Referat KDRT

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

LIBRARY MANAGER

DATE
SIGNATURE

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFERAT
Juni 2016

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh:
Fierda Eka Pratiwi

111 2015 0036

Supervisor:
dr. Eko Yunianto, Sp.F, MH, M.Kes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
DI BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswi


atas nama:
Nama

Fierda Eka Pratiwi

NIM

111 2015 0036

Judul referat :

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Forensik


dan Medikolegal Universitas Muslim Indonesia

Makassar,
Mengetahui,
Supervisor:

dr. Eko Yunianto, Sp.F, MH, M.Kes

KATA PENGANTAR

Juni 2016

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas


rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penulis menyusun referat
ini untuk memahami lebih dalam tentang aspek medikolegal kekerasan
dalam rumah tangga dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Universitas Muslim
Indonesia Makassar. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada dokter dokter pembimbing di RS.
Bhayangkara Makassar, antara lain :
1. dr. Eko Yunianto, Sp.F, MH, M.Kes, sebagai dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu.
2. Kedua orang tua saya, atas bantuan dan doanya.
3. Teman-teman yang telah memberikan bantuan baik secara
material dan spiritual kepada penulis dalam menyusun referat
ini.
Penulis sadar pembuatan referat ini masih jauh dari sempurna. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, saya
mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua.
Makassar, Juni 2016
Penulis

DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .............................................................................................
..

DAFTAR
ISI .................................................................................................... ........
..

ii

BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang ..................................................................................................
........

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1.
Definisi ....................................................................................................
...............

2.2.
Epidemiologi ............................................................................................
..............

2.3. Bentuk-Bentuk
KDRT ............................................................................................

2.4.
Etiologi ....................................................................................................
...............

11

2.5. Dampak
KDRT .......................................................................................................
13
2.6. Aspek Hukum
KDRT .............................................................................................
2.7. Ketentuan

15

Pidana ....................................................................................................
17
2.8. Pemulihan Korban
KDRT.......................................................................................

20

2.9. Perlindungan Saksi dan Korban


KDRT .................................................................

22

2.10. Pengertian
Delik ...................................................................................................
24
BAB III. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan ..............................................................................................
...............

30

3.2.
Saran .......................................................................................................
................

31

DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................................................
.. 33

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diperoleh dari Jurnal
Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi
258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tahun 2002 terjadi
sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun
2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus
Kekerasan

Dalam

Rumah

Tangga

(Jurnal

Perempuan

edisi

45).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis
dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari
Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan
angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi.
Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun
Kekerasan

Dalam

Rumah

Tangga

cenderung

meningkat

karena

kekerasan yang dihadapai perempuan juga meningkat. Sedangkan dari


sumber yang sama didapati bahwa jenis kekerasan yang paling sering
dihadapi oleh perempuan adalah kekerasan psikis (45,83 %).
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun
2004 menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan
berbasis gender yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat
3.169 kasus yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan tersebut.
Pada tahun 2002 angka itu meningkat menjadi 5.163 kasus dan tahun
2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006, catatan dari Ketua
Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana,
menunjukkan kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang tahun
2006, mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah Kekerasan
dalam

Rumah

Tangga

sebanyak

16.709

kasus

atau

76%.

(Chandrakirana, 2007) Angka-angka di atas harus dilihat dalam konteks


fenomena gunung es, di mana kasus yang tampak hanyalah sebagian
kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angkaangka tersebut
hanya didapatkan dari jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke
303 organisasi peduli perempuan. Data juga mengungkapkan, rata-rata

mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan


jaringan relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang KDRT.
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga
"kulawarga" yang berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga
adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki
hubungan darah, bersatu. Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun
non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak
berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan
pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
Kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan
psikologi.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa juga disebut sebagai
kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah
yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada
semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosiaal
rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar
korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan
dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupu ada juga korban justru
sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah
tangga itu.
Di sebagian besar masyarakat Indonesia, KDRT atau Kekerasan
Dalam Rumah Tangga belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan.
Artinya penanganan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
hanya menjadi urusan domestik setiap keluarga saja, dan Negara
dalam hal ini tidak berhak campur tangan ke lingkup intern warga
negaranya. Namun, dengan berjalannya waktu dan terbukanya pikiran
kaum wanita Indonesia atas emansipasi yang telah diperjuangkan oleh
pahlawan wanita Indonesia Ibu Kartini, akhirnya sudah mulai muncul
titik terangnya. UUD RI 1945 mengenai hak asasi manusia, Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention

on

the

Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman/ CEDAW) ang


disetujui

Majelis

diratifikasi

Umum

menjadi

Pengesahan

PBB

tanggal

18

Undang-Undang

No.7

Penghapusan

Segala

Konvesi

desember 1979
Tahun

1984

Bentuk

yang

tentang

Diskriminasi

terhadap Perempuan oleh Pemerintah Indonesia, Undang-Undang No.5


Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentnag Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia, menjadi dasar para perempuan untuk
mempertahankan

haknya

sebagai

perempuan.

