Makalah Tafsir Tahlili
Makalah Tafsir Tahlili
Makalah Tafsir Tahlili
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Studi Al-Qur’an dan Hadits
Disusun Oleh:
Miqdad (12010230018)
Ali Manshur (12010230021)
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan
karuniak-Nya sehingga penulis dapat menyalesaikan apa yang sudah seharusnya menjadi
tugas seorang mahasiswa, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Metode Tafsir At-Tahlili”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan Nabi kita Nabi Agung Muhammad saw, yang kita nanti-nantikan syafaatnya
kelak di hari akhir.
Penulis sangat bersyukur dengan terselesaikannya makalah ini tepat pada waktunya.
Selanjutnya, kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi untuk menyelesaikan makalah ini. Terutama kepada dosen
pengampu matakuliah Metode Studi Al-Qur’an dan Haidts yakni Prof. Budiharjo yang
selalu membimbing kami sehingga makalah ini telah kami selesaikan. Penulis hanya
berharap kritik dan saran yang membangun, karena setiap karya itu tidak lah luput dari
kesalahan dan keliputan, terkecuali karya Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata, semoga makalah ini nantinya menjadi manfaat bagi penulis dan
pembaca dikemudian hari. Amin yaa robbal ‘alamin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
A. Kesimpulan..........................................................................................................................23
B. Kritik & Saran......................................................................................................................23
DAFTAR ISI........................................................................................................................24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang
ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan Al-Qur’an secara
apresiasif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu
karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya
menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat islam. Hasil dari upaya
yang sungguh-sungguh tersebut dengan menggunakan alat (metodologi) sehingga
terwujud sebagai tafsir (Mu’min, 2016, p. 27).
Pada pembahasan ini, penulis akan membahas metode penafsiran tahlili yang
meliputi pembahasan kemunculan tafsir tahlili, dasar dan urgensi tafsir tahlili, langkah-
langkah tafsir tahlili, dan kelebihan serta kekurangan tafsir tahlili. Dan untuk lebih
jelasnya tentang tafsir Tahlili akan dibahas pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud metode tahlili?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian metode tahlili
v
BAB II
PEMBAHASAN
Kata tafsir berasal dari bentuk mashdar َتْف ِس رْي ًا- ُيَف ِّش ُر- َفَّس َرyang memiliki dua arti kata
yaitu Al-Bayan menjelaskan dan Al-Kasyfu menyingkap. Ini serupa dengan kata tafsir
pada surat Al-Furqan ayat 33 yang bermakna penjelasan. Adapun kata tafsir secara
istilah menurut Ar-Rumi merupakan ilmu yang memahami dan menerangkan secara
komprehensif isi Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad ﷺdan
memahami kandungan, makna, menggali hukum-hukum serta mengambil hikmah dan
pelajaran di dalamnya (Rosalinda, 2019, p. 183). Sedangkan tahlili berasal dari bentuk
kata mashdar ْحَتِلْيًال-َحُيِّل ُل- َح َّل َلyang bermakna membuka sesuatu terikat atau mengurai.
Secara umum tahlili bermaksud membahas atau menganalisis secara terperinci makna-
makna yang terkandung dalam setiap ayat Al-Qur’an (Ainun et al., 2023, p. 13).
Metode at-tahlili, menurut Quraish Shihab dikutip oleh Amin, lahir jauh
sebelum metode maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak Tafsir al-Farra (w. 206 H./821
vi
M), atau Ibnu Majah (w. 237 H/851 M), atau paling lambat Ibn Jarir al-Thabari (w. 310
H/922 M) (tafsir Jami’ al-Bayan ‘an takwil ayi Al-Qur’an). Kitab-kitab tafsir Al-
Qur’an yang ditulis para mufasir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir semuanya
menggunakan metode tahlili. Sebagaimana menurut Quraish Shihab metode tafsir
tahlili merupakan metode yang menjeaskan secara terperinci dan berurutan dari segala
segi setiap ayat yang ada di dalam mushaf (Amin, 2017, p. 37).
