Referat HPP

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 35

Referat

PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN


PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER

Oleh :

dr. Rizka Arsil


PESERTA PPDS OBGYN

Pembimbing :

dr. H. Roni Jaya Putra, SpOG

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)


Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUD Achmad Darwis Suliki
2016

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II PERDARAHAN POST PARTUM ........................................................ 2


A. Definisi ..................................................................................................... 2
B. Klasifikasi ................................................................................................ 2
C. Patofisiologi ............................................................................................. 3
D. Etiologi dan Faktor Resiko ...................................................................... 4
E. Diagnosis ................................................................................................. 6

BAB III PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER ......................................... 9


A. Pencegahan ............................................................................................ 9
B. Penatalaksanaan ................................................................................... 13
C. Manajemen Pembedahan ..................................................................... 25

BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 31

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kompresi Bimanual Interna ....................................................... 13


Gambar 2. Algoritma Perdarahan Postpartum Primer ................................. 25
Gambar 3. Ligasi arteri uterina .................................................................... 26
Gambar 4. Prosedur B-Lynch ...................................................................... 27

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan hebat adalah penyebab yang paling utama dari kematian


ibu di seluruh dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari
seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. (Shane B, 2001) Diperkirakan
ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling
sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian
besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan.
(Sheris J, 2002) Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan
disebabkan oleh perdarahan post partum.(Cunningham FG, 2010)Angka kematian
ibu di Indonesia diperkirakan adalah 334 per 100.000 kelahiran hidup, dan
43% diantaranya disebabkan oleh perdarahan post partum.(Shane B, 2001;

Wiknjosastro H, 2002)

Perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 2 yaitu primary


postpartum hemorrhage dan secondary postpartum hemorrhage.(Cunningham
FG, 2010; Maughan KL, 2006)Perdarahan post partum primer terjadi pada 4-6% dari
kehamilan dan atonia uteri sebagai penyebab terbanyak sebesar
80%.Selain itu dapat pula disebabkan oleh tertinggalnya jaringan didalam
kavum uteri, robekan jalan lahir dan gangguan koagulasi. (ACOG, 2006)Menurut
The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO),
manajemen aktif kala III dapat mengurangi resiko perdarahan post
partum.(Mukherjee S, 2009; Schuurmans N, 2000)
Perdarahan post partum yang hebat merupakan suatu keadaan
gawat darurat yang membahayakan jiwa. Keadaan ini dapat menyebabkan
syok irreversibel dan kematian dalam waktu singkat.(Cunningham FG, 2010)

Keterlambatan dalam indentifikasi dan intervensi penanganan akan


meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kunci untuk meminimalkan
komplikasi perdarahan post partum (HPP) adalah pencegahan, pengenalan
dini dan intervensi yang tepat.(Schuurmans N,

2000)Diharapkandenganbahasaniniakandiperolehpemahamantentangpenceg

ahan dan penatalaksanaanperdarahan post partum primer.

4
BAB II
PERDARAHAN POST PARTUM

A. Definisi
Perdarahan post partumadalah perdarahan pervaginam > 500 ml
atau lebih yang terjadi setelah kala III persalinan. Definisiyang banyak
digunakansaat iniberdasarkan OrganisasiKesehatan Dunia(WHO) tahun
1990. Karena dapat sebagai alarm untuk mengingatkan dokter bahwa
mungkin terdapat ancaman perdarahan yang berbahaya (Callahan TL, 2004;

CokerA,OliverR, 2006;PoggiSH, 2007;CunninghamFG, 2010)

Berdasarkan fakta dan penelitian terakhir, hampir separuh wanita


yang melahirkan pervaginam mengeluarkan darah 500 ml bahkan lebih. Hal
ini juga dibandingkan dengan tindakan operatif lain yaitu ternyata hampir
40% terjadi pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400 ml pada
histerektomi. Tetapi, mereka juga mengamati bahwa jumlah darah yang
diperkirakan keluar sering hanya separuh jumlah sebenarnya. (Gabbe, 2002;

Cunningham FG, 2010; Leduc, 2009)

1. Berdasarkan WHO (1990), perdarahan postpartum adalah hilangnya


500 ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai.
2. Berdasarkan International Statistical Classification of Desease and
Related Health Problem, perdarahan postpartum adalah kehilangan
darah 500 cc atau lebih pada persalinan normal dan 750 cc atau lebih
bila persalinan dengan seksio sesarea.
3. Berdasarkan ACOG, perdarahan postpartum adalah bila terjadi
perubahan hematokrit lebih dari 10 % dari hemat okrit dibandingkan
sebelum partus dengan setelah partus.

B. Klasifikasi
1. Perdarahan post partum primer
Perdarahan yang terjadi 24 jam pertama setelah melahirkan.
Penyebabnya 80% kasus disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta,
yang mencegah retraksi dari tempat implantasi plasenta. Pada 20%

5
kasus disebabkan oleh laserasi traktus genital, abruptio plasenta.
Perdarahan post partum primer lebih mungkin terjadi setelah persalinan
lama, distensi uterus yang berlebihan (kehamilan multiple atau
polihidramnion). (Groom, 2006; Maughan KL,2006; Leduc,2009)
2. Perdarahan post partum sekunder
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam anak lahir sampai 6
minggu setelah melahirkan. Biasanya pada hari ke 8-14 post partum.
Perdarahan postpartum sekunder jarang menimbulkan kematian namun
menimbulkan komplikasi yang mempengaruhi kesehatan ibu. Penyebab
yang seringdariperdarahanpostpartumsekunderinidapatberupa sisa
produkkonsepsi, infeksi dan subinvolusitempattertanamnyaplasenta.
Perdarahan post partum sekunder terjadi pada 1-3% dari semua
kelahiran. (Marcovici,2005; Leduc,2009)

C. Patofisiologi
Pada keadaan normal proses pelepasan plasenta tidak menimbulkan
masalah karena adanya lapisan nistabuch yang mencegah invasi trofoblas
lebih jauh kedalam miometrium pada saat awal pembentukan plasenta.
Normalnya proses invasi trofoblas ini mencakup seluruh arteri spiralis dan
maksimal mencapai arteri basalis pada perbatasan antara endometrium dan
miometrium. Proses invasi trofoblas menggantikan lapisan muskularis dari
arteri spiralis dan arteri basalis sehingga arteri menjadi lebih lebar dan tidak
bisa menciut akibat telah hilangnya lapisan muskularis sehingga tidak lagi
terpengaruhi oleh perubahan rangsangan saraf simpatis. Hal ini penting
sebagai mekanisme untuk memberikan jaminan aliran darah yang cukup
bagi janin.(Cunningham FG, 2010)
Sebagai konsekuensi terhadap peristiwa ini maka proses retraksi dan
vasospasme dari arteri spiralis ketika plasenta lepas pada saat kala tiga tidak
lagi berperan sehingga proses kontraksi miometrium mempunyai peranan
yang sangat vital untuk menghentikan perdarahan pada tempat implantasi
plasenta. (Cunningham FG, 2010)

