Cakrawala Pendidikan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 117

Nomor ISSN: 0216-1370

CAKRAWALA PENDIDIKAN
Jurnal Ilmiah Pendidikan
Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

PENERBIT IKATAN SARJANA PENDIDIKAN INDONESIA DIY BEKERJA SAMA DENGAN LPM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

ii

CAKRAWALA PENDIDIKAN Jurnal Ilmiah Pendidikan


Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1
Daftar Isi ........................................................................................................ 1. 2. Kreativitas dalam Pembelajaran Musik.............................................. Herwin Yogo Wicaksono Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta terhadap Kecelakaan Lalu Lintas ..................... Yustinus Sukarmin Konstruksi Nilai melalui Pendidikan Olahraga ............................... Ali Maksum Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar ............................................................................. Prihastuti Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar......................................................................................... Lily Barlia Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009 ............................................. Wawan S. Suherman dan Endang Sulistyowati Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK Daerah Istimewa Yogyakarta .............................................................. Yosephine Flori Setiarini Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah ........................................................... Nuning Suistiningsih B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat ........................................................................................................... Hermanu Joebagio iii 1-12

13-24 25-34

3. 4.

35-47

5.

48-59

6.

60-70

7.

71-83

8.

84-95

9.

96-108

iii

KREATIVITAS DALAM PEMBELAJARAN MUSIK Herwin Yogo Wicaksono FBS Universitas Negeri Yogyakarta Abstract This study aimed to reveal (1) the difference in students motivation to learn music, and (2) the difference in the ability to play music between the students taught with creativity elements in learning music and those taught without them. This study employed a pretest-posttest control group design. The data were analyzed by the descriptive technique and t-test. The research subjects were Year V students of SD Negeri Sinduadi, Mlati, Sleman. The research results showed the following. (1) In the experimental group, students motivation to learn music was higher than that in the control group (tobserved = 4.330; p < 0.05). It was concluded that there was a difference in students motivation to learn music between those taught with creativity elements in learning music and those taught with the conventional method. (2) In the experimental group, the ability to play music was better than that in the control group. It was concluded that there was a difference in students ability to play music between those taught with creativity elements in learning music and those taught with the conventional method. Keywords: music learning, creativity, motivation

A. Pendahuluan Pada dasarnya, tujuan pendidikan musik pada semua jenjang pendidikan sama. Pembelajaran musik di sekolah mempunyai tujuan untuk: (1) memupuk rasa seni pada tingkat tertentu dalam diri tiap anak melalui perkembangan kesadaran musik, tanggapan terhadap musik, kemampuan mengungkapkan dirinya melalui musik, sehingga memungkinkan anak mengembangkan kepekaan terhadap dunia sekelilingnya; (2) mengembangkan kemampuan menilai musik melalui intelektual dan artistik sesuai dengan budaya bangsanya; dan 3) dapat dijadikan bekal untuk melanjutkan studi ke pendidikan musik yang lebih tinggi (Jamalus, 1998 : 91). Tujuan pendidikan musik di sekolah menengah pertama tidak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan 1

musik di sekolah dasar. Tujuan tersebut untuk membentuk dan membina kepribadian siswa. Kepekaan estetis dan nilai-nilai positif dari kegiatan bermusik diharapkan dapat membina perilaku, sikap dan watak siswa. Berdasarkan uraian tersebut, nampak bahwa upaya pembentukan pribadi siswa mendapat porsi yang lebih utama dalam pembelajaran musik di sekolah. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (maju, cukup cerdas, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, demokratis), dan berbadan sehat sehingga menjadi

2 manusia mandiri (Mulyasa, 2003: 21). Untuk itu, dalam proses belajar mengajar musik di sekolah, siswa harus memperoleh pengalaman bermusik, yaitu melalui kegiatan mendengarkan, bermain musik, bernyanyi, membaca musik, dan bergerak mengikuti musik, sehingga siswa dapat memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang ungkapan lagu tersebut. Melalui pemahaman siswa terhadap unsur-unsur atau elemen-elemen musik seperti irama, melodi, harmoni, bentuk dan gaya musik, serta ekspresi sebagai bagian dari pengalaman bermusik, maka menanamkan pula kesadaran adanya kebutuhan musik dan bermusik bagi kehidupan siswa. Dengan demikian, masuknya pembelajaran musik di sekolah dasar, sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah umum dalam kurikulum sekolah merupakan media dan sarana pendidikan yang sebenarnya bertujuan sebagai sarana pembentukan perilaku, sikap, dan watak anak didik. Selama ini, proses pembelajaran musik di sekolah-sekolah, terutama sekolah dasar, belum berjalan sesuai yang diharapkan. Kendala yang selalu dihadapi adalah minimnya sarana dan prasarana yang ada di sekolah, kedudukan mata pelajaran musik yang bukan merupakan mata pelajaran pokok (sering sebagai ekstrakurikuler) sehingga dianggap kurang begitu bermanfaat. Selain itu, sumber daya manusia di bidang musik juga merupakan kendala yang sering dijumpai karena guru-guru musik di sekolah dasar masih cukup banyak yang berlatar belakang nonmusik. Keadaan tersebut berakibat bahwa pembelajaran musik yang seharusnya menjadi sarana untuk berolah rasa dan berolah keterampilan bermusik, pada kenyataannya hanya berupa pelajaran teori yang lebih mengarah dan menekankan ranah kognitif, sehingga ranah afektif dan ranah psikomotor menjadi terabaikan dan terlupakan. Sampai saat ini masih banyak dijumpai guru musik yang dalam melaksanakan proses belajar mengajar hanya menggunakan metode ceramah, sehingga tidak menyentuh esensi tujuan pembelajaran musik. Penerapan metode pembelajaran ceramah pada proses belajar mengajar musik menyebabkan siswa tidak bersentuhan langsung dengan musik itu sendiri karena siswa lebih banyak menerima definisi-definisi yang bersifat teoretis. Dengan demikian, musik akan dipahami tidak secara utuh sebagai satu kesatuan, tetapi menjadi terpisahpisah. Dalam hal ini ritme, melodi, tangga nada, dan harmoni berdiri sendiri, sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan semakin jauh untuk dapat dicapai. Akibatnya, minat siswa terhadap pelajaran musik semakin merosot dan menyebabkan kemampuan belajar musik kurang menggembirakan. Untuk dapat mengoptimalkan pelajaran musik sebagai sarana pembentukan pribadi, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan sebaiknya adalah pembelajaran musik berbasis kreativitas. Pembelajaran musik berbasis kreativitas tidak hanya menekankan pelajaran musik dari segi teori, tetapi juga praktik, serta sebanyak mungkin melibatkan kreativitas siswa dalam pembelajaran musik. Pembelajaran musik berbasis kreativitas memberikan peluang dan wadah bagi siswa untuk berperan dengan imajinasi dan kreativitasnya dalam proses belajar mengajar musik. Pembelajaran musik berbasis kreativitas di sekolah dasar menanamkan pe-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

3 mahaman siswa terhadap unsur-unsur musik seperti irama, melodi, harmoni, bentuk, dan style serta ekspresi musik dengan memasukkan unsur-unsur kreativitas yang sudah dirancang oleh guru dalam kegiatan proses belajar mengajarnya. Ketercapaian sasaran ini merupakan sebagian awal dari upaya meningkatkan kreativitas anak dan meningkatnya minat dalam belajar musik. B. Landasan Teori Minat adalah suatu keadaan ketika seseorang mempunyai perhatian terhadap sesuatu dan disertai keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikan lebih lanjut (Walgito, 1997: 38). Pengertian tersebut secara tidak langsung memberikan indikasi bahwa di dalam unsur minat terdapat perhatian yang mendalam terhadap suatu objek. Minat mempunyai unsur perhatian, keinginan, dan kecenderungan untuk berhubungan lebih aktif terhadap suatu objek. Minat yang timbul pada diri seseorang terhadap suatu objek menjadikan orang tersebut akan lebih dekat dan aktif berhubungan dengan objek yang dimaksud. Dalam dunia pendidikan, minat dapat diartikan sebagai kecenderungan yang timbul apabila individu tertarik terhadap sesuatu yang akan dipelajari dan bermakna bagi dirinya. Menurut Effendi (1985:122-123) minat merupakan sumber dari usaha yang timbul dari kebutuhan siswa yang menjadi faktor pendorong dalam melakukan usahanya (belajar). Hal ini menunjukkan bahwa minat sangat berkaitan dengan kebutuhan seseorang. Selain itu, intensitas minat pada diri seseorang juga dapat dilihat melalui seberapa keras usahanya dalam memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan objek yang menjadi perhatiannya. Minat yang timbul pada diri seseorang sebenarnya diawali dengan perhatian. Menurut Walgito (1997 : 56), perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. Perhatian merupakan penyeleksian terhadap stimulus. Hal ini senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis terhadap suatu objek. Perhatian adalah banyak Sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas yang dilakukan (Suryabrata, 1998 : 14). Kasijan (1984:351) mengatakan bahwa pentingnya perhatian dalam minat seseorang dapat menunjukkan kemampuan untuk memberi stimuli yang mendorong kita untuk memperhatikan seseorang, suatu barang, atau kegiatan yang dapat memberikan pengaruh terhadap pengalaman yang telah distimuli oleh kegiatan itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa minat menjadi suatu sebab keikutsertaan seseorang terhadap suatu kegiatan. Berdasarkan pendapat dan penjelasan tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa minat mempunyai ciri-ciri (1) adanya perasaan senang terhadap suatu objek; (2) adanya perhatian terhadap suatu objek dan hal-hal yang berkaitan dengan objek tersebut; dan (3) adanya kemauan berbuat atau dorongan untuk belajar dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan objek. Dalam kaitannya dengan belajar musik pada diri siswa, minat diharapkan menjadi faktor pendorong, baik yang berasal dari dalam diri maupun dari luar mahasiswa untuk lebih intens dan serius mempelajari mata pelajaran seni musik di sekolah. Minat yang
Kreativitas dalam Pembelajaran Musik

4 tinggi pada diri seorang siswa akan dapat menggerakkan orang tersebut untuk berbuat yang maksimal dalam rangka mencapai tujuan mata pelajaran kesenian (musik). Minat siswa untuk lebih serius mengikuti pelajaran musik juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti metode pengajaran yang disampaikan oleh guru. Metode pembelajaran musik yang menarik, mampu menciptakan minat yang besar bagi siswa untuk mengikuti mata pelajaran tersebut. Minat yang besar untuk mengikuti mata pelajaran musik diharapkan memunculkan penguasaan yang baik terhadap materi mata pelajaran musik, seperti penguasaan instrumen musik dan olah vokal. Musik merupakan karya cipta manusia memakai medium bunyi untuk menikmatinya. Musik hadir dalam bentuk kesatuan irama, melodi, harmoni, bentuk dan gaya, serta ekspresi. Musik itu sendiri meliputi tidak hanya instrumen saja, tetapi juga vokal. Hal ini berarti ketika seseorang mengetahui cara memainkan musik, belum dapat dikatakan sebagai pemusik apabila ia tidak memahami teknik vokal. Demikian pula sebaliknya (Rouget, 1980 : 73). Musik mempunyai estetika yang tinggi dan mengundang respon dari orang yang mendengarnya. Hal ini dikarenakan musik melibatkan sympathetic emotional responsiveness. Tidak mengherankan jika musik dapat membuat suasana menjadi sedih atau gembira ketika sebuah musik dimainkan karena musik mempunyai sifat melibatkan sympathetic emotional responsiveness (Brocklehurst, 1971 : 42). Istilah pembelajaran sebenarnya diambil dari bahasa Inggris, yaitu Instruction yang berarti pengajaran. Gagne dan Briggs (Mukminan, 1998 : 5) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu rangkaian kejadian (event) yang mempengaruhi pembelajar, sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Sementara itu, Syah (2004: 32) menyatakan arti pembelajaran sama dengan pengajaran yang berasal dari kata ajar artinya petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Berdasarkan hal itu, arti pengajaran adalah memberi pengarahan agar melakukan sesuatu; mengajar agar melakukan sesuatu, dan memberi informasi. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan pekerjaan yang baru dan tepat guna. Selain itu, kreativitas merupakan suatu hal yang penting baik ditinjau dari aspek individual maupun sosial, dan dapat dimunculkan dengan mempelajari karya cipta yang sudah ada sebelumnya, untuk kemudian diperbaharui sehingga menghasilkan karya cipta baru (Sternberg, 1999: 3). Kreativitas juga dapat dimunculkan dengan mempelajari karya cipta yang sudah ada sebelumnya, untuk kemudian diperbaharui sehingga menghasilkan karya cipta baru. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan perkembangan kreativitas Mozart yang mempunyai karya-karya terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia. Di awal kariernya sebagai pemusik, ternyata Mozart banyak belajar dari karya Johann Christian Bacht yang merupakan anak dari Johan Sebastian Bacht. Mozart terinspirasi musik Johan Sebastian Bacht dan akhirnya mampu membuat karya musik baru yang berbeda dari karya yang menginspirasinya. Hal ini dapat terjadi karena adanya unsur kreativitas Mozart yang akhirnya membawanya kepada

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

5 ketenaran sebagai musikus klasik dunia (Sternberg, 1999: 235-236). Pendapat lain tentang kreativitas adalah kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru, yang menunjukkan kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam berpikir (Munandar, 1999: 168). Proses pembelajaran kreativitas pada dasarnya adalah untuk mengembangkan berbagai alternatif pemikiran atau cara dalam mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan apa yang ada dibenaknya. Munandar (1999: 21) mengemukakan bahwa proses kreatif meliputi empat tahap, yaitu (1) persiapan; (2) inkubasi; (3) iluminasi; (4) verifikasi. Kreativitas dalam pembelajaran musik sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan musik yang optimal karena musik itu sendiri memiliki banyak dimensi kreatif. Sebagai contoh, dalam musik terdapat analogi melalui persepsi, visual, auditori, antisipasi, pemikiran induktif-deduktif, memori, konsentrasi, dan logika. Dalam musik juga dapat dibedakan serta dipelajari cepat-lambat, tinggi-rendah, keras-lembut yang berguna untuk melatih kepekaan terhadap stimuli lingkungan. Selain itu, musik juga berpengaruh sebagai alat untuk meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial (Djohan, 2005: 141). Alasan lain mengapa dibutuhkan kreativitas dalam pembelajaran musik karena aktivitas musik itu sendiri justru banyak melibatkan kegiatan yang mendorong terjadinya penciptaan yang membutuhkan kreativitas (Djohan, 2005:142). Dengan demikian, setiap anak perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari pengalaman-pengalaman bermusik. Melalui musik seorang anak dapat mengembangkan imaji dan kreasi, mengkontribusikan ekspresi diri, serta kreativitas. Selain itu, musik juga dapat merangsang kreativitas dan individualitas. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa musik disejajarkan dengan disiplin dasar lainnya dan penting untuk dihadirkan di dalam pendidikan (Djohan, 2005 : 211-212). C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan kuasi eksperimen. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest control group design. Dalam penelitian ini, yang dieksperimenkan adalah kreativitas dalam pembelajaran musik. Kreativitas dalam pembelajaran musik dieksperimenkan untuk meningkatkan kemampuan olah musik, serta minat siswa. Adapun yang dimaksud kreativitas tersebut adalah kebebasan untuk berimajinasi dan berekspresi dalam musik. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Sinduadi I yang terletak di wilayah Kabupaten Sleman. Pertimbangannya adalah pelajaran seni musik di SD Negeri Sinduadi I, walaupun diampu oleh guru yang bukan berlatar belakang pendidikan guru musik, namun dalam proses pembelajaran musik sudah cukup baik tetapi masih diperlukan suatu kreativitas guna merangsang minat siswa terhadap pembelajaran tersebut. Sebelum eksperimen dilakukan, terlebih dahulu memberikan tes awal atau pretest pada kedua kelompok (kelom-

Kreativitas dalam Pembelajaran Musik

6 pok eksperimen dan kelompok kontrol). Hal ini dilakukan guna mengetahui kemampuan berolah musik awal kedua kelompok tersebut. Hasil tes awal (pretest) yang dianalisis dengan menggunakan uji t, menghasilkan perolehan sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil Uji-t Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol


Variabel Minat Belajar Musik Kemampuan Bermusik db 63 63 t hitung 0,211 0,579 t tabel 1,669 1,669 Sig. 0,833 0,565 Keterangan tidak beda tidak beda

Seperti pada tabel 1, terlihat minat belajar musik kedua kelompok tidak berbeda, karena diperoleh t hitung 0,211 < t tabel 1,669, dengan signifikansi 0,833 > 0,05. Artinya, minat belajar musik mereka sebelum dilakukan penelitian relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Demikian pula halnya dengan kemampuan bermusik pada kedua kelompok, pada Table 1 terlihat tidak berbeda. Hal ini dilihat dari perolehan t hitung 0,579 < t tabel 1,669, dengan signifikansi 0,565 > 0,05. Artinya, kemampuan bermusik mereka sebelum dilakukan penelitian relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Setelah kedua kelompok diketahui tidak berbeda secara signifikan dalam minat belajar musik serta kemampuan berolah musik, penelitian dilanjutkan dengan memberikan perlakuan, yaitu proses kreativitas dalam pembelajaran musik pada kelompok eksperimen. Sementara itu, kelompok kontrol diberikan pembelajaran musik dengan cara konvensional, yaitu dengan materi dan peralatan yang tersedia di sekolah.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian a. Normalitas Data Minat dan Kemampuan Bermusik Pemetaan awal minat dan kemampuan bermusik siswa terhadap pembelajaran musik dilakukan pada semester I tahun ajaran 2005/2006, dan pelaksanaan penerapan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik diberikan selama 6 kali pertemuan. Setiap pertemuan berisi target-target belajar seperti yang ditetapkan dalam satuan pelajaran seni musik. Meskipun demikian, pelaksanaan pembelajaran dalam setiap tahapnya dilaksanakan sesuai dengan kreativitas siswa-siswa di kelas. Untuk mengukur bagaimana minat siswa terhadap pembelajaran musik, digunakan instrumen berupa angket minat belajar musik dengan menggunakan skala Likert, skor 1 5. Demikian pula halnya dengan kemampuan bermusik siswa. Untuk mengetahui hal terebut, digunakan pula instrumen berupa angket kemampuan bermusik dengan menggunakan skala Likert, dengan skor 1 5. Pada Tabel 2 terlihat bahwa minat siswa dan kemampuan bermusik kelompok kontrol terlihat normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai 2 hitung 3,273 < 2 tabel 15,510, dan signifikansi 0,916 > 0,05 untuk minat siswa. Se-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

7 mentara itu, kemampuan bermusik diperoleh nilai 2 hitung 1,576 < 2 tabel 15,510, dan signifikansi 0,954 > 0,05.

Tabel 2. Hasil Penghitungan Normalitas Data Kelompok Kontrol


Variabel Minat Belajar Musik Kemampuan Bermusik db 8 6

2h
3,273 1,576

2t
15,510 12,590

Sig 0,916 0,954

Keterangan Normal Normal

Selanjutnya, pada Tabel 3 terlihat minat siswa dan kemampuan bermusik siswa kelompok eksperimen menunjuk-

kan hasil yang normal sebagaimana minat dan kemampuan bermusik pada kelompok kontrol.

Tabel 3. Hasil Penghitungan Normalitas Data Kelompok Eksperimen


Variabel Minat Belajar Musik Kemampuan Bermusik db 8 8

2h
11,875 6,250

2t
15,510 15,510

Sig 0,157 0,619

Keterangan Normal Normal

b. Homogenitas Varian Homogenitas dihitung untuk mengetahui varian sampel, yaitu apakah sampel berasal dari populasi yang sama atau tidak. Dengan demikian, asumsinya sampel harus homogen untuk dilanjutkan dengan uji-t.

Dalam penelitian ini, data minat belajar musik dan kemampuan bermusik antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen harus dihitung homogenitasnya. Hasil penghitungan homogenitas kedua varian tersebut terlihat pada Table 4.

Tabel 4. Hasil Penghitungan Homogenitas Varian


Varian Minat Belajar Musik Kemampuan Bermusik Lavena Statistic 0,150 21,775 db1 1 1 db2 63 63 Signifikansi 0,700 0,476 Keterangan Homogen Homogen

Pada Tabel 4, terlihat bahwa nilai signifikansi varian minat belajar musik antara siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebesar 0,700 > 0,05 dan nilai signifikansi varian kemampuan bermusik antara siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebesar 0,476 > 0,05. Hal ini berarti varian dari kedua sampel tersebut homogen. Artinya, kedua sampel

tersebut berasal dari populasi yang relatif sama. c. Hasil Pengujian Minat Siswa terhadap Pembelajaran Musik Minat merupakan sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia yang datang karena adanya stimulus dari luar. Seperti juga dalam belajar musik, seorang siswa akan memiliki minat

Kreativitas dalam Pembelajaran Musik

8 yang baik dalam belajar musik jika terdapat stimulus yang mendukunganya. Pada penelitian ini terdapat dua kelompok siswa, yaitu siswa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang diajar dengan metode yang berbeda pada mata pelajaran seni musik. Siswa yang diajar dengan menggunakan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik memiliki minat lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa yang diajar musik dengan metode konvensional (terlihat pada Tabel 5 dan Tabel 6).

Tabel 5. Kategori Skor Minat Belajar Kelompok Kontrol


Kategori Tinggi Sedang Rendah Interval Skor 44 - 60 28 - 43 12 - 27 Jumlah Frekuensi 6 24 3 33 Persentase 18,20 72,70 9,10 100,00

Tabel 6. Kategori Skor Minat Belajar Kelompok Eksperimen


Kategori Tinggi Sedang Rendah Interval Skor 44 - 60 28 - 43 12 - 27 Jumlah Frekuensi 25 7 0 32 Persentase 78,10 21,90 0,00 100,00

Hal ini sangat memungkinkan karena siswa yang mengikuti pembelajaran musik dengan menerapkan unsur kreativitas memiliki kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusisolusi baru atau gagasan-gagasan baru, yang menunjukkan kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam berpikir. Selain itu, siswa merasa senang dan gembira karena diberi kebebasan berekspresi dan berkreasi melalui musik. Proses pembelajaran kreativitas pada dasarnya adalah untuk mengembangkan berbagai alternatif pemikiran atau cara dalam mengatasi berbagai permasalahan sesuai dengan apa yang ada dibenaknya. Munandar (1999: 21) mengemukakan bahwa proses kreatif

meliputi empat tahap, yaitu (1) persiapan; (2) inkubasi; (3) iluminasi; (4) verifikasi. Kreativitas dalam pembelajaran musik sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman dan penguasaan musik yang optimal karena musik itu sendiri memiliki banyak dimensi kreatif. Sebagai contoh, dalam musik terdapat analogi melalui persepsi, visual, auditori, antisipasi, pemikiran induktif-deduktif, memori, konsentrasi, dan logika. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara minat siswa yang menggunakan unsur kreativitas dalam mengikuti pembelajaran musik dengan siswa yang diajarkan dengan metode konvensional dalam pembelajaran tersebut (Tabel 7).

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

9 Tabel 7. Hasil Uji t terhadap Minat Belajar Musik


Variabel Minat Belajar Musik Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen db 63 t Hitung 4,330 t Tabel 1,669 Sig. 0,000

d. Hasil Pengujian Kemampuan Bermusik Siswa Kemampuan bermusik siswa merupakan sebuah kompetensi atau penguasaan dalam bidang musik yang meliputi irama, melodi, harmoni, bentuk dan gaya, ekspresi, dan kreativitas dalam bermusik. Kemampuan bermusik meliputi dua unsur, yaitu keterampilan dalam memainkan alat atau instrumen musik dan berolah vokal. Dalam penelitian ini, terdapat dua kelompok siswa. Kelompok siswa yang disebut kelompok eksperimen dalam mata pelajaran seni musik diajar dengan menggunakan kreativitas dalam

pembelajaran musik, sedangkan kelompok kontrol diajar dengan menggunakan metode konvensional. Siswa yang diajar dengan menggunakan kreativitas dalam pembelajaran musik memiliki kemampuan bermusik yang lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan metode konvensional (Tabel 8 dan Tabel 9). Hal ini sangat mendukung kemampuan tersebut karena siswa yang belajar musik dengan menerapkan unsur kreativitas memiliki kebebasan berekspresi dalam memilih alat-alat musik yang dimainkan.

Tabel 8. Kategori Skor Kemampuan Bermusik Kelompok Kontrol


Kategori Tinggi Sedang Rendah Interval Skor 55 - 75 35 - 54 15 - 34 Jumlah Frekuensi 0 29 4 33 Persentase 0,00 87,90 12,10 100,00

Tabel 9. Kategori Skor Kemampuan Bermusik Kelompok Eksperimen


Kategori Tinggi Sedang Rendah Interval Skor 55 - 75 35 - 54 15 - 34 Jumlah Frekuensi 16 16 0 32 Persentase 50,00 50,00 0,00 100,00

Dengan demikian, berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji t, terdapat perbedaan kemampuan bermusik pada siswa yang diajar dengan

menggunakan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik dibandikan dengan siswa yang diajarkan dengan metode konvensional (Table 10).

Tabel 10. Hasil Uji t terhadap Kemampuan Bermusik Siswa


Variabel Kemampuan Bermusik Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen db 63 t Hitung 6,598 t Tabel 1,669 Sig. 0,000

Kreativitas dalam Pembelajaran Musik

10 2. Pembahasan Dalam dunia pendidikan, minat siswa sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini, minat terdiri atas dua macam, yaitu minat yang berasal dari dalam diri siswa dan minat yang berasal dari luar diri siswa. Pada penelitian ini, siswa kelompok eksperimen diberi stimulus berupa pembelajaran seni musik menggunakan metode berbasis kreativitas. Stimulus ini diharapkan menjadi minat bagi siswa dalam mengikuti mata pelajaran seni musik. Minat siswa terhadap kreativitas dalam pembelajaran musik mengalami peningkatan karena adanya kebebasan siswa untuk berekspresi melalui alatalat musik dan lagu-lagu yang dinyanyikannya. Sampai pada tahap ini, peneliti memperoleh informasi berdasarkan tanggapan para siswa atas permainan musik yang telah dilangsungkan. Siswa yang merasa mampu memainkan salah satu alat musik merasa senang memainkan alat musik tersebut. Mereka yang berhasil memainkan alat musik pilihannya kemudian menyatakan tertarik untuk mempelajari alat-alat musik lainnya. Rasa ketertarikan ini menunjukkan adanya minat mereka untuk belajar musik. Kemampuan bermusik siswa merupakan sebuah kompetensi atau penguasaan dalam bidang musik yang meliputi irama, melodi, harmoni, bentuk dan gaya, ekspresi, dan kreativitas dalam bermusik. Kemampuan bermusik meliputi dua unsur, yaitu keterampilan dalam memainkan alat atau instrumen musik dan berolah vokal. Siswa yang memainkan alat musik harmonika, seruling menjadi lebih paham terhadap pitch (tinggi rendah nada). Hal ini lebih memudahkan mereka dalam membaca notasi sehingga memudahkan dalam memainkan satu jenis alat musik, menimbulkan keyakinan bahwa mereka pun dapat memainkan alat musik lain setelah belajar. Dengan memainkan alat musik lainnya, mereka ingin belajar menyanyi. Ini menunjukkan bahwa minat belajar musik yang telah mereka capai mempengaruhi minat lebih lanjut terhadap pelajaran seni musik, mereka ingin belajar memainkan musik sambil menyanyikan lagu. Minat belajar musik yang terus tumbuh ini dengan sendirinya mendorong mereka untuk meningkatkan prestasinya dalam berolah seni musik. Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran tersebut, ditemukan adanya perbedaan minat antara siswa yang berkreativitas dalam pembelajaran musik (kelompok eksperimen) dan siswa yang tidak berkreativitas dalam pembelajaran musik (kelompok kontrol). Minat pada kelompok eksperimen, tertinggi sebesar 78,10%, disusul kategori rendah 00,00% dan kategori sedang 21,90%. Sedangkan minat belajar pada kelompok kontrol tertinggi sebesar 18,20%, disusul kategori sedang 72,70% dan kategori rendah 9,10%. Data ini menunjukkan bahwa kreativitas dalam pembelajaran musik telah meningkatkan minat siswa untuk belajar seni musik. Hal ini dipertegas dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa t hitung 3,005 > t tabel 1,990, dan dapat disimpulkan terdapat perbedaan minat siswa terhadap pembelajaran seni musik antar kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pembelajaran musik yang dilaksanakan di SD Negeri Sinduadi I Sleman, berdasarkan cara-cara yang ditempuh oleh guru yang bersangkutan,

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

11 menunjukkan adanya penerapan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik. Unsur kreativitas yang diterapkan adalah kreativitas pada pemilihan alat musik, pemilihan benda-benda yang dapat difungsikan sebagai alat musik, seperti botol, kotak pensil, meja, tas koper dan pemilihan lagu yang akan dinyanyikan serta mengarang syair berdasarkan lagu yang sudah sangat dikenal dan telah dinyanyikan bersama. Pemilihan benda-benda yang dapat difungsikan sebagai alat musik merupakan hal yang disukai oleh siswasiswa. Hal ini tidak saja membuat siswa senang dalam belajar musik, tetapi juga meningkatkan pemahaman mereka terhadap perasaan musikalnya. Model pembelajaran musik yang mengutamakan unsur kreativitas tersebut menekankan pada pentingnya perasaan bebas, senang, dan adanya apresiasi terhadap pilihan alat musik ataupun karya para siswa. Dalam konteks ini, guru sebagai fasilitator berperan sangat penting dalam mengkondisikan kelas agar tidak tercipta suasana yang dapat menjatuhkan mental para siswa. E. Simpulan dan Saran 1. Simpulan Kreativitas dalam pembelajaran musik dapat meningkatkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kebebasan siswa untuk berekspresi melalui alat-alat musik yang digunakan dan lagu-lagu yang dinyanyikannya. Perbedaan minat belajar musik yang ditunjukkan dengan selisih rerata (mean different) sebesar 7,55 antara siswa kelompok kontrol dan siswa kelompok eksperimen ternyata bersifat efektif. Artinya, perbedaan minat belajar musik yang diuji dengan uji t, tidak hanya berbeda secara signifikan saja, tetapi terlihat bahwa pembelajaran musik ternyata efektif dalam meningkatkan minat siswa dalam belajar musik. Selain itu, penerapan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik juga meningkatkan kemampuan bermusik siswa, yaitu sebuah kompetensi atau penguasaan dalam bidang musik yang meliputi irama, melodi, harmoni, bentuk dan gaya, ekspresi, dan kreativitas dalam bermusik. Hal ini terlihat dari adanya selisih rerata (mean different) sebesar 11,61 yang menunjukkan adanya perbedaan antara kemampuan bermusik siswa yang menerapkan unsur kreativitas dalam pembelajaran musik dengan kemampuan bermusik siswa yang menggunakan metode konvensional dalam pembelajaran musik. 2. Saran Dalam pelaksanaan pembelajaran seni khususnya seni musik di sekolahsekolah dasar, sebaiknya menerapkan unsur-unsur kreativitas di dalamnya. Hal ini dapat memberikan kesempatan siswa-siswa untuk lebih mampu mengekspresikan diri sesuai dengan kehendaknya. Guru-guru seni musik perlu mendapatkan pembinaan yang baik dan berkelanjutan agar dalam melaksanakan pembelajaran seni musik selalu memasukan unsur kreativitas. Selain itu, setiap sekolah perlu menyediakan tempat dan waktu tersendiri bagi para siswa untuk belajar seni musik dengan lebih leluasa.

Daftar Pustaka Brocklehurst, B. 1971. Response to Music: Principles of Music Education. London: Alden & Mowbray Ltd.

