Referat HPP
Referat HPP
Referat HPP
Oleh :
Pembimbing :
1
DAFTAR ISI
2
DAFTAR GAMBAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
Wiknjosastro H, 2002)
2000)Diharapkandenganbahasaniniakandiperolehpemahamantentangpenceg
4
BAB II
PERDARAHAN POST PARTUM
A. Definisi
Perdarahan post partumadalah perdarahan pervaginam > 500 ml
atau lebih yang terjadi setelah kala III persalinan. Definisiyang banyak
digunakansaat iniberdasarkan OrganisasiKesehatan Dunia(WHO) tahun
1990. Karena dapat sebagai alarm untuk mengingatkan dokter bahwa
mungkin terdapat ancaman perdarahan yang berbahaya (Callahan TL, 2004;
B. Klasifikasi
1. Perdarahan post partum primer
Perdarahan yang terjadi 24 jam pertama setelah melahirkan.
Penyebabnya 80% kasus disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta,
yang mencegah retraksi dari tempat implantasi plasenta. Pada 20%
5
kasus disebabkan oleh laserasi traktus genital, abruptio plasenta.
Perdarahan post partum primer lebih mungkin terjadi setelah persalinan
lama, distensi uterus yang berlebihan (kehamilan multiple atau
polihidramnion). (Groom, 2006; Maughan KL,2006; Leduc,2009)
2. Perdarahan post partum sekunder
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam anak lahir sampai 6
minggu setelah melahirkan. Biasanya pada hari ke 8-14 post partum.
Perdarahan postpartum sekunder jarang menimbulkan kematian namun
menimbulkan komplikasi yang mempengaruhi kesehatan ibu. Penyebab
yang seringdariperdarahanpostpartumsekunderinidapatberupa sisa
produkkonsepsi, infeksi dan subinvolusitempattertanamnyaplasenta.
Perdarahan post partum sekunder terjadi pada 1-3% dari semua
kelahiran. (Marcovici,2005; Leduc,2009)
C. Patofisiologi
Pada keadaan normal proses pelepasan plasenta tidak menimbulkan
masalah karena adanya lapisan nistabuch yang mencegah invasi trofoblas
lebih jauh kedalam miometrium pada saat awal pembentukan plasenta.
Normalnya proses invasi trofoblas ini mencakup seluruh arteri spiralis dan
maksimal mencapai arteri basalis pada perbatasan antara endometrium dan
miometrium. Proses invasi trofoblas menggantikan lapisan muskularis dari
arteri spiralis dan arteri basalis sehingga arteri menjadi lebih lebar dan tidak
bisa menciut akibat telah hilangnya lapisan muskularis sehingga tidak lagi
terpengaruhi oleh perubahan rangsangan saraf simpatis. Hal ini penting
sebagai mekanisme untuk memberikan jaminan aliran darah yang cukup
bagi janin.(Cunningham FG, 2010)
Sebagai konsekuensi terhadap peristiwa ini maka proses retraksi dan
vasospasme dari arteri spiralis ketika plasenta lepas pada saat kala tiga tidak
lagi berperan sehingga proses kontraksi miometrium mempunyai peranan
yang sangat vital untuk menghentikan perdarahan pada tempat implantasi
plasenta. (Cunningham FG, 2010)
6
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600ml/mnt darah
mengalir melalui ruang antarvilus. Dengan terlepasnya plasenta, arteri-arteri
dan vena-vena uterine yang mengangkut darah dari dan ke plasenta terputus
secara tiba-tiba.(Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)
Di tempat implantasi plasenta, yang paling penting untuk hemostasis
adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh dan
menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah besar yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif
sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu. Perdarahan
postpartum yang fatal dapat terjadi akibat uterus hipotonik walaupun
mekanisme koalugasi ibu cukup normal. Sebaliknya bila miometrium di dekat
implantasi atau di dekatnya berkontraksi dan berretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi pendarahan fatal dari tempat implantasi plasenta
walaupun mekanisme pembekuan darah sangat terganggu. (Cunningham FG, 2010)
7
Perdarahan post partum primer seringkalidapatdikeloladengan
perawatanobstetrikdasar, tetapi terlambatnya tatalaksana dapat
mengakibatkankomplikasi lebih lanjut. (Lalonde AB, 2006)
8
D. Diagnosis
Diagnosis biasanya jelas, terjadi kehilangan darah yang banyak
sebelum plasenta lahir (perdarahan kala III) atau pengeluaran
plasenta.Setelah plasenta lahir,darah dapat membeku didalam uterus dan
tidak keluar sehingga fundus naik pada palpasi abdomen dan jika kontraksi
dirangsang, uterus berkontraksi dan bekuan darah terdorong
keluar.Perdarahan cenderung intermitten,karena uterus berkontraksi secara
periodik.Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi
serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume
total tanpa mengalami gejala-gejala klinik; gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul
syok. Berikut ini tabel kalkulasi jumlah darah pada ibu hamil (Anderson JM,2007;
{Tinggi Badan (inci) x 50} + {Berat Badan (pon) x 25} = Jumlah Darah ml
2
9
Diagnosis perdarahan post partum dipermudah apabila pada tiap-tiap
persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam
kala III dan satu jam sesudahnya. Gambaran perdarahan postpartum yang
dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi dan tekanan darah mengalami
perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak.
