Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru Di Unit Rawat Jalan RS Pku Muhammadiyah Wonosobo

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 53

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN

MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI UNIT RAWAT JALAN


RS PKU MUHAMMADIYAH WONOSOBO

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana


Keperawatan Minat Utama Program Studi Ilmu Keperawatan

Diajukan oleh:

CHASANAH SETYORINI

Diajukan oleh

MUHANI’AH

A21601459

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG

2017
Halaman Pengesahan Proposal

Halaman Persetujuan

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN


MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI UNIT RAWAT JALAN
RS PKU MUHAMMADIYAH WONOSOBO

Telah disetujui dan dinyatakan Telah Memenuhi Syarat untuk diujikan Pada
Tanggal

Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Nama Nama

Mengetahui

Ketua Program Studi

Nama
Halaman Pengesahan Skripsi akhir

Halaman Pengesahan

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN


MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI UNIT RAWAT JALAN
RS PKU MUHAMMADIYAH WONOSOBO

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

MUHANI’AH

A21601459

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

pada tanggal

Susunan Dewan Penguji

1. ……………………………..(Ketua) (…………………)
2. ……………………………..(Anggota) (…………………)
3. ……………………………..(Anggota) (…………………)

Mengetahui

Ketua Program Studi S1 Keperawatan

(…………………………….)
Halaman Pernyataan

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya ajukan tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis digunakan sebagai rujukan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.

Gombong,

Materai 6000

Muhani’ah
Halaman pernyataan bebas plagiarisme

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhani’ah

Tempat/Tanggal Lahir : Wonosobo, 18 Desember 1987

Alamat : Karangluhur Kalianget RT 1 RW 03 Kalianget


Wonosobo

Nomor Telepon/Hp : 085292744128

Alamat Email : [email protected]

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul

Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pada


Penderita TB Paru di Unit Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo

Bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain

Apabila dikemudian hari diketemukan seluruh atau sebagian dari skripsi tersebut
terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Demikianlah pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa unsur paksaan
dari siapapun.

Dibuat di Wonosobo

Pada

Tanggal … bulan…tahun

Pembimbing I, Yang membuat pernyataan,

(…………………..) (……………………….)
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS


AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik STIKES Muhammadiyah Gombong, saya yang bertanda


tangan dibawah ini :

Nama : Muhani’ah

NIM : A21601459

Program Studi : S1 Keperawatan

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, meyetujui untuk memberikan kepada


STIKES Muhammadiyah Gombong Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-
exclusive Royalty-Free Right)atas skripsi saya yangberjudul :

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN


MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI UNIT RAWAT JALAN
RS PKU MUHAMMADIYAH WONOSOBO

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini STIKES Muhammadiyah Gombong berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya
buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Gombong, Kebumen

Pada Tanggal : …….

