Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto M.SC

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

SEBAGAI LAWAN DAN SEBAGAI KAWAN










UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada







Oleh:
Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto, M.Sc.
2

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN
SEBAGAI LAWAN DAN SEBAGAI KAWAN







UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada


Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 10 Maret 2009
di Yogyakarta



Oleh:
Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto, M.Sc.
3

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN
SEBAGAI LAWAN DAN SEBAGAI KAWAN
Pendahuluan
Dalam usaha budidaya tanaman selalu menghadapi hambatan
antara lain adalah serangan dari organisme pengganggu tanaman.
Menurut Undang Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman (Anonim, 1992), yang disebut organisme
pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang dapat merusak,
mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
Salah satu organisme pengganggu tumbuhan tersebut adalah bakteri.
Tanaman adalah tumbuhan yang diusahakan untuk kepentingan
manusia.
Bakteri adalah jasad yang terdiri dari satu sel saja dan belum
mempunyai inti sejati. Material genetiknya tersebar bebas di dalam
sitoplasma dan tidak diselimuti oleh suatu membran atau selubung.
Dimensinya berkisar satu sampai dua mikrometer, sebagian besar
bergerak dengan flagela. Karena ukurannya yang sangat kecil maka
morfologi sel menjadi tidak begitu penting dalam pengelompokannya
ke dalam taksa. Sifat-sifat biokimiawi dan sifat fisiologi dijadikan
dasar oleh para ahli dalam pengelompokan bakteri ke dalam takson
pada awalnya. Pada saat sekarang dengan kemajuan bioteknologi,
pengelompokan bakteri ke dalam takson menjadi lebih kompleks.
Nama genus banyak yang berubah karena kemudian diketahui bahwa
suatu bakteri ternyata masuk kedalam genus yang lain, atau sejak awal
memang keliru dimasukkan ke dalam suatu genus.
Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit disebut bakteri
patogen. Bakteri dapat menyebabkan penyakit pada manusia, hewan,
dan juga pada tumbuhan. Bakteri sebagai patogen tumbuhan baru
mendapat pengakuan secara ilmiah setelah terjadi perdebatan untuk
menanggapi munculnya artikel yang ditulis oleh Burril pada tahun
1878 tentang penyakit hawar pada apel dan pir di Illinois dan New
York (Vidaver dan Lambrecht, 2004). Pada waktu itu bakteri
dianggap sebagai jasad saprofitik yang tidak dapat menyebabkan
4
penyakit. Penyakit tersebut terbukti disebabkan oleh bakteri Erwinia
amylovora, yang kini tersebar luas di seluruh dunia dan menyebabkan
kerugian yang besar pada pertanaman apel dan pir. Meskipun penyakit
ini belum pernah dilaporkan di Indonesia pada pertanaman apel,
penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui apakah memang
penyakit tersebut tidak ada atau belum terdeteksi sehingga dapat
diantisipasi dengan menyiapkan upaya pengendaliannya.
Beberapa bakteri patogen tumbuhan hanya dapat menyerang
satu spesies tanaman, bahkan satu varietas tanaman, namun ada juga
yang mampu menyerang lebih dari 200 spesies tanaman dari berbagai
famili yang berbeda. Bakteri patogen yang hanya dapat menyerang
satu tanaman akan mudah dikendalikan dengan rotasi/pergiliran
tanaman. Dengan menanam tanaman lain yang bukan merupakan
tanaman inang bakteri patogen maka bakteri akan mengalami
kematian karena tidak tersedianya nutrisi dalam satu periode
pertanaman. Sebaliknya untuk bakteri patogen yang mempunyai
banyak tanaman inang, pengendalian dengan rotasi tanaman menjadi
tidak efektif.
Bakteri patogen tumbuhan dan inangnya
Kehilangan hasil panen karena serangan bakteri patogen
tumbuhan menduduki peringkat ketiga setelah serangan jamur dan
virus. Nilai kehilangan secara ekonomi dan sosiologi sangatlah besar,
karena di samping kehilangan dalam bentuk uang juga karena
terjadinya malnutrisi (kekurangan gizi), menurunnya produktivitas,
kelaparan, dan kematian. Dilihat dari jenis tanaman yang diserang,
yang merupakan tanaman penghasil pangan, serat, dan papan,
perhatian terhadap bakteri patogen tumbuhan harus lebih ditingkatkan.
Di samping itu, beberapa spesies bakteri patogen tumbuhan bersifat
sangat merusak dan kalau jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggung jawab akan berpotensi sebagai agensia bioterorisme yang
berbahaya. Beberapa tanaman pangan merupakan inang dari penyakit-
penyakit karena bakteri berbahaya. Kentang misalnya, dapat terjangkit
penyakit layu bakteri oleh R. solanacearum, penyakit busuk lunak
oleh Pectobacterium carotovorum subsp. carotovorum, penyakit kaki
hitam oleh Pectobacterium carotovorum subsp. athrosepticum, dan
5
penyakit busuk cincin oleh Corynebacterium sepedonicum. Pada
tanaman padi dilaporkan terdapat 5 spesies bakteri patogen, dan pada
kedelai ada 5, jagung 8, buncis 5, selada 5, bawang merah dan bawang
putih 6, tomat 7. Sampai sekarang bakteri patogen tumbuhan
dilaporkan terdiri atas 29 genus,`111 spesies, 12 subspesies, dan 316
patovar (Young, 2008).
Bakteri patogen tumbuhan menimbulkan kerusakan dengan tipe
gejala serta tingkat kerusakan yang berbeda. Gejala yang ditimbulkan
tergantung pada jenis tanaman, jenis bakteri yang menyerang, serta
faktor lingkungan pada saat terjadinya penyakit. Gejala yang
ditimbulkan tersebut meliputi bercak daun, hawar, layu, kanker, bisul,
kudis, dan busuk. Suatu gejala yang sama mungkin disebabkan oleh
beberapa genus, demikian pula tiap genus bakteri terdiri atas beberapa
spesies yang dapat menimbulkan gejala yang berlainan. Spesies dari
bakteri dalam genus Agrobacterium (sekarang masuk ke dalam genus
Rhizobium) hanya dapat menimbulkan proliferasi atau pertumbuhan
luar biasa pada organ tanaman. Namun gejala proliferasi ini juga dapat
disebabkan oleh Rhodococcus dan Pseudomonas. Genus
Pseudomonas dan Xanthomonas dapat menimbulkan gejala yang
mirip pada tanaman inang.
Di antara jumlah bakteri patogen tumbuhan tersebut di atas, ada
beberapa spesies bakteri patogen tumbuhan yang perlu diperhatikan
terutama di Indonesia. Ralstonia solanacearum merupakan spesies
bakteri yang sangat berbahaya, karena bakteri ini mampu menyerang
lebih dari 200 spesies tumbuhan yang sebagian besar merupakan
tanaman budidaya, seperti tanaman dalam famili Solanaceae (terung,
cabai, tomat, tembakau, kentang), pisang, kacang tanah, bijan, jahe,
murbei, dan berbagai tanaman lainnya (Kelman, 1953).
Kerugian yang ditimbulkan dan pengelolaan bakteri patogen
tumbuhan
Di daerah tropika, penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh
bakteri R. solanacearum dapat menyebabkan kerugian yang cukup
besar, bahkan dapat menggagalkan panen pada beberapa komoditas
tersebut di atas. Pada komoditas kentang dan tomat intensitas penyakit
layu bakteri dapat mencapai 30% di dataran tinggi dan 15% di dataran
rendah. Angka kerugian beberapa tahun terakhir mungkin lebih besar
6
lagi karena penggunaan varietas hibrida baru dan tidak adanya
teknologi pengendalian yang memadai. Kajian epidemiologi, termasuk
di dalamnya kajian tentang kehilangan hasil (crop loss assesment)
perlu dilakukan sehingga dapat memantau kemunculan penyakit
secara periodik.
Tembakau cerutu Sumatera (Tembakau Deli) yang pernah
menjadi salah satu primadona ekspor, sekarang produksinya menurun
tajam karena adanya penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum. Intensitas penyakit mencapai 50% pada tahun 1995.
Penyakit ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1864, namun karena
kemunculannya masih setempat-setempat maka saat itu kurang
diperhatikan. Penyakit kemudian semakin meluas dan menyebabkan
kerugian yang sangat besar sampai saat ini. Salah satu usaha
pengendalian yang dilakukan adalah rotasi tanaman tembakau dengan
tanaman tebu. Harapannya adalah bakteri terputus siklus hidupnya
karena lahan tidak ditanami dengan tanaman inang dan pihak
perusahaan mendapatkan pendapatan tambahan dari gula pasir yang
dihasilkan. Pada tahun 1997 diketahui bahwa risosfer tebu ternyata
memelihara populasi R. solanacearum pada aras tertentu. Dengan
demikian rotasi dengan tebu tidak dapat memutus siklus hidup bakteri
patogen. Meskipun demikian, rotasi dengan tebu tidak dapat begitu
saja digantikan dengan tanaman lain karena akan menyebabkan
tutupnya pabrik gula yang sudah dibangun dan hilangnya pekerjaan
bagi ribuan tenaga kerja.
Penanaman Mimosa invisa setelah tebu dilakukan dengan
maksud agar kesuburan lahan dapat ditingkatkan sehingga tembakau
yang ditanam kemudian akan memberikan hasil yang menggem-
birakan. Penelitian menunjukkan bahwa dari risosfer tanaman tersebut
(M. invisa) berhasil diperoleh bakteri Pseudomonas putida yang dapat
menekan pertumbuhan patogen di laboratorium dan dapat menekan
perkembangan penyakit layu di rumah kaca dan di lapangan
(Arwiyanto dan Hartana, 2001). Pengendalian secara terpadu terhadap
penyakit ini dilakukan dengan penggunaan P. putida pada saat pindah
tanam (pencelupan akar semai), pengolahan tanah yang baik,
penggunaan bibit sehat yang ditanam di lahan yang sehat (karena
hampir seluruh lahan potensial terinfeksi oleh R. solanacearum).

