LP Dan SP Keperawatan Jiwa
LP Dan SP Keperawatan Jiwa
LP Dan SP Keperawatan Jiwa
2. Definisi
1) Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan
dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).
2) Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck, 1998).
3) Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri,
marasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan, atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis
ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi
secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan,
atau menjadi narapidana, sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di
rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan
penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan
yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan
petugas kesehatan yang kurng menghargai klien dan keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
Baik faktor perdisposisi maupun presipitasi di atas bila telah memengaruhi
seseorang baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak, maka dianggap telah
memengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme
koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi
lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan
untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi
sosial dapat membuat klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga
dapat muncul resiko perilaku kekerasan.
Isolasi Sosial
6. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah Kronis
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Kondisi
Klien sedang duduk diatas tempat tidur sambil menunduk. Tidak mau melihat
dan bercakap-cakap drngan klien lain yang sedang duduk di samping tempat
tidurnya.
Klien masuk ke rumah sakit karena menolak untuk bergaul dengan orang lain.
Hal itu terjadi sejak bapaknya meninggal dunia dua tahun yang lalu.
Klien sering mengatakan bahwa dialah penyebab kematian bapaknya, karena
dia tidak mampu menjaganya dengan baik. Klien mengatakan seandainya dulu
dia menyelesaikan pedidikan akpernya pasti akan mampu merawat bapaknya.
Klien mengatakan bahwa dia adalah anak yang bodoh dan tidak berguna bagi
keluarga. Klien mengatakan dia tidak seperti kakaknya yang mempunyai
banyak keahlian. Bahkan untuk menjaga bapaknya yang sakit saja dia tidak
mampu.
Observasi pada klien didapatkan klien sering menunduk, menghindari kontak
mata, dan berbicara hanya sebentar atau seperlunya saja.
2. Diagnosa Keperawatan
Harga Diri Rendah Kronis
3. TUK/SP1
Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.
Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuannya.
Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.\
4. Tindakan Keperawatan
Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien.
Tindakan yang dapat dilakukan perawat agar klien mampu mengungkapkan
kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki adalah dengan cara senagai
berikut:
a. Mendiskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan dan
aspek positif, seperti melakukan pekerjaan rumah dengan keluarga dan
lingkungan terdekat klien.
b. Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang negative
setiap kali bertemu dengan klien.
Membantu klien agar mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan yang dapat dilakukan perawat agar klien mampu menilai
kemampuan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.
a. Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan saat
ini setelah mengalami bencana
b. Bantu klien menyyebutkannya dan berikan penguatan pada kemampuan
diri yang diungkapkan klien
c. Perlihatkan respon yang kondusif dan jadilah pendengar yang aktif.
Melatih kegiatan klien yang sudah dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang
sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan.
b. Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang akan
dilakukan klien.
c. Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan yang
perlihatkan klien.
Membentuk klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya.
Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut, perawat dapat
melakukan hal-hal berikut.
a. Memberi kesempatan klien untuk mencoba kegiatann yang telah dilatih
b. Beri pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakukan klien setiap
hari.
c. Tinkatkan kegiatan sesuai dengan kemampuan dan perubahan setiap
aktivitas.
d. Susunan daftar aktivitas yang sudah dilatih bersama klien dan keluarga.
e. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan.
f. Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
klien.
2. Kerja
“Coba N ceritakan apa yang menyebabkan N tidak mau bergaul dengan? Apa
yang menyebabkan N merasa bersalah? Apa yang menyebabkan N merasa sangat
bodoh?”
“Bagaimana dengan kemampuan lain seperti kemampuan akademik lainnya
selain computer?”
(Jika klien mengangguk)
“Nah, apa saja? Coba ceritakan ke suster. Bagus, apalagi? Saya buat daftarnya
ya. Apa lagi kegiatan lain? Menyanyi misalnya? Atau mengaji? Wah.., bagus
sekali ada enam kemampuan yang N miliiki.”