Yang Menyatakan

Muhani’ah
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberculosis paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang telah
lama dikenal dan sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
diberbagai negara di dunia (Dep Kes RI, 2008). Tuberculosis (TB) adalah
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru. Orang
yang tinggal dalam kondisi padat penduduk dan berventilasi buruk memiliki
kemungkinan besar untuk terinfeksi. Sumber penularan yaitu penderita
tuberculosis pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman
lewat udara dalam bentuk percikan dahak atau droplet nuclei (Lippincott,
2011).
Tahap awal penemuan pasien TB paru dilakukan dengan menjaring
mereka yang memiliki gejala utama batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014). Tuberkulosis (TB) atau
yang lebih dikenal dengan sebutan TBC penyakit menular yang disebabkan
kuman TB Mycobacterium Tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh melalui
pernafasan. TB merupakan penyakit infeksi menular yang dapat meyerang
berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit TB merupakan masalah
kesehatan terbesar di dunia, setelah HIV sehingga harus ditangani dengan
serius. Berdasarkan data WHO pada tahun 2014 kasus TB di Indonesia
mencapai 1.000.000 kasus dan jumlah kematian akibat TB diperkirakan
110.000 kasus setiap tahunnya. Gejala TB diantaranya : batuk berdahak lebih
dari 2 minggu, mengalami sesak nafas, berat badan menurun, keringat di
malam hari tanpa aktifitas. Obat TB harus diminum secara teratur sesuai
aturan dokter untuk mencegah dari kebal terhadap obat TB. Jika pengobatan
TB tidak dilakukan dengan tepat maka kuman TB akan menjadi kebal
terhadap pengobatan, dikenal dengan sebutan Tuberkulosis Multi-drug
Resistant (TB MDR) atau Tuberculosis Extensively-drug Resistant (TB XDR).
Sepanjang 7 dasawarsa terakhir, pasien TB yang diobati dan dilayani
berjumlah lebih dari 300.000 pasie TB per tahun. Keberhasilan pengobatan
TB di Indonesia atau success rate juga sangat menggembirakan karena
mencapai sekitar 90%. Ini berarti 90% pasien TB yang diobati di Indonesia
dapat disembuhkan. Berdasarkan laporan hasil survei yang dilakukan oleh
WHO dari tahun 2008 sampai dengan 2012 di negara-negara di dunia, bahwa
penggunaan Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) dan strategi
stop TB merupakan pengobatan dengan pengawasan langsung terapi dengan
cara membantu pasien mengambil obat secara teratur untuk memastikan
kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru. Kepatuhan pasien dalam
pengobatan TB Paru sangat berarti bahwa dunia berada di trek untuk mencapai
tujuan Millenium Development Goals (MDGs) untuk membalikkan
penyebaran TB pada tahun 2015 dan angka kematian yang disebabkan oleh
TB Paru menurun 45% dan diperkirakan sekitar 22 juta jiwa di dunia
diselamatkan oleh program tersebut (WHO,2013).
Pengobatan TB Paru dapat diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif 2
bulan pengobatan dan tahap lanjutan 4-6 bulan berikutnya. Pengobatan yang
teratur pada pasien TB Paru dapat sembuh secara total, apabila pasien itu
sendiri mau patuh dengan aturan-aturan tentang pengobatan TB Paru.
Sangatlah penting bagi penderita untuk tidak putus berobat dan jika penderita
menghentikan, kuman TB Paru akan mulai berkembang biak lagi yang berarti
penderita mengulangi pengobatan intensif selama 2 bulann pertama (WHO,
2013). Tanpa pengobatan, setelah 5 tahun 50% dari penderita TB akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan
25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Limbu & Marni, 2007).
Sebaliknya, jika penderita melaksanakan pengobatan dengan baik atau
pengobatan dengan pengawasan minum obat secara langsung sehingga
mampu mempertahankan diri terhadap penyakit, mencegah masuknya kuman
dari luar dan dapat menekan angka kematian yang disebabkan oleh TB Paru
(Muniarsih & Livana, 2007).
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan pasien
TB Paru dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat,
pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi
semangat agar tetap rajin berobat. Dukungan keluarga yang diperlukan untuk
mendorong pasien TB Paru dengan menunjukkan kepedulian dan simpati, dan
merawat pasien. Dukungan keluarga, yang melibatkan keprihatinan
emosional, bantuan dan penegasan, akan membuat pasien TB Paru tidak
kesepian dalam menghadapi situasi serta dukungan keluarga dapat
memberdayakan pasien TB Paru selama masa pengobatan dengan mendukung
terus menerus, seperti mengingatkan pasien untuk mengambil obat-obatan dan
menjadi peka terhadap penderita TB Paru jika mereka mengalami efek
samping dari obat TB. Menurut Zahara (2007), dalam penelitiannya ia
menemukan bahwa dukungan keluarga merupakan faktor penting keberhasilan
pasien TB dalam mematuhi program pengobatan.
Dukungan sosial yang utama berasal dari dukungan keluarga, karena
dukungan keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan penderita
tuberculosis berjuang untuk sembuh, berpikir ke depan, dan menjadikan
hidupnya lebih bermakna (Melisa, 2012). Dukungan keluarga merupakan
factor penting seseorang ketika menghadapi masalah (kesehatan) dan sebagai
strategi preventif untuk mengurangi stress dimana pandangan hidup menjadi
luas dan tidak mudah stress. Terdapat dukungan yang kuat antara keluarga dan
status kesehatan anggotanya dimana keluarga sangat penting bagi setiap aspek
perawatan, perawatan kesehatan anggota keluarga untuk mencapai suatu
keadaan sehat hingga tingkat optimum (Ratna, 2010).
Dari penelitian yang dilakukan di Riau diketahui bahwa pasien dengan TB
Paru tidak semuanya patuh terhadap pengobatan. Sebanyak 38 orang patuh
(65,52%) dan 20 orang tidak patuh (34,48%). Mayoritas responden pada pada
penelitian ini patuh. Waktu pengobatan yang lama menyebabkan penderita
sering terancam putus berobat selama masa penyembuhan dengan berbagai
alasan, anatara lain merasa sudah sehat atau faktor ekonomi(Asra Septia,
2013).
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Yunie (2010) yang diketahui
bahwa sebanyak 24 orang (60%) patuh terhadap pengobatan pada pasien TB
Paru dan 16 orang (40%) tidak patuh terhadap pengobatan pada pasien TB
Paru. Data Kemenkes Republik Indonesia pada tahun 2012 terdapat 197.000
kasus baru TB Paru BTA positif yaitu laki-laki 117.000 jiwa dan perempuan
80.000 jiwa. Prevalensi Tuberkulosis per 100.000 penduduk provinsi Jawa
Tengah tahun 2012 sebesar 106,42. Prevalensi tuberkulosis tertinggi adalah di
kota Tegal yaitu 358,91 per 100.000 penduduk dan terendah di Kabupaten
Magelang yaitu 44,04 per 100.000 penduduk. Khususnya di Kabupaten
Wonosobo jumlah penemuan kasus TB Paru dengan BTA positif 355 jiwa dan
dengan BTA negatif 273 jiwa (Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo 2017).
Berdasarkan data pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RS PKU
Muhammadiyah Wonosobo pada tanggal 14 Oktober 2017 diperoleh data
penderita di rekam medis RS PKU Muhammadiyah Wonosobo pada tahun
2016 dari bulan Januari 2016 sampai Desember 2016 sebanyak 105. Penderita
TB Paru yang rawat jalan sebanyak 102 dan penderita TB Paru yang rawat
inap sebanyak 45 orang. Data penderita TB paru pada bulan Januari sampai
bulan September 2017 yang tercatat di rekam medis RS PKU Muhammadiyah
Wonosobo sebanyak 242 orang dan rawat inap 53 orang. Saat observasi dan
wawancara langsung dengan penderita, peneliti mendapat 2 dari 8 orang
mengatakan minum obat jika diawasi dan disediakan oleh keluarga. Ketika
keluarga tidak mengawasi langsung dan menyediakan obat, mereka tidak
minum obat. 3 dari 10 orang mengatakan putus obat karena mereka merasa
sudah sembuh dan mereke mengatakan keluarga juga tidak memberikan
informasi lebih lanjut mengenai penyakit TB paru sehingga mereka
memutuskan untuk berhenti minum obat. 1 dari 7 penderita TB paru
mengatakan sering lupa minum obat karena sibuk bekerja. 2 dari 8 orang
mengatakan teratur minum obat karena ingin cepat sembuh. Menurut jenisnya,
dukungan keluarga memiliki 4 jenis, yaitu : dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.
Berdasarkan wawancara dengan berbagai perawat, mereka mengatakan
Rumah Sakit sudah menjalankan sistem DOTS. Di Rumah Sakit
Muhammadiyah Wonosobo memiliki tim khusus yang dipimpin oleh dokter
spesialis dalam dan dokter umum yang sudah mendapat pelatihan pelayanan
tuberculosis dan anggota tim yang sebagian sudah mengikuti dan dibekali
pelatihan pelayanan tuberculosis. Tim yang tergabung dalam sistem DOTS
bertugas mengontrol pasien untuk patuh minum obat anti tuberculosis (OAT)
dengan cara menunjuk pengawas minum obat (PMO). Untuk pasien rawat
inap, petugas PMO berasal dari petugas kesehatan. Sedangkan untuk pasien
rawat jalan, petugas PMO berasal dari keluarga yang tinggal serumah dengan
penderita TB paru. Sebelum menjadi PMO, terlebih dulu diberikan
penyuluhan tentang penyakit TB paru, seperti mengenali gejala, pencegahan,
penularan, pengobatan, efek samping obat, dan resiko kebal obat jika
pengobatan tidak teratur. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang apakah ada hubungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Wonosobo.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat
diambil perumusan masalah” Adakah hubungan keluarga terhadap kepatuhan
minum obat pada penderita TB Paru di rawat jalan RS PKU Muhammadiyah
Wonosobo?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien TB paru di Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat dukungan keluarga pada pasien TB Paru di
Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo
b. Mengetahui tingkat kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru di
Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Pengembangan Ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah daftar pustaka mengenai
hubungan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien
TB paru di Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah Wonosobo.

