0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1K tayangan35 halaman

Orofacial Pain (Ceklis)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orofacial pain mencakup sejumlah masalah klinis yang melibatkan otot pengunyahan
atau sendi temporomandibular. Masalah yang diperoleh dapat mencakup ketidak
nyamanan pada sendi temporomandibular, kejang otot di leher, kepala dan rahang,
migrain,cluster atau sering sakit kepala, atau sakit dengan wajah, gigi atau rahang. Bagian
orofasial penting untuk dipelajari oleh mahasiswa kedokteran gigi karena merupakan hal
yang harus dikuasai oleh para dokter gigi nantinya. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai definisi, etiologi, patogenesis, faktor pedisposisi dan penatalaksanaan orofacial
pain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud orofacial pain?
2. Apakah etiologi dari orofacial pain?
3. Bagaimana proses patogenesis terjadinya orofacial pain?
4. Apakah faktor predisposisi dari orofacial pain?
5. Bagaimana penatalaksanaan orofacial pain?
6. Apa yang dimaksud Trigeminal Neuralgia
7. Apa yang dimaksud Glossopharyngeal pain
8. Apa yang dimaksud Bells Palsy
9. Apa yang dimaksud TMJ Disorders
10. Apa yang dimaksud postherpetic Neuralgia
11. Apa yang dimaksud Psycogenic Pain

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari orofacial pain
2. Menetahui etiologi dari orofacial pain
3. Mengetahui proses patogenesis terjadinya orofacial pain
4. Mengetahui faktor predisposisi dari orofacial pain
5. Mengetahui penatalaksanaan orofacial pain
6. Mengetahui apa itu trigeminal neuralgia
7. Mengetahui apa itu glossopharyngeal pain
8. Mengetahui apa itu bells palsy
9. Mengetahui apa itu tmj disorders
10. Mengetahui apa itu postherpetic neuralgia
11. Mengetahui apa itu psycogenic pain
1

1.4 Manfaat
Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak bagi pembaca maupun penyusun, khususnya pada mahasiswa/i FKG UPDM(B) untuk
menambah pengetahuan dan wawasan terutama pada Orofacial Pain serta penyakit-penyakit
lainnya seperti Neuralgia Trigeminal, Glossopharyngeal Pain, Bells Palsy, TMJ Disorder,
Postherpetic Neuralgia, dan Psycogenic Pain (Atypical Facial Pain).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Orofacial Pain
Nyeri adalah suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional
termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatri, responrespon yang
mengantarkan atau reaksi-reaksi yang ditimbulkan stimulus dalam suatu kasus nyeri.3

Nyeri orofasial adalah pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan kemungkinan atau memang terjadinya kerusakan pada jaringan
daerah wajah, mulut dan gigi.1
Daerah orofacial memegang peranan penting dalam kehidupan sehari hari seperti
makan, minum, berbicara, menghisap dll. Jika terjadi gangguan atau nyeri otomatis akan
mengakibatkan menurunnya fungsi orofacial. 2
2.2 Etiologi
1. Local disorders
Kelainan pada gigi dan jaringan penyangganya
Rahang
Antrum maksilaris
Kelenjar saliva
Hidung dan faring
Mata
2. Neurogical disorders
Neuralgia trigeminal idiopatik
Neoplasma maligna yang melibatkan saraf trigeminal
Neuralgia glosofaringeal
Herpes zoster (termasuk neuralgia posterpetik)
Sklerosis multipel
SUNCT (Severe Unilateral Neuralgia and Conjuctival Tearing)
syndrome
3. Kemungkinan penyebab psikogenik
Nyeri wajah atipikal (atypical facial pain)
Burning mouth syndrome
Nyeri disfungsi temporomandibular
4. Vascular disorders
Migrain
Neuralgia migrain
Giant cell artritis
Paroxysmal hemicrania
Neuralgia-inducing Cavitation Osteonecrosis (NICO)
5. Reffered pain
Nyeri pada nasofaringeal
Okuler
Aural
Respirasi jantung (cardiorespiratory)
Angina
Luka pada leher atau dada (termasuk kanker paru-paru) 1

2.3 Patogenesis
1. Tranduksi
Terjadi perpindahan cairan kimia pada sel sehingga impuls berjalan ke
spinal cord.
Dimulai ketika terjadi injury pada sel, yang memicu pengeluaran bahan
kimia seperti prostaglandin, bradikinin, histamin, dan glutamat.
Nosiseptor yang terdapat pada kulit, tulang, sendi, otot, dan organ dalam
terstimuli.
2. Transmisi
Dimulai ketika nosiseptor terstimuli.
Transmisi nyeri terjadi melalui serabut saraf yang terdiri dari 2 macam,
yaitu:Serabut A yang peka terhadap nyeri yang tajam, panas, dan first pain.
Serabut C yang peka terhadap nyeri yang tumpul dan lama, second pain.
3. Modulasi
Ditimbulkan oleh stimulus yang sama, akan tetapi sangat berbeda pada
situasi dan individu berbeda.
Pada fase ini dilepaskan bahan neurochemical yang berfungsi mengurangi
rasa nyeri seperti endogenous opioid dan GABA.
4. Persepsi nyeri
Setelah sampai otak, stimulus yang dibawa oleh saraf tersebut dirasakan
secara sadar dan akan menimbulkan respon individu terhadap rangsangan
tersebut.
Persepsi baru akan timbul bila ambang nyeri tercapai oleh stimulus
sehingga dapat mencapai otak.
Pain treshold cenderung sama pada setiap orang akan tetapi persepsi orang
bisa berbeda-beda.1

2.4 Faktor Predisposisi


Faktor pemicu ( reseptor nyeri) terdapat di :
- Otot-otot pengunyahan
- Persendian gigi.
- Jaringan sekitar gigi.3
Nyeri gigi :
- Akibat perangsangan pd dentin atau pulpa.
- Suplai saraf atau devisi maksila dan mandibula dari N.trigeminus.
- Sebahagian serabut saraf berakhir pada pulpa, sebahagian menuju dinding pulpa arah
korona.
_ Flexus sub odontoblast (sub dontoblastik)
_ Plexus Raschkow yang terdiri serabut Type A bermyelin, serabut tipe C tidak bermyelin dan
saraf otonom
_Lap. Odontoblast.
(lihat tabel 1)
4

Serabut bermyelin ; bersifat :


- Kecepatan hantar tinggi
- Ambang rangsang rendah
- Menghantarkan impuls sensorik yang tajam.
Serabut tak bermyelin, bersifat :
- kecepatan hantar relatif rendah.
- ambang rangsang tinggi.
- menghantar impuls nyeri yg tumpul dan lama.
Perangsangan pulpa
Serabut saraf pulpa dapat diaktifkan oleh berbagai rangsang yaitu : termis, listrik dan kimia.
Rangsang panas.
Rangsang panas yang berulang atau terus menerus sensitisasi atau kerusakan serabut aferen
pulpa.
Preparasi gigi sebaiknya menggunakan air atau udara untuk pendingin.
Rangsang Listrik.
- Efektif mengaktifkan aferen nyeri dalam pulpa.
- Digunakan untuk test vitalitas pulpa (pulptester)
Kelemahan
- Pengulangan rangsang tdk selalu menghasilkan
efek yang sama.
- Rangsang tersebut tidak terlokalisir hanya pada gigi, tetapi dapat menyebar ke jaringan
periodonsium.
- Menurut penelitian tidak ada korelasi antara ambang sensorik dengan kuat rangsang serta
keadaan patologik pulpa.
Rangsang kimia.
- Aferen nyeri pada pulpa relatif tidak peka terhadap zat kimia endogen (histamin, bradikinin,
kecuali oleh 5 hidroksitriptamin
(serotonin)3

2.5 Penatalaksanaan
Strategic management of orofacial pain. Manajemen orofacial pain harus dilihat pada
kasus tertentu. Untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal, praktisi harus mengatasi
patofisiologi tertentu. Model tradisional dari manajemen mono disipliner telah terbukti efektif
dalam kasus-kasus di mana hubungan penyebab definitif dan efek dapat ditentukan. Namun
sifat yang multi faktorial dari kondisi ini, dikombinasikan dengan ciri-ciri yang relevan dari
nyeri kronis.
Menggunakan model multidisipliner untuk diagnosis dan manajemen mendorong
integrasi rencana manajemen dengan masukan dari semua anggota tim. Pendekatan ini dapat
5

meningkatkan hasil dengan membahas perilaku fisik,somatik, psikologis, dan lingkungan


