Tugas Makalah Hukum Waris Perdata
Tugas Makalah Hukum Waris Perdata
Tugas Makalah Hukum Waris Perdata
Dosen Pengampuh :
Di Susun Oleh :
Kelompok V
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
makalah mata kuliah Hukum Waris Perdata tepat waktu. Tidak lupa
memohon maaf.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Surat wasiat atau testament adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan sebelum seseorang itu meninggal. Wasiat biasa disebut dengan
kehendak terakhir seseorang yang dimana kehendak itu akan
diselenggarakan apabila ia telah meninggal dunia. Wasiat dapat dikatakan
sebagai surat yang memuat ketetapan yang berisi kehendak-kehendak
terakhir sebelum ia meninggal. Surat wasiat sendiri dibagi dalam 2 macam
wasiat, yaitu wasiat yang dinamakan pengangkatan wasiat (erfsterlling)
dimana berisi penunjukkan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli
waris, dan hibah wasiat (legaat).
Surat wasiat yang dibuat seseorang harus ditunjukkan dengan bukti
akta yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu pembuatan
wasiat sepatutnya dibuktikan dengan adanya bukti tertulis, walaupun kita
mengetahui bahwa Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa wasiat dapat
dilakukan baik lisan maupun tulisan.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa surat wasiat yang dibuat haruslah
berbentuk akta dan akta notaris. Artinya pembuatan surat wasiat
memerlukan namannya pejabat umum untuk mengesahkan surat wasiat.
Bilamana tidak dibuat dihadapan notaris, maka sipembuat wasiat yang
menulis sendiir surat wasiatnya dapat menyerahkan surat wasiat itu
kepada notaris setelah ditanda tangani.
Surat wasiat harus dituangkan dalam bentuk akta wasiat, hal ini
sesuai dengan ketentuan yang ada pada pasal 921 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan “untuk menentukan besarnya bagian
mutlak dalam sesuatu warisan, hendaknya dilakukan terlebih dahulu suatu
penjumlahan akan segala harta peninggalan yang ada di kala si yang
menghibahkan atau mewariskan meninggal dunia. Kemudian
ditambahkannyalah pada jumlah itu, jumlah dari barang-barang yang
dihibahkan diwaktu si meninggal masih hidup, barang-barang mana masih
harus ditinjau dalam keadaan tatkala hibah dilakukannya, namun
mengenai harganya, menurut harga pada waktu si penghibah atau si yang
mengwariskan meninggal dunia, akhirnya dihitunglah dari jumlah satu
sama lain, setelah yang ini dikurangi dengan semua hutang si meninggal
berapakah, dalam keseimbangan dengan kederajatan para ahli waris
mutlak, besarnya bagian mutlak mereka, setelah mana bagian-bagian ini
harus dikurangi dengan segala apa yang telah mereka terima dari si
meninggal, pun sekiranya mereka dibebaskan dari wajib pemasukan”.
Penjelasan mengenai wasiat tidak hanya diatur pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, secara praktek dimasyarakat wasiat
sudah sering digunakan. Artinya dalam kebiasaan dimasyarakat hal
semacam pelaksanaan wasiat sudah menjadi hal yang biasa, ini disebut
sebagai amanat terakhir.5 Pelaksanaan dari amanat terakhir dipahami
sebagai bentuk penetapan terhadap harta peninggalan yang nanti akan
ditinggalkan kepada ahli waris. Pernyataan ini biasanya dilakukan dan
dengan persetujuan dari ahli waris.
Amanat terakhir ini dilakukan untuk membuat ketetapan yang
sifatnya mengikat bagi mereka segenap ahli waris. Hal ini bertujuan untuk
meminimalkan sengketa yang dimbul kelak ketika pewaris meninggal. Apa
yang diuraikan pada amanat terakhir ini, yaitu seluruh harta, cara
pembagian, dan menetapkan siapasiapa yang menerima beserta
besaranya.
Mengingat ini merupakan sebuah pernyataan kehendak dari
seseorang yang membuat amanat terakhir, bisa dipastikan pembuatan
dari amanat terakhir ini setiap waktu dapat berubah, ditarik kembali oleh ia
yang membuatnya.8 Mengingat praktek dari amanat terakhir yang
dilakukan sudah menjadi kebiasaaan di masyarakat, maka perlu dilihat
apakah perbuatan itu juga bagian dari perbuatan hukum. Secara hukum
pada ketentuan pasal 876 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dinyatakan bahwa suatu pengangkatan waris adalah sebuah wasiat,9
dengan mana si yang mewasiatkan, kepada seorang atau lebih
memberikan harta yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia
baik seluruhnya maupun sebagian seperti misalnya setengahnya,
sepertiganya.