Negara

wajib

memberikan penghormatan (how to respect), perlindungan (how to


protect) dan pemenuhan (how to fulfill) terhadap hak asasi warga
negaranya terutama hak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan serta diskriminasi.
Pada tanggal 22 September 2004 mengesahkan UU No. 23 tahun
2004, Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan, meminimalisasi, menindak
pelaku kekerasan, bahkan merehabilitasi korban yang mengalami
kekerasan rumah tangga.
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya

kesengsaraan

atau

penderitaan

secara

fisik,

seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman


untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau

perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


Secara khusus, UU di atas memberikan perlindungan kepada
perempuan yang mayoritas menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Seiring dengan itu pula, mekanisme hukum untuk menjerat
pelaku telah disediakan. Akan tetapi, tindakan ini tidak cukup. Kenapa
demikian kondisinya? Jawabannya kembali kepada kultur atau mind set
masyarakat

Indonesia

yang

masih

menganggap

permasalahan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah masalah internal keluarga


sehingga sangat sedikit mereka yang menjadi korban berani bersuara.

Korban kekerasan dakam rumah tangga biasanya enggan untuk


melaporkan kejadian yang menimpa dirinya karena tidak tahu kemana
harus mengadu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
2.1.1. Definisi Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga
"kulawarga" yang berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga
adalah

lingkungan

di

mana

beberapa

orang

yang

masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti (nuclear


family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Menurut UU No.
23 Tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang

terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. 1
Definisi keluarga menurut Burgess dkk dalam Friedman (1998),
yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara
luas :2
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan
perkawinan, darah dan ikatan adopsi.
2. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama -sama
dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara
terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut
sebagai rumah mereka.
3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu s ama
lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah
dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara dan
saudari.
4. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu
kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik
tersendiri.
Menurut Friedman dalam Suprajitno (2004), mendefinisikan
bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup
bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu
mempunyai
keluarga.

peran

maing-masing

yang

merupakan

bagian

dari

2.1.2. Definisi Kekerasan


Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun
non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak
berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan
pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan
pembedan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan
perempuan

secara

fisik,

seksual,

psikologis

termasuk

ancaman

tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara


sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam

kehidupan pribadi.3
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan
menyakitkan secara fisik ataupun emosional, peyalahgunaan seksual,
pelalaian, ekploitasi komersial ataupun lainnya, yang mengakibatkan
cedera kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak,
kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak,
yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan
atau kekuasaan.4
Macam kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau
kekerasan psikologi.
a. Definisi kekerasan fisik (WHO): tindakan fisik yang dilakukan
terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka
fisik, seksual dan psikogi. Tindakan itu antara lain berupa
memukul,

menendang,

menampar,

menikam,

menembak,

mendorong (paksa), menjepit.


b. Definisi kekerasan psikologi (WHO): penggunaan kekuasaan
secara sengaja termasuk memaksa secara fisik terhadap orang
lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, mental,
spiritual, moral dan pertumbuhan sosial. Tindakan kekerasan ini
antara lain berupa kekerasan verbal, memarahi/penghinaan,
pelecehan dan ancaman.5
2.1.3.

Definisi

Kekerasan

Dalam

Rumah

Tangga

UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004


Pasal 1 angka 1 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa: 6
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang

terutama

kesengsaraan

atau

perempuan,
penderitaan

yang

berakibat

secara

fisik,

timbulnya
seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman


untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau

perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga
meliputi:6
a. Suami, isteri dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

suami,

istri,

dan

anak

karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,


dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang dipeoleh dari Jurnal
Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi
258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tahun 2002 terjadi
sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun
2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus
Kekerasan

Dalam

Rumah

Tangga

(Jurnal

Perempuan

edisi

45).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis
dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai dari
Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan
angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi. 7
Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun
Kekerasan