ِبٱۡل َبِّيَٰن ِت َوٱلُّزُبِۗر َوَأنَزۡل َنٓا ِإَلۡي َك ٱلِّذۡك َر ِلُتَبَنِّي ِللَّناِس َم ا ُنِّزَل ِإَلۡي ِه ۡم َو َلَعَّلُه ۡم َيَتَف َّك ُروَن
vii
yang ada di dalam mushaf. Penfasir mulai menguraikan ayat dengan menjelaskan segi
kosa kata, memaparkan arti lafadz secara global. Penafsir juga mengemukakan
munasabat atau korelasi hubungan ayat dengan ayat-ayat lain yang dimaksud. Selain
itu juga menjelaskan asbabun nuzul dengan dasar dalil-dalil dari Rasulullah ﷺ,
begitu pula para sahabat, tabi’in yang juga bercampur dengan pendapat penafsir sendiri
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan corak ilmu dan juga kebutuhan-kebutuhan
pemikiran yang dapat membantu untuk memahami nash Al-Qur’an.
viii
sunnah, dan pendapat sahabat atau tabi’in. Selain itu, mufassir juga memaparkan
beberapa ijtihad berdasarkan ra’yi sesuai dengan pembahasan ayat.
ix
Jawahirul Hasan Fi Tafsiril Qur’an (Tafsir Al Jawahir) karya Abdurrahman bin
Muhammad Ats Tsa’labi, Ad Durr al-Ma’tsur Fi al-Tafsir Bil Ma’tsur (Tafsir As
Suyuthi) karya Jalaluddin Al Suyuthi (Yahya et al., 2022, p. 9).
2. Tafsir Bi Al-Ra’yi
Tafsir Ra’yi adalah penafsiran yang mengandalkan akal pola pikir dan
ijtihad pendapat dari mufassir sendiri yang mempertimbangkan pada tata bahasa,
budaya, corak ilmu, dan kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan oleh mereka
yang ingin menafsirkan Al-Qur’an. Dari segi bahasa al-Ra’yi berarti keyakinan,
analogi, dan ijtihad. Orang-orang yang melakukan analogi biasanya disebut
sebagai ahli ra’yi, karena mereka mengatakan sesuai pendapat (ra’yu) mereka
pada saat mereka tidak mendapatkan dalil yang berupa hadits maupun atsar. Tafsir
bi al-ra’yi muncul sebagai sebuah metodologi pada saat periode mutakhir
munculnya tafsir bi al-ma’tsur (Mu’min, 2016, p. 75).
Menurut Muhammad Ali ash Shobuny tafsir bi al-ra’yi adalah suatu ijtihad
dengan dibangun diatas dasar-dasar yang benar serta kaidah-kaidah yang lurus
yang harus dipergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an
atau menggali maknanya (Elhany, 2018, p. 21).
Sedangkan kitab tafsir tahlili dalam bentu ra’yi antara lain: Tafsir
Mafatihul Ghaib (ar-Razi), Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil (al-Khazin), Anwa al-
Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (al-Baidhawy), Tafsir Al-Qur’an al-Karim (Muhammad
Rasyid Ridha) (Elhany, 2018, p. 22).
3. Tafsir Ash Shufi
Seiring dengan semakin luasnya cakrawala budaya dan berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan, ilmu tasawuf pun berkembang dan membentuk
pemahaman kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai
pengaruh di dalam penafsiran Al-Qur’an.
x
a. Tasawuf Teoritis
Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji Al-Qur’an
berdasar teori-teori madzhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka
berupa maksimal untuk menemukan, di dalam Al-Qu’an tersebut, faktor-
faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga mereka tampak
terlalu berlebih-lebihan di dalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya
sering keluar dari didukung oleh kajian bahasa (Ainun et al., 2023, p. 37).
b. Tasawuf Praktis
Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah tasawuf yang
mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam
ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan
al tafsir al-isyari, yaitu mentakwilkan ayat-ayat berbeda dengan arti
dzahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat, namun tetap dapat dikompromikan
dengan arti dzahir yang dimaksudkan (Ainun et al., 2023, p. 37).
Tafsir dengan corak ini dapat diterima dengan beberapa syarat, di
antaranya, Tidak meninggalkan makna lahir atau pengetahuan tekstual Al-Qur’an,
Penafsiran diperkuat oleh dalil syara’ yang lain, Penafsiran tidak bertentangan
dengan syara’, Mengakui pengertian tekstual terlebih dahulu.
4. Tafsir Al Fiqh
Corak Tafsir Fikih adalah tafsir yang lebih cenderung pada tinjauan hukum
dari ayat yang di tafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih
yang dikarang oleh imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Tafsir ini
muncul seiring dengan kemunculan tafsir bil ma’tsur pada masa Rasulullah dan
para sahabat. Hal tersebut karena dalam pembinaan masyarakat Islam di Madinah
nabi banyak sekali mendapat pertanyaan dari para sahabat terkait dengan
pertanyaan hukum. Kemudian jawaban-jawaban nabi tersebut dijadikan pedoman
hukum dan secara lisan diriwayatkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
xi
Para sahabat setelah Rasulullah wafat banyak melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum-hukum terkait dengan persoalan-persoalan yang belum ada
pada masa Rasulullah dan tidak ditemukan hadis yang membahas persoalan
tersebut. Maka dari itu, para sahabat berusaha menarik kesimpulan hukum syara’
berdasarkan ijtihad, dan hasil ini dijadikan tafsir fiqhi (Amin, 2017, p. 29).