1.4.2 Manfaat bagi Praktisi


a. Bagi Rumah Sakit
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan bagi
Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan yang mengedepankan
bimbingan rohani ataupun motivasi kepada pasien TB Paru untuk
patuh minum obat secara teratur.
b. Bagi tenaga kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman untuk
memberikan motivasi/dukungan kepada pasien TB Paru untuk
patuh minum obat.
c. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pengalaman penelitian tentang pengaruh dukungan keluarga
terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru
1.5 Keaslian Penelitian
1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Arsa Septia dengan judul hubungan
dukungan kelurga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian survey analitik dengan rancangan survey cross sectional, dengan
mengambil sampel 138 responden dengan metode pengambilan sampel
non probability sampling yaitu accindental sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pada penderita TB paru dengan hasil uji statistik nilai p-
value=0,036 (p<0,05). Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama
meneliti tentang dukungan keluarga, sedangkan perbedaan dengan
penelitian ini adalah tempat, waktu dan populasi.
1.5.2 Penelitian dilakukan oleh Khoirul Amin dengan judul hubungan dukungan
keluarga dengan tindakan penderita TB paru melakukan kontrol ulang di
Puskesmas Sidomulyo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan dukungan keluarga dengan tindakan penderita TB paru
melakukan kontrol ulang di Puskesmas Sidomulyo. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif korelasi dengan pendekatan cross
sectional, dengan mengambil sampel 41 responden yang memenuhi
kriteria inklusi dengan metode pengambilan sampel purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
dukungan keluarga dengan tindakan penderita TB paru melakukan control
ulang di Puskesmas Sidomulyo dengan ditunjukkan p-value 0,001<0,05.
Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama meneliti dukungan
keluarga, sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah variable
dependen. Peneliti sebelumnya meneliti tentang tindakan penderita TB
paru, sedangkan penelitian ini kepatuhan minum obat.
1.5.3 Penelitian dilakukan oleh Maria Ulfah denag judul hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien TBC di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang kota Tangerang selatan tahun 2011. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat pasien TBC di wilayah kerja puskesmas pamulang
kota Tangerang selatan tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional, dengan
mengambil sampel 68 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien TBC (p=1,000).
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti dukungan
keluarga, sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat, waktu
dan populasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


A. Tuberkulosis (TBC)
1. Pengertian Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman
ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pewarnaan, oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam atau
BTA (Depkes RI, 2006).
2. Penyebab Tuberkulosis (TBC)
Penyebab Tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Kuman tersebut merupakan kelompok bakteri gram
positif, berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 µ dan tebal 0,3-
0,6 µ. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu, disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tersebut dapat tahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es), hal ini terjadi karena kuman berada
dalam sifat dormant. Kuman yang bersifat dormant dapat bangkit
kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi (Somantri, 2007).
Kuman hidup didalam jaringan sebagai parasit intraseluler yakni
dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman tersebut adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apical paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit Tuberkulosis
(Depkes RI, 2006).
3. Komplikasi Tuberkulosis (TBC)
Nisa (2007) menyatakan bahwa komplikasi yang sering terjadi
pada penderita stadium lanjut adalah sebagai berikut :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
c. Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau
retraktif) pada paru
d. Pneumothorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan,
kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru
e. Penyebaran infeksi ke organ lain
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary
Insufficiency)
4. Cara Penularan Tuberkulosis (TBC)
Mycobacterium Tuberculosis ditularkan dari orang ke orang
melalui jalan pernapasan, pada waktu batuk atau bersin. Setiap kali
seorang yang menderita TB Paru batuk, maka akan dikeluarkan 3000
droplet infektif (memiliki kemampuan menginfeksi). Partikel infeksi
ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, bahkan dapat
bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan tergantu ng pada ada
tidaknya sinar ultraviolet. Setelah kuman tuberkulosis masuk kedalam
tubuh manusia melalui pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat
menyebar kebagian tubuh lainnya, melalui system peredaran darah,
system saluran limfe, saluran pernafasan atau menyebar langsung ke
bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang ditularkan dari parunya, makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman) maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi
tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut. Kemungkinan seseorang menjadi
penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah (Budianto,
2003).
Tidak semua pasien TB Paru akan menularkan penyakitnya,
pasien TB Paru yang dapat menularkan penyakitnya ke orang lain
adalah seseorang pasien yang pada saat pemeriksaan dahak secara
mikroskopik ditemukan BTA sekurang-kurangnya 2 kali dari 3 kali
pemeriksaan atau disebut BTA positif. Seorang pasien TB yang pada
saat pemeriksaan dahak secara mikroskopik 3 kali tidak ditemukan
BTA tetapi pada pemeriksaan radiologi ditemukan kelainan yang
mengarah pada TB aktif maka disebut BTA negatif. BTA negatif yang
telah diobati selama 2 minggu kecil kemungkinan menularkan
penyakitnya ke orang lain. BTA negatif diperkirakan akan menjadi
BTA positif dalam jangka waktu 2 tahun bila tidak diobati (Depkes RI,
2007).
5. Perjalanan Penyakit Tuberkulosis (TBC)
a. Tuberkulosis primer (infeksi primer)
Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang tidak
mempunyai imunitas sebelumnya terhadap Mycobacterium
Tuberculosis. Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman tuberculosis (Irman, 2007). Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan terjadinya infeksi
sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu. Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberculin dari negatif menjadii positif (Nisa, 2007).
Menurut Soeparman (2005) komplek primer ini selanjutnya
dapat berkembang menjadi beberapa bagian :
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat
2) Sembuh dengan meninggalakan sedikit bekas tanpa garis-
garis fibrotic, klasifikasi di hilus atau sarang
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuiatum yakni dengan menyebar
kesekitanya
b) Secara bronkogen ke paru sebelahnya, kuman
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus
c) Secara limfogen ke organ tubuh lainnya
d) Secara hematogen ke organ tubuh lainnya
b. Tuberkulosis pasca primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya
tahan tubuh menurun akibat infeksi HIV/status gizi yang buruk.
Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas/efusi pleura (Nisa, 2007).
6. Gejala dan Diagnosis Tuberkulosis (TBC)
a. Gejala Tuberkulosis
Gejala utama pasien Tuberkulosis Paru adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu lebih. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari, tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan (Nisa, 2007).
b. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukannya BTA (Basil Tahan Asam)
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis selain tidak
memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan dan akurat.
Pemeriksaan mikroskopik merupakan teknologi diagnosis yang
paling sesuai karena mengidentifikasikan derajat penularan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan posiitif apabila sediktnya dua
dari tiga spesimen SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) BTA hasilnya
positif (Depkes RI, 2006).
7. Pencegahan Tuberkulosis (TBC)
Menurut Purworejo (2007) pencegahann tuberkulosis dapat berupa :
a. Hindari saling berhadapan saat berbicara dengan penderita
b. Cuci alat makan dengan desinfektan (misalnya : lisol, kreolin
dan lain-lain yang dapat diperoleh di apotek), atau jika tidak
yakin pisahkan alat makan penderita
c. Olah raga teratur untuk menjaga daya tahan tubuh
d. Memberikan penjelasan pada penderita untuk menutup mulut
dengan sapu tangan apabila batuk serta tidak meludah atau
mengeluarkan dahak disembarang tempat dan menyediakan
tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan
dan mengurangi aktifitas kerja serta menenangkan pikiran
8. Pengobatan Tuberkulosis (TBC)
Menurut Depkes RI (2006), penderita TBC harus diberikan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yang terdiri dari kombinasi beberapa obat.
Diantaranya adala sebagai berikut :
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh
kuman 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu, kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant
(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10
mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun
intermiten 3 kali seminggu.
c. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, yang dapat membunuh kuman yang
berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang
dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg
BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60
tahun dosisnya 0,75g/hari, sedangkan untuk yang berumur 60
tahun atau lebih diberikan 0,50g/hari.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang
dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
9. Efek Samping Obat
Sebagian besar penderita Tuberkulosis dapat meneyelesaikan
pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat
mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan efek samping
diperlukan selama pengobatan dengan cara :
a. Menjelaskan kepada pasien tanda-tanda efek samping obat
b. Menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita
mengambil obat
Tabel 2.1 Efek Samping Ringan dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat Efek Samping Penanganan
Rifampisin Tidak ada nafsu makan, Perlu penjelasan
mual, sakit perut, warna kepada penderita
kemerahan pada air seni dan obat diminum
(urin) malam sebelum
tidur
Pirasinamid Nyeri sendi Beri aspirin
INH Kesemutan dan rasa Beri vitamin B6
terbakar di kaki (piridoxin)
100mg/hari

