Stomatitis Aftosa Rekuren

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

I.

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)


Definisi
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan ulser oval rekuren
pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya penyakit lain dan
salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan
terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. SAR dapat
menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa
bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak
dan mukosa orofaring. Ulser ini bisa terjadi satu atau lebih.
Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa
dan tidak menular. Tetapi bagi orang orang yang menderita SAR
dengan

frekuensi

terganggu.

yang

Beberapa

sangat

ahli

tinggi

menyatakan

akan

merasa

bahwa

SAR

sangat
bukan

merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan


gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang
sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan dokter gigi dalam
merawatnya karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama
sembuh ulser baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak

Etiologi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan
pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi
multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser.
Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl
sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan immunologi, alergi dan
sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi
bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya
mempertimbangkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat memicu
perkembangan ulser SAR.
1. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi
SLS yaitu agen berbusa paling banyak ditemukan dalam
formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena
efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral
menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan

pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih


sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu
penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek
penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang
menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta
gigi yang menggandung SLS.
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka
penetrasi akibat trauma. Pendapat ini didukung oleh hasil
pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah
adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser
terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat
mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman
terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor
yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua
penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor
pendukung.
3. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar
pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga
berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte
antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut.
HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan
jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957)
berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka
besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien
dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia
muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat
keluarga SAR.
4. Gangguan Immunologi
Tidak
ada
teori

yang

seragam

tentang

adanya

imunopatogenesis dari SAR, adanya disregulasi imun dapat


memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan
pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada
mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan
monosit

pada

mukosa

mulut

dimana

pemicunya

tidak

diketahui.16 Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez
dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran
IgA,

total

protein,

dan

aliran

saliva.

Sedangkan

menurut

Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan


tipe 2 pada penderita SAR.
5. Stres
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri
terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang
berpengaruh

terhadap

fisik

dan

emosi.

Stres

dinyatakan

merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak


langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.
6. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47
pasien

menderita defisiensi nutrisi yaitu

terdiri dari 57%

defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi


vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam
folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR
dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan
terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien
tersebut mengalami perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR
adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti,
ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10%
dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin
tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik,
yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang. Dilaporkan adanya
defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi
dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga
bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak pernah
kambuh dalam waktu satu tahun.
7. Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi
bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini
diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang
dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.

Dua

hari

sebelum

menstruasi

akan

terjadi

penurunan

estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen


mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga
suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan
keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat
proses

keratinisasi

sehingga

menimbulkan

reaksi

yang

berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi


lokal

sehingga

mudah

terjadi

SAR.

Progesteron

dianggap

berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.


8. Infeksi Bakteri
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali
menemukan adanya hubungan antara bakteri Streptokokus
bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian lebih lanjut
ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR.
Donatsky dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut
dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap
Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan
kontrol.
9. Alergi dan Sensitifitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan
(hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan
suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan
alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi
dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya
sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap
beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur,
lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan
tambalan serta bahan makanan.29,30 Setelah berkontak dengan
beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan
edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul
gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya
sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan
ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.

Patogenesis
Diagnosis

Tatalaksana

Anda mungkin juga menyukai