Asas Opurtinitas

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 104

KATA PENGANTAR

Laporan ini merupakan hasil kerja Tim Analisis dan Evaluasi


Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara
Pidana Tahun Anggaran 2006, yang bekerja berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : G1-11.PR.09.03
Tahun 2006 Tentang Pembentukan Tim-Tim Analisis dan Evaluasi
Hukum Tahun Anggaran 2006. Tertanggal 16 Januari 2006 di
Jakarta.
Dengan Susunan Keanggotaan sebagai berikut :
Ketua : Prof.Dr.(Jur) H. Andi Hamzah
Sekretaris/Anggota : Sri Mulyani, S.H.
Anggota : 1. Zainal Arifin, S.H.,MH.
2. Firman Widjaya, S.H.,MH.
3. Djami Rusti Djamaan, S.H.,MH.
4. Niniek Suparni, S.H.,MH.
5. Emmy Muzaemi, S.H.
6. Ellyna Syukur, S.H.
7. Dadang Iskandar, S.Sos
8. Indry Meutia Sari S, SE
Asisten : 1. Ida Herawati, S.Sos
2. Supriyadi
Pengetik : 1. Agus Sutarman
2. Darsono

Dalam laporan ini dibahas tentang Pengertian Asas


Oportunitas, negara-negara yang menganut Asas Oportunitas,
Negara-negara yang menganut Asas Legalitas, Perkembangan Baru
Asas Oportunitas di samping sejarah Oportunitas, Perkembangan
Asas Oportunitas di Indonesia dan Asas Oportunitas Dalam Praktik.
Dalam Pasal 35 C Undang-Undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Pasal tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti

1
asas oportunitas, dan hanya dikatakan, bahwa Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi
kepentingan umum yang dimaksud dengan ”Kepentingan Umum”
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas. Mengenyampingkan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan
negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam
praktek menjadi tidak jelas karena siapakah yang dimaksud dengan
badan-badan kekuasaan negara yang mempuyai hubungan dengan
masalah dimaksud ? Hal ini berarti wewenang oportunitas ini dibatasi
secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum dalam
penerapannya.
Atas partisipasi dan kerjasama yang diberikan oleh semua
anggota atas tersusunnya laporan ini, Tim mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Tim mengharapkan semoga laporan ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum di Indonesia, dibidang
hukum acara pidana terutama dalam hal penerapan asas oportunitas.

Jakarta, Desember 2006

Tim Analisa dan Evaluasi Hukum


Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas
Dalam Hukum Acara Pidana

Ketua,

Prof. Dr. (Jur) Andi Hamzah. S.H.

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………………………………………….. i


DAFTAR ISI …………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ……………………………………. 1
B. Permasalahan …………………………………….. 16
C. Maksud dan Tujuan ………………………………. 17
D. Ruang Lingkup …………………………………..... 18
E. Metodologi …………………………………………. 18
F. Pelaksana Kegiatan ………………………………. 20
G. Susunan Keanggotaan Tim ……….………………. 20

BAB II ASAS OPORTUNITAS ………………………………….. 22


A. Pengertian ………………………………………........ 22
B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia .. 25
C. Perkembangan Baru Asas Oprtunitas ….…………. 30

BAB III ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA ………………. 32


A. Sejarah Oportunitas ……………………………….. 32
B. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia ….. 52
C. Asas Oportunitas Dalam Praktek ………………… 67

BAB IV ANALISIS ……………………………………………….. 87

BAB V P E N U T U P …………………………………………… 94
A. Kesimpulan ………………………………………… 96

3
B. Saran ……………………………………………….. 96

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum," PIDATO


PENGUKUHAN diucapkan pada Upacara Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, 23 Juli
1998
………………, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Arikha Media
Cipta, 1993
........................, ”Analisis dan Evaluasi Jukum Yentang Pelaksanaan
Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara
Pidana,BPHN,2006.
………………, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha
Jaya, Jakarta, 1996
………………,"Penggunaan Hak Oportunitas Jangan Jadi
Bumerang," Harian KOMPAS, Jakarta, Senin, 1 Agustus,.
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983
D. Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh:
P.A.F. Lamintang. Pioner Jaya, Bandung,
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan
KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar
Grafika, Edisi Kedua, Jakarta.
RM. Surachman, Mozaik Hukum I, CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta,
1996
……………….., Dr. Andi Hamzah, SH., Jaksa di Berbagai Negara,
Peranan dan Kedudukannya.

4
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1981
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan
Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tempat, tanpa
tahun.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Eresco, Bandung, 1989

− UNAFEI, "Inovation and Reform in Prosecution," Resource


Material No. 24, UNAFEI, Fushu, Tokyo, Japan, 24 Desember
1983
− Konsep Rancangan KUHP 2005, terdiri dari Buku I tentang
Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana
− Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman
Republik Indonesia, Penerbit Yayasan Pengayoman, Cetakan
ke3, Jakarta

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum, adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai


tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat;
sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan
keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam masyarakat.
Dan masing-masing masyarakat mempunyai pelbagai
kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat menimbulkan
bentrokan satu sama lain. Kalau bentrokan ini terjadi, maka
masyarakat menjadi guncang dan keguncangan ini harus
dihindari. Untuk itulah hukum menciptakan pelbagai hubungan
tertentu dalam masyarakat.1

Dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan


mengadakan suatu imbangan di antara pelbagai kepentingan;
jangan sampai suatu kepentingan terlantar atau terlanggar di
samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya
seluruhnya. Keseimbangan hanya akan terjadi apabila hukum

1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1989, hlm. 14

6
yang mengaturnya itu dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar.
Sedangkan pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana
yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang, atau oleh
suatu badan hukum; yang dibuktikan oleh seorang penuntut
umum adalah unsur-unsur yang ada dalam perumusan tindak
pidana yang disangkakan.

Salah satu masalah hukum yang perlu diperjelas dan


disesuaikan dengan kesadaran hukum masyarakat, sehingga
perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penunaian tugas
Penuntut Umum untuk mempertahankan ketertiban hukum
adalah, kebijaksanaan di dalam melaksanakan kewenangan
penuntutan pidana. Dalam hukum acara pidana dikenal suatu
badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan
penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut Penuntut Umum.
Di Indonesia Penuntut Umum itu disebut juga Jaksa (Pasal 1
butir a dan b Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).

Wewenang penuntutan dipegang oleh Penuntut Umum


sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh
melakukan wewenang tersebut. Ini disebut dominus litis di
tangan Penuntut Umum atau Jaksa. Dominus berasal dari
bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta
supaya delik (tindak pidana) diajukan kepadanya, hakim hanya
menunggu saja penuntutan dari Penuntut Umum. Dengan

7
adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang mempunyai
Penuntut Umum sendiri, berarti ketentuan monopoli penuntutan
oleh Kejaksaan telah diterobos.

Dalam penuntutan, dikenal asas yang disebut asas


legalitas dan oportunitas (legaliteits en het opportuniteits
beginsel). Menurut asas legalitas, Penuntut Umum wajib
menuntut suatu tindak pidana. Artinya, Jaksa harus melanjutkan
penuntutan perkara yang cukup bukti. Asas ini dianut misalnya di
Jerman menurut Deusche Strafprozessodnung, Pasal 152 ayat
(2).2 Akan tetapi asas legalitas di Jerman sudah mulai tidak
mutlak, karena sesudah tahun 1924 diadakan pembatasan-
pembatasan terhadap pelaksanaan asas legalitas ini, karena
Jaksa (staatsanwalt) dapat juga menghentikan penuntutan tetapi
dengan izin hakim.

Menurut asas oportunitas, Jaksa berwenang menuntut


dan tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, baik dengan
syarat maupun tanpa syarat. The public prosecutor may decide
conditionally or unconditionally to make prosecution to court or
not. Jadi dalam hal ini, Penuntut Umum tidak wajib menuntut
seseorang melakukan tindak pidana jika menurut

2
D. Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh: P.A.F. Lamintang. Pioner Jaya,
Bandung, tanpa tahun, hlm. 25

8
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi
kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana,
tidak dituntut.
A.Z. Abidin memberi perumusan tentang asas
oportunitas sebagai:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut
Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau
tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.”3

A.L. Melai sebagaimana dikutip A.Z. Abidin,


mengatakan bahwa pekerjaan Penuntut Umum dalam hal
meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas
merupakan rectsvinding (penemuan hukum) yang harus
dipertimbangkan masak-masak berhubung karena hukum
menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum. Yang tidak
disebutkan A.L. Melai ialah, bahwa hukum yang bertujuan untuk
menjamin kemanfaatan dan kedamaian. Adagium Romawi
menghendaki “ius suum cuique tribuere.”4

Jaksa menurut ketentuan undang-undang adalah


Penuntut Umum yang diberikan kewenangan melaksanakan atau
menjalankan kebijaksanaan dalam melakukan penuntutan
perkara-perkara pidana ke Pengadilan yang berwenang.

3
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 89
4
Ibid.

9
Sedangkan kewenangan mengesampingkan perkara yang
berada pada Jaksa Agung ini sejak berlaku Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian termaktub dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, terakhir dalam Pasal 35 huruf c Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum.

Menurut Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang


Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas
oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah
tersebut. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkara
hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada Jaksa di bawah
Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP).

Setiap menghadapi sesuatu tindak pidana, timbul


pertanyaan bagaimana sebaiknya Penuntut Umum harus
melaksanakan kewenangan penuntutan pidana terhadap tindak
pidana tersebut. Apabila Penuntut Umum berpendapat dapat

10
dilakukan penuntutan, maka ia segera akan membuat surat
dakwaan.

Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “penuntutan” adalah


tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Di
samping Pasal 137 KUHAP menyatakan, Penuntut Umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dengan melimpahkan
perkaranya ke pengadilan. Jadi wewenang menentukan apakah
akan menuntut atau tidak, diberikan kepada Jaksa (vide Pasal
139 KUHAP jo. Pasal. 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia).

Wewenang eksklusif penuntutan sudah lama dijalankan,


yaitu apabila Penuntut Umum berpendapat ada alasan untuk
tidak menuntut; ia harus menetapkan untuk menghentikan
penuntutan. Ada 2 (dua) macam keputusan tidak menuntut yang
dibenarkan KUHAP. Pertama, penghentian penuntutan karena
alasan teknis. Kedua, penghentian penuntutan karena alasan
kebijakan.

11
Wewenang tidak menuntut karena alasan teknis. Ada
3 (tiga) keadaan yang dapat menyebabkan Penuntut Umum
membuat ketetapan tidak menuntut karena alasan teknis atau
ketetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) KUHAP),
yaitu:
1) kalau tidak cukup bukti-buktinya;
2) kalau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana;
3) kalau perkaranya ditutup demi hukum.5

Wewenang tidak menuntut karena alasan kebijakan.


Seperti Jaksa di Negeri Belanda dan Jepang, sebelum tahun
1961 setiap Jaksa di Indonesia diberikan wewenang tidak
menuntut karena alasan kebijakan atau “mengesampingkan
perkara.” Jaksa diperbolehkan mengesampingkan perkara
sekalipun bukti-buktinya cukup untuk menghasilkan pemidanaan
dari hakim. Tindakan untuk tidak menuntut karena alasan
kebijakan ini timbul karena, Penuntut Umum tidak hanya melihat
tindak pidana itu sendiri lepas daripada hubungannya dengan
sebab dan akibat tindak pidana dalam masyarakat dan hanya
mencocokkannya dengan sesuatu peraturan hukum pidana;
akan tetapi ia mencoba menempatkan kejadian itu pada proporsi
yang sebenarnya dan kemudian memikirkan cara penyelesaian
sebaik-baiknya menurut apa yang diwenangkan oleh undang-
undang.

5
Ditutup “demi hukum” meliputi antara lain tersangkanya meningal dunia, dan neb is in idem.

12
Dalam demikian, Penuntut Umum menghubungkan
kewenangan melakukan penuntutan pidana dengan kepentingan
masyarakat (umum) dan kepentingan ketertiban hukum. Kedua
persoalan tersebut harus saling mempengaruhi satu sama lain,
dalam arti yang sebaik-baiknya. Jelas kebijaksanaan ini
merupakan kewenangan penuntutan yang hanya dipercayakan
kepada Jaksa selaku Penuntut Umum dan hal tersebut
dilakukannya dengan tidak semena-mena.

Dengan asas oportunitas yang secara implisit terkandung


dalam wewenang dan kedudukan Penuntut Umum, kewenangan
untuk menuntut perkara tindak pidana dan pelanggaran tidak
mengurangi kewenangan untuk bertindak karena jabatannya; jika
dipandang perlu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
sifat tugas Penuntut Umum untuk selayaknya tidak mengadakan
penuntutan. Yaitu apabila diperkirakan dengan penuntutan itu
akan lebih membawa kerugian daripada keuntungan guna
kepentingan umum, kemasyarakatan, kenegaraan dan
pemerintahan. Hal ini menjadi titik tolak dasar serta alasan,
mengapa kepada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum
Tertinggi dalam negara hukum Indonesia ini diberikan wewenang
untuk tidak menuntut suatu perkara ke Pengadilan atas dasar
kepentingan umum.
Pengertian kepentingan umum ini diperluas dan
mencakup kepentingan hukum, karena bukan saja didasarkan

13
atas alasan-alasan hukum semata tetapi juga didasarkan atas
alasan-alasan lain. Antara lain: alasan kemasyarakatan, alasan
kepentingan keselamatan negara dan saat ini meliputi juga faktor
kepentingan tercapainya pembangunan nasional. Penjelasan
Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa yang
dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan
bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya,


Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan
masyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang
mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara
manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau
memperoleh kepentingannya. Jelas bahwa kebijakan penuntutan
untuk kepentingan umum dipercayakan dan dipertanggung-
jawabkan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi,
dan adanya asas oportunitas merupakan lembaga yang
dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitas
dalam suatu negara hukum.
Satu hal yang perlu dijelaskan ialah apa yang dimaksud
dengan “demi kepentingan umum” dalam penseponeran perkara
itu, Pedoman Pelaksanaan KUHAP (Peraturan Pemerintah

14
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP) memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan
untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk
kepentingan masyarakat.”