(Gramillion, 2001).
Tujuan dari manajemen, termasuk mengurangi atau menghilangkan sakit
menghentikan proses penyakit bila memungkinkan, menormalkan fungsi, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi kebutuhan untuk perawatan jangka panjang. Penerapan
model multidisipliner pertama yang membutuhkan tim untuk sampai pada diagnosis yang
lengkap yang mencakup semua faktor fisik dan psikologis.
Tujuan harus ditetapkan mengenai pengobatan, pendekatan manajemen nyeri,
keterlibatan pasien, dan rencana untuk pasien untuk kembali ke aktivitas hidup sehari-hari.
Keberhasilan tergantung pada komunikasi yang teratur antara para anggota tim (Gramillion,
2001).Anggota tim inti pelayanan klinis untuk diagnosis dan manajemen multidisiplin
orofacial pain adalah dokter gigi, physical therapist, psikolog klinis dan kesehatan, jaringan
konsultan dalam berbagai disiplin ilmu medis. Jaringan konsultan tersebut meliputipharmacy,
neurology, otolaryngology, rheumatology, internal medicine,neurosurgery, dananesthesia
(Gramillion, 2001).
Peran anggota tim inti pada diagnosis danmanajemen orofacial pain:a. Dentist
Clinical & Health PsychologistEvaluasi /diagnosis Edukasi pasien Manajemen
pharmacologic Perawatan dental Occlusalorthosis therapy Koordinasi konsultasi yang tepat
Interaksi tim b. Physical Therapist Evaluasi /diagnosi sEdukasi pasien Teknis Rehabilitasi
Interaksi timc. Clinical & Health Psychologist Evaluasi/ tes psikologi Identifikasi penyebab
masalah psikologis Terapi kognitif dan tingkahlaku Manajemen nyeri dan stress Interaksi tim

2.6 Neuralgia Trigeminal


Neuralgia Trigeminal ( NT) digambarkan oleh IASP ( International Association for
the study of Pain ) sebagai nyeri di wajah yang timbulnya mendadak, biasanya unilateral.
Nyerinya singkat dan berat seperti ditusuk disalah satu cabang nervus trigeminus.
Dalam Konsensus Nasional II kelompok studi nyeri kepala Perdossi, neuralgia trigeminal
dideskripsikan sebagai suatu serangan nyeri wajah dengan gejala khas berupa nyeri unilateral,
tiba tiba, seperti tersengat aliran listrik berlangsung singkat, jelas terbatas pada satu atau
lebih distribusi cabang nervus trigeminus. Nyeri umumnya dicetuskan oleh stimulus ringan
dan timbul spontan. Terdapat trigger area diplika nasolabialis dan atau dagu. Pada
umumnya terjadi remisi dalam jangka waktu yang bervariasi.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari Neuralgia Trigeminal adalah :2

1. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam, seperti
menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau terbakar yang berlangsung
singkat beberapa detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari dua menit, tiba-tiba
dan berulang.
2. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan yang
karakteristik nyeri unilateral. Tersering nyeri didaerah distribusi nervus mandibularis
(V2) 19,1% dan nervus maksilaris (V3) 14,1% atau kombinasi keduanya 35,9%
sehingga paling sering rasa nyeri pada setengah wajah bawah. Jarang sekali hanya
terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%.
3. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus non-noksius seperti perabaan
ringan, getaran, atau stimulus mengunyah. Akibatnya pasien akan mengalami
kesulitan atau timbul saat gosok gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur wajah,
tersentuh wajah, membasuh muka bahkan terhembus angin dingin. Biasanya daerah
yang dapat mencetuskan nyeri (triger area) diwajah bagian depan, sesisi dengan nyeri
pada daerah percabangan nervus trigeminus yang sama. Bila triger area didaerah kulit
kepala, pasien takut untuk berkeramas atau bersisir.
4. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami remisi dalam satu tahun atau lebih.
Pada periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi dan beratnya
serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu.
5. Nyeri terasa tumpul, terus-menerus pada salah satu rahang yang berlangsung beberapa
hari sampai beberapa tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan nyeri berdenyut
sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental.
6. Hilangnya sensibilitas yang bermakna pada nervus trigeminal mengarah pada
pencarian proses patologik yang mendasarinya, seperti tumor atau infeksi yang dapat
merusak syaraf. Pada tumor selain nyerinya atipikal dan hilangnya sensibilitas,
disertai pula gangguan pada syaraf kranial lainnya.
Patogenesis
Patogenesis dari trigeminal neuralgia belum diketahui, terjadi dalam bentuk idiopatik
dan simtomatik, dengan gejala rasa sakit seperti tikaman (tertusuk) dengan waktu singkat,
biasanya bertahan sampai 20 detik, selama serangan terlihat seperti menangis, terbakar atau
seperti tersengat listrik.
Penatalaksanaan
7

Pengobatan dari Neuralgia Trigeminal dapat dilakukan dengan terapi farmakologik


(medikamentosa) dan non farmakologik (pembedahan) . Penanganan pertama untuk
trigeminal neulalgia adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan
apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan.2
Pada terapi farmakologik guidline EFNS ( European Federation of Neurological
Society ) disarankan terapi neuralgia trigeminal dengan carbamazepin ( 200-1200mg sehari )
dan oxcarbazepin ( 600-1800mg sehari ) sebagai terapi lini pertama. . Sedangkan terapi lini
kedua adalah baclofen dan lamotrigin. Carbamazepin efektif dalam pengendalian nyeri ,
oxcarbazepin juga efektif, baclofen dan lamotrigin mungkin juga efektif.1
Menurut The Neurologist dinyatakan carbamazepine merupakan terapi lini pertama ,
sedangkan terapi lini kedua adalah Oxcarbazepine, gabapentin, phenytoin. Terapi lini ketiga
adalah lamotrigin dan baclofen. Pregabalin yang telah terbukti efektif dalam terapi nyeri
neuropatik mungkin juga bermanfaat pada terapi neuralgia trigeminal.
2.7 Glossopharyngeal Pain
Neuralgia glossopharyngeal atau Glossopharyngeal pain adalah suatu kondisi di mana
berulangnya sakit parah di lidah, tenggorokan, telinga, dan amandel, yang dapat berlangsung
dari beberapa detik hingga beberapa menit.
Glossopharingeus neuralgia pertama kali dijelaskan oleh Weisenberg, pada tahun
1910, pada pasien dengan sudut tumor cerebellopontine. Meskipun dalam sebagian besar
kasus glossopharyngeal neuralgia terjadi dalam isolasi (idiopatik), mereka mungkin menjadi
sekunder untuk tumor sudut cerebellopontine, kompresi pembuluh darah intrakranial,
karsinoma laring dan tumor nasofaring yang menyebar secara lokal, abses parapharyngeal,
trauma, multiple sclerosis, penyakit atau dasar tengkorak tumor Paget, kalsifikasi ligamen
stylohyoid, tusuk karotis langsung, dan ekstraksi gigi. Ini adalah penyakit yang hanya terjadi
pada orang dewasa, terutama pada pasien lebih dari 50. Beberapa penulis melaporkan bahwa
gangguan ini lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi yang lain tidak menemukan perbedaan
statistik yang signifikan antara jenis kelamin. Penyakit ini dapat memiliki onset mendadak.
Neuralgia glossopharyngeal dan trigeminal neuralgia biasanya mirip dengan neuralgia
trigeminal dan ditandai dengan paroxysms nyeri unilateral mengikuti saraf glossopharingeus
dan mempengaruhi sisi kiri lebih sering daripada kanan.

Etiologi
Neuralgia glossopharyngeal diyakini disebabkan oleh iritasi saraf kranial kesembilan,
disebut saraf glossopharingeus. Gejala biasanya dimulai pada orang di atas usia 40 tahun dan
lebih sering terjadi pada pria. Dalam kebanyakan kasus, sumber iritasi tidak pernah
ditemukan. Beberapa kemungkinan penyebab untuk jenis nyeri saraf (neuralgia) adalah:
-

Pembuluh darah
menekan pada saraf glossopharingeus
Pertumbuhan di dasar tengkorak menekan pada saraf glossopharingeus
8

Tumor atau infeksi tenggorokan dan mulut menekan pada saraf glossopharingeus

Gejala
-

Gejala termasuk sakit parah di daerah terhubung ke saraf kranial kesembilan:


Kembali dari hidung dan tenggorokan (nasofaring)
Kembali lidah
telinga
tenggorokan
daerah amandel
Kotak suara (laring)

Rasa sakit terjadi pada episode dan bisa berat. Hal ini biasanya pada satu sisi, dan terasa
menusuk. Episode dapat terjadi berkali-kali setiap hari, dan membangunkan orang dari
tidur/mengganggu tidur
Hal ini kadang-kadang dapat dipicu oleh:
-

mengunyah
batuk
tertawa
berbicara
menelan

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengontrol rasa sakit. Selama obat penghilang rasa
sakit kontra seperti aspirin dan acetaminophen (Tylenol) tidak sangat efektif untuk
menghilangkan glossopharyngeal neuralgia. Obat yang paling efektif adalah obat anti kejang.
Antidepresan dapat membantu orang-orang tertentu. Dalam kasus yang parah, ketika rasa
sakit sulit untuk mengobati, operasi untuk mengambil tekanan dari saraf glossopharingeus
mungkin diperlukan. Ini disebut dekompresi mikrovaskular. Atau, saraf dapat dipotong
(rhizotomy). Kedua operasi umumnya dianggap efektif. Jika penyebab neuralgia ditemukan,
pengobatan harus mengontrol masalah mendasar.