Kreativitas dalam Pembelajaran Musik

12 Djohan. 2005. Psikologi Musik. Yoyakarta:. Buku Baik. Effendi, U. 1985. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa. Jamalus. 1988. Pengajaran Musik melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Depdikbud. Kasijan, Z. 1984. Psikologi Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu. Mukminan, dkk. 1998. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munandar, U. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sternberg, J. Robert. 1999. Handbook of Creativity. New York: Cambridge University Press. Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikian (Cetakan ke-8). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya. Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologi Umum. (Edisi Revisi Cetakan ke5). Yogyakarta: Andi Offset.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

SIKAP MAHASISWA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TERHADAP KECELAKAAN LALU LINTAS Yustinus Sukarmin FIK Universitas Negeri Yogyakarta Abstract This study aimed to investigate the attitudes of the students in the Faculty of Sports Sciences, the Yogyakarta State University, towards attempts to prevent traffic accidents. This study was a descriptive study on attitudes. The research population consisted of the students from both regular and non-regular programs in all the study programs, namely PJKR, PKO, Ikora, and PGSD study programs. The sample consisted of 340 students out of 2,447 students, selected by using the proportional sampling technique. The data were collected by using the Likert scale in which each item had four options. The data were analyzed by using the descriptive quantitative technique employing the percentage. The results of the study showed that the students attitudes towards attempts to prevent traffic accidents were good enough (79.58%). This indicated that the students had a great concern in the victims of traffic accidents and had a high motivation to be involved in attempts to prevent and deal with traffic accidents. Keywords: attitudes, traffic accidents

A. Pendahuluan Bertambahnya jumlah, model, dan jenis kendaraan bermotor menimbulkan permasalahan sosial yang makin kompleks. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) meningkat, akibatnya di mana-mana terjadi kelangkaan BBM dengan membawa rentetan akibat yang panjang dalam segala bidang kehidupan manusia. Di samping itu, angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan kerugian yang sangat besar, baik materiil maupun nonmaterial (Sukarmin, 2005: 1). Laporan Bank Dunia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan tajuk World Report on Road Traffic Injury Prevention menyebutkan setiap tahun di seluruh dunia terdapat 1,2 juta orang 13

meninggal dunia dan 50 juta mengalami luka-luka karena lakalantas. Setiap hari tiga ribu orang meninggal dunia karena lakalantas dan sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang. Akibat lakalantas ini sembilan puluh persen mengalami cacat seumur hidup (disability adjustment life years/ DALYs). WHO memprediksi pada tahun 2020 lakalantas akan menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan depresi (Hertanto, 2004: 1; Subandriyo, 2006: 6). Angka kematian akibat lakalantas di Indonesia termasuk tinggi dan dari data statistik diketahui Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Nepal. Setiap tahun tidak kurang dari 36.000 nyawa manusia melayang sia-sia di ruas-ruas jalan negeri ini. Ini

14 berarti setiap hari rata-rata 99 orang tewas di jalan raya. Kerugian material yang ditimbulkan akibat lakalantas, di luar biaya perawatan karena sakit sehingga kehilangan produktivitas, mencapai Rp 41,3 triliun atau sama dengan 3,1 persen dari produk domestik bruto Indonesia (Yahya, 2005: 28). Menurut Maryoto (2004: 1) korban lakalantas itu sebagian besar adalah kaum laki-laki dari kelompok usia 1540 tahun. Dilihat dari usia korban, berarti kelompok mahasiswa, termasuk mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ada di dalamnya. Dari Subbag Kemahasiswaan FIK UNY diperoleh informasi bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi enam kasus lakalantas yang dialami oleh mahasiswa FIK UNY. Lakalantas itu mengakibatkan 2 orang meninggal dunia, 2 orang luka berat (gegar otak), dan 2 orang luka ringan (patah tulang). Informasi tentang lakalantas yang menimpa mahasiswa FIK UNY selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Data Lakalantas Mahasiswa FIK UNY Tahun 2006-2008


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tahun 2006 2006 2007 2007 2007 2008 Kasus Tabrakan dengan mobil. Jatuh ketika membelok. Menabrak pohon. Jatuh dari sepeda motor. Jatuh dari sepeda motor. Tabrakan dengan mobil. Jumlah 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang Keterangan Meninggal Luka berat Meninggal Luka ringan Luka ringan Luka berat

Sumber: Subbag Kemahasiswaan FIK UNY (2008) Kondisi ini sungguh sangat tidak diinginkan oleh pihak mana pun dan merupakan kerugian besar bagi bangsa dan negara. Kendatipun kondisinya sudah sedemikian parah dan memprihatinkan, masyarakat tetap kurang begitu peduli dengan keadaan ini, bahkan pemerintah dan DPR pun kurang memberikan perhatian yang serius (Nugraha, 2007: 38). Itu berbeda sekali dengan tanggapan pemerintah terhadap berbagai kasus kematian yang disebabkan oleh busung lapar, demam berdarah, atau flu burung. Semua pihak menjadi heboh dengan kasus yang terakhir ini, begitu juga media massa, baik cetak maupun elektronik, dengan gencar memberitakannya. Para pemimpin, dari tingkat lurah, camat, bupati, gubernur, sampai presiden dengan penuh semangat memimpin kampanye makan daging ayam. Kendatipun demikian, bukan berarti pemerintah sama sekali tidak melakukan tindakan preventif apa pun untuk mengatasi lakalantas yang sudah mencapai titik kritis ini. Sejatinya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mencegah dan mengatasi lakalantas. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14, Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan salah satu bukti kesungguhan pemerintah untuk memerangi lakalantas. Sejak diberlakukan pada tanggal 19 Desember 1993, UU No. 14 Th. 1992 belum menunjukkan hasil seperti yang

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

15 diharapkan oleh semua pihak. Pelanggaran lalu lintas masih banyak terjadi di jalan raya tanpa ada sanksi yang memadai dari penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Karena mendapat angin, orang makin berani berulah di jalan raya. Penyimpangan-penyimpangan dari aturan oleh para pengguna jalan yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan terjadinya lakalantas dengan membawa kerugian dan penderitaan bagi manusia. Oleh sebab itu, tidak terlalu berlebihan yang disampaikan oleh para ahli sosial melalui teori patologi sosial bahwa kecelakaan itu merupakan cermin sikap manusia terhadap kehidupan (Florio, 1979: 38). Pernyataan para ahli sosial ini menyiratkan bahwa masyarakat (termasuk di dalamnya mahasiswa) selama ini bersikap kontraproduktif terhadap program pemerintah yang dikemas melalui UU No. 14 Th. 1992. Program sebaik apa pun tanpa ada dukungan dari semua pihak jangan harap dapat membuahkan hasil yang baik pula. Masyarakat tidak dapat melemparkan tanggung jawab di pundak pemerintah saja, karena keselamatan itu merupakan tanggung jawab bersama (Sukarmin, 2005: 8). Benarkah masyarakat, dalam hal ini mahasiswa, bersikap negatif terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas yang dilakukan oleh pemerintah? Itulah yang ingin dibuktikan melalui penelitian dengan judul Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta terhadap Kecelakaan Lalu Lintas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada berbagai pihak yang langsung terlibat dengan perlalulintasan, khususnya lakalantas, yaitu jajaran manajemen pengelola moda transportasi: Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kepolisian Republik Indonesia yang merupakan komponen-komponen paling menentukan dari sebuah perjalanan dalam rangka mencegah dan mengatasi terjadinya lakalantas. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka mata hati para pengguna jalan, utamanya mahasiswa, agar lebih berdisiplin dan bertanggung jawab dalam berlalu lintas demi terciptanya keselamatan bagi diri sendiri dan orang lain. B. Landasan Teori 1. Sikap Dalam memberikan batasan tentang sikap, di antara para ahli banyak terjadi perbedaan. Terjadinya perbedaan ini disebabkan oleh adanya sudut pandang yang berbeda tentang sikap itu sendiri. Ahmadi (2007: 151) mengartikan sikap sebagai kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten. Winkel (1999:104) berpendapat sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan, lebih-lebih jika terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak. Dari berbagai batasan tentang sikap yang telah disusun oleh para ahli, seperti: Thurstone, Newcomb, Rokeach, Baron dan Byrne, dan Myers, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajek, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2003: 127). Azwar (2007: 4-5) menggolongkan definisi sikap ke dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psi-

Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

16 kologi, seperti: Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood. Menurut para ahli tersebut sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Jadi, sikap seseorang terhadap suatu objek berarti perasaan mendukung atau memihak (favorable) ataupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli, seperti: Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Gordon Alport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Konsepsi kelompok kedua mengenai sikap lebih kompleks daripada kelompok pertama. Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Batasan yang sesuai dengan kelompok pemikiran ketiga disampaikan oleh Setyobroto. Menurut Setyobroto (2003: 88) sikap adalah organisasi keyakinan yang mengandung aspek kognitif, konatif, dan afektif-emosional yang relatif tetap dan berkembang melalui pe ngalaman serta merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu secara positif atau negatif dan dapat bervariasi secara kualitas dan intensitas. Berkaitan dengan pengertian sikap, pada umumnya para ahli berpendapat bahwa sikap itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen sikap tersebut meliputi komponen kognitif atau komponen perseptual, komponen afektif atau komponen emosional, dan komponen konatif atau komponen perilaku. Komponen kognitif/komponen perseptual adalah komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap objek sikap. Komponen afektif/komponen emosional yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang seseorang terhadap objek sikap. Komponen konatif atau komponen perilaku merupakan komponen yang berhubungan dengan kecenderungan seseorang bertindak terhadap objek sikap (Walgito, 2003: 127-128; Azwar, 2007: 23-28). Di samping dapat dilihat strukturnya, dari beberapa batasan yang ada dapat pula ditentukan ciri-ciri sikap. Menurut Rakhmad (2003: 40) sikap itu memiliki ciri-ciri: (a) mempunyai daya pendorong atau motivasi; (b) relatif lebih menetap; (c) mengandung aspek evaluatif; dan (d) tidak dibawa sejak lahir. 2. Kecelakaan Lalu Lintas Tingginya lakalantas di Indonesia sangat membutuhkan perhatian serius dan tindakan nyata dari pemerintah dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Agar kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah untuk mengatasi lakalantas tepat pada sasaran, penyebabnya mesti diketahui terlebih dahulu. Menurut Aron dan Strasser (1977: 12) ada tiga komponen yang menjadi penyebab terjadinya lakalantas, yaitu: (a)

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

17 pengendara (the driver); (b) jalan raya (the highway) atau lingkungan (environment); dan (c) kendaraan (the vehicle). Pengendara atau unsur manusia merupakan faktor tunggal yang sangat penting dalam kasus lakalantas. Faktor manusia mempunyai kontribusi terbesar bagi terjadinya lakalantas, yakni lebih dari sembilan puluh persen (Nugraha, 2007: 38). Tindakan manusia, seperti: melanggar rambu-rambu lalu lintas, mengendarai dalam keadaan mabuk, dan kurang santun itu termasuk tindakan agresif. Menurut hasil penelitian Lullie (2005) perilaku agresif dalam berkendaraan merupakan pemicu teradinya lakalantas. Di sisi lain, ada ciri-ciri tertentu dari sistem jalan raya yang menjadi penyebab terjadinya lakalantas. Faktorfaktor lingkungan jalan raya, seperti: pemeliharaan yang kurang baik, es, salju, hujan, dan alat-alat kontrol lalu lintas yang tidak sesuai merupakan penyebab utama terjadinya lakalantas. Jalan raya merupakan bagian integral dari lingkungan mengemudikan kendaraan dan sebaiknya dipertimbangkan oleh pengendara (Tridiatno, 2004: 11). Diperkirakan, jalan raya dan lingkungan mempunyai kontribusi sebesar empat persen terhadap terjadinya lakalantas (Nugraha, 2007: 38). Kendaraan yang merupakan hasil rekayasa genius pada abad dua puluhan, mempunyai andil sebesar empat persen terhadap terjadinya lakalantas (Nugraha, 2007:38). Adapun penyebabnya adalah berupa kurang sempurnanya mesin kendaraan. Kendatipun demikian, hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa penyebab tersebut lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah tidak dilakukan pemeriksaan kendaraan sebelum yang bersangkutan mengendarai dengan alasan terbatasnya waktu yang tersedia karena kesibukan. Menurut Yahya (2005: 28), kecelakaan bisa dicegah dengan melakukan intervensi terhadap faktor penyebabnya: manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Perilaku manusia dapat diubah melalui pendidikan, pelatihan, atau suatu pemaksaan (enforcement). Dari segi kendaraan yang beroperasi di jalan raya, perlu ada peraturan yang mewajibkan agar semua kendaraan memenuhi standar keselamatan. Dari sisi jalan atau lingkungan, perlu dilakukan audit keselamatan secara periodik sehingga jalan atau lingkungan benarbenar laik untuk dilewati oleh berbagai jenis kendaraan. Untuk mengatasi masalah lakalantas, pertama-tama yang harus digarap adalah faktor manusia melalui pendidikan keselamatan lalu lintas. Pelaksanaannya dimulai sedini mungkin ketika anak dapat diajari sikap yang tepat untuk menghadapi risiko dan keganasan jalan raya (Florio, 1979: 187). Oleh sebab itu, pendidikan keselamatan lalu lintas harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah sejak sekolah dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi (PT) (Susilo, 2005:1; Muchtamadji, 2004: 34). Di samping itu, pencegahan terhadap lakalantas dapat dilakukan dengan cara menelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab dan untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa (Florio, 1979: 121). Sayang, perhatian orang terhadap lakalantas sangat kurang sehingga penelitian tentang lakalantas pun tidak banyak dilakukan. Sejauh ini orang baru sebatas berempati tetapi tidak tahu harus berbuat apa

Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

18 untuk memberikan solusi. Penelitian terhadap lakalantas dapat dimulai dengan meneliti sikap manusia terhadap usaha-usaha pencegahan. Apa pun usaha yang akan dilakukan, semua mesti diarahkan kepada ketiga faktor penyebab terjadinya lakalantas: pengendara (manusia), jalan raya (lingkungan), dan kendaraan. C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel maupun lebih (independen), tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel yang satu dan variabel lainnya (Sugiyono, 2004: 11). Dalam penelitian ini hanya ada satu variabel, yaitu sikap. Populasi dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa FIK, baik reguler maupun nonreguler, yang terdiri atas mahasiswa Prodi PJKR, Prodi PKO, Prodi Ikora, dan Prodi PGSD. Jumlah seluruh populasi 2.447 orang dengan perincian: Prodi PJKR 1.366 orang, Prodi PKO 380 orang, Prodi Ikora 156 orang, dan Prodi PGSD 545 orang (BAAKPSI, 2008: 6). Sampel yang digunakan sebanyak 340 orang yang diambil secara random dengan teknik proportional sampling (Suharsimi, 2002: 116). Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan Tabel Krecjie (Sugiyono, 2002: 63). Menurut Tabel Krecjie, untuk populasi 2.447 jumlah sampel ada di antara 331 dan 335. Kendatipun demikian, dalam penelitian ini jumlah sampel dinaikkan dan dibulatkan menjadi 340 orang. Berdasarkan teknik pengambilan sampel, jumlah sampel untuk tiap-tiap prodi dapat ditentukan sebagai berikut: Prodi PJKR 190 orang, Prodi PKO 53 orang, Prodi Ikora 22 orang, dan Prodi PGSD 75 orang. Instrumen yang digunakan untuk mengukur sikap dalam penelitian ini adalah skala sikap model Likert atau yang lebih dikenal dengan sebutan skala Likert (Walgito, 2003: 167). Alternatif jawaban skala likert dalam penelitian ini tidak menggunakan 5 alternatif, seperti aslinya, tetapi 4 alternatif, yaitu: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Alternatif yang ada di tengah-tengah (undecided) sengaja dihilangkan dengan alasan: (1) kategori ragu-ragu mempunyai arti ganda atau menunjukkan ketidakjelasan sikap responden terhadap objek sikap; (2) jawaban di tengah menimbulkan kecenderungan bagi responden menjawab ke arah tengah; dan (3) mengetahui kejelasan sikap responden ke arah setuju atau tidak setuju (Hadi, 1991: 20). Perubahan dari 5 alternatif jawaban menjadi 4 alternatif jawaban membawa konsekuensi dalam pemberian skor jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang membangun skala sikap. Skor jawaban responden berkisar antara 1 (skor terendah) dan 4 (skor tertinggi). Pemberian skor jawaban antara pernyataan positif dan negatif berbeda, dalam arti berbalikan. Untuk pernyataan positif, SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan untuk pernyataan negatif, SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4. Menurut Azwar (2007: 108) ada dua hal penting yang harus diperhatikan pada perancangan skala sikap, yaitu: (1) penentuan dan pembatasan konsep sikap; dan (2) penentuan dan pembatasan objek sikap. Konsep sikap dalam penelitian ini mengikuti teori skema triadik yang menyebutkan bahwa sikap mengandung beberapa aspek: kognitif,

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

19 afektif, dan konatif. Di sisi lain, objek sikap dalam penelitian ini ditentukan dan dibatasi dengan beberapa komponen yang terdiri atas: pengendara, jalan raya, dan kendaraan. Pernyataan yang membangun skala sikap semula berjumlah 40 butir, setelah diujicobakan tinggal 38 butir yang sahih. Jadi, ada dua butir yang gugur dalam uji coba. Uji coba dilakukan karena skala sikap, yang terdiri atas pernyataan-pernyataan tentang objek sikap. Hal ini merupakan skala sikap buatan sendiri yang belum diketahui kesahihan dan keandalannya. Subjek yang digunakan untuk uji coba adalah mahasiswa FIK UNY yang sudah ujian skripsi tetapi masih revisi sebanyak tiga puluh orang. Uji coba dilakukan pada minggu pertama bulan Juni 2008, di Kampus FIK UNY. Analisis data uji coba menggunakan bantuan jasa komputer dengan program SPS Versi 2005BL, edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih. Untuk menentukan kesahihan butir digunakan teknik analisis kesahihan butir, sedangkan untuk menentukan keandalan butir digunakan teknik Alpha Cronbach. Hasil uji coba menunjukkan dari 40 butir pernyataan yang tersedia, 38 butir di antaranya sahih, sedangkan 2 butir tidak sahih alias gugur. Keandalan butir yang diperoleh dengan teknik Alpha Cronbach menunjukkan rtt = 0,954, dengan p = 0,000. Ini berarti butir-butir pernyataan yang membangun skala sikap tersebut adalah andal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap (attitude scale) berupa kumpulan pernyataan tentang objek sikap. Dari respons subjek pada setiap pernyataan itu dijadikan dasar untuk menentukan arah dan intensitas sikap seseorang terhadap objek sikap (Azwar, 2007: 95). Untuk pengumpulan data digunakan teknik angket. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup, yaitu responden tinggal memilih salah satu alternatif jawaban yang telah tersedia. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase (Suharsimi, 2002: 215). Karena dalam penelitian ini tidak ada hipotesis, analisis langsung diarahkan untuk menjawab rumusan masalah. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjawab rumusan masalah adalah: (1) menentukan skor ideal/ kriterium, yaitu skor yang ditetapkan dengan asumsi bahwa setiap responden pada setiap pertanyaan memberikan jawaban dengan skor tertinggi; dan (2) membagi jumlah skor hasil penelitian (skor riil) dengan skor ideal (Sugiyono, 2004: 204). D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Setelah data penelitian terkumpul dilakukan analisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase. Adapun langkahlangkah analisisnya seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pada bagian teknik analisis data. Hasil analisis data disajikan secara berturut-turut dari Tabel 2 sampai dengan Tabel 4 berikut.

Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

20 Tabel 2. Perhitungan Persentase Sikap Mahasiswa FIK UNY terhadap Usahausaha Pencegahan Lakalantas secara Keseluruhan
Komponen Objek Sikap Pengendara Jalan Raya Kendaraan Jumlah Komponen Sikap Kognitif Afektif Konatif 9.298 5.722 2.161 6.251 3.096 1.946 6.332 4.118 2.202 21.881 12.936 6.309 Total Ideal 20.400 14.960 16.320 51.680

Riil 17.181 11.293 12.652 41.126

% 84,22 75,49 77,52 79,58

Tabel 2 menunjukkan skor riil sikap mahasiswa FIK UNY terhadap lakalantas secara keseluruhan sebesar 41.126, sedangkan skor ideal secara keseluruhan sebesar 51.680. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 38 x 4 x 340 = 51.680. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh

persentase sebesar 79,58. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usahausaha pencegahan lakalantas adalah cukup baik.

Tabel 3. Perhitungan Persentase Komponen Objek Sikap Mahasiswa FIK UNY terhadap Usaha-usaha Pencegahan Lakalantas
No. 1. 2. 3. Objek Sikap Pengendara Jalan Raya Kendaraan Skor Riil 17.181 11.293 12.652 Skor Ideal 20.400 14.960 16.320 Persentase 84,22 75,49 77,52

Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa dari komponen objek sikap pengendara diperoleh skor riil sebesar 17.181, sedangkan skor ideal 20.400. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 15 x 4 x 340 = 20.400. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 84,22. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dari komponen objek sikap pengendara adalah baik. Dari komponen objek sikap jalan raya diketahui skor riil sebesar 11.293, sedangkan skor ideal sebesar 14.960.

Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 11 x 4 x 340 = 14.960. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 75,49. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dari komponen objek sikap jalan raya adalah cukup baik. Untuk komponen objek sikap yang ketiga, yaitu kendaraan diketahui skor riil sebesar 12.652, sedangkan skor ideal sebesar 16.320. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 12 x 4 x 340 = 16.320.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

21 Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 77,52. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dari komponen objek sikap kendaraan adalah cukup baik.

Tabel 4. Perhitungan Persentase Komponen Sikap Mahasiswa FIK UNY terhadap Usaha-usaha Pencegahan Lakalantas
No. 1. 2. 3. Komponen Sikap Kognitif Afektif Konatif Skor Riil 21.881 12.936 6.309 Skor Ideal 27.200 16.320 8.160 Persentase 80,44 79,26 77,31

Tabel 4 menunjukkan skor riil sikap mahasiswa FIK UNY terhadap lakalantas dari komponen sikap kognitif sebesar 21.881, sedangkan skor ideal sebesar 27.200. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 20 x 4 x 340 = 27.200. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 80,44. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dari komponen sikap kognitif adalah cukup baik. Dari komponen sikap afektif diketahui skor riil sebesar 12.936, sedangkan skor ideal sebesar 16.320. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 12 x 4 x 340 = 16.320. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 79,26. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usahausaha pencegahan lakalantas dari komponen sikap afektif adalah cukup baik.

Untuk komponen sikap yang ketiga, yaitu konatif diketahui skor riil sebesar 6.309, sedangkan skor ideal sebesar 8.160. Skor ini diperoleh dari jumlah butir x skor tertinggi x jumlah responden atau 6 x 4 x 340 = 8.160. Dari perbandingan antara skor riil dan skor ideal diperoleh persentase sebesar 77,31. Setelah dikonsultasikan dengan klasifikasi skala sikap, persentase tersebut masuk ke dalam kategori cukup baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dari komponen sikap konatif adalah cukup baik. 2. Pembahasan Dari Tabel 2 diperoleh informasi bahwa secara keseluruhan mahasiswa FIK UNY memiliki sikap yang cukup baik terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas. Sikap seperti ini tidak terlepas dari latar belakang kehidupan akademis yang dimiliki mahasiswa FIK UNY. Dibandingkan dengan fakultas lain yang ada di UNY, FIK memiliki keunikan yang membedakan sekaligus mendewasakan mahasiswanya. Setiap hari dalam proses pembelajaran praktik, para mahasiswa selalu dihadapkan dengan hal-hal yang

Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

22 berisiko tinggi atau berbahaya. Alat, fasilitas, materi, proses, tempat, dan cuaca yang dihadapi sangat membutuhkan kesungguhan dan kehati-hatian. Kurangnya pengetahuan, terbatasnya keterampilan, dan ketidak-sungguhan atau sikap sembrono pada waktu mengikuti kuliah praktik dapat menimbulkan kecelakaan yang dapat mencederai, bahkan mengancam keselamatan jiwa para mahasiswa. Kondisi kehidupan akademik seperti itu disadari ataupun tidak telah menempa diri para mahasiswa FIK UNY menjadi pribadi yang dewasa dan matang. Para mahasiswa menjadi terbiasa menghadapi masalah-masalah kehidupan yang makin tidak bersahabat, termasuk ganasnya lalu lintas jalan raya. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa manusia di jalan raya menimbulkan sikap empati: ada kepedulian dan kemauan pada diri para mahasiswa untuk ikut terlibat dalam usaha-usaha pencegahan lakalantas. Dalam Tabel 3 ditunjukkan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap objek sikap pengendara masuk ke dalam kategori baik, sedangkan untuk objek sikap jalan raya dan kendaraan masuk ke dalam kategori cukup baik. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kedekatan objek sikap dengan diri mahasiswa. Para mahasiswa FIK UNY mempunyai sikap yang baik terhadap objek sikap pengendara karena pengendara merupakan citra bagi diri para mahasiswa sendiri. Oleh karena itu, semua penderitaan lahir dan batin akibat kecelakaan yang dialami oleh pengendara seolah-olah dialami juga oleh para mahasiswa dan mereka tidak mau hal itu terjadi. Di samping itu, para mahasiswa senantiasa mengharapkan pengendara dapat bersikap hati-hati dan bertanggung jawab dalam berkendaraan demi keselamatan diri sendiri dan orang lain. Hal ini selaras dengan filosofi keselamatan, yakni bahwa keselamatan itu merupakan tanggung jawab setiap individu. Dari objek sikap kendaraan, mahasiswa FIK UNY memiliki sikap yang cukup baik, sama dengan jalan raya tetapi memiliki persentase lebih tinggi. Dibandingkan dengan jalan raya, kendaraan lebih menyatu dengan mahasiswa karena kendaraan selalu bersama-sama, mengantarkan ke mana pun mahasiswa pergi. Setiap hari, para mahasiswa selalu merawat kendaraan agar dapat berjalan lancar dan sampai di tujuan dengan selamat. Di sisi lain, jalan raya justru lebih sering menimbulkan masalah bagi mahasiswa karena kondisinya yang rusak, sempit, berdebu, dsb., sehingga tidak memberikan kenyamanan bagi pengguna jalan. Kendatipun demikian, sebagai orang yang terdidik, mahasiswa tetap menunjukkan sikap yang elegan dalam berlalu lintas dengan selalu berpegang pada etika berlalu lintas yang benar. Tabel 4 menunjukkan, dari komponen sikap kognitif, afektif, dan konatif, mahasiswa FIK UNY memiliki sikap yang cukup baik terhadap usahausaha pencegahan kecelakaan. Sikap yang cukup baik dari mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas ini tidak terlepas juga dengan diselenggarakannya mata kuliah pendidikan keselamatan untuk semua prodi. Dalam pendidikan keselamatan, mahasiswa dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang baik dan kritis disertai dengan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi tentang keselamatan diri sendiri dan orang lain untuk mencegah dan mengatasi kecelakaan sehingga tercipta kehidupan yang aman dan sejahtera.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

23 E. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas adalah cukup baik. Kesimpulan ini mengandung makna bahwa mahasiswa FIK UNY memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap korban lakalantas dan mempunyai kemauan yang cukup besar untuk ikut terlibat dalam usaha mencegah dan mengatasi terjadinya lakalantas. Kendatipun sudah dapat mengungkap fakta yang ada di lapangan, yaitu sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas, bukan berarti penelitian ini terbebas dari kelemahan sebagai keterbatasan. Beberapa kelemahan yang dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Peneliti tidak melakukan crosscheck terhadap data lakalantas mahasiswa FIK UNY (responden) selama satu tahun terakhir. Data ini paling tidak dapat memperkuat atau sebaliknya membantah sikap yang diungkapkan melalui skala sikap. Dengan demikian, gambaran sikap mahasiswa FIK UNY terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas dapat dibuktikan kebenarannya atau paling tidak mendekati kebenaran. 2. Dalam penelitian ini, peneliti juga tidak melakukan crosscheck terhadap nilai pendidikan keselamatan mahasiswa untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya dalam pembinaan sikap hidup selamat termasuk dalam berlalu lintas. Hasil penelitian ini mempunyai implikasi praktis bagi pihak-pihak yang secara langsung terkait dengan lakalantas, yaitu jajaran manajemen pengelola moda transportasi: Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, dan Kepolisian Republik Indonesia. Ketiga institusi tersebut merupakan pihak-pihak yang paling berkompeten mengambil langkah-langkah pencegahan terjadinya lakalantas dari berbagai aspek: pengendara, jalan raya, dan kendaraan. Di samping itu, sikap yang cukup baik dari mahasiswa terhadap usaha-usaha pencegahan lakalantas merupakan aset penting dalam rangka menjadikannya sebagai contoh bagi masyarakat dalam berlalu lintas. Sehubungan dengan hasil penelitian seperti tersebut di atas dan demi terwujudnya perjalanan lalu lintas yang aman dan lancar ada beberapa saran yang perlu disampaikan. 1. Polri hendaknya memberikan citra yang baik dalam menegakkan hukum dengan bertindak tegas dan adil tanpa pandang bulu. Siapa pun yang melakukan pelanggaran lalu lintas harus dikenai sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Pemberian surat izin mengemudi (SIM) kepada calon pengendara hendaknya dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar. 3. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, dituntut untuk menyediakan fasilitas jalan raya yang dapat memberikan kenyamanan dan menjamin keselamatan bagi pengguna jalan. 4. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan, dituntut untuk membuat regulasi bagi kendaraan yang beroperasi di jalan raya. Daftar Pustaka Aaron, J.E., & Strasser, M.K. 1977. Driver and Traffic Safety Education. 2nd. ed. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

24 Ahmadi, H. A. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta. Azwar, S. 2007. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi II. Cetakan X. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. BAAKPSI. 2008. Informasi Akademik Mahasiswa Semester Genap 2007/2008. Yogyakarta: UNY. Florio, A.E., Ales, W.F., & Stafford, G.T. 1979. Safety Education. 4th. ed. New York: McGraw-Hill Book Company. Hadi, S. 1991. Analisis Butir untuk Instrumen. Yogyakarta: Andi Offset. Hertanto, L. 2004. Kecelakaan Lalu Lintas Pembunuh Nomor 3 di Indonesia.http://www.honda-tiger.or.id Lullie, Y. 2005. Hubungan Perilaku Agresif dengan Risiko Kecelakaan dalam Mengemudi Sepeda Motor di Jalan Raya. Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Teknik, Universitas Atmajaya Yogyakarta. Maryoto, A. 2004. Kecelakaan Lalu Lintas dan Masalah Perkotaan. http:// www.kompas.com. Muchtamadji. 2004. Pendidikan Keselamatan: Konsep dan Penerapannya. Jakarta: Depdiknas. Nugraha, P. 2007. Mati di Jalan, Siapa Peduli? Kompas. (6 Januari 2007). Hlm. 38. Rahmad, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Setyobroto, S. 2003. Psikologi Sosial Pendidikan. Jakarta: Percetakan Solo. Subandriyo, T. 2006. Haruskah Korban Jatuh Lagi? Kompas. (24 April 2006). Hlm. 6. Subbag Kemahasiswaan. 2008. Data Kecelakaan Mahasiswa FIK. Yogyakarta: FIK UNY. Sugiyono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Cetakan ke-4. Bandung: Alfabeta. ______. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Edisi ke-11. Bandung: Alfabeta. Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Cetakan ke-12. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sukarmin, Y. 2005. Pendidikan Keselamatan Lalu Lintas untuk Anak Sekolah Dasar. WUNY. (Nomor 3, Tahun VII). Hlm. 25-31. Susilo, D. 2005. Pendidikan Keselamatan Lalu Lintas Masuk Kurikulum Sekolah. http://www.mediaindo.co.id. Tridiatno, A. 2004. Jalan Raya Bukan Ladang Pembantaian. Kedaulatan Rakyat. (5 Maret 2004). Hlm. 11. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: CV Andi Offset. Winkel, W.S. 1999. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Grasindo. Yahya, M. N. 2005. Keselamatan Lalu Lintas: Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan. Kompas. (26 September 2005). Hlm. 28.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

KONSTRUKSI NILAI MELALUI PENDIDIKAN OLAHRAGA Ali Maksum FIK Universitas Negeri Surabaya

Abstract Sports are believed to be an effective instrument to inculcate positive values for human development. Sports provide learners with space to learn tolerance, cooperation, perseverance, discipline, competitiveness, leadership, etc. However, in reality this is not always the case, which makes experts in sports education have a lot of concern. It is necessary to find a solution if there is something wrong in sports education. It seems necessary to deconstruct and reconstruct sports education at school. This article offers a sports learning model called Sport-ed. There are two theoretical frameworks as the underlying principles, namely the constructivist approach and the experiential learning. From these perspectives, sports learning is expected to organize learners experience in the meaningful interpretation of social life. Values such as honesty, tolerance, and moral should be integrated into the basic structure of learners logic. Keywords: sports, sports education, value construction

A. Pendahuluan Mencermati perilaku masyarakat pada umumnya dan pelajar pada khususnya dewasa ini, bangsa Indonesia patut merenung dan mengungkapkan rasa keprihatinan yang mendalam. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun, toleran, dan bersahabat; kini seolah berubah menjadi bangsa yang suka marah, suka melakukan kekerasan, dan tidak taat pada aturan main. Berbagai panggung kehidupan telah memberikan bukti kepada bangsa ini tentang hal tersebut, baik dalam skala mikro seperti kekerasan dalam keluarga maupun bersifat makro seperti penyerangan terhadap aliran keagamaan, tawuran antarpelajar, tindakan anarkis mahasiswa dalam berdemo, dan kerusuhan suporter sepakbola. Apa yang sedang terjadi pada bangsa ini? Mengapa semua itu harus 25

terjadi? Upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut? Tidak mudah untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, mengingat banyak faktor yang melingkupinya seperti faktor pendidikan, ekonomi, sosial, dan kemiskinan. Dalam konteks pendidikan, ketika sebagian pelajar dianggap tidak lagi memiliki etika bertingkah laku, banyak pihak yang mengusulkan dihidupkannya kembali pendidikan budi pekerti. Nostalgia masa lalu ketika mendapatkan pendidikan seperti itu tampaknya menjadi dasar pijakan. Pihak-pihak tersebut seolah berkesimpulan, anak-anak sekarang perilakunya buruk karena tidak mendapatkan pelajaran budi pekerti. Ada juga yang berpendapat, untuk meningkatkan moral anak, jam pelajaran Agama perlu ditambah. Per-

26 tanyaannya kemudian: Apakah dengan penambahan jam pelajaran pendidikan agama akan terjadi peningkatan moral peserta didik? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Setidaknya diperlukan penelitian yang mendalam untuk dapat menjelaskan hal tersebut. Tulisan berargumentasi bahwa penambahan mata pelajaran baru, dalam hal ini budi pekerti, dibutuhkan suatu kebijakan di tingkat makro seperti keputusan Menteri, dan dalam pelaksanaannya pun akan menimbulkan masalah baru, seperti siapa yang harus mengajar dan bagaimana bentuk pengajarannya. Demikian juga dalam hal pendidikan agama. Jika orientasi pendidikan agama bersifat indoktrinasi dan mengedepankan ritual seperti yang selama ini terjadi, tidak banyak yang bisa diharapkan meskipun jam pelajarannya ditambah. Banyak pihak menaruh harapan kepada pendidikan olahraga, meskipun dengan Pendidikan Olahraga memang tidak serta merta sejumlah persoalan di atas akan terselesaikan. Pendidikan Olahraga juga bukanlah segala-galanya, akan tetapi melalui Pendidikan Olahraga banyak hal yang bisa diajarkan. Misalnya, terkait dengan nilai persamaan dan kebersamaan, fair play, kompetisi, toleransi yang kesemuanya merupakan prasarat dasar mewujudkan masyarakat madani (civil society). Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa apa yang dikemukakan di atas belum sesuai dengan yang diharapkan. Ada kesenjangan yang cukup dalam antara tataran teoretik dan empirik. Penelitian yang dilakukan terhadap masalah ini (misalnya: Kleiber & Robert, 1981; Bredemeier & Shields, 1986) belum menunjukkan kesimpulan yang konsisten. Pertanyaannya, mengapa kondisi yang demikian bisa terjadi? Bagaimanakah model pembelajaran yang memungkinkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, respek, tanggung jawab, dan toleransi terkonstruksi dalam diri siswa? Hal inilah yang menjadi fokus tulisan ini. Uraian akan dimulai dengan memberikan pengertian dasar dari pendidikan olahraga, dilanjutkan dengan dekonstruksi nilai yang terjadi di dalamnya. Pembahasan akan diakhiri dengan menawarkan sebuah solusi fundamental berupa rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah. B. Pembahasan 1. Konsep Dasar Pendidikan Olahraga Sebelum membahas lebih jauh, perlu disepakati dulu tentang beberapa istilah yang acapkali digunakan secara bertukar (interchangeable), yakni: Olahraga, Olahraga Pendidikan, Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, dan bisa jadi ada istilah lain. Tulisan ini tidak akan membahas definisi setiap istilah tersebut karena penulis tidak ingin terjebak dalam diskusi definisi, melainkan memberikan highlight atas beberapa istilah tersebut. Dua istilah yang pertama, subjek dasarnya adalah olahraga sedangkan kata pendidikan memberikan keterangan. Keduanya menginduk pada Ilmu Keolahragaan (sport sciences) dan secara yuridis mengacu pada UU No. 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Sementara itu, dua istilah yang terakhir, subjek dasarnya adalah pendidikan sedangkan kata olahraga sekedar memberi keterangan. Keduanya menginduk pada Ilmu Pendidikan dan secara yuridis mengacu pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam tulisan ini sengaja digunakan istilah pendidikan olahraga untuk memberikan kesan kuat makna pen-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

27 didikan. Istilah Pendidikan Olahraga dalam tulisan ini didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan melalui aktivitas fisik terpilih untuk mengembangkan potensi peserta didik secara paripurna, baik menyangkut kepribadian, intelektual, sosial, dan keterampilan. Secara sederhana, pendidikan olahraga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas olahraga. Mengingat pendidikan sebagai core-nya, maka tidak mengherankan apabila nilai-nilai pendidikan yang ada dalam aktivitas olahraga menjadi hal yang sangat penting untuk diketengahkan. Sementara itu, nilai (value) dalam tulisan ini didefinisikan sebagai an enduring belief that a specific mode of conduct or endstate of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence (Schwartz & Bilsky, 1990; Rokeach, 1973). Perlu juga ditegaskan di sini bahwa pengertian nilai dalam tulisan ini lebih difokuskan pada nilai-nilai moral (Miller, Roberts & Ommundsen, 2005). Kendati banyak aspek nilai lain yang terkandung dalam aktivitas olahraga. Telah menjadi keyakinan umum bahwa aktivitas olahraga syarat dengan nilai-nilai pendidikan seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan tanggung jawab. Bahkan, ada ungkapan yang sudah menjadi keyakinan sejarah dari waktu ke waktu: Sport build character (Maksum, 2005; 2002). United Nations (2003) melalui Task force on Sport for Development and Peace menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif untuk mendidik kaum muda, terutama dalam hal nilai-nilai. Sport provides a forum to learn skills such as discipline, confidence and leadership and it teaches core principles such as tolerance, cooperation and respect. Sport teaches the value of effort and how to manage victory, as well as defeat. When these positive aspects of sport are emphasized, sport becomes a powerful vehicle through which the United Nations can work towards achieving its goals (p. v). Sejumlah nilai yang ada dan dapat dipelajari melalui aktivitas olahraga meliputi: Cooperation, Communication, Respect for the rules, Problem-solving, Understanding, Connection with others, Leadership, Respect for others, Value of effort, How to win, How to lose, How to manage competition, Fair play, Sharing, Self-esteem, Trust, Honesty, Self-respect, Tolerance, Resilience, Teamwork, Discipline, Confidence (United Nations, 2003). Uraian di atas menunjukkan bahwa aktivitas olahraga mengandung nilainilai yang sangat esensial bagi kehidupan dan kemanusiaan. Ketika peserta didik bermain sepakbola, misalnya, selain belajar keterampilan seperti menendang dan menggiring bola, juga belajar bekerja sama, kepercayaan, dan respek kepada orang lain. Sulit rasanya menciptakan goal ke gawang lawan tanpa adanya kerjasama yang optimal di antara pemain. Seorang pemain tidak akan memberikan bola kepada teman sesama tim andai saja tidak percaya kepada yang bersangkutan. Demikian juga melalui sepakbola peserta didik belajar menghormati dan menghargai lawan, misalnya ketika lawan mengalami cedera atau bahkan memenangkan suatu pertandingan. Meskipun nilai-nilai tersebut demikian menonjol dalam olahraga, sayangnya dalam tataran praktis masih jauh dari apa yang diharapkan. Tidak banyak insan olahraga yang mau dan mampu menerapkannya. Kepentingan sesaat seperti kemenangan dan gengsi lebih menonjol dibanding penghormat-

Konstruksi Nilai melalui Pendidikan Olahraga

28 an terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tentu hal ini merupakan ironi. 2. Dekonstruksi Nilai-nilai Olahraga Andai saja Baron Pierre de Coubertin sebagai penggagas Olimpiade modern masih bisa menyaksikan berbagai pagelaran akbar olahraga seperti SEA Games, ASIAN Games, Commonwealth Games, dan Olympic Games, Baron Pierre de Coubertin mungkin akan tersenyum karena apa yang dirintis sejak lebih dari satu abad yang lalu telah berkembang demikian pesat dengan melibatkan ribuan peserta dari berbagai negara. Sebagai contoh, pada tahun 1896 di mana Olimpiade pertama dilakukan di Athens hanya diikuti oleh 13 negara dengan 280 atlet. Sementara pada tahun 2008 di Beijing yang baru lalu, Olimpiade diikuti oleh 204 negara dengan 11.028 atlet. Namun demikian, senyum yang merupakan ekspresi dari kebahagiaan tersebut, sangat bolehjadi akan berubah dalam sekejap menjadi tangis pilu, mengingat olahraga telah mengalami distorsi dan pendangkalan nilai-nilai. Olahraga sudah bukan lagi merupakan ekspresi homo ludens, akan tetapi telah menjadi objek homo economicus. Pentas olahraga direduksi menjadi persoalan menang-kalah dan hadiah yang pada gilirannya cenderung kurang menjunjung tinggi sportivitas yang merupakan spirit dasar dari olahraga itu sendiri. Lihatlah bagaimana pertandingan sepakbola Liga Indonesia belakangan ini. Dari sejumlah pertandingan yang digelar, kerusuhan seolah menjadi peristiwa yang sulit untuk dihindari. Belum lagi kasus-kasus lain seperti pemalsuan umur, ijazah, dan suap. Ironinya, kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup olahraga prestasi yang notabene mengedepankan kemenangan dan pencapaian prestasi tinggi, tetapi juga pada olahraga di lingkungan persekolahan. Peserta didik hanya diajarkan bagaimana memenangkan suatu permainan dalam olahraga, bukan menemukan learning points dari permainan tersebut, misalnya bagaimana bermain dengan cara-cara yang sportif dan bermartabat. Nilai-nilai luhur olahraga yang seharusnya diajarkan dan dijunjung tinggi justru terdistorsi oleh hasrat untuk menang dan mengalahkan pihak lain. Semangat yang demikian justru semakin menjauhkan olahraga dari hakikat dasarnya sebagaimana dikemukakan oleh Coubertin sendiri bahwa tujuan olahraga bukanlah kemenangan, melainkan keikutsertaan, persahabatan, dan hubungan antar umat manusia. The most important thing in the olympic games is not to win, but to take part; just as the most important thing in life is not the triumph, but the struggle. Persoalan distorsi nilai-nilai olahraga pada dasarnya bukan hal baru dan telah menjadi masalah internasional. Apalagi setelah motif ekonomi demikian menghegemoni dunia olahraga. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi kondisi tersebut adalah persoalan pendidikan jasmani di sekolah. Penelitian yang dilakukan di sejumlah negara menunjukkan bahwa pendidikan jasmani ada dalam kondisi krisis (Hardman, 2003a; 2003b). Posisinya semakin terpinggirkan dalam struktur kurikulum, perhatian pemerintah relatif kurang memadai, infrastruktur semakin berkurang, dan model pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengoptimalkan potensinya, termasuk pengembangan nilai-nilai.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

29 3. Rekonstruksi Pembelajaran Untuk mengembalikan olahraga kepada hakikat dasarnya, memang bukan persoalan mudah. Dibutuhkan usaha yang luar biasa dari semua pihak, pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang olahraga, mulai dari hulu hingga hilir. Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, yang memang tidak sederhana, tulisan ini menawarkan satu solusi fundamental, yakni melakukan rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah. Setidaknya, ada tiga alasan pokok mengapa rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah diyakini sebagai solusi yang efektif. Pertama, sebagian besar peserta didik mengenal olahraga melalui institusi sekolah. Kedua, usia sekolah merupakan periode efektif untuk menanamkan nilai-nilai. Ketiga, pembelajaran olahraga di sekolah selama ini lebih menekankan pada penguasaan keterampilan dan cenderung mengabaikan proses pembelajaran nilai. Harus diakui bahwa proses pembelajaran olahraga di sekolah selama ini kurang memungkinkan nilai-nilai luhur olahraga terkonstruksi dalam kognitif siswa. Dengan demikian, bisa dipahami apabila nilainilai luhur yang terkandung dalam olahraga belum dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, apalagi mentransformasi ke dalam tingkah laku. Bagaimana proses pembelajaran nilai dalam pendidikan olahraga? Seperti telah diketahui bahwa terdapat tiga jenis pembelajaran, yaitu: pembelajaran motorik, pembelajaran afektif, dan pembelajaran kognitif. Pembelajaran motorik terkait dengan pengembangan kompetensi aktual. Pembelajaran afektif terkait dengan pembentukan nilai, sikap, dan perasaan. Sementara itu, pembelajaran kognitif terkait dengan pemerolehan informasi dan konsep-konsep yang terkait dengan substansi materi yang dilatihkan. Ketiga jenis pembelajaran tersebut terkait satu dengan yang lain. Pada tingkat tertentu pembelajaran afektif merupakan dasar dari pembelajaran motorik dan dalam beberapa hal pembelajaran kognitif menjadi dasar terjadinya pembelajaran afektif. Ketiga pembelajaran tersebut akan efektif apabila peserta didik mengalaminya dalam konteks yang riil. Johnson & Johnson (1991) menyatakan bahwa pendekatan belajar melalui pengalaman bertujuan untuk menyiapkan struktur kognitif, memodifikasi sikap, dan meningkatkan keterampilan perilaku dari si pembelajar. Pendekatan belajar melalui pengalaman (experiential learning) adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengalaman langsung dan nyata di lapangan. Di sini peserta mencoba menemukan sendiri hasil pembelajaran (learning point) dari aktivitas yang dilakukan melalui tahapan yang disebut refleksi dan tinjauan atas pengalaman (review). Oleh karena itu, dalam pendekatan belajar melalui pengalaman, pengalaman dan tinjauan atas pengalaman tersebut merupakan komponen yang sangat penting.