7
Pencelupan akar semai tembakau dalam suspensi bakteri P.
putida memberikan perlindungan terbaik pada tanaman tembakau
terhadap penyakit layu bakteri. Cara ini mudah dilakukan dan
memberikan hasil yang menggembirakan. Namun dalam skala luas
sulit dilaksanakan karena banyaknya populasi tanaman yang harus
dilindungi (tiap tahun PTPN II menanam seluas 2000 ha, dengan
jumlah populasi tanaman 20.000-22.000/ha). Penyelimutan benih
tembakau dengan sel bakteri P. putida dalam matriks organik, yang
ditujukan untuk menyederhanakan aplikasi agensia pengendalian
hayati, ternyata tidak dapat menekan perkembangan penyakit layu
bakteri sebaik pencelupan semai, meskipun populasi bakteri P. putida
dapat bertahan sampai satu bulan sejak penyelimutan (Wuryandari,
2004). Dengan demikian, karena pencelupan akar dalam suspensi
bakteri P. putida merupakan cara terbaik untuk mengendalikan
penyakit layu bakteri, maka pelaksanaan pengendalian dalam skala
luaspun patut dipertimbangkan dengan menghitung analisis rasio
biaya dan pendapatan.
Upaya pengendalian terhadap penyakit layu bakteri pada
tembakau Deli telah dilakukan dengan aplikasi bakteri risosfer yang
mampu menekan perkembangan penyakit di lapangan. Sayangnya
perhatian pemerintah terhadap tembakau cerutu Sumatera dan
penyakitnya sangat rendah, sehingga masalah penyakit ini masih
dijumpai di Sumatera Utara. Upaya pengendalian dengan bakteri
risosfer terhenti ketika proyek penelitian berakhir. Dampak positif
yang terlihat di lapangan tidak direspons oleh Direksi, sehingga ketika
tidak ada dana lagi bagi peneliti maka program pengendalian dengan
bakteri risosferpun tidak dilanjutkan. Saat ini PTPN II cenderung
mengembangkan komoditas perkebunan yang memberikan nilai tinggi
seperti kelapa sawit dan kakao yang tidak serepot menanam tembakau.
Karena tembakau Deli merupakan salah satu komoditas yang telah
mengharumkan nama Indonesia dan pangsa pasar yang masih terbuka
lebar maka perlu dipikirkan lagi upaya pengembangan tembakau Deli,
termasuk di dalamnya pengelolaan penyakit layu bakteri yang
disebabkan oleh R. solanacearum. Teknologi pengendalian penyakit
yang ramah lingkungan telah tersedia, tinggal bagaimana para
pemangku kepentingan pertembakauan Deli memanfaatkan teknologi
tersebut dalam proses produksi. Lebih dari itu, dengan tetap
8
memproduksi tembakau Deli yang padat karya, jelas merupakan
bagian kontribusi sektor pertanian terhadap Pemerintah melalui
penyerapan puluhan ribu tenaga kerja.
Penyakit lincat telah lama merepotkan petani tembakau di
Temanggung karena menyebabkan tanaman menjadi layu dan tidak
bisa dipetik daunnya dalam jumlah yang cukup. Penyakit lincat
kemudian terbukti disebabkan oleh R. solanacearum yang
bekerjasama dengan nematoda Meloidogyne incognita Penelitian
pengendalian terhadap penyakit lincat berhasil mendapatkan bakteri
risosfer yang mampu menekan perkembangan penyakit di lapangan,
yaitu bakteri pseudomonas fluoresen (Arwiyanto et al., 2007),
Meskipun belum dapat mengendalikan secara optimal, penggunaan
ketiga mikroorganisme tersebut di atas dapat mengurangi terjadinya
penyakit lincat pada tembakau. Dari sisi pengembangan teknologi
pengendalian, perlu dilakukan kajian komprehensif tentang
pengendalian secara terpadu dengan menggabungkan berbagai teknik
yang sudah ada. Sayangnya perhatian pemerintah tentang komoditas
tembakau saat ini sangat rendah sehingga sulit bagi peneliti untuk
mengembangkan ide-idenya dalam pengembangan teknologi
pengelolaan penyakit pada komoditas tersebut.
Penyakit layu bakteri pada tomat, terung, dan cabai yang
disebabkan oleh R. solanacearum juga menurunkan hasil panen yang
cukup besar. Komoditas-komoditas tersebut merupakan cash-crop
bagi petani, sehingga kehilangan hasil meskipun sedikit akan
menggoyahkan ketahanan pangan mereka. Dengan semakin
banyaknya varietas tomat dan terung hibrida yang beredar di
Indonesia, akan semakin besar tekanan biologi terhadap bakteri
patogen sehingga akan terjadi perubahan genetik bakteri yang
kemudian memunculkan strain-strain baru yang lebih ganas (virulen)
dan dapat menghancurkan pertanaman. Untuk mengantisipasi kejadian
tersebut perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu. Penanaman
varietas unggul hibrida dapat dilakukan dengan teknik penyambungan
(grafting), dengan batang bawah Solanum torvum (leunca) dan batang
atas varietas hibrida. Penyambungan ini dapat menekan munculnya
penyakit layu sampai 60%. Cara ini sangat mudah dilakukan, murah,
dan tidak mencemari lingkungan, meskipun agak repot pada saat
penyambungan. Di J epang, cara ini sudah lama dilakukan dengan
9
menggunakan batang bawah tanaman yang tahan terhadap R.
solanacearum namun produksinya rendah. Batang atas menggunakan
varietas unggul berproduksi tinggi namun rentan terhadap penyakit
layu bakteri. Di negara tersebut bahkan telah diciptakan robot untuk
tugas penyambungan. Sebagai lembaga yang memiliki otoritas
penelitian sayuran tingkat dunia, AVRDC (Asian Vegetable Research
and Development Center) juga memberikan rekomendasi penggunaan
teknik penyambungan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan
penyakit tersebut. Sayangnya, Balai Penelitian Tanaman Sayuran di
Lembang belum pernah melakukan penelitian serupa. Mengingat
sederhananya teknik pengendalian dengan penyambungan dan
efektifnya dalam pengendalian penyakit layu bakteri, perlu dilakukan
inventarisasi jenis-jenis tanaman lokal yang tahan yang nanti dapat
digunakan sebagai batang bawah.
Untuk memaksimalkan pengendalian penyakit layu bakteri,
telah diperoleh strain avirulen bakteriosinogenik bakteri R.
solanacearum (bakteri yang mampu memproduksi bakteriosin, suatu
senyawa yang bersifat letal terhadap strain lain dalam satu spesies)
yang mampu menekan bakteri patogen di laboratorium dan mampu
menekan penyakit di rumah kaca. Bakteri avirulen tersebut ternyata
juga dapat mengimbas ketahanan tanaman tomat untuk memproduksi
senyawa kimia yang bersifat toksik terhadap R. solanacearum, seperti
tomatin dan asam klorogenat. Ketika strain avirulen yang
berkemampuan ganda ini (menekan patogen secara langsung dan
mengimbas ketahanan tanaman inang) digabungkan dengan P. putida,
penyakit layu bakteri pada terung dan cabai dapat ditekan sampai 50%
(Nurcahyanti, 2008). Aplikasi kombinasi antara teknik penyambungan
dengan bakteri antagonis diharapkan dapat lebih meminimalkan
munculnya penyakit layu bakteri.
Bakteri Xanthomonas dan yang lainnya
Bakteri Xanthomonas campestris (X.c.) selalu ditemukan
berasosiasi dengan tanaman, artinya selalu ditemukan berada pada
atau di dalam jaringan tanaman. Bakteri ini terdiri atas 76 patovar
yang artinya terdiri atas 76 kelompok bakteri dengan preferensi
tanaman inang yang berbeda. Banyak anggota dari kelompok bakteri
10
ini menyebabkan kerusakan pada tanaman budidaya, namun hanya
ada dua yang perlu mendapat perhatian di Indoneisa. Penyakit busuk
hitam pada kubis-kubisan (X. c. pv. campestris) menimbulkan
kerugian yang tidak sedikit sehingga benih kobis disyaratkan lolos uji
untuk disebar ke petani dengan nol bakteri atau tanpa infeksi bakteri.
Bawang merah merupakan komoditas andalan di beberapa daerah di
Indonesia. Pada komoditas ini belum pernah dilaporkan adanya
bakteri X.c. pv. allii penyebab penyakit hawar daun sehingga perlu
dilakukan penelitian awal di berbagai sentra produksi bawang merah
di Indonesia.
Kelompok bakteri Xanthomonas lain adalah X. axonopodis
yang juga terdiri atas banyak patovar yaitu 44 patovar. Banyak
anggota X. campestris yang kemudian diganti namanya menjadi X.
axonopodis, meskipun ada juga yang merupakan sinonim dari X.
campestris (nama kedua-duanya masih berlaku dan bisa digunakan).
Sebagai contoh X.c. pv. allii sering juga ditulis sebagai X.a. pv. allii.
Pada kelompok ini ada beberapa spesies yang merusak tanaman
budidaya di Indonesia seperti X.a. pv. glycinea (bisul pada kedelai),
X.a. pv. phaseoli (hawar daun kedelai dan buncis), X.a. pv.
dieffenbachiae (hawar daun pada tanaman hias Dieffenbachia dan
anggota familia Aracaceae yang lain seperti Aglaonema, Anthurium,
dll), X.a. pv. malvacearum (hawar daun dan hawar buah kapas), X.a.
pv. manihotis (hawar daun ketela pohon).
X.a. pv. citri merupakan bakteri patogen tumbuhan yang
menyebabkan penyakit kanker pada jeruk. Kanker terjadi pada batang
jeruk, namun bakteri juga dapat menginfeksi buah dan daun,
menyebabkan kenampakan bisul pada kedua bagian tanaman tersebut.
Penelitian tentang bakteri X.a. pv. citri di Indonesia menjadi kurang
diperhatikan karena adanya penyakit lain yang lebih penting, yaitu
CVPD (Citrus Vein Pholem Degeneration) yang disebabkan oleh
bakteri Liberibacter asiaticus. Kurangnya perhatian terhadap penyakit
kanker pada jeruk sangat berisiko karena penyakit tersebut dapat
menyebabkan hancurnya produksi jeruk seperti yang pernah dialami
Amerika Serikat pada tahun 1910. Upaya memusnahkan penyakit
tersebut memerlukan waktu 40 tahun (1910-1949) dan pada tahun


