistribusikan harta
yang dititipkan oleh mustahik?
• Bagaimana kontribusi filantropi Islam bagi penguatan demokratisasi
dan Civil society?

Kriteria Peserta
1. Mahasiswa Strata Satu (S1) atau fresh graduate yang baru saja
merampungkan studinya di berbagai perguruan tinggi di tanah air
(maksimal 1 tahun).
2. Jika dianggap perlu akan diberlakukan gender afirmative action
dengan memberi peluang 30% kepada peserta peneliti perempuan
yang memenuh kriteria minimal.
3. Mempunyai pengalaman di organisasi mahasiswa, di bidang
jurnalistik, atau di bidang riset (salah satunya atau semuanya).
4. Mempunyai keinginan kuat untuk belajar penelitian dan menulis
serta bersedia untuk dibimbing oleh para pendamping riset.

288
5. Menunjukkan contoh hasil karya tulis atau penelitian yang
sudah pernah dihasilkan, baik sudah dipublikasikan atau belum
dipublikasikan.

Ketentuan Riset dan Penulisan


1. Proposal riset merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan
saduran dan terjemahan.
2. Proposal riset mengacu pada standar ilmiah. Proposal riset
mencakup: signifikansi riset, metode yang akan digunakan dalam
menggali/menganalisis data, dan pertanyaan-pertanyaan riset.
3. Proposal dan naskah belum pernah dipublikasikan dan
diikutsertakan dalam lomba karya tulis apapun.
4. Peserta memilih salah satu yang telah ditentukan dan tidak
diperkenankan mengirimkan lebih dari satu proposal riset.
5. Proposal riset yang masuk menjadi hak panitia dan tidak
dikembalikan.
6. Segala bentuk plagiat akan menggugurkan riset dan penulisan
dengan sendirinya.
7. Penilaian proposal riset ditekankan pada aspek ketajaman
argumentasi dan kedalaman analisis yang disampaikan para peserta
di hadapan dewan juri MAARIF Institute.

Persyaratan
1. Proposal riset dikirim rangkap dua, diketik di atas kertas kwarto,
spasi 1,5 dengan font Times New Roman ukuran huruf 12, 5-7
halaman.
2. Melampirkan biografi singkat penulis, fotokopi KTM, 1 lembar
foto ukuran 3x4, alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail.
3. Proposal riset dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan di sudut
kiri atas amplop ditulis “MAARIF Fellowship (MAF) 2017”

289
4. Naskah dikirim ke: Panitia MAARIF Fellowship (MAF) 2017
dengan alamat: MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jl.
Tebet Barat Dalam II No. 6, Tebet Barat, Jakarta Selatan 12810 –
Indonesia.
5. Proposal penelitian dapat juga dikirim dalam bentuk file MS.Word
melalui e-mail: [email protected], mujadid.rais@gmail.
com, dan [email protected], dengan menyertakan identitas
lengkap.
6. Proposal penelitian dikirim ke panitia paling lambat tanggal 13
September 2017.
7. Peserta yang lolos seleksi tahap awal proposal diharuskan
mengikuti seleksi wawancara di hadapan dewan juri untuk
mempertanggungjawabkan proposal yang ditulisnya dan
menyampaikan rancangan riset dan penulisannya.

Insentif
Para peserta yang terpilih dalam MAARIF Fellowship (MAF) akan
mendapat insentif berupa:
1. Dana riset sebesar Rp.12.000.000,00
2. Living cost selama minggu selama orientasi di MAARIF Institute.
3. Penerbitan karya hasil riset para peserta terpilih MAARIF
Fellowship.

Dewan Juri
1. Hilman Latief, Ph.D.
2. Muhammad Najib Azca, Ph.D.
3. Ninuk Pambudi
4. Lies Marcoes, M.A.
5. Taufik Andrie

290
PROFIL
MAARIF INSTITUTE
FOR CULTURE AND HUMANITY

Statuta pendirian MAARIF Institute for Culture and Humanity (2002)


menyatakan komitmen dasar lembaga ini sebagai gerakan kebudayaan
dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga area ini
merupakan hal pokok dan terpenting dalam perjalanan intelektualisme
dan aktvisme Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah dan mantan Presiden World Conference on Religion
for Peace (WCRP).
Keberadaan MAARIF Institute merupakan bagian tidak terpisahkan
dari jaringan gerakan Pembaruan Pemikiran Islam (PPI) yang ada
diIndonesiadewasa ini. Gerakan pembaruan merupakan sebuah
keniscayaan sekaligus tuntutan sejarah. Kompleksitas masalah
kemanusiaan modern berikut isu-isu kontemporer yang mengikutinya
seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, gender, dialog antar-
agama dan peradaban serta sederet isu lainnya menuntut pemahaman
dan penjelasan baru dari ajaran Islam.
Disadari pula bahwa program serta aktivitas MAARIF Institute
tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sosiologis persyarikatan
Muhammadiyah, meskipun tidak ada hubungan organisatoris dengan
organisasi ini dan tanpa mengurangi komitmen untuk terus memperluas
radius pergaulan lembaga. Muhammadiyah, menurut banyak kalangan,
sering dianggap sebagai representasi gerakan modernis-moderat
di Indonesia yang aktif mempromosikan pemikiran-pemikiran
Islam, berdakwah, dan melakukan aksi-aksi sosial. Oleh karena itu,
memperjuangkan arus pembaruan pemikiran Islam dalam konteks
gerakan Muhammadiyah merupakan concern utama MAARIF
Institute sebagai bagian dari upaya pencerahan sekaligus memperkuat
elemen moderat (empowering moderates) di Indonesia.