(MaughanKL,2006; Leduc et al, 2009)
2010)
10
Kadang-kadang perdarahan dapat disebabkan oleh atoni uteri dan
trauma, terutama setelah melahirkan operasi besar. Jika mudah diakses,
seperti dengan analgesia konduksi, pemeriksaan porsio dan vagina harus
dilakukan setiap persalinan untuk mengidentifikasi perdarahan dari laserasi.
Palpasi dari uterus dan pemeriksaan porsio serta vagina secara keseluruhan
sangatlah penting setelah versi podalic internal dan ekstraksi sungsang. Hal
yang sama berlaku ketika perdarahan yang tidak biasa diidentifikasi selama
kala II persalinan. (Cunningham FG, 2010)
11
BAB III
PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER
A. Pencegahan
Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500
800 ml/mnt. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah melahirkan
plasenta maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 ml/mnt dari
bekas tempat implantasi plasenta. Sehingga seorang ibu dapat meninggal
karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari 1 jam. (APN,
Mukherjee S, 2009)
12
2. Peregangan tali pusat terkendali.
Setelah meletakkan klem tali pusat dengan jarak 5-10 cm dari vulva,
pada saat terjadi kontraksi lakukan peregangan tali pusat dengan satu
tangan dan tangan lain di dinding abdomen menekan korpus uteri ke
arah dorso-kranial hingga plasenta terlepas dari tempat implantasinya.
(APN, 2009; Anderson, 2007)
2002)
13
Tabel 4. Faktor Predisposisi dan Kausa Perdarahan Pascapartum
Primer(Cunningham FG, 2010)
Gangguan Koagulasi
Memperparah semua yang di atas
14
Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan
pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam
500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan
robekan jalan lahir.
Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan.
Cari penyebab perdarahan dan lakukan penanganan spesifik.
JM, 2007)
15
B. Penatalaksanaan
1. Tonus
Atonia uteri merupakan penyebab paling umum dari perdarahan
post partum karena berhubungan dengan hemostasis setelah plasenta
lepas dari tempat implantasinya tergantung pada kontraksi dari
miometrium. Tatalaksana awal dari atonia dapat dengan kompresi uterus
bimanual dan masase uterus, diikuti dengan pemberian obat-obat yang
menimbulkan kontraksi uterus. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)
a. Masase Uterus
Aliran darah yang cepat setelah melahirkan plasenta harus
diwaspadai oleh dokter untuk melakukan kompresi bimanual uterus.
Jika uterus teraba lunak, masase dilakukan dengan menempatkan
satu tangan di dalam vagina dan mendorong bagian uterus anterior
sementara tangan sisi lainnya menekan fundus uteri dari atas melalui
dinding abdomen. Bagian posterior uterus di masase oleh tangan
yang berada di abdomen dan bagian anterior uterus di masase oleh
tangan yang berada di dalam vagina. Keterangan jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 1. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)
b. Uterotonika
Beberapa obat yang tersedia untuk mengatasi atonia uteri
adalah oksitosin, metilergonovin maleat, carboprost dan misoprostol.