“N, dari enam kemampuan yang dimiliiki mana yang masih bisa ddilakukan di
rumah sakit? Coba kita lihat yang pertama bisakah, yang kedua…(Misalnya ada
3 kemampuan yang bisa dilakukan) “Wah, bagus sekali masih ada tiga
kemampuan yang bisa dilakukan di rumah sakit.”
“Sekarang coba N pilih salah satuyang mampu dilakukan di rumah sakit. Bagus
sekali, sekarang kita coba latih kemampuan N dalam membaca alquran. N
pernah mengaji selama di rumah sakit ini? Bagus sekali. Biasanya Alquran-nya
didapat dari siapa? Baiklah, sekarang suster pinjamkan Alquran, dan coba N
membaca ayat yang N inginkan.”
“Bagus sekali bacaan N, pembacaan hurufnya juga tepat.”
Sekarang coba dilanjutkan ke ayat yang berikutnya.”
“Nah, sekarang kita sudah selesai mengaji, N tutup saja Alquran.”
3. Terminasi
“Bagaimana perasaan N setelah kita bercakap-cakap dan latihan mengaji tadi?”
“Ternyata masih banyak kemampuan N yang bisa dilakukan di rumah ssakit ini
yang sudah N praktikan dengan baik sekali.”
“Bagaimana kalau kita masukkan kegiatan inni di dalam jadwal harian N.
Menurut N jam berapa mau dimasukan?”
“Bagus sekali, berate jam 05.30 setelah salat shubuh dan 18.30 setelah salat
maghrib ya.”
“Baiklah, bagaimana kalau dua jam lagi saya datang dan kita melatih
kemampuan N yang kedua yaitu menanam bunga. Tempatnya di sini saja ya N”
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Definisi
1) Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain.
Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegegelan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
2) Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins, 1993).
3) Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
prilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(Depkes RI, 2000).
4) Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain
karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegegelan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan
mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman
(Balitbang, 2007).
5) Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain menyatakan
sikap yang negatif dan mengancam (Townsend, 1998).
6) Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi
dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien
yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri
(Townsend, 1998).
7) Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkat maladaptif, dan gangguan fungsi individu dalam hubungan sosialnya
(Stuart dan Sundeen, 1998).
3. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
1) Faktor Predisposisi
Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perrkembangan yang
harus dipenuhiagar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-
tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal:
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain Mengambangkan otonomi dan awal perilaku mandiri.
Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab dan hati
nurani
Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi.
Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis
kelamin.
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung
pada orang tua.
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman,
mencari pasangan, menikah dan mempunyai anak.
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.
2) Faktor Presipitasi
Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal
dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
Faktor eksternal
Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh
faktor sosial budaya seperti keluarga.
Faktor internal
Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemempuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.
Objektif:
Kurang spontan.
Apatis (acuh terhadap lingkungan).
Ekspresi wajah kurang berseri.
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan
kebersihan diri.
Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
Mengisolasi diri.
Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitarnya.
Asupan makanan dan minuman terganggu.
Retensi urin dan feses.
Aktivitas menurun.
Kurang berenergi dan bertenaga.
Rendah diri.
Postir tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin
(khususnya pada posisi tidur).
A. Proses Keprawatan
1. Kondisi
Klien terlihat sedang sendiri di sudut ruang dengan pandangan yang kosong. Kaki
serta tangan dilipat. Saat perawat menghampiri, klien hanya menjawab ya dan
tidak. Terlihat seperti tidak ingin ditemani dan klien mengatakan bahwa dirinya
tidak suka berbicara dengan teman-temannya yang lain karena dirinya tidak gila.
2. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
3. TUK/SP
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menyadari penyebab Isolasi Sosial
c. Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi sosial
4. Tindakan Keperawatan
a. Membina Hubungan saling percaya
1.) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
2.) Berkenalan dengan klien. Perkenalan nama dan nama panggilan yang
disukai
3.) Menayakan pereasaan dan keluhan klien hari ini.
4.) Buat kontrak asuhan keperawatan mencakup hal yang akan dilakukan
bersama klien, lama waktu dan tempat.
5.) Jelaskan saudara akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
6.) Tujukan sikap empati kepada klien setiap saat.
