Gagal Napas Tipe Hiperkapnea

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Pertukaran gas adalah perpindahan oksigen (O2) dari udara ke dalam darah
vena dan eliminasi karbondioksida (CO2) dari darah vena.1,2 Gagal napas adalah
keadaan dimana sistem pernapasan gagal melakukan salah satu atau kedua fungsi
pertukaran gas.1,3,4 Parameter gagal napas meliputi tekanan parsial O2 arterial
(PaO2) < 60 mmHg (< 8,0 kPa) atau tekanan parsial CO2 arterial (PaCO2) > 45
mmHg atau keduanya (> 6,0 kPa) yang bernapas dengan udara ruangan.1,3
Gagal napas dan penyakit yang mendasari seperti penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK), acute respiratory distress syndrome (ARDS), dan pneumonia
merupakan penyebab utama kematian di dunia.5 Luhr dkk melaporkan 77,6 pasien
setiap 100.000 penduduk Swedia mendapat ventilasi mekanik karena gagal napas
akut dalam setahun.6 Behrendt melaporkan 137,1 kasus setiap 100.000 penduduk
Amerika Serikat mengalami gagal napas akut.7
Kasus gagal napas kronik meningkat seiring dengan pertambahan usia.
ODonohue dkk melaporkan tahun 1993 di Amerika Serikat sebanyak 616.000
pasien gagal napas kronik menggunakan long-term oxygen therapy (LTOT).8
Angka kematian gagal napas kronik di rumah sakit antara 35,9-41 %. Peningkatan
durasi pemakaian ventilasi mekanik menurunkan angka bertahan hidup pasien
perawatan.1
Penyakit paru obstruksi kronis merupakan penyebab terbanyak gagal
napas tipe II.1 Penyakit paru obstruksi kronis eksaserbasi menyebabkan gagal
napas tipe II akut pada 1/3 pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit. 3
Penyakit paru obstruksi kronis dengan gagal napas tipe II tahun 2008
menyebabkan kematian 5,1% dari 2.337.256 kematian di Amerika Serikat. Study
to Understand Prognoses and Preferences for Outcomes and Risks of Treatments
(SUPPORT) melaporkan pasien PPOK eksaserbasi yang menjalani perawatan di
rumah sakit dengan PaCO2 50 mmHg menyebabkan kematian pada saat di rawat
di rumah sakit sebesar 11% dan tingkat kematian dalam enam bulan adalah 33%.5
Prognosis pasien PPOK dengan gagal napas akut semakin buruk seiring dengan
kebutuhan penggunaan bantuan ventilasi baik invasif maupun noninvasif.3

1
Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini untuk memahami gejala klinis,
patofisiologi, dan komplikasi gagal napas tipe II sehingga sebagai klinisi kita
mampu memberikan tatalaksana dengan cepat dan tepat.

FISIOLOGI RESPIRASI

Sistem respirasi terdiri dari saluran nafas atas dan bawah, dinding dada,
otot respirasi dan sistem saraf yang mengatur pernafasan.9 Fungsi utama paru
sebagai tempat pertukaran gas yaitu pengambilan O2 yang adekuat oleh darah,
transport O2 ke jaringan, dan eliminasi CO2 dari darah.9,10,11 Fungsi paru lain
meliputi keseimbangan asam basa, pertahanan diri, metabolisme, dan pengaturan
material bioaktif.9,12 Proses pertukaran gas terdiri dari ventilasi, difusi, dan
perfusi. Gangguan pada ventilasi, difusi, dan perfusi dapat menyebabkan gagal
napas dan kematian.12

Ventilasi
Saluran napas terdiri dari 23 generasi terbagi menjadi dua zona yaitu zona
konduksi dan respirasi.13 Saluran napas tersebut menjadi sempit, pendek, dan
bertambah banyak sesuai percabangan masuk ke paru.12,14 Saluran napas konduksi
disebut ruang rugi anatomis karena tidak memiliki alveoli sehingga tidak berperan
dalam pertukaran gas.12 Gambar 1 menjelaskan percabangan saluran napas beserta
fungsinya.
Ventilasi adalah proses pertukaran gas antara lingkungan luar dan alveoli.
Ventilasi membawa O2 dari atmosfer masuk ke dalam alveoli dan mengeluarkan
CO2 dari alveoli ke atmosfer.15,16 Komponen dari ventilasi meliputi total
ventiasi/ventilasi semenit (VE) dan volume tidal (VT). Volume tidal terdiri dari
ventilasi alveolar (VA) dan ruang rugi (VD). Kelainan pada VE, VT, VA, dan VD
menyebabkan hiperkapnia dan gagal napas tipe II.17

2
Gambar 1. Struktur utama dan generasi percabangan trakeobronkial.
(Dikutip dari 13)

a. Volume tidal (VT)


Volume tidal adalah volume udara yang bergerak ke dalam dan keluar
paru dalam satu kali pernapasan biasa. Nilai normal VT adalah 7-9 mL/kgBB
atau sekitar 500 mL pada berat badan 70 kg.15,16 Bagian volume tidal yang
tidak ikut pertukaran gas disebut volume ruang rugi dan volume yang ikut
dalam pertukaran gas disebut volume ventilasi alveolar.15
Ruang rugi
Ruang rugi dibagi menjadi tiga yaitu ruang rugi anatomis, alveolar, dan
fisiologis.16 Ruang rugi anatomis adalah volume saluran napas konduksi. Nilai
normalnya adalah 130-180 mL disesuaikan dengan ukuran dan postur tubuh.
Ruang rugi alveolar adalah gas yang sudah mencapai alveoli tetapi tidak ikut
dalam proses perfusi ke pembuluh darah paru. Ruang rugi fisiologi merupakan
jumlah antara ruang rugi anatomis dan alveolar.11,16 Ruang rugi fisiologis
adalah pengukuran fungsional berdasarkan kemampuan paru eliminasi CO2
sesuai dengan persamaan Bohr yaitu :12,15

3
VD/VT = (PACO2-PECO2)/PACO2
Keterangan : VD/VT : rasio antara volume ruang rugi dan volume tidal
PACO2 : tekanan CO2 alveolar
PECO2 : tekanan CO2 ekspirasi gas campuran
Subjek normal nilai PCO2 alveolar dan darah arteri adalah sama sehingga
menghasilkan persamaan berikut :12,15
VD/VT = PaCO2-PECO2/PaCO2
Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar adalah jumlah udara inspirasi (non-dead space) yang
masuk ke alveoli setiap menit untuk pertukaran gas.12,16 Ventilasi alveolar
dapat diukur dengan persamaan berikut :11,12,16
VA = (VT VD ) x f/menit
VE = VD + VA
Keterangan : VA : ventilasi alveolar, VE : total ventilasi, VD : ventilasi ruang
rugi, VT : volume tidal, f : frekuensi napas
Eliminasi CO2 dari paru dipengaruhi oleh VA sesuai persamaan dibawah ini.15
PaCO2 = VCO2/VA
Keterangan : PaCO2 : tekanan CO2 arterial, VCO2 : tingkat produksi CO2 tubuh,
VA : ventilasi alveolar
Persamaan diatas menjelaskan PaCO2 berbanding terbalik dengan VA.
Tekanan CO2 arterial dipengaruhi oleh VCO2. Peningkatan CO2 tanpa disertai
perubahan VA menyebabkan peningkatan PaCO2.15

b. Total ventilasi (VE)


Total ventilasi atau ventilasi semenit adalah volume total ekspirasi setiap
menit diperoleh melalui perkalian antara volume tidal dan frekuensi
pernapasan (VE = VT x f) yaitu sekitar 6-8 L/menit.11,12,15 Volume udara
inspirasi lebih tinggi daripada volume ekspirasi karena O2 lebih banyak
diinspirasi daripada CO2 yang diekspirasi. Perbedaan antara volume udara
inspirasi dan ekspirasi kurang dari satu persen.11 Pasien dengan penyakit paru
kronik harus meningkatkan VE untuk memperbaiki pertukaran gas yang tidak

4
efisien disebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) untuk
12
mempertahankan PaCO2 kembali normal.

