Makalah Aik 4

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AL-ISLAM KEMUHAMADDIYAHAN (AIK IV)

ETIKA PENGEMBANGAN dan PENERAPAN IPTEK DALAM


PANDANGAN ISLAM

oleh

Mala Amalia

1530221001

Dosen : Hoer Appandi, M.Pd.I

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puja dan Puji hanya layak tercurahkan kepada Allah


SWT. Karena atas limpahan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahualaihi wa sallam. Manusia
istimewa yang seluruh perilakunya layak untuk diteladani, yang seluruh
ucapannya adalah kebenaran, yang seluruh getar hatinya kebaikan. Sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan judul ETIKA
PENGEMBANGAN dan PENERAPAN IPTEK DALAM PANDANGAN
ISLAM.
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah AIK 4.
Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Sukabumi, 08 Maret 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peran Islam dalam perkembangan iptek pada dasarnya ada 2 (dua).
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma
sekuler (paradigma yang memandang agama dan IPTEK terpisah satu sama
lain) seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa
Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi
seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai
sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi
segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah
Islam dapat diterima dan diamalkan, sedangkan yang bertentangan dengannya,
wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan Syariah Islam
(yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam
kehidupan sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam,
bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada
sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan
iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam).
Umat Islam boleh memanfaatkan iptek jika telah dihalalkan oleh Syariah
Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek dan telah diharamkan oleh Syariah,
maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan
manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin
oleh peradaban barat satu abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di
berbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material yang
dihasilkan oleh perkembangan iptek modern membuat orang lalu mengagumi
dan meniru- niru gaya hidup peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis
terhadap segala dampak negatif yang diakibatkannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ETIKA dan IPTEK dalam pandangan islam?
2. Apa yang dimaksud dengan Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan
nilai dan ajaran islam?
3. Apa yang dimaksud dengan Paradigma ilmu tidak bebas nilai?
4. Apa yang dimaksud dengan Paradigma ilmu bebas nilai?
5. Apa yang dimaksud dengan Perlunya Akhlak Islami dalam Penerapan
IPTEK?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu ETIKA dan IPTEK dalam pandangan islam.
2. Untuk mengetahui apa itu Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan
nilai dan ajaran islam.
3. Untuk mengetahui apa itu Paradigma ilmu tidak bebas nilai.
4. Untuk mengetahui apa itu Paradigma ilmu bebas nilai.
5. Untuk mengetahui kenapa diperlukannya Akhl.ak Islami dalam Penerapan
IPTEK

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika dan IPTEK dalam islam


Dalam tradisi filsafat istilah etika lazim difahami sebagai suatu teori
ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa
yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika
merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai
penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas
seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis.
Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika
bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan
berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos.
Dilihat dari segi bahasa, ilmu berasal dari bahasa arab yaitu al-ilmu,
atau dai bahasa Yunani yaitu logos, yang berarti pengetahuan. Ilmu atau sains
memiliki arti lebih spesifik yaitu usaha mencari pendekatan rasional dan
pengumpulan fakta-fakta empiris, dengan melalui pendekatan keilmuan akan
didapatkan sejumlah pengetahuan atau juga dapat dikatakan ilmu adalah
sebagai pengetahuan yang ilmiah.
Menurut Jan Hendrik Rapar menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge) adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan
metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang
dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan science.
Teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan
penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu cara menerapkan
kemampuan teknik yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan berdasarkan
proses teknis tertentu untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan
terpenuhinya suatu tujuan.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman kepada NabiNya sebagai berikut:

Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu


pengetahuan."(Q.S Thahaa [20]: 114) Melalui ayat ini, Rasulullah SAW.
diperintahkan untuk senantiasa memohon kepada Allah tambahan ilmu
yang bermanafaat. Ibnu Uyainah berkata, Rasulullah SAW. tidak hent-
hentinya memohon tambahan ilmu nafikepada Allah sampai beliau wafat
(Katsir, 2002). Ibnu Katsir menambahkan bahwa Rasulullah SAW. tidak
pernah diperintahkan untuk tambahan apapun kecuali tambahan ilmu
nafiini.
2.2 Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran islam.
Merujuk kepada sejarah Islam, teknologi bukanlah sesuatu yang asing.
Teknologi akan terus berkembang sejalan dengan kepandaian manusia untuk
memudahkan urusan kehidupan. Islam tidak pernah menghalangi atau bahkan
mengharamkan teknologi terutama dimanfaatkan untuk pendidikan. Tidak ada
hukum sesuatu itu haram kecuali terdapat nas dan dalil terang menyatakan
sesuatu itu haram tetapi, disini islam menggunakan akal untuk menyatakan
sesuatu itu halal atau haram.