5. Tafsir Al Falsafi
Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah
pendekatan yang berusaha melakukan sintesis antara teori-teori filsafat dengan
ayat-ayat Al-Qur’an, selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha
menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-
Qur’an (Akhyar, 2021, p. 31).
6. Tafsir Al ‘Ilmi
Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau dengan menggunakan teori-teori
ilmu pengetahuan atau sains. Dalam tafsir ini mufasir berusaha mengkaji Al-
Qur’an dengan dikaitkan dengan gejala atau fenomena-fenomena kauniyah yang
terjadi di alam semesta ini. Dalam perkembangannya saat ini tafsir ‘ilmi menjadi
tafsir maudhū’i karena ayat-ayat Al-Qur’an dipilah pilah dalam disiplin ilmu
(Yahya et al., 2022, p. 45).
7. Tafsir Al Adabi Al Ijtima
Tafsir Adabi Al-Ijtima’i adalah suatu metode tafsir yang coraknya
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an dan berusaha memahami ayat-
ayatnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-
usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah
kemasyarakatan sosial maupun budaya berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan
xii
mengemukakannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah
didengar serta mengandung banyak makna hikmah pelajaran yang bisa dipetik
(Rosalinda, 2019, p. 202).
xiii
xiv
xv
xvi
xvii
Terjemah tafsir ibnu katsir Surat Al-Fatihah ayat 2 dalam Tafsir Al-Qur’anul
Adzim karya Ibnu Katsir:
Al-Qurra' as-Sab'ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat
dhammah pada huruf dai pada kalimat alhamdulillah, yang merupakan mubtada’ dan
khabar.
Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada Allah
semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang
telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-
hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang
mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan
anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya. Selain itu,
pemberian rizki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam
kehidupan, yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai
peringatan dan seruan kepada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada
xviii
kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala
puji, baik di awal maupun di akhir.
Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, alhamdulillah merupakan pujian yang
disampaikan Allah untuk diri-Nya. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-
hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan, "Ucapkanlah,
alhamdulillah."
Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan, telah dikenal dikalangan para ulama
mutaa'khkhirin, bahwa al-Hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak
mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenaan dengan
dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun asy-syukru tiada lain kecuali
dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan selainnya, yang disampaikan
melalui hati, lisan, dan anggota badan. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang
penyair:
Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam.
Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum,
al-hamdu ataukah asy-syukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah
diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Alhamdu lebih umum
daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang berkenaan dengan diri sendiri
dan juga pihak lain, misalnya anda katakan, "Aku memujinya (al-hamdu) karena
sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanannya." Tetapi juga lebih khusus,
karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum
daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkapkan melalui ucapan, perbuatan, dan juga
niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih
kepadanya atas sifatnya yang kesatria, namun bisa dikatakan aku berterima kasih
kepadanya atas kedermawanan an dan kebaikannya kepadaku.
xix
Demikian itu yang dapat disimpulkan oleh sebagian ulama muta’'akhkhirin.
Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari , (katanya):
Aku berkata kepada Nabi ﷺ: “Ya Rasulullah, maukah engkau aku puji
dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaaraka
wa Ta’ala.” Maka beliau bersabda: “Adapun, (sesungguhnya) Rabbmu menyukai
pujian (Alhamdu)” (HR. Imam Ahmad dan Nasa’i).
Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin
Abdullah, ia berkata, Rasulullah ﷺbersabda:
“Sebaik-baik dzikir adalah kahmat Laa ilaaha illallaah, dan sebaik-baik do’a
adalah Alhamdulillah."
Menurut at-Tirmidzi, hadits ini hasan gharib. Dan diriwayatkan Ibnu Majah
dari Anas bin Malik katanya, Rasulullah ﷺbersabda:
"Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia
mengucapkan, alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari
pada yang diambil-Nya."
اdan لpada kata الحمدadalah dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala
macam jenis dan bentuk pujian itu, hanya untuk Allah semata.