Difusi
Difusi adalah pergerakan pasif molekul gas dari area konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah.11,12,18 Gas yang berbeda bergerak berdasarkan gradien tekanan
parsial masing-masing gas. Difusi terjadi saat keseimbangan gas dalam dua area
seimbang.12,18 Difusi melalui lapisan jaringan dijelaskan oleh hukum Fick pada
gambar 2.19

Gambar 2. Difusi melalui lapisan jaringan. Keterangan : A : luas area, D : difusi


konstan, (P1-P2) : perbedaan tekanan parsial, T : ketebalan, sol : kelarutan gas,
MW : berat molekul.
(Dikutip dari 19)

Rerata perpindahan gas melalui lapisan jaringan sesuai dengan luas dan
perbedaan tekanan parsial antara dua area, dan berbanding terbalik dengan
ketebalan lapisan. Luas membran alveolar-kapiler adalah 50-100 meter persegi
(m2) dan ketebalan 0,3 mikrometer (m). Ukuran tersebut ideal untuk difusi.
Kelarutan gas berbanding terbalik dengan akar pangkat dua berat molekul,
sehingga difusi CO2 20 kali lebih cepat dibandingkan difusi O2 melalui lapisan
jaringan sebab mempunyai kelarutan tinggi tetapi sangat berbeda berat
molekulnya.9

5
Membran alveolar-kapiler terbentuk dari 9 komponen meliputi lapisan
cairan membran intra alveolar, sel epitel alveolar, membran basal sel epitel
alveolar, spatium interstisial, membran basal endotel kapiler, endotel kapiler,
plasma kapiler darah, membran eritrosit, dan cairan intraseluler eritrosit.15,18
Darah vena memasuki sistem alveolar-kapiler dengan average oxygen tension
(PO2) 40 mmHg dan average carbon dioxide tension (PCO2) 46 mmHg pada
individu normal saat istirahat. Rerata tekanan O2 alveolar (PAO2) 100 mmHg dan
rerata PACO2 40 mmHg pada saat melewati kapiler.18 Darah vena memasuki sistem
alveolar-kapiler dengan gradien tekanan O2 60 mmHg dan gradien tekanan CO2 6
mmHg, menyebabkan molekul O2 berdifusi melewati membran alveolar-kapiler
menuju darah. Molekul CO2 berdifusi keluar dari darah kapiler menuju alveoli
pada waktu yang sama. Difusi O2 dan CO2 terjadi saat tercapai keseimbangan dan
membutuhkan waktu sekitar 0,25 detik. Total waktu darah berada dalam kapiler
adalah 0,75 detik pada individu normal saat istirahat.11,15,18 Mekanisme difusi
dijelaskan pada gambar 3.

Gambar 3. Tekanan normal gas O2 dan CO2, bergerak melalui membran alveolar-
kapiler. Keterangan : PvO2 : tekanan parsial O2 darah vena campuran. PvCO2 :
tekanan parsial CO2 darah vena campuran
Dikutip dari (18)

6
Perfusi
Sistem sirkulasi mempunyai mekanisme khusus untuk membawa O2 dalam
jumlah besar yang dibutuhkan jaringan perifer.20 Faktor utama yang berperan
dalam proses perfusi adalah Hemoglobin (Hb). Perpindahan O2 dari alveolus
dipengaruhi oleh saturasi, kualitas dan kuantitas Hb darah. Saturasi O2 (SaO2)
dalam kapiler paru dipengaruhi oleh suplai O2 ke jaringan (cardiac output) dan
ekstraksi O2 dari jaringan (metabolisme).21 Ikatan O2 reversibel meningkatkan
solubilitas O2 dalam darah lebih efektif dibandingkan dengan cairan tubuh lain.
Oksigen dibawa berdifusi ke dalam mitokondria intraseluler apabila dibutuhkan
dengan tekanan normal.22 Saturasi oksigen rendah dalam perfusi darah kapiler
paru menyebabkan rendahnya cardiac output (peningkatan ekstraksi jaringan)
dan/atau peningkatan metabolisme jaringan, tingginya ekstraksi O2 dalam alveoli,
dan rendahnya keseimbangan tekanan parsial O2.21

GAGAL NAPAS TIPE II

Gagal napas tipe II terjadi pada pasien yang tidak mampu


mempertahankan ventilasi alveolar yang cukup untuk eliminasi CO2 sehingga
PaCO2 meningkat dan waktu yang sama PaO2 menurun.1,17 Gagal napas tipe II
didapatkan PaCO2 > 45 mmHg (> 6 kPa) dengan/tanpa penurunan PaO2 < 60
mmHg (< 8 kPa).1,3,4,15,23

Klasifikasi
Gagal napas tipe II dapat terjadi akut, akut on kronik, dan kronik.
Pembagian ini untuk menentukan tindakan dan tatalaksana yang tepat. Pembagian
gagal napas tipe II adalah sebagai berikut :23
a. Gagal napas tipe II akut : gagal napas terjadi pada pasien dengan atau tanpa
penyakit paru dasar. Analisis gas darah (AGD) menujukkan PaCO2 tinggi, pH
rendah, dan bikarbonat (HCO3) normal.
b. Gagal napas tipe II kronik : gagal napas yang terjadi pada penyakit paru kronik.
Analisis gas darah menunjukkan PaCO2 tinggi, pH normal, dan HCO3 tinggi.

7
c. Gagal napas tipe II akut on kronik : gagal napas yang terjadi pada penyakit
paru kronik yang mengalami perburukan akut. Analisis gas darah menunjukkan
PaCO2 tinggi, pH rendah, dan HCO3 tinggi.
Klasifikasi klinis gagal napas tipe II sesuai dengan mekanismenya dijelaskan pada
tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi klinis gagal napas ventilasi
Tipe kelainan Mekanisme atau kategori Contoh klinis
Pusat Farmakologi Overdosis obat (opioid, sedatif, alkohol);
pengaturan anestesi umum
pernapasan Kongenital Ventilasi alveolar primer (Ondines curse)
Didapat Trauma serebrovaskular; reseksi badan
karotis
Kombinasi Obesity-hypoventilation syndrome;
myxedema
Transmisi saraf Cervical spinal cord injury Trauma; tumor; vascular accident
sampai otot Demyelinating peripheral Guillain-Barr syndrome
pernapasan neuropathy
Anterior horn cell disease Poliomyelitis; amyotrophic lateral sclerosis
Lesi nervus frenikus Trauma; cardiac surgery; neoplasma;
idiopatik
Otot pernapasan Farmakologik Neuromuscular blocking agents
Kelainan otot primer Muscular dystrophy; polymyositis;
dermatomyositis
Kelainan neuromuscular Myasthenia gravis; botulism; tetanus; tick
junction paralysis
Kelainan elektrolit dan Hipopospatemia, hipokalemi; hipo-
metabolik magnesemi; myxedema
Dinding dada Penurunan mobilitas Kiposkoliosis, asfiksi traumatik, tight casts
atau bandages; obesitas berat; ankylosing
spondylitis; flail chest
Kelainan pleura Restriksi ekstra paru Pneumotoraks, efusi pleura, penebalan
pleura atau keganasan
Obstruksi Obstruksi saluran napas atas Epiglositis, benda asing, tumor, paralisis
saluran napas Obstruksi saluran napas bawah pita suara, trakeomalasia, PPOK, asma akut
berat
Peningkatan V/Q sangat tinggi PPOK
ventilasi ruang V/Q sangat rendah; right-to-left ARDS berat
rugi shunt Syok hipovolemik atau kardiogenik, selama
Generalized pulmonary resusitasi jantung paru, hiperinflasi paru
hypoperfusion (penggunaan PEEP berlebih, PEEP
instrinsik)
Localized pulmonary Tromboemboli paru, emboli udara vena
hypoperfusion
Peningkatan Inflamasi, hipermetabolisme Demam, sepsis, luka bakar, trauma berat
produksi CO2 Aktivitas otot Menggigil, tetani, kejang, hipertermi
Intake kalori berlebih Peningkatan intake klorida (terutama kalori
karbohidrat)
Inhalasi CO2 Peningkatan tekanan CO2 Trauma laboratorium atau industri,
luar inspirasi penggunaan obat, rebreathing
Keterangan : PEEP : positive end exspiratory pressure
Dikutip dari (24)

8
Etiologi
Gagal napas tipe II disebabkan oleh kelainan seperti hiperinflasi paru pada
PPOK, kelainan sistem saraf pusat (SSP), dan kelainan otot pernapasan
menyebabkan peningkatan PaCO2 kadang disertai hipoksemia sebagai akibat
hipoventilasi alveolar.3 Penyebab gagal napas tipe II dijelaskan pada tabel 2.
Tabel 2. Penyebab gagal napas tipe II
Kerusakan pengatur pusat
Lesi batang otak : stroke, perdarahan subarahnoid, infiltrasi tumor
Toxic encephalopathies (karbon monoksida (CO), obat-obatan)
Infeksi SSP
Status epileptikus nonkonvulsi
Toksisitas obat : opiat, benzodiazepin, barbiturat, alkohol
Sleep-disordered breathing
Primary alveolar hypoventilation
Kelemahan neuromuskular
Cervical spine injury
Transverse myelitis
Toksisitas obat : agen paralisis, kolistin, aminoglikosid, miopati steroid,racun organofosfat
Infeksi : botulism, tetanus, poliomielitis
Post polio syndrome
Tick paralysis
Guillain-Barre syndrome
Myasthenia gravis,
Eaton-Lambert syndrome
Amyotrophic lateral sclerosis
Muscular dystrophy
Myotonic dystrophy
Multiple sclerosis
Bilateral phrenic nerve palsy
Kelainan metabolik : hipopospatemi, hipokalemi, hipomagnesemi, hipokalsemi, alkalosis metabolik
Critical illness neuropathy
Miositis
Hypokaliemic periodic paralysis (familial atau tirotoksik)
Miopati akibat dari penyakit metabolik kongenital (mitochondrial myopathies, acid maltase
deficiency)
Malnutrisi (disebabkan oleh kelainan neuromuskular)
Deformitas dinding dada/peningkatan resistensi dinding dada/proses abdominal
Kyphoskoliosis
Thoracoplasty
Obesitas
Asites masif
Abdominal compartement syndrome
Proses pada pleura (contoh fibrotoraks)
Penurunan integritas struktur dinding dada
Fraktur multipel kosta (flail chest)
Penyakit paru menyebabkan penurunan elastisitas atau kelainan restriktif
Obstruksi saluran napas bawah : PPOK eksaserbasi, asma akut
Bronkiektasis
Penyakit paru lain yang meningkatkan ruang rugi (VD/VT > 60-65%)
Obstruksi saluran napas atas
Dikutip dari (1)

9
Patogenesis
Pompa ventilasi berfungsi untuk tranpor udara masuk dan keluar alveoli.
Penyakit pada komponen pompa ventilasi seperti kosta, saluran napas konduksi,
dan otot pernapasan menyebabkan gangguan eliminasi CO2 dan pengambilan O2.
Penyakit dengan kelainan mekanik pernapasan, kelainan volume ruang rugi, dan
kelainan kontraktilitas otot pernapasan menyebabkan gagal napas tipe II.
Patogenesis gagal napas tipe II pada penyakit paru dan dinding dada meliputi dua
mekanisme meliputi mekanisme kompensasi/adaptif dan mekanisme
25
dekompensasi/maladaptif.

Mekanisme kompensasi/adaptif
Mekanisme kompensasi adaptif adalah suatu mekanisme yang
mempertahankan ventilasi. Mekanisme kompensasi meliputi kemosensitivitas
pernapasan, respons motor terhadap perubahan mekanika pernapasan, dan
perubahan intrinsik kekuatan dan daya tahan otot pernapasan.25

a. Kemosensitivitas respirasi
Hipoksia dan hiperkapnia merangsang kemoreseptor perifer dan
kemoreseptor sentral yang memicu aktivitas motorik otot lurik pernapasan
dinding dada dan saluran napas atas. Kontraksi otot pernpasan seperti
diafragma, interkostal, abdominal, dan otot leher menyebabkan pompa
ventilasi dan perpindahan udara. Kontraksi otot saluran napas atas seperti
genioglosus, alae nasal, aritenoid posterior, dilator paringeal, sternohioid
mencegah paru kolaps selama inspirasi. 25
Chemoreseptor-induced meningkat pada aktivitas otot pernapasan
sesuai dengan berat kelainan pada tekanan gas darah dan feedback control loop
mengembalikan tekanan gas darah pada nilai normal melalui peningkatan
ventilasi alveolar. Chemosensitive-induced meningkatkan waktu aktivitas
motor respirasi dalam hal duration of inspiration (TI) dan duration of
expiration (TE). Hiperkapnia dan hipoksia menyebabkan penurunan T I dan TE
diikuti dengan peningkatan frekuensi napas. Pembagian siklus respirasi
tercermin dalam rasio TI/TT, dimana TT adalah total breath cycle duration yaitu

10
jumlah TI dan TE. Kemosensitivitas respirasi meliputi respon hiperkapnia dan
peran kemosensitivitas tumpul terhadap gagal napas.25
Respons hiperkapnia
Respons ventilasi terhadap hiperkapnia banyak dipengaruhi oleh
penurunan PaO2. Perburukan hipoksemia meningkatkan respons ventilasi
terhadap hiperkapnia sesuai dengan interaksi O2 dan CO2. Interaksi O2 dan CO2
merupakan mekanisme feedback kuat untuk mencegah retensi CO2 pada pasien
gagal napas tipe II. Terapi hiperkapnia dengan suplemen O2 akan menurunkan
VT/TI dan TI/TT menyebabkan perburukan hiperkapnia.25
Peran kemosensitivitas tumpul terhadap kejadian gagal napas.
Kemosensitivitas terhadap hipoksemia dan hiperkapnia bersifat
herediter dan sesuai etnik. Kemosensitivitas pernapasan terhadap hipoksemi
dan hiperkapnia menurun sesuai usia. Terbentuknya gagal napas tipe II pada
pasien PPOK dan kiposkoliosis lebih sering pada usia tua. Pasien yang
memiliki respons kuat terhadap perubahan PaCO2 mempunyai nilai PaCO2
mendekati normal dibandingkan pasien yang memiliki respons tumpul,
walaupun memiliki derajat kelainan paru sama. Pasien kelainan ventilasi dan
kemosenitivitas rendah lebih mudah mengalami gagal napas tipe II. 25

b. Respons terhadap peningkatan beban respirasi


Kompleks mekanopropioseptor berupa serabut aferen dari serabut saraf
respirasi di batang otak dan struktur SSP lebih tinggi memberikan kontrol
respirasi. Kontrol respirasi tersebut berupa informasi tentang mekanika
bernapas dan kerja pompa ventilasi. Penyakit paru obstruksi dan dinding dada
mengubah resistensi dan komplians pompa ventilasi menyebabkan stimulasi
mekanoreseptor dalam pompa ventilasi. Perubahan ventilasi selama
peningkatan resistensi jalan napas berbanding terbalik dengan perubahan
occlusion pressure dan motor responsse untuk meningkatkan beban respirasi.
Peningkatan beban inspirasi menyebabkan perubahan bentuk pernapasan
berupa bernapas pelan dan dalam bertujuan meningkatkan volume tidal dan
memperpanjang TI dan TE.25

11
c. Perubahan pada struktur pernapasan
Otot pernapasan mengalami perubahan struktur, biokimia, dan
kontraktilitas sebagai respons terhadap peningkatan beban kronik atau
perubahan pada kekuatan prekontraksi. Penyakit paru kronik meningkatkan
aktivitas otot inspirasi sehingga meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot.25
Hiperinflasi adalah peningkatan functional residu capacity (FRC)
melebihi nilai normal disebabkan oleh peningkatan relaxation volume (Vr)
akibat penurunan elastik rekoil paru atau hiperinflasi dinamik paru yang terjadi
katika FRC melebihi Vr. Serat otot pernapasan memendek sehingga tekanan
yang terbentuk untuk memulai eksitasi menurun. Eksitasi otot lebih besar
dibutuhkan untuk menghasilkan VA adekuat dibutuhkan eksitasi lebih besar.26
Otot bantu pernapasan ikut mempertahankan ventilasi pada volume paru
hiperinflasi sehingga kebutuhan O2 meningkat.27
Hiperinflasi mengganggu kekuatan dan kemampuan otot inspirasi
dalam menghasilkan tekanan.25 Hiperinflasi menyebabkan kontraksi diafragma
untuk mengembangkan dinding dada terbatas.16 Hiperinflasi berat mengubah
bentuk diafragma dan menurunkan zona apposisi dengan kosta. Diafragma
mendatar mengganti vektor kekuatan kontraksi dari arah rostralkaudal ke arah
mediallateral dan menurunkan kemampuan diafragma dalam meningkatkan
tekanan abdominal.25 Diafragma mendatar tidak mampu menghasilkan tekanan
efisien. Hiperinflasi ekstrim diafragma mendesak ekspirasi pada kosta bawah
dan menarik kosta bawah saat inspirasi disebut Hoovers sign.25,26
Suplai energi otot inspirasi tergantung kemampuan otot meningkatkan
aliran darah secara paralel dengan peningkatan kerja. Diafragma mempunyai
kapasitas besar meningkatkan aliran darah dibandingkan otot rangka lain.
Pendataran diafragma pada hiperinflasi mengalami penurunan kekuatan
menyebabkan suplai darah ke otot inspirasi menurun.26

12
Mekanisme dekompensasi/maladaptif
Mekanisme dekompensasi adalah suatu keadaan tidak mampu
mempertahankan ventilasi dan cenderung terjadi retensi CO2. Mekanisme
dekompensasi meliputi kelelahan otot pernapasan, shallow patten of breathing,
dan undernutrition.25

a. Kelelahan otot pernapasan


Kelelahan otot pernapasan adalah hilangnya kemampuan otot bekerja di
bawah beban secara periodik untuk menimbulkan kekuatan, meskipun suplai
saraf adekuat. Kelelahan otot muncul ketika suplai energi otot pernapasan tidak
memenuhi kebutuhan.Penurunan ini reversibel apabila dengan istirahat lama
24-72 jam. Kelelahan otot harus dibedakan dari kelemahan otot. Kelemahan
otot terjadi penurunan kekuatan yang tidak membaik dengan istirahat.
Kelemahan otot dapat mempengaruhi kelelahan otot. Faktor predisposisi
kelelahan otot terdiri atas hal-hal yang meningkatkan kerja otot pernapasan dan
penurunan suplai energi. Kebutuhan energi tergantung dari kerja pernapasan
dan kekuatan serta efisiensi otot inspirasi. Kelelahan otot dipengaruhi oleh
presentase maksimal ispiratory pressure diapragm (Pdimax), fraksi maximum
inspiratory pressure (Pimax), VE, dan inspiratory duty cycle.1,26

b. Bernapas cepat dan dangkal (rapid, shallow breathing)


Pasien dengan kelainan fungsi pompa ventilasi akan bernapas cepat dan
dangkal. Frekuensi napas meningkat dan volume tidal turun. Refleks dari
mekanoreseptor pada kontraksi kosta dan diafragma memegang peranan
penting terjadinya rapid, shallow breathing.25 Rapid, shallow breathing
disebabkan oleh aktivasi reseptor vagal pada jalan napas. Rapid, shallow
breathing merupakan respons pusat pengatur pernapasan untuk mengurangi
rasa sesak.25,26 Rapid shallow breathing menimbulkan retensi CO2. Retensi
CO2 menyebabkan penurunan PaO2, pH arterial, dan menekan kontraktilitas
diafragma sehingga akan meningkatkan produksi CO2. Kompensasi ginjal
terhadap asidosis respiratorik menyebabkan resorbsi bikarbonat. Peningkatan
bikarbonat dalam cairan tubuh akan memperburuk retensi CO2.2

13
c. Undernutrition
Undernutrition adalah berat badan kurang dari 90% berat badan ideal.
Peningkatan kerja pernapasan dan aktivitas otot inspirasi membutuhkan energi
50-100% lebih besar dibanding normal. Penyebab utama penurunan berat
badan pasien gagal napas tipe II adalah relative anorexia yang meningkatkan
kebutuhan kalori basal dan tidak diimbangi dengan pemberian nutrisi
adekuat.25

Patofisiologi
Gagal napas tipe II merupakan kegagalan ventilasi menyebabkan kondisi
hiperkapnia.26 Prinsip terjadinya hiperkapnia adalah ketidakmampuan
mempertahankan tingkat VA yang cukup untuk eliminasi CO2 dan menjaga PaCO2
pada nilai normal.17 Pump failure dan drive failure menyebabkan retensi CO2
sehingga VA tidak adekuat. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PA O2
sesuai dengan persamaan berikut :24
PAO2 = PIO2 (PaCO2/R)
Keterangan : PaCO2 = PACO2, PIO2 (PO2 inspirasi), R : rasio pertukaran respirasi.
Volume ruang rugi meningkat diikuti dengan penurunan ventilasi
kemudian menyebabkan peningkatan PaCO2.17 Kelainan yang menyebabkan
penurunan VA atau meningkatkan VD mengakibatkan hiperkapnia.4 Mekanisme
fisiologi gagal napas tipe II akut dapat dilihat pada gambar 4.

Fungsi pengatur Kerusakan fungsi Peningkatan kebutuhan


pernapasan menurun neuromuskular ventilasi

Penurunan usaha Output ventilasi tidak adekuat walaupun


ventilasi terjadi peningatan usaha

Gagal ventilasi

Gambar 4. Mekanisme fisiologi gagal napas tipe II akut


Dikutip dari (24)

14
Patofisiologi gagal napas tipe II adalah ketidakseimbangan antara suplai
ventilasi dan kebutuhan ventilasi. Suplai ventilasi adalah ventilasi maksimal
spontan yang dipertahankan tanpa menyebabkan kekelahan otot pernapasan.
Suplai ventilasi dikenal sebagai maximal sustainable ventilation (MSV).
Kebutuhan ventilasi adalah menit ventilasi spontan yang dapat dipertahankan
untuk mencapai PaCO2 normal. Suplai ventilasi lebih besar dibandingkan
kebutuhan ventilasi pada kondisi normal. Maximal sustainable ventilation sekitar
160 L/menit. Penurunan MSV menyebabkan peningkatan kebutuhan ventilasi
melebihi suplai yang memicu hiperkapnia.4 Faktor yang menurunkan suplai
ventilasi dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3. Faktor-faktor yang menurunkan suplai ventilasi
Faktor Contoh
Penurunan kekuatan otot respirasi Perbaikan dari gagal napas akut, frekuensi
- Kelelahan otot napas tinggi, peningkatan waktu inspirasi
- Disuse atrophy Penggunaan ventilasi mekanik berkelanjutan,
injuri nervus frenikus
Malnutriai Kekurangan kalori protein
Kelainan elektrolit Konsentrasi serum fosfat dan potasium rendah
- Kelainan analisis gas darah pH rendah, Pao2 rendah, PaCO2 tinggi
- Infiltrasi lemak/fatty ke diafragma Obesitas
- Ketidakseimbangan hubungan antara Diafragma mendatar disebabkan oleh
diaphragma lengthtension relationship hiperinflasi
Peningkatan kebutuhan energi otot atau
penurunan suplai substrat
- Peningkatan kerja elastik pernapasan Komplians paru atau dinding dada rendah,
frekuensi pernapasan tinggi
- Peningkatan kerja pernapasan Obstruksi jalan napas
- Penurunan perfusi diafragma Syok, anemia
Penurunan fungsi motor neuron
- Penurunan output nervus frenikus Polineuropati, Guillain-Barre syndrome,
transeksi nervus frenikus atau injuri,
poliomielitis
- Penurunan transmisi neuromuskular Myastenia gravis, penggunaan agen paralisis
Kelainan mekanika pernapasan
- Keterbasanan aliran udara Bronkospasme, obstruksi saluran napas atas,
- Penurunan volume paru sekresi jalan napas berlebihan setelah reseksi
paru, efusi pleura luas
- Kelainan restriksi lain Nyeri minimal saat inspirasi; distensi abdomen
disebabkan ileus, cairan peritoneal dialisis atau
asites
Dikutip dari (4)

15
Gagal napas dapat terjadi dari kelainan komponen efektor sistem
pernapasan meliputi SSP, sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada,
atau alveoli yang dijelaskan oleh gambar 5.4 Hiperkapnia dapat mengalami
hipoksemia jika gangguan pertukaran gas berat. Right-to-left shunt dan rasio V/Q
rendah terjadi pada ARDS menyebabkan peningkatan VD/VT. Kegagalan
eliminasi CO2 mengakibatkan hiperkapnia.24
Patofisiologi gagal napas tipe II akan dibahas lebih lanjut berdasarkan
komponen efektor yang mengalami kelainan seperti yang telah dijelaskan pada
gambar 5. Komponen efektor tersebut meliputi SSP, sistem saraf tepi, otot
pernapasan dan dinding dada.4

a. Kelainan sistem saraf pusat (SSP)


Gagal napas tipe II dapat disebabkan oleh aktivasi pernapasan SSP
tidak adekuat. Pengaruh SSP pada sistem pernapasan tidak adekuat
disebabkan kelainan bersifat sementara seperti obat anestesi dan overdosis.
Pengaruh SSP pada sistem pernapasan tidak adekuat karena kelainan menetap
terjadi pada penyakit medula. Kelainan struktur dan metabolik SSP ditandai
dengan supresi sistem saraf pengatur pernapasan menyebabkan hipoventilasi
dan hiperkapnia baik akut maupun kronis.4,26 Peningkatan PCO2 di SSP
menyebabkan depresi saraf dan retensi CO2.4 Depresi pusat pengatur
pernapasan oleh obat merupakan mekanisme utama penyebab gagal ventilasi
akut. Kondisi overdosis akut menyebabkan ketidakmampuan melindungi
saluran napas dan meningkatkan kerja otot pernapasan sehingga terjadi
asidosis respiratorik akut. 24

b. Kelainan sistem saraf tepi, neuromuscular junction, dan dinding dada


Kelainan sistem saraf tepi, neuromuscular junction, dan dinding dada
berhubungan dengan gagal napas tipe II dan hipoksemia. Tanda utama
kelainan tersebut diatas adalah ketidakmampuan mempertahankan VE yang
mempengaruhi rerata produksi CO2. Gagal napas yang terjadi merupakan
komplikasi dari kerusakan kekuatan otot ekspirasi, atelektasis, dan aspirasi.4

16
Patofisiologi penyakit yang disebabkan oleh kelainan sistem saraf tepi,
neuromuscular junction, dan dinding dada meliputi aktivasi otot inspirasi
tidak adekuat, pengembangan dinding dada terbatas, dan penurunan volume
tidal. Peningkatan frekuensi napas merupakan mekanisme kompensasi awal
terhadap penurunan VE. Penurunan VT menyebabkan atelektasis dan
penurunan komplians paru. Suplai ventilasi menjadi terbatas sementara
kebutuhan ventilasi meningkat seiring dengan peningkatan VD/VT.
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan ventilasi menyebabkan
hiperkapnia.4

c. Obstruksi saluran napas


Penyakit saluran napas obstruksi baik saluran napas maupun bawah
merupakan penyebab tersering hiperkapnia akut dan kronik.4 Obstruksi saluran
napas atas menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas. Peningkatan
resistensi jalan napas menyebabkan otot pernapasan tidak mampu
mempertahankan VE adekuat menyebabkan gangguan homeostasis CO2.24
Hiperinflasi paling sering disebabkan oleh obstruksi jalan napas dan
penurunan rekoil elastik paru menimbulkan penurunan fungsi otot
27
pernapasan. Obstruksi saluran napas mengakibatkan peningkatan tekanan
transtorasik untuk mengalirkan udara inspirasi. Komponen restriktif kerja
pernapasan meningkat menyebabkan peningkatan VO2, penurunan VT, dan
peningkatan VD/VT.4 Peningkatan kerja otot pernapasan, penurunan kekuatan
otot pernapasan, penurunan efisiensi dan suplai energi pada hiperinflasi
menghasilkan kelelahan otot pernapasan. Penyakit seperti asma akut dan PPOK
ekaserbasi terjadi air trapping dan hiperinflasi menyebabkan diafragma
mendatar dan perburukan mekanika diafragma. Keseluruhan efek tersebut
menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan ventilasi. 4,26

17
Komponen efektor

Eferen SSP Saraf Otot pernapasan, Saluran alveoli


perifer dinding dada napas

Integrasi Kemoresep- PaO2, PaCO2 VA VE


aferen SSP tor

Gambar 5. Komponen sistem pernapasan dan pengaturnya. Kelainan setiap


komponen efektor menyebabkan gagal napas. Sistem saraf pusat dan tepi, otot
pernapasan, dinding dada, dan saluran napas berperan dalam pompa pernapasan
(respiratory pump).

Dikutip dari (4)

Diagnosis
Diagnosis gagal napas diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan AGD.21,25 Pasien gagal napas
menunjukkan gejala sesuai dengan penyakit dasar.21 Sesak napas merupakan
gejala klinis yang pertama kali muncul sebelum terjadi retensi CO2. Sesak napas
memberat pada posisi supine menunjukkan disfungsi diafragma. Gejala klinis lain
meliputi penggunaan otot bantu napas, kelainan pergerakan torakoabdominal. 25
Hipoksia serebral menyebabkan perubahan mental. Hiperkapnia menyebabkan
efek pada SSP. Peningkatan CO2 menimbulkan gejala letargi, stupor, dan koma.
kelelahan otot pernapasan akibat pelepasan katekolamin.21
Analisis gas darah merupakan pemeriksaan utama untuk menegakkan
diagnosis gagal napas tipe II.11,22 Pemeriksaan AGD perlu diulang untuk
monitoring perjalanan penyakit dan terapi.22 Fungsi otot napas dapat dinilai
dengan pemeriksaan P Imax dan PEmax (maximum expiratory pressure).25

18
PENATALAKSANAAN GAGAL NAPAS TIPE II

Kelainan AGD pada gagal napas tipe II merupakan akibat dari


ketidakseimbangan antara beratnya penyakit dengan derajat kompensasi sistem
kardiopulmonari. Hasil AGD normal bukan berarti tidak ada kelainan tetapi
menunjukkan sistem homeostatis mampu melakukan kompensasi.
Penatalaksanaan gagal napas meliputi terapi medikamentosa penyakit primer,
perbaikan aliran O2 ke jaringan melalui tatalaksana jalan napas, ventilasi, dan
oksigenasi.22 Penatalaksanaan gagal napas tipe II akut dan kronis akan dibahas
lebih lanjut. Penatalaksanaan gagal napas tipe II akut meliputi tatalaksana
medikamentosa dan bantuan ventilasi.

Medikamentosa
Tujuan penatalaksanaan gagal napas tipe II adalah memperbaiki saluran
napas, paru, dan fungsi otot pernapasan. Pasien PPOK dan asma dengan
pemberian bronkodilator seperti agonis beta 2 adrenergik, antikolinergik, teofilin
dan antiinflamasi seperti kortikosteroid dapat memperbaiki gagal napas.
Bronkodilator dan antiinflamasi menurunkan resistensi jalan napas, FRC, VD/VT ,
gradien tekanan parsial O2 alveolar-arterial, dan kerja pernapasan. Inhibitor
kolinesterase diberikan pada pasien miastenia gravis. Inhibitor kolinesterase
memperbaiki kekuatan otot inspirasi, kapasitas vital, dan atelektasis yang
menyebabkan hiperkapnia.25
Progestasional telah digunakan beberapa tahun untuk terapi idiopathic
hypoventilation syndrome. Medroksiprogesteron asetat diberikan oral 20 mg tiga
kali sehari untuk menambah respons ventilasi sentral terhadap hipoksemia dan
hiperkapnia serta memperbaiki kenaikan AGD saat istirahat. Medroksiprogesteron
secara umum ditoleransi baik oleh pasien perempuan tetapi menimbulkan
efeksamping feminisasi pada laki-laki. Onset medroksiprogesteron lambat dan
respons dapat dilihat selama beberapa minggu. Teofilin menghasilkan perbaikan
fungsi kontraktilitas diafragma dan menurunkan PaCO2.25
Suplementasi O2 selalu diberikan pada pasien gagal napas tipe II kronik.
Suplementasi O2 berlebihan meningkatkan PaCO2 pada pasien dengan gangguan

19
kontrol ventilasi dimana respons ventilasi terhadap CO2 tumpul, tetapi respons
terhadap O2 baik.1,25 Memperbaiki hipoksemia merupakan prioritas pada pasien
gagal napas tipe II. Hipoksemia dapat menyebabkan kematian dengan cepat
sedangkan hiperkapnia lebih lambat.1
Gagal napas tipe II menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Terapi
kelelahan otot pernapasan berdasarkan patogenesisnya.25 Prinsip tatalaksana
kelelahan otot pernapasan dijelaskan pada tabel 4.
Tabel 4. Prinsip terapi kelelahan otot pernapasan
Penurunan irama inspirasi pada tekanan trasdiafragmatik (Pdi)
- Memperbaiki mekanika pernapasan (menurunkan resistensi jalan napas, komplians
toraks, dan volume statik paru)
- Memperbaiki pengatur pernapasan/ventilatory drive (memperbaiki hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis metabolik, demam, kongasti/inflamasi paru, ARDS)
Peningkatan Pdimax
- Koreksi hiperinflasi
- Koreksi atropi otot disebabkan oleh defisiensi kalori protein
- Koreksi elektrolit dan kelainan gas darah (hipoksemia, hiperkapnia, hipopospatemia,
hipikalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi)
Memastikan aliran darah ke otot dan ketersediaan substrat
- Koreksi cardiac output rendah (syok kardiogenik, syok hipovolemik)
- Koreksi hipoksemia, hipoglikemia)
Dikutip dari (25)

Bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi pasien gagal napas tipe II meliputi penggunaan alat
bantu ventilasi baik alat bantu ventilasi non invasif maupun invasif. Alat bantu
ventilasi diberikan pada pasien gagal napas tipe II yang tidak mengalami
perbaikan bahkan perburukan setelah mendapat terapi medikamentosa.25 Alat
bantu ventilasi noninvasif dan invasif dijelaskan lebih lanjut.

a. Noninvasive Ventilation/NIV
Noninvasive ventilation adalah alat bantu ventilasi sepanjang saluran
napas atas dengan menggunakan masker atau alat sejenisnya. Teknik NIV
berbeda dari teknik invasif. Teknik invasif memasukkan alat dalam saluran
napas atas menggunakan tracheal tube, laryngeal mask atau trakeostomi.23
Gambar 6 menjelaskan jenis NIV.

20
Gambar 6. Interface. Kiri: Helm. Kanan atas: nasal mask, lebih disesuai untuk
pasien dengan penyakit pernapasan kronik. Kanan bawah: orofacial dan whole
face mask
Dikutip dari (27)

Penggunaan NIV pertama kali untuk tatalaksana hipoventilasi pasien


kelainan neuromuskular pada malam hari. Penggunaan NIV kemudian diterima
secara luas menjadi metode standar tatalaksana gagal napas tipe II yang
disebabkan kelainan dinding dada, neuromuskular, dan kerusakan pusat
pengaturan pernapasan. Noninvasive ventilation juga digunakan untuk
tatalaksana gagal napas akut dengan kelainan paru.23 Syarat pasien, indikasi,
dan kontraindikasi penggunaan NIV dijelaskan pada tabel 5,6,7.
Tabel 5. Syarat pasien untuk menggunakan NIV
- tidak didapatkan kontraindikasi penggunaan NIV
- pasien dengan pernapasan spontan
- kolaborasi pasien
- pasien dengan kesadaran baik untuk ekspetorasi dan batuk
- pasien gagal napas akut yang tidak respons dengan terapi konvensional awal,
takipneu dengan frekuensi napas > 24 kali/menit, saturasi O2 < 90% setelah
pemberian FiO2 > 0.5, penggunaan otot bantu pernapasan dan tidak sinkron
torakoabdominal
- PaCO2 > 45 mmHg, pH < 7.35 dan PaO2/FiO2 < 200
Dikutip dari (27)

21
Penggunaan noninvasive positive pressure ventilation (NPPV)
merupakan langkah menyelamatkan pasien dengan penggunaan otot bantu
pernapasan. Noninvasive positive pressure ventilation merupakan alat yang
menyediakan kebutuhan O2 tanpa meningkatkan PaCO2 dan secara cepat sekitar
1-4 jam dapat memperbaiki hiperkapnia. Noninvasive positive pressure
ventilation menurunkan kebutuhan penggunaan intubasi jalan napas dan
membantu menghindari komplikasi penggunaan ventilasi mekanik seperti
trauma saluran napas atas, infeksi nosokomial, dan prolonged intubation.
Penggunaan NPPV secara signifikan meningkatkan angka bertahan hidup.1,24
Tabel 6. Indikasi NIV
- PPOK eksaserbasi
- Edema paru akut
- Asma akut sedang
- Weaning dari ventilasi mekanik konvensional
- Pneumonia
- Bronkiolitis akut
- Post-operasi paralisis frenikus
- Acute interstitial lung disease
- Alveolar hypoventilation sekunder karena keterlibatan SSP (Guillain Barre syndrome,
Arnold Chiari syndrome, Ondine syndrome, hydrocephalus, tumor SSP, myelomeningocele,
syringomyelia, spinal muscular atrophy, poliomyelitis, amyotrophic lateral sclerosis,
myasthenia gravis, muscular dystrophies, myopathies, acute spinal cord injury)
- Kiposkoliosis
- Malformasi rongga toraks
- Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS)
- PIC syndrome
- Fibrosis paru
- Post-operasi dada
- Terapi paliatif pasien dengan indikasi OTI
Keterangan : OTI : orotracheal intubation
Dikutip dari (27)

Pasien PPOK eksaserbasi berat atau gagal terapi medikamentosa


menyebabkan perburukan seperti sesak napas, retensi CO2, dan timbul
kelelahan otot pernapasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi.
Noninvasive positive pressure ventilation diberikan pada pasien PPOK
eksaserbasi karena efektif membantu ventilasi pada pasien tersebut.
Noninvasive positive pressure ventilation menurunkan kerja pernapasan dan
mencegah progresifitas kelelahan otot pernapasan sementara terapi
medikamentosa tetap diberikan.24

22
Tabel 7. Kontraindikasi NIV
- Henti jantung/napas
- Gagal organ (a) hemodinamik berat atau elektrik tidak stabil, (b) ensepalopati berat (skor
GCS < 10) dan (c) perdarahan gastrointestinal akut)
- Sindrom koroner akut (angina tidak stabil atau infark miokard)
- Pasien tidak kooperatif
- Kesadaran menurun.
- Paralisis bulbar berat
- Risiko tinggi aspirasi (vomitus, ileus) membutuhkan perlindungan jalan napas
- Kelainan anatomisk nasofaring, trauma wajah atau pembedahan, pembedahan jalan napas
atas sebelumnya
- Pembedahan gastrointestinal atas merupakan kontraindikasi relatif)
- Stenosis campuran jalan napas atas
- Tidak mampu membersihkan sekret
Keterangan : GCS : glasgow coma scale
Dikutip dari (1)

Pasien dengan gangguan kontrol pernapasan mengalami kenaikan PaCO2


15-30 mmHg dengan hipoksemia dan asidosis respiratorik berat. Pasien dengan
gangguan kontrol pernapasan membutuhkan ventilasi mekanik selama tidur.
Noninvasive positive pressure ventilation merupakan langkah efektif
memperbaiki peningkatan gas darah selama tidur. 25 Penggunaan NIV tidak
semua mengalami keberhasilan, kegagalan dilaporkan 7-50% pada pasien
PPOK dengan gagal napas.29

b. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik merupakan alat bantu ventilasi yang efektif untuk
tatalaksana gagal napas. Ventilasi mekanik membantu pertukaran gas dan kerja
ventilasi selama dibutuhkan, membantu pasien untuk bertahan hidup dan lebih
nyaman sementara proses akut dari kelainan paru yang mendasari diterapi atau
mengalami perbaikan.10 Pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan
penggunaan NIV perlu dipertimbangkan penggunaan ventilasi mekanik. 21
Ventilasi mekanik dapat menjadi alat untuk menyelamatkan pasien
hipoksemi akut berat atau perburukan asidosis respiratorik yang tidak
perbaikan dengan penanganan konservatif. Target terapi oksigenasi pasien
dengan ventilasi mekanik yaitu PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 89%, dengan
anggapan lebih dari target tersebut O2 tidak akan lebih mudah mencapai
jaringan.1 Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dijelaskan pada tabel 8.

23
Tabel 8. Indikasi pemakaian ventilasi mekanik
Apneu atau impending respiratory arrest
PPOK eksaserbasi akut dengan sesak napas, takipnea, dan asidosis respiratorik akut, ditambah
salah satu dibawah ini :
- Acute cardiovascular instability
- Penurunan status mental (GCS < 8) atau tidak kooperatif persisten
- Tidak mampu melindungi saluran napas bawah
- Sekret kental dan banyak
- Kelainan bentuk muka atau perlindungan efektif saluran napas dengan NPPV
- Asidosis respiratorik progresif atau perburukan meskipun telah mendapatkan terapi
intensif, meliputi NPPV. Ventilasi mekanik dipertimbangkan bila PaO2 < 45 mmHg
meskipun telah memperoleh FiO2 yang dapat ditoleransi atau pH < 7.20
Insufisiensi ventilasi akut pada penyakit neuromuskular, timbul adanya
- Asidosis respiratorik akut
- Penurunan progresif kapasitas vital dibawah 10-15 ml/kg
- Penurunan progresif maximum inspiratory pressure di bawah 20-30 cm H2O
Gagal napas hipoksemi dengan takipnea, distress napas, dan ipoksemi menetap meskipun
telah mendapatkan terapi FiO2 tinggi melalui sistem alirang tinggi, atau disertai dengan :
- Acute cardiovascular instabillity
- Penurunan status mental atau tidak kooperatif menetap
- Tidak mampu melindungi saluran napas bawah
Membutuhkan intubasi endotrakeal untuk mempertahankan atau melindungi saluran napas
bawah atau managemen sekret, terutama pada pasien dengan tube endotracheal dengan
diameter dalam 8 mm
Dikutip dari (1)

Gagal napas tipe II kronik dengan PaCO2 > 46 mmHg berhubungan dengan
asidosis respiratorik tetapi mendapat kompensasi dari metabolik.21 Mekanisme
kompensasi adaptif atau disfungsi otot pernapasan merupakan mekanisme penting
terbentuknya hiperkapnia kronik stabil. 29 Terapi gagal napas II kronik dijelaskan
pada tabel 9.
Tabel 9. tatalaksana gagal napas tipe II kronik
- Tatalaksana penyakit dasar
- LTOT
- Rehabilitasi
- Ventilasi mekanik di rumah (invasif atau noninvasif)
- Pasien emfisema terseleksi, pembedahan untuk mengurangi volume paru
- Transplantasi paru
Dikutip dari (3)

Noninvasive positive pressure ventilation merupakan alat efektif untuk


tatalaksana pasien dengan hiperkapnia kronik akibat kelainan kemosensitivitas
atau kelainan mekanika pernapasan. Pasien hiperkapnia kronik dengan gangguan
kontrol pernapasan pada saat tidur akan mengalami kenaikan PaCO2 (15-30
mmHg) dengan hipoksemia dan asidosis respiratorik berat. Pasien tersebut

24
membutuhkan ventilasi mekanik biasanya dengan NPPV dengan atau tanpa O2
selama periode tidur. Noninvasive positive pressure ventilation terutama saat
malam hari sangat membantu untuk menurunkan PaCO2 arterial dan meningkatkan
PO2 pada pasien hiperkapnia kronik. Perbaikan tekanan gas dicapai dengan
nocturnal mechanical ventilation mungkin terbawa ke periode bangun, dengan
mencegah peningkatan bikarbonat serum atau menekan hipoksia pada fungsi
SSP.27

REHABILITASI PARU PADA GAGAL NAPAS TIPE II

Pasien dengan penyakit paru kronik sering mengalami gejala distres,


keterbatasan kemampuan aktifitas, penurunan status kesehatan dan fungsional
meskipun pasien telah mendapatkan terapi farmakologi optimal. Penyakit paru
kronik yang membutuhkan rehabilitasi paru antara lain PPOK, asma kronik dan
remodelling saluran napas, bronkiektasis, kistik fibrosis, kelainan dinding dada,
dan interstitial lung disease.30 Tujuan rehabilitasi paru pada penatalaksanaan
penyakit paru kronis adalah mengurangi sesak napas, peningkatan kemampuan
latihan, fungsional, memperbaiki status kesehatan terkait kualitas hidup, dan
risiko morbiditas serta mortalitas prematur.30,31
Indikasi rehabilitasi paru antara lain pasien penyakit paru kronik dengan
gejala atau disabilitas meskipun mendapat terapi medis. Penyakit paru obstruksi
kronis merupakan penyakit paru kronik yang paling direkomendasikan untuk
menjalani rehabilitasi paru terutama pasien dengan satu atau lebih gejala atau
kondisi berikut ini:30
- Sesak napas berat dan/atau kelelahan
- Penurunan kemampuan latihan
- Berkaitan dengan kemampuan aktivitas sehari-hari
- Kerusakan status kesehatan
- Penurunan kemampuan dalam pekerjaan
- Deplesi nutrisi
- Peningkatan medical resource utilization

25
Intoleransi terhadap latihan merupakan faktor utama penyebab
31
keterbatasan aktivitas sehari-hari pada pasien penyakit paru kronik. Pasien
PPOK mengalami penurunan toleransi latihan disebabkan keterbatasan ventilasi,
pertukaran gas, disfungsi jantung, peningkatan kerja elastik pernapasan akibat
hiperinflasi statik dan dinamik, kelainan pergerakan otot yang menyebabkan
timbulnya produksi laktat, serta kelelahan pada intensitas latihan rendah.
Rehabilitasi paru meliputi exercise training, breathing training, respiratory
muscle training, chest physical therapy, dan nutrisi.30,31

Exercise training
Exercise training merupakan teknik terbaik untuk memperbaiki fungsi otot
pada penyakit paru kronik. Exercise training meliputi endurance training dan
strength training ekstremitas atas dan bawah. Exercise training memperbaiki daya
tahan otot, peningkatan fungsi otot, kemampuan aktivitas sehari-hari, menurunkan
tekanan darah sistemik, memperbaiki profil lipid, menurunkan depresi,
menurunkan kecemasan berkaitan dengan sesak napas yang disebabkan oleh
aktivitas, dan memperbaiki tidur.31 Prinsip exercise training meliputi intensitas,
spesifitas, dan reversibilitas.30 Pasien dengan penyakit paru kronik berat
disarankan menjalani latihan lebih sering dalam hal intensitas dan durasi untuk
mempercepat adaptasi otot rangka.31
Program rehabilitasi paru memberikan endurance training pada
ekstremitas bawah sekitar 20-30 menit dua sampai lima kali semingu. Latihan
tersebut meliputi stationary cycle ergometer/motorized treadmill, climbing stairs,
atau walking on a flat surface seperti pada koridor atau auditorium. Otot
ekstremitas atas berkaitan dengan sesak napas sebab otot lengan merupakan otot
bantu pernapasan. Latihan otot ekstremitas atas meliputi arm cycle ergometry atau
unsupported arm exercise seperti lifting frre weight/dowels atau streching elastic
bands.30,31

26
Latihan pernapasan, latihan otot pernapasan dan chest physical therapy
Latihan pernapasan merupakan teknik untuk mengendalikan frekuensi
napas dan jenis pernapasan dengan tujuan mengurangi air trapping. Pursed-lip
breathing adalah teknik latihan pernapasan yang melibatkan otot abdomen selama
ekspirasi dan memberi efek pada jenis pernapasan, meningkatkan VT dan
penurunkan FRC.30
Latihan otot pernapasan disarankan terutama untuk pasien kelemahan otot
respirasi. Tiga jenis latihan otot pernapasan yang pernah dilaporkan yaitu
inspiratory resistive training, threshold loading, dan normocapnic hyperpnea.31
Chest physical therapy bertujuan membersihkan sekresi jalan napas.
Teknik ini meliputi postural drainage, chest percussion dan vibrasi, serta directed
cough. Postural drainage menggunakan gravitasi untuk membantu drainase
segmen paru.30

Nutrisi
Kelainan komposisi tubuh hampir dialami oleh semua pasien dengan
penyakit paru kronik. Pasien PPOK dengan gizi kurang signifikan mengalami
keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penurunan berat badan
disebabkan peningkatan energi dan metabolisme substrat atau penurunan intake
dan muscle wasting akibat ketidakseimbangan antara sintesis dan bongkaran
protein.31
Deplesi nutrisi meliputi penurunan berat badan dan kelainan komposisi
tubuh seperti penurunan lean body mass yang dialami 20-35% pasin PPOK stabil.
Deplesi lean body mass berperan dalam morbiditas pasien PPOK melalui
penurunan kekuatan otot inspirasi, toleransi latihan, dan status kesehatan.30 Nutrisi
pasien PPOK diberikan suplemen kalori dan hormon anabolik steroid.30,31 Terapi
ini meningkatkan berat badan, lean body mass, kekuatan otot pernapasan,
diameter lingkar lengan dan paha. Hormon anabolik steroid pada PPOK tidak
dianjurkan diberikan secara rutin.30

27
EFEK HIPERKAPNIA

Hiperkapnia dan asidosis respiratorik menyebabkan efek fisiologis


terhadap inflamasi, sistemik, dan fungsi paru. Efek tersebut disebabkan oleh
penurunan pH dan peningkatan PaCO2. Efek pada paru terjadi konstriksi pembuluh
darah paru sebagai respons terhadap hiperkapnia asidosis. Efek sistemik
hiperkapnia dijelaskan pada tabel 10.32
Tabel 10. Efek sistemik hiperkapnia asidosis
Sistem saraf pusat
- Stimulasi ventilasi
- Anestesi umum pada tingkat tinggi
- Vasodilatasi serebral
- Peningkatan tekanan intra kranial
- Peningkatan tonus simpatik
- Penurunan tonus parasimpatik
- Peningkatan output medula dan kortek adrenal
Kardiovaskular
Efek langsung
- Kerusakan kontraktilitas otot polos jantung dan pembuluh darah
- Penurunan afterload dan vasodilatasi sistemik
Konsekuensi berlawanan dari peningkatan tonus simpatik
- Peningkatan frekuensi jantung
- Peningkatan kontraktilitas miokardiak
- Peningkatan venous capasitance vessel tone
- Peningkatan venous return
- Peningkatan cardiac output
Metabolisme
- Penurunan konsumsi O2
- Gangguan penggunaan energi sel
- Peningkatan ketoasidosis sel dan pengambilan asam laktat
Ginjal/elektrolit
- Peningkatan sekresi H+ dan reabsorbsi bikarbonat
- Renal adrenergic-mediated vasoconstriction pada level tinggi
- Peningkatan reabsorbsi Na+
- Hiperkalemi ringan
Darah
- Peningkatan kecil hematokrit/konsentrasi hemoglobin
- Penurunan afinitas Hb-O2 (peningkatan p50)
- Supresi pengeluaran eritropoetin
Dikuti dari (32)

28
SIMPULAN
1. Gagal napas tipe II adalah suatu kondisi pasien tidak mampu mempertahankan
ventilasi alveolar yang cukup untuk eliminasi CO2 sehingga PaCO2 meningkat
dan PaO2 menurun. Parameter gagal napas tipe II yaitu PaCO2 > 45 mmHg
dengan/tanpa penurunan PaO2 < 60 mmHg.
2. Kelainan pada komponen pompa ventilasi meliputi saluran napas konduksi,
dinding dada, dan otot pernpasan menyebabkan gagal napas tipe II.
3. Insiden gagal napas meningkat seiring pertambahan usia. Penyakit paru
obstruksi kronis merupakan penyebab terbanyak gagal napas tipe II.
4. Gagal napas tipe II merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi. Gagal
napas tipe II meningkatkan pemakaian ventilasi mekanik.
5. Diagnosis pasti gagal napas tipe II adalah pemeriksaan analisis gas darah.
6. Bantuan ventilasi diberikan pada gagal napas tipe II yang tidak mengalami
perbaikan setelah mendapat terapi medikamentosa.
7. Gagal napas tipe II memerlukan tatalaksana komprehensif meliputi perbaikan
gangguan pertukaran gas berupa oksigenasi, terapi medikamentosa penyakit
dasar, bantuan ventilasi apabila tidak respons terhadap terapi medikamentosa,
dan rehabilitasi paru untuk membantu meningkatkan kualitas hidup pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Nicolaos K, Marko, Myriantbefs M. Respiratory failure an overview. Crit


Care Nurs Q. 2004;4:353-79.
2. West J. Ventilation. In: West J, editor. Respiratory phisiology the essentials.
9th ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2012. p. 12-23.
3. Budweiser S, Jorres R, Pfeifer M. Treatment of respiratory failure in COPD.
International Journal of COPD. 2008;4:605-18.
4. Grippi M. Acute respiratory failure: an overview. In: Fishman J, Elias J,
Grippi M, editors. Fishmans pulmonary diseases and disorders. 4th ed. USA:
The McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 2509-22.
5. Luce J, White D. Care at the end of life for patients with respiratory failure.
In: In: Mason M, Nadel J, Murray J, editors. Murray and nadels textbook of
respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 2160-79.
6. Luhr OR, Antansen K, Karissan M. Incidence and mortality after acute
respiratory failure and acute respiratory distress syndrome in sweden,
denmark, and iceland. Am J Respir Crit Care Med. 1999;15:1849-61.
7. Bahrendt C. Acute respiratory failure in the united states incidence and 31-
day survival. Chest. 2000;118:1100-5.
8. O Donohue W, Plummer A. Magnitude of usage and cost of home oxygen
therapy in the united states. Chest. 1995;107:301-12.
9. Cloutier M. Overview of the respiratory system: function and structure. In:
Cloutier M, editor. Respiratory physiology. Philadelphia: Mosby Inc; 2007. p.
1-16.
10. Weinberger S, Crockrill B, Mandel J. Management of respiratory failure. In:
Weinberger S, Crockrill B, Mandel J, editors. Principles of pulmonary
medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 356-68.

30
11. Culver B. Gas exchange in the lung. In: Alber R, Spiro S, Jett J, editors.
Clinical respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2004. p.
96-123.
12. Wagner P, Powell F, west J. Ventilation, blood flow, and gas exchange. In:
Mason M, Nadel J, Murray J, editors. Murray and nadels textbook of
respiratory medicine.5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 53-88.
13. West J. Structure and function. In: West J, editor. Respiratory phisiology the
essentials. 9th ed. Philadelphia; Lippincott William and Wilkins; 2012. p. 1-
12.
14. Jardin T. The anatomy and phisiology of the respiratory system. In: Jardin T,
editor. Cardiopulmonary anatomy & physiology. 4th ed. USA: Thompson
Learning Inc; 2002. p. 7-62.
15. Weinberger S, Crockrill B, Mandel J. Pulmonary anatomy and physiology-the
basics. In: Weinberger S, Crockrill B, Mandel J, editors. Principles of
pulmonary medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. p. 1-18.
16. Jardin T. Ventilation. In: Jardin T, editor. Cardiopulmonary anatomy &
physiology. 4th ed. USA: Thompson Learning Inc; 2002. p. 63-116.
17. Weinberger S, Crockrill B, Mandel J. Classification and pathophysiologic
aspects of respiratory failure. In: Weinberger S, Crockrill B, Mandel J,
editors. Principles of pulmonary medicine. 5th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008. p. 337-43.
18. Jardin T. The diffusion of pulmonary gas. In: Jardin T, editor.
Cardiopulmonary anatomy & physiology. 4th ed. USA: Thompson Learning
Inc; 2002. p. 117-41.
19. West J. Diffusion. In: West J, editor. Respiratory phisiology the essentials.
9th ed. Philadelphia; Lippincott William and Wilkins; 2012. p. 24-35.
20. Wagner P. Ventilation, pulmonary blood flow, and ventilation-perfusion
relationship. In: Fishman J, Elias J, Grippi M, editors. Fishmans pulmonary
diseases and disorders. 4th ed. USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.
p. 173-90.

31
21. Kumar P. Respiratory failure. Indian J. Aenesth. 2003;47(5):360-6.
22. Hlastala M, Swenson E, Klocke R. Blood-gas transport. In: Fishman J, Elias
J, Grippi M, editors. Fishmans pulmonary diseases and disorders. 4th ed.
USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 201-7.
23. Baudouin S, Blumenthal S, Cooper B. Non-invasive ventilation in acute
respiratory failure. Thorax. 2002;57:192-211.
24. Hill N, Schmidt G. Acute respiratory failure. In: Mason M, Nadel J, Murray
J, editors. Murra343y and nadels textbook of respiratory medicine. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 2138-59.
25. Kelsen S, Marchetti N. Pump failure: the pathogenesis of hypercapnic
respiratory failure in patients with lung and chest wall disease. In: Fishman J,
Elias J, Grippi M, editors. Fishmans pulmonary diseases and disorders. 4th
ed. USA: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 2591-612.
26. Roussos C, Koutsoukou A. Respiratory failure. Eur Respie J. 2003;22:3-14.
27. Baptista F, Moral G, Pozo F. Management of acute respiratory failure with
noninvasive ventilation in the emergency department. Emergencias.
2009;21:189-202.
28. Mani R. Noninvasive ventilation for hypercapnic respiratory failure in COPD:
encephalopathy and initial postsupport deterioration of pH and PaCO may
2

not predict failure. Indian J Crit Care Med. 2005;9:217-24.


29. Montes M, celli B. Respiratory muscle recruitment and exercise performance
in eucapnic and hypercapnic severe chronic obstructive pulmonary disease.
Am J Re.spir Crit Care Med. 2000;161:880-5.
30. Celli B, Zuwallack R. Pulmonary rehabilitation. In: Mason M, Nadel J,
Murray J, editors. Murray and nadels textbook of respiratory medicine. 5th
ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 2180-93.
31. Nici L, Donner C, Wouters E. American thoracic society/european respiratory
society on pulmonary rehabilotation. Am J Respir Crit Med. 2006;173:1390-
43.

32
32. Kregenow D, Swenson E. The lung and carbon dioxide: implications for
permissive and therapeutic hypercapnia. Eur Respir J. 2002;20:6-11.

Komentator Korektor

(musdalifah, dr.) (Helena Pakiding, dr.)

33

Anda mungkin juga menyukai