Konstruksi Nilai melalui Pendidikan Olahraga

30

New Experience

New Situations a Test Ground for New Learning

Reflection and Review

New Ideas concepts and Approaches

Gambar 1: Siklus Pembelajaran melalui Pengalaman Lalu, bagaimana konstruksi nilainilai dapat terjadi? Tulisan ini menawarkan sebuah model yang diberi nama SportEd, yakni sebuah model pembelajaran olahraga berbasis pendidikan nilai. Model ini berasumsi bahwa suatu nilai terbentuk melalui proses interaksi antara kecenderungan diri individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Pembentukan nilai dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu (Maksum, 2007; Shields, & Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai bukanlah sekadar menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat baik (Popov, 2000) melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial. Dengan demikian, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk nilai individu, tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai tersebut harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya (Stornes & Ommundsen, 2004; Stuntz & Weiss, 2003). Secara lebih konkrit, ada tiga tahapan yang perlu dilakukan, yakni (1) identifikasi nilai, (2) pembelajaran nilai, dan (3) memberikan kesempatan untuk menerapkan nilai tersebut. a. Identifikasi Nilai Identifikasi nilai terkait dengan nilai-nilai moral apa saja yang sekurangkurangnya harus dimiliki oleh individu. Dalam realitas kehidupan, ada sejumlah nilai yang terkonstruksi di dalam masyarakat, yang antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda. Ada kalanya konstruksi nilai dipengaruhi oleh kultur di mana nilai tersebut dibentuk. Karena itu, untuk menghindari pemahaman yang berbeda atas suatu nilai, perlu diidentifikasi nilainilai yang berlaku universal. Dari beberapa literatur, setidaknya ada enam nilai moral yang perlu dimiliki oleh individu, yaitu: respect, responsibility

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

31 (Lickona, 1991); caring, honesty, fairness, dan citizenship (Martens, 2004).

Tabel 1: Beberapa Indikator Nilai dalam Praktek Olahraga dan Kehidupan


Nilai Moral Respek Praktek dalam Olahraga Hormat pada aturan main dan tradisi Hormat pada lawan dan offisial Hormat pada kemenangan dan kekalahan Kesiapan diri melakukan sesuatu Disiplin dalam latihan dan bertanding Kooperatif dengan sesama pemain Membantu teman agar bermain baik Membantu teman yang bermasalah Murah pujian, kikir kritik Bermain untuk tim, bukan diri sendiri Patuh pada aturan main Loyal pada tim Mengakui kesalahan Adil pada semua pemain termasuk yang berbeda Memberikan kesempatan kepada pemain lain Menjadi contoh/model Mendorong perilaku baik Berusaha meraih keunggulan Praktek dalam Kehidupan Hormat pada orang lain Hormat pada hak milik orang lain Hormat pada lingkungan dan dirinya Memenuhi kewajiban Dapat dipercaya Pengendalian diri Menaruh empati Pemaaf Mendahulukan kepentingan yang lebih besar Memiliki integritas Terpercaya Melakukan sesuatu dengan baik Mengikuti aturan Toleran pada orang lain Kesediaan berbagi Tidak mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain Mematuhi hukum dan aturan Terdidik Bermanfaat bagi orang lain

Tanggung jawab

Peduli

Jujur

Fair

Beradab

Secara sederhana, keenam nilai tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut. Respek adalah suatu sikap yang menaruh perhatian kepada orang lain dan memperlakukannya secara hormat. Sikap respek antara lain dicirikan dengan memperlakukan orang lain sebagaimana individu ingin diperlakukan; berbicara dengan sopan kepada siapa pun; menghormati aturan yang ada dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tanggung jawab adalah kemampuan untuk memberikan respons, tanggapan, atau reaksi secara cakap. Tanggung jawab dicirikan antara lain dengan melakukan apa yang telah disepakati dengan sungguh-sungguh; mengakui ke-

salahan yang dilakukan tanpa alasan; memberikan yang terbaik atas apa yang dilakukan. Peduli adalah kesediaan untuk memberikan perhatian dan kasih sayang kepada sesama. Peduli antara lain ditandai dengan memperlakukan orang lain, diri, dan sesuatu dengan kasih sayang; memperhatikan dan mendengarkan orang lain secara seksama; menangani sesuatu dengan hati-hati. Jujur adalah suatu sikap terbuka, dapat dipercaya, dan apa adanya. Sikap jujur antara lain ditandai dengan mengatakan apa adanya; menepati janji; mengakui kesalahan; menolak berbohong, menipu, dan mencuri.

Konstruksi Nilai melalui Pendidikan Olahraga

32 Fair adalah bersikap adil dalam melakukan dan memperlakukan sesuatu. Sikap fair antara lain ditandai dengan menegakkan hak sesama termasuk dirinya; mau menerima kesalahan dan menanggung resikonya; menolak berprasangka. Beradab adalah sikap dasar yang diperlukan dalam bermasyarakat yang berintikan pada kesopanan, keteraturan, dan kebaikan. Beradab antara lain dicirikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya; mengapresiasi terhadap keteraturan. b. Pembelajaran Nilai Setelah proses identifikasi nilai dilakukan dan ditemukan enam nilai moral yang berlaku universal, maka keenam nilai moral tersebut selanjutnya diajarkan kepada peserta didik melalui langkah-langkah sebagai berikut. 1) Menciptakan lingkungan yang memungkinkan nilai-nilai moral tersebut diterapkan. Peran ini demikian penting dilakukan oleh guru pendidikan olahraga dalam rangka membangun kesamaan wawasan mencapai tujuan, menciptakan iklim moral bagi peserta didik. 2) Adanya keteladanan atau model perilaku moral. Menunjukkan perilaku bermoral memiliki dampak yang lebih kuat daripada berkatakata tentang moral. One man practicing good sportsmanship is better than fifty others preaching it. 3) Menyusun aturan atau kode etik berperilaku baik. Peserta didik perlu mengetahui apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Artinya, ada pemahaman yang sama terkait dengan perilaku moral. 4) Menjelaskan dan mendiskusikan perilaku bermoral. Ketika usia anakanak, peserta didik belajar perilaku moral dengan cara imitasi dan praktik tanpa harus mengetahui alasan mengapa hal itu dilakukan atau tidak dilakukan. Memasuki usia remaja dan remaja, kemampuan bernalarnya telah berkembang. Karena itu, perlu ada penjelasan dan bila perlu ada proses diskusi untuk sampai pada pilihan perilaku moral yang diharapkan. 5) Menggunakan dan mengajarkan etika dalam pengambilan keputusan. Individu acapkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus diambil keputusan. Mengambil keputusan adalah proses mengevaluasi tindakan-tindakan dan memilih alternatif tindakan yang sejalan dengan nilai moral tertentu. 6) Mendorong individu siswa mengembangkan nilai yang baik. Guru pendidikan olahraga perlu menciptakan situasi dan menginspirasi peserta didik untuk menampilkan perilaku moral. A mediocre teacher tells, a good teacher explains, a superior teacher demonstrates, and the great teacher inspires. c . Penerapan Nilai Setelah pengajaran nilai dilakukan, maka tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah memberikan kesempatan untuk mengaplikasikannya. Hal terpenting bertalian dengan penerapan nilai adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dengan apa yang diterapkan. Artinya, apa yang dikatakan harus berbanding lurus dengan apa yang dilakukan, baik pada lingkungan sekolah maupun dalam keluarga. Terkait dengan penerapan nilai, ada dua model yang dapat diaplikasikan. Pertama, membentuk kebiasaan rutin yang bermuatan nilai-nilai moral.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

33 Situasi olahraga, sebagaimana dikemukakan di atas, banyak memberikan peluang terjadinya perilaku moral. Misalnya berjabat tangan dengan lawan main sebelum dan setelah bertanding, peduli kepada teman yang ingin mempelajari keterampilan olahraga tertentu dengan cara memberikan mentoring, bekerjasama untuk mencapai tujuan (goal), bermain dengan berpegang pada aturan, menghormati keputusan wasit, dan sebagainya. Kedua, memberikan reward bagi peserta didik yang menampilkan perilaku bernilai moral. Menanamkan dan membentuk nilai moral memang tidak secepat mengajarkan keterampilan seperti menendang atau memukul bola. Dalam membentuk nilai moral membutuhkan proses yang relatif panjang, konsisten, dan tidak sekali jadi. Bisa jadi peserta didik belum sepenuhnya menampilkan perilaku bernilai moral sebagaimana yang diinginkan. Karena itu, penghargaan tidak harus diberikan ketika peserta didik mengakhiri serangkaian kegiatan, melainkan juga dalam proses menjadi. Penghargaan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam bentuk sertifikat, stiker, peran tertentu seperti kapten tim, dan sebagainya. C. Penutup Pembelajaran olahraga di sekolah tidak dengan sendirinya akan membentuk nilai moral peserta didik. Apa lagi jika aktivitas olahraga direduksi menjadi sekedar persoalan menangkalah, maka yang terwujud adalah perilaku kebrutalan, kerusuhan, ketidakjujuran, dan perilaku menyimpang lainnya. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam olahraga harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran peserta didik. Tanpa itu, sulit rasanya mengharapkan olahraga sebagai instrumen untuk menanamkan nilai. Pendidikan nilai juga tidak dapat terjadi hanya dengan sekadar berdiskusi tentang nilai-nilai selama beberapa menit atau dengan slogan-slogan tertentu, melainkan perlu komitmen kolektif, terutama pada guru dan orang tua, untuk mengedukasi peserta didik terkait dengan nilai-nilai, mempraktekkannya secara terus menerus, mengkorekasi jika terjadi kesalahan, dan memberikan penghargaan bagi yang menunjukkan perilaku yang diinginkan.

Daftar Pustaka Hardman, K. 2003a. Information Sources for Comparative Physical Education and Sport on the International Level. International Journal of Physical Education. 40 (3), 88-92. Hardman, K. 2003b. Worldwide Survey on the State and Status of Physical Education in School: Foundations for Deconstruction and Reconstruction of Physical Education. Johnson, D.W. & Johnson, F.P. 1991. Joining Together (Edisi keempat). New Jersey: Prentice-Hall Inc. Jones, C. 2005. Character, Virtue and Physical Education. European Physical Education Review, Vol. 11, No. 2, 139-151. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Jakarta: Biro Humas dan Hukum
Konstruksi Nilai melalui Pendidikan Olahraga

34 Kleiber, D.A. & Roberts, G.C. 1981. The Effect of Sport Experience in the Development of Social Character: An Exploratory Investigation. Journal of Sport Psychology, 3, 114122. Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books. Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga: Teori dan Aplikasi. Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya. Maksum, A. 2005. Olahraga Membentuk Karakter: Fakta atau Mitos. Jurnal Ordik, Edisi April Vol. 3, No. 1/2005. Maksum, A. 2002. Reaktualisasi Gagasan Baron Pierre de Coubertin dalam Konteks Olahraga Kekinian: Mengkaji Ulang Hasil Akademi Olimpik ke-5 di Kuala Lumpur, 1-5 April 2002. Marten, R. 2004. Successful Coaching (3rd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics. Miller, B., Roberts, G.C., & Ommundsen, Y. 2005. Effect of Perceived Motivational Climate on Moral Functioning, Team Moral Atmosphere Perceptions, and the Legitimacy of Intentionally Injurious Acts among Competitive Youth Football Players. Journal of Sport and Exercise Psychology, 6, 461-477. Popov, L.K. 2000. The Virtues Project, Simple Ways to Create a Culture of Character: Educators guide. California: Jalmar Press. Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. New York: The Free Press. Schwartz, S.H. & Bilsky, W. 1990. Toward a Theory of the Universal Content and Structure of Values: Extensions and CrossCultural Replications. Journal of Personality and Social Psychology, 58, 878-891. Shields, DLL. & Bredemeier, BJL. 1995. Character Development and Physical activity. Champaign, IL: Human Kinetics. Shields, DLL. & Bredemeier, BJL. 2006. Sport and Character Development. Research Digest, Series 7, No. 1, March 2006. Stornes, T., & Ommundsen, Y. 2004. Achievement Goals, Motivational Climate and Sportspersonship: A Study of Young Handball Players. Scandinavian Journal of Educational Research, 48, 205-221. Stuntz, C.P. & Weiss, M.R. 2003. Influence of Social Goal Orientations and Peers on Unsportsmanlike Play. Research Quarterly for Exercise and Sport, 74, 421-435. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara United Nations. 2003. Sport for Development and Peace: Towards Achieving the Millennium Development Goals. Report from the United Nations Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

PENGARUH BRAINGYM TERHADAP PENINGKATAN KECAKAPAN BERHITUNG SISWA SEKOLAH DASAR Prihastuti Fakultas Psikologi Unair Abstract This study aimed to investigate the influence of the BrainGym on the improvement of the numerical skills of Year 3 students of elementary school. The research subjects consisted of 40 Year 3 students out of 43 students of SD Percobaan 2 Depok, Sleman Regency, Yogyakarta. Three students were not included in the study because they were absent when the posttest was administered. The instrument to collect the data on students numerical skills was an informal assessment instrument in the form of an inventory developed by the teacher. The inventory was a numerical skill test, consisting of 10 items and a checklist to obtain information on the use of the BrainGym. The data analysis showed that there was a significant difference in the means of the numerical skill test before and after the BrainGym treatment (ttest = - 2.772; p = 0.008). The mean after the treatment (Mposttest = 12.67) was higher than that before the treatment (Mpretest = 11.70). It was concluded that the BrainGym treatment was effective to improve the score of the numerical skills of Year 3 students of elementary school. The evaluation of the BrainGym movements showed that they were easy and fun. The students felt that they were more relaxed and comfortable, and did not have tensions and boredom so that they kept motivated. The classroom atmosphere was more lively and dynamic, and the students felt fresher and managed to think clearly. Keywords: BrainGym, numerical skills

A. Pendahuluan Berhitung merupakan salah satu tahapan belajar yang harus dilalui setiap anak. Selama ini, banyak anak masih menganggap berhitung sebagai suatu kegiatan yang cukup sulit. Seperti dikemukakan Munawir Yusuf (2003) bahwa kesulitan belajar berhitung merupakan jenis kesulitan belajar terbanyak di samping membaca dan menulis. Padahal, keterampilan menghitung merupakan sarana yang sangat penting untuk menguasai bidang studi lainnya di samping sebagai sarana komunikasi untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Mengingat pen35

tingnya pelajaran berhitung dan banyaknya siswa yang mengalami kesulitan belajar berhitung, maka tidak ada salahnya jika orang tua ataupun guru mulai mengajari anak berhitung sedini mungkin. Penanaman konsep dasar berhitung memang sebaiknya dilakukan sejak usia dini, mengingat banyak anak berkesulitan berhitung akibat kekurangsiapan untuk mempelajari mata ajaran tersebut. Untuk menyiapkan anak belajar berhitung, diperlukan banyak waktu dan tenaga. Oleh karena itu, ada benarnya Glen Doman (1974) menyarankan agar penyiapan belajar berhitung dimulai sejak anak masih

36 usia dini. Seiring dengan pendapat tersebut, Santrock (2004) mengemukakan bahwa usia dini dikenal sebagai usia emas dalam proses perkembangan anak. Pada masa ini disebut sebagai masa kritis perkembangan atau critical period yang juga disebut windows of learning, saat dimana stimulasi spesifik dibutuhkan anak. Pada saat itu, perkembangan anak sangat ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan atau nature and nurture. Anak lahir telah dibekali Tuhan dengan potensi genetis tetapi lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian dan pengembangan kemampuan anak. Potensi genetis akan berkembang secara optimal jika mendapatkan stimulasi atau rangsangan secara maksimal (nurture). Saat-saat keemasan ini tidak akan pernah terjadi dua kali, oleh karena itu di masa inilah anak sebaiknya memperoleh stimulasi yang tepat, karena tanpa adanya stimulasi sel-sel syaraf (neuron-neuron) akan musnah lewat proses alamiah, sesuai prinsip kerja neuron otak, yaitu use it or loose it (Stine, 2002). Pada masa ini, stimulasi mulai diarahkan untuk perkembangan kesiapan sekolah anak. Penanaman konsep-konsep dasar belajar dapat mulai dilakukan, antara lain dengan memperkenalkan huruf dan angka serta berlatih berhitung sederhana. Jadi, sangatlah memungkinkan untuk memperkenalkan konsep dasar berhitung di usia yang sangat dini, sehingga penataan nalar anak dapat dibentuk dari awal sejak kecil. Dalam penanaman konsep dasar berhitung peran orang tua dan guru sangatlah diperlukan. Pemilihan metode berhitung yang tepat bisa menjadi solusi terbaik bagi orang tua dan guru dalam mengajarkan berhitung pada anak, tanpa mengabaikan tahap-tahap perkembangan anak. Penanaman sikap posited juga akan sangat mendukung bagi keberhasilan penanaman konsep dasar tersebut, artinya dalam melakukan kegiatan harus selalu diingat bahwa pemahaman berhitung & perasaan bahwa berhitung itu menyenangkan akan membantu dalam mengembangkan keterampilan yang akan diperlukan dalam penanaman konsep dasar berhitung. Dalam penanaman konsep belajar apapun suatu hal yang perlu diingat bahwa dalam proses belajar akan terjadi dalam dua macam hubungan, yaitu hubungan material & hubungan sosial. Hubungan material ditandai oleh pertemuan anak dengan materi pelajaran, sedangkan hubungan sosial ditandai oleh adanya hubungan antara anak dengan guru dan hubungan antarsesama anak (Mulyono Abdurrahman, 2003). Dalam menjalin kedua hubungan tersebut, upaya untuk menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan akan sangat menentukan terjalinnya hubungan yang semakin kuat. Materi pelajaran apapun yang diambil siswa, tolok ukur sesungguhnya dalam sistem pendidikan masa depan adalah seberapa besar kemampuan dalam membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan (Dryden & Jeannette, 2001). Seperti dikemukakan Achmad Sapari (2000), dalam situasi pembelajaran yang berlangsung secara monoton, siswa merasa tersiksa dan bahkan seperti di penjara. Apalagi guru sebagai motivator pembelajaran hanya menggunakan metode ceramah, maka suasana pembelajaran akan semakin menyiksa. Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk merancang model pembelajaran yang akan memberikan kenyamanan tersendiri bagi siswa dalam belajar (http://www.kompas.com/kom-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

37 pas%2Dcetak/0011/20/dikbud/pemb 09.htm). Upaya menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tersebut memang tidak kalah pentingnya untuk mempertahankan bahkan meningkatkan aktivitas belajar anak dalam berhitung, sebab kecepatan dan ketepatan berhitung akan semakin meningkat dengan adanya pengulangan atau latihan. Seiring ungkapan yang dikemukakan oleh Peter Kline, penulis The Everyday Genius bahwa Learning is most effective when its fun (Dryden & Jeannette, 2001), maka penelitian ini mencoba memperkenalkan suatu teknik yang dapat membantu kreativitas guru dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Menyenangkan dalam hal ini berarti anak berada dalam keadaan yang sangat rileks, tidak ada sama sekali ketegangan yang mengancam dirinya baik fisik maupun non fisik. Keadaan tersebut akan memberikan kenyamanan tersendiri bagi siswa dalam belajar dan akan melapangkan jalan bagi siswa dalam mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Dalam kondisi tersebut, situasi belajar akan menjadi kondusif, siswa akan kerasan tinggal di kelas dan motivasi belajar akan meningkat. Seperti juga disampaikan Dirjen Pendidikan Dasar & Menengah Indra Djati Sidi bahwa proses pembelajaran kreatif memang harus ditangani serius sejak usia dini & di tahun-tahun awal pendidikan (Kompas, 31 Oktober 2002). Upaya untuk menciptakan situasi yang demikian memang tidaklah mudah membutuhkan suatu keterampilan. Untuk itu, pengenalan teknik yang dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan hendaknya mulai diperkenalkan & disosialisasikan. Dalam upaya menciptakan suasana belajar tersebut, guru sebagai pihak yang pertama-tama perlu mengalami pencerahan lewat berbagai pelatihan. Para guru sekolah pendidikan dasar menjadi prioritas utama, mengingat pendidikan dasar sangat strategis untuk mengembangkan aneka ragam kecerdasan atau kemampuan demi terbentuknya kepribadian anak secara utuh. Penciptaan suasana belajar yang menyenangkan tersebut harus menjadi prioritas yang pertama dan utama demi peningkatan kualitas pembelajaran. Ibarat mendirikan bangunan, apa yang dilakukan di sekolah pendidikan dasar ialah membangun pondasi sebaik mungkin agar di atas pondasi itu dapat berdiri kokoh tembok, pilar tentang sekolah lanjutan yang lebih tinggi. Bayangkan, jika seorang guru pendidikan dasar sepanjang hari bersama dengan murid-muridnya dengan kemiskinan strategi pembelajaran. Permasalahan akan bertambah kompleks dengan adanya anak-anak yang mengalami hambatan atau kesulitan belajar. Hambatan atau kesulitan belajar yang dialami siswa biasanya menyangkut dua hal, yaitu berhubungan dengan perkembangan dan akademik. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan mencakup gangguan motorik, persepsi, bahasa dan komunikasi serta penyesuaian perilaku. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan akademik terkait dengan kegagalan dalam pencapaian prestasi akademik yang mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis dan berhitung (Abdurrahman, 2003). Mengingat pentingnya pelajaran berhitung dan banyaknya siswa yang berkesulitan belajar menghitung, maka penelitian ini difokuskan pada mata ajaran berhitung. Biasanya para pen-

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

38 didik mengatasi masalah kegagalan tersebut dengan membuat program untuk lebih memotivasi dan memaksa belajar pada para siswa. Perancangan program seperti itu tidak selalu akan berhasil, karena pada dasarnya hanyalah mengoptimalkan sebagian fungsi otak, yaitu belahan otak kiri, padahal kegiatan belajar akan optimal jika kita dapat mengoptimalkan penggunaan semua demensi otak. Upaya untuk mengaktifkan semua dimensi otak bisa dilakukan dengan senam otak atau BrainGym. B. Landasan Teori Lebih dari dua dekade terakhir ini, penyelidikan ilmiah terhadap otak telah memberikan hasil yang mencengangkan. Cara-cara baru untuk mengeluarkan & memfokuskan kemampuan lahiriah otak telah berhasil dibuat. Semua itu dilakukan dengan keyakinan bahwa pemeliharaan otak dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan secara struktural dan fungsional. Pemeliharaan otak secara struktural memerlukan suplai darah, oksigen dan energi yang cukup ke otak sehingga akan meningkatkan fungsi otak menjadi lebih optimal. Pemeliharaan otak secara fungsional dapat dilakukan dengan berbagai proses belajar, di antaranya dengan belajar gerak, belajar mengingat, belajar merasakan dan sebagainya. Semua proses belajar tersebut akan selalu merangsang pusat-pusat otak (brain learning stimulation), yang di dalamnya terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh (Markam, 2005). Dengan menerapkan penemuan-penemuan tersebut, sangat mungkin bagi kita untuk secara besar-besaran melipatgandakan kemampuan belajar, kemampuan ingatan, kemampuan membaca, kemampuan mendengar dan kemampuan berpikir. Barangkali kemampuan belajar merupakan bentuk yang paling fundamental dari kekuatan otak. Bahkan, lebih fundamental daripada kemampuan berpikir. Tidak peduli betapa cemerlangnya seseorang, apabila ia tidak mau belajar, seluruh kekuatan otak akan sia-sia. Tetapi sekalipun seseorang sangat tidak cemerlang, asalkan mau belajar ia akan memiliki kekuatan otak untuk belajar (Stine, 2002). 1. Hakekat BrainGym BrainGym dikenal sebagai pendekatan unik dalam bidang pendidikan yang pertama kali diciptakan oleh Paul E. Dennison, Ph.D. BrainGym adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan dan digunakan oleh para murid di Educational Kinesiologi (Edu-K) untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan menggunakan keseluruhan otak. BrainGym bermanfaat pula untuk melatih fungsi keseimbangan dengan merangsang beberapa bagian otak yang mengaturnya. Seperti dijelaskan Paul E. Dennison, Ph.D, otak manusia, seperti halogram, terdiri dari tiga dimensi dengan bagian-bagian yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan. Akan tetapi, otak manusia juga spesifik tugasnya di mana ketiga dimensi tersebut dalam aplikasi gerakan BrainGym disebut dengan istilah dimensi Lateralitas, dimensi Pemfokusan serta dimensi Pemusatan. Fungsi gerakan BrainGym yang terkait dengan 3 dimensi otak tersebut adalah untuk (1) menstimulasi dimensi lateralitas; (2) meringankan dimensi pemfokusan; dan (3) merelaksasikan dimensi Pemusatan (Dennison and Dennison, 2005). Dimensi lateralitas terkait belahan otak kiri dan kanan. Dimensi lateralitas akan menjelaskan kegiatan yang ber-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

39 hubungan dengan komunikasi. Mengingat otak sebagai pusat kegiatan tubuh yang akan mengaktifkan seluruh organ dan sistem tubuh melalui pesan-pesan yang disampaikan melewati serabut syaraf secara sadar maupun tidak sadar (Demuth, 2005), maka dalam hal ini belahan otak kiri akan aktif jika sisi kanan tubuh digerakkan dan belahan otak kanan akan aktif apabila sisi kiri tubuh digerakkan. Sifat ini memungkinkan munculnya dominasi salah satu sisi. Upaya untuk mengintegrasikan kedua sisi tubuh (bilateral integration) perlu selalu diupayakan agar kedua belahan otak bisa bekerjasama dengan baik. Dalam upaya ini, program BrainGym mengenalkan keterampilan yang berupa gerakan-gerakan yang dapat menstimulasi koordinasi kedua belahan otak & mengintegrasikan dua sisi tubuh bekerjasama dengan baik. Serangkaian gerakan tersebut dikenal sebagai gerakan menyeberang garis tengah. Keterampilan melakukan gerakan ini akan merupakan kemampuan dasar kesuksesan akademik & sebaliknya ketidakmampuan untuk melakukan gerakan ini akan mengakibatkan apa yang disebut ketidakmampuan belajar (learning disabled) atau disleksia. Dimensi Pemfokusan terkait dengan bagian belakang otak (batang otak atau brainstem) dan bagian depan otak (frontal lobes). Dimensi pemfokusan akan menjelaskan kegiatan yang terkait dengan pemahaman. Hambatan yang terjadi pada bagian ini akan menghasilkan seseorang mengalami ketidakmampuan mengekspresikan diri dengan mudah dan ketidakmampuan ikut aktif dalam proses belajar. Anak-anak yang mengalami underfocused akan mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian, sehingga sering dikenal dengan sebutan kurang perhatian; kurang pengertian; terlambat bicara atau hiperaktif. Sementara, anakanak yang overfocused akan mengalami fokus-berlebihan & berusaha terlalu keras. Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan fokus dikenal sebagai gerakan meregangkan otot. Dimensi Pemusatan terkait dengan sistem limbis (midbrain) dan otak besar (cerebral cortex). Dimensi ini menjelaskan kegiatan yang berhubungan dengan pengorganisasian dan pengaturan. Jika terjadi hambatan pada dimensi ini, orang akan mengalami kurang dapat konsentrasi, kurang percaya diri, penakut, mengabaikan perasaan. Gerakan yang dapat membantu mengatasi hambatan ini adalah gerakan-gerakan meningkatkan energi. Dengan melakukan gerakan-gerakan meningkatkan energi maka hubungan elektrik dapat diaktifkan sehingga jaringan jalurjalur syaraf yang memberikan informasi dari badan ke otak atau sebaliknya dapat berfungsi baik. Juga hubungan otak bagian bawah (sistem limbis) untuk informasi emosional dengan otak besar (cerebral cortex) tempat berpikir abstrak dapat diaktifkan. 2. Pengaruh BrainGym terhadap Kecakapan Berhitung Penelitian BrainGym yang menunjang kemampuan akademik telah banyak dilakukan, seperti The effect of BrainGym on Reading Abilities. Cecilia K. Freeman (2000). Penelitian ini menggunakan kelompok eksperimen (kelompok yang diberi perlakuan BrainGym) dan kelompok kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak dalam kelompok eksperimen mengalami perbaikan dua kali dalam kemampuan membaca, seperti yang diukur dengan tes standar, daripada kelompok kontrol

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

40 (Dennison, Dennison, & Teplitz, 2004). Karena proses belajar selalu melibatkan proses kognitif, maka penelitian Brain Gym juga telah dilakukan untuk meningkatkan daya ingat. Penelitian tentang Pengaruh BrainGym untuk Meningkatkan Daya Ingat Siswa Taman Kanak-kanak Pratiwi, 2008, telah memberikan hasil adanya peningkatan perhatian dan respon yang lebih cepat serta peningkatan kemampuan untuk menangani kompleksitas aktivitas belajar. Demikian pula pengaruhnya pada kemampuan berhitung. A Study on Brain Gym and Its Effects on Mathematics : Creating a Win-Win Situation in a Canadian Grade School. Liz Jones Twomey, Ontario, Canada. [Between 1997 and 2000, mathematics scores went from 33 percent to 92 percent.] From Brain Gym Journal, Nov. 2002, Volume XVI, No. 3. Dalam penelitian gerakan-gerakan yang dipakai oleh peneliti, yaitu gerakan-gerakan yang berfungsi untuk mengaktifkan otak dalam meningkatkan proses belajar berhitung. Gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan yang dapat menunjang kemampuan bekerja dalam media yang multidimensi dan multiarah. Keterampilan berhitung/matematika lebih mudah diterima siswa yang memiliki pengertian tentang ruang, massa, jumlah dan hubungan. Gerakan-gerakannya mencakup gajah (the elephant), burung hantu (the owl), pompa betis (calf pump), putaran leher (neck rolls), luncuran gravitasi (gravity glider), coretan ganda (double dooble) (Dennison and Dennison, 2005). Fungsi masing-masing gerakan dapat dijelaskan sebagai berikut. Gajah (the Elephant). Gerakan gajah mengaktifkan otak untuk menyeberang garis tengah pendengaran, meningkatkan daya ingat (mengingat secara berurutan, seperti dalam matematika) dan integrasi penglihatan, pendengaran dan gerakan seluruh tubuh. Burung hantu (the owl). Gerakan burung hantu menunjang konsentrasi, daya ingat dan kemampuan berhitung (untuk mengeja atau rentang digit) serta mengurangi ketegangan otot leher. Pompa betis (calf pump). Gerakan pompa betis mengaktifkan otak belakang dan otak depan, meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan memberikan tanggapan serta meningkatkan kemampuan menuntaskan suatu tugas. Putaran leher (neck rolls). Gerakan putaran leher menenangkan sistem syaraf pusat dan ketegangan otot tengkuk dan leher sehingga sistem syaraf pusat menjadi relaks. Luncuran gravitasi (Gravity glider). Gerakan luncuran gravitasi mengaktifkan otak untuk meningkatkan keseimbangan, koordinasi dan penglihatan. Gerakan ini juga akan menunjang kemampuan akademik untuk pemikiran abstrak, berhitung dengan mencongak serta memudahkan pemahaman waktu membaca. Coretan ganda (double dooble). Gerakan coretan ganda mengaktifkan otak untuk koordinasi mata-tangan di semua bidang penglihatan. Gerakan ini akan menunjang kemampuan akademik dalam hal menulis, mengeja dan menghitung. Mendasarkan pada pemikiran bahwa untuk melakukan aktivitas belajar, perlu adanya suatu persiapan, maka menurut Dennison, Paul E (2008) para siswa perlu dipersiapkan dengan PACE. PACE dalam arti kata Positif, Aktif, Clear dan Energetik, merupakan empat keadaan yang diperlukan untuk belajar mandiri dengan menggunakan keseluruhan otak. Setiap orang memiliki irama kecepatan belajar yang unik