الربadalah pemilik, penguasa dan pengendali. Menurut bahasa, kata Rabb
ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semuanya itu benar
bagi Allah Ta’ala. Kata ar-Rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika
disambung dengan kata lain setelahnya, misalnya " ( ”َر ُّب الَّد ِرpemilik rumah).
Sedangkan kata ar-Rabb (secara mutlak), hanya boleh digunakan untuk Allah
Ada yang mengatakan, bahwa ar-Rabb itu merupakan nama yang agung (al-
Ismul A ’zham). Sedangkan " "الَع اَلِم ْيَنadalah bentuk jama' dari kata yang berarti segala
sesuatu yang ada selain Allah " "َع اَلٌمmerupakan bentuk jama’ yang tidak memiliki
mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. " "الَع واِلُمberarti berbagai macam makhluk yang
xx
ada di langit, bumi, daratan maupun lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu
kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.
Bisyr bin Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adh-Dhahhak dari Ibnu
Abbas, "Alhamdulillahirabbil 'aalamin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh
makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya, baik
yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui."
Az-Zajjaj mengatakan, " "الَع اَلُمberarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia
dan di akhirat. Sedangkan al-Qurthubi mengatakan, apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah
yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).
Menurut penulis (Ibnu Katsir) " "الَع َالَم ةberasal dari kata karena alam merupakan
bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-
Mu’taz pernah mengatakan: Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa
mendurhakai Rabb, atau mengingkari-Nya, padahal dalam setiap segala sesuatu
terdapat ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.
Sedangkan tafsir Surat Al-Fatihah dalam kitab Al-Munir karya Wahbah Az-
Zuhaili:
1. Surah al-Fatihah adalah surah makiyyah yang berjumlah tujuh ayat.
2. Penafsir mencantumkan ayat serta arti ayat dari surah al-Fatihah
3. Penafsir mencantumkan ragam qira’at yang berkaitan dengan lafadz-lafadz yang
ada dalam surah al-Fatihah
Lafadz Qira’at
اِلِك bacaan Ashim, Al-Kisa’i, ‘Ubay, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abas dan
َم sahabat serta tabi’in
xxi
ِه bacaan Jumhur
َعَلْي ْم
bacaan Hamzah
َعَلْيُه ْم
namun ada pula yang berpendapat bahwa maknanya yaitu sebagai isti’anah.
Menurut madzhab Bashrah, susunan jar majrur tersebut adalah khabar yang
mubtadanya dihapus, yaitu ابتدائ بسم اهللatau ابتدأت بسم اهلل
dilakukan dengan penuh rasa suka dan kerelaan. Berbeda dengan kata asy-syukru
yang merupakan ungkapan atas suatu imbalan atau karunia.
xxii
10. Perbedaan pendapat dalam merahasiakan amin. Merahasiakan suara amin lebih
utama dalam madzhab Hanafi dan Maliki, hal tersebut berkaitan dengan surah Al-
A’raf ayat 55 agar berdo’a dengan suara yang lembut. Adapun dalam madzhab
Syafi’i dan Hanbali dikatakan bahwa bacaan amin sebaiknya disuarakan pada
shalat yang mengencangkan suara dan dilirihkan pada shalat yang melirihkan
suara, hal tersebutlah yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
11. Tafsir dan penjelasan. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa segala aktivitas
kegiatan yang hendak dilakukan harus diawali dengan basmalah. Basmalah
merupakan permohonan hamba kepada Tuhannya agar dapat menolong dengan
kebesaran nama-Nya.
12. Fikih kehidupan atau hukum-hukum. Surah al-Fatihah membahas permasalahan
relasi hamba dengan Khaliq serta cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya serta
membahas petunjuk kepada manusia bahwa dalam berkehidupan harus mengikuti
jalan yang lurus dan tidak menyimpang (Az-Zuhaili, 2013, pp. 30–43).
a. Metode ini menafsirkan secara komprehensif setiap ayat dalam Al-Qur’an dari
berbagai segi komponen baik dari lafadz, korelasi ayat, asbabun nuzul, i’jaz,
dan isi kandungannya.
xxiii
b. Metode ini memiliki keotentikan dalam memahami Al-Qur’an secara
menyeluruh. Pembaca diajak untuk memahami isi kandungan ayat per ayat
dari Al-Qur’an yang berlandaskan sumber Al-Qur’an, sunnah dan pemahaman
sahabat serta dibantu beberapa ide pemikiran mufassir sendiri.
c. Memuat berbagai ide dan gagasan mufassir yang diberi kebebasan dalam
menafsirkan sehingga mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran dan karya
tafsir yang berjilid-jilid.
d. Metode tahlili sering digunakan pada masa zaman klasik dan pertengahan.