11
1984 muncul lagi di Florida. Pada tahun 1985 dilakukan eradikasi
besar-besaran yang memerlukan dana sebesar US$ 17 juta. Nilai yang
sangat besar pada waktu itu (Agrios, 2005).
Xanthomonas oryzae menyebabkan penyakit hawar daun bakteri
pada padi. Hawar daun bakteri (HDB) merupakan penyakit bakteri
yang tersebar luas dan menurunkan hasil sampai 36%. Pada stadia
bibit, penyakit menyebabkan kelayuan total, semua daun menjadi
berwarna kuning dan mengering. Ketika dilakukan pengamatan
dengan berjalan di antara tanaman sakit terdengar suara kresek-
kresek sehingga Reitsman & Schure pada tahun 1950
mempopulerkan nama penyakitnya dengan nama penyakit kresek dan
bakteri penyebabnya namanya diusulkan sebagai Xanthomonas
kresek. Setelah mengalami pergantian nama berkali-kali, kemudian
bakteri diberi nama X. oryzae. Bakteri ini terdiri atas banyak strain
dengan tingkat virulensi yang berbeda-beda, sehingga
pengendaliannya memerlukan identifikasi yang tepat terhadap strain
setempat. Dengan demikian metode pengendalian X. oryzae
antardaerah berbeda-beda.
Penyakit busuk basah meyebabkan kerugian yang tidak sedikit
terutama pada tanaman dan hasil tanaman yang mengandung banyak
air seperti sayuran (wortel, kentang, kubis-kubisan) dan tanaman hias.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pectobacterium carotovorum
subsp. carotovorum. Penanganan pascapanen yang tidak benar
menyebabkan luka pada komoditas sayuran yang memudahkan bakteri
menginfeksi ke dalam jaringan tanaman, meskipun penyakit
pascapanen dapat terjadi sebelum panen. Bakteri P. carotovorum
subsp. carotovorum (sinonim dari Erwinia carotovora subsp.
carotovora) termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae seperti
halnya bakteri penyebab penyakit pada manusia seperti Salmonella,
Yersinia, Shigella, dan Escherichia spp. Produk pertanian yang
terinfeksi dan terkontaminasi P.c. subsp. carotovorum perlu
diperlakukan secara khusus untuk menghilangkan atau meminimalkan
bakteri sehingga tidak berbahaya bagi manusia ketika dikonsumsi.