Tabel 2.2 Efek Samping Berat dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat Efek Samping Penanganan
Streptomisin Tuli, gangguan keseimbangan Streptomisin
dihentikan, ganti
Etambutol
Etambutol Gangguan penglihatan Hentikan
Etambutol
Rifampisin Purpura dan rejatan (syok) Hentikan
Rifampisin
Semua jenis Gatal dan kemerahan kulit Diberi
OAT antihistamin
Hampir semua Ikterus tanpa penyebab lain, Hentikan semua
OAT bingung dan muntah-muntah OAT sampai
ikterus
menghilang dan
segera lakukan tes
fungsi hati

B. Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat
pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan
oleh dokternya atau orang lain (Smet, 1994).
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran
klinis dari dokter yang mengobatinya (Caplan, 1997). Menurut
Haynes (1997), kepatuhan adalah secara sederhana sebagai perluasan
perilaku individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti
diet dan merubah gaya hidup yang sesuai dengan petunjuk medis.
Kepatuhann pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Niven,
2002). Sedangkan Gabit (1999) mendefinisikan kepatuhan atau
ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien
terhadap pengobatan yang telah ditentukan. Penderita yang patuh
berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan
lengkap secara terputus selama minimal 6 bulan sampai 9 bulan.
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2
bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Drop Out jika lebih dari
2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi
petugas kesehatan (Depkes RI, 2000).
Menurut Cuneo dan Snider (1999) pengobatan yang
memerlukan jangka waktu yang panjang akan memberikan
pengaruh-pengaruh pada penderita seperti :
a. Merupakan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita
tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan
harus menjalani pengobatan sekian lama.
b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah
menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih, keluhan akan
segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan
merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan
kembali.
c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga
menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan
lamanya waktu pengobatan.
d. Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya
yang harus dikeluarkan.
e. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan
rasa tidak nyaman terhadap penderita.
f. Sukar untuk meyadarkan penderita untuk terus minum obat
selama jangka waktu yang ditentukan.
Karena jangka waktu yang ditetapkan lama maka terdapat
beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita
berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak
berobat secara teratur (defaulting) atau penderita sama sekali tidak
patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat atau drop out (Depkes
RI, 2006). Oleh karena itu menurut Cramer (2001) kepatuhan
penderita dapat dibedakan menjadi :
a. Kepatuhan penuh (Total compliance)
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur
sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh
memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.
b. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance)
Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan
obat sama sekali.
2. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005) bahwa kepatuhan
penderita TBC minum obat secara teratur adalah merupakan
tindakan yang nyata dalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi
oleh faktor dalam diri penderita (faktor internal) maupun dari luar
(eksternal). Faktor internal yanitu umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan.
Sedangkan faktor eksternal yaitu, dukungan keluarga, peran
petugas, lama minum obat, efek samping obat, tersedianya obat
serta jarak tempat tinggal yang jauh.
Sementara itu menurut Niven (2002) bahwa faktor-faktor yang
memepengaruhi kepatuhan adalah :
a. Faktor penderita atau individu
1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dari
individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap
mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh
terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku penderita dalam control penyakitnya.
2) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat
menjalani kehidupan. Penderita yang berpegangan
teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang
tabah dan tida mudah putus asa serta dapat menerima
keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih
baik. Kemampuan untuk melakukan kontrol
penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan
penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang
kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan
jika mengetahui akibatnya (Niven, 2002).
b. Dukungan Keluarga
Dukungan kelaurga merupakan bagian dari
penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan.
Penderita akan mearasa senang dan tentram apabila
mendapat perhatian dan dukungan dari kelaurganya,
karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan
kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola
penyakitnya dengan baik, serta penderita mau menuruti
saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk
menunjang pengelolaan penyakitnya (Niven, 2002).
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari
anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting
dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga
dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit
tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan
(Niven, 2002).
d. Dukungan petugas kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang
dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka
terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat
yang baru tersebut merupakan hal penting, begitu juga mereka
dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara
menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari
pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan
yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan
program pengobatannya (Niven, 2002).
Pengobatan dilakukan setiap hari dan dalam jangka
panjang, sehingga kepatuhan minum obat (adherence) juga
sering menjadi masalah yang harus dipikirkan sejak awal
pengobatan. Minum obat yang tidak rutin terbukti telah
menyebabkan resistensi obat yang dapat menyebabkan
kegagalan pengobatan (Depkes RI, 2006).
C. Konsep Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Kelurga adalah bentuk sosial yang utama yang merupakan tempat
untuk peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit (Campbell,
1994 dalam Potter & Perry, 2005). Sedangkan menurut Friedman
(1998) keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh
ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Adanya suatu penyakit yang serius dan kronis pada diri seseorang
anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada
sistem keluarga, khususnya pada struktur perannya dan pelaksanaan
fungsi-fungsi keluarga. Sebaliknya, efek menghancurkan, secara
negatif bisa mempengaruhi hasil dari upaya-upaya pemulihan atau
rehabilitasi (Friedman, 1998).
2. Struktur Kekuatan Keluarga
Menurut Friedman (1998), terdapat struktur kekuatan keluarga
yaitu terdiri dari pola dan proses komunikasi dalam keluarga, struktur
peran, struktur kekuatan keluarga dan nilai-nilai dalam keluarga.
Keluarga yang mempunyai struktur kekuatan keluarga yang masing-
masing berjalan dengan baik maka sistem didalamnya akan berjalan
dengan baik pula.
a. Tipe struktur kekuatan :
1) Legitimate power/authority (hak untuk mengontrol,
seperti orang tua terhadap anak).
2) Referent power (seseorang yang ditiru).
3) Resource or expert power (pendapat ahli).
4) Reward power (pengaruh kekuatan karena adanya
harapan yang akan diterima).
5) Coercive power (pengaruh yang dipaksakan sesuai
keinginannya).
6) Informational power (pengaruh yang dilalui melalui
proses persuasi).
7) Affective power (pengaruh yang diberikan melalui
manipulasi dengan cinta kasih).