Ini mirip dengan pendapat Soepomo yang mengatakan:


“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku
yang disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu
artinya Badan Penuntut Umum berwenang tidak melakukan
suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak
“opportuun,” tidak guna kepentingan masyarakat.”6

Andi Hamzah mengatakan bahwa: ".... sama dengan


zaman kolonial yang hanya Jaksa Agung (Procureur Generaal)
yang boleh menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Wewenang itu tidak diberikan kepada Jaksa biasa. Hal itu
disebabkan tidak dipercayainya mereka melaksanakan yang
demikian penting itu. Jika asas ini dijalankan dengan baik, maka
akan mengurangi beban pengadilan untuk tidak sibuk mengurusi
perkara kecil."7
Selanjutnya dinyatakan pula oleh beliau, bahwa ".... di
Jepang dan Belanda, patokan untuk menerapkan asas itu ialah
menyangkut perkara kecil (trivial cases), usia lanjut (old age),

6
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981,
hlm. 137
7
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum," PIDATO PENGUKUHAN diucapkan pada Upacara
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti di
Jakarta, 23 Juli 1998, hlm. 10

15
dan kerugian sudah diganti (damage has been settled). Asas ini
telah dikembangkan dengan kemungkinan pengenaan syarat
tertentu antara lain dengan membayar denda (transactie).....
Sedangkan untuk di Jerman, penyampingan perkara dilakukan
dengan syarat dan tanpa syarat. Hanya harus meminta izin
hakim, karena mereka menganut asas legalitas. Izin itu pada
umumnya diberikan."8

Kejaksaan Norwegia menganut asas oportunitas sejak


tahun 1887 dengan memberikan diskresi yang luas sekali
kepada para Jaksa. Para Jaksa di Norwegia bahkan boleh
menjatuhkan hukuman di luar pengadilan, demikian menurut
Hakim Agung Helge Röstad (UNAFEI Report, 1986). Jadi
kewenangan diskresi Jaksa di Norwegia lebih luas daripada
diskresi Jaksa di Belanda dan Jepang. Para Jaksa Norwegia
bahkan dapat menjatuhkan penghukuman maupun pengenaan
sanksi tanpa campur tangan pengadilan. Pengenaan sanksi atau
tindakan tersebut dikenal dengan sebutan patale unnlatese.
Untuk perkara-perkara yang lebih berat, mereka harus meminta
persetujuan Jaksa Agung; sehingga Jaksa di Norwegia disebut
semi judge.9

8
Ibid., hlm. 11; lihat juga pendapat beliau dalam "Penggunaan Hak Oportunitas Jangan Jadi
Bumerang," Harian KOMPAS, Jakarta, Senin, 1 Agustus, hlm.
9
RM. Surachman, Mozaik Hukum I, CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 1996, hlm. 72

16
Berikut para Jaksa Amerika (US Attorney, County
Attorney, District Attorney dan State Attorney) yang tidak
mengenal asas oportunitas namun mengenal “plea bargaining”
yang menentukan Jaksa dapat mengurangi tuntutan dengan
adanya pengakuan terdakwa. Para Jaksa Amerika hampir
otonom dalam melaksanakan wewenang diskresi (discretionary
power) sejak awal penyidikan sampai pada pasca persidangan.
Keputusan untuk menuntut ataukah tidak, hampir bebas
sepenuhnya dari orang-orang atau badan lain. Para Jaksa
Amerika dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi
("plea bargaining"). Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum
persidangan di mulai. Jika Jaksa setuju, maka ia dapat
mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada
pengadilan agar menjatuhkan pidana yang lebih ringan.10

Dengan demikian di beberapa negara yang menganut


asas oportunitas telah berkembang pengertian penyampingan
perkara, tidak hanya berdasar atas alasan kepentingan umum;
namun atas pertimbangan yang bervariasi dalam rangka diskresi
penuntutan. Berdasarkan hal di muka penyampingan perkara
atau diskresi penuntutan, pada umumnya berkaitan dengan
upaya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten
proces), sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP. Lebih luas

10
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Arikha Media Cipta, 1993, hlm. 50

17
jangkauannya dikenal pula yang disebut penuntutan dengan
syarat (voorwaardelijk vervolging).11

Dengan diskresi penuntutan, akan terbuka kesempatan


bagi Jaksa untuk menjaring kasus-kasus pidana lebih efektif
sebelum penuntutan dengan menangguhkan penuntutan,
sehingga pelaku dapat merehabilitir dirinya sendiri. Ini
dikemukakan UNAFEI yang menyatakan manfaat diskresi
penuntutan adalah:
1) It allows effective screening of cases before prosecution;

2) It afford the prosecutions it suspend prosecution in suitable


cases thus allowing the accused himself;

3) It also allows promulgation of criminal policy guidelines at


the time.12

Apabila kewenangan ini didistribusi kepada Jaksa


Penuntut Umum di Indonesia, niscaya akan lebih dapat dijamin
terciptanya asas peradilan pidana secara cepat, sederhana dan
biaya ringan yang bertumpu pada keadilan dalam reformasi
hukum dan era globalisasi. Kewenangan dimaksud selaras
dengan sistem peradilan pidana yang diatur oleh Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

11
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa,
tanpa tempat, tanpa tahun, hlm. 290; dan Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962, hlm. 31
12
UNAFEI, "Inovation and Reform in Prosecution," Resource Material No. 24, UNAFEI, Fushu,
Tokyo, Japan, 24 Desember 1983, hlm. 70

18
(KUHAP) dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya penuntutan tidak
dilakukan oleh Kepolisian kecuali sebagaimana maksud Pasal
205 KUHAP; sehingga Single Prosecution System di Indonesia
dapat diwujudkan secara utuh. Seperti diketahui salah satu
karakteristik daripada Single Prosecution System adalah
kewenangan diskresi penuntutan, di samping karakteristik lain
seperti: Kejaksaan independen, Kepolisan tidak melakukan
penuntutan, pimpinannya tidak ditetapkan berdasarkan
pertimbangan politik dan tidak berada di bawah kontrol politik.13

Rentang diskresi akan lebih luas terhampar jika


ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil dapat
mengakomodasikan ruang gerak Penuntut Umum, antara lain
sebagaimana dapat dirintis para perancang Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, khususnya terlihat pada Penjelasan
Pasal 137 huruf c Rancangan KUHP, sebagai berikut:
"Bagi tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan
pidana denda kategori I dan II, dinilai cukup apabila terhadap
orang yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dilakukan
penuntutan, asal membayar denda maksimum yang
diancamkan. Penuntut Umum harus menerima keinginan
terdakwa untuk memenuhi maksimum denda tersebut.
Bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori III, jika Penuntut Umum menyetujui terdakwa dapat

13
Ibid., hlm. 65

19
memenuhi maksimum denda untuk menggugurkan
14
penuntutan."

Langkah ini kiranya akan lebih memperkokoh posisi Jaksa dalam


menentukan dan melakukan supervisi terhadap keabsahan
penyidikan.

Berkaitan dengan hal di atas, memang standar pembuktian


di pelbagai negara itu berbeda-beda, tergantung hukum
pembuktian yang berlaku di negara masing-masing. Umumnya,
pertama-tama Jaksa akan memperhatikan apakah bukti-buktinya
cukup atau apakah bukti-buktinya dapat membentuk suatu
perkara yang prima facie (perkara yang masih harus
dikembangkan karena hanya mempunyai bukti permulaan yang
minim), atau apakah bukti-buktinya dapat menghasilkan
pemidanaan oleh hakim. Namun perlu diingat, masalah yang
paling penting bukan pada waktu menentukan akan menuntut,
tetapi pada waktu menentukan tidak akan menuntut, terutama
jika bukti-buktinya cukup untuk menghasilkan pemidanaan oleh
hakim. Alasan-alasan yang paling dapat menghalalkan tindakan
penghentian penuntutan semacam itu adalah kepentingan umum
menghendakinya.

14
Konsep Rancangan KUHP 2005, terdiri dari Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang
Tindak Pidana.

20
Karena begitu penting, makna penggunaan kekuasaan
diskresi di banyak negara telah diusahakan beberapa cara baik
untuk mencegah adanya disparitas diskresi penuntutan, maupun
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
penuntutan.

Mengingat pelaksanaan asas oportunitas dalam hukum


acara pidana sangat penting, terutama untuk menjamin
kepastian hukum, dan bagaimana pengawasan terhadap
kewenangan menyampingkan perkara yang diberikan undang-
undang kepada Jaksa Agung; maka BPHN dalam hal ini Pusat
Perencanaan Hukum, perlu mengadakan analisis dan evaluasi
terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan khususnya yang
menyangkut penerapan dan pelaksanaan asas oportunitas
dalam hukum acaran pidana.

B. Permasalahan
Dengan semaraknya tuntutan independensi terhadap
penegak hukum dan institusinya di era reformasi dan era
globalisasi, sudah saatnya kepada Penuntut Umum diberikan
kepercayaan melaksanakan kewenangan asas oportunitas
sebagaimana yang dianut berbagai negara. Berdasarkan hal
tersebut maka permasalahan yang perlu dianalisis dan
dievaluasi adalah:

21
1. Dalam hal dan syarat apa saja yang harus dipenuhi Jaksa
Agung untuk dapat menggunakan asas oportunitas ?
2. Seberapa jauh relevansi penerapan dan pelaksanaan asas
oportunitas dalam sistem peradilan pidana Indonesia ?
3. Apa dasar yang layak dan upaya strategis yang dipakai
maupun diperlukan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Penuntut
Umum agar asas oportunitas dapat diterapkan dan
diwujudkan ?

C. Maksud dan Tujuan


Dengan maksud untuk melakukan analisis dan evaluasi
hukum terhadap wewenang Jaksa Agung melaksanakan asas
oportunitas dalam hukum acara pidana, maka tujuan yang ingin
dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui sampai sejauhmana wewenang Jaksa
Agung dalam menggunakan asas oportunitas.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh relevansi penerapan dan
pelaksanaan asas oportunitas dalam sistem peradilan pidana
Indonesia.
3. Untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan hukum
dan dasar yang layak serta upaya strategis yang dipakai
maupun diperlukan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Penuntut
Umum agar asas oportunitas dapat diterapkan dan diwujudkan.

22
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan yang dianalisis dan
dievaluasi, dititikberatkan kepada inplementasi asas oportunitas
dikaitkan dengan KUHAP maupun peraturan perundang-
undangan lainnya. khususnya yang menyangkut dan berkaitan
dengan tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai penuntut
umum dalam perkara tindak pidana yang dilakukan.

E. Metodologi
Analisis dan Evaluasi ini menggunakan :
1. Studi normatif dengan cara membaca buku-buku dari
sejumlah literatur, pendapat para pakar, kamus, yang
merupakan bagian dari studi penjajagan yang dimaksudkan
untuk menyusun proposal operasional. Tahap ini diperlukan
untuk menentukan ruang lingkup yang “reasonable” mungkin
untuk diteliti atau berhubungan dengan pelaksanaan asas
oportunitas yang hendak dianalisa diperoleh. Studi
kepustakaan ini merupakan data sekunder yang nantinya
akan dipakai untuk menganalisa data lapangan.
2. Studi lapangan/pengamatan (teknik pengumpulan data)
Bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 35 c
Tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, menyatakan
bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang,
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian apa yang dimaksud dengan kepentingan

23
umum tersebut dan dalam keadaan yang bagaimana perlu
penjelasan dan penjabaran lebih lanjut.
Bahwa seponering adalah merupakan wewenang dari Jaksa
Agung sebagai pelaksanaan asas oportunitas dalam KUHAP
yang penerapan maupun penggunaannya dalam praktik
jarang sekali dilakukan, oleh karena memerlukan
pembicaraan yang matang dari berbagai instansi pemerintah
yang terkait dengan kebijakan yang akan diambil.
3. Tahap analisis dan evaluasi
Pada tahap ini data yang telah terkumpul, hasil diskusi,
makalah maupun bahan-bahan lain yang berkaitan dengan
asas oportunitas tersebut akan dianalisa dan dievaluasi
dengan :
a. Apa yang menjadi dasar klasifikasi tentang pelaksanaan
asas oportunitas dalam KUHAP.
b. Apa yang menjadi sumber hukum dari pelaksanaan
asas oportunitas dalam KUHAP.
c. Apa yang menjadi alasan untuk memberikan seponering
kepada siapa diberikan, bagaimana pelaksanaan,
kendala dan solusinya.

F. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan dari analisis dan evaluasi hukum
tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Kitab Undang-

24
Undang Hukum Acara Pidana ini, dilaksanakan dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan dimulai dari Bulan Januari sampai
dengan bulan Desember 2006, dengan jadwal sebagai berikut :
1. Pengumpulan bahan untuk menyusun Proposal bulan Januari
s/d bulan Maret 2006;
2. Perbaikan Proposal bulan April s/d bulan Mei 2006;
3. Pengamatan Lapangan bulan April s/d bulan Mei 2006
4. Pengolahan Data bulan Agustus s/d bulan September 2006;
5. Penyusunan Laporan Akhir bulan Oktober s/d bulan Nopember
2006;
6. Perbaikan laporan dan penyerahan Laporan Akhir bulan
Desember 2006.

G. Susunan Keanggotaan Tim


Keanggotaan Tim ini bekerja berdasarkan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: G1-11.PR.09.03 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim-
Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tertulis dan tidak tertulis Tahun
Anggaran 2006, tanggal 16 Januari 2006 di Jakarta.

Dengan susunan keanggotaan sebagai berikut :

Ketua : Prof. Dr. (jur) H. Andi Hamzah

25
Sekretaris/Anggota : Sri Mulyani, SH.

Anggota : 1. Zainal Arifin, SH., MH.


2. Firman Wijaya, SH., MH.
3. Djami Rusti Djamaan, SH., MH.
4. Niniek Suparni, SH., MH.
5. Elyna Syukur, SH.
6. Dadang Iskandar, S.Sos.
7. Indry Meutia Sari S., SE.
8. Emmy Muzaemi, SH.

Asisten : 1. Ida Herawati, S.Sos.


2. Supriyadi

Pengetik : 1. Agus Sutarman


2. Darsono

BAB II
ASAS OPORTUNITAS

26
A. Pengertian
Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 c
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pasal
itu sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas. Hanya
dikatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang :
menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Apa artinya
“kepentingan umum” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 35 butir
c sbb: “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah
kepentingan bangsa dan negara dan.atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung,
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah
tersebut.”

Dengan penjelasan ini semakin tidak jelas pelaksanaan


asas oportunitas itu. Dengan adanya kata-kata : “Setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah
tersebut” menjadi makin kabur pengertiannya. Menjadi kabur
karena siapakah badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut? Hal ini berarti
wewenang oportunitas ini dibatasi secara remang-remang

27
sehingga tidak ada kepastian hukum dalam penerapannya.
Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan
penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas
oportunitas. Asas legalitas yang dianut oleh Jerman, Austria,
Italia dan Spanyol berarti semua perkara harus dilimpahkan ke
pengadilan oleh penuntut umum. Namun, dalam praktek di
Jerman, Jaksa dapat minta izin kepada Hakim untuk tidak
melakukan penuntutan dengan syarat tertentu. Di Itali ada
kecenderungan Jaksa yang mengulur-ulur perkara sehingga
menjadi lewat waktu (verjaard) sehingga tidak dapat dilakukan
penuntutan jika jaksa suatu perkara tidak dikirim ke Pengadilan.