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

41 PACE untuk belajar secara optimal. Empat gerakan BrainGym yang menunjang penemuan irama belajar PACE adalah sebagai berikut. a. Positif: Kait Rileks (hook-ups) Gerakan kait rileks akan memilihkan keseimbangan setelah mengalami ketegangan dan stres emosional atau stres berasal dari lingkungan. Gerakan ini akan membantu siswa untuk meningkatkan konsentrasi dan berpikir positif. Gerakan ini akan menghubungkan semua energi dalam badan dan merangsang pengaliran energi yang terhambat. b. Aktif: Gerakan Silang (cross crawl) Gerakan silang mengaktifkan bagian otak kiri dan kanan bersamaan. Gerakan ini sangat menunjang kegiatan belajar siswa, di mana aktivitas belajar akan menjadi mudah dan siswa akan mudah menerima hal-hal baru. Aktivitas belajar akan menjadi mudah karena gerakan silang akan mengaktifkan dua belahan otak dapat bekerja sama, sehingga siswa akan belajar dengan menggunakan keseluruhan otak. Belajar dengan menggunakan keseluruhan otak akan memungkinkan hasil yang optimal. c. Clear : Saklar Otak (brain buttons) Gerakan sekelar otak meningkatkan peredaran darah yang kaya oksigen ke otak. Gerakan ini dilakukan untuk mempersiapkan siswa agar bisa berpikir jernih dan tenang, karena gerakan sakelar otak akan membantu meningkatkan aliran peredaran darah ke otak, meningkatkan koordinasi dua belahan otak dan meningkatkan keseimbangan badan. Gerakan mata yang sebelumnya terhambat diaktifkan. d. Energetis : Air (water) Minum air merupakan gerakan untuk mengawali kegiatan belajar. Gerakan ini dilakukan karena air sebagai media penghantar yang meningkatkan potensi listrik melalui membran sel dan yang paling dibutuhkan untuk menjamin fungsi jaringan syaraf. Dengan minum air, para siswa cukup berenergi untuk belajar, mengingat semua aktivitas tubuh memerlukan air. Jika kebutuhan air dalam tubuh cukup, maka akan membantu pengaliran energi ke otak sehingga otak akan menjalankan fungsinya secara optimal dan tidak akan terjadi dehidrasi. Semakin murni air yang diminum semakin mudah pembakaran terjadi, semakin mudah racun dikeluarkan dari badan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh BrainGym terhadap peningkatan kecakapan berhitung siswa kelas 3 SD. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Ada perbedaan skor kecakapan berhitung siswa kelas 3 SD Percobaan 2 Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan BrainGym; 2. Rata-rata skor kecakapan berhitung siswa kelas 3 SD Percobaan 2 Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta setelah diberi perlakuan BrainGym lebih tinggi daripada sebelum diberi perlakuan BrainGym; 3. Bagaimanakah penilaian siswa terhadap manfaat gerakan BrainGym? C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan Pre-Experimental Research Designs, yaitu jenis penelitian eksperimental yang tidak menggunakan kelompok kontrol, hanya menggunakan satu populasi dan pada populasi itulah perlakuan diberikan. Jika dilihat dari tujuannya, penelitian ini

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

42 merupakan penelitian pengembangan (research and development), yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan yang secara praktis dapat diaplikasikan dalam pendidikan dan pengajaran secara lebih luas (Sugiyono, 2008). Variabel utama dalam penelitian adalah rangkaian gerakan BrainGym & kecakapan berhitung. Adapun masingmasing variabel mempunyai peran sbb.: variabel dependen adalah tingkat kecakapan berhitung dan variabel independen adalah rangkaian gerakan BrainGym. Populasi penelitian adalah para siswa kelas 3 SD Percobaan 2 Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta. Dari 43 siswa, jumlah subjek sebagai sampel 40 anak. Tiga siswa tidak dimasukkan sebagai sampel penelitian karena tidak hadir pada saat posttest dilakukan. Alasan penentuan lokasi adalah SD Percobaan 2 Depok termasuk sekolah unggulan di Sleman yang memiliki berbagai macam aktivitas, baik yang bersifat akademik maupun nonakademik, serta para guru mempunyai kesiapan untuk memberikan dan mengajarkan gerakan BrainGym selama proses belajar mengajar. Adapun penentuan sasaran pada siswa kelas 3 SD adalah dilihat dari konsep kesiapan belajar, siswa kelas 3 SD diasumsikan dapat cepat belajar gerakan BrainGym dengan benar serta sudah dapat menilai tentang efek gerakan dan manfaat yang dirasakannya. Di samping alasan tersebut, pengenalan adanya hambatan belajar pada tahun-tahun pertama kehidupan sekolah anak akan lebih mudah diatasi dan merupakan upaya preventif terjadinya permasalahan yang lebih kompleks dalam kehidupan sekolah berikutnya. Sebagai sasaran antara yang strategis adalah para guru-guru yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan anak didiknya, bersedia mempraktekkan ilmu yang telah diperolehnya kepada siswa. Untuk memperoleh informasi tentang kecakapan siswa dalam berhitung, digunakan instrumen assessment informal dalam bentuk inventory yang dibuat oleh guru. Inventory yang dimaksud adalah tes kecakapan berhitung, terdiri dari 10 soal yang mencakup tentang pemahaman dasar konsep berhitung, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Untuk memperoleh informasi tentang manfaat gerakan BrainGym para siswa setelah mendapatkan pengalaman belajar digunakan instrumen dalam bentuk checklist. Penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu (1) tahap pertama, memberikan pelatihan pada guru; (2) tahap kedua, guru mempraktekkan hasil pelatihan kepada siswa didampingi fasilitator. Prosedur penelitian dilakukan dengan cara memberikan rangkaian gerak BrainGym selama 2 minggu kepada para siswa sebelum pelajaran berhitung dimulai. Adapun rangkaian gerak Brain Gym dipilih sesuai dengan tujuan, yaitu gerakan-gerakan yang dapat mempengaruhi kecakapan berhitung. Gerakangerakan tersebut meliputi gajah, burung hantu, pompa betis, putaran leher dan luncuran gravitasi. Untuk mempersiapkan kesiapan belajar siswa dilakukan dengan menggunakan PACE (air, saklar otak, gerakan silang dan kait relaks). Dalam melakukan gerakangerakan tersebut, tidak seorang siswapun dipaksa untuk melakukan gerakan yang dirasakan kurang mengenakkan atau menyenangkan. Setiap siswa melakukan gerakan sebatas kemampuannya, didorong tetapi tidak dipaksa. Bagi anak-anak yang sudah menguasai gerakan tersebut secara bergantian di-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

43 minta untuk memimpin teman-temannya melakukan gerakan tersebut. Penerapan selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan dengan melihat situasi dan kondisi siswa. Bagi guru yang terampil tidak akan menemui kesulitan melakukan kegiatan di kelas, di mana pada akhirnya guru hanya akan menjadi fasilitator bagi siswanya untuk menjaga, mempertahankan maupun meningkatkan motivasi belajar siswa. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pre-test & post-test. Indikator keberhasilan diukur dengan adanya perubahan skor hasil tes kecakapan berhitung sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Analisis data untuk mengetahui pengaruh BrainGym terhadap kecakapan berhitung siswa didasarkan pada uji perbedaan nilai rata-rata hasil pretest & postest. Teknik analisis statistik yang digunakan adalah paired-samples ttest. Penghitungan dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Indikator keberhasilan diukur dengan adanya perubahan skor hasil pretest & postest. Untuk mempertajam analisis dilakukan analisis deskriptif tentang perubahan kondisi yang dirasakan siswa sesuai dengan manfaat setiap gerakan BrainGym. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis data statistik didasarkan pada jumlah subjek 40 siswa. Hasil analisis data dengan menggunakan teknik paired-samples t-test dalam program SPSS 16.0 for Windows dapat dilaporkan seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Data Berhitung BrianGym EWMP


Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper t -2.772 df 39

Std. Mean Deviation Pair 1 pretes - postes -.97500 2.22443

Std. Error Mean .35171

Sig. (2tailed) .008

-1.68641 -.26359

Berdasarkan hasil uji perbedaan nilai rata-rata tes kecakapan berhitung sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan, diperoleh nilai ttes = 2.772; sig= .008. Hal ini dapat diinterTabel 2. Hasil Analisis Data Deskriptif
Mean Pair 1 pretes postes 11.7000 12.6750 N 40 40

pretasikan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata tes kecakapan berhitung yang sangat signifikan sebelum diberi perlakuan & setelah diberi perlakuan BrainGym.

Std. Deviation 2.46202 1.80295

Std. Error Mean .38928 .28507

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata setelah diberi perlakuan

(Mpostes = 12.67) lebih besar daripada nilai rata-rata sebelum diberi perlakuan

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

44 (Mpretes = 11.70 ). Adanya peningkatan nilai rata-rata tersebut menunjukkan pengaruh positif pemberian perlakuan BrainGym pada skor hasil tes kecakapan berhitung siswa. Demikian pula jika dilihat dari nilai penyebarannya (SD) menunjukkan bahwa nilai penyebaran setelah diberi perlakuan (SDpostes = 1.802) lebih kecil daripada sebelum diberi perlakuan (SDpretes = 2.462). Besar kecilnya nilai penyebaran ini menunjukkan bahwa perbedaan nilai-nilai yang ada dalam kelompok posttest lebih kecil daripada nilai-nilai sebelum diberi perlakuan. Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai hasil posttest lebih homogen. Hasil tabulasi penilaian tentang gerakan BrainGym dari aspek kemudahan dan kesenangan dapat dilaporkan seperti tampak pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Penilaian Gerakan BrainGym


Aspek No. Gerakan Sangat Mudah % 95 100 100 70 100 95 90 70 52.5 Kemudahan Mudah % 5 0 0 30 0 5 10 30 30 Tidak Mudah % 0 0 0 0 0 0 0 0 17.5 Sangat Senang % 100 100 95 85 100 100 87.5 92.5 87.5 Kesenangan Senang % 0 0 5 15 0 0 12.5 7.5 12.5 Tidak Senang % 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Kait Rileks Gearakan Silang Sakelar Otak Gajah Burung Hantu Pompa Betis Putaran Leher Luncuran Gravitasi Coretan Ganda

Hasil tabulasi di atas menunjukkan bahwa dari 9 gerakan, delapan gerakan memperoleh penilaian sangat mudah dilakukan (range penilaian 70% 100%), kecuali satu gerakan coretan ganda yang memperoleh penilaian tidak mudah dilakukan (17.5%). Dari aspek kesenangan semua gerakan memperoleh penilaian sangat menyenangkan dilakukan (range penilaian 85% 100%). Temuan penelitian menunjukkan bahwa gerakan BrainGym memberikan kontribusi terhadap hasil belajar berhitung siswa SD. Temun ini semakin

mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Dennison, Paul E., and Gail E. Dennison (2007) bahwa individu dari berbagai usia menggunakan program belajar yang dikenal BrainGym untuk memperoleh perbaikan yang cepat dan seringkali dramatis dalam keterampilan membaca, menulis, berbahasa, dan berhitung. Aktivitas gerakan BrainGym sangat menyenangkan untuk dilakukan, dan telah terbukti melalui penelitian-penelitian lapangan selama bertahun-tahun serta uji klinis, karena mampu mengajarkan keterampilan fisik yang dibutuhkan untuk ke-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

45 berhasilan akademis. Semua ini pada dasarnya menunjukkan bahwa belajar dengan keseluruhan otak akan memberikan akses lebih baik bagi peningkatan capaian prestasi siswa. Hal ini karena dengan melakukan gerakangerakan BrainGym berarti 3 dimensi otak distimulasi (dalam istilah BrainGym dikenal dengan dimensi pemusatan, lateralitas, dan pemfokusan). Dimensi pemusatan terkait dengan fungsi bagian atas otak dan bagian bawah otak, apa yang dipelajari harus bisa dihubungkan dengan perasaan dan pemberian makna. Gerakan meningkatkan energi dapat menghubungkan fungsi otak bagian bawah (informasi emosional) dan otak bagian atas (berpikir abstrak). Dalam penilitian ini, dengan melakukan gerakan saklar otak. Dimensi lateralitas terkait dengan fungsi belahan otak kiri dan otak kanan. Gerakan menyeberang garis tengah dapat menyatukan belahan otak kiri (pikiran rasional) dan belahan otak kanan (perasaan) bekerja bersama-sama. Dalam penelitian ini, dengan melakukan gerakan silang, gajah, coretan ganda, dan putaran leher. Dimensi pemfokusan terkait dengan fungsi otak bagian depan dan otak bagian belakang. Dimensi pemfokusan terkait dengan kemampuan pemahaman. Gerakan meregangkan otot akan melancarkan energi dari bagian belakang otak ke bagian depan otak. Dalam penelitian ini, dengan melakukan gerakan burung hantu, pompa betis, dan luncuran gravitasi. Melakukan gerakan-gerakan BrainGym pada dasarnya dapat merupakan suatu latihan kebugaran fisik yang mengkhususkan pada upaya mempertahankan kebugaran otak. Secara neurologi, pemeliharaan otak dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan struktural dan fungsional. BrainGym termasuk salah satu cara pemeliharaan otak secara fungsional, yang dilakukan dengan merangsang pusat-pusat otak (brain learning stimulation) melalui gerakan-gerakan. Upaya untuk memberikan motivasi agar siswa selalu dapat bergairah dan bersemangat dalam belajar berhitung perlu dilakukan oleh para pendidik. Untuk itu kepiawaian seorang pendidik dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menarik, mengasyikkan dan tidak membosankan bisa membuat peserta didik merasa nyaman dan aman sehingga nampak mereka lebih siap dan bergairah untuk belajar. Penciptaan suasana kelas yang menggembirakan, menyenangkan dan nyaman tersebut memang tidak kalah pentingnya untuk mempertahankan ataupun meningkatkan motivasi belajar sehingga akan berdampak pada prestasi belajar siswa. Tidak hanya dalam hal kecakapan berhitung, tetapi juga dalam perbaikan kemampuan yang lainnya, misalnya kemampuan membaca (hasil penelitian Cecilia K.Freeman, 2000 dalam Dennison, Paul E., Gail E. Dennison and Jerry V Teplitz, 2004). E. Simpulan dan Saran 1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal seperti berikut. a. Berdasarkan hasil interpretasi uji statistik dapat disimpulkan bahwa efek pemberian perlakuan BrainGym pada siswa Kelas 3 SD Percobaan 2 Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta cukup efektif. Semua ini memberikan suatu makna bahwa aktivitas BrainGym dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan hasil tes kecakapan berhitung siswa.

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

46 Dengan demikian, BrainGym dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam berhitung. b. Hasil tabulasi penilaian tentang gerakan BrainGym menunjukkan bahwa gerakan BrainGym dinilai sangat mudah dan menyenangkan. Hasil tabulasi ini dapat diperjelas dari informasi yang diperoleh secara deskriptif bahwa gerakan BrainGym dinilai sangat sederhana dan alami. Manfaatnya sangat dirasakan oleh siswa. Mereka merasa lebih rileks, nyaman, dan tidak merasa adanya ketegangan-ketegangan, kejenuhankejenuhan sehingga belajar dirasakan tetap bersemangat. Suasana kelas menjadi lebih hidup dan dinamis, tubuh terasa lebih sehat, pikiran terasa lebih jernih. c. Sebagai kelengkapan disertakan hasil evaluasi pelatihan yang dilakukan oleh guru-guru yang intinya menyatakan bahwa BrainGym sebagai ilmu yang sangat bermanfaat untuk diterapkan pada anak didik di sekolah untuk membantu mereka siap menerima pelajaran & mengurangi kejenuhan belajar. 2. Saran a. Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian terhadap gerakan Brain Gym, manfaatnya sangat dirasakan oleh siswa, maka perlu kiranya program BrainGym segera disosialisasikan secara lebih luas kepada para guru. Para guru perlu memiliki keterampilan sebagai bekal untuk menciptakan strategi pembelajaran yang tidak hanya efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran, tetapi juga efektif untuk membangun kepribadian siswa yang sehat. b. Rekomendasi untuk menyeberluaskan program BrainGym kepada khalayak yang lebih luas sangat disarankan sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kebugaran otak (tidak hanya kepada para guru, tetapi juga masyarakat luas). Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap gerakan BrainGym akan menstimulasi tiga dimensi otak yang terkait dengan aktivitas komunikasi, pemahaman, dan pengaturan yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. c. Rekomendasi perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dalam skala yang lebih luas, dalam arti tidak hanya menggunakan sampel siswa SD tetapi juga anak-anak usia prasekolah maupun usia sekolah yang lain. Juga sangat disarankan untuk menggunakan rancangan penelitian eksperimental yang lebih mantap.

Daftar Pustaka Achmad, S. 2000. Pembelajaran yang Menyenangkan. Diakses pada tanggal 01 Maret 2005 dari http://www.kompas.com/komp as%2Dcetak/0011/20/dikbud/p emb 09.htm Dennison, P. E., and Dennison, G.E. 2002. BrainGym. Jakarta: PT. Grasindo. ______. 2004. BrainGym (Senam Otak). Jakarta: PT. Grasindo. ______. 2004. Edu-K for Kids.. Jakarta: PT. Grasindo.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

47 ______. 2007. BrainGym 101 : Balance for daily Life. U.S.A.: Edu-Kinesthetics, Inc. Dennison, P. E., Dennison, G.E. and Teplitz, J.V. 2004. BrainGym untuk Bisnis. Batam: Interaksara Batam Centre. Doman, G. 1974. What to Do About Your Brain-Injured Child. New York: Doubleday & Company. Dryden, G and Jeannette, V. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bagian I. Bandung: Kaifa. ______. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bagian II. Bandung: Kaifa. Demuth, E., berdasarkan materi Dennison, Paul E., and Gail E. Dennison. (2005). Brain Gym: Penuntun Senam Otak. Yayasan Kinesiologi Indonesia. Markam S., dkk. 2005. Latihan Vitalisasi Otak. Jakarta: PT. Grasindo. Mulyono, A.. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Pusat Statistik Pendidikan pada Badan Latihan dan Pengembangan Depdiknas. (2001). Fenomena Guru SD Kita. Jumlah Selalu Kurang, Pendidikan Rendah. Diakses pada tanggal 02 November 2008 dari http://www.kompas.com/komp as%2Dcetak/0102/07/dikbud/ju ml08.htm Santrock, J.W. 2004. Child Development. 10th ed. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sidi, I. Dj. 2002. Tumbuhkan kreativitas Sejak Dini. Diakses pada tanggal 02 November 2008 dari http://www.kompas.com/kompas%2D cetak/0210/31/dikbud/tumb09. htm. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Stine, J.M. 2002. Brain Power. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Twomey, L.J. A Study on Brain Gym and Its Effects on Mathematics: Creating a Win-Win Situation in a Canadian Grade School. Liz Jones Twomey, Ontario, Canada. From Brain Gym Journal, Nov. 2002, Volume XVI, No. 3. Yusuf, M., dkk. 2003. Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Cet I. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Pengaruh Braingym terhadap Peningkatan Kecakapan Berhitung Siswa Sekolah Dasar

PERUBAHAN KONSEPTUAL DALAM PEMBELAJARAN SAINS ANAK USIA SEKOLAH DASAR Lily Barlia Universitas Pendidikan Indonesia Abstract The conceptual change model (CCM) provides teachers with an opportunity to think about the best means to make students learn scientific concepts for understanding. The learning process should be based on the objective to facilitate the formation of students metacognitive ability so that a learning process for a conceptual change can take place. A conceptual change can take place because basically each individual confronts and evaluates the newly acquired concepts in accordance with intelligibility, plausibility, and fruitfulness. This article discusses CCM and the possibility of students conceptual change to occur as a result of science learning. Theoretically, CCM is supported by two factors, namely 1) the status of a concept, explained in terms of intelligibility, plausibility, and fruitfulness, and 2) the components of conceptual ecology, i.e. how an individual determines the truth of a concept. The two factors have a great influence on what students learn and how they evaluate the truth of an available concept. Besides, a conceptual change, in some cases, occurs when students commitments as learning outcomes are in agreement with conceptual ecology that they have possessed or they can understand scientifically. Regardless of the types of concepts that students hold, teachers have an obligation to create a learning process that facilitates the formation of students metacognitive ability because this is important for a conceptual change. Keywords: conceptual change, Conceptual Change Model, conceptual understanding, science learning

A. Pendahuluan Model Perubahan Konseptual (Conceptual Change Model = CCM) pertama kali diajukan oleh Posner et al. (1982). Sudah lebih dari satu dekade, model ini telah banyak mempengaruhi riset dalam bidang konsepsi anak. Model ini pertama kali dikembangkan di Cornell University pada tahun 1978-1979. Selanjutnya, dikembangkan oleh Hewson (1981, 1982, 1985), Hewson dan Hewson (1983, 1984), Strike dan Posner (1985,

1992), dan Thorley (1990). Model Perubahan Konseptual yang akan dibahas di dalam uraian ini mengacu kepada perspektif konstruktivisme dalam proses belajar anak, bahwa anak belajar sebagai suatu proses rasional. Hal tersebut, analog dengan cara komunitas sains mengubah suatu pendapat atau teori seperti yang dapat dibaca pada filsafat dan sejarah sains. Dari pendapat tersebut, tersirat suatu persamaan bahwa pengetahuan sains dibentuk ber-

48

49 dasarkan pemahaman terhadap suatu fenomena dan pengaruh dari informasi baru, atau cara baru di dalam berpikir tentang informasi yang berkaitan dengan fenomena tersebut. Model Perubahan Konseptual berkaitan dengan cara perubahan konseptual yang terjadi di dalam komunitas sains. Hal yang sama dipercaya terjadi dalam cara anak belajar konsep sains. Proses belajar anak, menurut Model Perubahan Konseptual, berkaitan dengan perspektif filosofis bahwa pembentukan pengetahuan yang terjadi pada anak, hakikatnya sama dengan pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh seorang ahli sains. Pengetahuan yang dibentuknya dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah ada sebelumnya, pengalaman masa lalu, dan kemampuan metakognitif. Semua itu bersama-sama memberi bentuk kepada jalan pemikirannya. B. Pembahasan 1. Proses Belajar menurut Pandangan Konstruktivisme Resnik (1983: 477-478) mengidentifikasi komponen-komponen dasar belajar berdasarkan sudut pandang konstruktivisme sebagai berikut. a. Anak didik membentuk pemahamannya sendiri. b. Belajar adalah memahami hubungan-hubungan antara komponenkomponen dari pengetahuan. c. Semua proses belajar bergantung kepada pengetahuan yang ada sebelumnya. Implikasi dari perspektif konstruktivisme tentang belajar adalah pengetahuan anak yang telah ada sebelumnya sangat penting untuk proses pembelajaran berikutnya (Barlia, 2004). Anak didik membentuk konsep sains berdasarkan pengertian dan pemahaman yang ada saat itu, serta kemampuan kognitif yang mereka bawa ke dalam proses berpikir. Berdasarkan pernyataan di atas, secara implisit terdapat dua asumsi, yaitu bahwa: a. pemikiran-pemikiran dan pengetahuan yang ada pada anak didik harus menjadi fokus di dalam proses belajar mengajar; dan b. guru harus dapat mengidentifikasi untuk selanjutnya mengkonfrontasi alasan-alasan yang dikemukakan anak didik tentang pemikiran-pemikirannya tersebut. Proses belajar mengajar harus dapat memfasilitasi kedua hal tersebut di atas, sehingga diharapkan proses belajar dapat membantu proses perubahan konseptual pada anak didik. 2. Perubahan Konseptual pada Anak. Posner et al. (1982) berpendapat bahwa Model Perubahan Konseptual secara teoritis mempunyai dua komponen, yaitu kondisi atau status dari suatu konsep dan ekologi konseptual (conceptual ecology). Kedua komponen teoritis tersebut pada dasarnya dapat diidentifikasi di dalam kegiatan belajarmengajar. Status suatu konsep dapat dinyatakan sebagai intelligibility, plausibility, dan fruitfulness apabila masingmasing status dikaitkan dengan satu atau lebih ekologi konseptual yang sudah dipunyai oleh anak didik (Thorley, 1990). Di sini, dapat dijelaskan bahwa kalau suatu pengetahuan baru menguasai suatu niche yang berada di dalam ekologi konseptual anak didik, maka hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap cara berpikirnya (Toulmin, 1972), sehingga, akan memudahkan dan menunjang proses perubahan konseptual. Suatu konsep mempunyai status intelligibility, plausibility, atau fruitful-

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

50 ness, tergantung kepada derajat komitmen yang dipunyai oleh seorang individu anak didik terhadap konsep tersebut (Hewson, 1989; Thorley, 1990). Kriteria untuk masing-masing kategori status secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut. Intelligibility apakah anak didik mengetahui arti konsep tersebut? Plausibility -- apakah anak didik percaya bahwa konsep itu benar? Fruitfulness --apakah anak didik melihat bahwa konsep tersebut mempunyai daya jelas yang baik untuk menginterpretasikan fenomena yang ada? Status dapat dengan mudah diketahui dari pendapat anak, akan tetapi perlu diingat bahwa pengidentifikasian status pada aktivitas pembelajaran di dalam kelas, umumnya diperoleh dari pendapat anak tentang suatu konsep (Thorley, 1990; Hennessey, 1991). Pendapat alami anak didik tentang suatu konsep, walaupun unintelligibility, implausibility, atau kurang fruitfulness, merupakan proses metakognitif penting yang harus diperhatikan guru, untuk dijadikan starting point proses pembelajaran berikutnya. Misalnya, status kalimat seperti: Manusia purba Sangiran pada suatu waktu pernah hidup di pulau Jawa. Kalimat tersebut tidak memberikan suatu indikasi alasan mengapa? Tetapi, walaupun sipembuat kalimat tidak menemukan pendapat yang dapat menjadikan pernyataan itu intelligible, plausible, atau fruitful, pembenaran yang dapat memberikan status tinggi kepada konsep itu menyertainya. Di sini, dapat diinterpretasikan bahwa konsep yang dipunyai anak didik tentang manusia purba Sangiran merupakan bagian dari conceptual ecology yang dipunyai oleh anak didik saat itu. Contoh di atas menunjukkan bahwa mengkreasikan lingkungan belajar metakognitif di dalam kelas untuk membantu anak didik dalam mendeterminasikan status pemikirannya, dan memfasilitasi kegiatan diskusi untuk mencari alasan tentang: mengapa mempunyai pemikiran atau pendapat seperti itu?, memberikan kontribusi positif terhadap proses pembelajaran untuk perubahan konseptual pada anak didik. Ekologi konseptual (conceptual ecology) sangat berperan di dalam memberikan arah untuk terjadinya proses perubahan konseptual (Hewson & Thorley, 1989: 541). Oleh karena itu, ekologi konseptual yang dipunyai anak didik, sangat penting untuk dipahami oleh guru. Dengan kata lain, kegiatan belajar mengajar untuk pemahaman dan perubahan konseptual akan efektif, kalau kegiatan belajar-mengajarnya mengacu kepada ekologi konseptual yang telah dipunyai anak didik. Seperti telah kita ketahui, setiap anak didik datang ke sekolah dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa mereka sebenarnya mempunyai kemampuan metakognitif bervariasi. Artinya, anak didik mempunyai kemampuan dan proses berpikir yang bervariasi pula. Bagi seorang guru, semua perbedaan yang ada pada anak didik harus dijadikan sebagai suatu anugrah yang perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk proses pembelajaran yang efektif. Karena perbedaan-perbedaan itu sebenarnya merupakan pembuka jalan proses pembelajaran untuk perubahan konseptual (e.g. Barlia, 2009). Dengan kata lain, jika anak didik mengetahui suatu kejadian tertentu sebagai sesuatu hal yang aneh atau menyimpang dari keadaan umumnya (anomalous) dari konsep yang ada saat ini, atau konsep yang ada gagal untuk menginterpretasikan fenomena tersebut dengan mekanisme yang per-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

51 nah digunakan sebelumnya, maka hal tersebut merupakan suatu jalan untuk terjadinya perubahan konseptual. Perlu diketahui bahwa di dalam proses pembelajaran, anak didik akan menyadari keberadaan konsep-konsep yang lebih baik (yang dapat diterima--competing). Oleh sebab itu, mereka akan memegang konsep-konsep yang berkaitan dengan fenomena yang dijelaskan tadi. Ketika anak didik mempunyai pemikiran yang tidak cocok (dissatisfaction) dengan konsep yang baru diperolehnya, mereka akan merekonsiliasikan konsep tersebut dengan komponen-komponen yang ada di dalam ekologi konseptualnya. Anak didik mungkin akan merekonsiliasikan pemikirannya berdasarkan penjelasan-penjelasan yang diterima, dan diinterpretasikan sebagai keanehan atau kehebatan fenomena tersebut, walaupun penjelasan-penjelasan yang diterima anak didik dari lingkungannya tentang fenomena tersebut jauh dari kebenaran ilmiah. Misalnya, pelangi itu terjadi karena ada tujuh bidadari yang sedang mandi. Dalam skenario ini, peran guru sangat penting. Di sini guru dituntut untuk mengajarkan cara-cara rasional, santun, dan bijak untuk mengkonfrontasikan kebenaran ilmiah dengan proses pemikiran anak didik tersebut. Guru dituntut dapat menciptakan lingkungan proses pembelajaran yang kondusif bagi anak didik untuk ikut serta merefleksi dan menguji pemikirannya tentang konsep yang dipunyainya. Perubahan konseptual dapat terjadi dalam beberapa cara. Perubahan tersebut terjadi kalau anak didik merasa tidak puas dengan beberapa aspek dari konsep-konsep yang telah dimilikinya. Dari pernyataan di atas, timbul pertanyaan: Apakah seseorang harus selalu merasa tidak puas (dissatisfied) dengan suatu konsep yang akan diubahnya? Di sini dapat dijelaskan bahwa anak didik mungkin tidak suka (dissatisfied) dengan status konsep yang dipunyainya kalau perubahan status merupakan indikasi terjadinya perubahan konseptual (Hewson & Thorley, 1989: 542). Di dalam beberapa hal, pendeterminasian status kelihatannya terjadi secara retroaktif (berlaku surut), sehingga tidak ada penjelasan lengkap tentang mengapa suatu pemikiran bisa berubah. Coba perhatikan, komentar seorang anak didik berikut ini: Dulu saya tidak percaya kalau meja dapat mengeluarkan gaya, tetapi sekarang saya percaya bahwa meja dapat mengeluarkan gaya. Dari pernyataan anak didik di atas, tersirat makna bahwa pendeterminasian status adalah hal yang telah lalu atau retroaktif (Posner et al. 1982: 211). Artinya, bahwa terjadinya perubahan konseptual merupakan suatu akibat dari suatu sebab, dan suatu sebab merupakan hasil dari proses pembelajaran itu sendiri. Kemungkinan jawaban lainnya adalah perubahan konseptual terjadi sebagai hasil interaksi antara konsepkonsep suatu fenomena yang telah dipunyai anak didik, dengan satu atau lebih komponen conceptual ecology yang ada (e.g. Barlia, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, individu anak didik akan menentukan sendiri kebenaran konsepkonsep dengan berdasarkan kepada derajat konsistensi yang lebih tinggi dari yang lainnya (Strike & Posner, 1985). Dengan kata lain, kalau seorang anak didik sudah mengetahui dan menerima implikasi penggunaan komitmen epistemologi dengan alasan yang konsisten pada proses berpikirnya, maka hal ini menunjukkan bahwa me-

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

52 reka sudah dapat mengubah pola pikir pengetahuannya. Di dalam proses pembelajaran untuk perubahan konseptual, guru sebaiknya mengawali dengan meminta anak didik untuk memberikan komentar metakognitif tentang konsep-konsepnya. Pada tahap berikutnya, mereka biasanya akan mengeluarkan argumen cukup keras, yang memperlihatkan ketidakcocokan atau ketidak puasannya terhadap konsep-konsep yang dirancang untuk proses pembelajaran tersebut. Ketika anak didik memperlihatkan ketidakcocokan dengan konsepkonsep yang baru diterima untuk proses pembelajaran, maka hal tersebut dapat menjadi critical point yang sangat menentukan keberhasilan proses perubahan konseptual (Helm & Novak, 1983; Novak, 1987; Pfundt & Duit, 1991). Untuk itu, strategi pembelajaran harus mampu membuktikan kebenaran ilmiah dari konsep baru tersebut, sehingga anak didik dapat meningkatkan dan menguatkan status konsep baru di dalam ecology conceptual-nya (Thorley, 1990). Apabila hal tersebut bisa dilakukan dengan baik, maka proses pembelajaran untuk perubahan konseptual akan berhasil dengan baik. Untuk tercapainya perubahan konseptual dengan baik, diperlukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakter konsep, dan dapat diterima oleh keinginan anak didik saat itu. Di sini timbul pertanyaan, strategi pembelajaran seperti apa yang cocok untuk proses perubahan konseptual? Untuk jawaban ini, akan dibahas pada uraian berikutnya. Sebelum menjelaskan proses terjadinya perubahan konseptual pada anak didik, terlebih dahulu akan didiskusikan proses terjadinya perubahan konseptual pada komunitas sains. Kuhn (1970) berpendapat bahwa aktivitas scientist dan proses pembentukan pengetahuan di dalam komunitas sains selama periode normal science dipengaruhi oleh ditemukannya paradigma baru dalam sains. Keadaan tersebut mempengaruhi kegiatan komunitas scientist untuk berpikir rasional yang ditunjang oleh fakta-fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, walaupun masih bersifat konvensional serta tidak terlepas dari pengaruh subjektivitas kekuasaan saat itu. Di lain pihak, Lakatos (1970) berpendapat, bahwa theoretical hard core adalah komitmen sentral scientist, artinya proses pembentukan pengetahuan harus melalui aktivitas ilmiah. Di sana dijelaskan pula bahwa perubahan paradigma komunitas sains terjadi sebagai akibat dari pengenalan kejadian-kejadian yang anomalous, kegagalan di dalam menggabungkan kejadian-kejadian anomalous ke dalam konsep sains yang telah ada, adanya informasi-informasi baru, serta interpretasi baru dari pemikiran-pemikiran lama tentang sains. Dari uraian di atas, terlihat jelas adanya persamaan antara pembentukan pengetahuan di dalam komunitas sains dan proses pembelajaran anak tentang konsep sains. Dengan kata lain, analogi tersebut dapat dijelaskan bahwa perubahan konseptual dalam sains sama-sama dipengaruhi oleh sentral filosofi, informasi, serta pemikiran baru tentang sains. 3. Karakteristik Perubahan Konseptual pada Anak Telah banyak penelitian tentang konsepsi awal anak didik sebelum dilakukannya suatu proses pembelajaran (misalnya: Novak, 1987; Pfund & Duit, 1991). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dihasilkan banyak teori yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

53 anak didik yang digunakan sebagai alternatif untuk diterimanya suatu konsep sains. Konsepsi awal yang dipunyai anak didik dibentuk dari perangkat-perangkat pengetahuan yang ada disebut knowledge in pieces (diSessa, 1988). Perangkat-perangkat pengetahuan yang dimaksud adalah pemikiran-pemikiran anak didik yang tidak ada kaitannya satu sama lain. Di dalam proses pembelajaran dengan model perubahan konseptual, seorang guru dituntut untuk membantu anak didik memahami unit-unit berpikir yang tidak berkaitan tersebut agar menjadi bermakna sebagai suatu pengetahuan, seperti halnya yang dilakukan oleh seorang ahli sains. Minstrell (1992) dan diSessa (1988) memilih istilah faset untuk menjelaskan bagian-bagian unit berpikir suatu konten pengetahuan tertentu, dalam situasi tertentu yang digunakan anak didik untuk membuat sesuatu masuk akal. Pengertian ini difokuskan kepada hal-hal yang ada di dalam pemikiran anak didik, termasuk konten yang sedang dipelajarinya. Di sini, peran guru sangat penting dalam mempromosikan metakognitif mereka, walaupun sampai saat ini belum ada kejelasan tentang bagaimana sebaiknya guru melakukan hal tersebut di dalam proses pembelajaran di kelas. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masih belum diketahui sifat-sifat dasar pemikiran anak didik yang sebenarnya. Secara hipotik, sifat dasar konsepsi anak didik erat kaitannya dengan cara berpikirnya yang masih partial, artinya cara berpikir mereka masih belum komprehensif. Hal ini dapat diibaratkan sebuah gudang yang banyak pintunya, tetapi belum diketahui masing-masing fungsi kunci pintu yang ada, sehingga kunci-kunci yang ada tidak dapat digunakan untuk membuka pintu yang tepat, dengan kunci yang tepat, dan untuk tujuan yang tepat. Dengan sifat dasar konsepsi anak didik yang bisa diprediksikan saat ini, sebenarnya sudah mengindikasikan apa, dimana, dan bagaimana seharusnya seorang guru sains berperan dan berlaku dalam proses pembelajaran sains untuk perubahan konseptual. Status suatu konseptual anak didik, dapat diidentifikasi dari percakapannya sehari-hari. Pernyataan percakapan tersebut, dapat dijadikan indikasi struktur pengetahuan yang dipunyainya, sehingga keadaan pemikiran mereka dapat diketahui dari alasan yang digunakan untuk membenarkan pendapat yang mereka pegang selama ini. Status dari suatu konseptual menurut Hewson (1981) dapat diidentifikasi sebagai intelligible, plausible, atau fruitful. Suatu konseptual dikatakan intelligible bagi seseorang dengan pengertian bahwa individu orang tersebut memahami arti kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikannya, dan dapat mengkaitkan pengertian tersebut dengan beberapa struktur pengetahuan yang telah ada. Analogi intelligibility dapat dilihat dari pembuatan suatu kalimat oleh anak didik. Pembuat kalimat pertamatama harus mengetahui arti kata-kata, dan harus sesuai dengan sintaksis yang diperlukan untuk menulis suatu kalimat. Akan tetapi, tidak ada suatu aturan khusus bagi sipembuat kalimat, untuk bisa menghasilkan suatu pernya-taan yang baik atau masuk akal. Misalnya, Mobil menjadi hijau tatkala melihat rumput. Kalimat tersebut sebenarnya dibentuk dari kata-kata yang secara individual mempunyai pengertian yang jelas, walaupun keseluruhan kalimat yang dibentuknya, tidak memperlihat-

