Makalah Uveitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH UVEITIS

MODUL KETERAMPILAN KLINIK DASAR 2

Fasilitator:
Dr. Septi Handayani, M.Si
Disusun oleh:
Helen Angelin Kurniawati Mandolang
FAA 113 008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radang uvea atau uveitis adalah istilah umum untuk peradangan jaringan uvea.
Uveitis didapatkan dari kata Greek uva (anggur) dan -itis (inflamasi).Uveitis banyak
penyebabnya dan dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Pada
kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui.(1) Sekitar 50% pasien dengan uveitis
menderita penyakit sistemik terkait. Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit mata
merah visus menurun.(2)
Penyakit peradangan pada traktus uvealis umumnya unilateral. Di dunia, ratarata insiden penyakit ini sekitar 12 dari 100.000 jiwa. Biasanya terjadi pada dewasa
muda dan usia pertengahan (20-50 tahun). Uveitis jarang terjadi pada anak dibawah
umur 16 tahun, hanya sekitar 5% sampai 8% dari jumlah total. Kira-kira setengah dari
jumlah anak yang mendreita uveitis umumnya uveitis posterior dan panuveitis. Tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita dalam angka kesakitan.(1,3)
Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut atau iritis yang
umumnya unilateral dan ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia dan penglihatan kabur
serta mata merah (merah sirkumkorneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau
irreguler. Bentuk uveitis lainnya adalah uveitis posterior, intermediet, dan panuveitis.(1,3)
Penatalaksanaan uveitis tergantung pada penyebabnya. Biasanya disertakan
kortikosteroid topikal atau sistemik dengan obat-obatan sikloplegik-midriatik dan/atau
imunosupresan non kortikosteroid. Jika penyebabnya adalah infeksi diperlukan terapi
antibiotik.(1,3)
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai
definisi, etiologi dan fisiologi anatomi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi klinis,
penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari uveitis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata yang
terletak antara kornesklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari tiga bagian, yaitu iris,
badan siliaris, dan koroid.4

Gambar 1. Anatomi uvea5


Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina dan
sklera. Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang, dan kecil.
Pada bagian interna koroid dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di bagian luar
terdapat suprakoroidal.6

Gambar 2. Lapisan koroid6


Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal
dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri
mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris
anterior dan arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri
siliaris posterior longus dan brevis.4
2.2 UVEITIS
2.2.1

Definisi
Uveitis merupakan inflamasi pada traktus uvealis. Definisi uveitis yang

digunakan sekarang menggambarkan setiap inflamasi yang tidak hanya melibatkan


uvea, tapi juga struktur lain yang berdekatan dengan uvea.7
2.2.2

Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka

kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis
diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada laki-laki
umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis
nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis
anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.8
2.2.3

Etiologi1,2,3,9

Infeksi : bakteri (tuberkulosa, sifilis), jamur (kandidiasis), virus (herpes simpleks,


herpes zoster, cytomegalovirus, penyakit Koyanagi-Harada, sindrom behcet).
Parasit : protozoa dan nematoda (toksoplasma , toksokara)
Imunologik : lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika
Penyakit sistemik : penyakit kolagen, arthritis rheumatoid, sklerosis multiple,
sarkoidosis, penyakit vaskuler
Neoplastik : limfoma, sarcoma sel reticulum
Lain-lain : AIDS
2.2.4

Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi

secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis.7


1. Klasifikasi anatomis
a. Uveitis anterior
-

Iritis

: inflamasi yang dominan pada iris

Iridosiklitis

: inflamasi pada iris dan pars plicata

b. Uveitis intermediet

: inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer

c. Uveitis posterior

: inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus

d. Panuveitis

: inflamasi pada seluruh uvea

Gambar 3. Klasifikasi uveitis secara anatomis5

2. Klasifikasi klinis
a. Uveitis akut

: onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama < 6

minggu
b. Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahuntahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik
3. Klasifikasi etiologis
a. Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
b. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
-

Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis

Infeksi yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes


zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm (toksokariasis)

Uveitis spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan


penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya
dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)

Uveitis non-spesifik idiopatik

4. Klasifikasi patologis
a. Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid
b. Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa
multinukleus