Pengobatan farmakologis

Pengobatan dini /pertama untuk Glossopharyngeal Neuralgia adalah farmakologis.


Obat-obat antikonvulsan, termasuk kejang obat oxcarbazepine, carbamazepine, gabapentin,
dan pregabalin adalah pilihan yang tepat. Beberapa antidepresan juga dapat membantu baik
sendiri atau dalam kombinasi dengan obat kejang. Jika obat-obat ini tidak efektif atau
memiliki efek samping tak tertahankan, berbagai obat lain dapat digunakan.

Pengobatan bedah

Jika pada pengobatan farmakologis tidak efektif, intervensi bedah dapat


diindikasikan. Pengobatan pilihan pertama biasanya dekompresi mikrovaskular (MVD),
karena memiliki tingkat keberhasilan jangka panjang awal dan tertinggi. Pasien yang tidak
dapat mentoleransi seperti operasi karena usia lanjut atau masalah medis lainnya dapat
mempertimbangkan salah satu dari banyak pilihan yang kurang invasif, termasuk Gamma
Knife radiosurgery. Reseksi proses styloid memanjang melalui pendekatan invasif minimal
9

melalui tonsil atau leher dapat berhasil menyembuhkan rasa sakit pada Eagle Syndrom
(sindrom Elang). Saraf teknik sectioning di leher dapat secara efektif mengobati gangguan ini
juga, terutama ketika rasa sakit tidak melibatkan telinga. Teknik neurostimulation, seperti
serviks tulang belakang stimulasi saraf motorik dan korteks stimulasi yang tinggi, dapat
digunakan ketika metode pengobatan lain tidak efektif.

Diagnosa
Diagnosis dibuat atas dasar klinis saja; yaitu, tidak ada tes khusus yang dapat
dilakukan untuk membuktikan diagnosis pada pasien yang diberikan. Pola telinga episodik
dan atau nyeri tenggorokan, sering dipicu oleh menyentuh langit-langit atau tonsil sangat
sugestif dari gangguan. Resolusi MRI atau CT pencitraan tinggi batang otak dapat
mengungkapkan adanya kompresi pembuluh darah, tumor, atau demielinasi lesi yang
melibatkan saraf kranial kesembilan. Resolusi tinggi CT scan leher dapat mengungkapkan
adanya proses styloid memanjang, sugestif of Eagle syndrom (sindrom Elang). Trigeminal
neuralgia adalah gangguan terkait di dalamnya ada rasa sakit di wajah. Membedakan dua
gangguan dilakukan berdasarkan lokasi rasa sakit. Nyeri yang jelas melibatkan telinga atau
tenggorokan adalah gambaran
distribusi klasik yang terlihat pada neuralgia
glossopharyngeal.

2.8 Bells Palsy


Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan
neurologi lainnya atau kelainan lokal.Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang
mungkin telah disingkirkan.
Bells palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu :
1.

Fase akut (0-3 minggu)

Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat infeksi
virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan
distal serta dapat menyebabkan edema saraf.
2. Fase sub akut (4-9 minggu)
Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang.
3.

Fase kronik (> 10 minggu)

Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi
berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan
fibrosis saraf.

Etiologi dan Patofisiologi

10

Etiologi dari bells palsy tidak diketahui (idiopatik)


Diduga disebabkan oleh :
Infeksi virus
Iskemia / disfungsi vaskular
Penyakit demielinisasi SSP
Herediter
Penyakit autoimun
Patogenesis
PATOGENESIS INFEKSIVIRUS

Virus yang diduga dapatmenyebabkan bells palsy adalah Herpes Simpleks Virus tipe 1
(HSV-1).

Virus lain yang juga dapat menyebabkan bells palsy adalah :Epstein-Barr Virus, Herpes
ZosterVirus, Rubella

HSV yang dapat menyebabkan bellspalsy adalah HSV dalam masa laten di ganglion
genikulata yang mengalami reaktivasi.

Penatalaksanaan
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini dan
merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan
neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bells palsy. Jika
11

tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan
diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi nonfarmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah).
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah
ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi
melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang
berat dalam 14 hari onset. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam
empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.12,13
Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan
valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuromuskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan
asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang
dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari
gerakan wajah berlebih
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringansedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan
reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris.
Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari. Berikutnya
adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringansedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,
reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan
mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi
meditasi-relaksasi.
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular
di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot
tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan
untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi
sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian
kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan
kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau
pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
12

Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama
prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi
hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon
(maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang
(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.19
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan
bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.
Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan
pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan
valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida et al menemukan
bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas
signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja.
Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam
pertama setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et
al2 dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan
antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya
keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus
dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan
penggunaan terapi kombinasi.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral
dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan
dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 710 hari.17,18,23 Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih
tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima
hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang
dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
2.9 TMJ Disorders
TMJ adalah sendi yang kompleks terdiri dari kondilus, diskus, dan fossa glenoidalis.
Bila terjadi gangguan di daerah ini akan menimbulkan banyak simptom, seperti nyeri sendi,
kliking, krepitasi, nyeri otot: pengunyahan, leher, dan bahu, nyeri kepala yang kronis, dan
terbatasnya gerak rahang bawah.
American Academy of Orofacial Pain (AAOP) mengklasifikasikan sindrom
temporomandibula disorder atas dua golongan yaitu :

13

a. Muscle-related (miogenus temporomandibula) yaitu gangguan temporomandibula yang


berkaitan dengan nyeri dan disfungsi miofasial.
b. Joint-related (artrogenus temporomandibula), disebut juga dengan gangguan
temporomandibula yang berkaitan dengan sendi, seperti gangguan disc displacement, artritis,
ankilosis, dislokasi berulang kronis, infeksi, kelainan sendi degeneratif dan neoplasma.
Etiologi TMJ Disorders
Etiologi disfungsi sendi temporomandibula sampai saat ini masih banyak diperdebatkan
dan multifaktorial, beberapa penulis menyatakan sebagai berikut:
Stress emosional merupakan penyebab utama disfungsi sendi temporomandibula.
Faktor-faktor etiologi disfungsi sendi dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu predisposisi,
inisiasi, dan perpetuasi.
Faktor predisposisi merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya disfungsi
sendi, terdiri dari keadaan sistemik, struktural, dan psikologis. Penyakit sistemik yang sering
menimbulkan gangguan sendi temporomandibula adalah rematik. Keadaan struktural yang
mempengaruhi disfungsi sendi temporomandibula adalah oklusi dan anatomi sendi. keadaan
yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi oklusi adalah: hilangnya gigi-gigi posterior
openbite anterior, overbite yang lebih dari 6-7 mm, penyimpangan oklusal pada saat kontak
retrusi yang lebih dari 2 mm dan crossbite unilateral pada maksila. Berdasarkan studi
melalui Electromyography keadaan psikologis yang terganggu dapat meningkatkan aktivitas
otot yang bersifat patologis.
Faktor Inisiasi (Presipitasi): Faktor inisiasi merupakan faktor yang memicu terjadinya
gejala gejala disfungsi sendi temporomandibula, misalnya kebiasaan parafungsi oral dan
trauma yang diterima sendi temporomandibula. Trauma pada dagu dapat menimbulkan
traumatik artritis sendi temporomandibula.
Beberapa tipe parafungsi oral seperti grinding, clenching, kebiasaan menggigit pipi,
bibir, dan kuku dapat menimbulkan kelelahan otot, nyeri wajah, keausan gigi-gigi. Kebiasaan
menerima telepon dengan gagang telepon disimpan antara telinga dan bahu, posisi duduk atau
berdiri/berjalan dengan kepala lebih ke depan (postur tubuh), dapat mengakibatkan kelainan
fungsi fascia otot, karena seluruh fascia di dalam tubuh saling memiliki keterkaitan maka
adanya kelainan pada salah satu organ tubuh mengakibatkan kelainan pada organ yang
lainnya.
Faktor Perpetuasi: Faktor ini merupakan faktor etiologi dalam gangguan sendi
temporomandibula yang menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan sehingga
gangguan ini bersifat menetap, meliputi tingkah laku sosial, kondisi emosional, dan pengaruh
lingkungan sekitar.
Untuk menegakkan diagnosa maka diperlukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan
ekstra
oral dan intra oral, rontgen foto TMJ transkranial juga panoramik seluruh rahang, kemudian
melakukan diagnosa banding.
Patogenesis
14

distal displacement
mandibulare overclosure

Penatalaksanaan
Terdiri atas 2 Fase
Prinsip :
1. Dimulai setelah diagnosis
2. Diutamakan terapi konservatif
3. Didahului dengan terapi yang bersifat reversibel, terapi iireversibel hanya bila diperlukan
Fase Pertama
1.Istirahat menggurangi aktivitas rahang ( menghindari mkn-an dg konsistensi keras/kenyal,
tidak membuka mulut lebar )
2. Stress reduction & management program
3. Biofeedback penderita mengatur tonus ototnya sendiri ( mengatur kontraksi - relaksasi otot
)
4. Physical therapy antara lain : perubahan postural ( koreksi posisi mandibula ) pemijatan
terapi panas ( melancarkan sirkulasi ) muscle exercise dll