b. Nilai-nilai keluarga
Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang
secara sadar atau tidak mempersatukan anggota keluarga dalam
suatu budaya. Nilai suatu keluarga juga merupakan suatu
pedoman perilaku dan pedoman bagi perkembangan norma dan
peraturan. Norma adalah pola perilaku yang baik menurut
masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga. Budaya
adalah kumpulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari,
dibagi dan ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan
masalah (Friedman, 1998).
3. Sistem Keluarga
Keluarga dipandang sebagai system social terbuka yang ada dan
berinteraksi dengan system ayang lebih besar (suprasistem)dari
masyarakat (misalnya : politik, agama, sekolah dan pemberian
pelayanan kesehatan). System keluarga terdiri dari bagian yang saling
berhubungan (anggota keluarga) yang membentuk berbagai macam
pola interaksi (subsistem). Seperti pada seluruh sitem, sistem keluarga
mempunyai tujuan yang berbeda berdasarkan tahapan dalam siklus
hidup keluarga, nilai keluarga dan kepedulian individual anggota
keluarga (Friedman, 1998).
4. Tugas Kesehatan Keluarga
Menurut Friedman (1998), keluarga dipandang sebagai suatu
sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota keluarga
dapat mempengaruhi seluruh sitem. Keluarga juga sebagai suatu
kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau
memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam kelompoknya. Untuk
itu, keluarga mempunyai beberapa tugas kesehatan yang harus
dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan anggota keluarga,
yaitu :
a. Mengenal gangguan kesehatan setiap anggotanya ; keluarga
mengetahui mengenai fakta-fakta dari masalah kesehatan yang
meliputi pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan
yang mempengaruhinya serta persepsi keluarga terhadap
masalah.
b. Mengambil keputusan untuk mengambil tindakan yang tepat :
keluarga mengetahui mengenai sifat dan luasnya masalah
sehingga keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat
untuk menyelsaikan masalah kesehatan yang sedang dialami
keluarganya.
c. Memberikan perawatan kepada anggota keluarganya ketika
sakit : keluarga mengetahui upaya pencegahan penyakit,
manfaat pemeliharaan lingkungan, pentingnya sikap keluarga
terhadap pemeliharaan kesehatan.
d. Mempertahankan suasana yang menguntungkan untuk
kesehatan.
e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara anggota
keluarga dan lembaga kesehatan.
5. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman et.al (2003), terdapat 5 fungsi dasar keluarga
yaitu fungsi efektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi, dan perawatan
keluarga.
a. fungsi afektif : berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
psikososial keluarga. Setiap anggota keluarg akan
mengembangkan sikap saling menghormati, saling
menyayangi, dan mencintai dan akan mempertahankan
hubungan yang akrab dan intim sesama anggota keluarga
sehingga masing-masing anggota keluarga akan dapat
mengembangkan konsep diri yang positif. Kebahagiaan dan
kegembiraan mengindikasikan bahwa fungsi afektif keluarga
berhasil dicapai.
b. Fungsi sosialisasi : adalah proses perkembangan dan perubahan
yang dilalui individu sepanjang kehidupannya, sebagai respon
terhadap situasi yang berpola dari lingkungan social. Fungsi ini
dapat dicapai melalui interaksi dan hubungan yang harmonis
sesame anggota keluarga. Sehingga masing-masing anggota
keluarga mampu menerima suatu tugas dan peran dalam
keluarga.
c. Fungsi reproduksi : keluarga berfungsi untuk menjaga
kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk meyediakan
sumber-sumber ekonomi yang memadai dan mengalokasikan
sumber-sumber dana atau keuangan yang cukup, maka tidak
jarang keluarga tidak membawa penderita ke pelayana
kesehatan.
e. Fungsi perawatan kesehatan adalah bagaimana kemampuan
keluarga untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada
pasien dan kemampuan keluarga merawat anggota keluarga
yang sakit.
6. Peran Keluarga
Menurut Friedman et.al (2003), peran keluarga dibagi menjadi dua
bagian peran yaitu, peran formal dan informal ;
a. Peran formal
Peran formal keluarga antara lain provider/penyedia, pengatur
rumah tangga, perawatan anak, sosialisasi anak, rekreasi,
persaudaraan, terapeutik (memenuhi kebutuhan afektif) dan
seksual.
b. Peran informal
Peran informal biasanya untuk memenuhi kebutuhan
emosional individu dan menjaga keseimbangan dalam
keluarga. Peran tersebut berupa : pendorong, pengharmonis,
inisiator-konstributor, pendamai, penghalang, dominator,
penyalah, pengikut, pencari pengakuan, perawat keluarga,
pioneer keluarga, coordinator keluarga, penghubung keluarg
adan saksi.
Peran keluarga dilakukan dengan cara bersama-sama dengan
anggota dari suatu kelompok/keluarga dan tidak dilakukan
secara terpisah. Akan tetapi pada kenyataannya, terkdang peran
itu berubah seiring dengan terjadinya perubahan kondisi dan
situasi. Hal ini dapat diketahui apabila salah satu anggota
keluarga sakit. Maka dibutuhkan kemampuan keluarga dalam
hal ini adalah pengetahuan, pembuatan keputusan tentang
kesehatan, tindakan untuk mengatasi penyakit atau perawatan
dan penggunaan layanan kesehatan (friedman et.al, 2003).