16
Oksitosin merupakan hormon sintesis yang identik dengan hormon
yang diproduksi oleh lobus posterior kelenjar pituitari. Obat ini
merupakan agen lini pertama, menyebabkan kontraksi uterus
dengan efeknya yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia
kehamilan oleh karena berkembangnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah oksitosin meningkatkan tonus dan frekuensi kontraksi
yang berirama dari segmen atas miometrium, sehingga terjadi
konstriksi arteri spiralis dan menurunkan aliran darah yang melalui
uterus.Dalam dosis besar dapat menyebabkan tetani. Oksitosin
merupakan pengobatan lini pertama untuk mengatasi perdarahan
post partum. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007; Schuurmans N, 2000)
Metilergonovin maleat merupakan agen uterotonika lini kedua.
Turunan alkaloid ergot yang menyebabkan kontraksi tetani uterus
dalam waktu 5 menit setelah pemberian intra muskuler. Obat ini
diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,25 mg yang dapat
diulang setiap 5 menit hingga dosis maksimum 1,25 mg. Preparat ini
menyebabkan vasospasme perifer dan dapat mengeksaserbasi
hipertensi. Ia dapat menyebabkan mual, muntah dan sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan hipertensi.(Cunningham FG, 2010; Schuurmans
N, 2000)
17
Vasopresin menyebabkan vasospasme, menurunkan aliran
darah pada daerah dekat tempat injeksi sehingga memungkinkan
terjadinya koagulasi. Duapuluh unit (1 ml) vasopressin diencerkan
dengan 100 ml NaCl sehingga menjadi larutan 0,2U/ml, larutan ini
diinfiltrasikan sebanyak 1 ml pada subendometrium pada tempat
perdarahan. Pastikan bahwa jarum tidak berada dalam pembuluh
darah karena injeksi vasopressin intravaskular dapat menyebabkan
hipertensi arterial akut, bradikardia atau kematian. Infiltrasi lokal
vasopressin pada implantasi plasenta dapat diindikasikan pada
kasus dengan perdahan hebat selama seksio sesarea. (Schuurmans N,
2000)
Misoprostol
dapatmenjadisangatbermanfaatdalampenatalaksanaanperdarahanpo
st partum. Sebuahpenelitianmenunjukkanbahwapemberian
misoprostol dengandosis 1000 mcg per rectal
efektifdalammenimbulkankontraksi uterus pada 14 kasus yang
refrakterterhadapoksitosin, ergonovinataukeduanya.(Maughan KL,
18
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor
resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat
disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion
atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur
uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir
(Cunningham FG, 2010)
19
bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari
inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen
anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid,
magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain
yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan
faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum
(Cunningham FG, 2011)
20
Dengan transfusi serta kompresi uterus secara manual dan
oksitosin intravena secara simultan, tindakan lain jarang diperlukan. Bila
masih terjadi atonia, mungkin mengharuskan dilakukannya histerektomi
sebagai tindakan penyelamatan nyawa. Cara lain, ligasi arteri uterina,
ligasi arteri iliaka interna, atau embolisasi angiografik. (Poggi SH, 2007;
2. Trauma
a. Inversio Uteri.
Inversi total uterus setelah janin lahir hampir selalu disebabkan
oleh tarikan kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang
tertanam di fundus. Plasenta akreta mungkin berperan, walaupun
inversio uteri dapat terjadi meski plasenta tidak terlalu lekat. Diagnosis
ditegakkan dengan terabanya cekungan mirip kawah melalui abdomen
dan pada palpasi melalui vagina teraba dinding fundus di segmen
bawah dan serviks. Sejumlah langkah perlu dilakukan segera dan
secara simultan : (Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007; Poggi SH, 2007)
1. Asisten, termasuk anestesiologi segera dipanggil.
2. Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah
terlepas mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara
mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari tangan
mengarah ke sumbu panjang vagina.
3. Sebaiknya dipasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi
larutan Ringer laktat dan darah untuk mengatasi hipovolemia.
4. Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem
infus terpasang, cairan dialirkan, dan anestesi sebaiknya halotan
atau enfluran telah diberikan. Obat tokolitik misalnya terbutalin,
ritodrin, atau magnesium sulfat dilaporkan berhasil digunakan
untuk relaksasi uterus dan reposisi.
5. Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian
tengah fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-
21
tepi serviks. Kemudian dilakukan tekanan dengan tangan
sehingga fundus terdorong ke atas melalui serviks.
6. Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat
yang digunakan untuk relaksasi dihentikan dan secara bersamaan
pasien diberi oksitosin agar uterus berkontraksi sementara
operator mempertahankan fundus dalam posisi normal.