Wasiat juga dikenal di dalam hukum islam, hal ini dikemukakan
pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 dan dipertegas pada pasal
195. KHI menyatakan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia. Artinya wasiat merupakan bentuk tasaruf
terhadap harta peninggalan yang akan berlaku setelah dilaksanakan
setelah meninggalnya orang yang berwasiat.
Dari gambaran diatas, penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang
kedudukan surat wasiat terhadap harta warisan yang belum dibagikan
dengan menilai bagaimana kedudukan surat wasiat terhadap harta
warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, letak permasalahan yang ingin
diteliti diuraikan dalam pertanyaan sebagai berikut.
1. kedudukan surat wasiat terhadap harta warisan yang belum
dibagikan kepada ahli waris dan surat wasiat harus dilaksanakan
dahulu sebelum harta dibagikan kepada ahli waris.
2. Mewarisi Berdasarkan Surat Wasiat
BAB II
PEMBAHASAN
b. Isi Wasiat
Sementara itu, adapun yang menjadi syarat-syarat isi wasiat
sebagai berikut :
1) Dalam Pasal 888 KUH Perdata: Jika testament memuat syarat –
syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak mungkin dapat
dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang
demikian itu harus dianggap tak tertulis.
2) Dalam Pasal 890 KUH Perdata : Jika di dalam testament disebut
sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa
pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan
kepalsuannya maka testament tidaklah syah.
3) Dalam Pasal 893 KUH Perdata: Suatu testament adalah batal, jika
dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.
Selain ahli waris juga dapat menerima seluruhnya maupun
sebagian harta, misalnya setengahnya atau sepertiganya. Seperti yang
tercantum dalam pasal 754 yang berbunyi ; wasiat pengangkatan waris
adalah suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiatkan, kepada seorang
atau lebih memberikan harta yang akan ditinggalkannya apabila ia
meninggal dunia baik seluruhnya maupun sebagian seperti misalnya
setengahnya, sepertiganya.
c. Pembatalan Wasiat
Wasiat dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat
dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang
dilanggar. Untuk menemukan konstruksi hukumnya, pasal 1320 BW
secara garis besar harus dibaca Syarat syahnya perjanjian sebagai
berikut :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Cakap disebut sebagai
syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si
subjek hukum atau orangnya; yang apabila tidak memenuhi syarat-
syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat
dimintakan pembatalannya.
c. Suatu hal tertentu dan syaratnya
d. Suatu sebab yang halal disebut objektif yaitu syarat yang ditujukan
pada objek hukum dan bendanya.
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat/unsur-unsur tersebut maka
suatu perjanjian batal demi hukum.Dengan demikian, apabila dikatakan
suatu hibah batal demi hukum maka tidak perlu dilakukan permohonan
pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi hibah) karena secara
yuridis hibah wasiat tersebut tidak pernah ada dan konsekuensi-
konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada
pelanggaran syarat No.1 dan No.2 maka dapat dimintakan pembatalannya
oleh si pemberi hibah/ orang yang paling berhak Sebagai catatan: kata
dapat dalam terminologi hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada
si pemberi hibah / orang yang paling berhak untuk melakukan proses
pembatalannya melalui hakim di pengadilan. Hibah yang terlanjur
terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka
dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum; dalam hal ini hibah
wasiat tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditunjuk sebagai
walinya sampai anak berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan
apakah diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk
mengembalikan objek hibahnya maka, kembali kepada unsur No.2/Cakap
sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan
pembatalannya melalui hakim dipengadilan.
d. Subjek Pengwasiatan
Orang-orang yang diperbolehkan untuk melakukan wasiat menurut
hukum perdata adalah seseorang yang telah mencapai akil baligh dan
sehat pemikirannya, baik laki-laki maupun perempuan sebab menurut
hukum perdata perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki
dalam melakukan suatu wasiat.
Seorarng istri boleh melakukan penghibah wasiatan, karena secara
yuridis antara suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang
harusdipenuhi. Tetapi hal ini terbatas dalam soal-soal perkawinan saja,
sebab Islam tidak menjadikan suami sebagai penguasa dalam semua
bidang kehidupan. Kebolehan seorang istri dalam melakukan hibah wasiat
pada dasarnya diberikan secara bebas, tetapi terbatas atas harta yang
dimilikinya saja. Adapun harta yang ada pada pemilikan harta bersama
suami, maka seorang istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada
suami. Izin seorang istri kepada suami yang akan melakukan hibah wasiat
akan pemeliharaan harta bersama sangatlah penting.