Berbeda sekali dengan asas oportunitas yang dikenal


secara global yang merupakan wewenang semua Jaksa (bukan
oleh Jaksa Agung saja), untuk melaksanakan asas itu dengan
pengertian : “Penuntut umum dapat menuntut atau tidak
menuntut dengan syarat atau tanpa syarat suatu perkara ke
pengadilan” (the public prosecutor may decide – conditionally or
unconditionally – to make prosecution to court or not”).
Demikianlah sehingga negara-negara seperti di Nederland,
Jepang, Korea (selatan), Israel, Norwegia, Denmark, Swedia dll,
asas ini dilaksanakan secara penuh, sehingga di Nederland
perkara yang diajukan ke pengadilan hanya 50% dari semua
perkara yang diterima oleh penuntut umum. Di Jepang, perkara
yang diputus bebas dari pengadilan hanya 0,001% atau dalam

28
100.000 perkara yang diajukan penuntut umum ke pengadilan
baru satu diputus bebas, karena jaksa telah menyeleksi ketat
hanya perkara yang cukup bukti yang diajukan ke pengadilan,. Di
Norwegia bahkan jaksa dapat mengenakan sanksi sendiri
sebagai syarat untuk tidak dilakukan penuntutan ke pengadilan
yang disebut patale unnlantese. Hal ini untuk mencegah
menumpuknya perkara di pengadilan dan membuat penjara
menjadi penuh sesak. Baru-baru ini terbit peraturan di
Nederland, bahwa semua perkara yang diancam pidana dibawah
enam tahun penjara, jika kasusnya bersifat ringan, dengan
memperhatikan keadaan pada waktu delik dilakukan,
terdakwa telah berubah tingkah lakunya dikenakan
afdoening yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan syarat
terdakwa membayar denda administratif.

Dalam perkara korupsi pun Jaksa Belanda mengenakan


afdoening. Dalam table berikut ini nyata jumlah perkara korupsi
di Nederland yang diselesaikan di luar pengadilan (afdoening)
dengan menseponer perkara itu (tidak dilakukan penuntutan).

Afdoening menjadi luas untuk mencegah menumpuknya


perkara ke pengadilan dan penuh sesaknya penjara karena
semua perkara besar – kecil dilimpahkan ke pengadilan.
Beberapa perkara korupsi di Indonesia sesungguhnya dapat
dilakukan afdoening dengan cara semua uang yang diperoleh

29
dikembalikan ke negara seperti beberapa kasus KPU semisal
perkara Prof. Rusadi yang melanggar KEPRES tentang tender
tetapi dia tidak mendapat untung dari perbuatannya tersebut. Ini
berarti melakukan kebijaksanaan yang menyimpang, tetapi dia
sendiri tidak mendapat apa-apa dari perbuatan tersebut.

Jumlah perkara korupsi pejabat yang disidik di Nederland

Kurun Waktu Jumlah rata-rata perkara per tahun Persentase yang


diseponer

1965-1969 14 63%
1970-1974 14 66%
1975-1979 15 51%
1980-1984 19 70%
1985-1989 19 66%

Sumber : L.W.C. Huberts & J.M. Nelen : Corruptie in het Nederlandse


Openbaar Bestuur, Utrecht : LEMMA BV, 2005

B. Sejarah Penerapan Asas Oportunitas di Indonesia


Sebelum ketentuan undang-undang tentang Kejaksaan
1961 berlaku, dalam praktek telah dianut asas oportunitas.
Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas
oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di
negeri ini (Hindia Belanda), sekalipun sebagai hukum tak tertulis
yang berlaku. Jadi, pada zaman kolonial belum ada undang-
undang atau ordonansi yang mengatur tentang asas oportunitas,
walaupun Nederland sudah berlaku.

30
Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179
RO yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan
pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang
mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut asas legalitas
karena alasan di dalam Pasal 179 RO itu kepada
Hooggerecchtshof dahulu diberikan kewenangan kepada majelis,
karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain
mangnapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam
penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah
kepada Pokrol Jenderal (Procureur Generaal) supaya berhubung
dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak
memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada
alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan bahwa Pasal 179 RO
itu dianut asas opportunitas karena pada ayat pertama pasal itu
ditambah kata-kata “ kecuali jika penuntutan oleh Gubernur
Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah.

Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas


sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal
tersebut diatas merupakan pengecualian. E.Bonn-
Sossrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat UU Th
1848 menyusun Reglemen itu teristimewa Pasal 179 Tidak ingat
asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang (lihat esei).

31
Sebaliknya S. Tasrif menulis bahwa dengan Pasal 179
RO itu dapat dilakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan
wewenang oportunitas ditangan Jaksa Agung tersebut.
Pengawasan oleh Hooggerchtshof dibaca Mahkamah Agung dan
Procureur Generaal dibaca Jaksa Agung. Selanjutnya dikatakan
bahwa Pasal 179 RO itu masih berlaku berhubung dengan
Aturan Peralihan UUD 1945.

Menurut pendapat penulis15, karena Pasal 179 RO itu


bertentangan dengan Pasal 35 C Undang-undang Kejaksaan,
maka harus dipandang tidak berlaku lagi.

Begitu pula E. Bonn-Sosrodanukusumo, mengatakan


Pasal 179 RO tidak berlaku lagi karena alasan Undang-undang
Mahkamah Agung 1950 tidak menyebutnya, jadi pembuat
undang-undang tidak memberi wewenang pengawasan kepada
Mahkamah Agung seperti Hooggerecchtshof itu. Seperti
diketahui karangan E. Boon-Sosrodanukusumo tersebut ditulis
sebelum keluarnya undang-undang pokok Kejaksaan tahun
1961.

Pengawasan pelaksanaan wewenang oportunitas di


negeri Belanda dilakukan oleh Menteri Kehakiman, karena

15
Prof.Dr. Andi Hamzah, SH,”analisis dan Evaluasi Jukum Yentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam
Hukum Acara Pidana,BPHN,2006.

32
sesuai dengan sistem parlementer. Menteri Kehakiman
bertanggungjawab kepada parlemen, begitu pula di Indonesia
ketika masih berlaku UUD 1950.

Menurut pendapat penulis16 dengan berlakunya UUD


1945, maka Jaksa Agung mempertanggungjawabkan
pelaksanaan wewenang oportunitas kepada presiden, yang pada
gilirannya presiden mempertanggungjawabkan pula kepada
MPR/DPR.

Patut disebut disini bahwa asas oportunitas tidak berlaku


bagi acara pidana militer di negeri Belanda, yang menurut
penulis17 di Indonesia pun seharusnya demikian. Begitu pula
tentang pelanggaran berat HAM dan terorisme.

Dalam praktek, penerapan asas oportunitas itu dapat


dilekatkan syarat-syarat. Di negeri Belanda dianut juga asas
oportunitas menurut Pasal 167 ayat (2) Ned.SV, tidak dengan
tegas diatur tentang kemungkinan dilekatkannya syarat-syarat
pada penerapan asas itu. Namun dalam praktek, hal itu sering
diterapkan oleh penuntut umum sebagai hukum tidak tertulis.

16
Ibid
17
Ibid

33
Di Indonesia dalam hal schikking perkara-perkara
penyelundupan yang dalam undang-undang Tindak Pidana
Ekonomi tidak diatur, dipakai dasar asas oportunitas (Pasal 32 C
Undang-undang Kejaksaan) dan dilekatkan syarat-syarat
penseponeran yaitu pembayaran denda damai yang disetujui
antara pihak kejaksaan dan tersangka.

Suatu hal lagi yang perlu dijelaskan ialah apa yang


dimaksud dengan “demi kepentingan hukum” dalam
penseponeran perkara itu. Pedoman pelaksanaan KUHP
memberi penjelasan sebagai berikut:
“….Dengan demikian criteria “demi kepentingan umum” dalam
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah di dasarkan
untuk kepentingan negara dan masyarakat, bukan untuk
kepentingan masyarakat”.
Ini mirip dengan pendapat Supomo yang mengatakan sebagai
berikut:
“….Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda”
berlaku yang disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan
pidana, artinya Badan Penuntut Umum berwenang tidak
melakukan suatu penuntutan, jikalau dengan adanya
penuntutan itu dianggap tidak “opportun” tidak guna
kepentingan masyarakat.

Akan tetapi dengan ketentuan Pasal 35 c Undang-undang


tentang Kejaksaan yang baru (No. 16 Tahun 2004) seperti telah
disebut dimuka, arti “demi kepentingan umum” sangat

34
dipersempit. Di Inggris sampai diperluas meliputi kepentingan
anak di bawah umur. Di Nederland dan Jepang diterapkan bagi
orang yang berumur di atas 60 tahun.

C. Perkembangan Baru Asas Oportunitas


Negara yang mennganut asas Legalitas adalah Jerman,
Austria, Italia, Spanyol, dan Portugal.

Bahwa didalam KUHP Jerman, Jaksa yang menuntut


perkara tidak cukup bukti demikian juga dengan hakim pidana.
Akan tetapi dengan perkembangan baru, Jaksa di Jerman dapat
menghentikan perkara dengan meminta ijin dari hakim kalau
perkara kecil, misalnya : tersangka/terdakwa sudah tua, ganti
rugi sudah dibayar.

Yang betul-betul menganut asas oportunitas adalah Italia,


namun di Italia karena bertumpuknya perkara sehingga tidak
seimbang antara jumlah perkara dan sumber daya manusia,
sehingga Jaksa di Italia menunggu masa Verjaard, atau delik
aduan tidak menunggu dari korban.
Di Italia berkembang tidak dianut lagi inquisitoir tetapi adversary
sistem.
Di Jepang yang menganut asas oportunitas, sekarang dengan
perkembangan baru sudah menganut sistem juri.

35
Belanda telah lebih memperluas lagi penerapan asas
oportunitas dengan ketentuan baru bahwa semua perkara yang
ancaman pidananya dibawah 6 tahun penjara dapat di
afdoening, tetapi hanya perkara ringan saja. Penyelesaian
perkara berdasarkan asas oportunitas dengan cara mengenakan
denda administratif, sehingga dapat menambah pendapatan
Negara, mengurangi jumlah perkara di pengadilan, dan
mengurangi jumlah nara pidana.

Dipakai denda administratif karena apabila hanya dipakai


denda saja, sama dengan jaksa menjadi hakim. Di Indonesia,
tahun 1950 an diterapkan afdoening, yang pada waktu itu
dikenakan pengadilan khusus kepada penyelundup dengan
membayar nilai selundupan yang jumlahnya telah disepakati
antara jaksa dan tersangka, hal ini sama dengan transaksi di
Belanda pada tahun 1950 s/d 1960 an tetapi di Belanda tidak
dipakai transaksi.

Di Norwegia Jaksa menerapkan mirip dengan Belanda


yaitu dengan membayar ganti kerugian, patale Unnlatese
(dengan membayar ganti kerugian perkara diselesaikan). Jadi
dengan demikian Jaksa di Norwegia disebut Semi Judge.

36
BAB III
ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA

A. SEJARAH OPPORTUNITAS

I. DI INDONESIA

1. Sebelum Zaman Kolonial

Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman


pendudukan Belanda azar opportunitas tidak diketahui
secara tertulis.

Oleh karena di Indonesia pemerintahannya pada waktu itu


masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa
raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat
kekuasaannya sebagai raja atau Sultan.

2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.

Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar


di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal
179 RO sebagai dasar pelaksanaan azas opportunitee,
18
meskipun dalam analisa Andi Hamzah menulis Pasal 32C
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal itu berbunyi : “Jaksa Agung dapat
18
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha Jaya, Jakarta, 1996,hlm.15-16

37
menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan
umum”.

Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu.


Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini
asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang
berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis
yang berlaku.

Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 RO


yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan
pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang
mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut atas legalitas
karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada
Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila
Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan
atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi
kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran,
memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya
berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu
dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan
penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu. Yang
mengatakan dengan Pasal 179 RO itu dianut asas
oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu ditambah
dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan oleh Gubernur
Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”.

38
Vonk mengatakan harus dibedakan antara
oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai
kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan
pengecualian.

E. Bonn-Sosrodanukusumo mengatakan bahwa


waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun
reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas
oportunitas dalam bentuknya yang sekarang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas


opportunitet tetap berlanjut pada zaman kolonial.

3. Zaman Jepang

Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu


lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada
perubahan apapun terhadap perundang-undangan, kecuali
penghapusan Raad Van Justitie sebagai pengadilan untuk
golongan Eropah, sebagaimana dijelaskan oleh Andi
Hamzah 19

4. Zaman Kemerdekaan

19
Op-Cit Hlm.55

39
Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945)
keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahan
pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana,
oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian
dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok
Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal
8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk
menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar
alasan “Kepentingan Umum”20

Hal mana kemudian diperkuat dalam Undang-Undang


Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32
( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mempunyai
tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang
lebih dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan
KUHAP 21,sebagai berikut :

Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang


menjadi wewenang Jaksa Agung (Penjelasan resmi pasal
77). Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal
77 yaitu berupa :

“Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak


termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum
yang menjadi wewenang Jaksa Agung” maka dapat
20
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan
Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta, hlm. 37.
21
Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Penerbit
Yayasan Pengayoman, Cetakan ke3, Jakarta, hlm. 88-89.

40
disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi
perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan
demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu
dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya
perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam
KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang-
Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok
Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari
perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung
selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada
keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu
perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana
agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.

Maksud dan tujuan undang-undang memberikan


kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk
menghindarkan tidak timbulnya penyalah gunaan
kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas,
sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di
negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas
oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat
kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi.

Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka


pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan

41
dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya
diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi
kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai
alat bukti bagi yang bersangkutan.

Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan


umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan
penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di
kemudian hari.

Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin


yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana
kriteria “demi kepentingan umum” itu yang akan digunakan
?.

Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik


KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun
1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan
“kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita
harus perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa
dalam menyampingkan perkara yang menyangkut
kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa
bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi negara
yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang
bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM,
KAPOLRI bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan
demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam

42
penerapan asas oportunitas di negara kita adalah
didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan
bukan untuk kepentingan pribadi.

Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini


tetap menganut azas oportunitas.