Setelah uterus berkontraksi dengan baik, operator harus terus
memantau uterus melalui vagina untuk mencari tanda-tanda inversio
lebih lanjut.Apabila uterus tidak dapat direposisi dengan manipulasi
vagina karena adanya cincin konstriksi yang tebal, wajib dilakukan
laparatomi. (Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)
b. Laserasi Perineum.
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai
oleh cedera bagian bawah vagina dengan derajat bervariasi. Robekan
semacam ini dapat cukup dalam untuk mencapai sfingter anus dan
dapat meluas menembus dinding vagina dengan kedalaman
bervariasi. Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian dari setiap
operasi untuk memulihkan laserasi perineum. Apabila otot dan fasia
vagina dan perineum di bawahnya tidak dijahit, pintu keluar vagina
dapat mengendur dan memudahkan terbentuknya rektokel dan
sistokel.(Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)Laserasi dan hematoma yang
diakibatkan trauma jalan lahir dapat menyebabkan kehilangan darah
yang signifikan, hal ini dapat diatasi dengan mengatasi hemostasis
secara cepat dan akurat. Jahitan dilakukan dengan tujuan untuk
menghentikan perdarahan. Episiotomi dapat menimbulkan kehilangan
darah yang signifikan dan meningkatkan risiko ruptur pada sfingter
ani. Prosedur rutin episiotomi harus dihindari kecuali pada persalinan
yang membutuhkan waktu singkat untuk melahirkan bayi (fetal
distress, after coming head) dan perineum yang kaku. (Anderson JM, 2007)
c. Laserasi Vagina.
22
Laserasi terbatas yang mengenai sepertiga tengah atau atas
vagina tetapi tidak berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks.
Laserasi ini biasanya longitudinal dan sering terjadi akibat cedera
yang melibatkan tindakan forseps atau vakum, tetapi dapat juga terjadi
pada pelahiran spontan. Laserasi ini sering meluas dalam menuju
jaringan di bawahnya dan dapat menimbulkan perdarahan bermakna
yang biasanya dapat diatasi dengan penjahitan yang tepat. Laserasi
ini mungkin terlewatkan kecuali apabila dilakukan inspeksi yang
cermat terhadap vagina bagian atas. Laserasi dinding anterior vagina
yang terletak dekat uretra sering terjadi. Apabila laserasinya cukup
besar sehingga diperlukan perbaikan, dapat terjadi kesulitan berkemih
sehingga perlu dipasang kateter terfiksasi. (Cunningham FG, 2010)
23
dipertimbangkan laparotomi. Pada cedera separah ini, eksplorasi
intrauterin untuk mencari kemungkinan ruptur juga harus dilakukan.
Biasanya diperlukan perbaikan secara bedah, serta anestesi yang
efektif, transfusi darah dalam jumlah besar, dan asisten yang cakap.
(Cunningham FG, 2010)
f. Hematom Puerperium.
Insidensi hematom puerperium diketahui berkisar dari 1 per 300
sampai 1 per 1000 pelahiran. Nuliparitas, episiotomi, dan pelahiran
dengan forseps merupakan faktor risiko yang paling sering terkait.
Namun, pada banyak kasus lain, hematom terjadi setelah cedera
pembuluh tanpa laserasi jaringan superfisial. Hal ini dapat terjadi pada
pelahiran spontan atau dengan tindakan. Kadang-kadang hematom
terbentuk belakangan. Hematom masa nifas ini dapat diklasifikasikan
sebagai hematom vulva, vulvovagina, paravagina, atau
retroperitoneal. Hematom vulva paling sering melibatkan cabang-
cabang arteri pudenda, termasuk arteri labialis posterior, perineneum
lateralis, atau rektalis posterior. (Cunningham FG, 2010) Hematom
subperitoneum dan supravagina lebih sulit diterapi. Hematom jenis ini
dapat dievakuasi dengan insisi perineum, tetapi apabila terjadi
hemostasis komplit, yang sulit dicapai dengan insisi, disarankan
tindakan laparotomi. (Cunningham FG, 2010)
24
Embolisasi angiografik. Teknik ini populer untuk mengatasi
hematoma puerperium yang parah. Teknik ini dapat digunakan secara
primer, atau biasanya apabila hemostasis dengan metode bedah
gagal. Alvarez dan rekan (1992) serta Hsu dan Wan (1998) telah
mengulas berbagai indikasi untuk embolisasi angiografik dan
melaporkan kasus-kasus yang menerapkan teknik ini. (Cunningham FG, 2010)
g. Ruptur Uteri.