D. Dukungan Keluarga
1. Pengertian Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupaka bantuan yang dapat diberikan
kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang
mana membuat penerima dukungan akan merasa disayangi, dihargai,
dan tentram (Taylor, 2006). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan
dalam menentukan kepatuhan pengobatan, jika dukungan keluarga
diberika pada pasien TB Paru maka akan memotivasi pasien tersebut
untuk patuh dalam pengobatannya dan meminum obat yang telah
diberikan oleh petugas kesehatan. Sejumlah orang lain yangpotensial
memberikan dukungan tersebut disebut sebagai significant other,
misalnya sebagai seorang istri significant other nya adalah suami,
anak, orang tua, mertua dan saudara-saudara.
Friedman (1998), berpendapat orang yang hidup dalam lingkungan
yang bersifat suoortif, kondisinya jauh lebih baik dari pada mereka
yang tidak memiliki lingkungan suportif. Dalam hal ini, penting sekali
bagi pasien dengan TB Paru untuk berada dalam lingkungan keluarga
yang mendukung kesehatannya. Sehingga pasien dengan TB Paru akan
selalu terpantau kesehatannya. Dukungan keluarga mengacu pada
dukungan-dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai
suatu yang dapat diakses/diadakan oleh keluarga (dukungan bisa
digunakan atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
2. Sumber Dukungan
Sumber dukungan keluarga dapat berupa :
a. Dukungan keluarga internal : seperti dukungan dari suami
(memberikan kepedulian, cinta dan rasa nyaman), orang tua,
mertua, dan dukungan dari keluarga kandung.
b. Dukungan keluarga eksternal : adalah dukungan keluarga
eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja social
keluarga).
3. Jenis Dukungan
Menurut Friedman (1998), dan Bomar (2004), menjelaskan 4 jenis
dukungan keluarga, yaitu :
a. Dukungan emosional : yaitu mengkomunikasikan cinta, peduli,
percaya pada anggota keluarga yang menderita TB Paru.
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan nyaman untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi. Jenis dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati,
peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan
nyaman, membuat individu merasa lebih baik. Individu
memperoleh kembali keyakinan diri, kepercayaan diri, merasa
dimiliki serta merasa dicintai pada saat mengalami stres.
Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh social support
jenis ini akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran
atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
b. Dukungan instrumental : yaitu membantu orang secara
langsung mencakup memberi uang dan tugas rumah. Dukungan
instrumental ini mengacu pada penyediaan barang, atau jasa
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
praktis. Taylor, (2006) menyatakan pemberiann dukungan
instrumental meliputi penyediaan pertolongan. Keluarga
merupaka sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
4. Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi
sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-
beda dalam berbagai tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam
semua tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal
ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik
efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dari
stres terhadap kesehatan) dan efek-efek penyangga dan utama
(dukungan sosial secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari
kesehatan) pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan
utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan
boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan
dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan
menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit (Ryan dan
Austin dalam Friedman).
5. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan
Sarafino (2006), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi apakah seseorang akan menerima dukungan atau tidak.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah ;
a. Faktor dari penerima dukungan (recipient)
Seseoraang tidak akan menerima dukungan dari orang lain
jika tidak suka berisolasi, tidak suka menolong orang lain dan
tidak ingin orang lain tahu bahwa dia membutuhkan bantuan.
Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami
bahwa dia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain,
atau merasa bahwa dia seharusnya mandiri dan tidak
mengganggu orang lain, ayau merasa tidak nyaman saat orang
lain menolongnya, dan tidak tahu kepada siapa dia harus
meminta pertolongan.
b. Faktor dari pemberi dukungan (providers)
Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan kepada
orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumber daya untuk
menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus
menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif terhadap
sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain
membutuhkan dukungan darinya.
2.2 Kerangka Teori

Umur Dukungan keluarga :


Jenis kelamin - Dukungan emosional
Pendidikan - Dukungan penghargaan

Pekerjaan - Dukungan informasi


Internal Eksternal
Penghasilan - Dukungan instrumental

Pengetahuan Peran petugas kesehatan

Sikap Lama minum obat

Kepercayaan Efek samping obat


Tersedianya obat
Jarak

Kepatuhan minum
obat penderita TBC :

- Patuh
- Tidak patuh

Bagan 2.3 Kerangka Teori


Berdasarkan Teori Skiner (1998), Friedman (1998) dan Bomar (2004).