Tujuan :
15

a. mengatasi keluhan utama,


b. mengembalikan Range of Motion ( ROM ) mandibula,
c. mengembalikan kondili pada posisi normal,
d. rehabilitasi otot yg fatique & cedera ,
e. membangkitkan semangat penderita memecahkan
masalahnya ( faktor psikogenik ),
f. memperbaiki postur tubuh.

Fase Kedua
Merupakan lanjutan fase pertama, jika diperlukan terapi lanjutan untuk menstabilkan kondisi
perawatan fase 1.
1. Equilibration
grinding oklusal yg berkontak berat efektif pada penderita tanpa spasme otot & tidak banyak
gigi hilang
2. Orthodonsi
mengharmoniskan hubungan sendi dg mengkoreksi geligi
3. Overlays
4. Rekonstruksi ( Restorasi, Replacing )
gigi belakang aus akibat pengunaan atau akibat karies
5. Pembedahan
2.10 Postherpetic Neuralgia
Pengertian dan Epidemiologi
Postherpetic neuralgia adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan dibagian tubuh yang
pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu
reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf. Postherpetic
neuralgia lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah.
Postherpetic neuralgia ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif
(penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang
abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta
perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini.
Tidak semua kasus herpes zoster diikutidengan postherpetic neuralgia. Kasus ini lebih sering
16

ditemukan pada lansia, serangan herpes zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat
pada saat serangan herpes zoster, dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan
herpes zoster.
Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di
tempat yang tadinya terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikiandapat dikategorikan
sebagai postherpetic neuralgia jika masih dirasakan sampailebih dari 3 bulan sejak hilangnya
ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapat dicetuskan oleh
sentuhan ringan (yang dalam keadaannormal tidak menimbulkan nyeri). Sejauh ini tidak ada
pemeriksaan laboratoriumyang dibutuhkan untuk mendiagnosis postherpetic neuralgia. Jika
penderita sudah terserang postherpetic neuralgia, dapat diberikan antidepresan, antikonvulsan
(obat epilepsi), analgesik (pereda nyeri), kortikosteroid; dan terapi antiviral (misalnya dengan
aciclovir). Konsultasikan dengan dokter mengenai penanganan yang cocok karena
pengobatan yang diberikan sangat tergantung pada kondisi penderitanya masing-masing.
Patofisiologi dan Patogenesis
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut.
Postherpetic neuralgia, komplikasi dari herpes zoster,adalah sindrom nyeri neuropatik yang
dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan virus pada serat aferen primer saraf
sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus
ini diaktifkan kembali, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan
kerusakan padaganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah
menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta
kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal
sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi
dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan
peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.
Patofisiologi PHN adalah cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer
maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge
spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak
sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya
ujung saraf bebas epidermal pada daerah yangterkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan
untuk resolusi nyeri.
Reaktivasi virus ini mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut saraf
sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut saraf atau impuls abnormal,
dimana serabut saraf berdiameter besar yang berfungsisebagai inhibitor hilang atau rusak dan
mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat
sehingga pasien merasanyeri yang hebat. Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan selsel ganglion yang berukuran besar sementara tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka
tergolong dalam serabut halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan
C. Hal ini menyebabkan semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri.
Selain itu pada saraf perifer terjadi lesi yang mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki
ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia, yaitu respon
17

sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal inimenunjukkan adanya kelainan pada
proses transduksi.
Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal, sehingga semua impuls
yang masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus.Akibatnya sumasi temporal tidak
terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh
serabut halus. Besar dari serabut tebal sudah tidak ada, maka mayoritas dari serabut terdiri
dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang.
Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu
posterior tidak berjalan secara normal, akibatnya tidak terjadi proses antarasistem analgesilk
endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior.Kornu posterior adalah pintu
gerbang untuk membuka dan menutup jalur
penghantaran nyeri. Hal ini dapat
mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia.Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti
thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah
dihantarkan olehserabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan
impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yangsesuai
dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf masing-masing,
yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf
tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini
mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal
(secara normal semestinya tidak menimbulkannyeri).
Pada level selular, bukti menunjukkan peningkatkan proporsi kanal natriumvoltagegated, perubahan kanal kalium voltage-gated, dan regulasi berlebih padareseptor yang
berhubungan dengan nyeri seperti transient receptor potentialvanilloid 1 (TRPV1). Perubahan
ini berhubungan dengan nyeri spontan dan yangdirangsang ke ambang yang lebih rendah
pada potensial aksi. TRPV1merupakan kanal kalsium nonselektif dengan permeabilitas
kalsium yang tinggi yangdiekspresikan pada ujung terminal dari neuron sensori berdiameter
kecil. Inhibisidari reseptor TRPV1 dapat mencegah potensial aksi pada neuron perifer
yangmenuju pada transmisi nyeri. Terdapat juga bukti bahwa hilangnya interneuroninhibitor
aminobutyyric acid pada kornu dorsal sesuai dengan hilangnya inhibisidesenden.
Meskipun terdapat predileksi untuk keikutsertaan nervus dan ganglionsensoris, deficit
motorik dapat terjadi dari perluasan infeksi serta inflamasi padakornu anterior medulla
spinalis.
PHN dibedakan menjadi dua submodel, yaitu irritable nociceptor dandeafferentation.
Model irritable nociceptor berhubungan dengan aktivitas C-fiber dan adanya alodinia taktil,
mekanik, dan suhu yang berat dengan kehilangansensoris yang kecil atau tidak ada
samasekali. Nosiseptor c-fiber biasanya hanyaterstimulasi oleh stimulus noxious, namun
dengan adanya perubahan selular yangtelah dijelaskan di atas menyebabkan serat saraf ini
tersensitisasi, merendahkanambang aksi potensialnyya, dan meningkatkan tingkat dan besar
pelepasannya.Luaran klinisnya adalah nyeri spontan dan alodinia termediasi PHN.
18

Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan kehilangan sensoris yang


berhubungan dengan dermatom. Deafferentation perifer menghasilakn reorganisasi kornu
posterior. C-fiber yang tersensitisasi pada saraf perifer berkurang jumlahnya yang
mengakibatkan bertunasnya serat A- (serat berdiameter tebal yang berespon terhadap
stimulus mekanik seperti raba dantekanan). Pertunasan serat A- akhirnya menghasilkan
hubungan dengan traktus spinotalamikus pada medulla spinalis yang sebelumnya
mengadakan sinaps denganserat C untuk menghantarkan nyeri. Luaran klinis dari
reorganisasi kornu dorsalyang disebabkan oleh degenerasi serat C dengan perhubungan serat
A-mengakibatkan rangsang sentuh dan tekanan menjadi berkomunikasi silang dengan
traktus spinotalamikus yang menghantarkan nyeri, menghasilkan alodinia yangdiperantarai
SSP.
Sensitisasi sentral juga memainkan peranan penting dalam PHN karena impuls yang
terus menerus dan konstan menuju medulla spinalis, juga dengancedera virus secara
langsungmenyebabkan eksitabilitas kronik sehingga inputnormal dan banyak dari nosiseptor
perifer menghasilkan respon sentral yangmeningkat.
Patogenesis terjadinya herpes zoster sendiri disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak
diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
imunokompromis dihubungkan denganreaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan
di sepanjang akson menujuke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami
denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan
pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang
dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses
peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer
dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis . Proses perjalanan virus ini
menyebabkan kerusakan pada saraf.