II. DI LUAR NEGERI

Uraian lengkap sejarah perkembangan asas


opportunitas telah dikemukakan oleh RM. Surachman, SH dan
Dr. Andi hamzah, SH., dalam bukunya : Jaksa di berbagai
Negara, peranan dan kedudukannya 22

1. Dua Asas yang Berlawanan.

Tak dapat disangkal, dalam hubungannya dengan


pengadilan, jaksa mempunyai hak-hak khusus dan tanggung
jawab khusus yang lebih daripada hak-hak dan tanggung
jawab polisi. Dalam hal apapun jaksa itu adalah penyaring
sistem peradilan pidana, karena dalam hal pengajuan
perkara-perkara pidana ke persidangan, pengadilan itu
tergantung kepada keputusan jaksa apakah ia akan
menuntut perkara itu atau tidak. Bahkan dalam jurisdiksi-
jurisdiksi bahwa jaksa di dalam mengesampingkan perkara
22
RM. Surachman, SH., Dr. Andi Hamzah, SH., Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya, hlm. 13-25.

43
diharuskan mendapat persetujuan pengadilan, pada
umumnya toh pengadilan akan memberikan jawaban yang
menguntungkan permintaan jaksa.

Di negara-negara yang apabila polisi memiliki


kekuasaan diskresi yang sangat terbatas, kebijaksanaan
(diskresi) penuntutan jaksa itu penting sekali, terutama
bilamana jaksa mempunyai kekuasaan menyidik dan
kekuasaan mengarahkan aparat penegak hukum lain. Dalam
hubungan ini jaksa di Jepang atau di negara Belanda
merupakan contoh yang tepat tentang pejabat hukum publik
yang demikian itu, artinya menduduki posisi utama dalam
penyelenggaraan peradilan pidana.

Kebijaksanaan (diskresi) penuntutan yang dijalankan


di Jepang dan Negeri Belanda itu bersumber dari asas yang
dikenal sebagai “asas oportunitas” atau “asas kebijaksanaan
menuntut” (discretionary prosecution). Asas tersebut
merupakan kebalikan dari “asas legalitas”, atau “asas
kewajiban menuntut (mandatory prosecution). Dalam hal
oportunitas, jaksa boleh memutuskan tidak akan menuntut
perkara pidana apabila penuntutan itu tidak dapat dilakukan
atau tidak patut dilakukan atau tidak dikehendaki umum atau
pemerintah daripada apabila penuntutan dilakukan.

44
Sedangkan dalam asas legalitas, jaksa hampir selalu akan
mengajukan perkara-perkara ke pengadilan untuk diadili oleh
hakim, atau untuk minta persetujuan hakim untuk
mengesampingkannya.

2. Jurisdiksi Asas Oportunitas

Perancis sudah sejak tahun-tahun revolusi


menerapkan asas oportunis. Kemudian asas tersebut
diterapkan di Belgia. Sekalipun begitu, Muller
mengemukakan bahwa di Perancis dan Belgia asas
oportunis itu tidak dikenal secara resmi. Toh kejaksaan di
kedua negara boleh mengenyampingkan perkara seperti apa
yang dikenal dalam bahasa Perancis sebagai classer sans
suite.

Selanjutnya asas oportunis diikuti oleh Negeri


Belanda, Norwegia, Swedia, dan kemudian oleh Jepang,
Korea Selatan, Indonesia dan Israel.

Asas Oportunitas yang sejak tahun 1887


diundangkan di Norwegia telah memberi wewenang diskresi
penuntutan yang luas sekali kepada para jaksa di Norwegia,
lebih luas daripada wewenang yang dimiliki oleh para jaksa
di Negeri Belanda dan Jepang. Para Jaksa Norwegia bahkan
boleh menjatuhkan penghukuman tanpa campur tangan
pengadilan.

45
Berdasarkan asas oportunitas, pada jaksa negara-
negara bersistem Eropa Kontinental diberi wewenang
menjatuhkan denda maksimum untuk menyelesaikan perkara
diluar pengadilan, dan terutama di Swedia, pembayaran
denda tersebut merupakan pengganti sah untuk sanksi
penjara enam bulan. Praktek semacam itu di Belanda
disebut transactie dan bahkan boleh diterapkan untuk
penyelesaian perkara-perkara yang lebih berat. Lebih-lebih
jaksa Belanda banyak sekali menghentikan proses perkara
dan sudah lama hal tersebut dianggap sebagai keputusan
yang “normal” dan tidak tergantung kepada persetujuan
pengadilan. Itulah sebabnya dari perkara-perkara yang
masuk ke Kejaksaan, perkara-perkara yang berakhir di
pengadilan tidak mencapai 50 persen. Keadaan demikian itu
menggambarkan kebijaksanaan (diskresi) penuntutan para
jaksa di Negeri Belanda. Lebih jauh lagi, berdasarkan hukum
Belanda, mereka menggunakan kekuasaan menghentikan
penuntutan walaupun bukti-buktinya cukup untuk
menghasilkan penghukuman apabila menurut perkiraannya
penuntutan hanya akan merugikan kepentingan umum,
pemerintah, atau perorangan. Praktek tersebut dikenal
sebagai “penghentian penuntutan atau pengesampingan
perkara karena alasan kebijakan (policy).

46
Kenyataan memang Jaksa Belanda boleh
memutuskan akan menuntut atau tidak akan menuntut
perkara dengan atau tanpa syarat. Wewenang tersebut
didasarkan atas tiga hal, Pertama dakwaan dicabut karena
alasan kebijakan (antara lain, tindak pidananya tidak
seberapa, pelakunya sudah tua, dan kerugian sudah diganti).
Kedua, perkara dikesampingkan karena alasan teknis
(biasanya lebih dari 50 persen karena buktinya kurang).
Ketiga, melalui penggabungan, yaitu menggabungkan
perkara tersangka dengan perkaranya yang sudah diajukan
ke pengadilan.

Sementara itu, Jaksa Belgia boleh menjatuhkan pre-


trial probation atau penghentian penuntutan dengan
percobaan sebelum perkaranya diadili. Cukup unik, lembaga
semacam itu diterapkan di Jerman, negara yang justru
menganut asas legalitas.

Di Jepang, sudah lama kekuasaan penuntutan


dimonopoli oleh Jaksa. Sekalipun polisi Jepang mempunyai
kekuasaan penyidikan utama, namun menurut undang-
undang, polisi itu tergantung pada pengarahan dan pada
tindakan-tindakan yang menentukan dari jaksa. Apalagi di
Jepang disamping dapat melakukan penyidikan sendiri. Yang

47
tidak kurang pentingnya, Jepang sudah lama mempraktekkan
sistem penangguhan penuntutan yang juga sudah lama
diterima baik oleh masyarakat. Sistem tersebut
membolehkan jaksa untuk menangguhkan penuntutan pelaku
tindak pidana kalau menurut pandangannya penuntutan itu
tidak perlu “mengingat watak, umur, keadaan pelaku tindak
pidana, berat ringannya dan keadaan perbuatannya, atau
kondisi yang diakibatkannya”. Itulah sebabnya lebih dari 50
persen perkara-perkara tindak pidana kekayaan (misalnya
pencurian) yang dilakukan oleh pelaku yang sudah tua sekali
biasanya dihentikan proses perkaranya oleh Jaksa.

3. Jurisdiksi Asas Legalitas.

Jerman, Italia, Austria, Spanyol dan Portugal adalah


contoh negara-negara yang menjalankan asas legalitas.

Tetapi Jerman setelah menerapkan asas legalitas


dengan begitu ketatnya, toh akhirnya memberikan
kelonggaran bagi beberapa pengecualian seperti yang dapat
dibaca dalam Strafprozessordnung (KUHAP Jerman) pasal-
pasal 152, 153-153e, 154-154e. Para Jaksa Jerman misalnya
boleh mengesampingkan perkara termasuk perkara
membongkar rumah, kejahatan kalangan atas (white colar
offences), dan kejahatan seks tanpa kekerasan terhadap
anak dibawah umur, apabila menurut mereka “diperkirakan

48
bahwa bobot kesalahannya ringan dan kepentingan umum
tidak menghendaki dijalankannya penuntutan. Dalam hal
penghentian proses perkara memerlukan persetujuan
pengadilan, maka hampir selamanya pengadilan akan
menyetujuinya. Lagi pula para Jaksa Jerman itu boleh
mengesampingkan perkara-perkara yang tidak berat yang
melanggar ketentuan-ketentuan dalam Ordnungswidrigkeiten
(ketentuan-ketentuan diluar KUHPidana Jerman).
Singkatnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara
pelanggaran tindak pidana diluar KUH Pidana, para Jaksa
Jerman itu boleh menerapkan asas oportunitas, juga seperti
disinggung dimuka, mereka boleh menerapkan penghentian
penuntutan dengan percobaan dengan cara membiarkan
beberapa tindak pidana tertentu tidak dituntutnya.

Di Italia, Jaksa tidak boleh mengesampingkan


perkara, apabila bukti-buktinya cukup. Namun Jaksa Italia
punya banyak cara untuk mengendurkan penerapan asas
legalitas itu. Misalnya ia dapat bersikap lain di dalam menilai
kejujuran saksi, didalam menimbang bukti-bukti, dan didalam
menerapkan beban pembuktian. Tidak seperti biasanya, ia
pun dapat secepatnya menyimpulkan tidak lengkapnya bukti
yang memberatkan terdakwa, karena terdakwa tersebut tidak
mempersulit pemeriksaan atau ia boleh menuntut tersangka

49
yang melakukan beberapa tindak pidana hanya dengan satu
dakwaan saja atau hanya dengan dakwaan yang lebih ringan
saja bukan dengan dakwaan yang memberatkan. Didalam
menentukan apakah sebuah perkara seorang terdakwa yang
tidak ditahan akan dikirimkan kepada magistrat penyelidik
(investigating magistrate), Jaksa Italia “boleh membiarkan
perkaranya menjadi basi dan akhirnya menyimpan perkara
tersebut ke dalam “arsip”nya setelah dengan mengulur-ulur
waktu ia memperoleh persetujuan pengadilan untuk
menghentikan penyelidikan.

Dalam pada itu Austria hampir selalu konsisten


menerapkan asas legalitas. Apabila keadaan tindak pidana
atau keadaan pelakunya patut dipertimbangkan maka jaksa
akan meminta pengadilan untuk menghentikan proses
perkara. Akan tetapi akhir-akhir ini undang-undang mulai
memperkenalkan “pengesampingan penuntutan dengan
masa percobaan” (conditional waiver of prosecution).
Sekarang rupanya Jaksa Austria boleh mengesampingkan
perkara dengan syarat.

4. Jurisdiksi Hukum Inggris-Amerika

Di negara-negara bersistem hukum Inggris-Belanda


(Anglo-American) tidak ada silang pendapat tentang kedua
asas penuntutan yang berlawanan tersebut. Di Inggris

50
sebelum tahun 1986, misalnya sekali Jaksa mulai menuntut,
ia tidak dapat menghentikan proses perkara. Apabila Jaksa
ingin menghentikan proses perkara, ia akan menyatakan di
depan pengadilan bahwa bukti-bukti perkaranya tidak ada,
padahal bukti-bukti sebenarnya cukup, lalu minta persetujuan
pengadilan untuk menarik kembali perkaranya. Mungkin saja
pengadilan menolak permintaan tersebut atau menyerahkan
perkara tersebut kepada Direktur (Jenderal) Penuntutan
Umum yang pada gilirannya akan mengambil alih perkara
tersebut atau ia akan meminta atasan langsungnya, yaitu
Jaksa Agung, agar menempuh upaya hukum nolle prosequi,
yaitu pemberitahuan kepada pengadilan bahwa Jaksa Agung
tidak akan menuntut perkara tersebut.

Sekarang di dalam menentukan akan menuntut atau


tidak akan menuntut, Jaksa Inggris dan Wales akan merujuk
Pasal 10 Undang-Undang Penuntutan Tindak Pidana Tahun
1985 (Prosecution of Offences Act) yang menetapkan
“bahwa untuk meneruskan suatu perkara harus ada bukti-
buktinya yang cukup dan benar-benar dapat diharapkan akan
menghasilkan penghukuman oleh hakim, sedangkan
penuntutannya harus demi kepentingan umum”.

51
Dasar filsafat kebijaksanaan (diskresi) penuntutan di
Inggris dan Wales tergambar dalam pernyataan berikut ini
yang dikemukakan oleh Sir Hartley Shorecross sewaktu
menjadi Jaksa Agung empat dasawarsa yang lalu :

Tidak pernah menjadi peraturan di negeri ini, saya


harap tidak akan pernah terjadi, bhawa tersangka
pelaku tindak pidana harus dengan sendirinya menjadi
subyek penuntutan. Sungguh peraturan-peraturan
yang pertama sekali (tentang penuntutan tindak pidana)
yang menjadi dasar kerja direktur (jenderal) penuntutan
umum menyatakan bahwa ia harus ………… menuntut
“setiap kali ternyata bahwa tindak pidananya atau
keadaan cara melakukannya berisfat sedemikian rupa
sehingga penuntutan atas pelanggaran tadi diperlukan
demi kepentingan umum”. Hal mana masih tetap
merupakan pertimbangan utama.

Singkatnya, seperti rekan imbangannya di Negeri


Belanda, Jaksa Inggris boleh mengesampingkan perkara
karena alasan kebijakan (misalnya tindak pidana yang
kurang berarti, pelakunya sudah tua, masih remaja, sakit
jiwa) dan karena alasan teknis (misalnya, tidak cukup bukti-
buktinya, peristiwanya sudah lama sekali, bobot
kesalahannya ringan”).

Sama halnya di Skotlandia, negara bersistem hukum


Inggris yang dalam pola kebijaksanaan (diskresi)
penuntutannya menyerupai tradisi Eropa Kontinental, tidak

52
ada “ketentuan hukum yang mengharuskan suatu tindak
pidana dituntut”. Atas dasar fakta tersebut maka di
Skotlandia “Tidak seorangpun dapat memerintah Lord
Advocate (Jaksa Agung Skotlandia) untuk mnuntut dan tidak
seorangpun dapat memerintah Procurator Fiscal (Jaksa
Skotlandia) mana pun untuk menuntut, kecuali Lord
Advocate.

Dalam menetapkan akan menuntut atau tidak akan


menuntut, tidak sedikit faktor yang harus dipertimbangkan
oleh Jaksa Skotlandia Pertama, harus dipertimbangkan
apakah kejahatan atau tindak pidananya sudah dilakukan.
Lalu harus dipertimbangkan apakah secara hukum buktinya
cukup. Berikutnya harus dipertimbangkan apakah “subyek
perkaranya cukup berbobot untuk dijadikan subyek
penuntutan demi kepentingan umum”.

Kriteria “kepentingan umum” sebagai faktor-faktor


untuk dipertimbangkan Jaksa di Inggris, Wales, Irlandia Utara
dan Skotlandia dalam memutuskan tidak akan menuntut itu
dapat diartikan serupa dengan faktor-faktor yang menjadi
dasar pertimbangan untuk memutuskan tidak menuntut
karena alasan kebijakan (policy) di jurisdiksi-jurisdiksi dan
negara-negara yang menerapkan asas oportunitas.