Dalam

Rumah

Tangga

cenderung

meningkat

karena

kekerasan yang dihadapai perempuan juga meningkat. Sedangkan dari


sumber yang sama didapati bahwa jenis kekerasan yang paling sering
dihadapi oleh perempuan adalah kekerasan psikis (45,83 %). 7
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada awal tahun
2004 menunjukkan peningkatan serius dalam jumlah kasus kekerasan
berbasis gender yang menimpa perempuan. Pada tahun 2001 terdapat
3.169 kasus yang dilaporkan ke lembaga pengada layanan tersebut.
Pada tahun 2002 angka itu meningkat menjadi 5.163 kasus dan tahun
2003 terdapat 5.934 kasus. Sedangkan tahun 2006, catatan dari Ketua
Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kamala Chandrakirana,
menunjukkan kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang tahun
2006, mencapai 22.512 kasus, dan kasus terbanyak adalah Kekerasan
dalam Ruah Tangga sebanyak 16.709 kasus atau 76%. 8

2.3. BENTUK- BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan
Kekerasan
dalam

Rumah

berwujud :
a.
b.
c.
d.

tangga,

kekerasan

dalam

rumah

tangga

dapat

Kekerasan Fisik
Kekerasan Psikis
Kekerasan Seksual
Penelantaran rumah tangga

2.3.1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6


Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban
seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu,
parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut,
menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih
ada, menendang, mencekik leher.
2.3.2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan

psikis

adalah

perbuatan

yang

mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk


bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak
memberi
aktivitas

nafkah,

hinaan,

menakut-nakuti,

di

melarang

melakukan

luar

rumah.

2.3.3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal


8
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti
memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam
kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri
melakukan

hubungan

seks

dengan

laki-laki

lain.

2.3.4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun


2004 Pasal 9
Penelantaran

rumah

menelantarkan orang

tangga

adalah

seseorang

dalam lingkup rumah tangganya,

yang
padahal

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau


perjanjian

ia

wajib

memberikan

kehidupan,

perawatan,

atau

pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga


berlaku

bagi

setiap

orang

yang

mengakibatkan

ketergantungan

ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja


yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan
isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri
uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
2.4. ETIOLOGI
2.4.1. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap
istri, yaitu :9,10

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami


dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta
struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena
harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki.
Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan
akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan
ekonomi
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun
ia

merasa

dilakukan

menderita.
kepadnya

ia

Bahkan,
tetap

sekalipun
enggan

tindakan

untuk

keras

melaporkan

penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup


dirinya dan pendidikan anakanaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh

suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.


3. Kekerasan
sebagai
alat
untuk
menyelesaikan
konflik
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena
tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan
kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya
dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan
bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara
keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan
bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.

4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama
kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan
kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan
antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih
kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana
mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya
dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain
istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang
semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi
pada pasangan yang :
a. Belum siap kawin
b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap
yang mencukupi kebutuhan rumah tangga

c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih


menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini
biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan
dan

perbuatan

negatif

lain

yang

berujung

pada

pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,


memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang
semacamnya.

6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses


hukum
Pembicaraan
kekerasan

tentang

dalam

proses

rumah

hukum

tangga

tidak

dalam
terlepas

kasus
dari

pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini


penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat
hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi
hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga
terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai
hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia
hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam
proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri
untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.4.2. Akar Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang
mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasiagresi, dan teori kontrol.11
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan,
memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud
menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang
mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan
membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan
bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah,
yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh
kekerasan.11
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat
berguna untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk
membuat keturunan dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang
sagresif memungkinkan untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya

membantu untuk menegakkan suatu sistem dominan, dengan demikian


memberikan struktur dan stabilitas untuk kelompok.11
Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon sek pria
menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar verteori
bahwa perbedaann perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi
terhadap pria dan wanita.12
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu
cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini
berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering
menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang
remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama
halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang
tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.12
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan
mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah
orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan
kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh
yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.11,12
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para
spikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.
Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni
oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan
lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua
menginginkan semua banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta
tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka
frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang
masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.12
Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya
dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa

berbuat kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain


menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih
mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.12
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya
bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung
tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan
bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara para eks
narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari teman-teman dan
keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya.11,12
2.5. DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam
rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya
dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak
kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah: 13
a. Kekerasan

fisik

langsung

atau

tidak

langsung

dapat

mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka


sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
b. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan
hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak
bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
c. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan,
shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledakledak, kuper, serta depresi yang mendalam.

d. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan


kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana

telah

disebutkan

di

atas,

bahwa

kekerasan

tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampakdampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh
anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya,
maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup
di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar

karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi


malah sebaliknya.14
Menyaksikan

kekerasan

adalah

pengalaman

yang

amat

traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang


dialami

anak-anak

membuat

anak

tersebut

memiliki

kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi


masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di
sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan
asma, kejam kepada binatang, Ketika bermain sering meniru bahasa
yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka
melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran
dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam
dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar
dalam

sebuah

kehidupan

berkeluarga.

mengakibatkan anak berpendirian bahwa:

Pemahaman

seperti

ini

14

1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah


adalah dengan melakukan kekerasan
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan

berbagai

persoalan adalah baik dan wajar


4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja.
Di

samping

dampak

secara

langsung

terhadap

fisik

dan

psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain


berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung
anak seperti:15
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah
karena menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap
ayah yang membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang
penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian
membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau

anak-anaknya,

dulunya

dibesarkan

dalam

rumah

tangga

yang

bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya.


Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa
iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah
bisa diterima.15
2.6. ASPEK HUKUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC
dalam

menanamkan

pendampingan

serta

kesadaran

akan

perlindungan

hak

kepada

dan

korban

memberikan
kasus

KDRT

dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang
Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun
2006

tentang

Perlindungan

Saksi

dan

Korban,

dan

peraturan

perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada


lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum
terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang
bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam
rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
terlepas dari peran lembaga sosial.6
A. Undang-undang

No.23

Tahun

2004

tentang

Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga


Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU
PKDRT diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini
ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga dilaksanakan berdasarkan :

a.
b.
c.
d.

Penghormatan hak asasi manusia


Keadilan dan kesetaraan gender
Nondiskriminasi
Perlindungan korban

UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah


tangga bertujuan:
a.
b.
c.
d.

Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga


Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis

dan

sejahtera.6
B. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai
Perpres

Komnas

Perempuan

ialah

merupakan

penyempurnaan

Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24
telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181 Tahun
1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.6
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara
hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap
perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak
asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan
menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. 16

2.7.

KETENTUAN

PIDANA

Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undangundang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT sebagai berikut :6
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam


lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas

juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan
penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipadana penjara paling lama
15 (Lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,(Empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan

penyakit

atau

halangan

untuk

menjalankan

pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehariharian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-(Lima juta
rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,- (Sembilanjuta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan

penyakit

atau

halangan

untuk

menjalankan

pekerjaan jabatan atau pencaharian atau kegiatan sehari-hari,


dipidanakan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp3.000.000,- (Tiga juta rupiah).
UU
Setiap

Nomor
orang

23
yang

sebagaimana

Tahun

melakukan

2004
perbuatan

dimaksud

Pasal
kekerasan

46
seksual
dalam

Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua


belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga puluh
enam juta rupiah).

UU

Nomor

23

Tahun

2004

Pasal

47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah


tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00-(dua belas juta rupiah)
atau paling banyak Rp 300.000.000,00-(tiga ratus juta rupiah).
UU

Nomor

23

Tahun

2004

Pasal

48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47


mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus
atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin
dalam

kandungan,

atau

mengakibatkan

tidak

berfungsinya

alat

reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)


tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00-(dua puluh lima juta rupiah) dan paling
banyak

UU

Rp500.000.000,00-

Nomor

23

(lima

Tahun

ratus

2004

juta

Pasal

rupiah).

49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang
yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat
(2).
UU

Nomor

23

Tahun

2004

Pasal

50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat


menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a. pembatasan

gerak

pelaku

baik

yang

bertujuan

untuk

menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu,


maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.4
2.8. PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga : 6
UU

Nomor

23

Tahun

2004

Pasal

39

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan


dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40
1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani
dapat melakukan kerja sama.5
Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan
Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada
Pasal 1 ayat 1 ialah :
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga
agar

lebih

berdaya

baik

secara

fisik

maupun

psikis. 17

PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan


pemulihan ialah:
Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban

KDRT.
PP

PKPKKDRT

Pasal

ayat

menyebutkan

Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh


instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial
sesuai

dengan

tugas

dan

fungsi

masing-masing,

termasuk

menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Hal


yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :
Untuk

penyelenggaraan

daerah

sesuai

dengan

pemulihan,

pemerintah

tugas

fungsi

dan

dan

pemerintah

masing-masing

dapat

melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik


nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk
berperan
PP

dalam

PKPKDRT

melakukan

Pasal

upaya

pemulihan

menyebutkan

korban

Penyelenggaraan

KDRT.