Gejala Klinis
Pasien dengan postherpetic neuralgia mengalami nyeri yang hebat menetap seperti
terbakar, nyeri tajam atau menusuk yang hilang timbul. Gejalayang muncul adalah
hiperalgesia, parastesi, hiperastesi, dan nyeri karenarangsangan yang biasanya tidak
menimbulkan nyeri (alodinia) misalnyatersentuh pakaian. Nyeri dirasakan selama berbulan
hingga bertahun setelah lesizoster sembuh. Hampir seluruh penderita mengalami gangguan
untuk mengenali sensasi para perabaan halus dan suhu pada daerah persarafan yang terkena.
Pasien dewasa tua yang menderita postherpetic neuralgia memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap kualitas hidup. Nyeri sering dihubungkan dengan penurunan sensoris, dan
terdapat hubungan antara derajat penurunan sensorisdan keparahan nyeri. Postherpetic
neuralgia juga ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar
rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang abnormal dan
19

ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta perangsangan saraf


juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini.

Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan cara mengetahui distribusi nyeri yaitu disepanjang
saraf trigeminus, melakukan anamnesis diantaranya denganmenanyakan riwayat penyakit,
apakah pasien demam, sudah pernah terkenacacar air, adakah timbul lesi seperti balon air,
daerah yang terkena dimanasaja, rasa sakitnya seperti apa, dan apakah sebelumnya anggota
keluarga yang lain ada yang terkena penyakit yang sama. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
pula dengan langsung melihat lesi dan gambaran klinisnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang. Pasien sudah


pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat yang tadinya
terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikian dapat dikategorikan sebagai postherpetic
neuralgia jika masih dirasakan sampai lebih dari 3 bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat
nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapatdicetuskan oleh sentuhan ringan (yang
dalam keadaan normal tidak menimbulkannyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosis postherpetic neuralgia.
Penatalaksanaan
Perawatan terhadap postherpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obat-obatan serta terapi
selain dengan obat-obatan.

Farmakologi

1.
Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi
pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat 3
kategori pengobatan topikal yaitu :
a. Anestetik topikal
Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalamkombinasi dengan
antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin dilaporkan juga bermanfaat dalam
beberapa studi tanpakontrol. Lidoderm (lidokain 5% skin patch), tersusun dari bahan perekat
yang mengandung lidokain 5%, lidoderm menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia
dengan cara difusi lidokain kelapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat pada kanal sodium
saraf perifer. Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung selama 4 hingga 12 jam. Karena
keamanannya, kini disarankan untuk digunakan sebagai terapi awal post herpetic neuralgia
dengan gejala alodinia atau nyeriyang intermiten. Penggunaan lidoderm telah disetujui oleh
FDA.

20

b. Anestetik lokal
Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan, yang efeknya
berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu. Lidokain, prokain, dan
mepivakain sering diberikan secarainfiltrasi atau intravena.
c. Kapsaisin
Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamida, ekstrak dari
Capsicum frustecans, telah banyak digunakan untuk terapi topikal pada keadaan yang
melibatkan nyeri, pruritus dan inflamasi. Kapsaisin berperan dalam meningkatkan pelepasan
laludeplesi substansi P, yang dianggap merupakan neurotransmiter peptidaendogen utama
rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke susunan saraf pusat. Sehingga pada awalnya
kapsaisin menyebabkan rasa terbakar dan hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah
beberapa hari hingga seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul
saat terjadi deplesi substansi P.

2. Sistemik
a.Analgesik
i.
Antiinflamasi nonsteroid (AINS)Asetaminofen (tylenol), aspirin dan antiinflamasi
nonsteroid lain umum digunakan untuk postherpetic neuralgia. AINS berguna untuk
potensiasi efek analgetik opioid pada nyeri parah.
ii.
Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di system saraf pusat dan
perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek.
b.Agen neuroaktif
i.Psikotropik Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting padaPostherpetic
Neuralgia. Mekanisme kerja AT dalam menghilangkannyeri adalah dengan
memblokade reuptake neurotransmitter norepinefrin dan serotonin, serta meningkatkan
inhibisi neuronspinalis yang terlibat dalam persepsi nyeri seperti terbakar dannyeri tajam atau
menusuk, AT yang banyak digunakan padaPostherpetic Neuralgia adalah amitriptilin (elavil),
nortriptilin(pamelor), imipramin (tofranil), desipramin (norpramin), dan maprotilin.
ii.
AntikonvulsanAntikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada
Postherpetic Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol,karbamazepin mengurangi
nyeri tajam atau menusuk namun tidak efektik untuk nyeri yang terus-menerus.Mekanisme
kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeriadalah dengan memblokade kanal natrium
dan berperan sebagai membran stabilizing agent sehingga mencegah impuls ektopik yang
dapat mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering yang digunakan adalah karbamazepin
(tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat(depakene), dan gabapentin (neurontin). Dosis
yang dibutuhkan untuk analgesia lebih rendah dari dosis untuk epilepsi. Pemberian

21

gabapentin untuk terapi post herpeticneuralgia dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan
bertahap hingga efek yang diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.
iii.
Neuroleptik Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin(trilafon),
dan tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpeticneuralgia dalam kombinasi
dengan AT.
iv. MetikobalMetikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim, menjadiaktif di
tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan saraf, dandilaporkan efektif untuk
neuralgia dan neuritis perifer. Selain itumetikobal dianggap mempunyai efek bila disuntikkan
pada area saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara sistemik. Bersamadengan
vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu regenerasisaraf.
2.11 Psycogenic Pain (Atypical Facial Pain)
Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri somatik atau
neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri
psikogenik, seperti: lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab
yang mungkin, tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak
diharapkan dan tidak biasa. Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri psikogenik.
Nyeri wajah atipikal disebut juga nyeri fasialis atipikal, neuralgia fasialis atipikal dan
nyeri fasialis psikogenik. Menurut The International Headache Society (IHS), nyeri wajah
atipikal atau Atypical Facial Pain (ATFP) biasanya dikenal sebagai nyeri wajah idiopatik
yang persisten, tetapi masih terdapat ketidakpastian dan tidak ada keterangan yang lebih
banyak. Dalam pengklasifikasian terdahulu, IHS menggambarkan ATFP sebagai suatu nyeri
yang tidak mempunyai karakteristik neuralgia-neuralgia kranial, tidak dihubungkan dengan
tanda-tanda fisik maupun penyebab organik. ATFP merupakan salah satu gangguan yang
termasuk dalam kelompok nyeri orofasial kronik. Bentuk kata atipikal pertama kali
digunakan Frazier dan Rusell pada pasien dengan nyeri wajah yang gagal merespon dalam
perawatan bedah saraf.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis, berupa: rasa terbakar, nyeri tidak terlokalisir, tidak paroksismal pada
durasi singkat, terjadi tiap hari, menetap untuk waktu yang lama (kronis), muncul pada satu
sisi dari wajah (unilateral) kadang bilateral dan tidak ada trigger zone yang dihubungkan
dengan nyeri ini. Biasanya terjadi pada regio saraf trigeminus, lipatan nasolabial, sisi dagu,
telinga, daerah temporal dan terutama terjadi pada wanita berumur diantara 30 sampai 50
tahun. Nyeri ini dapat menyebar ke bagian rahang atas, rahang bawah, leher dan wajah.
Etiologi & Patogenesis
Nyeri wajah ini tidak disebabkan oleh penyakit organik dari struktur kraniofasial dan
tidak mempunyai penampilan klinis seperti nyeri tipikal. Sebelum menetapkan suatu
perawatan, kita harus menjelaskan pada pasien seberapa penting peran penyakit organik