53
Di Amerika Serikat, para jaksa (misalnya
U.S.Attorney, Country Attorney dan District Attorney atau
State Attorney) hampir-hampir mandiri didalam menjalankan
kekuasaan diskresinya itu sejak tahap paling awal
penyidikan sampai dengan proses sesudah peradilan.
Keputusannya dibidang penuntutan “hampir bebas sama
sekali dari pengawasan orang atau badan lain”. Ia dapat
menghentikan proses perkara dengan jalan menghentikan
penuntutan atau melakukan kompromi mengenai dakwaan,
yang dalam bahasa praktisi hukum Amerika disebut plea
bargaining atau “kompromi pengakuan” sehingga tersangka
boleh mengakui kesalahannya (plead guilty) sebelum ia
diadili. Apabila Jaksa menerima tawaran kompromi tersebut
maka ia akan mengurangi dakwaan aslinya atau akan
meminta pengadilan untuk menjatuhkan pidana yang lebih
ringan. Tidak seperti di Inggris kedua belah pihak kerap
menggunakan dan saling menawarkan kompromi semacam
itu. Lagi pula pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat tidak
terikat untuk menerima atau menolaknya.

Praktek semacam itu dikenal di Republik Singapura


dimana “Jaksa-Polisi” (police prosecutor) melakukan
negosiasi dengan pembela di depan Jaksa yang disana
disebut “DPP” (Deputy Public Prosecutor) untuk menarik

54
kembali perkara atau untuk mengurangi dakwaan.
Persetujuan Jaksa (DPP) diperlukan karena sekalipun di
mahkamah rendah penuntutan itu biasanya dilakukan oleh
“Jaksa-Polisi”, namun “Jaksa-Polisi” tidak berwenang
mencabut kembali dakwaan. Dalam pada itu pengadilan-
pengadilan Singapura tidak diperbolehkan ikut melakukan
“kompromi” semacam itu. Sebenarnya, ada saat-saat dimana
penuntutan tidak akan dilakukan sekalipun bukti-buktinya
cukup untuk membuktikan dakwaannya. Bagi kita jelas
bahwa asas oportunis diterapkan di Singapura.

Di Filippina, diversi (penyimpangan yang


diperbolehkan oleh peraturan dan praktek) sudah lama
dijalankan oleh Kantor Fiscal (Kejaksaan Filipina). Dalam
perkara estafa (penipuan) dan tindak pidana culpa, misalnya
negosiasi antara tersangka dan korban atau pembayaran
ganti rugi kepada korban sering diupayakan sebagai
alternatif lain untuk penuntutan. Mengenai tindak pidana
lainnya, ketetapan Jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut
itu didasarkan atas perolehan bukti. Adalah tugas fiscal pula
untuk tidak melakukan penuntutan, jika ternyata bukti-bukti
tidak mendukungnya.

55
Muang Thai, yang boleh dikatakan berorientasi
kepada pola penuntutan tradisi hukum Inggris (common-law),
tidak membuat ketentuan hukum yang memberi wewenang
kepada Jaksa untuk mencampuri petugas penyidik yang
sedang menjalankan penyidikan perkara pidana. Akan tetapi,
KUHAP Muang Thai mengatur bahwa begitu penyidik
menyerahkan berkas penyidikan kepada Jaksa, penyidik
tersebut harus mengindahkan kebijaksanaan (diskresi) Jaksa
mengenai penghentian penyidikan atau penyidikan tambahan
dan mengenai ketetapan akan menuntut atau tidak akan
menuntut perkara. Jaksa Muang Thai pun benar-benar
mempunyai wewenang diskresi yang luas. Sekalipun bukti-
buktinya tidak cukup ia boleh mengajukan perkara yang
bersangkutan ke pengadilan. Sebaliknya, karena sesuatu
alasan, ia boleh menghentikan penuntutan sekalipun bukti-
buktinya cukup untuk menghasilkan penghukuman oleh
hakim. Tidak dapat disangkal, tindakan penghentian
penuntutan sudah lama digunakan oleh Kejaksaan Muang
Thai.

B. PERKEMBANGAN ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD


1945 alinea pertama : Bahwa Undang-Undang Dasar ialah

56
hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.

Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak


hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundang-
undangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul dalam
penyelenggaraan Negara (konvensi) maupun kebiasaan-
kebiasaan yang hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat.

Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di


Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum
adat yang sifatnya heterogen, lain daerah lain pula adatnya.
Penyelesaian masalah identik penyelesaian yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga adat dengan perangkat-perangkat desa. Pada
masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan
hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan
kesatuan termasuk lembaga-lembaganya.
Pandangan rakyat Indonesia waktu itu melihat alam
semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang
harus dijaga keharmonisannya. Setiap pelanggaran hukum
(adat) para penegak hukum harus memulihkannya dengan

57
putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk
sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal
dari bahasa Sansekerta “adhyaksa” artinya sama dengan hakim
pada dunia modern sekarang ini.

Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di


Indonesia dengan asas konkordasi, segala perubahan
perundang-undangan di Negeri Belanda diberlakukan pula di
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula
dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR (Stb
1926 No. 559 jo 496). HIR sendiri merupakan perubahan dari IR
yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau
penuntut umum, yang dulu di bawah pamong praja secara bulat
terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officier van Yustitie
(untuk gol Eropa) dan Proceireur Generaal sekarang Jaksa
Agung untuk Bumi Putra, sehingga Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi..

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof.Dr.Andi


Hamzah, SH dalam buku “Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi
Revisi (hal 13) : bahwa dalam hukum acara pidana dikenal
adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk
melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut

58
“Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum itu disebut
Jaksa.

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum


sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang boleh
melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut
umum atau Jaksa.
Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik.
Hakim tidak boleh meminta agar setiap delik pidana diajukan ke
Pengadilan. Jadi hakim harap menunggu saja penuntutan yang
diajukan dari penuntut umum.
Dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal adanya
2 (dua) asas yaitu :
1. Asas legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan
penuntutan suatu delik (hal ini tidak dianut di Indonesia)
2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut
seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut
pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, jadi
demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak
pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan.

AZ Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas


oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak

59
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi
yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Undang-Undang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kejaksaan RI yang terkait dengan asas
oportunitas adalah sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1) Kejaksaan RI selanjutnya disebut Kejaksaan,
ialah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas
sebagai penuntut umum.
Pasal 2 Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal 1.
Kejaksaan mempunyai tugas :
(1) a. mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana
pada Pengadilan yang berwenang.
b. menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana
Pasal 7 ayat (1). Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi
(2) Jaksa Agung memimpin dan mengawasi para
jaksa dalam menjalankan tugasnya
Pasal 8 : Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara
berdasarkan kepentingan umum.

Dalam penjelasan UU No.15 Tahun 1961 pasal 8


ditekankan bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa Agung RI
yang mempunyai hak mengesampingkan suatu perkara
berdasarkan kepentingan umum. Selanjutnya meskipun tidak
ditegaskan dalam pasal ini namun dapat dimengerti bahwa

60
dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut
kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah
dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam
perkara tersebut antara lain : Menteri/kepala Kepolisian Negara,
Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung
kepada Presiden/Perdana Menteri.

Pasal 32 c Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang


Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut
di Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut : “Jaksa Agung
dapat menyampigkan perkara berdasarkan kepentingan umum”.

Sebelum ada ketentuan tersebut di Indonesia dalam


praktek telah dianut asas oportunitas yang lazim dianggap
sebagai hukum tidak tertulis. Sebagaimana hukum yang berlaku
di Indonesia mengakui kebenaran hukum dasar yang tertulis dan
tidak tertulis, yang tertulis berupa produk peraturan perundang-
undangan yang terbentuknya melalui Dewan Legislatif (DPR)
bersama-sama dengan pemerintah tentu membutuhkan waktu
panjang dan pembahasan bertele-tele serta biaya mahal
sehingga keberadaannya sangat terbatas, jika dibandingkan
dengan kebutuhan hukum yang mengatur perkembangan
kehidupan masyarakat semakin pesat ibarat deret ukur,
sedangkan jumlah peraturan perundang-undangan kurang
memadai ibarat deret hitung. Oleh karena itu untuk mengisi

61
kekosongan hukum di Indonesia mengalami keberadaan hukum
yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum agama, hukum
kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat dihayati dan diakui
keberadaannya oleh rakyat Indonesia.

Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada


dasarnya ialah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-
perkara kecil yang ancaman hukumnya dibawah 6 (enam) tahun,
dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan
sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan ke Pengadilan,
karena hak penuntutan ada ditangan Jaksa.

Meskipun aturan tertulis mengenai asas oportunitas tidak


jelas, namun di Indonesia tetap memberlakukannya. Hal ini
nampak diberbagai unit usaha/kelompok usaha yang memiliki
karyawan lebih dari 100 (seratus) orang umpamanya, tentu
memiliki satuan keamanan, pengawas bahkan konsultan hukum,
apabila terjadi pelanggaran hukum/delik pidana di lingkungannya
akan teratasi dengan tebusan uang damai, jika tidak dapat
diselesaikan baru ke kantor polisi, meskipun di kepolisian juga
diusahakan musyawarah untuk damai. Walaupun berapa saja
jumlah uang tebusan pada umumnya orang lebih suka damai
dari pada melalui proses pengadilan yang berlarut-larut yang

62
menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak
terbayangkan jika semua perkara/delik pidana yang terjadi di
masyarakat seperti Indonesia ini harus mengajukan tuntutan
melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak akan
mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa,
hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk
ke pengadilan.

Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus


dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai
pengecualian dalam hal tersebut di atas oportunitas dianggap
sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan
pengecualian tersebut sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan
asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan
Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan
jika dianggap tidak oportunitas jakni guna kepentingan umum.

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


Pidana. Pasal 1 butir 6 huruf a dan b, Pasal 137 tidak mengatur
secara tegas tentang asas oportunitas.

Pasal 1 butir 6
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

63
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14 huruf h :
Penuntut umum mempunyai wewenang :
h. menutup perkara demi kepentingan hukum.

Apa yang dimaksud dengan penutup perkara demi


kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan,
kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan
malalui perdamaian/ganti rugi (Opportuun)
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Dalam undang-undang ini ada beberapa pasal yang mengatur
mengenai pelaksanaan asas oportunitas yaitu Pasal 1 ayat (1),
ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c.
Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
(1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.

64
(2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 30 ayat (1) :


Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang :
a. melakukan penuntutan
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Pasal 35 Jaksa Agung memunyai tugas dan
wewenang :
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Penjelasan Pasal 35 huruf c :
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan
masyarakat, mengesampingkan perkara sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
setelah memperhatikan saran dan pendapat Badan-badan
Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan
masalah tersebut.

Baik secara historis maupun yuridis di Indonesia


menganut asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya

65
keberadaan hukum dasar tidak tertulis, oportunitas sebagai
pengecualian. Sedangkan secara yuridis adanya undang-undang
pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 UU No.15 Tahun
1961. Pasal 32 huruf c UU No.5 Tahun 1991 dan Pasal 35 huruf
c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I.
Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas
oportunitas masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang
berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu
kepentingan Negara dan masyarakat.
Hal inilah yang menjadi pertimbangan penentu, boleh tidaknya
perkara pidana dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang
dilakukan.

Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena


alasan kebijakan (policy) yang meliputi : perkara ringan, umur
terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, hal ini
dilekatkan syarat, “penseponeran” yaitu pembayaran denda
damai yang disetujui antara pihak kejaksaan dan tersangka
(Prof.Dr. Andi Hamsah,S.H.”Hukum Acara Pidana Indonesia).

Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan Korupsi senilai


Rp.1,3 trilyun dan US$ 419 juta pada 7 (tujuh) yayasan yang
dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus
2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di

66
persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat
sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), hal ini masih dalam
proses perkara. Presiden SB Yudoyono minta agar diendapkan
dulu wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden
Suharto. DPR juga membentuk tim pengkaji kasus Pak Harto
untuk mengontrol pemerintah dalam membuat kebijaksanaan
atas mantan Presiden itu. Wakil Presiden meminta agar kasus
Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia dan jasa-jasanya
kepada Negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses
hukum Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh
(Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun XXXVII
hal 1)

Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi


kepentingan umum adalah tugas berat, bukan perkara ringan,
kepastian hukum dan keadilan harus ditegakkan melalui proses
hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui pengembalian
uang Negara/ganti rugi/uang damai (opportuun) yang jumlahnya
ditentukan Jaksa Agung melalui kesepakatan Presiden, Wakil
Presiden, MA,MK,KY, KAPOLRI, dan Menteri-menteri terkait

Azas oportunitas berkaitan dengan wewenang


penuntutan dalam perkara pidana yang merupakan tugas dan
wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum.

67
Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut
Umum kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan
perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan maksud apabila
Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan
keputusannya tentang terdakwa.
Dikenal ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang
penuntutan ini :
1. Opportiniteits Principe
2. Legaliteits Principe.

Ad.1 Opportiniteits Principe.


Azas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana
yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.
Ad.2. Legaliteits Principe.
Azas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang
dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.

Sekarang timbul pertanyaan principe manakah yang dianut


di Negara kita ?
Sampai sekarang sistem yang dianut oleh Negara kita adalah “Het
Opportiniteits Principe.”
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku
baik KUHAP maupun Undang-Undang Pokok Kejaksaan.

68
Sebenarnya azas ini sudah dianut sejak masa Pemerintahan
Hindia Belanda.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum


(Jaksa) tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang
dituduh melakukan tindak pidana adalah “Kepentingan Umum”.
Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan tidak
dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini Penuntut Umum akan
mengenyampingkan perkara pidana itu (seponier) artinya berkas
perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan.

Sebetulnya lembaga seponering perkara pidana (azas


oortunitas) mirip dengan lembaga abolisi yang juga meniadakan
penuntutan perkara pidana, namun abolisi merupakan wewenang
Kepala Negara dalam Undang-Undang Dasar 45.

Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara di luar


sidang untuk perkara-perkara pidana ringan yang ancaman
hukumannya denda.

Memberlakukan azas oportunitas ini sejalan dengan apa


yang dikemukakan oleh Van Appledorn bahwa tidak semua delik
perlu dituntut pelakunya terutama bilamana akibatnya sangat
kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum. Bukankah
pidana itu telah diakui hanya sebagai ultimum remedium ?

69
Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan
mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu
menyampingkan perkara pidana yang sudah jelas pembuktiannya,
mengingat tujuan dari azas ini aalah kepentingan Negara maka
Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab
kemungkinan ada bahwa dengan memakai kepentingan Negara
sebagai alasan seorang Jaksa menyampingkan perkara pidana
padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk kepentingan pribadi
atau golongan atau kelompok tertentu.

Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan


(omkoping) dari terdakwa. Dalam hal ini ada pengawasan yang
dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua Jaksa dengan
adanya hierarchie dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung
dapat memerintahkan kepada Jaksa supaya suatu perkara pidana
dituntut atau tidak dituntut dimuka pengadilan.

Dalam perkembangannya penerapan asas oportunitas


terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi
kepentingan hukum dengan perkara pidana ditutup demi
kepentingan umum ex azas oportunitas.
Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak
diseponier secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana
ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup definitif

70
demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula
perkara demikian cukup alat buktinya.
Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Netherland
dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak
tertulis) dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa
kemerdekaan s/d tahun 1961 – sekarang dalam UU Pokok
kejaksaan UU No.16 Tahun 2004 asas ini masih dicantumkan.

Di Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang


menyampingkan perkara pidana (tidak dituntut) berdasarkan
kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan
weweanng seperti disinyalir oleh MVT SV Netherland. Jaksa
Agung dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi. Yang berbeda adalah di Netherland ada
kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes
penseponieran perkara pidana dan dapat memohon kepada
pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan di Indonesia
hal ini tidak diatur. Di Netherland dikenal 2 (dua) macam
seponiering yaitu :
Seponering tidak bersyarat dan seponering bersyarat. Undang-
Undang Pokok Kejaksaan di Indonesia tidak menyebut adanya 2
(dua) macam seponiering perkara pidana berdasarkan asas
oportunitas, namun ketentuan tentang asas oportunitas yang
terdapat di dalam UU Pokok Kejaksaan tidak bertentangan
dengan pengertian seponiering bersyarat karena seponiering

71
perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk
beleidsvrijheid (kebebasan menentukan kebijaksanaan) yang
dalam hukum administrasi Negara disebut dengan Freies
Ermessen. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof.MR. A.L. Melai
yang menyatakan bahwa wewenang penuntut umum dalam hal
meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan
Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan
berhubung karena hukum memuntut adanya keadilan dan
persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin
kemanfaatan dan kedamaian.

C. ASAS OPORTUNITAS DALAM PRAKTEK

Sejalan dengan perkembangan polemik pemanfaatan


Asas Oportunitas dalam Tindak Pidana Korupsi, masyarakat dan
sarana pembentukan hukum itu sendiri memberikan pandangan
yang bervariasi, khususnya dalam menentukan perangkat sarana
maupun formulasi pemberantasan korupsi, tentunya dalam
memanfaatkan Asas Oportunitas terhadap pelaku Tindak Pidana
Korupsi yang kooperatif disatu sisi, dan konsepsi yang diferensial
terhadap sikap non-aplikabel terhadap formulasi ini.
Permasalahannya adalah bagaimana menentukan Asas
Oportunitas dengan formulasi para pelaku tindak pidana
korupsi yang dapat dianggap kooperatif sebagai salah satu
bentuk minimalisasi korupsi itu sendiri.

72
Negara-negara yang memiliki modernisasi sistem
hukumnya memberikan batasan model terhadap anglo saxon dan
Eropa Kontinental, selain model eks sosialis yang mulai tertinggal.
Begitu pula dalam sistem penuntutan dalam perkara tindak
pidana. Namun demikian, pengaruh kedua model ini sangat
mempengaruhi kehidupan sistem peradilan masing-masing
negara. Indonesia sebagai pengaruh konkordansi Belanda
ternyata memiliki sistem penuntutan yang berbeda dengan
negara-negara tetangganya. Pengaruh sistem hukum pada
negara Malaysia, Singapura dan Australia lebih ditetapkan
sebagai konsepsi Anglo Saxon, dan sebaliknya pengaruh Belanda
dengan sistem Eropa Kontinental memberikan dasar konsepsi
yang dominan. Konsepsi Anglo Saxon mempengaruhi KUHP
manakala Jaksa dikesampingakan dari kewenangan penyidikan,
tetapi beberapa Negara dari United Kingdom of Great Britain
justru mengarah kepada sistem Eropa Kontinental karena
memberikan suatu kewenangan penuntunan kepada Jaksa yang
dinamakan Crown Prosecutor Service (CPS), yang sebelum
tahun 1986 (Inggris) kewenangan melakukan penuntutan
dilakukan oleh kepolisian.
Pada umumnya dengan 2 sistem dan model tersebut
diatas memiliki pengaruh dengan konsepsi penuntutan, yaitu
model yang mengakui : (1) Asas Oportunitas, yaitu suatu beleid
dari Penuntut Umum yang memperbolehkan memutuskan untuk

73
menuntut atau tidak menuntut, baik dengan syarat maupun tidak
dengan syarat (Belanda, Norwegia, Inggris dan Negara-negara
dengan system Anglo Saxon, seperti Australia). Kebebasan yang
independen inilah yang menempatkan Penuntut Umum di Belanda
sebagai semi judge (memilki kewenangan setengah Hakim). Dilain
sisi dikenal : (2) Asas Legalitas (dalam penuntutan, seperti
Jerman, Australia, Spanyol), artinya Penuntut Umum tidak
memiliki kewenangan untuk mengesampingkan suatu perkara,
karena penganutan asas ini tetap mengharuskan suatu perkara
untuk dilimpahkan ke pengadilan, tanpa memiliki suatu sikap
eksepsionalitas.

Menurtu Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Belanda yang


menganut Asas Oportunitas, dalam suatu laporan tahunan 1980
ministerie van justitie (kejaksaan) disebutkan bahwa lebih dari
50% perkara disana tidak diteruskan oleh Kejaksaan ke
Pengadilan. Dari jumlah itu, 90% karena alasan teknis (umumnya
karena tidak cukup bukti). secara garis besar ada 3 kategori
penyampingan perkara di Belanda, yaitu :
1. Perkara dikesampingkan karena alasan kebijakan (police),
yang meliputi perkara ringan, umur terdakwa sudah lanjut (tua)
dan kerusakan telah diperbaiki/kerugian diganti.
2. karena alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu dan lain-
lain).
3. karena perkara digabung dengan perkara lain.

74
Dalam kaitannya ide Jaksa Agung dengan Asas
Oportunitas adalah yang berkaitan dengan nomor 1, yaitu adanya
suatu police (belied) atau kebijakan. Sedangkan alasan ketiga
juga terjadi di Indonesia, manaka terjadi penyimpangan suatu
perkara karena digabungkan kepada perkara lain mengingat
peran asas concursus. Sehubungan dengan permeriksaan
perkara tindak pidana korupsi, menarik untuk diperhatikan
beberapa kasus yang disampaikan oleh Prof. Dr. Lit. A.Z. Abidin,
bahwa banyak sekali kasus di Indonesia yang kekhususannya
yang sistematis ini atau asas “Systematische Specialiteit”
dilanggar oleh jaksa dan hakim dalam putusannya, karena
lemahnya pengetahuan asas-asas hukum pidana di kalangan
penegak hukum bahkan termasuk hakim agung. Misalnya
penyelundupan pajak yang ada undang-undang perpajakan yang
mengatur deliknya secara khusus, dituntut dan dipidana oleh
hakim termasuk Mahkamah Agung dengan delik korupsi
(memperkaya diri sendiri karena tidak membayar pajak). Delik
penyelundupan dipidana sebagai subversi, sedangkan yang
justru jelas-jelas termasuk delik korupsi misalnya kasus Budiadji
(mantan KADOLOG Kaltim) dipidana dengan penjara seumur
hidup karena dakwaan telah melakukan delik subversi.

Lebih lanjut lagi dikatakan Prof. Abidin, yang mencolok


ialah kasus penyelundupan rotan yang diadili oleh Pengadilan

75
Negeri Ujung Pandang sekitar tahun 1988. terdakwa mula-mula
dijatuhi pidana karena dinyatakan terbukti telah melakukan delik
penyelundupan. Tuntutan ini tepat, akan tetapi atas perintah
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan kepada seorang jaksa
untuk menuntut terdakwa lagi dengan dakwaan baru atas
perbuatan yang sama tetapi menyangkut delik subversi, lalu oleh
Pengadilan Negeri Ujung Pandang dijatuhi pula pidana yang
cukup berat, karena dinyatakan telah terbukti melakukan delik
subversi, yaitu menyelundupkan rotan yang perkaranya telah
diadili lebih dahulu Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi jo.
Rechten Ordonnantie. Dengan demikian, aturan tentang
gabungan delik (samanloop) telah diperkosa.

Dengan memperhatikan beberapa alasan


pengesampingan suatu perkara berdasarkan Asas Oportunitas,
adalah menjadi suatu sikap atensi yang memiliki relevansi
dengan model Protection of Person yang memiliki keterkaitan
dengan dugaan tindak pidana, misalnya kasus Mulyana W
Kusumah dan petugas BPK, Chairiansyah.
Komitmen Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menanggulangi korupsi
harus mendapat dukungan perpektif penuh dari Bangsa dan
Negara, termasuk terhadap dugaan korupsi dan suap oleh Komisi
Pemilihan Umum, BLBI, maupun yang meliputi dugaan tindak
pidana korupsi kelembagaan negara. Seorang bernama Mulyana

76
W Kusumah harus mengalami masalah tragis di negeri ini.
Sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, juga penegak hukum,
khususnya pemberantasan korupsi, nama Mulyana termasuk
sosok yang dikenal dikalangan akademisi, praktisi bahkan
pengamat hukum. Sekarang ini Mulyana W Kusumah harus
berhadapan dengan meja hijau peradilan pidana. Sebenarnya
realita yang menyerupai kasus Mulyana diduga terjadi di hampir
berbagai tingkat kehidupan sosial ekonomi Imdonesia yang
memang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
signifikansi kuantitas koruftifnya. Berbagai strata dan level sosial,
birokrasi maupun kelembagaan Negara dan Swasta, korupsi dan
suap sudah menjadi bagian yang memiliki rutinitas kekuasaan,
seingga perbuatan tercela itu dianggap sebagai suatu justifikasi
dari perbuatan yang illegal, akibatnya perbuatan suap dari kaca
mata kekuasaan dianggap sesuatu yang sah sebagai Legal
Bribery, sebaliknya dari pendekatan hukum dan masyarakat, suap
adalah tetap sebagai ilegal. Dari sisi bribery, norma ini memang
tidak debatabelitas sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas
permasalahan yang dihadapi Mulyana harus dicermati sebagai
suatu persoalan sosiologis, yaitu apakah sebagai Victim of
Conspirancy.

Polemik berkembang manakala Jaksa Agung


Abdurachman Saleh memberikan suatu ide tentang Perlindungan
Hukum bagi para koruptor yang bekerjasama dengan penegak

77
hukum dalam kaitannya dengan Asas Oportunitas. Selain itu,
sebagaimana kutipan diatas, pula polemik yang berkembang
dalam kasus Mulyana adalah justifikasi perlindungan hukum
Chairiansyah, auditor BPK, yang melapor suap ini, serta
bagaimana perlakuan yang adil dalam kerangka penegakan
hukum pemberantasan korupsi. Dari uraian polemik ini, perlu
memperhatikan beberapa pendekatan mencermati permasalahan
ini.

Pertama, Delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai


warisan penjajah Belanda meski telah mengatur secara rinci,
namun dianggap sebagai delik ”impotent” dalam kerangka
pemberantasan korupsi. Betapa tidak, kehendak sarana legislasi
memberantas korupsi sangat tinggi tetapi sangat rentan tingkat
kesulitan pembuktiannya, akibatnya lagi delik-delik ini hanya
sekedar kekuatan simbolik yang menghiasi sistem regulasi Hukum
Pidana.

Delik Suap selama ini hanya mengatur mengenai “Passief


Omkoping” (suap Pasif), artinya memberikan saran pemindanaan
hanya terbatas kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara yang menerima hadiah atau janji berkaitan dengan
kekuasaan yang melekat jabatannya atau tidak berhendak atau
berkendak yang bertentangan dengan kewajibanya. Melihat
berbagai kelemahan inilah, sewaktu pertama kali delik ini

78
dimasukan kedalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi,
makna suap diperluas. Introdusi norma regulasi pemberantasan
Korupsi telah menetapkan ”Actief Omkping” (suap Aktif) sebagi
Subjek Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian sejak berlakunya
UU No. 3 Tahun 1971, juga perubahannya melalui UU No. 31
Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pelaku delik Suap Aktif (yang memberi
suap) an delik Pasif (yang menerima suap) adalah sebagai subyek
Tindak Pidana Korupsi, dan penempatan status sebagai subyek
ini tidak memilki sifat eksepsionalitas yang absolute. Karena itu,
atauran delik suap tidak memberikan ekspilitas norma
pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang wajib dilindungi.

Kedua, dari pendekatan historis, perlindungan hukum


tehadap saksi dan pelapor adalah imperatie sifatnya, bahkan
norma reward menjadi sandaran legislasi yang patut dihargai.
Namun demikian, perlindungan hukum tidak memiliki
eksepsionalitas yang absolute dan tidak berlaku terhadap saksi
atau pelapor yang terlibat delik suap. Karena itu prinsip Lex Certa
adalah norma mengikat yang tidak dapat diinterprestasikan lain
dari maksud diaturnya substansi norma tersebut.

Ketiga, pada delik suap tidaklah selalu terikat persepsi


telah terjadinya pemberian hadiah (uang), tetapi dengan adanya
pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Selain itu

79
adanya POGING (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai
delik selesai, artinya adanya pra kondisi sebagai permulaan
pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak
pidana korupsi. Jadi ada inisiatif untuk melakukan suap,
sedangkan kompetensi untuk mengetahui inisiatif siapa dari
pelaku suap hanyalah pihak yang memiliki kewenangan dominan
dalam kaitan audit. Baik buruknya hasil audit tidak mungkin
diketahui pihak eksternal, selain informasi insider yang melakukan
investigasi audit itu sendiri. Tidak mungkin pula hasil audit yang
baik mengcuatkan soal suap ini, sebaliknya pra kondisi suap
timbul dari informasi buruknya hasil audit dengan demikian,
inisiatif dan insider informasi sebagai penerima suap sekaligus
sebagai pemberi janji adalah subyek Tindak Pidana Korupsi.

Keempat, Selain Mulyana W Kusumah, apabila Penerima


Suap dan Pembei Janji dilepaskan statusnya sebagai Subyek
Tindak Pidana Korupsi, maka KPK mengabaikan norma dan asas
Perlindungan Hukum yang benar atau Due Proces of Legal
Protection, bahkan tidak akan terjadi suatu Equal Treatment of
justice dalam rangka penegakkan hukum. Dalam suatu perkara
pidana, apabila KPK mengesampingkan seseorang maupun
perkaranya sebagai Subyek Tindak Pidana dengan alasan demi
kepentingan umum hanya dapat dibenarkan berdasarkan Asas
Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai Pasal 3

80
huruf (c) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung,
sedangkan KPK sama sekali tidak memiliki kewenangan demikian.