6
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600ml/mnt darah
mengalir melalui ruang antarvilus. Dengan terlepasnya plasenta, arteri-arteri
dan vena-vena uterine yang mengangkut darah dari dan ke plasenta terputus
secara tiba-tiba.(Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)
Di tempat implantasi plasenta, yang paling penting untuk hemostasis
adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk menekan pembuluh dan
menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah besar yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif
sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu. Perdarahan
postpartum yang fatal dapat terjadi akibat uterus hipotonik walaupun
mekanisme koalugasi ibu cukup normal. Sebaliknya bila miometrium di dekat
implantasi atau di dekatnya berkontraksi dan berretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi pendarahan fatal dari tempat implantasi plasenta
walaupun mekanisme pembekuan darah sangat terganggu. (Cunningham FG, 2010)

D.Etiologi dan Faktor Resiko


Perdarahan postpartum primer dianggap sebagai kelainan atau
gangguan dari satu atau lebih empat proses dasar(empatT) yaitu : tonus,
jaringan (tissue), trauma danthrombin. Perdarahanterjadikarena rahimtidak
dapatberkontraksicukup baikuntuk menghentikan pendarahandi tempat
implantasi plasenta. Tertahannya produkkonsepsiatau darah, dan
traumajalan lahir dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak,
terutama jika tidaksegeradiidentifikasi.Kelainankoagulasidapat menyebabkan
kehilangandarah yang berlebihan dan dapat memperberat kelainan proses
sebelumnya. (Anderson JM, 2007; Schuurmans N,2000)
Table 1. Empat Poin (4T) Penyebab Perdarahan
Postpartum(Anderson JM, 2007)
Empat Poin Penyebab Insiden
Tonus Atonia uteri 70%
Laserasi
Hematom
Trauma 20%
Inversio uteri
Ruptur uteri
Retensio plasenta
Tissue (Jaringan) 10%
Invasif plasenta
Trombin Koagulopati 1%

7
Perdarahan post partum primer seringkalidapatdikeloladengan
perawatanobstetrikdasar, tetapi terlambatnya tatalaksana dapat
mengakibatkankomplikasi lebih lanjut. (Lalonde AB, 2006)

Tabel 2. Faktor resiko perdarahan postpartum(schuurmans N, 2000)

Etiologi Faktor Resiko


Polihidramnion
Overdistensi Uterus Kehamilan ganda
Makrosomia
Persalinan yang cepat.
Kontraksi Uterus Kelelahan Otot Uterus Persalinan lama.
Abnormal Paritas tinggi
(Tone) Demam.
Infeksi intra amnion
Ketuban pecah lama
Uterus fibroid
Kelainan Fungsional atau
Plasenta previa
Anatomi Uterus
Anomali uterus
Plasenta lahir tidak
lengkap.
Sisa konsepsi
Scar uterus akibat operasi
Plasenta yang abnormal
Sisa Konsepsi sebelumnya.
Sisa kotiledon/lobus
(Tissue) Paritas tinggi
suksenturiata
Abnormal plasenta saat
USG
Sisa bekuan darah Atonia uteri
Persalinan presipitatus.
Laserasi Serviks, vagina atau
Persalinan pervaginam
perineum.
operatif.
Trauma Perpanjangan laserasi saat Malposisi
Genitalia SC Deep engagement
(Trauma)
Ruptura uteri Operasi uterus sebelumnya
Paritas tinggi
Inversio uteri
Fundal plasenta
Kelainan yang telah ada
Riwayat koagulopati
sebelumnya seperti :
herediter.
Hemofilia A
Riwayat gangguan hepar.
Penyakit von willebrand
Didapat saat kehamilan:
Memar
ITP
Gangguan Peningkatan tekanan
Trombositopeni pd PEB
Koagulasi darah
DIC
(Trombin) IUFD
Preeklmpsia
Demam, peningkatan
IUFD
lekosit
Infeksi berat
HAP
Solusio plasenta
Kolaps
Emboli cairan ketuban
Terapi antikoagulan Riwayat bekuan darah

8
D. Diagnosis
Diagnosis biasanya jelas, terjadi kehilangan darah yang banyak
sebelum plasenta lahir (perdarahan kala III) atau pengeluaran
plasenta.Setelah plasenta lahir,darah dapat membeku didalam uterus dan
tidak keluar sehingga fundus naik pada palpasi abdomen dan jika kontraksi
dirangsang, uterus berkontraksi dan bekuan darah terdorong
keluar.Perdarahan cenderung intermitten,karena uterus berkontraksi secara
periodik.Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari
penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi
serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume
total tanpa mengalami gejala-gejala klinik; gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul
syok. Berikut ini tabel kalkulasi jumlah darah pada ibu hamil (Anderson JM,2007;

Cunningham FG, 2010)

Tabel 3. Kalkulasi Jumlah Darah pada Ibu Hamil(dimodifikasi oleh Leveno


dan Colleagues)(Cunningham FG, 2010)

Volume darah ibu yang tidak hamil

{Tinggi Badan (inci) x 50} + {Berat Badan (pon) x 25} = Jumlah Darah ml
2

Volume darah ibu hamil

Bervariasi sekitar 30%-60% yang dihitung dari volume saattidak hamil.


Meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilandan menetap pada
usia kehamilan 34 minggu.
Biasanya lebih besardengan range kadar hematokrit < normal (30)dan
lebih kecil dengan range kadar hematokrit > normal (38).
Peningkatan rata-ratasekitar 40%-80% pada kehamilan multifetus.
Peningkatan rata-ratakurangpada preeklampsia variasi volume
berbanding terbalikdengan keparahan.

Volume darah postpartum dengan perdarahan

Terjadi perubahan yang cepat akibat kembalinya hemodinamik seperti


sebelum hamil dengan resusitasi cairan karena
hipervolemiakehamilantidak akan tercapailagi.

9
Diagnosis perdarahan post partum dipermudah apabila pada tiap-tiap
persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam
kala III dan satu jam sesudahnya. Gambaran perdarahan postpartum yang
dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi dan tekanan darah mengalami
perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak.
(MaughanKL,2006; Leduc et al, 2009)

Wanita normotensif mungkin sebenarnya mengalami hipertensi


sebagai respons terhadap perdarahan, paling tidak pada awalnya. Selain itu,
wanita yang sudah mengalami hipertensi mungkin dianggap normotensif
walaupun sebenarnya mengalami hipovolemia berat. Yang membahayakan,
hipovolemia ini mungkin belum diketahui sampai tahap sangat lanjut. Di
samping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.
Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindroma Sheehan sebagai
akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi
bagian tersebut. Gejala-gejalanya ialah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya
berat badan sampai menimbulkan kakheksia, penurunan fungsi seksual
dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi
laktasi.(Demers,2005; Maughan KL, 2006; Cunningham FG, 2010)
Diagnosis dari perdarahan post partum harus jelas, kecuali pada
kasus denganakumulasidarah intrauterin danintravaginal tidak
ditemukan,atau dalambeberapa kasusterjadi ruptur uteri dengan
perdarahanintraperitoneal. Perbedaanantarapendarahan akibat atonia
uteridan laserasi jalan lahir ditentukan olehpredisposisifaktor risiko
dankondisirahim. Jika perdarahanberlanjutmeskipunrahim berkontraksi
dengan baik maka penyebabpendarahanyang paling mungkinadalah
darilaserasi. Darahyang berwarna merah segarjuga menunjukkandarah
berasal dari pembuluh darah arteriyang robek akibat laserasi. Untuk
mengkonfirmasi bahwalaserasi adalah penyebabperdarahan, pemeriksaan
hati-hatipada vagina, porsio, dan cavum uteri sangat penting. (Cunningham FG,