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

54 kan intelligibility sama sekali atau tidak dapat di pahami. Secara pragmatis, mobil tidak dapat melihat, kalaupun misalnya mobil tersebut dapat melihat, warna subjek (mobil) tidak ada kaitan dengan pengalamannya terhadap warna dari objek yang dilihatnya. Hal ini masuk akal untuk dikatakan bahwa suatu konseptual harus mempunyai intelligibility sebelum seorang individu secara psikologis dapat memahaminya. Artinya, apabila suatu konseptual tidak intelligible, maka konseptual tersebut tidak dapat direpresentasikan di dalam pemikiran seseorang. Konseptual yang intelligible mungkin akan memperoleh peningkatan status menjadi plausible. Plausibility erat kaitannya dengan persepsi anak didik tentang kebenaran yang dipunyai suatu konseptual apakah anak didik tersebut percaya bahwa konseptual yang dipegangnya itu benar berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya? Hal ini tidak mengimplikasikan, bahwa semua konseptual yang plausible adalah benar dalam pengertian, bahwa mereka menerimanya sebagai suatu kebenaran. Apabila seorang individu anak didik mempunyai beberapa alasan untuk mempercayai bahwa konseptualnya itu benar, atau percaya bahwa hal itu bisa digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena tertentu, maka konseptual itu adalah plausible bagi dirinya. Dengan kata lain, hal itu kelihatannya masuk akal, kalau konseptual-konseptual yang mendapat status plausibility mungkin saja bisa mengakibatkan dissatisfaction (ketidakcocokan) dengan komponen-komponen tertentu dari ekologi konseptual yang telah ada. Artinya, semua komponen ekologi konseptual akan dihubungkan dengan plausibility awal suatu konsep, dan dikaitkan dengan komponen-komponen yang berpengaruh untuk memfasilitasi proses perubahan konseptual. Konseptual-konseptual yang intelligible, atau intelligible dan plausible mungkin akan mendapatkan status fruitfulness. Konseptual yang fruitful mempunyai kemampuan untuk diterapkan di dalam macam-macam situasi yang lebih luas. Fruitfulness sendiri dapat dijelaskan sebagai konseptual yang harus punya potensi untuk dikembangkan dalam rangka membuka jalan bagi terbentuknya inquiry baru. Konseptualkonseptual yang fruitful dapat digunakan untuk memecahkan anomali-anomali sebelumnya, menjelaskan pengalaman-pengalaman masa lalu, dan memungkinkan untuk menggeneralisasikan suatu kelompok fenomena yang lebih umum dari fenomena khusus yang ada (Posner et al., 1982). Oleh sebab itu, konseptual-konseptual yang fruitful dapat membawa anak didik untuk berpikir, tatkala mereka berhadapan dengan fenomena baru atau unik yang baru pertama kali mereka temukan. Kalau dilihat secara kolektif, bahwa penjelasan tentang intelligibility, plausibility, dan fruitfulness diberikan kepada suatu konseptual dalam status terbarunya (Hewson, 1981, 1982; Hewson & Thorley, 1989). Suatu konseptual mungkin bisa menjadi intelligible ( I ), intelligible dan plausible ( I - P ), intelligible dan fruitful ( I - F ), atau intelligible, plausible, dan fruitful ( I P - F ). Dengan kata lain, penilaian status dari suatu konseptual merupakan suatu keharusan, dan harus selalu dilakukan pada dan oleh anak didik di dalam proses pembelajarannya. Dari seluruh uraian di atas dapat diartikan bahwa pada hakekatnya anak didik harus dapat menentukan alasanalasan yang mengindikasikan wujud

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

55 kepercayaan keberadaan konseptualnya itu benar. Di bawah ini, adalah contoh pernyataan seorang anak didik kelas enam yang dapat direkam, sebagai berikut. Buku di atas meja dalam keadaan diam dan buku pada tangan saya juga dalam keadaan diam. Saya tahu bahwa sebenarnya ada dua keseimbangan gaya yang bekerja pada buku yang ada pada tangan saya, yaitu gravitasi dan yang satunya lagi adalah tangan saya, sehingga menyebabkan buku yang ada pada tangan saya dalam keadaan diam. Selanjutnya, saya juga berpikir tentang buku yang ada pada meja seperti halnya buku yang ada pada tangan saya, yaitu mempunyai dua gaya keseimbangan yang bekerja padanya juga. Oleh sebab itu, meja juga sebenarnya mengeluarkan gaya terhadap buku, (Barlia, 1998, data interview di St. Francis DeSale School, Outer Columbus, Ohio). Bagian dari proses pembelajaran di atas, tidak hanya menjelaskan pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan konseptual yang dipunyai si pembicara (benda dalam keadaan diam mempunyai keseimbangan gaya yang bekerja padanya), dan deskripsi dari suatu fenomena, tetapi juga analogi dari alasan tersebut yang dapat digunakan untuk memperkuat uraian kedua contoh di atas. Hal ini, merupakan bukti yang menunjang pendapat, dan keinginannya untuk tetap konsisten di dalam proses pemahaman yang digunakan terhadap kedua contoh benda yang dalam keadaan diam tersebut. Dengan kata lain, status pemikiran anak didik yang dinyatakan secara eksplisit, merupakan asumsi yang menguatkan kalau anak didik menemukan pemikiran yang intelligible dan plausible. Sejauh ini, ditemukan dua hasil riset berkaitan dengan perubahan konseptual pada anak didik yang menunjang pendapat bahwa untuk mengidentifikasi status dari suatu konseptual dapat dilihat dari komentar-komentar yang diberikan anak terhadap konseptual itu. Pertama, Thorley (1990) dengan penelitian untuk mencari status yang berkaitan dengan interaksi anak di dalam kegiatan proses pembelajaran. Dia menggunakan schema untuk menginterpretasikan keterkaitan antara komponen-komponen ekologi konseptual dengan status konseptual di dalam proses pembelajaran. Kedua, proses pembelajaran yang dilakukan Hennessey (1991). Di dalam penelitiannya, dia memberikan istilah-istilah yang berkaitan dengan Conceptual Change Model yang menunjukkan status (intelligibility, plausibility, dan fruitful) kepada anak didik yang digunakan untuk mengekspresikan pemahamannya terhadap konseptual tersebut, ketika mereka berbicara tentang gerak dan gaya. Riset yang dilakukan oleh Hennessey (1991) menunjang pendapat bahwa apabila diberikan lingkungan yang sesuai untuk proses pembelajaran, maka anak didik umumnya lebih aktif terlibat di dalam kegiatan metakognitif, yang sangat penting untuk merefleksikan perkembangan pengetahuan konseptualnya. Lebih jauh lagi, hasil risetnya itu menunjang pendapat bahwa guru dapat memfasilitasi pengembangan pengetahuan konseptual anak melalui model pembelajaran untuk perubahan konseptual yang efektif. Apabila konseptual baru dapat bertahan dan mempunyai makna di dalam ruang lingkup ekologi konseptual (conceptual ecology) yang ada, maka hal itu menunjukkan akan terjadinya perubahan di dalam pemikiran anak didik,

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

56 yang akan mendorong terjadinya pemahaman konseptual baru. Beberapa peneliti model perubahan konseptual (misalnya: Strike & Posner, 1985) mengidentifikasi sedikitnya tujuh macam komponen ekologi konseptual, yaitu: anomalies, prototypical exemplars dan images, past experiences, analogies dan metaphors, epistemological commitments, metaphysical beliefs dan concepts, serta pengetahuan lain. Anomalies diartikan sebagai karakter penolakan spesifik terhadap pemikiran-pemikiran yang baru datang, dan hal ini merupakan bagian penting dari ekologi konseptual untuk menyeleksi suksesor. Sedangkan, analogies dan metafor merupakan bagian dari conceptual ecology yang berfungsi memberikan pertimbangan untuk dibentuknya pemikiran-pemikiran baru supaya dapat dipahami. Exemplars dan images meliputi pemikiran coba-coba, imaginasi atau simulasi objek artifisial, dan segala proses yang mempengaruhi sense intuisi seseorang agar menjadi masuk akal. Past experiences adalah konseptual-koseptual yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman masa lalu anak didik. Pengalaman tersebut biasanya kontradiksi, sehingga tidak dapat diterima oleh pemikiran-pemikiran ilmiah. Epistemological commitments terdiri dari dua hal yaitu pemikiran ideal dan pemikiran umum tentang karakter suatu pengetahuan. Yang dimaksud dengan pemikiran ideal adalah semua pemikiran yang didasari oleh subjek matter tertentu yang sukses dalam memberikan pemahaman bidang studi tersebut. Pemikiran umum tentang karakter pengetahuan merupakan tolok ukur untuk suksesnya suatu pengetahuan seperti, ekonomi, parsimoni, dan tidak sedang dalam keadaan ad hoc eksesif, atau dengan kata lain subjek matter tersebut dalam keadaan netral. Metaphysical beliefs dan concepts dapat dibedakan menjadi metaphysical beliefs tentang sains dan metaphysical concepts tentang sains. Metaphysical beliefs tentang sains adalah beliefs yang berkaitan dengan pengembangan orderliness, simetri, atau keteraturan dari segala fenomena alam semesta. Hal tersebut, merupakan bagian penting untuk kegiatan ilmiah, dan dapat menghasilkan pandangan epistemology yang dapat menyeleksi atau menolak penjelasan-penjelasan dan pemikiran-pemikiran tertentu. Metaphysical concepts tentang sains pada dasarnya merupakan konsep spesifik, yang mempunyai kualitas metafisik yang mereka percayai, missalnya: kepercayaan tentang keabsolutan ruang atau waktu. Pengetahuan lain (other knowledge) di sini, adalah pengetahuan bidang studi lain dan konseptual yang kompetitif, maksudnya adalah pemikiran-pemikiran baru yang selaras dengan hal-hal lain dan dipercayai sebagai sesuatu yang benar. Konseptual kompetitif adalah suatu kondisi untuk penyeleksian suatu konseptual baru yang kelihatannya lebih menjanjikan dari yang lainnya, dan berlaku sebagai kompetitor. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa semua komponen ekologi konseptual seperti yang telah diuraikan di atas, kemungkinan mempunyai andil yang sangat besar di dalam penentuan status dari suatu konseptual. Misalnya, Posner (1985: 217) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara ekologi konseptual dengan pengakomodasian kondisi status. Asimilasi dan akomodasi merupakan istilah-istilah yang sering digunakan untuk merepresentasikan proses perubahan konseptual. Asimilasi merepresentasikan bahwa di dalam proses

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

57 perubahan konseptual, terjadi apabila pengetahuan yang telah ada pada anak sesuai, berkaitan dan menunjang kepada fenomena baru, sedangkan akomodasi digambarkan terjadinya suatu proses perubahan konseptual pada pemikiran anak dengan mengganti atau mengorganisasikan kembali konsep utama yang telah ada (Posner et al., 1982: 212). Kedua proses perubahan konseptual tersebut oleh Hewson (1981) dikatakan sebagai conceptual capture dan conceptual exchange. D. Penutup Dari semua uraian tentang kondisi dari suatu konseptual, misalnya status dan latar belakang ekologi konseptual di atas, dapat ditelusuri cara suatu konseptual dapat diinkorporasikan ke dalam struktur pengetahuan anak yang telah ada. Model perubahan konseptual memperkirakan bahwa pengalaman anomali, informasi-informasi baru, atau cara baru dalam berpikir tentang informasi lama dapat mengarah kepada suatu perubahan status konseptual. Selain itu, informasi-informasi baru atau refleksi terhadap pemikiran lama yang tidak merusak konseptual yang ada atau yang memerlukan suatu perubahan di dalam ekologi konseptual dapat di inkorporasikan ke dalam dasar pengetahuan individu yang merupakan konseptual yang telah ada dan hal ini dikatakan sebagai conceptual capture. Tetapi, status hanya merupakan salah satu indentifikasi dari suatu konsepsi di dalam bentuk yang ada saat itu. Jika pengalaman seseorang dissatisfaction dengan status suatu konsepsi atau dengan komponen-komponen ekologinya maka salah satu konsepsi akan menjadi salah satu dari empat kemungkinan, yaitu: 1) konsepsi baru ditolak, paling tidak untuk sementara; 2) konsepsi baru tidak mendapat tempat untuk tersimpan di dalam memori; 3) konsepsi baru ditangkap, diambil, dan diterima oleh konsepsi yang telah ada, apabila hal tersebut dapat direkonsiliasikan dengan ekologi konseptual dan konseptual yang telah ada; atau 4) konsepsi baru dapat menggantikan posisi konsepsi lama apabila rekonsiliasi tidak terjadi. Salah satu kemungkinan lain yang tidak dikemukan oleh Hewson dengan jelas adalah bahwa komponen-komponen ekologi akan berubah untuk mengakomodasikan terbentuknya konseptual baru. Akhirnya, meningkatnya status dari suatu konsepsi baru seiring dengan melemahnya status dari konsepsi lama, menunjukkan telah terjadinya perubahan konseptual. Kejadian perubahan konseptual seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan kejadian yang akan sering dijumpai dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Keadan seperti tadi sesuai dengan pandangan konstruktivisme di dalam pembentukan pengetahuan pada anak didik, dimana anak didik membentuk pengetahuan dilakukan oleh dirinya sendiri dengan caranya sendiri dalam situasi pembelajaran yang lebih memberi kesempatan kepada mereka sebagai subjek di dalam proses belajarnya sendiri. Keterlibatan anak didik di dalam proses pembelajaran seperti itu memperlihatkan bahwa anak didik perlu diberi kesempatan mengembangkan metakognitifnya untuk memfasilitasi proses pembelajaran untuk perubahan konseptual.

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

58 Daftar Pustaka Barlia, L. 1999. Students Motivation to Engage in Conceptual Change Learning in Science. Unpublished Doctoral Dissertation, Ohio State University- Columbus. ______. 2004. Empat Metode Perubahan Konseptual Hasil Proses Belajar (Extinction, Replacement, Rearrangement, dan Addition). Journal Ilmu Pendidikan Pedagogia, No. 2. Vol. 1. Hal. 57-71. ______. 2005. Teachers Teaching Strategies and Teachers Personality in Students Motivation to Learn Science for Conceptual Understanding. Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. II, No.3. Universitas Pendidikan Indonesia ______. 2009. Teori Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Bandung: Royyan Press. diSessa, A..A. 1988. Knowledge in Pieces. In G. Forman & P. Pufall (Eds.), Constructivism in the Computer Age (pp. 49-70). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Helm, H. & Novak, J.D. Eds.1983. Proceedings of the International Seminar-Misconceptions in Science and Mathematics. Ithaca, NY: Cornell University. Hennessey, M.G. 1991. Analysis of Conceptual Change and Status Change in 6th Graders Concepts of Force and Motion. Unpublished Doctoral Thesis, University of Wisconsin-Madison. Hewson, M.G. A.B. 1982. Students Existing Knowledge as a Factor Influencing the Acquisition of Scientific Knowledge. Unpublished Doctoral Dissertation, University of Witwatersrand, Johannesburg. Hewson, M.G. & Hewson, P.W. 1983. Effects of Instruction Using Students Prior Knowledge and Conceptual Change Strategies on Science Learning. Journal of Research in Science Teaching, 20(8), 731-743. Hewson, P.W. 1981. A conceptual Change Approach to Learning Science. European Journal of Science Education, 3(4), 383-396. Hewson, P.W. 1982. A Case Study of Conceptual Change in Special Relativity: The Influence of Prior Knowledge in Learning. European Journal of Science Education, 4(1), 61-78. Hewson, P.W. 1985. Epistemological Commitments in the Learning of Science: Examples from Dynamics. European Journal of Science Education, 7(2), 163-172. Hewson, P.W. & Hewson, M.G.AB. 1984. The Role of Conceptual Conflict in Conceptual Change and the Design of Instruction. Instructional Science, 13(1), 1-13 Hewson, P.W. & Hewson, M.G.AB. 1988. An Appropriate Conception of Teaching Science: A View from Studies of Science Learning. Science Education, 72(5), 597614.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

59 Hewson, P.W. & Thorley, N.R. 1989. The Conditions of Conceptual Change in the Classroom. International Journal of Science Education, 11(5), 541-553. Kuhn, T. 1970. The Structure of Scientific Revolutions (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press. Lakatos, I. 1970. Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes. Criticism and the Growth of Knowledge. I. Lakatos and A. Musgrave (Eds.). Cambridge University Press. Minstrell, J. 1992. Facets of Students Knowledge: A Practical View from the Classroom. Paper Presented at the Annual Meeting of the American Educational Research Association. San Francisco, CA Novak, J.D. 1987. Proceedings of the Second International Seminar-Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol IIII, Cornell University, Ithaca, N.Y. Pfundt, H. & Duit, R. 1991. Students Alternative Frameworks and Science Education, 3rd, edition. Institute for Science Education, Keil: Federal Republic of Germany. Posner, G.J., Strike, K.A., Hewson, P.W., & Gertzog, W.A. 1982. Accommodation of a Scientific Conception: Toward a Theory of Conceptual Change. Science Education, 66(2), 211-227. Resnick, L.B. 1983. Mathematics and Science Learning: A New Conception. Science, 220, pp. 477478. Thorley, N.R. 1990. The Role of Conceptual Change Model in the Interpretation Classroom Interactions. Unpublished Doctoral Thesis, University of WisconsinMadison. Toulmin, S. 1972. Human Understanding, Vol. 1: The Collective Use and Evolution of Concepts. Princeton: Princeton University Press.

Perubahan Konseptual dalam Pembelajaran Sains Anak Usia Sekolah Dasar

ANALISIS TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PADA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2009 Wawan S. Suherman dan Endang Sulistyowati FIK Universitas Negeri Yogyakarta dan TK Al Amin Kadisoka

Abstract This article analyzes the main program for Early Childhood Education (ECE) in the government program in 2009 stated in the President Regulation Number 38 Year 2008. The analysis employs the public policy model by Joko Wiyono, which is an applied analysis descriptive in nature, focusing on the content analysis. The targets are to analyze (1) the main determinant factors, (2) policy contents, and (3) expected and unexpected effects of the policy. The results of the analysis show that the determinant factors have not taken into account of the gap in the ECE implementation, concerns about the discontinuity among types of ECE services, and the development of the kindergarten education discourse. The contents of the program have not made ECE a priority, not all types of ECE services have been developed, and the coordinator of ECE programs has not been explicitly appointed. The objectives of the ECE programs have not set targets quantitatively. Keywords: public policy analysis, Early Childhood Education

A. Pendahuluan PAUD (pendidikan anak usia dini) merupakan salah satu jenjang pendidikan. PAUD memiliki peran strategis dalam proses pendidikan secara keseluruhan karena ia merupakan landasan dan wahana penyiapan anak untuk memasuki pendidikan dasar. Oleh karena itu, PAUD harus memperoleh perhatian yang memadai. Akhirakhir ini, perhatian pemerintah terhadap PAUD mengalami peningkatan yang berarti. Peningkatan perhatian tersebut mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di bidang ini. Selain menyiapkan berbagai aturan yang melandasi, mengatur, dan melengkapi program PAUD, pemerintah juga menyusun perencanaan program PAUD. Peren-

canaan tersebut termuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009. Rencana Kerja Pemerintah tahun 2009 atau Peraturan Presiden nomor 38 tahun 2008. Dalam RKP terdapat prioritas pembangunan bidang pendidikan yang merupakan bagian dari prioritas satu peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan pedesaan. RKP tahun 2009 merupakan pedoman pembangunan nasional selama satu tahun yang harus diacu oleh seluruh departemen, pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Dengan demikian, RKP merupakan salah satu kebijakan publik yang disusun oleh pemerintah. Agar diperoleh hasil perencanaan yang lebih baik di masa yang akan datang, dan menghasilkan dampak yang lebih baik, perencanaan PAUD

60

61 yang telah ditetapkan oleh pemerintah perlu untuk dianalisis. Karena perencanaan PAUD yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan kebijakan publik, analisis akan menggunakan analisis kebijakan publik. Dalam analisis kebijakan publik terdapat tiga elemen kebijakan yang menjadi target analisis, yakni: (1) faktor determinan utama; (2) isi kebijakan; dan (3) dampak kebijakan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Analisis menggunakan tipe analisis terapan. Tipe analisis ini lebih memfokuskan diri pada hubungan isi kebijakan dengan dampak kebijakan serta lebih berorientasi pada evaluasi kebijakan dan bertujuan untuk menemukan alternatif lebih baik dan bisa menggantikan kebijakan yang sedang dianalisis. Analisis tidak akan menelaah seluruh RKP tahun 2009, tetapi pengkajian akan difokuskan pada perencanaan PAUD yang merupakan bagian dari bidang pendidikan. Analisis ini menggunakan analisis kebijakan publik dari Joko Wiyono, yaitu analisis yang menekankan pada kajian isi (content analysis) yang merupakan definisi empiris mengenai isi kebijakan, terutama pada maksud, definisi masalah, tujuan dan orientasi sebuah kebijakan (Hykurniawan, 2008: 2). Berdasarkan alasan tersebut, artikel ini akan membahas (1) apa yang dimaksud dengan PAUD; (2) apa yang dimaksud dengan kebijakan PAUD (3) apa saja program yang disediakan dalam perencanaan pembangunan PAUD yang tercantum dalam RKP tahun 2009; dan (4) bagaimana hasil analisis terhadap perencanaan PAUD? B. Pembahasan 1. Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, dan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Lebih lanjut, Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif UNESCO (2005: 19) merinci bentuk layanan PAUD adalah (1) Taman Kanak-Kanak (TK) dan atau Raudathul Athfal (RA); (2) Kelompok Bermain (KB); (3) Taman Penitipan Anak (TPA); (4) Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu); dan (5) Bina Keluarga Balita (BKB). PAUD berfungsi sebagai pengembang berbagai potensi yang dimiliki oleh anak. Potensi tersebut meliputi ranah kognitif, bahasa, jasmani (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. PAUD merupakan institusi prasekolah yang mengenalkan bentuk dan budaya sekolah. Peletakan dasar untuk mengembangkan potensi anak sangat

Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah

62 ditentukan oleh proses pendidikan yang dialami anak-anak pada saat berusia 0 hingga 6 tahun. Pengalaman yang diterima oleh anak melalui proses pembelajaran di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan PAUD merupakan proses pendidikan yang penting dan menentukan bagi pengembangan anak ke depan. Pertumbuhan pengetahuan, keterampilan, sikap dan sifat anak akan tergantung pada apa yang dilihat, diperoleh, dan diajarkan oleh orang lain kepada anak. pendidikan, berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang mencakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Dari teori tersebut, kebijakan PAUD dapat didefinisikan sebagai kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem PAUD yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Secara nasional, kebijakan yang mengatur pendidikan secara umum, yang di dalamnya terdapat PAUD, dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai turunannya, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, pengaturan tentang tenaga pendidik dan kependidikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Kebijakan khusus mengenai PAUD dituangkan dalam kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan konsep PAUD, pengembangan pendidikan guru PAUD, pengembangan anak sesuai dengan potensinya secara optimal, dan pengembangan sarana dan prasarana. Untuk PAUD nonformal, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan nama Menu Pembelajaran Generik PAUD. Pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan dalam pengaturan penerimaan siswa baru dan penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan biasanya berbentuk Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati atau Walikota. Salah satu kebijakan PAUD yang dikeluarkan pemerintah adalah Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2008 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009 atau disingkat menjadi RKP 2009. Kebijakan ini mengatur tentang arah dan kebijakan prioritas pemba-

2. Kebijakan dan Perencanaan PAUD Menurut Tilaar dan Nugroho (2008:307), kebijakan pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik, dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik. Kebijakan pendidikan berada dalam tataran normatif dan tatanan deskriptif. Kebijakan publik memiliki ciri-ciri (1) kebijakan yang dibuat lembaga negara, eksekutif, legistatif, dan yudikatif; (2) kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang per orang, masalah bersama, semua yang berada di wilayah publik; dan (3) memiliki tingkat pemanfaatan baik oleh pengguna langsung maupun tidak langsung. Kebijakan PAUD sebagai bagian dari kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik dan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan PAUD harus berdasarkan filsafat pendidikan, dan merupakan penjabaran dari visi, misi PAUD. Nugroho (2008: 36) menyatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik dalam bidang

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

63 ngunan yang akan dilaksanakan oleh seluruh instansi pemerintah Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut, terdapat arah dan kebijakan pembangunan PAUD sebagai bagian dari pembangunan bidang pendidikan. Sebagian kondisi umum yang mendasari penetapan perencanaan pembangunan PAUD tertera pada Bab 26 tentang Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2008 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2009, dikutip sebagai berikut.
Mengingat penting dan strategisnya pendidikan dalam pembangunan bangsa, Pemerintah secara terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan. Kesungguhan Pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan yang baik kepada segenap anak bangsa telah dilakukan melalui berbagai program pembangunan bidang pendidikan yang mencakup aspek perluasan akses dan pemerataan pendidikan; peningkatan mutu dan relevansi pendidikan; dan peningkatan manajemen pelayanan pendidikan, termasuk juga percepatan penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.

Di samping itu, untuk mengoptimalkan masa emas (golden age) tumbuh kembang anak, pemerintah terus meningkatkan penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan anak sejak usia dini melalui program PAUD. Melalui PAUD ini, pemerintah berupaya menyiapkan anak agar dapat menempuh pendidikan dasar secara lebih baik. Program tersebut dilakukan melalui beragam jenis layanan PAUD, seperti Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal, Bustanul Athfal, TK AlQur'an, dan Tempat Penitipan Anak,

serta Kelompok Bermain. Sampai dengan tahun 2007, APK untuk PAUD sudah mencapai 48,32%. Kesadaran akan pentingnya PAUD dalam pengembangan potensi diri secara optimal telah ditunjukkan oleh masyarakat dengan makin meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD di lapangan. Berbagai upaya terus menerus dilakukan dalam rangka perluasan akses dan pemerataan layanan pendidikan, namun layanan pendidikan belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan, wilayah terpencil, dan kepulauan yang secara geografis sulit dijangkau sehingga belum semua penduduk usia sekolah memperoleh akses pendidikan dengan baik. Di samping kendala geografis, kondisi ekonomi juga menjadi faktor fundamental munculnya kesenjangan partisipasi pendidikan di berbagai lapisan masyarakat. Kesenjangan partisipasi pendidikan masih terjadi baik antarkelompok masyarakat (kaya-miskin), maupun antarkategori wilayah (perkotaan-pedesaan), dan kesenjangan ini cenderung meningkat seiring dengan peningkatan kelompok umur. Upaya peningkatan pemerataan pada jenjang pendidikan formal, upaya perluasan akses dan pemerataan pendidikan juga dilakukan terhadap jenjang pendidikan nonformal yang mencakup antara lain PAUD, dan pendidikan khusus keterampilan. Anakanak yang memerlukan pelayanan khusus (children with special needs) selama ini belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang memadai. Jika dikaitkan dengan hak dasar untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh penduduk Indonesia, layanan pendidikan harus pula menjangkau anak-anak yang

Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah

64 memerlukan layanan pendidikan khusus tersebut. Selanjutnya, upaya memperluas jangkauan program PAUD juga terus dilanjutkan untuk mendukung keberhasilan Program Wajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Meskipun demikian, belum seluruh anak usia antara 2-6 tahun dapat tertampung di berbagai jenis satuan PAUD yang disebabkan oleh terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan PAUD. Sampai dengan saat ini, tingkat partisipasi PAUD masih rendah, yaitu sebesar 48,32%. Di samping angka partisipasi PAUD yang masih relatif rendah, juga terjadi kesenjangan yang cukup tinggi antara wilayah perdesaan dan perkotaan, antara penduduk kaya dan penduduk miskin, dan antardaerah. Disparitas APK PAUD antara kabupaten dan kota masih cukup signifikan, yaitu sebesar 4, 20%. Pembangunan pendidikan juga masih menghadapi masalah belum mantapnya koordinasi antara pendidikan formal dan nonformal karena pengelolaan pendidikan formal dan nonformal masih terlihat eksklusif dan belum saling mendukung. Format dan kualitas pendidikan nonformal belum memungkinkan untuk digunakan sebagai pengganti pelajaran yang relevan di satuan pendidikan formal. Sementara itu, fasilitas pelayanan pendidikan formal yang sudah lebih baik secara kuantitas maupun kualitas belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menyelenggarakan pendidikan nonformal. Secara keseluruhan, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan yang telah memasuki tahun ke-delapan masih menunjukkan belum terciptanya manajemen pelayanan pendidikan yang efektif dan efisien. Belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota menjadi salah satu penyebab. Selain itu, kontribusi pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pendidikan juga belum memadai. Belum efektifnya pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) oleh setiap pemerintah kabupaten/kota, serta belum optimalnya peran masyarakat dalam wadah dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dalam pembangunan pendidikan, menjadi penyebab lainnya. Namun, diharapkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Tugas dan Fungsi Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota akan mampu memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing jenjang pemerintah dalam pembangunan pendidikan. Berdasarkan berbagai faktor de-terminan, tantangan dan permasalahan di atas, program/kegiatan pokok pembangunan PAUD yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 sebagai berikut.

Tabel 1. Matriks Program Pembangunan Tahun 2OO9 (Bappenas, 2008: II.26.1013)


Program/Kegiatan Pokok RKP 2009 Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kegiatan-kegiatan pokok: 1. Penyediaan bantuan/ Sasaran Program Instansi Pelaksana

1. Disediakannya Bantuan Rintisan (formal dan non formal) program PAUD ( bIock

Depdiknas Depag

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

66
subsidi untuk rintisan PAUD grant/subsidi): 2. Dibangunnya PAUD Model atau Rintisan (formal dan nonformal) yang sesuai dengan kondisi lokal: 3. Pengembangan 596 TK-SD satu atap: 4. Terselenggaranya Pemberian Bantuan Depdiknas Kelembagaan PAUD (formal dan Depag nonformal); 5. Terselenggaranya pemberian subsidi bagi 9000 lembaga penyelenggara PAUD terutama untuk lembaga PAUD yang sebagian peserta didiknya berasal dari keluarga miskin 6. Terselenggaranya pemberian subsidi block grant, atau imbal swadaya pengembangan PAUD dan PAUD Model (formal dan nonformal) 7. Terselenggaranva Pendidikan dan Pelatihan bagi pendidik PAUD 8. Terlaksananya pelatihan pengelola/penyelenggara PAUD untuk meningkatkan mutu pengelola/ penyelenggara PAUD 9. Tersedianya materi bahan ajar dan peralatan (permainan) pendidikan PAUD, dan 10. Meningkatnya jumlah anak yang terlayani 1. Dikembangkannya kurikulum, bahan ajar, dan model pembelajaran PAUD 2. Dikembangkannya PAUD Model di kab/kota 3. Dikembangkannya TK-SD satu atap bagi SD yang memiliki cukup fasilitas untuk membuka lembaga PAUD, 4. Terselenggaranya pengembangan kelembagaan PAUD 1. Terselenggaranya sosialisasi PAUD kepada tokoh agama dan masyarakat, pengambil kebijakan dan ORMAS/LSM; 2. Terlaksananya KIE dan Advokasi bagi pengambil kebijakan pusat/ prov/kab/kota, tokoh agama dan masyarakat, dan; 3. Tersedianya datan dan informasi PAUD yang memadai

2. 3. 4.

5.

6.

Pembangunan sarana dan prasarana PAUD; Pemberian bantuan operasional PAUD: Pendidikan dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan PAUD: Penyediaan materi bahan ajar dan peralatan (permainan) pendidikan PAUD: dan Pelayanan PAUD.

1.

2.

Pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan model pembelajaran PAUD, dan Pengembangan Model PAUD dan TK-SD satu atap Pemberdayaan Mitra PAUD Publikasi dan Sosialisasi PAUD termasuk pengembangan data dan informasi PAUD, dan Sosialisasi dan penyebarluasan informasi PAUD Pengembangan

1. 2.

3.

1.

4. Tersusunnya kebijakan PAUD untuk

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

67
manajemen PAUD, dan; Perencanaan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan PAUD memperluas, mengembangkan dan mengkoordinasi pelaksanaan PAUD yang merata, adil dan bermutu: 5. Tersedianya kurikulum, bahan ajar dan model-model pembelajaran PAUD yang mengacu pada standar pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal PAUD di tingkat Kab/Kota; 6. Tersedianya bahan ajar tenaga pendidik PAUD; 7. Tersedianya data dan informasi PAUD yang memadai: 8. Terselenggaranya pengadaan peralatan APE: 9. Terlaksananya Forum PAUD di setiap tingkat 10. Terlaksananya koordinasi antar sektor dalam pelaksanaan dan pengembangan PAUD yang melibatkan berbagai pihak terkait: 11. Terlaksananya kerjasama lintas sektor dan semua pihak terkait (instansi terkait: lembaga internasional, lembaga agama, organisasi wanita, dan konsorsium PAUD). 12. Terselenggaranya monitoring, evaluasi, dan pelaporan PAUD 13. Tersusunnya perencanaan program PAUD tahunan, dan; 14. Tersedianya dukungan manajemen program PAUD.

2.

3. Analisis Kebijakan Perencanaan PAUD Memperhatikan kondisi umum sebagai landasan penyusunan program/ kegiatan pokok pembangunan PAUD yang dikemukakan di atas, dan program pokok serta sasaran pembangunan PAUD yang telah ditetapkan oleh pemerintah, maka dengan menggunakan model analisis kebijakan publik dari Joko Wiyono diperoleh hasil analisis sebagai berikut. a. Hasil Analisis terhadap Faktor Determinan Utama Mencermati latar belakang atau kondisi umum yang dikemukan me-

nunjukkan bahwa perencanaan tersebut memiliki landasan yang memadai, sehingga program yang ditetapkan menjangkau hampir seluruh jenis layanan PAUD. Namun demikian, kondisi umum tersebut belum mengemukakan hal-hal: (1) kesenjangan penyelenggaraan PAUD oleh pemerintah dan masyarakat; (2) kekhawatiran ketidaksambungan pendidikan kelompok bermain dengan pendidikan taman kanak-kanak tidak dikemukakan secara eksplisit karena adanya dualisme antara Direktorat PAUD dan Direktorat TK-SD; (3) berkembangnya wacana tentang konsep pendidikan taman kanak-kanak sebagai

Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah

67 wahana pengenalan pendidikan formal dengan konsep pendidikan taman kanak-kanak sebagai penyiapan kemampuan anak memasuki pendidikan dasar, dan pembekalan kemampuan dasar anak. b. Hasil Analisis terhadap Isi Kebijakan Mencermati kegiatan pokok PAUD yang telah ditetapkan, beberapa catatan dapat dikemukakan. Tampak bahwa pembangunan bidang pendidikan sebagai payung program pokok pembangunan PAUD belum menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Prioritas utama pembangunan nasional masih menempatkan bidang ekonomi, pertanian, infrastruktur, energi, hukum, dan pelayanan dasar. Pendidikan merupakan bagian dari pelayanan dasar. Bidang pendidikan dibagi berdasarkan jenjangnya menjadi PAUD, Dikdasmen, dan Dikti; sedangkan pembagian berdasarkan sifatnya menjadi pendidikan formal, informal, dan nonformal. Dengan demikian, pembangunan PAUD merupakan bagian kecil dari pembangunan peningkatan pelayanan dasar. Selain itu, belum terbaca rincian jenis layanan PAUD yang akan dikembangkan. Jenis PAUD yang disebutkan adalah TK, padahal masih terdapat 4 jenis layanan lainnya, yaitu Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, Posyandu, dan Bimbingan Keluarga Balita. Ketidakrincian rencana kerja pembangunan PAUD mungkin disengaja agar pelaksanaannya dapat dikerjakan lebih fleksibel dengan memperhatikan jenis layanan yang perlu segera mendapatkan perhatian. Pembangunan PAUD melibatkan berbagai institusi baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Oleh karena itu, agar terjadi koordinasi antar instansi pelaksana perlu ditunjuk instansi koordinator untuk mengkoordinasikan seluruh pembangunan PAUD. Hal tersebut belum dilakukan. Selain itu, instansi pelaksana hanya disebutkan dua, yaitu Depdiknas dan Depag, padahal Depkes dan Depsos juga terlibat dalam pembangunan PAUD. Program pengkoordinasian pembangunan PAUD telah ditetapkan pada pengembangan manajemen PAUD, tetapi belum disebutkan siapa yang menjadi koordinator kegiatan tersebut. Belum terbaca adanya program yang akan mengurangi kesenjangan angka partisipasi kasar PAUD antara daerah perkotaan dan wilayah pedesaan, padahal disparitasnya masih cukup tinggi, yaitu sebesar 4,2%. Namum, upaya pengurangan kesenjangan angka partisipasi antara kelompok kaya dan kelompok miskin sudah terlihat dengan adanya program bantuan bagi lembaga PAUD yang siswanya sebagai besar berasal dari kelompok miskin. c. Hasil Analisis terhadap Dampak Kebijakan Mencermati sasaran program, rumusannya masih menggunakan kalimat kualitatif sehingga pengukuran terhadap dampaknya akan sulit dilakukan. Namun demikian, Angka partisipasi kasar PAUD perlu terus ditingkatkan dari 48,32% menjadi sekitar 60% agar anak yang belum menikmati layanan PAUD dapat segera memperoleh layanan PAUD. Latar belakang pendidikan, kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan PAUD perlu diperhatikan agar proses PAUD menjadi lebih berkualitas, adil, dan merata. Peran pemerintah dalam penyelenggaraan PAUD perlu ditingkatkan karena penyelenggaraan PAUD masih didominasi oleh pihak swasta dan masyarakat.

Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah

68 Penyebaran PAUD perlu ditingkatkan terutama untuk menjangkau daerah pedesaan, daerah terpencil dan sulit dijangkau secara geografis. Tujuan penyelenggaraan PAUD pada intinya adalah sebagai wahana pengembangan potensi anak secara utuh dan menyeluruh. Namun demikian, praktik di lapangan menunjukkan bahwa PAUD lebih berisi muatan akademik. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan antara kebijakan dan praktik pendidikan PAUD karena pendidikan PAUD lebih menonjolkan tujuan pragmatis instrumental daripada filosofi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Konon, praktik PAUD kurang memberikan perhatian kepada anakanak yang kurang beruntung dan kurang memberikan ruang bagi tumbuhnya pendidikan alternatif karena masih lebih berorientasi pada kelas menengah kota. Problem ketidakmampuan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan secara merata tidak hanya menjadi penyebab terjadinya disparitas baik antarjenjang pendidikan maupun antardaerah, tetapi juga mengakibatkan rendahnya anggaran pendidikan yang diberikan terutama untuk PAUD. Masalah ini semakin rumit karena kebijakan pemerintah di bidang PAUD belum menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang kurang mampu. Mengingat pendidikan anak merupakan bagian integral dari pendidikan sekolah, orang tua dan masyarakat, maka peserta didik usia dini 0-6 tahun yang tidak terlayani di Pos PAUD, Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain, maupun Taman Kanak-Kanak, berarti mereka berada dalam pengasuhan keluarga. Oleh karena itu, orang tua juga merupakan sasaran program PAUD. Agar pengasuhan dapat berhasil dengan baik, model pengasuhan yang tepat perlu dikembangkan. Artinya PAUD tidak terbatas pada pendidikan anak tetapi juga terkait dengan pendidikan orang tua tentang pendidikan anak sehingga mereka dapat memberikan pengasuhan yang tepat sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. C. Penutup Memperhatikan hasil analisis di atas, rencana kerja pemerintah program pokok PAUD cukup memadai dan cukup kuat untuk mendukung peningkatan kualitas, keadilan, dan pemerataan PAUD. Memadai karena sudah mencakup seluruh proses pengembangan PAUD. Cukup kuat karena memayungi semua layanan PAUD dan berlaku untuk seluruh lembaga yang berada di Indonesia. Namun demikian, agar pelaksanaan pembangunan PAUD dapat terkoordinasikan dengan baik perlu ditunjuk sebuah departemen sebagai koordinator pembangunan PAUD. Perumusan sasaran perlu dilengkapi dengan kalimat kuantitatif sehingga dampaknya akan dapat secara mudah untuk diukur perubahannya. Mudah-mudahan implementasi rencana kerja pemerintah ini tidak jauh melenceng dari muatan program yang tercantum dalam dokumen tersebut. Daftar Pustaka Bappenas RI. 2008. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2008 Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009. http://www.bappenas.go.id/ index.php/module/Perpres38RKP 2009/. Diunduh 14 Desember 2008.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

69 DellaMattera, JNM. 2006. A Historical Comparative Analysis Of Preschool Policy Frameworks. Dissertation. The University of Maine. Depdiknas. 2008. Pedoman Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak. http://www.dikdasdki.go.id/download /kebijakanstandarpelayananminimal2. pdf/. Diunduh 14 Desember 2008. Heydon, RM., and Wang, P. 2006. Curricular Ethics in Early Childhood Education Programming: A Challenge to the Ontario Kindergarten Program. McGill Journal of Education. Vol. 41 No 1 Winter 2006. Hykurniawan. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Artikel dalam http:// hykurniawan.wordpress.com/20 08/09/17/analisis-kebijakanpublik/. Diunduh 14 Desember 2008. Logue, Mary E. 2007. Early Childhood Learning Standards: Tools for Promoting Social and Academic Success in Kindergarten. Children & Schools; Jan 2007; 29, 1; ProQuest Education Journals. pg. 35. Moss, P., and Dahlberg, G. 2008. Beyond Quality in Early Childhood Education and Care Languages of Evaluation. New Zealand Journal of Teachers Work, Volume 5, Issue 1, 03-12, 2008. Nivala, V., dan Hujala, E. (eds.), 2002. Leadership in Early Childhood Education. Cross-cultural perspectives. Oulu: Oulu University Press. (URL:http://herkulesoulu.fi/issn0355323X).Diunduh 14 Desember 08. Nugroho, A., dkk. 2007. Kurikulum dan Bahan Belajar TK. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Nugroho, R. 2008. Kebijakan pendidikan yang unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Samuelsson, Ingrid Pramling; Sheridan, Sonja; and Williams, Pia. 2006. Five Preschool Curricula-Comparative Perspective. International Journal of Early Childhood; 2006; 38, 1; ProQuest Education Journals. pg. 11. Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif, Unesco. 2005. Laporan Review Kebijakan: Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia. http://portal.unesco. org/education/en/ev.phpURI_ID=2905&URL DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=465.htm l. Diunduh 20 Agustus 2008. Thut, IN., dan Adams, Don. 2005. Polapola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. (Terjemahan SPA Teamwork). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Analisis terhadap Program Pendidikan Anak Usia Dini pada Rencana Kerja Pemerintah

70 Tilaar, HAR., dan Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijkan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Public. Ed. ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim Cendikia. 2008. PAUD, Pendekatan BCCT, & Multiple Intelligence. Yogyakarta: Pustaka Pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

PEMBELAJARAN PRAKTIKUM PADA PROGRAM KEAHLIAN BUSANA DI SMK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Yosephine Flori Setiarini Staf Pengajar AKS Tarakanita Yogyakarta Abstract This study aimed to investigate (1) the effectiveness of practicum learning at the Fashion Expertise Program in State Vocational High Schools in Yogyakarta Special Territory, and (2) the effect of teachers mastery on practicum learning materials, practicum learning methods, teachers understanding of students characteristics, and teachers competence in evaluation on the effectiveness of practicum learning. This study was a correlational ex post facto study. The sample consisted of 202 Year II students of the Fashion Expertise Program in State Vocational High Schools in Yogyakarta Special Territory, selected from a population of 425 students by the proportional random sampling technique. The data were analyzed by using the descriptive technique, partial correlation, and multiple regression at a significance level of 5%. The results of the descriptive analysis showed that the effectiveness of the practicum learning was in the good category (mean = 7.97 and maximum score = 9.22). The partial correlation analysis showed that there was a positive and significant influence of teachers mastery on practicum learning materials, practicum learning methods, teachers understanding of students characteristics, and teachers competence in evaluation on the effectiveness of practicum learning, with coefficients of, respectively, r1y (2, 3, 4) = 0.326, r2y (1, 3, 4) = 0.187, r3y (1, 2, 4) = 0.182, and r4y (1, 2, 3) = 0.163. The multiple regression analysis showed that the coefficient of the multiple correlation R was 0.553. The coefficient of determination (R2) was 30.60%, consisting of teachers mastery on practicum learning materials (7.20%), practicum learning methods (15.60%), teachers understanding of students characteristics (5.90%), and teachers competence in evaluation (1.90%). Keywords: effectiveness, practicum learning

A. Pendahuluan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), khususnya Program Keahlian Tata Busana merupakan bagian dari pendidikan menengah kejuruan yang bertujuan menyiapkan lulusan untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena itu, pendidikan SMK harus dikembangkan sehingga lulusannya memiliki kemampuan dan keterampilan yang siap digunakan. 71

Tujuan Program Keahlian Tata Busana sesuai dengan Kurikulum SMK Bidang Keahlian Tata Busana Depdiknas (2004:1) adalah membekali peserta didik dengan keterampilan, pengetahuan, dan sikap agar kompeten dalam hal: (a) mengukur, membuat pola, menjahit dan menyelesaikan busana; (b) memilih bahan tekstil dan bahan pembantu secara tepat; (c) menggambar macam-

72 macam busana sesuai kesempatan; (d) menghias busana sesuai desain; dan (e) mengelola usaha di bidang busana. Jumlah sekolah dan jumlah murid baru pada sekolah menengah kejuruan (SMK) di DIY cukup banyak dan mengalami peningkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Data Perkembangan SMK Negeri di Provinsi DIY Tahun 2004/2005 s.d 2006/2007
No. 1. 2. 3. Tahun 2004/2005 2005/2006 2006/2007 Jumlah Sekolah 27 40 41 Jumlah Murid 24.178 24.972 26.450 Jumlah Rombel 688 746 818 Ruang Belajar 650 633 638 Murid Baru 650 8.826 9.231 Jumlah Lulusan 7.319 7.328 6.806

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi DIY. Tahun 2006/2007 Dari pada Tabel 1 diketahui bahwa jumlah guru yang mengajar pada Tahun 2006 dari 41 SMK Negeri di DIY sebanyak 2.788 orang. Berdasarkan data pada Balitbang Diknas 2004, rasio jumlah guru dengan siswa pada SMK 1:12. Dilihat dari rasio tersebut, dapat dikatakan mendekati seimbang atau cukup memadai. Kaitan dengan kelayakan mengajar guru, data Balitbang Direktorat PSMK Tahun 2006 menyebutkan bahwa pada tahun 2004 masih terdapat 63.961 orang guru SMK yang tidak layak mengajar. Sege (2005:21) mengemukakan bahwa pembinaan guru pada sekolah kejuruan masih diperlukan agar dalam proses belajar mengajar dapat mendukung proses pencapaian kompetensi dunia kerja. Pendidikan kejuruan akan efektif jika guru dan instrukturnya telah memiliki pengalaman dan berhasil di dalam menerapkan keterampilan, pengetahuan mengenai operasi dan proses kerja. Kualitas input dalam program pendidikan mempengaruhi kualitas proses. Kualitas proses pendidikan dapat dicermati dari jumlah siswa yang mengulang dan jumlah perolehan nilai pada ujian akhir nasional (Depdiknas, 2006: 14). Tabel 2 berikut menunjukkan data tentang siswa mengulang dan putus sekolah di SMK DIY.

Tabel 2. Data Siswa Mengulang dan Putus Sekolah SMK di Propinsi DIY Tahun 2006
No. 1. 2. 3. 4. 5. Kabupaten/Kota Bantul Gunung Kidul Kulon Progo Sleman Yogyakarta Jumlah Total Mengulang 60 22 85 157 264 588 Putus Sekolah 144 467 131 144 274 1.160

Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi DIY Tahun 2006/2007

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

73 Tabel 2 menunjukkan banyaknya siswa kelas 3 tahun 2006 yang kelulusannya mengulang, bahkan banyak pula siswa yang putus sekolah. Kalaupun ada siswa yang tidak naik kelas, persentasenya cukup rendah dan sekolah cenderung untuk meminimalisasi jumlahnya. Hal ini menimbulkan persoalan pada penilaian dalam mengendalikan mutu pendidikan. SMK yang lebih menekankan bidang keterampilan, keberhasilan belajar siswanya ditunjukkan pada nilai komponen produktif. Data Nilai Komponen produktif siswa SMK di Propinsi DIY dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Data Perbandingan Nilai UAN Murni Siswa SMK Propinsi DIY Tahun Pelajaran 2004/2005 dan 2005/2006
Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Bahasa Inggris Matematika Produktif Tahun 2004/2005 Tahun 2005/2006 Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai Tertinggi Rata-rata Terendah Tertinggi Rata-rata Terendah 9,50 9,67 10,00 6,82 5,33 6,93 7,89 1,83 2,00 2,00 9,80 10,00 10,00 7,18 5,93 6,80 7,67 2,20 2,00 1,33 -

No 1. 2. 3. 4.

Sumber: Dinas Pendidikan Propinsi DIY Tahun 2006/2007 Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai komponen produktif siswa SMK dari tahun 2004/2005 ke tahun 2005/ 2006 mengalami penurunan. Kondisi yang menguatkan indikasi rendahnya mutu belajar mengajar di SMK diidentifikasi oleh Depdiknas (2006:16). Penilaian diperlukan karena ada asumsi bahwa guru mengajar bukan untuk kepentingan siswa, tetapi untuk kepentingan guru itu sendiri. Guru berupaya mengejar ketercapaian kurikulum, bukan penguasaan kompetensi siswa. B. Landasan Teori Pendidikan kejuruan akan efisien dan efektif apabila metode pembelajaran yang digunakan guru disesuaikan dengan karakteristik siswa sehingga pembelajarannya efektif. Liston, Borko, & Whitcomb (2008:2) mengemukakan, the term effective teacher generally refers to teachers ability to foster student achievement. Yang berarti bahwa keefektifan guru umumnya mengacu pada kesediaan dalam mendampingi siswanya. Bekerja pada dasarnya tidak sekedar bagaimana mencari atau memperoleh pekerjaan lalu bekerja dengan apa adanya melainkan bagaimana bekerja secara profesional sehingga dapat mengembangkan karir mereka ke depan. Mereka yang hanya memiliki suatu pekerjaan saja dianggap belum menjadi orang. Sebagaimana dikemukakan Greinert (2007:49), Most Germans are not looking for just a job, they want a Beruf (occupation, career) a lifelong one.If you have a Beruf in Germany, you are someone. If you just have a job, you arent. Dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM), guru dituntut menguasai tentang what to teach dan how to teach. What to teach berkaitan dengan kemampuan guru dalam menguasai materi yang akan diajarkan, sedangkan how to teach berkaitan dengan strategi bagai-

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

74 mana mengajarkan materi secara efektif dan efisien agar dicapai hasil belajar yang optimal. Proses interaksi dalam PBM berarti bahwa mengajar tidak saja menyampaikan informasi dari guru ke peserta didik, tetapi juga mencakup banyak kegiatan dan tindakan yang harus diupayakan melalui tahapan-tahapan belajar. Peran strategis yang diemban oleh guru belum diaktualisasikan dengan baik. Masih banyak kritik dari berbagai kalangan, baik masyarakat, akademisi, maupun praktisi pendidikan yang ditujukan kepada guru. Anik Gufron (Hartoyo, 1999) mengungkapkan bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk menerapkan produk inovasi pendidikan, rendahnya kemampuan guru dalam menguasai bidang studi, kurang menguasai teknik dan metodologi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran. Fenomena lain yang bisa diamati pada lulusan keahlian busana, adalah banyak yang memiliki pekerjaan tidak tetap atau seringkali berganti pekerjaan. Hal ini banyak disebabkan antara lain karena tidak cocok dengan pengelolaan lembaga usaha, dengan teman kerja, tidak dapat bekerja dalam tim, dan tidak kuat mental. Padahal, menurut Prosser dan Allen (Wardiman, 1998:38), untuk setiap jenis pekerjaan, individu harus memiliki kemampuan minimum agar mereka dapat mempertahankan diri untuk bekerja dalam posisi tersebut. Lembaga pendidikan kejuruan perlu terus berupaya meningkatkan efektivitas pembelajarannya agar tujuan penyelenggaraan pendidikan dapat dicapai. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Clarke (2007:62), Vocational education is about the social development of labor, about nurturing, advancing, and reproducing particular qualities of labor to improve the productive capacity of society. Pendidikan kejuruan menyangkut peningkatan kualitas tenaga kerja masyarakat, berupa peningkatan, percepatan, dan kualitas tenaga kerja dalam bidang tertentu untuk meningkatkan daya produksi masyarakat. Hasil observasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi efektivitas pembelajaran praktikum pada Program Keahlian Busana SMKN di DIY, yakni penguasaan materi pembelajaran praktik, penggunaan metode pembelajaran praktik, pemahaman karakteristik siswa, dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik. Adapun permasalahan yang dihadapi sebagai berikut. (1) Seberapa besar pengaruh penguasaan materi pembelajaran praktik oleh guru terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY? (2) Seberapa besar pengaruh penggunaan metode pembelajaran praktik oleh guru terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY? (3) Seberapa besar pengaruh kemampuan guru memahami karakteristik siswa terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY? (4) Seberapa besar pengaruh kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik siswa terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY? (5) Seberapa besar pengaruh penguasaan materi praktik, penggunaan metode pembelajaran praktik, pemahaman karakteristik siswa, serta kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik siswa secara bersama-sama terhadap efek-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

75 tivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY? Menurut Soemanto (2003:113), kegiatan praktik termasuk dalam aktivitas belajar, sehingga seseorang yang melaksanakan suatu aktivitas, latihan, atau kegiatan praktik biasanya ingin mencapai tujuan tertentu guna mengembangkan aspek atau potensi yang ada pada dirinya. Sege (2005:21) menyatakan bahwa kegiatan praktik adalah pelaksanaan kerja sesuai dengan job sheet yang disediakan oleh instruktur pada mata pelajaran yang diajarkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap kemampuan kognitif dan psikomotorik. Proses belajar mengajar praktik kejuruan, baik praktik laboratorium maupun bengkel merupakan ciri khas dari proses belajar mengajar di Sekolah Kejuruan, di samping proses belajar mengajar teori. Kegiatan belajar mengajar praktik tersebut membutuhkan kemampuan pada ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Orlich et al. (2007:6768) menyatakan, The cognitive domain encompasses objectives that deal with the recall or recognition of knowledge and the development of intellectual abilities and skills. Domain kognitif mencakup sasaran/hasil yang berhubungan dengan daya ingat atau pengenalan pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan. Asri (2006:86) mengemukakan bahwa pembelajaran praktik busana merupakan salah satu pemberian keterampilan pada anak didik yang bertujuan agar mereka mempunyai bekal keterampilan di bidang busana, memiliki kualitas yang diharapkan oleh di dunia kerja yaitu siap latih, ulet, cekatan dan mandiri dan siap kerja di bidang yang digelutinya. Kurikulum KTSP (2006) menyebutkan beberapa mata pelajaran praktik yang diselenggarakan pada SMK Program Keahlian Busana adalah (1) memberikan pelayanan secara prima kepada pelanggan; (2) mengenal, menggunakan dan memelihara piranti jahit; (3) menggambar busana; (4) mengenal dan memilih bahan busana sesuai desain; (5) membuat pola busana dengan teknik konstruksi; (6) membuat pola busana dengan teknik draping; (7) membuat pola busana dengan teknik kombinasi; (8) menerapkan teknik dasar menjahit busana; (9) menjahit busana, membuat hiasan busana; (10) membuat lenan rumah tangga; dan (11) menata busana. Analisis Larson di bidang keterampilan, teknologi dan okupasi menjelaskan bahwa guru harus mampu mengelola tahapan PBM pada bidang studi praktik. Guru harus dapat menilai keterampilan, pengetahuan, dan sikap siswa sesuai dengan tujuan belajar. Ada 4 (empat) tahapan esensial pengajaran di bengkel kerja agar pembelajaran praktik dapat dikelola dengan baik yaitu: (1) tahap persiapan; (2) tahap presentasi; (3) tahap aplikasi; dan (4) tahap evaluasi (Soenarto, 1993:34). Pengelolaan pembelajaran praktik yang baik merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap guru sekolah kejuruan keterampilan, teknologi atau okupasi agar tujuan pengajaran dapat dicapai secara optimal. Suharsimi (1988:248) mengemukakan bahwa faktor yang menentukan penguasaan materi pendidikan kejuruan adalah pengalaman yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Untuk mendapatkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan pada bidang kejuruan tertentu, seseorang harus mengalami, melakukan dan menggeluti bi-

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

76 dang tersebut. Dengan kata lain, kemampuan guru dalam pembelajaran praktik ditentukan oleh kemampuan guru dalam memahami materi yang diajarkan. Kemampuan seorang pekerja sangat besar pengaruhnya terhadap penguasaan tugas yang dihadapinya. Kemampuan tersebut didapatkan dari hasil belajar dan pengalaman yang diperoleh, sehingga seseorang yang lebih banyak pengalamannya akan lebih mampu menguasai pekerjaan. Hal ini sesuai dengan prinsip learning by doing, yaitu dengan mengerjakan seseorang dapat belajar untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan akan menimbulkan pengertian yang lebih mendalam terhadap apa yang dikerjakan. Lebih lanjut ditambahkan (Suharsimi, 1988:248) bahwa latihan pendidikan kejuruan akan efektif apabila pemberian latihan bidang tertentu dapat menimbulkan kebiasaankebiasaan yang baik. Melalui latihan berulang akan terbentuk kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga penguasaan materi pembelajaran praktik lebih baik. Penguasaan materi pembelajaran praktik diwujudkan bila guru mempunyai pengalaman praktik yang relevan dengan bidang yang digelutinya. Kemampuan penguasaan materi praktik guru menurut (Hartoyo, 1999: 29), dapat dipengaruhi oleh pengalaman dalam bekerja di industri. Keberhasilan guru kejuruan dan teknologi dalam pembelajaran praktikum ditentukan oleh pengalaman industrinya karena pendidikan kejuruan akan mempersiapkan lulusannya agar siap bekerja di dunia kerja dan industri. Ada beberapa metode pembelajaran praktik yang dapat digunakan, antara lain metode demonstrasi, eksperimen, penampilan, metode pembelajaran terprogram dan metode praktikum. Menurut Yamin (2005:69), penggunaan metode demonstrasi dan eksperimen dapat diterapkan dengan syarat guru memiliki keahlian untuk mendemonstrasikan penggunaan alat atau melaksanakan kegiatan tertentu seperti kegiatan yang sesungguhnya. Pelaksanaan praktik sering dilakukan dalam bentuk kelompok kerja praktik yang terdiri dari beberapa orang siswa. Menurut Katzenbach & Smith (Raelin, 2008:92) A team as a small number of people with complementary skills who are committed to a common purpose, a set of performance goals, and an approach for which they hold themselves mutually accountable. Tim kerja merupakan sejumlah orang dengan keterampilan yang saling melengkapi satu sama lain serta merasa terikat dengan suatu tujuan yang sama, suatu sasaran dari kinerja, dan suatu pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipegang oleh mereka satu sama lain. Efektivitas kegiatan pembelajaran perlu diupayakan. Sujana (1991:46) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif meliputi (1) pembelajaran konsisten dengan kurikulum; (2) program yang telah direncanakan dilaksanakan oleh guru tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti; (3) siswa melakukan kegiatan belajar sesuai dengan program yang telah ditentukan tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti; (4) guru memotivasi belajar siswa; (5) siswa aktif mengikuti kegiatan pembelajaran; (6) interaksi timbal-balik antara guru dan siswa; (7) guru terampil dalam mengajar; dan (8) kualitas hasil belajar yang dicapai oleh para siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran praktik adalah

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

77 ukuran tercapainya sasaran kuantitas, kualitas dan waktu yang telah dicapai. Ukuran ketercapaian sasaran dalam pembelajaran praktik antara lain dapat diketahui melalui prestasi belajar hasil pembelajaran praktik, kualitas lulusan, dan kemampuan lulusan untuk dapat bekerja sesuai bidang keahliannya. Penelitian ini menggunakan nilai hasil belajar praktik atau prestasi belajar praktik untuk mengukur efektivitas pembelajaran karena relatif lebih mudah diketahui setelah proses pembelajaran. Hipotesis penelitian adalah: (1) terdapat pengaruh positif dan signifikan penguasaan materi pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY; (2) terdapat pengaruh positif dan signifykan penggunaan metode pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY; (3) terdapat pengaruh positif dan signifikan pemahaman karakteristik siswa terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada Program Keahlian Tata Busana SMK Negeri di DIY; (3) terdapat pengaruh positif dan signifikan kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY; (4) terdapat pengaruh positif dan signifikan secara bersama-sama kemampuan guru dalam penguasaan materi praktik, penggunaan metode pembelajaran praktik, pemahaman karakteristik siswa, dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik terhadap efektifvitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Tata Busana di DIY. C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan deskritptif yang bersifat ex-post facto Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan September 2008. Populasi sebesar 425 orang siswa kelas II SMK Negeri Program Keahlian Busana di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah sampel sebanyak 202 orang siswa yang dipilih secara random. Data dikumpulkan dengan angket dan dokumentasi nilai hasil belajar mata pelajaran praktik diperoleh dari nilai ujian akhir semester genap tahun 2007/2008.. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab permasalahan tentang gambaran efektivitas pembelajaran praktik siswa SMK Negeri Program Keahlian Busana di DIY. Data penelitian berdistribusi normal sehingga analisis yang digunakan selanjutnya adalah analisis statistik parametrik. Untuk mendeskripsikan variabel penelitian digunakan statistik deskriptif dengan menghitung rerata (M), Standar Deviasi (SD), Median (Me). Kategori tingkat kecenderungan dari harga rerata ideal (Mi) dan skor simpangan baku ideal (SBi) terbagi ke dalam empat kategori. Gambaran penyebaran data diperoleh dari tabel distribusi frekuensi data yang dikelompokan. Tabel distribusi data dibuat dengan menentukan banyaknya kelas interval yang berpedoman pada aturan Sturges (Sudjana, 2005:47). Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dideskripsikan secara kuantitatif dan diklasifikasikan menjadi beberapa kategori menggunakan skor rerata ideal (Mi) dan skor simpangan baku ideal (SBi) sebagai kriterianya. Tingkat kecenderungan dibagi dalam empat kategori yaitu: di atas (Mi + 1,5 SBi) : sangat baik Mi sampai (Mi + 1,5 SBi) : baik

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

78 (Mi - 1,5 SBi) sampai Mi : kurang baik (Mi - 1,5 SBi) ke bawah : tidak baik Penentuan jarak 1,5 SB untuk kategori ini dimaksudkan agar jarak kategori tidak terlalu kecil yang menjadikan kategori lebih banyak dan tidak terlalu lebar yang menjadikan kategori terlalu sedikit. Hal ini didasarkan pada distribusi normal yang terbagi tujuh bagian atau tujuh deviasi standar (Saifuddin, 2006:106). Interval kategori variabel didasarkan pada skor tertinggi dan skor terendah dari masing-masing variabel penelitian. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel X1, X2, X3, X4, dan Y masing-masing mempunyai nilai p sebesar 0,480; 0,426; 0,301; 0,070; dan 0,264. Berpedoman pada kriteria p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data variabel penguasaan materi pembelajaran praktik (X1), penggunaan metode pembelajaran praktik (X2), kemampuan guru memahami karakteristik siswa (X3), kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik (X4) dan nilai hasil belajar praktik (Y) berdistribusi normal. Rasio skewness dan kurtosis kelima variabel penelitian juga memiliki nilai antara -2 sampai 2. Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa hubungan antara variabel bebas X1, X2, X3, dan X4 terhadap Y sebagai variabel terikat adalah linier dengan deviation from linearity >0,05. Selanjutnya, dilakukan perhitungan interkorelasi antara variabel bebas untuk mengetahui ada tidaknya variabel yang tergantung pada variabel lain. Hadi (1994: 78) memberikan batasan jika harga interkorelasi antarvariabel bebas < 0,8 maka tidak terjadi multikolineritas. Dari hasil perhitungan, diperoleh: X1 dan X2 sebesar 0,295; X1 dan X3 sebesar 0,084; X1 dan X4 sebesar 0,014; X2 dan X3 sebesar 0,396; X2 dan X4 sebesar 0,306; X3 dan X4 sebesar 0,517. Hal ini menunjukkan bahwa antara X1, X2, X3 dan X4 memiliki koefisien korelasi lebih kecil dari 0,8 atau 0,9 dan disimpulkan tidak terjadi multikolineritas. Temuan penelitian menunjukkan efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Busana di DIY dikategorikan sangat baik. Data dokumentasi diperoleh bahwa Program Keahlian Busana di DIY menunjukkan 83,17% (168 responden) memiliki prestasi/nilai hasil belajar praktik dalam kategori sangat baik, dan 16,83% (34 responden) memiliki prestasi/nilai hasil belajar praktik dalam kategori baik. Tidak ada yang memiliki prestasi kurang. Dengan demikian, dapat diartikan sebagian besar siswa Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY belajar secara optimal. Penguasaan materi pembelajaran praktik dalam kategori baik dengan rincian 40,59% responden berpendapat guru praktik memiliki penguasaan materi pembelajaran sangat baik, 51,98% baik, dan 7,43% dalam kategori kurang. Tidak ada yang termasuk dalam kategori tidak baik. Hal ini berarti sebagian besar guru Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY mengetahui dan memahami lingkup materi pembelajaran praktik sesuai silabus, dapat menjelaskan keterkaitan materi praktik yang satu dengan lainnya, dapat memberi penjelasan, dapat memberi contoh riil, dan dapat melaksanakan pembelajaran praktik dengan baik. Selain itu guru juga membekali diri dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipersyaratkan oleh bidang ke-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

79 ahliannya, serta mengembangkannya dalam melaksanakan tugas mengajar. Penggunaan metode pembelajaran praktik termasuk dalam kategori baik dengan rincian 35,15% responden berpendapat guru dalam pembelajaran praktik menggunakan metode pembelajaran dalam kategori sangat baik, 58,91% dalam kategori baik, dan 5,94% dalam kategori kurang. Tidak ada yang termasuk dalam kategori tidak baik. Hal ini berarti sebagian besar guru Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY memiliki metode, menyiapkan media, mampu mengkomunikasikan materi pelajaran, mendemonstrasikan pelaksanaan kegiatan praktik, pemberian kesempatan, pemberian penguatan, melatih kemandirian siswa, dan membantu memecahkan masalah belajar siswa. Kemampuan guru praktik Program Keahlian Busana dalam memahami karakteristik siswa dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan oleh 28,71% responden yang berpendapat bahwa pemahaman guru terhadap karakteristik siswa dalam kategori sangat baik, 57,92% baik, dan hanya 13,37% dalam kategori kurang. Tidak ada yang termasuk dalam kategori tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY mampu mengenal karakteristik siswa, memahami perbedaan individu, mengembangkan rasa empati, menciptakan hubungan akrab dalam pembelajaran, mengarahkan perkembangan belajar sesuai potensi yang dimiliki siswa, berusaha mencari cara penyelesaian permasalahan belajar siswa, dan mengembangkan sikap positif pada diri siswanya. Penelitian ini juga mengungkap kemampuan guru praktik Program Keahlian Busana pada SMK Negeri di DIY dalam mengevaluasi hasil pembelajaran praktik dalam kategori baik. Hal ini ditunjukkan dengan 32,18% responden dalam kategori sangat baik, 55,45% baik, dan 11,88% dalam kategori kurang, dan terdapat 0,49% tidak baik. Hal ini berarti sebagian besar guru Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY dalam pembelajaran praktik mampu memilih dan menyiapkan materi evaluasi, melakukan penilaian selama pembelajaran praktik berlangsung, melakukan penilaian terhadap beberapa aspek yang menggambarkan kualitas siswa, melakukan evaluasi pembelajaran secara komprehensif, memeriksa dan menyampaikan hasil evaluasi, menentukan nilai secara objektif dan adil serta melakukan tindak lanjut dari hasil penilaian. Hasil analisis korelasi parsial dengan mengendalikan pengaruh variabel X2 X3 dan X4 diperoleh koefisien korelasi parsial X1 (r1y-2,3,4) sebesar 0,326 (p<0,05) dan sumbangan efektif sebesar 7,20% terhadap Y. Jika pengaruh variabel X1 X3 dan X4 dikendalikan diperoleh koefisien korelasi parsial X2 (r2y-1,3,4) sebesar 0,187 (p<0,05) dan sumbangan efektif sebesar 15,60% terhadap Y. Jika pengaruh variabel X1 X2 dan X4 dikendalikan diperoleh koefisien korelasi parsial X3 (r2y-1,3,4) sebesar 0,181 (p<0,05) dan sumbangan efektif sebesar 5,90% terhadap Y. Sedangkan jika pengaruh variabel X1 X2 dan X3 dikendalikan diperoleh koefisien korelasi parsial X4 (r4y1,2,3) sebesar 0,163 (p<0,05) dan sumbangan efektif sebesar 1,90% terhadap Y. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif secara sendiri-sendiri variabel penguasaan materi pembelajaran praktik (X1), penggunaan metode pembelajaran praktik (X2), pemahaman

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

80 karakteristik siswa (X3), dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik (X4) terhadap efektivitas pembelajaran praktikum Program Keahlian Busana Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di DIY (Y). Hasil perhitungan dengan bantuan komputer seri program SPSS versi 16.0 diperoleh koefisien korelasi (R) sebesar 0,553; dan koefisien determinasi (R)2 sebesar 0,306. Hal ini bermakna bahwa penguasaan materi pembelajaran praktik, penggunaan metode pembelajaran praktik, kemampuan guru memahami karakteristik siswa dan kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik secara bersama-sama memberikan sumbangan efektif sebesar 30,60% atau dapat menjelaskan sekitar 30,60% variansi efektivitas pembelajaran praktik. Sumbangan efektif tersebut adalah penguasaan materi pembelajaran praktik sebesar 7,20%; penggunaan metode pembelajaran praktik sebesar 15,60%; kemampuan guru memahami karakteristik siswa sebesar 5,90%; dan kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik sebesar 1,90%. Sisanya, yaitu sebesar 69,40% merupakan sumbangan dari variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Merujuk pada hasil tersebut di atas, variabel bebas penguasaan materi pembelajaran praktik (X1), penggunaan metode pembelajaran praktik (X2), pemahaman karakteristik siswa (X3), dan kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik (X4) dapat masuk ke dalam persamaan regresi ganda atas variabel terikat efektivitas pembelajaran praktikum (Y). Selanjutnya diperoleh koefisien regresi b1 = 0,017; p = 0,000 (p<0,05); b2 = 0,008; p = 0,008 (p<0,05); b3 = 0,008; p = 0,010 (p<0,05); b4 = 0,008; p = 0,021 (p<0,05); bo = 4,926. Dari hasil tersebut maka variabel penguasaan materi pembelajaran praktik (b1), penggunaan metode pembelajaran praktik (b2), pemahaman karakteristik siswa (b3) dan kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik (b4) bila dimasukkan ke dalam model persamaan garis regresi, diperoleh = 4,926 + 0,017X1 + 0,008X2 + 0,008X3 + 0,008X4. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien regresi ganda (R) penguasaan materi praktik, penggunaan metode, pemahaman karakteristik siswa dan kemampuan mengevaluasi dalam pembelajaran praktik adalah sebesar 0,553 dan koefisien determinasi (R)2 = 0,306. Hal ini berarti bahwa keempat variabel bebas tersebut dapat memberikan pengaruh sebesar 30,60% atau dapat menjelaskan variansi efektivitas pembelajaran praktikum sebesar 30,60%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Besarnya pengaruh penguasaan materi praktik adalah sebesar 7,20%, penggunaan metode pembelajaran praktik sebesar 15,60%, pemahaman karakteristik siswa sebesar 5,90%, dan kemampuan mengevaluasi dalam pembelajaran praktik sebesar 1,90%. Dibandingkan dengan variabel bebas lainnya, penggunaan metode pembelajaran praktik memiliki pengaruh positif terbesar terhadap efektivitas pembelajaran praktikum. Hal ini diperkirakan karena metode pembelajaran, secara langsung berhubungan dengan kegiatan praktik siswa. Selain itu, penilaian standar kompetensi kemampuan siswa dalam pembelajaran praktik khususnya mata pelajaran produktif minimal 7,00. Kemampuan guru mengevaluasi pembelajaran praktik menunjukkan pengaruh yang lebih sedikit dibandingkan variabel lain. Dimungkinkan hal ini karena tingkat kemampuan siswa dalam memahami kemampuan

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

81 mengevaluasi pembelajaran gurunya juga terbatas. praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY diterima dengan sumbangan efektif 5,90%. d. Terdapat pengaruh positif kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum berdasarkan koefisien korelasi parsial r4y-1,2,3 = 0,16 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh positif dan signifykan kemampuan mengevaluasi pembelajaran praktik siswa terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada Program Keahlian Busana SMK Negeri di DIY diterima dengan sumbangan efektif 1,90%. e. Terdapat pengaruh positif secara bersama-sama penguasaan materi praktik, penggunaan metode pembelajaran praktik, pemahaman karakteristik siswa dan kemampuan mengevaluasi praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum dengan koefisien korelasi R = 0,55 (F = 21,71; p < 0,01). f. Hasil analisis regresi ganda memberikan sumbangan efektif sebesar 30,60%. Sumbangan efektif tersebut adalah penguasaan materi praktik 7,20%; penggunaan metode pembelajaran praktik 15,60%; pemahaman karakteristik siswa s 5,90%; dan kemampuan mengevaluasi praktik 1,90%. 2. Saran dan Rekomendasi Berdasarkan simpulan yang diuraikan di depan, diajukan saran dan rekomendasi sebagai berikut. a. Penguasaan materi sebelum praktikum memberikan sumbangan cukup besar terhadap efektivitas pembelajaran praktikum. Berdasarkan

E. Simpulan dan Saran 1. Simpulan a. Terdapat pengaruh positif dan signifikan penguasaan materi pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum berdasarkan koefisien korelasi parsial r1y-2,3,4 = 0,32 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan penguasaan materi pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Busana di DIY diterima dengan sumbangan efektif 7,20% b. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan penggunaan metode pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum berdasarkan koefisien korelasi parsial r2y-1,3,4 = 0,18 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh positif dan signifikan penggunaan metode pembelajaran praktik terhadap efektivitas pembelajaran praktikum pada SMK Negeri Program Keahlian Busana di DIY diterima dengan sumbangan efektif 15,60%. c. Terdapat pengaruh positif dan signifikan pemahaman karakteristik siswa terhadap efektivitas pembelajaran praktikum dengan koefisien korelasi parsial r3y-1,2,4 = 0,18 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pemahaman karakteristik siswa

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

82 hal ini, guru harus mengusahakan siswa menguasai materi sebelum praktikum, misalnya dengan mengadakan quiz. Dengan quiz sebelum praktikum siswa akan berusaha menguasai materi. Selain itu, guru juga perlu mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif, memahami karakteristik siswa, dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran agar efektivitas pembelajaran praktikum dapat ditingkatkan. b. Secara umum penguasaan materi teori praktikum, pemahaman guru terhadap karakteristik peserta didik, kemampuan evaluasi guru menunjukkan tingkat yang baik. Guru diharapkan dapat mempertahankan tingkat ini sehingga efektivitas pembelajaran praktikum dapat dicapai dengan baik. Daftar Pustaka Arikunto, S. 1988. Organisasi dan Administrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. ______. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi revisi IV. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Azwar, S. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Clarke, Linda. 2007. Vocational Education: International Approaches, Developments and Systems; The Emergence and Reinforcement of Class and Gender Divisions Through Vocational Education in England. New York: Routledge Depdiknas. 2004. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. ______. 2006. Data dan Informasi Pendidikan Tahun 2006/2007. Yogyakarta: Dinas Pendidikan Propinsi DIY. ______. 2006. Penyelenggaraan Sekolah Menengah Kejuruan Berstandar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK. Djojonegoro, W. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset. Greinert, Wolf-Dietrich. 2007. Vocational Education: International Approaches, Developments and Systems; The German Philosophy of Vocational Education. New York: Routledge. Hartoyo. 1999. Kemampuan Mengajar Praktik Guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Jurusan Listrik di Kota Madya Yogyakarta. Tesis Magister, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Liston, B. & Whitcomb. 2008. Journal of teacher education (http://www.accessmylibrary.com/coms.2/su mmary.0286-34137934 ITM. Diambil pada tanggal 18 September 2008. Orlich, D C., at al. 2007. Teaching Strategies: A Guide to Effective Instruction. New York: Houghton Mifflin Company.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

83 Raelin, J. A.. 2008. Work-Based Learning: Bridging Knowledge and Action in the Workplace. San Fransisco: Jossey-Bass Published. Sege, M.D. 2005. Pengaruh Motivasi, Pembelajaran, dan Fasilitas terhadap Kemampuan Kerja Las Siswa SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Tesis Magister, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Soemanto, W. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Soenarto, S. 1993. Strategi Pengelolaan PBM Praktek pada Sekolah Kejuruan. Jurnal PTK, No.2 Tahun 1. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Sudjana, N. 2005. Metoda Statistik. Bandung: Tarsito. Yuliati, N.A.. 2006. Penataan dan Pengelolaan Laboratorium pada Pembelajaran Praktek Busana di Sekolah Menengah Kejuruan. Prosiding Seminar Nasional Program Studi Teknik Busana, Yogyakarta: Program Studi Teknik Busana, Fakultas Teknik. Universitas Negeri Yogyakarta. Volume 2 No. 1.