2.3 Kerangka Konsep


Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, kepatuhan seseorang
dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian
ini, variabel yang akan diteliti adalah :
1. Variabel bebas (independen) : dukungan keluarga dan 4 aspek
dukungan keluarga yaitu : dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan informasi dan dukungan instrumental.
2. Variabel terikat (dependen) : kepatuhan minum obat pada pasien
Tuberkulosis.
Sedangkan variabel lain tidak diteliti. Alasan variabel lain tidak
diteliti karena ada beberapa variabel yang sudah merupakan bagian
dari dukungan keluarga (sudah termasuk variabel yang diteliti).
Dibawah ini dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan
dilakukan peneliti di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Wonosobo.
Sehingga kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
VARIABEL VARIABEL
INDEPENDEN DEPENDEN

Dukungan keluarga :

a. Dukungan emosional Kepatuhan minum


b. Dukungan penghargaan obat pada pasien
c. Dukungan informasi Tuberkulosis (TBC)
d. Dukungan instrumental

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

2.4 Hipotesa / Pertanyaan Penelitian


Hipotesa dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum
obat terhadap pasien Tuberkulosis (TBC) di Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Wonosobo.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


3.1.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan strategi pembuktian atau pengujian
atas variabel dilingkup penelitian. Jenis penelitian yang digunakan untuk
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain strudi cross-
sectional (potong lintang), dimana pengukuran terhadap variabel dapat
dilakukan dalam waktu bersamaan sehingga cukup efektif dan efisien
(Hidayat, 2008). Dengan metode ini diharapkan dapat diketahui
hubungan dukungan keluaraga dengan kepatuhan minum obat pada
pasien Tuberkulosis (TBC).
3.2 Populasi dan Sampel / Partisipan ( kualitatif )
3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generelisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam Aimul Aziz, 2008). Populasi pada
penelitian ini adalah pasien Tuberkulosis yang sudah menjalani
pengobatan Tuberkulosis di Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah
Wonosobo sebanyak 558 pasien.
3.2.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah sebagian yang diambil dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2002). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien
Tuberkulosis yang berobat di Rawat Jalan RS PKU Muhammadiyah
Wonosobo, dengan kriteria :
a. Semua pasien Tuberkulosis yang telah menjalani pengobatan
TBC selama 3-6 bulan di Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Wonosobo.
b. Bersedia dijadikan responden.
c. Dapat berkomunikasi dengan baik.
d. Dapat membaca, menulis dan berbahasa Indonesia
e. Tidak terganggu pendengaran dan penglihatannya.
Untuk menentukan besar sampel, peneliti menggunakan rumus
uji hipotesis beda dua proporsi sebagai berikut :
n = [ Zı – α/]

Banyaknya sampel penelitian adalah sebanyak 56 pasien.


3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
3.3.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rawat Jalan RS PKU
Muhammadiyah Wonosobo tahun 2017. Alasan peneliti memilih lokasi
tersebut karena di RS PKU Muhammadiyah Wonosobo khususnya di
rawat jalan belum ada data secara rinci mengenai bentuk dukungan
keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru, serta
belum pernah ada penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga
terhadap kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru. Karena adanya
masalah yang terjadi pada pasien TB Paru seperti adanya pasien TB
Paru yang mengalami masalah tidak patuh minum obat yang
disebabkan karena dukungan keluarga yang kurang, 20% pasien
mengalami putus obat, beberapa pasien yang putus obat menyatakan
bahwa memiliki dukungan kelurga yang kurang dan belum pernah ada
peneltian tentang Dukungan Keluaraga terhadap kepatuhan minum obat
pada pasien TB Paru yang telah menjalani pengobatan TBC.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian adalah faktor-faktor kepatuhan
minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) berupa : dukungan keluarga.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat penelitian ini adalah kepatuhan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) diukur dengan kuesioner kepatuhan minum
Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
3.5 Definisi Operasional
No Variabel Sub Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Kepatuhan Ketaatan dalam Kartu Berobat Observasi 0 : tidak patuh : Ordinal
Minum Obat menjalankan pengobatan jika pasien
secara teratur dan tidak disiplin
lengkap tanpa terputus minum obat
selama masa pengobatan sesuai anjuran
yang telah ditentukan tenaga
oleh petuga skesehatan kesehatan
1 : patuh : jika
pasien disiplin
minum obat
sesuai anjuran
tenaga
kesehatan