Insidensi ruptur uteri mungkin cukup bervariasi antar institusi.
Walaupun frekuensi ruptur uteri dari semua kausa mungkin tidak
banyak menurun selama beberapa dekade terakhir, namun etiologi
ruptur telah cukup banyak berubah dan hasil akhirnya sudah jauh
lebih baik. Kausa tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan
parut dari seksio sesarea sebelumnya. Hal ini meningkat karena
timbulnya kecenderungan untuk melakukan partus percobaan pada
kehamilan dengan riwayat seksio sesarea. Faktor predisposisi ruptur
uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat manipulasi atau operasi
traumatik misalnya kuretase, perforasi, atau miomektomi.Pada
pemeriksaan dalam (vaginal touche), kadang-kadang kita dapat
meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati oleh jari untuk
mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan bukan
berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri. (Cunningham FG, 2010)
3. Tissue(Jaringan)
Sebagian perdarahan selama kala tiga akibat terpisahnya
sebagian plasenta secara transien tidak dapat dihindari. Sewaktu
plasenta terlepas, darah dari tempat implantasi mungkin langsung keluar
melalui vagina (mekanisme Duncan) atau tertutup di balik plasenta dan
membran (mekanisme Schultze) sampai plasenta lahir. Potongan
plasenta atau bekuan darah besar yang melekat akan menghambat
kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif sehingga hemostasis di
tempat implantasi terganggu. (Cunningham FG, 2010)
25
a. Plasenta Akreta, inkreta, dan perkreta.
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu ini tidak
selalu jelas, tetapi cukup sering yang disebabkan oleh kontraksi
uterus yang tidak adekuat. Walaupun sangat jarang, plasenta dapat
melekat erat ke tempat implantasi. Apabila plasenta tertanam kuat
dengan cara ini maka kondisinya disebut plasenta akreta.Istilah
plasenta akreta digunakan untuk menjelaskan semua implantasi
plasenta yang perlekatannya ke dinding uterus terlalu kuat. Vilus
plasenta yang melekat ke miometrium (plasenta akreta), menginvasi
miometrium (plasenta inkreta), atau menembus miometrium
(plasenta perkreta). Perlekatan abnormal ini mungkin melibatkan
seluruh kotiledon (plasenta akreta totalis), sedikit sampai beberapa
kotiledon (plasenta akreta parsialis), atau sebuah kotiledon (plasenta
akreta fokal). Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh
perdarahan berat, perforasi uterus, dan infeksi. Insidensi plasenta
akreta, inkreta, dan perkreta telah meningkat karena meningkatnya
angka seksio sesarea. Dahulu, bentuk tersering penatalaksanaan
"konservatif" adalah pengeluaran secara manual sebanyak mungkin
plasenta dan menampon uterus. Dalam ulasan oleh Fox (1972), 25%
wanita yang ditangani secara konservatif meninggal. Dengan
demikian, terapi paling aman bagi kasus seperti ini adalah
histerektomi segera.(Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)
4. Trombin
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dapat terjadi bila
syok telah menyebabkan hipoperfusi jaringan yang bermakna dan
melepaskan tromboplastin jaringan. DIC akut harus dicurigai bila tes
koagulasi tetap abnormal walaupun transfusi FFP telah diberikan. Pada
kasus seperti ini, hasil tes laboratorium menunjukkan kadar D dimmer
yang meningkat dan menurunnya kadar fibrinogen dengan thrombin time
yang memanjang. Manajemen DIC berupa penggantian dan
26
mempertahankan sirkulasi volume bersamaan dengan penggantian
produk darah.(Cunningham FG, 2010; Bonnar J, 2000)
Kriopresipitat bersamaan dengan FFP dapat berguna bila terdapat
penurunan kadar fibrinogen. Kriopresipitat mengandung fibrinogen
dengan konsentrasi yang lebih besar dan juga faktor-faktor pembekuan
lainnya (VIII, XIII, faktor von Wilebrand) dan lebih cepat persiapannya di
bank darah. Biasanya kriopresipitat ini diberikan dengan dosis 6-12 U
dan dapat bermanfaat segera sebelum intervensi bedah pada pasien-
pasien dengan dengan hasil tes koagulasi yang abnormal. Penggunaan
heparin dan terapi antifibrinolisis tidak dianjurkan pada wanita dengan
DIC yang disebabkan oleh masalah obstetri.Kriopresipitat dapat
diperlukan bila terdapat DIC dan kadar fibrinogen jatuh hingga kurang
dari 1 g/dl (10 g/L).(Cunningham FG, 2010; Smith JR, 2009; Bonnar J, 2000)
Bioassay adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi atau
mencurigai secara klinis adanya koagulopati yang bermakna.