7.) Penuhi kebutuhan dasar klien bila memungkinkan.
b. Menyadari penyebab isolasi sosial
1.) Tanyakan siapa saja yang tinggal satu rumah dnegan klien
2.) Tanyakan siapa saja orang yang dekat dengan klien dan apa sebabnya
3.) Tanyakan siapa orang yang tidak dekat dengan klien dan apa sebabnya,
c. Mengetahui keuntungan dan kerugian bila klien tidak berinteraksi dengan
orang lain.
1.) Tanyakan pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dnegan orang lain
2.) Tanyakan apa yang menyebakan klien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain.
3.) Diskusi dnegan klien keutungan bila mempunyai banyak teman dan
bergaul akrab dengan mereka.
4.) Diskusi dengan klien kerugian bila tidak mempuanyai teman dan tidak
bergaul akrab dengan mereka
5.) Jalaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien.
b. Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan bapak/ibu hari ini”
c. Kontrak
1). Topik: “Seperti janji seminggu yang lalu, hari ini kita akan diskusi tentang
penyebab Bapak/Ibu kurang suka bergaul, apa saja keuntungan bergaul, dan apa
saja kerugian bila tidak bergaul dengan orang lain”
2.) Tempat: “Bapak/Ibu ingi bercakap-cakap dimana? Bagaimana diruang
duduk?”
3.) Waktu: “ Bapak/Ibu ingin bercakap-cakap”
2. Kerja
“Apa yang membuat bapak/ibu tidak mau bergau dengan yang orang lain?”
“apakah karena setiap perilaku orang lain terhadapa bapak/ibu? Atau ada alas an
orang lain?”
“apa kerugiannya jika kita memiliki teman?”
Menurut bapak/ibu apa keuntungnya jika kita memiliki teman?”
“nah kita sudah mengetahui penyebab bapak.ibu tudak mau bergaul dengan orang
lain, ruginya tidak punya teman, dan untungnya punya teman.”
3. Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
“ bagaimana perasaan bapak/ibusetelah setelah kita berdiskusi mengenai
penyebab bapk/ibu tidak mau bergaul dengan orang lain? Beserta keuntung dan
kerugiannya”
b. Evaluasi Objektif
“ Bisakah bapak/ibu menceritakan kembali keuntungan dan kerugian bergaul
dengan orang lain?
c. Rencana tindak lanjut
“ bagaimana bapak/ibu apaka bapak/ibu ingin belajar bergaul dengan orang
lain?”
2. Definisi
1) Perubahan persepsi: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana
klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi
sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa
adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem penginderaan (pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan, atau pengecapan) Cook dan Fontaine (1987).
2) Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan
(Depkes RI, 2008).
3) Suatu keadaan di mana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu
pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespons terhadap stimulus
(Towsend, 1998).
4) Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran, penglihatan,
taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Antai Otong, 1995).
5) Gangguan penyerapan/presepsi pasca indra tanpa adanya rangsangan dari luar.
Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu
tersebut panuh dan baik. Gangguan ini dapat terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien
berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien
dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepkan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memelurkan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien
dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang ada di
lingkungan, dan juga suasana yang sepia atau terisolasi sering menjadi pencetus
terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat halusonigenik.
6. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien terlihat berbicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mendekatkan telinga ke arah tertentu, dan menutup telinga. Klien mengatakan
mendengar suara-suara atau kegaduhan mendengar suara yang mengajaknya
bercakap-cakap, dan mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
2. Diagnosa Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: Halusinasi.
Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaan ibu hari ini? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada
keluhan tidak?”
Kontrak
a. Topik : “apakah ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya?
Menurutb ibu sebaiknya kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita
ngobrol tentang suara dan sesuatu yang selama ini ibu dengar dan lihat
tetapi tidak tampak wujudnya?”
b. Waktu: “berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa
menit? Bagaimana kalau 10 menit? Bisa!”
c. Tempat : “Di mana kita duduk? Di teras? Di kursi panjang itu, atau mau
di mana?”