12
Bakteri inti es yang merugikan
Setiap tahun pada musim kemarau yang kering pada pagi hari
terjadi fenomena alam di beberapa dataran tinggi di Indonesia berupa
lapisan es di permukaan tanaman. Keadaan ini terjadi karena embun
atau sejumlah kecil volume air yang ada di permukaan tanaman atau
di permukaan tanah mengalami pembekuan. Lapisan tipis es yang
terjadi kemudian sedikit demi sedikit mencair ketika matahari bersinar
pada pagi hari. Pada tahun 1994 pertanaman kentang di Dieng seluas
lebih dari 35 ha mengalami kerusakan yang dahsyat karena
permukaan tanamannya diselimuti oleh salju yang disebut dengan
embun beku atau embun upas (frost). Hampir setiap tahun embun upas
merusak tanaman kentang dengan kerugian mencapai ratusan juta
rupiah. Selain di Dieng, embun upas dilaporkan terjadi di kebun-
kebun teh Patuha dan Pangalengan pada ketinggian 1500-2300 m dpl.
(Semangun, 1979). Bahkan pada ketinggian 1300 m embun upas juga
terjadi di kebun teh Gambung pada tahun 1994 (Semangun, 1996).
Meskipun belum ada laporan resmi, namun di perkebunan teh
PT Pagilaran diduga pernah muncul embun upas, dan juga di dataran
tinggi Batu di Malang, demikian pula di dataran tinggi di pulau
Lombok, dataran tinggi Berastagi dan juga di puncak J ayawijaya,
Irian J aya. Masalah utama yang timbul akibat adanya embun upas
adalah kerusakan daun karena terjadinya freezing and thawing dari
lapisan tipis es pada permukaan daun. Es yang terjadi bahkan bisa
mencapai ruang antar sel, sehingga ketika es mencair sel-sel tanaman
rusak dan mati. Kematian sel-sel tanaman terjadi secara langsung
sebagai akibat kerusakan fisik atau tidak langsung karena kemudian
diikuti oleh masuknya patogen tanaman berupa jamur dan bakteri.
Pada tahun 1996 dilaporkan bahwa katalisator terbentuknya
embun upas/lapisan tipis es di permukaan tanaman kentang di Dieng
adalah bakteri Erwinia ananas. Bakteri ini disebut sebagai bakteri inti
es. Adanya bakteri tersebut menyebabkan terjadinya lapisan tipis es
pada permukaan tanaman pada suhu yang relatif hangat, yaitu -2
o
C
sampai -4
o
C. Pada kondisi di mana tidak ada bakteri tersebut maka
lapisan tipis es hanya terjadi pada suhu -6
o
C (Lindow, 1983).