Pembelajaran Praktikum pada Program Keahlian Busana di SMK

PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS PARAGRAF DENGAN METODE BIMBINGAN BERANTAI BERHADIAH Nuning Suistiningsih Guru SMA Negeri 1 Depok, Sleman Abstract This study aimed to (1) develop the chained-reward tutorial technique in the Indonesian language learning, (2) improve competence in writing deductive and inductive paragraphs among Year XI students of IPA1 SMAN 1 Depok, and (3) develop remedial and enrichment programs in the teaching and learning process. This study was a classroom research study consisting of two cycles. Each cycle consisted of planning, action, observation, and reflection. The action focused on the empowerment of the students who had attained the mastery level to guide those who had not attained it in a chain, both by teachers and students alternately. The research setting was SMAN 1 Depok. The research subjects were 42 Year XI students in the third semester in the academic year 2008-2009, consisting 16 male students and 26 female students. The criterion for the subject selection was that the students had good academic achievement but poor ability in writing deductive and inductive paragraphs. The data were collected through observations, documents, field notes, tests, and student questionnaire. The data were analyzed using a qualitative technique, namely the interactive analysis technique developed by Miles and Huberman. The results of the research showed that the chained-reward tutorial method applied in two cycles managed to improve competence in writing deductive and inductive paragraphs and develop remedial and enrichment activities in learning. Keywords: chained-reward tutorial method, deductive and inductive paragraphs

A. Pendahuluan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003: 6) menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, man-

diri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional tersebut, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi siswa secara optimal agar memiliki kemampuan hidup. Kemampuan siswa sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu, guru perlu memiliki kemampuan memilih metode pembelajaran yang tepat untuk dapat meningkatkan kompetensi siswa. Kompetensi perlu dicapai oleh siswa sampai tuntas. Ketuntasan dicapai melalui bimbingan 84

85

untuk melayani perbedaan individual melalui program remidial dan pengayaan. Program pengayaan pada kenyataan di SMA Negeri 1 Depok sering tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh siswa dan guru, khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas XI. Guru hanya memfokuskan pada siswa yang kompetensinya kurang dengan memberikan remidial di luar jam Kegiatan Belajar Mengajar. Akibatnya, siswa yang sudah bernilai tuntas tidak lagi dipikirkan agar memiliki kompetensi lebih. Siswa pun bila diberi tambahan tugas pengayaan kurang antusias dalam mengerjakannya karena siswa merasa sudah cukup memperoleh nilai tuntas, dan siswa masih mempunyai banyak tugas pada mata pelajaran lain. Di samping itu, Nasution (2008: 37) menyatakan bahwa masih perlu dipikirkan jalan agar setiap murid mendapat bimbingan sehingga ia berhasil menyelesaikan pelajarannya dengan baik. Dikatakan pula bahwa masalah yang sangat penting kita hadapi adalah bagaimana usaha guru agar sebagian besar peserta didik dapat belajar dengan efektif dan dapat menguasai bahan pelajaran serta keterampilan yang dianggap esensial bagi perkembangan selanjutnya. Berdasarkan hasil ulangan harian dan hasil penyusunan karya tulis ilmiah, sejumlah 98% siswa kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Depok kurang menguasai materi pembedaan paragraf deduktif dan paragraf induktif dalam bentuk tulisan. Materi kurang dikuasai siswa, karena guru hanya melaksanakan pembelajaran sesuai silabus yang dimiliki tanpa melakukan pengembangan agar tujuan dapat dikuasai siswa. Guru hanya mengajarkan sampai siswa mengetahui perbedaan paragraf

deduktif dan paragraf induktif. Guru tidak mengembangkan agar siswa mampu membedakan antara kedua hal tersebut dengan cara menulis. Metode yang digunakannya pun kurang mengarah pada kompetensi yang benarbenar melekat pada siswa. Akibatnya, ketika pembelajaran sampai pada materi penulisan proposal, siswa kurang dapat menyusun paragraf deduktif dan paragraf induktif yang tepat. Berdasarkan uraian tersebut perlu diciptakan suatu metode yang dapat meningkatkan kompetensi, khususnya pada penulisan paragraf deduktif dan paragraf induktif, sekaligus memberdayakan siswa yang sudah memiliki kompetensi sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk membimbing siswa yang masih kurang kompetensinya. Pemberdayaan ini dapat menumbuhkan rasa percaya diri, tanggung jawab, dan rasa mantap bahwa siswa benar-benar memiliki kompetensi pada materi yang diajarkan oleh guru. Siswa kemudian mentransfer kemampuan pikirnya untuk membimbing teman. Dengan demikian, pengayaan dan remidial dapat berjalan beriringan sehingga guru tinggal memberikan pengukuhan kepada siswa yang telah mencapai kompetensi sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal. Siswa yang berhasil membimbing siswa lain hingga bernilai tuntas perlu diberi penghargaan yang berupa nilai tambah. Metode ini disebut Metode Bimbingan Berantai Berhadiah. Metode Bimbingan Berantai Berhadiah bertujuan meningkatkan kompetensi menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif pada siswa kelas XI IPA1, SMA N 1 Depok. Tujuan ini dicapai dengan cara memberdayakan siswa yang telah memiliki kompetensi (minimal bernilai 75) untuk membim-

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

86 bing siswa yang belum mencapai nilai tuntas. Pembimbingan dilakukan terusmenerus dalam proses pembelajaran hingga siswa paham dan bernilai tuntas saat proses pembelajaran berlangsung. Tes akhir diberikan apabila semua siswa berhasil mencapai nilai tuntas saat proses pembelajaran. B. Landasan Teori 1. Metode Bimbingan Berantai Berhadiah Metode Bimbingan Berantai Berhadiah berlandaskan pada pendekatan keterampilan proses yang bertitik tolak pada pandangan bahwa tiap siswa memiliki potensi atau kemampuan yang berbeda, teori tentang Metode Latihan Bersama Teman (Yamin, 2007:148) dan pembelajaran kontekstual yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO (Muchith, 2008: 5). Di samping itu, dalam metode Bimbingan Berantai Berhadiah dikembangkan teknik penugasan yang terdiri dari dua fase yang harus dilaksanakan oleh siswa, yaitu fase mengerjakan tugas, disebut fase belajar dan fase mempertanggungjawabkan hasil kerja, disebut fase resitasi (Yamin, 2007). Dalam hal ini siswa melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk yang telah dipersiapkan oleh guru. Dengan demikian, siswa dapat mengalami kegiatan belajar secara nyata. Dalam hal ini Nasution (2008:181) menyatakan bahwa keberhasilan perlu dihargai dengan memberikan penghargaan untuk memupuk motivasi belajar anak. Penghargaan yang disiapkan guru adalah tambahan nilai untuk siswa yang berhasil membimbing teman hingga bernilai tuntas. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan bahwa metode Bimbingan Berantai Berhadiah adalah metode pembelajaran yang berlandaskan pendekatan keterampilan proses, pembelajaran kontekstual, metode latihan bersama teman, teknik penugasan, dan pemberian hadiah untuk meningkatkan kompetensi menulis siswa dengan menitikberatkan pada upaya pemberdayaan siswa dalam proses pembelajaran. 2. Paragraf Paragraf pada penelitian ini adalah paragraf deduktif dan paragraf induktif. Paragraf deduktif menurut Yamin (2004: 61) adalah paragraf yang kalimat utamanya terletak di awal paragraf. Paragraf induktif adalah paragraf yang kalimat utamanya terletak di akhir paragraf. Menurut Finosa (2005: 175) paragraf deduktif berpola umum khusus, sedangkan paragraf induktif berpola khusus - umum. Kedua paragraf tersebut harus memenuhi tiga syarat paragraf yang baik dan efektif, yaitu (a) adanya kesatuan atau kohesif; (b) adanya kepaduan atau koherensi; dan (c) perkembangan paragraf (Keraf, 1980: 67). Sebuah paragraf dikatakan memiliki kesatuan atau kohesif (hubungan kebahasaan) jika kalimat-kalimat yang terdapat dalam paragraf saling tarik-menarik, tidak saling bertentangan, namun tampak menyatu dan bersama-sama mendukung pokok pikiran paragraf (Yamin, 2004: 32). Sebuah paragraf dikatakan memiliki kepaduan atau koherensi (hubungan makna) jika aliran kalimat lancar serta logis (Finosa, 2005: 170). Kepaduan yang baik itu terjadi apabila hubungan timbal-balik antara kalimatkalimat yang membina paragraf itu baik, wajar, dan mudah dipahami tanpa kesulitan, sehingga pembaca mudah mengikuti jalan pikiran penulis (Keraf, 1980: 75). Selanjutnya, Keraf (1980: 67) menyatakan bahwa perkembangan pa-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

87

ragraf adalah penyusunan atau perincian daripada gagasan-gagasan yang membina paragraf itu. Gagasan dalam hal ini adalah gagasan utama dan gagasan bawahan. Kelengkapan dua hal tersebut perlu ada dalam paragraf deduktif dan paragraf induktif. Gagasan utama paragraf hanya akan menjadi jelas bila diadakan perincian yang cermat. Selain itu, diksi, ejaan, tanda baca, dan penggunaan kata penghubung juga berpengaruh pada kejelasan sebuah paragraf.

C. Metode Penelitian 1. Desain Penelitian


Permasalahan

Desain penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Tahapan PTK yang digunakan meliputi perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini direncanakan dalam dua siklus dengan topik yang sama dan dengan strategi berbeda. Pembelajaran siklus I dilaksanakan di dalam kelas, sedangkan pembelajaran siklus II dilaksanakan di luar kelas. Berikut adalah langkah tindakan untuk mencapai peningkatan kompetensi menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif yang dilakukan menurut Suharsimi Arikunto (2008: 74).
Pelaksanaan tindakan I

Perencanaan tindakan I

Siklus I

Refleksi I

Pengamatan/ pengumpulan data

Permasalahan baru hasil refleksi

Perencanaan tindakan II

Pelaksanaan tindakan II

Refleksi II Siklus II Apabila permasalahan belum terselesaikan Dilanjutkan ke siklus berikutnya

Pengamatan/ pengumpulan data II

Gambar 1. Perencanaan Langkah Tindakan Penelitian 2. Tempat, Subjek, dan Objek Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan di kelas XI IPA1 SMA N 1 Depok dengan subjek penelitian siswa kelas XI IPA1 yang merupakan kelompok siswa yang pencapaian hasil belajarnya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas XI IPA2 dan seluruh siswa kelas XI IPS, namun kemampuan menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif rendah. Jumlah siswa yang diteliti 42, dengan rincian 26 perempuan dan 16 pria.

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

88 Objek penelitian ini adalah kompetensi menulis paragraf deduktif dan induktif siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Depok. Kompetensi ini merupakan pengembangan Standar Kompetensi 3 (membaca), Kompetensi Dasar 3.1 (membedakan paragraf deduktif dan paragraf induktif). Pengembangan tersebut diasumsikan bahwa siswa yang mampu menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif pasti mampu membedakannya. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah observasi, dokumentasi, catatan lapangan, tes, dan angket. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. Dokumentasi berupa foto kegiatan belajar mengajar, hasil tes, dan hasil angket siswa. Catatan lapangan berupa (a) deskripsi tentang apa yang diamati dengan alat dria; (b) komentar, tafsiran, refleksi, pemikiran atau pandangan tentang apa yang diamati. Tes siklus I ada tiga macam, yaitu (a) tes awal (analisis membedakan paragraf deduktif dan paragraf induktif); (b) tes dalam proses pembelajaran (tes membedakan paragraf dengan cara menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif); dan (c) tes akhir (berupa tes analisis paragraf dan tes menulis paragraf). Tes siklus II terdiri dari dua macam tes, yaitu (a) tes dalam proses pembelajaran; dan (b) tes akhir berupa tes menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif. Tes analisis paragraf tidak diberikan pada siklus II karena pada siklus I semua siswa telah mencapai nilai tuntas. 4. Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan, hasil tes dalam proses pembelajaran yang berupa nilai siswa yang diperoleh melalui proses pembimbingan berantai, hasil tes akhir, dan hasil angket siswa. Sumber data penelitian ini adalah guru dan siswa. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah (a) data keberhasilan penggunaan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah yang diperoleh dari guru, kolaborator, dan siswa; (b) data kompetensi siswa yang diperoleh dari siswa yaitu data peningkatan nilai siswa pada saat proses pembelajaran dan data nilai siswa hasil tes akhir; (c) data pelaksanaan kegiatan pengayaan dan remidial. Angket digunakan untuk mengetahui kebenaran hasil tes dengan apa yang dirasakan siswa tentang peningkatan kompetensi yang terjadi pada diri siswa. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif dan teknik analisis data kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran. Ini digunakan pada setiap tahap tindakan (perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi). Setiap tahap tindakan dilakukan refleksi. Hasil refleksi digunakan untuk perbaikan tindakan berikutnya. Hasil penelitian yang dianalisis secara kuantitatif adalah hasil tes awal, tes dalam proses pembelajaran, tes akhir (analisis paragraf dan menulis paragraf). Hasil tes awal mengenai analisis paragraf digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pemahaman siswa dalam membedakan paragraf deduktif dengan paragraf induktif. Setelah itu, dilakukan pembimbingan menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif. Hasil proses menulis paragraf dianalisis dengan teknik reflektif. Apabila nilai masih be-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

89

lum tuntas, maka dilakukan pembimbingan hingga siswa bernilai tuntas saat proses pembelajaran. Apabila hasil analisis menunjukkan bahwa semua siswa mencapai nilai tuntas, maka dilakukan tes kompetensi dengan tes menulis paragraf. Siswa yang telah berhasil mencapai nilai tuntas pada tes menulis akhir adalah siswa yang telah memiliki Tabel 1. Hasil Observasi Kolaborator
Nomor 01. 02. 03. 04. Komponen Metode Guru Siswa Evaluasi Jumlah Hasil 4,80 4,90 4,45 4,80 18,90

kompetensi membedakan paragraf deduktif dengan paragraf induktif. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Berikut ini hasil observasi dari kolaborator. Observasi dilakukan pada siklus I.

Keterangan Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus

Kriteria Ketercapaian 0 jelek sekali 1 1< jelek 2 2<cukup 3 3< bagus 4 4< amat bagus 5

Hasil observasi kolaborator pada siklus I tersebut menunjukkan hasil amat bagus, namun ada penilaian bahwa kegiatan pengayaan belum terjadi secara maksimal. Delapan belas siswa yang mencapai nilai tuntas awal tidak semua melakukan pengayaan, hanya tujuh siswa yang melakukannya. Tabel 2. Hasil Nilai Observasi Siklus II
Nomor 01. 02. 03. 04. Komponen Metode Guru Siswa Evaluasi Jumlah Hasil 5,00 5,00 4,72 4,90 19,62

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian siklus II. Berikut adalah tabel hasil observasi siklus II, setelah dilakukan perbaikan strategi, yaitu dengan belajar di luar kelas. Bimbingan berantai dilakukan secara berkelompok. Setiap kelompok 13 siswa.

Keterangan Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus Amat Bagus

Kriteria Ketercapaian 0 jelek sekali 1 1< jelek 2 2<cukup 3 3< bagus 4 4< amat bagus 5

Hasil observasi kolaborator pada siklus II menunjukkan ada peningkatan dibandingkan dengan hasil observasi siklus I. Hal ini disebabkan oleh perubahan strategi pembelajaran tersebut, sehingga jumlah siswa yang melakukan pengayaan lebih banyak. Hasil pembelajaran dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah pada

siklus I tergambar pada Tabel 3. Tes awal, yaitu tes analisis paragraf digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa dalam membedakan paragraf deduktif dengan paragraf induktif. Tes dalam proses pembelajaran digunakan untuk mengetahui kompetensi menulis paragraf saat proses pembelajaran. Semua siswa dibimbing sampai paham

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

90 membedakan paragraf deduktif dengan paragraf induktif melalui praktik menulis. Apabila semua siswa telah mamTabel 3. Hasil Tes Siklus I KKM: 75
No. Awal Analisis Paragraf 58 65 85 65 50 65 65 65 57 57 57 57 30 65 65 65 85 65 57 65 57 65 50 57 57 65 57 58 65 57 57 65 50 50 57 57 57 65 57 Menulis Paragraf 75 71 50 75 75 65 50 60 75 72 50 74 67 68 75 60 56 70 74 52 75 75 75 74 74 45 73 50 75 72 75 75 56 75 75 75 75 75 45 Nilai Tes Akhir Analisis Paragraf 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Menulis Paragraf 100 75 100 100 88 75 96 80 65 98 80 99 100 100 80 100 95 50 95 90 80 85 75 95 100 80 80 80 93 100 98 65 75 95 70 75 90 90 90

pu menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif, maka dilakukan tes akhir.

01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

91 40. 41. 42. .X St. Dev 57 65 57 60.11905 8.70997 75 75 50 67.33333 10.40325 100 100 100 100.0000 0.00000 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. X St.Dev. 74 67 68 75 75 68 70 74 72 75 74 70 74 75 65 70 68 68 72 70 67 68 74 70 73 70 75 70 69 70 72 71.09524 2.76573 80 100 98 87.14286 12.27643 100 100 80 100 95 95 90 80 85 100 95 100 80 100 80 84 80 95 100 98 85 78 95 90 85 90 95 100 85 100 100 91.78571 8.07144

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemahaman perbedaan paragraf deduktif dengan paragraf induktif terjadi peningkatan sangat signifikan. Ini ditunjukkan pada rerata tes pemahaman perbedaan paragraf, yaitu pada tes analisis, paragraf yang menunjukkan peningkatan dari 60,11905 menjadi 100,0000 pada tes akhir Hasil tes menulis paragraf deduktif dengan paragraf induktif juga mengalami peningkatan, yaitu dari 67,33333 menjadi 87,14286. Namun peningkatan tidak terjadi pada semua siswa. Empat siswa bernilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Empat siswa tersebut mengalami penurunan nilai. Oleh karena itu, penelitian perlu dilanjutkan pada siklus II. Berikut hasil tes siklus II. Pada siklus ini tidak lagi dilakukan tes analisis paragraf karena semua siswa telah mencapai nilai tuntas, semua siswa telah memahami perbedaan paragraf deduktif dengan paragraf induktif. Tabel 4. Hasil Tes Siklus II KKM: 75
No. 01. 02. 03. 04. 05. 06. 07. 08. 09. 10. 11. Tes Menulis Awal Akhir 75 100 70 90 72 100 70 100 72 93 68 79 70 96 72 80 75 98 72 80 68 99

Hasil siklus II menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai rerata tes menulis. Tes menulis awal 71,09524 menjadi 91,78571 pada tes menulis akhir. Ini menunjukkan bahwa Metode Bimbingan Berantai Berhadiah yang dilakukan dalam dua siklus dapat meningkatkan kompetensi menulis paragraf deduktif

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

92 dan paragraf induktif pada siswa kelas XI IPA1 SMA N 1 Depok. Keberhasilan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah tersebut didukung pula oleh pengakuan siswa seperti yang tertuang pada hasil angket berikut.

Tabel 5. Hasil Angket Siswa pada Siklus I dan Siklus II


No 01. 02. 03. Komponen Siswa merasa kompetensinya meningkat. Siswa melakukan remidial dengan dibimbing teman yang telah bernilai tuntas. Siswa melakukan kegiatan pengayaan dengan cara membimbing teman yang belum mencapai nilai tuntas. Kegiatan pengayaan dan remidial terjadi dalam proses pembelajaran Siswa merasa senang dan cocok dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah Siklus I Ya Tidak 35 7 24 18 7 35 Siklus II Ya Tidak 40 2 38 4 40 2

04. 05.

30 36

12 6

42 41

Hasil angket tersebut menunjukkan adanya peningkatan kompetensi pada siklus I sebesar 83,33% menjadi 95,23% pada siklus II. Tujuh siswa pada siklus I dan dua siswa pada siklus II menyatakan tidak meningkat kompetensinya karena tidak mengerti bahwa peningkatan kompetensi ditunjukkan pada peningkatan nilai yang dicapai, baik pada nilai proses maupun pada nilai menulis akhir. Peningkatan jumlah pelaku remidial dan pelaku pengayaan terjadi pula pada siklus II. Dua siswa pada siklus II tidak melakukan pengayaan karena tidak lagi ada siswa yang perlu dibimbing, sedangkan semua siswa yang belum mencapai nilai tuntas melakukan remidial dengan bimbingan teman dan guru. Empat siswa menyatakan tidak melakukan remidial dengan dibimbing oleh teman, karena mereka dibimbing langsung oleh guru. Mereka setelah dinilai tuntas oleh guru berhak membimbing teman-temannya yang belum mencapai nilai tuntas. 2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada dua keberhasilan yang diperoleh melalui pembelajaran dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah, yaitu keberhasilan proses pembelajaran dan keberhasilan produk pembelajaran. a. Keberhasilan Proses Pembelajaran Keberhasilan proses pembelajaran ditunjukkan pada keterlaksanaan pembelajaran yang dapat membuat siswa belajar secara aktif, santai, senang, bersemangat, tidak merasa cepat lelah. Hal ini dibuktikan dengan fakta pembelajaran yang dilakukan selama empat jam pembelajaran (180 menit) setiap siklus, namun tidak seorang pun yang mengeluh. Siswa tetap bersemangat meningkatkan nilai hingga dicapai hasil maksimal. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan memberdayakan siswa yang telah mencapai nilai tuntas sangat membantu guru untuk memberikan pemahaman kepada para siswa yang lamban belajar. Dampak positif tidak hanya untuk siswa yang lamban be-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

93

lajar, namun juga untuk siswa yang membimbing teman. Dengan membimbing teman, siswa menjadi memiliki kompetensi lebih. Ini dapat dilihat pada perbedaan nilai yang diperoleh oleh siswa yang telah melakukan pembimbingan. Dengan demikian, program pengayaan dapat terjadi saat proses pembelajaran, sehingga guru tidak perlu mengadakan waktu khusus untuk pengayaan dan remidial. b. Keberhasilan Produk Pembelajaran Berdasarkan hasil observasi siklus I dan siklus II dapat disimpulkan bahwa Metode Bimbingan Berantai Berhadiah berhasil dilaksanakan, walau pada siklus I kegiatan pengayaan tidak secara optimal terlaksana. Kegiatan pengayaan dan remidial dapat berlangsung secara beriringan pada siklus II. Ini terjadi berkat perubahan strategi yang dilaksanakan pada siklus II. Kemampuan untuk mengubah strategi pembelajaran merupakan kemampuan yang harus dimiliki seorang guru. Guru harus tanggap terhadap kondisi siswa, kemudian dilakukan perubahan metode atau strategi pembelajaran agar kompetensi siswa meningkat. Untuk itu guru dituntut selalu berinovasi dalam mengajar. Hasil tes siklus I menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa dalam membedakan paragraf deduktif dan paragraf induktif masih sangat rendah (95,27%), namun kompetensi siswa meningkat setelah mendapatkan bimbingan. Siswa hafal perbedaan paragraf deduktif dengan paragraf induktif, yaitu paragraf deduktif memiliki kalimat utama di awal paragraf, sedangkan paragraf induktif di akhir paragraf. Siswa dalam hal tersebut hanya sekedar hafal. Siswa menjadi bingung ketika melakukan analisis paragraf. Siswa dalam menulis pun kurang menunjukkan kemampuannya. Akan tetapi, setelah sis-

wa memperoleh bimbingan baik dari guru maupun siswa yang sudah mencapai nilai tuntas, kompetensi menulis paragraf meningkat hingga siswa bernilai tuntas. Siswa yang pada tes menulis awal tidak bernilai tuntas (57,14%) menjadi bernilai tuntas setelah pembimbingan. Tujuh siswa yang bernilai tuntas tanpa bimbingan pada tes menulis awal menjadi lebih meningkat nilainya setelah melakukan pengayaan dengan cara membimbing teman yang belum bernilai tuntas, sedangkan sebelas siswa yang lain tetap nilainya karena tidak melakukan pembimbingan kepada teman. Hasil akhir dalam proses pembelajaran, setelah memperoleh bimbingan, semua siswa menjadi bernilai tuntas. Ketercapaian Metode Bimbingan Berantai Berhadiah pada siklus I didukung pula oleh hasil tes akhir. Tes akhir menunjukkan bahwa semua siswa telah memahami perbedaan paragraf deduktif dengan paragraf induktif. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan semua siswa dalam menganalisis paragraf deduktif dan paragraf induktif. Semua siswa bernilai 100 pada tes akhir tentang analisis paragraf, sedangkan pada tes menulis akhir, siswa belum menunjukkan hasil yang maksimal, karena ada empat siswa yang tidak bernilai tuntas. Nilai yang dicapai adalah 50 (satu siswa), 65 (dua siswa), dan 70 (satu siswa). Nilai ketuntasan: 75. Keempat siswa tersebut belum dapat menyusun paragraf deduktif dan paragraf induktif secara benar. Kondisi seperti ini sudah dapat dikatakan berhasil, karena 92,85% siswa telah bernilai tuntas, sedangkan keberhasilan metode hanya 85% siswa mencapai nilai tuntas. Ketercapaian Metode Bimbingan Berantai Berhadiah siklus I diperkuat oleh hasil angket bahwa 85,71% siswa

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

94 menyatakan merasa menguasai materi setelah memperoleh bimbingan. Namun, siswa yang menyatakan meningkat kompetensinya hanya 83,33%. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan siklus II agar peningkatan kompetensi dapat mencapai minimal 85% dari jumlah siswa. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan siklus II dengan perubahan strategi pembelajaran di luar kelas, terjadi peningkatan pada hasil observasi. Observasi pada siklus I 18,90, sedangkan pada siklus II 19,62. Peningkatan terjadi pula pada hasil tes menulis akhir. Tes menulis akhir siklus II menunjukkan bahwa semua siswa (100%) mencapai tuntas dengan nilai terendah 78 dan nilai tertinggi 100. Siswa yang memperoleh nilai 100 hanya 13 siswa. Hal ini bukan karena siswa tidak mampu menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif, namun karena kesalahan diksi, ejaan dan pemberian tanda baca. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemampuan siswa dalam satu kelas berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat. Hal ini memerlukan kemampuan guru mengelola interaksi pembelajaran di dalam kelas. Inti dari kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar adalah kemampuan guru dalam memberi pemahaman materi pelajaran kepada siswa. Pemberian pemahaman kepada siswa tidak selalu harus guru. Siswa dapat diberdayakan untuk itu. Dengan demikian ada keterlibatan siswa. Sudjana (2005:40) menyatakan bahwa keterlibaan siswa merupakan syarat pertama dan utama dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Keterlibatan siswa terjadi dalam pembelajaran dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah. Siswa tidak hanya sekedar terlibat, tetapi ikut bertanggung jawab akan pemahaman teman, sehingga teman yang dibimbingnya mencapai nilai tuntas. Dirinya pun menjadi lebih memahami materi yang sedang dipelajarinya. Ini dibuktikan dengan pernyataan siswa dalam angket siklus II, yaitu 40 dari 42 siswa kelas XI IPA1 merasa bahwa kompetensinya meningkat. Dua siswa yang menyatakan dirinya tidak mengalami peningkatan kompetensi itu tidak mengerti bahwa peningkatan kompetensi ditunjukkan pada peningkatan hasil yang dicapai. Fakta menunjukkan bahwa kedua siswa tersebut mengalami peningkatan nilai juga. E. Simpulan, Saran, dan Keterbatasan Penelitian 1. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat mengambil kesimpulan mengenai penelitian tindakan kelas yang menggunakan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah untuk meningkatkan kompetensi menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif siswa kelas XI IPA1 SMA N 1 Depok, sebagai berikut ini. a. Metode Bimbingan Berantai Berhadiah dapat meningkatkan kompetensi menulis paragraf deduktif dan paragraf induktif pada siswa kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Depok tahun ajaran 2008-2009. b. Metode Bimbingan Berantai Berhadiah dapat menumbuhkan kegiatan remidial dan kegiatan pengayaan dalam Kegiatan Belajar Mengajar. c. Metode Bimbingan Berantai Berhadiah dapat menumbuhkan perasaan senang dan dapat memacu semangat siswa untuk mengayakan diri dan bagi siswa yang belum mencapai nilai tuntas terus berusaha

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

95

mencapai nilai tuntas pada saat pembelajaran. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan saran sebagai berikut. a. Bagi guru pelaksana penelitian, usaha meningkatkan kompetensi siswa supaya terus dilakukan dan keberhasilan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah harus terus diuji agar diperoleh tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap keberhasilan metode tersebut. Selain itu, perlu diujicobakan untuk materi yang berbeda. b. Bagi guru bukan peneliti, supaya mencobakan metode Bimbingan Berantai Berhadiah dengan variasi yang lain, sehingga diperoleh model yang baru. 3. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru bersama kolaborator. Guru meneliti keberhasilan metode pembelajaran yang digunakan sendiri untuk meningkatkan kompetensi siswa. Hal ini mengakibatkan hasil penelitian dan pembahasan tidak bersifat mendalam, masingmasing tahap untuk tiap siklus tidak dibahas secara detail. Pembahasan pada penelitian ini menggunakan pendekatan pertimbangan subjektif, sehingga kesepakatan yang dilakukan adalah kesepakatan umum, yaitu kesepakatan antara peneliti dengan kolaborator sebagai observator. Daftar Pustaka Depdiknas. 2008. Perangkat Pembelajaran KTSP Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Dirjen. Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Finosa, L. 2005. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa nonjurusan Bahasa. Jakarta: Insan Mulia. Keraf, G. 1980. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah. Muchith, S. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL Media Group. Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sudjana. 2005. Strategi Pambelajaran. Bandung: Falah Production.
Arikunto,

S. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

______. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Yamin, M. 2007. Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press.

Peningkatan Kompetensi Menulis Paragraf dengan Metode Bimbingan Berantai Berhadiah

B.R.M.G. SAYIDIN MALIKUL KUSNO: PELOPOR PENDIDIKAN MASYARAKAT Hermanu Joebagio FKIP Universitas Sebelas Maret Abstract This article analyzes the existence of Madrasah Mambaul Ulum, HIS Kasatryan and HIS Pamardi Putri in the political constellation of the movements in 1920s. These educational institutions were established in the area of the Kasunanan Palace. Madrasah Mambaul Ulum consisted of elementary school, junior high school and senior high school, catering for children of abdi dalem (servants in the palace) and those of lay people. On the other hand, HIS Kasatryan and HIS Pamardi Putri were elementary schools for children of lower aristocrats. The founders of the institutions gave freedom to the managers to make decisions concerning education (school-based management) in terms of the curriculum, teachers, learning materials, learning strategies, and evaluation system. Even society members were allowed to take part in the implementation (communitybased education). The local contents, the Javanese culture and Islam were the subjects that guided the students ethics and moral so that they developed as individuals who were responsible and just and capable of protecting their fellow people. Keywords: Madarasah Mambaul Ulum, HIS Kasatryan, HIS Pamardi Putri, Javanese culture, Islam

A. Pendahuluan Perubahan ekologi melanda Surakarta ketika pembelajaran di sekolah tidak menyertakan aspek lokal (budaya Jawa dan agama Islam), dan sekolah hanya dinikmati sekelompok kecil masyarakat, sehingga merupakan hal mustahil bagi kelompok masyarakat kelas bawah. Sejak tahun 1852 di Surakarta sudah didirikan Europesche Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), dan Kweekschool (Sekolah Guru). Sekolah Guru yang didirikan pertama kali di Surakarta ternyata tidak diminati anak-anak priyayi, sehingga satu dasawarsa kemudian harus dipindahkan ke Magelang (Scherer, 1985: 43-44).