22

sebagai penyebab nyeri. Beberapa laporan menggambarkan penyakit organik, seperti: suatu
neoplasma, malformasi arterio-venous dan penyakit-penyakit inflamasi kronis.
Lokasi utama dari proses patologisnya adalah batang otak, sudut ponto-cerebellar dan
sinus cavernous, tetapi pada observasi penyakit ditemukan adanya perbedaan pada regio yang
lebih jauh dari lokasi utama, seperti: regio latero-servikal dan apikal paru.
Nyeri wajah dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: nyeri neuralgia dan non
neuralgia. Bentuk tipe nyeri dapat akut atau kronik. Neuralgia akut menggambarkan nyeri
tipikal, seperti nyeri neuralgia trigeminal. Sedangkan bentuk nyeri kronik dianggap
atipikal, karena berlangsung lebih lama daripada nyeri tipikal trigeminal.
Nyeri ini umumnya berasal dari faktor psikologis daripada faktor fisiologis dan tidak
dapat terdiagnosa hanya dengan anamnese tetapi dapat terdiagnosa dengan tes psikologis
yang lengkap dan objektif.
Faktor Resiko
Suatu mekanisme psikogenik diduga telah mempengaruhi kasus ini.2 Beberapa faktor
resiko dapat dipertimbangkan sebagai faktor etiologi, yaitu pengaturan hormon-hormon pada
wanita yang telah terimplikasi karena masalah psikologis dan modifikasi terapi estrogen
sehingga ATFP lebih banyak pada wanita daripada pria, osteoporosis yang nyata berhubungan
dengan menopause, Neuralgia Inducing Cavitational Osteonecrosis (NICO) dapat
dihubungkan dengan nyeri ini, faktor psikososial juga merupakan gambaran yang biasa
terjadi (merupakan penyebab atau diinduksi masalah psikososial). Dalam beberapa kasus,
infeksi sinus maupun gigi ataupun trauma saraf minor dapat juga dipertimbangkan sebagai
faktor resiko.Selain itu karena beberapa prosedur minor tindakan kedokteran gigi juga sering
didapat.ATFP biasanya tanpa penyebab khusus. Terkadang luka pada cabang nervus
trigeminus yaitu pada divisi kedua dan kadang divisi ketiga yang berhubungan dengan trauma
wajah maupun tengkorak basal dapat menyebabkan penyakit ini. Faktor di atas tidak satupun
dapat dipertimbangkan sebagai faktor etiologi satu-satunya.
Diagnosa
Mendiagnosa ATFP bukan merupakan tugas yang mudah. Pasien ATFP tidak mudah
menjalani beberapa prosedur tindakan kedokteran gigi karena banyaknya tes medis yang
dilakukan untuk mendiagnosa dan merawat pasien ini. Diagnosa ATFP biasanya merupakan
proses eliminasi yaitu dengan menyingkirkan sebab-sebab organik. Ketika pasien
mengeluhkan nyeri wajah yang menetap pada satu sisi dari wajah, para tenaga medis harus
terlebih dahulu mengamati beberapa kondisi lainnya. Tes laboratorium (seperti:
Rontgenogram pada tengkorak, MRI dan CT-Scan), kewaspadaan dalam tindakan kedokteran
gigi, pemeriksaan otolaringologi dan pemeriksaan neurologi harus dilakukan secara seksama.
ATFP masih mempunyai kekurangan dalam kriteria diagnosa karena tidak
dihubungkan dengan kehilangan sensori maupun tanda-tanda fisik lainnya. Pada pemeriksaan
laboratorium dengan X-ray di wajah dan rahang tidak menunjukkan suatu
keabnormalan.Nyeri ini mungkin dapat diawali dengan adanya suatu tindakan operasi
23

ataupun injuri pada wajah, gigi ataupun gusi tetapi menetap tanpa menunjukkan penyebab
lokal.
Penatalaksanaan
Pada pasien ATFP, usaha menghilangkan rasa sakit dengan perawatan gigi biasanya
tidak berhasil.Perawatan ATFP dapat mengalami kesulitan dan ketidakpuasan pada pasien.
Manajemen ATFP membutuhkan pengetahuan spesifik dari kriteria diagnosa yang sangat
penting dalam melakukan diagnosa banding dan dalam pemilihan perawatan terapi yang
efektif. Perawatan nyeri wajah masih membingungkan di masyarakat pada umumnya. Banyak
masalah yang ada tidak terpecahkan karena mekanisme penyebabnya yang tidak jelas.
Terapi pada nyeri wajah atipikal yang tepat berdasarkan pengetahuan yang dimiliki
sesuai dengan deskripsi penyakit yang ada dan lokasi yang berkenaan dengan patogenesis.
Antidepresan trisiklik, terutama Amitriptilin (Triptil, Elavil) merupakan pilihan perawatan
awal, karena banyak pasien yang mengeluhkan nyeri dan gejala depresif.
Amitriptilin dan Nortriptilin, biasanya selalu membantu dalam mengurangi
nyeri.Tanda-tanda efikasi dari Amitriptilin, yaitu responnya baik dalam dosis rendah, tidak
menimbulkan masalah psikis dan mula kerja obat lebih baik daripada antidepresan yang lain.
Hal ini dimungkinkan karena efek farmakologi dari obat tersebut terutama menginhibisi
reuptake serotonin, aksi langsung dalam reseptor serotoninergik, adrenergik, kholinergik dan
histaminergik yang berhubungan untuk efek terapi. Amitriptilin juga mengurangi pelepasan
nosiseptif pada jaringan miofasial yang memberikan informasi sehingga dapat dikontrol
menjadi nyeri kronik.18 Selain itu, Amitriptilin juga memiliki efek analgesik yang cepat.
Berdasarkan penelitian Mc. Quay et al, efek analgesik dari Amitriptilin muncul pada
dosis rendah (75-150 mg / hari), level plasma terendah dan digunakan pada periode yang
singkat (1-3 hari). Efek antidepresan dapat dicapai apabila digunakan pada waktu yang lama
(3-6 minggu) dan membutuhkan dosis besar (150-300 mg / hari).
Penelitian ini telah menemukan bahwa Amitriptilin dengan dosis rendah merupakan
analgesia yang efektif untuk pasien ATFP karena kualitas sedasinya yang baik. Efek samping
yang diketahui adalah mulut kering dan mengantuk.
Perawatan tambahan pada pasien ini setelah diberikan terapi medikasi adalah dengan
memberikan edukasi pada pasien seperti penjelasan tentang penyakit yang dideritanya dan
konseling psikologis tentang permasalahan yang sedang dialaminya sehingga dapat
membantu pasien.
Tidak diindikasikan prosedur pembedahan pada kasus nyeri wajah atipikal, karena
bukan suatu kebutuhan tetapi dapat menjadi suatu kegawatdaruratan dan dapat memperberat
nyeri.Dokter gigi memiliki peranan penting dalam mengenal ATFP sebagai salah satu
penyebab nyeri sesudah prosedur kedokteran gigi, seperti yang disarankan Madland et al
yaitu suatu pendekatan multidisipliner dibutuhkan untuk mendiagnosa dan menangani ATFP
sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
24

BAB III
PEMBAHASAN

Nyeri adalah persepsi somatik berupa ketidaknyamanan yang


mengindikasikan adanya kerusakan jaringan atau potensi/ancaman terhadap kerusakan
jaringan (Tollison dkk., 2002). Nyeri merupakan perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun
berat, yang hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang
lain, mencakup pola pikir, aktivitas seseorang secara langsung, dan perubahan hidup
seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah
terjadinya gangguan fisiologikal.

Penyebab Nyeri
1. Trauma
25

a. Mekanik yaitu rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami
kerusakan, misalnya akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
b. Thermis yaitu nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat
panas, dingin, misal karena api dan air.
c. Khemis yaitu timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa
kuat.
d. Elektrik yaitu timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor
rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2. Neoplasma
a. Jinak
b. Ganas
3. Peradangan
Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan
atau terjepit oleh pembengkakan. Misalnya abses.
4. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah
5. Trauma psikologis

Anatomi dan Pisiologi Nyeri


1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah respon fisiologis yang memperingatkan kita dari bahaya. Proses
Nosisepsi menggambarkan proses normal rasa sakit dan respons terhadap rangsangan
berbahaya atau berpotensi untuk merusak jaringan normal. Ada empat proses dasar yang
terlibat dalam nosisepsi (McCaffery dan Pasero, 1999). Ini adalah:
a.
b.
c.
d.

Transduksi
Transmisi
Persepsi
Modulasi

a. Transduksi
Transduksi rasa sakit dimulai ketika ujung saraf bebas (nociceptors) dari serat C dan serat
Adelta neuron aferen primer menanggapi rangsangan berbahaya. Nociceptors terkena
rangsangan berbahaya ketika kerusakan jaringan dan inflamasi terjadi sebagai akibat dari,
misalnya, trauma, pembedahan, peradangan, infeksi dan iskemia.
26

b. Transmisi
Penyaluran terjadi dalam tiga tahap. Nyeri impuls ditransmisikan:
-

dari situs transduksi sepanjang serat nociceptor ke punggung tanduk di sumsum


tulang belakang,
dari sumsum tulang belakang ke otak batang, dan
melalui hubungan antara korteks, talamus dan tingkat yang lebih tinggi dari otak.

c. Persepsi Rasa Nyeri


Persepsi nyeri adalah hasil akhir dari aktivitas saraf transmisi rasa sakit dan mana rasa sakit
menjadi pengalaman multi-dimensi sadar. Multidimensional mengalami rasa sakit memiliki
komponen afektif-motivasi, sensorik-diskriminatif, emosi dan perilaku. Ketika rangsangan
menyakitkan ditransmisikan ke batang otak dan thalamus, daerah kortikal multiple diaktifkan
dan tanggapan diperoleh.
d. Modulasi
Modulasi nyeri melibatkan transmisi impuls nyeri mengubah atau menghambat di sumsum
tulang belakang. Hambat neurotransmitter yang terlibat dalam modulasi nyeri meliputi:
-

endogen opioid (enkephalins dan endorfin);


serotonin (5-HT);
norepinephirine (noradrenalin);
gamma-aminobutyric (GABA),
neurotensin;
asetilkolin;
oksitosin.

