Ilmu Riwayah Dan Kaedah Periwayatan
Ilmu Riwayah Dan Kaedah Periwayatan
Ilmu Riwayah Dan Kaedah Periwayatan
BAB 1
PENDAHULUAN
Dari rumusan masalah di atas maka kita dapat mengambil tujuan sebagai
berikut
1. Mengetahui dan memahami ilmu riwayah dan kaidah periwayatan
2. Menambah wawasan mengnai Hadist sebagai salah satu sumber hukum
islam setelah Al-quran
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penulis dan pembaca tentang hadist dan dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehingga menjadi muslim yang sebenar-benarnya muslim.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ilmu Riwayah
Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi
Asshalih
adalah :
ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara
teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta
segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin [1]
Sedangkan Menurut Sebagian Ulama Tahqiq, ilmu hadits Riwayah Ialah :
Ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur
Risalah, junjungan kita Muhammad SAW. Dari sikap para perawinya, mengenai
kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan
bersambungnya , dan yang sepertinya.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang
dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang
meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta
periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya[2]
Sedangkan pengertian menurut Muhammad ajjaj a-khathib adalah:
Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir
(ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan
cara yang teliti atau terperinci. [3]
Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn
Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawaid fi ulum al-Hadist,
Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui
dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan,
pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya[4]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada
dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadits Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan
dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:Cara periwayatan Hadis, baik dari
segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang
perawi ke perawi lain;Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembukuannya.
Ilmu hadits Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi
kelakuan para Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan
dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadits yang
dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang
lain dan membukukan hadits dalam suatu kitab
Menurut Syaikh Manna A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits:
sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari
segi periwayatannya secara detail dan mendalam.
Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam
periwayatannya
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan
dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits,
hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun
sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab
berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada
berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya
tidak jelas sama sekali.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu
bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para
Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw.
Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara
mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau
nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga
kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri
majelis Nabi saw. Tersebut,
Manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti
yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, Aku beserta tetanggaku dari
kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis
Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan
kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya,
apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. [5]
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga
usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M).
Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis
Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama
pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah Umar ibn abd
al-Aziz.
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi
menyampaikan hadisnya melalui yaitu :
Dengan lisan dan perbuatan di hadapan orang banyak, dan disampaikan di
masjid pada waktu malam dan subuh.
Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan
korupsi berupa penerimaan hadis dari masyarakat.
Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak di hadapan orang yang
banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu
berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama.
Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara
permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa takrir atas amalan ibadah
sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi.
Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan
bentuk tulisan.[9]
b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis
Cara seperti ini dilakukan Nabi misalnya ajakan ajakan Nabi untuk memeluk
agama Islam kepada berbagai kepala Negara dan pembesar daerah yang non
Islam lewat surat, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orang-
orang musyrik di Mekah dan dan penduduk Madinah, seperti perjanjian
Hudaibiyah dan piagam Madinah.
2.3.2 Hadis yang berupa perbuatan
Nabi menyampaikan hadis selain dengan cara lisan juga dalam bentuk
perbuatan. Cara ini dilakukan di depan orang banyak di masjid pada waktu
malam dan subuh. Contoh.
,
,
.
.
,
( )
Artinya:
Pada suatu malam, Rasulullah saw shalat di masjid, lalu orang-orang ikut
shalat bersama Nabi, pada malam berikutnya, Nabi shalat di masjid, orang-
orang yang ikut shalat bersamanya makin banyak, kemudian pada malam
ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul lagi, akan tetapi Muhammad saw
tidak keluar. Pada waktu subuh, Rasulullah bersabda sesungguhnya saya telah
melihat apa yang kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangi saya untuk
keluar menjumpai kalian, kecuali saya sungguh khawatir (shalat malam tersebut
diwajibkan atas kalian. Peristiwa ini terjadi pada bulan ramadhan. )HR Bukhari
dari Aisyah). [10]
Mendengar penjelasan tersebur Amr bin al-Ash tersebut Nabi hanya diam saja
dan tidak memberi komentar apa-apa.
2.3.4 Hadis dalam bentuk hal ihwal.
Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa keadaan Nabi
sesungguhnya bukan merupakan aktifitas Nabi, karena menyampaikan hadis
Nabi bersikaf pasif saja, pihak aktif adakah para sahabat Nabi, dalam arti
sebagai perekam terhadap keadaan Nabi tersebut. Contoh.
()
Artinya: Rasullah Saw adalah seorang elok wajahnya, ciptaan (Tuhan) paling
bagus, (postur tubuhnya) tidak terlalu tinggi dan tidak terlau pendek.[12]
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai
berikut:
1.
( Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:
: :
(
)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Muslim dan lain-
lainnya)
2.
( Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:
:
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur
Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Siapa yang
beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang
telah lalu.
3.
( Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4.
( Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
:
()
Artinya: Dari Abbas bin Rabi ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab
ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: Sesungguhnya benar-benar aku tahu
bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula)
memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu,
aku (pun) tak akan menciummu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa
para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits.
Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu
menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafadz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia
tidak ingat lagi lafadz yang asli, karena dia telah menerima hadits, lafadz dan
maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadist dengan maknanya kalau
lafadznya terlupa, karena kalau hadits itu tidak disampaikan walaupun dengan
maknanya, termasuk yang menyembunyikan hadist. Al-Mawardi berkata: Jika
seseorang tidak lupa kepada lafadz hadits niscaya tidak boleh dia menyebutkan
hadits itu dengan bukan lafadznya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri
terdapat fashahah yang tidak terdapat pada perawinya.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya
saja dengan syarat bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi
pada periode sahabat dan tabiin, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja.
Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hafits yang hanya dengan maknanya
itu setelah meriwayatkan hadits harus memakai kata-kata dan serta
yang serupa dengannya.