13
Dataran tinggi terutama dimanfaatkan untuk agribisnis tanaman
hortikultura yang bernilai tinggi seperti kentang, tomat, paprika dan
berbagai jenis sayuran lainnya. Komoditas bernilai tinggi ini perlu
dilindungi dari kerusakan karena embun upas dengan langkah-langkah
yang konkrit. Di J epang, embun upas dilaporkan terjadi pada teh,
brokoli, murbei dan kubis (Goto et al., 1989). Sedangkan di Amerika
Serikat kerusakan karena embun upas dilaporkan terjadi pada jagung
(Lindow et al., 1978); jeruk, tomat, gandum dan beberapa tanaman
keras (Lindow, 1983). Beberapa spesies bakteri dilaporkan dapat
bertindak sebagai inti es yaitu P. s. pv. syringae, P. viridiflava,
P. fluorescens, X. c. pv. transluscens, E. herbicola (Lindow, 1983);
dan E. ananas (Goto et al., 1989).
Karena katalis terbentuknya es di permukaan tanaman adalah
bakteri, pengelolaan embun upas di negara maju dilakukan dengan
menggunakan antibiotik. Namun cara ini tidak bersifat langgeng
karena kemudian muncul strain-strain bakteri yang kebal terhadap
antibiotik. Di samping itu antibiotik juga dapat mematikan mikroor-
ganisme yang berguna sehingga pemakaiannya dalam jangka panjang
tidak efektif dan tidak dikehendaki. Di Amerika Serikat, embun upas
dikendalikan dengan pemanfaatan mikroorganisme antagonis yang
dapat menekan bakteri inti es (Arny and Lindow, 1977).
Bakteri patogen tumbuhan menyebabkan keracunan hewan
ternak
Rumput pakan ternak juga dapat terinfeksi bakteri patogen
tumbuhan. Pada ternak di Australia Selatan dijumpai adanya penyakit
yang disebut Annual ryegrass toxicity (ARGT). Hewan ternak dapat
terinfeksi penyakit ini apabila memakan annual (Wimmera) ryegrass
yang terinfeksi oleh nematoda Anguina sp. dan bakteri Clavibacter
toxicus. Interaksi antara bakteri dengan tanaman mengakibatkan
bakteri memproduksi racun yang sangat mematikan sehingga
menyebabkan ATRG pada ternak yang merumput (grazing animal)
(McKay and Ophel, 1993). Sudah lama diketahui bahwa tanaman
yang bergejala penyakit tidak disukai oleh hewan pemamah biak
(Triharso, 1975), sehingga kesehatan tanaman tidak hanya berdampak
negatif terhadap ketersediaan pangan bagi manusia, tetapi juga
14
berdampak negatif terhadap ketersediaan pakan bagi hewan ternak.
Banyaknya penyakit bakteri pada tanaman tertentu (padi, jagung,
kacang tanah, tebu) memerlukan perhatian tersendiri sebab hijauan,
jerami, bebijian, dan hasil samping industri pertanian dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Terlebih lagi untuk
tanaman pakan (forage crop) yang ditanam secara khusus untuk
memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak, diperlukan pengelolaan
kesehatan tanaman agar terhindar dari penyakit karena bakteri atau
penyebab-penyebab penyakit lainnya.
Pencegahan penyakit
Mencegah lebih baik daripada mengobati demikian motto
pengelolaan kesehatan tanaman. Pencegahan terhadap timbulnya
penyakit di lapangan merupakan cara yang terbaik. Salah satunya
adalah dengan melakukan deteksi dini keberadaan bakteri patogen di
dalam jaringan tanaman seperti umbi, benih, dan stek yang akan
digunakan sebagai bahan propagasi tanaman; dan juga keberadaannya
di dalam tanah.
Dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), peneliti dapat
mendesain primer spesifik yang dapat digunakan untuk mendeteksi
patogen dan diagnosis penyakit tumbuhan. Protokol deteksi khususnya
digunakan terhadap bakteri-bakteri yang strategi utama pengelolannya
adalah penghindaran (avoidance). Ada bakteri patogen, karena
berbahaya maka benih atau bagian tanaman harus zero tolerance
(penyakit busuk cincin pada kentang); ada juga yang desired zero
tolerance (penyakit bercak, speck dan canker pada tomat). Apabila
pada satu biji dalam 10.000 biji tomat atau buncis ditemukan bakteri
patogen maka sudah dapat menghancurkan pertanaman dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar (Giatitis et al., 1991).
Dinamika populasi bakteri patogen atau bakteri agensia pengendalian
hayati dapat dideteksi dengan akurat melalui teknik-teknik PCR
dengan primer khusus. Meskipun demikan teknologi PCR belum
dapat mendeteksi bakteri yang termasuk dalam golongan hidup
namun tidak dapat dibiakkan (viable but non-culturable) (Louws, et
al., 1999).