2. Rasa Nyeri Kronis


Sakit kronis dapat menjadi masalah besar bagi sebagian orang dan mempengaruhi
kualitas hidup mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dalam nosisepsi, cedera atau
sakit dan dapat hasil dari kerusakan SSP saat ini atau masa lalu ke sistem saraf perifer (PNS)
atau mungkin tidak menyebabkan (Calvino dan Grilo, 2006) organik.

3. Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik dapat didefinisikan sebagai nyeri dimulai atau disebabkan oleh lesi
primer atau disfungsi dari sistem saraf yang dihasilkan dari;
-

trauma, misalnya, kompleks sindrom nyeri regional, nyeri pasca operasi kronis,
27

infeksi, misalnya, neuralgia pasca-herpes,


iskemia, misalnya, neuropati, diabetes,
kanker, kimia, misalnya, sebagai akibat dari kemoterapi (Farquhar-Smith,2007).

Beberapa jenis nyeri neuropatik dapat berkembang ketika pegawai negeri sipil menjadi
korup, menyebabkan serat rasa sakit untuk mengirimkan impuls nyeri berulang kali dan
menjadi semakin sensitif terhadap rangsangan.

Orofacial Pain (Nyeri orofasial) adalah


pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kemungkinan atau memang terjadinya kerusakan pada jaringan daerah wajah, mulut dan
gigi.1 Daerah orofacial memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari seperti
makan, minum, berbicara, menghisap dll. Jika terjadi gangguan atau nyeri otomatis akan
mengakibatkan menurunnya fungsi orofacial.2
Nyeri orofasial merupakan istilah umum yang mencakup rasa sakit yang dirasakan di
mulut, rahang dan wajah. Nyeri orofasial adalah gejala yang umum, dan ada banyak
penyebab.4 Diperkirakan bahwa lebih dari 95% dari kasus hasil nyeri orofasial dari penyebab
gigi (yaitu gigi yang disebabkan oleh pulpitis atau abses gigi) 5 Setelah sakit gigi. Penyebab
paling umum kedua sakit orofasial adalah disfungsi sendi temporomandibular (TMD, nyeridisfungsi sindrom).6 Semua penyebab lain dari nyeri orofasial jarang terjadi dibandingkan,
meskipun diferensial diagnosis penuh luas.
Nyeri orofasial telah didefinisikan sebagai Nyeri terlokalisasi pada daerah di atas
leher, di depan telinga dan di bawah garis orbitomeatal, serta nyeri di dalam rongga mulut
(termasuk) sakit asal gigi dan gangguan temporomandibular".7 Namun, beberapa kondisi
nyeri orofacial mungkin melibatkan daerah di luar wilayah ini, misalnya nyeri temporal
TMD. Sakit gigi, atau odontalgia, adalah sakit yang dirasakan pada gigi atau struktur
pendukungnya (yaitu periodonsium). Oleh karena itu sakit gigi adalah jenis nyeri orofasial.
Nyeri kraniofasial adalah topik yang tumpang tindih yang meliputi rasa sakit yang dirasakan
di kepala, wajah, dan struktur terkait, kadang-kadang termasuk nyeri leher.8

28

Kalsifikasi Kategori dari Orofacial Pain


Diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya:
1. Rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit local, misalnya:
a. Gigi dan rahang,
b. Sendi temporomandibular dan otot-otot yang berhubungan dengannya,
c. Hidung dan sinus paranasal,
d. Kelenjar ludah,
e. Pembuluh darah; giant-sel arteri,
f. Mukosa, dan
g. Lymph node.
Pada kelompok ini rasa sakit berhubungan dengan gejala-gejala lain dan mempunyai sifat
khusus, dengan kelainan local yang terlihat jelas baik secara klinis maupun radiografis,
sehingga dapat dilakukan penentuan diagnosa. Perawatan keadaan local dapat menghilangkan
sakit tersebut. (Gayford and Haskell, 1990).
2. Sakit yang berasal dari batang saraf dan arah perjalanan sentralnya.
Kelompok ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang dapat dibedakan dengan ada
atau tidak adanya tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral. Jadi, bila rasa
sakit berasal dari keadaan yang termasuk kelompok ini, maka untuk menentukan diagnosa
perlu dilakukan pemeriksaan neurologi dengan perhatian khusus terhadap saraf kranial.
Penyebab kelompok ini adalah:
Kelompok I
(Tidak ada tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral)
a. Neuralgia trigeminal dan glosoparingeal idiopatik,
b. Sindrom migrain,
c. Sakit pada wajah atipikal. (Gayford and Haskell, 1990).
Kelompok II
(Ada tanda-tanda fisik yang tidak normal pada sistem saraf sentral)
Gangguan pada saraf baik karena tekanan, infiltrasi atau penyakit degenerasi dari sistem saraf
sentral baik ekstra maupun intrakranial (Gayford and Haskell, 1990).
3. Sakit yang berasal dari luar wajah.
Rasa sakit dapat berasal dari Mata, Jantung, Tulang spinal, Oesopagus. Mata secara
alami merupakan bagian dari wajah, normalnya pasien tidak mengeluh tentang rasa sakit dari
penyakit mata atau telinga, tetapi mengeluh tentang rasa sakit dari organ yang terserang.
Sebaliknya, sakit dari struktur lain biasanya meluas ke telinga (terutama dari gigi geraham
besar bawah dan sendi temporomandibular). Keadaan seperti ini ditandai dengan kelainan
lokal yang berhubungan engan rasa sakit, tetapi selain itu juga terlohat tanda yang samar ari
penyakityang terdapat di luar wajah yang menimbulkan rasa sakit tersebut (Gayford and
Haskell, 1990).
Faktor pemicu ( reseptor nyeri) dari Orofacial Pain terdapat di :
29

Otot-otot pengunyahan
Persendian gigi.
Jaringan sekitar gigi.3

Dan Orofacial Pain dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:


- Nyeri wajah dan rongga mulut, dan
- Nyeri gigi.3
Etiologi dari terjadinya Orofacial Pain ini diantaranya Local Disorders, Neurogical Disorders,
Kemungkinan penyebab psikogenik, Vascular Disorders, dan Reffered Pain.
6. Local disorders
Kelainan pada gigi dan jaringan penyangganya
Rahang
Antrum maksilaris
Kelenjar saliva
Hidung dan faring
Mata
7. Neurogical disorders
Neuralgia trigeminal idiopatik
Neoplasma maligna yang melibatkan saraf trigeminal
Neuralgia glosofaringeal
Herpes zoster (termasuk neuralgia posterpetik)
Sklerosis multipel
SUNCT (Severe Unilateral Neuralgia and Conjuctival Tearing) syndrome
8. Kemungkinan penyebab psikogenik
Nyeri wajah atipikal (atypical facial pain)
Burning mouth syndrome
Nyeri disfungsi temporomandibular
9.

Vascular disorders
Migrain
Neuralgia migrain
Giant cell artritis
Paroxysmal hemicrania
Neuralgia-inducing Cavitation Osteonecrosis (NICO)
10. Reffered pain
Nyeri pada nasofaringeal
Okuler
Aural
Respirasi jantung (cardiorespiratory)
Angina
30

Luka pada leher atau dada (termasuk kanker paru-paru) 1

Terdapat 4 klasifikasi utama yang mencoba untuk mengklasifikasikan penyebab nyeri


orofasial, tapi tidak ada sistem diterima secara universal.9
1. The International Classification of Headache Disorders edisi kedua (ICHD-2),
sebuah publikasi oleh International Headache Society.10
2. Klasifikasi Sakit kronis edisi kedua, sebuah publikasi oleh Asosiasi Internasional
untuk Studi Pain.11
3. American Academy of Orofacial Sakit
4. Kriteria Penelitian diagnostik untuk Temporomandibular Disorders (lihat bersama
disfungsi #kriteria diagnostik temporomandibular).