2010)

10
Kadang-kadang perdarahan dapat disebabkan oleh atoni uteri dan
trauma, terutama setelah melahirkan operasi besar. Jika mudah diakses,
seperti dengan analgesia konduksi, pemeriksaan porsio dan vagina harus
dilakukan setiap persalinan untuk mengidentifikasi perdarahan dari laserasi.
Palpasi dari uterus dan pemeriksaan porsio serta vagina secara keseluruhan
sangatlah penting setelah versi podalic internal dan ekstraksi sungsang. Hal
yang sama berlaku ketika perdarahan yang tidak biasa diidentifikasi selama
kala II persalinan. (Cunningham FG, 2010)

11
BAB III
PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER

A. Pencegahan
Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500
800 ml/mnt. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah melahirkan
plasenta maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 ml/mnt dari
bekas tempat implantasi plasenta. Sehingga seorang ibu dapat meninggal
karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu kurang dari 1 jam. (APN,

2009; Anderson, 2007)

Sebaiknya dilakukan persiapan persalinan di rumah sakit dengan


pemeriksaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila
memungkinkan siapkan donor darah dan dititipkan di bank darah. Pasien
dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat
dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk
menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan. (Alan H, 2003;

Mukherjee S, 2009)

Penatalaksanaan kala III persalinan yang cepat dan tepat merupakan


salah satu cara terbaik untuk menurunkan angka kematian ibu, dimana dapat
menurunkan angka kejadian perdarahan post partum sebesar 68%. Tujuan
manajemen aktif kala tiga adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang
lebih efektif sehingga dapat memperpendek waktu kala tiga dan mengurangi
kehilangan darah. Manajemen aktif kala III terdiri dari : (APN, 2009; Anderson, 2007)
1. Pemberian Oksitosin Profilaksis .
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian oksitosin
secara rutin pada persalinan kala IIIdapat mengurangi risiko terjadinya
perdarahan postpartum sebanyak lebih dari 40%. Kelebihan dari oksitosin
adalah onset kerjanya yang cepat dan tidak menyebabkan peningkatan
tekanan darah maupun kontraksi tetanik seperti ergometrin. Protokol
yang efektif meliputi 10 unit intramuscular (IM), 5 unit intravena (IV) yang
diberikansecara cepat atau drip 10-20 unit per liter dengan pemberian
100-150 cc per jam. (Schuurrmans, 2000; ACOG, 2006)

12
2. Peregangan tali pusat terkendali.
Setelah meletakkan klem tali pusat dengan jarak 5-10 cm dari vulva,
pada saat terjadi kontraksi lakukan peregangan tali pusat dengan satu
tangan dan tangan lain di dinding abdomen menekan korpus uteri ke
arah dorso-kranial hingga plasenta terlepas dari tempat implantasinya.
(APN, 2009; Anderson, 2007)

3. Masase fundus uteri


Setelah lahirnya plasenta, masase fundus uteri juga akan membantu
uterus untuk berkontraksi dan meminimalisasi perdarahan
selanjutnya.(APN, 2009; Anderson, 2007)
Faktor resiko perdarahan postpartum termasuk kala III persalinan
yang lama, multipara, episiotomi, makrosomia janin, riwayat perdarahan
postpartum sebelumnya. Namun, perdarahan postpartum juga dapat terjadi
pada wanita tanpa faktor resiko, sehingga dokter harus siap mengelola
kondisi ini disetiap persalinan yang akan ditolongnya. Tabel 4 dapat
membantu dalam menentukan faktor resiko dan predisposisi perdarahan
post partum primer. (Cunningham FG, 2010; Anderson, 2007)
Strategi untuk mengurangi efek dari perdarahan postpartum yaitu
mengidentifikasi dan mengoreksi anemia sebelum persalinan,
menghilangkan rutinitas episiotomi. Pemeriksaan ulang terhadap tanda-
tanda vital pasien, dan pemeriksaan genitalia sebelum meninggalkan pasien
dapat membantu mendeteksi perdarahan postpartum primer ataupun
sekunder. (Anderson JM, 2007; Mukherjee, 2009)
Cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum
adalah memimpin kala II dan kala III persalinan sesuai dengan prosedur
pelayanan asuhan persalinan normal. Apabila persalinan diawasi oleh
seorang dokter spesialis obstetrik dan ginekologi ada yang menganjurkan
untuk memberikan suntikan ergometrin secara IV setelah anak lahir, dengan
tujuan untuk mengurangi jumlah perdarahan yang terjadi. (APN, 2009; Wiknjosastro,

2002)

13
Tabel 4. Faktor Predisposisi dan Kausa Perdarahan Pascapartum
Primer(Cunningham FG, 2010)

Perdarahan dari Tempat Implantasi Plasenta


Miometrium hipotonusatonia uteri
Beberapa anestetik umumhidrokarbon berhalogen
Gangguan perfusi miometriumhipotensi
Perdarahan
Analgesi konduksi
Overdistensi uterusjanin besar, kembar, hidramnion
Setelah persalinan lama
Setelah partus prematurus
Setelah induksi oksitosin atau augmentasi persalinan
Paritas tinggi
Atonia uteri pada kehamilan sebelumnya
Korioamnionitis
Retensi jaringan plasenta
Avulsi kotiledon, lobus suksenturiata
Terlalu lekatakreta, inkreta, perkreta.

Trauma Saluran Genitalia


Episiotomi lebar, termasuk perluasan
Laserasi perineum, vagina, atau serviks
Ruptura uteri.

Gangguan Koagulasi
Memperparah semua yang di atas

Penanganan umum pada perdarahan post partum: (Wiknjosastro, 2002)

Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk).


Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
(termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan).
Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang
persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya
(di ruang rawat gabung).
Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat.
Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila
dihadapkan dengan masalah dan komplikasi.
Atasi syok.

14
Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan
pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam
500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan
robekan jalan lahir.
Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan.
Cari penyebab perdarahan dan lakukan penanganan spesifik.

Tabel 5. Rekomendasi Klinik Pencegahan Perdarahan Postpartum (Anderson

JM, 2007)

Rekomendasi Klinik Rasio Eviden

Manajemen aktif kala III menurunkan kehilangan darah


A
postpartum dan resiko dari perdarahan postpartum.

Manajemen aktif kala III tidak meningkatkan resiko retensio


A
plasenta.

Oksitosin adalah pilihan pertama untuk pencegahan


postpartum karena lebih efektif dari pada alkaloid ergot
A
atau prostaglandin dan mempunyai efek samping yang
sedikit.

Misoprostol (Cytotec) dapat digunakan sebagai pencegahan


perdarahan postpartum bila agen uterotonika yang lain tidak A
tersedia.

Misoprostol dapat digunakan untuk pengobatan perdarahan


postpartum, tetapi agen ini dihubungkan dengan efek
A
samping yang dimilikinya dibandingkan dengan agen
uterotonika oksitosin.

