Referat HIV
Referat HIV
Referat HIV
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah AIDS,
memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta
orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan
berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari
masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang
terinfeksi HIV. 1
Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup dengan HIV di
Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia. Daerah ini juga mempunyai
persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total keseluruhan anak yang hidup dengan
HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama
kehamilan, persalinan atau menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIVpositif akan menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui.3
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari 5% melalui
kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak atau yang dikenal dengan
PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission), termasuk terapi ARV (antiretroviral)
untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir. PMTCT dimulai selama asuhan antenatal, ketika
wanita melakukan tes HIV dan menerima hasilnya bahwa dia positif HIV. Rekomendasi di
bagian sub-Sahara Afrika adalah terapi ARV diberikan pada wanita selama kehamilan, saat
persalinan, dan selama masa nifas atau sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi juga harus
menjalani tes HIV secara berkala dan minum obat untuk mencegah penularan virus sementara
ia disusui.2
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru,
terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1982 sebagai
suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara relatif cepat disertai angka kematian
yang mencemaskan, maka dilakukanlah pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga
akhirnya penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu
virus yang kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1),
pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini dapat
menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala hingga gejala yang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit retrovirus
epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus),
yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas selular, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obatobatan intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan
seksual dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi virus
tersebut. 4
2.2 ETIOLOGI
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut HIV. Ini adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk retrovirus dari family
Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein
gp 120 yang melekat pada glikoprotein gp 4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang
terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24.
Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse
transcriptase.6
Dikenal
dua serotipe
HIV yaitu
HIV-1
juga
disebut
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali diisolasi oleh Luc
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983. HIV-1, sebagai penyebab AIDS
yang tersering, penyebarannya lebih luas di hampir di seluruh dunia, sedangkan HIV 2
ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika barat dan Portugal dahulu dikenal juga sebagai
human T cell-lymphotropic virus tipe III (HTLV-III), lymphadenophaty associated virus
(LAV) dan AIDS associated virus. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV
(Simian Immunodeficiency Virus). HIV 1 dan HIV 2 mempunyai inti yang mirip, tetapi
selubungnya berbeda.6
Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang
2.3 PATOGENESIS
Infeksi HIV memerlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4.
Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap
molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul
CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV
dimulai dengan penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas
dari membran sel limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam
sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami
transkripsi menjadi seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat
aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk
mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim polimerase. DNA
yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam inti sel limfosit-T dan menyisip
4
OBSTETRI
FETAL
BAYI
2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan
uji virologi.
2.5.1 Tanda dan Gejala Klinis
Banyak orang dengan HIV-positif tidak memperlihatkan gejala. Seringkali orang
hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada periode AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Kadang-kadang orang hidup dengan HIV melalui periode sakit dan kemudian
merasa baik-baik saja.
2.5.1.1 Tanda dan Gejala Tahap Awal atau Fase Akut Infeksi HIV
Pada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai 3 bulan kemudian),
seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan sebagai flu berat.
Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut (ARS), atau infeksi primer HIV, ini
merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi HIV. Selama infeksi primer HIV,
terjadi peningkatan virus yang beredar dalam darah, yang berarti bahwa orang dapat
lebih mudah menularkan virus kepada orang lain. Gejalanya bisa berupa:7
9
Demam
Ruam
Panas dingin
Berkeringat di malam hari
Nyeri otot
Sakit tenggorokan
Kelelahan
Pembengkakan kelenjar getah bening
Ulkus di mulut
Infeksi HIV akut terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-HIV tidak
terdeteksi, sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24. Infeksi baru terjadi pada
umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama antibodi anti-HIV terdeteksi.
Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal HIV atau merujuk ke infeksi HIV akut
atau baru. 7
Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV akut akan
mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan demam, limfadenopati,
faringitis, ruam kulit, mialgia/arthralgia, dan gejala lainnya. Bagaimanapun juga
infeksi HIV sering tidak terkenali karena mirip dengan banyak infeksi virus lainnya,
seperti influenza dan infeksi mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala. 7
Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi dalam tubuh.
Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan menghancurkan sel. Oleh karena
jumlah CD4 dapat menurun dengan cepat, akhirnya respon imun memulai untuk
membawa virus dalam tubuh kembali ke suatu tingkat yang disebut set point virus,
yang merupakan tingkat relatif stabil virus dalam tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4
mulai meningkat, tapi mungkin tidak kembali ke tingkat pra-infeksi. 7
2.5.1.2 Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV
Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh. Selama periode
ini, banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV. Periode ini disebut periode kronis
atau fase laten. Periode ini bisa bertahan sampai 10 tahun atau lebih. 7
Selama fase ini, diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun masih aktif.
Seseorang dapat bertahan dengan terdeteksinya viral load dan jumlah CD4 yang sehat
tanpa menggunakan obat selama tahun-tahun pada awal fase ini. Seseorang mungkin
tidak memiliki gejala atau infeksi oportunistik. Penting untuk diingat bahwa tubuh
masih bisa menularkan HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang
pertengahan dan akhir periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah CD4 mulai
turun. Oleh karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala konstitusional HIV sebagai
peningkatan virus dalam tubuh. 7
10
papular eruption)
Penurunan berat badan > 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1
bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bacterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll.)
TB limfadenopati
Gingvitis / periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb < 8 g/dL), neutropenia ( < 5000/mL), trombositopeni
Berat
(AIDS)
Stadium I
Asimtomatik
Stadium II
Sakit Ringan
Stadium III
Stadium IV
Sakit Sedang
Sakit
11
Retinitis Cytomegalovirus
Abses otak Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikrobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isoproriasis kronis, mikosis
ARV)
Kanker serviks invasive
Leismaniasis atipik meluas
Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV
HIVnya terdahulu.
Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman dengan
pria lain.
Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara bergantian.
12
Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di diagnosa.
Mereka yang datang dengan meningitis aseptik.
Pasien hamil atau menyusui.
Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV yaitu
tes HIV RNA plasma assay. Tes RNA plasma assay dilakukan jika tes skrining
serologis adalah negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat yang merupakan
tes skrining serologis, jika: 7
Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap sebagai
hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus diulang segera untuk
HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak harus
menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan untuk
memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi HIV akut
melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi ARV. 7
Ketika dicurigai infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV, diikuti
oleh tes antibodi. Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu. Kebanyakan
tes HIV RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari setelah terpapar
HIV. 7
2.5.2.1 Tes Antibodi
Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia >
18 bulan. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6 minggu
setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi pada minggu
ke-12. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi mungkin tidak
terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi, maka tes harus
ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan kemudian untuk
mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan eksposur baru. 7
Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining yang
sangat sensitif yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes dan spesimen positif
awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik yaitu, Western
13
Rapid Tes
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel,
imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil
rapid tes reaktif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western Blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi
rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot
menemukan keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik
(struktural dan enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai
konfirmasi pada hasil skrining berulang (ELISA atau rapid tes). Hasil
negative Western blot menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau
rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak
mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18
bulan.
Penurunan Sistem Imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan
CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.
HIV-1. 7
Tes HIV RNA Plasma
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan bersamaan
dengan tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk mendiagnosis infeksi
HIV akut atau primer. Riwayat alami terinfeksi HIV akut dapat
beraneka ragam sehingga antibodi mungkin tidak terbentuk pada saat
timbulnya gejala (2 sampai 6 minggu setelah paparan). Tes antibodi
dari pasien ini akan sering memberikan hasil negatif lemah atau positif
lemah pada pemeriksaan ELISA dan negatif pada pemeriksaan Western
Blot. Namun, tingkat viral load yang sangat tinggi selama infeksi akut,
biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih dari 10 juta kopi / mL, dan
terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum serokonversi. 7
2.6 PENATALAKSANAAN
2.6.1 Konseling dan Tes Antibodi HIV Terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Puskesmas maupun di tempat
perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang
kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada
bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu
pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya.
Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko
penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata
laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan sangat
tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko.8
Oleh karena itu, semua ibu usia reproduksi yang akan hamil sebaiknya diberi
konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil
15
berkurang
Kemungkinan terjadi toksisitas obat
Kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah resisten obat, dan
Efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam kandungan.
Obat ARV dibagi menjadi 5 golongan yaitu:
Golongan Obat
Nucleoside
reverse
transcriptase
inhibitor (NRTI)
Non-nucleoside
Efek Obat
Menghambat perubahan genetic HIV dari
Nama Obat
Lamivudine (3TC)
Abacavir (ABC)
Zidovudine (AZT/ZDV)
Stavudine (D4T)
Didanosine (DDI)
Emtricabine (FTC)
Tenofovir (TDF)
Delaviridine (DLV)
17
lain
reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI)
Protease inhibitor (PI)
Fusion inhibitor
Integrase inhibitor
Evavirens (EFV)
Etravirine (ETV)
Nevirapine (NVP)
Rilpivirine (RPV)
Atazanavir (ATV)
Darunavir (DRV)
Fosamprenavir (FPV)
Indinavir (IDV)
Opinavir (LPV)
Nelfinavir (NFV)
Ritonavir (RTV)
Saquinavir (SQV)
Tipranavir (TPV)
Enfuvirtide (T-20)
Maraviroc (MVC)
Raltegravir (RGV)
Elvitegravir (EGV)
Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple
ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu
ke anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan
pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.
18
seumur hidup.
Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk
pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama
risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.
19
Gambar 3 Rekomendasi Awal Pemberian ART pada Remaja, Orang Dewasa, Ibu Hamil
dan Menyusui dan Anak-anak
Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan
HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi.
Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman
WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup
20
tersebut
dimasukkan
dalam
"Opsi
B+".
Pedoman
2013
merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan
menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan
terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan. 8
21
Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang
direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan
menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini
berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk
Gambar 5 Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu Hamil dan
22
Menyusui dan Anak-anak
Gambar 6 Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO
2013
23
BAB III
KESIMPULAN
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi
oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau
sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus.Penyebab
dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari HIV-1
dan HIV-2.
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.
Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi
yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko yang
meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral
load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya. Namun risiko penularan lebih tinggi
pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui
saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga
merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu
persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air
susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV
melalui menyusui.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah yang dapt menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi.
Meskipun beberapa tes dapat mendeteksi HIV di tubuh bayi pada usia dini, tes tersebut
(seperti tes PCR) belum secara luas tersedia di Indonesia. Adapun pemeriksaan penunjang
yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi HIV. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak
menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan
ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western
Blot. ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan
untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi HIVpositif
tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga lebih besar. Kita pasti ingin
24
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit Menular. Dalam: Wiknjosastro
H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo d/a Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. 556.
2. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus.
Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247.
3. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D.
Penyakit Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C,
Hauth J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2006. 1677 1678.
4. Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. Infeksi
HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A
(eds). Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia.
PB PAPDI, Jakarta;2006: 287.
5. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad
H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.
6. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net;
2008. h.1.
7. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah
untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan;
2002.
8. Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari WHO. 2013.
26