Tata Kelola Pertambangan
Tata Kelola Pertambangan
Tata Kelola Pertambangan
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kemudahan bagi
kami sebagai penyusun untuk dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Makalah ini
merupakan tugas mata pelajaran, yang mana dengan tugas ini kami sebagai siswa dapat
mengetahui lebih jauh dari materi yang diberikan guru mata pelajaran tersebut.
Makalah yang berjudul tentang Tata Kelola Pertambangan. Mengenai penjelasan lebih
lanjut kami memaparkannya dalam bagian pembahasan Makalah ini.
Dengan harapan Makalah ini dapat bermanfaat, maka kami sebagai penulis mengucapakan
terima kasih kepada semua pihak yan telah membantu menyelesaikan Makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam penyelesaian Makalah ini. Saran dan kritik yang membangun dengan terbuka kami terima
untuk meningkatkan kualitas Makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan manusia semakin beragam salah satunya adalah
kebutuhan papan/tempat tinggal. Meningkatnya jumlah penduduk menjadi faktor utama
meningkatnya kebutuhan pemukiman. Guna memenuhi kebutuhan lahan yang semakin lama
makin sempit maka manusia dengan berbagai cara melakukan perluasan lahan yaitu dengan
menambang/mengepras gunung dan perbukitan. Kehidupan di era modern tidak luput dengan
industri untuk memproduksi barang/jasa. Semakin pesatnya pertumbuhan kota maka lahan makin
terbatas dan kebutuhan lahan untuk industri di kota-kota besar dipenuhi dengan reklamasi dan
penambangan mineral bukan logam. (Almaida, 2008).
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan kepada
masing-masing daerah. Kewenangan untuk pengelolaan pertambangan dari tingkat pusat hingga
kabupaten/kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara. Dengan adanya dua peraturan tersebut seharusnya semakin memperkuat
posisi pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sangat
disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota belum memaksimalkan kekuatan hukum ini dalam
penegakan upaya pengelolaan pertambangan yang ramah lingkungan.
Secara ekonomi, kegiatan penambangan mampu mendatangkan keuntungan yang sangat
besar yaitu mendatangkan devisa dan menyerap tenaga kerja sangat banyak dan bagi
Kabupaten/Kota bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban
pengusaha membayar retribusi dan lain-lain. Namun, keuntungan ekonomi yang didapat tidak
sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan yang syarat dengan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. (Hasibuan, 2006).
Menurut Dyahwanti (2007), berdasarkan perhitungan pendapatan yang diperoleh serta
biaya kerugian lingkungan yang ada maka diperoleh nilai perbandingan sebesar 0.67. Angka ini
menunjukkan bahwa nilai pendapatan tiap tahun yang diperoleh dari kegiatan penambangan
pasir sesungguhnya sangat kecil dan tidak sebanding dengan total kerugian lingkungan yang
terjadi. Padahal kerugian tersebut belum termasuk adanya perkiraan biaya lingkungan dari total
erosi yang terjadi, polusi udara, biaya menyusutnya air serta biaya reklamasi lahan. Reklamasi
lahan yang merupakan kegiatan pemulihan dari tanah kritis dan mati menjadi tanah produktif
sangat mahal dari segi biaya, tenaga dan waktu. Memerlukan waktu tersendiri untuk menghitung
biaya reklamasi lahan bekas penambangan pasir. Jadi apabila dihitung keseluruhan biaya
kerugian lingkungan yang terjadi dengan adanya kegiatan penambangan pasir akan
menghasilkan nilai yang sangat kecil dan tidak berarti sama sekali. Manfaat yang diperoleh dari
kegiatan penambangan pasir tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan nilai kerugian
lingkungan yang terjadi secara keseluruhan.
Walaupun kegiatan penambanga sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang, akan
tetapi permasalahan lingkungan tetap saja terjadi hal ini dikarenakan penggalian bahan mineral
bukan logam (pasir, kerikil, tanah timbun) tidak terkendali dan tidak terawasi. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Buru dari lokasi penambangan yang terdapat pada kecamatan waeapo
tersebut tidak memiliki Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD).
Akibat penambangan ini mengakibatkan terjadinya pengikisan terhadap humus tanah, yaitu
lapisan teratas dari permukaan tanah yang mengandung bahan organik yang disebut dengan
unsur hara dan berwarna gelap karena akumulasi bahan organik di lapisan ini yang merupakan
tempat tumbuhnya tanaman sehingga menjadi subur. Lapisan humus ini banyak digunakan oleh
masyarakat untuk menyuburkan pekarangan rumah. Adanya lubang-lubang bekas penambangan
mengakibatkan lahan tidak bisa dipergunakan lagi (menjadi lahan yang tidak produktif), pada
saat musim hujan lubang-lubang akan digenangi air sehingga berpotensi sumber penyakit karena
menjadi sarang nyamuk. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami perubahan yaitu
permukaan sungai melebar yang dapat mengakibatkan erosi. (Hasibuan, 2006).
Kegiatan penambangan emas dalam hal ini akan menjadikan rusaknya lingkungan
sehingga berpotensi menimbulkan bencana bagi daerah yang berada disekitarnya. Kegiatan
penambangan emas dengan laju erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) tinggi membahayakan
menyebabkan sebagian tanah yang berada di sekitarnya, terutama yang berada di bagian atas
akan mengalami longsor. Hal seperti ini jelas sangat berbahaya dan menimbulkan ketakutan pada
pemilik tanah sekitar yang tanahnya belum digali. Hal ini terjadi karena penambang tidak
menerapkan sistem teras pada tanah sekitarnya sehingga terbentuk tebing yang tinggi.
Keuntungan ekonomi yang diperoleh secara sepintas tampak menguntungkan namun apabila
dikaji lebih dalam dan dibandingkan dengan kerugian lingkungan dalam rupiah maka tampak
jelas bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh. (Dyahwanti, 2007).
Diperlukan ketegasan dan keberanian dari aparat pemerintah dalam menangani
permasalahan ini. Jika upaya penyelamatan lingkungan terhadap daerah konservasi masih
setengah hati maka sumber daya alam yang ada saat ini kemungkinan tidak akan dirasakan oleh
generasi mendatang. Usaha untuk melakukan pengelolaan lingkungan sudah berkali-kali didesak
oleh BLH Kabupaten Buru terhadap penambang seperti membuat embung atau penambangan
dilakukan dengan terasering, sehingga aktivitas mereka tidak merawankan pekerja maupun
warga sekitar. Pemerintah kabupaten juga mendesak agar penambang maupun pemilik untuk
merawat infrastruktur jalan di lokasi penambangan . Lahan bekas penambangan agar
dikembalikan lagi seperti semula dengan melakukan reboisasi. (Suara Merdeka, 2012).
B. Perumusan Masalah
Penambangan emas di Kecamatan Waeapo, kabupaten Buru mempunyai potensi yang
signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Kecamatan Waeapo merupakan daerah permukiman
yang cukup padat. Melihat kenyataan yang ada, mendorong penulis untuk melakukan kajian dan
mengevaluasi seberapa jauh kerusakan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi dan rumusan
pengelolaan lingkungan.
Dari rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana kerusakan lingkungan fisik yang terjadi akibat kegiatan penambangan mineral
bukan logam di Kecamatan Waeapo?
2) Bagaimana dampak sosial akibat penambangan mineral bukan logam terhadap masyarakat
di Kecamatan Waeapo?
3) Bagaimana rumusan pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kerusakan lingkungan fisik akibat penambangan mineral bukan logam di
Kecamatan Waeapo.
2. Mengkaji dampak sosial akibat penambangan mineral bukan logam terhadap masyarakat
di Kecamatan Waeapo.
3. Merumuskan usulan pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat bagi :
1. Pemerintah Kabupaten Buru : Dapat dijadikan sebagai acuan dalam merencanakan
kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Pembelajaran yang muncul diharapkan dapat
menjadi sumber inspirasi bagi wilayah lain yang memiliki permasalahan serupa.
2. Penulis : Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan
penambangan mineral bukan logam secara baik dan benar.
3. Ilmu Pengetahuan :Bermanfaat untuk pengembangan konsep akademis dibidang
pengelolaan lingkungan utamanya terkait dengan konsep pengelolaan penambangan
mineral bukan logam secara baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pertambangan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
B. Usaha pertambangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha
pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan) macam yaitu:
1) Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi
geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
2) Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup.
3) Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
4) Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh
fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
5) Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral
dan/atau batu bara dan mineral ikutannya.
6) Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan
mutu mineral dan/atau batu bara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral
ikutan.
7) Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau
batu bara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan.
2) Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral
atau batubara.\
b. Pertambangan batubara.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang
terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
3. Pendekatan Institusi
Pada bagian ini dirinci kegiatan setiap instansi/badan/lembaga lain yang terlibat/ perlu
dilibatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kegiatan penanggulangan dampak
rencana kegiatan pertambangan umum ditinjau dari segi kewenangan, tanggung jawab dan
keterkaitan antar instansi/badan/lembaga, misalnya :
a) Pengembangan mekanisme kerjasama/koordinasi antar instansi Peraturan perundang-
undangan yang menunjang pengelolaan lingkungan
b) Pengawasan baik intern maupun ekstern yang meliputi pengawasan oleh aparat pemerintah
dan masyarakat
c) Perencanaan prasarana dan sarana umum, baik relokasi maupun baru
F. Rehabilitasi Lahan
Reklamasi Lahan Pasca Penambangan adalah suatu upaya pemanfaatan lahan pasca
penambangan melalui rona perbaikan lingkungan fisik terutama pada bentang lahan yang telah
dirusak. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis atau difungsikan menurut
rencana peruntukannya dengan melihat konsep tata ruang dan kewilayahan secara ekologis.
Kewajiban reklamasi lahan bisa dilakukan oleh pengusaha secara langsung mereklamasi lahan
atau memberikan sejumlah uang sebagai jaminan akan melakukan reklamasi. Yudhistira, (2008).
Berdasarkan data dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral pada Tahun 2005
terdapat 186 perusahaan tambang yang masih aktif dengan total luas areal sekitar 57.703 ha dan
hanya 20.086 ha yang telah direklamasi oleh para perusahaan yang memperoleh kontrak pada
lahan tersebut. Sebagian lahan tersebut dikembalikan kepada petani untuk diusahakan kembali
menjadi lahan pertanian. Sebagian pengusaha tidak mereklamasi lahan dan meninggalkan begitu
saja.
Almaida (2008), Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi
ekonomi dan sosial yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat
dengan pemerintah dan juga usaha pertambangan. Oleh karena itu pengelolaan pasca tambang
bukan merupakan masalah fisik, tetapi merupakan political will pemerintah untuk meregulasi
secara benar dengan memperhatikan kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya
dengan mengedepankan kepentingan masyarakat lokal dan mengacu kepada falfasah ekonomi
dan sosial serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemanfaatan sumber daya alam haruslah tetap berpijak pada kaidah-kaidah pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat. Hal ini akan tercermin dalam implementasigood
governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Dalam pengelolaan sumber daya alam
pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan penuh, sehingga untuk kedepannya harus
berhati-hati dalam menentukan kerjasama dengan investor asing. Sumber daya alam yang ada di
Indonesia harus berpihak kepada kemakmuran masyarakat dan kesejahteraan masyarak,
peningkatan ekonomi masyarakat, serta kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.
Masih lemahnya penerapan prinsip-prinsip good governance dalam hal pengelolaan
sumber daya ekonomi strategis sektor pertambangan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Transparansi, dalam pemberian perizinan pertambangan belum ada keterbukaan yang
berbentuk kemudahan akses informasi bagi masyarakat terhadap proses pemberian
perizinan pertambangan dan juga dalam melihat dampak dari pemberian izin tersebut.
2) Akuntabilitas, tidak adanya tanggungjawab perusahaan asing terhadap masyarakat sekitar
dan lingkungan, sehingga yang terjadi banyak kerusakan alam akibat dari eksploitasi
pertambangan yang dilakukan oleh asing, selain kerusakan alam juga terjadi pencemaran
lingkungan hidup yang mengancam hajat hidup orang banyak.
3) Partisipasi, belum adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik
yang akan diimplementasikan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak bisa
berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hal ini sudah terbukti dengan UU no.10/2001, belum memberikan sarana untuk partisipasi
masyarakat dlm pembuatan berbagai perat perund-undangan. UU no. 11/1967, tidak
memberikan sama sekali kesempatan kepada masy utk turut berpartisipasi di bidang
pertambangan. UU no.4/2009, tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengambilanm kebijakan di bidang pertambangan.
4) Rule of law atau ketidakadilan, penerapan peraturan dan perundang-undangan yang belum
jelas, masih banyaknya tumpang tindih peraturan yang mengatur tentang pengelolaan
pertambangan baik peraturan daerah maupun peraturan pusat.
A. Saran
Adapun saran dari penulisan makalah ini adalah :
1. Bagi Pemerintah : Sebaiknya Pemerintah merencanakan kebijakan pengelolaan lingkungan
hidup. Pembelajaran yang muncul diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi
pemerintah untu menentukan kebijakan kedepan.
2. Bagi Siswa : sebagai siswa seharusnya peduli terhadap pengelolaan lingkungan
penambangan emas yang ada di sekitar kita sehingga dapat di olah secara baik dan benar.