kegiatan

pemulihan korban meliputi:17


1)
2)
3)
4)

Pelayanan kesehatan
Pendampingan korban
Konseling
Bimbingan rohani
5) Resosialisasi
2.9. PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
Menurut

Undang-Undang

No.23

Tahun

2004

tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 10, korban berhak


mendapatkan :6

a. Perlindungan

dari

pihak

keluarga,

kepolisian,

kejaksaan,

pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik


sementara

maupun

berdasarkan

penetapan

perintah

perlindungan dari pengadilan

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis


c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada


setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Menurut

Undang-Undang

No.23

Tahun

2004

tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 15, setiap orang


yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk :

a.
b.
c.
d.

Mencegah berlangsungnya tindak pidana;


Memberikan perlindungan kepada korban;
Memberikan pertolongan darurat; dan
Membantu
proses
pengajuan
permohonan

penetapan

perlindungan.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak
tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI
No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan
hak saksi dan korban, lembaga perlindungan saksi dan korban, syarat
dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan
pidana. UU PSK ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban
dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan
perlindungan yang efektif, profesional, dan proporsional terhadap saksi
dan korban.18
Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan,
tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan
korban berlaku pada semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman
pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana. Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan
karena adanya hak-hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi
seperti:19

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan


harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk


c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

perlindungan dan dukungan keamanan


Memberikan keterangan tanpa tekanan
Mendapat penerjemah
Bebas dari pertanyaan yang menjerat
Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
Mendapat identitas baru
Mendapatkan tempat kediaman baru
Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan

kebutuhan
l. Mendapat nasihat hukum
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir, dan/atau

n. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan


korban mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
2.10. PENGERTIAN DELIK
Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
dikenakan sanksi pidana. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam

pidana,

perlu

diingat

bahwa

larangan

ditujukan

pada

perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang


menimbulkan perbuatan pidana itu. Menurut Van Hamel, delik adalah
suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Sedangkan

menurut

Prof.

Simons,

delik

adalah

suatu

tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak


sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum. 20
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang
disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang
disertai unsur yang meringankan. Delik biasa atau dalam istilah
Bareskrimnya adalah Kriminal murni, yaitu semua tindak pidana yang

terjadi yang tidak bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa
dimaklumi dalam delik aduan. Misalnya penipuan. Meskipun korban
sudah memaafkan atau pelaku mengganti kerugian, proses hukum
terus berlanjut sampai vonis karena ini merupakan delik murni yang
tidak bisa dicabut.
Delik

20

aduan

adalah

delik

yang

proses

penuntutannya

berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan terjadi apabila ada


pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak
pidana.

Misalnya

pemerkosaan,

pencurian

dalam

keluarga

dan

pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en


bed). Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik
laporannya misalnya karena ada perdamaian atau perjanjian damai
yang diketahui oleh penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan, oleh
jaksa bila telah masuk tingkat penuntutan atau oleh hakim bila masuk
persidangan tetapi belum divonis. Penarikan aduan atau laporan
biasanya terjadi dalam kasus perkosaan di mana si korban merasa
malu atau si pelaku mau menikahi korban. Dalam kasus pencurian
dalam keluarga atau pisah meja ranjang, biasanya alasan keluarga. 21

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan karena korban KDRT pada
umumnya ialah perempuan. Kekerasan terhadap perempuan berarti
kekerasan yang melanggar hak asasi perempuan yang berarti juga
kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.
Dengan dikeluarkannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, masalah
KDRT tidak lagi menjadi masalah privat tetapi sudah menjadi masalah
publik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka KDRT yang
dilaporkan.

Peningkatan

angka

KDRT

yang

dilaporkan

tersebut

merupakan salah satu perubahan cara pandang masyarakat Indonesia


yang tidak lagi menganggap KDRT merupakan masalah pribadi yang
orang

lain

tidak

boleh

mengetahuinya.

Peningkatan

data

yang

dilaporkan dan perubahan cara pandang masyarakat mengenai KDRT


adalah merupakan hasil kerja keras beberapa pihak, salah satunya
ialah lembaga sosial.
Perlindungan korban berarti perlindungan untuk tidak menjadi
korban tindak pidana dan perlindungan terhadap korban setelah terjadi
tindak

pidana.