Maksudnya dalam pengertian Islam, akal bukanlah otak tetapi daya


fikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitar. Dalam Al-quran banyak sekali
anjuran terhadap umat Islam untuk menggunakan akal dalam menangkap
sinyal keagungan Tuhan. Al-quran selain memiliki dimensi yang
normatif juga memiliki dimensi yang menggiring manusia untuk selalu
berpikir dengan menggunakan akalnya. Sebagaimana termaktub dalam
QS. Al Mujadillah ayat 11: Allah akan mengangkat derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.

Dalam Al-Quran banyak sekali ditemukan idiom-idiom dan anjuran


bagi umat Islam untuk berbuat secara empirik-praktis dengan cara meneliti,
mencari data dari alam sekitar semisal pergantian malam dan siang,
proses kehidupan biologis, dan misteri alam semesta. Penggunaan
akal dalam Islam tidak hanya bersifat teoritis tetapi telah dipraktekkan
dalam sejarah pembangunan peradaban Islam. Sebagaimana firman Allah
dalam QS. Al-Alaq ayat 1:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.


(Q.S. Al-Alaq [96]: 1). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa umat
manusia diperintahkan untuk membaca. Sebuah perintah yang
diidentikkan dengan pengamatan manusia terhadap ayat-ayat Allah, baik
secara Qouliyyah ataupun Kauniyah yang pada akhirnya dapat
memahami kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam aturan
alam. Kegiatan pengamatan inilah, merupakan cikal bakal perenungan
manusia untuk menemukan konsep ilmu pengetahuan yang strukturnya
dibentuk oleh akal tanpa melupakan Agama.
Wacana perpaduan antara sains dan Agama di Indonesia sudah lama
digaungkan sebagaimana yang tertuang dalam UUSPN Nomor 20 Tahun
2003 pasal 30 yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan Agama pada
semua strata pendidikan sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mencapai
kualitas hidup yang utuh.
Integrasi sinergis antara Agama dan ilmu pengetahuan secara konsisten
akan menghasilkan sumber daya yang handal dalam mengaplikasikan ilmu
yang dimiliki dengan diperkuat oleh spiritualitas yang kokoh dalam
menghadapi kehidupan. Islam tidak lagi dianggap sebagai Agama yang kolot,
melaikan sebuah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang
kehidupan, dan sebagai fasilitas untuk perkembangan ilmu dan teknologi.
Agama, dalam hal ini Islam sebagai paradigma, saat ini masih sebagai
justifikasi atau pembenaran terhadap konsep-konsep sains dan belum menjadi
paradigma keilmuan yang menyeluruh (holistik). Orientasi dan sistem
pedidikan di sekolah antara ilmu Agama dan ilmu umum haruslah
diintegrasikan secara terpadu dalam sebuah proses pelarutan, maksudnya
antara Agama dan sains dapat disinergikan secara fleksibel, dan link and
match.
Integrasi sains dan Agama memiliki nilai penting untuk menghilangkan
anggapan antara Agama dan sains adalah dua hal yang tidak dapat disatukan,
dan untuk membuktikan bahwa Agama (Islam) bukan Agama yang kolot
yang tidak menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan
Agama yang terbuka dan wahyu (al-quran) merupakan sumber atau inspirasi
dari semua ilmu.
Sebagai seorang muslim yang mesti kita pikirkan bahwa penyebab
Islam dalam kondisi terpuruk dan terbelakang dalam konteks sains adalah
kalau bangsa-bangsa lain sudah berhasil membangun stasiun luar angkasa
dan sudah berpikir tentang bagaimana mengirimkan pesawat rung angkasa
berawak ke Mars, Umat kita (Islam) masih sibuk untuk menyelesaikan
problem-problem yang semestinya sudah tidak perlu dipersoalkan seperti
halnya kunut, bidah, doa jamaah, zikir bada shalat, dan lain sebagainya.
Melirik sejarah Peradaban Islam (Sains) pada antara abad 8-12M kita
dapat mengenal sejumlah figur intelektual muslim yang menguasai dua
disiplin ilmu, baik ilmu Agama maupun ilmu umum (sekalipun pada
hakikatnya dalam pandangan Islam ilmu umum itu juga merupakan ilmu
Agama, merupakan kalam tuhan yang kauniyah/ tersirat) sebut saja misalnya
Ibn Sina (370-428/980-1037), al-Ghazali (450-505/ 1059-1111) Ibn Rusd, Ibn
Thufail dan lain sebagainya. Mereka adalah para figur intelektual muslim
yang memiliki kontribusi besar terhadap kemajuan-kemajuan dunia Barat
modern sekarang ini. Jika pada awalnya kajian-kajian kelslaman hanya
berpusat pada Alquran, Hadis, Kalam, Fiqih dan Bahasa, maka pada periode
berikutnya, setelah kemenangan Islam di berbagai wilayah, kajian tersebut
berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: fisika, kimia, kedokteran,
astronomi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
2.3 Paradigma ilmu tidak bebas nilai
Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu
selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangkan dengan
mempertimbangkan aspek nilai. Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-
nilai ekonomis, sosial, religius, dan nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen
Habermas berpendapat bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin
bebas nilai, karena setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia juga
membedakan ilmu menjadi 3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan
masing-masing :
a. Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara
empiris-analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris
dan menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan
manusia. Dari ilmu ini pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat
diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang besifat teknis.
Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia
untuk mengelola dunia atau alamnya.
b. Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama,
karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu,
melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar
hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang dibicarakan adalah
hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang dikejar oleh
pengetahuana ini adalah pemahaman makna.
c. Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat
dipentingkan disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi
kekuasaan dan kepentingan yang dikejar adalah pembebasan atau
emansipasi manusia.
Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu
terkait dengan nilai dan harus di kembangkan dengan mempertimbangkan
nilai. Ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-
kepentingan baik politik, ekonomi, sosial, keagamaan, lingkungan dan
sebagainya.
2.4 Paradigma ilmu bebas nilai
Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free,
yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu
secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama seklai dengan nilai. Bebas
nilai berarti semua kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus
disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu menolak campur tangan
faktro eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor
sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:
a. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya
adalah
bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis,
religious, cultural, dan social.
b. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin.
Kebebasan di sisni menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan
diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandanagn ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas
dapat dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri,
yang terkdang hal tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini
adalah teknologi air condition, yang ternyata berpengaruh pada pemansan
global dan lubang ozon semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat
pendingin ruangan ini semata untuk pengembangan teknologi itu dengan
tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulakan pada lingkungan sekitar.
Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas
nilai menganggap nilai ekologis tersebut menghambat perkembangan ilmu.
Dalam ilmu bebas nilai tujuan dari ilmu itu untuk ilmu.
2.5 Perlunya Akhlak Islami dalam Penerapan IPTEK
Al-Qardhawi (1989), mengemukakan terkait dengan pentingnya
akhlak Islami dalam pengembangan ilmu, bahwa akhlak Islami yang
harus diperhatikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah:

a. Rasa tanggung jawab di hadapan Allah. Rasa tanggung jawab di


hadapan Allah, sebab ulama merupakan pewaris para anbiya. Tidak ada
pangkat yang lebih tinggi daripada pangkat kenabian dan tidak ada
derajat yang ketinggiannya melebihi para pewaris pangkat itu.

b. Amanat Ilmiah. Sifat amanah merupakan kemestian iman termasuk


ke dalam moralitas ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak
memiliki sifat amanah. Dalam memberikan kriteria orang beriman
Allah menjelaskan dalam firmanNya sebagai berikut:

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang


dipikulnya) dan janjinya(Q.S. Al-Muminun [23]: 8)
Salah satu dari amanat ilmiah adalah merujuk ucapan
kepada orang yang mengucapkanya, merujuk pemikiran kepada
pemikirnya, dan tidak mengutip dari orang lain kemudian
mengklaim bahwa itu pendapatnya karena hal seperti itu
merupakan plagiat dan penipuan. Berkaitan dengan ini dapat disaksikan
bahwa ilmuan kaum muslimin sangat memprihatinkan tentang sanad di
dalam semua bidang ilmu yang mereka tekuni, bukan hanya dalam
bidang hadith saja.

c. Tawadu. Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan


ialahtawadu. Orang yang benar berilmu tidak akan diperalat oleh
ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh perasaan ujub mengagumi
diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah laksana lautan yang
tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil
mencapai pantainya.

d. Izzah. Perasaan mulia yang merupakan fadhilahpaling spesifik bagi


kaum muslimin secara umum.Izzahdi sini adalah perasaan diri mulia
ketika menghadapi orang-orang yang takabbur atau orang yang berbangga
dengan kekayaan, keturunan, kekuatan atau kebanggaan-kebanggaan lain
yang bersifat duniawi. Izzah adalah bangga dengan iman dan bukan dosa
dan permusuhan. Suatu perasaan mulia yang bersumber dari Allah
dan tidak mengharapkan apapun dari manusia, tidak menjilat kepada
orang yang berkuasa.

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-


lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang
merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana
jahat mereka akan hancur. (Q.S. Faathir[35]: 10).
e. Mengutamakan dan menerapkan Ilmu. Salah satu moralitas dalam
Islam adalah menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada
keterkaitan antara ilmu dan ibadah. Kehancuran kebanyakan manusia
adalah karena mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu
atau mengamalkan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang
mereka ketahui, seperti dokter yang mengetahui bahayanya suatu makanan
atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga dia menikmatinya karena
mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang memandang
sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan
bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis
seperti ini tidak diridhai dalam Islam.

f. Menyebarkan ilmu. Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag harus


dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka berkewajiban agar ilmu
tersebar dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang disembunyikan
tidak mendatangkan kebaikan, sama halnya dengan harta yang
ditimbun.Gugurnya kewajiban menyebarkan ilmu hanya dibatasi jika
ilmu yang disebarkan itu akan menimbulkan akibat negatif bagi yang
menerimanya atau akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang
lain atau jika disampaikan akan menimbulkan mudaratnya lebih banyak
daripada manfaatnya.

g. Hak Cipta dan Penerbit. Mengenai hak cipta dan penerbit


digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak semudah kehidupan
orang lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus
melebihi orang lain, seorang ilmuwan pengarang memerlukan
perpustakaan yang kaya dengan referensi penting dan juga
memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil,
mengkliping dan sebagainya dan memerlukan pula orang yang
mendapat menopang kehidupan keluarganya.

Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan


menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika
suatu karya ilmiah telah diterbitkan kadang-kadang pengarang masih
memerlukan lagi untuk mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan,
semua ini memerlukan tenaga dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai
pemilik suatu karya ilmiah maka dialah yang berhak mendapatkan
sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya. Tetapi perlu diingat dan dipertegas
satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan pengarang mengeksploitasi
para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku dengan harga yang
tidak seimbang dengan daya beli pembaca atau pendapatan yang
diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka hal itu tidak
dibenarkan oleh syara.

Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa pentingnya akhlak Islami bagi
pengembangan ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi
penyebab bencana bagi kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan
serta kehancuran di muka bumi ini. Karena tanpa didasari akhlak Islami,
maka semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin tinggi teknologi
yang mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang mereka
miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa
nafsu mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka
terhadap orang lain dan hak-hak orang lain.

Berdasar perlunya akhlak Islami di atas, peran Islam menjadi


keniscayaan dalam mengembangkan IPTEKS, yaitu di antaranya:

Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu


pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam,
bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islamini
menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran
(qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menjadi aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan.
Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima
dan diamalkan, sedangkan yang bertentangan dengannya, wajib ditolak
dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan syariah Islam(yang lahir dari aqidah Islam)
sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat
Islam, bukan standar manfaat (pragmatism atau utilitarianisme) seperti
yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya
pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-
hukum syariah Islam). Umat Islamboleh memanfaatkan iptek, jika telah
dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya,
walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Ilmu tidak bebas nilai, ilmu itu selalu terkait dengan nilai-nilai.
Perkembangan ilmu selalu memperhatikan aspek nilai yang berlaku.
Perkembangan nilai tidak lepas dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius,
dan nilai-nilai yang lainnya.
2. Ilmu bebas nilai mengemukakan bahwa antara ilmu dan nilai tidak
ada kaitannya, keduanya berdiri sendiri. Menurut pandangan ilmu
bebas nilai, dengan tujuan mengembangkan ilmu pengetahuan kita
boleh mengeksplorasi alam tanpa batas dan tidak harus memikirkan
nilai-nilai yang ada, karena nilai hanya akan menghambat
perkembangan ilmu.
3. Basis keilmuan tanpa nilai dan tidak dilengkapi oleh aksiologi, etika,
religiousitas, dan sosiologi, akan mengakibatkan runtuhnya tatanan
sistem kemasyarakatan serta menciptakan tatanan hidup masyarakat
yang tidak bertanggungjawab. Kekeringan nilai dalam bingkai ilmu
akan berakibat pada runtuhnya ruh ilmu itu sendiri.
4. Pentingnya akhlak Islami bagi pengembangan ilmu, untuk menjaga
agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan
manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

http://inafauzia95.blogspot.co.id/2015/05/etika-pengembangan-dan-
penerapan-ipteks.html
https://aryadningrat.wordpress.com/2015/10/27/makalah-islam-dan-
perkembangan-iptek/
http://ekonomi-manajemenuniska.blogspot.co.id/2013/10/peranan-iptek-
dalam-islam-untuk.html
http://newthekifot.blogspot.co.id/2013/01/peran-islam-dalam-
perkembangan-iptek.html
http://akharil.blogspot.co.id/2010/03/iptek-menurut-pandangan-islam.html
http://lp3ik.umsida.ac.id/tinymcpuk/gambar/file/aik-4.pdf
Al-Qardhawi, Yusuf. 1989. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu
Perspektif Sunnah. Bandung: Rosda

Anda mungkin juga menyukai