Yang mana para mufassir pada waktu itu memiliki keilmuan yang mumpuni.
xxiv
d. Metode ini tidak mampu memberikan jawaban yang tuntas dan menyeluruh
terhadap berbagai problem yang dihadapi umat. Karena pasti seiring
berjalannya waktu akan terus bermunculan problematika yang terjadi di
masyarakat.
e. Metode tahlili biasanya menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta
kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Ini sebagaimana diungkapkan oleh
Qurasih Shihab, bahwasanya metode tahlili seperti halnya menyajikan
hidangan dalam bentuk prasmanan. Para tamu dipersilahkan memilih apa yang
dikehendakinya dari aneka hidangan, mengambil sedikit atau banyak, tetapi
kendati demikian, diduga keras masih ada sesuatu yang dibutuhkan tamu
tetapi tidak terhidang di sana. Di sisi lain sang tamu pasti akan repot
mengambil dan memilih sendiri apa yang dikehendaki
(Ainun et al., 2023, p. 23)
.
xxv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir Tahlili merupakan suatu metode tafsir Al-Qur’an yang cara penafsirannya
dilakukan secara detail dari setiap ayat-ayat yang ditafsir. Aspek yang dibahas dalam
metode tafsir tahlili, yaitu kosa kata, lafadz, arti yang dikehendaki, dan sasaran yang
dituju dari kandungan ayat yang ditafsir, yaitu unsur ijaz, balaghah, dan keindahan
kalimat.
Metode ini telah dibagi oleh beberapa ulama menjadi beberapa macam yaitu,
tafsir ma’tsur, tafsir ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan tafsir
Adab Al-Ijtima’i. Semua bentuk atau corak dari metode tafsir tahlili di atas memiliki
karakter tersendiri, namun metode penafsirannya sama yaitu dengan menggunakan
metode tafsir tahlili.
Selain itu semua, metode tafsif tahlili ini juga memiliki beberapa keistimewaan
dan kelemahan. Keistimewaan dari tafsir ini antara lain, ruang lingkupnya luas,
memuat berbagai ide. Adapun kelemahannya, yaitu Al-Qur’an sebagai petunjuk terlihat
menjadi parsial, menghasilkan penafsiran yang subyektif, masuknya pemikiran
isra’iliat, dan lain-lain.
xxvi
DAFTAR ISI
Agama RI, K. (2018). Al-Qur’an dan terjemahnya (1st ed.). Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Ainun, I. N., Aisyiyyah, L., & Yunus, B. M. (2023). Metode Tafsir Tahlili dalam Menafsirkan
Al-Qur’an: Analisis pada Tafsir Al-Munir. Jurnal Iman Dan Spiritualitas, 3(1), 33–
42. https://doi.org/10.15575/jis.v3i1.21788
Akhyar, S. (2021). Eksistensi Metode Tafsir Tahlili Dalam Penafsiran Alqur’an. Al-I’jaz :
Jurnal Kewahyuan Islam, 7(1), 1–13.
Az-Zuhaili, W. (2013). TafsirAl-Munir: Akidah, Syariah, & Manhaj Jilid 1 (1st ed.). Gema
Insani.
Amin, F. (2017). Metode Tafsir Tahlili: Cara Menjelaskan al-Qur’an dari Berbagai Segi
Berdasarkan Susunan Ayat-ayatnya. KALAM, 11(1), 235–266.
https://doi.org/10.24042/klm.v11i1.979
Elhany, H. (2018). Metode Tafsir Tahlili dan Maudhu’i. Jurnal Institut Agama Islam Negeri
Metro Lampung.
Mu’min, M. (2016). Metodologi Ilmu Tafsir (1st ed.). Idea Press Yogyakarta.
Rokim, S. (2019). Mengenal Metode Tafsir Tahlili. https://www.merriam-
Rosalinda. (2019). Tafsir Tahlili: Sebuah Metode Penafsiran Al-Qur’an. Hikmah, 17(2), 181–
216.
Ushama, T. (2000). Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Kajian Kritis, Objektif, & Komprehensif) (H.
Basri & Amroeni, Eds.). Riora Cipta.
Yahya, A., Yusuf, K. M., & Alwizar, A. (2022). Metode Tafsir (al-Tafsir al-Tahlili, al-Ijmali, al-
Muqaran dan al-Mawdu’i). PALAPA, 10 (1), 1–13.
xxvii