2 Dukungan Penilaian/perasaan Kuesioner Kuesioner 0 : kurang Ordinal


Keluarga responden terhadap sikap 1 : baik
dan perilaku dari anggota
keluarga selama menjalani
proses pengobatan
Dukungan Mengungkapkan rasa Kuesioner Kuesioner 0 : kurang Ordinal
emosional cinta, sayang dan 1 : baik
perhatian pada pasien TB
Paru
Dukungan Membuat perasaan pasien Kuesioner Kuesioner 0 : kurang Ordinal
penghargaan TB Paru merasa didukung 1 : baik
dan dihargai oleh orang
lain dan keluarga
Dukungan Memberikan nasehat, Kuesioner Kuesioner 0 : kurang Ordinal
informasi saran dan petunjuk pada 1 : baik
pasien TB Paru
Dukungan Membantu pasien TB Paru Kuesioner Kuesioner 0 : kurang Ordinal
Instrumental dalam memenuhi 1 : baik
kebutuhan makan dan
minum, biaya berobat,
istirahat, serta
terhindarnya pebderita
dari kelelahan
3.6 Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Pengumpulan adata primer yang diperoleh dengan cara
mengajukan pertanyaan tertutup melalui kuesioner tentang dukungan
keluarg ayang akan dijawab oleh pasien Tuberkulosis (TBC), lembar
observasi untuk mengukur kepatuhan minum obat. Tabel observasi
yang terdiri dari : tanggal, tahap pengobatan, jumlah obat yang
diberikan, tanggal harus kembali dan sisa obat. Sedangkan data
sekunder didapatkan dari RS PKU Muhammadiyah melalui buku
register pasien Tuberkulosis (TBC) sebagai data dasar dalam
menentukan sasaran pasien yang akan diberikan kuesioner.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan suatu alat ukur pengumpulan data agar
memperkuat hasil penelitian. Alat ukur pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang telah dibuat oleh
peneliti dan mengacu pada kepustakaan yang terdiri atas beberapa
pertanyaan dimana responden mengisi kuesioner sendiri atau dengan
dibantu. Kuesioner ini dilakukan dengan cara mengedarkan daftar
pertanyaan berupa formulir yang ditujukan secara tertulis kepada
subjek untuk mendapatkan jawaban (Notoatmodjo, 2002).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner yang
terdiri atas empat bagian, yaitu :
a. Identitas Pasien
Bagian pertama kuesioner A, berupa tentang isian identitas
pasien, yaitu nama inisial, pendidikan, pekerjaan, usia,
tanggal/hari terakhir berobat dan status kesehatan.
b. Lembar observasi untuk menilai kepatuhan minum obat
Observasi dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan dengan
melihat kartu berobat responden dan melakukan crosscheck
dengan cara mengunjungi rumah responden untuk melihat
berapa jumlah obat yang tersisa di rumah.
Hasil observasi : dikatakan patuh jika pasien datang mengambil
obat sesuai dengan instruksi petugas kesehatan dan obat habis
atau pada saat pengambilan obat ada obat yang tersisa satu
untuk hari itu.
c. Dukungan keluarga
Bagian ketiga kuesioner C, berisi 37 pertanyaan tertutup
berkaitan dengan dukungan keluarga, yang terdiri dari
pernyataan positif dan negatif yang mengacu pada skala
dukungan keluarga. Skala dukungan keluarga dimaksudkan
untuk mengungkapkan tinggi rendahnya dukungan keluarga
yang diterima pasien Tuberkulosis (TBC) selama masa
pengobatannya. Skala dukungan keluarga terdiri dari aspek
penelitian : emosional, penghargaan, instrumental dan
informasi.
Skala dukungan keluarga meliputi :
Alternatif Jawaban Skor pernyataan Skor pernyataan
positif negatif
Selalu 4 1
Sering 3 2
Jarang 2 3
Tidak pernah 1 4
(Sumber : Nursalam, 2008)
Jawaban berupa data ordinal, diperiksa dan digolongkan dalam
rentang kurang dukungan dan dukungan baik. Skor pada
instrumen ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
Nilai < 116,87 : kurang
Nilai _> 116,88 : baik
Pada setiap sub variabel dukungan keluarg yang terdapat pada
instrumen ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1) Dukungan emosional skornya yaitu :
Nilai < 35,62 : kurang
Nilai  35,63 : baik
2) Dukungan penghargaan skornya yaitu :
Nilai < 22 : kurang
Nilai  23 : baik
3) Dukungan informasi skornya yaitu :
Nilai < 25,4 : kurang
Nilai  25,5 : baik
4) Dukungan instrumental skornya yaitu :
Nilai < 33,5 : kurang
Nilai  33,6 : baik
Untuk dukungan emosional terdiri dari 12 pertanyaan
(nomor 1-12), untuk dukungan penghargaan terdiri dari 7
pertanyaan, (nomor 13-19), untuk dukungan informasi terdiri
dari 8 pertanyaan (nomor 20-27) dan dukungan instrumental
terdiri dari 10 pertanyaan (nomor 28-37). Untuk menghindari
persoalan teknis yang berkaitan dengan saat dilakukan
pengumpulan data responden dan ketelitian dalam memberikan
jawaban, peneliti memberikan petunjuk dalam pengisian
kuesioner serta mengadakan pengawasan dan penjelasan
kembali bila responden mengalami kesulitan dalam hal-hal
yang kurang jelas.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Proses-proses dalam pengumpulan data pada penelitian ini melalui
beberapa tahap yaitu :
a. Menyelesaikan kelangkapan administrasi seperti surat izin
penelitian dari Ketua Program Studi STIKES Muhammadiyah
Gombong dan surat izin dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Wonosobo.
b. Melakukan pendataan kepada calon responden dengan
menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian.
c. Memberikan lembar persetujuan (Informed Consent) untuk
ditandatangani oleh calon responden apabila setuju menjadi
subjek peneitian.
d. Memberikan penjelasan kepada responden tentang cara
pengisian kuesioner.
e. Memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya
kepada peneliti apabila ada kurang jelas dengan kuesioner.
f. Memberikan waktu kepada responden untuk megisi kuesioner.
g. Responden menyerahkan kembali kuesioner yang telah diisi
kepada peneliti untuk diperiksa.
h. Peneliti mengelompokkan data yang sudah terkumpul sesuai
dengan variabel penelitian.

3.7 Teknik analisis data


1. Analisis univariat
Analisis univariat adalah merupakan analisis tiap variabel yang
dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan
cara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007). Variabel
pada penelitian ini meliputi variabel independen yaitu dukungan
keluarga dan variabel dependennya adalah kepatuhan minum obat
pada pasien Tuberkulosis.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen dan dependen, yaitu hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat kepada pasien
Tuberkulosis. Pada penelitian ini, analisis bivariat dilakukan
dengan uji Chi-Square (X²). Analisis ini bertujuan untuk menguji
perbedaan antara dua proporsi atau lebih sehingga dapat diketahui
apakah ada atau tidak hubungan yang bermakna jika dilihat secara
statistik. Dalam penelitian ini, derajat kepercayaan yang digunakan
adalah 95% dengan α sebesar 5%.
Sehingga dapat diasumsikan jika P value < 0,05 disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna (signifikan) atau
menunjukkan ada hubungan antara variabel yang diteliti.
Sedangkan, jika P value > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik
tidak bermakna atau tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara variabel yang diteliti.
3.8 Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel maka kuesioner tersebut
harus diuji vaiditas dan realibitasnya. Sebelum kuesioner digunakan
dalam penelitian, terlebih dahulu kuesioner dilakukan uji validitas dan
reabilitas dengan rumus Pearson Product Moment dan dicari
reabilitasnya dengan menggunakan metode Alpha Cronbach.
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-
benar mengukur apa yang diukur. Suatu kuesioner dikatakan valid jika
pertanyaan didalam kuesioner mampu untuk mengungkan sesuatu yang
akan diukur oleh kuesioner tersebut. Dalam hal ini digunakan beberapa
item pertanyaan yang dapat secara tepat mengungkapkan variabel yang
diukur tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara
masing-masing skor item pertanyaan dari tiap vaiabel dengan total skor
variabel tersebut. Uji validitas menggunakan korelasi Pearson Product
Moment dari Pearson.

3.8 Etika Penelitian


Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan
(Hidayat, 2008). Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara
peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan
lembar persetujuan. Informed Consent tersebut diberikan
sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar
persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari . Informed
Consent adalah agar subjek mengerti maksud, tujuan
penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,
maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika
responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormatinya.
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Masalah etika keperawatan merupaka masalah yang
memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian
dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama
responden dalam lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan
disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
BAB IV

Anda mungkin juga menyukai