Gambar 4. Klasifikasi patologis uveitis10: (a) non-granulomatosa; (b) granulomatosa

Patofisiologi (1,11)

2.2.5

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu
trauma tembus okuli, walaupun kadang kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi
terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh
diluar mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam
(antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius.
Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu
setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier
sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos.
Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikelpartikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea.
Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi
eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga
terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut
Busacca nodules.
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris
dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris
dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Otot sfingter pupil mendapat
rangsangan karena radang dan pupil akan miosis dan dengan adanya timbunan fibrin
serta sel-sel dapat terjadi seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya
trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata

belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang
dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe.
Gangguan produksi akuos humor terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Eksudat protein,fibrin dan sel-sel radang dapat
berkumpul di sudut bilik mata depan terjadi penutupan kanal Schlemm sehingga terjadi
glaucoma sekunder. Pada fase akut akan terjadi glaukoma sekunder karena gumpalangumpalan pada sudut bilik mata depan sedang pada fase lanjut glaukoma sekunder
terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik turunnya tekanan bola mata disebutkan pula
sebagai akibat peran asetilkolin dan prostaglandin.
Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos humor
yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan siliar.
2.2.6
1.

Gambaran Klinis
Uveitis Anterior

Gejala utama uveitis anterior akut adalah fotofobia, nyeri, merah, penglihatan
menurun, dan lakrimasi. Sedangkan pada uveitis anterior kronik mata terlihat putih dan
gejala minimal meskipun telah terjadi inflamasi yang berat.7
Tanda-tanda adanya uveitis anterior adalah injeksi silier, keratic precipitate
(KP), nodul iris, sel-sel akuos, flare, sinekia posterior, dan sel-sel vitreus
anterior.7

Gambar 5. Uveitis anterior : (a) mutton-fat keratic precipitates, nodul Koeppe dan
Busacca; (b) nodul Busacca pada iris dan mutton-fat KP di bagian inferior12
2.

Uveitis Intermediet

Gejala uveitis intermediet biasanya berupa floater, meskipun kadang-kadang


penderita mengeluhkan gangguan penglihatan akibat edema makular sistoid kronik.
Tanda dari uveitis intermediet adalah infiltrasi seluler pada vitreus (vitritis) dengan
beberapa sel di COA dan tanpa lesi inflamasi fundus.7

Gambar 6. Gambaran pars planitis13


3.

Uveitis Posterior

Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan. Keluhan
floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada
makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral.7
Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti sel,
flare, opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan
vaskulitis. 7
2.2.7

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan pada pasien uveitis ringan

dan pasien dengan riwayat trauma atau pembedahan baru-baru ini atau dengan tandatanda infeksi virus herpes simpleks atau herpes zoster yang jelas. Di lain pihak,
pemeriksaan sebaiknya ditunda pada pasien usia muda hingga pertengahan yang sehat
dan asimptomatik yang mengalami episode pertama iritis atau iridosiklitis unilateral

akut ringan sampai sedang yang cepat berespons terhadap pengobatan kortikosteroid
topikal dan sikloplegik. (3,11)
Pasien uveitis difus , posterior atau intermediet dengan kelainan granulomatosa,
bilateral,berat dan rekurens harus diperiksa sebagaimana setiap pasien uveitis yang tidak
cepat merespons pada pengobatan standar.(3)
Pemeriksaan lain yang boleh dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain :
1. Flouresence Angiografi (FA)
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal
dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk
intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat
dinilai adalah edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada
koroid atau retina, nervus optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan
pelepasan retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan
pemeriksaan laboratorium lainnya.
2.2.8

Diagnosis Banding
Penting untuk menentukan apakah lesi yang terjadi akibat inflamasi, tumor,

proses vaskuler, atau proses degenerasi. Meksipun flare dan sel di COA merupakan
tanda utama uveitis, tapi bukan merupakan suatu tanda diagnostik pasti uveitis karena
proses nekrotik atau metastasis neoplasma juga dapat menyebabkan proses inflamasi.
Debris seluler vitreus juga dapat terjadi akibat proses degeneratif seperti retinitis
pigmentosa atau retinal detachment.8
Berikut adalah beberapa dari diagnosis banding uveitis, yaitu konjungtivitis,
glaukoma sudut tertutup akut, retinoblastoma, xanthogranuloma juvenile iris, limfoma
malignan,

neurofibroma,

pseudoeksfoliasi

lensa,

hyperplasia limfoid reaktif, dan sarkoma sel retikulum.8

amiloidosis

familial

primer,

2.2.9

Penatalaksanaan3

1. Uveitis anterior
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau
memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan
tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk
mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:
a. Terapi non spesifik
-

Penggunaan kacamata hitam. Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi,


terutama akibat pemberian midriatikum.