Dalam kaitan ide Jaksa Agung R.I Abdurachman Saleh


untuk memberikan perlindungan hukum para koruptor yang
bekerjasama dengan mempergunakan Asas Oportunitas agaknya
akan menjadi polemik hukum dan sebagai bentuk pengabaian
yang tidak populis tersendiri. Namun demikiam, ide ini mendekati
kehendak arah akseptabelitas sifatnya dengan paradigma
konversi yang akan mengikat beberapa negara termasuk
Indonesia.

Memang konversi international sebagai salah satu sumber


hukum memberikan suatu justifikasi atas perlindungan hukum
yang demikian. Melalui pasal 35 huruf c UU. No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, kewenangan Jaksa Agung dengan Asas
Oportunitas untuk mengesampingkan suatu perkara demi
kepentingan umum diartikan (sesuai Penjelasan Pasal 335 huruf c
UU Kejaksaan Agung) adalah untuk kepentingan Bangsa dan
Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan tentunya
dengan memperhatikan saran dan pendapat dari badan
kekuasaan negara yang memiliki kaitan perkara itu. Namun
demikian makna “kepentingan umum” ini berlainan dengan
pelaksanaan dari Pedoman Pelaksanaan KUHP dan Doktrin yang
tegas dan jelas tidak menempatkan arti “kepentingan masyarakat”

81
sebagai karakterisasi justifikasi Asas Oportunitas. Sangatlah sulit
menentukan kriteria “demi kepentingan umum” yang sangat multi
tafsir dan subyektif sifatnya, baik individu maupun instansional.
Dalam kaitan perkara Chairiansyah, apakah dikesampingkannya
perkara tersebut sebagai bentuk Perlindungan Saksi/Pelapor
ataukah implementasi Asas Oportunitas?

Terlepas dari segala kesulitan polemik dalam implementasi


Asas Oportunitas, pemakaian Asas Oportunitas adalah
dibenarkan. Dalam penerapan terhadap suatu perkara, juga
perkara tindak pidana korupsi, merupakan suatu “beleid”, suatu
staatsbeleid yang dilaksanakan oleh seorang Jaksa Agung
sebagai ”Overheidsbeleid”. Pengesampingan perkara
Chairiansyah bukanlah bentuk implementasi Asas Oportunitas,
bukan pula bentuk perlindungan terhadap saksi/pelapor mngingat
yang bersangkutan adalah pihak yang terlibat dalam dugaan
tindak pidana korupsi KPU. Ada beberapa bentuk perlindungan
yang diintrodusir melalui Konversi Perserikatan Bangsa-bangsa
melawan korupsi.
United Nations Convention Againts Corruption (2003),
yang Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut dan
telah diratifikasi pada bulan Maret tahun 2006 lalu, memberikan
beberapa tipe/bentuk perlindungan hukum dalam kaitannya
dengan tindak pidana korupsi, yaitu : (1) protection of
Witnesses, Experts dan Vitims (Pasal 32), (2) protection of

82
Reporting Persons (Pasal 33), dan (3) Protection of
Cooperating persons (Pasal 37).

Pasal 37 ini memilki persamaan dengan ide yang dikemukakan


oleh Jaksa Agung RI, hanya legalitas perlindungan ini tidak
didasarkan Asas Oportunitas. Disebutkan Pasal 37 bahwa
(terjemahan bebas) :

Pasal 37 ayat 2 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan memberikan
kemungkinan dalam kasus yang tertentu, mengurangi hukuman
dari seorang tertuduh yang memberikan kerjasama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”.

Pasal 37 ayat 3 :
“Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan
kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Hukum
Nasional, untuk memberikan kekebalan (immunity) dari
penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konnensi ini”.

Jadi, perlindungan terhadap orang-orang yang


bekerjasama dengan penegak hukum dikategorikan dengan 2

83
macam, yaitu bagi seorang Terdakwa (juga terpidana) dengan
pemberian pengurangan hukuman (mitigating punishment),
dan seorang Terdakwa dengan pemberian kekebalan dari
penuntutan (immunity from Prosecution), namun ini tetap
harus sesuai dengan asas-asas hukum nasional masing-masing
Negara Peserta. Jadi, ide implementasi Asas Oportunitas
terhadap pelaku korupsi yang kooperatif sebaiknya
mempergunakan konsepsi protection of cooperating persons.
Konsep protection of cooperating pesons ini dilaksanakan di
Eropa, seperti Belanda dan Italia berupa diterapkan Saksi
Mahkota (kroongetuige) tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi
karena mau membongkar kejahatan terorganisir teman-
temannya. Imbalannya ialah ia dikeluarkan dari daftar terdakwa
dan dijadikan saksi, misalnya mau membongkar kejahatan
korupsi, narkotika dan terorisme. Dengan demikian pula Tor
yang dikemukakan oleh Panitia Seminar mengenai pemberian
immunitas maupun pengurangan hukuman bukanlah dalam
konteks, implementasi Asas Oportunitas (Amerika Serikat
dengan istilah substansial assistance, Cech Republik ini
kesemuanya dalam kerangka Crown Witness atau
Kroongetuiege yang tidak dalam kaitannya dengan Asas
Oportunitas, kecuali Hongkong dengan immunity seseorang atas
informasi yang diberikan kepada penegak Hukum).

84
Dengan tidak jelasnya implementasi terhadap aturan-
aturan tindak pidana korupsi yang sebenarnya telah memenuhi
asas Lex Certa, hal ini memberikan implikasi yang diskriminatif
bagi KPK dalam menentukan kebijakan perlindungan hukum.
Disatu sisi, para penerima dana-dana dari swasta/aparatur
Negara diberikan perlindungan hukum (immunity for
prosecution), tetapi disisi lain penerima dana tersebut dijadikan
subyek tindak pidana korupsi, meski sesuai asas hukum Pidana,
pengembalian dana tidaklah meniadakan strafbaar dari materiele
daad yang dilakukan oleh yang bersangkutan.

Kelima, formulasi “jebakan “dan “undercover” untuk


mengungkapkan dugaan Tindak Pidana Korupsi ini diluar
mekanisme hukum yang berlaku. Pola ini hanya dimiliki dalam
mengungapkan perkara tindak pidana Narkotika dan
Psikotropika melalui Pasal 68 UU No. 22 tahun 1997 dan Pasal
55 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1997. lagi pula, pola “jebakan” dan
“undercoer” ini hanya dilakukan oleh aparatur penegak hukum
itu sendiri, bukan dilakukan Non-law enforcement officer seperti
halnya BPK. Penegak Hukum yang melakukan undercover ini
dinamakan “agent provecateur” yang seharusnya adalah
uitlokker (pembujuk) sebagai Subyek Pidana atas dasar Pasal 55
ayat 1 KUHP, hanya saja pola ini dikesampingkan berdasarkan
Asas Oportunitas yang tidak dimilki oleh KPK.

85
Dalam kasus Mulyana W. Kusumah ini, Chairiansyah
bukanlah subyek perlindungan hukum, tetapi subyek Pidana
Korupsi sebagaimana dimaksud UU, karenanya apabila tetap
diberikan perlindungan hukum, maka Mulyana hanya sebagai
hasil pola sikap “victim of Conspiracy” yang menurut sistem
anglo saxon memilki justifikasi sebagai alasan adequante
meniadakan punishment, karena penegak hukum dianggap
melakukan illegal secured evidence. Konsep pengesampingan
pekara terhadap Chairianyah tidaklah tepat dengan didasarkan
alasan Asas Oportunitas (andai Kejaksaan Agung yang
melakukan hal ini), pula tidak dikatakan sebagai Protection of
Reporting Persons sebagai dasar introdusir dalam sistem Hukum
Pidana Indonesia kelak, karena konsep protection of
Cooperating Persons memilki keterkaitan dengan saksi Mahkota
dengan penerapan ajaran “Deelneming” (penyertaan) pada
Pasal 55 KUHP.

Doktrin memberikan ruang gerak bebas terhadap


pengesampingan suatu perkara berdasarkan kondisi yang
sangat mendesak, urgensif, bahkan yang kritikal sifatnya. Asas
“Clear and Present Danger” dipergunakan sebagai justifikasi
implementasi suatu kebijakan atau policy (beleid) dari penguasa
yang dapat melakukan tindakan-tindakan yang dalam keadaan
normal (kasus Schenk tahun 1919). Asas Clear and Present
Danger hingga kini masih mendapat tempat dalam kajian-kajian

86
akademis di Amerika Serikat, dan asas ini menyerupai dengan
Staatsbeleid dalam keterkaitan dengan overheidsbeled.

Dalam tinjauan terhadap penerapan fungsi positif dari


ajaran perbuatan melawan hukum material tidak jarang
mengalami kekeliruan essesnsiael dan mendasar sifatnya.
Perhatikan saja pemidanaan terhadap perkara-perkara antara
lain Ir. Akbar Tandjung, Dr. Syahril Sabirin, Samadikun dan
terakhir adalah 3 (tiga) mantan Direktur Bank Indonesia,
khususnya dalam kaitan antara Hukum Pidana dari unsur
“menyalahgunakan wewenang” (Pasal 1 ayat 1 b UU No.3 Tahun
1971 jo Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999), melawan hukum (Pasal
1 ayat 1 huruf a UU No. 3 Tahun 1971 jo ayat 1 UU No. 31
Tahun 1999) dan Hukum Administrasi Negara yang berkaitan
antara “Staatsbeleid” (Kebijakan Negara) dengan Asas-asas
Umum Pemerintahan yang baik (Algemence Beginselen Van
Behoorlijk Bestuur). Seringkali badan yudikatif telah mencampur
adukan, bahkan mengangap sama antara unsur
“menyalahgunakan wewenang” dan “melawan hukum”, bahkan,
tanpa disadari badan peradilan menerapkan asas perbuatan
melawan hukum materiel dengan fungsi positif tanpa
memberikan kriteria yang jelas untuk dapat menerapkan asas
tersebut, yaitu melakukan pemidanaan berdasarkan asas
kepatutan dengan menyatakan para pelaku telah melanggar
asas-asas umum pemerintah yang baik, tanpa bisa

87
membedakannya dengan persoalan “beleid” yang tunduk pada
Hukum Administrasi Negara.

Pertimbangan diatas hanya sekedar komparasi


substansial terhadap kekeliruan dalam suatu perbuatan materiel
yang sebenarnya sebagai suatu kebijakan atau beleid, tetap
diartikan sebagai penyimpangan dari suatu perbuatan.
Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif berupa
kewenangan diskresioner (“discretionary power” , “virjsbestuur”,
“freies ermessen”) untuk melaksanakan kebijakannya (“beleid”)
dalam mengatasi segera dan secepatnya dengan menetapkan
suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintah yang
tidaklah sekedar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan
undang-undang (“kekuasaan terikat”). Menurut Porf. Dr.
Philipus M. Hadjon, SH, kekuasaan pemerintah merupakan
kekuasaan yang aktif yang meliputi kewenangan untuk memutus
secara sendiri dan kewenangan interprestasi terhadap norma-
norma tersamar (age normen). Dalam kaitannya dengan
“beeidsvrijheid”, kekuasaan yang aktif dari pemerintah, menurut
prof. R.M. Girindo Pronggodigdo, SH, berupa “wijsheid”
dapat merupakan tindakan-tindakan seketika (“instant decision”)
dengan melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi,
berupa pengambilan keputusan yang dapat bersifat pengaturan
(tertulis) dan atau keputusan tertulis atau lisan didasarkan

88
kekuasaan/kewenangan “diskresioner” (discretionary power/
authority) yang dimliki.

Namun demikian, suatu “discretionary power” maupun


“wijsheid” itu harus tetap selaras dengan maksud ditetapkan
kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhirnya tersebut, yaitu
harus sesuai dengan “doelgerichte” atau tujuan ditetapkannya
dari kewenangan itu, bahkan menurut saksi ahli Prof. Dr. Riyaas
Rasyd, MA, juga Prf. Dr. Philipus M. Hadjon, SH
(“Discretionary Power” & Asas-asas Umum Yang Baik, hal.3),
dalam kondisi yang urgensif, mendesak dan darurat sifatnya,
suatu discretionary power, juga “wijsheid”, dapat menyimpan dari
produk perundang-undangan yang ada, asalkan penyimpangan
ini pada akhirnya sesuai dan dengan diarahkan pada
“doelgerichte” ditetapkannya kewenangan tersebut. Dalam
kontek Asas Oportunitas, implementasi asas ini oleh Jaksa
Agung merupakan beleid dari suatu discretionary power yang
memilki kewenangan mengikat berdasarkan Pasal 35 huruf c UU
No. 16 Tahun 2004), pula apabila dipergunakan dalam kondisi
yang urgensif dan mendesak serta darurat sifatnya, implmentasi
Asas oportunitas memiliki kewenangan aktif untuk memutus
secara mandiri terhadap norma-norma tersamar (vage normen)
sepanjang asas ini dipergunakan untuk kepentingan yang lebih
luas (Negara dan Bangsa) dari asas-asas umum Pemerintah
yang baik, sehingga maksud penggunaan asas ini sesuai

89
dengan tujuan akhirnya (doelgericte). Kebijakan Presiden
Megawati saat memberikan Releases & Discharged terhadap
pelaku tindak pidana yang telah mengembalikan sejumlah uang
yang dianggap sebagai kerugian Negara, merupakan suatu
staatsbeleid yang pelaksanaannya dilakukan oleh apatur
bawahannya sebagai Overheidsbeleid.

Polemik, pertimbangan “demi kepentingan umum” dari


maksud penggunaan Asas Oportunitas terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang kooperatif lebih bersifat subyektif, baik
individu amupun institusional, karenanya menjadi populis apabila
tidak dapat memberikan alasan dengan baik dan seksama
makna kepentingan umum” tersebut.

Mencari suatu justifikasi untuk implementasi Asas


Oportunitas terhadap Cooperating Offenders” tidaklah tepat
berdasarkan pertimbangan demi kepentingan umum yang
maknanya multi-tafsir tersebut karenanya suatu arah introdusir
konsepsi “protection of Coperating Persons” dengan memberikan
suatu keterkaitan Crown Witness serta peran terkecil dalm asas
“dellneming” adalah lebih ditolerir arahnya, karenanya konsep ini
tetap memerlukan dukungan kebenaran norma dan asas due
process of law enforcement dengan memperhatikan prinsip Rule
of Law !