Dalam Regeringsreglement 1854 mewajibkan pemerintah untuk melakukan perluasan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tetapi kenyataannya, belum dapat dilaksanakan karena tiada biaya pendidikan yang memadai, dan pada sisi lain belum terbentuk Departemen Pengajaran dan Agama (van der Veur, 1969: 1). Ketidakberdayaan pemerintah Hindia Belanda berakibat peran mengembangkan persekolahan diambil alih oleh zending dan missi (Adam, 2003: 30). Politik pendidikan zending dan missi merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda lebih mengutamakan anak-

96

97 anak priyayi, dan kebijakan itu merupakan implementasi dari strategi kersteningpolitiek serta sekularisasi terhadap kelompok priyayi, meskipun angkatan sekolah anak-anak kelas sosial bawah makin membengkak sejak diberlakukan Undang-Undang Agraria 1870 (Suminto, 1985: 23-25; Cf. Maarif, 1985: 66). Anak-anak priyayi ditafsirkan dapat menjembatani kepentingan politik Belanda, dan politik pendidikan itu makin membangkitkan keniscayaan masyarakat kelas bawah untuk memperoleh kesempatan pendidikan formal model Barat. Satu-satunya kesempatan masyarakat kelas bawah adalah pendidikan nonformal keagamaan di pesantren. Ketidakberdayaan pemerintah berakibat pertumbuhan persekolahan di Surakarta sangat lamban karena pemerintah hanya mampu menyediakan anggaran pendidikan sebesar 25 ribu gulden untuk seluruh Hindia Belanda (dalam Baudet & Brugmans, 1987: 178179). Bahkan satu dasawarsa kemudian, setelah diberlakukan kebijakan etis (1902-1912) angkatan sekolah kelas sosial bawah di Nusantara hanya tertampung pada Tweede Klasse School dan Volksschool (van der Veur, 1969: 7). Fenomena ini menunjukkan tanda carut marut pengelolaan sistem pendidikan, dan kebijakan pendidikan yang tidak berpihak kepada kelas sosial bawah. Fenomena ini memacu keprihatinan elit politik pribumi. Salah seorang elit yang merasa prihatin terhadap sistem pendidikan adalah Bendara Raden Mas Gusti (BRMG) Sayidin Malikul Kusno, yang setelah naik tahta dikenal bernama Paku Buwana X (PB X). Sejak muda PB X berangan-angan untuk mendirikan sekolah murah bagi anak-anak kelas sosial bawah, baik anak-anak sentana, abdi, maupun kawula dalem. Anganangan BRMG Malikul Kusno tidak sekedar mendirikan sekolah, tetapi secara simbolik juga mereformasi sistem manajemen sekolah yang secara substansial tidak diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda, baik pada sekolah agama (Madrasah Mambaul Ulum, 1905) dan sekolah umum (HIS Kasatryan dan HIS Parmadi Putri, 1914). Pengertian reformasi manajemen yang dilakukan rupanya identik dengan istilah reformasi manajemen pendidikan abad modern yang mengutamakan aspek community-based education dan school-based management. Maksudnya, BRMG Malikul Kusno memberi kesempatan yang lebih luas kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, serta memberi kesempatan yang luas kepada penyelenggara lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan masalahmasalah pengelolaan kegiatan pembelajaran. Reformasi pendidikan yang dilakukan pada awal abad XX merupakan konsekuensi dari diberlakukan Undang-Undang Desentralisasi 1903, yakni Surakarta dan Yogyakarta merupakan daerah otonom (Schrieke, 1918: 14). B. Pembahasan 1. Diskriminasi Pendidikan Sejak tahun 1850-an kota-kota besar di Jawa sudah berdiri Sekolah Dasar Eropa yang diperuntukan anak-anak pangreh praja dan aristokrat Jawa, dan bukan untuk anak-anak masyarakat umum. Kehadiran Sekolah Dasar Eropa di Surakarta menimbulkan polemik, karena adanya faktor diskriminasi, dan pada sisi lain masyarakat Surakarta sudah tumbuh menjadi masyarakat multi-etnis akibat pertumbuhan jalur

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

98 perdagangan sungai dari Bandar Semanggi (Surakarta) menuju Bandar Surabaya, dan sebaliknya (Soedarmono, Kusumastuti & Rizon Pamardi Utomo, 2004: 3-4; Cf. Robson, 1981: 279). Melalui perdagangan tersebut lahir kontak budaya lintas etnik maupun lintas bangsa. Artefak sosial yang tersisa dapat diamati dari keberadaan komunitas Arab di Pasar Kliwon; Cina di Pasar Gede; etnik Bali di Kebalen; etnik Madura di Sampangan; etnik Banjar dan Flores di dekat Kepatihan; pengusaha batik di Laweyan, Kauman, dan Keprabon; dan pedagang-pedagang Jawa di kampung Sewu. Pertumbuhan pendidikan yang disertai dengan diskriminasi menimbulkan polemik antarpihak pengelola (zending dan missi) dan aristokrat, ulama maupun pujangga. Inti polemik adalah: (1) sistem pendidikan Barat mempraktekan nilai-nilai sekularisme; (2) menciptakan diskriminasi sosial karena yang dapat belajar di lembaga itu adalah anak-anak pangreh praja dan aristokrat. Sementara itu, anak-anak pengusaha batik dan pelaku ekonomi lainnya yang memiliki status ekonomi tinggi diabaikan oleh sistem pendidikan kolonial; (3) di lembaga pendidikan zending dan missi tidak diajarkan pendidikan agama Islam dan kebudayaan Jawa. Hal terakhir ini yang dipandang ulama dan pujangga dapat merusak kepribadian anak-anak pangreh praja dan aristokrat tradisional. Dalam pemikiran aristokrat, pujangga, dan ulama bahwa agama Islam maupun kebudayaan Jawa adalah pendidikan moral dan etika untuk seluruh anak pribumi. Agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah ajaran-ajaran tentang falsafah kehidupan yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Alasan lain, sejak tahun 1833 di Surakarta sudah berdiri Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa), yang dipelopori filolog J.A. Wilkens, Taco Roorda van Eysinga, dan C.F. Winter (Ahmat Adam, 2003: 30; Cf. S. Margana, 2004: 15-44). Meskipun Lembaga Bahasa Jawa telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial pada 1853, kajian sastra dan nilai budaya Jawa tetap dilanjutkan oleh Raden Panji, Raden Ngabei (RNg) Reksodipuro, bersama-sama dengan para filolog Eropa. Diskriminasi pendidikan juga melanda pada anak-anak pangreh praja dan aristocrat. Landasan diskriminasi pendidikan di Sekolah Dasar Eropa mengikuti besar-kecilnya pendapatan dan status sosial orang tua murid. Lebih lanjut dikemukakan bahwa: Sejak 1864 orang-orang Jawa telah diterima dalam sekolah dasar Belanda, ELS. Uang sekolah tertinggi bagi anakanak Eropa adalah 8 gulden per bulan. Anak-anak Eropa yang pendapatan orang-tuanya kurang dari 150 gulden per bulan diterima tanpa bayar. Sebaliknya, anak-anak Jawa harus membayar (tanpa ada peraturan pengecualian pembayaran) 15 gulden per bulan, hampir dua kali lipat pembayaran tertinggi anak-anak Eropa. Uang sekolah sekali lagi dinaikkan dua kali lipat [30 gulden per bulan] ... bagi anak-anak Jawa dari golongan menengah dan atas (Scherer, 1985: 44). Untuk dapat memasuki ELS secara tegas ditentukan pendapatan orang tua minimal 400 gulden per bulan. Pendapatan sebesar itu jarang dimiliki kelompok masyarakat umum. Gaji bupati hanya 1000 gulden per bulan, asisten wedana sekitar 150 gulden per bulan, dan dokter (Jawa) 150 gulden per bulan (Savitri Prastiti Scherer, 1985: 44). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

99 anak-anak pribumi sekelas pengusaha batik sekalipun tidak dapat memasuki Sekolah Dasar Eropa. Diskriminasi pendidikan yang berpijak pada struktur sosial sengaja diciptakan, yang tanpa disadari berakibat munculnya kesenjangan sosial antara rakyat dan priyayi (pangreh praja dan aristokrat). Bahkan tidak adanya pengajaran agama Islam dan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan di Surakarta dan Yogyakarta merupakan sesuatu yang diciptakan. Dalam hubungan ini Frances Gouda mengemukakan:
... arti budaya tradisional kehilangan makna alaminyaatau keutuhan metafisiknyakarena budaya ini sekarang dijajarkan dengan nilai-nilai Barat dan teknologi Eropa, yang membuka prospek intelektual baru dan kemungkinan pilihan politik yang segar. ... suatu penentangan yang timbul karena kecanggihan dan modernitas, dibandingkan dengan orang tua mereka, yang tidak sempat mengenyam manfaat pendidikan Barat. Barangkali [hal ini] menyiratkan pembunuhan psikologis seorang tokoh ayah (Frances Gouda, 2007: 144).

Pemikiran Frances Gouda menyiratkan bahwa pelapisan sosial dalam sistem pendidikan cenderung diciptakan

dan dilestarikan, karena melalui tangan anak-anak priyayi (pangreh praja dan aristokrat) berbagai kepentingan pemerintah dapat terjembatani. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa pemerintah sama sekali tidak menginginkan adanya mobilitas vertikal kelas sosial bawah karena mobilitas vertikal tersebut dapat mengganggu eksistensi pemerintah Hindia Belanda. Menurut Baudet (Baudet & Brugmans, 1987, 6-7), diskriminasi dan ketidakseriusan dalam pengelolaan sistem pendidikan merupakan ironi dari propaganda vocation civilisatrice atau Een Eereschuld. Bahkan satu dasawarsa setelah diberlakukannya politik etis banyak anak-anak rakyat yang belum tertampung dan berkesempatan menikmati sistem persekolahan di Hindia Belanda. Menanjaknya pertumbuhan penduduk dan persentase anak-anak pribumi yang menikmati sistem persekolahan baru dimulai pada tahun 1930-an. Besarnya anak-anak pribumi yang mengenyam Sekolah Kelas Dua atau Volksschool di seluruh Hindia Belanda dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1: Murid Pribumi di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan


Tahun 1900 1910 1920 1930 1935 1940 Tweede Klasse School 98.173 232.629 357.970 339.594 12.154 9.759 Volksschool 71.239 423.314 1.229.666 1.595.140 1.896.374 Vervolgschool 97.236 214.326 287.126 MULO 399 Jumlah 98.173 303.868 781.284 1.666.496 1.821.620 2.220.513

Sumber: Paul W. van der Veur. 1969. Education and Social Change in Colonial Indonesia. Athens, Ohio: Center for International Studies, Ohio University, hlm. 7. Sementara itu, pertumbuhan penduduk pribumi Karesidenan Surakarta sangat tinggi, dan tidak sebanding de-

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

100 ngan penyediaan sarana pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Penduduk Pribumi Karesidenan Surakarta 1920-1930


Kabupaten Surakarta Sragen Klaten Boyolali Jumlah Penduduk Pribumi Laki Perempuan 183.107 184.046 160.785 160.600 277.358 292.063 186.151 180.384 807.401 817.093 % Pertumbuhan Laki Perempuan 23% 22% 21% 19% 34% 35% 23% 22%

Sumber: Moordiati, Dinamika Pertumbuhan Penduduk di Karesidenan Surakarta 1880-1930, Lembaran Sejarah, Vol. 4, No. 1, 2000, p. 135. Dua tabel di atas apabila ditempatkan pada konteks Karesidenan Surakarta menunjukkan bahwa anak-anak kelas sosial menengah bawah yang mengenyam Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse School) maupun Sekolah Rakyat (Volksschool) tentu sangat kecil. Keterbatasan penyediaan prasarana dan sarana pendidikan merupakan faktor utama lambannya pertumbuhan pendidikan di Hindia Belanda. Menurut Lombard perluasan pendidikan baru mulai berjalan pada tahun 1860 hingga 1898 yang terpusat di Jawa. Ada tiga aspek yang menjadi landasannya: (1) banyak anak-anak pejabat Belanda yang tinggal di pulau ini; (2) pemerintah membutuhkan tenaga terampil seiring dengan kebijakan ekonomi liberal; (3) memberi peluang pendidikan bagi anak-anak pangreh praja (Lombard, 2005: 84). Pada sisi lain, anak-anak pedagang dan pengusaha pribumi justru memilih memasukan anak-anaknya pada lembaga pendidikan Islam daripada sekolah sekuler yang dikelola zending dan missi. Persoalan utama para pedagang dan pengusaha pribumi adalah menginginkan terjaminnya etika dan moral, serta tersedianya interaksi sosial secara harmonis dalam lingkungan pendidikan anak-anak. 2. Membangun Keberpihakan Carut marut sistem persekolahan di Surakarta mendorong BRMG Malikul Kusno mendirikan lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum yang terjangkau bagi seluruh lapisan sosial dan berbasis pada masyarakat. Ketika Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu (KRTP) Tapsiranom V, Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati (KRA) Sasradiningrat, Kyai Idris (Pesantren Jamsaren), dan ulama-ulama Surakarta menyampaikan pemikiran tentang pentingnya mendirikan sekolah agama (disebut Madrasah Mambaul Ulum) dan sekolah umum (disebut HIS Kasatryan dan HIS Parmadi Putri) kepada BRMG Malikul Kusno, ditanggapi beliau secara serius serta disetujui pemikiran tersebut. Selanjutnya BRMG Malikul Kusno memerintahkan mendirikan madrasah di lingkungan Masjid Agung, sedangkan pendirian sekolah umum berada di dalam benteng keraton (Basit Adnan, 1982: 17). Berdirinya Madrasah Mambaul Ulum (1905), HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri (1914) secara simbolik merupakan keinginan mengembangkan pendidikan yang berpijak pada com-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

101 munity-based education dan school-based management, dan konsep tersebut kontra terhadap diskriminasi pendidikan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda. Pada dasarnya politik pendidikan BRMG Malikul Kusno pada dasawarsa pertama abad XX berkaitan dengan pencitraan politik lokal yang menampilkan Islam sebagai kekuatan politik. Untuk mencitrakan tumbuhnya politik lokal, BRMG Malikul Kusno mengembalikan posisi ulama sebagai intelektual pendidik yang secara simbolik ditandai dengan berdirinya Madrasah Mambaul Ulum 1905 di lingkungan keraton. Kehendak menempatkan kembali ulama sebagai intelektual pendidik mempunyai arti penting dalam meletakkan landasan tumbuhnya politik lokal. Selama dua dasawarsa terakhir abad XIX hingga awal abad XX, sebagian besar ulama di Keresidenan Surakarta aktif dalam gerakan radikalisme yang berideologi keagamaan. Para ulama mengorganisasi dan memobilisasi kekuatan massa untuk melawan hegemoni pemerintah kolonial, tetapi gagal dalam mewujudkan tujuan karena sifat arkhaisnya. Organisasi, strategi dan taktik para ulama sangat sederhana, sedangkan tujuannya bersifat lokal (Suryo, 1980: 21). Keterlibatan ulama dalam gerakan radikalisme berakibat negatif, yakni terganggunya pengembangan pendidikan Islam bagi anak-anak pribumi. Kebijakan etis kemudian dijadikan titik awal oleh BRMG Malikul Kusno untuk membangun pendidikan Islam secara modern, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan itu dibutuhkan peran ulama intelektual. Tanpa disadari berkembangnya pendidikan Islam (madrasah) berkorelasi dengan pertumbuhan politik lokal, karena eksistensi madrasah dan pesantren merupakan pendukung partai Islam (Sarekat Islam), partai lokal Surakarta (Akira Nagazumi, 1989: 195196). Sementara itu untuk memperkuat citra politik lokal BRMG Malikul Kusno memberi dorongan kepada kaum intelektual untuk melakukan gerakan kontra kolonialisme melalui organisasi sosial dan politik. Dorongan itu dilandasi pemikiran bahwa pada masa penjajahan, kaum intelektual dibedakan dalam dua kategori, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik (Latif, 2005: 23). Kategori intelektual tradisional apabila aktivitas kepakarannya ditambatkan untuk kepentingan pribadi, sedangkan kategori intelektual organik apabila aktivitas kepakarannya diabdikan untuk kepentingan publik, baik pada medan ekonomi, politik, maupun sosial. Intelektual organik dipersepsikan sebagai pemimpin yang memiliki ethos, pathos, dan logos (Anwar, 2007: 121). Ethos adalah semangat yang dilandasi akhlak baik, pathos adalah kemampuan menggerakkan rakyat secara emosional, sedangkan logos adalah kesanggupan menggerakkan masyarakat secara intelektual. Intelektual organik dipandang mampu membangun kesepakatan (musyawarah), baik perspektif tujuan maupun prinsip yang bakal ditegakkan dalam menghadapi kekuatan asing atau menghasilkan otoritas legislatif guna memutuskan perkara-perkara duniawi yang penuh (Mujani, 2007: 56). Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan di Surakarta yang dibidani dan dikelola elit pribumi berperan untuk: (1) mereproduksi identitas; (2) memajukan kecerdasan peserta didik; (3) memapankan akar keagamaan untuk menyikapi kemodernan; dan (4) mapannya nilai-nilai keagamaan dapat di-

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

102 gunakan sebagai alat evaluasi terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang berseberangan dengan kaidah agama. Semangat elit pribumi untuk mendirikan madrasah dan sekolah umum merupakan usaha serius untuk mengarungi jalan kemajuan (Latif, 2005: 139). Dalam hubungannya dengan mengarungi jalan kemajuan, Yudi Latif mengemukakan:
Kemunculan madrasah merepresentasikan suatu trayek sejarah Islam yang baru. Madrasah merupakan perwujudan rencana kaum reformis-modernis untuk memulihkan dan meremajakan kembali masyarakat Islam. Karena kampanye untuk mereformasi masyarakat muslim melalui jalan kembali kepada sumber asli Islam, [karena itu] sekolah [madrasah] mempresentasikan ide reformisme Islam. Karena adopsinya terhadap pendekatan dan instrumen modern, seperti rasionalisme modern, kurikulum pendidikan Barat, dan aparatus modern, sekolah [madrasah] ini merepresentasikan ide-ide modernisme Islam. Karena pengajarannya yang memasukikan pengetahuan agama dan pengetahuan saintifik modern, madrasah berfungsi sebagai ladang persemaian utama bagi pembentukan ulama-intelek yang akan menjadi pasangan utama bagi intelegensia dalam mengarahkan masyarakat Hindia mengarungi jalan kemadjoean (Latif, 2005: 139).

mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa. Keberadaan pendidikan diharapkan dapat membangun kembali kemampuan intelektual anak-anak, memulihkan kehormatan, dan harga diri (Hasan Hanafi dalam Kamdani, 2007: 15; Cf. Nashr Hamid Abu Zayd dalam Zuhairi Misrawi, 2007: 51-105). Pada sisi lain, Heather Sutherland (1983: 12) meragukan kebudayaan Jawa dapat menjadi landasan dalam mengatasi persoalan sosial-ekonomi dan sosial-politik yang sedang dihadapi masyarakat. Namun demikian apabila dilihat dari segi eksistensi simbol Jawa dan Islam yang melekat dalam madrasah dan sekolah umum dapat ditafsirkan untuk memacu masyarakat agar tidak terjebak oleh kekakuan budaya. Suatu budaya tanpa dilandasi kemauan menerima budaya lain dan mengembangkan pemikiran baru akan menempatkan masyarakat pada lapisan sosial pinggiran yang tidak berguna, bahkan akan tergiring oleh kekuatan-kekuatan untuk memasuki medan pertarungan ideologis yang merugikan diri sendiri. Karena itu perlu melakukan persandingan antara pemikiran lama dan baru, sehingga tidak saling mengeliminasi. 3. Madrasah, Sekolah dan Politik Pada dasarnya mengarungi jalan kemajuan melalui bidang pendidikan tidak sepenuhnya dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda, karena kemajuan tersebut dapat berakibat pada meluasnya tuntutan kesepadanan, baik dalam hubungannya dengan kesederajatan sosial, ekonomi maupun politik. Dalam keadaan demikian pemerintah yang semula berusaha mempertahankan status quo harus berhadapan dengan tuntutan kesepadanan. Polemik tentang kemajuan pendidikan di

Dalam pemikiran BRMG Malikul Kusno mengarungi jalan kemajuan tidak serta-merta meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Karena itu dalam pendidikan di Madrasah Mambaul Ulum, HIS Kasatryan dan HIS Parmadi Putri diajarkan pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan usaha mendalam untuk mempertahankan keberlangsungan tradisi dan kebudayaan Jawa, meskipun tidak menutup kemungkinan memanfaatkan kebudayaan Barat secara selektif untuk

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

103 Surakarta menjadi bahan perdebatan di Parlemen Negeri Belanda. Selebaran gelap berjudul Een Mohammedaansch Universiteit op Soerakarta memprovokasi dan membangkitkan kekhawatiran anggota parlemen tentang kemajuan yang terjadi di Surakarta. Dalam selebaran gelap dikemukakan bahwa Madrasah Mambaul Ulum adalah pendidikan Islam yang setara dengan jenjang perguruan tinggi. Kecerdasan masyarakat pribumi yang dididik di perguruan tinggi akan membahayakan eksistensi pemerintah Hindia Belanda, bahkan anggota parlemen menuntut diadakan penyelidikan tentang keberadaan Madrasah Mambaul Ulum. Kasus di atas menunjukkan bahwa peminggiran terhadap lapisan sosial pribumi dalam bidang pendidikan memang disengaja, dan tindakan tersebut selalu dikecam oleh Soekarno dalam debat antarmahasiswa Technische Hoge School (THS) di Bandung, pada 4 Agustus 1922. Dalam hubungan ini Soekarno meminta kerjasama antartokoh pergerakan untuk meningkatkan intelektualitas dan moral masyarakat, serta membangun Indonesia Raya (Mrazek, 2006: 172). Lebih lanjut, Soekarno mengemukakan:
Hanya sifat-sifat intelektual dan moral [yang] dapat menjadi ukuran bagi kita! Intelektualitas manusia itu bersifat internasional. Kita semua ... percaya bahwa satu-satunya cara Indonesia dapat digerakkan ke depan adalah melalui kerja sama antara tokoh-tokoh terkemuka dengan rakyat. Dan tokoh-tokoh pemimpin itu, akan senantiasa adalah Anda, para mahasiswa. Kerja sama itu mendesak.... Ada khotbah tentang persaudaraan antara kaum putih dengan coklat. Itu mustahil.... Ambil contoh seorang negro dan tempatkan dia bersama seorang Inggris, mari kita andaikan begitu.... Kemudian, cobalah membuat mereka saling bersaudara (Mrazek, 2006: 172-173).

Jalan kemajuan yang dikemukakan Soekarno sebangun dengan kekuasaan politik (Adian, 2008: 7). Maksudnya, pembangunan intelektualitas melalui lembaga pendidikan formal secara teoretik menghasilkan intelektual profesional yang memiliki kreativitas berpikir, berekspresi, serta menyalurkannya dalam ruang publik. Pada sisi lain, intelektualitas yang dimiliki harus mampu mengendalikan nafsu rendah (Adian, 2008: 7). Apa jadinya apabila intelektualitas yang dimiliki tokoh pergerakan menyatu dengan nafsu rendah, dan menyukai aliansi politik dengan kekuatan asing, serta menafikan peran tokoh pergerakan lainnya yang secara aktif membangun nilai-nilai kemanusiaan universal, yaitu hifdz-din (kebebasan beragama), hifdz-nafs (memelihara kelangsungan hidup), hifdz-nasl (menjamin kelangsungan keturunan), hifdzmal (menjamin kepemilikan harta benda), hifdz-aql (menjamin kreativitas berpikir, kebebasan ekspresi, dan mengeluarkan pendapat). Semua ini menjadi senjata utama dalam menakar hubungan yang tidak setara antar lapisan sosial penduduk (Ihsan, 2003: 43). Pertumbuhan sekolah formal di Surakarta seperti Madrasah Mambaul Ulum, Madrasah Arabiyah Islamiyah, HIS Kasatryan, HIS Parmadi Putri, Perguruan Muhammadiyah, dan Pesantren Jamsaren merupakan ladang pendidikan politik. Dalam hubungan ini Abdurrachman Surjomihardjo mengemukakan bahwa sekolah nonpemerintah sering dimanfaatkan kaum nasionalis untuk mendidik politik rakyat. Lebih lanjut Abdurrachman Surjomihardjo mengemukakan seperti berikut.
Keterlibatan guru dalam pergerakan nasional memang tidak dapat dipisah-

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

104
kan dari usaha untuk mendidik bangsa yang terbelakang. Pada masa itu kemampuan guru juga dimanfaatkan oleh media massa pada masa penjajahan untuk menerjemahkan artikel. Dengan demikian ide-ide dapat disampaikan ke tengah masyarakat dalam bahasa Melayu. Guru ... bagian dari rakyat yang bertugas untuk mendidik. Mereka merupakan kelompok yang menyadari keterbelakangan bangsanya. Melihat peran ini guru lebih leluasa bertindak dalam masyarakat. Ketika pergerakan mulai muncul pada awal abad XX, dan pandangan masyarakat mulai kritis pada awal abad itu, para guru juga mempunyai bobot politik. Mereka menilai bahwa sistem pendidikan kolonial tidak memberikan kesejahteraan rakyat ... bekerja sebagai guru pemerintah kolonial berarti ikut mempertahankan sistem pendidikan penjajah. Kesadaran ini mendorong [kaum nasionalis] ... mendirikan sekolah non-pemerintah, baik yang mendasarikan diri pada agama ataupun sekolah umum. ... orang tertarik untuk menjadi guru. ... banyak [kaum] nasionalis... memanfaatkan sekolah untuk mendidik politik rakyat. Masuknya kaum nasionalis ke dunia pendidikan ... menambah vitalitas idealisme mereka. Disini [kaum nasionalis] ... memperkuat basis gerakan. Kaum nasionalis membentuk perguruan rakyat yang ditujukan kepada orang dewasa yang sebelumnya tak pernah masuk sekolah. Perguruan itu ternyata kemudian lebih merupakan sekolah politik (Soerjomihardjo, 1980: 52-65).

Proses penyadaran politik melalui lembaga pendidikan nonpemerintah dapat membangkitkan perlawanan terstruktur. Karena itu pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan secara sistematis terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh elit pribumi. Tekanan itu dapat dilihat dalam Staatblad van Nederlandsch Indie 1893; Gods-

dienstonderwijs Mohammedaansch No. 550, 1905; Ordonansi Guru 1925; dan Ordonansi Sekolah Liar 1932. Pemerintah merasa khawatir bila lembaga pendidikan yang dikelola elit pribumi dapat menyatukan visi politik dan membangkitkan kolektivitas politik anakanak didik, karena dua faktor tersebut merupakan modal dasar yang harus dimiliki bangsa dalam menghadapi hegemoni kolonial. Menarik untuk diamati bahwa tokoh-tokoh muslim yang mengenyam pendidikan Barat adalah priyayi-priyayi terkemuka, yang setelah selesai pendidikan memasuki birokrasi pemerintah atau menempatkan diri sebagai tokoh politik pergerakan kebangsaan. Tokoh muslim yang mengenyam pendidikan Barat dan memiliki pemikiran Islam secara jernih dalam menimbang hubungan tidak seimbang dan tidak harmonis antar pribumi dan bangsa Belanda adalah; RM Tirtoadhisoerjo (1880-1918), Haji Oemar Said [HOS] Tjokroaminoto (1882-1934), dr. Soetomo (1888-1938), dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (1885-1943). Nama-nama tersebut adalah tokoh muslim yang tidak dapat dipisahkan dengan dunia Islam. Ekspresi intelektualitasnya diabdikan untuk membangun opini publik serta membangun kesederajatan, martabat dan harga diri masyarakat (Latif, 2005: 125-143). Kesadaran sebagai tokoh muslim dan menempatkan diri sebagai tokoh politik pergerakan membangkitkan identitas diri, serta menjadi suri tauladan. Dalam pemikiran Sartono Kartodirdjo (Holt, 1972: 113) Islam merupakan identitas politik nasional, dan gerakan politik Islam yang dilancarkan sepanjang abad XIX hingga dasawarsa kedua abad XX ditujukan untuk

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

105 melawan eksistensi pemerintah Hindia Belanda. Lebih lanjut dikemukakan:


Islam was seen not as parking off one segment of society from the rest, but as supplying the political definition of national identity and the focus of resistance toward colonial ruler. The long-established network of rural religious institutions provided a ready-made system of communication for the spread of this new political role for Islamic concepts and traditions. in the two movements next described we shall find a complex blend of political and moral appeals. (Sartono Kartodirdjo dalam Holt, 1972: 113).

Bangkitnya identitas diri merupakan bentuk kesadaran, yang tidak hanya muncul dalam lingkungan sekolah umum, tetapi juga muncul dalam lingkungan sekolah agama. Kesadaran tersebut sangat dibutuhkan pada saat perpolitikan suatu negara didominasi kekuatan asing. Pada sisi lain meluasnya gejala-gejala perubahan yang diisyaratkan oleh kebijakan etis membangkitkan euphoria: (1) wacana baru tentang semboyan-semboyan kemaju-

an, perkembangan, pendidikan, dan kesejahteraan; (2) gugatan-gugatan yang secara politis muncul dari wacanawacana baru yang mereka dipahami; (3) muncul bahasa-bahasa eksploitasi yang diwacanakan oleh tokoh politik pergerakan, khususnya tentang pemerasan dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda; (4) muncul tokoh-tokoh pergerakan yang berusaha menggalang kekuatan massa dan menentang akar-akar penjajahan di Hindia Belanda. Lembaga pendidikan yang dibangun BRMG Malikul Kusno berhasil membangkitkan kesadaran dan memacu solidaritas. Pada dasawarsa kedua abad XX, partai politik lokal tumbuh dan menjadi pusat perpolitikan di Jawa. Struktur interaksi BRMG Malikul Kusno dengan dunia pendidikan dan politik dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Bagan 1: Struktur Interaksi antara BRMG Malikul Kusno, Pendidikan, dan Politik Pergerakan
Struktur Peluang Politik

Sekolah Agama & Sekolah Umum di Kasunanan

Pergerakan Kebangsaan

Pemikiran Politik Pergerakan

BRMG Malikul Kusno Struktur Ekonomi Masyarakat

Pengembangan dari Sumber: Yudi Latif. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, p. 64.

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

106 Bagan di atas melukiskan bahwa BRMG Malikul Kusno merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menorehkan sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada keinginan untuk mengembalikan kekuasaan geo-politik melalui kolaborasi dengan kolonial, tetapi berusaha merekonstruksi batin kemanusiaannya untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi untuk mendirikan sekolah agama dan sekolah umum (Madrasah Mambaul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok-kelompok sosial pinggiran. Pendirian madrasah dan sekolah umum adalah tindakan politis untuk melakukan dekonstruksi politik kolonial, bahkan memacu perkuatan nilai-nilai keislaman yang dapat dijadikan landasan orientasi politik. Dengan demikian rakyat terdorong untuk melakukan gerakan perlawanan, dan konsekuensi dari tindakan itu kesediaan elit keraton ikut serta memasuki organisasi sosial dan partai politik lokal, baik Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, maupun Boedi Oetomo. C. Penutup Kehadiran sekolah agama dan sekolah umum yang didirikan BRMG Malikul Kusno memberi kesempatan kepada anak-anak pribumi yang belum terakomodasi dalam sistem pendidikan kolonial. Besarnya anak-anak yang tertampung dalam lembaga pendidikan tersebut berkorelasi dengan kesadaran mereka terhadap realitas ekonomi, politik dan sosial. Bahkan dalam kesedrajatan martabat yang tidak diliputi bingkai diskriminasi berpengaruh terhadap mobilitas vertikal serta menciptakan solidaritas sosial. Agama Islam dan kebudayaan Jawa yang diajarkan dalam madrasah dan sekolah umum menyadarkan pentingnya berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan universal, sehingga tindakan yang dilakukan dalam konteks politik pergerakan tetap berlandaskan etika dan moral. Faktor terakhir itu yang paling penting dalam hubungannya dengan pendidikan masyarakat yang dilakukan BRMG Malikul Kusno. Daftar Pustaka Adam, A. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan 1855-1913, a.b. Amarzan Loebis & Mien Joebhaar. Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu & KITLV. Adian, D. G. 2008. Benteng Terakhir Intelektual Republik, Kompas, Rabu, 17 September 2008. Adnan, A. B. 1982. Sejarah Singkat Masjid, Kraton Kasunanan, dan Gamelan Sekaten di Surakarta. Surakarta: Mardikuntaka. Anwar, R. 2007. Semua Berawal dengan Keteladanan: Catatan Kritis. Jakarta: Buku Kompas. Baudet, H. & I.J. Brugmans (ed.). 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, a.b. Amir Stuaarga. Jakarta: YOI. Gouda, F. 2007. Dutch Culture Overseas: Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942, a.b. Jugiarie Soegiarto

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

107 & Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Holt, C. (ed.). 1972. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. Ihsan, M. M. 2003. Nilai-Nilai Islam dan Modernitas, Kompas, Rabu, 5 November 2003. Kamdani (ed.). 2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Latif, Y. 2005. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan. Lombard, D. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian I Batas-Batas Pembaratan, a.b. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat & Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Maarif, A. S. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Misrawi, Z. (ed.). 2007. Ibnu Rusyd: Gerbang Pencerahan Timur dan Barat. Jakarta: Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. Moordiati. 2001. Dinamika Pertumbuhan Penduduk di Karesidenan Surakarta, 1880-1930, Lembaran Sejarah, Vol. 4, No. 1. Mrazek, R. 2006. Enginers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, a.b. YOI. Jakarta: YOI. Mujani, S. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nagazumi, A. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 19081918, a.b. Pustaka Utama Grafiti & KITLV. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Robson, S.O. 1981. Java at the Crossroads, Biljdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI), No. 137. Scherer, S. P. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Jawa Awal Abad XX, a.b. Jiman S. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan. Schrieke, J.J. 1918. Atoeran OendangOendang Jang Penting-Penting tentang Pembagian Kekoewasaan Jaitoe Desentralisasi Tahoen 1903 dan tentang Perkampungan Boemi Poetera dan Roekoen-Roekoennya, a.b. A. Salim. Batavia: Landsdrukkerij. Soedarmono, K. & Utomo, R.P. 2004. Sejarah dan Morfologi Kota Konflik Solo: Dari Periode Kolonial-Orde Baru. Penelitian tidak diterbitkan. Surakarta: Solo Heritage Society. Soerjomihardjo, A. 1980. Dialog: Pergerakan Rakyat, Corak dan Tujuan, Prisma, No. 11.

B.R.M.G. Sayidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat

108 Suminto, H. A. 1986. Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES. Suryo, D. 1980. Gerakan Petani, Prisma, No. 11. Sutherland, H. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, a.b. Sunarto. Jakarta: Sinar Harapan. Veur, Paul W. van der. 1969. Education and Social Change in Colonial Indonesia. Athens, Ohio: Center for International Studies, Southeast Asia Program, Ohio University.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1

INDEKS SUBJEK

Estetis 1 Beretika 1 Harmoni 2 Ritme 2 Cipta 4 Auditori 5 Orisinalitas 8 Inkubasi 8 Iluminasi 8 Depresi 13 Preventif 14 Patologi 15 Skema 16 Konstelasi 16 Agresif 17 Santun 25 Tawuran 25 Pekerti 26 Indoktrinasi 26 Sportivitas 28 Bermartabat 28

Genetis 36 Organ 39 Ekologi 49 Retroaktif 51 Epistemologi 51 metakognitif 52 sains 52 konten 53 hipotik 53 gravitasi 55 nonformal 61 informal 61 dualisme 67 profesional 73 kurikulum 73 parametrik 77 peradaban 84 kompetensi 84 remidial 85 paragraf 85 priyayi 9

109

INDEKS PENGARANG

Herwin Yogo Wicaksono 1 Yustinus Sukarmin 13 Ali Maksum 25 Prihastuti 35 Lily Barlia 48 Wawan S. Suherman & Endang Sulistyowati 60 Yosephine Flori Setiarini 71 Nuning Suistiningsih 84 Hermanu Joebagio 96

110

UCAPAN TERIMA KASIH

Redaktur mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

Prof. Dr. Haryadi (Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Suyata, Ph.D. (Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Kumaidi, Ph.D. (Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Sebagai Mitra Bestari yang telah berperan dalam proses penerbitan Jurnal Cakrawala Pendidikan Edisi Februari 2009, Th. XXVIII, No. 1.

111

DIRGAHAYU
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA KE --

45

REDAKSI CAKRAWALA PENDIDIKAN UNY

112

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN CAKRAWALA PENDIDIKAN


Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: Rp ................... x ............ eksemplar, untuk langganan mulai edisi ............... Nomor ........................ Rp ................... x ............ eksemplar, untuk langganan mulai edisi ............... Nomor ........................ Uang tersebut telah saya kirimkan melalui : Bank BNI 1946 Capem Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Gejayan Yogyakarta Rekening Nomor 6840554 5 a.n. Suprapto (Sub. Bag. Umum LPM UNY) Pos Wesel dengan Resi Nomor . Tanggal FORMULIR BERLANGGANAN CAKRAWALA PENDIDIKAN Mohon dicatat sebagai pelanggan CP Nama : Status : Lembaga/Perorangan (coret yang tidak diperlukan) *) Alamat : (Kode Pos *) Harga Langganan Untuk lembaga, Rp 75.000,00/tahun (3 Nomor/Edisi) ditambah **) Untuk Perorangan, Rp 60.000,00/tahun (3 Nomor/Edisi) ditambah **) **) Ongkos Kirim Wilayah Jawa Wilayah luar Jawa Wilayah Irian, Sulawesi, NTT, NTB

: Rp 4.000,00 / eksemplar : Rp 7.000,00 / eksemplar : Rp 9.500,00 / eksemplar

Terhitung mulai Februari 2002, penulis artikel yang artikelnya dimuat mohon kontribusi biaya cetak sbb.: a. untuk dosen UNY : Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) b. untuk dosen luar UNY Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) Kepada para penulis diberikan 1 (satu) eksemplar FORMULIR INI BOLEH DIFOTO COPY .................................................................. (...............................................)

113

Anda mungkin juga menyukai