Kompres hangat. Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang,
sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat
lebih cepat.

Midritikum/sikloplegik. Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan


badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat
panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya
sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada. Midriatikum yang biasanya
digunakan adalah:

Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes

Homatropin 2% sehari 3 kali tetes

Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes

Anti inflamasi. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid,


dengan dosis sebagai berikut:

Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila


radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler:
dexamethasone phosphate 4 mg (1ml). prednisolone succinate 25 mg (1 ml).
triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml). methylprednisolone acetate 20 mg. Bila

belum berhasil dapat diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per hari
sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.

Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali. Pada pemberian kortikosteroid,


perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma
sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi
lain pada penggunaan sistemik.

b. Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis anterior
telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat yang sering
diberikan berupa antibiotik.

Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.


Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid. Per oral dengan
Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul

Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali. Walaupun diberikan terapi


spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan diatas harus tetap diberikan,
sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.

2. Uveitis posterior
Pengobatan yang diberikan tergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan pada
mata
-

Konservatif

Biasanya pasien diberikan anti- radang seperti kortikosteroid, immunosuppressive /


cytotoxic agent . Bila penyebabnya infeksi maka akan diberikan antibiotik atau anti
virus.
-

Tindakan

Kadang-kadang vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk membersihkan cairan


dalam bola mata yang meradang atau untuk diagnosis penyakit. Terapi fotokoagulasi
dan kryotherapi kurang berhasil. Neovaskularisasi retina dapat terjadi pada

toksoplasma, dan fotokoagulasi dari lesi neovaskular dapat mencegah kehilangan


penglihatan sampai perdarahan vitreus
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO)
akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau
penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi nervus
optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi corneal bandshape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema diskus optikus dan
makula, edema kornea, dan retinal detachment.(14,8)
2.2.11 Prognosis
Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan
berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya. Tetapi tergantung di
mana letak eksudat dan dapat menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula
dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.15

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Uveitis adalah peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma, neoplasia,
atau proses autoimun. Insiden uveitis Di dunia, rata-rata insiden penyakit ini sekitar 12
dari 100.000 jiwa. Biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan (20-50
tahun).
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis
terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan
tekanan intraokuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak
akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang
meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang
menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidartan, I. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI, 2002:159-175.


2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI, 2008:172-177.
3. Vaughan, D., Taylor, A., Riordan, P. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika,
2008:150-169.
4. Rao, N., David, J., James, J. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms New York: Gower Medical Publishing, 1992.
5. Roque MR. Uveitis 2007; http://www.uveitis.com/ph.images.uveitis/jpg/files
6. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,
editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007.
7. Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994; 152-200.
8. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and Choroid In:
Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 2nd Edition,
Boston: Little, Brown and Company, 1980; 143-144.
9. James B., Chew C.,Bron A. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi kesembilan. Penerbit
Erlangga. 2006. 1-94El-Asrar AMA, Struyf S, Van den Broeck C, et al. 2007.
Expression of chemokines and gelatinase B in sympathetic ophthalmia.
http://www.nature.com/.../fig_tab/6702342f1.html
10. Tsang

K,Kulkarni

R.

Iritis

and

Uveitis.

http://

emedicine.

medscape.

com/article/798323-overview
11. WebMD. Uveitis, Anterior, Nongranulomatous 2005; http://www.emedicine.com.
12. Foster CS. Pars Planitis 2007.http://www.uveitis.org/image s/Eye.kids.NE3.jpg.
files
13. WebMD. Iritis and Uveitis 2005; http://www.emedicine.com.
14. KMN. Uveitis Posterior.http://www.klinikmatanusantara/uveitis posterior.kmn.htm

Anda mungkin juga menyukai