Teori Perkembangan Psikososial Erick H

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

TEORI PERKEMBANGAN

PSIKOSOSIAL ERICK H. ERIKSON


By: Nisak, M. K dan Wantah, M. E.
1. Biografi Singkat Erikson
Erik Erikson lahir di Frankfurt, Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902, dan meninggal di
Harwich, Cape Cod, Massachusetts, Amerika Serikat, pada tanggal 12 Mei 1994 pada umur
91 tahun. Ayahnya bernama Waldemar Isidor Salomonsen dan ibunya bernama Karla
Abrahamsen. Ayahnya telah meninggalkan ibunya pada saat ia dilahirkan. Kemudian ibunya
menikah lagi dengan seorang dokter anak yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Sebelum menjadi seorang psikoanalisis, Erikson adalah seorang guru seni di sekolah
swasta di Wina. Setelah berkenalan dengan Anna Freud, putri Sigmund Freud, Erikson mulai
mempelajari psikoanalisis di Wina Psychoanalytic Institute. Segera setelah lulus dari Wina
Psychoanalytic Institute tahun 1933 Erikson beremigrasi, pertama ke Denmark dan kemudian
ke Amerika Serikat, di mana ia menjadi seorang psikoanalis anak pertama di Boston.
Pada tahun 1936, Erikson bergabung dengan staf di Harvard University, dimana ia
bekerja di Institut Hubungan Manusia dan mengajar di Fakultas Kedokteran. Setelah
menghabiskan satu tahun mengamati anak-anak di tempat penampungan Sioux, South
Dakota, ia pindah ke University of California di Berkeley, di sana ia berafiliasi dengan
Institut Kesejahteraan Anak dan membuka praktik pribadi juga. Sementara di California,
Erikson juga mempelajari anak-anak dari Yurok, suku asli Amerika. Selama periode ini
Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak.
Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-
teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan
pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Buku pertamanya adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku
klasik di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda,
Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang tak
bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young Man Luther
(1958), Insight and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhis Truth (1969): yang
menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age
(1986).

2. Teori Perkembangan Psikososial


Teori perkembangan psikososial berkaitan dengan prinsip-prinsip perkembangan
psikologi dan sosial. Teori ini merupakan bentuk pengembangan dari teori psikoseksual yang
dicetuskan oleh Sigmund Freud. Erikson membagi tahapan perkembangan psikososial
menjadi delapan tahapan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Tahapan Perkembangan Psikososial

Tahap Perkiraan Usia Krisis Psikososial


I Lahir - 18 bulan Trust vs Mistrust (percaya vs tidak
percaya)
II 18 bulan - 3 tahun Autonomy vs Doubt (kemandirian vs
keraguan)
III 3 tahun 6 tahun Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa
bersalah)
IV 6 tahun 12 tahun Industry vs Inferiority (ketekunan vs
rasa rendah diri)
V 12 tahun -18 tahun Identity vs Role Confusion (identitas
vs kekacauan identitas)
VI Dewasa awal ( Intimacy vs Isolation (keintiman vs
18 tahun 40 isolasi)
tahun)
VII Dewasa Generativity vs Self Absorption
pertengahan ( 40 (generativitas vs stagnasi)
tahun 65 tahun)
VIII Dewasa akhir / tua Integrity vs Despair (integritas vs
( 65 ke atas) keputusasaan)
a. Trust vs Mistrust (Lahir - 18 bulan)
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa tahap ini terjadi pada masa awal
pertumbuhan seseorang dimulai. Pada tahap ini seorang anak akan mulai belajar untuk
beradaptasi dengan sekitarnya. Hal pertama yang akan dipelajari oleh seorang anak adalah
rasa percaya. Percaya pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Seorang ibu atau
pengasuh biasanya adalah orang penting pertama yang ada dalam dunia si anak. Jika ibu
memperhatikan kebutuhan si anak seperti makan maupun kasih sayang, maka anak akan
merasa aman dan percaya untuk menyerahkan atau menggantungkan kebutuhannya kepada
ibunya. Namun, bila ibu tidak memberikan apa yang harusnya diberikan kepada si anak,
maka secara tidak langsung itu dapat membentuk anak menjadi seorang yang penuh
kecurigaan, sebab ia merasa tidak aman untuk hidup di dunia (Slavin, 2006).
Shaffer (2005: 135) menyatakan bahwa pengasuh yang konsisten dalam merespon
kebutuhan anak akan menumbuhkan rasa percaya anak kepada orang lain, sedangkan
pengasuh yang tidak responsif atau tidak konsisten akan membentuk anak menjadi seorang
yang penuh kecurigaan. Anak-anak yang telah belajar untuk tidak mempercayai pengasuh
selama masa bayinya mungkin akan menghindari atau tetap skeptis untuk membangun
hubungan berdasarkan rasa saling percaya sepanjang hidupnya.
b. Autonomy vs Doubt (18 bulan - 3 tahun)
Pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa kegiatan
secara mandiri seperti makan, berjalan atau memakai sandal. Kepercayaan orang tua kepada
anak pada usia ini untuk mengeksplorasi hal-hal yang dapat dilakukannya secara mandiri dan
memberikan bimbingan kepadanya akan membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dan
percaya diri. Sementara orang tua yang membatasi dan berlaku keras pada anaknya, akan
membentuk anak tersebut menjadi orang yang lemah dan tidak kompeten yang dapat
menyebabkan malu dan ragu-ragu terhadap kemampuannya.
c. Initiative vs Guilt (3 tahun 6 tahun)
Pada tahap ini, kemampuan motorik dan bahasa anak mulai matang, sehingga
memungkinkan mereka untuk lebih agresif dalam mengeksplor lingkungan mereka baik
secara fisik maupun sosial. Pada usia-usia ini anak sudah mulai memiliki inisiatif dalam
melakukan suatu tindakan misalnya berlari, bermain, melompat dan melempar. Orang tua
yang suka memberikan hukuman terhadap upaya anaknya dalam mengambil inisiatif akan
membuat anak merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk melakukan sesuatu selama
fase ini maupun fase selanjutnya.
Pada masa ini anak telah memasuki tahapan prasekolah. Ia sudah memiliki beberapa
kecakapan dalam mengolah kemampuan motorik dan bahasa. Dengan kecakapan-kecakapan
tersebut, dia terdorong melakukan beberapa kegiatan. Namun, karena kemampuan anak
tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah. Peran orang tua untuk membimbing dan
memotivasi anak sangat dibutuhkan ketika anak mengalami kegagalan. Hal ini dimaksudkan
agar anak dapat melewati tahap ini dengan baik.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) mengusulkan bahwa anak usia 2-3 tahun berjuang
untuk menjadi seorang yang independen atau mandiri dengan mencoba melakukan hal-hal
yang mereka butuhkan secara mandiri seperti makan dan berjalan. Sementara anak usia 4-5
tahun yang telah mencapai rasa otonomi, sekarang mereka memperoleh keterampilan baru,
mencapai tujuan penting, dan merasa bangga dalam prestasi yang mereka capai. Anak-anak
usia prasekolah sebagian besar mendefinisikan diri mereka dalam hal kegiatan dan
kemampuan fisik seperti aku bisa berlari dengan cepat, aku bisa memanjat tangga, aku bisa
menggambar bunga. Hal ini mencerminkan rasa inisiatif mereka untuk melakukan suatu
kegiatan, dan rasa inisiatif ini sangat dibutuhkan oleh seorang anak dalam menghadapi
pelajaran-pelajaran baru yang akan ia pelajari di sekolah.
Sesuatu yang berlebihan maupun kekurangan itu tidaklah baik. Dalam hal ini, bila
seorang memiliki sikap inisiatif yang berlebihan atau juga terlalu kurang, maka dapat
menimbulkan suatu rasa ketidakpedulian (ruthlessness). Anak yang terlalu berinisiatif, maka
ia tidak akan memperdulikan bimbingan orang tua yang diberikan kepadanya. Sebaliknya,
anak yang terlalu merasa bersalah, maka ia akan bersikap tidak peduli, dalam arti tidak
melakukan usaha untuk berbuat sesuatu, agar ia terhindar dari berbuat kesalahan. Oleh sebab
itu, hendaknya orang tua dapat bersikap bijak dalam menanggapi setiap perbuatan yang
dilakukan oleh anak.
d. Industry vs Inferiority (6 tahun 12 tahun)
Pada tahap ini, anak sudah memasuki usia sekolah, kemampuan akademiknya mulai
berkembang. Selain itu, kemampuan sosial anak untuk berinteraksi di luar anggota
keluarganya juga mulai berkembang. Anak akan belajar berinteraksi dengan teman-temannya
maupun dengan gurunya. Jika cukup rajin, anak-anak akan memperoleh keterampilan sosial
dan akademik untuk merasa percaya diri. Kegagalan untuk memperoleh prestasi-prestasi
penting menyebabkan anak untuk menciptakan citra diri yang negatif. Hal ini dapat
membawa kepada perasaan rendah diri yang dapat menghambat pembelajaran di masa depan.
Pada tahap ini anak juga akan membandingkan dirinya dengan teman-temannya.
Shaffer (2005) mengatakan pada usia 9 tahun hubungan teman sebaya menjadi sangat penting
untuk anak-anak sekolah. Mereka peduli pada sikap-sikap maupun penampilan yang akan
memperkuat posisi mereka dengan teman sebayanya. Sedangkan pada anak yang berusia 11,5
tahun, anak semakin membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mengakui bahwa
ada dimensi di mana mereka mungkin kurang dalam perbandingan tersebut, seperti aku
tidak cantik, aku biasa-biasa saja dalam hal prestasi. Oleh sebab itu, sebagai seorang guru
hendaknya dapat memberikan motivasi pada anak-anak yang belum berhasil dalam mencapai
prestasi mereka agar anak tidak memiliki sifat yang rendah diri. Guru dapat mencari momen-
momen penting ketika di sekolah untuk memberikan penghargaan pada seluruh anak-anak,
sehingga anak akan merasa bangga dan percaya diri terhadap pencapaian yang mereka
peroleh.
e. Identity vs Role Confusion (12 tahun -18 tahun)
Pada tahap ini anak sudah memasuki usia remaja dan mulai mencari jati dirinya. Masa
ini adalah masa peralihan antara dunia anak-anak dan dewasa. Secara biologis anak pada
tahap ini sudah mulai memasuki tahap dewasa, namun secara psikis usia remaja masih belum
bisa diberi tanggung jawab yang berat layaknya orang dewasa. Pertanyaan Siapa Aku?
menjadi penting pada tahapan ini. Pada tahap ini, seorang remaja akan mencoba banyak hal
untuk mengetahui jati diri mereka yang sebenarnya. Biasanya mereka akan melaluinya
dengan teman-teman yang mempunyai kesamaan komitmen dalam sebuah kelompok.
Hubungan mereka dalam kelompok tersebut sangat erat, sehingga mereka memiliki
solidaritas yang tinggi terhadap sesama anggota kelompok.
Erikson (dalam Shaffer, 2005) percaya bahwa individu tanpa identitas yang jelas
akhirnya akan menjadi tertekan dan kurang percaya diri ketika mereka tidak memiliki tujuan,
atau bahkan mereka mungkin sungguh-sungguh menerima bila dicap sebagai orang yang
memiliki identitas negatif, seperti menjadi kambing hitam, nakal, atau pecundang. Alasan
mereka melakukan ini karena mereka lebih baik menjadi seseorang yang dicap sebagai orang
yang memiliki identitas negatif daripada tidak memiliki identitas sama sekali.
Harter (dalam Shaffer, 2005) mengatakan bahwa remaja yang terlalu kecewa atas
penggambaran diri mereka yang tidak konsisten akan bertindak keluar dari karakter dalam
upaya untuk meningkatkan citra mereka atau mendapat pengakuan dari orang tua atau teman
sebaya. Anak pada usia ini rawan untuk melakukan beberapa hal negatif dalam rangka
pencarian jati diri mereka. Bimbingan dan pengarahan baik dari orang tua maupun guru juga
diperlukan bagi anak pada tahap ini, agar mereka dapat menemukan jati diri mereka
sebenarnya.
f. Intimacy vs Isolation ( 18 tahun 40 tahun)
Pada tahap ini, seseorang sudah mengetahui jati diri mereka dan akan menjadi apa
mereka nantinya. Jika pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan
kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Pada fase ini
seseorang sudah memiliki komitmen untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Dia
sudah mulai selektif untuk membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu
yang sepaham. Namun, jika dia mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan
dan jarak dalam berinteraksi dengan orang.
Keberhasilan dalam melewati fase ini tentu saja tidak terlepas dari fase-fase
sebelumnya. Jika pada fase sebelumnya seseorang belum dapat mengatasi rasa curiga, rendah
diri maupun kebingungan identitas, maka hal tersebut akan berdampak pada kegagalan dalam
membina sebuah hubungan, dan menjadikannya sebagai seseorang yang terisolasi. Pada tahap
ini, bantuan dari pasangan ataupun teman dekat akan membantu seseorang dalam melewati
tahap ini.
g. Generativity vs Self Absorption ( 40 tahun 65 tahun)
Erikson (dalam Slavin, 2006) mengatakan bahwa generativitas adalah hal terpenting
dalam membangun dan membimbing generasi berikutnya. Biasanya, orang yang telah
mencapai fase generativitas melaluinya dengan membesarkan anak-anak mereka sendiri.
Namun, krisis tahap ini juga dapat berhasil dilalui dengan melewati beberapa bentuk-bentuk
lain dari produktivitas dan kreativitas, seperti mengajar. Selama tahap ini, orang harus terus
tumbuh. Jika mereka yang tidak mampu atau tidak mau memikul tanggung jawab ini, maka
mereka akan menjadi stagnan atau egois.
Pada masa ini, salah satu tugas untuk dicapai ialah dengan mengabdikan diri guna
mendapatkan keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat
dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan
arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan
dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.

Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara
generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu
kepedulian. Dalam tahap ini, diharapkan seseorang yang telah mmasuki usia dewasa
menengah dapat menjalin hubungan atau berinteraksi secara baik dan menyenangkan dengan
generasi penerusnya dan tidak memaksakan kehendak mereka pada penerusnya berdasarkan
pengalaman yang mereka alami.
h. Integrity vs despair ( 65 ke atas)
Seseorang yang berada pada fase ini akan melihat kembali (flash back) kehidupan
yang telah mereka jalani dan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang sebelumnya
belum terselesaikan. Penerimaan terhadap prestasi, kegagalan, dan keterbatasan adalah hal
utama yang membawa dalam sebuah kesadaran bahwa hidup seseorang adalah tanggung
jawabnya sendiri.

Orang yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan
dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat
menghadapi kematian. Keputusasaan dapat terjadi pada orang-orang yang menyesali cara
mereka dalam menjalani hidup atau bagaimana kehidupan mereka telah berubah.

3. Penerapan Teori Erikson dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar


Seorang anak memasuki sekolah dasar pada usia 6 tahun. Menurut teori Erikson,
usia ini sudah memasuki fase ke-IV, yaitu industry vs inferiority. Siswa yang masuk ke dalam
suatu sekolah memiliki latar belakang akademik dan sosial yang berbeda-beda. Agar
pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, hendaknya seorang guru harus mengenali
karakteristik peserta didiknya agar lebih mudah dalam mengembangkan model pembelajaran
yang akan digunakan dalam mengajar (Hanurawan, 2007).
Pada tahap ini, hendaknya guru dapat memotivasi siswanya agar dapat melalui fase ini
dengan baik, sehingga siswa tidak merasa rendah diri akan kelurangan yang dimilikinya.
Menurut teori Piaget, anak pada usia 7-11 tahun akan memasuki tahap concrete operational
stage, dimana anak menerapkan logika berpikir pada barang-barang yang konkrit (Slavin,
2006). Pembelajaran karakter sangat tepat diterapkan pada anak usia ini, sebab anak pada
usia ini cenderung untuk meniru segala perbuatan maupun perkataan yang dilihat maupun
didengar yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu,
hendaknya seorang guru mampu memberikan contoh yang baik kepada anak usia ini dengan
berperilaku dan bertutur kata yang sopan. Pembelajaran karakter ini diharapkan dapat
menjadi bekal bagi siswa untuk dapat melewati fase-fase perkembangan psikososial
selanjutnya dengan baik.

4. Kelebihan dan Kekurangan Teori Erikson


Shaffer (2005) mengatakan banyak orang lebih memilih teori Erikson daripada Freud
karena mereka hanya menolak untuk percaya bahwa manusia didominasi oleh naluri seksual
mereka. Erikson menekankan banyak konflik sosial dan dilema pribadi yang dialami
seseorang atau orang yang mereka kenal, sehingga mereka dapat dengan mudah
mengantisipasinya. Erikson tampaknya telah menangkap banyak isu sentral dalam kehidupan
yang dituangkannya dalam delapan tahapan perkembangan psikososialnya. Selain itu, rentang
usia yang yang dinyatakan dalam teori Erikson ini mungkin merupakan waktu terbaik untuk
menyelesaikan krisis yang dihadapi, tetapi itu bukanlah satu-satunya waktu yang mungkin
untuk menyelesaikannya (Slavin, 2006).
Selain memiliki kelebihan, teori Erikson juga memiliki beberapa kelemahan. Berikut
beberapa kritikan terhadap teori Erikson.

Tidak semua orang mengalami kasus yang sama pada fase dan waktu yang
sama seperti yang dikemukakan Erikson dalam teori perkembangan
psikososialnya (Slavin, 2006).

Teori ini benar-benar hanya pandangan deskriptif dari perkembangan sosial


dan emosional seseorang yang tanpa menjelaskan bagaimana atau mengapa
perkembangan ini bisa terjadi (Shaffer, 2005).

Teori ini lebih sesuai untuk anak laki-laki daripada untuk anak perempuan dan
perhatiannya lebih diberikan kepada masa bayi dan anak-anak daripada masa
dewasa. (Cramer, Craig, Flynn, Bernadette. & LaFave, Ann, 1997).

Anda mungkin juga menyukai