Adapun patofisiologi terjadinya Orofacial Pain terdiri dari beberapa faktor,


diantaranya Tranduksi, Transmisi, Modulasi, dan Persepsi nyeri.
5. Tranduksi
Terjadi perpindahan cairan kimia pada sel sehingga impuls berjalan ke
spinal cord.
Dimulai ketika terjadi injury pada sel, yang memicu pengeluaran bahan
kimia seperti prostaglandin, bradikinin, histamin, dan glutamat.
Nosiseptor yang terdapat pada kulit, tulang, sendi, otot, dan organ dalam
terstimuli.
6. Transmisi
Dimulai ketika nosiseptor terstimuli.
Transmisi nyeri terjadi melalui serabut saraf yang terdiri dari 2 macam,
yaitu:Serabut A yang peka terhadap nyeri yang tajam, panas, dan first pain.
Serabut C yang peka terhadap nyeri yang tumpul dan lama, second pain.
7. Modulasi
Ditimbulkan oleh stimulus yang sama, akan tetapi sangat berbeda pada
situasi dan individu berbeda.
Pada fase ini dilepaskan bahan neurochemical yang berfungsi mengurangi
rasa nyeri seperti endogenous opioid dan GABA.
8. Persepsi nyeri
Setelah sampai otak, stimulus yang dibawa oleh saraf tersebut dirasakan
secara sadar dan akan menimbulkan respon individu terhadap rangsangan
tersebut.
Persepsi baru akan timbul bila ambang nyeri tercapai oleh stimulus
sehingga dapat mencapai otak.

31

Pain treshold cenderung sama pada setiap orang akan tetapi persepsi orang
bisa berbeda-beda.1

Faktor Predisposisi Orofacial Pain


Nyeri gigi :
- Akibat perangsangan pd dentin atau pulpa.
- Suplai saraf atau devisi maksila dan mandibula dari N.trigeminus.
- Sebahagian serabut saraf berakhir pada pulpa, sebahagian menuju dinding pulpa arah
korona.
- Flexus sub odontoblast (sub dontoblastik)
- Plexus Raschkow yang terdiri serabut Type A bermyelin, serabut tipe C tidak bermyelin dan
saraf otonom lapisan odontoblast.
Serabut bermyeli, bersifat :
- Kecepatan hantar tinggi
- Ambang rangsang rendah
- Menghantarkan impuls sensorik yang tajam.
Serabut tak bermyelin, bersifat :
- kecepatan hantar relatif rendah.
- ambang rangsang tinggi.
- menghantar impuls nyeri yg tumpul dan lama.
Perangsangan pulpa
Serabut saraf pulpa dapat diaktifkan oleh berbagai rangsang yaitu : termis, listrik dan kimia.
Rangsang panas.
- Rangsang panas yang berulang atau terus menerus
- Sensitisasi atau kerusakan serabut aferen pulpa
- Preparasi gigi sebaiknya menggunakan air atau udara untuk pendingin.
Rangsang Listrik.
- Efektif mengaktifkan aferen nyeri dalam pulpa
- Digunakan untuk test vitalitas pulpa (pulptester)
Kelemahan
- Pengulangan rangsang tdk selalu menghasilkan efek yang sama.
- Rangsang tersebut tidak terlokalisir hanya pada gigi, tetapi dapat menyebar ke jaringan
periodonsium.
- Menurut penelitian tidak ada korelasi antara ambang sensorik dengan kuat rangsang serta
keadaan patologik pulpa.
Rangsang kimia.

32

- Aferen nyeri pada pulpa relatif tidak peka terhadap zat kimia endogen (histamin, bradikinin,
kecuali oleh 5 hidroksitriptamin (serotonin)3
Penataklasanaan untuk Orofacial Pain yaitu Strategic Management of Orofacial
Pain dimana cara tersebut dapat dilakukan tergantung dengan kasusnya terlebih dahulu.
Pengobatan akan mencapai hasil yang optimal apabila patofisiologi tertentu dari kasus
tersebut sudah diatasi sebelumnya. Manajemen Monodisipliner adalah model tradisional yang
sudah terbukti efektif dalam kasus yang penyebab definitif dan efek dapat ditentukan, dalam
manajemen ini pembahasan meliputi perilaku fisik, somatik, psikologis, dan lingkungan.
Beberapa pembahasan itu akan meningkatkan hasil dari penataklasanaan kasus Orofacial Pain
tersebut (Gramillion, 2001). Adapun tujuan dari manajemen, termasuk mengurangi atau
menghilangkan
sakit,menghentikan proses penyakit bilamemungkinkan,
menormalkan
fungsi, meningkatkankualitas hidup, dan mengurangi kebutuhan untuk perawatan jangka
panjang
BAB IV
KESIMPULAN

Nyeri orofasial adalah pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan kemungkinan atau memang terjadinya kerusakan pada jaringan
daerah wajah, mulut dan gigi. Etiologi nyeri orofasial adalah Local disorders, Neurogical
disorders, Kemungkinan penyebab psikogenik, Vascular disorders dan Reffered pain.
Patogenesisnya Tranduksi, Transmisi, Modulasi dan Persepsi nyeri. Penatalaksanaannya
dengan Strategic management of orofacial pain. Orofacial Pain dibagi menjadi beberapa
penyakit diantaranya Neuralgia Trigeminal ( NT) digambarkan oleh IASP ( International
Association for the study of Pain ) sebagai nyeri di wajah yang timbulnya mendadak,
biasanya unilateral. Nyerinya singkat dan berat seperti ditusuk disalah satu cabang nervus
trigeminus. Neuralgia glossopharyngeal atau Glossopharyngeal pain adalah suatu kondisi di
mana berulangnya sakit parah di lidah, tenggorokan, telinga, dan amandel, yang dapat
berlangsung dari beberapa detik hingga beberapa menit. Bells Palsy adalah suatu kelumpuhan
saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak
disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. TMJ adalah

sendi yang kompleks terdiri dari kondilus, diskus, dan fossa glenoidalis. Bila terjadi
gangguan di daerah ini akan menimbulkan banyak simptom, seperti nyeri sendi, kliking,
krepitasi, nyeri otot: pengunyahan, leher, dan bahu, nyeri kepala yang kronis, dan terbatasnya
gerak rahang bawah. Postherpetic neuralgia adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan
dibagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.
Postherpetic neuralgia lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh
yang rendah. Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri somatik
atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri
psikogenik, seperti: lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab
33

yang mungkin, tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak
diharapkan dan tidak biasa. Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri psikogenik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Emerald Navy Wilbarine, Julius Montana, Ratna Putri, Wees Tove, Agustinus Kenny
Wijaya, Michelle Suhartono, Caroline Prajnaparamitha, Indira Alitia Fatarani,
Faraziza Maulana, Arlita Gladys Tricia, Abigail Goenawan, Paramita Devi Oktaviani
2013, Nyeri Orofacial, FKG Universitas Hang Tuah.Surabaya
2. Vadivelu Nalini. Orofacial Pain a Clinnician`s Guide: Departement of Anesthesiology
Yale University School of Medicine: USA: Springer
3. Yuliati, Nyeri TMJ ( PPT ), Departemen Biology Oral, Fakultas Kedokteran Gigi
Airlangga
4. Sunaryo, Utoyo, 2010, Neuralgia Trigeminal, RSUD Dr M.Saleh Probolinggo
(dibacakan pada seminar PDGI 2010 cabang Probolinggo)
5. Riawan, Lucky, 2007, Terapi Medika Mentosa pada Trigeminal Neuralgia, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung (dipresentasikan pada DIES
NATALIES ke-48 FKG universitas Pandjadjaran)
6. http://www.columbianeurosurgery.org/conditions/glossopharyngeal-neuralgia/
7. N. Gaharu, Maula,Lowis, Handoko, 2012, Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer, J Indon Med Assoc Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012,
Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta
Medical Center, Jakarta
8. Munilson Jacky, Edward Yan, Triana Wahyu, 2007 Jurnal DIAGNOSIS DAN
PENATALAKSANAN BELLS PALSY. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
9. Muttaqin Arif. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika, vol 3. 2010: 209-210
10. Amnil Andriana, 2009, Skripsi Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes
Zoster Oris (Laporan Kasus). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
11. Kurnikasari, Erna, Perawatan Disfungsi Sendi Temporomandibula Secara Paripurna,
Bagian Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

34

12. Nazar, Daniel Adriano, 2010, Gambaran Radiografi Gangguan Artikulasi Dari Sendi
Temporomandibular, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
(http://repository.usu.ac.id/handle/1223456789/16503)
13. Sari, Desy, Purnama, 2011, Penatalaksanaan Temporomandibular Disorder Akibat
Whiplash Injury, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
(http://repository.usu.ac.id/handle/1223456789/23620 )
14. Ningrum, Widya, 2011, Nyeri Wajah Atipikal dan Penatalaksanaannya, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
(http://repository.usu.ac.id/handle/1223456789/25177)
15. Pustaka.unpad.ac.id/Terapi Medikamentosa Pada Trigeminal Neuralgia.2.pdf
16. Hendra Santoso, 125Blogspot.Neuralgia Trigeminal;2011/12.
NeuralgiaTrigeminalnaskah.doc
17. www.scribd.com/1433674444.Orofacial-Pain-Full.doc
18. www.scribd.com/218369253-51283859-Makalah-Orofacial-pain.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai