Asas Opurtinitas
Asas Opurtinitas
Asas Opurtinitas
1
asas oportunitas, dan hanya dikatakan, bahwa Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi
kepentingan umum yang dimaksud dengan ”Kepentingan Umum”
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas. Mengenyampingkan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan
negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam
praktek menjadi tidak jelas karena siapakah yang dimaksud dengan
badan-badan kekuasaan negara yang mempuyai hubungan dengan
masalah dimaksud ? Hal ini berarti wewenang oportunitas ini dibatasi
secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum dalam
penerapannya.
Atas partisipasi dan kerjasama yang diberikan oleh semua
anggota atas tersusunnya laporan ini, Tim mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Tim mengharapkan semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia, dibidang
hukum acara pidana terutama dalam hal penerapan asas oportunitas.
Ketua,
2
DAFTAR ISI
Halaman
BAB V P E N U T U P …………………………………………… 94
A. Kesimpulan ………………………………………… 96
3
B. Saran ……………………………………………….. 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
4
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1981
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan
Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tempat, tanpa
tahun.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Eresco, Bandung, 1989
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1989, hlm. 14
6
yang mengaturnya itu dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar.
Sedangkan pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana
yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, atau oleh
suatu badan hukum; yang dibuktikan oleh seorang penuntut
umum adalah unsur-unsur yang ada dalam perumusan tindak
pidana yang disangkakan.
7
adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mempunyai
Penuntut Umum sendiri, berarti ketentuan monopoli penuntutan
oleh Kejaksaan telah diterobos.
2
D. Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh: P.A.F. Lamintang. Pioner Jaya,
Bandung, tanpa tahun, hlm. 25
8
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi
kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana,
tidak dituntut.
A.Z. Abidin memberi perumusan tentang asas
oportunitas sebagai:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut
Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau
tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.”3
3
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 89
4
Ibid.
9
Sedangkan kewenangan mengesampingkan perkara yang
berada pada Jaksa Agung ini sejak berlaku Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian termaktub dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, terakhir dalam Pasal 35 huruf c Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum.
10
dilakukan penuntutan, maka ia segera akan membuat surat
dakwaan.
11
Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis. Ada
3 (tiga) keadaan yang dapat menyebabkan Penuntut Umum
membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau
ketetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) KUHAP),
yaitu:
1) kalau tidak cukup bukti-buktinya;
2) kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana;
3) kalau perkaranya ditutup demi hukum.5
5
Ditutup “demi hukum” meliputi antara lain tersangkanya meningal dunia, dan neb is in idem.
12
Dalam demikian, Penuntut Umum menghubungkan
kewenangan melakukan penuntutan pidana dengan kepentingan
masyarakat (umum) dan kepentingan ketertiban hukum. Kedua
persoalan tersebut harus saling mempengaruhi satu sama lain,
dalam arti yang sebaik-baiknya. Jelas kebijaksanaan ini
merupakan kewenangan penuntutan yang hanya dipercayakan
kepada Jaksa selaku Penuntut Umum dan hal tersebut
dilakukannya dengan tidak semena-mena.
13
atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga didasarkan atas
alasan-alasan lain. Antara lain: alasan kemasyarakatan, alasan
kepentingan keselamatan negara dan saat ini meliputi juga faktor
kepentingan tercapainya pembangunan nasional. Penjelasan
Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa yang
dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan
bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
14
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP) memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan
untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk
kepentingan masyarakat.”
6
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981,
hlm. 137
7
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum," PIDATO PENGUKUHAN diucapkan pada Upacara
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti di
Jakarta, 23 Juli 1998, hlm. 10
15
dan kerugian sudah diganti (damage has been settled). Asas ini
telah dikembangkan dengan kemungkinan pengenaan syarat
tertentu antara lain dengan membayar denda (transactie).....
Sedangkan untuk di Jerman, penyampingan perkara dilakukan
dengan syarat dan tanpa syarat. Hanya harus meminta izin
hakim, karena mereka menganut asas legalitas. Izin itu pada
umumnya diberikan."8
8
Ibid., hlm. 11; lihat juga pendapat beliau dalam "Penggunaan Hak Oportunitas Jangan Jadi
Bumerang," Harian KOMPAS, Jakarta, Senin, 1 Agustus, hlm.
9
RM. Surachman, Mozaik Hukum I, CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 72
16
Berikut para Jaksa Amerika (US Attorney, County
Attorney, District Attorney dan State Attorney) yang tidak
mengenal asas oportunitas namun mengenal “plea bargaining”
yang menentukan Jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan
adanya pengakuan terdakwa. Para Jaksa Amerika hampir
otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi (discretionary
power) sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan.
Keputusan untuk menuntut ataukah tidak, hampir bebas
sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Para Jaksa
Amerika dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi
("plea bargaining"). Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum
persidangan di mulai. Jika Jaksa setuju, maka ia dapat
mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada
pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih ringan.10
10
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Arikha Media Cipta, 1993, hlm. 50
17
jangkauannya dikenal pula yang disebut penuntutan dengan
syarat (voorwaardelijk vervolging).11
11
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa,
tanpa tempat, tanpa tahun, hlm. 290; dan Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962, hlm. 31
12
UNAFEI, "Inovation and Reform in Prosecution," Resource Material No. 24, UNAFEI, Fushu,
Tokyo, Japan, 24 Desember 1983, hlm. 70
18
(KUHAP) dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya penuntutan tidak
dilakukan oleh Kepolisian kecuali sebagaimana maksud Pasal
205 KUHAP; sehingga Single Prosecution System di Indonesia
dapat diwujudkan secara utuh. Seperti diketahui salah satu
karakteristik daripada Single Prosecution System adalah
kewenangan diskresi penuntutan, di samping karakteristik lain
seperti: Kejaksaan independen, Kepolisan tidak melakukan
penuntutan, pimpinannya tidak ditetapkan berdasarkan
pertimbangan politik dan tidak berada di bawah kontrol politik.13
13
Ibid., hlm. 65
19
memenuhi maksimum denda untuk menggugurkan
14
penuntutan."
14
Konsep Rancangan KUHP 2005, terdiri dari Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang
Tindak Pidana.
20
Karena begitu penting, makna penggunaan kekuasaan
diskresi di banyak negara telah diusahakan beberapa cara baik
untuk mencegah adanya disparitas diskresi penuntutan, maupun
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
penuntutan.
B. Permasalahan
Dengan semaraknya tuntutan independensi terhadap
penegak hukum dan institusinya di era reformasi dan era
globalisasi, sudah saatnya kepada Penuntut Umum diberikan
kepercayaan melaksanakan kewenangan asas oportunitas
sebagaimana yang dianut berbagai negara. Berdasarkan hal
tersebut maka permasalahan yang perlu dianalisis dan
dievaluasi adalah:
21
1. Dalam hal dan syarat apa saja yang harus dipenuhi Jaksa
Agung untuk dapat menggunakan asas oportunitas ?
2. Seberapa jauh relevansi penerapan dan pelaksanaan asas
oportunitas dalam sistem peradilan pidana Indonesia ?
3. Apa dasar yang layak dan upaya strategis yang dipakai
maupun diperlukan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Penuntut
Umum agar asas oportunitas dapat diterapkan dan
diwujudkan ?
22
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan yang dianalisis dan
dievaluasi, dititikberatkan kepada inplementasi asas oportunitas
dikaitkan dengan KUHAP maupun peraturan perundang-
undangan lainnya. khususnya yang menyangkut dan berkaitan
dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai penuntut
umum dalam perkara tindak pidana yang dilakukan.
E. Metodologi
Analisis dan Evaluasi ini menggunakan :
1. Studi normatif dengan cara membaca buku-buku dari
sejumlah literatur, pendapat para pakar, kamus, yang
merupakan bagian dari studi penjajagan yang dimaksudkan
untuk menyusun proposal operasional. Tahap ini diperlukan
untuk menentukan ruang lingkup yang “reasonable” mungkin
untuk diteliti atau berhubungan dengan pelaksanaan asas
oportunitas yang hendak dianalisa diperoleh. Studi
kepustakaan ini merupakan data sekunder yang nantinya
akan dipakai untuk menganalisa data lapangan.
2. Studi lapangan/pengamatan (teknik pengumpulan data)
Bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 35 c
Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, menyatakan
bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang,
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian apa yang dimaksud dengan kepentingan
23
umum tersebut dan dalam keadaan yang bagaimana perlu
penjelasan dan penjabaran lebih lanjut.
Bahwa seponering adalah merupakan wewenang dari Jaksa
Agung sebagai pelaksanaan asas oportunitas dalam KUHAP
yang penerapan maupun penggunaannya dalam praktik
jarang sekali dilakukan, oleh karena memerlukan
pembicaraan yang matang dari berbagai instansi pemerintah
yang terkait dengan kebijakan yang akan diambil.
3. Tahap analisis dan evaluasi
Pada tahap ini data yang telah terkumpul, hasil diskusi,
makalah maupun bahan-bahan lain yang berkaitan dengan
asas oportunitas tersebut akan dianalisa dan dievaluasi
dengan :
a. Apa yang menjadi dasar klasifikasi tentang pelaksanaan
asas oportunitas dalam KUHAP.
b. Apa yang menjadi sumber hukum dari pelaksanaan
asas oportunitas dalam KUHAP.
c. Apa yang menjadi alasan untuk memberikan seponering
kepada siapa diberikan, bagaimana pelaksanaan,
kendala dan solusinya.
F. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan dari analisis dan evaluasi hukum
tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Kitab Undang-
24
Undang Hukum Acara Pidana ini, dilaksanakan dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan dimulai dari Bulan Januari sampai
dengan bulan Desember 2006, dengan jadwal sebagai berikut :
1. Pengumpulan bahan untuk menyusun Proposal bulan Januari
s/d bulan Maret 2006;
2. Perbaikan Proposal bulan April s/d bulan Mei 2006;
3. Pengamatan Lapangan bulan April s/d bulan Mei 2006
4. Pengolahan Data bulan Agustus s/d bulan September 2006;
5. Penyusunan Laporan Akhir bulan Oktober s/d bulan Nopember
2006;
6. Perbaikan laporan dan penyerahan Laporan Akhir bulan
Desember 2006.
25
Sekretaris/Anggota : Sri Mulyani, SH.
BAB II
ASAS OPORTUNITAS
26
A. Pengertian
Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 c
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pasal
itu sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas. Hanya
dikatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang :
menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Apa artinya
“kepentingan umum” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 35 butir
c sbb: “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah
kepentingan bangsa dan negara dan.atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung,
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah
tersebut.”
27
sehingga tidak ada kepastian hukum dalam penerapannya.
Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan
penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas
oportunitas. Asas legalitas yang dianut oleh Jerman, Austria,
Italia dan Spanyol berarti semua perkara harus dilimpahkan ke
pengadilan oleh penuntut umum. Namun, dalam praktek di
Jerman, Jaksa dapat minta izin kepada Hakim untuk tidak
melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Di Itali ada
kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga
menjadi lewat waktu (verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan
penuntutan jika jaksa suatu perkara tidak dikirim ke Pengadilan.
28
100.000 perkara yang diajukan penuntut umum ke pengadilan
baru satu diputus bebas, karena jaksa telah menyeleksi ketat
hanya perkara yang cukup bukti yang diajukan ke pengadilan,. Di
Norwegia bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendiri
sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke pengadilan
yang disebut patale unnlantese. Hal ini untuk mencegah
menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara
menjadi penuh sesak. Baru-baru ini terbit peraturan di
Nederland, bahwa semua perkara yang diancam pidana dibawah
enam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan
memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan,
terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan
afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat
terdakwa membayar denda administratif.
29
dikembalikan ke negara seperti beberapa kasus KPU semisal
perkara Prof. Rusadi yang melanggar KEPRES tentang tender
tetapi dia tidak mendapat untung dari perbuatannya tersebut. Ini
berarti melakukan kebijaksanaan yang menyimpang, tetapi dia
sendiri tidak mendapat apa-apa dari perbuatan tersebut.
1965-1969 14 63%
1970-1974 14 66%
1975-1979 15 51%
1980-1984 19 70%
1985-1989 19 66%
30
Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179
RO yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan
pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang
mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut asas legalitas
karena alasan di dalam Pasal 179 RO itu kepada
Hooggerecchtshof dahulu diberikan kewenangan kepada majelis,
karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain
mangnapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam
penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah
kepada Pokrol Jenderal (Procureur Generaal) supaya berhubung
dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak
memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada
alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan bahwa Pasal 179 RO
itu dianut asas opportunitas karena pada ayat pertama pasal itu
ditambah kata-kata “ kecuali jika penuntutan oleh Gubernur
Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah.
31
Sebaliknya S. Tasrif menulis bahwa dengan Pasal 179
RO itu dapat dilakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan
wewenang oportunitas ditangan Jaksa Agung tersebut.
Pengawasan oleh Hooggerchtshof dibaca Mahkamah Agung dan
Procureur Generaal dibaca Jaksa Agung. Selanjutnya dikatakan
bahwa Pasal 179 RO itu masih berlaku berhubung dengan
Aturan Peralihan UUD 1945.
15
Prof.Dr. Andi Hamzah, SH,”analisis dan Evaluasi Jukum Yentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam
Hukum Acara Pidana,BPHN,2006.
32
sesuai dengan sistem parlementer. Menteri Kehakiman
bertanggungjawab kepada parlemen, begitu pula di Indonesia
ketika masih berlaku UUD 1950.
16
Ibid
17
Ibid
33
Di Indonesia dalam hal schikking perkara-perkara
penyelundupan yang dalam undang-undang Tindak Pidana
Ekonomi tidak diatur, dipakai dasar asas oportunitas (Pasal 32 C
Undang-undang Kejaksaan) dan dilekatkan syarat-syarat
penseponeran yaitu pembayaran denda damai yang disetujui
antara pihak kejaksaan dan tersangka.
34
dipersempit. Di Inggris sampai diperluas meliputi kepentingan
anak di bawah umur. Di Nederland dan Jepang diterapkan bagi
orang yang berumur di atas 60 tahun.
35
Belanda telah lebih memperluas lagi penerapan asas
oportunitas dengan ketentuan baru bahwa semua perkara yang
ancaman pidananya dibawah 6 tahun penjara dapat di
afdoening, tetapi hanya perkara ringan saja. Penyelesaian
perkara berdasarkan asas oportunitas dengan cara mengenakan
denda administratif, sehingga dapat menambah pendapatan
Negara, mengurangi jumlah perkara di pengadilan, dan
mengurangi jumlah nara pidana.
36
BAB III
ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA
A. SEJARAH OPPORTUNITAS
I. DI INDONESIA
37
menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
38
Vonk mengatakan harus dibedakan antara
oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai
kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan
pengecualian.
3. Zaman Jepang
4. Zaman Kemerdekaan
19
Op-Cit Hlm.55
39
Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945)
keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahan
pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana,
oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian
dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok
Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal
8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk
menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar
alasan “Kepentingan Umum”20
40
disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi
perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan
demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu
dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya
perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam
KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang-
Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok
Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari
perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung
selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada
keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu
perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana
agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.
41
dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya
diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi
kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai
alat bukti bagi yang bersangkutan.
42
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah
didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan
bukan untuk kepentingan pribadi.
43
diharuskan mendapat persetujuan pengadilan, pada
umumnya toh pengadilan akan memberikan jawaban yang
menguntungkan permintaan jaksa.
44
Sedangkan dalam asas legalitas, jaksa hampir selalu akan
mengajukan perkara-perkara ke pengadilan untuk diadili oleh
hakim, atau untuk minta persetujuan hakim untuk
mengesampingkannya.
45
Berdasarkan asas oportunitas, pada jaksa negara-
negara bersistem Eropa Kontinental diberi wewenang
menjatuhkan denda maksimum untuk menyelesaikan perkara
diluar pengadilan, dan terutama di Swedia, pembayaran
denda tersebut merupakan pengganti sah untuk sanksi
penjara enam bulan. Praktek semacam itu di Belanda
disebut transactie dan bahkan boleh diterapkan untuk
penyelesaian perkara-perkara yang lebih berat. Lebih-lebih
jaksa Belanda banyak sekali menghentikan proses perkara
dan sudah lama hal tersebut dianggap sebagai keputusan
yang “normal” dan tidak tergantung kepada persetujuan
pengadilan. Itulah sebabnya dari perkara-perkara yang
masuk ke Kejaksaan, perkara-perkara yang berakhir di
pengadilan tidak mencapai 50 persen. Keadaan demikian itu
menggambarkan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan para
jaksa di Negeri Belanda. Lebih jauh lagi, berdasarkan hukum
Belanda, mereka menggunakan kekuasaan menghentikan
penuntutan walaupun bukti-buktinya cukup untuk
menghasilkan penghukuman apabila menurut perkiraannya
penuntutan hanya akan merugikan kepentingan umum,
pemerintah, atau perorangan. Praktek tersebut dikenal
sebagai “penghentian penuntutan atau pengesampingan
perkara karena alasan kebijakan (policy).
46
Kenyataan memang Jaksa Belanda boleh
memutuskan akan menuntut atau tidak akan menuntut
perkara dengan atau tanpa syarat. Wewenang tersebut
didasarkan atas tiga hal, Pertama dakwaan dicabut karena
alasan kebijakan (antara lain, tindak pidananya tidak
seberapa, pelakunya sudah tua, dan kerugian sudah diganti).
Kedua, perkara dikesampingkan karena alasan teknis
(biasanya lebih dari 50 persen karena buktinya kurang).
Ketiga, melalui penggabungan, yaitu menggabungkan
perkara tersangka dengan perkaranya yang sudah diajukan
ke pengadilan.
47
tidak kurang pentingnya, Jepang sudah lama mempraktekkan
sistem penangguhan penuntutan yang juga sudah lama
diterima baik oleh masyarakat. Sistem tersebut
membolehkan jaksa untuk menangguhkan penuntutan pelaku
tindak pidana kalau menurut pandangannya penuntutan itu
tidak perlu “mengingat watak, umur, keadaan pelaku tindak
pidana, berat ringannya dan keadaan perbuatannya, atau
kondisi yang diakibatkannya”. Itulah sebabnya lebih dari 50
persen perkara-perkara tindak pidana kekayaan (misalnya
pencurian) yang dilakukan oleh pelaku yang sudah tua sekali
biasanya dihentikan proses perkaranya oleh Jaksa.
48
bahwa bobot kesalahannya ringan dan kepentingan umum
tidak menghendaki dijalankannya penuntutan. Dalam hal
penghentian proses perkara memerlukan persetujuan
pengadilan, maka hampir selamanya pengadilan akan
menyetujuinya. Lagi pula para Jaksa Jerman itu boleh
mengesampingkan perkara-perkara yang tidak berat yang
melanggar ketentuan-ketentuan dalam Ordnungswidrigkeiten
(ketentuan-ketentuan diluar KUHPidana Jerman).
Singkatnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara
pelanggaran tindak pidana diluar KUH Pidana, para Jaksa
Jerman itu boleh menerapkan asas oportunitas, juga seperti
disinggung dimuka, mereka boleh menerapkan penghentian
penuntutan dengan percobaan dengan cara membiarkan
beberapa tindak pidana tertentu tidak dituntutnya.
49
yang melakukan beberapa tindak pidana hanya dengan satu
dakwaan saja atau hanya dengan dakwaan yang lebih ringan
saja bukan dengan dakwaan yang memberatkan. Didalam
menentukan apakah sebuah perkara seorang terdakwa yang
tidak ditahan akan dikirimkan kepada magistrat penyelidik
(investigating magistrate), Jaksa Italia “boleh membiarkan
perkaranya menjadi basi dan akhirnya menyimpan perkara
tersebut ke dalam “arsip”nya setelah dengan mengulur-ulur
waktu ia memperoleh persetujuan pengadilan untuk
menghentikan penyelidikan.
50
sebelum tahun 1986, misalnya sekali Jaksa mulai menuntut,
ia tidak dapat menghentikan proses perkara. Apabila Jaksa
ingin menghentikan proses perkara, ia akan menyatakan di
depan pengadilan bahwa bukti-bukti perkaranya tidak ada,
padahal bukti-bukti sebenarnya cukup, lalu minta persetujuan
pengadilan untuk menarik kembali perkaranya. Mungkin saja
pengadilan menolak permintaan tersebut atau menyerahkan
perkara tersebut kepada Direktur (Jenderal) Penuntutan
Umum yang pada gilirannya akan mengambil alih perkara
tersebut atau ia akan meminta atasan langsungnya, yaitu
Jaksa Agung, agar menempuh upaya hukum nolle prosequi,
yaitu pemberitahuan kepada pengadilan bahwa Jaksa Agung
tidak akan menuntut perkara tersebut.
51
Dasar filsafat kebijaksanaan (diskresi) penuntutan di
Inggris dan Wales tergambar dalam pernyataan berikut ini
yang dikemukakan oleh Sir Hartley Shorecross sewaktu
menjadi Jaksa Agung empat dasawarsa yang lalu :
52
ada “ketentuan hukum yang mengharuskan suatu tindak
pidana dituntut”. Atas dasar fakta tersebut maka di
Skotlandia “Tidak seorangpun dapat memerintah Lord
Advocate (Jaksa Agung Skotlandia) untuk mnuntut dan tidak
seorangpun dapat memerintah Procurator Fiscal (Jaksa
Skotlandia) mana pun untuk menuntut, kecuali Lord
Advocate.
53
Di Amerika Serikat, para jaksa (misalnya
U.S.Attorney, Country Attorney dan District Attorney atau
State Attorney) hampir-hampir mandiri didalam menjalankan
kekuasaan diskresinya itu sejak tahap paling awal
penyidikan sampai dengan proses sesudah peradilan.
Keputusannya dibidang penuntutan “hampir bebas sama
sekali dari pengawasan orang atau badan lain”. Ia dapat
menghentikan proses perkara dengan jalan menghentikan
penuntutan atau melakukan kompromi mengenai dakwaan,
yang dalam bahasa praktisi hukum Amerika disebut plea
bargaining atau “kompromi pengakuan” sehingga tersangka
boleh mengakui kesalahannya (plead guilty) sebelum ia
diadili. Apabila Jaksa menerima tawaran kompromi tersebut
maka ia akan mengurangi dakwaan aslinya atau akan
meminta pengadilan untuk menjatuhkan pidana yang lebih
ringan. Tidak seperti di Inggris kedua belah pihak kerap
menggunakan dan saling menawarkan kompromi semacam
itu. Lagi pula pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat tidak
terikat untuk menerima atau menolaknya.
54
kembali perkara atau untuk mengurangi dakwaan.
Persetujuan Jaksa (DPP) diperlukan karena sekalipun di
mahkamah rendah penuntutan itu biasanya dilakukan oleh
“Jaksa-Polisi”, namun “Jaksa-Polisi” tidak berwenang
mencabut kembali dakwaan. Dalam pada itu pengadilan-
pengadilan Singapura tidak diperbolehkan ikut melakukan
“kompromi” semacam itu. Sebenarnya, ada saat-saat dimana
penuntutan tidak akan dilakukan sekalipun bukti-buktinya
cukup untuk membuktikan dakwaannya. Bagi kita jelas
bahwa asas oportunis diterapkan di Singapura.
55
Muang Thai, yang boleh dikatakan berorientasi
kepada pola penuntutan tradisi hukum Inggris (common-law),
tidak membuat ketentuan hukum yang memberi wewenang
kepada Jaksa untuk mencampuri petugas penyidik yang
sedang menjalankan penyidikan perkara pidana. Akan tetapi,
KUHAP Muang Thai mengatur bahwa begitu penyidik
menyerahkan berkas penyidikan kepada Jaksa, penyidik
tersebut harus mengindahkan kebijaksanaan (diskresi) Jaksa
mengenai penghentian penyidikan atau penyidikan tambahan
dan mengenai ketetapan akan menuntut atau tidak akan
menuntut perkara. Jaksa Muang Thai pun benar-benar
mempunyai wewenang diskresi yang luas. Sekalipun bukti-
buktinya tidak cukup ia boleh mengajukan perkara yang
bersangkutan ke pengadilan. Sebaliknya, karena sesuatu
alasan, ia boleh menghentikan penuntutan sekalipun bukti-
buktinya cukup untuk menghasilkan penghukuman oleh
hakim. Tidak dapat disangkal, tindakan penghentian
penuntutan sudah lama digunakan oleh Kejaksaan Muang
Thai.
56
hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
57
putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk
sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal
dari bahasa Sansekerta “adhyaksa” artinya sama dengan hakim
pada dunia modern sekarang ini.
58
“Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum itu disebut
Jaksa.
59
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi
yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.
60
dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut
kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah
dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam
perkara tersebut antara lain : Menteri/kepala Kepolisian Negara,
Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung
kepada Presiden/Perdana Menteri.
61
kekosongan hukum di Indonesia mengalami keberadaan hukum
yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum agama, hukum
kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat dihayati dan diakui
keberadaannya oleh rakyat Indonesia.
62
menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak
terbayangkan jika semua perkara/delik pidana yang terjadi di
masyarakat seperti Indonesia ini harus mengajukan tuntutan
melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak akan
mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa,
hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk
ke pengadilan.
Pasal 1 butir 6
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
63
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14 huruf h :
Penuntut umum mempunyai wewenang :
h. menutup perkara demi kepentingan hukum.
64
(2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
65
keberadaan hukum dasar tidak tertulis, oportunitas sebagai
pengecualian. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang
pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 UU No.15 Tahun
1961. Pasal 32 huruf c UU No.5 Tahun 1991 dan Pasal 35 huruf
c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I.
Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas
oportunitas masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang
berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu
kepentingan Negara dan masyarakat.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu, boleh tidaknya
perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang
dilakukan.
66
persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat
sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), hal ini masih dalam
proses perkara. Presiden SB Yudoyono minta agar diendapkan
dulu wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden
Suharto. DPR juga membentuk tim pengkaji kasus Pak Harto
untuk mengontrol pemerintah dalam membuat kebijaksanaan
atas mantan Presiden itu. Wakil Presiden meminta agar kasus
Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia dan jasa-jasanya
kepada Negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses
hukum Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh
(Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII
hal 1)
67
Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut
Umum kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan
perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan maksud apabila
Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan
keputusannya tentang terdakwa.
Dikenal ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang
penuntutan ini :
1. Opportiniteits Principe
2. Legaliteits Principe.
68
Sebenarnya azas ini sudah dianut sejak masa Pemerintahan
Hindia Belanda.
69
Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan
mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu
menyampingkan perkara pidana yang sudah jelas pembuktiannya,
mengingat tujuan dari azas ini aalah kepentingan Negara maka
Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab
kemungkinan ada bahwa dengan memakai kepentingan Negara
sebagai alasan seorang Jaksa menyampingkan perkara pidana
padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk kepentingan pribadi
atau golongan atau kelompok tertentu.
70
demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula
perkara demikian cukup alat buktinya.
Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Netherland
dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak
tertulis) dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa
kemerdekaan s/d tahun 1961 – sekarang dalam UU Pokok
kejaksaan UU No.16 Tahun 2004 asas ini masih dicantumkan.
71
perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk
beleidsvrijheid (kebebasan menentukan kebijaksanaan) yang
dalam hukum administrasi Negara disebut dengan Freies
Ermessen. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof.MR. A.L. Melai
yang menyatakan bahwa wewenang penuntut umum dalam hal
meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan
Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan
berhubung karena hukum memuntut adanya keadilan dan
persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin
kemanfaatan dan kedamaian.
72
Negara-negara yang memiliki modernisasi sistem
hukumnya memberikan batasan model terhadap anglo saxon dan
Eropa Kontinental, selain model eks sosialis yang mulai tertinggal.
Begitu pula dalam sistem penuntutan dalam perkara tindak
pidana. Namun demikian, pengaruh kedua model ini sangat
mempengaruhi kehidupan sistem peradilan masing-masing
negara. Indonesia sebagai pengaruh konkordansi Belanda
ternyata memiliki sistem penuntutan yang berbeda dengan
negara-negara tetangganya. Pengaruh sistem hukum pada
negara Malaysia, Singapura dan Australia lebih ditetapkan
sebagai konsepsi Anglo Saxon, dan sebaliknya pengaruh Belanda
dengan sistem Eropa Kontinental memberikan dasar konsepsi
yang dominan. Konsepsi Anglo Saxon mempengaruhi KUHP
manakala Jaksa dikesampingakan dari kewenangan penyidikan,
tetapi beberapa Negara dari United Kingdom of Great Britain
justru mengarah kepada sistem Eropa Kontinental karena
memberikan suatu kewenangan penuntunan kepada Jaksa yang
dinamakan Crown Prosecutor Service (CPS), yang sebelum
tahun 1986 (Inggris) kewenangan melakukan penuntutan
dilakukan oleh kepolisian.
Pada umumnya dengan 2 sistem dan model tersebut
diatas memiliki pengaruh dengan konsepsi penuntutan, yaitu
model yang mengakui : (1) Asas Oportunitas, yaitu suatu beleid
dari Penuntut Umum yang memperbolehkan memutuskan untuk
73
menuntut atau tidak menuntut, baik dengan syarat maupun tidak
dengan syarat (Belanda, Norwegia, Inggris dan Negara-negara
dengan system Anglo Saxon, seperti Australia). Kebebasan yang
independen inilah yang menempatkan Penuntut Umum di Belanda
sebagai semi judge (memilki kewenangan setengah Hakim). Dilain
sisi dikenal : (2) Asas Legalitas (dalam penuntutan, seperti
Jerman, Australia, Spanyol), artinya Penuntut Umum tidak
memiliki kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara,
karena penganutan asas ini tetap mengharuskan suatu perkara
untuk dilimpahkan ke pengadilan, tanpa memiliki suatu sikap
eksepsionalitas.
74
Dalam kaitannya ide Jaksa Agung dengan Asas
Oportunitas adalah yang berkaitan dengan nomor 1, yaitu adanya
suatu police (belied) atau kebijakan. Sedangkan alasan ketiga
juga terjadi di Indonesia, manaka terjadi penyimpangan suatu
perkara karena digabungkan kepada perkara lain mengingat
peran asas concursus. Sehubungan dengan permeriksaan
perkara tindak pidana korupsi, menarik untuk diperhatikan
beberapa kasus yang disampaikan oleh Prof. Dr. Lit. A.Z. Abidin,
bahwa banyak sekali kasus di Indonesia yang kekhususannya
yang sistematis ini atau asas “Systematische Specialiteit”
dilanggar oleh jaksa dan hakim dalam putusannya, karena
lemahnya pengetahuan asas-asas hukum pidana di kalangan
penegak hukum bahkan termasuk hakim agung. Misalnya
penyelundupan pajak yang ada undang-undang perpajakan yang
mengatur deliknya secara khusus, dituntut dan dipidana oleh
hakim termasuk Mahkamah Agung dengan delik korupsi
(memperkaya diri sendiri karena tidak membayar pajak). Delik
penyelundupan dipidana sebagai subversi, sedangkan yang
justru jelas-jelas termasuk delik korupsi misalnya kasus Budiadji
(mantan KADOLOG Kaltim) dipidana dengan penjara seumur
hidup karena dakwaan telah melakukan delik subversi.
75
Negeri Ujung Pandang sekitar tahun 1988. terdakwa mula-mula
dijatuhi pidana karena dinyatakan terbukti telah melakukan delik
penyelundupan. Tuntutan ini tepat, akan tetapi atas perintah
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan kepada seorang jaksa
untuk menuntut terdakwa lagi dengan dakwaan baru atas
perbuatan yang sama tetapi menyangkut delik subversi, lalu oleh
Pengadilan Negeri Ujung Pandang dijatuhi pula pidana yang
cukup berat, karena dinyatakan telah terbukti melakukan delik
subversi, yaitu menyelundupkan rotan yang perkaranya telah
diadili lebih dahulu Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi jo.
Rechten Ordonnantie. Dengan demikian, aturan tentang
gabungan delik (samanloop) telah diperkosa.
76
W Kusumah harus mengalami masalah tragis di negeri ini.
Sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, juga penegak hukum,
khususnya pemberantasan korupsi, nama Mulyana termasuk
sosok yang dikenal dikalangan akademisi, praktisi bahkan
pengamat hukum. Sekarang ini Mulyana W Kusumah harus
berhadapan dengan meja hijau peradilan pidana. Sebenarnya
realita yang menyerupai kasus Mulyana diduga terjadi di hampir
berbagai tingkat kehidupan sosial ekonomi Imdonesia yang
memang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
signifikansi kuantitas koruftifnya. Berbagai strata dan level sosial,
birokrasi maupun kelembagaan Negara dan Swasta, korupsi dan
suap sudah menjadi bagian yang memiliki rutinitas kekuasaan,
seingga perbuatan tercela itu dianggap sebagai suatu justifikasi
dari perbuatan yang illegal, akibatnya perbuatan suap dari kaca
mata kekuasaan dianggap sesuatu yang sah sebagai Legal
Bribery, sebaliknya dari pendekatan hukum dan masyarakat, suap
adalah tetap sebagai ilegal. Dari sisi bribery, norma ini memang
tidak debatabelitas sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas
permasalahan yang dihadapi Mulyana harus dicermati sebagai
suatu persoalan sosiologis, yaitu apakah sebagai Victim of
Conspirancy.
77
hukum dalam kaitannya dengan Asas Oportunitas. Selain itu,
sebagaimana kutipan diatas, pula polemik yang berkembang
dalam kasus Mulyana adalah justifikasi perlindungan hukum
Chairiansyah, auditor BPK, yang melapor suap ini, serta
bagaimana perlakuan yang adil dalam kerangka penegakan
hukum pemberantasan korupsi. Dari uraian polemik ini, perlu
memperhatikan beberapa pendekatan mencermati permasalahan
ini.
78
dimasukan kedalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi,
makna suap diperluas. Introdusi norma regulasi pemberantasan
Korupsi telah menetapkan ”Actief Omkping” (suap Aktif) sebagi
Subjek Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian sejak berlakunya
UU No. 3 Tahun 1971, juga perubahannya melalui UU No. 31
Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pelaku delik Suap Aktif (yang memberi
suap) an delik Pasif (yang menerima suap) adalah sebagai subyek
Tindak Pidana Korupsi, dan penempatan status sebagai subyek
ini tidak memilki sifat eksepsionalitas yang absolute. Karena itu,
atauran delik suap tidak memberikan ekspilitas norma
pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang wajib dilindungi.
79
adanya POGING (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai
delik selesai, artinya adanya pra kondisi sebagai permulaan
pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak
pidana korupsi. Jadi ada inisiatif untuk melakukan suap,
sedangkan kompetensi untuk mengetahui inisiatif siapa dari
pelaku suap hanyalah pihak yang memiliki kewenangan dominan
dalam kaitan audit. Baik buruknya hasil audit tidak mungkin
diketahui pihak eksternal, selain informasi insider yang melakukan
investigasi audit itu sendiri. Tidak mungkin pula hasil audit yang
baik mengcuatkan soal suap ini, sebaliknya pra kondisi suap
timbul dari informasi buruknya hasil audit dengan demikian,
inisiatif dan insider informasi sebagai penerima suap sekaligus
sebagai pemberi janji adalah subyek Tindak Pidana Korupsi.
80
huruf (c) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung,
sedangkan KPK sama sekali tidak memiliki kewenangan demikian.
81
sebagai karakterisasi justifikasi Asas Oportunitas. Sangatlah sulit
menentukan kriteria “demi kepentingan umum” yang sangat multi
tafsir dan subyektif sifatnya, baik individu maupun instansional.
Dalam kaitan perkara Chairiansyah, apakah dikesampingkannya
perkara tersebut sebagai bentuk Perlindungan Saksi/Pelapor
ataukah implementasi Asas Oportunitas?
82
Reporting Persons (Pasal 33), dan (3) Protection of
Cooperating persons (Pasal 37).
Pasal 37 ayat 2 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan memberikan
kemungkinan dalam kasus yang tertentu, mengurangi hukuman
dari seorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”.
Pasal 37 ayat 3 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan
kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Hukum
Nasional, untuk memberikan kekebalan (immunity) dari
penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konnensi ini”.
83
macam, yaitu bagi seorang Terdakwa (juga terpidana) dengan
pemberian pengurangan hukuman (mitigating punishment),
dan seorang Terdakwa dengan pemberian kekebalan dari
penuntutan (immunity from Prosecution), namun ini tetap
harus sesuai dengan asas-asas hukum nasional masing-masing
Negara Peserta. Jadi, ide implementasi Asas Oportunitas
terhadap pelaku korupsi yang kooperatif sebaiknya
mempergunakan konsepsi protection of cooperating persons.
Konsep protection of cooperating pesons ini dilaksanakan di
Eropa, seperti Belanda dan Italia berupa diterapkan Saksi
Mahkota (kroongetuige) tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi
karena mau membongkar kejahatan terorganisir teman-
temannya. Imbalannya ialah ia dikeluarkan dari daftar terdakwa
dan dijadikan saksi, misalnya mau membongkar kejahatan
korupsi, narkotika dan terorisme. Dengan demikian pula Tor
yang dikemukakan oleh Panitia Seminar mengenai pemberian
immunitas maupun pengurangan hukuman bukanlah dalam
konteks, implementasi Asas Oportunitas (Amerika Serikat
dengan istilah substansial assistance, Cech Republik ini
kesemuanya dalam kerangka Crown Witness atau
Kroongetuiege yang tidak dalam kaitannya dengan Asas
Oportunitas, kecuali Hongkong dengan immunity seseorang atas
informasi yang diberikan kepada penegak Hukum).
84
Dengan tidak jelasnya implementasi terhadap aturan-
aturan tindak pidana korupsi yang sebenarnya telah memenuhi
asas Lex Certa, hal ini memberikan implikasi yang diskriminatif
bagi KPK dalam menentukan kebijakan perlindungan hukum.
Disatu sisi, para penerima dana-dana dari swasta/aparatur
Negara diberikan perlindungan hukum (immunity for
prosecution), tetapi disisi lain penerima dana tersebut dijadikan
subyek tindak pidana korupsi, meski sesuai asas hukum Pidana,
pengembalian dana tidaklah meniadakan strafbaar dari materiele
daad yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
85
Dalam kasus Mulyana W. Kusumah ini, Chairiansyah
bukanlah subyek perlindungan hukum, tetapi subyek Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud UU, karenanya apabila tetap
diberikan perlindungan hukum, maka Mulyana hanya sebagai
hasil pola sikap “victim of Conspiracy” yang menurut sistem
anglo saxon memilki justifikasi sebagai alasan adequante
meniadakan punishment, karena penegak hukum dianggap
melakukan illegal secured evidence. Konsep pengesampingan
pekara terhadap Chairianyah tidaklah tepat dengan didasarkan
alasan Asas Oportunitas (andai Kejaksaan Agung yang
melakukan hal ini), pula tidak dikatakan sebagai Protection of
Reporting Persons sebagai dasar introdusir dalam sistem Hukum
Pidana Indonesia kelak, karena konsep protection of
Cooperating Persons memilki keterkaitan dengan saksi Mahkota
dengan penerapan ajaran “Deelneming” (penyertaan) pada
Pasal 55 KUHP.
86
akademis di Amerika Serikat, dan asas ini menyerupai dengan
Staatsbeleid dalam keterkaitan dengan overheidsbeled.
87
membedakannya dengan persoalan “beleid” yang tunduk pada
Hukum Administrasi Negara.
88
kekuasaan/kewenangan “diskresioner” (discretionary power/
authority) yang dimliki.
89
dengan tujuan akhirnya (doelgericte). Kebijakan Presiden
Megawati saat memberikan Releases & Discharged terhadap
pelaku tindak pidana yang telah mengembalikan sejumlah uang
yang dianggap sebagai kerugian Negara, merupakan suatu
staatsbeleid yang pelaksanaannya dilakukan oleh apatur
bawahannya sebagai Overheidsbeleid.
90
BAB IV
ANALISIS
91
Dalam ilmu hukum acara pidana, dikenal dua asas
penuntutan, yaitu: (1) asas oportunitas (discretionary prosecution),
dan (2) asas wajib menuntut (mandatory prosecution). Menurut asas
oportunitas, sekalipun saksi dan buktinya cukup, jaksa boleh tidak
menuntut perkara pidana, bilamana ia berpendapat penuntutan tidak
patut dilakukan, atau bilamana penuntutan dapat merugikan
kepentingan umum atau pemerintah. Asas oportunitas dianut antara
lain oleh Kejaksaan Perancis, Belgia, Belanda, Norwegia, Swedia,
Israel, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Asas oportunitas juga
dipraktekkan oleh Kejaksaan di Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia,
Filipina, dan Singapura.
Sebagaimana diketahui asas oportunitas dalam penuntutan,
adalah salah satu asas dalam hukum acara pidana Indonesia.
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan 7 (tujuh) asas yang harus
menjadi pegangan dalam pelaksanaan proses pidana, sebagai
berikut:
1. Kejaksaan sebagai Penuntut Umum
2. Prinsip “oportunitas” dalam penuntutan
3. Perbedaan antara “pemeriksaan permulaan” (vooronderzoek),
dan “pemeriksaan di sidang hakim” (gerechtelijk onderzoek)
4. Pemeriksaan di muka umum
5. Pemeriksaan secara langsung (onmiddelijkheidsbeginsel)
6. Peradilan pidana di tangan Pegawai Negeri – ahli hukum
7. Sistem “jury.”
92
Indonesia sendiri sudah lama menganut asas oportunitas.
Dasar hukumnya semula hukum tidak tertulis dari Belanda. Dalam
bahasa ilmiahnya adalah “penghentian penuntutan karena alasan
kebijaksanaan (diskresi),” sedang dalam bahasa sehari-harinya
“mengesampingkan perkara.” Praktek yang dianut oleh jaksa
(Penuntut Umum) di Indonesia sejak zaman Belanda yaitu menganut
principe-opportunita, yang menggantungkan hal akan melakukan
suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu
persatu. Kenyataan praktek bahwa adakalanya sudah terang seorang
melakukan suatu kejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah
sedemikiannya, sehingga kalau seseorang itu dituntut di muka hakim
pidana maka kepentingan negara akan sangat dirugikan.
93
menggunakan wewenang tersebut yaitu mengesampingkan perkara
yang saksi dan buktinya cukup, harus memohon kepada Jaksa
Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Namun disayangkan bahwa Jaksa Agung RI sangat jarang
menggunakan wewenang tersebut.
94
undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 32 huruf c Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan
sekarang Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun demikian, yang
tersurat dalam penjelasan pasas-pasal di atas mengisyaratkan
bahwa asas oportunitas tersebut tidak akan banyak digunakan.
95
oportunitas tersebut, umpamanya hak tersebut dapat diterapkan
sewenang-wenang, menguntungkan orang lain, pada umumnya
dapat mengarah pada penyalahgunaan.
96
meninggal dunia, atau sudah daluwarsa, atau perkara tersebut sudah
diputus sebelumnya oleh pengadilan (ne bis in idem).
97
Dalam pada itu mungkin saja, dalam waktu dan tahun-tahun
ke depan, setelah situasi berubah, yaitu tidak ada lagi kekhawatiran
tergoda untuk berkolusi atau mengkomersialisasikan perkara; kiranya
para jaksa di Indonesia harus diberi wewenang lagi
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum seperti yang
digariskan dalam asas oportunitas, sehingga mereka itu boleh
menghentikan proses perkara dan tidak dilanjutkan ke muka
pengadilan, sekalipun bukti-buktinya cukup. Terutama apabila
tersangka/ pelakunya sudah terlalu tua, korbannya sudah mendapat
ganti rugi, sedang tindak pidananya biasa-biasa saja dalam arti tidak
menimbulkan bahaya bagi masyarakat serta tidak menarik perhatian
masyarakat. Syaratnya tentu profesionalismenya sudah tinggi,
kesejahteraannya sudah berlipat lebih dari sepuluh kali dari
sekarang, dan moralnya sudah sangat tangguh.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan asas oportunitas di Indonesia.
98
1. Indonesia sebelum penjajahan berlaku hukum adapt yang
sifatnya heterogin dan tidak membedakan antara hukum
perdata dan hukum pidana, setiap pelangaran dianggap
merusak keseimbangan lingkungan, harus dipulihkan
dengan membayar denda adat/ganti rugi.
2. Zaman penjajahan dengan asas konkordansi, segala
perubahan perundang-undangan di Belanda berlaku di
Indonesia dari RO,IR, HIR, terbentuknya lembaga open baar
ministerie atau lembaga penuntut umum, untuk Bumiputra
dibawah Procureur general, sekarang Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai produk hukum nasional, memberikan wewenang
penuntut perkara pidana kepada Jaksa selaku penuntut
umum. Dalam persidangan Hakim sifatnya penunggu
penuntutan yang diajukan oleh Jaksa. Jika menurut
pertimbangan Jaksa dan demi kepentingan umum perkara
seudah terselesaikan dengan uang damai, jaksa tidak perlu
melakukan penuntutan ke Pengadilan. Inilah asas
oportunitas yang dianut di Indonesia.
4. Oportunitas bisa diartikan sebagai asas dan oportunitas
sebagai pengecualian. Indonesia sebagai penganut hukum
dasar tertulis dan juga hukum dasar tidak tertulis yang
berupa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul
dalam praktek penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan
99
yang diakui dan dihayati rakyat setempat. Setiap
pelanggaran/delik pidana tidak semuanya dilakukan
penuntutan oleh jaksa mengingat jumlah jaksa sangat
terbatas, terutama perkara ringan yang bisa diselesaikan
melalui pembayaran uuang tebusan/ganti rugi/uang damai
bisa dilakukan oleh unit-unit keamanan/ketertiban dan
kepolisian yang mereka wajib lapor ke atasannya. Inilah
oportunitas sebagai pengecualian.
5. Asas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang-
undangan yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun
1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung
untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Ini adalah termasuk perkara berat/besar misalnya Korupsi
yang jumlahnya lebih dari 1 (satu) trilyun, bisa
dikesampingkan melalui kebijakan (policy) dan dilekatkan
dengan syarat “perseponeran” yaitu pembayaran denda
damai (termasuk pengembalian uang Negara) yang disetujui
antara pihak kejaksaan dan tersangka (Prof.Dr. Andi
Hamzah, S.H “ Hukum Acara Pidana Indonesia”).
6. Asas oportunitas sampai sekarang tidak pernah diganggu
gugat keberadaannya ternyata asas ini memberikan manfaat
pada kepentingan umum. Asas tersebut lebih sesuai dengan
tujuan pidana dalam hal ini asas oportunitas bertujuan untuk
mengimbangi ketajaman asas legalitas.
100
7. Asas Oportunitas merupakan suatu Overheidsbeleid yang
melaksanakan Staatsbeleid, karenanya dapat dipergunakan
dalam suatu kewenangan (discretionary power) yang
mengikat maupun kewenangan aktif. Kewenangan aktif
dalam kaitannya Asas Oportunitas memberikan kewenangan
Jaksa Agung melakukan tindakan-tindakan terhadap norma-
norma tersamar (vage normen) sepanjang kewenangan ini
didasarkan pertimbangan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang baik serta dengan akhir dipergunakan asas ini.
B. Saran/Rekomendasi
1. Semua Jaksa hendaknya mempunyai wewenang oportunitas
tetapi harus ada control melalui computer on line
(data/penyelesaian perkara, sehingga sesuai dengan apa yang
ada di Jaksa dan perkara.
2. Sehubungan dengan rekomendasi nomor 1 tersebut, maka
control oleh jaksa di daerah harus diperketat oleh kepala
Kejaksaan Tinggi setempat.
3. Pengawasan penerapan asas oportunitas diawasi oleh Kepala
Kejaksaan dengan lebih ketat, jadi Kepala kejaksaan Tinggi
dapat memerintahkan/pencabutan penyampingan perkara,
dengan meneruskan penuntuan apabila penerapannya
dilaksanakan secara keliru.
101
DAFTAR PUSTAKA
Andi
Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum," PIDATO
PENGUKUHAN diucapkan pada Upacara Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, 23 Juli
1998
………………, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Arikha Media
Cipta, 1993
102
........................, ”Analisis dan Evaluasi Jukum Yentang Pelaksanaan
Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara
Pidana,BPHN,2006.
………………, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha
Jaya, Jakarta, 1996
………………,"Penggunaan Hak Oportunitas Jangan Jadi
Bumerang," Harian KOMPAS, Jakarta, Senin, 1 Agustus,.
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983
D. Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh:
P.A.F. Lamintang. Pioner Jaya, Bandung,
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan
KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar
Grafika, Edisi Kedua, Jakarta.
RM. Surachman, Mozaik Hukum I, CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta,
1996
……………….., Dr. Andi Hamzah, SH., Jaksa di Berbagai Negara,
Peranan dan Kedudukannya.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1981
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan
Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tempat, tanpa
tahun.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Eresco, Bandung, 1989
103
− Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman
Republik Indonesia, Penerbit Yayasan Pengayoman, Cetakan
ke3, Jakarta
104