15
Salah satu upaya pencegahan adalah dengan menggunakan bibit
sehat yang dapat dideteksi keberadaan patogen di dalam bibit tersebut
dengan teknologi real time PCR. Teknologi ini telah dipatenkan di
Amerika Sertikat untuk mendeteksi R. solanacearum di dalam bibit
kentang (Anonim, 2007a). Di samping itu, deteksi terhadap adanya
bakteri di dalam tanah di lapangan akan memudahkan petani
menerapkan teknologi penanaman yang lebih baik yang dapat
meminimalkan munculnya penyakit.
Bakteri patogen tumbuhan yang memberikan keuntungan kepada
manusia
Selain merusak tanaman, bakteri patogen dapat dimanfaatkan
dalam dunia industri sebagai salah satu produsen bahan kimia industri
yang bernilai ekonomi tinggi. Bakteri Xanthomonas campestris
mampu memproduksi polisakarida yang didistribusikan di sekeliling
selnya yang disebut xanthan gum. Bahan ini banyak digunakan dalam
berbagai industri seperti industri perminyakan/pengeboran minyak
(oil-well drilling muds, tertiary recovery of petroleum from spent
wells), industri keramik (sentuhan akhir berupa penghalusan
permukaan keramik sehingga menjadi licin dan mulus), bahan
pengental pada industri makanan (semacam jeli pada makanan anak-
anak), anti-tetes pada industri cat, dan bahan baku pasta gigi meskipun
saat ini sudah banyak digantikan oleh karaginan dari rumput laut.
Pada tahun 1980-an kebutuhan xanthan gum sebesar puluhan ribu
metrik ton dan produksi dunia tahunan dilaporkan mencapai 30.000
ton dengan nilai US$408 juta pada tahun 2000-an (Kalogiannis et al.,
2003 cit. Silvaa et al., 2009). Produksi xanthan gum yang memerlukan
jutaan liter kultur Xanthomonas dalam fermentor tersebut memerlukan
kehati-hatian yang tinggi dalam hal pembuangan bakteri produsennya.
Bakteri Agrobacterium (sekarang diganti namanya menjadi
Rhizobium) dapat memproduksi curdlan yang merupakan polisakarida
bernilai ekonomi yang tinggi. Curdlan banyak digunakan dalam
industri makanan sebagai noncaloric gelling, binding, pengental dan
stabilisator. Curdlan juga dapat dibuat film dan serat untuk penapisan
molekuler (moleculair sieves) dan untuk imobilisasi enzim (Starr,
1984). Salah satu spesies dari genus bakteri ini adalah A. tumefaciens
16
atau R. tumefaciens penyebab tumor, sudah sejak lama dimanfaatkan
dalam rekayasa genetika karena bakteri tersebut mengandung plasmid
Ti yang dapat membawa gen asing ke dalam tanaman.
Beberapa spesies Xanthomonas memproduksi enzim
endonuklease restriksi yang banyak digunakan dalam bidang
bioteknologi. Bakteri Erwinia (Pectobacterium) yang menyebabkan
busuk basah pada berbagai sayuran ternyata juga dapat memproduksi
L-asparagin yang sangat bermanfaat sebagai bahan antileukemia
(Kang et al., 1982 cit. Starr, 1984). R. solanacearum yang merupakan
bakteri patogen tumbuhan yang sangat berbahaya juga dapat
memproduksi berbagai enzim dan polisakarida yang berguna seperti
IAA (Indole Acetic Acid), selulase, pektin-metilesterase, dan
poligalakturonase (Buddenhagen dan Kelman, 1964).
Bakteri inti es dan manfaatnya
Bakteri yang dapat bertindak sebagai inti es dan karenanya
menyebabkan kerusakan sel tanaman, juga sangat berpotensi untuk
dikembangkan dalam berbagai industri berbasis mikrobia dan produk
metabolitnya. Dalam bidang bioteknologi, bakteri inti es dapat
diekstraksi gen INAZ nya yang kemudian dapat dimanfaatkan
sebagai gen pelapor yang murah dan akurat. Gen pelapor yang
banyak digunakan dalam bidang biologi molekuler mengkode enzim
yang aktivitasnya dapat dideteksi dengan mudah dan dikuantifikasi,
biasanya dengan menggunakan substrat kromogenik, fluorogenik,
radioaktif atau imunologi. Gen-gen tersebut disebut sebagai pelapor
konvensional yaitu lacZ, phoA, cat, vidA (gusA), xylE, dan lux yang
masing-masing mengkode -galaktosidase; alkalin fosfatase,
kloramfenikol asetiltransferase, -glukuronidase, katekol 2,3-
oksigenase, dan lusiferase (Ponopoulos, 1995).
Pelapor INA (Ice Nucleation Activity) berbeda dengan pelapor
konvensional secara mendasar karena sinyal terdeteksi bukan karena
katalisis enzimatik namun merupakan fenomena fisik (transisi air dari
cair ke padat). Dengan demikian tidak diperlukan bahan kimia yang
mahal yang masih sangat tergantung dari luar negri. Ketergantungan
gen sejenis dan enzim dari luar negri untuk penelitian-penelitian
bioteknologi dapat diminimalkan. Penghematan dalam bentuk dana
17
dan munculnya kepercayaan diri di bidang ilmu pengetahuan akan
menempatkan Indonesia ke tingkatan yang lebih tinggi mendekati
negara-negara maju.
Bakteri inti es dapat dikembangkan pula sebagai agensia cloud-
seeding untuk modifikasi cuaca. Hujan buatan selama ini dilakukan
dengan menggunakan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan
seperti NaCl, AgI, dsb. Dengan menggunakan bakteri inti es
pencemaran lingkungan tidak akan terjadi, karena bakteri tersebut
berasal dari permukaan tanah dan tidak bersifat patogenik. Bakteri inti
es dapat pula dikembangkan menjadi agensia pembentuk salju buatan
yang sangat bermanfaat dalam pembuatan arena ski di dataran tinggi,
atau pembuatan arena ice-skating secara tertutup yang kadang-kadang
muncul di beberapa kota besar di Indonesia.
Pembuatan salju buatan dengan cara konvensional memerlukan
energi yang sangat besar sehingga menjadi sangat mahal. Bakteri inti
es yang dapat mengkatalisir pembentukan es pada suhu yang relatif
hangat akan banyak menghemat energi sehingga pembuatan es
tersebut menjadi murah. Di samping itu kebutuhan es batu setiap hari
baik untuk memenuhi kebutuhan nelayan, penyimpanan suhu dingin,
maupun untuk memenuhi kebutuhan pedagang es sangatlah besar.
Penggunaan bakteri inti es dalam pembuatan es batu untuk keperluan
tersebut dapat menghemat energi yang sangat besar pula.
Tanah tropika memiliki keanekaragaman hayati mikro yang
lebih banyak jumlah maupun variasinya dibandingkan dengan tanah-
tanah di daerah beriklim sedang. Di samping itu mikroorganisme yang
berasosiasi dengan tanaman, baik sebagai patogen maupun yang
bersifat menguntungkan, telah banyak didokumentasikan. Keberadaan
mikroorganisme yang melimpah dengan aneka manfaat yang bisa
dipetik sangat perlu di-eksplorasi untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan ataupun untuk tujuan kesejahteraan manusia. Dataran
tinggi Dieng, Pangalengan, Gambung, Pagilaran, Batu, Berastagi
bahkan puncak J ayawijaya menyimpan bakteri inti es dalam jumlah
yang besar.

18
Penutup
Bakteri patogen tumbuhan perlu dikelola dengan benar, baik
ketika berada di luar tanaman sebelum menyerang tanaman, ketika
terjadi penyakit pada tanaman, dan ketika bakteri patogen tersebut
berada di laboratorium dalam bentuk koleksi kultur. Kerugian yang
ditimbulkan oleh penyakit karena bakteri dapat menurunkan kualitas
dan kuantitas produksi tanaman sehingga akan mengganggu
ketahanan dan keamanan pangan. Bakteri patogen tumbuhan perlu
dikelola sehingga tidak merusak tanaman dan di lain pihak bakteri
patogen tumbuhan perlu dikelola dan dimaksimalkan potensinya
untuk menyediakan bahan baku industri makanan serta industri lain
yang berbasis mikroba.
Munculnya penyakit pascapanen menyebabkan bahan baku
olahan produksi makanan, obat tradisional, dan kosmetika menjadi
turun kualitasnya dan memerlukan penanganan khusus agar tidak
meluas selama dalam penyimpanan. Saya menganjurkan mahasiswa
Program Studi Farmasi, Biologi, dan Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian mengambil Mata Kuliah Pengelolaan Penyakit Pascapanen
yang ada di J urusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Demikian
pula sudah saatnya mahasiswa di Program Studi Ilmu dan Industri
Peternakan mengambil mata kuliah Pengelolaan Hama dan Penyakit
Tanaman Pertanian agar dapat menghasilkan hijauan pakan ternak dan
bebijian yang sehat, tidak terkontaminasi oleh bakteri dan penyebab
penyakit lainnya.
Penelitian interdisipliner untuk mengelola bakteri patogen
tumbuhan sudah saatnya dilakukan. Pengelolaan bakteri patogen
tumbuhan di lapangan memerlukan penelitian interdisipliner antara
ilmu penyakit tumbuhan, agronomi, ilmu tanah, pemuliaan tanaman,
mikrobiologi, dan juga entomologi. Sedangkan untuk pengelolaan
bakteri patogen untuk industri diperlukan tidak hanya disiplin ilmu
yang berbeda tetapi juga kehati-hatian yang tinggi. Produk fermentasi
berupa metabolit seperti xanthan gum, curdlan, antibiotik, dll. harus
dipisahkan dari bakteri penghasilnya. Pembuangan bakteri ke
lingkungan sekitar sangatlah berbahaya karena bakteri tersebut
bersifat patogenik terhadap tumbuhan. Penelitian tentang bakteri inti
es memerlukan kerjasama antara ahli ilmu penyakit tumbuhan dengan
ahli fisika, meteorologi, biokimia, mikrobiologi, dan teknik kimia
19
untuk fermentasinya dalam jumlah besar. Demikian pula tentang
xanthan gum pada bakteri Xanthomonas, pengelolaan secara terpadu
dalam industri berbasis mikroba memerlukan kerjasama antar-bidang.


20
PUSTAKA

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Elsevier Academic Press. Amsterdam.
922 hal.
Anonim, 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman. J akarta. 30p.
Anonim. 2007a. Real-time PCR primers and probes for identification of race
3, biovar 2 in potato and other plants. US Patent 7262010. US Patent
Issued on August 28, 2007.
Arny, D.C. and Lindow, S.E. 1977. Method for reducing frost damage of
plants. USA Patents No. 4,045,910
Arwiyanto, T. dan I. Hartana. 2001. Percobaan lapangan pengendalian hayati
penyakit layu bakteri tembakau (Ralstonia solanacearum).
Mediagama 3:7-14.
Arwiyanto, T., F. Yuniarsih, T. Martoredjo dan G. Dalmadiyo. 2007.
Direct Selection of Fluorescent Pseudomonad in the Field for
Biological Control of Lincat Disease of Tobacco. Journal of Tropical
Plant Pest and Diseases 7 (1) : 1411-7525.
Buddenhagen, I.W. and A. Kelman. 1964. Biological and physiological
aspects of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Ann.
Rev. Phytopathol. 2: 203-230
Giatitis, R.D., R.W. Beaver R.W. and A.E. Voloudakis. 1991. Detection of
Clavibacter michiganensis subsp. michiganensis in symptomless
tomato transplants. Plant Dis. 75: 834-838
Goto, M.; T. Goto and T. Inaba. 1989. Identification of Ice Nucleation-
Active Bacteria Isolated from Frost Damaged Vegetable Leaves. Ann.
Phytopath. Soc. Japan 55: 330-335
Kelman, A. 1953. The Bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum,
a literature review and bibliography. Tech. Bul. N. Carolina Agr. Exp.
Sta. 99 : 1-194
Lindow, S.E. 1983. The role of bacterial ice nucleation in frost injury to
plants. Annu. Rev. Phytopathol. 21:363-384
Lindow, S.E., D.C. Arny, and C.D. Upper. 1978. Erwinia herbicola: A
Bacterial ice nucleus active in increasing frost injury to corn.
Phytopathology 68:523-527
Louws, F.J ., J .L.W. Rademaker, and F.J . de Bruijn. 1999. The Three Ds of
PCR-Based Genomic Analysis of Phytobacteria: Diversity, Detection,
and Disease Diagnosis. Annu. Rev. Phytopathol. 37: 81-125


21
McKay, A.C. and K.M. Ophel. 1993. Toxigenic Clavibacter/Anguina
Associations Infecting Grass Seedheads. Ann. Rev. Phytopathol. 31:
151-167
Nurcahyanti, S.D. 2008. Pengendalian hayati penyakit layu bakteri
(Ralstonia solanacearum) pada Solanaceae dengan strain avirulen dan
Pseudomonas putida strain Pf-20. Thesis. Tidak dipublikasikan.
Panopoulos, N.J . 1995. Ice Nucleation Genes as Reporters. In: Biological Ice
Nucleation and Its Applications. (Lee J r., R.E.; Warren, G.J . and
Gusta, L.V., eds.). APS Press. St Paul. pp. 271-282
Semangun, H. 1979. Penyakit Tumbuhan Hubungannya dengan Iklim dan
Cuaca. Simposium Meteorologi Pertanian, Bogor, 5-8 Maret 1979.
Tidak dipublikasikan.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 754 hal.
Silvaa, M.F., R.C.G. Fornaria, M. A. Mazuttib, D. de Oliveiraa, F. F.
Padilhac, A. J . Cichoskia, R. L. Cansiana, M. D. Luccioa and H.
Treichel. 2009. Production and characterization of xantham gum by
Xanthomonas campestris using cheese whey as sole carbon source.
Journal of Food Engineering 90: 119-123
Star, M.P. 1984. Landmarks in the development of phytobacteriology. Ann.
Rev. Phytopathol. 22:169-188
Triharso. 1975. Penelitian Penyakit Virus pada Kacang Tanah. Disertasi.
UGM. 157 hal.
Vidaver, A.K. and P.A. Lambrecht 2004. Bacteria as plant pathogens.
http://www.apsnet.org/education/IntroPlantPath/PathogenGroups/bact
eria/ diakses tgl 23 Oktober 2008 jam 15.03
Wuryandari, Y. 2004. Formulasi pil-benih tembakau dengan Pseudomonas
putida strain Pf-20 untuk pengendalian biologi penyakit layu bakteri
(Ralstonia solanacearum). Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Young, J .M. 2008. An overview of bacterial nomenclature with special
reference to plant pathogens. Syst. and Appl. Microbiol. 31: 405 424.

Anda mungkin juga menyukai