291
VISI, MISI, DAN NILAI DASAR

Visi:
Menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk
mewujudkan praksis Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan
menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme
Ahmad Syafii Maarif.

Misi
1. Mendorong aktualisasi nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kebinekaan
untuk memulihkan keadaban publik, saling menghargai, dan
kerjasama yang konstruktif bagi keindonesiaan dan kemanusiaan.
2. Memperkuat dan memperluas partisipasi masyarakat sipil dan
generasi muda untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang
berkeadilan atas dasar kebinekaan

Tujuan
1. Memperkuat peran-peran kewargaan masyarakat sipil dalam
melembagakan nilai-nilai kebinekaan untuk mewujudkan tata-
kelola publik yang non-diskriminatif.
2. Memfasilitasi partisipasi aktif generasi muda dalam membumikan
nilai-nilai kebinekaan.
3. Mengoptimalkan peran-peran kewargaan masyarakat sipil dan
generasi muda dalam mempromosikan nilai-nilai kebinekaan
melalui beragam media.

Nilai Dasar
1. Egaliter
2. Non-diskriminasi
3. Toleran
4. Inklusif

292
PENGORGANISASIAN
Yayasan Ahmad Syafii Maarif Dewan Pembina
1. Jeffrie Geovannie (Ketua) 1. Abdul Munir Mulkhan
2. Benjamin Jiaravanon (Wakil Ketua) 2. Abd. Rohim Ghazali
3. Rizal Sukma (Sekretaris) 3. Amin Abdullah
4. Suyoto (Bendahara) 4. Clara Juwono
5. Garin Nugroho
6. Luthfi Assyaukanie
7. Muhadjir Effendy
8. Raja Juli Antoni
9. Fajar Riza Ul Haq

Eksekutif:
Direktur Eksekutif : Muhammad Abdullah Darraz
Direktur Program Riset : Mohammad Shofan
Direktur Program Islam dan Media : Khelmy K. Pribadi
Kepala Sekretariat : Muhammad Supriadi
Manajer Program Islam for Justice : Pipit Aidul Fitriyana
Manajer Keuangan : Henny Ridhowati
Asisten Program Islam for Justice : Fithri Dzakiyah H.
Asisten Program Islam dan Media : Deni Murdiani
Asisten Kesekretariatan : Pripih Utomo
(Kerumahtanggaan)
Asisten Keuangan : Titik Lestari

Tim Pendukung Kerumahtanggaan


Office Boy : Awang Basri
Keamanan : Kadarisman
Supir : Irman

293
JARINGAN ASSOCIATE PENELITI
1. Ahmad Fuad Fanani, MA.
2. Ahmad Najib Burhani, Ph.D (LIPI)
3. Ahmad Norma Permata, Ph.D. (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
4. Ai Fatimah Nur Fuad, Lc., Ph.D.
(Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA)
5. Alpha Amirrachman, M. Phil. Ed. Ph.D
(Amsterdam University, Belanda)
6. Andar Nubowo, D.E.A.
7. Benni Setiawan, M.S.I.
8. David Krisna Alka, S.Th.I.
9. Dewi Candraningrum, Ph.D.
(Universitas Muhammadiyah Surakarta)
10. Emran Quresy, Ph.D. (Harvard University)
11. Hilman Latief, Ph.D. (ISIM-Leiden University)
12. Irfan Amalee, MA.
13. Muhammad Hilaly Basya, MA
(Universitas Muhammadiyah Jakarta)
14. Nader Hashemi Ph.D. (Nort Western University)
15. Pradana Boy ZTF, Ph.D.
16. Putut Widjanarko, Ph.D. (Mizan Production)
17. Rebea Volkmann, Ph.D.
18. Rudi Sukandar, Ph.D.
19. Siti Sarah Muwahidah, MA.
20. Sukidi Mulyadi, MA. (Harvard University)
21. Tuti Alawiyah Burhani, Ph.D.
22. Wahyudi Akmaliah Muhammad, MA. (LIPI)
23. Yayah Khisbiyah, Ph.D. Cd.
(Universitas Muhammadiyah Surakarta)
24. Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy (STAIN Salatiga)
25. Dr. Zuly Qodir

294

Anda mungkin juga menyukai