Bahkan

tujuan

penghapusan

KDRT

mengandung

pengertian tersebut yaitu mencegah terjadinya KDRT, melindungi


korban KDRT.
Sikap pelaku kekerasan yang melanggar perjanjian yang telah
disepakati bersama antara korban, pelaku, keluarga, dan/atau lembaga
sosial menjadi kendala bagi lembaga sosial untuk mengerjakan peran
yang dimilikinya. Pandangan masyarakat secara khusus laki-laki yang
tidak percaya kepada lembaga sosial, anggapan masyarakat bahwa
lembaga sosial mengajari perempuan untuk melawan suami, dan
instansi lain seperti pengadilan dan kejaksaan yang sulit untuk
bekerjasama

menjadi

adalah

alasan-alasan

eksternal

yang

menghambat lembaga sosial untuk mewujudkan tercapainya tujuan


penghapusan KDRT.
Untuk mengatasi kendala yang dihadapi lembaga sosial baik
internal maupun eksternal, lembaga sosial melakukan beberapa
tindakan

untuk

mengatasinya.

Upaya-upaya

mengatasi

kendala

tersebut lebih bersifat kondisional, maksudnya berdasarkan kasus yang


terjadi.
Untuk mengatasi kendala yang berasal dari dalam lembaga ialah
memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga donor atau lembaga
sosial lainnya, menanamkan visi perjuangan kaum feminis kepada
aktivis-aktivis

muda

dan

menantang

untuk

berkorban

demi

kepentingan korban.
Untuk mengatasi kendala dari luar lembaga ialah memberi
ketegasan kepada korban untuk melakukan dan memilih pilihan yang
baik menurutnya dan melakukan pilihan tersebut, memberdayakan
korban dengan menumbuhkan rasa percaya diri kepada korban dan
keberanian

untuk

menyelesaikan

masalah

yang

dihadapinya,

memperkenalkan lembaga kepada masyarakat dan menumbuhkan


kepercayaan masyarakat kepada lembaga.
3.2. SARAN
Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasan dalam
rumah tangga, maka saya menyarankan :
1. Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman,
atau melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai
apa yang sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak
yang

dianggapnya

mampu

untuk

menjaga

dan

membantu

memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Bagi Masyarakat yang


mengetahui adanya tindak kekerasan diharapkan dapat membantu.
Masyarakat mengadakan kesepakatan antar warga untuk mengatasi
masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di
lingkungan sekitar, melalui penyuluhan warga. Masyarakat dapat
membantu korban untuk melaporkan kepada ketua RT dan polisi.
2. Bagi Instansi Terkait seperti, LSM, LBH, dan Kepolisian
Agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban kekerasan.
Hal tersebut diharapkan dapat membantu korban-korban kekerasan
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang

Perlindungan Anak
2. journal.umsurabaya.ac.id/index.php/Health/article/download/.../11, akses 2
Juni 2016
3. POLRI, Buku Pegangan Pusat Pelayanan Terpadu POLRI, Jakarta,
2005
4. Deklarasi

PP

tentang

Penghapusan

Kekerasan

terhadap

perempuan
5. http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/ind
ex.html, akses 4 Juni 2016
6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
7. www.jurnalperempuan.com , akses 3 Juni 2016
8. www.komnasperempuan.com , akses 6 Juni 2016
9. Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan

Terhadap

Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta:


Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas
Indonesia, 1998
10.Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP
11. Zastrow, Charles & Bowker, Lee (1984), Social Problems: Issues and

Solutions, Chicago: Nelson-Hall


12. Jaffe, P., Wolfe, D., Wilson, S. and Zak, L. (1986), 'Family violence and
child adjustment: a comparative analysis of girls' and boys' behavioural
symptoms', American Journal of Psychiatry, vol.143, no.1, pp.74-7.
13.Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan:
Sosialisasi

Masalah

dan

Draft

Rancangan

Undang-Undang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000


14.Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Jakarta:

Kalyanamitra,

Pusat

Komunikasi

dan

Informasi

Perempuan, 1999
15.Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian
Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan,
1999
16.Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas
Perempuan
17.Peraturan Pemerintah

RI

No.

Tahun

2006

tentang

Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan


dalam Rumah Tangga
18. www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_ko
rban , akses 4 Juni 2016
19.UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006
20.http://aeaila.blogspot.com/2010/04/macam-macam-delik.html,
akses 7 Juni 2016
21.http://id.answers.yahoo.com/question/index?
qid=20080513052045AA54tXL, akses 7 Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai