Ikan
Ikan
Ikan
Oleh :
Ellyna Iskandar (00000005307)
Jessica (00000005542)
Joshua Abisha (00000005037)
Marcella Setiawan (00000005863)
Shenny Kosasih (00000005302)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan
Ikan merupakan salah satu komoditas pangan yang berlimpah dan umum
dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Ikan juga merupakan
salah satu bahan pangan yang kaya akan protein dikarenakan absorpsi protein ikan
lebih tinggi dibandingkan dengan produk hewani lainnya baik daging sapi dan
ayam. Daging ikan memiliki serat-serat protein yang lebih pendek dibandingkan
pada daging sapi dan ayam. Tidak hanya itu, ikan juga kaya akan berbagai vitamin
dan mineral serta asam lemak esensial seperti omega-3 dan omega-6 yang sangat
bermanfaat bagi tubuh serta asam amino lengkap yang dibutuhkan oleh tubuh.
Biasanya dalam 100 gram daging ikan segar terkandung 18 gram protein
sedangkan dalam 100 gram ikan kering terdapat 40 gram protein. Akan tetapi,
kandungan protein dari ikan juga tergantung dari jenis ikan (Pangkey, 2011).
Tentunya terdapat berbagai jenis ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Beberapa diantaranya adalah ikan mujair, nila dan mas.
2.1.1 Jenis-jenis Ikan
2.1.1.1 Ikan Mujair
Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) merupakan salah satu jenis ikan
air tawar bertulang belakang yang berasal dari perairan Afrika. Ikan ini
merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal dan tergolong
sebagai jenis ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan. Salinitas yang
optimal untuk pertumbuhan ikan mujair adalah 35 ppm. Bagian kepala ikan
mujair menyerupai ikan nila yaitu kerucut dan oval pada bagian depan. Mata ikan
mujair berwarna kemerahan, kehitaman dan terdapat juga yang berwarna
kecokelatan. Bentuk badannya pipih dan memanjang, memiliki sisik kecil,
terdapat garis vertikal pada bagian tubuhnya dan garis berwarna merah pada sirip
ekornya. Warna ikan mujair dipengaruhi oleh lingkungan atau habitat ikan
tersebut. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan mujair adalah sekitar 20-
27oC. Kandungan protein dari ikan mujair adalah sebesar 18.2% dan lemak 0.7%
(Harahap, 2014).
2
2.1.1.2 Ikan Mas
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang
banyak dibudidayakan di Indonesia. Biasanya habitat ikan ini adalah kolam-
kolam air tawar tertentu, pada sawah bersamaan dengan padi, danau-danau serta
perairan umum lainnya. Berbeda dengan ikan mujair dan nila, ikan mas sangatlah
peka terhadap perubahan lingkungan namun ikan mas dapat bertahan hidup pada
lingkungan perairan dengan kadar oksigen terlarut rendah dan juga pada situasi
supersaturasi. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan mas adalah 25-30oC
dengan salinitas 35-30 ppt (Rudiyanti dan Ekasari, 2009). Ciri-ciri dari ikan mas
adalah memiliki badan memanjang dan sedikit pipih ke samping, sirip berukuran
besar, ekor berbentuk cagak dan berukuran cukup besar, sisik berbentuk lingkaran
dan mulut terletak di ujung tengah. Kandungan protein pada ikan mas adalah
sebesar 18.3% dan lemak sebesar 5.8%.
2.1.1.3 Ikan Nila
Oreochromis niloticus atau yang biasa dikenal sebagai ikan nila
merupakan salah satu hasil perikanan air tawar yang diminati oleh masyarakat
Indonesia. Ikan nila memiliki rasa yang spesifik, daging yang padat, mudah
disajikan, jumlah duri yang sedikit, mudah didapatkan serta harganya relatif
terjangkau. Rupa dari ikan nila menyerupai ikan mujair namun punggung ikan
nila lebih tinggi dan tebal. Garis-garis vertikal di sepanjang tubuh lebih jelas
dibanding badan sirip ekor dan sirip punggung, mata menonjol dan relatif besar
dengan tepi bagian mata berwarna putih juga menjadi salah satu ciri khas ikan
nila. Kandungan protein pada daging ikan nila sebesar 17.5%, lemak 4.7% dan air
74.8%. Keunggulan lainnya dari ikan nila adalah ikan nila tergolong mudah untuk
dibudidayakan, relatif tahan terhadap perubahan lingkungan serta berbagai
penyakit. Suhu pertumbuhan normal pada ikan nila sekitar 14-38 oC sedangkan
pada suhu dibawah 6oC dan diatas 42oC ikan nila dapat mengalami kematian.
Tingkat salinitas yang cocok untuk pertumbuhan ikan nila adalah 0-28 ppt
sedangkan pada salinitas diatas 29 ppt, pertumbuhannya dapat terganggu (Ardita
et al., 2015).
2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan pada Ikan
3
Kandungan nutrisi yang tinggi pada ikan menyebabkan ikan tergolong
sebagai bahan pangan yang bersifat high risk. Daging ikan lebih cepat mengalami
kerusakan dibandingkan daging mamalia dan unggas dikarenakan jumlah tendon
yang sedikit didalam tubuh ikan sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim yang
terdapat secara alami pada ikan yang dapat menyebabkan autolisis. Oleh karena
itu, proses pembusukan pada ikan menjadi lebih cepat dibandingkan jenis daging
lainnya. Selain itu, kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi pada
ikan menyebabkan ikan mudah sekali mengalami oksidasi dan mengakibatkan
adanya bau tengik.
Peranan kontaminasi mikroorganisme dalam ikan juga perlu diperhatikan
karena dapat membuat ikan cepat mengalami pembusukan. Kadar air yang tinggi
sangat mengundang mikroorganisme untuk tumbuh. Mikroorganisme yang
tumbuh antara lain adalah Pseudomonas sp., Salmonella sp., dan sebagainya.
Penyimpanan ikan setelah ditangkap juga sangat penting. Ikan harus
disimpan dalam kondisi yang tepat agar tidak cepat mengalami pembusukan.
Kondisi penyimpanan seperti kelembaban dan suhu harus diperhatikan. Ikan yang
disimpan dalam kondisi suhu yang rendah akan mempengaruhi umur simpan nya.
Hal ini dikarenakan suhu rendah dapat menghambat aktivitas mikroorganisme dan
enzim.
2.1.3 Kerusakan pada Ikan
Tentunya terdapat perbedaan antara ikan yang masih segar dengan ikan
yang sudah tidak segar atau mengalami kebusukan. Berikut ini adalah tabel yang
menjelaskan perbedaan organoleptik antara ikan yang masih segar dengan ikan
yang sudah mengalami kerusakan.
Tabel 2.1 Perbedaan organoleptik antara ikan segar dan ikan busuk
Bagian Ikan Segar Ikan Busuk
Daging mudah dilepas, autolisis
Daging melekat kuat pada tulang
Sayatan telah berjalan, tulang rusuk
terutama pada rusuknya
menonjol keluar
Segar dan khas air laut atau
Terdapat bau yang tidak sedap
Bau rumput laut, tidak ditemukan bau
yang kuat dan menusuk
yang tidak sedap
Bebas dari parasit apapun, tanpa
Banyak terdapat parasit, badannya
Kondisi luka atau kerusakan pada bagian
banyak luka atau patah
ikan
Tulang belakang berwarna abu-
Tulang Tulang belakang berwarna kuning
abu
4
Cemerlang, kornea bening, pupil Redup, tenggelam, pupil mata
Mata
hitam, mata cembung kelabu, tertutup lendir
Warna merah sampai merah tua, Warna pucat atau gelap, keabuan,
Insang
cemerlang, tidak berbau berlendir, berbau busuk
Terdapat lendir alami yang
Berubah kekuningan dengan
menutupi ikan sesuai dengan jenis
Lendir adanya bau tidak sedap, lendir
ikannya, rupa lendir cemerlang
berwarna putih susu dan pekat
dan bening
Melekat kuat, mengilap dengan Banyak yang lepas, warna
Sisik warna khusus tertutup lendir yang memudar dan lambat laun
jernih menghilang
Lunak, tekstur berubah bila
Sayatan daging cerah dan elastis,
Daging ditekan ada bekasnya, daging
bila ditekan tidak ada bekas jari
telah kehilangan elastisitasnya
Bersih, tidak berbau busuk, Lunak, tekstur berubah bila
Rongga
dinding perut kompak, elastis, ditekan ada bekasnya, daging
perut
tidak ada diskolorisasi telah kehilangan elastisitasnya
Segar, merah, konsistensi normal, berwarna gelap, aromanya tidak
Darah
aroma darah segar sedap
Ikan memang tergolong sebagai produk yang high risk. Oleh karena itu
apabila penanganan dan penyimpanan ikan tidak dilakukan dengan baik maka
ikan akan cepat mengalami perubahan dan pada akhirnya akan menjadi busuk.
Berbagai jenis kerusakan dapat terjadi pada ikan baik kerusakan secara mekanis,
kimiawi maupun mikrobiologis. Gejala yang timbul akibat kerusakan mekanis
pada ikan adalah memar akibat tertekan, sobek atau terpotong. Akan tetapi,
kerusakan mekanis pada ikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap nilai gizinya melainkan berpengaruh signifikan terhadap penampilan
produk sehingga mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen. Tidak hanya itu,
kerusakan mekanis juga dapat memicu pertumbuhan bakteri yang pada akhirnya
akan menyebabkan kerusakan mikrobiologis pada ikan.
Kerusakan mikrobiologis dapat terjadi karena biasanya dalam tubuh ikan
segar memang ditemukan bakteri-bakteri yang dapat mengganggu proses
metabolisme apabila penanganan tidak dilakukan secara benar. Permukaan tubuh,
isi perut dan insang dari ikan merupakan bagian tubuh ikan yang sering menjadi
target pertumbuhan berbagai mikroorganisme. Mikroba yang biasanya tumbuh
pada permukaan tubuh ikan adalah Pseudomonas sp., Sarcina sp., Achromobacter
sp., dan Micrococcus sp. sedangkan mikroba yang sering tumbuh pada isi perut
ikan adalah Achromobacter sp., Acinetobacter sp., Aeromonas sp., Alcaligenes
sp., dan Enterobacter sp.. Mikroba yang biasanya terdapat di bagian insang kan
adalah Pseudomonas sp., Achromobacter sp., Corynebacteri-um sp.,
5
Flavobacterium sp., Micrococcus sp., Alcaligenes sp. dan Bacillus sp.. Ikan segar
biasanya tidak terkontaminasi oleh Salmonella sp., dan Staphylococcus sp.,
namun ikan yang hidup pada perairan yang terpolusi berat dan terkontaminasi
pada saat penanganan maupun pengolahan dapat terkontaminasi oleh kedua jenis
bakteri tersebut (Fretes et al., 2015). Semakin lama penyimpanan ikan maka
kemungkinan bertumbuhnya mikroba pada ikan akan semakin tinggi dan
jumlahnya juga akan semakin meningkat seiring bertambahnya waktu
penyimpanan.
Selain itu juga dapat terjadi kerusakan secara kimiawi yaitu ketika ikan
mengalami kematian, persediaan oksigen akan berkurang karena sirkulasi darah
akan berhenti. Oleh karena itu, akan terjadi perubahan ATP (adenosine
triphosphate) yang akan menghasilkan glikogen yang nantinya akan terdegradasi
menjadi asam laktat sehingga pH daging ikan akan menurun (semakin asam) dan
aktivasi enzim ATP-ase dan keratin fosfokinase juga akan meningkat. Degradasi
lemak juga terjadi pada penurunan mutu ikan yang dapat menyebabkan
terbentuknya citarasa yang tidak lezat dan ketengikan. Degradasi lemak dapat
terjadi akibat aktivitas mikroba yang terdapat pada ikan yang dapat mendegradasi
lemak serta keberadaan oksigen dan panas yang dapat menyebabkan terjadinya
oksidasi lemak pada ikan. Pada akhirnya, fenomena ini akan menyebabkan
timbulnya aroma yang tidak sedap, pemudaran atau kehilangan warna dan
perubahan pada tekstur dan citarasa (Fretes et al., 2015).
2.1.4 Parameter Uji Mutu pada Ikan
2.1.4.1 TMA (Trimetilamin)
Formaldehid dapat terbentuk secara alami pada ikan melalui reaksi reduksi
Trimetilamin Oksida (TMAO) menjadi formaldehid secara enzimatis dan
memberikan hasil samping berupa Dimetilamin (DMA). Formaldehid dan DMA
terbentuk karena pemecahan TMAO oleh enzim TMAase. TMAO berasal dari
turunan trimetilamonium dari grup kolin dan kolin dalam ikan akan dioksidasi
lebih lanjut menjadi Trimetilamin (TMA) oleh bakteri yang terdapat baik pada
kulit maupun dalam tubuh ikan. Apabila degradasi TMAO dilakukan oleh
mikroorganisme, maka hanya akan terbentuk TMA. Penyimpanan ikan pada suhu
ruang akan lebih memicu pemecahan TMAO oleh bakteri dibandingkan karena
6
aktivitas enzim sedangkan pada suhu rendah aktivitas bakteri akan terhambat dan
aktivitas enzim untuk memecah TMAO menjadi lebih tinggi. Hal ini akan
menyebabkan terus meningkatnya TMA pada ikan selama penyimpanan karena
meskipun aktivitas bakteri dapat terhambat pada saat dilakukan penyimpanan
pada suhu tinggi, pemecahan TMAO secara enzimatis akan tetap terjadi.
Pada ikan yang mengalami kerusakan, akan terjadi pembentukan TMA dan
seiring berjalannya waktu, TMA akan semakin terakumulasi dalam ikan busuk
sebagai hasil reaksi enzimatis dan aktivitas bakteri yang memecah TMAO
menjadi TMA (Murtini et al., 2015). Jumlah TMA yang terukur dapat
menggambarkan aktivitas bakteri perusak pada ikan dan menjadi indikator tingkat
kerusakan pada ikan. Semakin tinggi nilai TMA yang didapat menandakan
semakin parah kerusakan pada ikan. Nilai TMA merupakan bagian dari TVB
(Total Volatile Bases). Oleh karena itu, nilai TMA akan selalu lebih rendah
dibandingkan nilai TVB.
2.1.4.2 TVB (Total Volatile Bases)
TVB atau Total Volatile Bases secara sederhana diartikan sebagai
banyaknya basa yang bersifat volatile atau mudah menguap yang terdapat pada
daging ikan. TVB diproduksi oleh aktivitas enzim proteolitik dan mikroba yang
terdapat dalam jaringan otot ikan yang dapat mendekomposisi protein dimana
protein diputus menjadi ikatan peptide yang pendek dan asam amino selanjutnya
akan diubah menjadi senyawa amin dan amonia yang menyebabkan timbulnya
aroma yang tidak sedap dan TVB biasanya terdiri dari senyawa amin seperti
amonia, Trimetilamin (TMA), hidrogen sulfida dan histamin. Biasanya TVB
digunakan sebagai indikator untuk mengukur derajat kesegaran ikan. Semakin
rendah mutu dari ikan atau semakin tinggi kerusakan pada ikan maka nilai TVB
akan semakin tinggi (Farahita et al., 2012).
Prinsip dari analisa TVB adalah dengan melihat jumlah basa yang bersifat
volatile yang merupakan hasil akhir dari degradasi protein yang terdapat dalam
ikan. Senyawa tersebut akan diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan
larutan asam klorida. Kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB dapat dibagi kedalam
empat tingkatan yaitu:
7
1. Ikan sangat segar mempunyai nilai TVB < 10 mg N/100 gram sampel
daging ikan
2. Ikan segar mempunyai nilai TVB 10-20 mg N/100 gram sampel daging
ikan
3. Ikan masih dapat dikonsumsi bila mempunyai nilai TVB 20-30 mg N/100
gram sampel daging ikan
4. Ikan sudah tidak dapat dikonsumsi atau sudah dinyatakan busuk apabila
mempunyai nilai TVB > 30 mg N / 100 gram sampel daging ikan
2.1.4.3 pH
Penurunan pH dapat menjadi salah satu indikator masuknya ikan kedalam
fase rigormortis. Fase rigormortis cenderung berlangsung cukup singkat yaitu
sekitar 1-7 jam setelah ikan mati. Akan tetapi, fase rigormortis untuk setiap ikan
bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu
lingkungan, kondisi lingkungan serta jenis ikan. Penurunan pH berlangsung
karena aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa bersifat asam. Berbeda
dengan fase rigormortis, pada fase post-rigormortis akan terjadi peningkatan pH.
Peningkatan ini dapat terjadi karena enzim yang berasal dari daging ikan dan
mikroba akan melakukan degradasi atau perombakan terhadap protein dan lemak
sehingga menghasilkan senyawa-senyawa bersifat basa yang akan meningkatkan
nilai TVB pada ikan. pH daging ikan pada saat masih segar biasanya sekitar 6.96
namun untuk setiap jenis ikan bisa saja berbeda (Afrianto dan Liviawaty, 2014).
2.1.4.4 Susut Berat atau Weight loss
Pada saat penyimpanan ikan juga dapat terjadi susut berat atau weight loss
dimana salah satu faktor yang mempengaruhi susut berat pada ikan adalah kondisi
penyimpanan ikan. Pada kondisi penyimpanan dengan RH yang rendah, air dari
ikan akan keluar ke lingkungan untuk mencapai RHe atau kesetimbangan relatif.
Keluarnya air dari ikan ke lingkungan akan menyebabkan terjadinya penurunan
berat pada ikan atau disebut sebagai susut berat. Selain itu, faktor suhu
penyimpanan juga dapat mempengaruhi susut berat pada ikan. Ikan yang
dibekukan biasanya akan mengalami susut berat sekitar 1%. Akan tetapi, apabila
pembekuan tidak dilakukan dengan baik maka susut berat pada ikan dapat
meningkat. Susut berat pada ikan yang disimpan dengan cara pembekuan dapat
terjadi karena dehidrasi pada ikan dimana dehidrasi ikan selama pembekuan
8
dipengaruhi oleh jenis freezer, metode pembekuan yang digunakan, waktu
pembekuan, jenis ikan, kecepatan udara dan kondisi operasi freezer dan
sebagainya (Fretes et al., 2015).
9
dari ikan akan menurun dan pertumbuhan mikroba pembusuk dapat dicegah
(Munandar et al., 2009). Teknik lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan
mutu pada ikan adalah dengan melakukan pengasapan. Selain itu, pengasapan
juga dapat menambah citarasa pada ikan. Ikan menyerap zat-zat seperti aldehid,
fenol serta asam-asam organik dari asap yang bersifat bakterostatik (menghambat
pertumbuhan bakteri) serta bakterisidal (membunuh bakteri). Tidak hanya itu,
pengasapan juga dapat menurunkan air bebas yang terdapat dalam ikan sehingga
Aw dari ikan akan menurun. Pada akhirnya, pengasapan dapat meningkatkan
umur simpan dari ikan.
10
BAB III
METODE KERJA
11
3. Perhitungan dilakukan berdasarkan perbedaan berat sampel pada sebelum
dan sesudah penyimpanan.
3.2.5 pH
1. Daging ikan ditimbang sebanyak 1 gram
2. Sampel dilarutkan dalam 9 ml akuades
3. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter
3.2.6 TVB
1. Sampel ditimbang 100 gram kemudian hancurkan dengan blender dengan
200 ml TCA
2. Sampel kemudian di centrifuge kemudian hasil centrifuge diambil 25 ml
dan ditambahkan NaOH 10% sebanyak 6 ml dalam kjedahl flask
3. Sampel di distilasi dengan 15 ml asam borat 4% dan ditambahkan
indikator
4. Titrasi dengan H2SO4 0,03 N sampai terjadi perubahan warna
3.2.7 TMA
1. Sampel ditimbang 100 gram kemudian hancurkan dengan blender dengan
200 ml TCA
2. Sampel kemudian di centrifuge kemudian hasil centrifuge diambil 25 ml
dan ditambahkan NaOH 10% sebanyak 6 ml dan formaldehid 35%
sebanyak 20ml dalam kjedahl flask
3. Sampel di distilasi dengan 15 ml asam borat 4% dan ditambahkan
indikator
4. Titrasi dengan H2SO4 0,03 N sampai terjadi perubahan warna
3
12
BAB IV
PEMBAHASAN
13
dan lebih kecil bila dibandingkan dengan ikan yang disimpan selama 3 jam.
Padahal seharusnya weight loss ikan yang disimpan selama 7 jam lebih besar
dibandingkan dengan ikan yang disimpan selama 3 jam. Hal ini mungkin
dikarenakan drip air yang terdapat pada tubuh ikan ikut tertimbang dan
menggunakan timbangan yang tidak sama. Ikan yang disimpan selama 24 jam
mengalami penurunan berat yang paling besar, yaitu 10.14 gram yang dikarenakan
otot ikan tidak lagi mampu menahan air, sehingga air pada ikan keluar.
Indikator selanjutnya yang mempengaruhi adalah ph ikan. PH ikan ketika
0 jam, ikan mempunyai pH 7.49 yang masih tergolong netral, karena pH ikan
yang masih segar juga ditentukan oleh pH dari air. Namun, pada penyimpanan
suhu ruang terjadi penurunan pH dari pengamatan jam ke-3 sampai jam ke-7,
begitu pula dengan ikan yang disimpan di refrigerator pada jam ke-3 mengalami
penurunan pH. Penurunan pH disebabkan karena terbentuknya asam laktat hasil
dari reaksi pemecahan glikogen yang terdapat pada daging.
PH ikan kemudian mengalami kenaikan kembali pada ikan yang disimpan
di suhu ruang pada jam ke-24, terjadinya kenaikan pH sebenarnya disebabkan
karena terbentuknya basa (amonia) yang merupakan hasil dari proses perombakan
protein pada daging ikan oleh enzim proteolitik serta bakteri (Liviawaty dan
Afrianto, 2010). Tetapi pada ikan yang disimpan di dalam refrigerator mengalami
naik turun pH, di mana pada pH ikan yang disimpan 7 jam mengalami kenaikan
pH menjadi 6.46 tetapi setelah 24 jam mengalami penurunan pH menjadi 6.26 dan
pada penyimpanan selama 7 hari pH ikan menjadi 6.53. Terjadinya kenaikan dan
penurunan pH ini mungkin dikarenakan perbedaan kondisi awal ikan, seperti
tingkat stress, pH awal dari masing-masing ikan, dan pH meter yang mungkin
belum dikalibrasi.
Parameter uji selanjutnya adalah TVBN atau Total Volatile Basic Nitrogen.
TVBN sendiri sering digunakan sebagai indikator kerusakan ikan. Semakin tinggi
nilai TVBN maka kualitas dari ikan semakin tidak baik. Ikan dengan
penyimpanan 0 jam mempunyai nilai TVBN sebesar 226.39 mgN/ 100g, di mana
nilai TVBN ini lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang disimpan suhu ruang
selama 3 dan 7 jam. Ikan yang disimpan dalam suhu ruang mempunyai nilai
TVBN yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang disimpan dalam suhu
14
refrigerator, kecuali ikan yang disimpan suhu ruang selama 24 jam yang
mempunyai nilai TVBN sebesar 488.76 mgN/ 100g, dengan demikian ikan mas
tersebut sudah tidak baik dan mengalami kebusukan. Padahal seharusnya ikan
yang disimpan dalam suhu ruang semakin lama akan mempunyai nilai TVBN
yang lebih tinggi karena pada suhu ruang karena terjadi aktivitas enzim proteolitik
yang mendekomposisi protein pada jaringan otot ikan. Hal ini mungkin
dikarenakan prinsip TVB yang melihat jumlah basa yang volatile sehingga karena
adanya sifat yang volatile tersebut tidak semua senyawa ikut tertitrasi, yang
menyebabkan asam borat tidak dapat mengikat senyawa tersebut.
Uji yang terakhir adalah TMA (Trimethylamine). Nilai TMA sendiri
merupakan bagian dari TVBN dan mempunyai nilai yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan TVBN. Nilai dari TMA yang semakin besar menandakan
kualitas ikan sudah semakin tidak baik karena adanya aktivitas bakteri dan enzim
pada ikan. Pada pengujian ikan mas, tidak didapat nilai TMA karena sewaktu
dilakukan destilasi warna larutan tetap berwarna merah muda sehingga tidak
dilanjutkan tahap titrasi lebih lanjut.
4.1.2 Total Plate Count
Tabel 4.2 Data perhitungan jumlah mikroba pada ikan Mas
TPC
Perlakuan 10-4 10-5 10-6
(cfu/mL)
Cawa Cawa Cawa Cawa Cawa
Temperatur Waktu Cawan 1
n2 n1 n2 n1 n2
0 jam 0 0 0 0 0 0 0
1(spread <2.5x105
3 jam 20 1 7 1 2
) (2x105)
Suhu Ruang <2.5x104
7 jam 2 1 0 0 1 3
(2x104)
24 2x107
TBUD TBUD 147 151 70 73
jam
<2.5x105
3 jam 16 0 2 0 2 0
(1.6x105)
Suhu <2.5x104
7 jam 1 2 0 0 0 0
Refrigerato (2x104)
r 24 1.91x106
146 236 9 16 6 2
jam
7 hari 17 6 10 32 4 1 3.2 x 106
Ikan merupakan pangan yang high risk karena mempunyai nutrisi yang
tinggi dan dapat digunakan untuk mikroorganisme untuk tumbuh sehingga
menurunkan kualitas dari ikan selama penyimpanan. Berdasarkan data uji
mikroba, ikan yang disimpan di dalam suhu refrigerator memiliki jumlah mikroba
15
lebih sedikit bila dibandingkan dengan ikan yang disimpan di dalam suhu ruang.
Standar jumlah cemaran mikroba yang telah ditentukan oleh SNI dengan TPC
adalah 5x105 cfu/ml, sehingga hanya beberapa ikan dengan perlakuan tertentu saja
yang masih termasuk ke dalam range. Untuk penyimpanan ikan yang dilakukan di
dalam suhu ruang, ikan mas yang masih memenuhi standar SNI adalah ikan yang
disimpan selama 3 dan 7 jam dengan masing masing mempunyai jumlah
mikroba sebesar 2x105 dan 2x104 cfu/ml, yang sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan ikan yang disimpan pada suhu refrigerator selama 3 dan 7 jam dengan
masing masing mempunyai hasil perhitungan mikroba sebesar 1.6x105 dan
2x104 cfu/ml.
Ikan yang lebih lama disimpan seharusnya mempunyai jumlah mikroba
yang lebih banyak, namun dalam praktikum dilakukan ikan yang disimpan selama
7 jam mempunyai jumlah mikroba yang lebih sedikit dibandingkan dengan ikan
yang disimpan 3 jam, hal ini mungkin dikarenakan adanya kontaminasi yang
terjadi selama pemotongan ikan dan plating, dan alat yang digunakan serta tangan
laboran tidak bersih. Ikan yang disimpan dalam suhu ruang selama 24 jam
mempunyai jumlah mikroba yang paling banyak, yaitu sebesar 2x107 cfu/ml, di
mana 2x107 cfu/ml sudah tidak memenuhi dari standar SNI. Semakin lama ikan
disimpan maka semakin banyak mikroba yang bertumbuh yang menyebabkan
terjadinya penurunan mutu pada ikan.
4.1.3 Nilai Organoleptik Ikan Mas
Tabel 4.3 Tabel hasil penilaian organoleptik ikan mas pada semua perlakuan
Perlakuan Kenampakan Daging Bau Tekstur
Lendir
Temperatur Waktu Mata Insang Permukaan
Badan
0 jam 9 9 6 9 9 9
3 jam 9 - 9 7 8 8
Suhu Ruang
7 jam 7 - 7 7 6 6
24 jam 7 - 5 3 1 1
3 jam 9 - 9 8 8 8
Suhu 7 jam 9 - 8 8 8 8
Refrigerator 24 jam 8 - 8 7 6 7
7 hari 6 - 6 6 5 8
Dalam menentukan kualitas ikan masih dalam keadaan segar dan layak
dikonsumsi dapat dengan cara melihat kenampakan fisik dari ikan tersebut, seperti
keadaan mata, insang, lendir, daging, bau, serta tekstur. Lama penyimpanan akan
16
mempengaruhi kenampakan fisik dari ikan. Pada bagian mata ikan, ikan yang
masih segar akan mempunyai nilai mutu 9, yaitu bola mata cembung, kornea dan
pupil jernih, dan mengkilap spesifik jenis ikan. Ikan yang mempunyai keadaan
mata bernilai 9 adalah ikan yang disimpan dalam suhu ruang dengan waktu
simpan 0 dan 3 jam, serta ikan yang disimpan dalam suhu refrigerator dengan
waktu simpan 3 dan 7 jam. Ikan yang disimpan dengan suhu rendah cenderung
lebih dapat mempertahankan kondisi kesegaran ikan, bila dibandingkan dengan
ikan yang disimpan di suhu ruang.
Mata ikan yang disimpan dalam suhu ruang akan lebih turun kualitasnya
dibandingkan dengan yang disimpan di suhu refrigerator, hal ini dikarenakan ikan
yang disimpan dalam suhu rendah akan dapat menghambat aktivitas aktivitas
enzim yang menyebabkan kebusukan. Pada penyimpanan suhu ruang, ikan yang
disimpan selama 7 dan 24 jam mempunyai nilai mutu 7, di mana nilai mutu ini
lebih rendah dibandingkan dengan nilai mutu ikan di suhu refrigerator selama 7
dan 24 jam yang masing masing mempunyai nilai mutu 9 dan 8. Namun, nilai
mutu 7 masih dapat diterima dan memenuhi syarat mutu dari SNI. Kenampakan
mata ikan akan mulai tidak diterima dan memenuhi syarat SNI bila mempunyai
nilai mutu di bawah 7, oleh karena itu ikan yang disimpan dalam suhu
refrigerator selama 7 hari sudah kurang baik, karena kenampakan bola mata yang
sudah mulai agak cekung, kornea agak keruh, pupil agak keabu-abuan, dan agak
mengkilap spesifik jenis ikan.
Insang ikan yang diamati dalam praktikum ini hanyalah ikan dengan
penyimpanan 0 jam, karena pada penyimpanan 3, 7, 24 jam dan 7 hari semua ikan
dihilangkan insang beserta kotorannya yang dapat mempengaruhi faktor lain
selama penyimpanan. Insang ikan dengan waktu 0 jam mempunyai nilai mutu 9
karena keadaan ikan yang masih segar, di mana ikan mempunyai insang yang
berwarna merah tua atau coklat kemerahan, cemerlang dengan sedikit sekali lendir
dan transparan.
Lendir ikan juga diamati dalam praktikum ini. Ikan yang masih segar
cenderung mempunyai lendir yang jernih, transparan dan mengkilap cerah dengan
nilai mutu 9. Tetapi ikan dengan waktu penyimpanan 0 jam mempunyai nilai mutu
lendir yang sama dengan ikan yang disimpan di suhu refrigerator selama 7 hari,
17
yaitu dengan nilai mutu 6 yang mempunyai lapisan lendir mulai keruh. Padahal
seharusnya ikan dengan penyimpanan 0 jam mempunyai nilai mutu 9, hal ini
mungkin dikarenakan adanya kotoran pada ikan yang mempengaruhi kekeruhan
dari lapisan lendir dan sifatnya yang subjektif. Di mana ikan yang lainnya akan
menurun nilai mutunya seiring dengan lama penyimpanan. Ikan mas yang
disimpan dalam suhu refrigerator selama 7 hari mempunyai nilai mutu 6 yang
merupakan paling rendah di antara ikan yang disimpan dalam suhu refrigerator
dan untuk ikan yang disimpan di dalam suhu ruang ikan selama 24 jam
mempunyai nilai mutu terendah dibandingkan dengan semua ikan yang disimpan
di dalam suhu ruang maupun suhu refrigerator, karena mempunyai nilai mutu
lendir 5, di mana lendir agak tebal dan mulai berubah warna.
Sayatan daging ikan juga dapat memperlihatkan kesegaran dari ikan. Ikan
yang diuji pada waktu 0 jam mempunyai nilai mutu daging 9 yang berarti
mempunyai sayatan daging sangat cemerlang, spesifik dengan jenis ikan, dan
masih mempunyai jaringan daging yang kuat. Nilai mutu daging mengalami
penurunan bila semakin lama disimpan. Daging ikan yang disimpan di suhu
refrigerator lebih terlihat segar dan mempunyai nilai mutu yang masih cukup
baik, karena walaupun ikan telah disimpan selama 7 hari, ikan memiliki nilai
mutu 7 yang merupakan standar dari SNI, di mana daging ikan tersebut sedikit
kurang cemerlang dan jaringan daging kuat. Berbeda dengan ikan yang disimpan
suhu ruang selama 3 dan 7 jam ikan sudah mempunyai nilai mutu 7, dan ikan
yang disimpan selama 24 jam sudah mempunyai nilai mutu 3, di mana sayatan
daging kusam dan jaringan daging kurang kuat, hal ini menandakan bahwa ikan
yang disimpan di suhu ruang selama 24 jam sudah tidak segar dan tidak dapat
dikonsumsi karena sudah terjadi penurunan mutu.
Hal yang selanjutnya diuji adalah bau dari ikan setelah disimpan. Ikan
yang masih segar akan mempunyai bau yang sangat segar dan spesifik jenis kuat
dengan nilai mutu 9, nilai mutu ini dimiliki oleh ikan dengan waktu simpan 0 jam.
Sama seperti pengamatan lainnya, ikan yang disimpan di dalam suhu ruang
menunjukkan penurunan mutu yang lebih drastis dibandingkan dengan ikan yang
di suhu refrigerator dan semakin lama disimpan ikan akan semakin berbau asam
dan busuk. Bila dilihat dari parameter bau, ikan yang disimpan dalam suhu ruang
18
maksimal 7 jam dan 24 jam pada ikan yang disimpan di dalam suhu refrigerator
sudah mempunyai nilai mutu 6, di mana mempunyai bau yang netral dan sudah
tidak diterima berdasarkan SNI. Pada ikan yang disimpan dalam suhu refrigerator
selama 7 hari juga mengalami penurunan nilai mutu menjadi 5, yaitu mempunyai
bau yang sedikit asam. Ikan yang disimpan selama 24 jam di suhu ruang
mempunyai nilai mutu bau yang terendah, yaitu 1 karena mempunyai bau busuk
yang kuat. Ikan mempunyai pada awal sudah mempunyai bakteri yang terdapat di
tubuhnya, dan karena ikan kaya akan nutrisi seperti lemak dan protein bakteri
yang menyebabkan kebusukan akan terus bertumbuh dan berkembang bila di
simpan di suhu ruang, karena adanya aktivitas mikroba akan menyebabkan daging
ikan terdegradasi bagian lemaknya dan ditambah dengan keberadaan oksigen akan
menimbulkan aroma yang tidak sedap.
Hal yang terakhir di uji adalah tekstur dari ikan mas. Ikan yang segar akan
mempunyai nilai mutu 9, di mana teksturnya padat, kompak, dan sangat elastis.
Nilai mutu 9 hanya dimiliki oleh ikan dengan waktu penyimpanan 0 jam, dan
seiring dengan lamanya penyimpanan nilai mutu terhadap tekstur juga menurun.
Tetapi pada ikan yang disimpan di suhu refrigerator selama 24 jam mempunyai
nilai mutu 7 dan ikan yang disimpan selama 7 hari mempunyai nilai mutu 8,
padahal seharusnya semakin lama ikan disimpan maka tekstur dari ikan elastisitas
akan menurun. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi stress awal ikan, tingkat
kebekuan ikan, dan sifat subjektif. Ikan yang mempunyai nilai mutu terendah
dalam hal tekstur ialah ikan yang disimpan dalam suhu ruang selama 24 jam
dengan nilai tekstur 1, yaitu tekstur ikan sangat lunak dan bila ditekan maka bekas
jari tidak hilang.
4.2 Ikan Mujair
Pengamatan ikan mujair (Oreochromis mossambicus) berdasarkan lama
penyimpanan dan juga suhu penyimpanan dilakukan dengan melihat perubahan
yang terjadi pada weight loss, pH, kadar TMA, kadar TMVB, organoleptik, dan
angka lempeng total mikroba dalam ikan mujair.
4.2.1 Weight Loss
Pada penyimpanan dengan suhu ruang, ikan mujair diamati besar weight
loss-nya pada waktu 3, 7, dan 24 jam. Weight loss pada ikan mujair yang disimpan
19
di suhu kulkas diamati pada 3, 7, 24, dan 7 hari (168 jam). Gambar 4.1
menunjukkan besar weight loss ikan mujair pada suhu ruang dan suhu kulkas.
Gambar 4.1 Weight loss ikan mujair berdasarkan lama waktu penyimpanan
Pada penyimpanan suhu ruang, ikan mujair mengalami weight loss sebesar
33,44 gram pada lama penyimpanan 3 jam, 45,46 gram pada lama penyimpanan 7
jam dan 62,44 gram pada lama penyimpanan 24 jam. Ikan mujair yang disimpan
pada suhu kulkas mengalami weight loss sebesar 31,53 gram pada lama
penyimpanan 3 jam, 4,77 gram pada penyimpanan 7 jam, 2,01 gram pada
penyimpanan 24 jam, dan mengalami kenaikan berat sebesar 3,02 gram setelah
disimpan selama 7 hari.
Pada lama penyimpanan 3 jam, baik ikan yang disimpan dalam suhu ruang
maupun ikan yang disimpan pada suhu kulkas mengalami weight loss yang
hampir sama. Hal ini disebabkan oleh kedua ikan yang belum memasuki masa
post rigor sehingga belum terjadi perubahan yang signifikan pada kedua ikan.
Perbedaan signifikan dari weight loss di antara kedua ikan baru terlihat setelah
memasuki lama penyimpanan 7 jam dan seterusnya.
Weight loss pada ikan dapat terjadi akibat terjadinya drip loss, yaitu
hilangnya cairan dari dalam jaringan daging ikan. Ikan memiliki kandungan
utama berupa air, protein, dan lemak (Singh, Danish, dan Saxena, 2016). Drip
loss pada ikan dapat terjadi ketika ikan melewati masa rigor mortis dan masuk ke
fase post rigor. Rigor mortis adalah suatu peristiwa di mana otot atau daging
20
hewan menjadi kaku sesaat setelah kematiannya (Stroud, 1969). Ketika ikan mati,
daging ikan berkontraksi hingga kemudian menjadi kaku saat rigor mortis. Ketika
fase rigor mortis selesai, daging ikan memasuki fase post rigor di mana serat-
serat daging ikan yang kaku menjadi lemas kembali dan mengalami penyusutan
akibat keluarnya cairan dari dalam jaringan daging ikan, yaitu jaringan sarcomere.
Cairan yang keluar dari jaringan sarcomere (drip loss) yang mengalami
penyusutan menyebabkan penurunan berat ikan sehingga terjadi weight loss.
Semakin cepat ikan memasuki fase rigor mortis, semakin cepat pula ikan tersebut
mengalami post rigor dan drip loss yang menyebabkan weight loss.
Salah satu faktor yang menyebabkan fase rigor mortis pada ikan adalah
suhu penyimpanan. Pada suhu penyimpanan yang tinggi, ikan akan lebih cepat
mengalami rigor mortis (de Oliveira, 2011). Pada gambar 4.1 terlihat bahwa ikan
yang disimpan pada suhu ruang dengan lama penyimpanan 7 dan 24 jam
mengalami kenaikan weight loss. Sebaliknya, ikan yang disimpan pada suhu
ruang dengan lama penyimpanan 7 dan 24 jam justru mengalami penurunan besar
weight loss seiring dengan lama waktu penyimpanan. Daging ikan yang disimpan
dalam suhu kulkas memperlambat masuknya daging ikan ke fase rigor mortis
sehingga memperlambat daging ikan masuk ke fase post rigor yang akan
menyebabkan drip loss.
Pada hari ketujuh, ikan yang disimpan pada suhu kulkas juga tidak
mengalami weight loss melainkan kenaikan berat. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kondisi penyimpanan pada suhu rendah yang menghambat terjadinya drip
loss pada daging ikan. Selain itu, dapat pula terjadi penyerapan air dari
lingkungan penyimpanan ke dalam daging ikan yang menyebabkan daging ikan
tersebut mengalami kenaikan berat dan bukan weight loss. Faktor lain yang juga
mungkin menyebabkan kenaikan berat pada daging ikan setelah penyimpanan
adalah timbangan yang belum dikalibrasi ataupun kesalahan dalam melakukan
penimbangan.
4.2.2 pH
pH ikan adalah salah satu faktor yang mengalami perubahan seiring lama
waktu penyimpanan ikan. pH ikan juga dipengaruhi oleh suhu penyimpanan ikan.
21
Gambar 4.2 menunjukkan perubahan pH ikan mujair yang disimpan di suhu ruang
dan suhu kulkas seiring lama waktu penyimpanan.
22
ikan mujair yang disimpan di suhu ruang lebih rendah daripada ikan mujair yang
disimpan di suhu kulkas. pH yang lebih rendah akan mempercepat fase rigor
mortis akibat gangguan terhadap enzim pembentuk ATP. Kecepatan daging ikan
dalam memasuki fase rigor mortis juga dipengaruhi oleh jumlah glikogen dalam
daging ikan. Semakin rendah jumlah glikogen, semakin cepat pula daging ikan
memasuki fase rigor mortis.
Selain itu, mikroorganisme pembusuk yang mampu melakukan fermentasi
juga dapat menyebabkan penurunan pH daging ikan akibat pembentukan asam-
asam organik. Mikroorganisme yang mampu melakukan fermentasi tersebut
tumbuh di lingkungan aerobik pada suhu 20-30oC (Huss, 1995).
Pada tujuh hari penyimpanan untuk ikan mujair yang disimpan di suhu
kulkas terlihat terjadi peningkatan nilai pH. de Oliveira (2011) menyebutkan
bahwa penurunan pH pada daging ikan akan disertai oleh peningkatan pH juga
walaupun secara umum tidak akan mencapai pH setinggi pada saat pre-rigor.
4.2.3 TMA
Trimethylamine (TMA) digunakan sebagai salah satu indikator untuk
melihat tingkat kerusakan ikan. Ikan secara alami memiliki kandungan
trimethylamine oxide (TMAO). Bakteri yang hidup di kulit dan saluran
pencernaan ikan mampu memecah TMAO menjadi TMA. Semakin banyak
bakteri yang ada di ikan, semakin tinggi pula kadar TMA yang terbentuk (Torry
Research Center, 1989). Gambar 4.3 menunjukkan kadar TMA ikan mujair yang
disimpan pada suhu ruang dan suhu kulkas selama penyimpanan.
23
Gambar 4.3 TMA ikan mujair berdasarkan lama waktu penyimpanan
Ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang dengan lama waktu
penyimpanan 0 jam memiliki kadar TMA 50,82 mg N/100 g, pada waktu
penyimpanan 3 jam memiliki kadar TMA sebesar 55,44 mg N/100 g, pada waktu
penyimpanan 7 jam memiliki kadar TMA 41,58 mg N/100g, dan pada waktu
penyimpanan 24 jam memiliki kadar TMA 262,43 mg N/100 g. Sementara itu,
ikan mujair yang disimpan pada suhu kulkas memiliki kadar TMA 41,58 mg
N/100 g pada 3 jam penyimpanan, 50,82 mg N/ 100 g pada 7 jam penyimpanan,
78,54 mg N/100 g pada 24 jam penyimpanan, dan 55,44 mg N/100 g pada 7 hari
penyimpanan.
Kadar TMA tertinggi diperoleh dari ikan mujair yang disimpan pada suhu
ruang selama 24 jam. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk yang bertumbuh di daging ikan dan memecah TMAO menjadi TMA.
Suhu ruang (25oC) masuk ke dalam danger zone, yaitu 4,4-60oC (USDA, 2013).
Pada danger zone dapat terjadi pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu
menjadi suhu yang cocok bagi mikroorganisme pembusuk sehingga terjadi
pertumbuhan yang cepat dan menghasilkan banyak mikroorganisme di daging
ikan tersebut.
Penyimpanan pada suhu kulkas tidak menyebabkan kenaikan kadar TMA
yang drastis. Hal ini dikarenakan penyimpanan di suhu kulkas (4oC) mencegah
suhu daging ikan masuk ke dalam danger zone sehingga pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dapat dicegah.
4.2.4 TVBN
Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) juga merupakan salah satu indikator
untuk melihat tingkat kerusakan ikan. TVBN adalah total dari seluruh amonia,
TMA, dan dimethylamine yang terkandung di dalam ikan. Tinggi kadar TVBN
berbanding lurus dengan tinggi kadar TMA (Torry Research Center, 1989).
24
TVBN Ikan Mujair Berdasarkan Lama Waktu Penyimpanan
300
250
200
25
Penyimpanan ikan mujair di suhu kulkas tidak memberikan perbedaan
kadar TVBN yang berbeda banyak selama penyimpanan. Hal tersebut
dikarenakan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang dihambat oleh suhu
rendah sehingga kadar TVBN tidak mengalami kenaikan yang signifikan.
Kadar TVBN yang melebihi 30 mg N/100 g sampel daging ikan
menunjukkan daging ikan yang tidak dapat dikonsumsi atau busuk, dengan begitu
seluruh daging ikan mujair yang disimpan dalam suhu ruang dan suhu kulkas
adalah dinyatakan telah busuk. Hal tersebut disebabkan oleh kesalahan dalam
melakukan penghitungan kadar TVBN.
4.2.5 Organoleptik
Selain penilaian kesegaran ikan dengan analisis juga dapat dilakukan
penilaian organoleptik untuk melihat tingkat kesegaran ikan. Penilaian dilakukan
terhadap kenampakan, tekstur, daging, dan bau ikan. Tabel 4.4 menunjukkan hasil
penilaian organoleptik terhadap ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang dan
pada suhu kulkas selama penyimpanan.
Tabel 4.4 Data organoleptik ikan mujair
Perlakuan Warna Mata Insang Tekstur Lendir Daging Bau
Suhu ruang
9 9 8 9 8 8
0 jam
Suhu ruang
9 9 7 8 8
3 jam
Suhu ruang
9 7 7 7 7
7 jam
Suhu kulkas
8 9 9 9 9
3 jam
Suhu kulkas
1 8 6 7 6
7 hari
Suhu kulkas
9 8 8 9 8
7 jam
Suhu ruang
5 6 5 6 3
24 jam
Suhu kulkas
9 8 8 7 8
24 jam
4.2.5.1 Kenampakan
Penilaian organoleptik ikan dapat dilakukan untuk melihat kenampakan
ikan. Pada ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang dengan waktu 0 jam
penyimpanan, ikan memiliki nilai 9 untuk kenampakan mata yang berarti bola
mata cembung, kornea dan pupil jernih, mengkilap spesifik jenis ikan. Untuk
insang ikan juga mendapat nilai 9 yang berarti warna insang merah tua atau coklat
kemerahan, cemerlang dengan sedikit sekali lendir transparan. Lendir ikan
26
tersebut juga memiliki nilai 9 yang berarti lapisan lendir jernih, transparan,
mengkilap cerah.
Ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 3 jam masih memiliki
nilai 9 untuk mata ikan tersebut. Akan tetapi, lendir ikan mendapat nilai 7 yang
berarti lapisan lendir mulai agak keruh. Penilaian ini juga masih berlaku bagi ikan
mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 7 jam.
Penurunan nilai organoleptik terjadi di penyimpanan ikan mujair di suhu
ruang dengan waktu penyimpanan 24 jam. Mata ikan mendapat nilai 5 yang
berarti bola mata agak cekung, kornea keruh, pupil agak keabu-abuan, tidak
mengkilap. Lendir ikan juga mendapat nilai 5 yang berarti lendir agak tebal dan
mulai berubah warna.
Untuk ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas selama 3 jam, mata ikan
memperoleh nilai 8 yang berarti bola mata rata, kornea dan pupil jernih, agak
mengkilap spesifik jenis ikan. Lendir ikan memperoleh nilai 9.
Sementara itu, pada ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas selama 7
dan 24 jam diperoleh nilai organoleptik 9 untuk mata. Lendir ikan memperoleh
nilai 8 yang berarti lapisan lendir jernih, transparan, cukup cerah.
Ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas selama 7 hari memperoleh nilai
1 untuk mata yang berarti bola mata sangat cekung, kornea sangat keruh, pupil
abu-abu, dan tidak mengkilap. Untuk lendir ikan diperoleh nilai 6 yang berarti
lapisan lendir mulai keruh.
Dilihat dari kenampakan ikan, diketahui bahwa ikan mujair yang
disimpan pada suhu ruang selama 24 jam memiliki lendir yang mulai tebal dan
berubah warna menandakan adanya aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme
pembusuk bekerja di daging ikan tersebut menyebabkan perubahan kenampakan.
Pertumbuhan mikroorganisme disebabkan penyimpanan ikan di suhu yang baik
bagi mikroorganisme tersebut. Ikan dengan kondisi tersebut tidak lagi memenuhi
standar SNI 2927:2013 (Badan Standardisasi Nasional, 2013).
Penyimpanan ikan mujair di suhu kulkas menghambat aktivitas
mikroorganisme pembusuk, akan tetapi pada hari ketujuh penyimpanan terlihat
ikan juga mulai mengalami pembusukan dan menjadi tidak segar. Hal tersebut
27
dikarenakan penyimpanan di suhu rendah tidak membunuh melainkan hanya
menghambat aktivitas mikroorganisme pembusuk.
4.2.5.2 Tekstur
Tekstur ikan termasuk ke dalam salah satu faktor organoleptik yang dapat
digunakan untuk menentukan kesegaran ikan. Ikan mujair yang disimpan di suhu
ruang selama 0 jam memiliki tekstur bernilai 8 yang berarti teksturnya padat,
kompak, elastis. Ikan yang disimpan di suhu ruang selama 3 jam memiliki tekstur
bernilai 9 sehingga dinilai memiliki tekstur yang padat, kompak, sangat elastis.
Ikan yang disimpan di suhu ruang selama 7 jam memiliki nilai 7, dengan
demikian teksturnya dinilai agak lunak dan agak elastis. Ikan yang disimpan di
suhu ruang selama 24 jam memiliki tekstur dengan nilai 6 yang berarti teksturnya
agak lunak dan sedikit kurang elastis.
Pada ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas selama 3 jam dinilai
memiliki tekstur dengan nilai 9, sedangkan ikan mujair yang disimpan di suhu
kulkas selama 7 jam, 24 jam, dan 7 hari dinilai memiliki tekstur dengan nilai 8.
Tekstur ikan dipengaruhi oleh kemampuan jaringan dagingnya untuk
mengikat air. Pada ikan yang disimpan pada suhu ruang, rigor mortis lebih cepat
terjadi, dengan begitu fase post-rigor juga akan terjadi lebih cepat. Pada fase pre-
rigor daging ikan akan menjadi fleksibel atau elastis setelah sebelumnya kaku
akibat fase rigor mortis. Selain itu, kolagen yang dimiliki oleh ikan tidaklah
sekuat pada mamalia sehingga menyebabkan daging ikan lebih cepat mengalami
perubahan tekstur menjadi lunak dan mudah hancur (de Oliveira, 2011). Tekstur
daging ikan juga akan menjadi semakin lunak seiring lama penyimpanan akibat
proses dekomposisi oleh mikroorganisme pembusuk. Hal tersebut menyebabkan
daging ikan yang disimpan di suhu ruang menjadi lebih cepat lunak dan kurang
elastis. Kondisi ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 24 jam tidak
lagi memenuhi standar yang dikeluarkan SNI 2927:2013.
Proses dekomposisi oleh mikroorganisme ini dihambat oleh suhu rendah
pada penyimpanan ikan mujair di suhu kulkas. Suhu rendah tersebut
menyebabkan ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas memiliki tekstur elastis,
padat, dan kompak lebih lama dibandingkan ikan mujair yang disimpan di suhu
ruang.
28
4.2.5.3 Daging
Daging ikan menjadi salah satu ukuran untuk melihat kesegaran ikan
berdasarkan uji organoleptik. Daging ikan mujair yang disimpan di suhu ruang
pada 0 dan 3 jam penyimpanan memiliki nilai 8 yang berarti sayatan daging
cemerlang spesifik jenis ikan dan jaringan daging kuat. Sementara itu, daging ikan
yang disimpan di suhu ruang pada 7 jam penyimpanan mengalami penurunan nilai
menjadi 7 yang berarti sayatan daging sedikit kurang cemerlang dengan jaringan
daging kuat. Ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 24 jam
penyimpanan memiliki nilai paling rendah yaitu 6 yang menandakan sayatan
daging kurang cemerlang dan jaringan daging sedikit kurang kuat.
Untuk ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas dengan penyimpanan 3
dan 7 jam memiliki nilai 9 yang berarti sayatan daging sangat cemerlang, spesifik
jenis ikan, jaringan daging sangat kuat. Daging ikan mujair yang disimpan di suhu
kulkas selama 24 jam dan 7 hari memiliki nilai 7.
Sama seperti tekstur ikan, daging ikan juga dipengaruhi oleh fase rigor
mortis dan post-rigor. Ikan yang disimpan pada suhu ruang akan lebih cepat
mengalami rigor mortis dan post-rigor sehingga lebih cepat mengalami
pelemahan jaringan daging. Warna daging ikan akan mengalami perubahan
menjadi gelap dan kusam seiring dengan pembusukan (Huss, 1995). Oleh sebab
itu, ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 24 jam sudah mulai
mengalami pembusukan dan mengalami perubahan pada dagingnya serta tidak
lagi memenuhi standar SNI 2927:2013.
Daging ikan yang disimpan di suhu kulkas memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan daging ikan yang disimpan di suhu ruang akibat kemampuan suhu
rendah dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan juga
memperlambat daging ikan masuk ke dalam fase rigor mortis dan post-rigor. Hal
tersebut menyebabkan daging ikan pada suhu kulkas dapat mempertahankan
jaringan yang lebih kuat dan warna yang lebih cemerlang.
4.2.5.4 Bau
Bau ikan adalah salah satu indikator yang digunakan dalam penilaian
organoleptik ikan. Bau ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang dengan lama
29
penyimpanan 0 dan 3 jam memiliki nilai 8 yang berarti baunya segar dan spesifik
jenis ikan. Ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 7 jam
penyimpanan mendapat nilai 7 yang menandakan bau segar tetapi spesifik jenis
ikan kurang. Pada ikan mujair yang disimpan pada suhu ruang selama 24 jam
memiliki nilai 3 yang berarti memiliki bau asam kuat.
Ikan mujair yang disimpan pada suhu kulkas selama 3 jam memiliki nilai 9
untuk bau yang berarti memiliki bau sangat segar dan spesifik jenis kuat. Untuk
ikan mujair yang disimpan di suhu kulkas selama 7 dan 24 jam memiliki bau
dengan nilai 8 dan ikan yang disimpan selama 7 hari di suhu kulkas memiliki nilai
6 yang berarti memiliki bau netral.
Bau pada ikan sangat ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk
yang bertumbuh di daging ikan. Pada ikan yang disimpan di suhu ruang, bau asam
yang kuat muncul setelah penyimpanan selama 24 jam. Bau asam tersebut
disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan kebusukan
pada daging ikan. Salah satu tanda kebusukan adalah perubahan bau pada produk
(Rawat, 2015). Ikan yang telah berbau asam kuat tidak lagi memenuhi standar
SNI 2927:2013.
Pada ikan yang disimpan pada suhu kulkas, perubahan bau hanya berupa
bau segar menjadi netral. Hal tersebut menandakan pembusukan belum terjadi
pada ikan karena tidak ada pertumbuhan mikroorganisme pembusuk pada suhu
rendah. Akan tetapi, ikan pada penyimpanan selama 7 hari juga tidak memenuhi
standar SNI 2927:2013 untuk spesifikasi bau karena tidak lagi memiliki bau segar.
4.2.6 Uji Mikroba (Total Plate Count)
Jumlah mikroorganisme dalam ikan akan menentukan masa simpan dari
ikan dan kesegaran dari ikan. Menurut SNI 2729:2013, jumlah maksimal
mikroorganisme dalam ikan adalah 5,0 x 105.
Tabel 4.5 Total Plate Count ikan mujair
Perlakuan Jumlah koloni (CFU/ml)
30
Suhu kulkas 7 hari 2,8 x 105
Data pada tabel 4.5 menunjukkan Total Plate Count untuk ikan mujair
yang disimpan pada suhu ruang dan suhu kulkas pada berbagai lama
penyimpanan. Ikan mujair yang disimpan pada suhu ruangan selama 24 jam
memiliki jumlah mikroorganisme sebesar 3,13 x 10 6. Jumlah mikroorganisme
tersebut yang melewati batas maksimum SNI 2729:2013 dengan begitu tidak
boleh lagi digunakan. Pertumbuhan mikroorganisme yang melewati batas tersebut
menyebabkan kerusakan pada daging ikan dan juga kebusukan. Hal tersebut dapat
terjadi karena penyimpanan daging ikan pada suhu ruang (25 oC) yang masuk ke
dalam danger zone produk pangan dapat menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk secara optimal. Pada suhu 20-30oC dengan suasana
aerobik, bakteri fermentatif Gram negatif seperti Vibrionaceae dan
Enterobacteriaceae tumbuh dengan dominan di daging ikan (Huss, 1995).
Pada suhu kulkas, seluruh daging ikan mujair yang disimpan memiliki
jumlah mikroorganisme di bawah batas maksimum SNI 2729:2013. Hal tersebut
dikarenakan penyimpanan pada suhu rendah mampu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme.
4.3 Ikan Nila
Kualitas dari ikan nilai pada percobaan ini dianalisis dengan beberapa
parameter yang meliputi susut berat atau weight loss, pH, TVB, TMA, jumlah
mikroba, dan organoleptiknya.
4.3.1 Susut Berat atau Weight Loss
Susut berat atau weight loss adalah kondisi dimana ikan mengalami
penurunan berat akibat keluarnya sejumlah air dari ikan. Dalam percobaan ini,
susut berat dari ikan dapat dihitung dengan mengukur berat ikan sebelum
perlakuan dan berat ikan sesudah perlakuan. Berdasarkan percobaan yang telah
dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut.
31
Tabel 4.6 Hasil analisis susut berat dari ikan nila
Perlakuan
Berat Awal Berat Akhir Susut Berat /
(gram) (gram) Weight Loss (gram)
Temperatur Waktu
0 jam 202.5 0 -
Berdasarkan Tabel 4.6, dapat dilihat bahwa pada penyimpanan ikan nila
selama 3 jam pada suhu ruang memiliki susut berat sebesar 4.73 gram dan pada
penyimpanan ikan nila selama 3 jam pada suhu refrigerator memiliki susut berat
yang lebih tinggi yaitu sebesar 121.33 gram. Selain itu, penyimpanan ikan pada
suhu ruang selama 7 jam memiliki susut berat sebesar 10.71 gram dan pada suhu
refrigerator memiliki susut berat sebesar 9.105 gram. Pada penyimpanan ikan
selama 24 jam di suhu ruang menghasilkan susut berat sebesar 13.7 gram,
sedangkan pada suhu refrigerator menghasilkan susut berat sebesar 0.54 gram.
Susut berat terjadi karena adanya proses transpirasi, dimana susut berat
akan semakin besar nilainya pada suhu yang lebih tinggi. Banyaknya air yang
hilang dari ikan sangat tergantung pada suhu dan kelembaban lingkungannya
(Darsana et.al., 2003). Pada penyimpanan suhu rendah atau refrigerator,
kelembaban lingkungan akan meningkat sehingga air akan masuk ke dalam bahan
pangan hingga mencapai titik kesetimbangan antara bahan dengan lingkungannya.
Sehingga, ikan yang disimpan pada suhu refrigerator akan mengalami susut berat
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang.
4.3.2 pH
32
pH merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam menentukan
kualitas atau mutu dari ikan. Dari percobaan yang telah dilakukan dengan
menggunakan pH meter, diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4.7 Hasil analisis pH dari ikan nila
Perlakuan
pH
Temperatur Waktu
0 jam 6.76
3 jam 6.61
Suhu Ruang
7 jam 6.63
24 jam 6.42
3 jam 6.59
7 jam 6.63
Suhu Refrigerator
24 jam 6.39
7 hari 6.55
Berdasarkan Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa ikan sebagai kontrol atau yang
diletakkan pada suhu ruang selama 0 jam mempunyai pH sebesar 6.76. Secara
umum, daging ikan yang masih segar biasanya memiliki pH sekitar 6.96. Hasil
yang diperoleh melalui percobaan dapat dikatakan sudah sesuai dengan teori
dimana rentang perbedaan yang diperoleh tidak terlalu besar yaitu sebesar 0.2.
Perbedaan yang diperoleh ini dapat disebabkan karena setiap jenis ikan
mempunyai nilai pH yang berbeda-beda.
Pada penyimpanan ikan pada suhu ruang selama 3 jam didapatkan pH
sebesar 6.61, sedangkan penyimpanan ikan pada suhu refrigerator selama 3 jam
didapatkan pH sebesar 6.59. Kedua perlakuan yang disimpan selama 3 jam
mengalami penurunan pH jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini sangat
berkaitan erat dengan fase rigormortis yang dialami oleh ikan. Ketika ikan
mengalami fase rigormortis, ikan akan mengalami penurunan pH sebagai akibat
aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat asam.
Pada penyimpanan ikan pada suhu ruang selama 7 jam didapatkan pH
sebesar 6.63. Apabila nilai pH yang didapatkan untuk perlakuan penyimpanan
33
ikan pada suhu refrigerator selama 7 jam dirata-ratakan, maka akan mendapatkan
nilai pH sebesar 6.59. Kondisi ikan pada saat penyimpanan selama 7 jam masih
berada dalam fase rigormortis, karena fase rigormortis ikan umumnya terjadi
sekitar 2 jam sampai dengan 9 jam setelah kematian (Wibowo et. al., 2014). Ikan
yang disimpan selama 7 jam baik pada suhu ruang dan suhu refrigerator
menunjukkan penurunan nilai pH dari kontrol sehingga menandakan bahwa
terjadinya aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa bersifat asam. Namun, pH
ikan yang disimpan pada suhu refrigerator menunjukkan nilai yang lebih rendah
daripada pH ikan yang disimpan pada suhu ruang dimana seharusnya pH ikan
yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai pH yang lebih rendah. Suhu sangat
mempengaruhi aktivitas dari enzim. Reaksi enzimatis akan berjalan dengan
lambat pada suhu yang rendah, sedangkan kenaikan temperatur akan
mempercepat reaksi enzimatis (Wuryanti, 2004).
Pada Tabel 4.7, juga dapat dilihat nilai pH ikan yang disimpan pada suhu
ruang selama 24 jam yaitu sebesar 6.63. Sedangkan nilai pH pada suhu
refrigerator adalah sebesar 6.39. Nilai pH yang didapat mengalami penurunan
baik dibandingkan dengan kontrol maupun penyimpanan ikan selama 7 jam. Hal
ini tidak sesuai dengan teori dimana pada saat fase post-rigormortis, ikan akan
mengalami peningkatan pH akibat terjadinya degradasi protein dan lemak yang
akan menghasilkan senyawa yang bersifat basa. Ketidaksesuaian ini dapat
disebabkan karena kontaminasi saat pengambilan sampel, kondisi suhu
refrigerator yang tidak sesuai, dan lain sebagainya.
4.3.3 TVB dan TMA
Nilai TVB dan TMA yang didapat dari percobaan yang telah dilakukan
adalah sebagai berikut.
Tabel 4.8 Hasil perhitungan TVB dan TMA
Perlakuan
TVB (mgN/100gram) TMA (mgN/100gram)
Temperatur Waktu
34
3 jam 173.7 129
Perlakuan kontrol atau penyimpanan ikan pada suhu ruang selama 0 jam
memiliki nilai TVB sebesar 112 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 0.0471
mgN/100 gram. Hasil yang diperoleh sangat besar jika dibandingkan dengan teori
dimana ikan segar mempunyai nilai TVB sebesar 10-20 mgN/100 gram.
Penyimpanan ikan pada suhu ruang selama 3 jam memiliki nilai TVB
sebesar 271.2 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 130.2 mgN/100 gram, pada
penyimpanan selama 7jam memiliki nilai TVB sebesar 457.8 mgN/100 gram dan
nilai TMA sebesar 127.8 mgN/100 gram, pada penyimpanan selama 24 jam
memiliki nilai TVB sebesar 921.9 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 353.7
mgN/100 gram.
Penyimpanan ikan pada suhu refrigerator selama 3 jam memiliki nilai
TVB sebesar 173.7 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 129 mgN/100 gram,
pada penyimpanan selama 7 jam memiliki nilai TVB sebesar 384.1 mgN/100
gram dan nilai TMA sebesar 153.6 mgN/100 gram, pada penyimpanan selama 24
jam memiliki nilai TVB sebesar 246.3 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 43
mgN/100 gram, serta pada penyimpanan selama 7 hari memiliki nilai TVB
sebesar 258.3 mgN/100 gram dan nilai TMA sebesar 111 mgN/100 gram.
Pada Tabel 4.8, dapat dilihat bahwa kadar TVB dan TMA tertinggi dimiliki
oleh ikan yang disimpan pada suhu ruang selama 24 jam. Hal ini dapat disebabkan
karena penyimpanan ikan pada suhu ruang merupakan suhu optimal yang dapat
memicu pertumbuhan serta perkembangan bakteri pembusuk pada ikan. Aktivitas
bakteri tersebut dapat menyebabkan perubahan TMAO menjadi TMA. Semakin
lamanya waktu penyimpanan, kadar TMA akan semakin terakumulasi yang
menandakan bahwa mutu ikan yang semakin menurun. Tingginya nilai TMA akan
menyebabkan nilai TVB yang semakin tinggi pula. Nilai TVB yang didapat
melalui percobaan ini telah melebihi 30 mgN/100 gram yang menunjukkan bahwa
ikan dinyatakan busuk dan sudah tidak dapat dikonsumsi.
4.3.4 Uji Mikroba (Total Plate Count)
35
Hasil pengujian mikrobiologi dengan menggunakan TPC dapat dilihat
pada Tabel 4.9 dibawah ini.
Tabel 4.9 Hasil Total Plate Count ikan nila
Temperatur Waktu
3 jam 0
Suhu Ruang
7 jam < 2.5 x 105 (5.5 x 104)
36
ikan. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi uji kenampakan ikan, uji daging
ikan, uji bau ikan, dan uji tekstur ikan. Hasil dari uji organoleptik yang dilakukan
pada sampel ikan nila adalah sebagai berikut.
Tabel 4.10 Hasil uji organoleptik ikan nila
Perlakuan Kenampakan
0 jam 8 9 9 8 9
3 jam 8 9 9 8 8
Suhu Ruang
7 jam 8 8 7 5 6
24 jam 5 6 6 5 6
3 jam 9 9 9 8 8
7 jam 8 8 8 8 9
Suhu
Refrigerator
24 jam 8 9 8 9 9
7 hari 5 8 7 5 8
4.3.5.1 Kenampakan
Uji kenampakan dari ikan dilihat dengan cara memperhatikan mata dan
lendir yang terdapat pada permukaan badan ikan. Ikan yang segar mempunyai
mata yang cemerlang, kornea bening, pupil hitam, dan mata yang cembung.
Sedangkan ikan yang sudah busuk akan mempunyai mata dengan ciri-ciri redup,
tenggelam, pupil mata kelabu, dan tertutup oleh lendir. Penyimpanan ikan pada
suhu ruang menunjukkan hasil uji organoleptik mata yang cukup stabil dari jam
ke-0 sampai jam ke-7 yaitu dengan nilai 8 (bola mata rata, kornea dan pupil
jernih, agak mengkilap spesifik jenis ikan). Tetapi, kualitas dari ikan jika dilihat
dari matanya akan menurun pada penyimpanan selama 24 jam yaitu menjadi nilai
5 (bola mata agak cekung, kornea keruh, pupil agak keabu-abuan, tidak
mengkilap).
Penyimpanan ikan pada suhu refrigerator selama 3 jam didapatkan nilai
sebesar 9 (bola mata cembung, kornea dan pupil jernih mengkilap spesifik jenis
ikan), selama 7 jam dan 24 jam didapatkan nilai sebesar 8, sedangkan pada
penyimpanan selama 7 hari didapatkan nilai sebesar 5. Berdasarkan hasil yang
37
diperoleh, dapat dikatakan bahwa suhu dan waktu penyimpanan ikan sangat
berpengaruh terhadap uji organoleptik dari mata ikan. Semakin lama waktu
penyimpanan dan semakin tinggi suhu penyimpanan akan menyebabkan nilai
organoleptik semakin menurun yang menandakan bahwa mutu dari ikan semakin
buruk.
Ikan dengan mutu yang baik memiliki lendir alami yang menutupi ikan
berwarna bening dan cemerlang. Penyimpanan ikan pada suhu ruang mengalami
penurunan nilai organoleptik dari 9 menjadi 6 (lapisan lendir mulai keruh).
Sedangkan pada suhu refrigerator, lapisan ikan cenderung tidak berubah sampai
penyimpanan hari ke-7. Hal ini menandakan bahwa penyimpanan pada suhu
rendah dapat lebih mempertahankan lapisan lendir ikan agar tetap baik, yaitu tetap
jernih, transparan, dan cukup cerah.
4.3.5.2 Daging
Daging ikan yang segar memiliki ciri-ciri seperti sayatan daging cerah,
elastis, dan apabila ditekan tidak ada bekas jari. Sedangkan ikan yang sudah busuk
dagingnya akan lunak, tidak elastis, dan apabila ditekan menimbulkan bekas.
Berdasarkan Tabel 4.10, nilai uji organoleptik yang dilakukan terhadap daging
ikan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Hal
ini membuktikan bahwa semakin lama waktu penyimpanan, maka kualitas atau
mutu dari daging ikan akan semakin menurun juga. Waktu penyimpanan yang
semakin lama akan menyebabkan daging ikan semakin lunak dan tidak elastis.
Untuk penyimpanan ikan pada suhu ruang selama 24 jam didapatkan nilai
sensori sebesar 6, sedangkan penyimpanan pada refrigerator didapatkan nilai
sebesar 8. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat
mempertahankan penampakan dan kualitas nutrisi dari daging (Puspitasari, 2012).
4.3.5.3 Bau
Bau ikan yang disimpan pada suhu ruang selama 3 jam pertama masih
berbau segar dan seperti bau ikan nila. Sedangkan untuk penyimpanan selama 7
jam dan 24 jam, nilai sensori berkurang menjadi 5 yang menandakan bahwa
adanya sedikit bau asam yang terdapat pada ikan. Ikan nila yang disimpan pada
suhu refrigerator cenderung stabil pada penyimpanan selama 3 jam, 7 jam, dan 24
jam yaitu bau ikan sangat segar dan spesifik jenis ikan. Sedangkan ikan yang
disimpan selama 7 hari pada suhu rendah memiliki bau dengan nilai 5 yang berarti
terdapatnya bau asam pada ikan.
38
Perubahan bau yang terjadi pada ikan disebabkan karena adanya aktivitas
mikroorganisme pembusuk yang tumbuh dan berkembang pada ikan selama masa
penyimpanan. Ikan yang disimpan pada suhu ruang, bau asam timbul pada jam
ke-7 sedangkan untuk ikan yang disimpan pada suhu refrigerator timbul bau asam
pada penyimpanan ikan selama 7 hari. Timbulnya bau asam ini disebabkan karena
terbentuknya trimetilamin (TMA) pada ikan (Siagian, 2002). Ikan yang telah
memiliki bau yang asam sudah tidak dapat dikonsumsi karena tidak memenuhi
standar SNI.
4.3.5.4 Tekstur
Pada penyimpanan ikan di suhu ruang selama 0 jam memiliki tekstur
dengan nilai 9 yaitu padat, kompak, dan sangat elastis. Ikan yang disimpan pada
suhu ruang selama 3 jam memiliki tekstur dengan nilai 8 yang berarti bahwa
teksturnya padat, kompak, dan elastis. Sedangkan ikan yang disimpan pada suhu
ruang selama 7 jam dan 24 jam memiliki tekstur dengan nilai 6 yang berarti
teksturnya agak lunak dan sedikit kurang elastis.
Pada penyimpanan ikan di suhu refrigerator selama 3 jam memiliki tekstur
dengan nilai 8. Sedangkan ikan yang disimpan pada suhu ruang selama 7 jam dan
24 jam memiliki tekstur dengan nilai 9. Dan ikan yang disimpan selama 7 hari
pada refrigerator memiliki tekstur dengan nilai 8.
39
diberi perlakuan penyimpanan selama 0, 3, 7, 24 jam pada suhu ruang dan 3, 7, 24
jam dan 7 hari pada suhu refrigerasi (kulkas), dengan parameter uji weight loss,
pH, TVBN/TMA, TPC, dan organoleptik. Berdasarkan hasil yang didapat ketiga
jenis ikan didapati bahwa hampir semua pengujian yang dilakukan hampir
mempunyai hasil yang sama, kecuali nilai TVBN/TMA ikan mas. Ikan yang
disimpan dalam suhu ruang akan mengalami penurunan kualitas yang lebih cepat
bila dibandingkan dengan ikan yang disimpan di suhu refrigerasi. Faktor utama
yang mendorong penurunan kualitas yang lebih cepat pada ikan yang disimpan
pada suhu ruang adalah lebih cepatnya ikan masuk ke dalam fase rigor mortis dan
lebih cepatnya pertumbuhan mikroorganisme pembusuk pada suhu ruang.
40
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan bahwa
ikan yang disimpan dalam suhu yang rendah, seperti suhu refrigerator, dapat
mempertahankan kualitas ikan lebih baik daripada suhu ruang. Dapat dilihat dari
pengujian sensori dari masing-masing ikan, bahwa ikan yang disimpan dalam
suhu rendah masih bisa mempertahankan kualitas fisik ikan, dimana ikan masih
memiliki mata yang rata, pupil dan kornea mata yang cerah, tekstur yang masih
padat kompak dan elastis, dan memiliki bau yang masih lebih baik dibandingkan
dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang.
Begitupula dengan pengujian weight loss dan pH, ikan tidak mengalami
penurunan berat dan pH yang signifikan pada penyimpanan suhu rendah. Hal ini
dikarenakan ikan belum mengalami fase post-rigor yang dapat membuat otot
daging ikan tidak mampu menahan air lagi dan mikroorganisme belum tumbuh
sehingga belum ada asam-asam organik hasil metabolisme mikroorganisme yang
dapat menurunkan pH dari ikan.
Selain itu, pengujian TMA dan TVB juga menunjukan korelasi positif
dengan pengujian-pengujian lain nya. Pada ikan yang disimpan pada suhu rendah,
nilai dari TMA dan TVB terlihat lebih rendah dibandingkan dengan suhu ruang.
Penyimpanan ikan pada suhu rendah merupakan suhu optimal yang dapat
mencegah pertumbuhan serta perkembangan bakteri pembusuk pada ikan.
Aktivitas bakteri tersebut dapat menyebabkan kenaikan TMA dan TVB. Pengujian
TPC juga memperlihatkan ikan yang disimpan pada suhu ruang memiliki
mikroorganisme yang lebih banyak dibandingkan dengan suhu rendah. Hal ini
membuktikan bahwa penyimpanan pada suhu rendah memang menghambat
aktivitas dari mikroorganisme.
41
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Eddy, dan Liviawaty, Evi. "Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila
Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat
Keasaman. " Jurnal Akuatika 5, no. 1 (2014): 40-44.
Afriyanto E., Liviawaty E., Suhara O., dan Hamdani H. Pengaruh Suhu dan
Lama Blansing terhadap Penurunan Mutu Kesegaran Filet Tagih selama
Penyimpanan pada Suhu Rendah, Jurnal Akuatika 5 (1). (2014):45-54.
Ardita, Nita, Agung Budiharjo, and Siti Lusi Arum Sari. "Pertumbuhan dan rasio
konversi pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan penambahan
prebiotik." Jurnal Bioteknologi 1, no. 12 (2015): 16-21.
Astawan, M. 2004. Ikan yang Sedap dan Bergizi. Tiga Serangkai. Solo : 1-7
Darsana, L., S.P. Wartoyo, dan T. Wahyuti. 2003. Pengaruh Saat Panen dan Suhu
Penyimpanan terhadap Umur Simpan dan Kualitas Mentimun Jepang
(Cucumis sativus L.). Agrosains. 5(1): 1-12.
Fretes, Martin De, Tri Gunaedi, and Suriani BR. Surbakti. "Bakteri Proteolitik
Pada Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Hasil Proses Pengasapan
Tradisional dan Modern." Jurnal Biologi Papua 7, no. 1 (2015): 1-8.
42
Huss, H. H. Quality and quality changes in fresh fish, FAO Fisheries Technical
Paper 348. Diambil dari http://www.fao.org/docrep/v7180e/
V7180E00.HTM#Contents; diakses pada 26 Maret 2017. 1995.
Liviawaty E., Suhara O., dan Afrianto E. 2010. Buku Praktikum Teknologi
Penanganan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjajaran. Jatinangor. 73 hlm.
Pangkey, H. "Kenutuhan Asam Lemak Esensial pada Ikan Laut ." Jurnal
Perikanan dan Kelautan Tropis 7, no. 2 (2011): 93-102.
Puspitasari, Sari. 2012. Pengawetan Suhu Rendah pada Ikan dan Daging.
Universitas Diponogoro, Semarang.
Rudiyanti, Siti, dan Astri Diana Ekasari. "Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan
Mas (Cyprinus carpio Linn) pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent
0.3 G." Jurnal Saintek Perikanan 5, no. 1 (2009): 39-47.
Stroud, G.D. Rigor in Fish: The Effect on Quality. Aberdeen: Torry Research
Station. 1989.
Wibowo, Imam Restu, Y.S. Darmanto, dan A.D. Anggo. Pengaruh Cara Kematian
dan Tahapan Penurunan Kesegaran Ikan terhadap Kualitas Pasta Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan Volume 3 Nomer 3, Tahun 2014, Halaman 95-103.
Wuryanti, 2004, Isolasi dan Penentuan Aktivasi Spesifik Enzim Bromelin dari
Buah Nanas (Ananas comosus L.,), Artikel: JKSA, Vol. VII No. 3: 83-87.
43
44