Episiotomi meninkatkan resiko ruptur pada sphingter ani


A
dan kehilangan darah.

15
B. Penatalaksanaan
1. Tonus
Atonia uteri merupakan penyebab paling umum dari perdarahan
post partum karena berhubungan dengan hemostasis setelah plasenta
lepas dari tempat implantasinya tergantung pada kontraksi dari
miometrium. Tatalaksana awal dari atonia dapat dengan kompresi uterus
bimanual dan masase uterus, diikuti dengan pemberian obat-obat yang
menimbulkan kontraksi uterus. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)
a. Masase Uterus
Aliran darah yang cepat setelah melahirkan plasenta harus
diwaspadai oleh dokter untuk melakukan kompresi bimanual uterus.
Jika uterus teraba lunak, masase dilakukan dengan menempatkan
satu tangan di dalam vagina dan mendorong bagian uterus anterior
sementara tangan sisi lainnya menekan fundus uteri dari atas melalui
dinding abdomen. Bagian posterior uterus di masase oleh tangan
yang berada di abdomen dan bagian anterior uterus di masase oleh
tangan yang berada di dalam vagina. Keterangan jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 1. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007)

Mengosongkan kandung kemih dapat membantu dalam


penilaian selanjutnya dan memfasilitasi kontraksi rahim dan rencana
terapi berikutnya. (Smith JR, 2010)

b. Uterotonika
Beberapa obat yang tersedia untuk mengatasi atonia uteri
adalah oksitosin, metilergonovin maleat, carboprost dan misoprostol.

16
Oksitosin merupakan hormon sintesis yang identik dengan hormon
yang diproduksi oleh lobus posterior kelenjar pituitari. Obat ini
merupakan agen lini pertama, menyebabkan kontraksi uterus
dengan efeknya yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia
kehamilan oleh karena berkembangnya reseptor oksitosin. Pada
dosis rendah oksitosin meningkatkan tonus dan frekuensi kontraksi
yang berirama dari segmen atas miometrium, sehingga terjadi
konstriksi arteri spiralis dan menurunkan aliran darah yang melalui
uterus.Dalam dosis besar dapat menyebabkan tetani. Oksitosin
merupakan pengobatan lini pertama untuk mengatasi perdarahan
post partum. (Cunningham FG, 2010; Anderson JM, 2007; Schuurmans N, 2000)
Metilergonovin maleat merupakan agen uterotonika lini kedua.
Turunan alkaloid ergot yang menyebabkan kontraksi tetani uterus
dalam waktu 5 menit setelah pemberian intra muskuler. Obat ini
diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,25 mg yang dapat
diulang setiap 5 menit hingga dosis maksimum 1,25 mg. Preparat ini
menyebabkan vasospasme perifer dan dapat mengeksaserbasi
hipertensi. Ia dapat menyebabkan mual, muntah dan sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan hipertensi.(Cunningham FG, 2010; Schuurmans

N, 2000)

Carboprost adalah sintetik dari prostaglandin F2-alfa.


Diberikan intramuskular atau intramiometrial dengan dosis 0,25 mg
dan dapat diulang setiap 15 menit hingga dosis maksimal 2 mg.
Carboprost merupakan agen efektif untuk meningkatkan tonus uterus
namun memiliki efek samping prostaglandin termasuk mual, muntah,
diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme akibat kontraksi
otot polos. Juga efek pada termoregulator susunan syaraf pusat
sehingga menyebabkan flushing, diaforesis dan gelisah akibat
peningkatan temperatur basal. Carboprost sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan disfungsi kardiovaskular, pulmoner, renal dan
hepar. (Schuurmans N, 2000)

17
Vasopresin menyebabkan vasospasme, menurunkan aliran
darah pada daerah dekat tempat injeksi sehingga memungkinkan
terjadinya koagulasi. Duapuluh unit (1 ml) vasopressin diencerkan
dengan 100 ml NaCl sehingga menjadi larutan 0,2U/ml, larutan ini
diinfiltrasikan sebanyak 1 ml pada subendometrium pada tempat
perdarahan. Pastikan bahwa jarum tidak berada dalam pembuluh
darah karena injeksi vasopressin intravaskular dapat menyebabkan
hipertensi arterial akut, bradikardia atau kematian. Infiltrasi lokal
vasopressin pada implantasi plasenta dapat diindikasikan pada
kasus dengan perdahan hebat selama seksio sesarea. (Schuurmans N,

2000)

Misoprostol
dapatmenjadisangatbermanfaatdalampenatalaksanaanperdarahanpo
st partum. Sebuahpenelitianmenunjukkanbahwapemberian
misoprostol dengandosis 1000 mcg per rectal
efektifdalammenimbulkankontraksi uterus pada 14 kasus yang
refrakterterhadapoksitosin, ergonovinataukeduanya.(Maughan KL,

2006)Pemberian per oral memilikiuptake yang paling


cepatnamundurasi yang terpendek. Pemberian per rektal memiliki
uptake yang lambat namun durasi yang lama. Pemberian sublingual
memiliki uptake yang cepat, durasi yang berlangsung lama dan
bioavailabilitas yang terbaik. Untuk memperbaiki kecepatan
dimulainya aksi dan bioavailabilitas secara keseluruhan, pemberian
1000 mcg per rectal dimodifikasi menjadi 200 g per oral, 400 g SL
dan 400 g per rektal. Efek samping utama dari misoprostol adalah
menggigil dan demam yang bergantung dengan dosis. (Cunningham FG,

2010; Hofmeyr GJ, 2004)Padasaatini, tetap misoprostol sebagaiagenlini


ketigadalampengelolaanperdarahan post
partum.Biayarendahdanstabilitasobat (tidakmemerlukanpendinginan)
membuatnyasangatmenarikuntukdigunakan di
negaraberkembang.(Smith JR, 2010)

18
Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor
resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat
disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion
atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur
uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat
akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir
(Cunningham FG, 2010)

Tabel 6. Terapi obat-obatan untuk perdarahan postpartum (Martel MJ, 2002)

Jenis obat Dosis Efek samping Kontraindikasi

10 unit IM/IMM Biasanya tidak ada Hipersensitifitas


5 unit IV bolus Kontraksi yang sakit terhadap obat
Oksitosin
10-20 unit/liter Mual, muntah
(intoksikasi air)
0,25 mg IM/ 0,125 Vasospasme perifer Hipertensi
mg IV diulang tiap Hipertensi Hipersensitifitas
Metilergonovin
5 menit bila Mual terhadap obat
maleat
diperlukan Muntah
Maksimum 5 dosis
0,25 mg IM/ IMM Flushing, diare, mual, Penyakit jantung,paru,
Carboprost diulangi tiap 15 muntah, ginjal maupun hati.
(15-methyl PGF2 menit bila bronkospasme, Hipersensitivitas
alpha) diperlukan lemah, desaturasi O2. terhadap obat
Maksimum 8 dosis.
20 unit dicairkan Hipertensi akut Coronary artery
dalam 100 cc NaCl Bronkospasme disease
(0,2 unit/ml). Mual, muntah Hipersensitifitas
Suntikkan 1 ml Kram perut terhadap obat
Vasopresin
pada tempat Angina, vertigo
perdarahan Sakit kepala
Hindari injeksi Kematian dengan
intravaskuler injeksi IV.

Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan


karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama

19
bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari
inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen
anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid,
magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain
yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri (korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus
couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan
faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum
(Cunningham FG, 2011)

Perdarahan yang berlanjut setelah pemberian oksitosin berkali-kali


mungkin berasal dari laserasi saluran genitalia yang tidak terdeteksi,
termasuk, pada beberapa kasus, ruptur uteri. Dengan demikian, apabila
perdarahan menetap, jangan sia-siakan waktu untuk mengendalikan
perdarahan yang sembarangan. Penatalaksanaan berikut harus segera
dimulai : (Poggi SH, 2007; Cunningham FG, 2011)
1. Lakukan kompresi uterus bimanual (Gambar 1).
2. Cari bantuan!
3. Mulai transfusi darah. Golongan darah setiap pasien kebidanan
harus diketahui, bila mungkin sebelum persalinan, dan dilakukan uji
Coombs tidak langsung untuk mendeteksi antibodi eritrosit. Apabila
yang terakhir ini negatif, maka pencocokan-silang (cross-match)
darah tidak diperlukan. Pada keadaan darurat yang ekstrim, dapat
diberikan darah "donor universal" golongan O Rh-negatif.
4. Lakukan eksplorasi rongga uterus secara manual untuk mencari
retensi sisa plasenta atau laserasi.
5. Lakukan inspeksi menyeluruh terhadap serviks dan vagina.
6. Pasang kateter intravena kaliber besar kedua sehingga kristaloid dan
oksitosin dapat diberikan bersama dengan transfusi darah.
7. Pasang kateter Foley untuk memantau pengeluaran urin, yang
merupakan parameter yang baik untuk perfusi ginjal.

20
Dengan transfusi serta kompresi uterus secara manual dan
oksitosin intravena secara simultan, tindakan lain jarang diperlukan. Bila
masih terjadi atonia, mungkin mengharuskan dilakukannya histerektomi
sebagai tindakan penyelamatan nyawa. Cara lain, ligasi arteri uterina,
ligasi arteri iliaka interna, atau embolisasi angiografik. (Poggi SH, 2007;

Cunningham FG, 2011)

2. Trauma
a. Inversio Uteri.
Inversi total uterus setelah janin lahir hampir selalu disebabkan
oleh tarikan kuat terhadap tali pusat yang melekat ke plasenta yang
tertanam di fundus. Plasenta akreta mungkin berperan, walaupun
inversio uteri dapat terjadi meski plasenta tidak terlalu lekat. Diagnosis
ditegakkan dengan terabanya cekungan mirip kawah melalui abdomen
dan pada palpasi melalui vagina teraba dinding fundus di segmen
bawah dan serviks. Sejumlah langkah perlu dilakukan segera dan
secara simultan : (Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007; Poggi SH, 2007)
1. Asisten, termasuk anestesiologi segera dipanggil.
2. Uterus yang baru mengalami inversi dengan plasenta yang sudah
terlepas mungkin dengan mudah dapat dikembalikan dengan cara
mendorong fundus dengan telapak tangan dan jari tangan
mengarah ke sumbu panjang vagina.
3. Sebaiknya dipasang dua sistem infus intravena, dan pasien diberi
larutan Ringer laktat dan darah untuk mengatasi hipovolemia.
4. Apabila masih melekat, plasenta jangan dilepas sampai sistem
infus terpasang, cairan dialirkan, dan anestesi sebaiknya halotan
atau enfluran telah diberikan. Obat tokolitik misalnya terbutalin,
ritodrin, atau magnesium sulfat dilaporkan berhasil digunakan
untuk relaksasi uterus dan reposisi.
5. Setelah plasenta dikeluarkan, telapak tangan diletakkan di bagian
tengah fundus dengan jari terekstensi untuk mengidentifikasi tepi-

21
tepi serviks. Kemudian dilakukan tekanan dengan tangan
sehingga fundus terdorong ke atas melalui serviks.
6. Segera setelah uterus dikembalikan ke posisi normalnya, obat
yang digunakan untuk relaksasi dihentikan dan secara bersamaan
pasien diberi oksitosin agar uterus berkontraksi sementara
operator mempertahankan fundus dalam posisi normal.
Setelah uterus berkontraksi dengan baik, operator harus terus
memantau uterus melalui vagina untuk mencari tanda-tanda inversio
lebih lanjut.Apabila uterus tidak dapat direposisi dengan manipulasi
vagina karena adanya cincin konstriksi yang tebal, wajib dilakukan
laparatomi. (Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)

b. Laserasi Perineum.
Semua laserasi perineum, kecuali yang paling superfisial, disertai
oleh cedera bagian bawah vagina dengan derajat bervariasi. Robekan
semacam ini dapat cukup dalam untuk mencapai sfingter anus dan
dapat meluas menembus dinding vagina dengan kedalaman
bervariasi. Perbaikan laserasi ini harus menjadi bagian dari setiap
operasi untuk memulihkan laserasi perineum. Apabila otot dan fasia
vagina dan perineum di bawahnya tidak dijahit, pintu keluar vagina
dapat mengendur dan memudahkan terbentuknya rektokel dan
sistokel.(Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)Laserasi dan hematoma yang
diakibatkan trauma jalan lahir dapat menyebabkan kehilangan darah
yang signifikan, hal ini dapat diatasi dengan mengatasi hemostasis
secara cepat dan akurat. Jahitan dilakukan dengan tujuan untuk
menghentikan perdarahan. Episiotomi dapat menimbulkan kehilangan
darah yang signifikan dan meningkatkan risiko ruptur pada sfingter
ani. Prosedur rutin episiotomi harus dihindari kecuali pada persalinan
yang membutuhkan waktu singkat untuk melahirkan bayi (fetal
distress, after coming head) dan perineum yang kaku. (Anderson JM, 2007)

c. Laserasi Vagina.

22
Laserasi terbatas yang mengenai sepertiga tengah atau atas
vagina tetapi tidak berkaitan dengan laserasi perineum atau serviks.
Laserasi ini biasanya longitudinal dan sering terjadi akibat cedera
yang melibatkan tindakan forseps atau vakum, tetapi dapat juga terjadi
pada pelahiran spontan. Laserasi ini sering meluas dalam menuju
jaringan di bawahnya dan dapat menimbulkan perdarahan bermakna
yang biasanya dapat diatasi dengan penjahitan yang tepat. Laserasi
ini mungkin terlewatkan kecuali apabila dilakukan inspeksi yang
cermat terhadap vagina bagian atas. Laserasi dinding anterior vagina
yang terletak dekat uretra sering terjadi. Apabila laserasinya cukup
besar sehingga diperlukan perbaikan, dapat terjadi kesulitan berkemih
sehingga perlu dipasang kateter terfiksasi. (Cunningham FG, 2010)

d. Cedera Levator Ani.


Cedera ini terjadi akibat peregangan berlebihan jalan lahir. Serat-
serat otot terpisah dan berkurangnya tonus serat-serat ini mungkin
dapat mengganggu fungsi diafragma panggul. (Cunningham FG, 2010)

e. Cedera Pada Serviks.