Perdarahan berlebihan di tempat trauma ringan merupakan tanda
gangguan hemostasis. Perdarahan persisten dari tempat pungsi vena,
luka sayat akibat irisan pada perineum atau abdomen, atau trauma
akibat insersi kateter, dan perdarahan spontan dari gusi atau hidung
adalah tanda-tanda kemungkinan adanya defek pembekuan darah.
Adanya purpura di lokasi penekanan mungkin mengisyaratkan darah
yang tidak dapat membeku, atau yang lebih sering, trombositopenia
yang secara klinis bermakna.(Cunningham FG, 2010)
27
Gambar 2: Algoritma perdarahan postpartum primer(Anderson JM, 2007)
C. Manajemen Pembedahan
Manajemen pembedahan pada kasus perdarahan postpartum berat
meliputi laparatomi dengan ligasi arteri uterina atau arteri iliaka interna dan
bahkan histerektomidisesuaikan dengan situasi yang ada, pengalaman ahli
obstetri dan fasilitas serta tenaga yang tersedia. Hal yang paling penting
adalah bahwa penanganan harus segera dilakukan dan monitor serta
penggantian darah dan faktor-faktor koagulasi harus terus dilakukan.
(Schuurmans N, 2000; Bonnar J, 2000)
28
a. Ligasi arteri uterina
Ligasi ateri uterina dilakukan sebagai langkah pertama
penanganan sebagian besar kasus HPP berat karena langkah ini simpel
dan dapat dilakukan dengan cepat. Keuntungannya dibandingkan
dengan ligasi arteri iliaka interna adalah lebih mudah, komplikasi lebih
sedikit, oklusi suplai arteri lebih distal dengan potensi lebih kecil
terjadinya perdarahan ulang akibat kolateral dan tingginya tingkat
keberhasilan ligasi arteri uterina untuk mengontrol perdarahan. Prosedur
ini memiliki angka keberhasilan 80-90%.(Schuurmans N, 2000)
Cara melakukan ligasi arteri uterina adalah : raba dan rasakan
denyut arteri uterina pada perbatasan serviks dan segmen bawah uterus.
Pada pasien yang menjalani seksio sesarea, penjahitan dilakukan pada
2-3 cm dibawah segmen bawah uterus. Gunakan jarum besar atraumatik
dengan benang dapat diserap (absorbable) no. 0 atau no. 1 dan buat
jahitan 2-3 cm medial pembuluh darah meliputi seluruh ketebalan
miometrium lakukan ikatan dengan simpul kunci. Dapat dilakukan jahitan
kedua 3-5 cm dibawah jahitan pertama jika jahitan pertama tersebut tidak
efektif. Tempatkan jahitan sedekat mungkin dengan uterus, karena ureter
biasanya hanya 1 cm lateral terhadap arteri uterina. Lakukan hal yang
sama pada sisi konta lateral. Jika perdarahan masih terus berlangsung,
lakukan ligasi pembuluh darah ovarika unilateral atau bilateral, yaitu
dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah
pangkal ligamentum suspensorium ovarii.(Schuurmans N, 2000; Anderson JM, 2007;
29
b. Ligasi arteri iliaka interna
Ligasi arteri iliaka interna menawarkan intervensi lebih proksimal
yang seharusnya memberi efek yang berarti pada aliran darah uterus.
Namun, cara ini memiliki resiko trauma pada vena iliaka yang dapat
menimbulkan perdarahan hebat.Cara ini dilakukan dengan
mengidentifikasi bifukarsio arteri iliaka komunis, dimana ureter
menyilang. Ureter ditarik ke arah medial dan arteri diligasi 2,5 cm distal
dari bifukarsio dari a.iliaka eksterna dan interna. Klem bersudut
diletakkan di belakang arteri dan 2 ikatan dilakukan dengan jarak 1.5
hingga 2 cm. Pulsasi arteri iliaka eksterna dan femoral harus
diidentifikasi sebelum dan sesudah pengikatan. Keberhasilan dari cara
ini berkisar dari 42 hingga 100%.(Schuurmans N, 2000)
c. B- Lynch suture
Tekhnik ini digunakan sebagai alternatif histerektomi atau ligasi
pada perdarahan post partum. Jahitan dilakukan dengan menggunakan
benang yang dapat diserap. Jahitan dimulai pada segmen bawah uterus,
melingkari fundus kemudian dijahitkan ke segmen bawah uterus bagian
belakang ke sisi lain dan kembali melingkari fundus kembali ke SBU
depan dan kemudian diikat.(Cunningham FG, 2010)
30
d. Histerektomiperipartum
Histerektomi emergensi merupakan modalitas penatalaksanaan
yang paling sering dilakukan bila perdarahan postpartum yang hebat
memerlukan intervensi bedah. Insidens histerektomi peripartum yang
dilaporkan di kepustakaan berkisar antara 7-13% per 10.000 kelahiran
dan lebih sering dilakukan setelah seksio sesarea bila dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. (Schuurmans N, 2000)
Histerektomi subtotal dikatakan dapat mengurangi waktu operasi
dan hilangnya darah. Meninggalkan serviks merupakan pilihan yang
beralasan bila perdarahan dapat dikontrol, misalnya pada kasus atonia
uteri. Namun apabila tempat perdarahan berada di segmen bawah
uterus atau di serviks, seperti yang terjadi pada plasenta previa atau
dengan implantasi plasenta yang abnormal, perdarahan tidak akan dapat
diatasi oleh karena perdarahan ini disuplai oleh arteri uterine cabang
servikal.Keuntungan dari histerektomi emergensi dalam situasi
perdarahan masif adalah kemampuan untuk menghilangkan sumber
perdarahan. Sedangkan kerugiannya adalah hilangnya uterus pada
wanita yang masih ingin hamil. Histerektomi dihubungkan dengan
perdarahan yang lebih banyak dan waktu operasi yang lebih lama.
(Schuurmans N, 2000)
31
e. Abdominal Packing
Digunakan untuk perdarahan yang berlanjut dari permukaan
peritoneal bila histerektomi telah dilakukan, terjadi koagulasi konsumtif
dan terdapat perluasan perdarahan yang terus berlanjut. Rongga pelvis
diisi dengan dengan packing laparatomi yang besar yang kemudian di
ambil kembali setelah 24 jam setelah koreksi koagulopati.(Schuurmans N, 2000).
32
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perdarahan postpartum masih merupakan salah satu penyebab utama
mortalitas dan morbiditas ibu. Dan atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak.
2. ANC pada setiap wanita hamil bertujuan untuk mencari faktor resiko,
predisposisi dan usaha pencegahan untuk terjadinya perdarahan post
partum.
3. Konseling gizi pada saat hamil dan sebelum hamil sangat penting dalam
pencegahan perdarahan post partum primer.
4. Manajemen aktif kala III masih merupakanstandar dalam pencegahan
terjadinya perdarahan post partum.
5. Oksitosin merupakan agen uterotonika lini pertama, disusul metil
ergometrin dan misoprostol.
6. Histerektomi merupakan terapi definiif perdarahan post partum yang
berat. Pada wanita yang masih menginginkan kehamilan berikutnya
maka terapi yang dianjurkan dapat berupa : uterine packing, prosedur B-
Lynch, ligasi arteri dan embolisasi arteri uterina.
B. Saran
1. Setiap perdarahan postpartum primer perlu dilakukan diagnosis
menyeluruh sehingga terapi yang diberikan sesuai dengan
penyebabnya.
2. Sebaiknya setiap persalinan baik pervaginam maupun perabdominam
harus ditangani sebaik dan sesuai dengan protap asuhan persalinan
yang ada.
33
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas.In : Williams Obstetrics. 23nd edition.McGraw-Hill.
New York : 2010.
34
Leduc et al; Active management of the Third stage of labour in : Prevention and
treatment of Postpartum hemorrhage.JOGC no 235, 2009.
Martel MJ, Mac Kinnon CJ, Arsenault MY, et al. Hemorrhagic shock. SOGC
clinical practice guidelines, 2002: 1-8.
Prawirohardjo S. PerdarahanPacaPersalinan.Dalam
:BukuAcuanNasionalPelayananKesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
YBP-SP. 2002.
35