TB MDR
TB MDR
TB MDR
Disusun oleh: Edo Pramana Putra 1102009093 Pembimbing: dr.Didiet Pratignyo, Sp.PD dr Rizki Drajat Sp.P
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon Periode 13 Mei 2013 - 20 Juli 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
0
JAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terlebih lagi multi drug resistant tuberculosis (TB-MDR) telah menjadi masalah kesehatan yang serius di beberapa negara, termasuk Indonesia.1 Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi mono resisten OAT 10,3%, poli resisten OAT 17,0% dan TB-MDR 2,9%.1 Pada tahun 2009 di dunia diperkirakan terdapat kasus TB-MDR sebanyak 250.000 kasus namun hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi.2 Berdasarkan data WHO, Indonesia berada pada peringkat ke-8 dari 27 negara dengan kasus TB-MDR terbanyak di dunia.3 Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 4 Kasus TB dengan resistensi OAT merupakan kasus yang sulit ditangani, membutuhkan biaya yang lebih besar, efek samping obat yang lebih banyak dengan hasil pengobatan yang kurang memuaskan. TB dengan resistensi OAT ini terutama berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya yang tidak adekuat.5 Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat.3 Data di Indonesia menyatakan pada TB
1
kasus baru didapatkan TB-MDR 2% dan kasus TB yang telah diobati didapatkan 19%.4 Oleh karena itu sangat diperlukan strategi penatalaksanaan yang tepat pada kasus TB dengan resistensi OAT agar tidak berlanjut menjadi extensively drug resistant tuberculosis (TBXDR).5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 5 Mono resisten Poli resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain kombinasi isoniazid dan
isoniazid dan rifampisin Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin). Total Drug Resistance (TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.
XDR TB MDR TB + resisten pada golongan flouroquinolone dan salah satu obat injeksi lini 2 (Amikasin, Kanamisin, Kapreomisin)
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu) pengobatan OAT atau telah bulan. Sedangkan resistensi
sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.7 EPIDEMIOLOGI Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.WHO Report On Tuberculosis Epidemic 1995 menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman
3
yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.4 Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau sekurangkurangnya 10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.8
Gambar 2. Atas: Persentase kasus baru TB-MDR di tahun 2010-2011. Bawah: Persentase TB-MDR dari pasien TB yang telah di tangani di tahun 2010-2011.13
SUSPEK TB-MDR Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah: 9 1. Kasus TB paru kronik. 2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2. 3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin. 4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1. 5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1. 6. TB paru kasus kambuh. 7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2. 8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR. FAKTOR FAKTOR TERJADINYA RESISTENSI Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari
5
pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain: 9 1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK Resisten yang natural Resisten yang didapat Amplifier effect Virulensi kuman Tertular galur kuman MDR
2. FAKTOR KLINIK A. Penyelenggara kesehatan Keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak mengikuti guideline Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH Tidak ada guideline/pedoman Tidak ada / kurangnya pelatihan TB Tidak ada pemantauan pengobatan Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten. Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang Regimen / dosis obat yang tidak tepat
6
C. Pasien Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll Efek samping obat Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada Masalah sosial Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan Amplifier effect Tidak ada program DOTS-PLUS Program DOTS belum berjalan dengan baik Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDSHIV Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar Gangguan penyerapan Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN Kuman M. tuberculosis super strains Sangat virulen Daya tahan hidup lebih tinggi Berhubungan dengan TB-MDR
Lima penyebab terjadinya TB-MDR (SPIGOTS):9 1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama 2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal 4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif 5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksious Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu: 11 1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis. 2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut. 3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya. 4. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja. 5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. 6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan. MEKANISME TERJADINYA RESISTENSI A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
8
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.12, 14 Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.14
Tabel 1. Obat Antitbuberkulosis dan Gen yang terlibat dalam resistensi10
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.12,
14
sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih.12 Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12. C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0 - 5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.12 Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.14 Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.14, 15 D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.14 Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.14 E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal.14 Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen
10
yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal.14 Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%.15 Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.14 DIAGNOSIS TB-MDR Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu: 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB-MDR; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12 Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.12 Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TBMDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.15
11
Metode fenotipik konvensional Metode proporsional Metode rasio resistensi Metode konsenstrasi absolut
Metode genotipik
Rangkaian DNA Teknik hybridisasi fase Agar Teknik real-time Polymerase Chain Reaction (PCR)
Microarrays
TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil DST. Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT disusun berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah digunakan sebelumnya, penyakit yang menyertai dan efek samping yang berhubungan dengan obat. 5
12
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah sebagai berikut:16 Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (crossresistance) Membatasi pengunaan obat yang tidak aman Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan. Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment) yaitu:16
13
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila: 16 Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada : o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda. o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi. o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya. o Terjadi perburukan klinis. Tingkatan Obat Dosis Harian Aktiviti antibakteri Rasio kadar Puncak Serum terhadap MIC
15 mg/kg
20-30 5-7,5
3 4 5
pada
Bakteriostatik
14
6 7
Bakteriostatik Bakteriostatik
2-4 100
Fase-fase Pengobatan TB-MDR I. Fase Pengobatan intensif Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk: Menilai keadaan pasien secara cermat Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan: Tidak ditemukan efek samping Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR b. Fase rawat jalan Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur II. Fase pengobatan lanjutan Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan TATALAKSANA PEMBEDAHAN Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan tindakan operasi.
15
Pembedahan
reseksional
saat
ini
direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu (1) kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang cukup banyak; dan atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya kavitas lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan. Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada meneruskan terapi obatobatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek mungkin saja terjadi.18 PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah: Penilaian klinis termasuk berat badan Penilaian segera bila ada efek samping Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin) Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Konversi dahak Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus
16
dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan). Penyelesaian pengobatan fase intensif Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur Lama pengobatan Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama pengobatan Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV) Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR. Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping. Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturutturut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
17
Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan tidak diketahui
PENCEGAHAN Pencegahan terjadinya resistensi obat WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT. Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan tes kepekaan kuman. Strategi DOTSPlus Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci: 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance) 2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya. 3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT). 4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.
18
PROGNOSIS Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.18 Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi.18
19
Prevalensi kasus TB dengan resistensi OAT terutama TB-MDR terus meningkat. Factor penyebab terbanyak adalah akibat pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB-MDR. Oleh karena itu pada setiap pasien harus dilakukan penilaian resiko kemungkinan terjadinya resistensi OAT. Selanjutnya terapi empiris harus segera diberikan pada pasien dengan resiko tinggi resistensi OAT, terutama pada pasien dengan keadaan penyakit yang berat. Pemilihan regimen OAT yang tepat sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan dan mencegah bertambah banyaknya kasus TB-MDR maupun TBXDR dan TB-TDR. Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dapat membantu keberhasilan terapi. Konsep Direcly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya TB-MDR. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.
20
DAFTAR PUSTAKA 1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(WHO/HTM/TB/2008.402) 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011. 3. Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kinilebih-baik.html 4. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000. 5. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi FK Universitas Sumatra Utara. Available from http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAANTUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-TUBERCULOSIS.pdf 6. Chakroborty A. Drug-resistant tuberculosis: an insurmountable epidemic?
Inflammopharmacol 2011; 19:131-7. Available from http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10787-010-0072-2#page-1 7. Sihombing H. 2011. Pola Resistensi Primer Pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik, Medan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Resipirasi FK Universitas Sumatra Utara. Available from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33363?mode=full&submit_simple=Sho w+full+item+record 8. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Programmatic Management of Drug Resistance Tuberculosis. 2011. 9. Soepandi PZ. 2010. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TBMDR. Departemen Pulmonologi Jakarta. & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS from
Persahabatan,
Available
http://ppti.files.wordpress.com/2010/01/makalah-dr-priyanti-diagnosis-dan-faktor-ygmempengaruhi-tb-mdr.pdf
21
10. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis: A Menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261-272. Available from http://journal.publications.chestnet.org/data/Journals/CHEST/22045/261.pdf 11. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006. 12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006. 13. Global Tuberculosis Report 2012. World Health Organization
(WHO/HTM/TB/2012.6). available from http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ 14. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004. 15. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 16. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from http://www.scribd.com/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB-2011 17. Alfin SK. 2012. Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB); Sebuah Tinjauan Kepustakaan. FK: Universitas Syiah Kuala. Available from
http://alfinzone.files.wordpress.com/2012/05/mdr-tb.pdf
18. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3375/1/08E00731.pdf
22