Serviks mengalami laserasi pada lebih dari separuh pelahiran per
vaginam. Sebagian besar laserasi ini berukuran kurang dari 0,5 cm.
Robekan serviks yang dalam dapat meluas ke sepertiga atas vagina.
Cedera ini kadang-kadang terjadi setelah rotasi forseps yang sulit atau
pelahiran yang dilakukan pada serviks yang belum membuka penuh
dengan daun forseps terpasang pada serviks. Meski jarang, robekan
serviks dapat meluas ke segmen bawah uterus dan arteri uterina serta
cabang-cabang besarnya dan bahkan ke peritoneum. Robekan ini
mungkin sama sekali tidak diperkirakan, tetapi umumnya
bermanifestasi sebagai perdarahan eksternal yang deras atau
pembentukan hematom. Robekan luas di rongga vagina harus
dieksplorasi secara hati-hati. Apabila ada kecurigaan perforasi
peritoneum, atau perdarahan retro atau intraperitoneum, perlu

23
dipertimbangkan laparotomi. Pada cedera separah ini, eksplorasi
intrauterin untuk mencari kemungkinan ruptur juga harus dilakukan.
Biasanya diperlukan perbaikan secara bedah, serta anestesi yang
efektif, transfusi darah dalam jumlah besar, dan asisten yang cakap.
(Cunningham FG, 2010)

Robekan serviks yang dalam memerlukan perbaikan


bedah.Visualisasi paling jelas diperoleh apabila asisten melakukan
tekanan kuat pada uterus ke arah bawah sementara operator menarik
bibir-bibir serviks dengan forseps ovum atau spons. Karena
perdarahan biasanya datang dari sudut atas luka, maka jahitan
pertama dipasang tepat di atas sudut dan diarahkan ke operator.
Laserasi vagina yang menyertai dapat ditampon dengan kassa untuk
menghambat perdarahan, sementara dilakukan perbaikan laserasi
serviks. Dapat digunakan jahitan interrupted atau jelujur dengan
benang yang dapat diserap. (Cunningham FG, 2010)

f. Hematom Puerperium.
Insidensi hematom puerperium diketahui berkisar dari 1 per 300
sampai 1 per 1000 pelahiran. Nuliparitas, episiotomi, dan pelahiran
dengan forseps merupakan faktor risiko yang paling sering terkait.
Namun, pada banyak kasus lain, hematom terjadi setelah cedera
pembuluh tanpa laserasi jaringan superfisial. Hal ini dapat terjadi pada
pelahiran spontan atau dengan tindakan. Kadang-kadang hematom
terbentuk belakangan. Hematom masa nifas ini dapat diklasifikasikan
sebagai hematom vulva, vulvovagina, paravagina, atau
retroperitoneal. Hematom vulva paling sering melibatkan cabang-
cabang arteri pudenda, termasuk arteri labialis posterior, perineneum
lateralis, atau rektalis posterior. (Cunningham FG, 2010) Hematom
subperitoneum dan supravagina lebih sulit diterapi. Hematom jenis ini
dapat dievakuasi dengan insisi perineum, tetapi apabila terjadi
hemostasis komplit, yang sulit dicapai dengan insisi, disarankan
tindakan laparotomi. (Cunningham FG, 2010)

24
Embolisasi angiografik. Teknik ini populer untuk mengatasi
hematoma puerperium yang parah. Teknik ini dapat digunakan secara
primer, atau biasanya apabila hemostasis dengan metode bedah
gagal. Alvarez dan rekan (1992) serta Hsu dan Wan (1998) telah
mengulas berbagai indikasi untuk embolisasi angiografik dan
melaporkan kasus-kasus yang menerapkan teknik ini. (Cunningham FG, 2010)

g. Ruptur Uteri.
Insidensi ruptur uteri mungkin cukup bervariasi antar institusi.
Walaupun frekuensi ruptur uteri dari semua kausa mungkin tidak
banyak menurun selama beberapa dekade terakhir, namun etiologi
ruptur telah cukup banyak berubah dan hasil akhirnya sudah jauh
lebih baik. Kausa tersering ruptur uteri adalah terpisahnya jaringan
parut dari seksio sesarea sebelumnya. Hal ini meningkat karena
timbulnya kecenderungan untuk melakukan partus percobaan pada
kehamilan dengan riwayat seksio sesarea. Faktor predisposisi ruptur
uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat manipulasi atau operasi
traumatik misalnya kuretase, perforasi, atau miomektomi.Pada
pemeriksaan dalam (vaginal touche), kadang-kadang kita dapat
meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati oleh jari untuk
mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan bukan
berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri. (Cunningham FG, 2010)

3. Tissue(Jaringan)
Sebagian perdarahan selama kala tiga akibat terpisahnya
sebagian plasenta secara transien tidak dapat dihindari. Sewaktu
plasenta terlepas, darah dari tempat implantasi mungkin langsung keluar
melalui vagina (mekanisme Duncan) atau tertutup di balik plasenta dan
membran (mekanisme Schultze) sampai plasenta lahir. Potongan
plasenta atau bekuan darah besar yang melekat akan menghambat
kontraksi dan retraksi miometrium yang efektif sehingga hemostasis di
tempat implantasi terganggu. (Cunningham FG, 2010)

25
a. Plasenta Akreta, inkreta, dan perkreta.
Penyebab pasti tertundanya pelepasan setelah waktu ini tidak
selalu jelas, tetapi cukup sering yang disebabkan oleh kontraksi
uterus yang tidak adekuat. Walaupun sangat jarang, plasenta dapat
melekat erat ke tempat implantasi. Apabila plasenta tertanam kuat
dengan cara ini maka kondisinya disebut plasenta akreta.Istilah
plasenta akreta digunakan untuk menjelaskan semua implantasi
plasenta yang perlekatannya ke dinding uterus terlalu kuat. Vilus
plasenta yang melekat ke miometrium (plasenta akreta), menginvasi
miometrium (plasenta inkreta), atau menembus miometrium
(plasenta perkreta). Perlekatan abnormal ini mungkin melibatkan
seluruh kotiledon (plasenta akreta totalis), sedikit sampai beberapa
kotiledon (plasenta akreta parsialis), atau sebuah kotiledon (plasenta
akreta fokal). Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh
perdarahan berat, perforasi uterus, dan infeksi. Insidensi plasenta
akreta, inkreta, dan perkreta telah meningkat karena meningkatnya
angka seksio sesarea. Dahulu, bentuk tersering penatalaksanaan
"konservatif" adalah pengeluaran secara manual sebanyak mungkin
plasenta dan menampon uterus. Dalam ulasan oleh Fox (1972), 25%
wanita yang ditangani secara konservatif meninggal. Dengan
demikian, terapi paling aman bagi kasus seperti ini adalah
histerektomi segera.(Cunningham FG, 2010; Anderson J, 2007)

4. Trombin
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dapat terjadi bila
syok telah menyebabkan hipoperfusi jaringan yang bermakna dan
melepaskan tromboplastin jaringan. DIC akut harus dicurigai bila tes
koagulasi tetap abnormal walaupun transfusi FFP telah diberikan. Pada
kasus seperti ini, hasil tes laboratorium menunjukkan kadar D dimmer
yang meningkat dan menurunnya kadar fibrinogen dengan thrombin time
yang memanjang. Manajemen DIC berupa penggantian dan

26
mempertahankan sirkulasi volume bersamaan dengan penggantian
produk darah.(Cunningham FG, 2010; Bonnar J, 2000)
Kriopresipitat bersamaan dengan FFP dapat berguna bila terdapat
penurunan kadar fibrinogen. Kriopresipitat mengandung fibrinogen
dengan konsentrasi yang lebih besar dan juga faktor-faktor pembekuan
lainnya (VIII, XIII, faktor von Wilebrand) dan lebih cepat persiapannya di
bank darah. Biasanya kriopresipitat ini diberikan dengan dosis 6-12 U
dan dapat bermanfaat segera sebelum intervensi bedah pada pasien-
pasien dengan dengan hasil tes koagulasi yang abnormal. Penggunaan
heparin dan terapi antifibrinolisis tidak dianjurkan pada wanita dengan
DIC yang disebabkan oleh masalah obstetri.Kriopresipitat dapat
diperlukan bila terdapat DIC dan kadar fibrinogen jatuh hingga kurang
dari 1 g/dl (10 g/L).(Cunningham FG, 2010; Smith JR, 2009; Bonnar J, 2000)
Bioassay adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi atau
mencurigai secara klinis adanya koagulopati yang bermakna.
Perdarahan berlebihan di tempat trauma ringan merupakan tanda
gangguan hemostasis. Perdarahan persisten dari tempat pungsi vena,
luka sayat akibat irisan pada perineum atau abdomen, atau trauma
akibat insersi kateter, dan perdarahan spontan dari gusi atau hidung
adalah tanda-tanda kemungkinan adanya defek pembekuan darah.
Adanya purpura di lokasi penekanan mungkin mengisyaratkan darah
yang tidak dapat membeku, atau yang lebih sering, trombositopenia
yang secara klinis bermakna.(Cunningham FG, 2010)

Penatalaksanaan perdarahan postpartum primer dapat digunakan


algoritma sebagai berikut yang tergambar dalam gambar 2.

27
Gambar 2: Algoritma perdarahan postpartum primer(Anderson JM, 2007)

C. Manajemen Pembedahan
Manajemen pembedahan pada kasus perdarahan postpartum berat
meliputi laparatomi dengan ligasi arteri uterina atau arteri iliaka interna dan
bahkan histerektomidisesuaikan dengan situasi yang ada, pengalaman ahli
obstetri dan fasilitas serta tenaga yang tersedia. Hal yang paling penting
adalah bahwa penanganan harus segera dilakukan dan monitor serta
penggantian darah dan faktor-faktor koagulasi harus terus dilakukan.
(Schuurmans N, 2000; Bonnar J, 2000)

28
a. Ligasi arteri uterina
Ligasi ateri uterina dilakukan sebagai langkah pertama
penanganan sebagian besar kasus HPP berat karena langkah ini simpel
dan dapat dilakukan dengan cepat. Keuntungannya dibandingkan
dengan ligasi arteri iliaka interna adalah lebih mudah, komplikasi lebih
sedikit, oklusi suplai arteri lebih distal dengan potensi lebih kecil
terjadinya perdarahan ulang akibat kolateral dan tingginya tingkat
keberhasilan ligasi arteri uterina untuk mengontrol perdarahan. Prosedur
ini memiliki angka keberhasilan 80-90%.(Schuurmans N, 2000)
Cara melakukan ligasi arteri uterina adalah : raba dan rasakan
denyut arteri uterina pada perbatasan serviks dan segmen bawah uterus.
Pada pasien yang menjalani seksio sesarea, penjahitan dilakukan pada
2-3 cm dibawah segmen bawah uterus. Gunakan jarum besar atraumatik
dengan benang dapat diserap (absorbable) no. 0 atau no. 1 dan buat
jahitan 2-3 cm medial pembuluh darah meliputi seluruh ketebalan
miometrium lakukan ikatan dengan simpul kunci. Dapat dilakukan jahitan
kedua 3-5 cm dibawah jahitan pertama jika jahitan pertama tersebut tidak
efektif. Tempatkan jahitan sedekat mungkin dengan uterus, karena ureter
biasanya hanya 1 cm lateral terhadap arteri uterina. Lakukan hal yang
sama pada sisi konta lateral. Jika perdarahan masih terus berlangsung,
lakukan ligasi pembuluh darah ovarika unilateral atau bilateral, yaitu
dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah
pangkal ligamentum suspensorium ovarii.(Schuurmans N, 2000; Anderson JM, 2007;

Cunningham FG, 2010)

Gambar 3. Ligasi arteri uterina.(Schuurmans N, 2000)

29
b. Ligasi arteri iliaka interna
Ligasi arteri iliaka interna menawarkan intervensi lebih proksimal
yang seharusnya memberi efek yang berarti pada aliran darah uterus.
Namun, cara ini memiliki resiko trauma pada vena iliaka yang dapat
menimbulkan perdarahan hebat.Cara ini dilakukan dengan
mengidentifikasi bifukarsio arteri iliaka komunis, dimana ureter
menyilang. Ureter ditarik ke arah medial dan arteri diligasi 2,5 cm distal
dari bifukarsio dari a.iliaka eksterna dan interna. Klem bersudut
diletakkan di belakang arteri dan 2 ikatan dilakukan dengan jarak 1.5
hingga 2 cm. Pulsasi arteri iliaka eksterna dan femoral harus
diidentifikasi sebelum dan sesudah pengikatan. Keberhasilan dari cara
ini berkisar dari 42 hingga 100%.(Schuurmans N, 2000)

c. B- Lynch suture
Tekhnik ini digunakan sebagai alternatif histerektomi atau ligasi
pada perdarahan post partum. Jahitan dilakukan dengan menggunakan
benang yang dapat diserap. Jahitan dimulai pada segmen bawah uterus,
melingkari fundus kemudian dijahitkan ke segmen bawah uterus bagian
belakang ke sisi lain dan kembali melingkari fundus kembali ke SBU
depan dan kemudian diikat.(Cunningham FG, 2010)

Gambar 4. Prosedur B-Lynch(Schuurmans N, 2000)

30
d. Histerektomiperipartum
Histerektomi emergensi merupakan modalitas penatalaksanaan
yang paling sering dilakukan bila perdarahan postpartum yang hebat
memerlukan intervensi bedah. Insidens histerektomi peripartum yang
dilaporkan di kepustakaan berkisar antara 7-13% per 10.000 kelahiran
dan lebih sering dilakukan setelah seksio sesarea bila dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. (Schuurmans N, 2000)
Histerektomi subtotal dikatakan dapat mengurangi waktu operasi
dan hilangnya darah. Meninggalkan serviks merupakan pilihan yang
beralasan bila perdarahan dapat dikontrol, misalnya pada kasus atonia
uteri. Namun apabila tempat perdarahan berada di segmen bawah
uterus atau di serviks, seperti yang terjadi pada plasenta previa atau
dengan implantasi plasenta yang abnormal, perdarahan tidak akan dapat
diatasi oleh karena perdarahan ini disuplai oleh arteri uterine cabang
servikal.Keuntungan dari histerektomi emergensi dalam situasi
perdarahan masif adalah kemampuan untuk menghilangkan sumber
perdarahan. Sedangkan kerugiannya adalah hilangnya uterus pada
wanita yang masih ingin hamil. Histerektomi dihubungkan dengan
perdarahan yang lebih banyak dan waktu operasi yang lebih lama.
(Schuurmans N, 2000)

Sangat disayangkan bahwa histerektomi tidak memberikan garansi


untuk mengontrol kehilangan darah pada perdarahan postpartum yang
berat. Perdarahan dapat terus berlangsung dari permukaan pelvis oleh
karena berkurangnya koagulasi yang dikombinasikan dengan trauma
dari manipulasi yang berlangsung lama. Tempat-tempat kecil ini mungkin
sulit atau tidak mungkin untuk diisolasi dan dikoagulasi atau dijahit.
Pembuluh darah yang mengalami perdarahan mungkin masuk ke dalam
rongga retroperitoneal dan menjadi sulit atau tidak mungkin untuk
diisolasi secara bedah.(Schuurmans N, 2000)

31
e. Abdominal Packing
Digunakan untuk perdarahan yang berlanjut dari permukaan
peritoneal bila histerektomi telah dilakukan, terjadi koagulasi konsumtif
dan terdapat perluasan perdarahan yang terus berlanjut. Rongga pelvis
diisi dengan dengan packing laparatomi yang besar yang kemudian di
ambil kembali setelah 24 jam setelah koreksi koagulopati.(Schuurmans N, 2000).

f. Embolisasi arteri uterina


Embolisasi arteri uterina/iliaka interna dilaporkan dapat mengontrol
perdarahan post partum. Kerugian prosedur ini adalah dibutuhkannya
waktu untuk melakukan prosedur ini selama 1-2 jam dan diperlukannya
fasilitas dan keahlian yang mungkin tidak didapat disemua
tempat.(Schuurmans N, 2000)

32
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Perdarahan postpartum masih merupakan salah satu penyebab utama
mortalitas dan morbiditas ibu. Dan atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak.
2. ANC pada setiap wanita hamil bertujuan untuk mencari faktor resiko,
predisposisi dan usaha pencegahan untuk terjadinya perdarahan post
partum.
3. Konseling gizi pada saat hamil dan sebelum hamil sangat penting dalam
pencegahan perdarahan post partum primer.
4. Manajemen aktif kala III masih merupakanstandar dalam pencegahan
terjadinya perdarahan post partum.
5. Oksitosin merupakan agen uterotonika lini pertama, disusul metil
ergometrin dan misoprostol.
6. Histerektomi merupakan terapi definiif perdarahan post partum yang
berat. Pada wanita yang masih menginginkan kehamilan berikutnya
maka terapi yang dianjurkan dapat berupa : uterine packing, prosedur B-
Lynch, ligasi arteri dan embolisasi arteri uterina.

B. Saran
1. Setiap perdarahan postpartum primer perlu dilakukan diagnosis
menyeluruh sehingga terapi yang diberikan sesuai dengan
penyebabnya.
2. Sebaiknya setiap persalinan baik pervaginam maupun perabdominam
harus ditangani sebaik dan sesuai dengan protap asuhan persalinan
yang ada.

33
DAFTAR PUSTAKA

ACOG Practice Bulletin. Clinical Management Guidelines for Obstetrician-


Gynecologists: Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol 2006; 76 : 1039-
1047.

Anderson JM et al; Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage.


American Family Physician volume 75, number 6, March 2007 page 875
diaksesdari http://www.aafp.org/afp.

Bonnar J. Massive obstetric haemorrhage.Baillieres clinical obstetrics and


gynaecology. 2000;14(1):1-18.

Callahan TL, Caughey AB, Heffner LJ. Obstetrics &Gynecology.Third


Edition.Blackwell Publishing. 2004: 115-121.

Coker A, Oliver R. Definitions and Classifications.In Textbook of Postpartum


Hemorrhage.Eds Lynch CB et al. Sapiens Publishing, UK. 2006: 11-16.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomyomas.In : Williams Obstetrics. 23nd edition.McGraw-Hill.
New York : 2010.

CurrentObstretric&GynecologicDiagnosis &Tretment, Ninth edition : Alan H.


DeCherneyand Lauren Nathan, 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.

Gabbe :Obstretics Normal and Problem Pregnancies,4thed.,Copyright 2002


Churchil Livingstone, Inc.

Groom K M, Jacobson T Z, The Management of Secondary Postpartum


Haemorrhagein :A Textbook of Postpartum Haemorrhage,edited By Chris
thoper, B, Lich, Sapiens Publishing, London, UK, October 2006, page 316-
24.

Hofmeyr GJ, et al. Misoprostol for treating postpartum haemorrhage: a


randomized controlled trial. BMC pregnancy and childbirth. 2004;4(16):1-7.

Kala tigadanempatpersalinan.Dalam :BukuAcuanAsuhanPersalinan Normal.


Jakarta: DepartemenKesehatan RI; 2009: 51-53.

Lalonde AB et al. Postpartum HemorrhageToday : Living in the shadow of the


TajMahal. In Textbook of Postpartum Hemorrhage.Eds Lynch CB et al.
Sapiens Publishing, UK. 2006 : 2-10.

34
Leduc et al; Active management of the Third stage of labour in : Prevention and
treatment of Postpartum hemorrhage.JOGC no 235, 2009.

Marcovici I; Postpartum hemorrhagein : A review Jurnalul de Chirurgie, Iasi vol


1 Nr.4 2005 page 383-9.

Martel MJ, Mac Kinnon CJ, Arsenault MY, et al. Hemorrhagic shock. SOGC
clinical practice guidelines, 2002: 1-8.

Maughan KL et al ; Preventing Postpartum Hemorrhage, Managing the Third of


labor in American Family Physicianvolume 73 number 6 2006, page 1025-8
diaksesdari : http://www.aafp.org/afp.

Mukherjee S, Arulkumaran S. Postpartum Haemorrhage. Obstetrics,


Gynaecology and Reproductive Medicine. Elsevier Ltd : 2009. 121-126.

Poggi SH. Postpartum Hemorrhage and the Abnormal Puerperium. In Current


Diagnosis and Treatment, Obstetrics and Gynecology.EdsDeCherney AH et
al. Tenth edition. McGraw-Hill Companies. 2007.

Prawirohardjo S. PerdarahanPacaPersalinan.Dalam
:BukuAcuanNasionalPelayananKesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
YBP-SP. 2002.

Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, Etches D. Prevention and management


of postpartum haemorrhage. SOGC Clinical Practice Guideline.Journ
SOGC. 2000; 8; 1-11.

Shane, B. Preventing postpartum hemorrhage : Managing the third stage of


labor.Maternal and neonatal health. 2001; 19(3): 1-8.

Sheris j. Out Look :KesehatanibudanBayiBaruLahir. EdisiKhusus. PATH.Seattle


: 2002.

Smith JR, Brenann BG. Postpartum Hemorrhage. Access from


http://www.emedicine.com.

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. PerdarahanPost Partum.Dalam


:IlmuBedahKebidanan. Edisi 3.Jakarta : YBP-SP. 2002.

35

Anda mungkin juga menyukai