Laporan Kasus Ulkus DM

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 65 TAHUN DENGAN KELUHAN


LUKA DI KAKI KIRI
Untuk memenuhi tugas Stase Komprehensife di RSI PKU Muhammadiyah
Pekajangan, Pekalongan

Disusun Oleh :

Lina Fathonah
H2A009029

Pembimbing :

dr. Alifa Novia F.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA

: LINA FATHONAH

NIM

: H2A009029

FAKULTAS

: KEDOKTERAN UMUM

BIDANG PENDIDIKAN

: ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING

: dr. Alifa Novia F.

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 17 Februari 2015

Pembimbing

dr. Alifa Novia F

DAFTAR MASALAH
No Masalah aktif
1
Diabetes mellitus
2
Ulkus DM

Tanggal
05/02/2015
05/02/2015

No
3
4

Tanggal
05/02/2015
05/02/2015

Masalah pasif
Tidak pernah olahraga
Suka minum minuman
manis
R. keluarga DM

Kesan ekonomi kurang

05/02/2015

05/02/2015

KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
Pasien bangsal

: Tn. H
: 65 tahun
: delektukang 06/03
: Islam
: Pedagang
: Menikah
: 23.15.28
: 3-2-2015
: Matahari kamar isolasi 6F

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di bangsal Matahari tanggal 5 Februari 2015 pukul
10.00 WIB secara autoanamnesis.
a) Keluhan utama : luka di kaki kiri
b) Riwayat Penyakit Sekarang :
1 tahun yang lalu sebelum masuk RSI PKU Muhammadiyah
Pekajangan pasien mengalami luka di kaki kiri, luka berukuran kecil, +
ukuran 2x3 cm, luka terasa nyeri, dan pasien tidak tahu penyebab luka
di kaki kirinya. Pasien merasa sering kencing, terutama malam hari
namun tidak disertai nyeri atau panas,alirannya juga lancar tidak
berhenti-berhenti, pasien merasa sering lapar, sering haus, badan
bertambah kurus semenjak didiagnosis sakit kencing manis 2 tahun
yang lalu.
6 bulan yang lalu pasien merasa luka bertambah besar,bertambah
nyeri, luka tampak basah dan berbau kemudian pasien dirawat di RSUD
KRATON selama kurang lebih 1 minggu namun luka pasien tidak
kunjung sembuh, pasien minta pulang paksa, kemudian pasien merawat
lukanya sendiri dirumah.
2 hari yang lalu , pasien merasa luka semakin besar dan bertambah
parah pasien memeriksakan lukanya ke RSI PKU Muhammadiyah
Pekajangan.

Saat diperiksa pada tanggal 5 Februari 2015 pasien mengaku tidak


terasa ketika kakinya terluka, sehingga pasien tidak mengetahui
penyebab luka tersebut, luka sudah tidak nyeri, tidak demam, mual
dan muntah disangkal, pasien sering merasa lapar, sering haus, pasien
mengeluh sering BAK , badan terasa lesu dan mudah lelah. Kesemutan
(-), pandangan kabur (-). Sebelumnya pasien tidak rajin periksa dan
minum obat untuk mengontrol gula darahnya. Obat yang biasa pasien
gunakan saat ada keluhan adalah glibenklamid.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa
: diakui (1 tahun yang lalu)
Riwayat mondok
: diakui (6 bulan yang lalu)
Riwayat DM
: diakui (sejak 2 tahun lalu)
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Penyakit jantung
: disangkal
Riwayat amputasi
: disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat DM
: diakui ( bapak )
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Penyakit jantung
: disangkal
Alergi makanan
: disangkal
Alergi obat
: disangkal
e) Riwayat Pribadi:
Kebiasaan olahraga
: disangkal
Kebiasaan merokok
: disangkal
Kebiasaan minum alkohol
: disangkal
Kebiasaan minum minuman yang manis : diakui
Berobat teratur
: disangkal (pasien berobat
apabila ada keluhan)
f) Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien pedagang di pasar tinggal dirumah bersama istri, 2 anak,
menantu dan ke 3 cucunya. Biaya pengobatan menggunakan BPJS
PBI.
Kesan ekonomi : kurang
g) Anamnesis Sistem

Sistem respirasi

Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), batuk

darah (-), mengi (-), tidur mendengkur (-)

Sistem kardiovaskuler : Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada


(-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-) sesak nafas sewaktu
berbaring (-)

Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), perut mules (-), diare
(-), nyeri ulu hati (-), nafsu makan menurun (+), BB turun (+).

Sistem muskuloskeletal : Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-).

Sistem genitourinaria

: Sering kencing (+), nyeri saat kencing

(-),keluar darah (-), berpasir (-), kencing nanah (-), sulit memulai
kencing (-), warna kencing kuning jernih, anyang-anyangan (-), BAK
berwarna seperti teh (-).
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 5 Februari 2015 , pukul 10.15
a) Keadaan umum
: baik
b) Kesadaran
: compos mentis
c) Vital sign
TD
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,50C (axiller)
Status gizi
: BB : 60 kg
TB

: 166 cm

BMI : 21.81kg/m2
Kesan : Normoweigh
d) Status Internus
- Kepala
: kesan mesocephal
- Mata :
konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
pupil isokor (+/+)
reflek pupil (+/+)
bulu alis madarosis (-/-)
- Hidung :
napas cuping hidung (-)
6

nyeri tekan (-)


krepitasi (-)
Sekret (-)
septum deviasi (-)
konka: hiperemis (-) dan deformitas (-)
Mulut :
sianosis (-)
bibir kering (-)
Pursed lips-breathing (-)
lidah kotor (-)
uvula simetris (+)
tonsil (T1/T1), hiperemis (-),kripte melebar (-)
gigi karies (-)
Telinga :
Sekret (-/-)
Serumen (+/+)
Laserasi (-/-)
Leher :
nyeri tekan trakea (-)
pembesaran limfonodi (-/-)
Pembesaran tiroid (-/-)
Pergerakan otot bantu pernafasan (-)
Thoraks
Cor :
Inspeksi
: ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis teraba di ICS V 1-2 cm ke medial
linea midclavicula sinistra, kuat angkat (-)
Perkusi
: batas atas : ICS II linea parasternal dextra
pinggang jantung: ICS III linea midclavikula
sinistra
batas kanan bawah : ICS V linea sternalis
dextra
kiri bawah : ICS V 2 cm dari mid.clavicula
sinistra.
Kesan : konfigurasi dalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II reguler
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)

Pulmo :
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada

Dextra

Sinistra

datar

datar
7

Hemitorak
Warna
2. Palpasi
Nyeri tekan
Stem fremitus

Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis


Sama dengan kulit Sama dengan kulit
sekitar
sekitar
(-)
(-)
(+) normal, Kanan = (+) normal, kanan = kiri
kiri

3. Perkusi
Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang
paru
paru
4. Auskultasi
Depan
Suara dasar
Suara tambahan
Wheezing
Ronki kasar
RBH
Stridor
Belakang
1. Inspeksi
Warna

Vesikuler (+)
Vesikuler (+)
(-)
(-)
(-)
(-)

Sama dengan
sekitar

(-)
(-)
(-)
(-)

kulit Sama dengan


sekitar

kulit

2. Palpasi
Nyeri tekan
Stem Fremitus

(-)
(-)
(+) normal, kanan = (+) normal, kanan = kiri
kiri

3. Perkusi

Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang


paru
paru

4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
Wheezing
Ronki kasar
RBH
Stridor
Tampak anterior paru

Vesikuler (+)

Vesikuler (+)

(-)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)

Tampak posterior paru

Vesikuler

Vesikuler

e) Abdomen

Inspeksi :

Bentuk : datar
Warna : sama dengan warna kulit sekitar
Venektasi : (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 9 x/menit
Palpasi :
Supel (+), Nyeri tekan (-)
Defance muscular : (-)
Hepar : normal
Lien : normal
Ginjal : normal, tidak teraba
Perkusi
:
Timphani di seluruh kuadran
Pekak hati (+)
Pekak sisi (+) normal
f) Ekstremitas
Superior
Akral dingin
-/Oedem
-/Sianosis
-/Gerak
5/5
5/5
Tremor
-/Luka terbuka:
-/- Lokasi
- Ukuran

- Dasar luka
- Tampilan luka
- Berbau
- Gangrene

Inferior
-/-/-/5/5
5/5
-/-/+
Dorsum dan plantar
pedis
Plantar : 6x3 cm
3x3 cm
Dorsum : 2x4 cm
Fascia dan tendon
Kotor dan basah
++
Digiti pedis 2-4 sinistra

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium (03-02-2015)
Darah lengkap
Pemeriksaan
Lekosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
LED 1 Jam
LED 2 Jam
Diff Count
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Batang
Neutrofil Segmen
Limfosit
Monosit
Uric acid
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT
Albumin
Protein Total

Hasil
14.8
11.7
31
274
26
66
0
0
0
91
7
2
2,4
32,5
0,67
11,2
19,3
3,9
5,5

Nilai Normal
4,8 10,8
12 16
37 47
150 450
0 20
0 20
24
01
26
50 70
25 40
28
2,6 6,0
17 - 43
0,6 1,1
< 31
< 31
3,8 5,1
6,0 8,5

Satuan
gr/dl
/mm3
/mm3
%
mm / jam
mm / jam
%
%
%
%
%
%
mg/dl
mg/dl
mg/dl
u/l
u/l
g/dl
g/dl

Hasil
346

Nilai Normal
<125

Satuan
gr/dl

Glukosa darah
Pemeriksaan
Glukosa Sewaktu
5. Daftar Abnormalitas
10

a. Anamnesis
1. Luka di kaki kiri susah sembuh
2. Berat badan menurun
3. Poliuri
4. Polifagi
5. Polidipsi
6. Lesu
7. Mudah lelah
8. Riwayat keluarga DM
9. Riwayat DM 2 tahun
10. Riwayat minum obat glibenklamit bila ada keluhan
b. Pemeriksaan Fisik
11. Luka terbuka di dorsum dan plantar pedis sinistra
12. Gangrene pada digiti 2-4 pedis sinistra
c. Pemeriksaan Penunjang
13. Lekosis 14.8 H
14. Gula darah sewaktu 346 H

6. Analisis masalah
Daftar Problem
Diabetes Mellitus

: 2,3,4,5,6,7,8,9,10

Ulkus DM grade IV

: 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14

7. Rencana Pemecahan Masalah


-

Problem : Diabetes Mellitus Type II


- Ass Etiologi
Adanya tahanan insulin (DM type 2)
Sekresi insulin yang tidak cukup (DM type 2)
Defisiensi insulin absolute (DM type 1)
-

Ass Faktor Resiko


- Suka mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis
- Riwayat keluarga (ibu pasien)
- Tidak pernah berolahraga

11

Ass Komplikasi
Komplikasi akut :
1. Hipoglikemia
2. Keto Asidosis Diabetika (KAD)
3. Koma Lakto Asidosis
4. Koma Hiperosmolar Non Ketotik.
Komplikasi kronis :
1. Makroangiopati, pembuluh darah jantung / Penyakit
Jantung Koroner, pembuluh darah otak /stroke, dan
pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease.
2. Mikroangiopati, retinopati diabetika (mengenai retina mata)
dan nefropati diabetika (mengenai ginjal), Neuropati,
mengenai saraf tepi.

o Initial Plan
- IpDx
GD 1 dan GD 2
HbA1C
- IpTx
- Medikamentoasa
Infus RL 20 tpm
Injeksi Insulin aspart 10 unit/ 8 jam (10-10-10)
P.O Vitamin B komplek tab 1/ 24 jam
- Non medikamentosa
Konsul gizi
- IpMx
- Tanda vital dan keluhan
- GDS setiap 6 jam
- IpEx
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
-

yang diderita pasien


Mengontrol makanan yang dikonsumsi, sesuai dengan diet

yang dianjurkan
Edukasi kepada keluarga tentang cara penyuntikan insulin.

Problem : Ulkus pedis DM Sinistra Grade IV


-

Ass. Etiologi
- Diabetes mellitus (iskemik, neuropati, infeksi)
Ass. Faktor Resiko
- Penderita DM lama

12

- Jarang menggunakan alas kaki


- Higine sanitasi yang buruk
- Obesitas
Ass. Komplikasi
- Osteomielitis
- Gangrene
- Sepsis
Initial Plan
- Ip Dx
Darah rutin, kultur bakteri, vascular imaging
- Ip Tx
- Medikamentosa
- Kompres dengan NaCl
- Injeksi Ceftriazon 1 gram/ 12 jam
- Injeksi Metronidazole 500mg/ 8 jam (IV)
- Injeksi Ranitidin 1 ampul / 12 jam (IV)
- Non medikamentosa
- Ganti balut perhari
- Konsul spesialis bedah
- Program debridemen
- Ip Mx
- Monitoring GDS
- Monitoring KU dan tanda vital
- Monitoring luka
- Ip Ex
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga
mengenai penyakit yang diderita pasien meliputi
definisi,
-

etiologi,

faktor

risiko

dan

komplikasinya.
Jaga kebersihan luka
Kontrol kadar gula darah dengan ikuti anjuran
makan diet 3J (Jadwal, Jenis, Jumlah).

8. PROGRESS NOTE
ULKUS DM
Tanggal
6 Februari 2015

Follow up
: - luka di kaki kiri

13

- badan lemas

7 Februari 2015

O:
KU : CM, baik
TD : 120/70mmHg
RR : 20 x/menit
HR : 96x/menit
Suhu : 36,80C
Kepala : mesochepal
Mata : CPA -/-, SI -/Telinga : dbn
Hidung : dbn
Mulut : dbn
Leher : dbn
Thorax : BJ I-II regular
SD Vesikuler +/+
Ronkhi -/Abdomen: Nyeri Tekan Epigastrium (-) , Bising usus
(+) N
Ekstreminitas : atas : akral dingin, oedem -/bawah : akral dingin, oedem +/+
status dermatologi : lokasi : pedis sinistra, UKK :
ulkus dasar kotor
GDS : 240
A : ulkus DM
P : Infus RL 20 tpm
Insulin aspart 12-12-12
Glucobay 50 mg /8 jam
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Metronidazole 500 mg/ 8 jam
Ranitidin 1 amp/ 12 jam
Sohobion tab 1/ 24 jam
Rawat Luka
S : - luka di kaki kiri
O:
KU : CM, baik
TD : 120/70mmHg
RR : 21 x/menit
HR : 94x/menit
Suhu : 36,60C
Kepala : mesochepal

14

Mata : CPA -/-, SI -/Telinga : dbn


Hidung : dbn
Mulut : dbn
Leher : dbn
Thorax : BJ I-II regular
SD Vesikuler +/+
Ronkhi - /Abdomen: Nyeri Tekan Epigastrium (-) , Bising usus
(+) N
Ekstreminitas : atas : akral dingin, oedem -/bawah : akral dingin, oedem +/+
status dermatologi : lokasi : pedis sinistra, UKK :
ulkus dasar kotor
GDS : 204
A : ulkus DM
P : Infus RL 20 tpm
Insulin aspart 12-12-12
Glucobay 50 mg /8 jam
Aspilet 80 mg/ 24 jam
Metronidazole 500 mg/ 8 jam
Ranitidin 1 amp/ 12 jam
Sohobion tab 1/ 24 jam
Rawat Luka
(Program debridemen)

15

PEMBAHASAN
DIABETES MELLITUS
DEFINISI
(DM) adalah

sekelompok kelainan metabolik yang ditandai oleh

hiperglikemia dan kelainan pada metablisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM


muncul dari defek pada sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya.
Komplikasi mikrovaskular, makrovaskular kronik serta neuropati bisa terjadi.1,2
PATOFISIOLOGI

- DM tipe I (sebelumnya disebut tergantung insulin atau diabetes juvenile)


merupakan 10% dari semua kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa
kanak-kanak atau dewasa muda dan biasanya muncul dari perusakan sel
pankreas yang dimediasi sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin
absolut. Ada periode preklinis yang panjang (sampai 9-13 tahun) yang
ditandai oleh kehadiran penanda imun ketika perusakan sel diperkirakan
terjadi. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel hancur. Ada masa remisi
singkat (fase bulan

madu) yang diikuti munculnya penyakit dengan

resiko yang dihubungkan dengan komplikasi dan kematian. Faktor yang


memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi
oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke

berbagai antigen sel (seperti, antibodi islet cell, antibodi insulin).


DM tipe II (sebelumnya disebut tidak tergantung insulin) merupakan 90%
dari semua kasus DM dan biasanya ditandai dengan resistensi terhadap
insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin manifestasinya berupa
peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi
glukosa hepatik, dan penurunan asupan glukosa ke otot rangka. Disfungsi

16

sel terjadi progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan
berjalannya waktu. DM tipe II terjadi ketika gaya hidup diabetogenik
(asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan kegemukan) yang
memperburuk genotip tertentu.1,2
Sebab diabetes yang tidak umum (1-2% dari semua kasus) termasuk
kelainan endokrin (seperti akromegali, sindrom Cushing), gestational
diabetes mellitus (GDM), penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis),
dan obat-obatan (seperti, glukokortikoid, pentamidine, niasin, dan

interferon).
Kelainan glukosa puasa dan kelainan toleransi glukosa adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pasien dengan level glukosa plasma
lebih tinggi dari normal tapi tidak didiagnosa DM (lihat bagian
DIAGNOSA). Kelainan ini adalah faktor resiko untuk berkembangnya
DM dan penyakit kardiovaskular dan dihubungkan dengan sindrome

resistensi insulin.
Komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati, dan nefropati.
Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke, dan
penyakit vaskular perifer.3,4,5

TAMPILAN KLINIK
-

DM TIPE I

Individu dengan DM tipe I umumnya kurus dan rentan terkena


diabetic ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah
kondisi stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang
kerjanya berlawanan dengan insulin.

Sekitar 20-40% pasien akan mengalami DKA setelah beberapa hari


mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat turun.

DM TIPE II

Pasien DM tipe II seringkali asimtomatik. Tetapi, beberapa mengalami


komplikasi serius, seperti neuropati.

Diagnosa DM tipe II bisa dilakukan pada pasien obese, pasien dengan


keluarga dekat yang mengidap DM tipe II, berasal dari etnis resiko

17

tinggi, wanita yang baru saja melahirkan bayi dengan berat badan
besar atau dengan riwayat untuk GDM, pasien dengan hipertensi, atau
pasien dengan trigliserida tinggi (> 250 mg/dl) atau high density
lipoprotein cholseterol (HDL-C) rendah (<35 mg/dl).
DIAGNOSA
-

Skrining untuk DM tipe II sebaiknya dilakukan tiap 3 tahun pada semua


dewasa dari usia 45 tahun. Uji bisa dilakukan pada usia lebih muda dan
lebih sering pada individu dengan faktor resiko (seperti, riwayat keluarga
untuk DM, obesitas, jarang melakukan aktivitas fisik).

Uji skrining yang dianjurkan umumnya adalah fasting glucose plasma,


FPG (glukosa plasma puasa). FPG normal <110 mg/dl.

Impaired fasting glucose, IFG (kelainan glukosa puasa) adalah FPG >110
mg/dl tapi <126 mg/dl.

Impaired glucose tolerance, IGT (kelainan toleransi glukosa) didiagnosa


ketika sampel oral glucose tolerance test, OGTT (uji toleransi glukosa oral)
yang diambil 2 jam setelah makan >140 mg/dl tapi <200 mg/dl.

Revisi 1997 untuk kriteria diagnosa untuk DM pada Tabel 17-1.

Wanita hamil sebaiknya menjalani penilaian untuk resiko GDM pada


kunjungan prenatal pertama dan dilanjutkan dengan uji glukosa jika
beresiko tinggi (seperti, obesitas, riwayat pribadi untuk GDM, glikosuria,
atau riwayat keluarga yang kuat untuk DM). Skrining tidak diperlukan pada
pasien resiko rendah GDM (usia di bawah 25 tahun, berat badan normal,
tidak ada riwayat keluarga untuk DM, tanpa riwayat gangguan metabolisme
glukosa atau kesulitan melahirkan, dan tidak dari etnik yang beresiko tinggi
untuk terkena DM).

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada DM mengurangi simtom hiperglisemia, mengurangi
onset

dan

perkembangan

komplikasi

mikrvaskular

dan

makrovaskular,

mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Level glukosa plasma


dan darah lengkap serta hemoglobin terglikosilasi (HbA1C) .
-

PRINSIP UMUM

18

Glisemi yang mendekati normal mengurangi resiko komplikasi


penyakit mikrovaskular, tapi diperlukan penanganan agresif pada
faktor resiko kardiovaskular (yaitu, berhenti merokok, penanganan
dislipidemia, kontrol atas tekanan darah, terapi antiplatelet) untuk

mengurangi resiko penyakit makrovaskular.


Penanganan yang sesuai membutuhkan penetapan target untuk
glisemia, tekanan darah, dan tingkat lipid, pengawasan teratur untuk
komplikasi; melakukan self-monitoring blood glucose, SMBG
(monitoring mandiri glukosa darah) yang sesuai; dan penilaian atas

parameter laboratorium.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
- Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk pasien DM
tipe I dengan berat badan rendah, fokusnya pada pengaturan
pemberian insulin dengan diet yang seimbang untuk mencapai dan
menjaga berat badan yang sesuai. Pada umumnya, diet tinggi
karbohidrat (dalam bentuk gula sederhana dalam hidangan campuran),
rendah lemak (terutama untuk lemak jenuh), rendah kolesterol sesuai.
Kebanyakan pasien DM tipe II juga membutuhkan pembatasan kalori.
Makanan ringan sebelum tidur dan antar waktu makan biasanya tidak
-

dibutuhkan jika penanganan farmakologi sesuai.


Kebanyakan pasien mendapat manfaat dari peningkatan aktivitas fisik.
Latihan aerobik menurunkan resistensi insulin dan bisa memperbaiki
glisemia pada beberapa pasien. Latihan fisik sebaiknya dimulai ringan
pada pasien yang sebelumnya jarang beraktivitas fisik. Pasien lansia
dan mereka dengan penyakit aterosklerotik sebaiknya menjalani

evaluasi kardiovaskular sebelum memulai porgram latihan.1,2,4


TERAPI FARMAKOLOGI
- Insulin

Berbagai sediaan insulin berbeda pada sumbernya (manusia atau


hewan), kemurnian, mula kerja, waktu untuk mencapai puncak
efek, durasi efek, dan tampilan.

Insulin umum mempunyai mula kerja yang relatif lambat ketika


diberikan subkutan, memerlukan injeksi 30 menit sebelum
19

makan untuk mendapatkan kontrol glukosa post prandial yang


optimal dan mencegah hipoglisemi setelah makan yang tertunda.

Insulin lispro dan insulin aspart adalah analog insulin yang


diproduksi dengan modifikasi pada molekul insulin manusia.
Insulin ini lebih cepat diserap dengan durasi efek lebih singkat
dari insulin normal. Insulin ini bisa diberikan segera sebelum
makan, menghasilkan efek lebih baik untuk menurunkan
glukosa post prandial daripada insulin normal pada DM tipe I,
dan mengurangi hipoglisemi setelah makan yang tertunda.

NPH dan insulin Lente durasinya intermediet, dan insulin


Ultralente

durasinya

panjang.

Variasi

pada

absorpsi,

penggunaan oleh pasien, dan perbedaaan pada farmakokinetik


bisa menyebabkan respon gluksoa yang labil, nocturnal (malam
hari) hipoglisemia, dan hiperglisemia sewaktu puasa.

Insulin glargine adalah analog insulin manusia durasi panjang


yang tanpa puncak, dikembangkan untuk menghilangkan
kerugian insulin durasi intermediet atau panjang lainnya. Insulin
ini lebih kurang menyebabkan nocturnal hipoglisemia daripada
insulin NPH ketika diberikan sebelum tidur pada pasien DM tipe
I.

Pada DM tipe I, rerata kebutuhan harian insulin adalah 0,5-0,6


unit/kg. Ini bisa turun sampai 0,1-0,4 unit/kg pada fase bulan
madu. Dosis lebih tinggi (0,5-1 unit/kg) diperlukan ketika terjadi
serangan akut atau ketosis. Pada DM tipe II, sering diperlukan
dosis 0,7-2,5 unit/kg untuk pasien dengan resistensi insulin.

Hipoglisemia merupakan efek samping paling umum dari


insulin. Perawatannya adalah sebagai berikut:
o Glukosa (10-15 g) oral adalah perawatan yang dianjurkan
untuk pasien yang sadar.
o Dextrosa IV bisa diperlukan jika pasien tidak sadar.

20

o Glukagon, 1 g IM, adalah perawatan pilihan pada pasien


yang tidak sadar ketika tidak bisa digunakan rute IV.
-

Sulfunilurea (Tabel 17-4)

Glyburide, glipizide, dan sulfonilurea lainnya memberikan aksi


hipoglisemia dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas.
Semua sulfonilurea sama efektifnya untuk menurunkan gula
darah ketika diberikan dalam dosis yang setara. Umumnya,
HbA1C akan turun 1,5-2,0%.

Efek samping paling umum adalah hipoglisemia, yang lebih


menjadi

masalah

dengan

(seperti,chlorpropamide).

obat

Individu

yang

bekerja

lama

dengan

resiko

tinggi

termasuk lansia, mereka dengan gangguan fungsi ginjal atau


penyakit liver stadium lanjut, dan mereka yang tidak makan,
melakukan olahraga berlebihan, atau kehilangan berat badan
dalam jumlah besar. Berat bertambah umum terjadi; efek
samping yang kurang umum termasuk kulit kemerahan,anemia
hemolitik,

gangguan

saluran

cerna,

dan

cholestasis.

Hiponatremia paling umum terjadi dengan chlorpropamide tapi


juga telah dilaporkan dengan tolbutamide.

Dosis awal yang dianjurkan sebaiknya dikurangi pada pasien


lansia yang sudah mengalami kompromi fungsi renal dan liver.
Dosis bisa dititrasi tiap 1-2 minggu (interval lebih panjang untuk
chlorpropamide) untuk mendapatkan target glisemi.

Meglitinide

Serupa dengan sulfonilurea, meglitinide menurunkan glukosa


dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tapi pelepasan
insulin adalah tergantung glukosa dan akan hilang pada
konsentrasi glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi
untuk hipoglisemi parah. Agen in menghasilkan pelepasan
insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat menurunkan

21

glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea durasi


panjang. Rerata pengurangan HbA1C adalah 0,6-1 %. Obat-obat
ini sebaiknya diberikan sebelum makan. Jika ada waktu makan
yang dilewatkan, maka obat ini juga tidak diminum. Saat ini
tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk lansia.

Repaglinide (Prandin) dimulai pada 0,5-2 mg dengan dosis


maksimum 4 mg tiap makan (sampai 4 makan per ahri atau 16
mg/hari)

Nateglinide (Starlix) diberikan 120 mg tiga kali sehari sebelum


makan. Dosis bisa diturunkan sampai 60 mg tiap makan pada
pasien yang HbA1C mendekati target terapi ketika terapi
dimulai.

Biguanide

Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia.


Metformin mengurangi produksi glukosa dan meningkatkan
penggunaan

glukosa

di

perifer.

Metformin

juga

bisa

menyebabkan anoreksia ringan yang membantu kontrol glisemi


dengan memperkecil bertambahnya berat atau merangsang
pengurangan berat. Insulin harus ada agar metformin bisa
bekerja. Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea dalam
mengontrol

glukosa

darah.

Metformin

umumnya

lebih

mempengaruhi lipid, mengurangi trigliserida puasa sekitar 16%


dan low density lipoprotein cholesterol (LDL-C) sekitar 8%, dan
meningkatkan

HDL-C

sekitar

2%.

Metformin

tidak

menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian.

Efek samping paling umum adalah mual, muntah, diare,


anoreksia dan rasa logam. Efek ini bisa dikurangi dengan
mentitrasi dosisnya perlahan dan menggunakannya bersama
makanan. Sediaan lepas lambat (Glucophage XR) mengurangi
efek samping saluran cerna dan bisa digunakan sekali sehari,
tapi mempunyai efek yang berbahaya pada lipid dan bisa tidak
22

mempunyai aktivitas glisemik yang setara dengan sediaan


metformin konvensional.

Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali


sehari dengan makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan
ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu)
sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum
yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari.

Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan


500 mg dengan makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap
minggu sampai total 2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa
didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis maksimum, bisa
diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.

Thiazolidinediones (Glitazone)

Agen-agen ini mengaktifkan PPAR, suatu faktor transkripsi


nuklear yang penting pada diferensiasi sel lemak dan
metabolisme asam lemak. Agonis PPAR mengurangi resistensi
insulin pada perifer (membuat otot dan lemak sensitif terhadap
insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin harus ada dalam
jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi. Agen-agen
ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDLC, tapi LDL-C juga meningkat.

Pioglitazone (Actos) dimulai 15-30 mg sekali sehari. Dosis


maksimum adalah 45 mg/hari.

Rosiglitazone (Avandia) dimulai 2-4 mg sekali sehari. Dosis


maksimum adalah 8 mg/hari. Respon yang sedikit lebih besar
bisa muncul ketika dosis 4-8 mg/hari diberikan dalam dua dosis
terbagi.

Bisa butuh 3-4 bulan untuk melihat efek antihiperglisemi


sepenuhnya. Monoterapi seringkali tidak efektif kecuali obat

23

diberikan di awal perjalanan penyakit ketika jumlah sel masih


cukup dan terjadi hiperinsulinemia.

Edema dan bertambah berat bisa menjadi masalah substantial


bagi pasien yang menggunakan glitazone dengan atau tanpa
insulin secretagogu. Retensi cairan bisa merangsang atau
memperburuk gagal jantung kongestif pada pasien dengan
kompromi pada fungsi ventrikel kiri. Rosiglitazone dan
pioglitazone tampaknya tidak memberikan masalah toksisitas
liver yang menyebabkan troglitazone ditarik dari pasar. Tetapi,
uji kerusakan liver (AST, ALT) sebaiknya diperoleh ketika
memulai terapi, selama tiap bulan pada tahun pertama, dan
secara periodik setelahnya. Kedua obat tidak boleh diberikan
jika baseline AST atau ALT melebihi 2,5 kali batas atas normal.
Pemberiannya harus dihentikan jika hasil uji melebihi tiga kali
batas atas normal atau ada tanda atau simtom kerusakan liver.

Inhibitor Glukonidase

Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat


kompleks di intestinal kecil, sehingga memperlama absorpsi
karbohidrat.

Ini

berefek

langsung

pada

berkurangnya

konsentrasi glukosa post prandial sementara glukosa puasa


relatif tidak berubah. Efek pada kontrol glisemi cukup moderat,
dengan rerata pengurangan HbA1C 0,3-1%.

Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa.


Terapi dimulai dengan dosis rendah (25-50 mg dengan satu kali
makan sehari) dan ditingkatkan bertahap (selama sebulan)
sampai maksimum 50 mg tiga kali sehari untuk pasien <60 kg
atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien >60 kg.

Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan


kejang abdominal, yang bisa dikurangi dengan memperlambat
titrasi dosis. Jika hipoglisemia terjadi ketika digunakan bersama
dengan agen hipoglisemi (sulfonilurea atau insulin), produk
24

glukosa oral atau parenteral (dextrosa) atau glukagon harus


diberikan karena obat akan menginhibit pemecahan dan absrpsi
molekul gula yang lebih komplek (seperti, sukrosa).
-

FARMAKOTERAPI DM TIPE I

Semua pasien DM tipe I membutuhkan insulin, tapi tipe dan cara


pemberiannya berbeda antar individu dan klinisi.

Strategi terapi sebaiknya dilakukan untuk mencocokkan asupan


karbohidrat dengan proses penurunan glukosa (biasanya insulin) dan
latihan fisik. Dilakukan modifikasi diet sehingga pasien tetap bisa
menjalankan aktivitasnya secara normal.

Waktu onset insulin, puncak, dan durasi efek harus memenuhi pola
makan dan jadwal latihan untuk mendapatkan konsentrasi glukosa
darah mendekati normal untuk sepanjang hari

Regimen dua injeksi harian yang bisa dengan kasar memperkirakan


sekresi insulin fisiologis adalah campuran injeksi dosis pagi insulin
NPH dan insulin konvensional sebelum sarapan dan sekali lagi
sebelum makan petang . ini dengan asumsi bahwa insulin NPH pagi
memberikan basal insulin basal sepanjang hari dan menutupi
kebutuhan untuk makanan tengah hari, insulin pagi hari untuk
menutupi sarapan, insulin NPH petang untuk basal insulin untuk sisa
hari, dan insulin petang untuk makan petang. Pasien bsa memulai
dengan 0,6 unit/kg per hari, dimana dua per tiga diberikan pagi hari
dan sisanya untuk dosis petang. Insulin aksi cepat (seperti, NPH)
sebaiknya terdiri dari dua per tiga dosis pagi dan satu setengah dosis
petang. Tetapi, kebanyakan pasien sulit untuk dikontrol asupan
glukosa dari makanan dengan pendekatan ini. Jika glukosa puasa di
pagi hari terlalu tinggi, dosis NPH petang bisa dipindahkan ke
sebelum tidur (hingga total tiga injeksi per hari). Ini bisa memberikan
intensifikasi terapi yang cukup untuk beberapa pasien.

25

Konsep injeksi basal-bolus mencoba untuk meniru fisiologi insulin


normal dengan memberikan insulin kerja intermediet atau kerja
panjang sebagai komponen basal dan insulin kerja singkat sebagai
bagian

bolus

(lihat

Gambar

17-1,

no.2-4).

Terapi

intensif

menggunakan pendekatan ini dianjurkan untuk semua dewasa sewaktu


diagnosa untuk memperkuat pentingnya kontrol glisemi dari awal
terapi. Karena anak-anak dan remaja menjelang pubertas relatif
terlindungi dari komplikasi mikrovaskular dan harus ditangani dengan
regimen yang praktis penggunaannya, terapi yang kurang intensif (dua
injeksi per hari insulin campuran) bisa diberikan sampai mereka
mencapai pubertas.

Komponen basal insulin bisa disediakan oleh insulin NPH, Lente,


atau Ultralente sekali atau (yang lebih umum) dua kali sehari atau
insulin glargine sekali sehari. Insulin glargine adalah suplemen
insulin basal yang praktis untuk kebanyakan pasien karena tidak
mempunyai puncak efek yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan makanan dan aktivitas dengan insulin kerja panjang
lainnya.

Komponen insulin bolus diberikan sebelum makan dengan insulin


biasa, insulin lispro, atau insulin aspart. Onset yang cepat dan durasi
singkat dari insulin lispro dan insulin aspart lebih dekat meniru
fisiologis normal daripada insuln biasa, sehingga pasien bisa
menggunakan variasi jumlah yang berbeda berdasarkan pada level
SMBG preprandial, level aktivitas yang akan dilakukan, dan asupan
karbohidrat yang akan diambil. Kebanyakan pasien mempunyai dosis
insulin preprandial yang bisa mereka variasikan berdasar algoritma
(aturan pemberian) insulin. Hitung karbohidrat adalah alat yang
efektif untuk menentukan jumlah insulin yang akan diinjeksikan
preprandial.

Sebagai contoh, pasien bisa mulai dengan sekitar 0,6 unit/kg per hari
insulin, dengan insulin basal 45% dari total dosis dan insulin prandial
26

25% dari tortal dosis sebelum sarapan, 15% sebelum makan siang dan
15% sebelum makan malam. Kebanyakan pasien membutuhkan dosis
total harian antara 0,5-1 unit/kg per hari.

Continous subcutaneous insulin infusion, CSII, (infusi insulin


subkutan berkelanjutan) adalah bentuk terbaik untuk pengiriman
insulin basal-bolus. Dosis insulin basal bisa bervariasi, konsisten
dengan perubahan kebutuhan insulin sepanjang hari. Pada pasien
terpilih, CSII bisa memberikan kontrol glisemi lebih baik. Tetapi,
metode ini membutuhan perhatian lebih besar untuk detail dan
frekuensi SBMG jika dibandingkan dengan empat injeksi tiap hari.

Semua pasien yang menerima insulin sebaiknya mendapat edukasi


pada pengenalan dan pengatasan hipoglisemi.

FARMAKOTERAPI DM TIPE II

Pasien simtomatik bisa awalnya membutuhkan insulin utnuk


mengurangi toksisitas glukosa (yang bisa mengurangi sekresi insulin
sel dan memperburuk resistensi insulin).

Pasien dengan HbA1C <7% biasanya dirawat dengan ukuran terapi


gaya hidup. Mereka dengan HbA1C >7% tapi <8% awalnya dirawat
dengan agen oral tunggal. Kebanyakan pasien dengan nilai HbA1C
lebih tinggi dari 9%-10% membutuhkan dua agen atau lebih untuk
mencapai target glisemi.

Pasien obese (>120% berat badan ideal) sebaiknya memulai dengan


metformin, dititrasi sampai paling tidak 2000 mg/hari, jika tidak ada
kontraindikasi. Suatu thiazolidinedione (rosiglitazone, pioglitazone)
bisa

digunakan

pada

pasien

dengan

intoleransi

atau

dikontraindikasikan terhadap metformin.

Pasien dengan berat badan mendekati normal bisa dirawat dengan


insulin secretagogu.

Inhibitor glukosidase bisa digunakan pada pasien yang beresiko


untuk hipoglisemi, pada pasien dengan manifestasi terutama

27

hiperglisemi postprandial, dan dalam kombinasi dengan hampir semua


obat lain.

Jika terapi awal gagal sebaiknya digunakan obat kedua sebagai


tambahan. Penggantian obat dari kelas lain sebaiknya disimpan untuk
kasus intoleransi obat.

Terapi kombinasi awal baik untuk pasien dengan HbA1C >9% -10%.
Produk kombinasi oral yang mengandung glyburideb dan metformin
(Glucovance) telah disetujui sebagai terapi pilihan pertama.

Setelah pasien gagal dengan dua obat, bisa ditambahkan kelas ketiga
(biasanya rosiglitazone atau pioglitazone), meski terapi seperti ini
saat ini belum disetujui FDA. Suatu alternatif adalah menambah
insulin sewaktu tidur, menggunakan insulin kerja intermediet atau
kerja panjang.

Hampir semua pasien pada ahirnya menjadi insulinopeni dan


membutuhkan terapi insulin. Pasien seringkali berpindah ke insulin
dengan menggunakan injeksi insulin kerja intermediat atau kerja
panjang sebelum tidur dengan agen oral yang digunakan terutama
untuk kontrol glisemia sepanjang hari. Ini menyebabkan lebih kurang
hiperinsulinemia sepanjang hari dan berat yang bertambah lebih
sedikit daripada menggunakan strategi pemakaian insulin tradisional.
Insulin

sensitizers

umum

digunakan

dengan

insulin

karena

kebanyakan pasien resisten insulin.

Ketika kombinasi insulin sebelum tidur dan medikasi oral untuk


sepanjang hari gagal, regimen insulin multiple dose dengan atau tanpa
insulin sensitizer bisa digunakan.

Karena variasi pada resistensi insulin, dosis insulin bisa berkisar dari
0,7-2,5 unit/kg per hari atau lebih.

Pasien lansia yang baru saja didiagnosa DM tipe II sebaiknya target


glisemi-nya

lebih

longgar

karena

peningkatan

resiko

untuk

hipoglisemi dan kemungkinan resiko jangka panjang terjadinya

28

komplikasi mikrovaskular. Pasien yang lebih kurus bisa dirawat


dengan menggunakan insulin secretagogue yang kerjanya lebih
singkat. Metformin bisa menjadi masalah di usia tua, karena resiko
ketoasidosis meningkat dengan bertambahnya usia. Regime insulin
sederhana bisa menjadi pendekatan yang diinginkan untuk pasien
lansia yang baru didiagnosa DM.

29

ULKUS DM
PENGANTAR
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya. Di dunia, jumlah penderita DM diperkirakan
sebanyak 171 juta jiwa dan keadaan ini diprediksi akan terus meningkat mencapai
366 juta jiwa pada tahun 2025.1 DM sering disertai berbagai komplikasi jangka
pendek maupun panjang, komplikasi ini menyebabkan meningkatnya angka
morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas hidup.2
Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang
terjadi juga semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai
tungkai bawah, dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di
bawahnya yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetes (KD). 3 Manifestasi KD
dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangrene, dan osteomyelitis. KD
merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa penderita
DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan
biaya sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat
umum.3,4
PATOFISIOLOGI
Terjadinya kaki diabetik adalah proses multifaktorial yang melibatkan
berbagai komplikasi DM maupun trauma yang secara langsung menyebabkan luka
pada kaki yang berisiko. Neuropati diabetes, kelainan vaskular, dan kerentanan
terhadap infeksi merupakan tiga faktor predisposisi terjadinya ulserasi pada kaki
diabetik.6 Trias ini jarang menyebabkan lesi pada kaki tanpa disertai dengan
trauma atau luka. Progresivitas dari lesi ini tergantung pada status metabolik dari
pasien, kemampuan sensoris untuk merasakan dan melindungi diri dari luka,

30

sirkulasi yang adekuat, dan perawatan luka. Interaksi ketiga faktor predisposisi
bisa dilihat pada gambar 1.

Neuropati Perifer
Neuropati perifer merupakan komplikasi umum dari DM terbukti
berhubungan dengan intensitas dan durasi dari penyakit. 6 Secara morfologi
kelainan sel saraf pada neuropati terdapat pada sel-sel Schwan, selaput myelin dan
akson. Kelainan yang terjadi tergantung pada derajat dan lamanya mengidap
diabetes serta jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Lesi serabut saraf dapat
terjadi dibagian proksimal atau distal, fokal atau difus, mengenai serabut kecil
atau besar, mengenai serabut saraf sensorik, motorik atau otonom.
Penyebab neuropati perifer sampai sekarang ini belum diketahui sepenuhnya
tetapi diduga bersifat multifaktorial, beberapa teori yang terkait terjadinya
neuropati perifer antara lain :
-

Teori metabolik
Hiperglikemia menyebabkan kenaikan kadar gula darah intraseluler.
Kelebihan glukosa diubah menjadi sorbitol dan fruktosa. Akumulasi

31

keduanya akan menyebabkan penurunan mionositol, penurunan aktifitas


Na+/K+ - ATPase yang selanjutnya mengganggu transport aksonal sehingga
-

menyebabkan kecepatan hantar saraf tepi menurun.


Teori vaskuler (Hypoksik-Iskemik)
Teori ini menyebutkan pada penderita neuropati terjadi penurunan
aliran darah ke endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi
pembuluh darah akibat hiperglikemi dan juga berbagai faktor metabolik
yang dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah, agregasi platelet,
hiperplasi sel endothelial yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia,
dan keadaan ini juga menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas

Na+/K+ - ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.


Teori Neurotrophic factor
Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk system saraf dalam
mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi system saraf. Nerve
growth factor (NGF) misalnya merupakan protein yang member dukungan
besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Pada penderita
DM, neurotrophic factor jumlahnya berkurang sehingga transport aksonal
yang retrograd terganggu.
Pada pasien DM dengan neuropati, terdapat 3 sistem saraf yang
bisanya mengalami gangguan,yaitu system saraf sensorik, motorik, dan

otonom.
Sistem saraf Sensorik
Sistem saraf sensorik dimulai dengan badan sel di ganglion radiks
dorsalis yang mengirim serabut saraf afferent ke perifer menuju organ target
bersama serabut saraf motorik dan otonom, dan juga mengirim serabut ke
sentral melalui radiks dorsalis yang berakhir di kornu dorsalis medulla
spinallis. Serabut saraf sensorik terdiri atas : A-alfa, A-beta, A-delta, dan C
dengan sifat dan fungsi yang berbeda-beda.
Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya
fungsi saraf sensoris kaki. Keterlibatan saraf sensorik (neuropati sensorik)
menimbulkan berbagai keluhan yang beraneka ragam, seperti rasa kebaskebas, hiperestesia, rasa proprioseptik, vibrasi. Adakalanya didapati rasa
nyeri yang tak tertahankan seperti rasa terbakar terutama di malam hari
sehingga pasien tidak dapat tidur, burning feet restless leg syndrome.
32

Dengan adanya neuropati sensorik akan menyebabkan penderita DM


kurang atau tidak merasakan berbagai trauma, keadaan ini mempermudah
terjadinya lesi. Disamping itu neuropati sendiri menyebabkan perubahan
pada tulang (osteolisis diabetic) sehingga timbul deformitas dan
menimbulkan titik tekan baru yang dapat menyebabkan ulserasi ataupun
-

gangren.
Sistem saraf Motorik
Neuron motorik berasal dari kornu anterior medulla spinalis, terletak
di badan selnya. Serabut motorik keluar dari medulla spinalis melalui radiks
ventralis dan menginervasi organ target melalui saraf perifer.
Gejala motorik dapat terjadi di bagian distal, proksimal, atau
kelemahan pada satu tempat. Neuropati ini sering mengenai ujung jari kaki
yang menyebabkan atrofi otot-otot

telapak kaki selanjutnya terjadi

deformitas tapak kaki sehingga memberikan kontribusi terhadap lesi pada


kaki. Keterlibatan saraf motorik (neuropati motorik) dapat berupa
kelemahan pada otot intrinsik kaki dan terjadi ketidak seimbangan fleksor
dengan ekstensor yang menimbulkan intrinsic minum foot dan dapat
terjadi claw toes, penonjolan kaput metatarsal, pergeseran bantalan kaki
metatarsal ke depan.
Peninggian tekanan pada daerah ini dapat menimbulkan ulkus. Pada
kasus yang berat, otot-otot proksimal dapat terkena terutama otot
dorsofleksor sehingga menimbulkan drop foot. Perubahan otot-otot tersebut
menyebabkan terjadinya deformitas pada kaki yang menyebabkan daerah
tersebut lebih mendapat tekanan dari luar. Dijumpai juga reflex tendon
menurun, parese, pergerakkan sendi-sendi terganggu.

Sistem saraf Otonom

33

Sistem saraf otonom terdiri dari simpatis dan

parasimpatis. Di perifer,

serabut preganglionik meninggalkan medulla spinalis bersinaps di ganglion dan


serabut pot ganglion berjalan bersama dengan saraf motorik dan sensorik
membentuk saraf perifer.
Keterlibatan saraf otonom (neuropati otonom) mengganggu persepsi,
perubahan pola berkeringat dan regulasi temperature, kulit kering, bersisik, kakum
mudah terjadi pecah-pecah, serta tidak peka terhadap perubahan dan akhirnya
mudah terkena infeksi.
Gangguan Pembuluh Darah
Bentuk aterosklerosis pada penderita DM sama dengan pada non-DM, yang
terjadi adalah gangguan keseimbangan gula darah mengakibatkan metabolisme
lemak yang terganggu. Perubahan struktur yang terjadi dalam lapisan intima dan
media menyebabkan penebalan yang menonjol kearah lumen yang berupa
ateromatosis, yang kadang-kadang disertai endapan kapur. Aterosklerosis ini
menyebabkan permukaan dalam arteri tidak rata dan licin, yang akhirnya
mengundang trombosit dan mediator-mediator inflamasi yang menempel dan
membuat lumen arteri semakin sempit, bahkan membentuk trombus dan
menyumbat aliran darah. Apabila aliran kolateral tidak cukup untuk menyuplai
oksigen dan nutrisi ke jaringan perifer maka akan terjadi iskhemik dan kemudian
nekrosis. Apabila disebelah distal lesi mengalami luka maka akan terjadi
penyembuhan yang terlambat dan akhirnya meluas. Hal ini seringkali disertai
dengan saprofit dan membentuk gangren.
Kelainan Makrovaskuler
Berhubungan dengan aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri
besar

dan

sedang

di

tungkai

bawah

dan

kaki.

Hipertrigliserimia,

hiperkolesterolimia (LDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL berperan dalam


aterogenesis ini. Pada pasien diabetes predileksi terjadinya penyempitan adalah di
arteri tibialis dan arteri peronialis antara lutut dan pergelangan kaki. Penurunan
suplai oksigen dan nutrisi menyebabkan kaki iskhemik sehingga regenerasi

34

terhambat, kurang kemampuan untuk mempertahankan integritas normal jaringan,


lemahnya melawan infeksi.
Kelainan Mikrovaskular
Terdapat abnormalitas pembuluh darah arteriola, kapiler dan venula.
a. Terjadi perubahan struktur berupa penebalan membran basal endotel
sehingga menurunkan transfer nutrisi melalui dinding sel dan mengurangi
kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi sebagai bagian dari proses
inflamasi normal. Penebalan ini merupakan konsekuensi dari gangguan
toleransi

glukosa

kronis,

glikosilasi

nonenzimatik

kolagen

dan

proteoglikan, serta kerentanan genetik.


b. Terjadi trombosis kapiler karena pembuluh darah menjadi kaku dan
eritrosit sulit untuk lewat karena penebalan membran basal. Akhirnya akan
terjadi penutupan pembuluh kapiler sehingga jaringan menjadi iskhemik.
c. Terjadi perubahan fungsional pada pasien DM yaitu perubahan dalam
aliran darah, timbul arterio-venous shunting akibat denervasi saraf
simpatis pada arteriola dan venula
Infeksi
Mudahnya terjadi infeksi pada penderita KD diakibatkan oleh adanya
iskemia, mikrotrombus, sebelumnya hingga akhirnya terbentuk abses, gangren,
sepsis, dan osteomielitis. Setiap penderita DM memiliki respon terhadap infeksi
yang berbeda-beda. Tanda-tanda infeksi yang umum dapat berupa demam, edema,
eritema, pernanahan, atau berbau dan leukositosis. Penderita DM dengan infeksi
kaki sekalipun berat tidak selalu diikuti dengan peningkatan temperature tubuh
dan jumlah leukosit. Di samping itu sering sekali luasnya infeksi melebihi yang
tampak secara klinis.
Staphylococcus

aureus

dan

streptokokus

-hemolyticus

adalah

mikroorganisme yang pertama menginfeksi ketika terjadi kerusakan kulit. Ketika


luka terjadi dalam proses lama, maka mikroorganisme yang terlibat semakin
komplek, pada keadaan ini kuman aerob gram negatif dan anaerob akan

35

berkembang. Bakteri gram negatif, terutama enterobakteriase banyak ditemukan


pada pasien dengan infeksi kronik.
PENILAIAN KAKI DIABETES
Dalam menilai kaki diabetik, anamnesis adanya riwayat ulkus dan amputasi
sebelumnya diperlukan. Anamnesis juga harus menanyakan adanya gejala
neuropati atau gejala yang mengarah kepada penyakit vaskular perifer. Pertanyaan
mengenai komplikasi lain dari DM juga harus ditanyakan, seperti gangguan
penglihatan.
Pada pemeriksaan inspeksi kaki, pemeriksa harus melihat adanya tanda-tanda
infeksi atau adanya ulkus pada kaki. Adanya callus atau kelainan kuku harus
menjadi catatan bagi pemeriksa. Adanya perbedaan suhu merupakan salah satu
tanda adanya penyakit vaskular. Pemeriksa juga harus menilai adanya deformitas
pada kaki (claw toe, hammer, charcot foot).
Ketika melakukan pemeriksaan kelainan vaskular pada kaki, harus dilakukan
palpasi pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior untuk menilai adanya
pulsasi atau tidak. Adanya klaudikasi, hilangnya rambut, kulit pucat dan kering
menandakan adanya iskemia. Pada pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle
brachial index (ABI) juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri
perifer. Pengukuran ABI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik pada
kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan dengan
tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi
terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya
iskemia.6,7

36

KLASIFIKASI KAKI DIABETES


Jika ditemukan adanya ulkus, maka deskripsi karakteristik ulkus harus
mencakup ukuran, kedalaman, tampilan ulkus, dan lokasi. Banyak klasifikasi
yang digunakan untuk mendeskripsikan ulkus kaki diabetik. Klasifikasi yang
biasa digunakan yaitu wagner ulcer classification system, klasifikasi ini dibuat
berdasarkan kedalam ulkus dan luasnya jaringan nekrosis. Kelemahan dari sistem
klasifikasi ini adalah, sistem ini hanya mengklasifikasi ulkus berdasarkar kedalam
dan tampilan ulkus tanpa melihat adanya tanda-tanda iskemia atau infeksi.
Klasifikasi lain yang biasa digunakan adalah klasifikasi The unversity of
Texas system. Pada klasifikasi ini dijelaskan mengenai kedalam ulkus serta
menjelaskan adanya iskemi dan infeksi.6

37

Klasifikasi kaki diabetes yang dianjurkan oleh International Consensus on


the Diabetic Foot 2003 (klasifikasi PEDIS) adalah:7

38

TATALAKSANA KAKI DIABETES

Pasien dengan infeksi berat (grade 4), luka dalam, dicurigai adanya
keterlibatan tulang dan sendi, serta menunjukkan tanda iskemia berat (gangren)
harus dirawat inap. Karena pada keadaan ini dibutuhkan banyak tindakan seperti
pembedahan ( debridemen, drainase, reseksi tulang atau revaskularisasi), terapi
cairan, dan pemantauan gula darah yang ketat (biasanya menggunakan terapi
insulin).
Terapi Empiris Antibiotik
Drainase infeksi secara invasif menjadi lini pertama dalam penatalaksanaan
semua ulkus, terutama jika terdapat abses yang disertai dengan keadaan sindrom
kompartemen, nekrosis luas, atau selulitis nekrosis. Hasil dari randomized clinical
trials menunjukkan bahwa antibiotik sistemik mempunyai makna klinis pada
pasien dengan kaki diabetik. Terapi empiris yang diberikan pada pasien dengan
kaki diabetik infeksi harus mampu mencakup patogen yang paling umum
menyerang dan hal ini harus berdasarkan epidemiologi patogen dari infeksi kaki
diabetik.

39

Beratnya infeksi menentukan regimen antibiotik yang diberikan. Pasien


dengan infeksi ringan yang sebelumnya belum pernah mendapatkan terapi
antibiotik biasanya disebabkan oleh infeksi dari satu atau dua jenis spesies bakteri,
sehingga regimen antibiotik yang diberikan harus bisa melawan patogen
staphylococcus aureus dan streptococcus spp. Pada kasus infeksi kaki diabetik
yang telah lama dan berat membutuhkan antibiotik yang mampu melingkupi
bakteri basilus gram negatif, enterococcus spp dan kuman anaerob.
Revaskularisasi
Pada kasus critical ischemia, setelah infeksi dapat terkontrol, tindakan
revaskularisasi

dapat

dipertimbangkan.

Idealnya

tindakan

revaskularisasi

dilakukan bersamaan dengan tindakan debridemen. Namun, pada beberapa kasus,


revaskularisasi dapat dilakukan belakangan, terutama pada kasus delayed healing.
Revaskularisasi pada pasien DM bisa dilakukan secara conventional open
surgery atau intervensi endovaskular. Teknik open surgical seperti endarterektomi
dilakukan untuk lesi lokal dan bypass perifer pada oklusi yang panjang. Intervensi
endovaskular antara lain angioplasti, dengan atau tanpa stenting, dan aterektomi.
Intervensi ini memiliki keuntungan yang lebih jika dibandingkan operasi bypass,
yaitu dalam hal morbiditas dan mortalitas.6,8,10,11
Drainase dan debridemen
Drainase dan debridemen adalah dua prosedur bedah yang berbeda namun
saling melengkapi. Drainase adalah tindakan melakukan sayatan seluas jaringan
phelgmon atau abses. Prosedur pembedahan ini sangat penting khususnya pada
infeksi dalam di daerah permukaan plantar kaki, dimana infeksi menyebar melalui
selubung tendon dari otot-otot flexor yang terletak di kompartemen antara fasia
superfisialis dan arkus kaki. Sehingga jika terjadi iskemia atau jaringan nekrosis
pada daerah ini, perlu dilakukan drainase dengan membuka fasia plantaris.
Tindakan debridement melibatkan eksisi jaringan nekrosis dan debris sampai
jaringan normal muncul, sehingga memungkinkan terjadinya penyembuhan luka
dan menghilangkan sumber patogen. Prinsip dari debridement ini adalah
membuang jaringan yang mati, sambil menjaga jaringan yang masih layak
sebanyak mungkin. Adanya clotted vessels, stringy fascia dan tendon menandakan

40

bahwa jaringan sudah tidak layak dan harus dibuang. Tulang yang lunak berwarna
abu-abu menandakan nekrosis dan harus direseksi untuk membersihkannya. Bau
adalah indikator yang paling bagus dalam menilai keberhasilan debridement, jika
luka post debridement tidak berbau, maka bisa menjadi tanda bahwa debridement
berjalan dengan baik.
Negative Pressure Wound Therapy (NPWT)
NPWT adalah terapi adjuvant noninvasif yang menggunakan kontrol tekanan
negatif menggunakan Vacum assisted closure device (VAC) untuk membantu
penyembuhan luka dengan menghilangkan cairan yang dihasilkan dari luka
terbuka melalui sealed dressing dan tube yang disambungkan dengan kontainer
penampung.8 NPWT memberikan tekanan subatmosfer secara intermiten atau
terus-terusan dengan tekanan sebesar 50-175 mmHg.9
NPWT paling bagus dilakukan pada ulkus pada stage III dan IV dengan
inadekuat atau jaringan granulasi yang buruk serta banyak terdapat eksudat.
Secara umum, NPWT bisa digunakan pada luka kronik yang ukurannya berkurang
tidal lebih dari 30% setelah empat minggu dilakukannya debridement, atau pada
luka dengan cairan eksudat yang banyak, yanh tidak bisa ditatalaksana secara
efektif hanya dengan mengganti perban.8.9
Pencegahan
Pencegahan terjadinya ulkus KD adalah dengan melakukan pengontrolan kadar
gula darah ketingkat kadar gula darah yang normal dirumah. Termasuk
keterampilan mengatur diet penggunaan obat-obatan.
-

Perawatan ke ahli Podiatri


Kunjungan regular, pemeriksaan dan perawatan kaki secara dini
Penilaian faktor resiko
Deteksi dini dan terapi yang agresif pada lesi yang baru
Pemeriksaan denyut nadi.11

DAFTAR PUSTAKA

41

1. Sudoyo, Aru W, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Konsesus Pencegahan dan Pengelolaan Nasional Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia, Perkeni, 2008.
3. Synder RJ, et al. Consensus recommendations on advancing the standard
of care for treating neuropathic foot ulcers ini patients with diabetes. 2010
4. American Diabetes Association. Consensus development conference
diabetic foot wound care. Diabetes care. 1999; 22(8). 1354-9.
5. Apelqvist J, bakker K, Hotum W, Schaper N. Practical guidelines on the
management and prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev.
2008; 24(1). 1817.
6. Frykberg R, et al. Diabetic foot disorders: Clinical practice guideline
(2006 revision). The journal of foot & ankle surgery. 2006; 45(6).
7. Mendes JJ, Neves J. Diabetic foot infections: Current diagnosis and
treatment. The Journal of Diabetic Foot Complications. 2012; 4(2). 26-45
8. ClaytonW, Elasy TA. Review of the pathophysiology, classification, and
treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes. 2009; 27(2).
52-7
9. Lipsky BA,et al. Diagnosis and treatment of diabetic foot infections. CID;
2004; 39. 886-903.
10. Nain SP, Uppal S, Garg R, Bajaj K, garg S. Role of negative pressure
wound therapy in healing of diabetic foot ulcers. Journal of surgical
technique and case report. 2011; 3(1). 17-9
11. Kirby M. Negative pressure wound therapy. The british journal of diabetes

and vascular disease. 2007; 7(5). 230-3.

42

Anda mungkin juga menyukai