90
BAB IV
ANALISIS

91
Dalam ilmu hukum acara pidana, dikenal dua asas
penuntutan, yaitu: (1) asas oportunitas (discretionary prosecution),
dan (2) asas wajib menuntut (mandatory prosecution). Menurut asas
oportunitas, sekalipun saksi dan buktinya cukup, jaksa boleh tidak
menuntut perkara pidana, bilamana ia berpendapat penuntutan tidak
patut dilakukan, atau bilamana penuntutan dapat merugikan
kepentingan umum atau pemerintah. Asas oportunitas dianut antara
lain oleh Kejaksaan Perancis, Belgia, Belanda, Norwegia, Swedia,
Israel, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Asas oportunitas juga
dipraktekkan oleh Kejaksaan di Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia,
Filipina, dan Singapura.
Sebagaimana diketahui asas oportunitas dalam penuntutan,
adalah salah satu asas dalam hukum acara pidana Indonesia.
Wirjono Prodjodikoro menyebutkan 7 (tujuh) asas yang harus
menjadi pegangan dalam pelaksanaan proses pidana, sebagai
berikut:
1. Kejaksaan sebagai Penuntut Umum
2. Prinsip “oportunitas” dalam penuntutan
3. Perbedaan antara “pemeriksaan permulaan” (vooronderzoek),
dan “pemeriksaan di sidang hakim” (gerechtelijk onderzoek)
4. Pemeriksaan di muka umum
5. Pemeriksaan secara langsung (onmiddelijkheidsbeginsel)
6. Peradilan pidana di tangan Pegawai Negeri – ahli hukum
7. Sistem “jury.”

92
Indonesia sendiri sudah lama menganut asas oportunitas.
Dasar hukumnya semula hukum tidak tertulis dari Belanda. Dalam
bahasa ilmiahnya adalah “penghentian penuntutan karena alasan
kebijaksanaan (diskresi),” sedang dalam bahasa sehari-harinya
“mengesampingkan perkara.” Praktek yang dianut oleh jaksa
(Penuntut Umum) di Indonesia sejak zaman Belanda yaitu menganut
principe-opportunita, yang menggantungkan hal akan melakukan
suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan yang ditinjau satu
persatu. Kenyataan praktek bahwa adakalanya sudah terang seorang
melakukan suatu kejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah
sedemikiannya, sehingga kalau seseorang itu dituntut di muka hakim
pidana maka kepentingan negara akan sangat dirugikan.

Dengan principe-opportunita ini, jaksa sebagai Penuntut


Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting yaitu untuk
menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah terang dan nyata
pembuktiannya. Mengingat tujuan dari prinsip ini, yaitu kepentingan
negara, maka jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan
menyampingkan perkara pidana ini.

Untuk mencegah hal-hal negatif, misalnya komersialisasi


jabatan dan kolusi, sejak tahun 1961, asas oportunitas hanya
diberikan kepada Jaksa Agung RI karena alasan kebijakan (policy),
yaitu guna mencegah penyalahgunaan kebijaksanaan (diskresi)
penuntutan. Oleh karena itu sekarang ini, jaksa yang ingin

93
menggunakan wewenang tersebut yaitu mengesampingkan perkara
yang saksi dan buktinya cukup, harus memohon kepada Jaksa
Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Namun disayangkan bahwa Jaksa Agung RI sangat jarang
menggunakan wewenang tersebut.

Sekalipun wewenang mengesampingkan perkara karena


alasan kebijakan (policy) jarang sekali digunakan oleh jaksa Agung
RI, asas oportunitas ini sudah lama diterapkan di Indonesia. Sebelum
diatur dalam Undang-undang Pokok Kejaksaan, asas oportunitas ini
tidak diatur secara expressis-verbis dalam hukum positif, namun
dalam praktek asas tersebut diterapkan atas dasar hukum kebiasaan
(gewoonte recht). Demikian pula KUHAP tidak merumuskan
wewenang tersebut secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan Pasal
77 KUHAP tersirat bahwa wewenang Jaksa Agung itu diakui, yaitu
untuk tidak menuntut perkara sekalipun cukup bukti-buktinya dan
tidak seorangpun boleh melawannya.

Sebagai lawan dari asas oportunitas adalah asas legalitas


yang artinya adalah, bahwa terhadap suatu perkara yang terbukti,
Kejaksaan harus melakukan penuntutan dan tidak ada suatu jalan
penyampingan dari kewajiban tersebut.

Wewenang dan asas oportunitas ini menurut hukum positif


memang kemudian dikukuhkan dan diatur dalam Pasal 8 Undang-

94
undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 32 huruf c Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan
sekarang Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun demikian, yang
tersurat dalam penjelasan pasas-pasal di atas mengisyaratkan
bahwa asas oportunitas tersebut tidak akan banyak digunakan.

Seperti diketahui perkara pidana dapat disampingkan dalam


dua hal, yaitu:

1. Penyampingan prosessual atau teknis


Yaitu penyampingan suatu perkara atas dasar penilaian hukum
pidana (strafrechtelijk) atau atas dasar hukum pembuktian
(bewijsrectelijk) umpamanya karena suatu perkara tidak dapat
dibuktikan atau hal yang disangkakan walaupun dapat dibuktikan,
tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.

2. Penyampingan atas dasar kebijaksanaan (beleid)


Yaitu penyampingan suatu perkara yang telah terbukti, dan
pelakunya dapat dipidana, atas dasar kepentingan umum.

Menurut J.M. van Bemmelen, memang harus diakui bahwa


ada kerugian-kerugian yang melekat pada penerapan asas

95
oportunitas tersebut, umpamanya hak tersebut dapat diterapkan
sewenang-wenang, menguntungkan orang lain, pada umumnya
dapat mengarah pada penyalahgunaan.

Setelah wewenang “menghentikan penuntutan karena


alasan kebijaksanaan” diambil alih oleh Jaksa Agung RI karena
jabatan (ambtshalve), yaitu hak untuk menyampingkan perkara-
perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan
hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugiannya
bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara, daripada
tidak menuntutnya. Dasar daripada hak tersebut, bahwa jika jaksa
(Penuntut Umum) sebagai wakil masyarakat demi kepentingan umum
harus menindak dan menuntut setiap pelanggaran undang-undang,
maka sebaiknya adalah tetap dan wajar bahwa jika kepentingan
umum yang sama menghendaki, bahwa sesuatu kejahatan tidak
perlu dituntut maka jaksa (Penuntut Umum) pun harus berhak pula
tidak menuntutnya.

Para jaksa di Indonesia hanya memiliki wewenang


“menghentikan penuntutan karena alasan teknis,” yang dijabarkan
dalam Pasal 140 ayat 92) KUHAP. Pasal tersebut mengatur tiga
keadaan yang membolehkan jaksa tidak menuntut perkara, yaitu: (1)
tidak cukup bukti-buktinya; (2) peristiwanya bukan tindak pidana; (3)
perkara ditutup demi hukum, misalnya karena tersangkanya

96
meninggal dunia, atau sudah daluwarsa, atau perkara tersebut sudah
diputus sebelumnya oleh pengadilan (ne bis in idem).

Demikianlah Kejaksaan sejak tahun 1945 hingga sekarang


mengalami pasang surut perkembangan dan wewenangnya.
Andaikata wewenang penyidikan di bidang tindak pidana khusus pun
suatu saat akan hilang, akan semakin berbedalah identitas
Kejaksaan RI dengan Kejaksaan di negara-negara lain. Di banyak
negara, jaksa memiliki wewenang penyidikan, baik dalam tindak
pidana umum, maupun dalam tindak pidana khusus. Lagipula para
jaksa di Indonesia sangat jarang menggunakan wewenang
menghentikan penuntutan, sehingga seringkali menimbulkan
keheranan bagi para jaksa negara lain yang berkunjung ke
Indonesia. Bahkan sekarang di negara-negara yang tidak menganut
asas oportunitas yaitu di negara-negara yang menganut asas
legalitaspun, seperti misalnya di Jerman minta ijin pada Hakim, di Itali
menunggu sampai Verjaard, untuk kejahatan-kejahatan tertentu,
sekalipun cukup bukti-buktinya, jaksa boleh mengesampingkan
perkara. Belanda sama tapi yang di ancam hukuman 6 (enam) tahun
ke bawah (ringan), dikenakan asas oportunitas dengan cara
membayar denda administratif (kasus) karena dnda pidana ini
dengan putusan Hakim. Data korupsi yang dilakukan pejabat 50%
dituntut 46% dengan perincian 37% asas oportunitas, 9% transaksi
(bayar kerugian).

97
Dalam pada itu mungkin saja, dalam waktu dan tahun-tahun
ke depan, setelah situasi berubah, yaitu tidak ada lagi kekhawatiran
tergoda untuk berkolusi atau mengkomersialisasikan perkara; kiranya
para jaksa di Indonesia harus diberi wewenang lagi
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum seperti yang
digariskan dalam asas oportunitas, sehingga mereka itu boleh
menghentikan proses perkara dan tidak dilanjutkan ke muka
pengadilan, sekalipun bukti-buktinya cukup. Terutama apabila
tersangka/ pelakunya sudah terlalu tua, korbannya sudah mendapat
ganti rugi, sedang tindak pidananya biasa-biasa saja dalam arti tidak
menimbulkan bahaya bagi masyarakat serta tidak menarik perhatian
masyarakat. Syaratnya tentu profesionalismenya sudah tinggi,
kesejahteraannya sudah berlipat lebih dari sepuluh kali dari
sekarang, dan moralnya sudah sangat tangguh.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan asas oportunitas di Indonesia.

98
1. Indonesia sebelum penjajahan berlaku hukum adapt yang
sifatnya heterogin dan tidak membedakan antara hukum
perdata dan hukum pidana, setiap pelangaran dianggap
merusak keseimbangan lingkungan, harus dipulihkan
dengan membayar denda adat/ganti rugi.
2. Zaman penjajahan dengan asas konkordansi, segala
perubahan perundang-undangan di Belanda berlaku di
Indonesia dari RO,IR, HIR, terbentuknya lembaga open baar
ministerie atau lembaga penuntut umum, untuk Bumiputra
dibawah Procureur general, sekarang Jaksa Agung sebagai
penuntut umum tertinggi.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai produk hukum nasional, memberikan wewenang
penuntut perkara pidana kepada Jaksa selaku penuntut
umum. Dalam persidangan Hakim sifatnya penunggu
penuntutan yang diajukan oleh Jaksa. Jika menurut
pertimbangan Jaksa dan demi kepentingan umum perkara
seudah terselesaikan dengan uang damai, jaksa tidak perlu
melakukan penuntutan ke Pengadilan. Inilah asas
oportunitas yang dianut di Indonesia.
4. Oportunitas bisa diartikan sebagai asas dan oportunitas
sebagai pengecualian. Indonesia sebagai penganut hukum
dasar tertulis dan juga hukum dasar tidak tertulis yang
berupa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang timbul
dalam praktek penyelenggaraan Negara maupun kebiasaan

99
yang diakui dan dihayati rakyat setempat. Setiap
pelanggaran/delik pidana tidak semuanya dilakukan
penuntutan oleh jaksa mengingat jumlah jaksa sangat
terbatas, terutama perkara ringan yang bisa diselesaikan
melalui pembayaran uuang tebusan/ganti rugi/uang damai
bisa dilakukan oleh unit-unit keamanan/ketertiban dan
kepolisian yang mereka wajib lapor ke atasannya. Inilah
oportunitas sebagai pengecualian.
5. Asas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang-
undangan yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun
1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung
untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Ini adalah termasuk perkara berat/besar misalnya Korupsi
yang jumlahnya lebih dari 1 (satu) trilyun, bisa
dikesampingkan melalui kebijakan (policy) dan dilekatkan
dengan syarat “perseponeran” yaitu pembayaran denda
damai (termasuk pengembalian uang Negara) yang disetujui
antara pihak kejaksaan dan tersangka (Prof.Dr. Andi
Hamzah, S.H “ Hukum Acara Pidana Indonesia”).
6. Asas oportunitas sampai sekarang tidak pernah diganggu
gugat keberadaannya ternyata asas ini memberikan manfaat
pada kepentingan umum. Asas tersebut lebih sesuai dengan
tujuan pidana dalam hal ini asas oportunitas bertujuan untuk
mengimbangi ketajaman asas legalitas.

100
7. Asas Oportunitas merupakan suatu Overheidsbeleid yang
melaksanakan Staatsbeleid, karenanya dapat dipergunakan
dalam suatu kewenangan (discretionary power) yang
mengikat maupun kewenangan aktif. Kewenangan aktif
dalam kaitannya Asas Oportunitas memberikan kewenangan
Jaksa Agung melakukan tindakan-tindakan terhadap norma-
norma tersamar (vage normen) sepanjang kewenangan ini
didasarkan pertimbangan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang baik serta dengan akhir dipergunakan asas ini.

B. Saran/Rekomendasi
1. Semua Jaksa hendaknya mempunyai wewenang oportunitas
tetapi harus ada control melalui computer on line
(data/penyelesaian perkara, sehingga sesuai dengan apa yang
ada di Jaksa dan perkara.
2. Sehubungan dengan rekomendasi nomor 1 tersebut, maka
control oleh jaksa di daerah harus diperketat oleh kepala
Kejaksaan Tinggi setempat.
3. Pengawasan penerapan asas oportunitas diawasi oleh Kepala
Kejaksaan dengan lebih ketat, jadi Kepala kejaksaan Tinggi
dapat memerintahkan/pencabutan penyampingan perkara,
dengan meneruskan penuntuan apabila penerapannya
dilaksanakan secara keliru.

101
DAFTAR PUSTAKA

Andi
Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum," PIDATO
PENGUKUHAN diucapkan pada Upacara Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, 23 Juli
1998
………………, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Arikha Media
Cipta, 1993

102
........................, ”Analisis dan Evaluasi Jukum Yentang Pelaksanaan
Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara
Pidana,BPHN,2006.
………………, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit CV Artha
Jaya, Jakarta, 1996
………………,"Penggunaan Hak Oportunitas Jangan Jadi
Bumerang," Harian KOMPAS, Jakarta, Senin, 1 Agustus,.
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983
D. Simons. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh:
P.A.F. Lamintang. Pioner Jaya, Bandung,
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan permasalahan dan penerapan
KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Penerbit Sinar
Grafika, Edisi Kedua, Jakarta.
RM. Surachman, Mozaik Hukum I, CV. Sumber Ilmu Jaya, Jakarta,
1996
……………….., Dr. Andi Hamzah, SH., Jaksa di Berbagai Negara,
Peranan dan Kedudukannya.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Yayasan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1962
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1981
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kedua. Kumpulan
Kuliah. Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tempat, tanpa
tahun.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.
Eresco, Bandung, 1989

− UNAFEI, "Inovation and Reform in Prosecution," Resource


Material No. 24, UNAFEI, Fushu, Tokyo, Japan, 24 Desember
1983
− Konsep Rancangan KUHP 2005, terdiri dari Buku I tentang
Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana

103
− Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman
Republik Indonesia, Penerbit Yayasan Pengayoman, Cetakan
ke3, Jakarta

104

Anda mungkin juga menyukai