2. Kerja
“Apakah ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya?”
“ Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah ibu melihat sesuatu/orang/bayangan/makhluk?”
“ Seperti apa yang kelihatan?”
“Apakah terus-menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-waktu saja?”
“ Kapan Paling sering ibu melihat sesuatu atau mendengar suara tersebut?”
“ Berapa kali sehari ibu mengalaminya?”
“Pada keadaan apa, apkah pada waktu sendiri?”
“ Apa yang ibu rasakan pada saat mendengar suara itu?
“ Apa yang ibu rasakan pada saat melihat sesuatu?”
“ Apa yang ibu lakukan saat melihat suara tersebut?”
“ Apa yang ibu lakukan saat mendengar suara tersebut?”
“Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut hilang?”
“ Bagaimana kalau kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau bayangan
agar tidak muncul?”
“ibu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.”
“Pertama dengan menghardik suara tersebut.”
“Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.:
“ Ketiga melakukan kegiatan yang sudah terjadwal.”
“Keempat minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghadik.”
“Caranya seperti:
Saat suara-suara itu muncul, langsung ibu bilang, pergi saya tidak mau
dengar... saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang
sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba ibu peragakan! Nah begitu ...
Bagus! Coba lagi! Ya bagus ibu sudah bisa.”
Saat melihat bayangan itu muncul langsung ibu bilang pergi saya tidak mau
lihat ... saya tidak mau lihat. Kamu palsu. Begitu diulang-ulang sampai
bayangan itu tak terlihat lagi. Coba ibu peragakan! Nah begitu ... Bagus!
Coba lagi! Ya bagus ibu sudah bisa.”
3. Terminasi
Evaluasi subjektif
“bagaimana perasaan ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang
tidkadengan latihan tadi?”
Evaluasi objektif
“Setelah kita ngobrol tadi, panjang lebar, sekarang coba ibu simpulkan
pembicaraan kita tadi?”
“ Coba sebutkan cara untuk mencegah suara dan atau bayangan itu agar
tidak muncul lagi.”
2. Definisi
1) Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
2) Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).
3) Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi atau informasi secara akurat ( Keliat, 1999).
2) Faktor Presipitasi
Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
Faktor Biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
Objektif:
Klien terus bicara tentang kemampuan yang
dimilikinya.
Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
B. Pohon masalah (gambaran pohon masalah)
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan
Masalah : Waham
Pertemuan: Disesuaikan
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien mengatakan ia memiliki toserba, sibuk bisnis, dan ingin mendirikan partai.
Klien selalu mengulang-ngulang kemampuan yang dimilikinya. Klien terlihat
mondar-mandir dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
2. Diagnosis keperawatan
Perubahan proses pikir:waham kebesaran
3. TUK/Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
Membantu orientasi realitas.
Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Membantu klien memenuhi kebutuhannya.
Menganjurkan klien memasukkan dalam kegiatan jadwal harian.
4. Tindakan Keperawatan
Identifikasi kebutuhan klien.
Bicara pada konteks realita (tidak mendukung atau membantah waham klien).
Latih klien untuk memenuhi kebutuhannya.
Masukkan dalam jadwal harian klien
Evaluasi/validasi
“bagaimana perasaan Bapak hari ini? Tidurnya semalam nyenyak tidak?
Sekarang Bapak ada keluhan tidak? Bagaimana giginnya? Sudah sembuh?”
Kontrak
“Baiklah, sesuai janji kemarin, hari ini kita akan ngobrol ya Pak? Bagaimana
kalau hari ini kita bercakap-cakap tentang bidang yang bapak sukai? Di mana
kita duduk? Berapa lama? Bagaimana kalau 10 menit?
2. Kerja
“Bidang apakah yang bapak sukai? Kemarin bapak sempat mengatakan memiliki
toserba, apakah Bapak suka dengan bisnis? Mengapa Bapak menyukainya?