Menurut hukum Islam hibah wasiat pada hakekatnya pada
diberikan kepada siapapun juga. Jika penghibahan itu diberikan kepada
anak di bawah umur atau orang yang tidak sehat pemikirannya, maka
benda yang dihibah wasiatkan tersebut harus diserahkan kepada seorang
wali yang sah dari penerima hibah wasiat tersebut. Pemberian hibah
wasiat dapat diberikan dengan sah kepada seorang yang akan menjadi
ahli waris, tetapi tidaklah dipandang baik walaupun bukan tidak sah,
mengutamakan yang tertentu dari yang lain. Memberikan hibah wasiat
kepada seseorang yang belum lahir adalah batal, tetapi pemilikan yang
terbatas dapat dituntut kepada seseorang yang sedang dihamilkan,
sedang diwaktu pemberian itu dilakukan yang bersangkutan telah lahir
pada waktu pemilikan itu mulai berlaku.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi
ahli waris, yaitu Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau
tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris
ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
1) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang
ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada
tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling
mewarisi.
2) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan
mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa
bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari
harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara
pewaris,
3) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke
atas dari pewaris;
4) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan
perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada
ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan
menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke
atasmaupun ke samping.
Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang
lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau
testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung
pada kehendak sipembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi
penunjukanseseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan
mendapat seluruh atau sebagian dari warisan.
Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undangundang atau ab
intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan
memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris. Dari kedua
macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahliwaris yang manakah
yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau
ahli waris menurut surat wasiat.
Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam
BW tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan
adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa
peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat
wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam
BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat agar tidak
merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari
substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris
atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh
merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “ legitime portie” ini
termasuk ahli waris menurut undang- undang, mereka adalah para ahli
waris dalam garis lurus ke atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang
memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak
dapatdihapuskan oleh si pewaris.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan
dalam bukunya, bahwa “peraturan mengenai legitime portie oleh undang-
undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk
membuat wasiat atau testamen menurut sekehendak hatinya sendiri”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan menerima
sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-
syarat, sebagai berikut :
1) Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW).
2) Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris
meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna
ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat
dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti
bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai
ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;
3) Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia
tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak
patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak
cakap untuk menjadi ahli waris.
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris
diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan
sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir
selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah
menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan
dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan secara beneficiair
yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak
warisan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna
menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama
empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan
undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu :
1) Menerima warisan dengan penuh.
2) Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan
diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi
bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah ”menerima
warisan secara beneficiaire.
3) Menolak warisan. Baik menerima maupun menolak warisan, masing-
masing memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian dan hasil penelitian yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka penulis menyimpulkan beberapa hal
yaitu;
1. Tentang wasiat kepada ahli waris berlaku apabila, a) pewaris sebagai
pemilik harta memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang
dimilikinya dengan meminta persetujuan kepada semua ahli waris
merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam keluarga
yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah serta keadilan dalam
pembagian wasiat tidak ditentukan dengan persamaan kuantitas,
tetapi lebih ditentukan dengan jasa, relasi, dan tanggung jawab yang
dipikul seseorang. Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung
jawab yang lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian
yang lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa dilakukan
melalui hibah atau wasiat dengan nilai maksimal wasiat tidak lebih dari
1/3 dari harta yang diwasiatkan.
2. Harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga, kelebihannya
baru berlaku apabila mendapat ijin dari semua ahli waris. Bagian 1/3
ini dihitung setelah harta peninggalan itu diambil lebih dahulu untuk
biaya penyelenggaraan jenazah, antara lain pembelian kain kafan,
biaya penguburan (kalau mau diambilkan dari harta peninggalan) dan
setelah dikurangi untuk membayar hutang pewariis (kalau ada). Oleh
karena itu hendaknya ibu mempertimbangkan besarnya harta
peninggalan antara yang akan diwasiatkan dengan yang dibagi waris,
supaya yang menerima wasiat bagiannya tidak lebih banyak dari yang
menerima warisan umpamanya. Hal ini perlu dilakukan supaya tidak
terjadi kecemburuan di antara ahli waris.
B. Saran
Bagi para peneliti, tentunya bagi mereka yang berminat mengkaji
pelaksanaan wasiat pada kota masyarakat perspektif MUI dan
Muhammadiyah untuk mampu mendalami berbagai macam aspek,
termasuk aspek sosial yang merupakan satu kesatuan terwujudnya
sebuah aturan dalam pelaksanaan hukum secara lebih mendalam.
Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para pembaca dan
peneliti yang sejenis di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
B. Internet
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/2404/1/Syarifah%20Fathiyah.pdf
diakses pada tanggal 10 Januari 2023 pukul 19.46 WIB