Bagaimana dengan politik? Apakah Bapak juga menyukainya? Karena beberapa hari
yang lalu Bapak juga mengatakan kepada saya ingin membuat partai politik biru,
benar Pak? Mana yang lebih Bapak sukai bisnis atau politik? Mengapa Bapak lebih
menyukai itu? Karena sekarang Bapak sedang berada di sini apakah menurut Bapak,
Bapak bisa menjalankan bidang yang Bapak minati tersebut? Bagaimana caranya?
Apakah bisa kita masukkan ke dalam jadwal kegiatan sehari-hari?”
3. Terminasi
Evaluasi subjekif
“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap?”
Evaluasi objektif
“Jadi bidang apa yang Bapak sukai?”
2. Definisi
Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK
(toiletting).
Objektif:
Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai
dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor
dan tidak rapi, pakaian tidak sesual, tidak
bercukur (laki-laki), atau tidak berdandan
(wanita).
Ketidakmampuan makan secara mandiri
ditandai dengan ketidakmampuan mengambil
makan sendiri/ makan berceceran, dan makan
tidak pada tempatnya.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai dengan BAB/BAK tidak pada
tempatnya, tidak membersihkan diri dengan
baik setelah BAB/BAK.
6. Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien terlihat tidak bersih, rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan berbau, serta
kuku panjang dan kotor. Pakaian klien terlihat kotor, tidak bercukur bagi yang laki-
laki, dan tidak berdandan bagi yang perempuan. Klien makan berceceran, selain itu
makan juga tidak pada tempatnya. Klien suka BAB/BAK tidak pada tempatnya dan
juga tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK.
2. Diagnosis Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
3. TUK/Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
a. Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi mandi/kebersihan
diri, berpakaian/ berhias, makan, serta BAB/BAK secara mandiri.
b. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik.
1) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
2) Perkenalkan diri dengan sopan.
3) Tanyakan nama lengkap klien dengan nama panggilan yang disukai klien.
4) Jelaskan tujuan pertemuan.
5) Jujur dan menepati janji.
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
7) Beri perhatian pada pemenuhan kebutuhan dasar klien.
b. Identifikasi kemampuan klien dalam melakukan kebersihan diri, berdandan,
makan, dan BAB/BAK.
c. Jelaskan pentingnya kebersihan diri dalam melakukan penjelasan terhadap
pentingnya kebersihan diri, selanjutnya meminta klien menjelaskan kembali
pentingnya kebersihan diri.
d. Jelaskan peralatan yang dibutuhkan dan cara membersihkan diri, dengan tahapan
tindakan sebagai berikut.
1) Jelaskan alat yang dibutuhkan dan cara membersihkan diri.
2) Peragakan cara membersihkan diri dan mempergunakan alat untuk
membersihkan diri.
3) Minta klien memperagakan ulang alat dan cara kebersihan diri.
e. Masukkan dalam jadwal kegiatan klien.
2) Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana tidurnya semalam? Ada keluhan
tidak?”
3) Kontrak
- Topik : “Apakah Ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut
Ibu sebaiknya kita ngobrol tentang apa? Bagaimana kalau kita ngobrol
tentang kebersihan diri?”
- Waktu : “Berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa
menit? Bagaimana kalau 10 menit? Bisa?”
- Tempat : “Dimana kita duduk? Di teras, di kursi panjang itu, atau di
mana?”
b. Kerja
“Berapa kali Ibu membersihkan diri dalam sehari?”
“Apakah Ibu suka berdandan?”
“Alat apa yang Ibu gunakan pada saat makan, menggunakan tangan atau sendok?”
“Apakah Ibu selalu ke kamar mandi jika Ibu ingin BAB/BAK?”
“Apakah Ibu tahu pentingnya kebersihan diri?”
“Bagaimana cara Ibu menjaga kebersihan diri?”
“Apakah Ibu tahu tentang alat-alat yang digunakan untuk membersihkan diri?”
“Bagaimana cara Ibu membersihkan diri?”
“Bagaimana kalau kita belajar cara membersihkan diri?”
“Pertama lepaskan seluruh baju yang dikenakan, lalu siramkan air ke tubuh secara
menyeluruh. Gunakan sabun secara merata pada seluruh bagian tubuh dan bilas
sampai bersih. Setelah itu menggosok gigi, keringkan badan dengan handuk dan
ganti pakaian dengan pakaian yang bersih.”
c. Terminasi
1) Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan Ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidak
dengan latihan tadi?”
2) Evaluasi Objektif
“Setelah kita berdiskusi panjang lebar, sekarang coba Ibu simpulkan
pembicaraan kita tadi? Coba sebutkan cara menjaga kebersihan diri?”
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber
lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang
jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang
mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu
menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting
yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin, adrenalin,
dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui ekaman gelombang
otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2) Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
Objektif:
Impulsif
Menunjukkan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh)
Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan
penyalahgunaan alkohol)
Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau
penyakit terminal)
Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan,
atau kegagalan dalam karier)
Status perkawinan yang tidak harmonis
6. Diagnosa keperawatan
Risiko bunuh diri
7. Rencana Tindakan Keperawatan
1) Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawat.
a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan : Melindungi pasien
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
saudara dapat melakukan tindakan berikut :
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat yang
aman.
b. Menjauhi semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang).
c. Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapat obat.
d. Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Memiliki ide untuk melakukan tindakan bunuh diri/mengakhiri kehidupan
Mengungkapkan keinginan untuk mati
Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
Bersikap impulsive
Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
Pernah melakukan percobaan bunuh diri
Berbicara tentang kematian dan menanyakan tentang obat dosis yamg mematikan
Mengungkapkan adanya konflik interpersonal
2. Diagnosis keperawatan
Risiko Bunuh Diri
3. TUK/Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan klien
Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan klien
Melakukan contract treatment
Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
4. Tindakan Keperawatan
Melakukan kontrak pengkajian dengan klien
Menemani klien terus-menerus
Menjauhkan semua benda yang membayakan klien
Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapatkan obat
Menjelaskan dengan lembut pada klien bahwa saudara akan melindungi klien
sampai klien tidak mempunyai keinginan bunuh diri
Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri
Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
Evaluasi/validasi
“bagaimana perasaan Bapak B pagi ini?”
Kontrak
“Saya yang akan merawat Bapak di ruangan hari ini dan saya akan membantu
menyelesaikan masalah yang Bapak hadapi.”
a. Topik : “ Bagaimana kalua pagi ini kita berbincang-bincang tentang hal atau
perasaan yang menyebabkan Bapak ingin mengakhiri kehidupan Bapak?”
b. Tempat : “Bapak B mau di mana kita bercakap-cakap, bagaimana bila di
ruang duduk?”
c. Waktu : “mau berapa lama kita bercakap-cakap saat ini? Bagaimana bila 15
menit?”
5. Kerja
“Apakah Bapak pernah berniat untuk bunuh diri?”
“Apakah Bapak pernah mencoba bunuh diri? Dengan cara apa? Apa yang Bapak
rasakan saat itu?”
“Apa yang menyebabkan Bapak memiliki perasaan ingin mengakhiri kehidupan
Bapak?”
“Bapak tampaknya membutuhkan pertolongan karena Bapak punya keinginan untuk
bunuh diri, untuk itu saya akan menemani Bapak di sini.”
“Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar Bapak untuk memastikan tidak ada benda
yang membahayakan Bapak.”
“Apakah Bapak telah meminum obat yang diberikan oleh perawat? Kalau belum
saya akan membantu Bapak untuk minum obat.”
“Apa yang Bapak lakukan bila keinginan bunuh diri tersebut muncul?”
Saya akan membantu Bapak agar keinginan untuk bunuh diri hilang.”
“Kalau keinginan bunuh diri itu muncul, Bapak bisa langsung meminta bantuan
perawat atau kleuarga yang mengunjungi. Katakana pada kami bahwa keinginsn
bunuh diri itu muncul.”
“Cara lain yang bisa digunakan adalah mengalihkan perhatiab atau pikiran Bapak
dengan cara mencari teman untuk diajak bercakap-cakap.”
6. Terminasi
Evaluasi subjekif
“bagaimana perasaan Pak B setelah kita bercakap-cakap? Apakah Bapak merasa
ada manfaatnya kita berbincang-bincanf saat ini? Apakah saat ini keinginan
bunuh diri itu ada?”
Evaluasi objektif
“Bapak masih ingat cara mengatasi keiginan bunuh diri? Coba Bapak sebutkan
cara agar keinginan bunuh diri itu tidak muncul lagi.”
Kontrak
d. Topik : ”Baiklah kita sudah bercakap-cakap selama 15 menit, bagaimana
kalua nanti kita bercakap-cakap tentang cara mengatasi rasa bersalah dan
rasa rendah diri yang Bapak alami?”
e. Tempat : “Di mana tempatnya nanti kita bercakap-cakap? Bagaimana kalu
di sini saja?”
f. Waktu : “Mau jam berapa? Bagaimana kalua jam 11 siang nanti, setelah
Bapak bertemu dengan teman-teman?”
LAPORAN PENDAHULUAN
2. Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).
Setiap aktivitas bila tidak di cegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara
fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien
sendiri, lingkungan, termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan verbal dan fisik
(Ketner et al., 1995).
2) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Internal adalah semua faktor yang depat menimbulkan kelemahan,
menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-lain.
Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis,
dan lain-lain.
Neburut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu.
Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa
frustasi.
Kematian anggota yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
regimen terapeutik
inefektif regimen terapeutik
inefektif
regimen terapeutik
inefektif
Koping keluarga
Tidak efektif
6. Diagnosa Keperawatan
Perilaku kekerasan
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien tampak mondar-mandir, berbicara sambil mengepalkan tinju, pandangan
mata tajam, wajah merah dan tegang, serta sesekali tampak memukul-mukul
dinding.
2. Diagnosis Keperawatan
Perilaku kekerasan
3. TUK/Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP !) untuk klien.
Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol fisik 1.
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4. Tindakan Keperawatan
Identifikasi tanda-tanda yang menunjukkan perilaku kekerasan.
Monitor klien selama masih melakukan tindakan yang mengarah pada perilaku
kekerasan.
Lakukan pendekatan dengan teknik komunikasi terapeutik.
Tangani kondisi kegawatdaruratan dengan isolasi dan fiksasi.
2. Kerja
“Sekarang Bapak bisa mulai menceritakan apa yang menyebabkan Bapak
memukul-mukul dinding. Apa yang Bapak rasakan saat ini?”
(Dengarkan ungkapan kemarahan klien dan tetap bersikap empati selama klien
mengungkapkan kemarahannya, selain itu lakukan observasi terhadap tanda-
tanda perilaku kekerasan yang ditunjukkan selama klien mengungkapkan
perasaan marahnya).
“Apa yang biasa Bapak lakukan jika Bapak merasa kesal/marah seperti ini?”
“Bagaimana menurut Bapak dengan tindakan tersebut?”
Baiklah Pak, untuk sementara waktu Bapak boleh menyendiri diruangan ini dulu
sampai marahnya hilang, tujuannya agar Bapak lebih aman dan tenang, karena
jika dalam kondisi kesal Bapak tetap diluar, dikhawatirkan Bapak akan
mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya terjatuh atau terluka.”
(Melakukan isolasi pada klien di ruangan yang aman).
“Bapak akan dikeluarkan dari ruangan ini sampai kondisi Bapak lebih tenang
dan jika Bapak perlu sesuatu, saya ada di ruang depan dan saya siap membantu
Bapak kapan saja.”
3. Terminasi
“Bagaimana perasaan Bapak setelah berada di ruangan ini?”
“Sekarang Bapak bisa menenangkan diri di ruangan ini sambil Bapak pikirkan
hal lain yang bisa membuat Bapak kesal atau marah.”
“Saya akan kembali 15 menit lagi untuk melihat kondisi Bapak, dan jika kondisi
Bapak sudah lebih tenang saya akan mengajarkan cara menghilangkan perasaan
kesal/marah supaya Bapak tidak dimasukkan ke ruangan ini lagi.”
“Bagaimana Pak, setuju?”